KAJIAN
ATAS PEMIKIRAN ISLAM LIBERAL INDONESIA: FIQIH LINTAS AGAMA
Arina
Maftukhati 16771027
Jurusan Pendidikan
Agama Islam
Program Pasca Sarjana
Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
A. Pendahuluan
Buku “Fiqih Lintas
Agama, Membangun Masyarakat
Inklusif-Pluralis” adalah sebuah buku yang terbit tahun 2004, kerjasama
antara Yayasan Wakaf Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foundation yang
terdiri dari 273 halaman. Buku tersebut merupakan hasil rangkaian pertemuan dan
diskusi yang ditulis secara gotong royong oleh tokoh-tokoh dan intelektual dari
lembaga-lembaga seperti, Yayasan Haramain, Lakpesdam-NU, P3M,
LSAP-Muhammadiyah, Jaringan Islam Liberal, Ma’arif Institute, Yayasan
Pendidikan Madania, PPIM, PBB-UIN, dan Yayasan Paramadina. Mereka menamakannya
sebagai “Tim Penulis Paramadina.” Orang-orang yang terlibat dalam penulisan
buku ini yaitu: Zainun Kamal, Nurcholis Madjid, Masdar F. Mas’udi, Komaruddin
Hidayat, Budhy Munawwar-Rachman, Kautsar Azhari Noer, Zuhairi Misrawi, Ahmad
Gaus AF, dan sebagai editor, Mun’im A. Sirry.
Berbeda dengan buku-buku yang terbit dari berbagai artikel
yang dalam setiap topiknya akan dapat dilihat nama penulisnya, maka dalam buku
FLA kita tidak dapat melihat hal tersebut. Dalam hal tersebut tim penulis ingin
menunjukkan bahwa buku ini merupakan hasil kesimpulan dari berbagai pertemuan
dan diskusi alot yang mereka kerjakan selama ini. Mungkin juga ini sebagai
tanggung jawab bersama, karena jika buku ini mendapat “sambutan hangat” dari
para pembacanya, maka resiko akan dihadapi dan ditanggung bersama.
Buku Fiqh Lintas Agama di dalamnya dibagi menjadi empat
bagian. Bagian pertama berisi, “Pijakan Keimanan Bagi Fiqh Lintas Agama.” Pada
bagian ke-2, tema yang diangkat adalah “Fiqh yang Peka Keragaman Ritual
Meneguhkan Inklusifisme Islam.” Sebagai kesinambungan bagian pertama. Pada
bagian ke-3, dimunculkan tema “Fiqh Menerima Agama Lain dan Membangun Sinergi
Agama-Agama.” Dan bagian ke-4 sebagai bagian terakhir dari buku Fiqih Lintas
Agama, diangkat tema “Meretas kerjasama lintas agama”.
Harus disadari bahwa dalam masyarakat yang beragam akan
menjadikan beragamnya tafsir atas teks suci keagamaan. Jika pemahaman yang berkembang
adalah yang bersifat negatif maka bukan tidak mungkin yang akan terus
berkembang adalah yang menempatkan agama-agama dalam perspektif yang masih
tertutup, sehingga memungkinkan adanya cara pandangan dan metode yang tidak
mendamaikan dalam menghargai pihak lain. Kekerasan antar agama memang hal yang
tidak disetujui oleh mayoritas umat Islam, tetapi tetap akan terjadi kekerasan berbasiskan
legitimasi agama yang dipahami secara sepihak. Oleh sebab itu, bagaimana
menempatkan kaum minoritas dalam kerangka Negara kesatuan yang berdasarkan bukan
agama, tetapi juga bukan Negara sekuler secara proporsional.[1]
Betapa pentingnya pembaruan fiqih, sebab bila tidak, hanya
ada dua kemungkinan buruk yang mesti diterima sebagai sebuah kenyataan: fiqih
akan jumud dan beku, atau yang paling ekstrem, fiqih akan dijadikan ajang
kontestasi untuk merebut kekuasaan. Karena itu, tidak ada pilihan lain, kecuali
mengembalikan fiqih kepada semangatnya yang terbuka dan progresif. Dan langkah
ini merupakan langkah mulia yang mesti diprioritaskan, sehingga fiqih dapat memotret
isu-isu kemanusiaan dan hubungan antar agama secara lebih mendasar. Bahkan jika
bisa lebih dimaksimalkan, fiqih bisa dijadikan mediator untuk merekatkan hubungan
agama yang dijamin dengan adanya produk-produk fiqih yang memberikan ruang gerak
bagi agama lain.
Tentu saja, fiqih yang terbuka dan progresif sangat
bergantung kepada pemahaman teologi yang pluralis pula. Sebab, fiqih yang
mengedepankan penolakan terhadap kelompok atau komunitas lain memang merupakan
produk dari teologi eksklusif. Atas dasar itu, buku ini akan diawali dengan
kajian-kajian teologi pluralis sebagai pijakan bagi fiqih lintas agama.[2]
Tujuan Fiqih di sini salah satunya adalah peninjauan untuk menentukan atau menitikberatkan akan kesejahteraan
masyarakat umum, demi kedamaian dan terciptanya kemakmuran warga Negara walaupun
adanya beberapa perbedaan.
B. Biografi Dan Corak
Pemikiran Penulis Buku Fiqih Lintas Agama
1.
Biografi Nurcholis Madjid
Nurcholis Madjid, yang lebih dikenal dengan
Cak Nur, dilahirkan di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur,[3]
17 Maret 1936 (26 Muharram 1358) dari keluarga kalangan pesantren. Ayah beliau
bernama Abdul Madjid, seorang kyai jebolan pesantren Tebuireng, Jombang yang
didirikan dan dipimpin oleh pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hadratus Syaikh Hasyim
Asy’ari. Ayah beliau aktif di organisasi Islam tradisional NU, dan partai
politik yang di bawah pengaruh modernisme Islam, Masyumi. Ketika NU berpisah secara
politis dengan Masyumi tahun 1952, ia tetap berada di Masyumi.
Pada waktu kecil, Cak Nur belajar di
madrasah milik orang tuanya sendiri. Cak Nur kecil juga mengikuti Sekolah
Rakyat (SR) di kampungnya. Selanjutnya, setamat Sekolah Rakyat, 1952, beliau
dimasukkan ayahnya ke Pesantren Darul ‘Ulum, Rejoso, Jombang. Namun, di Darul
‘Ulim Cak Nur hanya bertahan selama 2 tahun. Sikap tegas ayahnya yang tetap
memilih jalur politik di Masyumi dan jalur ibadah di NU, membuat Cak Nur tidak
tahan berlama-lama di Darul ‘Ulum, meskipun di sana beliau merupakan salah
seorang murid yang berprestasi. Ia meminta ayahnya agar bisa memindahkannya ke
sekolah lain. Pada tahun 1955, Cak Nur dipindahkan ke Pesantren Darussalam Gontor.
Asumsi sang ayah, Gontor merupakan pesantren Masyumi. Menurut pengakuan Cak Nur,
Gontor banyak memberi inspirasi kepadanya mengenai Modernisme dan Neo-Sektarianisme.
Pluralisme di sini cukup terjaga. Para santri boleh masuk ke organisasi NU atau
Muhammadiyah.
Cak Nur mengakui bahwa di Gontor ia
selalu meraih prestasi cukup baik. Kecerdasan Cak Nur rupanya ditangkap pula
oleh pimpinan pesantren K.H. Zarkasyi, sehingga pada tahun 1960, ketikan Cak
Nur menamatkan belajarnya, sang guru bermaksud mengirim Cak Nur ke Universitas al-Azhar,
Kairo. Tetapi karena di Mesir saat itu terjadi krisis terusan Suez yang cukup controversial,
keberangkatan Cak Nur batal. Pada akhirnya, K.H. Zarkasyi mengirim surat ke
IAIN Jakarta dan meminta agar Cak Nur dapat diterima di sana. Cak Nur diterima sebagai
mahasiswa Fakultas Adab Jurusan Sastra dan Kebudayaan Islam dan tamat pada
tahun 1968.
Sebagai aktivis HMI, Cak Nur pernah
menduduki Ketua Umum PB HMI dua periode 1966-1969 dan 1969-1971. Masa tersebut merupakan
masa yang penuh dengan problematika politik dan ekonomi. Pada tahun 1977,
beliau mengemukakan ide pembaharuannya tentang ”keharusan pembaharuan pemikiran
Islam dan masalah integrasi umat”. Beliau mengajukan perlunya konsep “sekularisasi”
dan jargon “Islam Yes, Partai Islam No” yang mengguncangkan umat Islam di
Indonesia. Dalam hal ini tampaknya beliau dipengaruhi oleh pemikiran Robert N.
Bella dalam konsep sekularisasinya. Karya Bella Beyond Belief dibaca Cak
Nur ketika beliau mengunjungi Amerika Serikat dan Timur Tengah pada tahun 1968.
Nurcholish Madjid memperoleh gelar Doktor
Filsafat dari Universitas Chicago, Amerika Serikat pada tahun 1984 dengan
predikat summa cum laude dengan disertasi berjudul Ibn Taymiyya on
Kalam and Falasafa. Dalam perjalanan organisasi dan karirnya, pada periode
1967-1974, Cak Nur menjadi Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara,
Wakil Sekjen International Islamic Federation of Student Organization (IIFSO),
dan beberapa tahun sebagai dosen IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada tahun
1973-1976, beliau dipercaya sebagai pemimpin umum majalah Mimbar Jakarta. Tahun
1978 mulai menjadi peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Prof. Fazlur Rahman, Neo-Modernis asal
Pakistan, dapat disebut ‘guru utama’ yang penting dalam pematangan intelektual Cak
Nur. Namun demikian, di antara sekian banyak tokoh yang mempengaruhi pemikirannya,
Cak Nur rupanya merasa berhutang budi kepada Buya Hamka. Seperti diungkapkan bahwa
“saya berterima kasih sekali kepada Buya”.[4]
2.
Zainun Kamal
Dr. H. Zainun Kamal, MA adalah salah seorang dosen
pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah. Beliau juga merupakan seorang peneliti
teologi Islam dan Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Suatu ketika pada tanggal 11 oktober 2013 pernah diadakan
seminar Filasafat Islam yang di adakan oleh ICAS-UP Jakarta bekerjasama dengan
Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra kali ini membahas magnum opus
al-Farabi yang berjudul Madinah Al Fadilah. Bertindak sebagai pembicara utama
kali ini adalah praktisi filsafat dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta Dr. Zainun Kamal.
Dr. Zinun Kamal dalam presentasinya menyinggung beberapa hal
yang menjadi pokok-pokok pemikiran
Al-Farabi. Beliau menyatakan bahwa beberapa filosof memandang kehidupan
dengan prinsip-prinsip yang sangat pesimis dan pandangan ini memposisikan
kehidupan dalam prisma yang mengandung irisan-irisan berlawanan yang akhirnya
menyuburkan asketisme yang keterlaluan. Hal ini berbeda dalam pandangan plato
dann para filosof yang sejalan dengannya, termasuk Al-Farabi. Beliau memandang
kehidupan dalam pandangan kosmologisnya yang begitu optimistik, bahwa manusia
memiliki kapasitas untuk mencapai kebahagiaan. Ia meletakkan
ketentuan-ketentuan ideal dalam kehidupan individu-individu manusia hingga
negara. Ia percaya bahwa keberhasilan manusia terletak pada usahanya untuk
menggapai kebahagiaan di dunia ini.
Negara utama menurut
Al-Farabi adalah sebuah negara yang mencapai titik idealitasnya di mana
masyarakatnya secara individual dan komunal diukur berdasarkan capaian-capaian
yang menjadi inti dari esensi manusia yakni terhubung secara spiritual dengan
akal aktif. Karena adalah intensitas yang berbeda bagi setiap manusia dalam
berhubungan secara spiritual dengan akal aktif ini, maka puncak dari
kepemimpinan bagi sebuah masyarakat haruslah berporos pada sosok yang telah
mencapai taraf ini. Zainun Kamal penghalal nikah antara Muslimah dengan lelaki
Nasrani, pada Hari Ahad tanggal 28 November 2004 Zainun Kamal menikahkan wanita
Muslimah. Suri Anggreni alias Fithri, dengan lelaki Kristen, Alfin Siagian, di
Hotel Kristal Pondok Indah Jakarta Selatan. Lalu pengantin diberkati pendeta di
situ. Ijab Qabul cara Islam, dibimbing oleh Dr Zainun Kamal, dosen UIN Jakarta,
dari Yayasan Wakaf Madani, Kompleks Perumahan Dosen UIN Ciputat Jakarta
Selatan.
3.
Masdar F. Mas’udi
Masdar Farid Mas’udi lahir dari ibunda
Hj. Hasanah, di Dusun Jombor, Cipete, Cilongok, Purwokerto, tahun 1954. Masdar
Farid Mas’udi merupakan putra dari Kiai Mas’udi bin Abdurrahman, adalah seorang
Kiai yang kesehariaannya mengisi pengajian majlis ta’lim di kampung tersebut. Kakeknya,
Kiai Abdurrahman, Jombor dikenal dengan pesantren salafnya yang telah dirintisnya.
