PENDEKATAN KIRI ISLAM
(Islamic Left, Al-Yasar Al-Islamy Hassan Hanafi)
Adelina Sari Pohan
16771004
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Program Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang
A.
Dasar
Pemikiran
Abad ke-18, terutama di Barat,
dipandang sebagai
awal
dari satu peradaban yang kemudian dikenal
dengan masa modern. Di
bawah dominasi budaya Barat, masa ini ditandai dengan adanya kemajuan pesat dalam
bidang sains
dan teknologi,
yang dipandang
mampu mengubah hal-hal yang
fundamental dalam kehidupan manusia. Hingga abad ke- 20 yang merupakan
abad baru dalam sejarah
yang menjadi dampak dari perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi
tersebut. Abad ini seakan memercepat transformasi informasi maupun
budaya sampai ke segala penjuru dunia, sehingga terjadi banyak
pergeseran dalam berbagai bidang,
tidak
hanya
sosio-kultural, ekonomi,
politik, akan tetapi juga dalam bidang filsafat dan agama.
Pergeseran tersebut telah masuk pada wilayah yang sangat fundamental, yaitu pemikiran dan kesadaran manusia, termasuk
juga pemikiran dan kesadaran
terhadap Islam.
Dari konteks sejarah ini kemudian memunculkan tokoh-tokoh
yang mencoba melakukan revolusi maupun reformulasi terhadap nilai-nilai spiritual
yang telah terbawa arus dunia
modern. Sebagian mereka mengadakan pembaruan Islam dalam perspektif nilai-nilai sendiri
(indigenistik) atau yang telah ada dalam Islam yang orisinil.
Kelompok
tradisionalis lebih
menekankan nilai-nilai
Islam yang telah
berkembang dan terlembagakan ke dalam suatu masyarakat
serta aneka budayanya. Sedangkan kelompok
revivalis lebih menekankan kembali kepada nilai-nilai
Islam sebagaimana dipraktikkan oleh Nabi dan para sahabatnya, dan kurang mengapresiasi budaya-budaya
lokal sebagaimana
kelompok
tradisionalis. Sebagian yang lain menggunakan semangat
kemodernan yang lahir
dari Barat. Para pemikir ini
biasa
disebut kelompok modernis
yang dipelopori oleh Muhammad Abduh
dan Jamal al-Din
al-Afghani di
Mesir.
Dalam konteks sosial politik, semangat modern memang seringkali menuai kemenangan
dan semakin menguat
dari tahun ke tahun,
seperti ideologi nasionalisme, sosialisme, komunisme, dan liberalisme. Namun dalam pandangan sebagian pemikir Islam kontemporer, seperti Seyyed Hossein Nasr, Zainuddin Sardar,
dan Hasan Hanafi, menilai bahwa modernisasi
ala Barat malah mengakibatkan terpuruknya
negara-negara Islam dan mayoritas negara berkembang yang lain.
Dominasi
Barat menjadikan budaya mereka sebagai
sebuah superioritas yang berdampak
pada
kolonialisme dan
imperialisme. Dampak paling serius
yang dirasakan oleh masyarakat Islam,
khususnya Mesir, adalah dampak
ekonomi yang semakin cenderung kepada
Barat. Imperialisme Barat,
dinilai
H}anafî, dimulai sejak perang salib. Kolonialisme yang mengeksploitasi
sumber daya
ekonomi
dan
menguasai politik
dengan membangun koloni-koloni, telah berakhir bagi dunia
Islam semenjak kemerdekaan
negara-negara Arab Islam. Akan tetapi, Kiri Islam memandang bahwa imperialisme masih menjadi salah satu masalah
fundamental abad ini.
Gagasan Hanafi
tentang Kiri Islam muncul
untuk merespons
imperialisme
Barat
dan
sebagai upaya menggugah kesadaran
umat
Islam itu sendiri menuju peradaban yang independen, yang berpijak pada
tradisinya sendiri. Tradisi menjadi pijakan Hanafi untuk menafsirkan bagaimana semangat modern harus dibangun. Ia menentang Barat
dalam hal dominasi yang dianggap tidak manusiawi, namun ia
juga
meniru Barat,
bahkan menghimbau kepada umat Islam untuk melihat bagaimana
Barat bisa berkembang: dalam arti ia juga mengadopsi
pemikiran Barat demi
kepentingan peradaban Islam, bukan
kepentingan melanggengkan
dominasi Barat. Adapun gerakan Kiri Islam modern yang didengungkan
oleh Hasan Hanafi, sejatinya hendak menjadikan Islam sebagai suatu gerakan
revolusioner yang berkesinambungan, sebagai kelanjutan dari gerakan-gerakan pembaharuan yang pernah ada, seperti gerakan
pembaharuan yang dilancarkan oleh Ibnu Taimiyah, Jamaluddin Al-Afgani, Muhammad
Abduh, Rasyid Ridha dan lainnya. Dan untuk mengetahui lebih jelas
mengenai Kiri Islam yang didengungkan oleh Hassan Hanafi, akan dipaparkan dalam
pembahasan makalah ini.
B.
Biografi Hassan Hanafi
1.
Latar Belakang Hassan
Hanafi
Hassan Hanafi lahir
di Kairo, ibu kota Republik Arab Mesir Jumhuriyat Mishr al-Arabiyah, pada tanggal 13 pebruari 1935,[1] kota ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa Muslim dari seluruh dunia
yang ingin belajar, terutama di Universitas Al-Azhar. Meskipun
lingkungan sosialnya dapat dikatakan tidak terlalu mendukung, tradisi keilmuan berkembang di sana sejak lama. Secara
historis dan cultural, kota Mesir memang telah dipengaruhi peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk, dan Turki, bahkan
sampai dengan
Eropa modern.
Masa kecil Hanafi berhadapan dengan kenyataan-kenyataan hidup di bawah penjajahan dan dominasi pengaruh bangsa asing. Kenyataan itu
membangkitkan sikap patriotik dan nasionalismenya
sehingga
tidak heran meskipun masih berusia 13
tahun, ia telah mendaftarkan diri untuk menjadi
sukarelawan perang melawan Israel pada tahun 1948. Ia ditolak oleh Pemuda
Muslimin karena dianggap usianya masih terlalu muda. Disamping itu ia juga dianggap bukan berasal dari kelompok
Pemuda Muslimin. Ia
kecewa
dan segera menyadari bahwa di Mesir saat itu telah terjadi problem persatuan dan perpecahan.[2]
Ketika masih duduk di bangku
SMA, tepatnya pada
tahun 1951, Hanafi menyaksikan
sendiri bagaimana
tentara inggris membantai
para syuhada di Terusan Suez. Bersama-sama dengan para mahasiaswa ia
mengabdikan diri untuk membantu gerakan revolusi yang telah dimulai pada
akhir tahun 1940-an
hingga
revolusi itu
meletus pada tahun
1952, atas
anggota-anggota Pemuda Muslimin. Pada tahun ini pula
ia tertarik untuk memasuki organisasi
Ikhwanul Muslimin sejak tahun 1952 sampai dengan 1956 Hanafi belajar di Universitas
Kairo untuk mendalami bidang
filsafat. Di dalam periode ini ia merasakan situasi yang paling buruk di Mesir. Pada tahun 1954 misalnya, terjadi pertentangan keras antara Ikhwan
dengan gerakan
revolusi. Hanafi berada pada
pihak
Muhammad Najib yang berhadapan
dengan Nasser, karena
baginya Najib memiliki komitmen dan visi keislaman yang jelas.
Tahun-tahun berikutnya,
Hanafi
berkesempatan untuk
belajar di Universitas
Sorbone, Perancis, pada tahun 1956 sampai 1966. Di perancis
inilah untuk berpikir secara metodologis
melalui
kuliah-kuliah
maupun bacaan-bacaan
atau karya-karya orientalis.
Ia sempat
belajar pada seorang
reformis katolik, Jean Gitton, tentang metodologi berpikir, pembaruan, dan
sejarah bimbingan penulisan tentang pembaharuan Ushul Fikih dari Profesor Masnion.
Di waktu-waktu luangnya, Hanafi mengajar
di Universitas Kairo dan beberapa universitas di luar negeri. Ia sempat menjadi professor tamu di Perancis (1969) dan Belgia (1970), Kemudian antara
tahun 1971 sampai 1975 ia mengajar di Universitas Temple, Amerika
Serikat. Pengalaman dengan pemikir besar
dunia dalam berbagai pertemuan internasional, baik di kawasan Negara arab, asia, eropa, dan amerika membantunya semakin paham terhadap persoalan besar yang
sedang
dihadapi dunia dan
umat
islam
di
berbagai
negara. Hanafi berkali-kali mengunjungi negara-negara asing seperti belanda, swedia, Portugal,
spanyol, prancis, jepang, india, Indonesia, sudan
dan Saudi Arabia
antara tahun
1980-1987.[3]
Hassan Hanafi harus diakui merupakan seorang
intelektual Muslim berkebangsaan Mesir yang sangat produktif. Meskipun di negaranya sendiri ia kurang
diterima bahkan dikecam
oleh
kelompok
Islam konservatif-
skripturalis, sebagaimana yang
dihadapi oleh intelektual-intelektual Muslim
yang berhaluan
senada
di
negara
kita, tapi ia
selalu menyempatkan diri menulis beberapa karya ilmiah yang sangat serius dan ilmiah. Sebagian besar karya
Hassan Hanafi dalam banyak hal memberikan penekanan pada
pentingnya
tradisi dan pembaruan (al-turats wa tajdid) dalam upaya membebaskan dunia
Timur (Islam) dari
pengaruh Barat, sehingga tercipta
kesetaraan antara al-ana yakni dunia Timur dan al-akhar yakni Eropa atau Barat.[4]
2. Pendidikan Hassan Hanafi
Hassan Hanafi dilahirkan di Kota Kairo, 13 Februari 1935 M. Keluarganya berasal dari Bani Suwayf, sebuah provinsi yang berada di Mesir dalam, dan berurban ke Kairo, ibukota
Mesir. Mereka mempunyai darah
keturunan Maroko. Kakeknya berasal dari Maroko, sementara
neneknya dari kabilah Bani Mur yang diantaranya menurunkan Bani Gamal Abd Al-Nasser, Presiden Mesir kedua. Kakeknya memutuskan
untuk
menetap di Mesir setelah menikahi neneknya,
saat
singgah
di
Mesir tengah,
ketika pulang
dari perjalanan
menunaikan ibadah
haji.
Menjelang
umur lima tahun, Hassan Hanafi kecil mulai menghafal Al-
Quran, beberapa bulan
dia lalui bersama gurunya Syaikh Sayyid
di jalan Al-
Banhawi, kompleks Bab Al-Sya’riyah, sebuah
kawasan di Kairo
bagian selatan. Pendidikan
dasarnya dimulai di
Madrasah Sulayman
Gaisy, Bab Al- Futuh kompleks perbatasan benteng
Shalah Al-Din Al-Ayyubi selama lima
tahun. Setamatnya dari sana, dia
masuk sekolah pendidikan guru, Al- Mu’allimin. Setelah empat tahun dia lalui dan hendak naik ke tingkat lima tingkat akhir, dia
memutuskan untuk pindah ke Madrasah Al-Silahdar, yang berada kompleks Masjid
Al-Hakim bin Amrillah dan langsung diterima di
kelas dua mengikuti jejak kakaknya hingga tamat. Di sekolahnya yang baru inilah,
dia banyak
mendapatkan kesempatan belajar
bahasa asing.
