HOME

Wednesday, November 15, 2017

KAJIAN ATAS PEMIKIRAN ISLAM LIBERAL INDONESIA: FIQIH LINTAS AGAMA

KAJIAN ATAS PEMIKIRAN ISLAM LIBERAL INDONESIA: FIQIH LINTAS AGAMA
Arina Maftukhati  16771027
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Program Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

A.  Pendahuluan

Buku “Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis” adalah sebuah buku yang terbit tahun 2004, kerjasama antara Yayasan Wakaf Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foundation yang terdiri dari 273 halaman. Buku tersebut merupakan hasil rangkaian pertemuan dan diskusi yang ditulis secara gotong royong oleh tokoh-tokoh dan intelektual dari lembaga-lembaga seperti, Yayasan Haramain, Lakpesdam-NU, P3M, LSAP-Muhammadiyah, Jaringan Islam Liberal, Ma’arif Institute, Yayasan Pendidikan Madania, PPIM, PBB-UIN, dan Yayasan Paramadina. Mereka menamakannya sebagai “Tim Penulis Paramadina.” Orang-orang yang terlibat dalam penulisan buku ini yaitu: Zainun Kamal, Nurcholis Madjid, Masdar F. Mas’udi, Komaruddin Hidayat, Budhy Munawwar-Rachman, Kautsar Azhari Noer, Zuhairi Misrawi, Ahmad Gaus AF, dan sebagai editor, Mun’im A. Sirry.
Berbeda dengan buku-buku yang terbit dari berbagai artikel yang dalam setiap topiknya akan dapat dilihat nama penulisnya, maka dalam buku FLA kita tidak dapat melihat hal tersebut. Dalam hal tersebut tim penulis ingin menunjukkan bahwa buku ini merupakan hasil kesimpulan dari berbagai pertemuan dan diskusi alot yang mereka kerjakan selama ini. Mungkin juga ini sebagai tanggung jawab bersama, karena jika buku ini mendapat “sambutan hangat” dari para pembacanya, maka resiko akan dihadapi dan ditanggung bersama.
Buku Fiqh Lintas Agama di dalamnya dibagi menjadi empat bagian. Bagian pertama berisi, “Pijakan Keimanan Bagi Fiqh Lintas Agama.” Pada bagian ke-2, tema yang diangkat adalah “Fiqh yang Peka Keragaman Ritual Meneguhkan Inklusifisme Islam.” Sebagai kesinambungan bagian pertama. Pada bagian ke-3, dimunculkan tema “Fiqh Menerima Agama Lain dan Membangun Sinergi Agama-Agama.” Dan bagian ke-4 sebagai bagian terakhir dari buku Fiqih Lintas Agama, diangkat tema “Meretas kerjasama lintas agama”.
Harus disadari bahwa dalam masyarakat yang beragam akan menjadikan beragamnya tafsir atas teks suci keagamaan. Jika pemahaman yang berkembang adalah yang bersifat negatif maka bukan tidak mungkin yang akan terus berkembang adalah yang menempatkan agama-agama dalam perspektif yang masih tertutup, sehingga memungkinkan adanya cara pandangan dan metode yang tidak mendamaikan dalam menghargai pihak lain. Kekerasan antar agama memang hal yang tidak disetujui oleh mayoritas umat Islam, tetapi tetap akan terjadi kekerasan berbasiskan legitimasi agama yang dipahami secara sepihak. Oleh sebab itu, bagaimana menempatkan kaum minoritas dalam kerangka Negara kesatuan yang berdasarkan bukan agama, tetapi juga bukan Negara sekuler secara proporsional.[1]  
Betapa pentingnya pembaruan fiqih, sebab bila tidak, hanya ada dua kemungkinan buruk yang mesti diterima sebagai sebuah kenyataan: fiqih akan jumud dan beku, atau yang paling ekstrem, fiqih akan dijadikan ajang kontestasi untuk merebut kekuasaan. Karena itu, tidak ada pilihan lain, kecuali mengembalikan fiqih kepada semangatnya yang terbuka dan progresif. Dan langkah ini merupakan langkah mulia yang mesti diprioritaskan, sehingga fiqih dapat memotret isu-isu kemanusiaan dan hubungan antar agama secara lebih mendasar. Bahkan jika bisa lebih dimaksimalkan, fiqih bisa dijadikan mediator untuk merekatkan hubungan agama yang dijamin dengan adanya produk-produk fiqih yang memberikan ruang gerak bagi agama lain.
Tentu saja, fiqih yang terbuka dan progresif sangat bergantung kepada pemahaman teologi yang pluralis pula. Sebab, fiqih yang mengedepankan penolakan terhadap kelompok atau komunitas lain memang merupakan produk dari teologi eksklusif. Atas dasar itu, buku ini akan diawali dengan kajian-kajian teologi pluralis sebagai pijakan bagi fiqih lintas agama.[2] Tujuan Fiqih di sini salah satunya adalah peninjauan untuk menentukan  atau menitikberatkan akan kesejahteraan masyarakat umum, demi kedamaian dan terciptanya kemakmuran warga Negara walaupun adanya beberapa perbedaan.  

B.  Biografi Dan Corak Pemikiran Penulis Buku Fiqih Lintas Agama

1.    Biografi Nurcholis Madjid

Nurcholis Madjid, yang lebih dikenal dengan Cak Nur, dilahirkan di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur,[3] 17 Maret 1936 (26 Muharram 1358) dari keluarga kalangan pesantren. Ayah beliau bernama Abdul Madjid, seorang kyai jebolan pesantren Tebuireng, Jombang yang didirikan dan dipimpin oleh pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Ayah beliau aktif di organisasi Islam tradisional NU, dan partai politik yang di bawah pengaruh modernisme Islam, Masyumi. Ketika NU berpisah secara politis dengan Masyumi tahun 1952, ia tetap berada di Masyumi.
Pada waktu kecil, Cak Nur belajar di madrasah milik orang tuanya sendiri. Cak Nur kecil juga mengikuti Sekolah Rakyat (SR) di kampungnya. Selanjutnya, setamat Sekolah Rakyat, 1952, beliau dimasukkan ayahnya ke Pesantren Darul ‘Ulum, Rejoso, Jombang. Namun, di Darul ‘Ulim Cak Nur hanya bertahan selama 2 tahun. Sikap tegas ayahnya yang tetap memilih jalur politik di Masyumi dan jalur ibadah di NU, membuat Cak Nur tidak tahan berlama-lama di Darul ‘Ulum, meskipun di sana beliau merupakan salah seorang murid yang berprestasi. Ia meminta ayahnya agar bisa memindahkannya ke sekolah lain. Pada tahun 1955, Cak Nur dipindahkan ke Pesantren Darussalam Gontor. Asumsi sang ayah, Gontor merupakan pesantren Masyumi. Menurut pengakuan Cak Nur, Gontor banyak memberi inspirasi kepadanya mengenai Modernisme dan Neo-Sektarianisme. Pluralisme di sini cukup terjaga. Para santri boleh masuk ke organisasi NU atau Muhammadiyah.
Cak Nur mengakui bahwa di Gontor ia selalu meraih prestasi cukup baik. Kecerdasan Cak Nur rupanya ditangkap pula oleh pimpinan pesantren K.H. Zarkasyi, sehingga pada tahun 1960, ketikan Cak Nur menamatkan belajarnya, sang guru bermaksud mengirim Cak Nur ke Universitas al-Azhar, Kairo. Tetapi karena di Mesir saat itu terjadi krisis terusan Suez yang cukup controversial, keberangkatan Cak Nur batal. Pada akhirnya, K.H. Zarkasyi mengirim surat ke IAIN Jakarta dan meminta agar Cak Nur dapat diterima di sana. Cak Nur diterima sebagai mahasiswa Fakultas Adab Jurusan Sastra dan Kebudayaan Islam dan tamat pada tahun 1968.
Sebagai aktivis HMI, Cak Nur pernah menduduki Ketua Umum PB HMI dua periode 1966-1969 dan 1969-1971. Masa tersebut merupakan masa yang penuh dengan problematika politik dan ekonomi. Pada tahun 1977, beliau mengemukakan ide pembaharuannya tentang ”keharusan pembaharuan pemikiran Islam dan masalah integrasi umat”. Beliau mengajukan perlunya konsep “sekularisasi” dan jargon “Islam Yes, Partai Islam No” yang mengguncangkan umat Islam di Indonesia. Dalam hal ini tampaknya beliau dipengaruhi oleh pemikiran Robert N. Bella dalam konsep sekularisasinya. Karya Bella Beyond Belief dibaca Cak Nur ketika beliau mengunjungi Amerika Serikat dan Timur Tengah pada tahun 1968.
Nurcholish Madjid memperoleh gelar Doktor Filsafat dari Universitas Chicago, Amerika Serikat pada tahun 1984 dengan predikat summa cum laude dengan disertasi berjudul Ibn Taymiyya on Kalam and Falasafa. Dalam perjalanan organisasi dan karirnya, pada periode 1967-1974, Cak Nur menjadi Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara, Wakil Sekjen International Islamic Federation of Student Organization (IIFSO), dan beberapa tahun sebagai dosen IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada tahun 1973-1976, beliau dipercaya sebagai pemimpin umum majalah Mimbar Jakarta. Tahun 1978 mulai menjadi peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Prof. Fazlur Rahman, Neo-Modernis asal Pakistan, dapat disebut ‘guru utama’ yang penting dalam pematangan intelektual Cak Nur. Namun demikian, di antara sekian banyak tokoh yang mempengaruhi pemikirannya, Cak Nur rupanya merasa berhutang budi kepada Buya Hamka. Seperti diungkapkan bahwa “saya berterima kasih sekali kepada Buya”.[4]

2.    Zainun Kamal

Dr. H. Zainun Kamal, MA adalah salah seorang dosen pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah. Beliau juga merupakan seorang peneliti teologi Islam dan Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Suatu ketika pada tanggal 11 oktober 2013 pernah diadakan seminar Filasafat Islam yang di adakan oleh ICAS-UP Jakarta bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra kali ini membahas magnum opus al-Farabi yang berjudul Madinah Al Fadilah. Bertindak sebagai pembicara utama kali ini adalah praktisi filsafat dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Dr. Zainun Kamal.
Dr. Zinun Kamal dalam presentasinya menyinggung beberapa hal yang menjadi pokok-pokok pemikiran Al-Farabi. Beliau menyatakan bahwa  beberapa filosof memandang kehidupan dengan prinsip-prinsip yang sangat pesimis dan pandangan ini memposisikan kehidupan dalam prisma yang mengandung irisan-irisan berlawanan yang akhirnya menyuburkan asketisme yang keterlaluan. Hal ini berbeda dalam pandangan plato dann para filosof yang sejalan dengannya, termasuk Al-Farabi. Beliau memandang kehidupan dalam pandangan kosmologisnya yang begitu optimistik, bahwa manusia memiliki kapasitas untuk mencapai kebahagiaan. Ia meletakkan ketentuan-ketentuan ideal dalam kehidupan individu-individu manusia hingga negara. Ia percaya bahwa keberhasilan manusia terletak pada usahanya untuk menggapai kebahagiaan di dunia ini.
Negara utama menurut Al-Farabi adalah sebuah negara yang mencapai titik idealitasnya di mana masyarakatnya secara individual dan komunal diukur berdasarkan capaian-capaian yang menjadi inti dari esensi manusia yakni terhubung secara spiritual dengan akal aktif. Karena adalah intensitas yang berbeda bagi setiap manusia dalam berhubungan secara spiritual dengan akal aktif ini, maka puncak dari kepemimpinan bagi sebuah masyarakat haruslah berporos pada sosok yang telah mencapai taraf ini. Zainun Kamal penghalal nikah antara Muslimah dengan lelaki Nasrani, pada Hari Ahad tanggal 28 November 2004 Zainun Kamal menikahkan wanita Muslimah. Suri Anggreni alias Fithri, dengan lelaki Kristen, Alfin Siagian, di Hotel Kristal Pondok Indah Jakarta Selatan. Lalu pengantin diberkati pendeta di situ. Ijab Qabul cara Islam, dibimbing oleh Dr Zainun Kamal, dosen UIN Jakarta, dari Yayasan Wakaf Madani, Kompleks Perumahan Dosen UIN Ciputat Jakarta Selatan.