Mbah Abdussomad yang makamnya sampai sekarang masih selalu diziarahi oleh
masyarakat Islam Banyumas.[5]
Setelah tamat Sekolah Dasar (SD) yang
diselesaikannya selama 5 tahun, Masdar langhsung diserahkan oleh ayahnya ke
Pesantren salaf di Tegalrejo, Masdar telah menamatkan dan menghafalkan Alfiyah
Ibnu Aqil. Selanjutnya
pindah ke Pesantren Krapyak, Yogyakarta berguru kepada Mbah kiai Ali Maksoem,
Rois Am PBNU tahun 1988-1999. Meskipun dari Tegalrejo baru menyelesaikan pendidikan
setara dengan kelas III Tsanawiyah, di Krapyak Masdar langsung diterima di
kelas III Aliyah.
Tahun 1970, selesai Aliyah, Masdar
dinasehati oleh Mbah Ali untuk tidak langsung ke IAIN, melainkan untuk ngajar
dan menjadi asisten pribadi Kiai terutama dalam tugas-tugas beliau sebagai dosen
luar biasa IAIN Sunan Kalijaga. Saya sering ditugasi oleh beliau untuk membacakan
skripsi calon-calon sarjana IAIN dan membuat pertanyaan-pertanyaan yang relevan
untuk diujikan.
Dalam kapasitasnya sebagai asisten
pribadi inilah Masdar memperoleh kesempatan langka untuk memanfaatkan perpustakaan
pribadi Mbah Ali yang berisi kitab-kitab
pilihan baik yang (klasik) maupun yang khalaf (modern).
Tahun
1972, sambil tetap tinggal dan mengajar di Pesantren Krapyak, Masdar melanjutkan
studi di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, jurusan
Tafsir-Hadis. Di masjid Jami’ IAIN, Masdar sempat menggelar tradisi baru
pengajian kitab kuning dengan mengajar Alfiyah untuk kalangan mahasiswa.
Berbagai seminar ilmiah telah diikutinya
sebagai pembicara mewakili sudut pandang Islam, baik dalam maupun luar negeri.
Antara lain, di Manila dan Mindanau (Philipina) di Kuala Lumpur (Malaysia), di
Singapura, di Kairo (Mesir), Sidney (Australia), Belanda dan Denmark. Pernah mengadakan
kunjungan di pusat-pusat keagamaan di Amerika selama 5 pekan, tahun 1986.
Penahanan tanpa peradilan itu dilakukan karena
‘dosa’ memimpin demo anti korupsi menjelang Sidang Umum MPR 1978. Tahun 1982,
setelah hijrah di Jakarta, Masdar dipilih sebagai Ketua I Pengurus Besar PMII
periode 1982-1987 mendampingi Muhyidin Arubusman sebagai Ketua Umum. Selesai
kuliah, tahun 1980 Masdar hijrah ke Jakarta dan bekerja untuk Lembaga Missi
Islam NU sambil menjadi wartawan di beberapa media ibu kota. Tahun 1985,
setelah Muktamar Situbondo, bersama dengan Kiai Irfan Zidni, Masdar ditunjuk
sebagai asisten Ketua Umum (Gus Dur) dan Rois Am di bidang Pengembangan Pemikiran
Keagamaan.
Di mulai dari halaqah Watucongol tahun 1989
tema “Memahami Kitab Kuning secara Kontekstual”, kegiatan it uterus bergulir di
berbagai daerah dengan keikutsertaan para Kiai baik yang sepuh maupun yang
muda-muda. Satu satu di antara outputnya yang monumental adalah rumusan Metode Pengambilan
Hukum yang menjadi keputusan Munas NU Lampung 1992.
Saat ini, kegiatan sehari-harinya selain
sebagai Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) juga sebagai Direktur Perhimpunan
Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta, Anggota Dewan Etik ICW (Indonesian
Corruption Wacth) dan Komisi Ombudsman Nasional (KON) serta membina pesantren Al-Bayan,
di kampung Cikiwul, Pancoran Mas, Cibadak, Sukabumi. Dengan program pendidikan
formal utamanya SMA, sudah 3 angkatan diluluskan dengan prestasi akademik yang
unggul sesuai dengan namanya. Yakni rata-rata 95 persen lulusannya diterima di
Perguruan Tinggi Negeri terbaik.
Berbagai
karya ilmiahnya berupa makalah, artikel dan juga buku telah berhasul
diterbitkan. Yang utama, berupa buku utuh, dan beberapa kumpulan tulisan
adalah: Keadilan; Risalah Zakat/Pajak dalam Islam, Islam dan Hak-Hak
Reproduksi Perempuan, Menggugat Tradisi: Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU,
Dinamika Kaum Santri, Fiqih Lintas Agama, Agama-agama, Kekerasan dan
Perdamaian, dan lain-lain.
4.
Komaruddin Hidayat
Komaruddin Hidayat
(lahir di Magelang, Jawa Tengah, 18 Oktober 1953, beliau adalah rektor
Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta untuk periode 2006-2010. Selain
sebagai akademisi, beliau juga menjadi penulis kolom di beberapa media massa.
Kemampuan inteletualitasnya ia tunjukkan dengan menjadi peneliti di beberapa
lembaga kajian dan penelitian.
Sejak
kecil Komar dekat dengan dunia Islam utamanya pesantren. Komarudin merupakan
Alumni pesantren modern Pabelan, Magelang (1969) dan Pesantren al-Iman, Muntilan
(1971). Setelah lulus dari pesantren, ia melanjutkan studi sarjana muda (BA) di
bidang Pendidikan Islam (1977) dan sarjana Lengkap (Drs.) di bidang Pendidikan
Islam (1981) di IAIN Jakarta. Komar melanjutkan studi doktoral ke luar negeri.
Beliau Meraih doktor di bidang Filsafat Barat di Middle East Techical
University, Ankara, Turkey (1990).
Pada
17 Oktober 2006, dalam rapat senat yang dipimpin oleh Azyumardi Azra, di
Auditorium utama UIN Syarif Hidayatullah, Komar terpilih sebagai rektor
universitas tersebut. Beliau memenangi pemilihan suara atas dua kandidat
lainnya yakni Prof. Dr. Masykuri Abdillah dan Prof. Dr. Suwito. Komar merupakan
kolumnis di beberapa media massa seperti Harian Kompas dan Seputar Indonesia
dan Republika. Selaku akademisi, Komar menjadi Dosen pada Fakultas Pasca
Sarjana IAIN Jakarta (sejak 1990), dosen pada Fakultas Pasca Sarjana
Universitas Indonesia (sejak 1992), dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF)
Driyarkara, sejak tahun 1993.
Selain sebagai dosen, ia juga sebagai
Dewan Redaksi majalah Ulumul Qur`an (sejak 1991), Dewan Redaksi jurnal Studia
Islamika (sejak 1994), Dewan Editor dalam penulisan Encylopedia of Islamic
World, dan Direktur pada Pusat Kajian Pengembangan Islam Kontemporer, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta (sejak 1995). Sejak tahun 1990, beliu merupakan
salah satu peneliti tetap Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta.
5.
Budhy Munawar Rachman
Budhy Munawar Rachman ialah salah satu
dari penerus pemikir Islam progresif yang melihat Islam dari kacamata yang
lebih terbuka, toleran, dan demokratis. Sebuah cakrawala idiologi yang dasarnya
dibangun oleh para tokoh Muslim pada era Nurcholish Madjid. Seperti
gurunya di Universitas Paramadina,
Nurcholish Madjid, Budhy Munawar juga dikenal sebagai penyeru pluralisme dan
kebebasan beragama. Pemikiran Budhy tentang hal itu bisa dijumpai melalui
buku-bukunya, dua di antaranya ialah Islam Pluralis dan Fiqih Lintas Agama,
yang terbit di tahun 2003, dan dengan jelas menggambarkan keberpihakan dirinya
terhadap kemanusiaan. Kesibukan Budhy Munawar sebagai pengajar Islamologi dan
Filsafat Islam Sekolah Tinggi Filsafat di Driyarkara, Budhy tak mengurangi
keaktifannya di Yayasan The Asia Foundation sebagai Program Officer
Islam and Development.
6.
Kautsar Azhari Noer
Beliau adalah dosen di UIN Syarif
Hidayatullah, Universitas Indonesia , dan Universitas Paramadina, Jakarta . Ia
banyak menulis artikel ilmiah tentang perbandingan agama, filsafat, dan tasawuf
di berbagai jurnal. Salah satu buku karyanya adalah Ibn Al-‘Arabi: Wahdat Al-Wujud
dalam Perdebatan (1995).
7.
Zuhairi Misrawi
Beliau lahir di Sumenep, Madura, Jawa Timur, 5 Februari 1977, umur 39 tahun, dikenal sebagai penulis dan
intelektual muda Nahdlatul
Ulama. Zuhairi menyelesaikan pendidikan sarjananya di Departemen
Akidah-Filsafat, Fakultas Ushuluddin, Universitas
Al-Azhar, Kairo, Mesir (1995-2000). Sepulang dari Kairo, ia langsung aktif
di Lembaga Kajian dan Sumber Daya Manusia Nahdlatul
Ulama (Lakpesdam NU)
sebagai Koordinator Kajian dan Penelitian pada 2000-2002. Saat ini ia menjabat
sebagai direktur Moderate Muslim Society dan
ketua Pondok Pesantren Baitul Muslimin.
Sejak kecil, Zuhairi telah akrab dengan dunia Islam kontemporer,
khususnya pesantren. Kemudian ia melanjutkan masa belajarnya
di pesantren TMI al Amien,
Prenduan, Sumenep, Madura selama
lima tahun (1990-1995). Dari
dunia pesantren ini, Zuhairi banyak mengenal dasar-dasar keilmuan Islam seperti Al-Quran, Tafsir, Fiqih, Sastra, dan Filsafat. Sejak di pesantren, beliau telah aktif
dalam dunia jurnalistik dan tulis menulis. Di pesantren
tersebut, ia juga sering menjadi juara I Lomba Karya Tulis Ilmiah (19931995)yang dilaksanakan oleh perpustakaan pesantren.Beliau melanjutkan pendidikan sarjananya
di Departemen Akidah-Filsafat, Fakultas Ushuluddin, Universitas
Al-Azhar, Kairo, Mesir (1995-2000).
Selama menjadi mahasiswa, kemampuan analisisnya tentang dunia Islam terus ia
kembangkan. Beliau aktif dalam dunia tulis menulis dan pernah menjadi penyunting pada buletin “Terobosan”.
Dalam dunia aktivisme, Zuhairi aktif dalam Lembaga Filsafat
Mesir dan Forum Pemuda Muslim Se-Dunia di Alexandria. Ketika di Mesir, berkat aktivitasnya
dalam dunia jurnalistik, ia berkesempatan mewawancarai beberap tokoh-tokoh
besar dalam dunia Islam seperti Yusuf
al-Qaradhawi, Sayyed Yasin, Halah Musthafa, Youhanna Qaltah, 'Athif
'Iraqi, Muhammad 'Abdul Mu'thi Bayoumi, Adonis dan Nawal Saadawi. Setelah
menyelesaikan studi di Mesir, pada 2000 ia pulang ke Indonesia dan
langsung aktif di lembaga Kajian dan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama(Lakpesdam NU)
sebagai Koordinator Kajian dan Penelitian pada 2000-2002. Bersama beberapa
tokoh muda NU lainnya, ia menerbitkan jurnal Pemikiran di kalangan Lakpesdam
berjudul Tashwirul
Afkar dan menjadi
redakturnya pada tahun 2000-2005.
Pada 2006, Zuhairi meneruskan studi pascasarjananya di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Meskipun aktif sebagai aktivis, ia
tetap produktif dalam menulis.Secara umum, tulisan-tulisannya bertemakan
pemikiran-pemikiran Islam kontemporer, politik, toleransi keagamaan,
dan dialog antaragama (inter-faith dialog). Sejak 2008 ia menjadi
direktur Moderate Modern
SocietyJakarta. Lembaga ini
merupakan sebuah lembaga riset yang
bertujuan untuk menyampaikan pendekatan moderasi dalam pembangunan Indonesia terutama
dalam hal toleransi keagamaan dan keadilan sosial di dalam masyarakat yang
plural (beragam) dan demokratis.[6]
Zuhairi
selalu mengkritik kekerasan yang mengatasnamakan agama dan ajaran Nabi,
Radikalisme dan puritanisme, baginya,
harus dilawan dengan pendekatan non-politik. Oleh karena itu, ia menjelaskan
bahwa peran organisasi
masyarakat dan
non-politik yang tidak bersentuhan dengan politik seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah begitu
sentral dan penting. Kepedulian atasdemokrasi dan pluralisme juga
perlu dikembangkan. Menurut Zuhairi, keberagaman atau pluralisme (al-ta'addudiyyah)
adalah keniscayaan yang dihadapi bangsa ini.
8.
Ahmad Gaus AF
Ahmad Gaus AF, adalah
Dosen Sastra dan Kebudayaan, Swiss German University (SGU), BSD, Tangerang. Ia
telah mempublikasikan buku-buku karyanya antara lain Passing Over (Gramedia,
1998); Islam, Negara, dan Civil Society (Paramadina, 2005); Menjadi
Indonesia (Mizan, 2006); Filantropi dalam Masyarakat Islam (Elex
Media Komputindo, 2008); Biografi Mas Tom: (Paramadina, 2006); Biografi
Djohan Effendi (Kompas, 2009); Biografi Farouk Muhammad (Mizan,
2009); Biografi Koes Hadinoto (Pustaka Irvan, 2009); Biografi Taufiq
Effendi (Kompas, 2010).
