MELACAK
AKAR PEMIKIRAN MUNAWIR SJAZDALI
SEBUAH
STUDI ATAS REAKTUALISASI/KONTEKSTUALISAS AJARAN ISLAM
Rizqi Miftakhudin Fauzi 16771047
Jurusan Pendidikan
Agama Islam
Program Pasca
Sarjana
Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
A.
Pendahuluan
Dewasa
ini tantangan umat Islam terasa kian berat. Semakin kekinian problematika umat
Islam maka semakin kompleks pula persoalan yang dihadapinya. Pada akhirnya,
warisan utama umat Islam yakni al-Quran dan as-Sunnah seakan-akan dituntut
harus bisa menjadi sebuah fleksibilitas hokum namun tetap berwibawa akan
konsistensinya dalam berpendirian penegakan hokum.
Dari
beberapa seambrek problematika yang ada didepan pintu umat Islam diantaranya adalah
terkait pembagian hak waris, hokum Islam, serta politik Islam. Dari segi
pembagian hak waris umat islam mengalami pergeseran nilai-nilai serta prinsip.
Umat islam sebagai tuan rumah hokum islam seakan-akan berusaha lari dari
ketentuan dalil-dalil qath’i. Mencari
hokum lain yang sekiranya lebih praktis dan menguntungkan. Dari segi hokum
Islam, di hadapkan persoalan terkait pembuatan hokum yang sekiranya relevan
dengan adat konteks kekinian. Dari segi politik Islm, umat islam dihadapkan
pada kericuhan prinsip dasar Negara.
Kiranya
sangatlah mendesak untuk bisa segera menjawab dengan tuntas problematika
tersebut. Umat islam tidak boleh berlarut-larut dengan percekcokan semacam ini,
karenanya dapat membuat ketegangan horizontal kepada sesame umat.
Munawir
Sjazdali hadir dengan gagasn Reaktualisasi/Kontekstualisasi
Ajaran Islam mencoba menembus dimensi problematika tersebut. Dengan gagasan
inilah idealnya umat islam diharapkan pada sebuah muara kehidupan yang sesuai
konteks kekinia dengan sesuai rel hokum Islam. Terkait istilah
reaktualisasi/kontekstualisasi, memang dalam tiga dekade ini,
di Indonesia banyak bermunculan istilah-istilah yang dipergunakan oleh para
pemikir Muslim dan para pengamat sosial-keagamaan Islam untuk menggarisbawahi
perlunya meneliti dan mencermati kembali prinsip-prinsip dasar, nilai-nilai dan
norma-norma keislaman yang hendak dihidupkan kembali dalam era modernitas.
Istilah-istilah itu antara lain adalah reinterpretasi (penafsiran ulang),
reaktualisasi (mengangkat dan menghidupkan kembali), reorientasi (memikirkan
kembali), revitalisasi (membangkitkan kembali), kontekstualisasi
(mempertimbangkan konteks kehidupan sosialbudaya), membumikan Islam, dan
istilah-istilah lain yang masih mempunyai kandungan makna yang relatif sama
seperti Islam transformatif, Islam intelektual, dan Islam substansial.[1]
Salah satu dari
istilah-istilah tersebut yang paling menonjol dan paling banyak menimbulkan
kontroversi adalah reaktualisasi, atau tepatnya Reaktualisasi Ajaran Islam
dengan tokoh penggagasnya Munawir Sjadzali, Menteri Agama Republik Indonesia
dua periode (1983-1993). Karena gagasan ini diangkat oleh seorang pejabat
tinggi negara yang memiliki banyak forum untuk memasyarakatkan gagasannya,maka
segera saja gagasan reaktualisasi itu mendapatkan respons dari umat Islam
Indonesia, terutama dari kalangan ulama dan pemikir Muslim. Tidak ketinggalan
juga tanggapan dari masyarakat awam. Popularitas gagasan ini—terlepas dari pro
dan kontra—mengalahkan gagasan pembaharuan pemikiran Islam lainnya.
Makalah ini akan
menulusuri akar pemikiran Munawir Sjazdali terhadap tinjauan
reaktualisasi/kontekstualisasi ajaran Islam. Diantara fokus permasalahannya
adalah terkait fara’idl, hokum islam
serta politik islam. Dengan menggunakan tinjuan kritis analitis
referensi-referensi yang mendukung khazanah kontens di dalam makalah ini.
B.
Pembahasan
1.
Biografi Munawir Sjazdali
Sebelum
menelusuri pemikiran Munawir Sjazdali, penting kiranya untuk melacak siapakah
sosok yang fenomenal ini atas pemikiran reaktuali-sasi/kontekstualisasi ajaran Islam.
Beliau adalah
Munawir Sjazdali, lahir di Klaten, Jawa Tengah pada 7 November 1925.[2]
Beliau lahir dari pasangan Abu Aswad Hasan Sjadzali bin Tohari
(setelah menikah diberi nama tua Mughaffir) dan Tas’iyyah binti Badruddin. Ayah
Munawir adalah seorang Kyai di kampungnya yang secara formal menjabat Kepala
Madrasah Bi’tsah al-Muslimin (tingkat Ibtidaiyah) di Karanganom Klaten. Nama
Sjadzali di belakang nama ayahnya karena memang beliau seorang pengikut Tarekat
Syadzaliyah. Itu pulalah sebabnya di belakang nama anaknya juga ditambah
Sjadzali.