3.      Masdar F. Mas’udi

Masdar Farid Mas’udi lahir dari ibunda Hj. Hasanah, di Dusun Jombor, Cipete, Cilongok, Purwokerto, tahun 1954. Masdar Farid Mas’udi merupakan putra dari Kiai Mas’udi bin Abdurrahman, adalah seorang Kiai yang kesehariaannya mengisi pengajian majlis ta’lim di kampung tersebut. Kakeknya, Kiai Abdurrahman, Jombor dikenal dengan pesantren salafnya yang telah dirintisnya. Mbah Abdussomad yang makamnya sampai sekarang masih selalu diziarahi oleh masyarakat Islam Banyumas.[5]
Setelah tamat Sekolah Dasar (SD) yang diselesaikannya selama 5 tahun, Masdar langhsung diserahkan oleh ayahnya ke Pesantren salaf di Tegalrejo, Masdar telah menamatkan dan menghafalkan Alfiyah Ibnu Aqil. Selanjutnya pindah ke Pesantren Krapyak, Yogyakarta berguru kepada Mbah kiai Ali Maksoem, Rois Am PBNU tahun 1988-1999. Meskipun dari Tegalrejo baru menyelesaikan pendidikan setara dengan kelas III Tsanawiyah, di Krapyak Masdar langsung diterima di kelas III Aliyah.
Tahun 1970, selesai Aliyah, Masdar dinasehati oleh Mbah Ali untuk tidak langsung ke IAIN, melainkan untuk ngajar dan menjadi asisten pribadi Kiai terutama dalam tugas-tugas beliau sebagai dosen luar biasa IAIN Sunan Kalijaga. Saya sering ditugasi oleh beliau untuk membacakan skripsi calon-calon sarjana IAIN dan membuat pertanyaan-pertanyaan yang relevan untuk diujikan.
Dalam kapasitasnya sebagai asisten pribadi inilah Masdar memperoleh kesempatan langka untuk memanfaatkan perpustakaan pribadi  Mbah Ali yang berisi kitab-kitab pilihan baik yang (klasik) maupun yang khalaf (modern).
 Tahun 1972, sambil tetap tinggal dan mengajar di Pesantren Krapyak, Masdar melanjutkan studi di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, jurusan Tafsir-Hadis. Di masjid Jami’ IAIN, Masdar sempat menggelar tradisi baru pengajian kitab kuning dengan mengajar Alfiyah untuk kalangan mahasiswa.
Berbagai seminar ilmiah telah diikutinya sebagai pembicara mewakili sudut pandang Islam, baik dalam maupun luar negeri. Antara lain, di Manila dan Mindanau (Philipina) di Kuala Lumpur (Malaysia), di Singapura, di Kairo (Mesir), Sidney (Australia), Belanda dan Denmark. Pernah mengadakan kunjungan di pusat-pusat keagamaan di Amerika selama 5 pekan, tahun 1986.
Penahanan tanpa peradilan itu dilakukan karena ‘dosa’ memimpin demo anti korupsi menjelang Sidang Umum MPR 1978. Tahun 1982, setelah hijrah di Jakarta, Masdar dipilih sebagai Ketua I Pengurus Besar PMII periode 1982-1987 mendampingi Muhyidin Arubusman sebagai Ketua Umum. Selesai kuliah, tahun 1980 Masdar hijrah ke Jakarta dan bekerja untuk Lembaga Missi Islam NU sambil menjadi wartawan di beberapa media ibu kota. Tahun 1985, setelah Muktamar Situbondo, bersama dengan Kiai Irfan Zidni, Masdar ditunjuk sebagai asisten Ketua Umum (Gus Dur) dan Rois Am di bidang Pengembangan Pemikiran Keagamaan.
Di mulai dari halaqah Watucongol tahun 1989 tema “Memahami Kitab Kuning secara Kontekstual”, kegiatan it uterus bergulir di berbagai daerah dengan keikutsertaan para Kiai baik yang sepuh maupun yang muda-muda. Satu satu di antara outputnya yang monumental adalah rumusan Metode Pengambilan Hukum yang menjadi keputusan Munas NU Lampung 1992.
Saat ini, kegiatan sehari-harinya selain sebagai Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) juga sebagai Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta, Anggota Dewan Etik ICW (Indonesian Corruption Wacth) dan Komisi Ombudsman Nasional (KON) serta membina pesantren Al-Bayan, di kampung Cikiwul, Pancoran Mas, Cibadak, Sukabumi. Dengan program pendidikan formal utamanya SMA, sudah 3 angkatan diluluskan dengan prestasi akademik yang unggul sesuai dengan namanya. Yakni rata-rata 95 persen lulusannya diterima di Perguruan Tinggi Negeri terbaik.   
Berbagai karya ilmiahnya berupa makalah, artikel dan juga buku telah berhasul diterbitkan. Yang utama, berupa buku utuh, dan beberapa kumpulan tulisan adalah: Keadilan; Risalah Zakat/Pajak dalam Islam, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, Menggugat Tradisi: Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU, Dinamika Kaum Santri, Fiqih Lintas Agama, Agama-agama, Kekerasan dan Perdamaian, dan lain-lain.

4.    Komaruddin Hidayat

Komaruddin Hidayat (lahir di Magelang, Jawa Tengah, 18 Oktober 1953, beliau adalah rektor Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta untuk periode 2006-2010. Selain sebagai akademisi, beliau juga menjadi penulis kolom di beberapa media massa. Kemampuan inteletualitasnya ia tunjukkan dengan menjadi peneliti di beberapa lembaga kajian dan penelitian.
Sejak kecil Komar dekat dengan dunia Islam utamanya pesantren. Komarudin merupakan Alumni pesantren modern Pabelan, Magelang (1969) dan Pesantren al-Iman, Muntilan (1971). Setelah lulus dari pesantren, ia melanjutkan studi sarjana muda (BA) di bidang Pendidikan Islam (1977) dan sarjana Lengkap (Drs.) di bidang Pendidikan Islam (1981) di IAIN Jakarta. Komar melanjutkan studi doktoral ke luar negeri. Beliau Meraih doktor di bidang Filsafat Barat di Middle East Techical University, Ankara, Turkey (1990).
Pada 17 Oktober 2006, dalam rapat senat yang dipimpin oleh Azyumardi Azra, di Auditorium utama UIN Syarif Hidayatullah, Komar terpilih sebagai rektor universitas tersebut. Beliau memenangi pemilihan suara atas dua kandidat lainnya yakni Prof. Dr. Masykuri Abdillah dan Prof. Dr. Suwito. Komar merupakan kolumnis di beberapa media massa seperti Harian Kompas dan Seputar Indonesia dan Republika. Selaku akademisi, Komar menjadi Dosen pada Fakultas Pasca Sarjana IAIN Jakarta (sejak 1990), dosen pada Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia (sejak 1992), dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, sejak tahun 1993.
Selain sebagai dosen, ia juga sebagai Dewan Redaksi majalah Ulumul Qur`an (sejak 1991), Dewan Redaksi jurnal Studia Islamika (sejak 1994), Dewan Editor dalam penulisan Encylopedia of Islamic World, dan Direktur pada Pusat Kajian Pengembangan Islam Kontemporer, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sejak 1995). Sejak tahun 1990, beliu merupakan salah satu peneliti tetap Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta.

5.    Budhy Munawar Rachman

Budhy Munawar Rachman ialah salah satu dari penerus pemikir Islam progresif yang melihat Islam dari kacamata yang lebih terbuka, toleran, dan demokratis. Sebuah cakrawala idiologi yang dasarnya dibangun oleh para tokoh Muslim pada era Nurcholish Madjid. Seperti gurunya di Universitas Paramadina, Nurcholish Madjid, Budhy Munawar juga dikenal sebagai penyeru pluralisme dan kebebasan beragama. Pemikiran Budhy tentang hal itu bisa dijumpai melalui buku-bukunya, dua di antaranya ialah Islam Pluralis dan Fiqih Lintas Agama, yang terbit di tahun 2003, dan dengan jelas menggambarkan keberpihakan dirinya terhadap kemanusiaan. Kesibukan Budhy Munawar sebagai pengajar Islamologi dan Filsafat Islam Sekolah Tinggi Filsafat di Driyarkara, Budhy tak mengurangi keaktifannya di Yayasan The Asia Foundation sebagai Program Officer Islam and Development.

6.    Kautsar Azhari Noer

Beliau adalah dosen di UIN Syarif Hidayatullah, Universitas Indonesia , dan Universitas Paramadina, Jakarta . Ia banyak menulis artikel ilmiah tentang perbandingan agama, filsafat, dan tasawuf di berbagai jurnal. Salah satu buku karyanya adalah Ibn Al-‘Arabi: Wahdat Al-Wujud dalam Perdebatan (1995).

7.    Zuhairi Misrawi

Beliau lahir di Sumenep, Madura, Jawa Timur, 5 Februari 1977, umur 39 tahun, dikenal sebagai penulis dan intelektual muda Nahdlatul Ulama. Zuhairi menyelesaikan pendidikan sarjananya di Departemen Akidah-Filsafat, Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir (1995-2000). Sepulang dari Kairo, ia langsung aktif di Lembaga Kajian dan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) sebagai Koordinator Kajian dan Penelitian pada 2000-2002. Saat ini ia menjabat sebagai direktur Moderate Muslim Society dan ketua Pondok Pesantren Baitul Muslimin.
Sejak kecil, Zuhairi telah akrab dengan dunia Islam kontemporer, khususnya pesantren. Kemudian ia melanjutkan masa belajarnya di pesantren TMI al Amien, Prenduan, Sumenep, Madura selama lima tahun (1990-1995). Dari dunia pesantren ini, Zuhairi banyak mengenal dasar-dasar keilmuan Islam seperti Al-Quran, Tafsir, Fiqih, Sastra, dan Filsafat. Sejak di pesantren, beliau telah aktif dalam dunia jurnalistik dan tulis menulis. Di pesantren tersebut, ia juga sering menjadi juara I Lomba Karya Tulis Ilmiah (19931995)yang dilaksanakan oleh perpustakaan pesantren.Beliau melanjutkan pendidikan sarjananya di Departemen Akidah-Filsafat, Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir (1995-2000). Selama menjadi mahasiswa, kemampuan analisisnya tentang dunia Islam terus ia kembangkan. Beliau aktif dalam dunia tulis menulis dan pernah menjadi penyunting  pada buletin “Terobosan”.
Dalam dunia aktivisme, Zuhairi aktif dalam Lembaga Filsafat Mesir dan Forum Pemuda Muslim Se-Dunia di Alexandria. Ketika di Mesir, berkat aktivitasnya dalam dunia jurnalistik, ia berkesempatan mewawancarai beberap tokoh-tokoh besar dalam dunia Islam seperti Yusuf al-Qaradhawi, Sayyed Yasin, Halah Musthafa, Youhanna Qaltah, 'Athif 'Iraqi, Muhammad 'Abdul Mu'thi Bayoumi, Adonis dan Nawal Saadawi. Setelah menyelesaikan studi di Mesir, pada 2000 ia pulang ke Indonesia dan langsung aktif di lembaga Kajian dan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama(Lakpesdam NU) sebagai Koordinator Kajian dan Penelitian pada 2000-2002. Bersama beberapa tokoh muda NU lainnya, ia menerbitkan jurnal Pemikiran di kalangan Lakpesdam berjudul Tashwirul Afkar dan menjadi redakturnya pada tahun 2000-2005.
Pada 2006, Zuhairi meneruskan studi pascasarjananya  di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Meskipun aktif sebagai aktivis, ia tetap produktif dalam menulis.Secara umum, tulisan-tulisannya bertemakan pemikiran-pemikiran Islam kontemporer, politik, toleransi keagamaan, dan dialog antaragama (inter-faith dialog). Sejak 2008 ia menjadi direktur Moderate Modern SocietyJakarta. Lembaga ini merupakan sebuah lembaga riset yang bertujuan untuk menyampaikan pendekatan moderasi dalam pembangunan Indonesia terutama dalam hal toleransi keagamaan dan keadilan sosial di dalam masyarakat yang plural (beragam) dan demokratis.[6]
Zuhairi selalu mengkritik kekerasan yang mengatasnamakan agama dan ajaran Nabi, Radikalisme dan puritanisme, baginya, harus dilawan dengan pendekatan non-politik. Oleh karena itu, ia menjelaskan bahwa peran organisasi masyarakat dan non-politik yang tidak bersentuhan dengan politik seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah begitu sentral dan penting. Kepedulian atasdemokrasi dan pluralisme juga perlu dikembangkan. Menurut Zuhairi, keberagaman atau pluralisme (al-ta'addudiyyah) adalah keniscayaan yang dihadapi bangsa ini.

