Wednesday, November 15, 2017

KAJIAN ATAS PEMBAHARUAN ISLAM NURCHOLISH MAJID: (Sekularisasi, Desakralisasi, Pluralisme Dan Titik Temu Agama- Agama, Din Hanief/ Hanifiyatus Samhah, Islam Yes Partai Islam No, Islam Dengan I Besar Dan Islam Dengan I Kecil)

KAJIAN ATAS PEMBAHARUAN ISLAM NURCHOLISH  MAJID: (Sekularisasi, Desakralisasi, Pluralisme Dan Titik Temu Agama- Agama, Din Hanief/ Hanifiyatus Samhah, Islam Yes Partai Islam No, Islam Dengan I Besar Dan Islam Dengan I Kecil)
Sulfiyah 16771020
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Program Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

A.   Dasar Pemikiran
Menjelang pergantian dasawarsa 60-an, modernisasi[1] merupakan tema baru dalam konteks perubahan- perubahan sosial politik di Indonesia. Masyarakat dan pemerintah di Negara- Negara lain, khususnya di asia tenggara, sudah terlebih dahulu berkenalan dan menerimanya. Indonesia boleh disebut sebagai penumpang gerbong terakhir dikawasan ini dalam mengambil tema modernisasi. Sebagai alternative dari tema revolusi yang dianut pada masa orde lama, kebanyakan golongan masyarakat di Indonesia setidak- tidaknya sulit menemukan pilihan lain, betapapun mereka melihatnya secara kritis jika dihadapkan pada nasionalisme, tradisi dan paham keagamaan yang dominan. Tak jarang para pemikir melihat bahwa di dalam gagasan modernisasi, tersembunyi etnosentrisme eropa dan amerika utara,[2] baik dilihat dari segi politik, ekonomi maupun budaya.[3]
Lahirnya modernisme islam merupakan gerakan pembaharuan atas kemapanan aliran tradisonalisme islam[4] yang telah terlebih dahulu mengakar dalam masyarakat, meskipun secara institusional muncul lebih belakang.  Bidang garap pembaharuannya lebih terfokus pada segi kelembagaan, baik bidang organisasi maupun pendidikan yang dikelola secara modern sehingga dapat memenuhi kebutuhan ummat secara konkret. Cara demikian di pandang sebagai alternatif guna mengentaskan maksyarakat dari kebodohan dan keterbelakangan. Untuk itu ciri penting yang menjadi visi dasar modernisme, yaitu usaha pemurnian islam dengan memberantas segala yang berbau khurafat dan bidah, melepaskan diri dari ikatan madzhab dan membuka kembali pintu ijtihad.[5]
Dengan adanya corak pemikiran yang seperti di jelaskan di atas, maka muncul kesadaran baru di kalangan baru dari sejumlah aktivis islam. Mereka adalah generasi yang mengalami krisi identitas dan mendambakan islam sebagai kekuatan yang mampu memberikan penawar bagi kesejukan jiwa mereka di tengah ketandusan modernitas. Adapun model semangat yang demikian memunculkan pola pikir baru yang disebut fundamentalisme.[6] Tahun 1970- an fundamentalis mulai berkembang di sejumlah kota. tetapi perkembangan yang lebih besar lagi muncul satu dekade setelahnya, menyusul kemenangan revolusi islam iran[7] dengan pemimpin imam khomaeni, sebagai simbol fundamentalisme dunia islam. Tema- tema yang di angkat adalah upaya mewujudkan islam secara sempurna. Hal- hal yang mereka pandang tidak islam langsung dicap sebagai thaghut, termasuk suatu sitem yang tidak berlandaskan aqidah dan syariah islam. Konsep jihad sangat mengemuka, baik dalam pengertian jihad individu maupun sosial. Inti dari hal tersebut adalah fundamentalisme menawarkan konsep islam kaffah, yaitu ide islam yang menyeluruh yang bersifat langgeng dan komplet yang meliputi semua bidang kehidupan sosial politik, ekonomi serta melingkupi segi kehidupan individu maupun kolektif.[8]
Dinamika pemikiran keislaman di Indonesia tidak berhenti sampai disitu. Seiring masa pembangunan orde baru dan era reformasi sekarang ini telah muncul corak baru yang berupaya menutup kelemahan pola pemikiran sebelumnya. Corak ini pemikiran ini diistilahkan neo- modernisme[9]. Adapun tokoh dari neo- moderniseme, salah satunya adalah Nurcholish Madjid.[10] Nurcholish Madjid merupakan tokoh pembaru yang masuk jajaran kaum modernis tahun 70- an sering disebut sebagai istilah kaum modernis kontemporer.[11] Adapun fokus kajian yang akan pemakalah paparkan adalah kajian atas pembaharuan islam nurcholish madjid.
Adapun penjelasan modernisasi menurut Nurcholish Madjid berarti rasionalisasi untuk memperoleh daya guna dalam berfikir dan bekerja yang maksimal, guna kebahagiaan umat manusia. Hal ini adalah perintah tuhan yang imperatife dan mendasar. Adapun pendekatan Nurcholish Madjid dalam usaha memahami umat dan ajaran islam lebih bersifat kultural- normative ketimbang formal- legalistik, dengan kata lain Nurcholish Madjid ingin menyelamatkan image dan keutuhan umat islam tentang peran sosial politik keagamaannya memajukan diri dari pada hanya batas kepentingan sementara dan di permukaan saja.[12]
Adapun pemikiran yang Nurcholish Madjid yang sempat menggegerkan kalangan umat islam adalah menganjurjan suatu keharusan sekularisme[13] dalam islam. Menurutnya sekularisme berarti pembebasan manusia dari lingkungan kultural, pemikiran keagamaan yang membelenggu dan menghalangi manusia untuk berfikir kritis dalam memahami realitas. Selain paham sekularisme, nurcholish madjid juga membawa paham islam yes, partai islam no, hal- hal yang disebutkan secara garis besar itulah yang mendorong nurcholish memajukan gagasan modernisasi versi baru menurut pandangan- pandangannya.[14] selain pemikiran yang Nurcholish Madjid yang telah disebutkan d atas, terdapat beberapa pemikiran Nurcholish Madjid yang akan di paparkan dalam makalah ini. berdasarkan penjelasan di atas, maka pemakalah akan membahas tentang kajian atas pembaharuan islam Nurcholish Madjid, yang berkaitan dengan sekularisasi, desakralisasi, pluralisme dan titik temu agam- agama, dien hanif, islam yes partai islam no, islam dengan I besar dan islam dengan I kecil.
B.  Pembahasan
1.    Biografi Nurcholish Madjid
Nurcholish Madjid adalah seorang putra kelahiran Mojoanyer, Jombang, Jawa Timur, tangal 17 Maret 1939 Masehi. Bertepatan dengan 26 Muharam 1358 Hijriyah. Dia dilahirkan dari kalangan keluarga pesantren. Ayahnya adalah K.H Abdul Madjid, seorang kyai jebolan pasentren Tebuireng, Jombang, yang didirikan oleh pendiri Nahdatul Ulama (NU) Hadaratus Syaikh Hasyim Asy’ari, yang mana beliau adalah salah seorang diantara Faunding Father Nahdatul Ulama. Sementara ibunya adalah adik dari Rais Akbar NU dari ayah seorang aktivis Syarikat Dagang Islam (SDI) di Kediri yang bernama Hj Fathonah Mardiyah.[15] Ayah Nurchalish Madjid memiliki hubungan dekat dengan pendiri NU ini paling tidak karena dua sebab: pertama, sebagai murid yang cukup kinasih; kedua, sebagai menantu dari keponakan Hadratusy Syaikh, Halimah sebelum akhirnya cerai karena tidak memiliki keturunan. Hadratus Syaikh juga mencarikan jodoh untuk istri berikutnya, yang kemudian melahirkan Nurchalish Madjid. Ibu Cak Nur (istri kedua Haji Abdul Madjid) adalah anak dari Kiai Abdullah Sadjad yang juga teman baik Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Abdul Madjid-lah yang mengajarkan putranya, Nurcholish Madjid, membaca al-Qur‘an sejak berusia 6 tahun. Ia juga memberi pengaruh besar pada pendidikan dan pemikiran Nurcholish Madjid. Ia juga sekolah agama di Madrasah al-Wathoniyah milik ayahnya pada sore hari. Pada saat ia memperoleh ijazah SR, pada saat yang sama ia menyelesaikan sekolah agamanya di madrasah ayahnya. Ia adalah sulung dari lima orang bersaudara. Salah satu adik perempuannya meninggal dunia saat kelas dua SMP. Adik perempuan keduanya, Mukhlisah kini guru agama di Surabaya. Adik laki- laki pertamanya, Saifullah berwiraswasta di Jakarta, sedangkan adiknya yang bungsu Muhammad Adnan, bekerja di pabrik semen Gresik.[16] Di samping pendidikan awalnya pada madrasah diniyah milik keluarga,[17] ia juga memasuki sekolah rakyat (SR) yang tamat pada tahun 1952, selanjutnya ia dimasukkan ayahnya ke Pesantren Darul ‘Ulum, Rejoso, Jombang. Namun, di Darul ‘Ulum Cak Nur hanya bertahan selama dua tahun.[18] Sikap tegas ayahnya yang tetap memilih jalur politik di Masyumi dan jalur ibadah di NU, membuat Cak Nur tidak tahan berlama-lama di Darul ‘Ulum, meskipun di sana ia merupakan salah seorang murid yang berprestasi. Ia meminta ayahnya agar bisa memindahkannya ke sekolah lain. Pada tahun 1955, Cak Nur dipindahkan ke Pesantren Darussalam Gontor Asumsi sang ayah, Gontor merupakan pesantren Masyumi.
Menurut pengakuan Cak Nur, Gontor banyak memberi inspirasi kepadanya mengenai Modernisme dan Neo-Sektarianisme. Pluralisme di sini cukup terjaga. Para santri boleh masuk ke organisasi NU atau Muhammadiyah. Cak Nur mengakui bahwa di Gontor ia selalu meraih prestasi cukup baik. Kecerdasan Cak Nur rupanya ditangkap pula oleh pimpinan pesantren K.H. Zarkasyi, sehingga pada tahun 1960, ketika Cak Nur menamatkan belajarnya, sang guru bermaksud mengirim Cak Nur ke Universitas al-Azhar, Kairo. Tetapi karena di Mesir saat itu sedang terjadi krisis terusan Suez yang cukup kontroversial, keberangkatan Cak Nur batal.[19]
Setelah menamatkan sekolah di gontor, ia melanjutkan ke IAIN Syarif Hidayatullah pada fakultas adab[20] Semenjak mahasiswa, Nurcholish aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Karena kepekaannya yang tajam ia menilai ada yang kurang dalam sistem pengkaderan di HMI, yaitu segi materi keislaman. Masa itu yang menarik adalah gagasan islam dan sosialisme, namun argument pembahasannya banyak yang dilakukan sengan gaya apologetic. Berangkat dari itulah Nurcholish merasa terpanggil merumuskan dasar- dasar keislaman sebagai pijakan pengkaderan di HMI.[21] Ia tamat dari IAIN Syarif Hidayatullah pada tahun 1968.[22]