Hanafi
dalam
menempuh pendidikan
menengah atasnya,
lebih senang melalui Madrasah Tsanawiyah Khalil Agha, di jalan Faruq al-Ghaisy, selama
5 tahun. 4 tahun untuk memperoleh bidang kebudayaan, dan 1 tahun untuk bidang kependidikan. Walaupun
usianya masih relative muda, Hanafi sudah mulai terlibat dengan berbagai diskusi wacana gerakan, seperti gerakan Ikhwanul Muslimin. Sejak
saat itu, Hanafi
mulai tertarik
dengan aktivitas sosial, dari sanalah Hanafi
mulai bergesekan dengan berbagai pemikiran
Sayyid
Qutb
tentang
keadilan sosial dan
Islam, dan
sejak saat
itulah, ia berkonsentrasi untuk mendalami pemikiran agama,
revolusi dan perubahan sosial. Sebenarnya, jika dilihat dari kaca
mata lain, Hanafi dibesarkan dalam
lingkungan keluarga musisi. Hal ini terbukti bahwa Hanafi pernah bercita-cita ingin menjadi seorang musisi. Menurut
Hanafi,
musik adalah suatu wadah
untuk mengekspresikan keadaan jiwa di hati seseorang. Namun, pada
perkembangan berikutnya, Hanafi bergeser cenderung
ke kajian filsafat. Di
dalam filsafat Romantisme, Hanafi merupakan perpaduan antara
keduanya,
yakni intelektualitas dan estetika. Namun Filsafat ini, dapat ditemukan dalam filsafat
Hegel,
Ficthe, Schelling, Kierkegard dan Bergson.[5]
Gelar kesarjanaan dia peroleh dari Fakultas Adab (Sastra Arab) Universitas Kairo Jurusan Filsafat. Pada 11 oktober 1956, Hassan Hanafi berangkat meninggalkan Mesir, menuju
Universitas Sorbonne,
Prancis. Selama kurang
lebih sepuluh tahun, dia hidup di kandang orientalis Barat. Tradisi pemikiran dan keilmuwan Barat berhasil dia kuasai dengan cukup baik, bahkan dalam satu artikelnya dia mengatakan, Itulah Barat yang aku pelajari, aku kritik, aku cintai, dan akhirnya aku benci. Di sini ia memperoleh lingkungan yang
sedang dihadapi oleh negerinya dan sekaligus merumuskan
jawaban-jawabannya. Di Prancis inilah ia dilatih untuk berpikir secara metodologis melalui kuliah-kuliah
maupun bacaan-bacaan atau
karya-karya
orientalis. Ia sempat
belajar
pada seorang
reformis
Katolik,
Jean Gitton,
tentang metodologi berpikir, pembaruan, dan sejarah filsafat. Ia belajar
fenomenologi dari Paul Ricouer, analisis kesadaran dari Husserl, dan
bimbingan penulisan tentang pembaharuan Ushul
Fiqih dari
Professor
Masnion.
Pada tahun
1961, disertasinya
tentang ushul fiqih dinyatakan sebagai karya
ilmiah terbaik di Mesir, disertasi setebal 900 halaman itu dia
beri judul “Essai
Sur La Methode D’exegese” (Esai Tentang Metode Penafsiran). Sementara, karya ilmiah yang
berhasil dia tulis selama jenjang akademisnya sebanyak
tiga
macam,
yaitu (1) Essai sur la Methode D’exegese (Esai Tentang Metode
Penafsiran), yang memperoleh hadiah sebagai karya ilmiah terbaik di Mesir: (2) Exegese de la Phenomenology (Tafsir Fenomenologi) dan
(3) La Phenomenology de’exegese (Fenomenologi
Tafsir).
Adapun perguruan tinggi yang
pernah di singgahi oleh Hassan Hanafi untuk
visi misi pengajaran keilmuwan, antara lain di Prancis pada tahun 1969, di Belgia tahun 1970, di Temple University Philadelpia Amerika Serikat tahun 1971-1975,
di Universitas
Kuwait tahun 1979, di Universitas
Fez Maroko tahun 1982-1984, dan
di Persatuan
Emirat Arab tahun
1985. Dari berbagai kesibukan di dunia akademis, Hassan
Hanafi
masih tetap aktif di organisasi
kemasyarakatan lainnya seperti menjadi sekretaris umum persatuan masyarakat filsafat Mesir, menjadi anggota ikatan penulis se-Asia
Afrika, menjadi anggota
gerakan solidaritas Asia-Afrika
serta menjadi presiden persatuan
masyarakat
Arab.
Setelah menyandang gelar doctor pada
tahun 1966 M, dia kembali
pulang ke Mesir dan mengajar di Fakultas Sastra Jurusan Filsafat, Universitas
Kairo hingga tahun 1971. Kemudian, berangkat ke Amerika
Serikat sebagai
dosen tamu di Universitas Temple, Philadelpia, hingga
1975. Dia kembali ke
Universitas Kairo pada tahun 1982. Kemudian, dipinjam
sebagai dosen kehormatan di Universitas Fers,
Maroko, selama dua tahun. Dia menjadi dosen di Universitas Los Angeles Amerika
Serikat, dan terakhir di Universitas Cape Town Afrika Selatan. Pada tahun 1989, dia ditunjuk sebagai ketua
Jurusan Filsafat di Fakultas Sastra Universitas Kairo hingga diberhentikan pada tahun 1995. Hassan Hanafi
adalah
pelopor pendiri organisasi himpunan filsuf
Mesir yang berdiri pada 1986 dengan diketahui oleh Dr. Abu Al-Wafa ‘Al- Taftazani, yang kemudian digantikan oleh Dr. Mahud Hamdi Zaqzuq Menteri
Agama Mesir sekarang.
Sementara,
Hassan Hanafi bertindak
sebagai sekretaris
jenderalnya. Beberapa seminar tentang
filsafat, baik rasional maupun internasional,
selalu dia ikuti, dalam pergumulannya dengan para
pemikir Muslim kontemporer lainnya, dia sering mendapatkan “sandungan” meski tidak sedikit para pemikir yang
mengacungkan jempol buatnya, label-label seperti mulhid,
sekular, maupun bravo alaik (great) pun
sudah akrab di telinganya, toh dia terus
maju berjuang membela kaum
lemah yang tertindas.[6]
3. Kondisi Sosial Hassan Hanafi
Hanafi lahir dan dibesarkan dalam kondisi masyarakat Mesir yang
penuh pergolakan dan pertentangan. Dari sisi sosial politik, saat itu terdapat
dua kelompok ekstrem yang saling
berebut pengaruh Sovyet di seluruh dunia.
Kemenangan Sovyet selama perang dan dikukuhkannya perwakilan Sovyet di
Kairo (1942) merangsang minat kalangan mahasiswa dan kaum muda untuk belajar komunisme. Sementara di sayap kanan, ada Ikhwanul Muslimin,
didirikan Hassan Al-Banna tahun 1929 di Ismailia yang pro-Islam dan anti Barat. Kelompok ini memiliki sejumlah besar pengikut, termasuk Hanafi
sendiri pada awalnya. Pengaruhnya yang kuat tidak hanya di Mesir tetapi
sampai juga di luar
Mesir termasuk di Indonesia akhir-akhir ini.
Pemerintah Mesir sendiri ambil bagian
dalam pergolakan, dengan
melakukan pembersihan
terhadap kaum
komunis
(1946), kemudian melakukan
pembunuhan terhadap
al-Banna
(1949), setelah setahun sebelumnya terlarang aktivitas kelompok ini. Pergolakan ini terus berlanjut
setelah tahun 1952 meletus revolusi yang dimotori oleh Ahmad Husain, tokoh
partai sosialis. Beberapa bulan kemudian, pada tahun yang sama, sekelompok perwira muda yang dikenal dengan Free Officer yang
dikomandoi Muhammad Najib mengambil kesempatan dengan melakukan kudeta terhadap raja Faruq, saat
situasi tidak dapat
dikendalikan.
Saat pengambilalihan kekuasaan ini, Najib sebenarnya
menggandeng Ikhwan al-Muslimin yang mempunyai basis kuat di kalangan masyarakat bawah. Akan tetapi, setelah ia menjadi presiden dengan
Gamal Abdul Naser sebagai Perdana Menteri, Najib menendang Ikhwanul Muslimin karena
menganggap bahwa
kelompok ini sangat berbahaya terhadap kelangsungan kekuasaannya.
Dari sisi pemikiran, ada tiga kelompok pemikiran yang berbeda dan
bersaing saat itu. Pertama, kelompok yang cenderung pada Islam (the Islamic
trend) yang diwakili oleh al-Banna dengan Ikhwanul Muslimin-nya. Kedua,
kelompok yang cenderung pada pemikiran bebas dan rasional (the rasional scientific and liberal trend) yang diwakili oleh, antar lain,
Luthfi al-Sayyid
dan
para emigrant Syiria yang lari ke Mesir. Dasar pemikiran kelompok ini bukan Islam tetapi peradaban Barat dengan prestasi-prestasinya. Ketiga, kelompok yang berusaha memadukan Islam dan Barat (the synthetic trend)
yang diwakili
oleh
Ali Abdul Raziq
(1966).
Dalam menghadapi
tantangan modernitas dan
liberalism politik, kelompok
pertama dan kebanyakan ulama konservatif menganggap bahwa politik Barat tidak bisa
diterapkan
di Mesir, bid’ah. Pengadopsian system politik Barat oleh pemerintah
Mesir berarti pengingkaran terhadap nilai-nilai Islam. Sebaliknya, kelompok kedua yang
kebanyakan para sarjana didikan Barat menganggap bahwa jika Mesir ingin maju, ia harus menetapkan system Barat.
Mereka menganggap bahwa ulama adalah kendala
modernisasi, bahkan penyebab keterbelakangan Mesir
dalam sosial-politik dan ekonomi. Pemikiran
dan
gerakan kelompok kedua ini
banyak mendapat dukungan dari pemerintah, sehingga dalam hal tertentu berhasil mencanangkan program-programnya. Dukungan ini dikarenakan adanya keinginan pemerintah untuk memperluas perannya dalam berbagai sektor kehidupan,
disamping semakin dominannya pengaruh Barat
pada Mesir.
