ISLAM
LIBERAL
(Kajian
Atas Karya Leonard Binder dan Charles Kurzman)
Luluk
Susanti 16771021
Mahasiswa Prodi
Magister Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
A. Pendahuluan
Selama roda zaman masih berputar, pemikiran
manusia tidak akan pernah berhenti, tak terkecuali pemikiran keagamaan,
khususnya Islam. Pemikiran kegamaan Islam akan terus berjalan mengikuti alur
perjalanan zaman. Dan ini merupakan sunnatullah
yang harus dijalani oleh manusia. Oleh karena itu perkembangan pemikiran Islam
tidak dapat dihindarkan meskipun sumber utama Islam adalah teks-teks dari
Tuhan, karena teks-teks tersebut tidak lebih dari deretan huruf dan onggokan
ayat yang tidak mempunyai arti tanpa dibaca dan diinterpretasikan manusia.[1]
Manusia sebagai makhluk yang berperadaban, selalu menuntut dan memunculkan
fenomena fenomena baru yang selalu membawa problem dan membutuhkan pemecahan.
Oleh karena itu pemikiran manusia, termasuk pemikiran keagaman Islam tidak akan
pernah berhenti dan tidak akan pernah sepi di manapun berada.[2]
Istilah Islam Liberal disusun dari
dua buah kata, yaitu Islam dan liberal. Islam maksudnya adalah agama Islam yang
diturunkan oleh Allah kepada Muhammad saw. Dan Liberal yang artinya adalah
kebebasan. Kata Liberal adalah satu istilah asing yang diambil dari kata Liberalism
dalam bahasa Inggris dan liberalisme dalam bahasa perancis yang berarti
kebebasan. Kata ini kembali kepada kata Liberty dalam bahasa Inggrisnya
dan Liberte dalam bahasa prancisnya yang bermakna bebas. Setelah dua
kata ini disusun, kata liberal berfungsi sebagai keterangan terhadap Islam,
sehingga bisa secara singkat bisa dikatakan islam yang liberal atau bebas.
Gerakan Islam liberal, sebagaimana ditulis oleh tokohnya tujuannya adalah untuk
untuk membebaskan (liberating) umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan
kejumudan.
Munculnya Islam liberal tidak lepas dari
masalah-masalah bagaimana Islam menjawab tantangan kehidupan, yang dengan kata
lain tantangan modernisai. Islam liberal dalam menjawab itu mempunyai
asumsi-asumsi penegakan sebagai berikut. Pertama, makna al-Quran harus
mempunyai kontekstualisasi dalam kehidupan. Kedua bahwa syariah itu tidak
lengkap.
Lahirnya pemikiran Islam Liberal di kalangan
pemikir dan intelektual tidak dapat terlepas dari pengaruh dari para pemikir
Barat yang menggagas liberalisasi Islam. Gerakan liberalisasi pemikiran Islam
yang akhir-akhir ini semakin marak, sebenarnya lebih berunsur pengaruh
eksternal daripada perkembangan alami dari dalam tradisi pemikiran Islam.
Pengaruh eksternal itu dengan mudah dapat ditelusur dari trend pemikiran
liberal di Barat dan dalam tradisi keagamaan Kristen. Leornard Binder, diantara
sarjana Barat keturunan Yahudi yang bertanggungjawab mencetuskan pergerakan
Islam liberal dan mengorbitkannnya pada era 80-an, telah memerinci
agenda-agenda penting Islam Liberal dalam bukunya Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies. Dalam buku ini ia menjelaskan premis dan titik tolak
perlunya pergerakan Islam Liberal
didukung dan di sebar luaskan. Selain rational
discourse yang merupakan tonggak utamaya, gerakan ternyata tidak lebih
daripada alat untuk mencapai tujuan politik yaitu menciptakan pemerintahan
liberal. Binder menjelaskan: “ Liberal
government is the product of a continuous process of rational discourse….
Political Liberalism in this sense, is indivisible. It will either prevail
worldwide, or it will have to be defended by nondiscursive action .”[3]
Gerakan Islam liberal, sebagaimana ditulis oleh
tokoh-tokohnya bertujuan untuk membebaskan (liberating) umat Islam dari
belenggu keterbelakangan dan kejumudan. Sayangnya, gerakan ini menjadi liar dan
benar-benar liberal, hingga mereka pun hendak melepaskan diri dari nash-nash
al-Qur’an dan Hadits. Kalaupun mereka masih mengutip Qur’an dan Hadis, mereka
adakan penafsiran liberal sedemikian rupa hingga memenuhi selera mereka.
B. Konsep
Islam Liberal
Istilah
Islam Liberal disusun dari dua buah kata, yaitu Islam dan liberal. Islam
maksudnya adalah agama Islam yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad saw.
