Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam
menuju Harmonisasi Integrasi Islam dan Sains
Oleh
Rizqi,
M.F
PASCASARJANA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK
IBRAHIM MALANG
A.
Dasar Pemikiran
Secara
fundamental, wacana integrasi ilmu atau islamisasi ilmu yang mana ilmu berbasis
Islam dan sains berangkat dari historitas khazanah intelektual Islam yang jalan
di tempat. Kering sekali dari budaya search
– re –search yang pada akhirnya bermuara pada dangkalnya realitas empiris.
Kegelisahan ini menyelimuti tubuh pendidikan Islam sehingga masih tetap hangat untuk di perbincangkan.
Fokus inilah yang menimbulkan intellectual
curiosity tersendiri. Pertanyaan yang muncul adalah dahulu di abad
pertengahan dunia Islam melahirkan banyak scientist,
lantas mengapa sekarang kondisinya sangat tertinggal. Inilah yang menjadi
kegelisahan ilmuan muslim.
Diantara
beberapa jawabannya disini penulis melacak ada dua akar problematika yang
ditemukan – meski ada beberapa angle - pada
akhirnya mengakibatkan Islam mengalami kemunduran dalam khazanah intelektual.
Pertama, alasan mendasar segi filosofis, yakni konstruksi pemikiran yang cenderung
deduktif, normatif serta legalistik yang mana sebuah pemikiran yang sudah mapan
kemudian di transfer berupa dalil-dalil, akibatnya tidak sesuai dengan realitas
empiris.[1]
Contoh nyata dampaknya adalah dalam pemahaman al-Quran. Pada awalnya al-Quran
dan hadits semula sangat induktif, sesuai realitas empiris, actual dalam
merespon problematika ummat pada saat itu. Kemudian pada saat ini di
paket-paket berupa formula yang hanya di hafal, akibatnya tidak memahami
konteksnya.
Kedua,
sebuah paradigma dikotomi ilmu yang telah mengurung pemikiran khazanah islam.
Sebagaimana yang telah di ungkapkan oleh Yahya Ismail; “It is said, as commonly accepted until now, that religion and science
are two entities that cannot be integrated. Simply understood, religion produces
“religious sciences” on the one hand, while science produces “secular sciences”
on the other. Hence, religion and science are regarded as independent – they
each have their own sphere in terms of what matters they approach, research
methods, and truth criteria – until an institution integrates the two”.[2]
Dikotomi ini tidak hanya sekedar sebuah wacana saja, namun benar-benar
dijadikan sebuah praktik nyata di Indonesia. Ini merupakan sebuah pengaruh yang
sifanya akademis dan politis. Senada yang diungkapkan oleh Yahya Ismail;
Believed
or not, in the Islamic worlds including Indonesia sciences were divided into
religious and secular sciences. In Indonesia, this differentiation has affected
to the rise of the dual system of education in Indonesia; religious education
managed by the Ministry of Religious Affairs on one hand and secular often
called “general” education managed by the Ministry of National Education on the
other. It was resulted from the long political struggle between the secular
nationalist groups and the Islamic nationalist groups. In the beginning of
independence, the government of Soekarno gave Gadjah Mada University as the
“gift” to the secular nationalist groups and established PTAIN[3]
latter becoming IAIN as the “gift” to the Islamic nationalist groups.[4]
Hence, the establishment of Ministry of Religious Affairs and IAIN were to
fulfill the aspirations of Islamic nationalist groups. For IAIN’s case, Johan
Meuleman, a Dutch intellectual, refused this political reason, for him the
establishment of IAIN was a continuation of higher education institutions
pioneered by Indonesian Muslims before.[5]
Oleh
karena itu, gagasan integrasi serta islamisasi ilmu dewasa ini hangat di
perbincangkan. Hal ini sebagai bentuk sadar
mengembalikan wajah khazanah keilmuan islam yang sesuai realitas empiris
dengan kerangka filsafat yang tepat serta tidak ada istilah dikotomi ilmu dalam
pendidikan Islam. Dalam rangka ini, sangat tepat kiranya jika segera di
munculkan pada permukaan tingkat universitas. Karena bagaimanapun tidak
universitas adalah oase pemikiran di tengah-tengah berkecamuknya
pemikiran-pemikiran kritis baik aspek pro-kontra didalamnya. Integrasi ilmu
harus menyelimuti dalam atmosfer pendidikan islam, yang pada akhirnya
terwujudlah sebuah pemikiran yang siap menjawab realitas empiris dan bersatunya
paradigm sains dan islam.
Lantas
pertanyaan yang muncul adalah apa landasan pengembangan kurikulum (curriculum development) yang berbasis
Islam dan sains. Dan bagaimana pola yang harus dikembangkan untuk menuju
pendidikan yang berbasis Islam dan Sains. Inilah titik koordinat fokus pada
penelitian yang akan di ungkap pada permukaan analitis kritis objektif. Dengan
menggunakan pendekatan data-data otentik, buku-buku serta melakukan
kajian-kajian analisis jurnal yang otentik.
B.
Landasan Pengembangan Kurikulum
Berbasis Islam dan Sains
Sebelum
menyelami pembahasan integrasi ilmu, penulis ingin mangajak sedikit melirik
beberapa problematika yang dihadapinya. Meski sangatlah penting untuk menuju
harmonisasi ilmu yang terpadu – antara islam dan sains – namun pelbagai
problematika telah muncul, diantaranya adalah rival terkait adanya wacana
integrasi ilmu.
Dimuali
dari pertanyaan yang amat sangat mendasar dari Zainal Abidin, yang menanyakan
persoalan integrasi ini, What kind of
sciences in the golden age of Islamic civilization? Is it true they were
“integrated” or it is only an idealization? If they were integrated, how were
their forms? Why later the decline happened for centuries up to our age that
urges to reintegrate them? Is it still possible for us (Muslims) after the long
history of science dominated by Europeans and Americans to go back to ideal
form as in the past?[6]
Terasa sekali ini merupakan sebuah upaya untuk ambil sikap melindungi IAIN
sebagai karakterisik pusat studi Islam. Tidak perlu dengan isu UINisasi.