Alumnus Fakultas
Komunikasi Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta dan Pondok
Pesantren Daar el-Qolam, Banten, ini pernah menjadi Pemimpin Redaksi Paramadina
(1999-2004) dan Direktur Publikasi dan Jaringan Internasional pada LibForAll
Foundation, Amerika Serikat (2005-2008). Menjadi pembicara dalam berbagai
forum seminar baik di dalam maupun luar negeri.
Tulisan-tulisannya
dalam bentuk reportase jurnalistik, feature, artikel dan kolom tersebar
di berbagai surat kabar, majalah, dan jurnal seperti Kompas, Media
Indonesia, Republika, Suara Karya, Majalah Gatra, Majalah Matra, Majalah
Gamma, Majalah Panji, Jurnal Kultur, Jurnal Afkar, dan lain-lain.
Email: gausaf@yahoo.com
C. Latar Belakang
Penulisan Buku Fiqih Lintas Agama
Nasib disiplin fiqih
hampir sama dengan nasib disiplin ilmu tafsir dan disiplin ilmu-ilmu agama
lainnya. Seperti bahasa, tasawuf, kalam, dan filsafat Islam. Jika al-Zarkasyi
dalam al-Burhan fi ‘ulum al-Qur’an dan tafsir ialah mencapai puncak
kematangannya, bahkan siap saji dan santap, maka ilmu fiqih beserta
fundamen-fundamennya juga dianggap oleh sebagian pengkaji fiqih telah matang.
Dan karena keserbasempurnaan fiqih, lalu tugas seorang ahli fiqih hanya
dibatasi pada upaya-upaya mengadopsi, mengakomodasi dan melanjutkan keseluruhan
pemikiran dan madzhab yang dihasilkan para ulama’ terdahulu.
Sejumlah kitab fiqih
yang diajarkan di berbagai perguruan tinggi Islam, pesantren dan
sekolah-sekolah keagamaan pada umumnya hanya membacakan kembali kitab-kitab
fiqih yang ditulis para ulama’ beberapa abad yang silam. Hampir tidak ditemukan
sebuah studi yang tidak hanya membacakan, tapi lebih jauh, menyoal kembali
beberapa pandangan yang telah disampaikan para ulama’ fiqih terdahulu. Pada
umumnya, mereka hanya memproduksi pandangan-pandangan fiqih klasik, dan tidak
memproduksi pandangan-pandangan alternative yang relevan dengan konteks
kekinian. Belum lagi, khazanah fiqih yang tersedia hanya berbicara untuk
kebutuhan zamannya, bukan untuk kebutuhan zaman di mana kita hidup saat ini.
Diakui atau tidak,
fiqih yang tersedia saat ini mempunyai dilema yang mesti dikritisi lebih
mendalam, sehingga fiqih sebagai proses ijtihad dan dialektika antara doktrin
dan realita dapat bersuara kembali atas zaman yang secara kontekstual berada
sama dengan zaman di mana fiqih dikodifikasi. Tentu saja bukan basa basi jika
kita hendak menegaskan bahwa penghargaan kita terhadap hasil ijtihad ulama
terdahulu seharusnya bukan dalam bentuk pencomotan dan pandangan apa adanya,
melainkan menalar ulang atas pemikiran ijtihad dan karya-karya mereka secara
dinamis dan konstruktif.
Di antara dilema
fiqih paling serius ialah tatkala berhubungan dengan pembahasan yang melibatkan
kalangan di luar komunitasnya (non-Muslim), apapun agama dan aliran
kepercayaannya. Pada tataran ini, fiqih mengalami kelemahan yang amat luar
biasa. Dimensi keuniversalan dan kelenturan fiqih seakan-akan tersimpan di
dalam laci, atau mungkin hilang entah ke mana. Fiqih, secara implisit ataupun
eksplisit, telah menebarkan kebencian dan kecurigaan terhadap agama lain.
Ada beberapa istilah
yang selalu dianggap musuh dalam fiqih klasik, yaitu “musyrik”, “murtad” dan
“kafir”. Bila khazanah fiqih berpapasan dengan komunitas tersebut, maka sudah
barang tentu fiqih akan memberikan “kartu merah” sebagai peringatan keras dalam
menghadapi kalangan tersebut. Lalu pertanyaannya, kenapa watak fiqih klasik
bisa seperti itu? Apakah Islam memang benar-benar sebagai agama yang menebarkan
permusuhan dan kekerasan, sebagaimana dituduh banyak orientalis? Jika tidak,
apa yang mesti kita lakukan untuk menggali oase keislaman yang lebih mengedepankan semangat toleransi
dan kebersamaan?
Pertanyaan-pertanyaan
ini membuat kita harus bekerja keras dalam membaca kembali fiqih klasik. Perlu
perspektif baru terhadap fiqih, yaitu meletakkannya kembali sebagai produk
budaya atau produk yang hadir dalam zaman tertentu untuk komunitas tertentu
pula. Selama ini, bila membaca kitab-kitab fiqih, maka fiqih seakan-akan
terlalu “dimanja” dan “disakralkan” oleh pembacanya, sehingga fiqih menjadi
ilmu yang tidak terjamah secara lebih mendasar. Padahal dari segi penamaannya
saja, fiqih berarti “pemahaman”. Dan proses pemahaman mengharuskan adanya
dialektika dinamis antara teks dan konteks. Sebab, fiqih tidak lahir dari
kevakuman, melainkan sebagi respons faqih (ahli fiqih) terhadap problem
zamannya. Dalam perkembangannya saat ini, fiqih menyimpan sejumlah problematika
yang serius, antara lain: mapannya paradigma klasik dan lambannya upaya
pembaruan, sehingga dengan mudah didapatkan adanya pengulangan-pengulangan yang
tidak perlu, yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya kesenjangan.
Selain itu menurut
Abid Al-Jabir, fiqih yang dikonstruksi para ulama terdahulu tidak hanya menutup
masa depan atau masa setelah fiqih tersebut dikodifikasi, melainkann juga tidak
mengakodomi tradisi yang berkembang pada masa-masa sebelumya. Hal itu terjadi,
karena fiqih ibarat pendulum yang tidak secara tegas melakukan dialektika
epistimologis. Fiqih hanya dijadikan upaya untuk memapankan kepatuhan dan ketundukan
terhadap sebuah aliran dan madzhab tertentu. Fiqih seakan-akan harus menentukan
pilihan; Syafi;iyah, Malikiyah, Hanafiyah, atau Hanabilah.
Atas dasar ini,
diperlukan pisau pembedah guna mendongkrak kesadaran kolektif para pengkaji
fiqih kontemporer agar secara proaktif melakukan pembacaan ulang terhadap fiqih
klasik. Di satu sisi, fiqih merupakan khazanah yang menjadi kebanggaan setiap
muslim, tapi di sisi lain tak terelakkan fiqih menjadi hambatan serius dalam
menyikapi sejumlah problem kemanusiaan yang tidak disentuh para ulama
terdahulu. Karena fiqih yang tersedia adalah fiqih yang tak lagi menyemangati
zaman ini, dan bentuknya pun sangat sederhana. Sementara itu, problem kemanusiaan terus bertambah dan
pengetahuan mengalami kemajuan yang pesat, maka tak terelakkan pembaruan fiqih
sebagai solusi alternatif.
Dalam hal pembaharuan
fiqih, sebenarnya telah muncul beberapa tokoh besar, antara lain Dr. Ali Jum’ah[7]
dan Jamaluddin Athiyah[8],
Jamal Al-Banna[9]
(Mesir), Yusuf al-Qardhawi[10]
(Qatar), Muhamamd Syahrur[11]
(Suriah). Mereka melihat betapa pentingnya membaca ulang fikih klasik secara
kritis, bukan dalam hal membongkar-pasang fiqih yang ada, melainkan dalam hal
memperbarui fiqih dan ushul fiqih guna menjawab beberapa problem kekinian.
Kecenderungan untuk menyoal dan memperbarui
ushul fiqih terasa amat penting, tatkala muncul kecenderungan pemahaman
yang bersifat formalistik, radikalistik, dan fundamentalistik. Ada sebagian
kalangan, yang ingin menjadikan fiqih bukan sebagai cara atau alat untuk
memahami doktrin keagamaan, melainkan sebagai dogma yang kaku, rigid yang
ujung-ujungnya adalah formalitas Syari’at.
Faktor terpenting
yang menyebabkan kebekuan pemahaman itu ialah kecenderungan untuk mengagungkan
suatu masa tertentu sebagai masa yang paling Islami. Di kalangan aktivis
gerakan Islam berkembang suatu trend untuk menjadikan masa tertentu yang
diidentifikasikan sebagai “al-salaf al-shalih”[12]
sebagai the golden ages of Islam, sehingga diposisikan sebagai
standar kebenaran bagi setiap pemikiran dan aksi umat Islam generasi
berikutnya. Apa pun pemikiran atau praktik keberagamaan yang berkembang saat
itu dianggap sebagai yang paling benar, karena paling dekat dengan periode
Nabi. Akibatnya, setiap perkembangan yang muncul seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi dianggap sebagai ancaman terhadap Islam.
Kecenderungan
glorifikasi itu juga menyebabkan kemandegan dalam pemikiran fiqih. Rumusan
hukum dan metode istinbath yang diperkenankan ulama terdahulu dianggap
fnal, sehingga tidak dimungkinkan lagi untuk dikembangkan secara dinamis dan
kreatif, apalagi dimodifikasi. Sejumlah sarjana yang berupaya menawarkan
kemestian pemikiran ulang dalam bidang ushul fiqih bukannya disambut, melainkan
dicemooh dan tak jarang diisolasikan dari percaturan pemikiran Islam. Dr.
Hassan al-Turabi, pemikir dan arsitek utama Republik Islam Sudan, mencoba
menawarkan pemikiran cemerlang untuk meninjau ulang metodologi ushul fiqh agar
lebih kontekstual dan relevan dengan kebutuhan masyarakat Islam modern.
Namun, gagasan
cemerlang Turabi seolah membentur ruang hampa. Kaum Muslim lebih suka terbuai
dengan kerangkeng dan belenggu pemikiran fiqih yang dibuat Imam Syafi’i. Kita
lupa, Imam Syafi’i memang arsitek ushul fiqh yang paling brilian, tapi juga
karena Syafi’ilah pemikiran-pemikiran fiqih tidak berkembang selama kurang
lebih 12 abad. Sejak Syafi’i meletakkan kerangka ushul fiqihnya, para pemikir
fiqih Muslim tidak mampu keluar dari jeratan metodologinya. Hingga kini,
rumusan Syafi’i itu diposisikan begitu agung, sehingga bukan saja tak tersentuh
kritik, tapi juga lebih tinggi ketimbang nash-nash Syar’i (al-Qur’an dan
hadits). Buktinya, setiap bentuk penafsiran teks-teks selalu tunduk di bawah
kerangka Syafi’i.
Padahal,
fiqih dan ushul fiqih semestinya terus berkembang dalam menghadapi tantangan realitas kehidupan modern. Hasan Turabi menyebut sejumlah
alasan bagi perlunya pembaruan ushul fiqih. Misalnya, menurutnya, produk-produk
ushul fiqih dalam tradisi pemikiran fiqih klasik masih bersifat sangat abstrak
dan berupa wacana teoritis yang tidak mampu melahirkan pemahaman komprehensif
dan justru melahirkan perdebatan yang tak kunjung selesai. Turabi juga
berkesimpulan, fiqih kita saat ini lebih berorientasi pada ijtihad dalam
persoalan ibadah ritual dan masalah kekeluargaan, sementara persoalan hukum,
ekonomi, hubungan luar negeri, dan sebagainya belum memiliki tempat yang
semestinya dalam kajian fiqih.
Di sini tersorot
secara tajam, bahwa sebagian pengkaji dan aktivis fiqih terjebak dalam kubangan
fatalisme, sehingga wacana fiqih yang semula bersifat terbuka dan beragam,
akhirnya masuk dalam wilayah politik dan upaya perebutan otoritas. Fenomenanya,
ada semacam gelembung memori kolektif untuk menghadirkan kembali sejarah yang
terkoyak (al-tarikh al-mumazzaq) dalam arena politik, tentu saja dengan
mengatasnamakan resistensi terhadap kebiadaban modernitas. Indikasinya, seperti
kecenderungan memukul beduk “Piagam Jakarta”[13]
dan “Formalisasi Syariat” yang didevirasi ke dalam “fiqih negara Islam” dan
“fiqih Khilafah Islamiyah”[14]
hampir menasional dan kian menemukan momentum politik bersamaan dengan
digelarnya desentralisasi. Formalisasi fiqih yang awalnya bersifat kultural,
pada akhirya dijadikan “mesin kekuasaan” untuk merebut kekuasaan politik. Ini
menunjukkan adanya “pendulum peradaban”, sebagaimana disebut Ibn Khaldun
sebagai “tarik ulur” yang membawa peradaban dari kemegahannya menuju
kehancuran.
Tentu saja, konteks
di masa lalu dengan masa kini dan masa yang akan datang pasti berbeda.
Masyarakat modern mempunyai logika dan sikap yang jauh berbeda dengan apa yang
dihadapi masyarakat Arab di zaman dulu. Mungkin juga letak geografis di mana
Islam diturunkan dengan letak geografis Indonesia dan beberapa negara Asia
lainnya memberikan inspirasi bagi lahirnya sebuah tafsir baru terhadap doktrin
dan dogma keagamaan.