Pemgembaraan intelektualnya telah membuat Cak Nur muda telah dipercaya untuk duduk sebagai aktivis di organisasi ektra mahasiswa sampai dua periode (ketua umum HMI 1966- 1969 dan 1969- 1972). Bahkan ia pernah menjabat Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara dan Asisten Sekretaris Jendral International Islamic Federation Of Students Organization (IIFSO), dimana kebanyakan semasa aktivitas mahasiswa itulah ide- ide segarnya lahir, balik dalam forum resmi intern mahasiswa maupun dalam pertemuan umum tidak segan- segan melancarkan gagasan modernismenya. Nurcholish madjid yang akrab disebut dengan Cak Nur, dikenal sebagai salah satu tokoh pembaharuan pemikiran islam Indonesia pada dekade tahun 1970- an.[23] Bahkan beliaulah yang dinyatakan sebagai pencetus pembaharuan pemikiran islam. Sebab pidato Cak Nur pada tanggal 2 januari 1970 di Jl. Menteng Raya Nomor 58 Jakarta, dalam acara diskusi yang diselenggarakan empat organisasi islam yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI),[24] Pelajar Islam Indonesia (PII), Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII)[25] dan Persatuan Sarjana Muslim Indonesia (PERSAMI), yang pada waktu itu Nurcholish membawakan makalah yang berjudul “ Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam Dan Masalah Integrasi Umat” itulah dinyatakan sebagai momentum Pembaruan Pemikiran Islam Indonesia.[26]
Pada tahun 1977 ia mengemukakan ide pembaharuannya tentang “keharusan pembaharuan pemikiran Islam dan masalah integrasi umat”. Ia mengajukan perlunya konsep “sekularisasi” dan jargon “Islam Yes, Partai Islam No” yang mengguncangkan umat Islam di Indonesia. Dalam hal ini tampaknya ia dipengaruhi oleh pemikiran Robert N. Bella dalam konsep sekularisasinya. Karya Bella Beyond Belief dibaca Cak Nur ketika ia mengunjungi Amerika Serikat dan Timur Tengah pada tahun 1968. Pada tahun 1973–1976, ia dipercaya sebagai pemimpin umum majalah Mimbar Jakarta. Tahun 1978 mulai menjadi peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).[27] Sejak tahun 1978- 1984, beliau melanjutkan ke pendidikan doktoral di University of Chicago dan meraih gelar Ph. D.[28] Dengan disertasi berjudul “ Ibnu Taimiyah on Kalam Falsafah: Problem of Reason And Revelation In Islam” (Ibn Taimiyah Tentang Kalam Dan Filsafat: Suatu Persoalan Hubungan Antara Akal Dan Wahyu Dalam Islam).[29] Kemudian sejak 1990-an, Cak Nur menduduki berbagai jabatan penting, antara lain menjabat sebagai Ketua Dewan Pakar ICMI, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), anggota MPR RI, anggota Dewan Penasehat Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), dan duduk dalam Tim 11 yang menyeleksi partai-partai yang berhak ikut pemilu 1999. bahkan dia pernah diajukan sebagai calon presiden, tetapi menolaknya karena ia menyadari bahwa dirinya tidak pernah berkiprah dipentas dunia partai politik. Kemudian ia diangkat menjadi Rektor Universitas Paramadina Mulya yang didirikannya pada tahun 1996.[30] Guru besar tamu di Universitas McGill, Canada (1991-1992), anggota komnas HAM RI dan pengajar pada program Pascasarjana IAIN (UIN sekarang) Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia meninggal dunia pada tanggal 29 Agustus 2005.[31]
Prof. Fazlur Rahman,[32] Neo-Modernis asal Pakistan, dapat disebut sebagai ‘guru utama’ yang penting dalam pematangan intelektual Cak Nur. Namun demikian, di antara sekian banyak tokoh yang mempengaruhi pemikirannya, Cak Nur rupanya merasa berhutang budi kepada Buya Hamka.[33] Seperti diungkapnya bahwa “saya berterima kasih sekali kepada Buya.[34] Setelah lulus dari studinya, ia bersama rekan- rekannya mendirikan Yayasan Paramadina yang antara lain tujuannya adalah pertama meningkatkan perkembangan dan kesadaran hidup beragama islam yang berpandangan terbuka. Kedua, mengembangkan pemahaman dan pemikiran agama serta penampilan yang bersifat kesejahteraan (kontekstual) sehingga bermakna bagi pemecahan persoalan- persoalan baru kemanusiaan. Ketiga, mengembangkan suasana kehidupan beragama yang terbuka, dinamis dan bertanggung jawab sehingga terjadi dialog yang kritis dan kreatif.[35]
Cak Nur termasuk cendikiawan yang produktif dalam menulis buku.[36] Beliau menulis artikel di berbagai media massa. Karya- karyanya dalam bentuk artikel, antara lain, yaitu The Issue Of Modernization Among In Indonesia”, dalam Gloria Davis (Ed.), What Is Modern Indonesian?”, dalam Cyriac K. Pullapily (Ed.), islam in the contemporary world (1980), Khazanah Intelektual Islam, sebagai editor (1984).[37]
2.    Kajian Pembaharuan islam Nurcholish Madjid
Bukan kebetulan jika pada tahun 1993 Nurcholish Madjid, salah seorang pemikir islam indonesia paling terkemuka dalam bidang islam dan demokrasi, sekularisme, liberalisme dan pluralisme menulis artikel bierjudul “The Islamic Roots Of Modern Pluralism”.[38] Buku ini  menggali ulang pemikiran demokrasi dalam islam yang bisa menjustifikasi sekularisme, liberalisme dan pluralisme. Kata menjastifikasi di sini maksudnya adalah bagaimana islam bisa menerima pandangan- pandangan demokrasi modern seperti sekularisasi, liberalisme dan pluralisme sebagai miliknya sendiri, karena memang nilai- nilai dasar ketiga itu sejatinya adalah ajarn islam.
Nurcholish Madjid menyadari  bahwa tidak ada problem teologis apapun umat islam dalam menerima ide- ide demokrasi modern seperti sekularisme, liberalisme dan pluralisme. Justru secara konseptual islam telah menyediakan argumen untuk penerimaan sekularisme liberalisme dan pluralisme itu. Tetapi menurutnya argumen tersebut masih bersifat implisit, oleh karena itu perlu dirumuskan secara sistematis sesuai dengan kaidah berfikir hermeunetika modern, sehingga bisa berdialog dengan pengertian sekularisme, liberalisme dan pluralisme. Untuk hal itu Nurcholish Madjid sepanjang karir intelektualnya, terus menerus menulis dan mengadvokasikan argumen[39] sekularisme, liberalisme dan pluralisme agama melalui karangan- karangan yang tersebar.[40]
Berikut ini akan beberapa konsep Nurcholish Madjid tentang sekularisasi, desakralisasi dan pluralisme.
a.    Sekularisasi
Dalam dasawarsa 1960- an hingga 1970- an merupakan suatu periode di mana umat umat islam, khususnya para pemikir dan aktivitasnya merasakan beratnya beban yang harus dipikul akibat adanya sintesis yang sulit antara islam dan negara. Hal yang paling krusial pada saat itu adalah seringnya umat islam menjadi sasaran kecurigaan ideologis dan tak jarang pula di tempatkan dalam posisi marginal dalam proses- proses politik nasional. Dalam situasi politik seperti ini, Nurcholish Madjid mengusulkan ide sekularisasi,[41] yang akan di bahas mendalam pada pasal berikut ini. Menyadari bahwa persoalan di atas bukanlah semata- mata berdimensi politis, tetapi lebih dari itu mempunyai masalah teologis juga, Nurcholish mencoba memberi suatu alternatif pemecahan, khususnya yang berkaitan dengan dimensi teologis. Nurcholish berpendapat bahwa akar persoalan yang dihadapi komunitas islam ketika itu adalah hilangnya “daya gerak psikologis” yang hal itu jelas diproleh dari agama. Hal ini ditandai oleh ketidakmampuan umat islam, yang diwakili oleh para pemimpinnya untuk membedakan antara nilai- nilai yang transendental dan yang temporal. Nurcholish mengajak umat islam agar tidak phobia terhadap fenomena modernisasi, yang di antara implikasinya adalah penerimaan atas sekularisasi. Pengertian sekularisasi yang dimaksud oleh Nurcholish  adalah sekularisasi ialah bahwa ia adalah proses, yaitu proses penduniawian, dalam pengertian meletakkan peranan utama pada ilmu pengetahuan.[42] Maka dari hal itu, pengertia pokok tentang sekularisasi adalah pengakuan wewenang ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam membina kehidupan duniawi. Dan ilmu pengetahuan itu sendiri terus berkembang menuju kesempurnaannya.[43]
Dengan uraiannya tentang sekularisasi, Nurcholish bermaksud membedakan bukan memisahkan persoalan duniawi dan ukhrawi. Pembedaan ini diperlukan karena ia melihat umat Islam tidak bisa melihat dan memahami persoalan secara proposional. Parameter yang digunakan untuk memberikan penilaian terhadap nilai- nilai islami sering kali di kaitkan dengan tradisi yang sudah dianggap mapan. Sehingga islam disejejerkan dengan tradisi, dan menjadi islami disederajatkan dengan menjadi tradisionalis. Karena itu untuk membela tradisi, sehingga sering muncul kesan bahwa kekuasaan islama adalah kekuatan tradisi yang bersifat reaksioner. Pandangan para pemimpin yang seperti itu menurut Nurcholish telah menyebabkan mereka kurang memberikan respon yang wajar terhadap perkembangan pemikiran yang ada di dunia saat ini. Nurcholish majid disini menegaskan sekularisasi yang diidealisasikannya tidak dumkasud sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum muslim menjadi sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai- nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, serta melepaskan umat islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya.
Menurut Nurcholish, sekularisasi bukanlah sekularisme dan bahkan tidak identik dengan sekularisme sebagai paham tertutup, dan merupakan ideologi tersendiri yang lepas dari agama. Sekularisme dalam konteks demikian bukan sebuah proses tetapi sebuah ideologi tertutup yang berfungsi sangat mirip sebagai agama. Gagasan sekularisasi yang dimaksud Nurcholish bukanlah sekularisme seperti yang dikenalkan di barat ( Eropa),[44] tetapi sekularisasi sebagai salah satu bentuk liberalisasi. Atau pembebasan terhadap pandangan- pandangan keliru yang sudah mapan.[45] Oleh karena itu, sekalipun mengharuskan adanya sekularisasi, tetapi dengan tegas kita menolak sekularisme.[46] Begitu juga Harvey Cox[47] juga menerangkan perbedaan antara sekularisasi dan sekularisme.[48]