Terasa
wajar jika polemik integrasi ilmu atau islamisasi ilmu mengalami beberapa
perbincangan hangat seputar pro-kontra di dalamnya. Memang wajar, karena seabad silam atau sebelumnya tidak
dikenal istilah sains Islam atau Islamisasi sains. Isu ini memang baru bergulir
di sekitar tahun 1970-an seiring dengan berkembangnya berbagai kritik terhadap
filsafat dan praktik keilmuan Barat dari tokoh-tokoh Islam seperti Syed Naquib
al-Attas, Seyyed Hossein Nasr, dan Ismail al-Faruqi. Wacana ini adalah respon
umat Islam terhadap paradigma keilmuan Barat sebagai paradigma paling
berpengaruh dalam seabad terakhir yang dianggap memiliki banyak perbedaan dan
pertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan, Syed Muhammad Naquib al-Attas secara
tegas menyebutkan bahwa paradigma keilmuan Barat saat ini merupakan paradigma
yang paling merusak sepanjang sejarah manusia.[7]
Sains Islam adalah sains yang tumbuh dan berkembang
dalam pandangan hidup Islam. Dengan pengertian ini Islamisasi sains pada
dasarnya adalah sebuah proses menempatkan sains dalam kerangka pandangan hidup
Islam (worldview of Islam). Dalam
bahasa al-Attas Islamisasi merupakan sebuah gerakan membebaskan pemikiran umat
Islam dari kendali worldview sekuler
dan kepercayaan dan tradisi lainnya yang bertentangan dengan Islam yang
selama ini disusupkan melalui berbagai media, salah satunya adalah pendidikan.
Oleh karenanya, upaya ini bukan sekedar bermakna praktikal, tetapi juga
fundamental karena menyentuh aspek keyakinan hidup seorang Muslim dan
masyarakat Islam pada umumnya.[8]
Dalam prespektif lain, memandang islamisasi dalam
rangka integrasi ilmu sangatlah penting. Hal ini perlu dipahami bahwa gagasan
Islamisasi sains bukanlah untuk menolak sains Barat secara keseluruhan, sebab
tidak semua yang dari Barat itu bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan tidak
sedikit darinya yang bermanfaat bagi kemajuan dunia Islam.Di masa lalu
pengembangan sains dalam tamadun Islam banyak mengambil pelajaran dari tamadun
non-Islam yang sudah lebih dahulu berkembang seperti Yunani, Cina, atau India
dengan terlebih dahulu menyeleksinya menurut timbangan ajaran Islam. Meski
demikian, mungkin saja ada ilmuwan tertentu terpengaruh dengan pandangan hidup
tamadun tersebut, namun sebagai suatu umat yang diikat oleh pandangan hidup
yang kuat berkat terpeliharanya wahyu (al-Qur’an dan as-Sunnah), selalu ada
dari kalangan umat Islam yang mengoreksi kekeliruan tersebut kepada pandangan
hidup Islam yang lurus.[9] Islamisasi sains juga
bukanlah sekedar labelisasi seperti matematika Islam, fisika Islam, astronomi
Islam, dan seterusnya atau turunannya dalam bentuk teknologi Islam seperti
pesawat Islam, komputer Islam, atau mobil Islam.[10]
Islamisasi sains juga hendaknya tidak dipersempit oleh aneka perbantahan
mengenai kesesuaian al-Qur’an dengan teori sains modern yang terkadang tidak
produktif bagi perkembangan sains dunia Islam.[11]
Namun,
semua ini akan terjawab oleh beberapa landasan yang mendesak kurikulum harus di
kembangkan lebih luas lagi. Ada beberapa alasan kurikulum PAI harus di
kembangkan berbasis Islam dan Sains, diantaranya adalah asas teologis,
filosofis, psikologis, sosiokultural serta ilmu pengetahuan dan teknologi.
Landasan
Teologis
Dasar
teologis, adalah dasar yang ditetapkan nialai-nilai ilahi yang terdapat pada
Al-Qur’an dan As-Sunnah yang merupakan nilai yang kebenarannya mutlak dan
universal.[12]
Terkait pengembangan berbasis Islam dan sains sebenarnya sudah termaktub dalam
al-Quran dan hadis, jika kita melacaknya, maka akan di temukan dalam QS. al-Qisas : 77
Carilah segala apa yang telah dikaruniakan Allah kepadamu
mengenai kehidupan di akhirat dan janganlah kamu melupakan nasib hidupmu di
dunia dan berbuatlah kebaikan sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu
Senada juga akan di temukan pada hadist yang berbunyi:
Barangsiapa
yang menginginkan dunia, maka hendaklah ia menguasai ilmunya dan barang siapa
menghendaki akhirat (kebahagiaan hidup di akhirat) hendaklah ia menguasai
ilmunya, dan barangsiapa menghendaki keduanya, maka hendaklah ia menguasai ilmu
keduanya.
Dalam
prespektif lain, dalam mengembangkan kurikulum sebaiknya berlandaskan pada Pancasila
terutama sila ke satu “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Di Indonesia menyatakan bahwa
kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing individu. Dalam kehidupan, dikembangkan sikap
saling menghormati dan bekerjasama antara pemeluk-pemeluk agama dan
penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga dapat terbina
kehidupan yang rukun dan damai.[13]
Landasan
Psikologis
Hidup yang
sedemikian kompleksnya, mendesak adanya perpaduan antara agama dan sains. Hal
ini akan membuka pada pengetahuan untuk memahami kompleksitas kehidupan
manusia.
Landasan
Sosiokultural
Pendidikan
sebagai proses budaya adalah upaya membina dan mengembangkan daya cipta, karsa,
dan rasa manusia menuju ke peradaban manusia yang lebih luas dan tinggi, yaitu
manusia yang berbudaya. Semakin meningkatnya perkembangan sosial budaya
manusia, akan menjadikan tuntutan hidup manusia semakin tinggi pula, untuk itu
diperlukan kesiapan lembaga pendidikan dalam menjawab segala tantangan yang
diakibatkan perkembangan kebudayaan tersebut. Oleh karena itu, sebagai
antisipasinya lembaga pendidikan harus menyiapkan anak didik untuk hidup secara
wajar sesuai dengan perkembangan sosial budaya masyarakatnya, untuk itu
diperlukan inovasi-inovasi pendidikan terutama menyangkut kurikulum.[14]
Landasan
Ilmu Pengetahuan
Teknologi
pada hakikatnya adalah penerapan ilmu pengetahuan (technology is application of science). Teknologi memegang peranan
penting dalam kehidupan budaya manusia. Salah satu indikator kemajuan peradaban
manusia dapat diukur dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Teknologi
banyak digunakan dalam berbagai bidang kehidupan. Tujuannya adalah untuk
menciptakan suatu kondisi yang efektif, efisien, dan sinergis terhadap pola
perilaku manusia. Produk teknologi tidak selalu berbentuk fisik, seperti komputer,
televisi, radio, dan lain sebagainya, tetapi ada juga non fisik, seperti
prosedur pembelajaran, sistem evaluasi, teknik mengajar dan sebagainya. Produk
teknologi tersebut banyak
digunakan dalam pendidikan sehingga
memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap proses dan hasil pendidikan
C.
