WACANA ISLAM LIBERAL DI INDONESIA
(Greg Barton, Ph.D)
Kunainah Afroyim 16771029
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Program Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang
A. Dasar Pemikiran
Pandangan greg barton mengenai
Islam liberal dan eksistensinya politik Islam di Indonesia berangkat dari hasil
penelitianyya terhadap tokoh-tokoh Islam liberal yang ada di Indonesia,
diantaranya Nurcholis Madjid dan Abdurahman Wahid. Kedua tokoh tersebut berada
pada jalur liberal. Cak Nur menggunakan metode Double Movement dalam kerangka
pemikirannya, sedangkan Gus Dur menggunakan sosio kultural[1].
Cak Nur dikenal dengan sekularisasinya, sedangkan Gus Dur dikenal dengan
pluralismenya.
Pandangan Greg tentang Islam
liberal berbeda dengan pandangan pengamat pada umumnya, kebanyakan pengamat
lainnya memandang Islam liberal dari sisi pemikiran an sich. Berbeda
dengan Greg, pengamatannya terhadap pemikiran Islam liberal di Indonesia tidak
terbatas dari sudut pandang pemikiran saja. Namun, juga membahas tentang
implikasi pemikiran Islam liberal terhadap politik Islam di Indonesia.
Perbedaan sudut pandang ini terlihat dari penelitiannya terhadap Islam di Asia,
khususnya Indonesia dalam mengamati perkembangan politik Islam. Tak heran jika
oleh sebagian orang, ia dijuluki sebagai ahli politik Islam, khususnya di
Indonesia, salah seorang tersebut adalah Wimar Witoelar. Pada saat itu Dr. Greg
menghadiri acara talk show yang diadakan oleh Wimar, dalam acara perspektif
Wimar pada tanggal 22 mei 2008.
Dalam kajian kali ini ada beberapa
batasan yang di tekankan oleh Greg barton dalam karyanya yang berjudul “Gagasan
Islam Liberal di Indonesia”, adapun batasan-batasan dalam kajian ini hanya
berfokus pada pemikiran Islam itu sendiri dan bkan pada dampak yang muncul di
masyarakat maupun diarena politik. Meskipun nanti dalam bagian pembahasan di
halaman selanjutnya mengupas tentang dampak pemikiran Islam tersebut. Akan
tetapi kajiannya tetap lebih difokuskan pada topik pemikiran Islam.[2]
1.
Neo-Modernisme
Neo-moderenisme Islam dipolulerkan oleh Fazlur
Rahman, intelektual Islam berkebangsaan Pakistan yang simaksudkan untuk menamai
sebuah gerakan untelektual yang memiliki sintesis progresif dari rasionalisme
Moderenis dengan Ijtihad dan tradisi klasik. Dalam menjelaskan posisi
neo-Moderenisme Islam dalam sejarah dan wacana Islam, Rahman mengkalifikasi dan
membagi gerakan intelektual Islam ke dalam empat tahap dan posisi, (1) Gerakan
Revivalis di akhir abad ke 18 dan awal abad 19 (seperti gerakan Wahaniyah
di Arab). (2) Gerakan Moderenis (tokoh-tokohnya antara lain Sayyid Ahmad
Khan, Jamal al-Din al-Afgani, dan Muhammad Abduh). (3) Neo-Revivalisme (yang
“Modern” tapi agak reaksioner, dimana Maududi dan jama’at islami-nya di
Pakistan merupakan contoh terbaik). (4) Neo-Moderenisme dimana Rahman
sendiri memasukan dirinya kedalam mazhab terakhir ini.
Istilah neo-Moderenisme kemudian digunakan
oleh Greg Barton dalam bukunya “Gagasan Islam Liberal di Indonesia” untuk
menamai gerakan intelektual baru Islam Indonesia di era 70-an dan 80-an serta
memasukan Cak Nur dan Gus Dur ke dalamnya. Barton melihat gagasan-gagasan
intelektual baru selaras dan setingkat dengan pikiran Rahman yang ia sebut
neo-Moderenisme. Selain itu Barton melihat perbedaan-perbedaan mendasar dari intelektual
baru dengan moderenisme lama, terutama dalam sintesa-sintesa progresif dari
dialog antara Islam, tradisi, dan moderenitas. Karena itu istilah
nep-Moderenisme, oleh Barton, juga dignakan untuk membedakan intelektual baru
dengan Moderenisme lama.
Para Intelektual Muslim Indonesia umunya lebih
terbuka dan jujur dalam menghadapi tantangan moderenitas daripada
kelompok-kelompok Muslim lainya. Gagasan-gagasan yang di sebar para intelektual
Muslim Indonesia lebih banyak ditulis dalam bahasa Indonesia dan sedikit sekali
ditulis dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris, sehingga pandangan-andangan
mereka kurang dikenal di negara-egara Islam lainya. Meskipun demikian
gagasan-gagasan mereka berada di garis depan dalam pemikiran Islam baru. Hal
ini terbukti dengan cepatnya mereka merespon tantangan-tantangan moderenitas di
permulaan abad ke-20 dengan cara menggunakan pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh
dan pengikutnya, secepat ketika mereka memberi respon pada pemikiran Islam baru
di akhir abad ini. Dengan demikian, kini para intelektual Muslim Indonesia
tidak dapat di katakan sebagai penerima pasif semata terhadap
pemikiran-pemikiran baru.
Namun dalam pembahasan kali ini dimana
pemakalah membahas tentang “Gagasan Islam Liberal di Indonesia” ini secara
teoritik sangat perlu di tekankan bahwa kajian ini berusaha mengambil
perspektif internal dari perkembangan – perkembangan pemikiran Islam di
Indonesia. Hal ini perlu di perjelas sehingga keseluruhan pendekatan dalam
karya Greg barton ini hanya mengkaji, kajian yang berpusat pada perkembngan
pemikiran Islam dari pada persoalan-persoalan politik atau sosial. Untuk kedua
alasan itu kajian ini memberi perhatian khusus pada tulisan-tulisan empat
pemikir yang mewakili generasi awal pemikiran Islam neo-modernisme di
Indonesia.[3]
Greg Barton dalam bukunya menuliskan bahwa
lahirnya gerakan kaum neo-Moderenis pada ahir 1960-an dan awal 1970-an, atau
bisa juga gerakan ni disebut Pembaharuan Pemikiran Islam, ‘akomodasionis’,
‘substansialis,’ ‘Progresif,’ ‘liberal’, atau cukup ‘baru’ saja, telah membuat
Islam diperhatikan dan dikaji secara akademis selama dua puluh liam tahun
lebih. Tokoh-tokoh pusat Gerakan ini, seperti Nur kholis Majid dan Abdurahman
Wahid secara mencolok mengihasi berita-berita media cetak juga kajian-kajian
akademik selama lebih satu dasawarsa.
Salah satu
tugas penting dari kajian ni adalah menelaah gagasan-gagasan,isu-isu dan
konteks sosialnya di dalam pemikiran kaum neo-modernis. Pekerjaan semacam ini
dalam banyak hal telah membuat Greg barton di rasa perlu mengatur strategi yang
tepat dan membentuk cara berfikir tersendiri. Gagasan dan isu tersebut
berserakan dalam tulisan yang berbeda-beda, dari artikel-artikel umum hingga
kajian panjang yang mengupas neo-Modernisme. Gagasan dan isu itu pun mencangkup
pandangan-pandangan bervariasi ; baik yang di tulis oleh Muslim maupun
non-Muslim, orang-orang Indonesia dan non-Indonesia , dengan tingkat keterlibatan
berbeda.[4]
2.
Neo-Modernisme
Islam
Neo-Modernisme islam merupakan pra syarat untuk terjadinya
renaisans islam, (Fazlur Rahman, 1985). Ini dijelaskan oleh muridnya yang
merupakan tokoh intelektual muslim terkemuka di Indonesia, ahmad syafi’i maarif
(1994, 138) dia menegaskan bahwa yang dimaksud dengan neo-modernisme islam
adalah tidak lain dari moderenisme islam dan metodologi yang mantab dan benar
untuk memahami Al-Qur’an dan Assunah Nabi dalam prespektif sosio-historis.
Dengan demikian, neo modernisme islam di satu sisi merupakan kritik
atas islam modernis terutama berkaitan dengan keengganannya memanfaatkan
khasanah bidaya lokal. Di sisi lain, ia merupakan usaha revitalisasi islam
modernis. Apabila islam modernism mau dan mampu meramu khasanah klasik dan
kearifan lokal, dalam semangat rasionalisme, tentu akan menjadi kekuatan islam
yang sesungguhnya. Bertitik tolak dari sudut pandang neo-moderisme islam, budhy
munawar rahman (2004 ; 437-490) berusaha membedakan peta bumi intelektualisme
islam indonesia yang secara epistimologis diklarifikasikan menjadi tiga bentuk
pemikiran “islam peradaban” ala cak nurdan konowijoyo, “Islam Rasional”, ala
Harus Nasution dan Djohan Effendi, dan “islam Tranformative” ala Dawam Rahardjo
dan Adi sasono.