Perbedaan konteks dan
sejarah inilah yang menyebabkan perlunya pembacaan yang bersifat distingtif
antara antara Syari’ah dan maqashid al-Syari’ah. Selama ini ada
upaya untuk menguniversalisasikan Syariat untuk semua zaman dan tempat. Apa
yang diproduk ulama pada masa lalu dianggap sebagai solusi bagi problem
kemanusiaan kontemporer. Ini bukan tanpa konsekuensi. Akibatnya, Syari’at
sebagai pranata nilai yang komprehensif menyangkut hubungan antara manusia
dengan Tuhan (‘ibadah mahdhah) dan hubungan manusia dengan manusia dan
makhluk lainnya (mu’amalah), mengalami kemandulan. Yang tampak kepermukaan
adalah wajah fiqih yang keras, kaku dan rigid. Fiqih sebagai cara mengambil
kesimpulan sebuah hukum yang berasal dari sumber asli agama (Al-Qur’an dan Hadits)
pada akhirnya juga menjadi sangat teosentris, karena fiqih lebih dianggap
sebagai otoritas pengetahuan daripada upaya memfungsionalisasikan doktrin
keagamaan utnuk menyelsaikan ketegangan yang terjadi dalam realitas
sehari-hari. Dr. Yusuf Qardhawi melihat
kenyataan mandulnya fiqih ini ditandai dengan sistematisasi fiqih yang dimulai
dengan pembahasan mengenai ibadah. Menurutnya, karakteristik fiqih seperti ini
telah memandulkan cara pandang fiqih terhadap masalah-masalah sosial, politik
dan ekonomi.
Karenanya, Qardhawi
mengajukan alternatif pemikiran agar fiqih direformasi menjadi fiqih realitas (fiqh
ul-waqi’) dan fiqih prioritas (fiqh al-awlawiyat), yaitu fiqih yang
dapat dijadikan sinaran baru bagi problem kemanusiaan yang muncul di tengah-tengah
masyarakat. Dalam hal ini, Syariat diharapkan tidak lagi hanya bercorak
vertikalistik, yang hanya mengupas masalah hubungan manusia dengan Tuhan,
melainkan mencoba merambah masalah-masalah kemanusiaan. Fiqih didesak untuk
menyentuh isu-isu kesetaraan gender (fiqih
al-mar’ah), ketatanegaraan (fiqh al-dawlah), kewarganegaraan (fiqh
al-muwathanah) dan lain-lain. Di sini semakin terlihat, bahwa
mendinamisasikan fiqih merupakan langkah awal guna mendekonstruksi Syariat dari
wajahnya yang statis, eksklusif dan diskriminatif menjadi Syariat yang dinamis,
inklusif dan egalitarianistik.
Al-Syatibi dalam fiqh
maqasidhnya itu menghendaki agar ilmu dasar-dasar fiqih diwacanakan kembali.
Bahkan, menurut dia, ilmu dasar-dasar fiqih mrupakan tujuan utama diletakkannya
fiqih. Karenanya, fiqh maqashid bersifat definitive (qath’iy). Sedangkan
fiqih sebagai cara mengambil kesimpulan
hukum bersifat hipotesis. Fiqih-fiqih yang diproduksi ulama di zaman
dahulu pada hakekatnya bersifat relative, karena pandangan mereka lebih merupakan
hipotesis-hipotesis yang tidak bisa
digunakan untuk mengatasi berbagai persoalan di banyak tempat dan zaman.
Madzhab yang mereka kembangkan mempunyai konteksnya tersendiri, sehingga jika
ditarik ke dalam konteks yang berbeda, maka perlu di uji ulang perihal
aktualitas dan kontekstualitasnya.
Dalam reformasi
fiqih, Al-Syatibi sebagai penganut madzhab Imam Maliki menulis sebuah kerangka
umum Syari’at. Menurutnya, dalam Syari’at terdapat beberapa varian yang mesti
dipahami secara utuh, antara lain; hukum, tujuan umum, dalil dan ijtihad. Hal
ini menunjukkan bahwa Syari’at tidak
hanya hukum belaka, karena ada varian lain yang sangat penting, yaitu
tujuan-tujuan utama (Maqashid Al-Syari’ah) diturunkannya syariat kepada
manusia. Dan tujuan-tujuan tersebut merupakan nilai-nilai yang sangat prinsipil
dalam islam. Jika diperas dan dicari inti sarinya, maka tujuan-tujuan utama
syariat adalah “kemaslahatan”, yang didefinisikan sebagai “mengambil yang
bermanfaat dan menghindari yang merusak.”
Pandangan seperti ini
mencerminkan sebuah cara pandang yang terbuka terhadap doktrin-doktrin
keagamaan, Imam al-Syatibi memberikan sinaran baru terhadap Syariat.
Menurutnya, agama tidak hanya memuat ajaran yang menekankan aspek ritual dan
perdebatan, tetapi juga membawa misis kemaslahatan bagi manusia. Dimensi
kemanusiaan inilah yang kurang diapresiasi secara lebih mendalam oleh pengkaji
fiqih, sehingga yang terjadi hanya perhatian terhadap masalah-masalah ritual
belaka.
Tidak ada pilihan
lain, kecuali mengedepankan visi kemaslahatan syariat. Persoalan-persoalan
kemanusiaan perlu disentuh dengan nilai-nilai yang memberikan keberpihakan
terhadap mereka yang selama ini diabaikan oleh pandangan ulama klasik. Fiqih
kontemporer sejatinya lebih terbuka dalam elihat masalah-masalah kemanusiaan.
Bukan hanya itu, fiqih sebisa mungkin menunjukkan keberpihakannya pada mereka
yang selama ini dilupakan para ulama klasik.
Realitas tersebut
menunjukkan betapa pentingya pembaruan fiqih. Sebab bila tidak, hanya ada dua
kemungkinan buruk yang mesti diterima sebagi sebuah kenyataan; fiqih akan jumud
dan beku, atau yang paling ektrem, fiqih akan dijadikan ajang kontestasi untuk
merebut kekuasaan. Karena itu, tidak ada pilihan lain, kecuali mengembalikan
fiqih kepada semangatnya yang terbuka dan progresif. Dan langkah ini merupakan
langkah-langkah mulia yang mesti diprioritaskan, sehingga fiqih dapat memotret
isu-isu kemanusiaan dan hubungan antar agama secara lebih mendasar. Bahkan jika
bisa dimaksimalkan, fiqih bisa dijadikan mediator untuk merekatkan hubungan
agama yang dijamin dengan adanya produk-produk fiqih yang memberikan ruang
gerak bagi agama lain.
Tentu saja, fiqih yang
terbuka, dan progresif sangat bergantung kepada pemahaman teologi yang pluralis
pula. Sebab, fiqih yang mengedepankan penolakan terhadap kelompok atau
komunitas lain memang merupakan produk dari teologi eksklusif. Atas dasar itu,
buku itu akan diawali dengan kajian-kajian teologi pluralis sebagai pijakan
bagi fiqih lintas agama.
D. Pijakan Keimanan Bagi
Fiqih Lintas Agama
1. Nabi Sebagai Petunjuk
Jalan Menuju Kebenaran
Setiap kaum mempunyai nabi, yaitu
petunjuk jalan menuju kebenaran, dan tidak ada satu umat pun kecuali telah
pernah dating kepadanya seorang pemberi peringatan. Dalam Al-Quran surat An-Nahl
ayat 36 menegaskan bahwa pada setiap umat, atau golongan ada seorang nabi. Salah
satu pokok keimanan dalam Islam ialah percaya kepada sekalian para Nabi dan
Rasul. Al-Qur’an menyebut bahwa Allah telah mengutus rasul (Arab; rasul,
utusan, dalam hal ini rasul-u ‘l-Lah) untuk setiap golongan manusia. Nabi
Muhammad sendiri pernah menjelaskan bahwa jumlah keseluruhan nabi di muka bumi
sepanjang masa adalah 124.000 dan dari kalangan mereka itu 315 orang bertindak
sebagai utusan atau rasul Allah. Selain ajaran pokok Ketuhanan Yang Maha Esa (tawhid)
itu, para rasul juga menyerukan perlawanan kepada thaghut, yakni
kekuatan jahat dan salim (QS. 16;36). Kaum beriman harus percaya kepada seluruh
nabi dan rasul, tanpa membeda-bedakan seorang pun dari lainnya, dengan sikap
berserah diri (Islam) kepada Tuhan. Selain ajaran pokok Ketuhanan Yang Maha Esa
(tawhid) itu, para rasul juga menyerukan perlawanan kepada thaghut,
yakni kekuatan jahat dan salim (QS. 16;36). Kaum beriman harus percaya kepada
seluruh nabi dan rasul, tanpa membeda-bedakan seorang pun dari lainnya, dengan
sikap berserah diri (Islam) kepada Tuhan.
2. Tentang Din dan Syir’ah
Buku fiqih lintas agama
menegaskan prinsip-prinsip hubungan antar agama yang badapat diturunkan dari
Al-Quran menjelaskan bahwa di dalam Al-Quran (2;148 dan 4;48) menegaskan adanya pluralitas itu dalam “berlomba-lomba dalam
berbuat kebajikan, koeksistensi damai, dan keadilan, serta perlakuan yang
sama.” Itulah titik pusat ajaran pluralitas dalam Al-Qur’an, yang oleh banyak
kalangan dipandang sebagai sangat unik karena semangatnya yang serba mencakup
dan meliputi agama-agama lain. Oleh karena ajaran yang all-inclusive
itu, Al-Quran memerintahkan kepada seluruh umat manusia), “Mereka, para Nabi
itu, adalah orang-orang yang telah dibimbing Allah. Maka dengan bimbingan
merekaitulah engkau, Muhammad, harus meneladani. Katakanlah, hai Muhammad, “Aku
tidak meminta bayaran kepada kamu atas petunjuk itu. Semua itu adalah
semata-mata peringatan bagi seluruh alam”. (QS. Al-An’am ayat 90).
3. Ajakan Menuju Titik
Temu Antaragama
Jika umat kristiani meyakini Yesus atau Isa
"hanya" sebagai nabi/rasul Allah, sebagai manusia biasa dan bukan
anak Tuhan apalagi sebagai "Tuhan", maka sejatinya, telah ada
titik temu antara umat Islam dengan kristiani. Demikian pula dengan kaum Yahudi
yang hanya meyakini Musa sebagai rasul lalu mengikuti ajaran tauhid yang
didakwahkan Nabi Musa, maka sebenarnya, keyakinan ini telah mencapai titik temu
dengan apa yang juga diyakini umat Islam. Kabar tentang Nabi Isa (Yesus) maupun
Nabi Musa juga telah diterangkan dalam Al-Quran. Tidak satupun kisah para
nabi/rasul dalam Al-Quran yang bertolak belakang, apalagi keliru dalam
menceritakan para nabi/rasul dan umat-umat terdahulu. Itu artinya, Al-Quran
juga mengakomodir masa lalu dan tentu saja sebagai kitab suci yang sama-sama
diturunkan Allah kepada nabi-Nya, maka Al-Quran memiliki posisi yang amat
penting yaitu sebagai pembenar dan penyempurna isi kitab-kitab sebelumnya.
Al-Quran
memiliki hubungan dengan kitab-kitab terdahulu seperti injil, taurat dan zabur.
Sebagai kitab suci Al-Quran jelas lebih sempurna dan lengkap sesuai dengan
konteks umat zaman akhir yang diturunkan sebagai mukjizat terbesar bagi Rasulullah.
Baik dalam injil maupun taurat, juga telah menjelaskan tentang nabi akhir zaman
tersebut, yakni Nabi Muhammad yang sesungguhnya semua ahli kitab (Yahudi dan
Nasrani) berkewajiban menyakini Muhammad sebagai nabi sebagaimana umat Islam
juga meyakini nabi-nabi terdahulu. Artinya, jika umat kristiani dan yahudi juga
meyakini Nabi Muhammad sebagai seorang rasul dan nabi, maka sebenarnya telah
ada titik temu. Hanya masalahnya, maukah semua umat mengikuti ajaran Nabi
Muhammad SAW yang sama-sama nabi dan rasul seperti halnya Nabi Isa dan Nabi
Musa.Yang membedakan adalah bahwa posisi Nabi Muhammad sebagai nabi pamungkas,
tentu saja, ajarannya lebih sempurna karena ia diutus untuk semua umat manusia,
tidak hanya pada kaum dan bangsa tertentu. Semestinya, dengan logika yang
bersih, semua umat manusia yang menerima dan meyakini Al-Quran dan mau
mengikuti Nabi Muhammad, seorang nabi akhir zaman yang juga telah dikabarkan di
dalam kitab-kitab terdahulu, dan bahkan dinanti-nantikan kehadiran oleh Ahli
Kitab tempo dulu. Ketuhanan (tauhid) dan kenabian ini sama-sama disadari oleh
seluruh Ahli Kitab dan semua umat beragama di seluruh dunia, maka titik temu
itu tidak akan mempertajam perbedaan. Justru, dengan kesadaran ini, semua umat
manusia akan mampu saling membangun masa depan dunia yang lebih cerah dan
bermanfaat bagi kehidupan. Sebab sejatinya, fungsi manusia di bumi ini berposisi
sebagai khalifah Allah untuk mengatur alam semesta dengan baik dan jalan
yang diridloi-Nya.