Pola Pengembangan Kurikulum PAI
Berbasis Islam dan Sains
Secara
teoritis, ada beberapa agenda dalam mengembangkan sebuah konstruksi kurikulum
berbasis Islam dan sains. Setelah melacak akar pengembangan kurikulum berbasis
Islam dan sains ini penulis akan mencoba mengurai agenda-agenda dalam
pengembangan kurikulum berbasis Islam dan sains.
Agenda
pertama adalah merevisi tujuan pendidikan versi pendidikan vokasi yang terlalu
berorientasi ekonomi kepada paradigma pendidikan yang bertujuan untuk mencetak
manusia baik. Di sini perlu digarisbawahi bahwa tujuan pendidikan sains
sejatinya tidaklah berbeda dengan tujuan pendidikan Islam, yaitu membentuk
manusia yang beriman dan bertakwa sebagaimana teladan Nabi Muhammad ṣallallāhu ‘alaihi wasallam. Oleh karena
itu penetapan kompetensi lulusan tidak semestinya dibatasi pada aspek akademik
dan keterampilan saja, tetapi juga ketercapaian kualitas ruhaniah seorang agar
menjadi pribadi yang beriman dan bertakwa. Upaya ini hendaknya tidak dipahami
bahwa menggunakan ilmu untuk keperluan duniawi merupakan hal yang dilarang di
dalam Islam, namun tujuan ini harus diletakkan sebagai tujuan sekunder dan
merupakan suatu rangkaian yang tidak terputus dengan tujuan tertinggi manusia
yaitu mengabdi kepada Allah untuk mendapatkan ridha-Nya. Inilah yang dimaksud
oleh Imam al-Ghazali bahwa pekerjaan-pekerjaan keduniawian yang ditujukan juga
untuk memperoleh manfaat ukhrawi pada dasarnya bukanlah pekerjaan keduniawian.
Agenda
kedua adalah menambah porsi ilmu-ilmu keislaman berbasis wahyu dalam konteks
ilmu fardhu ‘ain seperti aqidah, fiqih, tafsir Qur’an-Hadits, tasawuf, bahasa
Arab, dan sejarah peradaban Islam ke dalam struktur kurikulum perguruan tinggi.
Ilmu-ilmu keislaman ini berfungsi untuk memberi suatu pandangan tauhidik bagi
para saintis Muslim dalam memahami fenomena alam sehingga tidak ada lagi
dikotomi antara ilmu agama dengan sains.
Agenda
ketiga, adalah melakukan proses dewesternisasi, yaitu membersihkan
unsur-unsur worldview Barat
di dalam sains modern yang bertentangan dengan pandangan hidup Islam.
Membersihkan di sini bukan dalam pengertian memberangus semua pencapaian sains
yang telah diraih selama ini melainkan mengkritisi dan meluruskan penafsirannya
terhadap alam yang bermasalah seperti konsep-konsep metafisikanya yang
mencerminkan penolakannya terhadap keberadaan Tuhan dan kemahakuasaan-Nya,
kepercayaannya terhadap keqadiman dan keabadian materi dan energi (hukum
kekekalan energi dan materi), teorinya mengenai asal-usul makhluk secara
spontan dan acak (teori evolusi), penafiannya terhadap wahyu sebagai sumber
ilmu, teorinya tentang manusia sebagai makhluk jasmaniah semata dan menolak
eksistensi ruh, serta doktrin metode saintifiknya sebagai satu-satunya metode
mencari kebenaran yang sah (saintisme).
Agenda
keempat, adalah menerapkan adab-adab pendidikan Islam dalam keseluruhan proses
pendidikan di perguruan tinggi. Menuntut ilmu haruslah dipandang sebagai sebuah
keutamaan yang tinggi, sebagai suatu ibadah dan jihad di jalan Allah, sehingga
orang-orang yang melakukannya haruslah orang-orang yang terpilih.
Agenda
kelima adalah menggali kembali khazanah keilmuan sains ilmuwan dan ulama Muslim
masa lalu dan mempublikasikannya secara intensif lewat berbagai media,
termasuk.
Secara
prakti implementasi, pola integrasi sudah mulai dibangun di ranah universitas.
Wacana ini muncul sebagai bentuk aksi penghapusan dikotomi ilmu, hasilnya
adalah sebuah produk lembaga pendidikan universitas Islam, atau yang biasa di
sebut secara legal adalah Universitas Islam Negeri. Ini langkah yang sangat
penting, Azyumardi Azra mengungkapakan;
explicitly stated that his university reintegrates sciences in the level of
philosophy and epistemology, curriculum, and the level of faculty and academic
program. Amin Abdullah, Rector of UIN
Yogyakarta said that the conversion of IAIN become UIN is not perfunctorily
change, not just imitation, not a
physical project. The conversion is momentum for arrange and recover the old
“injuries” of dichotomy of religious and secular sciences”.[15]
Dalam
teoritis praktis, Zainal Bagir telah mengemas pola kurikulum tiap ranahnya,
yang bisa di implentasikan. Mulai dari dasar hingga bersentuhan langsung dengan
kurikulum. Lingkup tersebut meliputi epistemology, fakultas serta kurikulum.[16]
1.
Formulasi Pengembangan Kurikulum
Berbasis Integrasi di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Dalam
proses upaya mengintegrasikan Islam dan sains, harus dibangun landasan yang
kuat, agar dalam dunia praktiknya bisa berjalan denga baik. Dalam hal ini,
Prof. Imam Suprayogo berpendapat “system
developed as in IAIN or STAIN with only focusing on Islamic studies and
ignoring other sciences: social and natural sciences. He explained that from
his depth reflection, he found an appropriate perspective with the Islamic
spirit, namely an integrated and holistic science. With this perspective
epistemologically there is no separation of religious sciences and secular
sciences, there is no dichotomy or dualism, the only exists is categories.11
Sciences are divided into three categories: natural, humanities, and social
sciences. Furthermore, sources of study and inquiry differentiate between
sciences developed at Islamic universities with non-Islamic universities.[17]
Dalam
universitas non-Islam, pengembangan ilmu pengetahuan berdasarkan pada
pengamatan, pengujian, eksperimen dan epistemologically. Namun, dalam universitas
Islam proses penggalian ilmu pengetahuan berdasarkan pada dua sumber yang
bersama-sama, yakni al-ayah al-qawliyah (al-Quran,
hadits dan wahyu) dan al-ayah al-kawniyah
(alam semesta dan alasan). Dalam contoh praktiknya, hal ini bisa di lacak
dalam epistemology kurikulum UIN Maulana Malik Ibrahim Malang:

Gambar 1.