8.    Ahmad Gaus AF

Ahmad Gaus AF, adalah Dosen Sastra dan Kebudayaan, Swiss German University (SGU), BSD, Tangerang. Ia telah mempublikasikan buku-buku karyanya antara lain Passing Over (Gramedia, 1998); Islam, Negara, dan Civil Society (Paramadina, 2005); Menjadi Indonesia (Mizan, 2006); Filantropi dalam Masyarakat Islam (Elex Media Komputindo, 2008); Biografi Mas Tom: (Paramadina, 2006); Biografi Djohan Effendi (Kompas, 2009); Biografi Farouk Muhammad (Mizan, 2009); Biografi Koes Hadinoto (Pustaka Irvan, 2009); Biografi Taufiq Effendi (Kompas, 2010).
Alumnus Fakultas Komunikasi Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta dan Pondok Pesantren Daar el-Qolam, Banten, ini pernah menjadi Pemimpin Redaksi Paramadina (1999-2004) dan Direktur Publikasi dan Jaringan Internasional pada LibForAll Foundation, Amerika Serikat (2005-2008). Menjadi pembicara dalam berbagai forum seminar baik di dalam maupun luar negeri.
Tulisan-tulisannya dalam bentuk reportase jurnalistik, feature, artikel dan kolom tersebar di berbagai surat kabar, majalah, dan jurnal seperti Kompas, Media Indonesia, Republika, Suara Karya, Majalah Gatra, Majalah Matra, Majalah Gamma, Majalah Panji, Jurnal Kultur, Jurnal Afkar, dan lain-lain. Email: gausaf@yahoo.com

C.  Latar Belakang Penulisan Buku Fiqih Lintas Agama

Nasib disiplin fiqih hampir sama dengan nasib disiplin ilmu tafsir dan disiplin ilmu-ilmu agama lainnya. Seperti bahasa, tasawuf, kalam, dan filsafat Islam. Jika al-Zarkasyi dalam al-Burhan fi ‘ulum al-Qur’an dan tafsir ialah mencapai puncak kematangannya, bahkan siap saji dan santap, maka ilmu fiqih beserta fundamen-fundamennya juga dianggap oleh sebagian pengkaji fiqih telah matang. Dan karena keserbasempurnaan fiqih, lalu tugas seorang ahli fiqih hanya dibatasi pada upaya-upaya mengadopsi, mengakomodasi dan melanjutkan keseluruhan pemikiran dan madzhab yang dihasilkan para ulama’ terdahulu.
Sejumlah kitab fiqih yang diajarkan di berbagai perguruan tinggi Islam, pesantren dan sekolah-sekolah keagamaan pada umumnya hanya membacakan kembali kitab-kitab fiqih yang ditulis para ulama’ beberapa abad yang silam. Hampir tidak ditemukan sebuah studi yang tidak hanya membacakan, tapi lebih jauh, menyoal kembali beberapa pandangan yang telah disampaikan para ulama’ fiqih terdahulu. Pada umumnya, mereka hanya memproduksi pandangan-pandangan fiqih klasik, dan tidak memproduksi pandangan-pandangan alternative yang relevan dengan konteks kekinian. Belum lagi, khazanah fiqih yang tersedia hanya berbicara untuk kebutuhan zamannya, bukan untuk kebutuhan zaman di mana kita hidup saat ini.
Diakui atau tidak, fiqih yang tersedia saat ini mempunyai dilema yang mesti dikritisi lebih mendalam, sehingga fiqih sebagai proses ijtihad dan dialektika antara doktrin dan realita dapat bersuara kembali atas zaman yang secara kontekstual berada sama dengan zaman di mana fiqih dikodifikasi. Tentu saja bukan basa basi jika kita hendak menegaskan bahwa penghargaan kita terhadap hasil ijtihad ulama terdahulu seharusnya bukan dalam bentuk pencomotan dan pandangan apa adanya, melainkan menalar ulang atas pemikiran ijtihad dan karya-karya mereka secara dinamis dan konstruktif.
Di antara dilema fiqih paling serius ialah tatkala berhubungan dengan pembahasan yang melibatkan kalangan di luar komunitasnya (non-Muslim), apapun agama dan aliran kepercayaannya. Pada tataran ini, fiqih mengalami kelemahan yang amat luar biasa. Dimensi keuniversalan dan kelenturan fiqih seakan-akan tersimpan di dalam laci, atau mungkin hilang entah ke mana. Fiqih, secara implisit ataupun eksplisit, telah menebarkan kebencian dan kecurigaan terhadap agama lain.
Ada beberapa istilah yang selalu dianggap musuh dalam fiqih klasik, yaitu “musyrik”, “murtad” dan “kafir”. Bila khazanah fiqih berpapasan dengan komunitas tersebut, maka sudah barang tentu fiqih akan memberikan “kartu merah” sebagai peringatan keras dalam menghadapi kalangan tersebut. Lalu pertanyaannya, kenapa watak fiqih klasik bisa seperti itu? Apakah Islam memang benar-benar sebagai agama yang menebarkan permusuhan dan kekerasan, sebagaimana dituduh banyak orientalis? Jika tidak, apa yang mesti kita lakukan untuk menggali oase keislaman  yang lebih mengedepankan semangat toleransi dan kebersamaan?
Pertanyaan-pertanyaan ini membuat kita harus bekerja keras dalam membaca kembali fiqih klasik. Perlu perspektif baru terhadap fiqih, yaitu meletakkannya kembali sebagai produk budaya atau produk yang hadir dalam zaman tertentu untuk komunitas tertentu pula. Selama ini, bila membaca kitab-kitab fiqih, maka fiqih seakan-akan terlalu “dimanja” dan “disakralkan” oleh pembacanya, sehingga fiqih menjadi ilmu yang tidak terjamah secara lebih mendasar. Padahal dari segi penamaannya saja, fiqih berarti “pemahaman”. Dan proses pemahaman mengharuskan adanya dialektika dinamis antara teks dan konteks. Sebab, fiqih tidak lahir dari kevakuman, melainkan sebagi respons faqih (ahli fiqih) terhadap problem zamannya. Dalam perkembangannya saat ini, fiqih menyimpan sejumlah problematika yang serius, antara lain: mapannya paradigma klasik dan lambannya upaya pembaruan, sehingga dengan mudah didapatkan adanya pengulangan-pengulangan yang tidak perlu, yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya kesenjangan.
Selain itu menurut Abid Al-Jabir, fiqih yang dikonstruksi para ulama terdahulu tidak hanya menutup masa depan atau masa setelah fiqih tersebut dikodifikasi, melainkann juga tidak mengakodomi tradisi yang berkembang pada masa-masa sebelumya. Hal itu terjadi, karena fiqih ibarat pendulum yang tidak secara tegas melakukan dialektika epistimologis. Fiqih hanya dijadikan upaya untuk memapankan kepatuhan dan ketundukan terhadap sebuah aliran dan madzhab tertentu. Fiqih seakan-akan harus menentukan pilihan; Syafi;iyah, Malikiyah, Hanafiyah, atau Hanabilah.
Atas dasar ini, diperlukan pisau pembedah guna mendongkrak kesadaran kolektif para pengkaji fiqih kontemporer agar secara proaktif melakukan pembacaan ulang terhadap fiqih klasik. Di satu sisi, fiqih merupakan khazanah yang menjadi kebanggaan setiap muslim, tapi di sisi lain tak terelakkan fiqih menjadi hambatan serius dalam menyikapi sejumlah problem kemanusiaan yang tidak disentuh para ulama terdahulu. Karena fiqih yang tersedia adalah fiqih yang tak lagi menyemangati zaman ini, dan bentuknya pun sangat sederhana. Sementara  itu, problem kemanusiaan terus bertambah dan pengetahuan mengalami kemajuan yang pesat, maka tak terelakkan pembaruan fiqih sebagai solusi alternatif.
Dalam hal pembaharuan fiqih, sebenarnya telah muncul beberapa tokoh besar, antara lain Dr. Ali Jum’ah[7] dan Jamaluddin Athiyah[8], Jamal Al-Banna[9] (Mesir), Yusuf al-Qardhawi[10] (Qatar), Muhamamd Syahrur[11] (Suriah). Mereka melihat betapa pentingnya membaca ulang fikih klasik secara kritis, bukan dalam hal membongkar-pasang fiqih yang ada, melainkan dalam hal memperbarui fiqih dan ushul fiqih guna menjawab beberapa problem kekinian. Kecenderungan untuk menyoal dan memperbarui  ushul fiqih terasa amat penting, tatkala muncul kecenderungan pemahaman yang bersifat formalistik, radikalistik, dan fundamentalistik. Ada sebagian kalangan, yang ingin menjadikan fiqih bukan sebagai cara atau alat untuk memahami doktrin keagamaan, melainkan sebagai dogma yang kaku, rigid yang ujung-ujungnya adalah formalitas Syari’at.
Faktor terpenting yang menyebabkan kebekuan pemahaman itu ialah kecenderungan untuk mengagungkan suatu masa tertentu sebagai masa yang paling Islami. Di kalangan aktivis gerakan Islam berkembang suatu trend untuk menjadikan masa tertentu yang diidentifikasikan sebagai “al-salaf al-shalih”[12] sebagai the golden ages of Islam, sehingga diposisikan sebagai standar kebenaran bagi setiap pemikiran dan aksi umat Islam generasi berikutnya. Apa pun pemikiran atau praktik keberagamaan yang berkembang saat itu dianggap sebagai yang paling benar, karena paling dekat dengan periode Nabi. Akibatnya, setiap perkembangan yang muncul seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dianggap sebagai ancaman terhadap Islam.
Kecenderungan glorifikasi itu juga menyebabkan kemandegan dalam pemikiran fiqih. Rumusan hukum dan metode istinbath yang diperkenankan ulama terdahulu dianggap fnal, sehingga tidak dimungkinkan lagi untuk dikembangkan secara dinamis dan kreatif, apalagi dimodifikasi. Sejumlah sarjana yang berupaya menawarkan kemestian pemikiran ulang dalam bidang ushul fiqih bukannya disambut, melainkan dicemooh dan tak jarang diisolasikan dari percaturan pemikiran Islam. Dr. Hassan al-Turabi, pemikir dan arsitek utama Republik Islam Sudan, mencoba menawarkan pemikiran cemerlang untuk meninjau ulang metodologi ushul fiqh agar lebih kontekstual dan relevan dengan kebutuhan masyarakat Islam modern.
Namun, gagasan cemerlang Turabi seolah membentur ruang hampa. Kaum Muslim lebih suka terbuai dengan kerangkeng dan belenggu pemikiran fiqih yang dibuat Imam Syafi’i. Kita lupa, Imam Syafi’i memang arsitek ushul fiqh yang paling brilian, tapi juga karena Syafi’ilah pemikiran-pemikiran fiqih tidak berkembang selama kurang lebih 12 abad. Sejak Syafi’i meletakkan kerangka ushul fiqihnya, para pemikir fiqih Muslim tidak mampu keluar dari jeratan metodologinya. Hingga kini, rumusan Syafi’i itu diposisikan begitu agung, sehingga bukan saja tak tersentuh kritik, tapi juga lebih tinggi ketimbang nash-nash Syar’i (al-Qur’an dan hadits). Buktinya, setiap bentuk penafsiran teks-teks selalu tunduk di bawah kerangka Syafi’i.
Padahal, fiqih dan ushul fiqih semestinya terus berkembang dalam menghadapi tantangan realitas kehidupan modern. Hasan Turabi menyebut sejumlah alasan bagi perlunya pembaruan ushul fiqih. Misalnya, menurutnya, produk-produk ushul fiqih dalam tradisi pemikiran fiqih klasik masih bersifat sangat abstrak dan berupa wacana teoritis yang tidak mampu melahirkan pemahaman komprehensif dan justru melahirkan perdebatan yang tak kunjung selesai. Turabi juga berkesimpulan, fiqih kita saat ini lebih berorientasi pada ijtihad dalam persoalan ibadah ritual dan masalah kekeluargaan, sementara persoalan hukum, ekonomi, hubungan luar negeri, dan sebagainya belum memiliki tempat yang semestinya dalam kajian fiqih.
Di sini tersorot secara tajam, bahwa sebagian pengkaji dan aktivis fiqih terjebak dalam kubangan fatalisme, sehingga wacana fiqih yang semula bersifat terbuka dan beragam, akhirnya masuk dalam wilayah politik dan upaya perebutan otoritas. Fenomenanya, ada semacam gelembung memori kolektif untuk menghadirkan kembali sejarah yang terkoyak (al-tarikh al-mumazzaq) dalam arena politik, tentu saja dengan mengatasnamakan resistensi terhadap kebiadaban modernitas. Indikasinya, seperti kecenderungan memukul beduk “Piagam Jakarta”[13] dan “Formalisasi Syariat” yang didevirasi ke dalam “fiqih negara Islam” dan “fiqih Khilafah Islamiyah”[14] hampir menasional dan kian menemukan momentum politik bersamaan dengan digelarnya desentralisasi. Formalisasi fiqih yang awalnya bersifat kultural, pada akhirya dijadikan “mesin kekuasaan” untuk merebut kekuasaan politik. Ini menunjukkan adanya “pendulum peradaban”, sebagaimana disebut Ibn Khaldun sebagai “tarik ulur” yang membawa peradaban dari kemegahannya menuju kehancuran.
Tentu saja, konteks di masa lalu dengan masa kini dan masa yang akan datang pasti berbeda. Masyarakat modern mempunyai logika dan sikap yang jauh berbeda dengan apa yang dihadapi masyarakat Arab di zaman dulu. Mungkin juga letak geografis di mana Islam diturunkan dengan letak geografis Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya memberikan inspirasi bagi lahirnya sebuah tafsir baru terhadap doktrin dan dogma keagamaan.
Perbedaan konteks dan sejarah inilah yang menyebabkan perlunya pembacaan yang bersifat distingtif antara antara Syari’ah dan maqashid al-Syari’ah. Selama ini ada upaya untuk menguniversalisasikan Syariat untuk semua zaman dan tempat. Apa yang diproduk ulama pada masa lalu dianggap sebagai solusi bagi problem kemanusiaan kontemporer. Ini bukan tanpa konsekuensi. Akibatnya, Syari’at sebagai pranata nilai yang komprehensif menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan (‘ibadah mahdhah) dan hubungan manusia dengan manusia dan makhluk lainnya (mu’amalah), mengalami kemandulan. Yang tampak kepermukaan adalah wajah fiqih yang keras, kaku dan rigid. Fiqih sebagai cara mengambil kesimpulan sebuah hukum yang berasal dari sumber asli agama (Al-Qur’an dan Hadits) pada akhirnya juga menjadi sangat teosentris, karena fiqih lebih dianggap sebagai otoritas pengetahuan daripada upaya memfungsionalisasikan doktrin keagamaan utnuk menyelsaikan ketegangan yang terjadi dalam realitas sehari-hari. Dr. Yusuf Qardhawi  melihat kenyataan mandulnya fiqih ini ditandai dengan sistematisasi fiqih yang dimulai dengan pembahasan mengenai ibadah. Menurutnya, karakteristik fiqih seperti ini telah memandulkan cara pandang fiqih terhadap masalah-masalah sosial, politik dan ekonomi.
Karenanya, Qardhawi mengajukan alternatif pemikiran agar fiqih direformasi menjadi fiqih realitas (fiqh ul-waqi’) dan fiqih prioritas (fiqh al-awlawiyat), yaitu fiqih yang dapat dijadikan sinaran baru bagi problem kemanusiaan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal ini, Syariat diharapkan tidak lagi hanya bercorak vertikalistik, yang hanya mengupas masalah hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan mencoba merambah masalah-masalah kemanusiaan. Fiqih didesak untuk menyentuh  isu-isu kesetaraan gender (fiqih al-mar’ah), ketatanegaraan (fiqh al-dawlah), kewarganegaraan (fiqh al-muwathanah) dan lain-lain. Di sini semakin terlihat, bahwa mendinamisasikan fiqih merupakan langkah awal guna mendekonstruksi Syariat dari wajahnya yang statis, eksklusif dan diskriminatif menjadi Syariat yang dinamis, inklusif dan egalitarianistik.
Al-Syatibi dalam fiqh maqasidhnya itu menghendaki agar ilmu dasar-dasar fiqih diwacanakan kembali. Bahkan, menurut dia, ilmu dasar-dasar fiqih mrupakan tujuan utama diletakkannya fiqih. Karenanya, fiqh maqashid bersifat definitive (qath’iy). Sedangkan fiqih sebagai cara mengambil kesimpulan  hukum bersifat hipotesis. Fiqih-fiqih yang diproduksi ulama di zaman dahulu pada hakekatnya bersifat relative, karena pandangan mereka lebih merupakan hipotesis-hipotesis yang  tidak bisa digunakan untuk mengatasi berbagai persoalan di banyak tempat dan zaman. Madzhab yang mereka kembangkan mempunyai konteksnya tersendiri, sehingga jika ditarik ke dalam konteks yang berbeda, maka perlu di uji ulang perihal aktualitas dan kontekstualitasnya.
Dalam reformasi fiqih, Al-Syatibi sebagai penganut madzhab Imam Maliki menulis sebuah kerangka umum Syari’at. Menurutnya, dalam Syari’at terdapat beberapa varian yang mesti dipahami secara utuh, antara lain; hukum, tujuan umum, dalil dan ijtihad. Hal ini menunjukkan bahwa Syari’at  tidak hanya hukum belaka, karena ada varian lain yang sangat penting, yaitu tujuan-tujuan utama (Maqashid Al-Syari’ah) diturunkannya syariat kepada manusia. Dan tujuan-tujuan tersebut merupakan nilai-nilai yang sangat prinsipil dalam islam. Jika diperas dan dicari inti sarinya, maka tujuan-tujuan utama syariat adalah “kemaslahatan”, yang didefinisikan sebagai “mengambil yang bermanfaat dan menghindari yang merusak.”
Pandangan seperti ini mencerminkan sebuah cara pandang yang terbuka terhadap doktrin-doktrin keagamaan, Imam al-Syatibi memberikan sinaran baru terhadap Syariat. Menurutnya, agama tidak hanya memuat ajaran yang menekankan aspek ritual dan perdebatan, tetapi juga membawa misis kemaslahatan bagi manusia. Dimensi kemanusiaan inilah yang kurang diapresiasi secara lebih mendalam oleh pengkaji fiqih, sehingga yang terjadi hanya perhatian terhadap masalah-masalah ritual belaka.
Tidak ada pilihan lain, kecuali mengedepankan visi kemaslahatan syariat. Persoalan-persoalan kemanusiaan perlu disentuh dengan nilai-nilai yang memberikan keberpihakan terhadap mereka yang selama ini diabaikan oleh pandangan ulama klasik. Fiqih kontemporer sejatinya lebih terbuka dalam elihat masalah-masalah kemanusiaan. Bukan hanya itu, fiqih sebisa mungkin menunjukkan keberpihakannya pada mereka yang selama ini dilupakan para ulama klasik.
Realitas tersebut menunjukkan betapa pentingya pembaruan fiqih. Sebab bila tidak, hanya ada dua kemungkinan buruk yang mesti diterima sebagi sebuah kenyataan; fiqih akan jumud dan beku, atau yang paling ektrem, fiqih akan dijadikan ajang kontestasi untuk merebut kekuasaan. Karena itu, tidak ada pilihan lain, kecuali mengembalikan fiqih kepada semangatnya yang terbuka dan progresif. Dan langkah ini merupakan langkah-langkah mulia yang mesti diprioritaskan, sehingga fiqih dapat memotret isu-isu kemanusiaan dan hubungan antar agama secara lebih mendasar. Bahkan jika bisa dimaksimalkan, fiqih bisa dijadikan mediator untuk merekatkan hubungan agama yang dijamin dengan adanya produk-produk fiqih yang memberikan ruang gerak bagi agama lain.
Tentu saja, fiqih yang terbuka, dan progresif sangat bergantung kepada pemahaman teologi yang pluralis pula. Sebab, fiqih yang mengedepankan penolakan terhadap kelompok atau komunitas lain memang merupakan produk dari teologi eksklusif. Atas dasar itu, buku itu akan diawali dengan kajian-kajian teologi pluralis sebagai pijakan bagi fiqih lintas agama.