Menurut Nurcholish, pendekatan dari segi bahasa akan banyak menolong menjelaskan makna suatu istilah. Tentang etimologi sekularisasi dia berpendapat[49] Seperti yang kita ketahui, kata- kata sekuler dan sekularisasi berasal dari bahasa barat ( Inggris, Belanda dan lain- lain). Sedangkan asal- asal kata itu, sebenarnya dari bahasa latin,[50] yaitu saeculum yang artinya zaman sekarang ini. Kata- kata saeculum  itu sebenarnya adalah salah satu dari dua kata latin yang berarti dunia. Kata lainnya adalah mundus. Tetapi jika saeculum adalah kata waktu, mundus adalah kata ruang. Sedangkan saeculum adalah lawan eternum yang artinya abadi, yang digunakan untuk menununjukkan alam yang kekal abadi, yaitu alam sesudah dunia ini. Dari segi bahasa an sich, pemakaian istilah sekuler tidak mengandung keberatan apapun. Maka, benar jika kita mengatakan manusia adalah makhluk duniawi untuk menunjukkan bahwa ia hidup di alam dunia ini sekarang, dan belum mati atau berpindah ke alam baka. Kemudian kata duniawi itu diganti dengan kata sekuler, sehingga dikatakan, manusia adalah makhluk sekuler.[51]
Aspek sentral dari sekularisasi, yaitu bahwa sekularisasi merupakan suatu proses, dalam pengertian mengalami perubahan dan penambahan yang lebih besar terhadap arah proses atau tujuan tersebut. Dalam hal ini karena pengertian sekuler mengacu pada pengertian duniawi, maka pengertian sekularisasi sering diartikan proses penduniawian. Dengan proses penduniawian untuk menyelaraskan dengan perkembangan zaman, proses ini tidak luput dari ancaman degradasi nilai- nilai yang ada, terutama yang menjadi korban adalah nilai agama. Pengertian sekularisasi lebih mengacu pada pengikisan nilai- nilai agama dari pribadi manusianya. Dengan demikian orang tersebut lebih mengesampingkan urusan agama dari urusan  duniawi. Urusan agama menjadi urusan pribadi yang harus dipisahkan dari urusan kenegaraan, dari panggung politik, sosial, ekonomi, budaya, pendidikan dan segala macam urusan duniawi. Selanjutnya Nurcholish menyatakan bahwa  sekularisasi yang diidealisasikannya untuk lebih memanfaatkan misi duniawi manusia bukannya tanpa dasar. Menurutnya, ajaran alquran yang berintikan pada posisi manusia sebagai hamba allah dan wakil allah di muka bumi merupakan dasar doktrinal islam sekularisasi. Dengan kata lain, Nurcholish tampaknya memahami proses sekularisasi sebagai pembumian ajaran- ajaran islam sebagai inheren dengan misi khakhalifahan manusia.[52] Di dalam alquran terdapat sejumlah ayat- ayat yang menegaskan posisi manusia sebagai hamba dan wakil Allah di muka bumi. Menurutnya sikap seperti ini adalah konsekuensi logis dari konsepsi tauhid Islam, yang intinya pemutlakan transendensi semata- mata hanya kepada tuhan.[53]
b.   Desakralisasi[54]
Nurcholish sejak dekade 1980- an, sekembalinya dari Universitas Chicago, mengubah istilah sekularisasi dengan istilah “devaluasi radikal” atau desakralisasi.[55] Dalam masalah “desakralisasi” ini, Nurcholis Madjid lebih mengikuti pendapat Robert N. Billah, yang secara sosiologis menyamakan antara “desakralisasi”, dengan “sekularisasi”. Dimana desakralisasi adalah suatu bentuk proses sosiologis yang banyak mengisyaratkan kepada pengertian pembebasan masyarakat dari belenggu takhayul, dalam arti tidak sepenunya mengarah pada penghapusan orientasi keagamaan, seperti norma-norma, dan nilai-nilai sosiologis lainnya. Proses pembebasan dari ketakhayulan tersebut bisa terjadi karena dorongan, atau kelanjutan logis dari suatu bentuk orientasi keagamaan, khususnya monotheisme, dimana hanya Tuhanlah yang harus menjadi pusat rasa kesucian. Dari pendapat Bellah ini, Nurcholish memaknai “desakralisasi” ialah suatu pencopotan ketabuan dan kesakralan dari obyek-obyek yang semestinya tidak tabu dan tidak sakral. Jadi jika di proyeksikan kepada situasi modern Islam seperti sekarang ini, kata Nurcholish, maka sekularisasi atau desakralisasinya Robert N. Bellah itu akan mengambil bentuk pemberantasan terhadap bid’ah, khurafat dan praktek-praktek syirik lainnya, yang sangat cocok sebagai konsekuensi pemurnian terhadap tauhid. Karena tauhid itu sendiri menurut Nurcholish adalah, selalu menghendaki pengarahan setiap kegiatan hidup untuk Tuhan. Namun bagi sementara orang, justru merupakan bentuk sakralisasi kegiatan manusia. Seperti, adanya pensucian atau penyembahan terhadap berbagai obyek selain kepada Tuhan , yang dalam pandangan Islam termasuk manifestasi dari bentuk “politheisme” (Syirik).[56]
Dalam pandangan Nurchlolish, sekularisasi mempunyai kaitan erat dengan deskaralisasi, karena keduanya mengandung unsur pembebasan. Sekularisasi berarti terlepas atau pembebasan dunia dari pengertian religius. begitu pula desakralisasi dimaksudkan sebagai penghapusan atau pembebasan dari legitimasi sakral. Pemutlakan transendensi semata- mata kepada tuhan sebenarnya harus melahirkan desakralisasi, pandangan terhadap semua selain tuhan; sebab sakralisasi kepada sesuatu selain tuhan pada hakikatnya adalah syirik yang merupakan lawan dari tauhid. Maka semua objek yang selama ini dinaggap sakral tersebut merupakan objek yang harus didesakralisasikan. Dengan pembebasan berarti manusia mengarahkan hidupnya menuju keadaan asli (fitrah), selaras dengan eksistensinya, serta membebaskan diri dari keinginan duniawi yang cenderung ke arah sekular. Islam tidak memberikan makna sakral kepada alam seisinya, terhadap langit, bumi, bintang, gunung, sungai, pohon, batu lautan dan segala yang ada di alam. Islam melihat semua itu sebagai ciptaan tuhan, sebagai ayat tuhan yang tidak boleh disakralkan. Bahkan justru ayat- ayat atau tanda- tanda inilah harus diungkapkan, diselidiki dan dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Kelebihan yang telah diberikan tuhan berupa akal inilah yang harus digunakan untuk membongkar rahasia alam yang merupakan komponen fundamental dalam perkembangan ilmu pengetahuan.[57]
c.    Pluralisme[58]
1)   Islam dan Pluralisme
Nurcholish madjid atau yang lebih di kenal dengan panggilan akrab Cak Nur, dikenal sebagai tokoh yang sangat concern dan committed terhadap berbagai persoalan kebangsaan, terutama yang menyangkut persoalan pluralisme[59] bangsa dan agama. Berangkat dari premis bahwa sekalipun semua agama pada intinya sama dan satu,[60] tetapi manifestasi sosio- kulturnya secara historis berbeda- beda. Cak Nur menghendaki sejalan dengan alquran agar fenomena lahiriah ini tidak menghalangi usaha untuk menuju titik temu antara semuanya.[61] Islam menurut Cak Nur adalah agama kemanusiaan (fitrah), yang membuat cita- citanya sejajar dengan cita- cita kemanusiaan universal. Cak Nur juga berpendapat bahwa cita- cita keislaman di indonesia adalah sejalan dengan cita- cita manusia indonesia pada umumnya. Ia yakin bahwa pandangan ini merupakan salah satu ajaran pokok islam. Karenanya Cak  Nur menyatakan bahwa, sistem politik yang sebaiknya diterapkan di indonesia adalah sistem yang tidak hanya baik untuk semua anggota masyarakat indonesia. Yang dikehendaki islam adalah suatu sistem yang menguntungkan semua orang. Pandangan ini telah memperoleh dukungannya dalam sejarah awal islam di masa rasulullah. Cak Nur menyadari bahwa masyarakat indonesia sangat pluralistik, baik dari segi etnis, budaya, suku, adat istiadat maupun agama. Dasar pandangan Cak Nur mengenai hubungan islam dan pluralisme sebenarnya berpijak pada semangat humanitas dan universalitas islam. Yang dimaksud semangat humanitas disini adalah bahwa islam merupakan agama kemanusiaan. Dengan kata lain, cita- cita islam sejalan dengan cita- cita kemanusiaan pada umumnya.[62]
Sedangkan universalitas islam menurutnya, adalah pengertian “islam” itu sendiri yaitu “sikap pasrah kepada Tuhan”. Sikap ini tidak saja merupakan ajaran Tuhan pada hambanya, tetapi ia diajarkan olehnya dengan disangkutkan kepada alam manusia itu sendiri, sehingga pertumbuhan perwujudannya pada manusia selalu bersifat dari dalam. Hal inilah yang membawa Nurcholish untuk mengmbil kesimpulan bahwa sikap keagamaan hasil paksaan dari luar tidak otentik, karena kehilangan dimensinya yang dalam dan mendasar, yaitu kemurnian dan keikhlasan.[63] Dengan pengertian  ini, semua agama yang benar pasti bersifat al- islam karena mengajarkan kepasrahan kepada tuhan dan perdamaian. Tafsir islam seperti ini, akan bermuara pada konsep kesatuan kenabian dan kesatuan kemanusiaan. Kedua konsep ini merupakan implikasi dari konsep ke maha esaan tuhan. Semua konsep ini menjadikan islam bersifat kosmopolit dan mampu menjadi rahmat bagi seluruh alam. Posisi seperti ini mengharuskan umat islam menjadi umat penengah diantara sesama manusia.[64]
Pemikiran keislaman Cak Nur yang lain adalah tentang teologi inklusif yang berpijak pada humanitas dan universalitas Islam. Hal ini dimaksudkan sebagai acuan umat menghadapi realitas kemajemukan dan pluralitas yang tidak bisa dihindari. Teologi inklusif memberikan pengertian bahwa Islam adalah agama yang terbuka dan tidak eksklusif apalagi absolut. Sebagai agama yang menerima pluralisme, Islam diharapkan akan mampu menghadapi kehidupan manusia selanjutnya yang akan lebih mudah menemukan konfrontasi langsung antar sesama. Untuk itulah diperlukan sikap saling pengertian dan memahami di antara sesama untuk selanjutnya akan mencari titik kesamaan yang oleh Cak Nur disebut kalimatun sawa’.[65] Islam bagi Cak Nur haruslah menjadi agama yang inklusif, adil, manusiawi dan egaliter yang didasari secara sempurna oleh doktrin tauhid. Hal tersebutlah yang akan menjadikan Islam sebagai agama bagi seru sekalian alam.[66]
Ciri lain dari teori inklusif adalah memberikan formulasi bahwa islam itu merupakan agama terbuka (open religion). Prinsip islam sebagai agama terbuka adalah bahwa ia menolak ekslusifisme dan absolutisme, dan memberikan apresiasi yang tinggi terhadap pluralisme. Dalam perspektif ini, umat islam menurut Nurcholish juga harus menjadi golongan yang terbuka, yang bisa tampil dengan rasa percaya diri tinggi, dan bersikap sebagai pamong yang bisa ngemong golongan- golongan lainnya.[67]
Teologi inklusif Cak Nur sangat memberi tempat pada pluralisme dan kebhinnekaan, dan mengharapkan umat islam memberikan perhatian tinggi kepada masalah tersebut. Cak Nur sering mengingatkan bahwa pluralitas atau kemajemukan adalah kenyataan yang telah menjadi kehendak tuhan, sebagaimana yang dinyatakan dalam alquran surat al- Hujurat ayat 13:
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS Al- Hujurat: 13).