Konsep integrasi ilmu UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Akar dari
pohon ilmu tersebut adalah ilmu-ilmu alat, yakni bahasa arab bahasa Inggiris,
filsafat, ilmu alam, ilmu sosial. Akar pohon tersebut diharapkan kuat, artinya
bahasa kuat, filsafat kuat, lalu dipakai untuk mengkaji Alquran dan hadis,
sirah nabawi, pemikiran Islam dan sebagainya sedangkan dahan-dahannya itu untuk
menggambarkan ilmu modren ilmu ekonomi, ilmu polotik, hukum, peternakan,
pertanian, tekhnologi dan seterusnya.
Seperti
sebuah pohon, sari pati makanan itu mesti dari akar ke batang kemudian dari
batang ke dahan, ranting daun diasimilasi kemudian ke bawah dan itu harus
dilihat sebagai sebuah kesatuan. Maka begitulah ilmu pengetahuan. Semua terkait
dan tidak bisa bisa dipisah-pisah seenaknya saja tanpa dasar yang jelas.
Mengikuti prinsip ilmu dalam pandangan Al-ghazali, Batang kebawah
mempelajarinya hukumnya fardhu 'ain,
sedangkan dahan ke atas itu adalah fardhu
kifayah. Jadi tidak benar seperti yang selama ini di persepsikan orang
seolah-olah batang ke bawah tugasnya STAIN, IAIN, UIN dan Pesantren. Sedangkan
dahan-dahannya tugas tetangga kita Undip, Gajah Mada, Airlangga dan sebagainya.
Tidak benar ada pembagian tugas (dikotomi), batang kebawah miliknya PTAI,
batang ke atas miliknya PTU. [18]
Ilustrasi
dari Bapak Imam Suprayogo tentang konsep pohon ilmu "semua orang tua, hukum shalat jenazah adalah fardhu kifayah. Dan
yang melaksanakan shalat jenazah adalah orang yang sehari-hari sahalat lima
waktu. Karena itu, jika kebetulan ada orang meniggal, lalu orang-orang
melaksanakan shalat jenazah. Hal ini bukan berarti mereka yang iku sahalat
jenazah terbebas dari shalat wajib lima waktu".[19]
Demikianlah yang dimaksud dengan pohon ilmu merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan.
Untuk
mewujudkan pohon ilmu di dunia nyata bukan pekerjaan yang sepele, untuk
mengimplementasikan gagasan tersebut bukanlah persoalan yang mudah.
UIN Maulana
Malik Ibrahim Malang dalam mengimplementasikan pohon ilmu (integrasi sain dan
Islam) merumuskan sembilan aspek yang mesti di kembangkan dan direalisasilakan.
Sembilan aspek tersebut UIN malang menyebutnya sebagai Rukun Universitas. Pertama, harus memiliki guru besar.
Harus ada dosennya. Kedua,harus
memiliki masjid yang betul-betul berfungsi bukan semata sebagai simbol. Ketiga, harus ada Ma'had, harus ada
pesantren. Pesantren berfungsi sebagai sarana untuk membangun spritualitas dan
akhlak yang agung. Keempat.
Perpustakaan. Kelima, memiliki
Laboratorium. Keenam, ruang kuliah. Ketujuh,
perkantoran sebagai sarana pelayanan administrasi. Kedelapan, pusat-pusat pengembangan seni dan olahraga. Dan Kesembiulan, sumber-sumber pendanaan yang
luas dan kuat.[20]
Dari Sembilan
rukun Universitas tersebut, rukun ketiga
yang menggabungkan antara pesantern dan Universitas merupakan sarana yang dapat mendasari akan
lahirnya ulama yang intelek professional dan intelek professional yang ulama.
Pesantrennya untuk menumbuhkan keagungan akhlaq dan kedalaman spiritual adapun
Universitas untuk mengembangkan keluasan ilmu dan kematangan Profesional.
Dengan demikian diharapkan nanti akan lahir Al-ghazali baru, Ibnu Shina baru,
al-Farabi baru dan lain sebagainya yang berhasil menguasai ilmu-ilmu Agama dan
juga ilmu-ilmu umum. Sungguh sebuah pekerjaan yang mulia.
Bagi
pimpinan, dosen, tenaga administrasi, satpam, tukang sampah dan semua yang
terkait di dalam mengelola suatu lembaga pendidikan dianjurkan dan harus
menampakkan sikap religius dalam menjalankan tugasnya. Yakni, kejujuran,
keadilan, ingin dirinya bermanfaat, rendah hati, bekerja efisien, visi jauh ke
depan, disiplin diri yang tinggi dan keseimbangan. Penanaman nilai-nilai
(uswatun hasanah) tersebut merupakan hal yang paling vital dalam menjalankan
pekerjaan. Dan ketika nilai-nilai tersebut mampu diterapkan secara kontiniu dan
konsisten, maka akan menjadi suatu budaya religius di lembaga pendidikan, dan
budaya ini akan membentuk karakter masyarakat lembaga pendidikan untuk
bertindak dan berperilaku sesua dengan nilai-nilai religius dimaksud.[21] Terpuruknya sebuah Negara bukan
satu-satunya karena rendahnya penguasaan IPTEK, tetapi sangat syarat dengan
kerusakan Akhlak dan moral manusia yang mengimbas kepada rusaknya moral bangsa
dan Negara di hadapan Tuhan dan di mata Dunia.