D.  Pijakan Keimanan Bagi Fiqih Lintas Agama

1.    Nabi Sebagai Petunjuk Jalan Menuju Kebenaran

Setiap kaum mempunyai nabi, yaitu petunjuk jalan menuju kebenaran, dan tidak ada satu umat pun kecuali telah pernah dating kepadanya seorang pemberi peringatan. Dalam Al-Quran surat An-Nahl ayat 36 menegaskan bahwa pada setiap umat, atau golongan ada seorang nabi. Salah satu pokok keimanan dalam Islam ialah percaya kepada sekalian para Nabi dan Rasul. Al-Qur’an menyebut bahwa Allah telah mengutus rasul (Arab; rasul, utusan, dalam hal ini rasul-u ‘l-Lah) untuk setiap golongan manusia. Nabi Muhammad sendiri pernah menjelaskan bahwa jumlah keseluruhan nabi di muka bumi sepanjang masa adalah 124.000 dan dari kalangan mereka itu 315 orang bertindak sebagai utusan atau rasul Allah. Selain ajaran pokok Ketuhanan Yang Maha Esa (tawhid) itu, para rasul juga menyerukan perlawanan kepada thaghut, yakni kekuatan jahat dan salim (QS. 16;36). Kaum beriman harus percaya kepada seluruh nabi dan rasul, tanpa membeda-bedakan seorang pun dari lainnya, dengan sikap berserah diri (Islam) kepada Tuhan. Selain ajaran pokok Ketuhanan Yang Maha Esa (tawhid) itu, para rasul juga menyerukan perlawanan kepada thaghut, yakni kekuatan jahat dan salim (QS. 16;36). Kaum beriman harus percaya kepada seluruh nabi dan rasul, tanpa membeda-bedakan seorang pun dari lainnya, dengan sikap berserah diri (Islam) kepada Tuhan.

2.    Tentang Din dan Syir’ah

Buku fiqih lintas agama menegaskan prinsip-prinsip hubungan antar agama yang badapat diturunkan dari Al-Quran menjelaskan bahwa di dalam Al-Quran (2;148 dan 4;48) menegaskan  adanya pluralitas itu dalam “berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan, koeksistensi damai, dan keadilan, serta perlakuan yang sama.” Itulah titik pusat ajaran pluralitas dalam Al-Qur’an, yang oleh banyak kalangan dipandang sebagai sangat unik karena semangatnya yang serba mencakup dan meliputi agama-agama lain. Oleh karena ajaran yang all-inclusive itu, Al-Quran memerintahkan kepada seluruh umat manusia), “Mereka, para Nabi itu, adalah orang-orang yang telah dibimbing Allah. Maka dengan bimbingan merekaitulah engkau, Muhammad, harus meneladani. Katakanlah, hai Muhammad, “Aku tidak meminta bayaran kepada kamu atas petunjuk itu. Semua itu adalah semata-mata peringatan bagi seluruh alam”. (QS. Al-An’am ayat 90).

3.    Ajakan Menuju Titik Temu Antaragama

Jika umat kristiani meyakini Yesus atau Isa "hanya" sebagai nabi/rasul Allah, sebagai manusia biasa dan bukan anak Tuhan apalagi  sebagai "Tuhan", maka sejatinya, telah ada titik temu antara umat Islam dengan kristiani. Demikian pula dengan kaum Yahudi yang hanya meyakini Musa sebagai rasul lalu mengikuti ajaran tauhid yang didakwahkan Nabi Musa, maka sebenarnya, keyakinan ini telah mencapai titik temu dengan apa yang juga diyakini umat Islam. Kabar tentang Nabi Isa (Yesus) maupun Nabi Musa juga telah diterangkan dalam Al-Quran. Tidak satupun kisah para nabi/rasul dalam Al-Quran yang bertolak belakang, apalagi keliru dalam menceritakan para nabi/rasul dan umat-umat terdahulu. Itu artinya, Al-Quran juga mengakomodir masa lalu dan tentu saja sebagai kitab suci yang sama-sama diturunkan Allah kepada nabi-Nya, maka Al-Quran memiliki posisi yang amat penting yaitu sebagai pembenar dan penyempurna isi kitab-kitab sebelumnya.
Al-Quran memiliki hubungan dengan kitab-kitab terdahulu seperti injil, taurat dan zabur. Sebagai kitab suci Al-Quran jelas lebih sempurna dan lengkap sesuai dengan konteks umat zaman akhir yang diturunkan sebagai mukjizat terbesar bagi Rasulullah. Baik dalam injil maupun taurat, juga telah menjelaskan tentang nabi akhir zaman tersebut, yakni Nabi Muhammad yang sesungguhnya semua ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) berkewajiban menyakini Muhammad sebagai nabi sebagaimana umat Islam juga meyakini nabi-nabi terdahulu. Artinya, jika umat kristiani dan yahudi juga meyakini Nabi Muhammad sebagai seorang rasul dan nabi, maka sebenarnya telah ada titik temu. Hanya masalahnya, maukah semua umat mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW yang sama-sama nabi dan rasul seperti halnya Nabi Isa dan Nabi Musa.Yang membedakan adalah bahwa posisi Nabi Muhammad sebagai nabi pamungkas, tentu saja, ajarannya lebih sempurna karena ia diutus untuk semua umat manusia, tidak hanya pada kaum dan bangsa tertentu. Semestinya, dengan logika yang bersih, semua umat manusia yang menerima dan meyakini Al-Quran dan mau mengikuti Nabi Muhammad, seorang nabi akhir zaman yang juga telah dikabarkan di dalam kitab-kitab terdahulu, dan bahkan dinanti-nantikan kehadiran oleh Ahli Kitab tempo dulu. Ketuhanan (tauhid) dan kenabian ini sama-sama disadari oleh seluruh Ahli Kitab dan semua umat beragama di seluruh dunia, maka titik temu itu tidak akan mempertajam perbedaan. Justru, dengan kesadaran ini, semua umat manusia akan mampu saling membangun masa depan dunia yang lebih cerah dan bermanfaat bagi kehidupan. Sebab sejatinya, fungsi manusia di bumi ini berposisi sebagai khalifah Allah untuk mengatur alam semesta dengan baik dan jalan yang diridloi-Nya.