Hanafi
sendiri tidak begitu setuju dengan gagasan-gagasan kelompok
pemikiran di atas, meski pada awal karir
intelektualnya pernah berpihak pada
kelompok pertama. Tetapi, pemikirannya mengalami proses dengan banyak
dipengaruhi oleh kelompok
dua dan
ketiga,
terutama
setelah belajar
di
Perancis. Walhasil, bangunan pemikirannya
terbangun lewat situasi gerak pemikiran
di Mesir dan Perancis[7]
4. Karya-karya Hassan Hanafi
Pada tahun 1960-an, pemikiran Hanafi dipengaruhi oleh
paham-paham nasionalistik-sosialistik populistik yang dominan saat itu,
dan juga dirumuskan
sebagai ideology
Pan Arabisme, serta saat setelah kekalahan Mesir dalam
perang melawan Israel pada tahun 1967. Pada awal dasawarsa ini pula (1956-1966), Hanafi sedang berada dalam masa-masa belajar di Prancis. Di situlah dia
lebih banyak lagi menekuni bidang-bidang filsafat dan ilmu sosial yang selanjutnya melakukan rekonstruksi
pemikiran Islam.
Dalam
proses rekonstruksi itu, selama berada di Prancis ia mengadakan penelitian tentang
metode interpretasi sebagai upaya pembaruan bidang
ushul fiqih (teori hukum Islam, Islamic Legal theory) dan tentang fenomenologi sebagai metode untuk memahami agama
dalam konteks realitas
kontemporer. Hasil pemikiran Hassan Hanafi pada fase awal bersifat ilmiah murni.
Selanjutnya, ia mulai berbicara tentang
keharusan Islam untuk
mengembangkan wawasan
kehidupan yang progresif dan berdimensi pembebasan (taharrur, liberation). Ia mensyaratkan fungsi pembebasan jika memang
itu
yang diinginkan Islam agar dapat membawa masyarakat pada kebebasan dan keadilan, khususnya keadilan sosial, sebagai ukuran utamanya. Struktur
yang populistik adalah manifestasi
kehidupannya dan
kebulatan kerangka pemikiran
sebagai resep utamanya. Hanafi sampai
pada kesimpulan
bahwa
Islam
sebaiknya
berfungsi orientatif
bagi ideology populistik yang ada.
Awal periode 1970-an, ia mengresiasi terhadap penyebab kekalahan umat
Islam dalam perang melawan Israel tahun
1967.
Oleh karena
itu,
tulisan- tulisannya
lebih bersifat populis. Di awal periode 1970-an, ia banyak menulis
artikel di berbagai media
massa, seperti Al Katib, Al-Adab, Al-Fikr al-
Mu’ashir, dan
Mimbar Al-Islam. Pada tahun 1976, tulisan-tulisan
itu diterbitkan sebagai sebuah buku dengan judul Qadhaya
Mu’ashiMu’ashirat fi Fikrina al-Mu’ashir.
Buku ini memberikan
deskripsi
realitas dunia Arab saat itu, analisis tentang tugas para pemikir dalam menanggapi problema umat, dan tentang pentingnya pembaruan
pemikiran Islam untuk menghidupkan
kembali
khazanah tradisional Islam. Kemudian, pada tahun 1977, kembali ia menerbitkan Qadhaya Mu’ashirat fi al Fikr al-Gharib.
Buku kedua ini mendiskusikan pemikiran para sarjana Barat untuk melihat
bagaimana mereka memahami persoalan masyarakatnya dan kemudian
mengadakan pembaruan. Dua
buku itu
merangkum
sebab-sebab
kekalahan umat Islam,
memahami
posisi umat Islam yang lemah, dan
posisi Barat
yang superior. Solusinya adalah upaya pemberdayaan umat, terutama
dari
segi pola pikirnya, dan bagaimana menekan superioritas
Barat,
kemudian
lahirlah dua
pokok pemikiran baru yang tertuang dalam dua buah karyanya, yaitu Al-Turats wa al-Tajdid
(Tradisi dan
Pembaruan), dan Al-Istiigrab (Oksidentalisme).
Antara tahun
1971-1975, Hanafi juga menganalisis sebab-sebab
ketegangan antara
berbagai kelompok kepentingan di Mesir. Untuk itulah,
kemudian ia menulis Al-Din wa al-Tsaurah fi Mishr 1952-1981. Dalam
analisnya, Hanafi menemukan bahwa salah satu penyebab utama konflik berkepanjangan di Mesir adalah tarik-menarik antara
ideology Islam dan Barat serta ideology sosialisme. Ia juga
memberikan bukti-bukti
penyebab
munculnya berbagai tragedy
politik dan, terakhir, menganalisis penyebab munculnya radikalisme
Islam.
Karya-karya lain yang ia tulis pada periode ini adalah Religious Dialogue and Revolution dan Dirasat al-Islamiyyah. Buku pertama
berisi pikiran-pikiran yang
ditulisnya antara tahun 1972-1976 ketika ia berada di
Amerika Serikat, dan
terbit pertama kali
pada
tahun
1977.
Pada
bagian pertama buku ini ia merekomendasikan metode hermeneutika sebagai metode dialog antara Islam, Kristen, dan Yahudi. Sedangkan, bagian kedua secara
khusus membicarakan hubungan antara agama dan revolusi, dan lagi-lagi ia menawarkan fenomenologi sebagai metode untuk menyikapi dan menafsirkan
realitas umat Islam.[8]
Sementara itu, Dirasat Islamiyyah, yang ditulis sejak tahun 1978 dan
terbit tahun 1981, memuat deskripsi dan
analisis pembaruan terhadap ilmu- ilmu keislaman
klasik, seperti ushul fiqih, ilmu-ilmu ushulludin, dan filsafat.
Dimulai dengan pendekatan
historis untuk melihat atas
ilmu-ilmu tersebut
untuk disesuaikan dengan
realitas kontemporer. Pada dasawarsa
1980-an sampai
dengan awal 1990-an, dilatarbelakangi oleh kondisi politik yang
relative stabil, Hanafi mulai menulis
Al-Turats wa al-Tajdid yang terbit pertama kali tahun 1980. Buku ini merupakan landasan
teoritis yang
memuat Al-Yasar
Al-Islamiy (Kiri Islam),
sebuah tulisan yang lebih merupakan sebuah “manifesto politik” yang
berbau ideologis.
Selanjutnya,
buku yang berjudul
Min Al-Aqidah ila Al-Tsaurah
(5
jilid)
ditulisnya
selama hampir sepuluh tahun dan baru
terbit pada tahun 1988. Buku ini
memuat uraian terperinci pokok-pokok pembaruan yang ia canangkan dan memuat dalam kedua karyanya yang terdahulu. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika buku ini dikatakan sebagai karya Hanafi yang paling monumental, pada
tahun-tahun
1985-1987, Hanafi menulis banyak artikel yang
ia presentasikan dalam berbagai seminar di beberapa negara,
seperti Amerika
Serikat, Prancis, Belanda, Timur Tengah, Jepang, termasuk Indonesia. Kumpulan tulisan ini kemudian disusun menjadi sebuah buku yang
berjudul Religion, Ideology, and Development yang terbit pada tahun 1993.
Beberapa artikel lainnya juga tersusun menjadi buku dan diberi judul Islam in
the Modern World
(2 jilid). Selain berisi kajian-kajian agama dan filsafat, dalam karya-karyanya yang
terakhir, pemikiran Hanafi juga berisi kajian-
kajian ilmu sosial, seperti ekonomi
dan teknologi. Fokus pemikiran Hanafi pada karya-karya terakhir ini lebih
tertuju pada upaya untuk meletakkan posisi agama serta fungsinya dalam
pembangunan di negara-negara Dunia
Ketiga.
Pada perkembangan selanjutnya, Hanafi tidak lagi berbicara tentang ideology
tertentu, tetapi tentang paradigma baru yang sesuai dengan ajaran Islam maupun kebutuhan hakiki kaum Muslimin. Sublimasi pemikiran dalam diri
Hanafi ini antara
lain didorong oleh maraknya paham sosialisme Nasser di
Mesir pada dasawarsa
1970-an. Paradigma baru ini ia kembangkan sejak paro
kedua dasawarsa 1980-an hingga sekarang. Pandangan universalistik ini di satu sisi ditopang oleh upaya pengintegrasian wawasan keislaman dari kehidupan kaum Muslimin ke dalam upaya penegakan martabat manusia
melalui pencapaian otonomi individual bagi warga masyarakat, penegakan kedaulatan hukum, penghargaan
pada HAM, dan penguatan (empowerment) bagi kekuatan
massa rakyat
jelata.
Pada sisi lain, paradigma universalistik yang diinginkan Hanafi harus dimulai dari pengembangan
epistemologi ilmu
pengetahuan baru.
Orang
Islam, menurut Hanafi, tidak butuh hanya sekadar
menerima dan mengambil alih paradigma ilmu pengatahuan modern Barat yang bertumpu
pada materialisme, tetapi juga
harus mengikis habis penolakan mereka
terhadap peradaban
Barat itu
dibutuhkan untuk mengenal dunia
Barat dengan setepat- tepatnya. Upaya pengenalan itu sebagai unit kajian ilmiah, berbentuk ajakan
upaya pengenalan itu sebagai unit kajian ilmiah, berbentuk ajakan kepada
ilmu-ilmu kebarat-baratan
(al-Istigrab,
okdidentalisme) sebagai imbangan bagi ilmu-ilmu
ketimuran (al-Istisyraq, orientalisme). Oksidentalisme dimaksudkan untuk
mengetahui peradaban Barat sebagaimana adanya
sehingga dari pendekatan ini akan muncul kemampuan mengembangkan kebijakan yang diperlukan kaum Muslimin dalam ukuran jangka panjang. Dengan pandangan ini, Hassan
Hanafi memberikan harapan Islam untuk
menjadi mitra bagi pemikiran Islam yang dipandang peradaban lain dalam penciptaan peradaban dunia
baru dan universal.[9]
C. Kiri Islam Hassan Hanafi
1. Pengertian Kiri Islam
Jurnal
Kiri Islam adalah kelanjutan adalah kelanjutan Al-Urwah al-Wutsqa dan keterikatannya dengan agenda Islam
al-Afghani, yaitu melawan kolonialisme dan keterbalakangan, menyerukan
kebebasan dan keadilan sosial, serta mempersatukan kaum muslimn ke dalam blok
Islam atau blok Timur. Dengan demikian, Kiri Islam merupakan penyempurnaan
agenda modern Islam yang mengungkapkan realitas dan tendensi sosial politik
kaum muslimin. Ia tidak muncul dari ruang hampa dan bukan sesuatu yang
mengada-ada dalam gerakan Islam, kendatipun ia muncul di tengah-tengah
kekosongan setelah agenda al-Afghani mengalami krisis dan terdistorsi di dalam
Al-Manar, terlebih di dalam majalah-majalah Al-Wa’zh
wa al-Irsyad dan Ad-Da’wah ila Sabil
Rasyad.