Sebagai konsekuensi dari paham kemajemukan beragama ini, umat islam harus memposisikan diri sebagai mediator dan moderator di tengah pluralitas agama- agama di indonesia. Cak nur sangat yakin dengan paham ini karena dalam kenyataannya, problem mendasar umat islam di abad modern sekarang ini  dan dalam realitas kehidupan masyarakat indonesia, ialah bagaimana merespon dan menyikapi pluralisme. Untuk itu, bersikap positif terhadap kenyataan adanya pluralisme adalah keharusan yang tidak bisa ditawar lagi di zaman sekarang.[68]


d.   Titik Temu Agama- agama
Untuk menemukan titik temu agama- agama, maka dilakukan sutu proses pencarain dengan menggunakan suatu metode yaitu metode filsafat perenial atau perenialisme. Secara etimologi, istilah filsafat perenial[69] berasal dari istilah latin yakni philosophia perennis yang arti harfiyahnya adalah filsafat yang abadi. Filsafat perenial adalah kebijaksanaan abadi, hikmah abadi atau dapat disebut dengan hakikat abadi. Filsafat perenial berpendapat bahwa hakikat agama yang benar itu hanya satu. Filsafat perenial cenderung dipengaruhi oleh nuansa spiritualitas agama- agama yang kental. Hal ini disebabkan oleh tema yang dikembangkannya yaitu “hikmah keabadian” yang hanya bermakna dan mempunyai kekuatan ketika ia dibicarakan oleh agama- agama. Dalam kaitannya dengan filsafat perenial ini doktrin tentang tauhid tidak sekedar hanya menjadi pesan milik islam saja, melainkan juga sebagai hati atau inti dari setiap agama. Pengertian islam disini diterjemahkan dalam pengertian generiknya, yakni sikap pasrah kepada tuhan, sebagaimana yang sering diungkapkan oleh Nurcholish Madjid bahwa islam artinya pasrah sepenuhnya (kepada allah) sikap yang menjadi inti ajaran agama yang benar di sisi allah. Karena itu semua agama yang benar disebut islam.[70]
Hal ini sebagaimana yang dijelaskan Nurcholish Madjid dalam bukunya Islam doktrin dan peradaban bahwa secara jelas dan harfiah dituturkan dalam kitab suci bahwa yang pertama kali menyadari al- islam adalah Nabi Nuh. Dituturkan bahwa Nabi Nuh mendapat perintah Allah untuk menjadi salah seorang yang muslim,  yakni pelaku yang bersifat al- islam, pasrah pada tuhan. Sebagaimana firman Allah dalam surat Yunus ayat 71:
* ã@ø?$#ur öNÍköŽn=tã r't6tR ?yqçR øŒÎ) tA$s% ¾ÏmÏBöqs)Ï9 ÉQöqs)»tƒ bÎ) tb%x. uŽã9x. /ä3øn=tæ ÍG$s)¨B ÎŽÏ.õs?ur ÏM»tƒ$t«Î/ «!$# n?yèsù «!$# àMù=ž2uqs? (#þqãèÏHødr'sù öNä.{øBr& öNä.uä!%x.uŽà°ur ¢OèO Ÿw ô`ä3tƒ öNä.áøBr& ö/ä3øn=tæ Zp£Jäî ¢OèO (#þqàÒø%$# ¥n<Î) Ÿwur ÈbrãÏàZè? ÇÐÊÈ bÎ*sù öNçFøŠ©9uqs? $yJsù /ä3çGø9r'y ô`ÏiB @ô_r& ( ÷bÎ) y̍ô_r& žwÎ) n?tã «!$# ( ßNöÏBé&ur ÷br& tbqä.r& šÆÏB tûüÏHÍ>ó¡ßJø9$# ÇÐËÈ
Artinya: Dan bacakanIah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia Berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, Maka kepada Allah-lah Aku bertawakal, Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku. Jika kamu berpaling (dari peringatanku), Aku tidak meminta upah sedikitpun dari padamu. upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan Aku disuruh supaya Aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (kepada-Nya)".(QS. Yunus: 71- 72).

Kesadaran akan al- islam itu juga tumbuh kuat dan tegas pada Nabi Ibrahim, sama halnya dengan Nabi Nuh, Nabi Ibrahim juga diperintahkan untuk ber islam. Sebagaimana dalam surat Al- Baqarah ayat 131:
øŒÎ) tA$s% ¼ã&s! ÿ¼çmš/u öNÎ=ór& ( tA$s% àMôJn=ór& Éb>tÏ9 tûüÏJn=»yèø9$# ÇÊÌÊÈ
Artinya: Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah!" Ibrahim menjawab: "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam".(QS. Al- Baqarah: 131).

Kemudian ajaran tersebut kemudian diwasiatkan Ibrahim kepada keturunannya yaitu Nabi Ya’qub atau Israil dari jurusan Nabi Ishaq. Dimana wasiat Ibrahim dan Ya’qub kemudian menjadi dasar agama- agama Israil, yaitu agama- agama yahudi dan kristen. Jadi agama yahudi dan nasrani berpangkal kepada al- islam, karena merupakan kelanjutan agama Ibrahim. Bahwa disini juga dijelaskan bahwa agama Yahudi pada dasarnya mengajarkan al- islam, yang dlitegaskan dalam penuturan alquran mengenai fungsi kitab suci tawrat yang diturunkan kepada Nabi Musa untuk anak keturunan Israil sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Al- Maidaah ayat 44:
!$¯RÎ) $uZø9tRr& sp1uöq­G9$# $pkŽÏù Wèd ÖqçRur 4 ãNä3øts $pkÍ5 šcqŠÎ;¨Y9$# tûïÏ%©!$# (#qßJn=ór& tûïÏ%©#Ï9 (#rߊ$yd tbqŠÏY»­/§9$#ur â$t6ômF{$#ur $yJÎ/ (#qÝàÏÿósçGó$# `ÏB É=»tFÏ. «!$# (#qçR%Ÿ2ur Ïmøn=tã uä!#ypkà­ 4 Ÿxsù (#âqt±÷s? }¨$¨Y9$# Èböqt±÷z$#ur Ÿwur (#rçŽtIô±n@ ÓÉL»tƒ$t«Î/ $YYyJrO WxŠÎ=s% 4 `tBur óO©9 Oä3øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$# ÇÍÍÈ
Artinya: Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.(QS. Al- Maaidah: 44).
Begitu pula dengan Nabi Isa putra Maryam, beliau datang dengan membawa ajaran pasrah kepada Tuhan, sebagaimana tercermin dalam dalam penuturan tentang Nabi Isa dan para pengikutnya dalam surat Al- Imran ayat 52:
* !$£Jn=sù ¡§ymr& 4|¤ŠÏã ãNåk÷]ÏB tøÿä3ø9$# tA$s% ô`tB üÍ$|ÁRr& n<Î) «!$# ( š^$s% šcqƒÍ#uqysø9$# ß`øtwU â$|ÁRr& «!$# $¨YtB#uä «!$$Î/ ôygô©$#ur $¯Rr'Î/ šcqßJÎ=ó¡ãB ÇÎËÈ
Artinya: Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani lsrail) berkatalah dia: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?" para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: "Kamilah penolong-penolong (agama) Allah, kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri.(QS. Al- Imran: 52).

Karena merupakan inti semua agama yang benar, maka al- islam atau pasrah kepada Tuhan adalah pangkal adanya hidayah ilahi kepada seseorang. Maka al- islam menjadi landasan universal kehidupan manusia, berlaku untuk setiap orang, disetiap temapat dan waktu sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Al- Imran ayat 20:
÷bÎ*sù x8q_!%tn ö@à)sù àM÷Kn=ór& }Îgô_ur ¬! Ç`tBur Ç`yèt7¨?$# 3 @è%ur tûïÏ%©#Ïj9 (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# z`¿ÍhÏiBW{$#ur óOçFôJn=ór&uä 4 ÷bÎ*sù (#qßJn=ór& Ïs)sù (#rytF÷d$# ( cÎ)¨r (#öq©9uqs? $yJ¯RÎ*sù šøn=tã à÷»n=t6ø9$# 3 ª!$#ur 7ŽÅÁt/ ÏŠ$t6Ïèø9$$Î/ ÇËÉÈ
Artinya: Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), Maka Katakanlah: "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku". dan Katakanlah kepada orang-orang yang Telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi. "Apakah kamu (mau) masuk Islam". jika mereka masuk islam, Sesungguhnya mereka Telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, Maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). dan Allah Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.(QS. Al- Imran: 20).

Oleh karena al- islam merupakan titik temu semua ajaran yang benar, maka di antara sesama penganut yang tulus akan ajaran itu pada prinsipnya harus dibina hubungan dan pergaulan yang sebaik- baiknya, kecuali dalam keadaan yang terpaksa seperti jika salah satu dari mereka bertidak dzalim terhadap yang lain.[71] Sikap pasrah kepada tuhan sebagai unsur kemanusiaan yang alami dan sejati, kesatuan kenabian dan ajaran para nabi untuk semua umat dan bangsa, semuanya itu menjadi dasar universalisme ajaran yang benar dan tulus, yaitu al- islam.[72]
e.    Din Hanief/ Hanifiyatus Samhah
Menurut Al- Quran, Ibrahim bukanlah seorang Yahudi atau Kristen, melainkan seorang yang hanif[73] dan Muslim. Dua istilah hanif dan muslim itu menunjukkan kepada pengertian “generic”, yaitu ajaran yang belum tertundukkan oleh ruang dan waktu (sejarah) yang dapat menyebabkan hilangnya kemurnian serta memunculkan sifat sekterian dan komunalistik (bersemangat golongan). Perkataan hanif menunjukkan kepada yang murni, suci dan benar dengan titik inti pandangan ketuhanan yang maha esa tahwid, sedangkan perkataan atau tahwid, sedangkan perkataan muslim menunjukkan kepada pengertian sikap tunduk (din) dan pasrah total kepada hanya kepada kemurniaan, kesucian dan kebenaran itu, yang di atas segalanya ialah tunduk dan pasrah total kepada tuhan yang maha esa (islam).
Kedua pengertian itu merupakan hakikat kemanusiaan yang paling asasi dan abadi (perennial), sebagai kelanjutan atau konsekuensi adanya perjanjian primordial antara manusia dan tuhan untuk menghambakan kepadanya, dan berbuat kebaikan yang bakal menghantarkan kembali pada penciptaannya itu,[74] sebagaimana di jelaskan dalam surat  Al- A’raf ayat 172:
øŒÎ)ur xs{r& y7/u .`ÏB ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJ­ƒÍhèŒ öNèdypkô­r&ur #n?tã öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4n?t/ ¡ !$tRôÎgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x»yd tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÐËÈ
                                                                                                                                              Artinya: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)",(QS Al- A’raf: 172)

Berdasarkan firman ini jelas bahwa “kehanifan” dan “kemusliman” dalam arti generic merupakan kenyataan alami atau fitrah yang paling asasi dalam diri manusia. Kebudayaan adalah inti kemanusiaan yang paling suci, perennial, universal dan menjadi pangkal keagamaan atau pandangan hidup yang tegak lurus dan benar, justru karena seruan kepada umat manusia untuk menerima ajaran tuhan disangkutkan dengan firah dan kehanifan, sebagaimana firman allah Ar- Rum ayat 30:
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$#  ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ

Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS Ar- Rum: 30).