Rekam jejak pendidikan Munawir Sjazdali
dimulai pada Pendidikan SD dan SMP di Solo, (1937-1940); Kursus Diplomatik dan
Konsuler Deplu di Universitas Exeter, Inggris Raya, (1953-1954); Memperoleh M.A
dari Universitas Georgtown, AS, (1959); mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Agama Islam dari IAIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta.
Sebagaimana di
kutip oleh Yunahar Ilyas, beliau mendiskripsikan singkat bagaimana rekam jejak
awal karir dedikasi kebangsaan dan keagamaan hingga menjadi sosok tokoh yang berpengaruh
pada kontribusi khazanah keilmuan Islam:
Sebelum diangkat oleh
Presiden Soeharto sebagai Menteri Agama dalam Kabinet Pembangunan IV (1983),
Munawir Sjadzali tidak banyak dikenal oleh masyarakat, apalagi dalam bidang
pemikiran Islam. Hal itu dapat dimaklumi karena dalam kariernya di Departemen
Luar Negeri (1950-1983), Munawir lebih banyak berada di luar negeri dalam berbagai
jabatan diplomatik, mulai dari Sekretaris III Kedutaan Besar Republik Indonesia
di Washington D.C. (1956-1959), Sekretaris I KBRI di Colombo Srilangka
(1963-1966), kemudian Kuasa Usaha Sementara KBRI yang sama (1966-1968),
Minister Councelor KBRI London (1970-1975) sampai menjadi Duta Besar RI di KBRI
Kuwait, merangkap Duta Besar RI non resident untuk Uni Emirat Arab (UEA), Qatar
dan Bahrain (1976-1980). Total dari 33 tahun berkarir di Deplu, Munawir menghabiskan
17 tahun di luar negeri, sedangkan di dalam negeri Munawir menduduki berbagai
jabatan di Deplu mulai dari staf seksi Arab/Timur Tengah (1950) sampai Dirjen
Politik (1980-1983). Praktis Munawir tidak pernah terjun dalam bidang yang
menyebabkan dia bisa dikenal luas oleh masyarakat.[3]
Karya tulis Munawir
yang pertama terbit tahun 1950 berjudul Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan
Islam (80 halaman). Buku itu dicetak 5000 eksemplar dan dalam 4 bulan habis.
Lewat buku itulah dia dapat berkenalan dengan Bung Hatta, Wakil Presiden RI
pertama (lewat penyalur bukunya, Zein Jambek, ipar Hatta, direktur toko buku Tintamas
Jakarta). Atas jasa baik Hatta, Munawir diterima jadi pegawai negeri di Deplu.
Karya Munawir lainnya adalah Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran, “Reaktualisasi Ajaran Islam” dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam,
dan “Dari Lembah Kemiskinan” dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof.
Dr. H. Munawir Sjadzali, MA.[4]
2.
Rekam Jejak Alur Perjalanan Gagasan
Kontekstualisasi/Reaktualisasi
Awal
rekam jejak gagasan kontekstualisai/reaktualisasi awal kali dikemukakan oleh
Munawir pada tanggal 15 April 1985 (dua tahun setelah menjabat Menteri Agama
R.I.). Waktu itu Munawir memberikan kata sambutan dalam pertemuan Panitia
Kompilasi Hukum Islam bertempat di gedung Mahkamah Agung. Hadir dalam
kesempatan itu segenap anggota panitia, para hakim agung, Ketua Mahkamah Agung Ali
Said, dan K.H. Ibrahim Hosen dari Majelis Ulama Indonesia. Sementara itu
Bustanil Arifin sendiri hadir sebagai Pimpinan Proyek Kompilasi Hukum Islam.[5]
Historitas
keberangkatan gagasan ini bisa di lacak pada pernyatan Munawir Sjazdali sendiri
yang termaktub dalam buku Kontekstualisasi
Ajaran Agama Islam pada sub-bab Gagasan Reaktualisasi Ajara Islam;
“Gagasan
ini sudah mulai saya lemparkan kepada masyarakat di banyak kesempatan sejak
awal tahun 1985 dan mendapat tanggapan yang biasa-biasa saja. Barui setelah
saya sampaikan pada forum Paramadina, maka timbul reaksi pro-kontra yang cukup
keras. Di antaranya ada yang mengingatkan agar saya dan tokoh-tokoh “pembaruan”
yang lainnya jangan gegabah.”[6]
Setelah itu Munawir Sjazdali
menyampaikan gagasannya secara gencar dalam berbagai kesempatan, antara lain
dalam (1) Seminar Hukum Islam yang diselenggarakan oleh Institut Agama Islam
Negeri Imam Bonjol Padang; (2) Forum Bahsul Masail Syuriah Nahdhatul Ulama Jawa
Timur di Tambak Beras, Jombang; (3) Seminar Kompilasi Hukum Islam yang
diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta5; (4) Penataran
Pimpinan Pemuda Anshor Tingkat Propinsi Seluruh Indonesia di Malang; (5)
Latihan Kader Tarjih Muhammadiyah di Yogyakarta (dua kali)6; (6) Ceramah di
hadapan Mahasiswa Indonesia di Kairo; (7) Forum Kodifikasi Hukum Islam yang
diselenggarakan oleh South East Asian Shariah Association di Kolombo, Srilanka;
(8) Jamuan makan malam yang diselenggarakan oleh Menteri Pengajaran Malaysia,
Anwar Ibrahim di Kuala Lumpur; juga disampaikan di (9) Pengajian perdana
Yayasan Wakaf Paramadina, 28 November 1986 di Jakarta.[7]
Segera saja
pemikiran Munawir tersebut menjadi topic pembicaraan di berbagai forum, baik
yang ilmiah seperti seminar dan diskusi, maupun forum-forum dakwah seperti
ceramah dan khutbah. Tidak sedikit pula yang menghujatnya lewat surat pembaca
berbagai surat kabar. Menurut Munawir, reaksi-reaksi yang tidak atau kurang bersahabat
itu baru muncul setelah gagasan itu disampaikan dalam pengajian Paramadina.