Akan
tetapi, nama Al-Urwah al-Wutsqa hanya menjangkau minoritas elit intelektual,
tidak sampai kepada mayoritas rakyat Islam. Di samping itu, Al-Urwah al-Wutsqa
mengasumsikan kesatuan umat dan ikatan
solidaritas keagamaan begitu rupa sehingga umat Islam bersatu pada. Hal
ini benar dari prinsip, QS. Al-anfal 8: 63, Al-Mu’minun 23:52
Hanya
saja Kiri Islam berangkat dari perbedaan-perbedaan yang ada pada umat Islam
yang satu itu, antara kaya dan miskin, kuat dan lemah, antara penindas dan yang
ditindas, yang memiliki segala hal dan yang tak memiliki apa-apa, orang-orang
yang eksisi dan yang tidak eksis. Pengindetifikasian itu berdasarkan pada teks
Al-Qur’an dan realitas. Umat Islam menurut kita, begitu juga menurut
al-Afghani, ada dua: penguasa dan yang dikuasai, pemimpin dan rakyat, tinggi
dan rendah. Perhatian kita adalah mewujudkan sisi pertamanya dan menghilangkan
sisi keduanya. Pemihakan Kiri Islam ada pada sisi kedua dan menyuarakan
mayoritas yang diam di antara umat Islam, membela kepentingan seluruh umat
Islam, membela kepentingan seluruh umat Islam, mengambil hak-hak kaum miskin
dari tangan orang-orang kaya,memperkuat orang-orang yang lemah,dan menjadikan
manusia sama setara seperti gerigi sisir, tak ada perbedaan antara orang Arab
dan orang ajam kecuali atas dasar
ketakwaan dan amal saleh.
Bisa
saja Kiri Islam diberi nama Al-Manar Baru, namun nama itu hanya dikenal secara
terbatas di kalangan pemerhati gerakan-gerakan pembaruan, khususnya kalangan
kaum salaf, meskipun ia mempunyai arti cahaya, petunjuk untuk manusia. Akan
tetapi, semangat revolusioner Al-Manar Lama telah redup. Api al-Afghani telah
padam. Revolusi Islam telah direduksi hanya menjadi impian masa lampau, dan
reformasi agama mundur ke belakang pada apa yang dulu dirintis Ibnu Taimiyah.
Kiri Islam kembali pada semangat awal al-Afghani, menghidupkan kembali bara
apinya, dan mengakibatkan dari ketertiduran.
Kiri
Islam bisa diberi nama lain, misalnya Shahwah al-Islam atau Yaqzhah al-Islam.
Keduanya merujuk pada kebangkitan Islam yang saat ini menjadi wacana utama di seluruh dunia Islam kecuali di dunia Islam
Sunni. Akan tetapi, penamaan dnegan kecuali di dunia Islam Sunni. Akan tetapi,
penamaan dengan kedua nama itu tetap saja menyiratkan kesadaran yang dibangun
oleh gerakan reformisme agama, sementara Kiri Islam bermaksud
mentransformasikan, kesadaran individual menjadi kesadaran kolektif, dari
revolusi intelektual ke revolusi kasunyatan.
Sedangkan nama-nama Nadhah al-Islamiyah, Al-Bats’s al-Islami, Al-Wa’yu
al-Islami, semuanya lebih menonjolkan revolusi internal dari pada revolusi
eksternal. Sedangkan Kiri Islam bercita-cita menegakkan secara serentak,
revolusi internal dan eksternal. Sementara Qadhaya Islamiyah mengisyaratkan
semata aspek teoretiknya saja aspek-aspek tanpa praksisnya, sedangkan Kiri
Islam bermaksud membangun aspek-aspek teoritik dan praksis. Nama Al-Islam
al-Mu’ashir adalah nama yang mengisyaratkan aspek-aspek kontemporer yang sering
kali muncul di dalam pemikiran, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, namun tidak mencerminkan
aspek kontemporanisasi peristiwa-peritiwa revolusioner dan mengikutsertakan
umat Islam sebagai salah satu eksponennya. Nama Al-Mau’izhah al-Hasanah dan
sejenisnya hanya berisi himbauan-himbauana moral,seperti yang sering dilakukan
oleh kaum sufi dan sering dikumandangkan di mimbar-mimbar Jum’at, namun tanpa
muatan reflektif dan semangat perubahan. Himbauan-himbauan seperti itu tidak
pernah mengubah keadaan masyarakat muslim,bahkan yang terjadi justru
sebaliknya: kemiskinan umat, dan membuai mereka dengan impian-impian kosong.
Sedangkan nama At-Taqaddum al-Islami atau Al-Harakat al-Islamiyah memang secara
tegas memuat dimensi revolusioner dalam Islam. Akan tetapi, ia hanya memperkuat
sisi ideologis dari gerakan Islam saja. Semboyan revolusinya, baik di bidang
akidah,moralitas, maupun syariat, tidak pernah terwujud di dalam realitas.
Nama
Kiri Islam dimunculkan secara spontan. Namun itu menggambarkan arus yang
berkembang dalam esai-esai ini. Ia adalah nama ilmiah, sebuah istilah ilmu
politik yang berarti resistensi dan kritisime dan menjelaskan jarak antara
realitas dan idealitas. Ia juga terminologi ilmu-ilmu kemanusiaan secara umum.
Misalnya, terdapat Kiri Freud dalam psikologi, Kiri Hegel dalam filsafat, dan
Kiri Freud dalam psikologi, dan Kiri Keagamaan dalam ilmu sejarah agama-agama.
Jelas ia adalah istilah akademik tanpa pretensi politik dalam asrti ideologi
partai atau mobilisasi massa. Penamaan itu pun setelah melihat realitas umat
Islam yang di kehidupannya terpilah antara penguasa dan yang dikuasai, pemimpin
dan rakyat, kaya dan miskin. Kiri Islam berada dalam barisan orang-orang yang
dikuasai, yang tertindas, kaum miskin. Dengan demikian, ia merefleksikan Kiri
dalam konotasi akademik.
Kami menyadari bahwa dengan penamaan Kiri Islam itu perlawanan
akan datang dari dua arah. Kelompok Persaudaraan Allah akan berkata: tidak ada
Kiri dan Kanan dalam islam. Islam adalah satu, umat Islam satu, dan Tuhan Satu.[10]
2. Latar Belakang Penulisan Jurnal
Kiri Islam
Kiri
Islam lahir setelah berbagai metode pembaruan masyarakat kita dalam beberapa
generasi hanya menghasilkan keberhasilan yang relatif, bahkan untuk sebagainya
gagal terutama dalam mengentaskan masalah keterbelakangan. Hal ini disebabkan
karena, pertama: sebagai tendensi keagamaan yang terkoptasi kekuasaan
menjadikan Islam hanya sekedar ritus dan kepercayaan-kepercayaan ukhrawi.
Padahal realitas Islam bukan merupakan representasi dari sistem Islam sehingga
gebyar ritus-ritus dan perayaan-perayaan itu justru menjadi topeng yang
menyembunyikan wajah dominasi Barat dan kapitalisme nepotis. Sedangkan
kecenderungan keagamaan lain yang tidak terkooptasi, terjebak kedalam
fanatisme-primordial, kejumudan, dan berorientasi kekuasaan. Mereka juga
disibukkan dengan perspektif ketuhanan dan pencitraan yang statis terhadap
realitas, sementara persfektif kemanusian dan pencitraan tentang sejarah dan
gerak masyarakat ditinggalkan.
Kedua,
liberalisme yang pernah berkuasa sebelum masa-masa revolusi yang terakhir,
ternyata didikte oleh kebudayaan Barat, berprilaku seperti penguasa kolonial
dan hanya melayani kelas-kelas elit yang menguasai aset negara. Sementara
mayoritas rakyat ditempatkan di luar lapangan permainan, yang hanya tampak
dalam kerjap-kerjap revolusi.
Ketiga,
Marxisme yang berpretensi mewujudkan keadilan sosial dan menentang
kolonialisme, ternyata tidak diikuti dengan pembebasan rakyat dan pengembangan
khazanah mereka sebagai energi untuk mewujudkan tujuan-tujuan kemerdekaan
Nasional. Keempat, nasionalisme revolusioner yang berhasil melakukan
perubahan-perubahan radikal dalam sistem politik dan ekonomi ternyata tidak
berumur lama, banyak mengandung kontradiksi dan tidak memengaruhi kesadaran
mayoritas rakyat. Ia berhenti hanya sebatas slogan, kiri Islam lahir dalam
rangka merealisasikan tujuan-tujuan pergerakan Nasional dan prinsip-prinsip
revolusi sosialis, hal ini dilakukan melalui pengembangan khazanah umat dan
berpijak pada kesadaran masyarakat Muslim.
Kiri
Islam juga mendapat inspirasi dari keberhasilan revolusi Islam akbar di Iran
yang mengejutkan dunia, dimana rakyat muslim tegak kokoh melawan tekanan
militer dan menumbangkan rezim Syah atas nama Islam dan kekuatan Allah Maha
Besar, penumpas kaum otoriter. Revolusi ini dapat disejajarkan dengan dua
revolusi besar lain, Revolusi Prancis dan Revolusi Bolsjevik, serta menjadi
satu model bagi revolusi keyakinan pada akhir abad XIV. Kiri Islam juga
merupakan resultan dari gerakan-gerakan kaum muslim di Afganistan, Melayu,
Filiphina, Pakistan dan Revolusi Aljazair untuk memunculkan Islam sebagai
khazanah nasional, yang memelihara otentisitas dan kreativitas kaum muslim,
memperjuangkan kepentingan mereka, dan mendinamisikan rakyat muslim di setiap
tempat.
Kiri
Islam adalam benteng pelindung bagi Islam dan kaum muslimin untuk melawan
upaya-upaya kolonialisasi kontemporer. Dalam hal ini Islam menjadi keyakinan
yang strategis, bahkan sekarang ini revolusi Islam telah menjadi ancaman
terbesar bagi negara adidaya, ia menggerakkan rakyat muslim di Cina dan Rusia
serta Asia Timur untk merebut kembali otonomi agama, politik dan kebudayaan
mereka dari belenggu westernisasi dan kolonialisme. Bahkan Uni Soviet pun
menggalang kerjasama dengan Syah untuk memerangi Afganistan karena melihat
ancaman dari revolusi Islam Iran, diam-diam kaum kolonial mengakui potensi
kekuatan revolusi Islam sehingga mereka meninggalkan Syah dan mulai menjalin
persahabatan dengan gerakan revolusi Iran. Bahkan mereka menyeru kepada
pemimpin-pemimpin gereja di Asia Timur untuk menghargai kaum muslimin, menghormati
hak-haknya, memuliakan agamanya, dan mendukung gerakan revolusi. Patut pula
diketahui bahwa pusat Intelejen Amerika (CIA) mengamati secara khusus
gerakan-gerakan Islam kontemporer untuk dimanfaatkan melawan komunis, jelaskah
kekuatan Islam telah menjadi kekuatan nyata dihadapan negara-negara super
power, Barat maupun Timur, dan kiri Islam adalah Ideologi gerakan kaum muslim
ini.
Kiri
Islam juga mengembangkan reformasi agama, tidak hanya dalam tataran mengahadapi
ancaman-ancaman zaman ini, kolonialisme, proteksionisme, kapitalisme, dan
keterbelakangan, dan penindasan, sebagaimana diupayakan al-Afghani. Akan
tetapi, juga dalam tataran rekonstruksi pemikiran keagamaan reformatif itu
sendiri, untuk pertama kalinya, sejak Ibnu Rusyd dalam filsafat, Muktazilah
dalam teologi, Asy-Syabiti dalam Ushul Fiqh, Ibnu Khaldun dalam Sejarah, dan
Ibnu Taimiyyah dalam Fiqh, dilakukan rekonstruksi pemikiran keagamaan.