Jika dalam Al-Quran  disebutkan bahwa Ibrahim bukan Yahudi atau Kristen, maka maksudnya ialah bahwa dia tidaklah termasuk mereka yang pandangan keagamaannya sektarian dan komunal, dengan klaim- klaim ekslusif sebagai pemegang satu- satunya kebenaran. Gaya keagamaan kaum yahudi dan Kristen pada masa nabi itu dijadikan sebagai model sektarianisme dan komunalisme dalam Al- Quran karena kecenderungan sikap mereka pada masa Nabi SAW yang menunjukkan hal itu. Dari hal itu Allah memerintahkan pada Nabi untuk menari kesimpulan tentang apa agama yang benar yang akan membawa pada keselamatan, yaitu agama yang generic yang bebas dari komunalisme dan dan sektarianisme.[75] Maka dari tersebut, di atas kembali kepada ajaran Ibrahim. Kehanifan dan kemusliman adalah sebagai agama generic dan fitri merupakan induk semua agama di mana saja. Kehanifan dan kemusliman adalah agama semua Nabi dan Rasul yang telah diutus Tuhan kepada setiap umat.[76]
Sebagian dari karakteristik utama kehanifan itu ialah kelapangan (samahah) yang tulus dan bersih, fitri dan alami. Dengan demikian, kehanifan dan kemusliman dapat pula disebut agama fitrah. Nabi SAW menegaskan bahwa sebaik- baiknya agama ialah kehanifan yang lapang (Al- Hanifiyah Al- Samhah).[77] Kelapangan atau samahah itu merupakan bagian integral dari kehanifan. Kehanifan adalah naluri paling mendalam pada manusia untuk mencari, merindukan dan akhirnya memihak pada kebenaran, kesucian dan kebaikan. Sikap ini harus dibiarkan bekerja berproses secara bebas dan lapang agar berhasil mencapai tujuannya.[78]

f.     Islam Yes, Partai Islam No
Selain paham sekularisasi, Nurcholish Madjid juga membawa paham “Islam Yes, Partai Islam No”. Nurcholish Madjid merupakan tokoh utama dalam pembaharuan Islam di Indonesia. Ia melontarkan gagasan mengenai modernisasi dan sekularisasi, yaitu pemikiran islam yang kemudian terkenal dengan slogan “Islam Yes, Partai Islam No”.[79] Penolakan terhadap partai Islam atau Negara Islam bertolak dari pengertian hakikat Islam itu sendiri. Dalam konteks tersebut Nurcholish menggambarkan bahwa pengertian Islam hakiki bukanlah struktur atau kumpulan hukum yang bisa melahirkan formalisme agama, tetapi Islam sebagai pengejawantahan tauhid yang bisa melahirkan jiwa yang hanif, terbuka, demokratis atau paling tidak mampu menempatkan dirinya dalam konfiguransi pluralistik.
g.      Islam Dengan I Besar dan Islam dengan I Kecil
Selain pemikiran yang sudah di sebutkan di atas, Nurcholish Madjid juga membicarakan mengenai Islam yang dalam penulisanya ditulis dengan “Islam” (huruf I besar), dan “Islam” (dengan mengunakan huruf i kecil).[80] memberikan kesan Islam sesunguhnya lebih penting daripada Islam. Sebab, menurutnya Islam banyak mengandung konotasi sosial, dalam arti bahwa terutama dalam masa sekarang ini lebih menunjuk kepada perwujudan sosial orang-orang yang memeluk atau mengaku memeluk agama Islam. Maka menjadi orang Islam, dari sudut tinjauan ini lebih banyak berarti menjadi anggota masyarakat, yang dilhat dari segi formal keislaman. Sedangkan Islam (dengan i kecil) mengandung pengertian yang lebih dinamis, yaitu sikap penyerahan diri kepada Tuhan justru karena menerima tantangan moral-Nya. Maka jika digabung antara pengertian yang generik (Islam dengan i kecil) dan (Islam dengan I besar), maka “ menjadi seorang Islam atau seorang muslim adalah berarti menjadi orang yang seluruh hidupnya diliputi tantangan untuk senantiasa meningkatkan diri menuju pada moralitas yang setingi-tinginya, dengan jalan selalu mengusahakan pendekatan diri kepada Tuhan, yang dalam agama disebut Takwa. Dalam pengertian dan uraian teologis inilah Nurcholish beranggapan segi transendensi modernitas Islam itu bisa dibangun.[81]
Menurut Nurcholish, sebenarnya sudah banyak usaha- usaha untuk melakukan modernisasi politik dikalangan islam, tapi walaupun sudah diusahakan sejak akhir abad lalu sampai sekarang umat islam belum berhasil menjadikan negara modern dalam arti yang bisa dibandingkan dengan barat. Dalam penilaiannya ini disebabkan karena kemodernan itu tidak tumbuh secara organik dari keislaman itu sendiri, yang kesadaran inilah menjadikan Nurcholish menggeluti soal dasar- dasar teologi agar umat Islam Indonesia bisa menjadi modern, lewat suatu cara yang berfikir yang disebut “neo- modernis”. Menurutnya ini bisa dimengerti, sebab memang masalahnya sangat sulit, menyangkut soal bagaimana umat Islam memasuki zaman yang sangat berbeda dengan zaman dimana umat Islam telah berpengalaman untuk hidup dan memimpin pada  suatu suasana kebudayaan yang oleh Marshall Hodgson disebut Agrarianate Citied Society (keunggulan suatu masyarakat agraria berkota).[82]
Modernisasi, menurut Nurcholish berarti rasionalisasi untuk memperoleh daya guna dalam berfikir dan bekerja yang maksimal, guna kebahagiaan umat manusia. Hal ini adalah perintah tuhan yang imperatif mendasar. Modernisasi berarti berfikir dan bekerja menurut fitrah atau sunnatullah yang hak (sebab alam adalah hak). Sunnatullah telah mengejewantakan dirinya dalam hukum islam, sehingga untuk menjadi modern, manusia harus mengerti terlebih dahulu hukum dalam alam (perintah tuhan).[83]  Hal- hal yang telah disebutkan di atas secara garis besar itulah yang mendorong Nurcholish memajukan gagasan modernisasi versi baru menurut pandangan- pandangannya.[84]
Semua pemikiran modernisasi Nurcholish Madjid di atas, titik tolaknya adalah konsep tauhid, yang menurutnya mempunyai efek pembebasan. Proses pembebasan tidak lain adalah kemurniayaan kepercayaan kepada tuhan itu sendiri. Pertama dengan melepaskan diri dari kepercayaan yang palsu, dan kedua dengan memusatkan kepercayaan hanya kepada yang benar. Pemikiran pertama mengikuti istilah ibnu taimiyah, yaitu tauhid uluhiyah dan kedua tauhid rububiyah. Implikasi dari pembebasan tersebut adalah seseorang akan menjadi manusia yang terbuka yang secara kritis selalu tanggap kepada masalah- masalah kebenaran dan kepalsuan yang ada di masyarakat. Efek pembebasan di atas akan mengalir dari sifatnya individual, kepada yang lebih sosial. Menurut Nurcholish, dalam alquran prinsip tauhid berkaitan dengan sikap menolak thaghut (apa- apa yang melewati batas), sehingga konsekuensi logis tauhid adalah pembebasan sosial yang bersifat egalitarian.[85]
Berdasarkan penjelasan mengenai pemikiran dan metode Nurcholish Madjid di atas maka disini dalam buku karangan jalaluddi rakhmat di jelaskan bahwa dalalm pemikiran  Nurcholish disini lebih banyak menggunakan pendekatan sosiologi, terutama sosiologi agama. Dalam mengamati sosiologi pembaruan pemikiran Nurcholish, akan memadai jika menggunaka pendekatan holistik. Sebab dengan pendekatan ini, akan diperoleh gambaran yang lebih utuh dan subtantif tentang kesatuan gagasan- gagasannya dengan cara menghubungkannya satu sama lain. Berdasarkan dari pengamatan yang dilakukan terdapat dialektika tiga ide dalam kesatuan, yaitu keislaman, kemodernan dan keindonesiaan. Kesatuan tiga ide ini mirip dengan judul bukunya islam kemodernan dan keindonesiaan, buku kedua islam doktrin dan peradaban lebih memperdalam, mepertajam dan memperkaya khazanah pemikiran Nurcholish. Sebab melalui kedua bukunya pandangan Nurcholish sebagai pemikir neo- modernis menampakkan sosoknya secara lebih utuh. Dengan demikian secara umum pemikirannya dapat dirumuskan dalam konstruksi dialektika dan kesatuan gagasan tentang keislaman, keindonesiaan dan kemodernan. Dialektika dan kesatuan tiga ide besar itu, melahirkan ide- ide pendukung yang berfungsi memperkuat konstruksi seluruh bangunan ide, yakni neo- modernisme, integrasi dan pembangunan.[86]
C.  Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan tentang pembahruan islam Nurcholish Madjid di atas bahwa ditarik sebuah kesimpulan bahwa ide- ide pemikiran beliau tentang sekularisasi, desakralisasi, pluralisme, titik temu agama- agama, dien hanif, islam yes, partai islam no dan islam dengan i besar dan islam dengan i kecil merupakan bentuk modernisasi dari ide- ide pokok pikiran Nurcholish Madjid. Adapun titik tolak dari semua pemikiran Nurcholish Madjid adalah tauhid. Proses pembebasan tidak lain adalah kemurniayaan kepercayaan kepada tuhan itu sendiri. Pertama dengan melepaskan diri dari kepercayaan yang palsu, dan kedua dengan memusatkan kepercayaan hanya kepada yang benar. Pemikiran pertama mengikuti istilah ibnu taimiyah, yaitu tauhid uluhiyah dan kedua tauhid rububiyah.


[1] Sztompka menjelaskan bahwa konsep modernisasi dalam arti khusus yang disepakati teoritisi modernisasi tahun 1950-an dan tahun 1960-an, didefinisikan dalam tiga cara, yaitu secara historis, relatif, dan analisis. Dalam kerangka definisi historis, modernisasi biasa diartikan sebagai westerniasi, yaitu gerakan masyarakat menuju ciri-ciri masyarakat Eropa Barat dan Amerika yang dijadikan model. Pendekatan semacam ini sering terancam etnosentrisme yang sangat keliru. Akibatnya negara-negara Timur mencontoh perilaku Barat, atau mengambil ide, ilmu, dan teknologi yang dibawa oleh Barat. Maka terjadilah westenisasi (pembaratan). Dalam dunia Islam, westernisasi dikembangkan oleh Mustafa Kamal Attaturk (di Turki) yang melakukan westernisasi ekstrem dengan memenggal tradisi yang berkembang. Juga cara berpikir yang dikembangkan oleh Sayyid Ahmad Khan di India yang sangat berbau Barat dengan dikembangkannya filsafat hukum alam, lihat di  Syamsul Bakri, Modernisasi dan Perubahan Sosial dalam Lintasan Sejarah Islam, Vol. 14, No. 2, September 2016,  hlm. 178.