4.    Ajakan Kehanifan (Hanifiyah). Ajaran non-Sektarian dan non-Komunalistik

Perkataan “hanif” menunjukkan kepada yang murni, suci dan benar dengan titik inti pandangan Ketuhanan yang Maha Esa atau Tauhid, sedangkan perkataan “muslim” menunjukkan kepada pengertian sikap tunduk (din) dan pasrah total hanya pada kemurnian, kesucian dan kebenaran itu, yang ada di atas segalanya ialah tunduk dan pasrah total kepada Tuhan Yang Maha Esa (Islam). Kedua pengertian itu merupakan hakikat kemanusiaan yang paling asasi dan abadi (perennial), sebagai kelanjutan atau konsekuensi adanya perjanjian primordial antara manusia dan Tuhan untuk menghambakan dirinya kepada Tuhan, dan berbuat kebaikan yang bakal menghatarkan kembali kepada Penciptanya itu (QS. Al-A’raf ayat 172). Untuk menerima agama yang hanif, yang merupakan fitrah manusia, diingatkan agar manusia memiliki semangat kembali kepada-Nya, bertakwa kepada-Nya, menegakkan sembahyang, dan janganlah tergolong kaum musyrik (mereka yang memecah belah agama mereka), lalu menjadi berkelompok-kelompok, setiap golongan membanggakan apa yang ada pada mereka (akibatnya, antara lain, merasa paling benar) (QS. 30; 31-32).

5.    Sebaik-baik Agama adalah ”Kehanifan yang Lapang”

Sebagian dari karakteristik utama kehanifan itu adalah kelapangan yang tulus dan bersih serta alami. Maka, kehanifan dan kemusliman dapat pula disebut agama fitrah. Rasulullah menegaskan bahwa “sebaik-baiknya agama ialah kehanifan yang lapang (al-hanifiyah al-samhah) (hadits tercantum sebagai judul Kitab Al-Imam dalam Shahih Bukhari, dari riwayat Imam Ahmad, “Dari Ibn Abbas, Ia menuturkan, ditanya Rasulullah. “Agama yang manakah yang paling dicintai Allah?, Beliau menjawab,’Kehanifan yang lapang’). Kelapangan itu merupakan bagian integral dari kehanifan. Kehanifan adalah naluri paling mendalam dalam diri manusia untuk mencari, merindukan dan akhirnya memihak atau condong kapada kebenaran, kesucian, dan kebaikan. Sikap ini harus dibiarkan bekerja dan berproses secara bebas dan lapang agar berhasil mencapai tujuannya. Segi kelapangan ini juga ditegaskan oleh Nabi SAW dalam sebuah hadis, “Hari ini biarlah kaum Yahudi tahu bahwa dalam agama kita terdapat kelapangan. Sesungguhnya aku diutus dengan kehanifan yang lapang” (Hadits riwayat Imam Ahmad).

6.    Ajaran Semua Agama adalah “Kepasrahan Kepada Tuhan” Al-Islam, Agama Kemanusiaan, Al-Islam Agama Fitrah

Dari sudut pandang kaum Muslim, agama alam semesta ialah al-Islam, sikap pasrah yang total kepada Sang Maha Pencipta. Kitab Suci memberikan berbagai ilustrasi tentang ketundukan, ketaatan dan kepasrahan alam semesta kepada Tuhan. Dari segi tasrif, perkataan “Islam” adalah amsdar atau “kata benda kerja” (verbal noun) dari kata kerja “aslama-yuslimu”, sama halnya dengan perkataan ”iman” yang merupakan masdar dari kata kerja “amana-yu’minu” yang artinya “mempercayai” atau “bersikap percaya”. Oleh sebab itu, dalam bahasa Indonesia dapat dinyatakan sebagai sikap “ber-iman” dan “ber-islam”. Pada setiap pribadi manusia, wujud bimbingan Ilahi itu dimulai dengan adanya perjanjian primordial (terjadi sebelum lahir ke bumi) dalam suatu kesaksian dan pengakuan oleh manusia bahwa Allah, Tuhan Yang Maha Esa, adalah Tuan (rabb) manusia. Kesaksian dan pengakuan itu mengandung makna kesediaan untuk tunduk, patuh, taat dan pasrah atau berislam kepada-Nya. Seluruh tindakan manusia di dunia akan dipertanggungjawabkan kelak di hari kiamat (QS. 7;172). Adanya perjanjian itu juga digambarkan dalam ayat-ayat yang lain, baik langsung maupun tidak langsung seperti dalam surat Yasin/36;60.
Berdasarkan perjanjian ini, tidak ada sifat kemanusiaan yang lebih asasi dari pada naluri untuk mengabdi, atau hasrat alami untuk menyembah. Jika naluri alamiah itu tidak tersalurkan dengan baik dan benar, manusia cenderung akan menempuh jalan kebburukan dan kesesatan. Ia berpotensi untuk lupa akan perjanjian primordialnya dengan Tuhan. Dalam sebuah hadits terkenal Rasulullah bersabda bahwa setiap anak dilahirkan dalam fitrah (kesucian), namun kedua orang tuanyalah yang dapat membuat anak itu menyimpang dari fitrah. Dalam konteks ini orang tua adalah wakil lingkungan social budaya sekitar, yang melalui mereka seorang anak dapat bersinggungan, berkenalan dan kemudian menyertai pola-pola kehidupan yang belum tentu sesuai dengan fitrah. Di sini perlu digaris bawahi  bahwa sekalipun para nabi mengajarkan pandanagn hidup yang disebut Al-Islam, tidaklah berarti bahwa mereka dan kaumnya menyebut secara harfiah ajaran mereka al-Islam dan mereka sendiri sebagai orang-orang muslim. Sebab semua itu adalah peristilahan dalam bahasa Arab, sementara para nabi dan rasul, sebsgaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, dibangkitkan Allah dengan menggunakan bahasa kaumnya masing-masing (QS. 14;4). Oleh karena itu penyebutan orang muslim dan ajaran atau agama mereka sebagai al-Islam dalam arti generic, tetap benar dan dibenarkan, hanya saja sedikit melibatkan masalah kebahasaan, seperti sudah dicoba jelaskan di atas.

7.    Konsep Ahl al-Kitab; Pengakuan Terhadap Para Penganut Kitab Suci

Sehubungan dengan pandangan mengenal titik temu agama-agama, konsep Islam mengenai ahl Al-Kitab dapat dipahami sebagai petunjuk tentang kesinambungan tradisi agama-agama Ibrahim. Ahl Al-Kitab (baca; “ahlul-kitab”, untuk lebih mudahnya dibaca; Ahli Kitab, secara harfiah berarti “yang mempunyai Kitab.”) ialah konsep yang memberi pengakuan tertentu kepada para penganut agama di luar Islam yang memiliki kitab suci. Sikap ini tidaklah bermaksud memandang semua agama sama suatu hal yang mustahil, mengingat agama-agama yang ada berbeda-beda dalam banyak hal yang prinsipil. Akan tetapi, sikap Islam ini bermaksud memberi pengakuan sebatas hak masing-masing untuk bereksistensi dengan kebebasan menjalankan agama mereka masing-masing.
Konsep Ahli Kitab ini juga berdampak pada budaya dan peradaban Islam dengan cara membuka peluang munculnya kosmopolitanisme dan tata masyarakat yang terbuka dan toleran. Ini antara lain dicatat dengan penuh penghargaan oleh para ahli tentang peristiwa pembebasan (fath) Spanyol oleh tentara muslim. Sebutan “Ahli Kitab” dengan sendirinya tertuju kepada golongan bukan Muslim, dan tidak ditujukan kepada kaum Muslim sendiri, meskipun mereka ini juga menganut kitab suci yaitu Al-Qur’an. Ahli kitab tidak tergolong kaum Muslim, karena mereka tidak mengakui, atau bahkan menentang, kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad serta ajaran yang beliau sampaikan. Oleh karena itu dalam terminologi al-Qur’an mmereka disebut “kafir”, yakni “yang menentang” atau “yang menolak” ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad.
Menurut Abdul Hamid hakim seorang ulama dari Padang Panjang, Sumatera Barat dalam bukunya al-Mu’in al-Mubin, mereka yang menolak Nabi Muhammad dan ajaran beliau dapat dikenali menjadi tiga kelompok; (1) mereka yang sama sekali tidak memiliki kitab suci, (2) mereka yang memiliki semacam kitab suci dan (3) mereka yang memiliki kitab suci yang jelas ini ialah kaum Yahudi dan Nasrani. Mereka inilah yang dalam al-Qur’an dengan tegas dan langsung disebut kaum ahli kitab. Nabi Muhammad hanyalah salah seorang dari deretan para nabi dan rasul yang telah tampil dalam pentas sejarah umat manusia. Untuk itu para pengikut Nabi Muhammad diwajibkan percaya kepada para Nabi dan Rasul terdahulu serta kitab-kitab suci mereka. rukun Iman (pokok kepercayaan) Islam mencakup kewajiban beriman kepada para nabi dan rasul terdahulu beserta kitab-kitab suci mereka, sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an. (QS. 3;84-85)

8.    Konsekuensi Iman Kepada Semua Nabi; Ahli Kitab di Luar Yahudi dan Nasrani

Para ulama’ atau imam madzhab memiliki pendapat yang berbeda. Sebagaimana yang pemakalah jumpai di buku Fiqih Lintas Agama bahwa, Imam Syafi’i menganggap bahwa istilah ahli kitab hanyalah untuk orang Yahudi dan Nasrani keturunan Israel, bukan bangsa-bangsa lain, sebab menurutnya, Nabi Musa dan Isa diturunkan untuk bangsa Israel, bukan untuk bangsa lain. Tetapi pendapat tersebut dibantah oleh Imam Abu Hanifa yang menganggap bahwa siapapun yang mempercayai seorang nabi yang pernah diturunkan Allah maka ia merupakan Ahli Kitab.
Sehubungan dengan hal ini Ibnu Taimiyah dalam Manhaj al-Sunnah menuturkan adanya sebuah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang menyebutkan bahwa Nabi memerintahkan untuk memperlakukan kaum Majusi seperti Ahli Kitab. Muhammad Rasyid Ridha, tokoh pembaharu Islam, juga mengutip sebuah hadits yang disitu Ali binAbi Thalib menegaskan bahwa kaum majusi adalah tergolong Ahli Kitab. Rasyid Ridha membahas masalah ini dalam ulasan dan tafsirnya terhadap al-Qur’an surat al-Maidah/5:5, berkenaan dengan hukum perkawinan dengan wanita Ahli Kitab dan memakan makanan makanan mereka. Rasyid Ridha menegaskan bahwa di luar kaum Yahudi dan Nasrani juga Ahli Kitab, dan dia menyebut-nyebut tidak saja kaum Majusi dan Sabi’in, tetapi juga Hindhu, Budha dan Konghuchu. Pembahasan Rasyid Ridha dapat dilihat dalam kitab tafsirnya, Al-Manar.

9.    Menegaskan Kesinambungan dan Kesamaan Agama-agama

Meskipun para pemeluk kitab suci Al-Qur’an, Taurat dan Injil menyadari beberapa perbedaan di antara mereka, Al-Qur’an dan didukung oleh kajian keagamaan modern lebih banyak memandang adanya titik-titik persamaan dibandingkan titik-titik perbedaannya. Maka pada prinsipnya kitab-kitab suci tersebut tidak boleh dikonfrontasikan, tetapi justru harus dicari dan dihayati dasar-dasar pertemuannya. Al-Qur’an tidak menghendaki konfrontasi serupa itu, karena Kitab Suci kaum Muslim melihat dirinya sebagai kelanjutan yang konsisten dari injil dan Taurat, bahkan kitab-kitab para nabi sebelumnya.
Segi persamaan yang sangat asasi antara semua kitab suci adalah ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berbeda dengan persoalan kaum musyrik yang pada zaman Nabi tinggal di kota Makkah. Kepada mereka inilah dialamatkan firman Allah, “Katakanlah (Muhammad),” Aku tidak menyembah yang aku sembah bagi kamu agamamu, dan bagiku agamaku” (Surat Al-Kafirun ayat 6) Ayat yang sangat menegaskan perbedaan konsep “sesembahan” ini ditujukan kepada kaum musyrik Quraisy dan bukan kepada Ahli Kitab.
Dan atas dasar persamaan tersebut, Al-Qur’an memuat perintah Allah kepada Nabi agar berseru kepada semua penganut kitab suci untuk berkumpul dalam titik kesamaan, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa (QS. 3;64). Bahkan kepada Yahudi dan kaum Nasrani pun diserukan untuk menaati ajaran-ajaran yang diturunkan Allah adalah orang-orang kafir, orang-orang zalim (dialamatkan kepada kaum Yahudi),dan mereka itu orang-orang fasik (dialamatkan kepada kaum Nasrani) (QS. 5;44-47).