Kiri
Islam berakar pada pemikir Islam revolusioner Ali Syariati dan upayanya
membangun anatomi revolusi yang merupakan fajar pembuka revolusi Islam di Iran
di bawah komando Imam Khomeini, sebagaimana ia juga berakar pada
gerakan-gerakan Islam kontemporer: Sanusiyah, Omar Mokhtar di Libya, Mahdiisme
di Sudan, Ikatan Ulama Aljazair, Abdul Hamid bin Badis, Abdul Karim
al-Khithabi, asy-Syahid Hasan al-Bana, Sayyid Qutb, dan Abdul Qadir Audah, yang
menggabungkan revolusi nyata menentang imperialisme dan revolusi pemikiran
untuk mengentas keterbelakangan, Kiri Islam memfasilitasi gerakan-gerakan
revolusioner Islam kontemporer dan meneorisasikannya.
Pada penghujung abad XIV dan permulaan abad XV banyak
peristiwa baru yang dialami generasi kita, yang memaksa untuk berfikir kembali
tentang sejarah: masa lalu, kini, dan masa depan. Kiri Islam turut andil dalam
hal ini, dan berupaya setapak demi setapak untuk melakukan transformasi umat
dari belenggu kolonial ke pembebasan, dari eksploitasi sumber daya pada
kepemilikan rakyat, dari nepotisme dan kapitalisme kelas menengah pada
sosialisme umat, dan dari penindasan pada kebebasan dan demokrasi. Permulaan
abad XV ini sesungguhnya membawa preseden baik bagi kaum muslim. Mereka mulai
masuk kembali dalam gerak sejarah setelah revolusi Islam di Iran dan perebutan
hak-hak mereka dengan tangan mereka sendiri sehingga tercapainya otonomi bagi
mayoritas muslim. Oleh karena itu jika kaum muslimin berhasil dalam revolusi
dan memperoleh kembali kekayaannya, dunia berada di tangan, dan di
tengah-tengah kita akan lahir pembaruan, sejalan dengan Hadist, sesungguhnya Allah membangkitkan pada setiap
seratus tahun orang yang memperbarui agama-Nya.[11]
3. Revitalisasi
Khazanah Islam Klasik
Hassan
Hanafi menjelaskan ada 3 (tiga)
pendekatan terhadap khazanah klasik, Pertama adalah pendekatan kaum
tradisionalis yang beranggapan bahwa khazanah
lama telah memberikan
solusi atas persoalan-persoalan yang dihadapi di segala zaman (masa lalu, masa kini, dan masa
depan). Pendekatan
kedua erat kaitannya dengan usaha-usaha pembaharuan
yang dimotori oleh kaum
Modernis. Mereka ingin membangun sebuah bangunan baru disamping bangunan lama yang dianggap seperti tidak mempunyai nilai sama sekali. Adapun pendekatan ketiga
adalah gabungan antara tradisi dan pembaruan.
Sebuah pendekatan yang bermaksud
mengidentifikasi kedua nilai tersebut
dalam rangka mencari
yang relevan dengan perubahan zaman.
Menurut Hassan Hanafi, ada 2 (dua) cara dalam
menafsirkan kembali khazanah
Islam klasik. Pertama adalah reformasi bahasa (linguistik). Bahasa adalah alat untuk
mengekspresikan ide-ide sehingga
perlu direformasi agar tetap memenuhi fungsinya
sebagai media ekspresi dan
komunikasi. Reformasi ini dapat
dilakukan secara otomatis (tilqa’iyya) ketika kesadaran berpaling dari
bahasa lama kepada makna dasarnya, kemudian berusaha untuk mengekspresikan kembali makna dasar
ini dengan menggunakan bahasa-bahasa yang
sedang berkembang. Dengan demikian, makna
yang dipegang adalah makna tradisi, sedang bahasanya adalah
bahasa yang telah direformasi.
Sebagi contoh
tentang makna dari istilah “Islam” yang biasanya secara umum
diartikan sebagai sebuah agama tertentu. Menurut Hassan Hanafi sebaiknya istilah
ini diganti dengan
“pembebasan” sebagaimana disimbolkan
dalam syahadat. Asumsi dasar dari
pandangan teologi semacam ini adalah bahwa Islam, dalam pandangan Hassan Hanafi,
adalah protes, oposisi dan revolusi.[12]
Baginya, Islam memiliki makna ganda. Jika untuk
mempertahankan status-quo suatu
rezim politik, Islam ditafsirkan sebagai tunduk. Sedang jika untuk memulai suatu perubahan sosial
politik melawan status-quo, maka harus menafsirkan Islam sebagai pergolakan.
Cara kedua
untuk pembaruan khazanah
klasik adalah dengan mengganti obyek kajian dari ilmu-ilmu keIslaman tradisional yang sarat dengan
latarbelakang
kemunculannya (budaya lingkugan pada situasi dan kondisi tertentu).
Settingan ini tentu
berpengaruh pada pada perkembangan ilmu-ilmu tersebut: esensi, metode, hasil dan bahasanya sehingga menyebabkan disiplin keilmuan tersebut tidaklah absolut dan karenanya berubah. Hassan Hanafi memberi contoh pada teologi
(ilmu kalam). Pendekatan tradisional mendefinisikan
objek dari ilmu ini adalah
keesaan Tuhan. Menurut Hassan Hanafi, objek tersebut harus diganti dengan manusia,
yakni kesatuan manusia.
Pergantian ini akan menggiring kita untuk mengakui persamaan manusia. Dapat disimpulkan penafsiran yang bercorak transformatif sebagai hasil akhir dari rumusan
praktis metodologi ini.
Kiri Islam lahir dari kesadaran penuh atas posisi tertindas umat Islam,
untuk
kemudian melakukan rekonstruksi terhadap seluruh bangunan
pemikiran Islam tradisional agar dapat berfungsi sebagai
kekuatan pembebasan. Upaya rekonstruksi ini adalah suatu keniscayaan karena bangunan pemikiran Islam tradisional yang sesungguhnya satu bentuk tafsir justru menjadi pembenaran
atas kekuasaan yang menindas.
Upaya rekonstruksi ini diawali dengan
menjaga jarak terhadap Asy’arisme, pemikiran
keagamaan resmi yang telah bercampur
dengan tasawuf dan menajdi ideologi kekuasaan, serta mempengaruhi perilaku negatif rakyat untuk hanya menunggu perintah dan ilham
dari langit. Hassan Hanafi lebih terbuka dengan Mu’tazilah versi
Muhammad Abduh yang memproklamirkan kemampuan
akal untuk mencapai pengetahuan dan
kebebasan berinisiatif dalam
perilaku. Juga melanjutkan apa yang
dirintis oleh Al-Kawakibi dalam menganalisis
faktor-faktor sosial politik untuk membebaskan dan memperkuat kaum muslimin. Dan Kiri Islam juga mewarisi kapabilitas Muhammad Iqbal dan upaya-upayanya dalam “Pembaharuan
Pemikiran Keagamaan dalam Islam” (Reconstruction of Islamic Thoughts).
4. Menantang
Peradaban Barat
Kiri Islam tampil menentang peradaban Barat, dan berusaha untuk
mengggantinya. Al-Afghani memusatkan perhatiannya pada imperialisme militer
pada zaman penjajahan. Kiri Islam memusatkan
perhatiannya pada imperialisme budaya, yakni serangan terhadap kebudayaan kita
dari dalam dengan memusnahkan afiliasinya dengan komunitas (ummah) sehingga komunitas
menjadi tidak berakar. Kiri Islam membela rakyat komunitas Islam,
dan menentang westernisasi yang pada dasarnya bertujuan untuk memusnahkan
budaya-budaya pribumi untuk menyempurnakan hegemoni budaya Barat. Meskipun
rakyat terbelakang dilihat dari standar Barat, mereka masih mempertahankan
unsur-unsur kekuatannya dengan standar budaya mereka yang khusus.
Tugas Kiri Islam adalah mendefinisikan kuantitas
Barat, yakni mengembalikannya ke batas alamiahnya dan mengakhiri mitosnya yang
mendunia. Barat berada pada pusat peradaban dunia, dan ingin mengekspor
peradabannya kepada bangsa-bangsa lain. Barat menyediakan model pembangunan
sebagai alat untuk menguasai dan menghilangkan kekhasan bangsa-bangsa lain.
Akibatnya bangsa- bangsa non-Barat tidak mampu menentukan nasib dan menguasai
kekayaan mereka sendiri. Walaupun peradaban Barat mengembangkan kebudayaannya
dengan mengambil dari kebudayaan bangsa-bangsa lain, ia telah
mentransformasikannya ke dalam rasisme. Ini merupakan rasisme yang menjadikan
satu-satunya model bagi peradaban. Model yang lain, dengan demikian, dicap
terbelakang dan primitif, dan harus dihilangkan agar semua bangsa-bangsa
mengikuti model peradaban satu-satunya ini (Barat). Barat mulai membangun
peradabannya dari Yunani dengan mengenyampingkan semua peradaban Timur yang
mendahului dan mempengaruhi peradaban Yunani. Zaman pertengahan Barat dianggap
sebagai zaman kegelapan dan keterbelakangan, tapi merupakan zaman keemasan
kita. Barat menyebut lima abad terakhir sebagai zaman modern, dan menganggapnya
sebagai puncak peradaban. Zaman modern ini bagi kita merupakan periode stagnasi
di mana pasangan Asy'ariyah dan sufisme menguasai kesadaran kita.[13]
Krisis abad ke-20 di Barat bagi kita adalah awal reformasi. Tugas Islam
Kiri adalah
mengembalikan peradaban Barat pada tempat kelahiran, lingkungan dan sejarahnya.
Ini untuk menghilangkan hambatan bagi berkembangnya peradaban non-Barat. Dan
model-model bagi kemajuan, dengan demikian, bisa menjadi banyak dan
berviariasi.
Tugas Islam Kiri adalah
mendorong peradaban Barat kembali ke Barat; menjadikan Barat sebagai tema studi
khusus bagi peradaban non-Barat. Lebih jauh ia akan melahirkan suatu disiplin
baru, Orientalisme untuk
menandingi Oksidentalisme. Orientalisme sendiri menghadirkan alam pikiran,
pandangan dunia dan motivasi Barat yang terselubung ketimbang studi tentang
objeknya.Karena pengaruh para orientalis, kita telah mengabaikan pembela
otentisitas kita. Tapi berkat akumulasi peradabannya, peradaban Islam kita
dapat diklaim kembali. Ini dapat dipandang sebagai reformasi agama dan
kebangkitan akal. Tapi apa yang mereka kaji dalam upaya-upaya humanistik mereka yang khusus bisa jadi Islam.
