Sunday, June 3, 2018

PENGAWETAN DAN PENGGUNAAN JENAZAH UNTUK KEPENTINGAN PENELITIAN

PENGAWETAN DAN PENGGUNAAN JENAZAH
UNTUK KEPENTINGAN PENELITIAN

 Revisi Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas UAS mata kuliah
“Fiqh Kontemporer”


Dosen Pengampu :
Dr. Tutik Hamidah M.Ag



Pemakalah :
Astrifidha Rahma Amalia (16771014)



PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Mei 2018


KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayah Nya sehingga pada kesempatan ini penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah yang berjudul “Pengawetan dan Penggunaan Jenazah untuk Kepentingan Penelitian” ini penulis susun dengan sebaik mungkin sehingga diharapkan dapat memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Kontemporer.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis tidak luput dari berbagai kelemahan dan keterbatasan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan bimbingan dan saran-saran yang membangun dari para pembaca sekalian agar makalah ini dapat dibuat lebih baik lagi. Namun walaupun demikian, mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan kita informasi atau menyegarkan ingatan kita mengenai hukum penggunaan dan pengawetan jenazah untuk kepentingan penelitian.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat menambah khazanah keilmuan di bidang ilmu Fiqh Kontemporer dan juga semoga dapat memberikan kita sebuah motivasi untuk mengkaji pengawetan dan penggunaan jenazah untuk kepentingan penelitian. Aamiin.

                                                                        Penulis,




                                                                        Astrifidha Rahma Amalia
                                                                        NIM. 16771014





DAFTAR ISI
Kata Pengantar……………………………………………………..
ii
Daftar Isi ……………………………………………………………
iii


BAB I………………………………………………………………..
1
A.    Pendahuluan…………………………………………………………
1
1.      Latar Belakang…………………………………………………..
1
2.      Rumusan Masalah……………………………………………….
3


BAB II.………………………………………………………………..
4
B.     Pembahasan………………………………………………………….
4
1.      Deskripsi Masalah……………………………………………….
4
2.      Pendapat dan Hujjah Ulama……………………………………
11
3.      Analisis Pendapat Ulama……………………………………….
19
4.      Pendapat yang dipilih dan Hujjah yang digunakan………….
21


BAB III.……………………………………………………………..
23
C.    Penutup………………………………………………………………
23
1.      Kesimpulan………………………………………………………
23
Daftar Pustaka……………………………………………………….
24












BAB I
PENDAHULUAN
A.      Pendahuluan
1.      Latar Belakang
Agama Islam merupakan agama yang telah mengatur manusia dari kehidupan hingga kematian bahkan kehidupan setelah mati. Sumber hukum utama yang mengatur manusia tersebut adalah Al Qur’an dan Hadits. Dengan menggunakan 2 sumber tersebut muncul sebuah ilmu yang disebut dengan ilmu Fiqh. Ilmu Fiqh mencakup berbagai persoalan seperti ibadah, munakahah, muamalah, jinayah, jenazah, dan masih banyak lagi yang lain.
Bagi seseorang yang mengaku dirinya sebagai muslim, tanggung jawab mereka adalah menjalankan ajaran Islam dengan baik. Ajaran Islam mencakup hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan sesamanya. Salah satu contoh ajaran Islam yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya adalah tentang perawatan jenazah. Merawat jenazah sesama muslim dari memandikan, mensholatkan, mengkafani dan menguburkan hukumnya fardhu kifayah. Jika tidak ada satu muslim pun yang menunaikan kewajiban tersebut maka berdosalah seluruh muslim di dunia. Kemudian muncul sebuah kasus yang tergolong dalam kasus kontemporer yakni pengawetan jenazah.
Kasus pengawetan jenazah telah banyak dilakukan di beberapa negara di dunia. Pada priinsipnya pengawetan jenazah adalah suatu tindakan medis melakukan pemberian bahan kimia tertentu pada jenazah untuk menghambat pembusukan serta menjaga penampilan luar jenazah supaya tetap mirip denngan kondisi sewaktu hidup[1].
Menurut sejarahnya, tradisi mengawetkan orang yang sudah meninggal itu sudah dilakukan oleh bangsa Mesir kuno sejak 3000 tahun sebelum Masehi atau sering dikenal dengan sebutan mumi[2]. Namun selain di Mesir, tradisi pengawetan jenazah juga ternyata dikenal di Indonesia. Tradisi tersebut dilakukan oleh suku Toraja Sulawesi Selatan, Mumi Kaki More di Nusa Tenggara Timur, serta Mumi suku Dani dan Moni di Papua[3].
Pengawetan jenazah juga telah dilakukan untuk kepentingan penelitian. Data dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) tertera bahwa per 2016 tersebar 75 Fakultas Kedokteran se-Indonesia. jumlah ini terrdiri atas persebaran FK universitas swasta sebanyak 42 dan universitas negeri berjumlah 33. Bertambanhnya jumlah fakultas kedokteran di Indonesia ini tentu menambah jumlah mahasiswa FK, yang nantinya berimbas pada pemenuhan media pembelajaran. Salah satu media pembelajaran penting yaitu anatomi tubuh, yang dilalui dengan proses pembelajaran bedah mayat. Kondisi ini, membuka pintu permintaan mayat di universitas dalam rangka pembelajaran sekaligus penelitian[4].
Penggunaan jenazah sebagai objek penelitian adalah hal yang lazim di dunia medis karena dianggap sebagai pintu menghasilkan penelitian dan penemuan terbaru yang bermanfaat untuk masyarakat banyak. Selain itu, melalui pembedahan mayat, hasil yang dicapai dapat lebih akurat dan detail. Untuk kepentingan ilmu pengetahuan lebih tepat dan lebih baik bila langsung dipraktekkan kepada tubuh manusia, tidak kepada hewan karena dalam banyak hal tidak sama antara tubuh manusia dengan tubuh hewan tersebut[5]. Dengan kondisi yang demikian, kerap kali memunculkan pertanyaan besar di kalangan masyarakat, terlebih kaum muslimin tentang bagaiamana hukum mengawetkan jenazah untuk kepentingan penelitian.
Berangkat dari problematika tersebut, pegawetan dan penggunaan jenazah untuk kepentingan penelitian menimbulkan beberapa reaksi dari ulama-ulama untuk menentukan hukumnya. Ada ulama yang memperbolehkan dan ada juga yang melarang. Oleh karena itu, dengan melihat latar belakang di atas, penulis ingin mengkaji lebih mendalam dan menyikapi bagaimana hukum pengawetan dan penggunaan jenazah untuk kepentingan penelitian.