Padahal dalam forum-forum lain, katanya, reaksinya lebih bersahabat.[8]
Tampaknya Munawir ingin mengatakan bahwa sikap kontra terhadap gagasannya lebih
banyak disebabkan oleh faktor Paramadinanya daripada isi gagasannya sendiri.
Seperti diketahui sejak lama Nurcholish Madjid, di samping memiliki pendukung
fanatik, juga menghadapi penentang fanatik, terutama sejak ide sekularisasinya diperdebatkan
publik.[9]
3.
Mengapa Reaktualisasi?
Dibalik
hingar-bingarnya syiar Islam yang gencar di Indonesia ternyata ada beberapa hal
yang menyeret kegelisahan dalam benak Munawir Sjazdali. Kegembiraan atas
meningkatnya semangat kembali pada agama di kalangan masyarakat Islam di
Indonesia ternyata ada yang kurang lengkap, layaknya ada yang ditutup-tutupi.
Kalau kita berani jujur dan tidak bersikap seperti burung onta, kita harus
mengakui tentang masih cukup banyaknya sikap kita yang mendua di antara kita
dalam beragama yang perlu diluruskan.
Disini
Munawir Sjazdali memberikan dua contoh yang cukup hangat popular di sekitar
masyarakat, mulai dari kalangan awam hingga tokoh Islam sekalipun. Yang pertama
adalah terkait riba dan yang kedua adalah terkait hak waris.
Pertama. Diantara
kita banyak yang berpendirian bahwa bunga atau interest dalam bank itu riba, dan oleh karenanya maka sama-sama
haram dan terkutuk sebagaimana riba. Sementara itu mereka tidak hanya hidup
dari bungan deposito, melainkan dalam kehidupan sehari-hari juga banyak
mempergunakan jasa bank, dan bahka mendirikan bank dengan sistem bunga, dengan
alasan dlarurat, padahal seperti yang
dapat kit abaca bersama dalam al-Quran, surat al-Baqarah, ayat 173, kelonggaran
yang diberikan kepada kita dalam keadaaan darurat itu dengan syarat tidak ada
unsure kesengajaan dan tidak lebih dari pemenuhan kebutuhan esensial.[10]
Kedua. Dalam
pembagian harta warisan, al-Quran surat al-Nisa’,
ayat 11, dengan jelas menyatakan bahwa hak anak laki-laki adalah dua kali
lebih besar daripada hak anak perempuan. Tetapi ketentuan tersebut sudah banyak
ditinggalkan oleh masyarakat Islam di Indonesia, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Kasus ini terjadi di lapisan masyarakat awam hingga elit.
Acapkali para hakim agama menyaksikan, apabila seorang keluarga Muslim
meniggal, dan atas permintaan para ahli warisnya, Pengadilan Agama memberikan
fatwa waris sesuai dengan hukum waris Islam atau fara’idl, kerapkali terjadi para ahli waris tidak melaksanakan
fatwa waris tersebut, dan pergi ke Pengadilan Negeri untuk meminta agar di
perlakukan sistem pembagian yang lain, yang terang tidak sesuai fara’idl. Sementara itu, telah membudaya
pula penyimpangan tidak langsung dari ketentuan al-Quran. Banyak kepala
keluarga yang mengambil keputusan pre-empive.
Semasa hidup merekatelah membagikan sebagian besar dari kekayaannya kepada
anak-anaknya, masing-masing mendapatkan bagian yang sama besar tanpa
membedakanjenis kelamin, sebagai hibah. Dengan
demikian maka pada waktu mereka meninggal, kekayaanya harus dibagi tinggal
sedikit, atau bahkan hamper habis sama sekali.[11]
Dari
sinilah Munawir Sjazdali ingin mengentaskan persoalan (diantaranya adalah riba
serta pembagian waris) yang melanda umat Islam di Indonesia saat itu dan di
harapkan pada samapai saat ini gagasan reaktualisasi/kontekstualisasi dapat
menjawab realitas empiris masyarakat.
4.
Bolehkah Reaktualisasi?