Studi peradaban Eropa sebagai objek khusus yang berdiri sendiri dapat
dilakukan dari dua arah: perkembangannya dan strukturnya. Peradaban Islam
adalah pusat melingkarnya ilmu-ilmu. Sementara peradaban Barat bersifat
reaksioner dalam arti bahwa ia tertarik dengan ilmu-ilmu yang membentuk reaksi
terhadap dan menolak pusatnya. Kesadaran
Barat dibentuk oleh dua sumber: Yunani-Romawi dan Yahudi-Kristen. Di samping
itu ada sumber ketiga, yakni lingkungan Eropa yang geografis, manusiawi, dan
beradab, yang mencakup kebiasaan, tradisi, hal-hal geografis dan yang secara
keagamaan ada dalam bangsa dan tanah itu. Tugas kita adalah me!akukan studi
atas sumber-sumber peradaban Timur seperti india, Cina, Persia, dan Mesir,
subjek-subjek yang asal-usulnya disembunyikan Barat.
Memasuki perdebatan soal sumber-sumber atau asal-usul berarti menyajikan
hakikat akumulasi peradaban pada kelahiran kesadaran Eropa di Romawi dan
Yunani. Mengenai asal-usul Yahudi-Kristen, esensi agama Kristen dalam Injil
dihapus, juga dalam Yahudi Ortodoks. Dengan demikian, karena sifat dasar
bangsa-bangsa Eropa yang barbar, dan karena mereka lebih dekat dengan Romawi
yang materialistik ketimbang Yunani yang rasional, maka asal-usul Yunani
peradaban Eropa adalah Ortodoksi Romawi. Rasisme Yahudi secara historis telah
merasuk ke dalam kesadaran Eropa. Dari sanalah rasisme peradaban dipersubur.
Alkitab, dengan dua Perjanjiannya (Lama dan Baru), menjadi sumber kesadaran
Eropa-Yahudi dan Kristen-Eropa. Unsur- unsur dari dua kesadaran itu telah
menyatu pada pengorbanan bangsa-bangsa non-Eropa. Dalam pemikiran Eropa-Kristen,
kenabian disempurnakan dengan kedatangan Yesus Kristus. Sedang dalam kesadaran
Eropa-Yahudi, kenabian disempurnakan dengan pendirian negara Zionis. Tugas kita
adalah menyatakan adanya pengaruh dari kedua sumber ini terhadap peradaban
Eropa. Kesadaran Eropa berusaha menguasai bangsa-bangsa dan merampas kekayaan
umat Islam. Asal-usul Eropa yang ketiga mengandung sifat dasar yang barbar,
berwatak materialistik dan sensasional, buas dan rasis.
Konflik-konflik Eropa berubah menjadi peperangan kolonial. Kekuasaan dunia
mencerminkan sumber yang ketiga. Ini menjadi sejarah agama dan esensinya
terletak dalam peradaban Barat. Ini adalah sejarah agama dan
esensinya bagi semua peradaban yang lain. Peradaban Eropa berkembang dalam tiga
tahap: zaman penolakan terhadap greja, zaman skolastik, dan zaman modern. Tahap
yang pertama penting bagi kita karena teks-teks keagamaan, kredo agama Kristen,
pemikiran tentang bangsa yang terpilih dalam Yudaisme, dll., dikritik. Tugas
kita adalah melakukan studi atas periode ini untuk mengetahui kejadian-kejadian
yang dibicarakan Islam. Studi mengenai hubungan antara agama baru dan filsafat
Yunani- Romawi juga penting buat kita. Bagaimana peradaban kuno (filsafat
Yunani-Romawi) menaklukan agama baru (Kristen), bagaimana
ia memaksakan dirinya pada agama baru, sebaliknya,
Islam mengadopsi filsafat ini sebagai alat untuk reformasi yang tanpa wahyu
kehilangan esensi dan kandungannya. Zaman skolastik di Barat merupakan zaman
keemasan kita dalam revolusi peradaban kita yang pertama. (ni meliputi bagimana
munculnya kesadaran Eropa lewat transfer filsafat dan ilmu-ilmu dari kita.
Rasio Eropa dalam renaissans pada abad ke-14 diarahkan pada alam langsung,
supaya ia bisa berdiri sendiri (lepas dari peradaban sebelumnya, peradaban
Islam).
Kita masih mengikuti kecenderungan ini dalam dua abad terakhir. Pada abad
ke-15 reformasi muncul. Ini merupakan zaman ketika kita mulai menemukan Islam
kembali. Zaman kebangkitan terus berlalu sampai abad ke-17, dan para pemikir
serta ilmuan mejadi martir ketika
berjuang melawan dua otoritas: agama dan politik. Kesadaran Eropa berani
mengarahkan dirinya pada manusia dan alam. Kita belum memulainya secara
terorganisir dan secara fundamental, walaupun kita punya keinginan menetapkan
kebangkitan. Zaman modern mulai pada abad ke-17 di Barat. Ini merupakan zaman
rasio. Rasio dan alam dapat menjadi sumber persepsi dalam kesadaran Eropa. Kesadaran
Eropa menetapkan manusia sebagai pusat dunia. Ia mengikrarkan manusia murni,
rasio, alam dan kebebasan. Manusia dipandang sebagai mahluk yang mempersepsi
kebenaran, dan merealisasikan kebenaran dengan keinginannya sendiri. Maka,
kesadaran Eropa secara otomatis mampu meneliti Islam. Pada abad ke-18, rasio
ini berubah menjadi kekuatan bagi berlangsungnya revolusi sosial dan politik.
Dengan demikian rasio mampu menguasai alam sampai pada abad ke-19, kemudian
ilmu muncul. Dan akhirnya manusia muncul di abad ke-20, di mana krisis
peradaban mulai teriadi. Kesadaran Eropa mulai menghancurkan apa yang
dibangunnya, dan sekarang ia berada untuk menghancurkan dirinya.[14]
Walaupun rasionalisme Eropa menang, banyak celah yang memperlemah
kemenangannya. Maka ia berubah menjadi objek-objek yang menentang dirinya dalam
rasionalisme kontemporer. Pertama, rasionalisme mencurahkan perhatiannya pada
bentuk tanpa isi. Akibatnya, muncul ekserimentalisme Eropa yang menentang
rasionalisme tersebut, yang lebih menyukai isi daripada bentuk, materi daripada
rasio. Kedua, rasionalisme berubah dari kritik fundamental ke penelokakan
prinsip, kemudian ke pengancuran dirinya secara terus-menerus. Rasionalisme
menjadi penghancur dirinya sendiri.
Ketiga, rasionalisme jatuh ke dalam transformasi yang rahasia dan iman ke
tingkat rasio dan bukti. Kemudian, asosiasi ideal muncul atas nama gereja, dan
keabsolutan atas nama Tuhan. Descartes dan Kant membawa Injil baru dengan agama
Kristen yang rasional, ideal, dan etis. Keempat, rasionalisme memusatkan
perhatiannya pada dirinya sendiri, tubuh manusia Eropa. Ia mengikrarkan
humanisme yang terbatas. Maka rasionalisme ini menolak rasio bangsa-bangsa
non-Eropa. Kelima, rasionalisme Eropa belum menghasilkan jejak aktual apa pun,
ia hanya mengubah politik secara formal. Pada hakikatnya bangsa-bangsa Eropa
masih Romawi. Keenam, rasio berubah ke alam aktivitas bebas, kemudian ke datam
kemapanan sistem liberal yang mendukung sistem kapitalis, yang pada gilirannya
mengarah pada monopoli dan ublisasi.
Setelah proses ini, rasio menjadi hampa nilai. Eksperimentalisme Eropa
tidak berlanjut, walau kemenangannya luar biasa besar. Ada beberapa alasan.
Pertama, eksperimentalisme ini betul-betul menjadi eksperimentalisme yang
sentmentil, di mana setiap yang terlihat adalah palsu. Kebenaran tidak terletak
dalam rasio tapi dalam indera. Pengalaman bertentangan dengan rasio. Dengan
demikian, walau kecenderungan komperhensif muncul, rasio Eropa mempunyai
kecurigaan dan kedangkalan.
Kedua, eksperimentalisme mengubah teori murni dalam pengenalan ke dalam
teori tentang watak nasional. Materi menjadi sumber nilai, dan kemudian hanya
materi yang merupakan nilai. Ini materialisme Eropa. Ketiga, materialisme ini
menyatakan watak natural bangsa-bangsa Eropa, akarnya terletak dalam sejarah
suku Jerman dan Anglo-Saxon, yang tidak mempunyai lahan untuk tumbuhnya
rasionalisme dan idealisme. Keempat, peperangan terjadi di antara bangsa-bangsa
Eropa karena materi. Kelima, cinta pada materi berubah menjadi utilisasi yang
dari luar, yang menyebabkan terjadinya kejahatan terbesar dalam sejarah
manusia, yakni penjajahan terhadap bangsa-bangsa lain. Keenam, rencana industri
bangsa.
Eropa berakhir dengan kegagalan setelah krisis energi. Ini merupakan awal
penguasaan mereka terhadap sumber-sumber alam dari bangsa-bangsa non-Eropa, dan
awal terjadinya krisis nilai. Dan ini diakui dengan munculnya kelompok-kelompok
penentang di masyarakat-masayarakat Eropa. Dalam ilmu-ilmu kemanusiaan, kisruh
antara kecenderungan rasional dan eksperimental masih kacau. Juga ada krisis
dalam perkembangan manusia Eropa yang membela kebebasan manusia dan manusia
sebagai nilai dalam dirinya sendiri. Pertama, manusia Eropa adalah manusia
intensional, bukan manusia rasional, dan ia rentan terhadap rangsangan dari luar,
eksistensial dan dibentuk dari daging. Kedua, ia adalah manusia yang relatif
dibatasi, yang berubah sesuai dengan perubahan lingkungannya. Ketiga, manusia
Eropa adalah manusia individual dan egoistik, tidak sosial dan tidak
altruistik.
Keempat, ideologi manusia Eropa tetap teoritis, tidak praktis. Ia
menyatakan harapan kesadaran dan cita-cita Eropa yang mengagungkan kemanusiaan,
tapi realitas Eropa didominasi sektarianisme dan tribilaisme. Kelima, manusia
Eropa bersifat kebangsaan, dan masing-masing bangsa menyatakan dirinya mewakili
manusia Eropa. Ada dua perang dunia dan dua perang Eropa. Keduanya berlangsung
di antara bangsa-bangsa Eropa sendiri. Keenam, manusia, menurut pandangan
Eropa, ternyata adalah ras pubh sesuai dengan bangsa-bangsa Eropa.
Bersamaan dengan itu, bangsa-bangsa non-Eropa menghadirkan model yang lain
bagi humanisme yang mengarah pada pembebasan dan keadilan. Dengan demikian ia
menghadirkan jenis humanitas menyeluruh yang baru. Kesadaran Eropa terletak
pada cogito Descartes, dan ujungnya adalah pada cogito Husserl. Kedua,
kesadaran Eropa mencoba segalanya, dan ia mencampakan setiap kewajiban.
Situasinya tidak stabil. Ketiga, ia kehilangan pusat konsentrasinya, karena itu
tidak mungkin mengarahkan dirinya ke pusat.