Di sisi lain, fachry ali dan Bahtiar Effendi memahami neo-moderenisme
dalam konteks keindonesiaan. Menurut mereka istilah itu mengacu pada pola
pemikiran yang berusaha menyatukan dua kekuatan besar, yaitu modernism ala
Muhammadiyah dan tradisionalisme ala Nahdlatul Ulama, sehingga menjadi produk
baru yang berlainan dengan dua pola pemikiran sebelumnya. Sebab neo-Modernisme
islam bersedia mengakomodasikan ide-ide modernis yang paling maju dan yang
paling tradisional sekaligus.
Pergerakan islam saat ini bisa didiskripsikan menjadi dua pola
perkembangan/ pemikiran pokok yang pertama islam neo-tradisional dan islam
moderns. Islam tradisional melahirkan islam neo=tradisional dan tradisional
radikal. Karena ketidak puasan terhadap islam tradisional dan neo-tradisional
maka muncullah antitesa dari keduanya yaitu islam post tradisionalisme.
Neo-tradisionalisme sama dengan Islam liberal. Sedangkan islam modern
melahirkan tiga pemikiran yaitu ne0-modernis, islam transformative dan
fundamental salafi. Neo-Modernisme sama dengan islam liberal.[5]
3.
Biografi Tokoh
Nama : Greg Barton
(Profespr Riset dan Ketua Politik Islam Global di Insitut Alfred Deakin untuk
Kewargnegaraan dan Globalisasi
Arus : Institut Alfred Deakin untuk Kewarganegaraan
dan Globalisasi, The Australian Intervention Support Hub (AISH), Hedayah Center
Sebelumnya :Universitas Monash, Pusat Studi keamanan Asia Pasifik
(APCSS), Universitas Daekin
Pendidikan : Universitas Monash
Greg Barton,Ph.D., adalah seorang pengajar senior Studi
perbandingan seni, sains, dan Agama (Comperative Studies in Art, Science,
and Religion), pada Deakin University, di Geelong, Victoria, Australia.
Sekarang dikenal sebagai ahli mengenai Islam di Indonesia, Khususnya pemikiran
darikalangan yang diebut “Islam Liberal”. Banyak tulisan karangan, di antaranya
:
Neo-Moderenisme : a Vital Synthesis of Traditionalism and
Moderenism in Indonesian Islam, Studi Islamika, Vol. 2 No. 3 (1995). Nahdlatul
Ulama, tradisional Islam and Moderenity in Indonesia, (Clauton : Monash
Asia Institut ,1996) penyunting : Greg Fealy, 319 halaman.zThe Liberal,
Progressive Roots of Abdurrahman Wahid’s Thought” dalam Greg Barton dan Greg
Fealy (penyunting), Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Moderenity in
Indonesia, (Clayton : Monash Asia Institute, 1996), hal. 190-226 ; “Islam,
Pancasila and The Middle Path of Tasawwuf : The Thought of AhmadSiddiq”, dalam
Greg Barton dan Greg Fealy (penyunting), Nahdlatul Ulama, Traditional Islam
and Moderenity in Indonesia, (Clayton : Monash Asia Institute, 1996) hal
110-128 ; (in Press) “Indonesia Nurcholis Madjid and Abdurrahman Wahid as
intellectual ulama : the meeting of islamic traditionalism and moderenism in
neo moderenist though”, Centre for the Study of Islam and Cristian Muslim
Relations, Occasional Series 1997, Birmingham : Sellu Oak Colleges ; (In Press)
“The Origins of Islamic Liberalism in Indonesia.
Greg adalah salah satu ilmuwan terkemuka
Australia dari Indonesia modern dan terorisme dan melawan ekstremisme
kekerasan. Selama lebih dari 25 tahun ia telah melakukan penelitian eksensif
mengenai politik dan masyarakat Indonesia, terutama peran islam baik sebagai
kekuatan yang konstruktif dan menggangu. Dia telah aktif dalam inisiatif dialog
antar iman dn memiliki komitmen yang mendalam untuk membangun pemahaman tentang
Islam dan masyarakat Muslim. Sumbu utama dari kepentingan penelitiannya adalah
cara di mana pemikiran religius, individu percaya dan komunitas religius
merespons moderenitas dan keadaan negara modern. Dia juga memiliki ketertarikan
kuat pada hubungan internasional dan politik internasional komparatif. Sejak
tahun 2004 ia telah membuat studi perbandingan tentang Islam progresif, dengan
referensi khusus kepada Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di Indonesia dan
gerakan tradisional Hizmet yang diilhami oleh Fethullah Gulen dan Turki.
Greg juga memiliki kepentingan umum dalam
studi keamanan dan keamanan manusia dan kepentingan tertentu dalam melawan
ekstremisme kekerasan. Dia terus meneliti cabang-cabang Jemaah Islamiyah dan
mengaitkan gerakan-gerakan radikal islam di Asia tenggara. Greg sering di
wawancarai oleh media cetak dan elektronik Australia dan Internasional tentang
Islam, gerakan Islam dan Islam di seluruh dunia dan di Indonesia dan politik
dunia Muslim. Dia adalah tamu ahli reguler di ABC, radio Australia, radio SBS
dan SBS TV, Voice of America (Washington), China Radio Internasional (Beijing),
Radio dan televisi BBC, Radio Hongkong, Radio New Zealand, cjina Central
Television (CCTV), Chanel News Asia (Singapura), dan radio komersial dan TV di
Australia, termasuk 3AW, 2GB. 2UE, Chanrl Seven News, Chanel Nine’s Today, dan
Proyek Channel Ten. Dia juga menulis potongan opini untuk Melbourne Herald Sun
dan Australian Financial Review.
4.
Latar belakang
penelitian Greg Barton pada pemikiran Islam di Indonesia
Menurut Greg
Barton, yang menjadi daya tarik awal ia melakukan penelitian adalah di
Indonesia ada orang-orang yang betul-betul taat pada imannya, tapi juga sangat
reatif dan secara jujur berjuang supaya bisa menerapkan ide-ide agama terhadap
masyarakat modern. Menurut Greg itu adalah sebuah isu yang sangat menarik, hubungan
antara agama dan masyarakat atau Negara Modern. Apa lagi ketika Greg membaca
tentang Cak Nur, dan tentang Gus Dur, dan gagasan lainnya, dan itu membuat Greg
semakin tertarik. Karena menurut Greg sosok Nurcholis Madjid dan Abdurrahman
Wahid ini adalah sosok pemikir yang pemikirannya sangat orosinil.
Greg
mengatakan bahwa yang menarik dari Nurcholis Madjid adalah karena Cak Nur ini
bisa menjadi sosok negarawan Nasionalis, tapi sekaligus juga universal
humanitarian.[6]menjadi
sosok muslim yang taat, yang sholeh, tapi sekaligus seorang humanis. Cak Nur
pun mempunyai keimanan yang sangat kuat, tapi saat bersamaan dapat berfikir
secara terbuka. Dari pemikirannya itu Greg barton dapat menyimpul bahwa dalam
diri Nurcholis Madjid ini ada titik dimana pertemuan antara umat, iman, dan
bangsa.
Bagi Greg, Cak
Nur merupakan figur yang sangat menarik karena kelihatan pemikirannya sangat
jujur. Cak Nur berani untuk berjuang demi mencari kebenaran. Baginya, kebenaran
itu tidak merupakan barang yang Cuma diterima, tapi juga harus di perjuangkan.
Walaupun tak jarang Cak Nur ini di kritik oleh teman seagamanya dan lain
sebagainya.[7]
Gus Dur Juga demikian.
Greg Barton dalam tulisannya memahami Abdurrahman Wahid, ia
mengungkapkan bahw, Gus Dur adalah salah seorang intelektual Indonesia yang
menonjol dan sangat disegani. Tokoh yang sudah lebih sari 15 tahun menjabat
ketua Umum Penerus Besar Nahdlatul Ulama (NU), organisasi kaum tradisionalis,
ini sering menghiasi halaman-halaman koran dan media. Di luar pemerintah dan
figur militer ini sangat sulit dibayangkan. Selama tahun-tahun kepemimpinan itu
popularitasnya mengalami pasang dan surut, yang biasanya berkaitan dengan manuver
politiknya dan juga yang tidak boleh dilupakan, tingkat pemahaman terhadap
manuvernya. Dalam beberapa tahun terakir Gus Dur menjadi semakin kontroversial,
ketika dia berusaha melerai pihak-pihak yang terlibat kekerasan, juga etika ia
mencoba menyebrangi badai dan gelombang besar pada akhir pemehintahan Soeharto
dan era Indonesia pasca Soeharto. Kendati demikian Abdurrahman tetap dan bahkan
semakin populer, sebagai figur karismatik dan tokoh yang selalu memberi cinta
bahkan pada orang yang mengkritiknya atau para penentangnya.