[2] Modernisasi biasa dikaitkan dengan kondisi masyarakat Barat, karena modernisasi merupakan proses perubahan menuju pada tipe sistem-sistem sosial, ekonomi, dan politik yang berkembang di Eropa Barat dan Amerika Utara abad ke-17 M sampai abad ke 19 M. Sistem sosial yang baru kemudian menyebar ke seluruh negara-negara di dunia, termasuk di negeri-negeri Muslim. Dalam teori Levy ditegaskan bahwa modernisasi ada melalui eropanisasi, pembaratan, atau amerikanisasi. Artinya, masyarakat Timur mencontoh pengalaman Barat dalam hal industrialisasi, demokrasi, dan hak asasi. Hal inilah yang menyebabkan modernisasi sering bersifat “Barat sentris”, lihat di  Syamsul Bakri, Modernisasi dan Perubahan Sosial dalam Lintasan Sejarah Islam, Vol. 14, No. 2, September 2016,  hlm. 175- 176.

[3] Nurcholish Majid, Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan ( Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013) hlm. 20.

[4]Tradisionalisme islam dipelopori kelompok ulama yang mendirikan pesantren sebagai basis penyebaran paham- paham keagamaan. Lihat Ahmad amir azizi, neo modernisme islam di Indonesia ( Jakarta: PT Rineka Cipta, 1999) hlm. 3.
[5] Ahmad Amir Azizi, Neo Modernisme Islam Di Indonesia (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1999) hlm. 3- 4.

[6] Istilah fundamentalis bukan berasal dari terminologi Islam, tetapi berasal dari kata bahasa Inggris yaitu fundament. Sebuah terminologi yang lahir dalam konteks sejarah keagamaan di dunia kristen Amerika Serikat. Disebutkan bahwa fundamentalisme lahir dalam situasi konflik antar budaya urban dan budaya pedesaan di Amerika pasca PD I, yang muncul bersamaan dengan situasi depresi nilai-nilai agraris dalam proses industrialisasi dan urbanisasi. Bentuknya yang agresif sering muncul di daerah yang terisolasi dan hanya sedikit saja yang mendapat simpati kalangan kota. Fundamentalisme merupakan gerakan reaksi terhadap pola peradaban yang timbul dari proses industrialisasi dan urbanisasi. Lihat Fahrurrozi Dahlan, Fundamentalisme Agama: Antara Fenomena Dakwah dan Kekerasan, Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 6 No. 20, Edisi Juli-Desember 2012, hlm. 333.

[7] Sejarah berkembangnya istilah fundamentalisme bagi golongan Islam berhaluan keras mulai populer di dunia Barat sejak meletusnya Revolusi Iran pada tahun 1979 dalam melawan Amerika Serikat yang mereka sebut sebagai The Great Satan. Sejak saat itulah, istilah fundamentalisme kemudian digunakan untuk menggeneralisasi berbagai gerakan Islam di berbagai belahan dunia Islam sebagai arus gelombang kebangkitan Islam (Islamic Revival), lihat Maimun fuadi, Fundamentalisme dan inklusifisme dalam Paradigma, Jurnal Substantia Vol. 15, No. 1, APRIL 2013, hlm 117.
[8]Ahmad Amir Azizi, Neo Modernisme Islam Di Indonesia (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1999) hlm. 5- 6.
[9] Neo modernisme disebut sebagai sebuah gerakan pencerahan atas pencerahan, karena faham ini sangat gigih dalam melakukan kritikan dan gugatan terhadap modernisme yang sangat mendewakan rasio dalam ilmu pengetahuan yang diyakini akan membawa dan mengarahkan manusia memperoleh keselamatan dan kebahagiaan di dalam kehidupannya. Bagi neo modernisme, yang terjadi adalah kondisi sebaliknya dari apa yang diyakini oleh kaum modernis, yakni manusia bukan lagi sebagai subjek dan pelaku untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, akan tetapi jatuh terperangkap ke dalam objek dan sasaran yang dikendalikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Neo modernisme adalah sebuah fase sejarah yang ingin secara tuntas mengantisipasi dan membebaskan manusia dari segala bentuk cengkeraman zaman yang tak menyenangkan. Diantaranya adalah alur pemikiran neoModernisme yang digagas oleh Fazlur Rahman (1919-1988) seorang tokoh pembaharu Islam asal Pakistan. Konsep neo-modernisme Fazlurrahman berusaha memahami pemikiran- pemikiran Islam dan barat secara padu. Karena, bagi Rahman, Islam menyimpan nilai-nilai modernitas jika dipahami secara utuh dan menyeluruh, bukan secara parsial yang justru akan melahirkan sikap eksklusif, jumud, dan intoleran terhadap agama lain. Gagasan neo-modernisme Fazlurrahman kemudian menginspirasi tokoh tokoh pembaharus Islam di Indonesia, diantaranya adalah Nurcholis Madjid yang dikenal sebagai neo-modernis Islam Indonesia bersama Gus Dur.Lihat Suryani, Neo Modernisme Islam Indonesia: Wacana Keislaman Dan Kebangsaan Nurcholish Madjid, Jurnal Wacana Politik - Jurnal Ilmiah Departemen Ilmu Politik Vol. 1, No. 1, Maret 2016: 29 - 40ISSN 2502 – 9185, hlm. 31- 32.

[10] Ahmad Amir Azizi, Neo Modernisme Islam di Indonesia Neo Modernisme Islam Di Indonesia (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1999) hlm. 7.

[11] Pembaru kontemporer yang dijelaskan dalam hal ini menungkapkan beberapa tokoh, diantaranya nurcholish madjid, harun nasution, amien rais, Abdurrahman wahid, munakwwir sjadzali, fazlur rahman, ismail raji al- faruqi, Abdurrahman wahid, muhammad arkoun, hasan hanafi dan sayyed hosein nasr. Mereka berupaya menggiring islam memiliki nuansa wawasan yang luas, sehingga mereka secara dewasa punya alternative pasti dalam mengkaji kontekstual nilai islam. Mereka juga menggali kandungan nilai keslaman dan memberi muatan positif bagi akar kepentingan kemanusiaan dan umat islam. Pemikiran mereka mengangkat penyegaran iman ikhsan dan ilmu. Dengan kualitas nilai tersebut diharapkan lahirnya pembangunan peradaban islam. Realitas pembuktian kea rah tersebut makin kentara, sehingga pada gilirannya ajaran islam yang tadinya marjinal sudah tidak ada lagi. Disinilah letak kelebihan islam sebagai agama memompakan rasionalitas sekaligus spiritualitas dan kelenturannya untuk menyelaraskan diri dengan kemajuan zaman. Lihat Ahmad Taufik Dkk, Sejarah Pemikiran Dan Tokoh Modernisme Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005) hlm. 147- 148.
[12] Ahmad Taufik, dkk, Sejarah Pemikiran Dan Tokoh Modernisme Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005) hlm. 154.
[13] Istilah sekularisme pertama kali digunakan oleh penulis inggris goerge Holyoake pada tahun 1846. Secara kebahasaan, istilah sekularisasi dan sekularisme berasal dari kata latin saeculum yang berarti sekaligus ruang dan waktu. Ruang menunjukkan pada pengertian duniawi, sedangkan waktu menunjukkan pengertian sekarang atau zaman kini. Sehingga saeculum berarti dunia ini, dan sekaligus sekarang, masa kini atau zaman kini. Holyoake berpendapat bahwa sekularisme adalah suatu  sistem etik yang didasarkan pada prinsip moral alamiah dan terlepas dari agama wahyu atau supraturalis tersebut dapat ditafsirkan secara lebih luas, bahwa sekularisme dapat menununjang kebebasan beragama, dan kebebasan dari pemkasaan dengan menyediakan msebuah rangka yang netral dalam masalah kepercayaan, serta tidak menganakemaskan sebuah agama tertentu. Artinya perdebatan mengenai sekularisme tidak menyentuh label dan kemasan, tapi menyentuh isi dan subtansi. Lihat Budhy Munawar Rachman, Reorientasi Pembaharuan Islam: Sekularisme, Liberalism Dan Pluralism Paradigm Baru Islam Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 2010) Cet. 1, hlm. 223- 224.

[14] Budhy Munawar Rachman, Reorientasi Pembaharuan Islam: Sekularisme, Liberalism Dan Pluralism Paradigm Baru Islam Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 2010) Cet. 1, hlm. 155- 156.
[15] Lihat http://repository.uin-suska.ac.id/3973/3/BAB%20II.pdf, sabtu 29 april 2017 pukul 01:48.

[16] Syamsul Kurniawan M. Rais, Neo Modernisme Islam Nurchalish Madjid (Relevansinya dengan Pembaruan Pendidikan Islam), Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 2 September 2011, hlm. 136- 137.
[17] Ahmad Amir Azizi, Neo Modernisme Islam di Indonesia Neo Modernisme Islam Di Indonesia (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1999) hlm.22.

[18] Ada dua alasan mengapa ia hanya bertahan dua tahun nyantri di sana: pertama, karena alasan kesehatan; dan kedua, karena alasan ideologi atau politik. Nurchalish Madjid seringkali mengalami cemoohan dari kawan-kawannya, berkaitan dengan pendirian politik ayahnya yang terlibat Masyumi. Lihat [18] Syamsul Kurniawan M. Rais, Neo Modernisme Islam Nurchalish Madjid (Relevansinya dengan Pembaruan Pendidikan Islam), Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies Volume 1 Nomor 2 September 2011, hlm. 136- 137.

[19] Hamidah, Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid– KH. Abdurrahman Wahid: Memahami Perkembangan Pemikiran Intelektual Islam, Miqot Vol. XXXV No. 1 Januari-Juni 2011, hlm. 79- 80.
[20] Ahmad Taufik, dkk, Sejarah Pemikiran Dan Tokoh Modernisme Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005) hlm. 151.
[21] Pada tahun 1968 atas undangan departemen luar negeri AS, nurcholish berkesempatan untuk mengunjungi negeri tersebut. Selama itu ia sempat ke berbagai universitas, mengamati kehidupan politik sosial keagamaan serta berdiskusi dengan sejumlah tokoh. Sepulang dari amerika, ia melanjutkan lawatan ke kawasan timur tengah, diantaranya saudi arabia, irak, dan kuwait. Pengalaman tersebut membuatnya terinspirasi mencari hakikat islam dan masyarakat muslim, pasalnya negara barat lebih segalanya daripada negara islam. Akumulasi pengalaman ditambah pergolakan pemikiran yang dialaminya. Akhirnya melahirkan konsep NDP ( Nilai Dasar Perjuangan). Konsep itu kemudian disahkan dalam kongres HMI tahun 1969 di malang, yang sekaligus membuatnya terpilih kembali sebagai ketua umum PB HMI untuk kedua kalinya. Ahmad Amir Azizi, Neo Modernisme Islam di Indonesia Neo Modernisme Islam Di Indonesia (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1999) hlm. 23.

[22] Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan ( Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013) hlm. 5.

[23] Tahun 1970- an merupakan masa- masa awal pembentukan intelektualnya, yang kemudian dimatangkan dalam tulisannya di berbagai media, missal pos bangsa, tribun dan mimbar. Itu merupakan contoh dari pergumulan pemikirannya dalam merespon teori pertumbuhan yang diperdebatkan di maksa awal pembangunan orde baru. Tulisa- tulisan tersebut juga mencerminkan komitmen sosialnya atas nasib kaum lemah. Di samping itu, Nur,cholish juga menanggapi isu- isu demokrasi, keadilan, kebebasan dan lainnya. Ahmad Amir Azizi, Neo Modernisme Islam di Indonesia Neo Modernisme Islam Di Indonesia (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1999) hlm. 23- 24.