4. Ajakan Kehanifan
(Hanifiyah). Ajaran non-Sektarian dan non-Komunalistik
Perkataan “hanif”
menunjukkan kepada yang murni, suci dan benar dengan titik inti pandangan
Ketuhanan yang Maha Esa atau Tauhid, sedangkan perkataan “muslim” menunjukkan
kepada pengertian sikap tunduk (din) dan pasrah total hanya pada kemurnian,
kesucian dan kebenaran itu, yang ada di atas segalanya ialah tunduk dan pasrah
total kepada Tuhan Yang Maha Esa (Islam). Kedua pengertian itu merupakan
hakikat kemanusiaan yang paling asasi dan abadi (perennial), sebagai kelanjutan
atau konsekuensi adanya perjanjian primordial antara manusia dan Tuhan untuk
menghambakan dirinya kepada Tuhan, dan berbuat kebaikan yang bakal menghatarkan
kembali kepada Penciptanya itu (QS. Al-A’raf ayat 172). Untuk menerima agama
yang hanif, yang merupakan fitrah manusia, diingatkan agar manusia memiliki semangat
kembali kepada-Nya, bertakwa kepada-Nya, menegakkan sembahyang, dan janganlah
tergolong kaum musyrik (mereka yang memecah belah agama mereka), lalu menjadi
berkelompok-kelompok, setiap golongan membanggakan apa yang ada pada mereka
(akibatnya, antara lain, merasa paling benar) (QS. 30; 31-32).
5. Sebaik-baik Agama
adalah ”Kehanifan yang Lapang”
Sebagian dari
karakteristik utama kehanifan itu adalah kelapangan yang tulus dan bersih serta
alami. Maka, kehanifan dan kemusliman dapat pula disebut agama fitrah. Rasulullah
menegaskan bahwa “sebaik-baiknya agama ialah kehanifan yang lapang (al-hanifiyah
al-samhah) (hadits tercantum sebagai judul Kitab Al-Imam dalam Shahih
Bukhari, dari riwayat Imam Ahmad, “Dari Ibn Abbas, Ia menuturkan, ditanya
Rasulullah. “Agama yang manakah yang paling dicintai Allah?, Beliau menjawab,’Kehanifan
yang lapang’). Kelapangan itu merupakan bagian integral dari kehanifan.
Kehanifan adalah naluri paling mendalam dalam diri manusia untuk mencari,
merindukan dan akhirnya memihak atau condong kapada kebenaran, kesucian, dan
kebaikan. Sikap ini harus dibiarkan bekerja dan berproses secara bebas dan
lapang agar berhasil mencapai tujuannya. Segi kelapangan ini juga ditegaskan
oleh Nabi SAW dalam sebuah hadis, “Hari ini biarlah kaum Yahudi tahu bahwa
dalam agama kita terdapat kelapangan. Sesungguhnya aku diutus dengan kehanifan
yang lapang” (Hadits riwayat Imam Ahmad).
6. Ajaran Semua Agama
adalah “Kepasrahan Kepada Tuhan” Al-Islam, Agama Kemanusiaan, Al-Islam Agama
Fitrah
Dari sudut pandang kaum Muslim, agama alam semesta ialah
al-Islam, sikap pasrah yang total kepada Sang Maha Pencipta. Kitab Suci
memberikan berbagai ilustrasi tentang ketundukan, ketaatan dan kepasrahan alam
semesta kepada Tuhan. Dari segi tasrif, perkataan “Islam” adalah amsdar atau
“kata benda kerja” (verbal noun) dari kata kerja “aslama-yuslimu”, sama halnya
dengan perkataan ”iman” yang merupakan masdar dari kata kerja “amana-yu’minu”
yang artinya “mempercayai” atau “bersikap percaya”. Oleh sebab itu, dalam
bahasa Indonesia dapat dinyatakan sebagai sikap “ber-iman” dan “ber-islam”. Pada
setiap pribadi manusia, wujud bimbingan Ilahi itu dimulai dengan adanya
perjanjian primordial (terjadi sebelum lahir ke bumi) dalam suatu kesaksian dan
pengakuan oleh manusia bahwa Allah, Tuhan Yang Maha Esa, adalah Tuan (rabb)
manusia. Kesaksian dan pengakuan itu mengandung makna kesediaan untuk tunduk,
patuh, taat dan pasrah atau berislam kepada-Nya. Seluruh tindakan manusia di
dunia akan dipertanggungjawabkan kelak di hari kiamat (QS. 7;172). Adanya
perjanjian itu juga digambarkan dalam ayat-ayat yang lain, baik langsung maupun
tidak langsung seperti dalam surat Yasin/36;60.
Berdasarkan
perjanjian ini, tidak ada sifat kemanusiaan yang lebih asasi dari pada naluri
untuk mengabdi, atau hasrat alami untuk menyembah. Jika naluri alamiah itu
tidak tersalurkan dengan baik dan benar, manusia cenderung akan menempuh jalan
kebburukan dan kesesatan. Ia berpotensi untuk lupa akan perjanjian
primordialnya dengan Tuhan. Dalam sebuah hadits terkenal Rasulullah bersabda
bahwa setiap anak dilahirkan dalam fitrah (kesucian), namun kedua orang
tuanyalah yang dapat membuat anak itu menyimpang dari fitrah. Dalam konteks ini
orang tua adalah wakil lingkungan social budaya sekitar, yang melalui mereka
seorang anak dapat bersinggungan, berkenalan dan kemudian menyertai pola-pola
kehidupan yang belum tentu sesuai dengan fitrah. Di sini perlu digaris
bawahi bahwa sekalipun para nabi
mengajarkan pandanagn hidup yang disebut Al-Islam, tidaklah berarti
bahwa mereka dan kaumnya menyebut secara harfiah ajaran mereka al-Islam dan
mereka sendiri sebagai orang-orang muslim. Sebab semua itu adalah peristilahan
dalam bahasa Arab, sementara para nabi dan rasul, sebsgaimana disebutkan dalam
Al-Qur’an, dibangkitkan Allah dengan menggunakan bahasa kaumnya masing-masing
(QS. 14;4). Oleh karena itu penyebutan orang muslim dan ajaran atau agama
mereka sebagai al-Islam dalam
arti generic, tetap benar dan dibenarkan, hanya saja sedikit melibatkan masalah
kebahasaan, seperti sudah dicoba jelaskan di atas.
7. Konsep Ahl al-Kitab;
Pengakuan Terhadap Para Penganut Kitab Suci
Sehubungan dengan
pandangan mengenal titik temu agama-agama, konsep Islam mengenai ahl Al-Kitab
dapat dipahami sebagai petunjuk tentang kesinambungan tradisi agama-agama
Ibrahim. Ahl Al-Kitab (baca; “ahlul-kitab”, untuk lebih mudahnya dibaca; Ahli
Kitab, secara harfiah berarti “yang mempunyai Kitab.”) ialah konsep yang
memberi pengakuan tertentu kepada para penganut agama di luar Islam yang
memiliki kitab suci. Sikap ini tidaklah bermaksud memandang semua agama sama
suatu hal yang mustahil, mengingat agama-agama yang ada berbeda-beda dalam
banyak hal yang prinsipil. Akan tetapi, sikap Islam ini bermaksud memberi
pengakuan sebatas hak masing-masing untuk bereksistensi dengan kebebasan
menjalankan agama mereka masing-masing.
Konsep
Ahli Kitab ini juga berdampak pada budaya dan peradaban Islam dengan cara
membuka peluang munculnya kosmopolitanisme dan tata masyarakat yang terbuka dan
toleran. Ini antara lain dicatat dengan penuh penghargaan oleh para ahli
tentang peristiwa pembebasan (fath) Spanyol oleh tentara muslim. Sebutan “Ahli
Kitab” dengan sendirinya tertuju kepada golongan bukan Muslim, dan tidak
ditujukan kepada kaum Muslim sendiri, meskipun mereka ini juga menganut kitab
suci yaitu Al-Qur’an. Ahli kitab tidak tergolong kaum Muslim, karena mereka
tidak mengakui, atau bahkan menentang, kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad
serta ajaran yang beliau sampaikan. Oleh karena itu dalam terminologi al-Qur’an
mmereka disebut “kafir”, yakni “yang menentang” atau “yang menolak” ajaran yang
dibawa oleh Nabi Muhammad.
Menurut Abdul Hamid hakim seorang ulama dari Padang Panjang,
Sumatera Barat dalam bukunya al-Mu’in al-Mubin, mereka yang menolak Nabi
Muhammad dan ajaran beliau dapat dikenali menjadi tiga kelompok; (1) mereka
yang sama sekali tidak memiliki kitab suci, (2) mereka yang memiliki semacam
kitab suci dan (3) mereka yang memiliki kitab suci yang jelas ini ialah kaum
Yahudi dan Nasrani. Mereka inilah yang dalam al-Qur’an dengan tegas dan
langsung disebut kaum ahli kitab. Nabi Muhammad hanyalah salah seorang dari
deretan para nabi dan rasul yang telah tampil dalam pentas sejarah umat
manusia. Untuk itu para pengikut Nabi Muhammad diwajibkan percaya kepada para
Nabi dan Rasul terdahulu serta kitab-kitab suci mereka. rukun Iman (pokok
kepercayaan) Islam mencakup kewajiban beriman kepada para nabi dan rasul
terdahulu beserta kitab-kitab suci mereka, sebagaimana yang telah ditegaskan
dalam Al-Qur’an. (QS. 3;84-85)
8. Konsekuensi Iman Kepada
Semua Nabi; Ahli Kitab di Luar Yahudi dan Nasrani
Para ulama’ atau imam madzhab memiliki pendapat yang berbeda.
Sebagaimana yang pemakalah jumpai di buku Fiqih Lintas Agama bahwa, Imam
Syafi’i menganggap bahwa istilah ahli kitab hanyalah untuk orang Yahudi dan
Nasrani keturunan Israel, bukan bangsa-bangsa lain, sebab menurutnya,
Nabi Musa dan Isa diturunkan untuk bangsa Israel, bukan untuk bangsa lain.
Tetapi pendapat tersebut dibantah oleh Imam Abu Hanifa yang menganggap bahwa
siapapun yang mempercayai seorang nabi yang pernah diturunkan Allah maka ia
merupakan Ahli Kitab.
Sehubungan dengan hal
ini Ibnu Taimiyah dalam Manhaj al-Sunnah menuturkan adanya sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh banyak orang menyebutkan bahwa Nabi memerintahkan untuk
memperlakukan kaum Majusi seperti Ahli Kitab. Muhammad Rasyid Ridha, tokoh
pembaharu Islam, juga mengutip sebuah hadits yang disitu Ali binAbi Thalib
menegaskan bahwa kaum majusi adalah tergolong Ahli Kitab. Rasyid Ridha membahas
masalah ini dalam ulasan dan tafsirnya terhadap al-Qur’an surat al-Maidah/5:5,
berkenaan dengan hukum perkawinan dengan wanita Ahli Kitab dan memakan makanan
makanan mereka. Rasyid Ridha menegaskan bahwa di luar kaum Yahudi dan Nasrani
juga Ahli Kitab, dan dia menyebut-nyebut tidak saja kaum Majusi dan Sabi’in,
tetapi juga Hindhu, Budha dan Konghuchu. Pembahasan Rasyid Ridha dapat dilihat
dalam kitab tafsirnya, Al-Manar.
9. Menegaskan
Kesinambungan dan Kesamaan Agama-agama
Meskipun para pemeluk
kitab suci Al-Qur’an, Taurat dan Injil menyadari beberapa perbedaan di antara
mereka, Al-Qur’an dan didukung oleh kajian keagamaan modern lebih banyak
memandang adanya titik-titik persamaan dibandingkan titik-titik perbedaannya.
Maka pada prinsipnya kitab-kitab suci tersebut tidak boleh dikonfrontasikan,
tetapi justru harus dicari dan dihayati dasar-dasar pertemuannya. Al-Qur’an
tidak menghendaki konfrontasi serupa itu, karena Kitab Suci kaum Muslim melihat
dirinya sebagai kelanjutan yang konsisten dari injil dan Taurat, bahkan
kitab-kitab para nabi sebelumnya.
Segi
persamaan yang sangat asasi antara semua kitab suci adalah ajaran Ketuhanan
Yang Maha Esa. Hal ini berbeda dengan persoalan kaum musyrik yang pada zaman
Nabi tinggal di kota Makkah. Kepada mereka inilah dialamatkan firman Allah,
“Katakanlah (Muhammad),” Aku tidak menyembah yang aku sembah bagi kamu agamamu,
dan bagiku agamaku” (Surat Al-Kafirun ayat 6) Ayat yang sangat menegaskan
perbedaan konsep “sesembahan” ini ditujukan kepada kaum musyrik Quraisy dan
bukan kepada Ahli Kitab.
Dan atas dasar
persamaan tersebut, Al-Qur’an memuat perintah Allah kepada Nabi agar berseru
kepada semua penganut kitab suci untuk
berkumpul dalam titik kesamaan, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa (QS. 3;64).
Bahkan kepada Yahudi dan kaum Nasrani pun diserukan untuk menaati ajaran-ajaran
yang diturunkan Allah adalah orang-orang kafir, orang-orang zalim (dialamatkan
kepada kaum Yahudi),dan mereka itu orang-orang fasik (dialamatkan kepada kaum
Nasrani) (QS. 5;44-47).