Dalam
proses menjawab pertanyaan ini, Munawir Sjazdali menggunakan beberapa
pendekatan untuk bisa menyentuh jawaban secara objektif dan empiris. Beliau
mencari jawaban dengan kembali kepada al-Quran berikut tafsir-tafsirnya, Sunnah
Nabi, dan karya-karya para mujtahid sepanjang sejarah Islam, dengan hasil-hasil
sementara sebagai berikut;
Pertama-tama
dapat dikemukakan bahwa dalam al-Quran dan Hadits Nabi terdapat naskh. Dalam kitab suci kita terdapat
ayat-ayat yang berisikan pergeseran atau bahkan pembatalan terhadap hukum-hukum
atau petunjuk yang telah diberikan dalam ayat-ayat yang diterima oleh Nabi
Besar Muhammmad SAW. pada waktu-waktu sebelumnya. Demikian juga terdapat banyak
hadits Nabi yang menarik kembali petunjuk-petunjuk yang pernah beliau berikan
sebelumnya. Menurut tafsir Al-Jawhir, karya
Syeikh Thantawi Jawhari, terdapat sebanyak 21 kasus naskh dalam al-Quran.[12]
Sebagai contoh adalah QS. al-Baqarah:106;
Apa
saja ayat yang kami naskh-kan
(batalkan), atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang
lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui
bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.[13]
Kemudian,
dibawah ini ada beberapa komentar dari sejumlah mufassir besar terhadap ayat tersebut, ini juga merupakan salah
satu bentuk landasan Munawir Sjazdali dalam aktualiasasi ajaran Islam;
a.
Ibn
Katsir
Sesungguhnya, menurut nalar tidak
terdapat sesuatu yang menolak adanya naskh
(pembatalan) dalam hukum-hukum Allah.[14]
b.
Ahmad
Musthafa al-Maraghi
Sesungguhnya
hukum-hukum itu diundangkan untuk kepentingan manusia, dan kepentingan manusia
dapat berbeda-beda karena perbedaan waktu dan tempat. Apabila suatu hukum
diundangkan pada waku dimana memang dirasakan kebutuhan akan adanya hukum itu,
kemudian kebuituhan tidak ada lagi, maka suatu tindakan yang bijaksana
menghapuskan hukum itu dan menggantikannya dengan hukum (lain) yang lebih
sesuai dengan waktu terakhir.[15]
a.
Muhammad
Rasyid Ridha
Sesungguhnya hukum itu
(dapat) berbeda karena perbadaan waktu, tempat (lingkungan) dan situasi. Kalau
suatu hukum diundangkan pada waktu sangat dibutuhkannya hukum itu, kemudian
kebutuhan itu tidak ada lagi pada waktu lain, maka suatu tindakan bijaksana
menghapuskan hukum itu dan menggantikannya dengan hukum (lain) yang lebihsesuai
dengan waktu yang belakangan itu.[16]
b.
Sayyid
Quthb
Ayat 106 dari surat
al-Baqarah itu diturunkan sebagai sanggahan terdapat tuduhan orang-orang yahudi
bahwa Nabi Muhammad SAW tidak konsisten, baik mengenai kepindahan kiblat dari
Masjid al-Aqsha ke Masjid al-Haram, maupun perubahan-perubahan petunjuk, hukum
dan perintah yang akan terjadi sebagai akibat dari pertumbuhan masyarakat Islam,
dan situasi serta kondisi mereka yang terus berkembang.[17]
Di antara para ahli hukum
dari empat mazhab, meskipun mereka banyak saling berbeda pendapat, namun
terdapat semacam kesepakatan atau konsensus bahwa hukum Islam terbagi menjadi
dua kategori; hukum yang bertalian dengan ibadah murni, dan hukum yang
menyangkut mu’amalah duniawiyah
(kemasyarakatan). Dalam hukum yang masuk kategori pertama, tidak banyak
kesempatan bagi kita untuk mempergunakan penalaran, tetapi dalam hal hukum
kategori kedua labih luas ruang gerak untuk penalaran intelektual, dengan
kepentingan masyarakat sebagai dasar pertimbangan atau tolok ukur utama.[18]
5.
Melacak Beberapa Pokok Isu
Pemikiran Munawir Sjazali
Gagasan Munawir
Sjazdali dalam wilayah aktualisasi ajaran Islam sempat membuat geger umat Islam
di Indonesia – terdapat pro kontra – pada saat itu. Disini penulis mengambil
analisa hanya beberapa catatan-catatan pokok saja akan pemikiran Munawir
Sjazdali, yakni Hukum Islam serta Politik. Terasa menyenangkan sekali wisata
studi kali ini jika pemikiran beliau menggunakan kacamata analisa objektif,
tidak keberpihakan.
Reaktualisai Hukum Islam
Terasa
sekali fondasi yang dibuat untuk membangun sebuah konstruksi pemikiran Munawir
Sjazdali dalam prespektif hukum Islam berkiblat pada Al-Thufi’ dan Abu Yusuf.
Terlihat berulangkali dalam berbagai kesempatan Munawir Sjazdali mengutip
al-Thufi’ dengan teori mashlahah-nya
dan Abu Yusuf dengan pandangannya tentang tradisi (adat istiadat, al-‘urf wa al-adah).[19]
a.
Al-Thufi’ dan Teori Mashlahah
Nama lengkapnya adalah
Sulayman ibn ‘Abd al-Qawi ibn ‘Abd al-Karim ibn Sa’id al-Thufi’ (lebih dikenal
dengan Najm al-Din al-Thufi’), wafat pada 716 H.[20]
Ia seorang menjadikan pemikiran Ahmad ibn Hanbal sebagai mazhabnya, walaupun
beberapa ulama memandangya sebagai seorang bermadzhab Syi’ah. Dalam pandangan
ini mendahulukan mashlahah atas nash dan ijma’. Padahal ini nampaknya bertitik tolak dari konsep maqashid al-syar’I yang menegaskan bahwa
hukum Islam itu disyariatkan untuk diwujdkan dan melindungi kemaslahatan umat Islam.
At-Thufi’ membangun
pendapatnya atas empat asas, yakni; Pertama.
Pendapat at-Thufi’ bahwa akal
semata, tanpa harus melalui wahyu dapat mengetahui kebaikan dan keburukan
menjadi dasar bangunannya yang pertama dalam piramida pemikirannya. Akan
tetapi, ia membatasi kemandirian akal itu dalam hal muamalah dan adat istiadat, dan ia melepaskan ketergantungan pada
petunjuk nash baik dan buruk pada
kedua bidang itu.
Kedua. Maslahah itu
merupakan dalil syar’I mandiri yang
ke-hujjah-annya tidak bergantung pada
“kesaksian” atau konfirmasi nash, tetapi
hanya bergantung pada akal semata. Bagi at-Thufi’, untuk menyatakan sesuatu itu
maslahah atas adat-istiadat dan
percobaan/eksperimen, tanpa memerlukan petunjuk nash.
Ketiga. Mashlahah diambil
sebagai dalil syar’I hanya dalam
bidang mu’amalah (hubungan social)
dan adat istiadat. Sedangkan dalam bidang ibadat dan muqaddarat, mashlahah tidak dapat dijadikan dalil.
Keempat. Mashlahah merupakan dalil syara’ yang terkuat. Baginya, mashlahah itu bukan hanya merupakan hujjah semata ketika tidak terdapat nash dan ijma’ disaat terjadi pertentangan antara keduanya.
b.
Abu
Yusuf dan Teori Adat
Pada dasarnya pendapat ini berangkat dari jika suatu
nash berasal dari adat istidat atau
tradisi dan adat itu kemudian berubah (datang adat baru), maka gugur hukum
dalam nash itu.[21]
Yang perlu di garis bawahi sebagai fokus catatan disini adalah jumhur ‘ulama menolak pendapat Abu Yusuf
tersebut. Sebagian besar ulama seperti mazhab Hanafi dan Maliki, demikian juga
Syafi’I, memandang tradisi, perkataan ataupun perbuatan, sebagai salah satu
kiat dalam melaksanakan hukum Islam,[22]
dan menjadi dasar rumusan hukum ketika tidak ada nash dalam al-Quran atau Hadits di samping sebagai sarana untuk
memahami nash-nash yang tiada
penjelasan resmi dan konkritnya. Demikianlah kiranya maksud kaidah yang
dirumuskan mereka: al-‘adat-u
muhakkamat-un.
Selanjutnya, setiap
ketentuan syara’ (hukum Islam) yang
di-kemukakan secara mutlak dan tidak ada penjelasannya secara konkrit baik
dalam syar’I itu sendiri maupun dalam
bahasa, penjelasnnya diserahkan pada tradisi – kiranya tidak menimbulkan
permasalahan bahwa tradisi itu dapat dijadikan landasan perumusan hukum – dapat
menimbulkan problem.[23]
Mengenai masalah ini terdapat berbagai kemungkinan antara lain sebagai berikut.
Pertama. Apabila
bertentangan antara tradisi dengan nash itu
secara total (min kulli wajh-in), sehingga
pengakuan terhadap tradisi tersebut di pandang sebagai meninggalkan dan
pengabaian nash, maka tradisi
demikian haruslah ditinggalkan, tidak dapat dipedomani dalam merumuskan hukum.
Kedua. Apabila
terjadi pertentangan antara tradisi (baru) dengan nash dan nash ini
didasrkan pada tradisi yang berlaku pada saat turunnya nash dan tradisi tersebut di pandang sebagai illat hukumnya, maka dalam hal ini Abu Yusuf – berbeda dengan Abu
Hanifah dan Muhammad ibn Hasan – berpendapat bahwa tradisi baru yang
bertentangan dengan tradisi yang terkandung dalam nash itulah yang harus dipedomani. Tindakan demikian menurut Abu
Yusuf, tidak di pandang sebagai pengabaian nash,
melainkan sebagai salah satu cara menakwilkannya, dan ini sejalan dengan
kaidah al-hukm-u yadu-u ma’a ‘illatih-i
wujud-an wa ‘adam-an.
Atas dasar uraian
diatas, dapat di kemukakan bahwa dengan tawarannya menggunakan untuk
menggunakan teori Abu Yusuf tentang adat, Munawir Sjazdali mempunyai wawasan
luas dan pandangan jauh kedepan. Sebab, dengan teori ini kita dapat menujukkan
bahwa ajaran Islam senantiasa relevan dengan segala situasi dan kondisi, serta
mampu menjawab tantangan zaman tanpa harus meninggalkan atau melanggar nash.