E.  Fiqih Yang Peka Keragaman Ritual Meneguhkan Inklusivisme Islam

1.    Mengucapkan Salam Kepada Non-Muslim

Salam secara bahasa artinya selamat. Oleh karena itu, orang yang mengucapkan salam kepada orang lain, seolah ia berkata, ”Saya mendo’akanmu agar selamat dari segala sesuatu yang membahayakanmu.” Mengucapkan salam merupakan kesunnahan yang sangat agung karena mengandung do’a keselamatan kepada saudara sesama Islam dan merupakan pembeda antara manusia dan hewan yang hidupnya hanya berorientasi untuk menyalurkan syahwat dan nafsu.[15] Hadis nabi melalui Anas Ibn Malik yang mengatakan bahwa Nabi berkata; “Apabila Ahli Kitab mengucapkan salam, maka jawablah; Wa’alaykum”.[16] Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim ini menunjukkan bahwa orang-orang Muslim wajib menjawab salam yang diucapkan oleh Ahli Kitab, tentu saja salam yang wajib dijawab oleh orang-orang Muslim bukan hanya salam Ahli Kitab tetapi juga salam orang-orang non-Muslim.
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim melalui Abdullah Ibn Amru dapat dijadikan rujukan untuk mengetahui apakah mengucapkan salam kepada orang non-Muslim boleh atau dilarang. Hadis ini menceritakan bahwa seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah s.a.w, tentang Islam yang mana yang terbaik. Nabi menjawab; “Memberikan makanan dan membaca salam kepada siapa yang engkau kenal dan siapa yang tidak engkau kenal.[17] Penetapan hukum mengucapkan salam kepada orang-orang non-Muslim harus berdasar pada kemaslahatan dan hikmah. Di Indonesia banyak orang Muslim dan orang non-Muslim bersahabat, atau paling tidak, tidak bermusuhan. Dalam konteks seperti itu, bertolak dari kemaslahatan dan hikmah mengucapkan salam kepada orang-orang non-Muslim adalah tidak dilarang.

2.        Mengucapkan “Selamat Natal” dan Selamat Hari Raya Agama-agama Lain

Dalam suasana natal yang dirayakan oleh umat Kristen, pada tempatnya umat islam emngenang dan menghayati ucapan selamat natal yang diucapkan oleh nabi Isa dan diabadikan oleh Al-Qur’an; “Salam sejahtera untukku pada hari kelahiranku, wafatku dan kebangkitanku kelak” (QS. 19;33). Sebelum mengucapkan salam tersebut, kita mengingat ajaran Al-Qur’an bahwa “Isa adalah hamba Allah yang diperintahkan salat, zakat, mengabdi kepada ibu, tidak bersifat congkak, dan tidak pula celaka” (QS. Maryam; 30-32), dan ucapannya ditutup dengan berkata kepada umatnya; “Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku, maka sembahlah Dia. Ini adalah jalan yang lurus”. (QS. Maryam, ayat 36)
Inilah selamat natal ala Al-Qur’an, lanjut ulama besar ini. Adakah seorang Muslim yang enggan atau melarang ucapan Selamat Natal dengan maksud demikian, sambil mempertimbangkan situasi dan kondisi ketika ucapan selamat itu diucapkan? Rasanya dan logikanya; Tidak! Semoga perasaan dan logika ini tidak keliru dan tidak pula disalahpahami. Yang lebih utama adalah tujuan mengucapkan “Selamat Natal”. Bagi orang-orang Muslim, pada umumnya, tujuannya adalah untuk pergaulan, persaudaraan, dan persahabatan. Pergaulan, persaudaraan, dan persahabatan adalah kemaslahatan. Dengan tujuan kemaslahatan, dan tentu saja tanpa mengorbankan akidah, mengucapkan “Selamat Natal” tentu saja dibolehkan.

3.    Menghadiri Perayaan Hari-hari Besar Agama-agama Lain

Hari-hari besar agama lain? Yasser Arafat dan istrinya, Suha (24 Desemeber 1999) menghadiri Misa Tengah Malam di Gereja Saint Catherine di Bethlehem, dan menghadiri perayaan malam Natal di gereja kelahiran Kristus di kota yang sama, setelah menghadiri dan mengikuti acara tarawih di masjid dekat gereja itu. Di gereja itu Arafat berdo’a untuk perdamaian. Kebiasaan itu dilakukan Arafat setiap tahun, kecuali tahun 2002 karena dilarang oleh penguasa Israel. Pada malam yang sama di Banja Luka, Bosnia Herzegovina, orang-orang Serbia dan orang-orang muslim bergabung dengan 400-an orang Kroasia Katholik merayakan Misa tengah malam. Suasana itu merupakan cerminan kerukunan antara komunitas-komunitas dari pemeluk agama-agama yang berbeda di kota yang beberapa tahun sebelumnya dilanda konflik berdarah penuh kekerasan. Amin Rais (ketua MPR/mantan Ketua PP Muhammadiyah) menghadiri perayaan Natal di Gereja Sentrum Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara (19 Desember 2000). Dengan perasaan terharu di saat menyaksikan kelompok Qasidah Kampong Jawa Tondano menyanyikan lagu Torang Samua Basudara dalam perayaan Natal itu yang juga dihadiri oleh ulama muslim. Dalam pidatonya Amin berujar: Saya betul-betul terharu menyaksikan praktik kehidupan rukun dan damai masyarakat di tempat ini. Sungguh ini menjadi pengalaman amat berharga bagi kita semua.

4.    Do’a Bersama (Doa Antar Agama)

Do’a adalah ucapan permohonan dan pujian kepada Allah SWT dengan cara-cara tertentu. Menurut bahasa (lughah) do’a berarti memanggil, dari asal kata da’aa yad’u du’a. sedangkan menurut istilah, do’a adalah sepenuh hati memohon kepada Allah SWT, berharap memperoleh kebaikan dari sisi-Nya, tadharru’ (merendahkan diri) kepada-Nya agar tercapai apa yang dimintanya dan yang diharapkannya, demikian menurut Muhammad Sayyid Thantawi. Sedangkan menurut al-Khatthabi al-Busti, hakikat do’a adalah permohonan seorang hamba kepada Rabb-Nya akan pertolongan-Nya, yang berarti menampakkan rasa butuh dan menyandarkan daya dan kekuatan hanya kepada-Nya.[18]
Do’a artinya meminta atau memohon kepada Allah SWT dengan rasa butuh dan kerendahan hati. Keadaan orang kafir itu ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, orang kafirnya masih hidup dan kemungkinan kedua dia sudah meninggal.
Kita diperbolehkan mendo’akan orang kafir yang masih hidup agar diberi hidayah oleh Allah. Fakta historis menunjukkan bahwa Rasulullah SAW penah mendo’akan Umar bin Khattab agar bisa masuk Islam. Rasulullah SAW pun mendo’akan pamannya, Abu Thalib agar masuk Islam. Ini menunjukkan bahwa kita diperbolehkan mendo’akan orang kafir yang masuk hidup agar memeluk Islam. Jadi, kalau orang tua Anda masih hidup dan mereka berbeda agama dengan Anda alias masih kafir, Anda punya kesempatan untuk mendo’akan agar mereka masuk Islam.
Namun kalau mereka (orang kafir) itu sudah meninggal, kita diharamkan untuk mendo’akannya walaupun mereka itu saudara dekat kita. Hal ini dijelaskan dalam Q.S. At-Taubah ayat 113 yang artinya: “Tidaklah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam.” Dan dalam Q.S. At-Taubah ayat 84 yang artinya: “Dan janganlah kamu sekali-kali menyolatkan (jenazah) seseorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendo’akan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.”
Kesimpulannya, mendo’akan orang kafir yang masih hidup agar mereka memeluk Islam tidaklah terlarang, bahkan dianjurkan. Namun, kalau orang kafir itu sudah meninggal, haram hukumnya mendo’akan dan memohonkan ampunan untuk mereka, sekali pun mereka itu adalah orang tua kita.[19]Berdo’a untuk orang-orang non-muslim itu diperbolehkan selama bertujuan untuk kemaslahatan bersama.

5.    Mengizinkan Non-Muslim Masuk Masjid.

Masjid adalah tempat ibadah dan pendidikan dalam pengertian luas. Bukankah Al-Quran berbicara tentang segala aspek kehidupan manusia.[20] Peristiwa mengizinkan orang-orang Kristen masuk masjid dan melaksanakan kebaikan (sholat) di dalamnya telah terjadi pada zaman nabi Muhammad. Ketika Nabi telah menetap di Madinah, beliau dikunjungi oleh orang-orang Kristen dari Najran, sebuah negeri di wilayah selatan Jazirah Arab, yang berjumlah enam puluh orang. Rombongan itu dipimpin oleh Uskup Abu Haritsah ibn Al-qamah. Muhammad ibn Ja’far ibn Zubair mengatakan bahwa orang-orang Kristen dari Najran itu ketika sampai di Madinah menuju ke masjid Nabi. Ketika mereka tiba disana, Nabi dan para sahabat hendak melaksanakan shalat Ashar. Mereka mengenakan pakaian jubbah dan mantel Yaman. Ketika waktu kebaktian mereka tiba, mereka melakukan kebaktian di masjid Nabi. Dikatakan bahwa mereka memang diperkenankan oleh Nabi melaksanakan kebaktian dengan menghadap ke timur.[21] Berdasarkan peristiwa itu, Ibn Qayyim al-Jauziyah membuat kesimpulan bahwa Ahli Kitab dibolehkan masuk masjid dan bahkan dibolehkan melaksanakan kebaktian di masjid asalkan tidak dijadikan kebiasaan rutin.

F.   Fiqih “Menerima” Agama Lain Membangun Sinergi Agama-Agama

1.    Fiqih Teosentris dan Jebakan Otoritarianisme

Kritik terhadap fiqih teosentris agar tafsir keagamaan tidak dimonopoli oleh kelompok mereka saja. Proyek “Islamisasi” tersebut lambat laun akan menggerogoti Islam dari dalam, karena tafsir terhadap Islam bias Sunni dan bias kepentingan kelompok tertentu. Kita diajak untuk beranjak dari fiqih teosentris menuju fiqih yang antropologis, yaitu fiqih yang menghindari perdebatan konyol, sebagaimana terlihat dalam perdebatan fiqih ala madzhab-madzhab besar.fiqih antroposentris akan menghidupkan hakikat fiqih secara komprehensif, sebagaimana disuarakan kalangan Mu’tazilah dalam konsep al-‘adl wa al-tauhid, bahwa yang harus diutamakan adalah dimensi keadilan dan ketahuhidan.
Tergambar bahwa fiqih merupakan sebuah proses, bukan hasil yang ditawarkan dan kemudian disakralkan. Fiqih merupakan produk yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah. Dalam periode Makkah dan Madinah terdapat dua corak yang berbeda dari karakter penggunaan simbol. Dan ini yang sebenarnya mesti dipahami secara mendalam, sehingga fiqih nantinya tidak terjebak dalam penjara masa lalu. Masa lalu adalah ruang misterius yang sulit ditangkap secara sempurna, karena deskripsi sejarah yang tersedia tidak mampu merekam keseluruhan dari drama kehidupan masa lalu. Dan fiqih sepertinya memberikan ruang untuk melakukan pergulatan secara serius untuk mengontekstualisasikan doktrin-doktrin keagamaan dengan zamannya.

2.    Beberapa Dilema Fiqih Hubungan Antar Agama

Dilema disini merupakan pemandangan yang menyejarah dan senantiasa menghiasi pemikiran keagamaan kontemporer. Ini juga menunjukkan kelebihan sekaligus kelemahan fiqih, tatkala mampu “menggotong masa lalu ke masa kini”.[22] Gambaran dilema yang dihadapi fiqih hubungan antaragama, sebagaimana tertera dalam konsep ahl-Dzimmah, Konsep Jizyah, Kwain Beda Agama dan waris beda agama.

3.    Konsep Ahl-Dzimmah

Konsep ahl al-Dzimmah merupakan cikal bakal munculnya penomorduaan terhadap non-Muslim. Dalam kitab-kitab fiqih, sebagaimana disinyalir Dr. Dr. Abdul Karim Zaidan,[23] ahl al-Dzimmah adalah komunitas non-Muslim yang melakukan kesepakatan untuk hidup di bawah tanggungjawaban dan jaminan kaum Muslim. Mereka mendapat perlindungan dan kemanan. Mereka juga mendapat hak hidup dan tempat tinggal di tengah-tengah komunitas Muslim.

4.    Konsep Jizyah

Konsep jizyah merupakan titik rawan fiqih hubungan antar agama. Dalam kitab fiqih klasik, masalah jizyah tidak pernah terlewatkan. Hampir seluruh ulama fiqih mempunyai pandangan yang seragam, yaitu kewajiban orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Majusi membayar Jizyah. Melihat realitas dan konteks yang berbeda antara zaman dulu dan sekarang, maka konsep jizyah, sebaiknya tidak diambil secara harfiyah, sebagimana bunyi ayat, melainkan perlu penafsiran yang lebih maju. Di antaranya konsep tersebut bukan sebagai pemerasan dan pendiskriminasian terhadap non-Muslim, akan tetapi sebagai simbol perlindungan terhadap mereka.
Jadi konsep jizyah merupakan konsep yang kehadirannya mempunyai konteksnya tersendiri, terutama tatkala umat Muslim dan umat non-Muslim berbeda dengen peperangan. Dan dalam kondisi seperti ini, diperlukan sebuah kesepakatan yang jelas, sehingga tidak mengganggu stabilitas pemerintahan Islam. Konsep jizyah juga merupakan salah satu cara yang digunakan Al-Qur’an dan diperintahkan Tuhan bukan untuk memeras dan menomorduakan agama lain, melainkan sebagai cara untuk membangun kesepekatan yang tidak merugikan.