2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang belakang di atas, maka rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana deskripsi tentang pengawetan jenazah?
2.      Bagaimana pendapat ulama dan hujjahnya tentang pengawetan dan penggunaan jenazah untuk kepentingan penelitian?
3.      Bagaimana analisis pendapat ulama tentang pengawetan dan penggunaan jenazah untuk kepentingan penelitian?
4.      Pendapat ulama dan hujjah mana yang dipilih dan digunakan?


BAB II
PEMBAHASAN
B.       Pembahasan
1.      Deskripsi Masalah
a.      Sejarah Pengawetan Jenazah
Menurut sejarahnya, pengawetan mayat sudah dilakukan sejak 3000 tahun SM oleh bangsa Mesir kuno[6]. Ada yang percaya bahwa selama tubuh tetpa utuh dan gtidak membusuk meskipun sudah tak bernyawa, ia akan tetap dianggap hidup dan mampu berhubungan dengan orang-orang sekitar. Alasan ini juga yang melatarbelakangi masyarakat di berbagai belahan dunia melakukan pengawetan mayat. Sebuah tradisi yang ditemukan di banyak tempat di dunia[7].
Korea Utara telah mempraktikkan tradisi mengawetkan pemimpin negara. Di Kumsusan Memorial Palace, Pyeongyang, jasad Kim Jong Il beserta ayahnya dipajang disana. Tradisi ini mengikuti Uni Soviet yang juga membalsem jenazah Vladimir Lenin. Tidak mengherankan, selain keduanya secara resmi menganut ideologi komunisme, Uni Soviet adalah bekas negara sponsor Korea Utara semasa perang dingin di era 1980-an[8].
Di Indonesia, peletakkan tubuh jenazah yang diawetkan di tebing-tebing juga dilakukan oleh masyarakat Toraja. Pihak keluarga yang akan menjaga dan merawat jenazah. Jika tidak dilakukan dengan baik, mereka percaya di keluarga mereka akan ditimpa kesulitan. Sementara itu, di Jepangjuga terdapat prosesi mengawetkan jenazah yang dilakukan oleh para biarawan yang disebut sebagai tradisi Sokushinbutsu[9].

b.      Pengawetan Jenazah
Pengawetan jenazah sering dikenal dengan istilah embalming yaitu suatu proses dimana dilakukan pemberian bermacam-macam bahan kimia tertentu pada interior dan eksterior jaringan orang mati untuk menghambat dekomposisi[10] jaringan dan membuat serta menjaganya tetap mirip dengan kondisi sewaktu hidup sesuai dengan waktu yang diperlukan[11] dengan kata lain embalming adalah proses kimiawi yang melindungi jasad atau tubuh secara sementara.
Pengawetan jenazah yang dilakukan untuk pendidikan kedokteran sedikit berbeda dengan pengawetan jenazah untuk keperluan lain. Prioritas pertama adalah untuk pelestarian jangka panjang bukan untuk presentasi atau tampilan. Pengawetan medis menggunakan cairan yang mengandung formaldehid pengawetan denga konsentrasi 37-40% (yang dikenal sebagai formalin) atau gluteraldehyde serta fenol dan dibuat  tanpa pewarna dan parfum. Banyak perusahaan kimia pengawetan membuat cairan khusus pengawetan anatomi[12].
Pengawetan untuk pendidikan anatomi[13] dilakukan ke dalam sistem peredaran tertutup. Cairan biasanya disuntikkan dengan mesin pengawetan ke arteri di bawah tekanan tinggi untuk menjenuhkan jaringan. Setelah jenazah dibiarkan beberapa jam, sistem vena umumnya dibuka dan cairan diperbolehkan untuk mengalir keluar, meskipun pengawetan untuk anatomi ini banyak yang tidak menggunakan teknik drainase[14].
Bahan yang digunakan untuk mengawetkan jenazah adalah senyawa kimia formaldehida yang merupakan aldehida berbentuk gas dengan rumus kimia H2CO. Formaldehida dihasilkan dari pembakaran bahan yang mengandung karbon. Formaldehida dalam kadar kecil sekali juga dihasilkan sebagai metabolit kebanyakan organisme termasuk manusia[15].
Formaldehida dapat digunakan untuk membasmi sebagian besar bakteri, sehingga sering digunakan untuk desinfektan dan juga sebagai bahan pengawet. Sebagai desinfektan, formaldehida dikenal juga dengan nama formalin dan dimanfaatkan sebagai pembersih lantai, pembersih kapal, gudang, dan pakaian. Dalam bidang medis, larutan formaldehida dipakai untuk mengerinkan kulit, misalnya mengangkat kutil. Larutan formaldehida sering dipakai dalam embalming untuk mematikan bakteri serta untuk mengawetkan mayat. Formaldehida diabsorbsi di jaringan dengan baik, tetapi relatif lambat. Formalin adalah pengawet yang banyak digunakan dan tidak ada jaringan yang dirusaknya. Bau formalin yang menusuk hidung memnbuat formalin sangat dikenal oleh banyak pihak, sehingga cukup berhati-hati dalam menggunakannnya[16].

c.       Jenazah
Dalam kamus al-Munawir, kata jenazah ditulis dengan الجَنَازَةُ (fathatul jim) yang berarti usungan mayat atau kereta jenazah dan اجِنَازَةُ  (kasratul jim) yang berarti mayat atau jenazah[17].
Adapun menurut Syaikh al-Banjari, jenazah adalah nama bagi mayat yang ada dalam tanduan, sebagian lagi mengatakan nama bagi tanduan yang didalamnya ada mayat dan kalau tidak ada mayat maka tidak dinamakan jenazah tetapi hanya tanduan[18]. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata jenazah diartikan sebagai badan atau tubuh orang yang sudah mati[19].
Dasar hukum tentang seputar orang-orang yang mati (jenazah), sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S Al Mursalat (77): 25-26 dan Q.S ‘Abasa (80): 18-21.
اَلَمْ نَجْعَلِ الْاَرْضَ كِفَاتًا ٢٥  اَحْيَاءً وَّاَمْوَاتًاۙ ٢٦
“Bukankah Kami menjadikan bumi (tempat) berkumpul (25) Orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati”. Q.S Al Mursalat (77): 25-26

مِنْ اَيِّ شَيْءٍ خَلَقَهٗ ١٨مِنْ نُّطْفَةٍ ۗ خَلَقَهٗ فَقَدَّرَهٗ ١٩ثُمَّ السَّبِيْلَ يَسَّرَهٗ ٢٠ثُمَّ أَمَاتَهٗ فَأَقْبَرَهٗ ٢١
“Dari apakah Allah menciptakannya (18), dari setetes mani, Allah menciptakannya lalu menentukannya (19), kemudian dia memudahkan jalannya (20), kemudian dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur (21)”. Q.S ‘Abasa (80): 18-21
Hadis tentang seorang muslim dengan muslim lainnya, Nabi Muhammad SAW bersabda:
عن البراءِ رضي الله عنه قَال : امرنَا النَّبيُّ صلى الله عليه وسلَّمَ بِسَبْعِ ونَهَانَا عنْ سبعِ: امرنَا بِاتِّباعِ الْجنَازَةِ و عيادةِ الْمريض و إجَابَةِ الدَّعى ونصر الْمَظلوْمِ و إبْرَارالْقسمِ وردِّ السّلامِ و تشْميْتِ العَاطِسَ وَنَهَانَا عَنْ انِيَّةِ الفَضَّةِ و خَاتمِ الدّهَبِ والحريْرِ و الدِّيْبَاجِ و الْقُسِّئ و الاِستَبْرَقَ (رواه البخارى)
“Diriwayatkan dari al-Barra r.a,: Nabi Muhammad SAW memerintahkan kami mengiringkan jenazah ke kubur, menjenguk orang sakit, mendatangi undangan, menolong orang yang di dzolimi, melaksanakan sumpah, menjawab salam, mendoakan orang yang bersin. Rasulullah SAW melarang kami menggunakan bejana perak, bercincin emas (bagi laki-laki), berbusana sutera, bergaun dibaj (sutera murni), menggunakan kain qassi (sejenis sutera), dan menggunakan kain istabraq (sejenis sutera)”. (H.R. al Bukhari)[20].

d.      Dalil yang Berhubungan dengan Pengawetan Jenazah
Adapun berkaitan dengan problematika pengawetan jenazah yang digunakan untuk keperluan penelitian, maka kita juga harus memperhatikan hadits Nabi SAW tentang disegerakan penguburan jenazah yaitu:

عَنْ أبي هُريرة رضي الله عنهُ, عنِ النَّبِي صلّى الله عليْهِ وسلّمَ قَالَ : أسرعوا بِاالجَنازَةِ, فَإنْ تَكُ صألحة فخيرٌ تقَدّموْنَهَا إليْه , و إنْ تكُ سِوى ذَلِك فشرُّ تضعونهُ عنْ رقابكُم (رواه الْبخارى)
“Dari Abu Hurairah r.a, dia menyampaikan sabda Rasulullah SAW: Bersegeralah (berjalan cepatlah) dalam membawa jenazah, jika jenazah itu orang soleh, maka kebaikanlah yang kalian berikan, jika jenazah itu bukan orang soleh, maka keburukanlah yang kalian letakkan di pundak kalian”. (H.R. Al Bukhari)[21].
Dasar hukum tentang dilarang merusak-rusak atau merobek-robek tubuh jenazah adalah hadits berikut:

عَنْ عَاءشَة قَالَت :قَال رسُول اللهِ كَسْرُ عَظمِ الْميْتِ كَكسْر حيَا (رواه أبو داود)
“Dari ‘Aisyah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda memecahkan (merusak) tulang orang yang mati sebagaimana perbuatan merusak tulang seseorang yang masih hidup”. (H.R Abu Daud)[22].
Hadis tersebut menjadi dalil tentang haramnya memathkan tulang mayat yang mukmin serta diharamkan memotong sesuatu bagian dari tubuh mayat, merusak badannya, dan membakarnya.

e.       Penggunaan Jenazah untuk Kepentingan Penelitian
Penggunaan jenazah untuk kepentingan penelitian sudah menjadi hal biasa di dunia kedokteran, dikarenakan selama ini belum ditemukan objek selain tubuh manusia sebagai objek praktik. Oleh karena itu, pentingnya anatomi dalam ilmu kedokteran, maka tubuh manusia secara mutlak dibutuhkan. Kalaupun ada alat yang menyerupai tubuh manusia, belum bisa mencakupi keseluruhan kebutuhan ilmu kedokteran dalam anatomi.
Dalam dunia kedokteran sangat penting adanya pengawetan jenazah sebagai penelitian untuk menddalami ilmu anatomi. Ilmu anatomi adalah ilmu urai yang mempelajari susunan tubuh dan hubungan bagian-bagiannya satu sama lain[23], karena jaringan-jaringan sel di dalam tubuh manusia berbeda dengan hewan, maka dari itu sangat perlu melakukan penelitian terhdaop manusia. Tentu penelitian tidak akan dilakukan pada yang masih hidup melainkan manusia yang sudah mati (mayat) yang telah diawetkan untuk memudahkan penelitian. Dengan alasan yang demikian, maka jenazah perlu diawetkan untuk menjaga kesempurnaan fisik jenzah tersebut dari kebusukan dan kerusakan.
Penggunaan jenazah untuk kepentingan penelitian telah diatur pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1333/ MENKES/ SK/ X/ 2002 tentang persetujuan penelitian kesehatan terhadap manusia yang terdapat pada pasal 2, pasal 3, dan pasal 4 yang berbunyi:
Pasal 2 yaitu:
(1) Setiap penelitian dan pengembangan kesehatan yang menggunakan jenazah sebagai objek penelitian harus mendapat persetujuan (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat diberikan secara tertulis maupun lisan (3) Persetujuan lisan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 harus diketahui dan ditandatangani oleh saksi (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diberikan setelah mendapat informasi yang kuat tentang maksud dan tujuan penelitian serta kemungkinan resiko yang timbul dari penelitian[24].
Pasal 3 yaitu:
(1) Persetujuan harus diberikan dalam keadaan sadar dan sehat mental (2) Terhadap objek penelitian dan pengembangan kesehatan yang belum dewasa atau tidak mempunyai orang tua/ wali berhalangan, persetujuan dapat diberikan oleh keluarga terdekat atau induk semang (guardian) (3) Bagi objek penelitian dan pengembangan kesehatan yang sudah dewasa yang menderita gangguan mental, persetujuan diberikan oleh orang tua/ wali kuratornya[25].
Pasal 4 yaitu:
(1) Penelitian terhadap manusia yang mengandung resiko tinggi dan dapat menimbulkan kecacatan atau kematian, harus memperoleh persetujuan tertulis dan ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan (2) Penelitian yang tidak termasuk kategori sebagaimana dimaksud pada ayat 1, persetujuan dapat diberikan secara lisan (3) dalam hal objek penelitian berupa jenazah, persetujuan penelitian dapat diberikan oleh ahli waris atau keluarganya[26].
Penggunaan jenazah untuk kepentingan penelitian juga dihubungkan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan  Kesehatan pasal 8 yang berbunyi:
(1) Penelitian dan pengembangan kesehatan terhadap manusia hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan tertulis dari manusia yang bersangkutan (2) Persetujuan tertulis dapat pula dilakukan oleh orang tua atau ahli warisnya apabila manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat 1: a) tidak mampu melakukan tindakan hukum, b) karena keadaan kesehatan atau jasmaninya sama sekali tidak memungkinkan dapat menyetakan persetujuan secara tertulis, c) telah meninggal dunia, dalam hal jasadnya akan digunakan sebgai objek penelitian dan pengembangan kesehatan (3) Persetujuan tertulis bagi penelitian dan pengembangan kesehatan terhadap keluarga diberikan oleh kepala keluarga yang bersangkutan dan terhadap masyarakat dalam wilayah tertentu oleh Bupati/ Walikota Kepala Daerah yang bersangkutan (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mendapatkan persetujuan tertulis diatur oleh Menteri[27].
Upaya keputusan peraturan-peratuaran tersebut, guna tidak terjadi penyalahgunaan terhadap jenazah. Dengan diberikan ketentuan-ketentuan berupa izin yang ketat agar kehormatan serta hak-hak jenazah tetap terjaga.

2.      Pendapat dan Hujjah Ulama
a.      Pendapat MUI (Majelis Ulama Indonesia)
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Rapat Komisi Fatwa pada 22 Dzul Qaidah 1428 H/ 3 Desember 2007 M setelah:
Menimbang:
1)      Bahwa penggunaan jenazah untuk kepentingan penelitian lazim dilakukan di dunia medis karena dianggap dapat memperoleh hasil yang lebih akurat;
2)      Bahwa di masyarakat muncul pertanyaan seputar hukum penggunaan jenazah untuk kepentingan penelitian;
3)      Bahwa oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa tentang penggunaan jenazah untuk kepentingan penelitian guna dijadikan pedoman.


Mengingat:
1)      Firman Allah SWT
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا ؑ٧٠
“Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.” Q.S Al Isra (17): 70
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu…” Q.S Al Baqarah (2): 29
فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلْفَكَ آيَةً وَإِنَّ كَثِيراً مِّنَ النَّاسِ عَنْ آيَاتِنَا لَغَافِلُونَ
“Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami”. Q.S Yunus (10): 92.

اَلَمْ نَجْعَلِ الْاَرْضَ كِفَاتًا ٢٥  اَحْيَاءً وَّاَمْوَاتًاۙ ٢٦
“Bukankah Kami menjadikan bumi (tempat) berkumpul (25) Orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati”. Q.S Al Mursalat (77): 25-26.
مِنْ اَيِّ شَيْءٍ خَلَقَهٗ ١٨مِنْ نُّطْفَةٍ ۗ خَلَقَهٗ فَقَدَّرَهٗ ١٩ثُمَّ السَّبِيْلَ يَسَّرَهٗ ٢٠ثُمَّ أَمَاتَهٗ فَأَقْبَرَهٗ ٢١
“Dari apakah Allah menciptakannya (18), dari setetes mani, Allah menciptakannya lalu menentukannya (19), kemudian dia memudahkan jalannya (20), kemudian dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur (21)”. Q.S ‘Abasa (80): 18-21.
2)      Hadis Rasulallah SAW, antara lain:

فرض علَى اُمَّتِي غُسلُ مَوتاها و الصّلاةُ عليها و دفنُهَا (الحأوي الكبير :ج 3 ص 6)
“Diwajibkan atas umatku untuk memandikan, mensholatkan, dan menguburkan jenazah”. (Kitab al-Hawi al-Kabir, juz 3 hal 6)

إغسلوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ و كَفَّنوهُ في ثوبيهِ (متفق عليه)
“Manidikanlah jenzah dengan air dan daun bidara (sejenis daun yang dapat berbusa seperti sabun), dan kafanilah ia dalam dua pakaiannya.” (Muttafaq ‘alaih)

لاَ تُكَسِّرْها فإنَّ كَسركَ إيّاهُ مَيِّتًا ككسرِك إيَّاهُ حَيّا. (رواه مالك وابن ماجه و ابو داود بسند صحيح)
“Engkau jangan memecahkan (merusak) tulang jenazah, karena merusak tulang seseorang yang telah meninggal sebagaimana perbuatan merusak tulang seseorang yang masih hidup.” (Riwayat Malik, Ibnu Majah, dan Abu Dawud dengan sanad shahih)

كسرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ في الْإثْمِ (رواه ابوا داود و ابن ماجه)
“Memecahkan (merusak) tulang seseorang yang telah meninggal (hukumnya) berdosa sebagaimana perbuatan merusak tulang seseorang yang masih hidup”. (H.R Abu Dawud dan Ibnu Majah)
3)      Qa’idah Sadd al-Dzari’ah
4)      Qa’idah Fiqhiyyah, antara lain:

دَرْءُ الْمَفاسِدِ مُقَدَّمٌ على جَلْبِ الْمَصَالِحِ.
“Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) daripada menarik kemaslahatan”
الضَّرورةُ تُبيْحُ الْمَحْظُرَاتِ
“Kondisi darurat membolehkan hal-hal yang sebelumnya dilarang”.

الضَّرُورةُ تُقَدَّرُ بِقَدْرِهَا
“(Kebolehan melakukan) Darurat itu dihitung seperlunya.”

إذَا تَعَارَضَتْ مَفْسَدَتَانِ أوْ ضَرَرانِ رُوْعِيَ أعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ اخَفِّهِمَا
“Apabila terdapat dua kerusakan atau bahaya yang saling bertentangan, maka kerusakan atau bahaya yang lebih besar dihindari dengan jalan melakukan perbuatan yang resiko bahayanya lebih kecil.”

حُرْمةُ الحَيِّ أعْظَمُ من حرْمَةِ الْمَيّتِ
“Kehormatan seseorang yang hidup lebih agung daripada kehormatan seseorang yang mati.”
5)      Pendapat Syaikh Yusuf ad-Dajwi, mufti Mesir yang menyatakan bahwa hukum menjadikan jenazah sebagai objek penelitian bagi para mahasiswa di fakultas kedokteran adalah mubah, dengan dalil qiyas aulawi dan kaedah darurat; yaitu dianalogikan dengan kebolehan pembedahan terhadap perut jenazah perempuan hamil untuk menyelamatkan janin yang masih hidup yang berada dalam kandungannya.
Memperhatikan :
1)      Fatwa MUI tanggal 5 februari 1988 tentang memusiumkan mayat dan Fatwa MUI tanggal 29 November 2007 tentang pengawetan jenazah untuk kepentingan penelitian
2)      Pendapat, saran, dan masukan yang berkembang dalam Sidang Komisi Fatwa pada Rapat Komisi Fatwa Tanggal 29 November 2007 dan 3 desember 2007.
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT,
Memutuskan:
1)      Pada dasarnya setiap jenazah harus dipenuhi hak-haknya, dihormati keberadannya dan tidak boleh dirusak.
2)      Penggunaan jenazah untuk kepentingan penelitian seperti dengan cara membedah, dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:
a)      Penelitian dimaksud bermanfaat untuk pengembangan keilmuan, mendatangkan kemaslahatan yang lebih besar, yaitu memberikan perlindungan jiwa (hifdz al-nafs), bukan hanya untuk kepentingan praktik semata, sementara media penelitian hanya bisa dilakukan dengan media manusia;
b)      Sebelum digunakan untuk objek penelitian tersebut di atas, hak-hak jenazah harus dipenuhi, seperti dimandikan, dikafani, dan disholatkan;
c)      Jenazah yang digunakan untuk penelitian harus dilakukan seperlunya, selanjutnya jika penelitiannya sudah selesai harus segera dikuburkan sesuai dengan ketentuan syari’at.
d)     Jenazah yang akan dijadikan objek penelitian harus memperoleh izin dari dirinya sewaktu hidup melalui wasiat, izin ahli waris, dan/ atau izin Pemerintah[28].

b.      Pendapat Majlis di Majma’ Fikih Islami
Majlis di Majma’ Fikih Islami di bawah Rabithah al-Alam al-Islami (Liga Muslim Dunia) dalam muktamarnya kesepuluh yang diadakan di Makkah Mukarramah dalam waktu dari hari Sabtu, 24 Shafar 1408 H atau 17 Oktober 1987 M sampai ari Rabu, 28 Shafar 1408 H atau 21 Oktober 1987 M telah meneliti permasalahan pembedahan mayat dan setelah diskusi dan tukar pendapat memutuskan ketetapan sebagai berikut:
Berdasarkan dharurat yang dibutuhkan dalam pembedahan mayat dan pembedahan ini menjadi maslahat yang mengalahkan mafsadat pelanggaran kemuliaan mayat manusia.
Majlis Majma’ Fikih Islami dibawah lembaga Rabithah al-Alam al-Islami (Liga Muslim Dunia) menetapkan sebagai berikut:
Pertama, boleh membedah mayat untuk satu diantara tujuan berikut:
1)      Otopsi (penelitian) dalam tuduhan pembunuhan (kriminal) dnegan mengetahui sebab kematian atau kriminal terjadi. Hal itu jika hakim (al-Qadhi) tidak bisa menetapkan secara pasti kematian, dan nampak jelas pembedahan terhadap mayit adalah cara untuk mengetahui sebab-sebab tersebut.
2)      Penelitian penyakit yang menuntut adanya pembedahan untuk dijadikan sebagai bahan terapi pencegahan dan terapi pengobatan yang tepat sesuai dengan penyakit tersebut.
3)      Pendidikan medis dan pembelajarannya sebagaimana terdapat dalam kuliah kedokteran.
Kedua, keputusan tentang pembedahan untuk tujuan pembelajaran harus memperhatikan batasan-batasan berikut:
1)      Apabila jenazah itu dikenal, maka pembedahan boleh dilakukan dengan syarat sudah mendapatkan ijin dari orang tersebut sejak sebelum kematiannya atau mendapatkan ijin dari ahli warisnya sepeninggal orang tersebut. Tidak selayaknya membedah mayat yang jiwanya dilindungi syari’at kecuali dalam keadaan darurat.
2)      Wajib membatasi pembedahan pada batas darurat saja agar tidak mempermainkan tubuh mayat tersebut secara sia-sia
3)      Tubuh mayat wanita tidak boleh dilakukan pembedahan kecuali oleh dokter-dokter wanita kecuali apabila tidak ada.
Ketiga, pada semua keadaan ini, anggota tubuh yang sudah dibedah diwajibkan untuk dikuburkan[29].

c.       Pendapat Ulama-Ulama Lain
Dalam literatur fikih kontemporer, ditemukan dua pendapat yang berbeda. Pertama, pandangan mufti Mesir, Yusuf ad-Dajwi, yang berkesimpulan bahwa praktik demikian itu boleh (jawaz). Kedua, pendapat mufti Mesir yang lain, Muhammad Bukhet al-Mith’I, bahwa bedah jenazah hanya boleh untuk dua keperluan: mengambil harta orang, misalnya permata, yang tersimpan di perut jenazah, dan menyelamatkan janin di perut ibunya yang meninggal. Bila untuk penelitian menurutnya tidak boleh (la yajuz)[30].
Tentang kewajiban membedah mayat untuk menyelamatkan janin yang ada dalam rahim diterangkan oleh Abu Ishaaq Asy Syiraazy dengan mengatakan[31]:
وَ إنْ مَاتتْ إمرأةٌ و في جوْفِها جَنيْنٌ حتّى شُقَّ جوْفُها لانهُ إسْتِبْقاءُ حيٍّ بإتلاَفِ جُزْءٍ من الْميّتِ.
“Dan apabila ada seorang perempuan yang meninggal, padahal dalam perutnya terdapat janin yang masih hidup, maka wajib dibedah perutnya. Karena cara mempertahankan kehidupan (janin itu), ia harus dipisahkan dari mayat.”
Ketentuan hukum Islam tentang pembedahan mayat yang dalam perutnya terdapay benda berharga, diterangkan oleh Abu Ishaaq Asy Syiraazy juga dengan mengatakan[32]:
وإنْ بلع الْمَيِّتُ جوهرةً لغيرهِ و مَاتَ و طالبَ صا حبُها شقَّ جوفُها وردّتِ الجوهرةُ و إنْ كانتِ الجوهرةُ لهُ ففيهِ وجهانِ أحدهما يُشَقُّ لِانَّها صارتْ لِلْورثةِ فهي كجوهرةِ الْأجنبِيِّ و الثَّاني لا يجِبُ لانّهُ إسْتهْلكها حَيَاتهِ فلم يتعلّقْ بِها حَقُّ الْورثَةِ
“Dan apabila si mayat telah menelan batu permata orang lain (yang menyebabkan kematiannya), lalu pemilik (barang itu) menuntut agar dikembalikan, maka wajib membedah perutnya. Lalu dikembalikan batu permata itu. Dan apabila batu permata itu miliknya sendiri, maka terjadi dua macam ketetapan hukum. Pertama, diwajibkan membedahnya, karena barang itu menjadi milik pewarisnya. Maka disamakan keduanya dengan batu permata orang lain. Kedua, tidak wajib karena barang itu dianggap sudah hancur (habis) di masa hidupnya, maka tidak ada hubungannya dengan hak milik pewarisnya.”
Pandangan keduanya merupakan hasil takhrij atas kajian pada ulama klasik. Berupa bahasan tentang hukum bedah mayat pada dua kasus: mengambil permata yang tersimpan di perut jenazah dan menyelamatkan janin. Dalam kasus mengambil harta dalam perut jenazah, ahli fikih madzhab Hanafi berpendapat boleh bila almarhum atau almarhummah tidak meninggalkan harta yang dapat dijadikan ganti. Sebab hak manusia harus didahulukan[33].
Dalam madzhab Syafi’i, menurut pendapat masyhur, hal itu dapat dilakukan secara mutlak. Begitu pula dengan pendapat Imam Sahnun al-Maliki. Sedangkan Imam Ahmad bin  Hambal tidak membenarkan. Dalam kasus mengambil jenazah, ahli fikih madzhab Hanafi dan Syafi’i berpendapat mubah. Sedangkan madzhab Maliki dan Hambali melarangnya[34].
Ada juga pendapat Quraish Shihab yang mengatakan bahwa badan manusia adalah wadah dari ruhnya. Ia berasal dari tanah dan dikembalikan ke tanah. Namun demikian badan tersebut harus tetap dihormati baik ia Muslim maupun non Muslim dalam keadaan hidup ataupun mati.s Anggota badan manusia adalah milik Allah, bukan milik selainNya, termasuk bukan milik yang bersangkutan atau keluarganya, apalagi milik orang lain. Karena ia bukan milik siapapun dari manusia, maka Islam melarang memperjualbelikan manusia atau anggota tubuhnya, baik yang telah mati, diawetkan atau tidak –lebih-lebih yang masih hidup. Memperjualbelikan mayat termasuk juga mayat yang telah diawetkan tidak dibenarkan dalam segi syariat[35].


3.      Analisis Pendapat Ulama
Dari beberapa pendapat dan hujjah ulama-ulama di atas, sebenarnya hukum pengawetan jenazah adalah haram/ tidak diperbolehkan karena menurut hadist Nabi, manusia yang telah meninggal harus segera dikuburkan. Pengawetan jenazah ini bertentangan dengan hadist Nabi SAW yaitu:
عَنْ أبي هُريرة رضي الله عنهُ, عنِ النَّبِي صلّى الله عليْهِ وسلّمَ قَالَ : أسرعوا بِاالجَنازَةِ, فَإنْ تَكُ صألحة فخيرٌ تقَدّموْنَهَا إليْه , و إنْ تكُ سِوى ذَلِك فشرُّ تضعونهُ عنْ رقابكُم (رواه الْبخارى)
“Dari Abu Hurairah r.a, dia menyampaikan sabda Rasulullah SAW: Bersegeralah (berjalan cepatlah) dalam membawa jenazah, jika jenazah itu orang soleh, maka kebaikanlah yang kalian berikan, jika jenazah itu bukan orang soleh, maka keburukanlah yang kalian letakkan di pundak kalian”. (H.R. Al Bukhari).
Namun para fuqaha berpendapat bahwa untuk keperluan ilmu pengetahuan kedokteran termasuk dalam golongan hajat. Ilmu pengetahuan haruslah berkembang diantara golongan orang-orang Muslim. Jika orang-orang kafir yang melakukannya, maka kaum Muslim akan semakin tertinggal. Ilmu pengetahuan masuk dalam golongan hajat (kebutuhan). Dalam kaidah fiqih ada yang disebut dengan:
الْحاجةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرورةُ عامَّةً كانتْ أوْ خاصَّةً
“Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat, baik hajat umum maupun hajat perorangan”.
Menurut kaidah ini, kebutuhan yang mendesak dapat disamakan dengan keadaan darurat. Apalagi kalau kebutuhan tersebut bersifat umum, niscaya berubah menjadi darurat[36]. Maka pengawetan jenazah untuk kepentingan penlitian yang digolongkan kepada hajat (kebutuhan) termasuk masalah darurat.
Di dalam penetapan keputusan fatwa MUI juga disebutkan bahwa pengawetan jenazah untuk kepetingan penelitian adalah keadaan darurat yang mana para majelis ulama memperbolehkan dipergunakan jenazah sebagai objek penelitian dengan tujuan untuk pengembangan keilmuan dan mendatangkan kemaslahatan yang besar yakni memberikan perlindungan jiwa (hifdz an-nafs).
Kemudian, untuk perbedaan pendapat yang terjadi antara ahli fikih madzhab Hanafi dan Syafi’i yang memperbolehkan dengan ahli fikih madzhab Maliki dan Hambali yang melarang pengawetan jenazah untuk penelitian adalah berpangkal pada pemahaman hadis berikut:
لاَ تُكَسٍّرْها فإنَّ كَسركَ إيّاهُ مَيِّتًا ككسرِك إيَّاهُ حَيّا. (رواه مالك وابن ماجه و ابو داود بسند صحيح)
“Engkau jangan memecahkan (merusak) tulang jenazah, karena merusak tulang seseorang yang telah meninggal sebagaimana perbuatan merusak tulang seseorang yang masih hidup.” (Riwayat Malik, Ibnu Majah, dan Abu Dawud dengan sanad shahih).
Pendapat yang melarang bedah mayat berasal dari pemahaman hadis di atas secara mutlak, dalam kondisi apapun. Sedangkan alasan pendapat yang membolehkan adalah darurat, seperti menyelamatkan janin, mengambil harta benda, ataupun kepentingan penelitian. Namun yang harus digaris bawahi bahwa jenazah yang sudah diteliti diwajibkan untuk segera dikuburkan.

4.      Pendapat yang dipilih dan Hujjah yang digunakan
Penulis dalam hal ini memilih untuk mengikuti Keputusan Fatwa MUI dan Fatwa Majlis di Majma’ Fikih Islami karena kedua fatwa ini sebenarnya hampir sama namun saling melengkapi. MUI  dan Majlis Majma’ Fikih Islami menyatakan bahwa pengawetan jenazah untuk kepentingan penelitian boleh dilakukan (mubah) dengan beberapa syarat yang telah disebutkan dan syarat-syarat tersebut telah sesuai dengan hukum yang diatur di Indonesia bahwasannya jenazah yang akan dijadikan objek penelitian harus memperoleh izin dari dirinya sewaktu hidup melalui wasiat, izin ahli waris, dan/ atau izin Pemerintah yang mana hal tersebut tertera pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1333/ MENKES/ SK/ X/ 2002 tentang persetujuan penelitian kesehatan terhadap manusia pasal 2,3,4 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan  Kesehatan pasal 8.
Isi Keputusan Fatwa MUI tentang pengawetan jenazah untuk kepentingan penelitian hampir sama dengan Fatwa Majlis Majma’ Fikih Islami hanya saja dalam Majma’ Fikih Islami mendapat tambahan bahwa tubuh mayat wanita tidak boleh dilakukan pembedahan kecuali oleh dokter-dokter wanita kecuali apabila tidak ada. Dan juga dalam fatwa MUI disebutkan bahwa sebelum digunakan untuk objek penelitian, hak-hak jenazah harus dipenuhi seperti dimandikan, dikafani, dan disholakan yang dapat dijadikan tambahan dalam keputusan Fatwa Majlis Majma Fikih Islami. Namun intinya keduanya memebolehkan pengawetan jenazah untuk kepentingan penelitian dengan beberapa syarat tertentu termasuk menguburkan jenazah sesuai dengan ketentuan syariat setelah dilakukan penelitian.
Sebagai tambahan bahwasannya jenazah yang tidak jelas identitasnya menjadi boleh untuk digunakan dalam penelitian karena tidak ada ahli waris atau kerabat yang merawatnya, asalkan setelah selesai segera dikuburkan. Dan juga untuk pemilihan jenazah untuk penelitian baik muslim maupun non muslim, penulis disini berpendapat sama saja sebab hak dan kewajiban sebagai manusia adalah sama. Belum lagi jika nanti pengawetan jenazah hanya mengambil dari jenazah non muslim saja maka belum tentu ada jenazah non muslim yang meninggal di kala itu. Karena ada juga suatu riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah saja berdiri menghormati jenazah seorang Yahudi yang lewat di hadapan beliau, bukan untuk menghormati agamanya melainkan menghormatinya sebagai makhluk Allah SWT. Wallahua’lam.




















BAB III
PENUTUP
C.      Penutup
1.      Kesimpulan
a.       Menurut sejarahnya, pengawetan mayat sudah dilakukan sejak 3000 tahun SM oleh bangsa Mesir kuno. Pengawetan jenazah sering dikenal dengan istilah embalming yaitu suatu proses dimana dilakukan pemberian bermacam-macam bahan kimia tertentu pada interior dan eksterior jaringan orang mati untuk menghambat dekomposisi jaringan. Dalam kamus al-Munawir, kata jenazah ditulis dengan الجَنَازَةُ (fathatul jim) yang berarti usungan mayat atau kereta jenazah dan اجِنَازَةُ  (kasratul jim) yang berarti mayat atau jenazah.
b.      Beberapa ulama menetapkan hukum pengawetan jenazah untuk kepentingan penelitian diantaranya Fatwa MUI, Fatwa Majlis Majma’ Fikih Islami, dan beberapa ulama lain yang membolehkan dan melarang.
c.       Adanya perbedaan ulama dalam menghukumi pengawetan jenazah untuk kepentingan penelitian berpangkal pada perbedaan ulama dalam memahami teks hadis dan penggunaan kaidah fiqh.
d.      Penulis dalam hal ini memilih untuk mengikuti Keputusan Fatwa MUI dan Fatwa Majlis di Majma’ Fikih Islami karena kedua fatwa ini sebenarnya hampir sama namun saling melengkapi.










DAFTAR PUSTAKA

Al-Banjari, Syekh Muhammad Arsyad. 2005. Sabilal Muhtadin, Surabaya : PT. Bina Ilmu. Cet. Ke-4

Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad Ibnu Ismail. 1992. Saḥiḥ al-Bukhari, Beirut, Lebanon :Darul Kutub al-Ilmiyah

Asy’as Sajastani, Abu Daud Sulaiman Ibnu. 1994. Sunan Abu Daud, Bairut-Lebanon : Darul Fakih

Fatwa MUI tentang Penggunaan Jenazah untuk Kepentingan Penelitian Nomor 12 Tahun 2007

Fatwa Majlis Majma’ Fikih Islami tentang bedah mayat

Hasan, M.Ali. 1997. Masail Fiqhiyah al Haditsah:Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Kamus Besar Bahasa Indonesia. https://www.google.co.id/amp/s/kbbi.web.id/jenazah.html Akses tgl 18 April 2018 pkl: 13:36

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1333 / MENKES / SK / X /2002 Tentang Persetujuan Penelitian Kesehatan Terhadap Manusia

Mahjuddin. 2003. Masailul Fiqhiyah. Jakarta: Kalam Mulia

Munawir, Ahmad W.1993. Kamus al-Munawir. Surabaya: CV. Anda Utama

Musbikin, Imam. 2001. Qawa’id al-Fiqhiyah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Pearce, Evelyn C. 2005 Anatomi Dan Fisiologi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

Rivers RL. 1978. Embalming Artifacts. J. Forensic Sci

Shiha, M. Quraish. 1999. Fatwa-Fatwa Seputar Ibadah dan Muamalah. Bandung: Mizan

Shkrum MJ, dkk. 2007. Fornesic Pathology of Trauma Common Problems for the Pathologist. USA: Humana Press

http://www.champion-newera.com/CHAMP.PDFS/encyclo649.pdf Akses tgl 18 April 2018 pkl: 13:06

http://www.wikipedia.org/anatomi.m=1 Akses tgl 18 April 2018 pkl: 11:56

http://www.wikipedia.org/embalming.m=1 Akses tgl 18 April 2018 pkl 11:44

https://iiq.ac.id/index.php?a=artikel&d=2&id=94 Akses tgl 18 April 2018 pkl:19.03

https://news.okezone.com/read/2016/03/22/340/1342604/tiga-wilayah-di-indonesia-yang-mengenal-tradisi-mumi?page=2 Akses tgl 18 April 2018 pkl 9:41

https://tirto.id/ragam-tradisi-mengawetkan-jenazah-co15 Akses tgl 18 April 2018 pkl : 16:11

pengetahuanumum.weebly.com/klik-disini/pengawetan-jenazah-m-u-m-i Akses tgl 18 April 2018 pkl 9:35

tatacarabalming.blogspot.co.id/2004/10/pengawetan-jenazah.html?m=1 Akses tgl 18 April 2018 pkl 9:31

www.mukisi.com/artikel/item/271-hukum-penggunaan-jenazah-untuk-kepentingan-penelitian  Akses tgl 18 April 2018 pkl 9:53







[1] Lihat tatacarabalming.blogspot.co.id/2004/10/pengawetan-jenazah.html?m=1 Akses tgl 18 April 2018 pkl 9:31
[2] Lihat pengetahuanumum.weebly.com/klik-disini/pengawetan-jenazah-m-u-m-i Akses tgl 18 April 2018 pkl 9:35
[3] Lihat https://news.okezone.com/read/2016/03/22/340/1342604/tiga-wilayah-di-indonesia-yang-mengenal-tradisi-mumi?page=2 Akses tgl 18 April 2018 pkl 9:41
[4] Lihat www.mukisi.com/artikel/item/271-hukum-penggunaan-jenazah-untuk-kepentingan-penelitian  Akses tgl 18 April 2018 pkl 9:53
[5] Lihat M.Ali Hasan. Masail Fiqhiyah al Haditsah:Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), 1997, hlm 135-136
[6] Tujuan mengawetkan jenazah dengan pembalsaman dalam peradaban Mesir kuno adalah untuk menjaga agar arwah raja dapat menjadi tenang jika tubuhnya masih tetap utuh. Kepercayaan ini juga meyakini bahwa jika orang yang telah mati suatu hari akan kembali pada jasadnya. https://tirto.id/ragam-tradisi-mengawetkan-jenazah-co15 Akses tgl 18 April 2018 pkl : 16:11
[7] Lihat https://tirto.id/ragam-tradisi-mengawetkan-jenazah-co15 Akses tgl 18 April 2018 pkl : 16:11
[8] Lihat Ibid
[9] Ibid
[10] Dekomposisi atau pembusukan adalah suatu keadaan dimana bahan-bahan organik tubuh mengalami penghancuran yang disebabkan oleh proses autolisis (penghancuran jaringan) maupun karena aktivitas bekteri. Dekomposisi tubuh manusia mulai terjadi sekitar empat menit setelah kematian.  Lihat Shkrum MJ, Ramsay DA. Fornesic Pathology of Trauma Common Problems for the Pathologist. USA: Humana Press, 2007 hlm: 40-53
[11] Lihat Rivers RL. Embalming Artifacts. J. Forensic Sci, 1978 hlm: 23
[12] Lihat http://www.wikipedia.org/embalming.m=1 Akses tgl 18 April 2018 pkl 11:44
[13] Anatomi adalah cabang dari ilmu biologi yang berhubungan dengan struktur dan organisasi makhluk hidup. Lihat http://www.wikipedia.org/anatomi.m=1 Akses tgl 18 April 2018 pkl: 11:56
[14] Lihat Ibid
[15] Lihat http://www.champion-newera.com/CHAMP.PDFS/encyclo649.pdf Akses tgl 18 April 2018 pkl: 13:06
[16] Lihat Ibid
[17] Lihat Ahmad W. Munawir. Kamus al-Munawir. (Surabaya: CV. Anda Utama,1993), hlm 214
[18] Lihat Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Sabilal Muhtadin, (Surabaya : PT. Bina Ilmu,2005), Cet. Ke-4, hlm. 691.
[19] Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia. https://www.google.co.id/amp/s/kbbi.web.id/jenazah.html Akses tgl 18 April 2018 pkl: 13:36
[20] Lihat Abu Abdillah Muhammad Ibnu Ismail al-Bukhari, Saḥiḥ al-Bukhari, (Beirut, Lebanon :Darul Kutub al-Ilmiyah,1992), hlm. 88
[21] Lihat Ibid. hlm 400
[22] Lihat Abu Daud Sulaiman Ibnu Asy’as Sajastani, Sunan Abu Daud, (Bairut-Lebanon : Darul Fakih, 1994), hlm.40
[23] Lihat Evelyn C. Pearce, Anatomi Dan Fisiologi, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 1
[24] Lihat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1333 / MENKES / SK / X /2002 Tentang Persetujuan Penelitian Kesehatan Terhadap Manusia.
[25] Lihat Ibid
[26] Lihat Ibid.
[27] Lihat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
[28] Fatwa MUI tentang Penggunaan Jenazah untuk Kepentingan Penelitian Nomor 12 Tahun 2007
[29] Lihat Fatwa Majlis Majma’ Fikih Islami tentang bedah mayat
[30] Lihat https://iiq.ac.id/index.php?a=artikel&d=2&id=94 Akses tgl 18 April 2018 pkl:19.03
[31] Lihat Mahjuddin. Masailul Fiqhiyah. (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), hlm 110
[32] Lihat Ibid, hlm 111
[33] Lihat Ibid
[34] Lihat Ibid
[35] Lihat M. Quraish Shihab. Fatwa-Fatwa Seputar Ibadah dan Muamalah. (Bandung: Mizan, 1999) hlm 327
[36] Lihat Imam Musbikin. Qawa’id al-Fiqhiyah.  (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001) hlm. 79

No comments:

Post a Comment