Selain contoh
pembahasan dalam prespektif hukum Islam, penulis memberikan contoh yang sempat
memanas pada saat itu tentang pemikiran hak waris yang pada awalnya adalah
keresahan Munawir Sjazdali tentang suku bunga di bank konvensional. Hal ini
terlacak pada tulisan pertama Munawir Sjazdali yang mengungkapkan bahwa merasa
resah dengan adanya sikap mendua umat Islam Indonesia dalam beragama. Di satu
sisi tetap mempertahankan keyakinan tentang sesuatu, tapi di sisi lain tidak
mengamalkannya. Dia mengemukakan dua contoh, yaitu tentang bunga bank dan
pembagian warisan.
Menurut Munawir, umat Islam meyakini bahwa bunga
bank adalah riba, oleh sebab itu haram, tapi dalam prakteknya umat tetap menggunakan
jasa bank dan hidup dari bunga deposito yang diperoleh. Begitu juga tentang
pembagian warisan, umat Islam tetap meyakini bahwa, berdasarkan surat al-Nisa’
ayat 11, anak laki-laki mendapat warisan dua bagian anak perempuan. Tapi
ketentuan ini sudah lama ditinggalkan dalam prakteknya. Kesimpulan ini diambil
Munawir setelah mendapat laporan dari para Hakim Agama di Sulawesi Selatan dan
Kalimatan Selatan (dua daerah yang dikenal kuat keIslamannya), bahwa meskipun
pengadilan agama sudah mengeluarkan fatwa waris, mereka memindahkan perkaranya
ke pengadilan negeri.[24]
Disamping penolakan langsung seperti kasus di dua
propinsi itu, Munawir juga menengarai banyak umat, bukan hanya kalangan awam,
tapi juga dari kalangan ulamanya, yang menolak formula 2:1 tersebut secara
pre-emptiv dengan cara membagi habis warisan dengan wasiat wajibah atau
menghibahkannya sebelum yang bersangkutan meninggal dunia. Dalam wasiat wajib
atau hibah itu, anak perempuan diberi bagian sama dengan anak laki-laki. Dalam
hal ini Munawir juga punya pengalaman pribadi sendiri, bagaimana seorang kyai menasehatinya
untuk membuat wasiat wajib tatkala dia berkonsultasi tentang pembagian waris
untuk anak-anaknya nanti. Tatkala dia masih hidup, anak laki-laki sudah
mengeluarkan biaya jauh lebih besar dibandingkan dengan anak perempuan, apakah
adil kalau nanti anak perempuan dapat warisan lebih kecil dari saudara laki-lakinya.[25]
Berdasarkan latar belakang di atas, Munawir kemudian
mengajukan ide untuk melakukan modifikasi terhadap ketentuan tersebut yang
kemudian diistilahkannya dengan reaktualisasi. Tetapi pertanyaannya, apakah
reaktualisasi tersebut boleh dilakukan? Bukankah ketentuan hukum tersebut
berdasarkan nas yang oleh para ulama dinilai qath’i? Menurut Munawir dalam
aspek kemasyarakatan, nas yang qat\‘i sekali pun dapat dimodifikasi dengan
alasan bukankah dalam sejarahnya juga ada beberapa ayat yang di-mansu>kh oleh
ayat lain. Tentang naskh ini Munawir mengutip Mustafa al-Maraghy sebagai berikut:
Sesungguhnya hukum-hukum itu
diundangkan untuk kepentingan manusia, dan kepentingan manusia dapat berbeda
karena perbedaan waktu dan tempat. Apabila suatu hukum diundangkan pada waktu
dirasakan kebutuhan akan adanya hukum itu, kemudian kebutuhan itu tidak ada
lagi, maka tindakan yang bijaksana adalah menghapuskan hukum itu dan
menggantikannya dengan hukum (lain) yang lebih sesuai dengan waktu terakhir.[26]
Inti
dari gagasan yang dikemukakan Munawir adalah tentang perlunya mempertimbangkan
konteks kehidupan sosial-budaya masyarakat dalam memahami dan membuat
kesimpulan hukum dari ayat-ayat Al-Qur’an dalam bidang kemasyarakatan, walau
pun untuk itu kelihatannya tidak mengamalkan makna lahir dari teks tersebut. Sebagaimana
Umar telah melakukannya untuk kasus rampasan perang dan muallaf, maka di
Indonesia pun, seru Munawir, harus berani melakukan hal yang sama. Tanpa
melakukan kontekstualisasi tersebut, ajaran Al-Qur’an akan ketinggalan zaman,
atau kehilangan relevansinya untuk masa kini, atau ajaran tersebut menjadi mati
(tidak dapat diamalkan).[27]
Politik “Islam dan Negara di Indonesia”
Sebagai prolog, penulis mengutip sebuah pernyataan
dari Leonardo Binder[28]
yang menyatakan bahwa “Kalau Islam hendak
dipertahankan sebagai sebuah kekuatan social politik di Indonesia, seseorang
hendaknya berperan sebagai mediator budaya antara Islam dan budaya nasional
baru Indonesia”.
Adapun dalam hal ini, pandangan
Munawir Sjazdali tentang posisi suatu agama sebagai agama Negara merupakan
salah satu prasyarat penting bagi terbentuknya sebuah Negara teokratis. Hal ini
juga terlihat atas pandangan konstitusi Madinah tidak menyebut Islam sebagai
agama Negara menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak menganjurkan berdirinya
sebuah Negara agama (theocratic state) dimana
Islam akan berfungsi sebagai dasar satu-satunya.[29]
Bagi Munawir Sjazdali Islam
tidak mempunyai preferensi konseptual atau teoritis tertentu tentang konstruk
Negara dan sistem pemerintahannya. Atas dasar itu, dapat dikemukakan pula bahwa
Islam tidak secara khusus mewajibkan umatnya untuk mendirikan Negara, apalagi
yang bersift teokratis. Akan tetapi, meskipun Isloam tidak mengenal suatu
konsep baku tentang Negara atau politik, Islam memberikan seperangkat nilai
atau prinsip-prinsip politik seperti keadilan, musyawarah, atau persamaan.
Adalah implementasi secara subtantif nilai-nilai ini, sebagaimana di contohkan
oleh Nabi Muhammad SAW, yang dituntut Islam dalam proses penyelenggaraan
Negara.[30]
Akan tetapi melihat
kondisi seperti ini, Munawir Sjazdali memberikan jalan tengah dalam teorisasi
politik Islam. Dalam hal ini, ia tidak sependapat dengan interpretasi tentang
sifat holistic Islam secara formalistic, legalistic, atau skriptualistik.
Terlepas dari pertimbangan-pertimbangan teologis, Munawwir Sjazdali melihat
adanya factor-faktor lain yang membuat konstruk Negara kebangsaan dapat
diterima. Termasuk didalamnya adalah kenyataan bahwa: (1) Negara tidak hanya
menjamin menjamin kebebasan ummat Islam untuk menjalankan ajaran agamanya,
tetapi juga member fasilitas; (2) mayoritas penduduk kepulauan nusantara adalah
Muslim; dan (3) konstitusi Negara tidak bertentangan dengan – malahan, hingga taraf-taraf
tertentu, merefleksikan – prinsip-prinsip Islam.[31]
Tambaha pula, hal ini
sepakat dengan pernyataan KH. Marzuki Mustamar yang menyatakan bahwa; “Kita nyata-nyata sholat di Indonesia, ngaji
di Indonesia, anak putu mondok di Indonesia, haji meskipun di Makkah tapi
mencari uang di Indonesia. Bumi Indonesia itu ibarat masjid untuk kita sholat
dan medan untuk berdakwah. Maka dari itu, ulama memberikan alasan bahwa membela
Negara hukumnya wajib, mebela Republik Indonesia alasannya sangat Syar’i”.
Dapat disimpulkan
kembali bahwa model dasar-dasar teologis atau filosofis poltik Islam hendak
didefinisikan ulang dan dibentuk oleh Munawir Sjazdali adalah bersifat
subtansialistik, berorientasi pada nilai-nilai keadilan, musyawarah dan
persamaan. Dalam konsepsi semacam itu, sejalan dengan mobilitas social ekonomi
umat, politik Islam tidak lagi di dasarkan atas simbolisme ideologis yang
formalistic legalistic.
C.
Kesimpulan
Awal rekam jejak
gagasan kontekstualisai/reaktualisasi awal kali
dikemukakan
oleh Munawir pada tanggal 15 April 1985 (dua tahun setelah menjabat Menteri
Agama R.I.). Kemunculan reaktualisasi ajaran Islam berangkat dari kegelisahan
problematika umat Islam di Indonesia yakni keberanutannya pada riba di bank
yang seakan-akan sulit sekali untuk melepaskannya serta polemic masalah hak
waris. Adapun landasan dalam reaktualisasi hokum Islam Munawir Sjazdali
berlandaskan pada al-Thufi’ dengan teori mashlahah-nya dan Abu Yusuf. Terkait
pendapat Munawir Sjazdali tentang politik, adapun dalam hal ini, pandangan
beliau tentang posisi suatu agama sebagai agama Negara merupakan salah satu
prasyarat penting bagi terbentuknya sebuah Negara teokratis. Hal ini juga
terlihat atas pandangan konstitusi Madinah tidak menyebut Islam sebagai agama
Negara menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak menganjurkan berdirinya sebuah
Negara agama (theocratic state) dimana
Islam akan berfungsi sebagai dasar satu-satunya.
[1] M. Amin Abdullah. “Telaah Hermeneutis terhadap Masyarakat
Muslim Indonesia”, dalam Muhammad Wahyuni Nafis (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali,
MA. 1995. Jakarta: Paramadina. Hlm. 537.
[2] Ada cerita menarik dalam
penentuan tanggal kelahiran Munawir Sjazdali. Seperti kebanyakan orang di
desaku pada waktu itu, selain lapor kepada perangkat desa, orang tuaku tidak
pernah membukukan hari dan tanggal lahir anak-anaknya. Hanya oleh ibu yang buta
huruf Latin saya diberitahu bahwa saya lahir pada jam 10 pagi hari Sabtu Pon,
tanggal 19 Bakdo Mulut (Rabi’ul Awwal) tahu
Be. Ketika saya duduk di tingkat
Aliyah Manba’ul ‘Ulum, saya mendapat mata-pelajaran Ilmu Falak. Dengan ilmu itu
saya, antara lain, mempelajari cara mengalihkan tanggal-tanggal bulan
Jawa/Hijriyah ke tanggal-tanggal bulan Masehi dan sebaliknya. Dengan
pengetahuan itu saya menemukan bahwa hari kelahiran saya adalah tanggal 7
Nopember 1925. Konversi itu cocok dengan yang terdapat dalam buku Almanak 130
Tahun, 1870-2000, terbitan PT. Citra Jaya Murti.