5.    Kawin beda Agama

Umumnya ayat-ayat Al-Quran turun sebagai jawaban atas pertanyaan atau peristiwa yang terjadi. Namun tidak selalu ayat itu turun persis demikian. Adakalanya ayat turun sebagai jawaban atas suatu pertanyaan atau peristiwa dan dalam kerangka itu, sekaligus menerangkan hal-hal lain yang ada kaitannya dengan masalah yang ditanyakan tersebut. Misalnya ayat 5 surah Al-Maidah. Ayat itu, atau ayat sebelumnya, turun untuk menjawab pertanyaan tentang makanan yang dihalalkan. Lalu sekaligus menerangkan wanita yang halal untuk dinikahi.
Adapun pernikahan dengan perempuan Ahlu-kitab ayat 5 surat Al-Maidah adalah tentang orang muslim kawin dengan wanita Ahli-kitab (Nasrani atau Yahudi) dengan cara Islam. Demikian pula ketika Sayyidina Usman bin ‘Affan kawin dengan Nailah binti Furafishah atau Nailah binti Farafadhah Al-Kalabiyah yang beragama Nasrani dan melalui beliau Na’ilah memeluk Islam.
Mengenai hukum perkawinan lelaki muslim dengan perempuan Ahli-kitab tetap. Menurut Jumhur Ulama, berdasarkan ayat yang tadi, boleh seorang lelaki muslim kawin dengan perempuan Ahli-kitab.[24] Pernikahan laki-laki non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terkait dengan konteks tertentu, di antaranya konteks dakwah Islam pada saat itu (pada zaman klasik dan pertengahan), yang mana jumlah umat muslim tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan suatu larangan.
Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat dipernolehkan (perspektif fiqih lintas agama), apapun agama dan aliran kepercatyaannnya. Hal ini merujuk pada semangat yang dibawa Al-Qur’an sendiri. Pertama, bahwa pluralitas agama merupakan sunnatullah yang tidak bisa dihindarkan. Tuhan menyebut agama-agama samawi dan mereka membawa ajaran amal saleh sebagai orang yang akan bersama-Nya di surga nanti.[25] Bahkan Tuhan juga secara eksplisit menyebutkian agar perbedaan jenis kelamin dan suku sebagai tanda agar satu dengan yang lainnya saling mengenal. Dan pernikahan antar beda agama dapat dijadikan salah satu ruang, yang mana antara penganut agama dapat saling berkenalan secara lebih dekat.
Menikah menurut salah satu dari sunnah nabi kepada umatnya. Terdapat hadis yang “memerintahkan” para muda-mudi untuk menikah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhori da Muslim melalui sahabat Nabi ‘Abdullâh bin Mas’ûd. Bunyinya adalah, “Wahai para pemuda, siapa di antara kaliah yang mampu kawin, maka hendaklah dia kawin. Itu lebih baik dapat menjadikan pandangan tunduk (tidak liar ke kanan dan kiri) dan lebih membentengi kemaluan. Barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa adalah perisai baginnya.[26]
Hadits ini, di samping mengarahkan para pemuda dan pemudi untuk kawin, sekaligus menggarisbawahi syarat yang harus dipenuhi yaitu “kemampuan untuk kawin”. Kemampuan tersebut, mencakup kematangan mental, kemampuan fisik serta khusus bagi pria dana yang cukup untuk membina rumah tangga sakinah.

6.    Waris Beda Agama

Waris adalah orang yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal. Hubungan persaudaraan bisa berantakan jika masalah pembagian harta warisan seperti rumah atau tanah tidak dilakukan dengan adil, sejatinya hukum waris harus dikembalikan pada semangat awalnya yaitu dalam konteks keluarga, keturunan, dan menantu, apapun agamanya. Yang menjadi tujuan utama dalam waris adalah mempererat hubungan keluarga. Dan logikanya, bila Islam menghargai agama lain dan mempersilahkan pernikahan dengan agama lain, maka secara otomatis waris beda agama diperbolehkan.[27]
Dalam pandangan yang lebih jauh, hal-hal yang dilarang dalam hak waris (mawani’ al-irtsi) bukan merupakan hal yang baku dan absolut. Sewaktu-waktu hukum tersebut bisa berubah sesuai dengan konteks yang berbeda. Dulu, tatkala hukum waris ini turun, memang harus diakui adanya kekhawatiran dan ketakutan terhadap non-Muslim. Yang terjadi sebenarnya bukan hanya perbedaan agama, melainkan perbedaan kepentingan politik dan kepentingan ekonomi antara komunitas Muslm dan non-Muslim.
Sikap tersebut telah ditunjukkan oleh Umar bin Khattab, tatkala Hudzay’ah dan Thalhah menikahi Ahli Kitab. Umar berkata dengan bijak, “saya tidak melarang pernikahan tersebut, tapi saya hanya khawatir dan takut…”. Ucapan Umar ibn Khattab ini sebenarnya bukan sebagai “fatwa keagamaan”, akan tetapi lebih tepat bila disebut sebagai sikap politis. Dalam pandangan yang lebih mendasar, ayat yang digunakan para ulama fiqih diatas merupakan ayat yang tidak menunjuk langsung pada pengharaman waris beda agama, melainkan hadts yang bersifat umum. Karenanya, ayat tersebut tidak bisa secara serta merta bisa dijadikan landasan untuk melarang waris beda agama. Dalam banyak ayat, Tuhan justru mengakomodasi agama-agama langit (Kristen, Yahudi dan Shabi’ah) dan mereka yang beramal shaleh. Mereka pun akan mendapatkan surga di hari kiamat nanti.[28]

7.    Menuju Fiqih yang Peka Terhadap Pluralisme

Fiqih yang dipolitisasi hanya akan memantapkan kekuasaan. Sebaliknya, fiqih yang mendorong demokrasi, pluralisme dan egalitarianisme akan mendorong terbentuknya masyarakat yang adil dan berkeadaban. Sejarah “masyarakat utama” yang diimpikan Ibn Bajah perlu mendapatkan perhatian serius, karena budaya yang ingin dikembangkan adalah budaya yang menjunjung tinggi kemanusiaan, rasionalisme, filsafat dan oposisi terhadap negara. Muhammad Jabir al-Anshari pun melihat bahwa agama harus menjadi elan keadaban dan mendobrak tradisi nomaden (al-badawah). Tradisi nomaden, termassuk di dalamnya politisasi agama, yang hanya akan mengukuhkan kekuasaan despotik.

8.    Islam Sebagai Agama Kemanusiaan

Setiap Muslim sejatinya menginternalisasikan kemaslahatan dalam jiwanya. Adanya keselamatan dalam setiap individu menjadi modal untuk menghayati dimensi kemanusiaan. Biasanya, keselamatan dalam jiwa tumbuh melalui proses ritualisme dan praktek-praktek peribadatan yang akan mamperkukuh komitmen dan visi, bahwa setiap manusia di hadapan Tuhan adalah sama, setara dan sejajar. Ketakberdayaan makhluk Tuhan membuktikan kehausan untuk menghargai orang lain secara manusiawi. Apapun perbedaan agama, ras dan suku semestinya tidak merobohkan dimensi kemanusiaan yang telah tertancap dalam jati diri kita masing-masing.
Setiap Muslim sejatinya dapat menebarkan kedamaian dalam kehidupan sosial yang pluralistik. Kemaslahatan tidak hanya milik personal, tetapi juga milik sosial yang bersifat impersonal dan transpersonal. Kehadiran Islam semestinya bisa mendamaikan di antara dua persengketaan, percekcokan dan pertikaian. Islam juga memberikan resep dalam melakukan upaya keselamatan semesti memedomani keadlan sebagai ukuran utamanya.[29] Dalam ayat berikutnya, Al-Qur’an menyebutkan, bahwa hakkat keimanan seseorang ditentukan sejauhmana ia bisa melakukan aksi-aksi keselamatan, sehingga apapun persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat bisa diselesaikan dengan jalan damai.[30]
Pada tataran publik inilah sebenarnya agama menghadapi tantangan yang cukup serius, di antaranya gejaya kekerasan, perang dan konflik yang seringkali menghiasi kehidupan beragama, berbangsa, dan bermasyarakat serta ketidakadilan dan diskriminasi yang secara nyata mengatasnamakan agama. Karenanya, perlu cara pandang baru terhadap agama sebagai jalan keluar dari kesenjangan antara nilai-nilai universal yang idealistik dengan praktek kehidupan sehari-hari yang bersifat partikularistik.   

9.    Budaya Menerima yang Lain

Imam al-Fakhr al-Razi menggambarkan masyarakat Arab pada umumnya dalam 3 hal. Pertama, mereka pada umumnya hidup dalam kondisi alam yang sangat menantang. Dalam diri ini mereka tidak ada pilihan, kecuali “melawan”, “memerangi”, dan “membunuh”. Kedua, mereka pada ghalibnya hidup di gurun pasir yang panas, sehingga amat dimungkinkan mereka hidup dalam kepenatan dan keletihan, yang menyebabkan emosi mereka tidak terkontrol. Ketiga, mereka pada umumnya hidup dalam ketidakteraturan secara struktural. Mereka tidak mempunyai pemimpin. Mereka hidup apa adanya.
Ajaran Islam hadir dalam konteks ini memang sangat rentan pada penggunaan simbol yang kadangkala provokatif, sebagaimana menyebut mereka sebagai orang yang paling kufur dan munafik, akan tetapi di ayat lain dijelaskan, bahwa mereka sebenarnya Muslim yang belum mendapat patunjuk iman. Dalam kaitannya dengan fiqih hubungan antar agama, menarik apa yang digagas oleh Dr. Milad Hanna tentang perlunya budaya atau fiqih “menerima yang lain” (qabul al-akhar). Hal tersebut disebabkan adanya kecenderungan untuk membenturkan antar satu agama, rasa atau suku yang satu dengan yang lain, sehingga yang terpampang dalam kehidupan sehari-hari adalah kebencian dan kecurigaan pada” yang lain”. Selain itu, muncul klaim sebagai masyarakat terbaik dan terpilih dalam setiap agama, telah menyebabkan adanya perseteruan yang tajam antar penganut agama. Tesis Samuel Huntington, (clash of civilization bisa dianggap sebagai “provokasi gratis” untuk memperlebar jurang pemisah antara satu agama dengan agama yang lain. Bahkan dalam tafsir yang agak kacau, Barat dipahami banyak kalangan sebagai Kristen!    
“Menerima yang lain” adalah filosofi yang mesti ditanamkan kepada masyarakat, apapun agama, suku dan rasnya. Dan karenanya perlu beberapa langkah, antara lain; Pertama, reinterpretasi pandangan keagamaan konservatif dan fundamentalistik. Ini menjadi tanggungjawab utama kalangan agamawan guna keluar dari kungkungan dan belenggu “masa lalu” yang telah membentuk dogmatisme dan normativsme. Sikap ini tidak serta merta mengganti atau menghilangkan masa lalu dengan pandangan-pandangan yang dapat menghargai keberbedaan dan keragaman. Paling tidak,  masyarakat beragama didorong untuk “beragama ke bawah”bukan “beragama ke atas”. Peribadatan tidak lagi dimaknai hanya sekedar mengunggulkan Tuhan, melainkan juga mempunyai perhatian besar pada persoalan kemanusiaan. Di sini, sebisa mungkin agama didorong untuk menjadi lokomotif pembebasan manusia dari segala belenggu dan penindasan.