Ada beberapa faktor yang membedakan Nurcholis Madjid denga
Abdurrahman Wahid, yaitu Cak Nur dengan wataknya yang personality, karena cak
Nur ini pada dasarnya orang yang pendiam. Beliau memang sangat mampu dan sangat
senang berbicara di depan umum, tapi secara pribadi lebih senang bergaul dengan
forum di lingkungan terbatas. Tetapi Gus Dur malah sebaliknya, dimana Gus Dur
adalahseorang extrovert. Bagii seorang extrovet seperti Gus Dur ini, ia bisa
menambah tenagany lewat berkawan, Cak Nur, ia menambah tenaga lewat duduk sendiri,
menulis, membaca, berfikir.
Labih dari itu, Gus Dur memang dari kalangan NU, sedangkan Cak Nur
memang punya latar belakang budaya NU tapi sudah ada kontak dengan Masyumi
lewat ayahnya (Abdul Madjid). Dan ahirnya Cak Nur pindah ke Jakarta dan sudah
berakar di ibukota. Sebagai seorang penulis, seorang cendikiawan, ia senang di
kota besar dan bergaul dalam lingkungan yang agak terbatas. Tapi sangat berbeda
dengan Gus Dur , yaitu Gus Dur lebih senang berkeliling di desa-desa kecil. Ia
senang berjumpa dengan begitu banyak orang baik itu orang yang dalam posisi
yang tinggi atau orang awam yang sangat rendah posisinya.
Gus Dur sudah biasa bergaul dengan
orang NU di berbagai pelosok, yang jelas berbeda dengan orang yang menjadi
cendekiawan di ibukota seperti Cak Nur. Jadi, boleh dikatakan bahwa walaupun
Cak Nur itu sangat rendah hati dan sangat sederhana, Cak Nur kan memang sudah
pas di ibukota di antara orang-orang kelas menengah ke atas atau
mahasiswa. Tetapi kalau Gus Dur kan tidak. Beliau paling senang berkeliling di
desa dan pesantren. Dari segi orang kota, orang pesantren kan kadang-kadang
disebut agak kolot atau agak kampungan. Gayanya Gus Dur dengan sengaja memang
gitu. Tak heran Gus Dur sering disamakan dengan semar. Orang yang kasar tapi
pintar. Orang yang kelihatan tolol dan nekat tapi sebenarnya arif dan budiman.
Itu Gus Dur, lain halnya dengan Cak Nur.
Ketertarikan Greg Barton untuk membaca
karya Cak Nur dan Gus Dur dan berminat meneliti pergolakan sosial-politik
maupun perkembangan Islam Indonesia ketika iya masih belajar engineering, lalu
pindah ke Monash University tahun 1984 untyk mendalami sosial-politik. Ketika
ia sedang belajar di Monash itu ia belajar Bahasa Indonesia, dan ia juga sudah
membaca tentang sejarah dan politik Indonesia, bahkan Geg Barton pun sudah
belajar sastra melayu. Dari daya tarik Greg Barton ini yang sangat menonjol
adalah untuk lebih fokus pada Indonesia, bahwa orang Indonesia itu adalah
sangat ramah, terbuka, dan sederhana. Sewaktu Greg studi di Monash, ia lebih
mendalami studi tentang Asia Tenggara, dan ia mengatakan bahwa senang meneliti
di Asia Tenggara. Dan yang terpenting
ada banyak proses perkembangan yang menarik, ada banyak yang terjadi dan banyak
potensi di Indonesia.
Potensi itu berupa ada sebuah
kemungkinan perkembangan politik. Sudah jelas ada perubahan yang terus-menerus
di Mayarakat sperti pada kebudayaanya, jika kita bicarakan pemikiran Agama ada
banyak yang sangat menarik di Indonesia, tandas Greg Barton. Apa lagi Indonesia
adlah Negara yang besar.
B.
Pembahasan
Ancaman serius bagi setiap
pemikiran keagamaan adalah kemeandekan, kebutuhan, dan ketiaaan semangat
inovasi. Kondisi semacam ini akan menyebabkan agama kehilangan relevansinya
dengan zaman dan masyarakat yang terus berubah, pemikiran keagamaan dalam
bentuk tafsir, teologi, dan lebih-lebih hukum (fiqh), bagaimana pun merupakan
hasil interaksi dengan semangat zamannya.
Maka, mandeknya pemikiran keagamaan
akan berdampak langsung pada relevansi agama dan akhirnya peminggiran agama
dari denyut nasi kehidupan manusia. Itulah sebabnya, di setiap kurun waktu
selalu ada orang atau kelompok yang “gelisah” bahwa agama mereka akan
kehilangan elan vital untuk menyesuaikan diri dengan atau menjawab tantangan
zaman. Mereka berusaha mempelopori perubahan dan melampaui pemikiran status
quo.[8]
1.
Asal Muasal
Neo-Moderenisme
Lahirnya pemikiran Islam neo-Moderenisme Indonesia dapat ditelusui
sejak ahir tahun 1960-an, ketika gagasan-gagasan neo-Moderenisme yang penuh
masa depan secara mandiri menyebar ke kota Jakarta dan Yogyakarta. Gagasan itu
mampu menyebar secara secara spontan di dua kota yang berjarak ratusan kilo,
karena pribadi-pribadi yang terlibat memiliki kesamaan latar belakang dan
datang dari lingkungan yang sama.
Greg barton dalam buku nya menyebutkan, di
Yogyakarta, orang-orang yang memegang peranan dalam membangun medan kesadaran
intelektualisme adalah Djohan Effendi[9]
dan Ahmad Wahid, di dukung M. Dawam Raharjo[10].
Djohan effendi dan Ahmad Wahib adalah aktivis
HMI[11].
Keduanya menguasai kepustakaan arab dan aspek-aspek pelajaran Islam
tradisional. Djohan Efffendi dan Ahmad Wahib sama-sama memiliki gairah
intelektual luar biasa tinggi. Di sampin keimana Islam mereka sangat kuat dan
dasar-dasar keyakinan sangat teguh, mereka pun berhasrat untuk bersikap jujur
secara intelektual dalam mencari kebenaran , dengan keyakinan bahwa sikap dan
praktik keimanan rekan-rekan serta para senior mereka sering tidak sejalan
dengan semangat kebenaran Islam.
Djohan Effendi dan Ahmad Wahib percaya bahwa mereka dapat memulai
pendekatan untuk membongkar wacana Islam secara lebih memuaskan bagi masyarakat
Indonesia abad ke-20 melalui perwujudan Ijtihad[12]
yang terus menerus, dengan semangat bahwa apa yang dibutuhkan adalah proses
pencarian rasional yang kontinyu tanpa harus terkait batasan-batasan tabu
maupun kebiasaan dogmatik. Untuk mencapai sasaran tersebut, keduanya bersama M.
Dawam Raharjo dan beberapa anggota lainnya memulai dengan menggelar pertemuan
untuk debat terbuka secara bebas setiap pekan dalam kelompok yang dimana-mana
Lingkaran Diskusi Limited Group. Pertemuan ini diselenggarakan di
kompleks perumahan dosen IAIN Yogyakarta, di kediaman dosen Mukti Ali (yang
kemudian menjadi Menteri Agama).
Sementara di
Jakarta, Nurcholis Madjid[13],
ketua Umum HMI, secara diam-diam menyusun gagasan yang sama. Terlepas dari
jabatannya sebagai ketua umum untuk dua periode, ia bukan merupakan tokoh khas
HMI. Tidak seperti kebanyakan anggota HMI, juga tidak seperti ketua-ketua umum
sebelumnya. Keharuman Nurcholis madjid yang tiba-tiba dan cukup sempurna ,
bermula ketika ia menyajikanan makalah “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan
masalah Integrasi Umat” pada acara Halal Bil Halal Idul Fitri yang
diselenggarakan empat organisasi mahasiswa dan pelajar ekstra sekolah pada 3
januari 1970. Sejak itu Nurcholis Madjid dipublikasi secara besar-besaran. Pada
mulanya ia dianggap “anak emas” oleh para penjaga Masyumi, tapi akhirnya
Nurcholis Madjid menampakan diri sepenuhnya sebagai pembaru intelektual yang
teliti sesuai dngan semangat Moderenisme awal. Sayang sekali, bagi Nurcholis
madjid hal tersebut berarti “ia merupakan pemuda radikal yang membahayakan”[14]
di mata para pemimpin eks-Masyumi. Begitulah, apapun peristiwanya, pemikiran
Islam di Indonesia memang telah memasuki era baru.[15]
2.
Tokoh Liberal
di Indonesia
Nurcholis
Madjid
Nurcholis Madjid dilahirkan di sudut kampung kecil di desa
Mojoanyar Jombang, Jawa Timur, pada 17 Maret 1939. Dia adalah seorang pemikir
Islam, cendikiawan, dan budayawan Indonesia. Pada masa mudanya sebagai aktifis
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), ide dan gagasannya tentang sekularisasi dan
pluralisme pernah menimbulkan kontroversi dan mendapat banyak perhatian dari
berbagai kalangan masyarakat. Nurcholis pernah menjabat sebagaii Wakil Ketua
Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, dan sebagai Rektor
Universitas Paramadina, sampai dengan wafatnya pada tahun 2005. Ia di besarkan
di lingkungan keluarga Kyai terpandang di Mojoanyar, Mojokerto, Jawa Timur.
Ayahnya, KH Abdul Madjid, dikenal sebagai pendukung Masyumi. Setelah melewati
pendidikan di berbagai pesantren, termasuk Gontor, Ponorogo, menempuh studi
kesarjanaan IAIN Jakarta (1961-1968), tokoh HMI ini menjalani studi doktoralnya
di Universitas Chicago, Amerika Serikat (1978-1984), dengan disertai tentang
filsafat dan kalam Ibnu Taimiyah. Mengajar di IAIN Syarif hidayatullah,
1972-1976, Dosen pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1985, peneliti pada LIPI,
1978, Guru besar tamu pada Universitas McGill, Montreal, Canada, 1991-1992.
Fellow dalam Eisenhower Fellowship, bersama istri, 1990. Ia banyak menulis
makalah-makalah yang diterbitkan dalam berbagai majalah, surat kabar dan buku
suntingan, beberapa diantaranya berbahasa Inggris. Buku-bukunya telah terbit
ialah Khazanah Intelektual Islam (Jakarta, Bulan Bintang/Obor, 1984) dan Islam,
kemoderenan dan Keindonesiaan, suntingan Agus dy Santoso (Bandung, Mizan,
1988).
Sejak 1986, bersama kawan-kawan di ibukota,
mendirikan dan memimpin Yayasan Wakaf Paramadina, dengan kegiatan-kegiatan yang
mengarah kepada gerakan intelektual Islam di Indonesia. Buku ini adalah salah
satu hasil kegiatan itu. Dan sejak 1991 menjabat wakil ketua Dewan pakar ikatan
cendikiawan Muslim se Indonesia (ICMI).
Cak Nur dianggap sebagai salah satu tokoh pembaruan pemikiran dan
gerakan Islam di Indonesia, cak Nur dikenal dengan konsep pluralismenya yang
mengkomodasi keberagaman, ke-bhinneka-an keyakinan di Indonesia. Menurut Cak
Nur, keyakinan adalah hak primordial setiap manusia dan keyakinan meyakini
keberadaan Tuhan adalah keyakinan yang mendasar. Cak Nur mendukung konsep
kebebasan dalam beragama, namun bebas dalam konsep cak Nur tersebut dimaksudkan
sebagai kebebasan dalam menjalankan agama tertentu yang disertai dengan
tanggung jawb penuh atas apa yang dipilih. Cak Nur meyakini bahwa manusia
sebagai individu yang paripurna, ketika menghadap Tuhan di kehidupan yang akan
datang bertanggung jawab atas yang ia lakukan , dan kebeasan dalam memilih
adalah konsep yang logis.[16]
Nurcholis Madjid juga menjadi Ketua Umum PB HMI untukuntuk dua
priode berturut-turut dari tahun 1966-1969 hingga 1969-1971. Ia pun menjadi
Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT) priode 1967-1969.
Lalu masa bakti 1968-1971 ia juga menjadi Wakil Sekertaris Umum dan pendoro
Internasional Islamic Federation Of Student Organisation (IFSO), Himpunan
Organisasi Mahasiswa Islam se-Dunia.
Kepemimpinan Nurcholis Madjid di tingkat Nasional dalam organisasi
kemahasiswaan seperti HMI, merupakan hal amat penting dalam jalur intelektualisme
kehidupannya. Di samping kegiatan di HMI, petualangan internasional adalah
bentuk kegiatan lainnya yang selama beberapa puluh tahun yang telah memberi
sumbangan berharga terhadap perkembangan intelektualnya. Maka jika ada pemeo[17]
yang mengatakan ‘petualangan meluaskan wawasan pikiran’ pernyataan
tersebut sebenarnya ustru kelirujika di alamatkan kepada Nurcolis Madjid.
Beberapa pengamat termasuk Ahmad Wahib, menyatakan bahwa kunjungan Nurcholis
Madjid ke Amerika merupakan pengalaman penting.[18]
Tetapi kata Nurcholis Madjid pada kunjungannya ke America selama lima pekan ini
yang begitu penting, ternyata kurang memiliki nilai lebih jika di bandingkan
dengan kunjungannya ke Negara-negara Timut Tengah selama dua bulan. Bagi beliau
perjalanan ke Timur Tengah yang telah membuka matanya untuk melihat
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan diskrus Islam.
Pada kunjungan Nucholis Madjid yang kedua di
Arab dalam rangka menunaikan ibadah Haji sebagai hadiah beliau yang telah
mensajikan makalahnya, beliau juga berkunjung ke Irak dimana ia pertama kali
bertemu dengan Abdurahman Wahid. Ia di pertemukan pertama kali oleh panitia
penyambutan yang di ketuai Abdurahman Wahid sendiri di Bandara, pada saat itu
Nurcholis Madjid hanya mengtahui bahwa gus Dur ini adalah seorang cucu dari
Kyai Hasyim Asy’ Ari yang merupakan Guru dari Ayahnya. Adapun perjumpaan lebih
akrab antara cak Nur dan Gus Dur ini adalah pada tahun 1970-an, dan intensi
pertemuannya ketika Gus Dur sering kejakarta dan dan tinggal di rumah
kluarganya. Karena reputasi ayahnya maka Nurcholis Madjid ini diterima dengan
sangat familliar di keluarga Abdurrahman Wahid di Tebuireng.[19]
DJOHAN Effendi
Ia dilahirkan 1 oktober 1939 di kota kecil Kandangan, Kalimantan
Selatan.[20]
Ibu dan Ayahnya orang Banjar asli dan bekerja di Kandangan sebagai pedagang
kecil. Sjohan effendi dibesarkan dalam keluarga santri sehingga sejak kecil ia
di dorong untuk belajar membaca Al-Qur’sn serta memerdalam buku-buku Arab
klasik. Ia dulu pernah menjadi menteri sekretariat negara Kabinet Persatuan
Nasional era presiden Abdurrahman Wahid. Sebelumnya ia merupakan staf Khusus
sekertaris Negara/penulis pidato Presiden Soeharto (1978-1995) dan ia telah
menulis ratusan pidato untuk presiden Soeharto.
Ia dikenal sebagai pembela kelompok Ahmadiyah dan senior di
kalangan aktivis liberal. Namanya masuk dalam buku “50 Tokoh Liberal di
Indonesia” untuk kategori pionir atau pelopor gerakan liberal bersama dengan
Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid. Bagi Djohan Ahmadiyah mempunyai hak
yang sama dalam menjalankan keyakinan di Indonesia.
Ia dikenal sebagai pemikir Islam inklusif yang sangat liberal.
Dalam memahami agama, Djohan sampai pada kesimpulan : “Pada setiap agama terdapat kebenaran yang
bisa diambil”. Karena itu, ia sangat prihatin pada segala bentuk
pertentangan yang mengatasnamakan agama. Karier Djohan sebagai penulis pidato
Prisiden berahir ketika ia “nekat” mendampingi K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
berkunjung ke Israel, 1994. Kunjungan itu ditentang keras oleh sejumlah
kelompok Islam. Bahkan, Moerdiono, Sekertaris Negara saat itu, juga ikut
menyesalkannya.
Ketika Abdurrahman Wahid menjabat sebagai
presiden, ia di angkat sebagai Menteri Sekertaris Negara.
Pendidikan Djohan Effendi :
- Sekolah Dasar
- Pendidikan
Guru Agama Banjarmasin (1958)
- Pendidikan
Hakim Islam Negri (PHIN) Yogyakarta (1960)
- IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta (1970)
Karier :
- Pegawai
Departemen Agama Amuntai, Kalimantan Selatan (1960-1962)
- Staf
Sekertaris Jendral Departemen Agama Jakarta (1972-1973)
- Staf Pribadi
Menteri Agama (1973-1978)
- Peneliti Utama
Depag (sejak 1993)
- Staf Khusus
Sekertaris Negara/Penulis pidato Presiden (1978-1995)
- Kepala Badan
penelitian dan pengembangan Departemen Agama (1998-2000)
- Menteri
Sekretaris Negara (2000-2001)
Ahmad Wahib
Ahmad wahib adalah seorang budayawan dan pemikir Islam, beliau
lahir di Sampang, 09 November 1942 di kota Sampang di Pantai selatan pulau
Madura.[21]
Masyarakat Madura cukup masyhur dengan bentuk keislamannya yang kental,
sehingga Islam telah menjadi identitas lokal masyarakat Madura. Latar belakang
geografis inilah barangkali yang secara khusus tidak mengejutkan bahwa Ahmad
Wahib besar di lingkungan nasyarakat serta keluarga yang pekat rasa keberagamaanya.