[24] HMI adalah organisasi mahasiswa terbesar dan tertua yang telah berperan dalam proses keindonesiaan. HMI memiliki komitmen pada Islam modern. HMI sebagai organisasi islam yang lahir kemudian setelah organisasi modernis lainnya lahir. Pola gerakan dan pemikiran keislaman HMI berbeda dengan pola gerakan keislaman modren sebelumnya.  Jurnal Universitas Paramadina: Himpunan mahasiswa islam (HMI): Sejarah dan pemikiran keislamannya. Lihat di http://library.um.ac.id/majalah/printmajalah3.php/29478.html, sabtu 29 april 2017 pukul 20.

[25] Lahirnya GPII tidak terlepas dari peranan pelajar sekolah tinggi islam di dalam memberikan penerangan dan membangkitkan semangat rakyat. Manifestasi perjuangan STI bisa dilihat dalam ide penyelenggaraan rapat raksasa di lapangan ikada yang disediakan oleh para mahasiswa di asrama perapatan 10 dan balai muslimin (asrama STI). Rapat raksasa yang diprakarsai dan digerakkan pemuda pada tanggal 19 september 1945 adalah manifestasi tekad dan usaha bangsa indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dan menyatakan bahwa kemerdekaan itu bukanlah hadiah jepang. Lihat skripsi Ahmad Bayqhuni, Perjuangan Gerakan Pemuda Islam Indonesia Pada Masa Revolusi Pada Tahun 1945- 1949, Jurusan Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab Dan Humaniora Uin Syarif Hidayatullah Jakarta 2008, hlm. 35.

[26] Ahmad Taufik, dkk, Sejarah Pemikiran Dan Tokoh Modernisme Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005) hlm. 152.

[27] Hamidah, Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid–K.H. Abdurrahman Wahid: Memahami Perkembangan Pemikiran Intelektual Islam, Miqot Vol. XXXV No. 1 Januari-Juni 2011, hlm. 80.
[28] Nurcholish Madjid memperoleh gelar Doktor Filsafat dari Universitas Chicago, Amerika Serikat pada tahun 1984 dengan predikat summa cum laude dengan disertasi berjudul Ibn Taymiyya on Kalam and Falasafa. Hamidah, Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid–K.H. Abdurrahman Wahid: Memahami Perkembangan Pemikiran Intelektual Islam, Miqot Vol. XXXV No. 1 Januari-Juni 2011, hlm. 80.
[29] Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan ( Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013) hlm. 5.
[30] Syafi’ah, Aspek Pemikiran Keagamaan Nurcholis Madjid, An- Nida’ Jurnal Pemikiran Islam,Vol.39,No.2 Juli - Desember 2014, hlm. 167.
[31] Purwanto, Pluralisme Agama dalam Prespektif Nurcholish Madjid, Religió, Jurnal Studi Agama-agama, Volume 1, Nomor 1, Maret 2011, hlm. 53.
[32] Beberapa orang akan tertegun memasukkan nama fadzlur rahman di antara sarjana- sarjana islam ternama pada akhir abad 20. Ia diingat karena ketajaman pikirannya, ingatannya yang luar biasa. Dan kemampuan uniknya menyatukan berbagai persoalan yang kompleks ke dalam satu gaya cerita yang koheren. Kenagkitan dan pembaharuan menjadi tema sentral dalam skema pemikiran fadzlur rahman. Kategori tajdid (pembaharuan) dan ijtihad (berfikir bebas) layak menjadi unsur utama di bawah rubrik pemikiran islam kembali. Perhatian utamanya adalah menyiapkan dasar dari pemikirn kembali tersebut yang secara berangsur- angsur direalisasikan oleh sarana pendidikan.  Aam Fahmia Terjemahan Dari Buku Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam: Studi Tentang Fundamentalisme Islam ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 200) Cet. 1, hlm. 4- 9.

[33] Buya hamka adalah kaum modernis, ia lahir di tanah minang, dan lebih- lebih lagi sebagai putra seorang pendekar pembaruan yang tersohor. Keunikan buya hamka antara lain terletak dalam kenyataan bahwa beliau adalah seorang penganut reformasi islam bahkan seorang yang termasuk pelopor dan pimpinan yang paling berpengaruh. Nurcholish Madjid, tradisi islam peran dan fungsinya dalam pembangunan di indonesia (Jakarta: PARAMADINA, 2008) Cet. 2, hlm 124.

[34] Hamidah, Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid–K.H. Abdurrahman Wahid: Memahami Perkembangan Pemikiran Intelektual Islam, Miqot Vol. XXXV No. 1 Januari-Juni 2011, hlm. 80.

[35] Ahmad Amir Azizi, Neo Modernisme Islam di Indonesia Neo Modernisme Islam Di Indonesia (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1999) hlm. 24.

[36] Cak Nur termasuk cendikiawan yang produktif dalam menulis buku. Karya-karyanya antara lain: Khazanah Intelektual Islam; Islam Kemodernan dan Keindonesiaan; Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan; Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan: Pikiran-pikiran Nurcholish Muda; Pintu-pintu Menuju Tuhan; Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah; Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Visi Baru Islam Indonesia; Kaki Langit Peradaban; Kontektualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah; Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan; Perjalanan Religius Umrah dan Haji; Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer; 30 Sajian Rohani: Renungan di Bulan Ramadhan Nurcholish Madjid; Cendikiawan dan Masyarakat Religius; Tidak Ada Negara Islam; Surat-menyurat Nurcholish Madjid dengan M. Roem; dan Masyarakat Religus Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat. Lihat purwanto, Pluralisme Agama dalam Prespektif Nurcholish Madjid, Religió: Jurnal Studi Agama-agama, Volume 1, Nomor 1, Maret 2011, hlm. 52.

[37] Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan ( Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013) hlm. 6.

[38] Islamic Roots Of Modern Pluralism Indonesian Experiences, Studi Islamika, Indonesian Journal For Islamic Studies, Vol. 1, No. 1 ( April- June) 1994. Lihat di http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/studia-islamika/article/view/866/743,  minggu 30 april 2017 pukul 08:09.
[39] Sebagaimana dalam buku islam kemodernan dan keindonesiaan, dimana dalam buku tersebut merupakan kumpulan tulisannya selama dua dasawarsa yang melontarkan gagasannya tentang korelasi kemodernan, keislman dan keindonesiaan, sebagai respon terhadap berbagai persoalan dan isu- isu yang berkembang pada masa itu.  Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan ( Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013) hlm.

[40] Budhy Munawar Rachman, Reorientasi Pembaharuan Islam: Sekularisme, Liberalism Dan Pluralism Paradigm Baru Islam Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 2010) Cet. 1, hlm.  1- 3.

[41] Sekularisassi diartikan sebagai pemisahan antara urusan negara, atau lebih luas politik, dan urusan agama, atau pemisahan antara urusan duniawi dan akhirat. Budhy Munawar Rachman, Reorientasi Pembaharuan Islam: Sekularisme, Liberalism Dan Pluralism Paradigm Baru Islam Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 2010) Cet. 1, hlm.
[42] Budhy Munawar Rachman, Reorientasi Pembaharuan Islam: Sekularisme, Liberalism Dan Pluralism Paradigm Baru Islam Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 2010) Cet. 1, hlm. 334- 337.

[43] Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan ( Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013)  hlm. 264.

[44] Di barat (eropa) pada abad ke- 19 terjadi secara intensif pemisahan antar hal- hal yang menyangkut agama dan non agama yang kemudian disebut sekularisme. Sedikit demi sedikit urusan keduniawian memperoleh kemerdekaan dari pengaruh gereja (terutama gereja protestan), dengan puncaknya di mana kgereja tidak berhak capur tangan dalam bidang politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan. Sekularisasi adalah suatu kecenderungan  melihat permasalahan dari sudut duniawi dan kekinian, dengan cara- cara yang rasional, maupun empiris, seperti ditunjukkan oleh ilmu pengetahuan. Maka, dilihat dari sudut pandang ilmu pengetahuan, sekularisasi berarti pembebasan manusia dari agama dan metafisika atau tepatnya, terlepasnya dunia dari pengertian- pengertian religius yang suci, non rasional apalagi pandangan yang bersifat mistis. Dari pembebasan ini manusiapun mengalihkan perhatiannya ke arah dunia sini dan waktu kini terutama melalui ilmu pengetahuan. Budhy Munawar Rachman, Reorientasi Pembaharuan Islam: Sekularisme, Liberalism Dan Pluralism Paradigm Baru Islam Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 2010) Cet. 1, hlm. 227.
[45] Budhy Munawar Rachman, Reorientasi Pembaharuan Islam: Sekularisme, Liberalism Dan Pluralism Paradigm Baru Islam Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 2010) Cet. 1, hlm. 339.
[46] Sebagai Nurcholish menjelaskan bahwa sekularisasi tidalah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme, sebab secularism is the name for an ideology, a new closed world view which function very much like a new religion. Dalam hal ini yang dimaksud ialah  setiap bentuk liberatingdevelopment. Proses pembebsan ini diperlukan karena umat islam, akibar perjalanan sejarahnya sjendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai- nilai yang disangkanya islam itu, mana yang transendental dan mana yang temporal. Budhy Munawar Rachman, Reorientasi Pembaharuan Islam: Sekularisme, Liberalism Dan Pluralism Paradigm Baru Islam Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 2010) Cet. 1, hlm. 339- 340.

[47] Harvey Cox yang terkenal dengan bukunya the secular city mengemukakan tiga aspek sekularisasi, yaitu pembebasan alam dari ilusi (disenchantment of nature), desakralisasi politik (desacralization of politics), dan pembangkangan terhadap nilai- nilai (deconsecration of values). Yang pertama dimaksudkan untuk pembebasan alam dari pengaruh ilahi yang mencakup kepercayaan animisme, dewa- dewa dan sifat magis dari alam. Kedua, penghapusan legitimasi kekuasaan dan wewenang politik dari agama. Dan yang ketiga, berati bahwa nilai- nilai termasuk nilai agama terbuka untuk perubahan yang di dalamnya manusia bebas menciptakan perubahan itu dan membenamkan dirinya dari proses evolusi. Budhy Munawar Rachman, Reorientasi Pembaharuan Islam: Sekularisme, Liberalism Dan Pluralism Paradigm Baru Islam Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 2010) Cet. 1, hlm. 228.

[48] Bagaimanapun sekularisasi sebagai istilah mdeskriptif mempunyai arti yang luas dan mencakup. Ia muncul dalam samaran- samaran yang berbeda- beda, bergantung pada sejarah keagamaan dan politik suatu daerah yang dimaksudkan. Namun, dimanapun ai timbul ia harus dibedakan dari sekularisme. Sekularisasi menujukkan adanya proses sejarah, hampir pasti tak mungkin diputar kembali, yang di dalamnya masyarakat dan kebudayaan dibebajskab dari kungkungan atau asuhan pengawasan keagamaan dan pandangan dunia metafisis yang tertutup. Telah kita tegaskan bahwa sekularisasi pada dasarnya adalah perkembangan pembebasan. Sedangkan sekularisme adalah nama untuk suatu ideologi, suatu pandangan dunia bairu yang tertutup yang berfungsi sangat mirip sebagai agama baru. Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan ( Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013)  hlm. 263- 264.