E. Fiqih Yang Peka
Keragaman Ritual Meneguhkan Inklusivisme Islam
1.
Mengucapkan Salam Kepada Non-Muslim
Salam
secara bahasa artinya selamat. Oleh karena itu, orang yang mengucapkan
salam kepada orang lain, seolah ia berkata, ”Saya mendo’akanmu agar selamat
dari segala sesuatu yang membahayakanmu.” Mengucapkan salam merupakan
kesunnahan yang sangat agung karena mengandung do’a keselamatan kepada saudara
sesama Islam dan merupakan pembeda antara manusia dan hewan yang hidupnya hanya
berorientasi untuk menyalurkan syahwat dan nafsu.[15]
Hadis nabi melalui Anas Ibn Malik yang mengatakan bahwa Nabi berkata; “Apabila
Ahli Kitab mengucapkan salam, maka jawablah; Wa’alaykum”.[16]
Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim ini menunjukkan bahwa
orang-orang Muslim wajib menjawab salam yang diucapkan oleh Ahli Kitab, tentu
saja salam yang wajib dijawab oleh orang-orang Muslim bukan hanya salam Ahli
Kitab tetapi juga salam orang-orang non-Muslim.
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Muslim melalui Abdullah Ibn Amru dapat dijadikan rujukan untuk mengetahui
apakah mengucapkan salam kepada orang non-Muslim boleh atau dilarang. Hadis ini
menceritakan bahwa seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah s.a.w, tentang
Islam yang mana yang terbaik. Nabi menjawab; “Memberikan makanan dan membaca
salam kepada siapa yang engkau kenal dan siapa yang tidak engkau kenal.[17]
Penetapan hukum mengucapkan salam kepada orang-orang non-Muslim harus berdasar
pada kemaslahatan dan hikmah. Di Indonesia banyak orang Muslim dan orang
non-Muslim bersahabat, atau paling tidak, tidak bermusuhan. Dalam konteks
seperti itu, bertolak dari kemaslahatan dan hikmah mengucapkan salam kepada
orang-orang non-Muslim adalah tidak dilarang.
2.
Mengucapkan “Selamat Natal” dan Selamat Hari Raya Agama-agama
Lain
Dalam suasana natal
yang dirayakan oleh umat Kristen, pada tempatnya umat islam emngenang dan
menghayati ucapan selamat natal yang diucapkan oleh nabi Isa dan diabadikan
oleh Al-Qur’an; “Salam sejahtera untukku pada hari kelahiranku, wafatku dan
kebangkitanku kelak” (QS. 19;33). Sebelum mengucapkan salam tersebut, kita
mengingat ajaran Al-Qur’an bahwa “Isa adalah hamba Allah yang diperintahkan
salat, zakat, mengabdi kepada ibu, tidak bersifat congkak, dan tidak pula
celaka” (QS. Maryam; 30-32), dan ucapannya ditutup dengan berkata kepada
umatnya; “Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku, maka sembahlah Dia. Ini adalah
jalan yang lurus”. (QS. Maryam, ayat 36)
Inilah selamat natal ala Al-Qur’an,
lanjut ulama besar ini. Adakah seorang Muslim yang enggan atau melarang ucapan
Selamat Natal dengan maksud demikian, sambil mempertimbangkan situasi dan kondisi
ketika ucapan selamat itu diucapkan? Rasanya dan logikanya; Tidak! Semoga
perasaan dan logika ini tidak keliru dan tidak pula disalahpahami. Yang lebih
utama adalah tujuan mengucapkan “Selamat Natal”. Bagi orang-orang Muslim, pada
umumnya, tujuannya adalah untuk pergaulan, persaudaraan, dan persahabatan.
Pergaulan, persaudaraan, dan persahabatan adalah kemaslahatan. Dengan tujuan kemaslahatan,
dan tentu saja tanpa mengorbankan akidah, mengucapkan “Selamat Natal” tentu
saja dibolehkan.
3.
Menghadiri Perayaan Hari-hari Besar Agama-agama Lain
Hari-hari
besar agama lain? Yasser Arafat dan istrinya, Suha (24 Desemeber 1999)
menghadiri Misa Tengah Malam di Gereja Saint Catherine di Bethlehem, dan
menghadiri perayaan malam Natal di gereja kelahiran Kristus di kota yang sama,
setelah menghadiri dan mengikuti acara tarawih di masjid dekat gereja itu. Di
gereja itu Arafat berdo’a untuk perdamaian. Kebiasaan itu dilakukan Arafat
setiap tahun, kecuali tahun 2002 karena dilarang oleh penguasa Israel. Pada malam yang sama di
Banja Luka, Bosnia Herzegovina, orang-orang Serbia dan orang-orang muslim
bergabung dengan 400-an orang Kroasia Katholik merayakan Misa tengah malam.
Suasana itu merupakan cerminan kerukunan antara komunitas-komunitas dari
pemeluk agama-agama yang berbeda di kota yang beberapa tahun sebelumnya dilanda
konflik berdarah penuh kekerasan. Amin
Rais (ketua MPR/mantan Ketua PP Muhammadiyah) menghadiri perayaan Natal di
Gereja Sentrum Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara (19 Desember 2000). Dengan
perasaan terharu di saat menyaksikan kelompok Qasidah Kampong Jawa Tondano
menyanyikan lagu Torang Samua Basudara dalam perayaan Natal itu yang juga
dihadiri oleh ulama muslim. Dalam pidatonya Amin berujar: Saya betul-betul
terharu menyaksikan praktik kehidupan rukun dan damai masyarakat di tempat ini.
Sungguh ini menjadi pengalaman amat berharga bagi kita semua.
4.
Do’a Bersama (Doa Antar Agama)
Do’a adalah ucapan permohonan dan pujian
kepada Allah SWT dengan cara-cara tertentu. Menurut bahasa (lughah) do’a
berarti memanggil, dari asal kata da’aa yad’u du’a. sedangkan
menurut istilah, do’a adalah sepenuh hati memohon kepada Allah SWT, berharap
memperoleh kebaikan dari sisi-Nya, tadharru’ (merendahkan diri)
kepada-Nya agar tercapai apa yang dimintanya dan yang diharapkannya, demikian
menurut Muhammad Sayyid Thantawi. Sedangkan menurut al-Khatthabi al-Busti,
hakikat do’a adalah permohonan seorang hamba kepada Rabb-Nya akan
pertolongan-Nya, yang berarti menampakkan rasa butuh dan menyandarkan daya dan
kekuatan hanya kepada-Nya.[18]
Do’a artinya meminta atau memohon kepada
Allah SWT dengan rasa butuh dan kerendahan hati. Keadaan orang kafir itu ada
dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, orang kafirnya masih hidup dan kemungkinan
kedua dia sudah meninggal.
Kita diperbolehkan mendo’akan orang
kafir yang masih hidup agar diberi hidayah oleh Allah. Fakta historis
menunjukkan bahwa Rasulullah SAW penah mendo’akan Umar bin Khattab agar bisa
masuk Islam. Rasulullah SAW pun mendo’akan pamannya, Abu Thalib agar masuk
Islam. Ini menunjukkan bahwa kita diperbolehkan mendo’akan orang kafir yang
masuk hidup agar memeluk Islam. Jadi, kalau orang tua Anda masih hidup dan
mereka berbeda agama dengan Anda alias masih kafir, Anda punya kesempatan untuk
mendo’akan agar mereka masuk Islam.
Namun kalau mereka (orang kafir) itu
sudah meninggal, kita diharamkan untuk mendo’akannya walaupun mereka itu
saudara dekat kita. Hal ini dijelaskan dalam Q.S. At-Taubah ayat 113 yang
artinya: “Tidaklah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman
memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang
musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka bahwasanya
orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam.” Dan dalam Q.S.
At-Taubah ayat 84 yang artinya: “Dan janganlah kamu sekali-kali menyolatkan
(jenazah) seseorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri
(mendo’akan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan
Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.”
Kesimpulannya,
mendo’akan orang kafir yang masih hidup agar mereka memeluk Islam tidaklah
terlarang, bahkan dianjurkan. Namun, kalau orang kafir itu sudah meninggal,
haram hukumnya mendo’akan dan memohonkan ampunan untuk mereka, sekali pun
mereka itu adalah orang tua kita.[19]Berdo’a
untuk orang-orang non-muslim itu diperbolehkan selama bertujuan untuk
kemaslahatan bersama.
5.
Mengizinkan Non-Muslim Masuk Masjid.
Masjid adalah tempat
ibadah dan pendidikan dalam pengertian luas. Bukankah Al-Quran berbicara
tentang segala aspek kehidupan manusia.[20]
Peristiwa mengizinkan orang-orang Kristen masuk masjid dan melaksanakan
kebaikan (sholat) di dalamnya telah terjadi pada zaman nabi Muhammad. Ketika
Nabi telah menetap di Madinah, beliau dikunjungi oleh orang-orang Kristen dari
Najran, sebuah negeri di wilayah selatan Jazirah Arab, yang berjumlah enam
puluh orang. Rombongan itu dipimpin oleh Uskup Abu Haritsah ibn Al-qamah.
Muhammad ibn Ja’far ibn Zubair mengatakan bahwa orang-orang Kristen dari Najran
itu ketika sampai di Madinah menuju ke masjid Nabi. Ketika mereka tiba disana,
Nabi dan para sahabat hendak melaksanakan shalat Ashar. Mereka mengenakan
pakaian jubbah dan mantel Yaman. Ketika waktu kebaktian mereka tiba, mereka
melakukan kebaktian di masjid Nabi. Dikatakan bahwa mereka memang diperkenankan
oleh Nabi melaksanakan kebaktian dengan menghadap ke timur.[21]
Berdasarkan peristiwa itu, Ibn Qayyim al-Jauziyah membuat kesimpulan bahwa Ahli
Kitab dibolehkan masuk masjid dan bahkan dibolehkan melaksanakan kebaktian di
masjid asalkan tidak dijadikan kebiasaan rutin.
F.
Fiqih “Menerima” Agama Lain Membangun Sinergi Agama-Agama
1.
Fiqih Teosentris dan Jebakan Otoritarianisme
Kritik terhadap fiqih teosentris agar
tafsir keagamaan tidak dimonopoli oleh kelompok mereka saja. Proyek
“Islamisasi” tersebut lambat laun akan menggerogoti Islam dari dalam, karena
tafsir terhadap Islam bias Sunni dan bias kepentingan kelompok tertentu. Kita
diajak untuk beranjak dari fiqih teosentris menuju fiqih yang antropologis,
yaitu fiqih yang menghindari perdebatan konyol, sebagaimana terlihat dalam
perdebatan fiqih ala madzhab-madzhab besar.fiqih antroposentris akan
menghidupkan hakikat fiqih secara komprehensif, sebagaimana disuarakan kalangan
Mu’tazilah dalam konsep al-‘adl wa al-tauhid, bahwa yang harus
diutamakan adalah dimensi keadilan dan ketahuhidan.
Tergambar bahwa fiqih merupakan sebuah
proses, bukan hasil yang ditawarkan dan kemudian disakralkan. Fiqih merupakan
produk yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah. Dalam periode Makkah dan
Madinah terdapat dua corak yang berbeda dari karakter penggunaan simbol. Dan
ini yang sebenarnya mesti dipahami secara mendalam, sehingga fiqih nantinya
tidak terjebak dalam penjara masa lalu. Masa lalu adalah ruang misterius yang
sulit ditangkap secara sempurna, karena deskripsi sejarah yang tersedia tidak
mampu merekam keseluruhan dari drama kehidupan masa lalu. Dan fiqih sepertinya
memberikan ruang untuk melakukan pergulatan secara serius untuk
mengontekstualisasikan doktrin-doktrin keagamaan dengan zamannya.
2.
Beberapa Dilema Fiqih Hubungan Antar Agama
Dilema disini merupakan pemandangan yang menyejarah dan
senantiasa menghiasi pemikiran keagamaan kontemporer. Ini juga menunjukkan
kelebihan sekaligus kelemahan fiqih, tatkala mampu “menggotong masa lalu ke
masa kini”.[22]
Gambaran dilema yang dihadapi fiqih hubungan antaragama, sebagaimana tertera
dalam konsep ahl-Dzimmah, Konsep Jizyah, Kwain Beda Agama dan waris beda agama.
3.
Konsep Ahl-Dzimmah
Konsep ahl
al-Dzimmah merupakan cikal bakal munculnya penomorduaan terhadap
non-Muslim. Dalam kitab-kitab fiqih, sebagaimana disinyalir Dr. Dr. Abdul Karim
Zaidan,[23]
ahl al-Dzimmah adalah komunitas non-Muslim yang melakukan kesepakatan
untuk hidup di bawah tanggungjawaban dan jaminan kaum Muslim. Mereka mendapat
perlindungan dan kemanan. Mereka juga mendapat hak hidup dan tempat tinggal di
tengah-tengah komunitas Muslim.
4.
Konsep Jizyah
Konsep jizyah merupakan titik rawan fiqih hubungan antar
agama. Dalam kitab fiqih klasik, masalah jizyah tidak pernah terlewatkan. Hampir
seluruh ulama fiqih mempunyai pandangan yang seragam, yaitu kewajiban
orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Majusi membayar Jizyah. Melihat realitas dan
konteks yang berbeda antara zaman dulu dan sekarang, maka konsep jizyah,
sebaiknya tidak diambil secara harfiyah, sebagimana bunyi ayat, melainkan perlu
penafsiran yang lebih maju. Di antaranya konsep tersebut bukan sebagai
pemerasan dan pendiskriminasian terhadap non-Muslim, akan tetapi sebagai simbol
perlindungan terhadap mereka.