Bahkan menurut ukuran orang-orang Madura kluarga besar Ahmad Wahib masuk dalam
kelompok keluarga agamis. Ayahnya Sulaiman, dianggap sebagai salah seorang
pemimpin spiritual di daerahnya. Konsekuensinya, sekalipun nyantri di
sebuah pesantren, ia bukanlah orang asing bagi kehidupan pesantren, posisi
ayahnya merupakan nilai berharga karena wawasan ayahnya yang terbuka dan luas
sangat membantu cara berfikir Ahmad Wahib. Ahmad Wahib sering menyentuh perihal
wawasan-terbuka ayahnya ini di buku hariannya. Ayahnya bahkan mengijinkan Ahmad
Wahib mempelajari sains, pertama di SLA dekat Pamekasan dan lulus tahun 1961,
lalu ke UGM Yogyakarta.[22]
Selama tahun-tahun perdana di Yogyakarta,
Ahmad Wahib tinggal di lingkungan Katolik di Asrama Mahasiswa Realino. Dengan
cepat ia terlibat dalam organisasi HMI dan kemudian sibuk berkecimpun dalam
kegiatan-kegiatan HMI. Tidak puas hanya duduk-duduk dan lihat-lihat, Ahmad Wahib menerjunkan diri
kedalam pekerjaan seorang aktivis sehingga dengan cepat ia ke dalam tertinggi
para pemimpin HMI Jawa Tengah.[23]
Tidak lama kemudian ia juga di kenal sebagai pemikir independen yang besar.
Kendai sebagai pendatang baru di HMI, hal tersebut tidak mencegah dia
mengkritik pimpinan-pimpinan HMI yang di anggap salah. Mengenai ciri pembawaan
ini Djohan Effendi menulis :
“Walaupun Ahmad Wahib termasuk pendatang baru
dalam lingkungan elite HMI waktu itu, ia juga terlibat dalam diskusi diskusi
berat tersebut. Wahib tergolong di antara kawan-kawan yang berani
beperpendirian dan bersikap berbeda, malah terkadang berlawanan dengan
pendirian dan bersikap berbeda, malah terkadang berlawanan dengan pendirian dan
sikap umat atau lebih tepat golongan Islam pada umumnya. Bagi Wahib dan
kawan-kawannya, komitmen Muslim, pertama-tama dan terutama adalah pada
nilai-nilai Islam dan bukan pada organisasi ‘Islam’ ataupun tokoh “Islam
tertentu.”.[24]
Abdurrahman
Wahid
Latar belakang kluarga Abdurrahman Wahid(Gus Dur) “Addakhil”,
Secara lekisikal, “Addakhil” berarti “sang penakluk”, sebuah nama yang di Ambil
Wahid Hasyim, orang Tuanya dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah
menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Belakangan kata “Addakhil” tidak
cukup dikenal dan diganti nama “Wahid”, Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih
dikenal dengan panggilan Gus[25]
Dur.
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilairkan di
Denanyar Jombang Jawa Timur pada 4 Agustus 1940. Secara genetik Gus Dur adalah
keturunan “Darah Biru”. Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim
Asy’ari, pendiri jami’iyah Nahdlatul Ulama (NU) organisasi masa Islam terbesar
di Indonesia dan pendiri Pesantren Tebuireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj.
Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. bisri Syamsuri.
Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais ‘Aam PBNU
setelah K.H abdul Wahab Jasbullah. Dengan Demikian, Gus Dur merupakan cucu dari
ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia.
Pendidikan Gus Dur :
-
Pesantren Tambak Beras, Jombang
(1959-1963)
-
Departemen Studi Islam dan Arab
Tingkat Tinggi, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir (1964-1966)
-
Fakultas Surat-surat Universitas
Bagdad (1966-1970)
Karir :
-
Pengajar Pesantren Pengajar dan
Dekan Universitas Hasyim Asy’Ari (UNHASY) fakultas Ushuludin[26]
-
Ketua Balai Seni Jakarta
(1983-1985)
-
Penemu Pesantren Ciganjur
-
Ketua Umum NU (1984-1999)
-
Ketua Forum Demokrasi (1990)
-
Anggota MPR (1999)
-
Presiden Republik Indonesia (20
Oktober 1999-24 Juli 2001)
Pada tahun 1949, ketika
clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat sebagai
Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Dengan
demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu, yang terdiri dari para tokoh-dengan
berbagai bidang profesi-yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus
berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri agama. Hal ini memberikan pengalaman
tersendiri bagi seorang anak bernama Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung,
Gus Dur juga mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari kolega
ayahnya yang sering mangkal di rumahnya.
Kehadiran
AbdurrahmanWAhid di kalangan masyarakat Indonesia saat ini tidak lain
disebabkan oleh kualitas pribadinya yang luar biasa, disamping faktor
lingkungan kluarga yang sangat mendukung. Gus Dur, cucu dari dua serangkai
pendiri NU, Kiai Hasyim dan Kiai Bisri Sjansuri. Ayah Gus Dur, Kiai Wahid
Hasyim, adalah puytra Kiai Hasyim Asy’ari dan ibunya Solichah, putri Kiai Bisri
Sanjsuri. Sejak masa anak-aanak, ibunya telah diberi berbagai isyarat bahwa Gus
Dur, anaknya akan mengalami garis hidup yang erbeda dan memiliki kesadaran
penuh akan tanggung jawab terhadap organisasi NU. Menjelang masa remajanya,
rasa tanggung jawab tersebut ternyata serasa dramatis mengingat setelah
kematian ayahnya dalam suatu kecelakaan mobil[27],
dan saat kecelakaan terjadi Gus Ddur duduk di samping ayahnya di jok depan.
Ayah Abdurrahman Wahid meninggal dunia dalam usia 40
tahun, dan saat itu masih menjabat ketua NU. Ibunya tetap melanjutkan peran
informal yang vital dalam menjalankan NU. Dan sejak ayahnya meninggal, ada
sesuatu yang terasa berubah secara tajam, yaitu Abdurrahman Wahid mulai sepi
dari orang-orang dan para tamu penting.
Abdurrahman Wahid tidak hanya di kenal di kalangan
kiai NU dan para politisi, melankan juga oleh masyarakat luas Indonesia. Hal
tersebut dikarenakan bimbingan orang tuanya , saat ia kecil banyak berhubungan
dengan tradisi di luar NU. Waktu kecil ia sering dititipkan pada seorang Belanda
teman ayahnya dan saat itulah, menurut Abdurrahman Wahid, ia bersentuhan dan
akhirnya mencintai musik-musik klasik Eropa. Kemudian dari tahun 1953 sampai
1957, saat belajar di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) ia tinggal di
rumah Kiai Haji Junaid, seorang Kiai Muhammadiyah dan anggota Majlis Tarjih
Muhammadiyah. Beberapa tahun kemudian ia “mondok” di Pesantren Tegalrejo,
sebuah pesantren NU terkemua di Magelang. Dari tahun 1957 sampai 1963, ia
sempat “nyantri” di Pesantren Krapyak, Ypgyakarta, dan tinggal di rumah K.H.
Ali Maksum.
Pemikiran Gus Dur meliputi banyak bidang, antara
lain : tentang ksempurnaan islam, sikap orang Yahudhi-Nasrani serta konsep
kafir, dinamika fiwih dan Ushul fiqh, wawasan keadilan dan pluralisme, martabat
wanita, dan pribumisasi islam.
Menurut Muhammad A.S. hikam, Abdurrahman Wahid
adalah sosok yang sangat komplek sehingga melakukan kajian atas wawasan
intelektualnya merupakan kegiatan yang tidak sederhana.
Pada tahun 1964 Abdurrahman Wahid meninggalkan tanah
air menuju Kairo , Mesir, untuk belajar ilmu-ilmu agama di Ma’had al-Dimsat
al-Islamiyyah yang berada di lingkungan Al-Azhar Islamic University. Barangkali
tidak terlampau mengejutkan jika Abdurrahman Wahid sangat kecewa dengan
atmosfir intelektual di Al-Azhar yang memadamkan potensi pribadi karena tekni
pendidikanya yang masih bertumpu pada kekuatan hafalan. Meskipun demikian, ia
memanfaatkan waktu di Kairo ini dengan baik, yaitu dengan cara yang tidak mengikuti
pelajaran yang diberikan. Sebagai gantinya ia sering menghabiskan waktu di
perpustakaan yang lengkap d Kairo, termasuk American University Library.
Bagaimana pun pada satu sisi ia kecewa dengan Al-Azhar sebagai lembaga,
namunpada sisi yang lain ia tetap menikmati kehidupan kosmopolitan[28]
Kairo., bahkan beruntung karena terbuka peluang untuk tergabung dengan
kelompok-kelomopok diskusi dan tukar pemikiran yang umumnya di ikuti para
intelektual Mesir. Yang perlu di catat bahwa selama di Kairo, Gus Dur ternyta
begitu tertarik pada film-film Perancis dan sepak bola.[29]
Dari Kairo Gus Dur terbang
ke Bghdad. Di kota ini ia lewati dengan penuh rasa bahagia karena mempelajari
sastra Arab, tapi juga filsafat dan teori sosial Eropa, disamping terpenuhinya
hobi dia untuk menonton film-film klasik. Bahkan Gus Dur lebih senang dengan
sistim yang di terapkan di Universitas Baghdad, yang dalam beberapa segi dapat
dikatakan lebih berorientasi Eropa dari pada sistem yang diterapkan di
Al-Azhar. Dan selama belajar di Timur Tengah inilah Gus Dur menjadi ketua
Persatuan Mahasiswa untuk Timur Tengah masa bakti 1964-1970.
Di tahun 1971, ia
mampir ke Eropa dengan harapan ia memperoleh penempatan di Universitas, tapi
sayang sekali kualifikasi-kualifikasi mahasiswa dari Timur Tengah tidak di akui
di Universitas Eropa. Inilah yang memotivasi Gus Dur untuk pergi ke McGill
University, Kanada, untuk mengakaji kajian-kajian Islam secara Mendalam. Namun
pada akhirnya, ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia setelah terilhami
berita-berita yang menarik di sekitar perkembangan dunia pesantren.[30]
Gus dur ini banyak menyukai kepada pemikir kritis
, baik dari Muslim maupun non-Muslim. Dia terpesona pada pemikiran Paul
Tillich, seorang teolog kristen yang termashur, renungan filsafat Muhammad
Abduh, juga tertarik pada pemikiran Hasan Hanafi. Namun, dibandingkan dengan
pemikir itu yang paling dikagumi adalah Muhammad Arkoun yang mencoba melihat
islam secara utuh. Selain itu Gus Dur sangat dipengaruhi Imam AL-Ghazali melalui
karya monumental Ihya’ Ulum Al-Din yang sanggup membangkakan intuisi
begitu jauh.[31]
3.
Pembharuan Pemikiran Islam dan Neo-Modernisme
Pemikiran Djohan
Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid akan diteliti kemudian dengan
gagasan Nurcholis Madjid ini tidaklah berarti memuat seluruh pikiran
neo-Modernis yang ada, melainkan mencoba memetakan secara luas pokok-pokok yang
substansial. Nurcholis Madjid akan mencoba membongkar konsistensi pemikiran dan
mencoba membutikan, atau meliti, apa yang dikatan al-Qur’an tentang suatu
berbagai persoalan. Cara seperti ini akan menggiring pada saru bukti bahwa
Nurcholis Madjid dalam membedah persoalan baik daripada rekan-rekannya.
Bagi kalangan
neo-Moderenisme maupun Modernisme, mereka sama-sama menjunjung tinggi kebutuhan
terhadap Ijtihad kontenporer. Neo-Modernisme Nurcholis Madjid dan
Moderenisme para pemimpin Muhammadiyah bersama-sama Masyumi, berupaya
melaksanakan Ijtihad.
Nurcholis Madjid lebih
memilih memikirkan keyakinan-keyakinan yang berkaitan dengan arus pemikiran
politik. Dan untuj nebgerti pikiran Nurcholis Madjid terletak pada pandangannya
terhadap kitab Suci. Pendekatan hermeneutik Nurcholis Madjid, juga
pendekatannya terhadap sifat kitab suci. Lebih penting lagi, konsepsinya
tentang Islam disandarkan pada pemahamannya yang luas terhadap al-Qur’an yang,
pada gilirannya, dibentuk oleh pendekatan hermeneutik tadi.
Sementara boleh jadi
banyak menganggap bahwa pandangan Nurcholis Madjid terhadap kitab suci secara
inheren radikal, namun sebenarnya dari luar (khususnya ditilik dari perspektif
barat pasca-Kristen) adalah amat konservatif. Secara esensial Nurcholis Madjid
memandang al-Qur’an merupakan Kalam Tuhan yang tidak dapt diganggu gugat dan
abadi, sebagai petunjuk paling terpercaya bagi kehidupan di dunia ini dan
kesaksiannya yang paling dapat dipegang untuk masa depan.
Pandangan seperti ini
secara lansung menggiring kepada pendekatan hermeneutika yang tenang dan
natural, yang memprioritaskan prinsip-prinsio daripada melarang suatu praktik
tindakan, serta mendorong untuk secara kreatf menerjemahkan masalah-masalah
praktis antara konteks kultural al-Qur’an dengan konteks kultural kehidupan modern
orang beriman. Metode interpretatif Nurcholis Madjid ini pertama-tama
ditunjukan untuk membanggakan prinsip-prinsip yang terkandung di dalam
ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan isu-isu keadilan sosial atau isu-isu
moral, dengan mengacu pada lingkungan-lingkungan kultural dan historis pada
masanya, yang meliputi bukan hanya konyeks makro abad ke-7 Arabia melainkan
juga konteks mikro dimana partikulasi al-Qur’an diturunkan. Maka itulah
perlunya menerjemahkan prinsip-prinsip itu kedalam petunjuk-petunjuk
pelaksanaan yang relevan dengan masyarakat Indonesia modern abad-20, sebagian
juga relevan untuk masa-masa awal ketika al-Qur’an diturunkan.
Sampai saat ini
barangkali patut dipersoalkan, bahwa pikiran Nurcholis Madjid muncul agak
berbeda dari para pemikir Moderenis sebelumnya. Bahkan pandangannya terhadap
kitab suci, sekalipun dalam praktik lebih progresif daripada kebanyakan kaum
Modernis, tidak jauh berbeda dengan Muhammad Abduh. Dan perbedaan mencolok
antara Nurcholis Madjid dengan kalangan Moderenis bukan terletak pada pandangan
terhadap kitab suci, karena perbedaan ini dalam tataran tingkatan saja bukan
substansi, melainkan lebih pada brntuk menyeluruh dan konsisten dalam upaya
merealisasikan pandanannya terhadap kitab suci. Seringkali dikatakan bahwa
Moderenisme secara keseluruhan merupakan gerakan intelektual yang memperhatikan
rasionalisme. Akan tetapi neo-Moderenisme di Indonesia justru mengambil apa
yang ditinggalkan Moderenisme, dan membawa rasionalisme tadi khususnya
pendekatan rasional terhadap kitab suci menuju kesimpulan yang logis.[32]
Jika menelaah Djohan
Effendi, ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, term term sekularisai dan
desakralisasi, ukhrawi dan duniawi tidaklah penting. Perbandingan secara
sepintas antara tulisan-tulisan mereka tahun 1970-an dengan karya-karya
Nurcholis Madjid boleh jadi memberikan gambaran bahwa term-term tersebut
merupakan perbedaan pokok. Namum jika kita membaca karya-karya keempat tokoh
tersebut dengan amat teliti, akan kita temui secara persis pemahaman yang sama
seperti dengan term-term Nurcholis Madjid. Keempat tokoh tersebut begitu
meyakini, bahwa alam duniawi adalah alam yang terus berubah. Dan mereka tidak
bertentangan untuk meyakini bahwa elemen-elemen yang mendasari Islam itu kekal
serta relevan.
Kecenderungan Djohan
Effendi untuk bersikap liberal, sebagai konsekuensi langsung dari
perbedaan-perbedaan kepribadian, namum faktor-faktor lainnya ikut mempengaruhi.
Meskipun kedua orang ini di Indoesia dikenal sebagai intelektual-intelektual
Islam, akan tetapi kehadirannya Nurcholish Madjid sebagai publik figur lebih
memilih vibrasi yang besar daripada Djohan Effendi. Nurcholis Madjid bukan
sekedar intelektual murni, tapi intelektual yang terlibat dalam pergulatan
pemikiran di masyarakat. Tulisan-tulisan Nurcholis Madjid dan
pertanyaan-pertanyaannya, senantiasa menjadi bahan perbincangan. Dan terutama
karena Nurcholis Madjid telah membangun kredibilitasnya sebagai pemimpin atau
intelektual islam sejak du dasawarsa terakhir pada tahun 1970-an ke atas, maka
ia cukup strategis dalam mengaktualisasikan gagasan-gagasannya ke dalam prilaku
yang tidak mengusik batas-batas sensibilitas umat. Sikap pemalu dan hati-hati
serta terbiasa berdiri di podium, menyebabkan Djohan Effendi menggerahkan
energi baik secara profesional maupun pribadi di wilayah dialog antar agama,
sebuah lahan yang mendorong bakat spekulasinya. Akhirnya, persoalan di atas
lebih merupakan faktor-faktor nuansa daripada substansi. Dalam parameter yang
mendasar dan berbagai orientasi, betapapun pikiran Djohan Effendi adalah sama
dengan gagasan Pembaharuan Pemikiran Islam yang diartikulasikan Nurcholis
Madjid pada tahun 1970-an.[33]
Pokok-pokok yang
menggambarkan tentang keberanian dan
karakter liberal pemikiran Djohan Effendi, juga bisa diterapkan pada pemikiran
Ahmad Wahib. Dalam berbagai hal, bagaimana pun juga pemikiran Ahmad Wahib
secara tertib paralel dengan pandangan Nurcholis Madjid.
Dua faktor pokok
membutuhkan perhatian ketika memperhitungkan gagasan-gagagsan yang dikembangkan
Ahmad Wahib. Pertama, bahwa Ahmad Wahib wafat pada tahun 1973, berarti ia
berbeda dengan Nurcholis Madjid, Sjohan Effendi dan Abdurrahman Wahid, maka tidaklah
mungkin untuk mengkaji ide-ide Ahmad Wahid tahun 1970-an ternyata menunjukan
kesamaan semangat dengan tulisan-tulisan mereka sendiri yang selanjutnya.
Adapun terhadap Ahmad Wahub, Greg terbatas hanya meneliti awal dari sebuah
gambaran intelektual, dan hanya bisa berspekulasi tentang lintasan perjalanan
selanjutnya.
Kedua hubungan dngan
yang pertama, persoalan sumber. Di satu sisi kami memperoleh manfaat besar dari
kekayaan serta intimitas luar biasa kumpulan tulisan dalam bentuk buku harian
Ahmad Wahib ini. Di sisi lain, catatan pribadi tersebut, bagaimanapun
mencerahkannya, tetap tidak seperti sebuah tulisan, dalam arti seperti layaknya
tulisan-tulisan Nurcholish Madjid, Djohan Effendi dan Abdurrahman Wahid.
Konsekuensinya, merupakan suatu kesukaran untuk mengetahui secara serius
tentang bagaimana menilai karya Ahmad Wahib.
Dalam satu hal asusmi
yang tidak bisa di bantahkan, Abdurrahman Wahid banyakmenulis tentang
pesantrendan kehidupan pesantren, masalh yang sedikit sekali di sentuh oleh
ketiga temannya. Mereka tentu saja tidak
menulis yang Abdurahman Wahid jabarkan. Mereka juga tidak menganalisis secara
kristis tentang tantangan-tantangan dan problema yang di hadapi pesantren.
Pertimbangan lebih jauh
terhadap Abdurrahman Wahid menjelaskan ada banyak kesamaan antara pemikiran
Abdurrahman Wahid dengan pembahruan Islam Nurcholis Majid yang poko pada
unsur-unsur tersebut adalah pada kebutuhan Ijtihad. Abdurrahman Wahid
dan Nurcholis Amdjid tidak selalu merujuk Ijtihad dalam nama kebutuhan
pada Ijtihad yang di kaji dalam buku Greg barton terus menurus menjadi
isu fundamental kepada empat tokoh tersebut. [34]
Jika kita amati lebih
lanjut, neo-Moderenisme ini menjadi Diskursus Islam Liberal diIndonesia, dimana
neo-Modernisme ini bermetafosis menjadi islam liberal. Pemikiran islam liberal
yang biasa di singkat sebagai “Islib” kemudian di populerkan oleh satu kumpulan
para pemuda dengan menumbuhkan satu rangkaian kerjasama di dalam dan di luar
Negri, yang mereka namakan sebagai “Jaringan Islam Liberal”:JIL.
Gerakan Islam Liberal[35]
di Indonesia menemukan momentumnya pada awal 1970-an, seiring dengan perubahan
politik dari era Soekarno ke Soeharto. Gerakan ini dipicu oleh munculnya
generasi santri baru yang lebih banyak berkesempatan mempelajari Islam dan
melakukan refleksi lebih serius atas berbagai isu sosial-keagamaan. Seperti
telah disebut sebelumnya, tokoh paling penting dalam gerakan pembaruan ini
adalah Nurcholis Madjid(sarjana islam yang mempunyai semua syarat untuk menjadi
pembaharu). Lahir dan tumbuh dari keluarga santri, Nurcholis Madjid adalah
penulis dan pembicara yang luar biasa. Ia menguasai ilmu sosial sama baiknya
dengan uraian tentang khazanah Islam. Nurchois adalah penerus sempurna gerakan
pembaruan Islam yang telah dimulai di Indonesia sejak abad ke-19.[36]
Singkatnya
gagasan neo-Modernsisme Islam Fazlur Rahman kini di tanah air muncul dalam
kemasan baru yang disebut “Islam Liberal”. Dengan kemasan baru tersebut,
neo-modernsme seakan mendapatkan suntikan darah segar. Gagasan-gagasannya
kembali diingat dan diapresiasi, bahkan juga menimbulkan kontroversi.
Sebagaimana ketika ia dulu diintroduksi oleh kalangan intelektual seperti
Nurcholis Madjid, yang secara “kebetulan” merupakan muridnya Fazlur Rahman di
Universitas Chicago, AS.[37]
C.
Kesimpulan
Di Indonesia ,beberapa tokoh seperti Nurcholis Madjid, Abdurrahman
Wahid, Ahmad Wahib, Djohan Effendi juga berpendapat relatif sama. Paradigma
pemikiran seperti itu kemudian kemudian melahirkan pendapat bahwa pada dasarnya
ada kesesuaian antara Islam dan sistem politik Modern ; termasuk yang
diterapkan di beberapa negara barat yang mayoritas penduduknya tidak menganut
agama Islam. Pandangan yang paling lunak terhadap politik islam pun, yang
menolak pendirian negara Islam dan dan penerapan syari’at islam, termasuk
bagian dari pembaru Islam Indonesia meski tidak masuk kategori
modernis-liberal.
Liberalitas penafsiran terhadap agama juga
memiliki imbas positif, terutama dalam kaitannya dengan realitas sosial
masyarakat yang pluralistik. Dalam hal ini, pemikiran liberal mampu
mengakomodasi pluralitas agama dan budaya yang pada gilirannya juga mampu
membangun hubungan sinergis antara agama dan pluralisme yang ada di masyarakat.
Imbas positif itu juga terlihat pada upaya menghadirkan agama agar lebih
responsif terhadap isu-isu global dan problem kemanusiaan yang menjadi
perhatian semua agama dan peradaban dunia.
[6] Humanitarian adalah sebuah moral kekerabatan,
tanpa pamrih, dan simpati yang ditunjukan kepada seluruh umat manusia.
Humanitarianisme telah menjadi kondep sejak dulu, namun tema umunya
berubah-ubah, tanpa memandang gender, orientasi seksual, ras, kasta, usia,
agama, kemampuan, atau kewarganegaraan.
[7]
http://www.madinaonline.id/
[10] M. Dawam raharjo, ia terkenal sebagai ekonom
dan tokoh agama. Ia telah banyak menulis buku-buku baik tentang ekonomi maupun
tentang agama islam. Dawam pernah menjadi ketua dari ICMI-Seindonesia, pemimpin
Jurnal ilmu dan kebudayaan Ulumul Qur’an, dan ketua yayasan ELFAS (Lembaga
Studi Agama dan Filsafat). Selain itu, Dawam juga di kenal sebagai seorang
sosok multidimensi, karena ia adalah seorang ahli ekonomi, pengusaha,
budayawan, cendikiawan , juga aktifis LSM, pemikir Islam dan juga penafsir.