Lihat dalam Munawir Sjazdali. Kontekstualisasi Ajaran Islam. 1995.
Jakarta: Paramadina. Hlm. 6-7
[3]
Yunahar Ilyas. REAKTUALISASI AJARAN ISLAM: Studi
atas Pemikiran Hukum Munawir Sjadzali. Jurnal Al-Ja>mi‘ah, Vol. 44, No. 1, 2006 M/1427 H.
Hlm. 225
[4] Ibid. Yunuhar Ilyas. Reaktualisasi
Ajaran Islam… Hlm. 227
[5] Bustanil Arifin. “Munawir Sjadzali dan Alur Pemikirannya”.
Dalam Munawir Sjadzali, Ijtihad
Kemanusiaan. 1997. Jakarta:Paramadina. hlm. 21
Saimima.
Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam.
1988. Jakarta: Pustaka Panjimas. Hlm.1
[8] Ibid., Munawir Sjazdali.
Jalaluddin
Rakhmat, et. Al. Tharikat Nurcholishy Jejak Pemikiran dan Pembaharuan sampai
Guru
Bangsa, cet. I (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), Adian Husaini. Nurcholish
Madjid
Kontroversi
Kematian dan Pemikirannya, cet. I (Jakarta : Khairul Bayan, Press, 2005), dan
Charles Kurzman. Liberal Islam,
cet. I (New York : Oxford University Press, 1998).
[10] Op.Cit. Munawir Sjazdali. Kontekstualisasi…
hlm. 87-88
[11] Ibid. Munawir Sjazdali. Kontekstualisasi…
hlm. 88-89
[12] Ibid. Munawir Sjazdali. Kontekstualisasi…
hlm. 91
[13] QS. Al-Baqarah:106
[14] Ibnu Katsir.Tafsir Ibn Katsir. Juz 1. Hlm. 151
[15] Ahmad Musthafa al-Maraghi. Tafsir al-Maraghi. Juz 1. Hlm. 187
[16] Muhammad Rasyid Ridha. Tafsir al-Manar. Juz 1. Hlm. 414
[17] Sayyid Quthb. Tafsir Fi Zhilal-I al-Quran. Juz 1. Hlm.
101-102
[18] Op.Cit. Munawir Sjazdali. Kontekstualisasi…
hlm. 91-92
[19] Ibrahim Hosen. Beberapa Catatan Tentang Reaktualisasi Hukum
Islam. Dalam Munawir Sjazdali. Kontekstualisasi
Ajaran Islam. 1995. Jakarta: Paramadina. Hlm. 254-280
[20] ‘Abd Allah bin ‘Abd al-Muhsin
at-Turky. Usul Mazhab al-Imam Ahmad. 1977.
Riyadl. Hlm. 331
[21] Untuk penjelasan lebih lanjut
tentang masalah adat dan berbagai permasalahannya seperti syarat-syarat dan
argumentasi bagi kehujjahannya, serta pembahasan lengkap tentang bagaimana jika
adat bertentangan dengan nash, lihat antara lain Muhammad Sidqi. Al-Wajiz fi Idah Qawa’id al-Fiqhi
al-Kauliyah. 1983. Beirut: Mu’asasah al-Risalah. Hlm. 157-164
[22] ‘Ali Habullah. Ushul al-Tasyri’ al-Islami. 1976. Mesir:
Dar al-Ma’arif. Hlm. 313
[23] Problem dimaksud adalah
bagaimana jika suatu tradisi baru tidak sejalan atau bertentangan dengan nash syara’, masihkah ia harus
dipertahankan sebagai landasan hukum dengan konsekuensi pengabaian nash ataukah ia harus diabaikan?
[24] Op.Cit., Yunahar Ilyas. Reaktualisasi
Ajaran Islam… Hlm. 231
[25] Ibid. Hlm. 232
[26] Op.Cit. Iqbal Abdurrauf Saimima, Polemik, hlm. 7.
[27] Op.Cit., Yunahar Ilyas. Reaktualisasi
Ajaran Islam… Hlm. 233
[28] Leonard Binder. Islamic Tradition and Politic: The Kijaji
and The Alim. Komentar atas tulisan Clifford Geertz. The Javanese Kijaji: The Changing Role of A Cultural Broker. Comparative
Studies in Society and History. Vol. 2. Oktober 1959-July 1960. Hlm. 256
[29] Menurut Munawir Sjazdali,
parameter lain sebuah Negara teokrasi adalah (1) kitab suci sebagai
undang-undang negara; (2) kepemimpinan negara di tangan Ulama. Munawir
Sjazdali, “Negara Pancasila Bukan Negara Agama dan Bukan Negara Sekuler”.
[30] Bahtiar Effendy. Islam dan Negara di Indonesia: Munawir
Sjazdali dan Pembangunan Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam. Dalam
Munawir Sjazdali. Aktualisasi Ajaran Islam.
1995. Jakarta: Paramadina. Hlm. 417
[31] Ibid. Bahtiar Effendy. Hlm. 418-419
No comments:
Post a Comment