Dalam
level kurikulum, proses integrasi lebih tampak di temui pada fakultas sains dan
teknologi. Karena dalam komposisi kurikulmunya tampak sekali sains yang di
barengi dengan penambahan kurikulum agama. Sebaliknya, dalam fakultas tarbiah, syaria dan lain sebagainya
sedikit di temui yang Nampak ke permukaan praktisnya. Sebagai salah satu
contohnya, penulis akan memaparkan salah satu contoh ramuan kurikulum dalam
progamn study fisika. Dalam pengambilan contoh, penulis mengambil komposisi
mata kuliah yang ada di progam study fisika pada fakultas sain dan teknologi
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Semester 1 Semester
2
Arabic Writing I
|
2
|
|
Arabic Writing II
|
2
|
Arabic Reading I
|
2
|
|
Arabic Reading II
|
2
|
Arabic Speaking I
|
3
|
|
Arabic Speaking II
|
3
|
Arabic Listening I
|
2
|
|
Arabic Listening II
|
2
|
State Philosophy Pancasila
|
2
|
|
Qur’anic Studies
|
2
|
Basic Mathematics I
|
3
|
|
Hadith Studies
|
2
|
Basic Physics I
|
3
|
|
Basic Physics II
|
3
|
Basic Chemistry I
|
2
|
|
Basic Mathematics II
|
3
|
General Biology
|
2
|
|
Basic Chemistry
|
2
|
Semester
3 Semester
4
Basic Social
|
2
|
|
History of Islamic Civilazation
|
2
|
Fiqh/Islamic Law
|
2
|
|
English II
|
3
|
English I
|
3
|
|
Modern Physics
|
3
|
Indonesian
|
2
|
|
Mathematical Physics II
|
3
|
Application of Computer Science
|
2
|
|
Basic Electronic II
|
3
|
Mathematical Physics I
|
3
|
|
Wave
|
3
|
Basic Electronic I
|
3
|
|
Mechanic
|
3
|
Basic Statistic
|
2
|
|
Optional
|
2
|
Basic Instrumentation
|
2
|
|
|
|
Semester
5 Semester
6
Methodology of Islamic Studies
|
2
|
|
Islamic Philosophy
|
2
|
Reaserch Methodology
|
2
|
|
Physical Experimentation II
|
2
|
Thermodynamics
|
3
|
|
Statistic Physics
|
3
|
Quantum Physics
|
4
|
|
Introduction to Solid Physics
|
3
|
Physical Experimentation I
|
2
|
|
Introdcition to Core Physics
|
3
|
Magnet Electricty
|
3
|
|
Computatoional Physics
|
3
|
Digital Electronic
|
2
|
|
Optional
|
2
|
Optics
|
2
|
|
|
|
Optional
|
2
|
|
|
|
Semester 7 Semester
8
Islamic Thoughts
|
2
|
|
Tasawwuf
|
2
|
Islamic Theology
|
2
|
|
Field Study
|
4
|
Earth and Aerospace
|
2
|
|
Seminar Physics
|
2
|
Applied Physics
|
6
|
|
Thesis
|
6
|
Enterpreneurship
|
2
|
|
|
|
Optional
|
2
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Tabel 2.
Integrasi ilmu di lingkup kurikulum. UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
2.
Formulasi Pengembangan Kurikulum
Berbasis Integrasi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Sejak
diresmikan sebagai UIN pada tahun 2002 UIN Jakarta memiliki agenda integrasi
sains dan Islam yang tercantum dalam visi dan misinya. Visi yang ingin
mewujudkan “sebuah lembaga yang terkemuka dalam mengembangkan dan
mengintegrasikan aspek keislaman, keilmuan, kemanusiaan, dan keindonesiaan”
didukung dengan misi yang jelas, disebutkan agenda integrasi:
a. Melakukan
reintegrasi keilmuan pada tingkat epistemologi, ontologi, dan aksiologi,
sehingga tidak ada lagi dikotomi antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama.
b. Memberikan
landasan moral terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan
melakukan pencerahan dalam pembinaan iman dan takwa sehingga hal tersebut dapat
sejalan.
c. Mengartikulasikan
ajaran Islam secara ilmiah akademis ke dalam konteks kehidupan masyarakat,
sehingga tidak ada lagi jarak antara nilai dan perspektif agama dan sofistikasi
masyarakat.
Spirit
integrasi ilmu pada visi dan misi tersebut dituangkan secara operasional dalam
kebijakan kurikulum, mulai dari penyusunan silabus, perumusan pokok bahasan,
sampai cara penyajian materi kuliah. Sebagai contoh kandungan isi seluruh mata
kuliah dipandu dengan pola:
a. Mata kuliah
keagamaan harus memuat: historical
content, theoritical content, practical content, case content, dan science and technology content.
b. Mata kuliah umum
harus memuat: historical content,
theoritical content, practical content, case content, dan Islamic content.
Historical content adalah penjelasan sejarah lahir dan
berkembangnya ilmu pengetahuan sampai saat ini. Theoritical content
adalah sajian serangkaian teori yang dikemukakan para ahli dari setiap periode.
Practical content adalah penjelasan manfaat ilmu untuk kehidupan. Case content
adalah penjelasan kasus nyata yang relevan dengan materi kuliah. Science and technology content adalah
upaya untuk menjelaskan makna ayat al-Qur’an dan hadis dari segi sains dan
teknologi untuk memperkuat keyakinan Islam dan mendorong pengembangan ilmu.
Sedangkan Islamic content adalah
prinsip dasar tauhid yang ditanamkan bahwa semua ilmu bersumber dari Allah.
Sehingga ilmu umum dan agama tersebut merupakan sesuatu yang integral.[22]
Dilihat
dari penjelasan di atas terlihat integrasi sains dan Islam di UIN Jakarta
terlihat masih belum sepenuhnya dan sama dengan pola integrasi agama dan ilmu
yang disampaikan oleh Ian Ian G. Barbour yakni paradigma dialogis. Menurut Ian
G. barbour paradigma dialogis adalah konsep integrasi yang muncul dengan
mempertimbangkan pra-anggapan dalam upaya ilmiah; atau mengeksplorasi
kesejajaran metode antara sains dan agama; atau menganalisis konsep dalam satu
bidang dengan konsep dalam bidang lain. Dalam bidang sains dan agama, dialog
menekankan kemiripan dalam pra-anggapan, metode, dan konsep.[23]
Perubahan
konsep pada UIN baik itu UIN Malang maupun UIN Jakarta sesungguhnya memiliki
satu keinginan yang sama yaitu mewujudkan atau merealisasikan gagasan tentang
integrasi ilmu agama dan umum dalam rangka mengakhiri perdebatan wacana tentang
dikotomi ilmu. UIN Jakarta dengan menggunakan paradigma integrasi ilmu dialogis
dari Ian G. Barbour. Sementara UIN Malang lebih memilih pendekatan Imam
Al-Ghazali yang mengklasifikasikan ilmu menjadi Fardlu ’ain dan fardlu Kifayah
dengan metode ”takwil” yang diambil dari ilmu-ilmu sosial. Budaya pendidikan
yang dikembangkan disesuaikan dengan budaya universitas. Artinya semangat
perubahan universitas diikuti juga dengan semangat pengembangan budaya yang
berwawasan universitas juga baik yang ditunjukkan melalui riset-riset,
publikasi hasil penelitian dan lain-lain.
Tidak
berhenti sampai disini, karena ini masih belum cukup untuk mengentaskan
integrasi ilmu. Pada prinsipnya, program studi ke-islam-an tetap menjadi
komposisi yang mendominasi, sedang program studi non-islam merupakan bumbu
tambahan dalam kurikulmunya. Hal ini bisa dilihat dalam penjelasan Yahya Ismail
sebagaimana yang tertera di bawah ini:
No.
|
Faculty
|
Departement
|
1
|
Tarbiya*
and Teaching
Sciences**
|
1. Teaching
Islamic Sciences
2. Teaching
Arabic Language
3. Islamic
Educational Studies
4. Tadris
whit study program: teaching mathematics, teaching biology, teaching
chemistry, teaching physics and teaching English.
|
2
|
Ushul
al-Din* and Phylosopyh**
|
1. Comparative
religion
2. Sociology
of religion
3. Theology
and philosophy
4. Islamic
political thougth
5. Tafsir
and hadith
|
3
|
Adab*
and Humanities**
|
1. Arabic
language and literature
2. Islamic
history and civilization
3. Translation
4. English
language and literature
5. Library
sciences
|
4
|
Shari’a*
and Law**
|
1. Al-Ahwal
al-Shakhsiyya with study programs: Islamic court and Administration of
Islamic Personal Law.
2. Islamic
Criminal Law and Legal Political Sciences
3. Comparative
Jurisprudence and Law
4. Mu’amalat
with study programs: Shari’a
5. Banking
and Islamic Insurance
|
5
|
Da’wa*
and Communication**
|
1. Communication
and Da’wa
2. Islamic
Guidance and Counseling
3. Management
of Da’wa
4. Community
Development and Social
5. Welfare
|
6
|
Dirasat
Islamiyya
|
Focuses on comprehensive Islamic
Studies (Ushul al-Din, Shari’a, Arabic Language)
|
7
|
Psychology
|
Psychology
|
8
|
Sciences and Technology
|
1. Information
technology
2. Mathematics
3. Chemistry
4. Physics
5. Biology
|
9
|
Medicine and Health sciences
|
Medicine and Health sciences
|
10
|
Graduate Studies
|
Masters and Doctorate Program
|
Tabel. 1.
Contoh kurikulum integrasi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
*Kondisi Fakultas yang asli
**Kondisi fakultas setelah menjadi
universitas
Dengan
kondisi ramuan seperti ini, diharapkan akan memperoleh hasil lulusan yang
menjelma menjadi sosok religius professional dan pada saat yang bersamaan juga
menjadi professional yang religious. Meminjam bahasa Prof. Imam Suprayoga
adalah ulama’ yang intelektual serta
intelektual yang ‘ulama.
3.
Formulasi Pengembangan Kurikulum
Berbasis Integrasi di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Adapun dalam pengembangan kurikulum di kampus UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, lebih di kenal dengan istilah integrasi
interkoneksi. Disini penulis akan memaparkan fokus pada ranah paradigma
berfilsafatnya. Yakni dalam sumber pengetahuan yang merupakan jiwa dari ilmu,
dikenal istilah teoantroposentris. Yang
mana istilah ini dipakai untuk menunjuk adanya perpaduan dua sumber pengetahuan
yang didapatkan dari Tuhan (wahyu) serta yang diperoleh dari manusia (melalui
proses berpikir). Contoh dari perpaduan ini adalah agama menyediakan etika
dalam perilaku ekonomi diantaranya adalah bagi hasil (al-mudhârabah), dan kerjasama (al-musyârakah). Di
mana terjadi proses objektifikasi dari etika agama menjadi ilmu agama yang
dapat bermanfaat bagi orang dari semua penganut agama, non-agama, atau bahkan
anti-agama.[24] Berikut adalah gambar
yang mengilustrasikan hubungan jaring laba-laba yang bercorak teoantroposentris-integralistik.

Alur di atas menunjukkan bahwa inti keilmuan (hard core) adalah al-Qur’an dan
as-Sunnah, sedangkan beberapa term yang mengitarinya adalah kawasan yang
disebut sabuk pengaman. Inti adalah sesuatu yang final, tidak dapat
diubah-ubah, sedangkan wilayah yang mengitarinya masih terbuka untuk terus
dilakukan penguatan ataupun pembaruan sesuai dengan perkembangan pemikiran dan
kondisi zaman yang senantiasa menyertainyaTergambar di atas bahwa jarak pandang
atau horizon keilmuan integralistik begitu luas (tidakmyopic) sekaligus terampil dalam perikehidupan sector tradisional
maupun modern karena dikuasainya salah satu ilmu dasar dan keterampilan yang
dapat menopang kehidupan di era informasi-globalisasi. Di samping itu,
tergambar sosok manusia beragama (Islam) yang terampil dalam menangani serta
menganalisis isu-isu yang menyentuh problem kemanusiaan dan keagamaan di era
modern dan pasca modern dengan dikuasainya berbagai pendekatan baru yang
diberikan oleh ilmu-ilmu alam (natural
science), ilmu-ilmu sosial (social
science) dan humaniora (humanities)
kontemporer. Di atas itu semua, pijakan utama dari semua keilmuan yang ada
dilandaskan pada etika-moral keagamaan dalam setiap langkah yang ditempuh.
Terlepas dari apakah itu keilmuan yang bercorak agama atau non-agama haruslah
mempunyai landasan yang kuat pada Al-Qur’an dan Hadistyang dijadikan pandangan
hidup (weltanschauung) keagamaan
manusia yang menyatu dalam satu tarikan nafas keilmuan dan keagamaan.[25]
Dari gambar di atas, nampak jelas bahwa dalam Islam
tidak ada pendikotomian ilmu yang menjadikan ilmu terklasifikasikan menjadi
ilmu agama dan non-agama dengan konsekuensinya saling berdiri sendiri tanpa ada
hubungan antara satu keilmuan dengan keilmuan satunya. Karena bagaimana pun
semua pengetahuan, pada dasarnya berasal dari satu Tuhan, meski dalam berbagai
cara penyampaiannya kepada manusia. Selain itu, nampak pula bahwa dari
ilustrasi di atas, al-Qur’an dan Sunnah menjadi “hard core” keilmuan keislaman, sementara lingkar-lingkar pada
lapis di luarnya menjadi domain “protective
belt” yang sangat mungkin dikembangkan sebagai upaya menjawab
permasalahan-permasalahan yang ada dalam dunia yang selalu berkembang ini.
Dengan tidak meninggalkan al-Qur’an dan as-Sunnah, keilmuan-keilmuan yang ada
dapat dikembangkan berdasarkan semangat keislaman.[26]
4. Perbedaan Formulasi
Pengembangan Kurikulum Berbasis Integrasi
Lebih
mendalam lagi, disini penulis mencoba memaparkan beberapa perbedaan yang terasa
dalam setiap pengembangan paradigma keilmuan integrasi di beberapa UIN yang ada
di Indonesia. Disini penulis mengambil contoh tiga UIN, yakni UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang.
No.
|
Nama UIN
|
Paradigma Keilmuan
|
Formula Integrasi Keilmuan
|
1
|
UIN Syarif Hidayatullah
|
Islam tidak mengenal dikotomi
keilmuan, karena sumber semua pengetahuan adalah Allah. Oleh karenanya,
paradigma keilmuan yang dikembangkan adalah mempertemukan sains dengan
kebenaran wahyu.
|
Integrasi keilmuan merupakan perpaduan intern ilmu agama
dan intren ilmu umum, serta integrasi antara ilmu agama dengan ilmu umum.
Perpaduan ini mencakup beberapa 3 aspek atau level, yakni; integrasi
ontologis, integrasi klasifikasi ilmu dan integrasi metodologis
|
2
|
UIN Sunan Kalijaga
|
Islam mengembangkan ilmu yang
bersifat universal dan tidak mengenal dikotomi antara ilmu-ilmu
qauliyyah/hadhârah al nash (ilmu-ilmu yang berkaitan dengan teks keagamaan,
dengan ilmu-ilmu kauniyyah rah al- (ilmu-ilmu kealaman dan kemasyarakatan),
maupun dengan hadhârah al-falsafah (ilmu-ilmu etis-filosofis).
|
Integrasi-interkoneksi merupakan
bangunan keilmuan universal yang tidak memisahkan antara wilayah agama dan
ilmu. Oleh karenanya, integrasi keilmuan adalah integrasi hadhârah al nash,
hadhârah al-dan hadhârah al-falsafah yang dilakukan melalui 2 model, yakni;
(1) integrasi-interkoneksi dalam wilayah internal ilmu-ilmu keislaman, dan
(2) integrasi-interkoneksi ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum.
|
3
|
UIN Maulana Malik Ibrahim
|
Meletakkan agama sebagai basis
ilmu pengetahuan. Al-Quran dan Hadis dalam pengembangan ilmu diposisikan
sebagai sumber ayat-ayat qauliyyah sedangkan hasil observasi, eksperimen dan
penalaran logis diposisikan sebagai sumber ayat-ayat kauniyyah. Dengan
posisinya seperti ini, maka berbagai cabang ilmu pengetahuan selalu dapat
dicari sumbernya dari al-Quran dan Hadis. Metafora yang digunakan adalah
sebuah pohon yang kokoh, bercabang rindang, berdaun subur, dan berbuah lebat
karena ditopang oleh akar yang kuat. Akar yang kuat tidak hanya berfungsi
menyangga pokok pohon, tetapi juga
menyerap kandungan tanah bagi pertumbuhan dan perkembangan pohon.
|
Integrasi keilmuan merupakan
penggabungan ilmu agama dan ilmu umum dalam satu kesatuan. Kedua jenis ilmu
yang berasal dari sumber yang berbeda itu harus dikaji secara bersama-sama
dan simultan. Perbedaan di antara keduanya, ialah bahwa mendalami ilmu yang
bersumber dari al-Quran dan hadis hukumnya wajib ‘ain bagi setiap mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Sedangkan mendalami ilmu yang bersumber dari manusia hukumnya wajib kifâyah.
|
Tabel. 3 Konsep Integrasi Keilmuan Berdasarkan Paradigma
Keilmuan
D.
Kesimpulan
Sebagai
refleksi dari catatan analisis pemaparan diatas, menunjukkan bahwa mendesak
adanya pengembangan kurikulum berbasis islam dan sains. Hal ini berdasarkan
sebagaimana landasan kurikulum yang meliputi landasan teologis, psikologis,
sosio-kultural serta ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dengan berlandasan pada ilmu pengetahuan dan teknologi maka,
konstruksi kurikulum yang hadir akan semakin apik dengan ke-aktualan-nya dalam
menjawab realitas empiris yang ada. Sedangkan dalam implementasinya,
pengembangan kurikulum berbasis Islam dan sains ini memiliki pola dari beberapa
level lingkup, yakni lingkup epistemologi sebagai dasar konstruksinya, lingkup
fakultas serta lingkup kurikulum sebagai roh yang pada akhirnya terbentuklah
kontrusi kurikulum berbasis islam dan sains.
Daftar Pustaka
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam dan Sekularisme. cet. ke-2. 2011.
Bandung: Pimpin Pustaka
Hamalik,
Oemar. Kurikulum dan Pembelajaran.