Keempat, ia menolak segala sesuatu setelah diuji dan dibantah. Akhirnya,
nihilisme total. Kelima, kesadaran Eropa menangkap angin Timur, ia menyadari
dan tergugah dengan Islam setelah Revolusi Islam yang Agung di Iran.
Bangsa-bangsa non Barat menjadi pelahir kesadaran baru yang mewariskan sesuatu
yang paling agung yang membosankan kesadaran Eropa, yakni "Filsafat
Pencerahan". Keenam, sebaliknya, kesadaran Eropa telah mencapai ujungnya,
dan merasakan krisis nilai, krisis dalam sistem sosial dan ilmu-ilmu
kemanusiannya. Filosof Barat mulai menyatakan kejatuhan Barat, pembalikan
nilai-nilai, kehampaan pikiran, keilahan materi dan nihilisme absolut.
Kita mengawali hidup baru yang kita sebut
reformasi, renaissans, pencerahan, perubahan sosial dan revolusi. Kita secara
praktis mernpertahankan kemerdekaan nasional dan kebebasan bangsa-bangsa, dan
kita membentuk ideologi-ideologi non-blok dan pembebasan. Jika ada penjelasan
dalam kesadaran Eropa dalam lima abad terakhir, kita akan menggalinya.
Peradaban akan kembali ke Timur, dan peradaban Islam akan menemukan
tugasnyadiTimur. Karena kesadaran Eropa memulai revolusinya pada abad ke-15 dan
sampai ke penghujung abad ke-20, kita akan memulai revolusi kita dari abad
ke-15 H. sampai tujuh abad kemudian. Tugas kita adalah menyempurnakan reformasi
keagamaan dan meneruskan renaissans bagi zaman baru kita yang akan datang.
Generasi mendatang kita akan membentuk ilmu. Ini tidak berarti meniru Barat,
namun kita mencoba merealisasikan tahap yang lainnya yang belum kita capai. Kiri Islam bukan hanya
pandangan politik tentang realitas, tapi juga pandangan budaya tentang sejarah
bangsa-bangsa, Kiri Islam tidak bersandar pada cara-cara bicara atau
pengungkapan, melainkan mencari metode analisis yang sangat akademik dan
ilmiah.
5. Realitas
Dunia Islam
Kiri Islam memberikan suatu gambaran situasi di dunia Islam tanpa
mengikuti suatu metode bimbingan atau nasehat. Realitas menampakan dirinya,
seperti statistik. Pemikiran keagamaan kita bersandar pada metode yang
mentransfer teks ke realitas. Pertama, teks bukanlah realitas, ia
hanya deskripsi linguistik tentang realitas; maka ia tidak menjadi bukb tanpa
kembali ke landasannya dalam realitas. Kedua, teks mensaratkan iman
terhadapnya, masalahnya siapa yang beriman pada teks itu. Ketiga, teks terletak
pada otoritas kitab, bukan pada otoritas akal. Bukti tentang otoritas bukanlah
bukti. Keempat, teks adalah bukti bagian luar yang datang dari luar realitas.
Kelima, teks membutuhkan penafsiran atas sauhnya; tapi tidak akan ada arti yang
benar bagi suatu teks tanpa sauh ini. Keenam, teks bersifat sepihak
(unilateral), dan ia bersandar pada banyak hal dari teks-teks lain. Ketujuh,
teks bersandar pada pilihan, pilihan mengikuti kecenderungan dan kepentingan.
Kedelapan, kondisi- kondisi sosial dari penafsir adalah dasar dari pilihan atas
teks. Kesembilan, teks mengacu pada keyakinan masyarakat, pujian dari
perasaan-perasaan keagamaan orang yang berlebihan dan pengakuan dari lawan.
Kesepuluh, metode teks lebih dekat pada peringatan dan bimbingan, ia mempertahankan
Islam sebagai suatu prinsip dari pada kaum Muslim sebagai ummah. Akhirnya,
metode teks memberikan pernyataan, tapi bukan kuantitas. Metode Kiri Islam mendefinisikan kuantitas dengan statistik
sehingga realitas bicara sendiri.
Kita menggunakan angka-angka untuk menyebarkan
kekayaan kaum Muslim kepada rakyat komunitas Muslim (ummah). Kita
sarjana tentang masyarakat, ekonomi, sejarah, dan hukum, yang tidak hanya
bersandar pada teks tradisional. Kita hakim dalam pengertian klasik; para hakim
klasik mengetahui realitas dan menghukuminya. Kita tradisionalis tapi untuk
zaman sekarang; apa yang kita asumsikan adalah tugas generasi ini, bukan
seluruh generasi. Dengan demikian kita te tarik dengan semangat zaman, dan
tertarik dengan ungkapan populer, biografi para pejuang, nyanyian rakyat, dll,
karena semua itu merupakan bagian dari sumber nilai. Dari sini kita
mendefinisikan pandangan dunia mereka dan melukiskan struktur-struktur pikiran
mereka. Tujuan studi ini adalah mempertahankan kaum Muslim dan memurnikan Islam
dalam pikiran mereka.
Kiri Islam mengarahkan energinya ke
masalah-masalah fundamental zaman ini. Dari luar: imperialisme, Zionisme, dan
kapitalisme. Dari dalam: kemiskinan, penindasan, dan keterbelakangan. Sejak
zaman al-Afghani, dan tentunya sejak Perang Salib, imperialisme merupakan
masalah yang membakar. Kemudian, imperialisme adalah Perang Salib baru.
Imperialisme sekarang adalah cara petualangan ekonomi multinasional dan
westernisasi kebudayaan. Dalam hal budaya, imperialisme mematikan semangat kreatif
bangsa-bangsa, dan mencabutnya dari akar sejarah mereka.
Basis militer asing tersebar di mana-mana di dunia Arab sekarang, dari
Maroko sampai Timur Arab. Juga sejumiah bangsa Muslim tetap berada di bawah
pengaruh super power. kekayaaan dunia Islam masih di tangan
perusahan-perusahaan monopolistik, dan kita mengimpor pengetahuan ilmiah dari
Barat. Tapi yang paling berbahaya adalah imperialisme budaya. Barat
menginginkan agar warisan bangsa- bangsa historis lemah, kemampuan kreatifnya
dibelenggu, dan kebudayaan mereka diubah menjadi budaya musium, hanya untuk
studi. Dengan berubahnya bangsa-bangsa Islam menjadi minoritas, mereka menjadi
budak Barat. Tugas Kiri Islam adalah terus-menerus mengingatkan
akan model kolonialisme baru, rasisme Barat yang tersembunyi dan Perang Salib
historis.
Zionisme masih merupakan kekuatan yang kokoh yang menentang Islam dan kaum
Muslim. Sasarannya bukan hanya menguasai tanah, tapi juga menyebarkan
pemikirannya ke kalangan intelektual Islam- Arab, dan mengetahui pemikiran
mereka untuk menghancurkannya. Zionisme menguasai semangat kita, dan Zionisasi
dunia dilakukan di jantung dunia Islam. Islam melarang bersahabat dengan
keturunan Israel: “Hai
orang-orang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani
menjadi walimu; sebagian mereka adalah wali dari sebagian yang lain. Barang
siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zalim” (QS. 5:51). Kiri Islam sejalan dengan Saudara-Saudara se-iman (Brothers in
Goa) untuk menolak dan menentang Zionisme. Ini berarti bahwa perdamaian dengan
anak-anak Israel dilarang. Kita mengatakan ini sebagai hakim Islam dengan
tanggungjawab sebagai hakim.[15]
Bahaya ketiga yang datang dari luar adalah kapitalisme. Bahaya ini tidak
hanya bagi yang mengikutnya, tapi juga kita dalam masyarakat Islam. Kapitalisme
terkait dengan masyarakat kelas, dan kekuasaan terletak pada orang yang
menguasai modai. Ia tidak membatasi industri militer yang merusak, karena
indusbri ini mendukung dan menguntungkan mereka yang mengabdi modal. Semua ini
berarti kemiskinan bagi yang miskin, dan perlakukan istimewa bagi yang kaya.
Islam menolak akumulasi kapital oleh sekelompok orang: “supaya harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang
kaya saja di antara kamu” (QS. 59:7).
Islam menolak hak milik istimewa, masyarakat kelas, monopoli dan riba: ia bicara tentang kesamaan, kooperasi, dan solidaritas.
Sayang kita menyebarkan kata Sosialisme Islam, padahal kita melihat dalam Islam
perlawanan menentang kapitalisme lokal dan dunia. Kita memerlukan pembangunan
sosial atas dasar kesamaan dan keadilan sosial, dan hak maksimum bagi yang
miskin.
Bangsa-bangsa Muslim termasuk di antara bangsa-bangsa miskin di dunia.
Walaupun al-Qur'an mengatakan: “dan
orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu bagi orang miskin yang
meminta dan yang tidak mempunyai apa-apa yang tidak mau meminta.” (QS. 70:24-25) Dan walaupun kita satu ummah, kita dalam kenyataannya
dua ummah: yang miskin dan yang kaya. Tugas “Kiri Islam” adalah membagikan kekayaan di antara kaum Muslim.
Pengurangan jumlah keturunan kita bukanlah penyelesaian masalah kemiskinan
seperti yang dianjurkan para kolonialis dan Zionis. Yang terpenting adalah
mengambil hak-hak kaum yang miskin dari kaum yang kaya, dan membagikan kekayaan
negara-negara Islam dari mereka yang memiliki segala-galanya ke yang tak punya
apa-apa.
Tidak ada bangsa yang menderita despotisme dan penindasan seperti kita.
Kaum Muslim nampak seperti yang ditulis Barat mengenainya, yakni “Despotisme Timur”. Kita tidak punya sistem demokrasi atau kebebasan.
Komitmen pada hak asasi manusia didatangkan dari Barat sehingga Barat dapat
menelib kondisi-kondisi orang yang kita penjara. Dalam masyarakat kita tidak
ada ukuran bagi semangat dan kebebasan pabriotik. Kecuali, mereka yang
berkuasalah yang menjadi patriot-patriot. Para pemimpin memanipulasi kesadaran
nasional lewat media komunikasi. Akibatnya, bangsa-bangsa Islam tidak lagi
mampu mengubah opini orang lain. Bahkan jika faksi oposisi muncul, ia dicurigai
sebagai tidak setia, penghianat, murtad. Tugas Kiri Islam
adalah mempertahankan kebebasan berbicara dan memperkuat demokrasi. Dengan
begitu, Israel tidak akan lagi menjadi fase
demokrasi satu-satunya, karena ia tersebar luas, dan komite hak asasi manusia
tidak akan lagi dikirim ke kita. Ternyata keterbelakangan merupakan sifat umum
masyarakat kita. Itu berarti keterbelakangan
menyeluruh dalam struktur sosial dan dalam pandangan-pandangan masyarakat.
Beberapa masyarakat Islam kita seperti di Sudan, India, Pakistan, Iran, Irak,
dan Turki masih bersifat kesukuan. Buta huruf menyebar, epidemik juga meluas
sebagai akibat dari lingkungan yang kotor. Yang justru ironis, agama mereka
bersandar pada kesucian dan air wudhu. Ini keterbelakangan budaya dan peradaban
yang terkait dengan pandangan dunia dan perilaku masyarakat serta kondisi
sosial ekonomi.