[49] Budhy Munawar Rachman, Reorientasi Pembaharuan Islam: Sekularisme, Liberalism Dan Pluralism Paradigm Baru Islam Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 2010) Cet. 1, hlm. 340.
[50] Perkataan secular yang berasala dari bahasa latin saeculum, mengandung suatu makna yang ditandai dengan dua pengertian yaitu waktu dan tempat atau ruang. Secular dalam pengertian waktu merujuk kepada sekarang atau kini sedang dalam pengertian ruang merujuk kepada dunia atau duniawi. Jadi saeculum bermakna zaman kini atau masa kini dan zaman ini waktau masa kini merujuk kepada peristiwa di sunia ini dan itu juga berarti peristiwa- peristiwa masa kini. Tekanan makna pada secular adalah diletakkan pada suatu waktu atau masa tertentu di dunia yang dipandang sebagai suatu proses kesejarahan. Sekularisasi didefinisikan sebagai pembebasan manusia pertama dari kungkungan agama dan kemudian dari kungkungan metafisika yang mengatur akal dan bahasanya. Lihat Khalif Muammar diterjemahkan dari buku Syed Muhammad Al- Naquib Al- Attas, Islam Dan Sekularisme (Bandung: PIMPIN, 2011) Cet. 2, hlm. 18- 19.

[51] Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan ( Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013)  hlm. 261- 262.

[52] Baca Alquran Al- Karim, Surat Al- Qaqarah Ayat 30, Artinya: 30.  Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang merusak dan menumpahkn darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji- mu dan menyucikan namamu?” di berfirman”, sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. Lihat Kementrian Agama RI, Bukhara Al-Qur`an Tajwid dan Terjemah (Bandung: Syaamil Qur`an, 2010) hlm. 6.

[53] Budhy Munawar Rachman, Reorientasi Pembaharuan Islam: Sekularisme, Liberalism Dan Pluralism Paradigm Baru Islam Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 2010) Cet. 1, hlm. 342.

[54] Desakralisasi, dilihat dari segi bahasa, berasal dari kata Inggris “sacral”, yang berarti suci, keramat atau angker. Kata ini sepadan dengan istilah “demitologisasi”, artinya proses pembuangan nilai-nilai mitologis. Jadi bila demikian kata “desakralisasi” yang dimaksud adalah, suatu proses pembebasan masyarakat dari belenggu takhayul dari beberapa aspek kehidupannya, hal ini tidak dimaksudkan penghapusan orientasi keagamaan dalam norma-norma dan nilai – nilai kemasyarakatannya. Lihat
[55]Ahmad Taufik, dkk, Sejarah Pemikiran Dan Tokoh Modernisme Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005) hlm. 157.
[57] Budhy Munawar Ranchman, Reorientasi Pembaharuan Islam: Sekularisme, Liberalism Dan Pluralism Paradigm Baru Islam Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 2010) Cet. 1, hlm. 337- 338.
[58] Pluralisme adalah bentuk kelembagaan dimana penerimaan terhadap keragaman melingkupi masyarakat tertentu atau dunia secara keseluruhan. Maknanya lebih dari sekedar toleransi moral atau koeksistensi pasif. Pluralisme di satu sisi mensyaratkan ukuran kelembagaan dan legal yang melindungi dan mengesahkan kesetaraan dan mengembangkan rasa persaudaraan diantara manusia sebagai pribadi atau kelompok, baik ukuran itu bersifat bauwaan ataupun perolehan. Begitu pula pluralisme menuntut suatu pendekatan yang serius terhadap memahami pihak lain dan kerjasama yang membangun untuk kebaikan semua. Mohamed Fathi Osman, Islam Pluralisme Dan Toleransi Keagamaan: Pandangan Alquran, Kemanusiaan, Sejarah Dan Peradaban (Jakarta: Democracy Project, 2012) hlm. Xiii.

[59] Cak Nur adalah seorang aktivis internasional yang terus mengadvokasikan pentingnya pluralism, bukan hanya di dunia muslim, tapi jua global. Seperti yang pernah di tegaskan oleh Cak Nur yang menjelaskan bahwa pluralisme tidak hanya dipahami dengan mengatakan bahwa masyarakat kita adalah majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai kebaikan negative, pliralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinnikaan dalam ikatan- ikatan keadaban. Bahkan pluralism adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Dalam kitab suci bahkan disebutkan bahwa allah menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesama manusia guna memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan tuhan yang melimpah kepada umat manusia. Mohamed Fathi Osman, Islam Pluralisme Dan Toleransi Keagamaan: Pandangan Alquran, Kemanusiaan, Sejarah Dan Peradaban (Jakarta: Democracy Project, 2012) hlm. x- xv

[60] Menurut Nurcholish Madjid tiga agama ini, yaitu yahudi, Kristen dan islam, lahir dari satu bapak. Mereka adalah keluarga besar. Ayah mereka satu dan ibu mereka banyak. Secara historis- geografis mereka terikat oleh satu tempat dan waktu yang tidka berjauhan, sampai setiap agama itu menyebar ke seluruh benua. Seharusnya hubungan antaragama yang satu dengan agama yang lain adalah hubungan persaudaraan. Saying pada kenyataannya setiap agama justru mempersempit gerak agama yang lain sehingga masing- masing menciptakan suasana ketegangan, bahkan permusuhan yang menimbulkan konflik antaragama. Budhy Munawar Rachman, Reorientasi Pembaharuan Islam: Sekularisme, Liberalism Dan Pluralism Paradigm Baru Islam Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 2010) Cet. 1, hlm. 761.

[61] Jalaluddin Rakhmat, Tharikat Nurcholishy: Jejak Pemikiran Dari Pembaharu Sampai Guru Besar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001) hlm. 392.

[62] Jalaluddin Rakhmat, Tharikat Nurcholishy: Jejak Pemikiran Dari Pembaharu Sampai Guru Besar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001) hlm. 393.
[64] Jalaluddin Rakhmat, Tharikat Nurcholishy: Jejak Pemikiran Dari Pembaharu Sampai Guru Besar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001) hlm. 394.

[65] Kalimatus sawa’ yaitu ketuhanan yang maha esa, seperti yang di kehendaki oleh alquran melalui nabi SAW. Dan kaum muslim sebagaimana yang dijelaskan dalam QS Al- Imran ayat 64. Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2008) Cet. 6, hlm Ci.
[66] Suryani, Neo Modernisme Islam Indonesia:  Wacana Keislaman Dan Kebangsaan Nurcholish Madjid
 Jurnal Wacana Politik - Jurnal Ilmiah Departemen Ilmu Politik, Vol. 1, No. 1, Maret 2016: 29 – 40, hlm 35- 36
[67] Jalaluddin Rakhmat, Tharikat Nurcholishy: Jejak Pemikiran Dari Pembaharu Sampai Guru Besar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001) hlm. 228.

[68] Jalaluddin Rakhmat, Tharikat Nurcholishy (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001) Cet. 1, hlm. 395.
[69] Filsafat perennial adalah pengetahuan yang selalu ada dan akan ada, karena berkaitan dengan yang absolut, yang dalam tradisi kristiani disebut gnostik, sedangkan dalam islam dinamakan hikmah. Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004) hlm. 85.

[70] Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004) hlm. 895.

[71] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban  (Jakarta: PT Dian Rakyat, 2008) Cet. 6, hlm. 427-  432.
[72] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban  (Jakarta: PT Dian Rakyat, 2008) Cet. 6, hlm. 435.
[73] Sifat dasar kesucian itu disebut hanifiyah, karena manusia adalah makhluk yang hanif. Sebagai makhluk yang hanif itu manusia memiliki dorongan naluri ke arah kebaikan dan kebenaran atau kesucian. Pusat dorongan hanifiyah itu terdapat dalam dirinya yang paling mendalam dan paling murni, yang disebut hati nurani artinya bersifat nur atau cahaya (luminous). Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Trdisi Dan Visi Baru Islam Indonesia (Jakarta: Dian Rakyat, 2010) Cet. 4, hlm. 177.
[74] Nurcholish Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama ( Jakarta: PARAMADINA, 2004) Cet. 5, hlm. 26.
[75] Nurcholish Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama (Jakarta: PARAMADINA, 2004) Cet. 5, hlm. 27.
[76] Nurcholish Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama (Jakarta: PARAMADINA, 2004) Cet. 5, hlm. 29.
[77] Al- hanifiyatus samhah yaitu semangat mencari kebenaran yang lapang, toleran, tidak sempit, tanpa kefanatikan dan tidak membelenggu jiwa. Beberapa hadits yang menyangkut beberapa sahabat nabi yang berkecenderungan fanatik dan ekstrim dalam kehidupan kegamaannya, memberi gambaran tentang apa yang dimkasud dengan al- hanifiyat al- samhah. Dalam suatu riwayat, bahwasanya berita sampai kepada Nabi SAW bahwa segolongan sahabat beliau manjauhi wanita dan menghindari makan daging. Mereka berkumpul dan kamipun bercerita tentang sikap menjauhi wanita dan makna daging itu. Maka, nabi pun memberi peringatan keras daan bersabda “ sesungguhnya aku tidak diutus dengan membawa ajaran kerahiban! Sesungguhnya sebaik- baik agama ialah semangat pencarian kebenaran yang lapang. Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (Jakarta: Dian Rakyat, 2010) Cet. 4, hlm. 155.

[78] Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad “ dari Ibnu Abbas, ia menuturkan ditanya rasulullah, agama manakah yang paling dicintai allah? “beliau menjawab,”kehanifan yang lapang”. Segi kelapangan ini juga ditegaskan oleh nabi dalam sebuah hadits, “hari ini biarlah kaum yahudi tahu bahwa dalam agama kita terdapat kelapangan. Sesungguhnya kaku diutus dengan kehanifan yang lapang”. Nurcholish Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama (Jakarta: PARAMADINA, 2004) Cet. 5, hlm. 31- 32.

[79] Budhy Munawar Ranchman, Reorientasi Pembaharuan Islam: Sekularisme, Liberalism Dan Pluralisme Paradigm Baru Islam Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 2010) Cet. 1, hlm. 98.
[80] Adapun yanag dimaksud dengan islam i besar adalah ajaran Allah yang diturunkan kepada nabi muhammad untuk disampaikan kepada ummatnya, sedangkan yang dimaksud dengan islam i kecil adalah jaran agama allah yang mengajarkan kebaikan yang ditunkan kepada para nabinya- nabi dan rasulnya yang disampaikan kepada ummatnya. disampaikan pada saat mata kuliyah pendekatan studi islam oleh bapak Samsul Hadi, pada hari Rabu tanggal 17 Mei 2017 Pukul 10:00.

[81] Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politk Islam (Jakarat :Paramaduia, 209) Cet. 2, hlm. xxviii.
[82] Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politk Islam (Jakarat :Paramaduia, 209) Cet. 2, hlm. xxviii- xxix.
[83] Ahmad Taufik, dkk, Sejarah Pemikiran Dan Tokoh Modernisme Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005) hlm. 154.
[84] Ahmad Taufik, dkk, Sejarah Pemikiran Dan Tokoh Modernisme Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005) hlm. 156.

[85] Ahmad Taufik, dkk, Sejarah Pemikiran Dan Tokoh Modernisme Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005) hlm. 157- 158.
[86] Jalaluddin Rakhmat, Tharikat Nurcholishy (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001) Cet. 1, hlm. 215- 216.

No comments:

Post a Comment