Jadi konsep jizyah merupakan konsep yang kehadirannya
mempunyai konteksnya tersendiri, terutama tatkala umat Muslim dan umat
non-Muslim berbeda dengen peperangan. Dan dalam kondisi seperti ini, diperlukan
sebuah kesepakatan yang jelas, sehingga tidak mengganggu stabilitas pemerintahan
Islam. Konsep jizyah juga merupakan salah satu cara yang digunakan Al-Qur’an
dan diperintahkan Tuhan bukan untuk memeras dan menomorduakan agama lain,
melainkan sebagai cara untuk membangun kesepekatan yang tidak merugikan.
5.
Kawin beda Agama
Umumnya ayat-ayat Al-Quran turun sebagai jawaban atas
pertanyaan atau peristiwa yang terjadi. Namun tidak selalu ayat itu turun
persis demikian. Adakalanya ayat turun sebagai jawaban atas suatu pertanyaan
atau peristiwa dan dalam kerangka itu, sekaligus menerangkan hal-hal lain yang
ada kaitannya dengan masalah yang ditanyakan tersebut. Misalnya ayat 5 surah
Al-Maidah. Ayat itu, atau ayat sebelumnya, turun untuk menjawab pertanyaan
tentang makanan yang dihalalkan. Lalu sekaligus menerangkan wanita yang halal
untuk dinikahi.
Adapun pernikahan dengan perempuan Ahlu-kitab ayat 5
surat Al-Maidah adalah tentang orang muslim kawin dengan wanita Ahli-kitab (Nasrani
atau Yahudi) dengan cara Islam. Demikian pula ketika Sayyidina Usman bin ‘Affan
kawin dengan Nailah binti Furafishah atau Nailah binti Farafadhah Al-Kalabiyah
yang beragama Nasrani dan melalui beliau Na’ilah memeluk Islam.
Mengenai hukum perkawinan lelaki muslim dengan perempuan Ahli-kitab
tetap. Menurut Jumhur Ulama, berdasarkan ayat yang tadi, boleh seorang lelaki
muslim kawin dengan perempuan Ahli-kitab.[24] Pernikahan
laki-laki non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan
terkait dengan konteks tertentu, di antaranya konteks dakwah Islam pada saat
itu (pada zaman klasik dan pertengahan), yang mana jumlah umat muslim tidak
sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan suatu larangan.
Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses
ijtihad, amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim
boleh menikah dengan laki-laki non Muslim, atau pernikahan beda agama secara
lebih luas amat dipernolehkan (perspektif fiqih lintas agama), apapun agama dan
aliran kepercatyaannnya. Hal ini merujuk pada semangat yang dibawa Al-Qur’an
sendiri. Pertama, bahwa pluralitas agama merupakan sunnatullah yang tidak bisa
dihindarkan. Tuhan menyebut agama-agama samawi dan mereka membawa ajaran amal
saleh sebagai orang yang akan bersama-Nya di surga nanti.[25]
Bahkan Tuhan juga secara eksplisit menyebutkian agar perbedaan jenis kelamin
dan suku sebagai tanda agar satu dengan yang lainnya saling mengenal. Dan
pernikahan antar beda agama dapat dijadikan salah satu ruang, yang mana antara
penganut agama dapat saling berkenalan secara lebih dekat.
Menikah menurut salah satu dari sunnah nabi kepada umatnya.
Terdapat hadis yang “memerintahkan” para muda-mudi untuk menikah sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Bukhori da Muslim melalui sahabat Nabi ‘Abdullâh bin
Mas’ûd. Bunyinya adalah, “Wahai para pemuda, siapa di antara kaliah yang
mampu kawin, maka hendaklah dia kawin. Itu lebih baik dapat menjadikan
pandangan tunduk (tidak liar ke kanan dan kiri) dan lebih membentengi kemaluan.
Barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa adalah
perisai baginnya.[26]
Hadits ini, di samping mengarahkan para pemuda dan pemudi
untuk kawin, sekaligus menggarisbawahi syarat yang harus dipenuhi yaitu
“kemampuan untuk kawin”. Kemampuan tersebut, mencakup kematangan mental,
kemampuan fisik serta khusus bagi pria dana yang cukup untuk membina rumah
tangga sakinah.
6.
Waris Beda Agama
Waris adalah orang yang berhak menerima
harta pusaka dari orang yang telah meninggal. Hubungan persaudaraan bisa
berantakan jika masalah pembagian harta warisan seperti rumah atau tanah tidak
dilakukan dengan adil, sejatinya hukum waris harus dikembalikan pada semangat
awalnya yaitu dalam konteks keluarga, keturunan, dan menantu, apapun agamanya.
Yang menjadi tujuan utama dalam waris adalah mempererat hubungan keluarga. Dan
logikanya, bila Islam menghargai agama lain dan mempersilahkan pernikahan
dengan agama lain, maka secara otomatis waris beda agama diperbolehkan.[27]
Dalam pandangan yang lebih jauh, hal-hal
yang dilarang dalam hak waris (mawani’ al-irtsi) bukan merupakan hal yang baku
dan absolut. Sewaktu-waktu hukum tersebut bisa berubah sesuai dengan konteks
yang berbeda. Dulu, tatkala hukum waris ini turun, memang harus diakui adanya
kekhawatiran dan ketakutan terhadap non-Muslim. Yang terjadi sebenarnya bukan
hanya perbedaan agama, melainkan perbedaan kepentingan politik dan kepentingan
ekonomi antara komunitas Muslm dan non-Muslim.
Sikap tersebut telah ditunjukkan oleh Umar
bin Khattab, tatkala Hudzay’ah dan Thalhah menikahi Ahli Kitab. Umar berkata
dengan bijak, “saya tidak melarang pernikahan tersebut, tapi saya hanya
khawatir dan takut…”. Ucapan Umar ibn Khattab ini sebenarnya bukan sebagai
“fatwa keagamaan”, akan tetapi lebih tepat bila disebut sebagai sikap politis. Dalam
pandangan yang lebih mendasar, ayat yang digunakan para ulama fiqih diatas
merupakan ayat yang tidak menunjuk langsung pada pengharaman waris beda agama,
melainkan hadts yang bersifat umum. Karenanya, ayat tersebut tidak bisa secara
serta merta bisa dijadikan landasan untuk melarang waris beda agama. Dalam
banyak ayat, Tuhan justru mengakomodasi agama-agama langit (Kristen, Yahudi dan
Shabi’ah) dan mereka yang beramal shaleh. Mereka pun akan mendapatkan surga di
hari kiamat nanti.[28]
7.
Menuju Fiqih yang Peka Terhadap Pluralisme
Fiqih yang dipolitisasi
hanya akan memantapkan kekuasaan. Sebaliknya, fiqih yang mendorong demokrasi,
pluralisme dan egalitarianisme akan mendorong terbentuknya masyarakat yang adil
dan berkeadaban. Sejarah “masyarakat utama” yang diimpikan Ibn Bajah perlu
mendapatkan perhatian serius, karena budaya yang ingin dikembangkan adalah
budaya yang menjunjung tinggi kemanusiaan, rasionalisme, filsafat dan oposisi
terhadap negara. Muhammad Jabir al-Anshari pun melihat bahwa agama harus
menjadi elan keadaban dan mendobrak tradisi nomaden (al-badawah).
Tradisi nomaden, termassuk di dalamnya politisasi agama, yang hanya akan
mengukuhkan kekuasaan despotik.
8.
Islam Sebagai Agama Kemanusiaan
Setiap Muslim sejatinya menginternalisasikan kemaslahatan
dalam jiwanya. Adanya keselamatan dalam setiap individu menjadi modal untuk
menghayati dimensi kemanusiaan. Biasanya, keselamatan dalam jiwa tumbuh melalui
proses ritualisme dan praktek-praktek peribadatan yang akan mamperkukuh
komitmen dan visi, bahwa setiap manusia di hadapan Tuhan adalah sama, setara
dan sejajar. Ketakberdayaan makhluk Tuhan membuktikan kehausan untuk menghargai
orang lain secara manusiawi. Apapun perbedaan agama, ras dan suku semestinya
tidak merobohkan dimensi kemanusiaan yang telah tertancap dalam jati diri kita
masing-masing.
Setiap Muslim sejatinya dapat menebarkan kedamaian dalam kehidupan
sosial yang pluralistik. Kemaslahatan tidak hanya milik personal, tetapi juga
milik sosial yang bersifat impersonal dan transpersonal. Kehadiran Islam
semestinya bisa mendamaikan di antara dua persengketaan, percekcokan dan
pertikaian. Islam juga memberikan resep dalam melakukan upaya keselamatan
semesti memedomani keadlan sebagai ukuran utamanya.[29]
Dalam ayat berikutnya, Al-Qur’an menyebutkan, bahwa hakkat keimanan seseorang
ditentukan sejauhmana ia bisa melakukan aksi-aksi keselamatan, sehingga apapun
persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat bisa diselesaikan dengan
jalan damai.[30]
Pada tataran publik inilah sebenarnya agama menghadapi tantangan
yang cukup serius, di antaranya gejaya kekerasan, perang dan konflik yang
seringkali menghiasi kehidupan beragama, berbangsa, dan bermasyarakat serta
ketidakadilan dan diskriminasi yang secara nyata mengatasnamakan agama. Karenanya,
perlu cara pandang baru terhadap agama sebagai jalan keluar dari kesenjangan antara
nilai-nilai universal yang idealistik dengan praktek kehidupan sehari-hari yang
bersifat partikularistik.
9.
Budaya Menerima yang Lain
Imam al-Fakhr al-Razi
menggambarkan masyarakat Arab pada umumnya dalam 3 hal. Pertama, mereka pada
umumnya hidup dalam kondisi alam yang sangat menantang. Dalam diri ini mereka
tidak ada pilihan, kecuali “melawan”, “memerangi”, dan “membunuh”. Kedua, mereka
pada ghalibnya hidup di gurun pasir yang panas, sehingga amat dimungkinkan mereka
hidup dalam kepenatan dan keletihan, yang menyebabkan emosi mereka tidak
terkontrol. Ketiga, mereka pada umumnya hidup dalam ketidakteraturan
secara struktural. Mereka tidak mempunyai pemimpin. Mereka hidup apa adanya.
Ajaran Islam hadir
dalam konteks ini memang sangat rentan pada penggunaan simbol yang kadangkala provokatif,
sebagaimana menyebut mereka sebagai orang yang paling kufur dan munafik, akan tetapi
di ayat lain dijelaskan, bahwa mereka sebenarnya Muslim yang belum mendapat patunjuk
iman. Dalam kaitannya dengan fiqih hubungan antar agama, menarik apa yang
digagas oleh Dr. Milad Hanna tentang perlunya budaya atau fiqih “menerima yang
lain” (qabul al-akhar). Hal tersebut disebabkan adanya kecenderungan
untuk membenturkan antar satu agama, rasa atau suku yang satu dengan yang lain,
sehingga yang terpampang dalam kehidupan sehari-hari adalah kebencian dan
kecurigaan pada” yang lain”. Selain itu, muncul klaim sebagai masyarakat
terbaik dan terpilih dalam setiap agama, telah menyebabkan adanya perseteruan
yang tajam antar penganut agama. Tesis Samuel Huntington, (clash of
civilization bisa dianggap sebagai “provokasi gratis” untuk memperlebar
jurang pemisah antara satu agama dengan agama yang lain. Bahkan dalam tafsir
yang agak kacau, Barat dipahami banyak kalangan sebagai Kristen!
“Menerima yang lain”
adalah filosofi yang mesti ditanamkan kepada masyarakat, apapun agama, suku dan
rasnya. Dan karenanya perlu beberapa langkah, antara lain; Pertama,
reinterpretasi pandangan keagamaan konservatif dan fundamentalistik. Ini
menjadi tanggungjawab utama kalangan agamawan guna keluar dari kungkungan dan
belenggu “masa lalu” yang telah membentuk dogmatisme dan normativsme. Sikap ini
tidak serta merta mengganti atau menghilangkan masa lalu dengan
pandangan-pandangan yang dapat menghargai keberbedaan dan keragaman. Paling
tidak, masyarakat beragama didorong
untuk “beragama ke bawah”bukan “beragama ke atas”. Peribadatan tidak lagi dimaknai
hanya sekedar mengunggulkan Tuhan, melainkan juga mempunyai perhatian besar
pada persoalan kemanusiaan. Di sini, sebisa mungkin agama didorong untuk
menjadi lokomotif pembebasan manusia dari segala belenggu dan penindasan.
G. Meretas Kerjasama
Lintas Agama
1.
Dari Toleransi Ke Dialog
Kita mengenal istilah
toleransi dan kerukunan antar umat beragama yang diprakarsai oleh Depag. Dalam
konteks ini, perlu disebut nama Prof.Dr.Mukti
Ali. Ketika beliau menjadi menteri Agama periode 1971-1978, ia membentuk Proyek
Kerukunan Hidup antar Umat Beragama yang menyelenggarakan dialog antar tokoh-
tokoh agama. Depag juga membentuk Wadah Musyawarah antar Umat Beragama yang
rutin menyelenggarakan pertemuan bersama. Wadah ini dibentuk bersama-sama
dengan Majlis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia
(PGI), Konferensi Wali-wali Gereja se-Indonesia (KWI), Parisada Hindu Dharma
Indonesia (PHDI), dan Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi). Kita juga
mengenal istilah pluralisme dan inklusivisme yang lebih banyak disuarakan oleh
kalangan “swasta” (tokoh agama dan LSM).