Keterbelakangan dalam pemikiran menampakkan pandangan dunia kita yang
mendua-kita berada dalam satu sisi yang
kuat, kemudian kita merasa senang dengan kehancuran sisi yang lainnya. Semua
krisis kita datang dari sisi ini. Apa yang menentukan pandangan kemenyatuan dan
tauhid adalah mengambil kembali dunia dan pusat gravitasi dunia bagi dunia.
Pandangan piramidal juga menunjukkan pandangan dunia kita. Ia merupakan basis
birokrasi dan kelas dalam masyarakat kita. Juga keterbelakangan nampak dalam
kemunduran akal di hadapan tabu-tabu seperti Tuhan, kekuasaan dan_seks. Kita
membiarkan tabu-tabu ini hidup demi kepuasan sentimen kita. Kiri Islam berusaha
menemukan tempat ummah dalam sejarah, dan mentransformasikan bangsa-bangsa
Muslim dari kuantitas ke kualitas. Pekerjaan Kiri
Islam di awal abad ke-15 H. adalah sebagai berikut.
Pertama, mewujudkan keadilan sosial dalam ummah melalui firman al-Qur'an. Kedua, membangun masyarakat bebas dan
demokratis. Ketiga, membebaskan Palestina dan mengusir kolonialisme dari dunia
Islam. Keempat, membangun kesatuan Islam yang menyeluruh mulai dari Mesir,
kemudian lembah sungai Nil, kemudian Mesir dan Syria, dan akhirnya ummah. Kelima, merumuskan kebijakan
nasional yang bebas dari pengaruh super power, yakni kebijakan bukan Barat dan
bukan Timur. Keenam, mendukung revolusi kaum yang tertindas; revolusi mereka adalah
revolusi Islam.
6. Agama dan
Revolusi
Hasan Hanafi dalam catatannya tentang agama dan revolusi
dalam Kiri Islam, mengatakan bahwa tugas Kiri Islam adalah menguak unsur-unsur
revolusioner dalam agama, dan menjelaskan pokok-pokok pertautan antara agama
dan revolusi, dengan karta lain, memakai agama sebagai revolusi. Atau memaknai
agama sebagai revolusi. Agama adalah revolusi itu sendiri, dan para nabi
merupakan revolusioner pembaharu sejati.[16]
Ibrahim adalah cermin revolusi akal menundukkan tradisi-tradisi buta, revolusi
tauhid melawan berhala-berhala. Musa
mereflesikan revolusi
pembebasan melawan otoritarialisme. Isa adalah contoh revolusi ruh atas
dominasi materialism. Dan Muhammad SAW merupakan tauladan bagi kaum papa, hamba
sahaya dan komunitas tertindas berhadapan dengan para konglomerat dalam
perjuangan menegakkan masyarakat yang bebas penuh persaudaraan.
Kiri Islam juga mengambil inspirasi dan akarnya dari
revolusi dari agama-agama lain. Seperti beberapa revolusi yang terjadi dalam
sejarah Yudaisme dan Kristiani, Teologi Pembebasan di Amerika Latin dan
revolusi Gereja Hitam di Amerika Utara. Di samping itu, revolusi juga terjadi
di luar agama-agama monoteis seperti revolusi Budhis di Vietnam, revolusi Konfusianisme
selama masa-masa “Long March” di Cina dan revolusi agama-agama Afrika melawan
penjajah Kulit Putih di Afrika Utara.
7. Integritas
Bangsa
Kiri Islam sangat mendorong terjadinya dialog di antara
berbagai kecenderungan pemikiran Islam dengan menghindari suasana debat kusir,
saling caci, dan perpecahan. Kiri Islam bukanlah suatu madzhab baru dalam
Islam, teologi maupun fiqh, melainkan upaya mempersatukan kaum muslimin sejalan dengan
kebutuhan-kebutuhan dan tuntunan zaman terhadap nilai-nilai kebebasan, keadilan,
dan kemajuan. Setelah selama ini terpecah-pecah oleh madzhab dan sekte, dan
dominasi kaum kolonial maka kesatuan pemikiran merupakan prasyarat utama bagi
kesatuan umat.[17]
Dalam upaya mengintegralkan bangsa, Hasan Hanafi mendorong
upaya komunikasi dengan Ikhwanul Muslimin, kaum “persaudaraan nasional”
Marxisme, Nasserisme, dan Liberalisme. Dialog yang ditawarkan adalah untuk
mencari titik-titik persamaan, agar tercapai persatuan. Karena Kiri Islam
menyepakati adanya tujuan-tujuan kebebasan, demokrasi, dan keadilan.[18]
Keadilan tersebut adalan salah satu unsur dalam masyarakat yang harus dipenuhi
sehingga terciptalah kondisi masyarakat yang damai.
D. Kesimpulan
Pengertian
Kiri Islam: Jurnal Kiri Islam adalah kelanjutan adalah kelanjutan Al-Urwah al-Wutsqa dan keterikatannya dengan agenda Islam
al-Afghani, yaitu melawan kolonialisme dan keterbalakangan, menyerukan
kebebasan dan keadilan sosial, serta mempersatukan kaum muslimn ke dalam blok
Islam atau blok Timur. Dengan demikian, Kiri Islam merupakan penyempurnaan
agenda modern Islam yang mengungkapkan realitas dan tendensi sosial politik
kaum muslimin.
Latar Belakang
Penulisan Jurnal Kiri Islam Kiri Islam lahir setelah berbagai metode pembaruan
masyarakat kita dalam beberapa generasi hanya menghasilkan keberhasilan yang
relatif, bahkan untuk sebagainya
gagal terutama dalam mengentaskan masalah keterbelakangan. Hal ini disebabkan
karena, pertama: sebagai tendensi keagamaan yang terkoptasi kekuasaan
menjadikan Islam hanya sekedar ritus dan kepercayaan-kepercayaan ukhrawi
Hassan
Hanafi menjelaskan ada 3 pendekatan
terhadap khazanah klasik, Pertama adalah pendekatan kaum
tradisionalis, yang beranggapan bahwa khazanah lama telah memberikan solusi
atas persoalan-persoalan yang dihadapi disegala zaman (masa lalu, masa kni, dan
masa depan), pendekatan kedua erat kaitannya dengan usaha-usaha pembaharuan yang dimotori oleh kaum modernis. Mereka ingin membangun
sebuah bangunan baru disamping bangunan lama yang dianggap seperti tidak punya
nilai sama sekali. Adapun pendekatan ketiga adalah
gabungan antara tradisi dan pembaruan, sebuah
pendekatan yang bermaksud untuk mengidentifikasi kedua nilai tersebut dalam
rangka mencari yang relevan dengan perubahan zaman
Menentang
Peradaban Barat Kiri Islam, membela rakyat komunitas
Islam, dan menentang
westernisasi yang pada dasarnya bertujuan untuk memusnahkan budaya-budaya
pribumi untuk menyempurnakan hegemoni budaya Barat. Meskipun rakyat terbelakang
dilihat dari standar Barat, mereka masih mempertahankan unsur-unsur kekuatannya
dengan standar budaya mereka yang khusus. Tugas kiri
Islam adalah mendefenisikan kuantitas barat, yakni mengembalikan ke batas
alamiahnya dan mengakhiri mitosnya yang mendunia.
Realitas Dunia Islam Kiri Islam, memberikan suatu gambaran situasi di
dunia Islam tanpa mengikuti suatu metode bimbingan atau nasehat. Realitas
menampakan dirinya, seperti statistik, pemikiran
keagamaan kita bersandar pada metode yang mentransfer teks ke realitas, pertama
teks bukanlah realitas, ia hanya deskripsi linguistik tentang realitas, maka ia
tidak menjadi buku tanpa kembali kelandasannya dalam realitas. Kedua teks
mensyaratkan iman terhadapnya, ketiga teks terletak pada otoritas kitab bukan
pada otoritas akal, keempat teks adalah bukti bagian luar yang datang dari luar
realitas, kelima teks membutuhkan penafsiran. Keenam teks bersifat sepihak,
ketujuh teks bersandar pada pilihan, pilihan mengikuti kecenderungan dan
kepentingan, kedelapan, kondisi-kondisi sosial dari penafsir adalah dasar dari pilihan
atas teks, kesembilan teks mengacu kepada keyakinan masyarakat, pujian dari
perasaan-perasaan keagamaan orang yang berlebihan dan pengakuan dari lawan,
kesepuluh, metode teks lebih pada peringatan dan bimbingan, ia mempertahankan
Islam sebagai suatu prinsip dari pada kaum Muslim sebagai ummah
Agama dan Revolusi, Hasan Hanafi dalam catatannya tentang
agama dan revolusi dalam Kiri Islam, mengatakan
bahwa tugas Kiri Islam adalah menguak unsur-unsur revolusioner dalam agama, dan
menjelaskan pokok-pokok pertautan antara agama dan revolusi, dengan karta lain,
memakai agama sebagai revolusi. Agama adalah revolusi itu
sendiri dan para nabi merupakan revolusioner pembaharu sejati, Ibrahim adalah
cermin revolusi akal menundukkan tradisi-tradisi buta, revolusi tauhid melawan
berhala-berhala, Musa merefleksikan revolusi pembebasan melawan
otoritarialisme. Isa adalah contoh revolusi ruh atas dominasi materialism, dan
Muhammad SAW merupakan tauladan dan komunitas tertindas berhadapan dengan para
konglomerat dalam perjuangan menegakkan masyarakat yang bebas penuh
persaudaraan.
[1] Abad Badruzaman, Kiri Islam Hassan Hanafi Menggugat Kemapanan Agama dan Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana ,
2005), hal. 41
[2] Hasan Baharun,
Metodologi Studi Islam
Percikan Pemikiran
Tokoh
dalam Membumikan Agama, (Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2011), hal. 159-159
[4] Listiyono Santoso, Seri Pemikiran Tokoh Epistemologi Kiri, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hal. 270
[6] Hasan Baharun,
Metodologi Studi Islam
Percikan Pemikiran
Tokoh
dalam Membumikan Agama, (Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2011), hal. 187-191
[8] Zainuddin, Pembela Golongan Islam Minoritas (Pendekatan
Kiri Islam), Jurnal Qalamuna, Vol. 1, No. 1 Juli 2015
[12] Hassan Hanafi, “Pandangan
Agama tentang Tanah, Suatu Pendekatan Islam,”
dalam Prisma 4, April 1984, hal. 103
[13] Hasan Hanafi, Agama,
Kekerasan dan Islam Kontemporer, terj. Ahmad Najib (Yogyakarta: Jendela
Grafika, 2001), hal. 18
[15] Ridwan.
1998. Reformasi intelektual
Islam,
pemikiran
Hasan Hanafi
tentang
reaktualisasi tradisi keilmuan Islam,.Yogyakarta: ITTAQO. 25-26
[16] Ibid, hal. 130
[17] Ibid, hal. 133
[18] Ibid, hal. 133-134
No comments:
Post a Comment