Dawam dilahirkan di solo, 20 april 1942. Ia meruopakan anak sulung dari
Muhammad Zuhdi Rharjo dan Mutmainnah. Meskipun dilahirkan di lingkungan
keluarga yang sederhana , namun Dawam telah berprestasi sejak kecil. Selama
masa kecilnya, ia banyak belajar mengenai ilmu-ilmu agama. Dalam meniti karis
Dawam pernah bekerja sebagai staf di Departemen Kredit Bank of America, jakarta
1969. Tapi setelah dua tahun bekerja di perusahaan tersebut, ia memutuskan
berhenti, selepas dari Bank Of America, Dwam kemudia bergabung di LP3ES (Lembaga
penelitian dan pembangunan Ekonomi-Sosial) sebagai staf peneliti. Lambat
launposisinya merangkak naik menjadi kepala Bagian Penelitian dan Pengembangan
hingga ahirnya menjadi direktur. Pada saat di LP3ES inilah, pengetahuan Dawam
tentang ekonomi kerakyataan bertambah. Sejak itu, tulisan maupun esainya
mengenai ekonomi dan politik tersebar di media massa. Setalah kurang lebih 10
tahun di LP3ES, ketertarikan Dawam pada dunia LSM semakin besar. Ia pernah ikut
merintis sekaligus memimpin beberapa LSM, antara lain : Lembaga studi ilmu-ilmu
kemasyarakatan, Lembaga Studi Ilmu-ilmu kemasyarakatan, lembaga studi
pembangunan(LSP), pusat pengembangan masyarakat Agrikarya (PPMA), dan lembaga
studi Agama sn filsfat (LSAF). Sementara itu dia mengembangkan minat intelektualnya
untuk menggali al-Qur’an yang membawanya untuk mempelajari bebaragai buku
tafsir maupun buku0buku yang berkaitan dengan al-Qur’an. Dalam penelusurannya
itu dia menemukan arti pluralisme dan toleransi dalam kehidupan beragama.
Menurutnya pluralisme merupakan sebuah jalan menuju kedamaian dan toleransi
menjadi kata kuncinya, dawan raharjo mengaku, saat dirinya belum toleran, ia
harus terus-menerus membenci dan menolak segala sesuatu yang berbeda darinya.
Namun setelah toleran, ia mengaku mendapat kasih sayang lebih banyak. Ancaman
yang dia terima pun malah berkurang.
[11] HMI merupakan organisasi independen, mandiri
; terlepas dari tuduhan, khususnya dari PKI, bahwa HMI adalah ‘anak Masyumi’.
Independen HMI ditunjukan tidak hanya pada penolakannya untuk bergabung dengan
partai-partai politikyang ada, melainkan juga oleh cita-citanya untuk menjadi
organisasi yang kritis terhadap partai-partai politik tersebut, bahkan pada
mayumi, lihat Greg Barton, “Gagasan islam liberal di Indonesia” hal : 59
[12] Usaha sungguh-sungguh yang di lakukan para
ahli agama untuk mencapai suatu putusan (simpulan) hukum syarak mengenai kasus
yang penyelesaiannya belum tertera dalam al-Qur’an dan sunnah.
[13] Mahasiswa IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan bukan mahasiswa UI atau dari salah satu lembaga-lembaga sekular yang
menjadi basis kuat HMI.
[14] Secara ironis, ‘Natsir Muda’ memang sama
persis dengan saat Natsir masih muda, tapi tidak tampak sebagai Natsir Tua.
Lihat juga keterangan Natsir Muda yang di dapat Nurcholis Madjid di bukunya
Greg Barton, “Gagasan Islam Liberal di Indonesia” hal :55
[18] Dikatan penting karena Nurcholis Madjid
memburu buku-buku, seperti karangan-karangan kaum kiri tulisan Michael
Harrington dan Erich Fromm tentang Sosialisme Demokrasi. Cak nur memang kutu
buku dan suka gagasan-gagasan baru. Apalagi situasi politik dan ekonomi
Indonesia di akhir 1960-an tidak memungkinkannya untuk mendapatkan edisi
terbaru dan kontroversial.
[20] Kebanyakan keterangan di bagian ini didapat
dari catatan-catatan Djohan Effendi yang ditulis untuk Greg Barton di bulan
Januari 1992. Keterangan lainnya diperoleh dari serangkaian wawancara di Jakarta
dengan Djohan Effendi juga teman-temannya di bulan November dan Desember 1989,
Desember 1991, Januari dan Juli 1992, di Melboure di bulan Februari dan
September 1991, Desember 1992 dan Oktober 1994, serta melalui wawancara per
telepon yang sering sekali anatara Greg Barton dan Djohan Effendi di antara
tahun 1990 dan 1994. Keterangan tentang riwayat hidupnya yang lain ditemukan
juga dari beberapa buku dan artikel, dimana yang paling penting adalah yang
ditulis oleh Ahmad Wahib, Catatan Harian Ahmad Wahib.
[21] Kebanyakan informasi dan seksi ini diambil
dari bagian yang bermacam-macam yang terdapat dalam “Catatan Harian Ahmad
Wahib”. Rincian mengenai kehidupan Ahmad Wahib (dan mengenai masa
belajarnya di Yogya).
[22] Tentunya dalam mengiim anaknya kesekolah umum
dari pada ke sekolah pesantren, sebagai seorang agamawan Sulaiman melakukan
seperti yang banyak di kerjakan para ayah yang taat, termasuk banyak Kiai, di
sepanjang priode ini. Hal ini selaras dengan pandangan Ahmad Wahib sendiri
terhadap ayahnya tersebut yang berwawasan terbuka. Terdapat banyak rujukan
singkat mengenai ayah Ahmad Wahib dalam Catatan Harian Ahmad Wahib, Namun
Cuma satu poin yang menceritakan dengan agak panjang. Poin pada buku tersebut,
kendati di tulis di bulan April 1972, secara khusus masih menjelaskan dengan
baik : ayahku adalah seorang pemberontak pada zamanyya. Dimasa mudanya dia
telah mengkritik beberapa ini kitab-kitab agama yang dinilainya tidak sesuai
dengan al-Qur’an dan Hadist. Dia malah mengatakan pada kyai-kyai gurunya dan
temannya bahwa kitab-kitab semacam sullan dan Safina perlu perlu perombakan. Beliau
juga membuang dengan terang-terangan warisan yang di anggapnya akan mempelihara
pemikiran-pemikiran klenik seperti keris-keris, tombak bahkan lemari kuno yang
dianggap bertuah. Beliau juga menenntang ramalan-ramalan jelek khayalia, dengan
misalnya sengaja membangun rumah pada masa celaka (menurut perhitungan
dukun). Ayahku merupakan tokoh santri pertama di Sampang yang menyekolahkan
anak putrienya di sekolah umum. Dan beliaulah tokoh santri pertama di Sampang
yang mengawinkan sekedar seperti yang diwajibkan Agama, suatu hal yang saya
sendiri masih mempersoalkannya tetapi merupakan keberanian Ayah untuk membikin
alternatif lain pada lingkungannya.
[23] Kata yang digunakan adalah aktivis, dan
ini seperti term-term umum lainnya yang dipakai, termasuk kata kader (Inggris:cadre).
Kata kader lebih banyak merefleksikan kelompok-kelompok mahasiswa seperti
HMI, dan kelompok-kelompok mahasiswa ini mengambil terminologi kader dari betenoir
(sesuatu yang paling di benci) mereka yaitu PKI. Ini mengingatkan pada
ketegangan tingkat tinggi yang terbangun di masyarakat Indonesia saat itu dan
merupakan hasil dari sikap militer di seluruh Indonesia, tidak kecuali HMI.
[27] Pada
bulan April 1953, Gus Dur pergi bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah
Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru. Di suatu tempat di sepanjang
pegunungan antara Cimahi dan Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan. Gus Dur
bisa diselamatkan, akan tetapi ayahnya meninggal. Kematian ayahnya membawa
pengaruh tersendiri dalam kehidupannya
[29] Di buktikan dengan adanya buku Gus Dur dan
Sepak Bola (kumpulan kolom Gus Dur Tentang Sepak Bola) editor : Mustiko
Dwipoyono. “Bukankah kita akan diperkaya dalam pemahaman kita tentang kehidupan
manusia oleh sesuatu yang terjadi di lapangan sepakbola? Sepakbola merupakan
bagian kehidupan atau sebaliknya, kehidupan manusia merupakan sebuah umur
penunjang sepakbola” *Gus Dur.
[31] Mujamil Qomar, “NU Liberal (dari
Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam”, Bandung : Mizan, 2002,
hal : 166
[35] Istilah liberal/liberalisme dalam percakapan
kita tidak lepas dari konteks. Orang bisa membicarakan liberalisme dalam
konteks ekonomi. Dalam koteks ini kita bicara tentang ekonomi liberal, dimana
terhadap kebebasan bersaing, yangdibedakan dari ekonomi sosial di peranan
negara sangat menentukan. Orang bisa juga membicarakan liberalisme dalam
konteks politik. Misalnya, dalam kaitan dengan pemerintahan demokratis yang
menjujung tinggi asas kedaulatan rakyat dan menjamin kebebasan berpikir dan
menyatakan pendapat sebagai pilihan lain dari pemerintahan teokratis yang
berdasarkan keyakinan agama akan kedaulatan Tuhan yang diwujudkan melaui
institusi agama, orang maupun hukum, atau pemerintahan otoriter yang mengekang
hak-hak sipil warganegara. Wacana liberalisme di sini saya rasa lebih berkaitan
dengan wacana kebebeasan berfikir khususnya dalam konteks agama.
No comments:
Post a Comment