Proyek kerukunan antar
umat beragama atau toleransi dilakukan oleh pemerintah dalam konteks integrasi nasional.
Sementara itu, sejauh yang kita amati ide-ide pluralisme-inklusivisme
diwacanakan oleh kalangan tokoh agama karena alasan doktrinal. Yakni upaya
untuk membangun persepsi bahwa agama (Islam) memang mengandung ajaran-ajaran
yang mendukung gagasan pluralitas. Bahwa
gagasan pluralisme itu akan mendukung integrasi nasional,menjadi alasan
sekunder atau faktor ikutan (By product). Tokoh tokoh seperti Nurcholish
Madjid dan Abdul Rahman Wahid, tercatat yang paling vokal menyuarakan ide
pluralisme Islam. Bahkan bisa dipastikan bahwa reputasi kedua tokoh tersebut
dibangun di atas hamparan ide-ide mereka mengenai pluralisme ini. Adalah
menarik bahwa ide kerukunan antar umat beragama di masa Orde Baru merupakan
program pemerintah. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah membimbing umat
beragama untuk hidup toleran, rukun dan damai, di bawah payung negara kesatuan.
Bentuk kerukunan itu sendiri dituangkan dalam program yang disebut dengan
triologi kerukunan, yaitu: 1. Kerukunan intern umat Beragama. 2. Kerukunan
antar Umat Beragama. 3. Kerukunan antara Umat Beragama dengan pemerintah.
Dialog agama atau iman yang
belakangan ini dikembangkan mencoba melampaui formalisme semu semacam itu. Para
pendialog meyakini bahwa pada tingkat tertentu iman bisa didialogkan oleh
manusia. Singkatnya, iman bersifat dialogis. Yang pertama, antara Tuhan dan
manusia, dan yang kedua antara sesama manusia. Dalam konteks inilah para
aktivis dialog agama meyakini bahwa dialog antar iman itu bukan hanya mungkin
tapi juga perlu, yaitu untuk melahirkan pemahaman yang benar terhadap keyakinan
saudara mereka dari lain agama. Dengan dialog setiap pihak mengetahui masalah-masalah
yang muncul atau dihadapi oleh masing-masing agama sehingga dapat menimbulkan perasaan
simpati dan empati, yakni perasaan terlibat untuk ikut membantu memecahkan
persoalan tersebut.
Apabila sesorang ingin
melakukan dialog yang sejati , maka ia harus berani memasuki jantung
pengalaman- pengalaman keagamaan dan spiritual agama-agama lain untuk
memperkaya dan menyuburkan pengalaman keagamaanya sebagaimana yang telah
dilakukan oleh para mistikus, para pendukung filsafat perenial, dan para teolog
yang mempunyai perhatian serius terhadap dialog. Ia harus menjumpai agama-
agama lain bukan sebagai bahaya yang mengancam, tetapi sebagai kekayaan yang
sangat berharga bagi agamanya tanpa melakukan konversi.
2.
Bentuk-bentuk Dialog Agama (Dialog Kehidupan, Kerja Sosial,
Teologis, Spiritual)
Dengan berpijak pada
sikap dan pandangan inklusif dan pluralis inilah upaya-upaya dialog antar agama
dirintis dan dikembangkan. Dari dialog antar agama inilah kemudian diwacanakan kerjasama
antar-agama, dengan tujuan-tujuan yang disesuaikan dengan tuntutn situasi dan
kebutuhan masing-masing peserta dialog. Misalnya saja, muncul kebutuhan untuk
mewacanakan perdamaian dunia dan memerangi terorisme, maka dialog antar agama dilakukan
untuk ikut memberikan kontribusi bagi tujuan-tujuan tersebut. Kerjasama juga
bisa dilakukan dalam bidang-bidang lain seperti pendidikan, kesehatan, penanggulangan
kemiskinan, narkoba, bencana alam, penanganan konflik dan pasca konflik, dan
seterusnya. Model Kimball yang menyebut beberapa bentuk dialog, sebagai
berikut: (1) dialog parlementer, contohnya World’s Parliament of Religions pada
1893 di Chicago; (2) dialog kelembagaan, contohnya di Indonesia adalah yang
diadakan MUI, PGI, KWI, bersama-sama dengan lembaga-lembaga dari agama Hindu,
Budha, dan lain-lain; (3) dialog teologi, dengan tema-tema teologis maupun
ritual tertentu, contoh di Indonesia adalah seperti yang dilaksanakan di
Paramadina, Interfidei, dan lain-lain; (4) dialog dalam masyarakat dan
dialog kehidupan; (5) dialog spiritual (spiritual dialogue), yaitu dialog yang
mengambil lokus dan tema-tema esoterik dan pengalaman-pengalaman sufistik.
3.
Dari Dialog ke Kerjasama
Dialog dan kerjasama
adalah dua hal yang sambung menyambung. Yang satu mengandalkan yang lain. Tidak
ada kerja sama tanpa didahului oleh
suatu dialog. Dan dialog yang tidak berlanjut pada kerjasama merupakan dialog
setengah hati, bahkan verbalisme (dalam arti, mengatakan sesuatu merasa telah
melakukannya). Khazrat Inayat Khan telah member contoh bagaimana sebuah dialog (spiritual)
keagamaan pada akhirnya menemukan penguatannya pada kerja-kerja sosial. Sebagai
Sufi, ia tidak segan-segan menceburkan dirinya dan berkotor tangan dalam
aktivitas sosial.
Yang cukup unik adalah
apa yang dilakukan di Gereja Kristen Jawi Wetan, Malang. Mereka secara ritin
mengadakan pelatihan bagi para pendeta di seluruh Indonesia tentang Islam, dengan
para pengajar tokoh-tokoh Islam, untuk
memberi pengertian yang benar tentang agama Islam. Tidak cukup sampai di situ, mereka
juga mengirim para pendeta ke pesantren-pesantren untuk lebih mengenal Islam dan
masyarakat Islam. Mereka berdialog dengan para santri dan kiai. Sebaliknya, mereka
juga mengundang tokoh-tokoh Islam untuk “nyatri” atau menetap selama beberapa hari di lembaga tersebut untuk
berdialog dengan kalangan gereja. Semua itu tidak mungkin dilakukan jika tidak dimotivasi
oleh iklim dialogis antar-agama dan niat baik untuk menjalin kerjasama.
H. Kesimpulan
Buku ini
merupakan hasil rangkaian pertemuan dan diskusi yang dimaksudkan untuk
memikirkan ulang keberadaan fiqih di tengah perkembangan zaman yang senantiasa
meminta etika dan paradigm baru. Berbagai perkembangan baru akibat perubahan sosial
yang sanagt dahsyat telah menyebabkan rumusan fiqih klasik sudah tidak mampu
lagi menampung perkembangan kebutuhan manusia modern, termasuk soal dimensi
hubungan agama-agama. Penulis dari buku ini antara lain: Nurcholish Madjid,
Kautsar Azhari Noer, Komarudin Hidayat, Masdar F. Mas’udi, Zainun Kamal,
Zuhairi Misrawi, Budhy Munawar-Rachman, dan Ahmad Gaus AF.
Berbagai tawaran
pemikiran fiqih yang didiskusikan dalam buku ini tidaklah aneh, dan sebagaimana
tampak jelas dalam pembahasan terdahulu, argumen-argumen yang disediakan buku
ini hanyalah mempertegas dalil-dalil yang diabaikan banyak orang, padahal disadari
semua dalil itu bermuara pada otoritas yang otentik. Oleh karena itu, tidak pernah
terbetik dalam benak kita bahwa buku ini bermaksud menghalalkan hal-hal yang
haram. Sebaliknya, semangat yang hendak ditekankan buku ini adalah mengembalikan
segala sesuatu pada misi suci kehadiran Isam sebagai rahmatal lil ‘alamin (rahmat
bagi sekalian alam).
[3] Kuntowijoyo,
dkk. (2003), Begawan Jadi Capres: Cak Nur Menuju Istana,
(Jakarta: KPP Paramadina), hlm.
18
[4] Hamidah, Pemikiran
Neo-Modernisme Nurcholish Madjid-K.H. Abdurrahman Wahid: Memahami Perkembangan
Pemikiran Intelektual Islam, Jurnal MIQOT Vol. XXXV No. 1 Januari-Juni
2011, hlm. 79-80
[6] Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim
Asy'ari: Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan, (Jakarta: Kompas, 2010)), hlm.
371-374
[7] Ali Jum’ah adalah Guru Besar di
Fakultas Syari’ah, Universitas al-Azhar,
Kairo Mesir. Ia pernah menjadi ketua IIT untuk wilayah Mesir dan menulis
sebuah buku tentang Fiqh al-Maqashid
[8] Jamaluddin Athiyah adalah Guru
Besar Perundang-undangan Islam Universitas Genif, Mesir. Menulis sejumlah buku
tentang pembaruan fiqih, sebagimana dituangkan dalam Jurnal Ilmiah, al-Muslim
al-Mu’ashir
[9] Jamal al-Banna adalah adik kandung
Hassan al-Banna, pemikir dan aktivis buruh. Dalam kaitannya dengan pembaruan
fiqih, ia menulis serial buku yang diberi judul, Nahw Fiqhin Jadid
[10] Yusuf al-Qardhawi adalah pemikir
muslim kontemporer terkemuka. Meraih gelar doktorya dari Universitas al-Azhar,
Kairo, Mesir, dan beliau merupakan mantan rector di sebuah Universitas di
Qatar.ia menulis sebuah buku yang secara khusus membahas pembaruan fiqih,
antara lain; Fiqh Awlawiyat, al-Fiqh al-Muyassar li al-Muslim al-Mu’ashir,
dan lain-lain
[11] Muahmmad Syahrur adalah pemikir
muslim terkemuka, terutama setelah menulis sebuah buku yang kontroversial, al-Kitab
wa al-Qurda. Dalam hal pembaruan fiqih, ia menulis buku, Nahwu Ushul
Jadidah li al-Fiqh al-Islamy
[12] Istilah ini umumnya merujuk pada
tiga generasi pertama Islam, yakni generasi sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in
[13] Dalam sidang tahunan, isu Piagam
Jakarta masih menjadi isu yang
senantiasa meramaiakan perhelatan politik nasional. Ini tidak lain, karena
kembalinya Piagam Jakarta ke dalam pasal 29
UUD 1945 masih disponsori sejumlah Partai Islam; antara lain; Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Partai bulan Bintang
[14] Keinginan untuk mendirikan
Khilafah Islamiyah merupakan fenomena global dan nasinal sekaligus. Isu ini
menjadi kekhasan Hizbul Tahrir, sebuahh organisasi keagamaan yang mempunyai
jaringan internasional. Kelompok ini berpandangan bahwa jalan menuju
kebangkitan Islam adalah dengan mendirikan kembali Khilafah Islamiyah, yaitu
Negara Kesatuan Islam untuk semua dunia
islam. Seluruh dunia Islam harus memilih
satu pemimpin, yang nantinya akan memimpin seluruh dunia Islam. Sebab itu, yang
menjadi kekhasan kelompok ini adalah mengajukan dinar sebagai mata uang
alternative
[15] Asmaji Muchtar, Dialog Lintas
Mazhab (Fiqh Ibadah dan Muamalah), (Jakarta: Amzah, 2016), Cet. I, hlm. 361
[17] Musa Syahin Lasyin, Fath
Mu’in,”Syarh Shahih-Muslim, Bagian Pertama” (Kairo; Maktabah Al-Jami’ah
al-Azhariyyah, 1389/1970), hlm. 233.
[18] Miftahul Asror, Do’a Ma’tsur
(Tuntunan Do’a menurut Al-Quran dan Sunnah), (Yogyakarta: Mitra Pustaka,
2007),Cet. I, hlm. 5
[19]Aam Amiruddin, Bedah Masalah
Kontemporer1(Tanya-Jawab Aqidah dan Akhlak),(Bandung: Khazanah Intelektual,
2006), Cet. III, hlm. 171-172
[20] M. Quraish Shihab, Wawasan
Al-Quran;TafsirMaudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: PT. Mizan
Pustaka, 1996), hlm. 465
[22] Salah satu bukti yang cukup
kongkrit adalah tersedianya buku-buku klasik, seperti kitab-kitab Imam Syafi’I,
al-Umm, al-Risalah, kitab Imam al-Ghazali, ihya’ Ulumuddin, kitab Imam Malik,
al-Muwattha’ dan lain-lain, sehingga kita bisa membaca buku-buku tersebut
dengan mudah
[23] Abdul Karim Zaydan adalah seorang
guru besar hukum Islam di Universitas Baghdad, Ia menulis buku, Ahkam Ahl
al-Dzimmah wa al-Musta’mima, yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan
ahl-Dzimmah
[26] M. Quraish Shihab, 1001 Soal
Keagamaan yang Patut Anda Ketahui. (Tanggerang : Lentera Hati, 2012),
hlm.562
nice
ReplyDelete