G. Meretas Kerjasama Lintas Agama

1.    Dari Toleransi Ke Dialog

Kita mengenal istilah toleransi dan kerukunan antar umat beragama yang diprakarsai oleh Depag. Dalam konteks ini, perlu disebut nama Prof.Dr.Mukti Ali. Ketika beliau menjadi menteri Agama periode 1971-1978, ia membentuk Proyek Kerukunan Hidup antar Umat Beragama yang menyelenggarakan dialog antar tokoh- tokoh agama. Depag juga membentuk Wadah Musyawarah antar Umat Beragama yang rutin menyelenggarakan pertemuan bersama. Wadah ini dibentuk bersama-sama dengan Majlis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Wali-wali Gereja se-Indonesia (KWI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi). Kita juga mengenal istilah pluralisme dan inklusivisme yang lebih banyak disuarakan oleh kalangan “swasta” (tokoh agama dan LSM).
Proyek kerukunan antar umat beragama atau toleransi dilakukan oleh pemerintah dalam konteks integrasi nasional. Sementara itu, sejauh yang kita amati ide-ide pluralisme-inklusivisme diwacanakan oleh kalangan tokoh agama karena alasan doktrinal. Yakni upaya untuk membangun persepsi bahwa agama (Islam) memang mengandung ajaran-ajaran yang mendukung gagasan pluralitas. Bahwa gagasan pluralisme itu akan mendukung integrasi nasional,menjadi alasan sekunder atau faktor ikutan (By product). Tokoh tokoh seperti Nurcholish Madjid dan Abdul Rahman Wahid, tercatat yang paling vokal menyuarakan ide pluralisme Islam. Bahkan bisa dipastikan bahwa reputasi kedua tokoh tersebut dibangun di atas hamparan ide-ide mereka mengenai pluralisme ini. Adalah menarik bahwa ide kerukunan antar umat beragama di masa Orde Baru merupakan program pemerintah. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah membimbing umat beragama untuk hidup toleran, rukun dan damai, di bawah payung negara kesatuan. Bentuk kerukunan itu sendiri dituangkan dalam program yang disebut dengan triologi kerukunan, yaitu: 1. Kerukunan intern umat Beragama. 2. Kerukunan antar Umat Beragama. 3. Kerukunan antara Umat Beragama dengan pemerintah.
Dialog agama atau iman yang belakangan ini dikembangkan mencoba melampaui formalisme semu semacam itu. Para pendialog meyakini bahwa pada tingkat tertentu iman bisa didialogkan oleh manusia. Singkatnya, iman bersifat dialogis. Yang pertama, antara Tuhan dan manusia, dan yang kedua antara sesama manusia. Dalam konteks inilah para aktivis dialog agama meyakini bahwa dialog antar iman itu bukan hanya mungkin tapi juga perlu, yaitu untuk melahirkan pemahaman yang benar terhadap keyakinan saudara mereka dari lain agama. Dengan dialog setiap pihak mengetahui masalah-masalah yang muncul atau dihadapi oleh masing-masing agama sehingga dapat menimbulkan perasaan simpati dan empati, yakni perasaan terlibat untuk ikut membantu memecahkan persoalan tersebut.   
Apabila sesorang ingin melakukan dialog yang sejati , maka ia harus berani memasuki jantung pengalaman- pengalaman keagamaan dan spiritual agama-agama lain untuk memperkaya dan menyuburkan pengalaman keagamaanya sebagaimana yang telah dilakukan oleh para mistikus, para pendukung filsafat perenial, dan para teolog yang mempunyai perhatian serius terhadap dialog. Ia harus menjumpai agama- agama lain bukan sebagai bahaya yang mengancam, tetapi sebagai kekayaan yang sangat berharga bagi agamanya tanpa melakukan konversi.

2.    Bentuk-bentuk Dialog Agama (Dialog Kehidupan, Kerja Sosial, Teologis, Spiritual)

Dengan berpijak pada sikap dan pandangan inklusif dan pluralis inilah upaya-upaya dialog antar agama dirintis dan dikembangkan. Dari dialog antar agama inilah kemudian diwacanakan kerjasama antar-agama, dengan tujuan-tujuan yang disesuaikan dengan tuntutn situasi dan kebutuhan masing-masing peserta dialog. Misalnya saja, muncul kebutuhan untuk mewacanakan perdamaian dunia dan memerangi terorisme, maka dialog antar agama dilakukan untuk ikut memberikan kontribusi bagi tujuan-tujuan tersebut. Kerjasama juga bisa dilakukan dalam bidang-bidang lain seperti pendidikan, kesehatan, penanggulangan kemiskinan, narkoba, bencana alam, penanganan konflik dan pasca konflik, dan seterusnya. Model Kimball yang menyebut beberapa bentuk dialog, sebagai berikut: (1) dialog parlementer, contohnya World’s Parliament of Religions pada 1893 di Chicago; (2) dialog kelembagaan, contohnya di Indonesia adalah yang diadakan MUI, PGI, KWI, bersama-sama dengan lembaga-lembaga dari agama Hindu, Budha, dan lain-lain; (3) dialog teologi, dengan tema-tema teologis maupun ritual tertentu, contoh di Indonesia adalah seperti yang dilaksanakan di Paramadina, Interfidei, dan lain-lain; (4) dialog dalam masyarakat dan dialog kehidupan; (5) dialog spiritual (spiritual dialogue), yaitu dialog yang mengambil lokus dan tema-tema esoterik dan pengalaman-pengalaman sufistik.

3.    Dari Dialog ke Kerjasama

Dialog dan kerjasama adalah dua hal yang sambung menyambung. Yang satu mengandalkan yang lain. Tidak ada  kerja sama tanpa didahului oleh suatu dialog. Dan dialog yang tidak berlanjut pada kerjasama merupakan dialog setengah hati, bahkan verbalisme (dalam arti, mengatakan sesuatu merasa telah melakukannya). Khazrat Inayat Khan telah member contoh bagaimana sebuah dialog (spiritual) keagamaan pada akhirnya menemukan penguatannya pada kerja-kerja sosial. Sebagai Sufi, ia tidak segan-segan menceburkan dirinya dan berkotor tangan dalam aktivitas sosial.
Yang cukup unik adalah apa yang dilakukan di Gereja Kristen Jawi Wetan, Malang. Mereka secara ritin mengadakan pelatihan bagi para pendeta di seluruh Indonesia tentang Islam, dengan para  pengajar tokoh-tokoh Islam, untuk memberi pengertian yang benar tentang agama Islam. Tidak cukup sampai di situ, mereka juga mengirim para pendeta ke pesantren-pesantren untuk lebih mengenal Islam dan masyarakat Islam. Mereka berdialog dengan para santri dan kiai. Sebaliknya, mereka juga mengundang tokoh-tokoh Islam untuk “nyatri” atau menetap selama  beberapa hari di lembaga tersebut untuk berdialog dengan kalangan gereja. Semua itu tidak mungkin dilakukan jika tidak dimotivasi oleh iklim dialogis antar-agama dan niat baik untuk menjalin kerjasama.

H.  Kesimpulan

Buku ini merupakan hasil rangkaian pertemuan dan diskusi yang dimaksudkan untuk memikirkan ulang keberadaan fiqih di tengah perkembangan zaman yang senantiasa meminta etika dan paradigm baru. Berbagai perkembangan baru akibat perubahan sosial yang sanagt dahsyat telah menyebabkan rumusan fiqih klasik sudah tidak mampu lagi menampung perkembangan kebutuhan manusia modern, termasuk soal dimensi hubungan agama-agama. Penulis dari buku ini antara lain: Nurcholish Madjid, Kautsar Azhari Noer, Komarudin Hidayat, Masdar F. Mas’udi, Zainun Kamal, Zuhairi Misrawi, Budhy Munawar-Rachman, dan Ahmad Gaus AF.
Berbagai tawaran pemikiran fiqih yang didiskusikan dalam buku ini tidaklah aneh, dan sebagaimana tampak jelas dalam pembahasan terdahulu, argumen-argumen yang disediakan buku ini hanyalah mempertegas dalil-dalil yang diabaikan banyak orang, padahal disadari semua dalil itu bermuara pada otoritas yang otentik. Oleh karena itu, tidak pernah terbetik dalam benak kita bahwa buku ini bermaksud menghalalkan hal-hal yang haram. Sebaliknya, semangat yang hendak ditekankan buku ini adalah mengembalikan segala sesuatu pada misi suci kehadiran Isam sebagai rahmatal lil ‘alamin (rahmat bagi sekalian alam).


[1] Ahmad Syafi’i Maarif, Fikih Kebinekaa,(Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2015), Cet. 1, hlm. 191
[2] Nurcholish Madjid dkk, Fiqih Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina, 2004), Cet. V, hlm. 14-15
[3] Kuntowijoyo, dkk. (2003), Begawan Jadi Capres: Cak Nur Menuju Istana, (Jakarta: KPP Paramadina), hlm. 18
[4] Hamidah, Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid-K.H. Abdurrahman Wahid: Memahami Perkembangan Pemikiran Intelektual Islam, Jurnal MIQOT Vol. XXXV No. 1 Januari-Juni 2011, hlm. 79-80
[5] Masdar Farid Mas’udi, Hak-Hak Refroduksi Perempuan, hlm. 5
[6] Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari: Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan, (Jakarta: Kompas, 2010)), hlm. 371-374
[7] Ali Jum’ah adalah Guru Besar di Fakultas Syari’ah, Universitas al-Azhar,  Kairo Mesir. Ia pernah menjadi ketua IIT untuk wilayah Mesir dan menulis sebuah buku tentang Fiqh al-Maqashid
[8] Jamaluddin Athiyah adalah Guru Besar Perundang-undangan Islam Universitas Genif, Mesir. Menulis sejumlah buku tentang pembaruan fiqih, sebagimana dituangkan dalam Jurnal Ilmiah, al-Muslim al-Mu’ashir
[9] Jamal al-Banna adalah adik kandung Hassan al-Banna, pemikir dan aktivis buruh. Dalam kaitannya dengan pembaruan fiqih, ia menulis serial buku yang diberi judul, Nahw Fiqhin Jadid
[10] Yusuf al-Qardhawi adalah pemikir muslim kontemporer terkemuka. Meraih gelar doktorya dari Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, dan beliau merupakan mantan rector di sebuah Universitas di Qatar.ia menulis sebuah buku yang secara khusus membahas pembaruan fiqih, antara lain; Fiqh Awlawiyat, al-Fiqh al-Muyassar li al-Muslim al-Mu’ashir, dan lain-lain
[11] Muahmmad Syahrur adalah pemikir muslim terkemuka, terutama setelah menulis sebuah buku yang kontroversial, al-Kitab wa al-Qurda. Dalam hal pembaruan fiqih, ia menulis buku, Nahwu Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islamy
[12] Istilah ini umumnya merujuk pada tiga generasi pertama Islam, yakni generasi sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in
[13] Dalam sidang tahunan, isu Piagam Jakarta masih menjadi  isu yang senantiasa meramaiakan perhelatan politik nasional. Ini tidak lain, karena kembalinya Piagam Jakarta ke dalam pasal 29 UUD 1945 masih disponsori sejumlah Partai Islam; antara lain; Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai bulan Bintang
[14] Keinginan untuk mendirikan Khilafah Islamiyah merupakan fenomena global dan nasinal sekaligus. Isu ini menjadi kekhasan Hizbul Tahrir, sebuahh organisasi keagamaan yang mempunyai jaringan internasional. Kelompok ini berpandangan bahwa jalan menuju kebangkitan Islam adalah dengan mendirikan kembali Khilafah Islamiyah, yaitu Negara Kesatuan  Islam untuk semua dunia islam. Seluruh dunia  Islam harus memilih satu pemimpin, yang nantinya akan memimpin seluruh dunia Islam. Sebab itu, yang menjadi kekhasan kelompok ini adalah mengajukan dinar sebagai mata uang alternative
[15] Asmaji Muchtar, Dialog Lintas Mazhab (Fiqh Ibadah dan Muamalah), (Jakarta: Amzah, 2016), Cet. I, hlm. 361
[16] Hadits diriwayatkan oleh Bukhari Muslim
[17] Musa Syahin Lasyin, Fath Mu’in,”Syarh Shahih-Muslim, Bagian Pertama” (Kairo; Maktabah Al-Jami’ah al-Azhariyyah, 1389/1970), hlm. 233.
[18] Miftahul Asror, Do’a Ma’tsur (Tuntunan Do’a menurut Al-Quran dan Sunnah), (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2007),Cet. I,  hlm. 5 
[19]Aam Amiruddin, Bedah Masalah Kontemporer1(Tanya-Jawab Aqidah dan Akhlak),(Bandung: Khazanah Intelektual, 2006), Cet. III, hlm. 171-172
[20] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran;TafsirMaudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 1996), hlm. 465
[21] Muhammad Ibn Ishaq, Sirat Rasul Allah
[22] Salah satu bukti yang cukup kongkrit adalah tersedianya buku-buku klasik, seperti kitab-kitab Imam Syafi’I, al-Umm, al-Risalah, kitab Imam al-Ghazali, ihya’ Ulumuddin, kitab Imam Malik, al-Muwattha’ dan lain-lain, sehingga kita bisa membaca buku-buku tersebut dengan mudah
[23] Abdul Karim Zaydan adalah seorang guru besar hukum Islam di Universitas Baghdad, Ia menulis buku, Ahkam Ahl al-Dzimmah wa al-Musta’mima, yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan ahl-Dzimmah
[24] A. Mustofa Bisri, Fiqih Keseharian Gus Mus, (Surabaya: Khalista, 2008), Cet. IV, hlm. 271-272
[25]  QS. Al-Baqarah, ayat 62
[26] M. Quraish Shihab, 1001 Soal Keagamaan yang Patut Anda Ketahui. (Tanggerang : Lentera Hati, 2012), hlm.562
[27] Nurcholish Madjid dkk, Fiqih Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina, 2004), Cet. V, hlm. 167
[28] QS. Al-Baqarah ayat 62
[29] QS. Hujurat ayat 9
[30] QS. Hujurat ayat 10

1 comment: