PENGAWETAN DAN
PENGGUNAAN JENAZAH
UNTUK
KEPENTINGAN PENELITIAN
Revisi Makalah
Diajukan
untuk memenuhi tugas UAS mata kuliah
“Fiqh
Kontemporer”
Dosen
Pengampu :
Dr.
Tutik Hamidah M.Ag
Pemakalah
:
Astrifidha
Rahma Amalia (16771014)
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala
puji bagi Allah yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayah Nya sehingga
pada kesempatan ini penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah yang
berjudul “Pengawetan dan Penggunaan Jenazah untuk Kepentingan Penelitian” ini
penulis susun dengan sebaik mungkin sehingga diharapkan dapat memenuhi tugas
mata kuliah Fiqh Kontemporer.
Dalam
penyusunan makalah ini, penulis tidak luput dari berbagai kelemahan dan keterbatasan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan bimbingan dan saran-saran yang membangun
dari para pembaca sekalian agar makalah ini dapat dibuat lebih baik lagi. Namun
walaupun demikian, mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan kita informasi
atau menyegarkan ingatan kita mengenai hukum penggunaan dan pengawetan jenazah
untuk kepentingan penelitian.
Akhir
kata, semoga makalah ini dapat menambah khazanah keilmuan di bidang ilmu Fiqh
Kontemporer dan juga semoga dapat memberikan kita sebuah motivasi untuk mengkaji
pengawetan dan penggunaan jenazah untuk kepentingan penelitian. Aamiin.
Penulis,
Astrifidha
Rahma Amalia
NIM.
16771014
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar……………………………………………………..
|
ii
|
Daftar
Isi ……………………………………………………………
|
iii
|
|
|
BAB
I………………………………………………………………..
|
1
|
A.
Pendahuluan…………………………………………………………
|
1
|
1.
Latar Belakang…………………………………………………..
|
1
|
2.
Rumusan Masalah……………………………………………….
|
3
|
|
|
BAB
II.………………………………………………………………..
|
4
|
B.
Pembahasan………………………………………………………….
|
4
|
1.
Deskripsi Masalah……………………………………………….
|
4
|
2.
Pendapat dan Hujjah Ulama……………………………………
|
11
|
3.
Analisis Pendapat Ulama……………………………………….
|
19
|
4.
Pendapat yang dipilih dan Hujjah yang digunakan………….
|
21
|
|
|
BAB
III.……………………………………………………………..
|
23
|
C.
Penutup………………………………………………………………
|
23
|
1.
Kesimpulan………………………………………………………
|
23
|
Daftar
Pustaka……………………………………………………….
|
24
|
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Agama Islam
merupakan agama yang telah mengatur manusia dari kehidupan hingga kematian
bahkan kehidupan setelah mati. Sumber hukum utama yang mengatur manusia
tersebut adalah Al Qur’an dan Hadits. Dengan menggunakan 2 sumber tersebut muncul
sebuah ilmu yang disebut dengan ilmu Fiqh. Ilmu Fiqh mencakup berbagai
persoalan seperti ibadah, munakahah, muamalah, jinayah, jenazah, dan masih
banyak lagi yang lain.
Bagi seseorang
yang mengaku dirinya sebagai muslim, tanggung jawab mereka adalah menjalankan
ajaran Islam dengan baik. Ajaran Islam mencakup hubungan manusia dengan Allah
dan hubungan manusia dengan sesamanya. Salah satu contoh ajaran Islam yang mengatur
hubungan manusia dengan sesamanya adalah tentang perawatan jenazah. Merawat
jenazah sesama muslim dari memandikan, mensholatkan, mengkafani dan menguburkan
hukumnya fardhu kifayah. Jika tidak ada satu muslim pun yang menunaikan
kewajiban tersebut maka berdosalah seluruh muslim di dunia. Kemudian muncul
sebuah kasus yang tergolong dalam kasus kontemporer yakni pengawetan jenazah.
Kasus
pengawetan jenazah telah banyak dilakukan di beberapa negara di dunia. Pada
priinsipnya pengawetan jenazah adalah suatu tindakan medis melakukan pemberian
bahan kimia tertentu pada jenazah untuk menghambat pembusukan serta menjaga
penampilan luar jenazah supaya tetap mirip denngan kondisi sewaktu hidup[1].
Menurut
sejarahnya, tradisi mengawetkan orang yang sudah meninggal itu sudah dilakukan
oleh bangsa Mesir kuno sejak 3000 tahun sebelum Masehi atau sering dikenal
dengan sebutan mumi[2].
Namun selain di Mesir, tradisi pengawetan jenazah juga ternyata dikenal di
Indonesia. Tradisi tersebut dilakukan oleh suku Toraja Sulawesi Selatan, Mumi
Kaki More di Nusa Tenggara Timur, serta Mumi suku Dani dan Moni di Papua[3].
Pengawetan
jenazah juga telah dilakukan untuk kepentingan penelitian. Data dari Konsil
Kedokteran Indonesia (KKI) tertera bahwa per 2016 tersebar 75 Fakultas
Kedokteran se-Indonesia. jumlah ini terrdiri atas persebaran FK universitas
swasta sebanyak 42 dan universitas negeri berjumlah 33. Bertambanhnya jumlah
fakultas kedokteran di Indonesia ini tentu menambah jumlah mahasiswa FK, yang
nantinya berimbas pada pemenuhan media pembelajaran. Salah satu media
pembelajaran penting yaitu anatomi tubuh, yang dilalui dengan proses
pembelajaran bedah mayat. Kondisi ini, membuka pintu permintaan mayat di universitas
dalam rangka pembelajaran sekaligus penelitian[4].
Penggunaan
jenazah sebagai objek penelitian adalah hal yang lazim di dunia medis karena
dianggap sebagai pintu menghasilkan penelitian dan penemuan terbaru yang
bermanfaat untuk masyarakat banyak. Selain itu, melalui pembedahan mayat, hasil
yang dicapai dapat lebih akurat dan detail. Untuk kepentingan ilmu pengetahuan
lebih tepat dan lebih baik bila langsung dipraktekkan kepada tubuh manusia,
tidak kepada hewan karena dalam banyak hal tidak sama antara tubuh manusia
dengan tubuh hewan tersebut[5]. Dengan
kondisi yang demikian, kerap kali memunculkan pertanyaan besar di kalangan
masyarakat, terlebih kaum muslimin tentang bagaiamana hukum mengawetkan jenazah
untuk kepentingan penelitian.
Berangkat dari
problematika tersebut, pegawetan dan penggunaan jenazah untuk kepentingan
penelitian menimbulkan beberapa reaksi dari ulama-ulama untuk menentukan
hukumnya. Ada ulama yang memperbolehkan dan ada juga yang melarang. Oleh karena
itu, dengan melihat latar belakang di atas, penulis ingin mengkaji lebih
mendalam dan menyikapi bagaimana hukum pengawetan dan penggunaan jenazah untuk
kepentingan penelitian.
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang belakang di atas, maka rumusan masalah pada makalah ini adalah
sebagai berikut:
1.
Bagaimana deskripsi tentang pengawetan jenazah?
2.
Bagaimana pendapat ulama dan hujjahnya tentang pengawetan dan
penggunaan jenazah untuk kepentingan penelitian?
3.
Bagaimana analisis pendapat ulama tentang pengawetan dan penggunaan
jenazah untuk kepentingan penelitian?
4.
Pendapat ulama dan hujjah mana yang dipilih dan digunakan?
BAB
II
PEMBAHASAN
B.
Pembahasan
1.
Deskripsi Masalah
a.
Sejarah Pengawetan Jenazah
Menurut
sejarahnya, pengawetan mayat sudah dilakukan sejak 3000 tahun SM oleh bangsa
Mesir kuno[6].
Ada yang percaya bahwa selama tubuh tetpa utuh dan gtidak membusuk meskipun
sudah tak bernyawa, ia akan tetap dianggap hidup dan mampu berhubungan dengan
orang-orang sekitar. Alasan ini juga yang melatarbelakangi masyarakat di
berbagai belahan dunia melakukan pengawetan mayat. Sebuah tradisi yang
ditemukan di banyak tempat di dunia[7].
Korea Utara
telah mempraktikkan tradisi mengawetkan pemimpin negara. Di Kumsusan Memorial
Palace, Pyeongyang, jasad Kim Jong Il beserta ayahnya dipajang disana. Tradisi
ini mengikuti Uni Soviet yang juga membalsem jenazah Vladimir Lenin. Tidak
mengherankan, selain keduanya secara resmi menganut ideologi komunisme, Uni
Soviet adalah bekas negara sponsor Korea Utara semasa perang dingin di era
1980-an[8].
Di Indonesia,
peletakkan tubuh jenazah yang diawetkan di tebing-tebing juga dilakukan oleh
masyarakat Toraja. Pihak keluarga yang akan menjaga dan merawat jenazah. Jika
tidak dilakukan dengan baik, mereka percaya di keluarga mereka akan ditimpa
kesulitan. Sementara itu, di Jepangjuga terdapat prosesi mengawetkan jenazah
yang dilakukan oleh para biarawan yang disebut sebagai tradisi Sokushinbutsu[9].
b.
Pengawetan Jenazah
Pengawetan jenazah
sering dikenal dengan istilah embalming yaitu suatu proses dimana
dilakukan pemberian bermacam-macam bahan kimia tertentu pada interior dan
eksterior jaringan orang mati untuk menghambat dekomposisi[10]
jaringan dan membuat serta menjaganya tetap mirip dengan kondisi sewaktu hidup
sesuai dengan waktu yang diperlukan[11] dengan
kata lain embalming adalah proses kimiawi yang melindungi jasad atau
tubuh secara sementara.
Pengawetan
jenazah yang dilakukan untuk pendidikan kedokteran sedikit berbeda dengan
pengawetan jenazah untuk keperluan lain. Prioritas pertama adalah untuk
pelestarian jangka panjang bukan untuk presentasi atau tampilan. Pengawetan
medis menggunakan cairan yang mengandung formaldehid pengawetan denga
konsentrasi 37-40% (yang dikenal sebagai formalin) atau gluteraldehyde
serta fenol dan dibuat tanpa
pewarna dan parfum. Banyak perusahaan kimia pengawetan membuat cairan khusus
pengawetan anatomi[12].
Pengawetan
untuk pendidikan anatomi[13]
dilakukan ke dalam sistem peredaran tertutup. Cairan biasanya disuntikkan
dengan mesin pengawetan ke arteri di bawah tekanan tinggi untuk
menjenuhkan jaringan. Setelah jenazah dibiarkan beberapa jam, sistem vena
umumnya dibuka dan cairan diperbolehkan untuk mengalir keluar, meskipun
pengawetan untuk anatomi ini banyak yang tidak menggunakan teknik drainase[14].
Bahan yang
digunakan untuk mengawetkan jenazah adalah senyawa kimia formaldehida
yang merupakan aldehida berbentuk gas dengan rumus kimia H2CO.
Formaldehida dihasilkan dari pembakaran bahan yang mengandung karbon. Formaldehida
dalam kadar kecil sekali juga dihasilkan sebagai metabolit kebanyakan
organisme termasuk manusia[15].
Formaldehida dapat digunakan untuk membasmi sebagian besar bakteri, sehingga
sering digunakan untuk desinfektan dan juga sebagai bahan pengawet.
Sebagai desinfektan, formaldehida dikenal juga dengan nama formalin
dan dimanfaatkan sebagai pembersih lantai, pembersih kapal, gudang, dan pakaian.
Dalam bidang medis, larutan formaldehida dipakai untuk mengerinkan
kulit, misalnya mengangkat kutil. Larutan formaldehida sering dipakai
dalam embalming untuk mematikan bakteri serta untuk mengawetkan mayat. Formaldehida
diabsorbsi di jaringan dengan baik, tetapi relatif lambat. Formalin
adalah pengawet yang banyak digunakan dan tidak ada jaringan yang dirusaknya.
Bau formalin yang menusuk hidung memnbuat formalin sangat dikenal
oleh banyak pihak, sehingga cukup berhati-hati dalam menggunakannnya[16].
c.
Jenazah
Dalam kamus al-Munawir,
kata jenazah ditulis dengan الجَنَازَةُ (fathatul jim) yang berarti usungan
mayat atau kereta jenazah dan اجِنَازَةُ
(kasratul jim) yang berarti mayat atau
jenazah[17].
Adapun menurut
Syaikh al-Banjari, jenazah adalah nama bagi mayat yang ada dalam tanduan,
sebagian lagi mengatakan nama bagi tanduan yang didalamnya ada mayat dan kalau
tidak ada mayat maka tidak dinamakan jenazah tetapi hanya tanduan[18]. Sedangkan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata jenazah diartikan sebagai badan atau
tubuh orang yang sudah mati[19].
Dasar hukum
tentang seputar orang-orang yang mati (jenazah), sebagaimana firman Allah SWT
dalam Q.S Al Mursalat (77): 25-26 dan Q.S ‘Abasa (80): 18-21.
اَلَمْ نَجْعَلِ
الْاَرْضَ كِفَاتًا ٢٥ اَحْيَاءً
وَّاَمْوَاتًاۙ ٢٦
“Bukankah Kami
menjadikan bumi (tempat) berkumpul (25) Orang-orang yang hidup dan orang-orang
yang mati”. Q.S Al Mursalat (77): 25-26
مِنْ اَيِّ شَيْءٍ
خَلَقَهٗ ١٨مِنْ نُّطْفَةٍ ۗ خَلَقَهٗ فَقَدَّرَهٗ ١٩ثُمَّ السَّبِيْلَ يَسَّرَهٗ
٢٠ثُمَّ أَمَاتَهٗ فَأَقْبَرَهٗ ٢١
“Dari apakah
Allah menciptakannya (18), dari setetes mani, Allah menciptakannya lalu
menentukannya (19), kemudian dia memudahkan jalannya (20), kemudian dia
mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur (21)”. Q.S ‘Abasa (80): 18-21
Hadis tentang
seorang muslim dengan muslim lainnya, Nabi Muhammad SAW bersabda:
عن البراءِ رضي الله
عنه قَال : امرنَا النَّبيُّ صلى الله عليه وسلَّمَ بِسَبْعِ ونَهَانَا عنْ سبعِ:
امرنَا بِاتِّباعِ الْجنَازَةِ و عيادةِ الْمريض و إجَابَةِ الدَّعى ونصر
الْمَظلوْمِ و إبْرَارالْقسمِ وردِّ السّلامِ و تشْميْتِ العَاطِسَ وَنَهَانَا
عَنْ انِيَّةِ الفَضَّةِ و خَاتمِ الدّهَبِ والحريْرِ و الدِّيْبَاجِ و الْقُسِّئ
و الاِستَبْرَقَ (رواه البخارى)
“Diriwayatkan dari
al-Barra r.a,: Nabi Muhammad SAW memerintahkan kami mengiringkan jenazah ke
kubur, menjenguk orang sakit, mendatangi undangan, menolong orang yang di
dzolimi, melaksanakan sumpah, menjawab salam, mendoakan orang yang bersin.
Rasulullah SAW melarang kami menggunakan bejana perak, bercincin emas (bagi
laki-laki), berbusana sutera, bergaun dibaj (sutera murni), menggunakan
kain qassi (sejenis sutera), dan menggunakan kain istabraq
(sejenis sutera)”. (H.R. al Bukhari)[20].
d.
Dalil yang Berhubungan dengan Pengawetan Jenazah
Adapun
berkaitan dengan problematika pengawetan jenazah yang digunakan untuk keperluan
penelitian, maka kita juga harus memperhatikan hadits Nabi SAW tentang
disegerakan penguburan jenazah yaitu:
عَنْ أبي هُريرة رضي
الله عنهُ, عنِ النَّبِي صلّى الله عليْهِ وسلّمَ قَالَ : أسرعوا بِاالجَنازَةِ,
فَإنْ تَكُ صألحة فخيرٌ تقَدّموْنَهَا إليْه , و إنْ تكُ سِوى ذَلِك فشرُّ تضعونهُ
عنْ رقابكُم (رواه الْبخارى)
“Dari Abu Hurairah r.a,
dia menyampaikan sabda Rasulullah SAW: Bersegeralah (berjalan cepatlah) dalam membawa
jenazah, jika jenazah itu orang soleh, maka kebaikanlah yang kalian berikan,
jika jenazah itu bukan orang soleh, maka keburukanlah yang kalian letakkan di
pundak kalian”. (H.R. Al Bukhari)[21].
Dasar hukum
tentang dilarang merusak-rusak atau merobek-robek tubuh jenazah adalah hadits
berikut:
عَنْ عَاءشَة قَالَت
:قَال رسُول اللهِ كَسْرُ عَظمِ الْميْتِ كَكسْر حيَا (رواه أبو داود)
“Dari ‘Aisyah, ia
berkata: Rasulullah SAW bersabda memecahkan (merusak) tulang orang yang mati
sebagaimana perbuatan merusak tulang seseorang yang masih hidup”. (H.R Abu
Daud)[22].
Hadis tersebut
menjadi dalil tentang haramnya memathkan tulang mayat yang mukmin serta
diharamkan memotong sesuatu bagian dari tubuh mayat, merusak badannya, dan
membakarnya.
e.
Penggunaan Jenazah untuk Kepentingan Penelitian
Penggunaan jenazah
untuk kepentingan penelitian sudah menjadi hal biasa di dunia kedokteran,
dikarenakan selama ini belum ditemukan objek selain tubuh manusia sebagai objek
praktik. Oleh karena itu, pentingnya anatomi dalam ilmu kedokteran, maka tubuh
manusia secara mutlak dibutuhkan. Kalaupun ada alat yang menyerupai tubuh
manusia, belum bisa mencakupi keseluruhan kebutuhan ilmu kedokteran dalam
anatomi.
Dalam dunia
kedokteran sangat penting adanya pengawetan jenazah sebagai penelitian untuk
menddalami ilmu anatomi. Ilmu anatomi adalah ilmu urai yang mempelajari susunan
tubuh dan hubungan bagian-bagiannya satu sama lain[23],
karena jaringan-jaringan sel di dalam tubuh manusia berbeda dengan hewan, maka dari
itu sangat perlu melakukan penelitian terhdaop manusia. Tentu penelitian tidak
akan dilakukan pada yang masih hidup melainkan manusia yang sudah mati (mayat)
yang telah diawetkan untuk memudahkan penelitian. Dengan alasan yang demikian,
maka jenazah perlu diawetkan untuk menjaga kesempurnaan fisik jenzah tersebut
dari kebusukan dan kerusakan.
Penggunaan
jenazah untuk kepentingan penelitian telah diatur pada Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1333/ MENKES/ SK/ X/ 2002 tentang persetujuan
penelitian kesehatan terhadap manusia yang terdapat pada pasal 2, pasal 3, dan
pasal 4 yang berbunyi:
Pasal 2 yaitu:
(1) Setiap
penelitian dan pengembangan kesehatan yang menggunakan jenazah sebagai objek
penelitian harus mendapat persetujuan (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 dapat diberikan secara tertulis maupun lisan (3) Persetujuan lisan
sebagaimana dimaksud pada ayat 2 harus diketahui dan ditandatangani oleh saksi
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diberikan setelah mendapat
informasi yang kuat tentang maksud dan tujuan penelitian serta kemungkinan
resiko yang timbul dari penelitian[24].
Pasal 3 yaitu:
(1) Persetujuan
harus diberikan dalam keadaan sadar dan sehat mental (2) Terhadap objek
penelitian dan pengembangan kesehatan yang belum dewasa atau tidak mempunyai
orang tua/ wali berhalangan, persetujuan dapat diberikan oleh keluarga terdekat
atau induk semang (guardian) (3) Bagi objek penelitian dan pengembangan
kesehatan yang sudah dewasa yang menderita gangguan mental, persetujuan
diberikan oleh orang tua/ wali kuratornya[25].
Pasal 4 yaitu:
(1) Penelitian
terhadap manusia yang mengandung resiko tinggi dan dapat menimbulkan kecacatan
atau kematian, harus memperoleh persetujuan tertulis dan ditandatangani oleh
yang berhak memberikan persetujuan (2) Penelitian yang tidak termasuk kategori
sebagaimana dimaksud pada ayat 1, persetujuan dapat diberikan secara lisan (3) dalam
hal objek penelitian berupa jenazah, persetujuan penelitian dapat diberikan
oleh ahli waris atau keluarganya[26].
Penggunaan
jenazah untuk kepentingan penelitian juga dihubungkan pada Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan pasal 8 yang berbunyi:
(1) Penelitian
dan pengembangan kesehatan terhadap manusia hanya dapat dilakukan atas dasar
persetujuan tertulis dari manusia yang bersangkutan (2) Persetujuan tertulis
dapat pula dilakukan oleh orang tua atau ahli warisnya apabila manusia
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1: a) tidak mampu melakukan tindakan hukum, b)
karena keadaan kesehatan atau jasmaninya sama sekali tidak memungkinkan dapat
menyetakan persetujuan secara tertulis, c) telah meninggal dunia, dalam hal
jasadnya akan digunakan sebgai objek penelitian dan pengembangan kesehatan (3)
Persetujuan tertulis bagi penelitian dan pengembangan kesehatan terhadap
keluarga diberikan oleh kepala keluarga yang bersangkutan dan terhadap
masyarakat dalam wilayah tertentu oleh Bupati/ Walikota Kepala Daerah yang
bersangkutan (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mendapatkan
persetujuan tertulis diatur oleh Menteri[27].
Upaya keputusan
peraturan-peratuaran tersebut, guna tidak terjadi penyalahgunaan terhadap
jenazah. Dengan diberikan ketentuan-ketentuan berupa izin yang ketat agar
kehormatan serta hak-hak jenazah tetap terjaga.
2.
Pendapat dan Hujjah Ulama
a.
Pendapat MUI (Majelis Ulama Indonesia)
Komisi Fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Rapat Komisi Fatwa pada 22 Dzul Qaidah 1428
H/ 3 Desember 2007 M setelah:
Menimbang:
1)
Bahwa penggunaan jenazah untuk kepentingan penelitian lazim
dilakukan di dunia medis karena dianggap dapat memperoleh hasil yang lebih
akurat;
2)
Bahwa di masyarakat muncul pertanyaan seputar hukum penggunaan
jenazah untuk kepentingan penelitian;
3)
Bahwa oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa tentang
penggunaan jenazah untuk kepentingan penelitian guna dijadikan pedoman.
Mengingat:
1)
Firman Allah SWT
وَلَقَدْ
كَرَّمْنَا بَنِيْ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ
مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا
تَفْضِيْلًا ؑ٧٠
“Dan
sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat
dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.”
Q.S Al Isra (17): 70
هُوَ
الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً
“Dia-lah
Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu…” Q.S Al Baqarah (2):
29
فَالْيَوْمَ
نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلْفَكَ آيَةً وَإِنَّ كَثِيراً مِّنَ
النَّاسِ عَنْ آيَاتِنَا لَغَافِلُونَ
“Maka
pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi
orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia
lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami”. Q.S Yunus (10): 92.
اَلَمْ نَجْعَلِ
الْاَرْضَ كِفَاتًا ٢٥ اَحْيَاءً
وَّاَمْوَاتًاۙ ٢٦
“Bukankah Kami
menjadikan bumi (tempat) berkumpul (25) Orang-orang yang hidup dan orang-orang
yang mati”. Q.S Al Mursalat (77): 25-26.
مِنْ اَيِّ شَيْءٍ
خَلَقَهٗ ١٨مِنْ نُّطْفَةٍ ۗ خَلَقَهٗ فَقَدَّرَهٗ ١٩ثُمَّ السَّبِيْلَ يَسَّرَهٗ
٢٠ثُمَّ أَمَاتَهٗ فَأَقْبَرَهٗ ٢١
“Dari
apakah Allah menciptakannya (18), dari setetes mani, Allah menciptakannya lalu
menentukannya (19), kemudian dia memudahkan jalannya (20), kemudian dia
mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur (21)”. Q.S ‘Abasa (80): 18-21.
2)
Hadis Rasulallah SAW, antara lain:
فرض
علَى اُمَّتِي غُسلُ مَوتاها و الصّلاةُ عليها و دفنُهَا (الحأوي الكبير :ج 3 ص 6)
“Diwajibkan
atas umatku untuk memandikan, mensholatkan, dan menguburkan jenazah”. (Kitab
al-Hawi al-Kabir, juz 3 hal 6)
إغسلوهُ
بِمَاءٍ وَسِدْرٍ و كَفَّنوهُ في ثوبيهِ (متفق عليه)
“Manidikanlah
jenzah dengan air dan daun bidara (sejenis daun yang dapat berbusa seperti
sabun), dan kafanilah ia dalam dua pakaiannya.” (Muttafaq ‘alaih)
لاَ تُكَسِّرْها
فإنَّ كَسركَ إيّاهُ مَيِّتًا ككسرِك إيَّاهُ حَيّا. (رواه مالك وابن ماجه و ابو
داود بسند صحيح)
“Engkau
jangan memecahkan (merusak) tulang jenazah, karena merusak tulang seseorang
yang telah meninggal sebagaimana perbuatan merusak tulang seseorang yang masih
hidup.” (Riwayat Malik, Ibnu Majah, dan Abu Dawud dengan sanad shahih)
كسرُ
عَظْمِ الْمَيِّتِ في الْإثْمِ (رواه ابوا داود و ابن ماجه)
“Memecahkan
(merusak) tulang seseorang yang telah meninggal (hukumnya) berdosa sebagaimana
perbuatan merusak tulang seseorang yang masih hidup”. (H.R Abu Dawud dan Ibnu
Majah)
3)
Qa’idah Sadd al-Dzari’ah
4)
Qa’idah Fiqhiyyah, antara lain:
دَرْءُ
الْمَفاسِدِ مُقَدَّمٌ على جَلْبِ الْمَصَالِحِ.
“Mencegah
kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) daripada menarik kemaslahatan”
الضَّرورةُ
تُبيْحُ الْمَحْظُرَاتِ
“Kondisi
darurat membolehkan hal-hal yang sebelumnya dilarang”.
الضَّرُورةُ
تُقَدَّرُ بِقَدْرِهَا
“(Kebolehan
melakukan) Darurat itu dihitung seperlunya.”
إذَا
تَعَارَضَتْ مَفْسَدَتَانِ أوْ ضَرَرانِ رُوْعِيَ أعْظَمُهُمَا ضَرَرًا
بِارْتِكَابِ اخَفِّهِمَا
“Apabila
terdapat dua kerusakan atau bahaya yang saling bertentangan, maka kerusakan
atau bahaya yang lebih besar dihindari dengan jalan melakukan perbuatan yang
resiko bahayanya lebih kecil.”
حُرْمةُ
الحَيِّ أعْظَمُ من حرْمَةِ الْمَيّتِ
“Kehormatan
seseorang yang hidup lebih agung daripada kehormatan seseorang yang mati.”
5)
Pendapat Syaikh Yusuf ad-Dajwi, mufti Mesir yang menyatakan bahwa
hukum menjadikan jenazah sebagai objek penelitian bagi para mahasiswa di
fakultas kedokteran adalah mubah, dengan dalil qiyas aulawi dan kaedah darurat;
yaitu dianalogikan dengan kebolehan pembedahan terhadap perut jenazah perempuan
hamil untuk menyelamatkan janin yang masih hidup yang berada dalam
kandungannya.
Memperhatikan :
1)
Fatwa MUI tanggal 5 februari 1988 tentang memusiumkan mayat dan
Fatwa MUI tanggal 29 November 2007 tentang pengawetan jenazah untuk kepentingan
penelitian
2)
Pendapat, saran, dan masukan yang berkembang dalam Sidang Komisi
Fatwa pada Rapat Komisi Fatwa Tanggal 29 November 2007 dan 3 desember 2007.
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT,
Memutuskan:
1)
Pada dasarnya setiap jenazah harus dipenuhi hak-haknya, dihormati keberadannya
dan tidak boleh dirusak.
2)
Penggunaan jenazah untuk kepentingan penelitian seperti dengan cara
membedah, dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:
a)
Penelitian dimaksud bermanfaat untuk pengembangan keilmuan,
mendatangkan kemaslahatan yang lebih besar, yaitu memberikan perlindungan jiwa
(hifdz al-nafs), bukan hanya untuk kepentingan praktik semata, sementara
media penelitian hanya bisa dilakukan dengan media manusia;
b)
Sebelum digunakan untuk objek penelitian tersebut di atas, hak-hak
jenazah harus dipenuhi, seperti dimandikan, dikafani, dan disholatkan;
c)
Jenazah yang digunakan untuk penelitian harus dilakukan seperlunya,
selanjutnya jika penelitiannya sudah selesai harus segera dikuburkan sesuai
dengan ketentuan syari’at.
d)
Jenazah yang akan dijadikan objek penelitian harus memperoleh izin
dari dirinya sewaktu hidup melalui wasiat, izin ahli waris, dan/ atau izin
Pemerintah[28].
b.
Pendapat Majlis di Majma’ Fikih Islami
Majlis di Majma’ Fikih Islami di bawah Rabithah al-Alam
al-Islami (Liga Muslim Dunia) dalam muktamarnya kesepuluh yang diadakan di Makkah
Mukarramah dalam waktu dari hari Sabtu, 24 Shafar 1408 H atau 17 Oktober
1987 M sampai ari Rabu, 28 Shafar 1408 H atau 21 Oktober 1987 M telah meneliti
permasalahan pembedahan mayat dan setelah diskusi dan tukar pendapat memutuskan
ketetapan sebagai berikut:
Berdasarkan
dharurat yang dibutuhkan dalam pembedahan mayat dan pembedahan ini menjadi
maslahat yang mengalahkan mafsadat pelanggaran kemuliaan mayat manusia.
Majlis Majma’
Fikih Islami dibawah
lembaga Rabithah al-Alam al-Islami (Liga Muslim Dunia) menetapkan
sebagai berikut:
Pertama, boleh
membedah mayat untuk satu diantara tujuan berikut:
1)
Otopsi (penelitian) dalam tuduhan pembunuhan (kriminal) dnegan
mengetahui sebab kematian atau kriminal terjadi. Hal itu jika hakim (al-Qadhi)
tidak bisa menetapkan secara pasti kematian, dan nampak jelas pembedahan
terhadap mayit adalah cara untuk mengetahui sebab-sebab tersebut.
2)
Penelitian penyakit yang menuntut adanya pembedahan untuk dijadikan
sebagai bahan terapi pencegahan dan terapi pengobatan yang tepat sesuai dengan
penyakit tersebut.
3)
Pendidikan medis dan pembelajarannya sebagaimana terdapat dalam
kuliah kedokteran.
Kedua,
keputusan tentang pembedahan untuk tujuan pembelajaran harus memperhatikan
batasan-batasan berikut:
1) Apabila jenazah
itu dikenal, maka pembedahan boleh dilakukan dengan syarat sudah mendapatkan
ijin dari orang tersebut sejak sebelum kematiannya atau mendapatkan ijin dari
ahli warisnya sepeninggal orang tersebut. Tidak selayaknya membedah mayat yang
jiwanya dilindungi syari’at kecuali dalam keadaan darurat.
2) Wajib membatasi
pembedahan pada batas darurat saja agar tidak mempermainkan tubuh mayat
tersebut secara sia-sia
3) Tubuh mayat
wanita tidak boleh dilakukan pembedahan kecuali oleh dokter-dokter wanita
kecuali apabila tidak ada.
Ketiga, pada
semua keadaan ini, anggota tubuh yang sudah dibedah diwajibkan untuk dikuburkan[29].
c.
Pendapat Ulama-Ulama Lain
Dalam literatur
fikih kontemporer, ditemukan dua pendapat yang berbeda. Pertama, pandangan
mufti Mesir, Yusuf ad-Dajwi, yang berkesimpulan bahwa praktik demikian itu
boleh (jawaz). Kedua, pendapat mufti Mesir yang lain, Muhammad Bukhet
al-Mith’I, bahwa bedah jenazah hanya boleh untuk dua keperluan: mengambil harta
orang, misalnya permata, yang tersimpan di perut jenazah, dan menyelamatkan
janin di perut ibunya yang meninggal. Bila untuk penelitian menurutnya tidak
boleh (la yajuz)[30].
Tentang
kewajiban membedah mayat untuk menyelamatkan janin yang ada dalam rahim
diterangkan oleh Abu Ishaaq Asy Syiraazy dengan mengatakan[31]:
وَ إنْ مَاتتْ إمرأةٌ
و في جوْفِها جَنيْنٌ حتّى شُقَّ جوْفُها لانهُ إسْتِبْقاءُ حيٍّ بإتلاَفِ جُزْءٍ
من الْميّتِ.
“Dan apabila ada seorang
perempuan yang meninggal, padahal dalam perutnya terdapat janin yang masih
hidup, maka wajib dibedah perutnya. Karena cara mempertahankan kehidupan (janin
itu), ia harus dipisahkan dari mayat.”
Ketentuan hukum
Islam tentang pembedahan mayat yang dalam perutnya terdapay benda berharga,
diterangkan oleh Abu Ishaaq Asy Syiraazy juga dengan mengatakan[32]:
وإنْ بلع الْمَيِّتُ
جوهرةً لغيرهِ و مَاتَ و طالبَ صا حبُها شقَّ جوفُها وردّتِ الجوهرةُ و إنْ كانتِ
الجوهرةُ لهُ ففيهِ وجهانِ أحدهما يُشَقُّ لِانَّها صارتْ لِلْورثةِ فهي كجوهرةِ
الْأجنبِيِّ و الثَّاني لا يجِبُ لانّهُ إسْتهْلكها حَيَاتهِ فلم يتعلّقْ بِها
حَقُّ الْورثَةِ
“Dan apabila si
mayat telah menelan batu permata orang lain (yang menyebabkan kematiannya),
lalu pemilik (barang itu) menuntut agar dikembalikan, maka wajib membedah
perutnya. Lalu dikembalikan batu permata itu. Dan apabila batu permata itu
miliknya sendiri, maka terjadi dua macam ketetapan hukum. Pertama, diwajibkan
membedahnya, karena barang itu menjadi milik pewarisnya. Maka disamakan
keduanya dengan batu permata orang lain. Kedua, tidak wajib karena barang itu
dianggap sudah hancur (habis) di masa hidupnya, maka tidak ada hubungannya
dengan hak milik pewarisnya.”
Pandangan
keduanya merupakan hasil takhrij atas kajian pada ulama klasik. Berupa
bahasan tentang hukum bedah mayat pada dua kasus: mengambil permata yang
tersimpan di perut jenazah dan menyelamatkan janin. Dalam kasus mengambil harta
dalam perut jenazah, ahli fikih madzhab Hanafi berpendapat boleh bila almarhum
atau almarhummah tidak meninggalkan harta yang dapat dijadikan ganti. Sebab hak
manusia harus didahulukan[33].
Dalam madzhab
Syafi’i, menurut pendapat masyhur, hal itu dapat dilakukan secara mutlak.
Begitu pula dengan pendapat Imam Sahnun al-Maliki. Sedangkan Imam Ahmad
bin Hambal tidak membenarkan. Dalam
kasus mengambil jenazah, ahli fikih madzhab Hanafi dan Syafi’i berpendapat
mubah. Sedangkan madzhab Maliki dan Hambali melarangnya[34].
Ada juga
pendapat Quraish Shihab yang mengatakan bahwa badan manusia adalah wadah dari
ruhnya. Ia berasal dari tanah dan dikembalikan ke tanah. Namun demikian badan tersebut
harus tetap dihormati baik ia Muslim maupun non Muslim dalam keadaan hidup
ataupun mati.s Anggota badan manusia adalah milik Allah, bukan milik selainNya,
termasuk bukan milik yang bersangkutan atau keluarganya, apalagi milik orang
lain. Karena ia bukan milik siapapun dari manusia, maka Islam melarang
memperjualbelikan manusia atau anggota tubuhnya, baik yang telah mati,
diawetkan atau tidak –lebih-lebih yang masih hidup. Memperjualbelikan mayat
termasuk juga mayat yang telah diawetkan tidak dibenarkan dalam segi syariat[35].
3.
Analisis Pendapat Ulama
Dari beberapa
pendapat dan hujjah ulama-ulama di atas, sebenarnya hukum pengawetan jenazah
adalah haram/ tidak diperbolehkan karena menurut hadist Nabi, manusia yang
telah meninggal harus segera dikuburkan. Pengawetan jenazah ini bertentangan
dengan hadist Nabi SAW yaitu:
عَنْ أبي هُريرة رضي
الله عنهُ, عنِ النَّبِي صلّى الله عليْهِ وسلّمَ قَالَ : أسرعوا بِاالجَنازَةِ,
فَإنْ تَكُ صألحة فخيرٌ تقَدّموْنَهَا إليْه , و إنْ تكُ سِوى ذَلِك فشرُّ تضعونهُ
عنْ رقابكُم (رواه الْبخارى)
“Dari Abu Hurairah r.a,
dia menyampaikan sabda Rasulullah SAW: Bersegeralah (berjalan cepatlah) dalam
membawa jenazah, jika jenazah itu orang soleh, maka kebaikanlah yang kalian
berikan, jika jenazah itu bukan orang soleh, maka keburukanlah yang kalian
letakkan di pundak kalian”. (H.R. Al Bukhari).
Namun para
fuqaha berpendapat bahwa untuk keperluan ilmu pengetahuan kedokteran termasuk
dalam golongan hajat. Ilmu pengetahuan haruslah berkembang diantara golongan orang-orang
Muslim. Jika orang-orang kafir yang melakukannya, maka kaum Muslim akan semakin
tertinggal. Ilmu pengetahuan masuk dalam golongan hajat (kebutuhan). Dalam
kaidah fiqih ada yang disebut dengan:
الْحاجةُ
تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرورةُ عامَّةً كانتْ أوْ خاصَّةً
“Kedudukan
kebutuhan itu menempati kedudukan darurat, baik hajat umum maupun hajat
perorangan”.
Menurut kaidah
ini, kebutuhan yang mendesak dapat disamakan dengan keadaan darurat. Apalagi
kalau kebutuhan tersebut bersifat umum, niscaya berubah menjadi darurat[36].
Maka pengawetan jenazah untuk kepentingan penlitian yang digolongkan kepada
hajat (kebutuhan) termasuk masalah darurat.
Di dalam
penetapan keputusan fatwa MUI juga disebutkan bahwa pengawetan jenazah untuk
kepetingan penelitian adalah keadaan darurat yang mana para majelis ulama
memperbolehkan dipergunakan jenazah sebagai objek penelitian dengan tujuan
untuk pengembangan keilmuan dan mendatangkan kemaslahatan yang besar yakni
memberikan perlindungan jiwa (hifdz an-nafs).
Kemudian, untuk
perbedaan pendapat yang terjadi antara ahli fikih madzhab Hanafi dan Syafi’i
yang memperbolehkan dengan ahli fikih madzhab Maliki dan Hambali yang melarang
pengawetan jenazah untuk penelitian adalah berpangkal pada pemahaman hadis
berikut:
لاَ تُكَسٍّرْها
فإنَّ كَسركَ إيّاهُ مَيِّتًا ككسرِك إيَّاهُ حَيّا. (رواه مالك وابن ماجه و ابو
داود بسند صحيح)
“Engkau jangan memecahkan (merusak) tulang jenazah, karena merusak
tulang seseorang yang telah meninggal sebagaimana perbuatan merusak tulang
seseorang yang masih hidup.” (Riwayat Malik, Ibnu Majah, dan Abu Dawud dengan
sanad shahih).
Pendapat yang melarang bedah mayat berasal dari pemahaman hadis di
atas secara mutlak, dalam kondisi apapun. Sedangkan alasan pendapat yang
membolehkan adalah darurat, seperti menyelamatkan janin, mengambil harta benda,
ataupun kepentingan penelitian. Namun yang harus digaris bawahi bahwa jenazah
yang sudah diteliti diwajibkan untuk segera dikuburkan.
4.
Pendapat yang dipilih dan Hujjah yang digunakan
Penulis dalam hal ini memilih untuk mengikuti Keputusan Fatwa MUI
dan Fatwa Majlis di Majma’ Fikih Islami karena kedua fatwa ini
sebenarnya hampir sama namun saling melengkapi. MUI dan Majlis Majma’ Fikih Islami menyatakan
bahwa pengawetan jenazah untuk kepentingan penelitian boleh dilakukan (mubah)
dengan beberapa syarat yang telah disebutkan dan syarat-syarat tersebut telah
sesuai dengan hukum yang diatur di Indonesia bahwasannya jenazah yang akan
dijadikan objek penelitian harus memperoleh izin dari dirinya sewaktu hidup
melalui wasiat, izin ahli waris, dan/ atau izin Pemerintah yang mana hal
tersebut tertera pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1333/ MENKES/ SK/ X/ 2002 tentang persetujuan penelitian kesehatan terhadap
manusia pasal 2,3,4 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun
1995 tentang Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan pasal 8.
Isi Keputusan Fatwa MUI tentang pengawetan jenazah untuk
kepentingan penelitian hampir sama dengan Fatwa Majlis Majma’ Fikih Islami
hanya saja dalam Majma’ Fikih Islami mendapat tambahan bahwa tubuh mayat
wanita tidak boleh dilakukan pembedahan kecuali oleh dokter-dokter wanita
kecuali apabila tidak ada. Dan juga dalam fatwa MUI disebutkan bahwa sebelum
digunakan untuk objek penelitian, hak-hak jenazah harus dipenuhi seperti
dimandikan, dikafani, dan disholakan yang dapat dijadikan tambahan dalam
keputusan Fatwa Majlis Majma Fikih Islami. Namun intinya keduanya
memebolehkan pengawetan jenazah untuk kepentingan penelitian dengan beberapa
syarat tertentu termasuk menguburkan jenazah sesuai dengan ketentuan syariat
setelah dilakukan penelitian.
Sebagai tambahan bahwasannya jenazah yang tidak jelas identitasnya
menjadi boleh untuk digunakan dalam penelitian karena tidak ada ahli waris atau
kerabat yang merawatnya, asalkan setelah selesai segera dikuburkan. Dan juga
untuk pemilihan jenazah untuk penelitian baik muslim maupun non muslim, penulis
disini berpendapat sama saja sebab hak dan kewajiban sebagai manusia adalah
sama. Belum lagi jika nanti pengawetan jenazah hanya mengambil dari jenazah non
muslim saja maka belum tentu ada jenazah non muslim yang meninggal di kala itu.
Karena ada juga suatu riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah saja berdiri
menghormati jenazah seorang Yahudi yang lewat di hadapan beliau, bukan untuk
menghormati agamanya melainkan menghormatinya sebagai makhluk Allah SWT. Wallahua’lam.
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
C.
Penutup
1.
Kesimpulan
a.
Menurut sejarahnya, pengawetan mayat sudah dilakukan sejak 3000
tahun SM oleh bangsa Mesir kuno. Pengawetan jenazah sering dikenal dengan
istilah embalming yaitu suatu proses dimana dilakukan pemberian
bermacam-macam bahan kimia tertentu pada interior dan eksterior jaringan orang
mati untuk menghambat dekomposisi jaringan. Dalam kamus al-Munawir, kata
jenazah ditulis dengan الجَنَازَةُ (fathatul jim) yang berarti usungan
mayat atau kereta jenazah dan اجِنَازَةُ
(kasratul jim) yang berarti mayat atau
jenazah.
b.
Beberapa ulama menetapkan hukum pengawetan jenazah untuk
kepentingan penelitian diantaranya Fatwa MUI, Fatwa Majlis Majma’ Fikih
Islami, dan beberapa ulama lain yang membolehkan dan melarang.
c.
Adanya perbedaan ulama dalam menghukumi pengawetan jenazah untuk
kepentingan penelitian berpangkal pada perbedaan ulama dalam memahami teks
hadis dan penggunaan kaidah fiqh.
d.
Penulis dalam hal ini memilih untuk mengikuti Keputusan Fatwa MUI
dan Fatwa Majlis di Majma’ Fikih Islami karena kedua fatwa ini
sebenarnya hampir sama namun saling melengkapi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Banjari, Syekh Muhammad Arsyad. 2005. Sabilal Muhtadin,
Surabaya : PT. Bina Ilmu. Cet. Ke-4
Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad Ibnu Ismail. 1992. Saḥiḥ
al-Bukhari, Beirut, Lebanon :Darul Kutub al-Ilmiyah
Asy’as Sajastani, Abu Daud Sulaiman Ibnu. 1994. Sunan Abu Daud,
Bairut-Lebanon : Darul Fakih
Fatwa MUI tentang Penggunaan Jenazah
untuk Kepentingan Penelitian Nomor 12 Tahun 2007
Fatwa Majlis Majma’ Fikih Islami
tentang bedah mayat
Hasan, M.Ali. 1997. Masail Fiqhiyah al Haditsah:Masalah-Masalah
Kontemporer Hukum Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Kamus Besar Bahasa Indonesia. https://www.google.co.id/amp/s/kbbi.web.id/jenazah.html Akses tgl 18 April 2018 pkl: 13:36
Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1333 / MENKES / SK / X /2002 Tentang Persetujuan Penelitian
Kesehatan Terhadap Manusia
Mahjuddin. 2003. Masailul Fiqhiyah. Jakarta: Kalam
Mulia
Munawir, Ahmad W.1993. Kamus al-Munawir. Surabaya: CV. Anda
Utama
Musbikin, Imam. 2001. Qawa’id al-Fiqhiyah. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada
Pearce, Evelyn C. 2005 Anatomi Dan Fisiologi, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1995 tentang
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Rivers RL. 1978. Embalming Artifacts. J. Forensic Sci
Shiha, M. Quraish. 1999. Fatwa-Fatwa Seputar Ibadah dan
Muamalah. Bandung: Mizan
Shkrum MJ, dkk. 2007. Fornesic Pathology of Trauma Common
Problems for the Pathologist. USA: Humana Press
http://www.champion-newera.com/CHAMP.PDFS/encyclo649.pdf Akses tgl 18 April 2018 pkl: 13:06
http://www.wikipedia.org/anatomi.m=1 Akses tgl 18 April 2018 pkl: 11:56
http://www.wikipedia.org/embalming.m=1 Akses tgl 18 April 2018 pkl 11:44
https://iiq.ac.id/index.php?a=artikel&d=2&id=94 Akses tgl 18 April 2018 pkl:19.03
https://news.okezone.com/read/2016/03/22/340/1342604/tiga-wilayah-di-indonesia-yang-mengenal-tradisi-mumi?page=2 Akses tgl 18 April 2018 pkl 9:41
https://tirto.id/ragam-tradisi-mengawetkan-jenazah-co15 Akses tgl 18 April 2018 pkl : 16:11
pengetahuanumum.weebly.com/klik-disini/pengawetan-jenazah-m-u-m-i Akses tgl 18 April 2018 pkl 9:35
tatacarabalming.blogspot.co.id/2004/10/pengawetan-jenazah.html?m=1 Akses tgl 18 April 2018 pkl 9:31
www.mukisi.com/artikel/item/271-hukum-penggunaan-jenazah-untuk-kepentingan-penelitian
Akses tgl 18 April 2018 pkl
9:53
[1]
Lihat tatacarabalming.blogspot.co.id/2004/10/pengawetan-jenazah.html?m=1
Akses tgl 18 April 2018 pkl 9:31
[2]
Lihat pengetahuanumum.weebly.com/klik-disini/pengawetan-jenazah-m-u-m-i
Akses tgl 18 April 2018 pkl 9:35
[3]
Lihat https://news.okezone.com/read/2016/03/22/340/1342604/tiga-wilayah-di-indonesia-yang-mengenal-tradisi-mumi?page=2
Akses tgl 18 April 2018 pkl 9:41
[4]
Lihat www.mukisi.com/artikel/item/271-hukum-penggunaan-jenazah-untuk-kepentingan-penelitian
Akses tgl 18 April 2018 pkl 9:53
[5]
Lihat M.Ali Hasan. Masail Fiqhiyah al Haditsah:Masalah-Masalah Kontemporer
Hukum Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), 1997, hlm 135-136
[6]
Tujuan mengawetkan jenazah dengan pembalsaman dalam peradaban Mesir kuno adalah
untuk menjaga agar arwah raja dapat menjadi tenang jika tubuhnya masih tetap
utuh. Kepercayaan ini juga meyakini bahwa jika orang yang telah mati suatu hari
akan kembali pada jasadnya. https://tirto.id/ragam-tradisi-mengawetkan-jenazah-co15
Akses tgl 18 April 2018 pkl : 16:11
[7]
Lihat https://tirto.id/ragam-tradisi-mengawetkan-jenazah-co15 Akses tgl
18 April 2018 pkl : 16:11
[8]
Lihat Ibid
[9] Ibid
[10]
Dekomposisi atau pembusukan adalah suatu keadaan dimana bahan-bahan organik
tubuh mengalami penghancuran yang disebabkan oleh proses autolisis
(penghancuran jaringan) maupun karena aktivitas bekteri. Dekomposisi tubuh
manusia mulai terjadi sekitar empat menit setelah kematian. Lihat Shkrum MJ, Ramsay DA. Fornesic
Pathology of Trauma Common Problems for the Pathologist. USA: Humana Press,
2007 hlm: 40-53
[11]
Lihat Rivers RL. Embalming Artifacts. J. Forensic Sci, 1978 hlm: 23
[12]
Lihat http://www.wikipedia.org/embalming.m=1 Akses tgl 18 April 2018 pkl
11:44
[13]
Anatomi adalah cabang dari ilmu biologi yang berhubungan dengan struktur dan
organisasi makhluk hidup. Lihat http://www.wikipedia.org/anatomi.m=1
Akses tgl 18 April 2018 pkl: 11:56
[14]
Lihat Ibid
[15]
Lihat http://www.champion-newera.com/CHAMP.PDFS/encyclo649.pdf Akses tgl
18 April 2018 pkl: 13:06
[16]
Lihat Ibid
[17]
Lihat Ahmad W. Munawir. Kamus al-Munawir. (Surabaya: CV. Anda
Utama,1993), hlm 214
[18] Lihat Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Sabilal Muhtadin,
(Surabaya : PT. Bina Ilmu,2005), Cet. Ke-4, hlm. 691.
[19]
Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia. https://www.google.co.id/amp/s/kbbi.web.id/jenazah.html Akses
tgl 18 April 2018 pkl: 13:36
[20] Lihat Abu Abdillah Muhammad Ibnu Ismail al-Bukhari, Saḥiḥ
al-Bukhari, (Beirut, Lebanon :Darul Kutub al-Ilmiyah,1992), hlm. 88
[21]
Lihat Ibid. hlm 400
[22] Lihat Abu Daud Sulaiman Ibnu Asy’as Sajastani, Sunan Abu Daud,
(Bairut-Lebanon : Darul Fakih, 1994), hlm.40
[23] Lihat Evelyn C. Pearce, Anatomi Dan Fisiologi, (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 1
[24] Lihat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1333
/ MENKES / SK / X /2002 Tentang Persetujuan Penelitian Kesehatan Terhadap
Manusia.
[25]
Lihat Ibid
[26]
Lihat Ibid.
[27] Lihat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun
1995 tentang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
[28] Fatwa
MUI tentang Penggunaan Jenazah untuk Kepentingan Penelitian Nomor 12 Tahun 2007
[29]
Lihat Fatwa Majlis Majma’ Fikih Islami tentang bedah mayat
[30]
Lihat https://iiq.ac.id/index.php?a=artikel&d=2&id=94 Akses tgl
18 April 2018 pkl:19.03
[31]
Lihat Mahjuddin. Masailul Fiqhiyah. (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), hlm
110
[32]
Lihat Ibid, hlm 111
[33]
Lihat Ibid
[34]
Lihat Ibid
[35]
Lihat M. Quraish Shihab. Fatwa-Fatwa Seputar Ibadah dan Muamalah.
(Bandung: Mizan, 1999) hlm 327
[36]
Lihat Imam Musbikin. Qawa’id al-Fiqhiyah. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001)
hlm. 79
No comments:
Post a Comment