2010. Jakarta: Bumi Aksara
Bagir,
Zainal Abidin. Kebangkitan dan Kemunduran
Sains Islam: Belajar dari Sejarah. Paper Stadium General di STAIN
Surakarta, March 5, 2005
Hidayat,
Komaruddin dan Hendro Prasetyo (eds), Problem
and Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi
Islam. Jakarta: Ministry of Religious Affairs
Hidayat,
Qomaruddin. Agama, Filsafat dan Ilmu
Pengetahuan. Seminar Nasional Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Di Publikasikan pada ASWAJA TUBE. 16 Februari 2015
Ismail,
Yahya. Integration of Religion and
Science in the Indonesian State Islamic Universities. 2005. STAIN
Surakarta. Paper untuk “Science and Religion: Global Perspectives”, June 4-8,
2005, in Philadelphia, PA, USA, a program of the Metanexus Institute
Nurdin,
Syafruddin. Guru Profesional &
Implementasi Kurikulum. 2005. Jakarta: Quantum Teaching
Rakhmat, Ioanes. Beragama
dalam Era Sains Modern. 2013. Jakarta: Pustaka Surya Daun
LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM.Baca
http://pustakailmiah78.blogspot.co.id/2015/12/landasan-pengembangan-kurikulum_24.html
[1] Prof. Qomaruddin Hidayat. Agama, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan. Seminar Nasional Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Di Publikasikan pada ASWAJA TUBE. 16
Februari 2015
[2] Lihat paper Yahya Ismail. Integration of Religion and Science in the Indonesian State Islamic
Universities. 2005. STAIN Surakarta. Hlm. 1
[3] PTAIN stands for Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri
established in 1950
[4] Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo (eds), Problem and Prospek IAIN: Antologi
Pendidikan
Tinggi
Islam. Jakarta: Ministry of Religious
Affairs. Hlm. xiv-xv
[5] Op.Cit. Yahya
Ismail. Hlm. 2-3
[6] Lihat: Zainal Abidin Bagir. Kebangkitan dan Kemunduran Sains Islam: Belajar dari Sejarah, paper
presented at Studium Generale of STAIN
Surakarta, March 5, 2005, Hlm. 2-3
[7] Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan
Sekularisme, cet. ke-2, Bandung : Pimpin, 2011, hlm. 165
[8] Ibid. hlm. 55
[9] Inilah
yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali melalui karyanya Tahafut al-Falasifah yang
mengkritik 20 pemikiran filosof (Ibnu Sina dan al-Farabi) yang terpengaruh oleh
pemikiran Yunani, salah satunya tentang keazalian alam.
[10] Salah
satunya adalah komentar Dr. Ioanes Rahmat terhadap tulisan penulis Mengislamkan Sains : Apanya yang Diislamkan yang
dimuat www.Hidayatullah.com : “Yang ingin
saya temukan, misalnya matematika Islam, atau astronomi Islam, ilmu ukur Islam,
ilmu kedokteran Islam, dll, apakah akan bisa ada dlm dunia ini? Misalnya,
menurut ilmu ukur Islam, sudut siku-siku bukan 90 derajat, tapi 97 derajat,
sudut lingkaran bukan 360, tapi 357 derajat. Atau, Dr. Zarman bisa usulkan,
menurut kosmologi Islam, jagat raya kita baru berusia 6000 tahun, bukan 13,72
milyar tahun. Atau, Dr. Zarman bisa usulkan, menurut ilmu kedokteran Islam,
segumpal janin dalam rahim seorang ibu memerlukan masa 2 tahun dalam kandungan
sebelum dilahirkan sebagai seorang bayi yang sehat. Atau, dalam neurobiologi
Islam, Dr. Zarman dapat mengusulkan bahwa setiap insan Muslim berpikir tidak
dengan mekanisme neurologis dalam otak, tetapi dengan mekanisme kardiologis
dalam jantung. Nah, sains-sains Islam yang khas dan unik ini yang saya mau temukan
dari pemikiran Dr. Zarman. Tapi dia tidak menyodorkannya; padahal saya berharap
minimal contoh-contoh kecilnya saja dapat saya temukan dalam
tulisannya.”(Ioanes Rakhmat, Beragama dalam Era Sains Modern, Jakarta: Pustaka
Surya Daun, 2013, hlm. 84-85).
[11] Salah
satu contohnya adalah buku Matahari
Mengelilingi Bumi karya Ahmad Sabiq (Pustaka al-Furqon, 2006) yang
berisi tentang argumentasi penulis tentang kebenaran matahari mengelilingi bumi
(geosentrisme) berdasarkan dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah. Buku ini
memancing banyak perdebatan di internet karena sains modern menyatakan bahwa
bumilah yang mengelilingi matahari (heliosentrisme). Padahal, kedua pandangan
tersebut sama benarnya, tergantung pada kerangka acuan yang dipilih. Jika
matahari dijadikan kerangka acuan tetap, maka bumilah yang mengelilingi
matahari. Sebaliknya, jika bumi dijadikan kerangka acuan yang tetap, maka
mataharilah yang mengelilingi bumi.
[12] LANDASAN PENGEMBANGAN
KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM.Baca
http://pustakailmiah78.blogspot.co.id/2015/12/landasan-pengembangan-kurikulum_24.html
[13] Oemar Hamalik. Kurikulum
dan Pembelajaran. 2010. Jakarta: Bumi Aksara. Hlm. 68
[14] Syafruddin Nurdin. Guru
Profesional & Implementasi Kurikulum. 2005. Jakarta: Quantum
Teaching. Hlm. 36
[15] Op.Cit. Zainal
Bagir
[16] Op.Cit. Yahya
Ismail. Hlm. 3
[17] Op.Cit. Yahya
Ismail. Hlm. 4
[18] Saefuddin dkk.
On Islamaic Civilization Menyalakan Kembali Lentera Peradaban Islam Yang Sempat
Padam. 2010. Semarang: UNISSULA Press. hlm, 323
[19] Ibid. Saefuddin
dkk. hlm, 323-324
[20] Imam Suprayogo, Universitas
Islam Unggul Refleksi Pemikiran Pengembangan Kelembagaan dan Reformulasi
Paradigma Keilmuan Islam. 2009. Malang: UIN Press. hlm,194
[21]Agus Maimun & Agus Zaenul Fitri, Madrasah Unggulan Lembaga Pendidikan
Alternatif di Era Kompetitif, (Malang: UIN Press, 2010), hlm, 117-119
[22]Asrori S. Karni. Etos
Studi Kaum Santri Wajah Baru Pendidikan Islam. 2009. Bandung: Mizan. Hlm.
309-310
[23]M. Cholid Zamzami. Pembaharuan
Pemikiran Pendidikan Islam. http://dc300.4shared.com/doc/GG-ih58j/preview.html
diakses tanggal 29 Desember 2011
[24] Amin
Abdullah. Islamic Studies di
Perguruan Tinggi; Pendekatan Intergatif-Interkonektif. 2006. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm.
105
[25] Ibid. Amin Abdullah. Islamic Studies di Perguruan Tinggi…. Hlm.
106
[26] Zacky Muzakkil Anma. Dalam http://zackymuzakkil.blogspot.co.id/2014/09/integrasi-keilmuan-amin-abdullah.html. Dipublikasikan pada
No comments:
Post a Comment