Dan Liberal yang artinya adalah kebebasan. Kata Liberal adalah satu
istilah asing yang diambil dari kata Liberalism dalam bahasa Inggris dan
liberalisme dalam bahasa perancis yang berarti kebebasan. Kata ini kembali
kepada kata Liberty dalam bahasa Inggrisnya dan
Liberte
dalam bahasa prancisnya yang bermakna bebas.
Setelah
dua kata ini disusun, kata liberal berfungsi sebagai keterangan terhadap Islam,
sehingga bisa secara singkat bisa dikatakan islam yang liberal atau bebas.
Gerakan Islam liberal, sebagaimana ditulis oleh tokohnya tujuannya adalah untuk
untuk membebaskan (liberating) umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan
kejumudan
Lanjut
Menurut Owen Chadwik Kata “Liberal” secara harfiah artinya bebas (free) dan
terbuka, artinya “bebas dari berbagai batasan” (free from restraint).[4]
Seandainya kita sifatkan dengan kata Islam berarti Islam yang bebas dan
terbuka. Kita akui dalam Islam memang tidak ada paksaan namun bukan berarti
bebas secara total. ‘Islam’ itu sendiri memiliki makna “pasrah”, tunduk kepada
Allah dan terikat dengan hukum-hukum yang dibawa Muhammad SAW. Dalam hal ini,
Islam tidak bebas. Tetapi disamping Islam tunduk kepada Allah SWT, Islam
sebenarnya membebaskan manusia dari belenggu peribadatan kepada manusia atau
makhluk lainnya. Jadi, bisa disimpulkan Islam itu “bebas” dan “tidak bebas”.[5]
Islam Liberal meyakini bahwa Islam selalu dilekati kata
sifat, sebab pada kenyataannya Islam ditafsirkan secara berbeda-beda
sesuai dengan kebutuhan penafsirnya. Sehingga dipilihlah satu jenis tafsir, dan
dengan demikian satu kata sifat terhadap Islam, yaitu ”Liberal”. Sebuah istilah yang digunakan untuk
mengungkapkan rasa ketidak krasanan terhadap pemahaman agama yang telah
dipahami kebanyakan orang.
Istilah
Islam Liberal ini diperkenalkan oleh seorang intelektual asal India, Asaf 'Ali
Asghar Fyzee, pada tahun 1950-an. Pada salah satu tulisannya dia menuliskan, ”Kita
tidak perlu menghiraukan nomenklatur” Tetapi jika sebuah nama harus diberikan
padanya, marilah kita sebut itu 'Islam liberal”. Kemudian istilah ini
dipopulerkan di Indonesia melalui karya Greg barton, Leonard Binder dan Charles
Kurzman.
Dari sekian penulis, Kurzman lah yang paling
jelas dalam mendefinisikan Islam liberal. Kurzman mengidentifikasi liberal
Islam dengan empat agenda Dalam pendangannya Islam liberal ditandai dengan
beberapa agenda, yaitu pluralisme, demokratisasi dan sekularisasi, feminisme
dan kesetaraan gender, serta re-interpretasi fiqh (syari’ah) dengan interpretasi
yang liberal.
C. Leonard Binder
1. Biografi
Leonard Binder
Leonard Binder lahir 20 Agustus 1927 di Boston Massachusetts
Amerika. Ia adalah seorang ilmuwan politik Amerika. Dia adalah seorang profesor
terkemuka ilmu politik dan direktur Pusat Timur Dekat di University of
California, Los Angeles (UCLA). Binder juga Ketua Departemen Ilmu Politik dari
UCLA dan University of Chicago. Dia dipilih mahasiswa Fellow American Academy
of Arts dan Ilmu Pengetahuan pada tahun 2002.
Binder adalah seorang
yang beragama Yahudi yang dikenal sebagai ahli Internasional untuk bidang
Politik Timur Tengah dan Pemikiran Politik Islam. Jabatan Guru Besarnya
mendapat sponsor dari UCLA, beliau juga seorang pendiri dan mengabdi sebagai
Presiden Asosiasi Studi-Studi Timur Tengah di Amerika Utara (MESA), mantan
anggota Komite Perbandingan Politik dan Studi-Studi Timur Tengah pada Dewan
Riset Ilmu Sosial, mantan peserta Yayasan Ford untuk orang luar dan pernah
menjadi peserta persahabatan dari Rockefeller Foundation, Dewan Riset Ilmu
Sosial, the National Endowment untuk kemanusian, the Woodrow Wilson Foundation,
Pusat studi Lanjutan di Yerussalem.[6]
Dalam melakukan
panelitian Binder sering bersama-sama Fazlur Rahman. Di antara penelitiannya
adalah tentang “Islam dan Perubahan Sosial”. Riset yang dibiayai oleh Ford
Foundation itu,melibatkan puluhan ahli dan meneliti lima masalah pokok.
Pertama, pendidikan agama dan peran ulama dalam Islam. Kedua, syariat dan
kemajuan ekonomi. Ketiga, keluarga dalam masyarakat dan hukum Islam masa kini.
Keempat, Islam dan masalah legalitas politik. Kelima, perubahan
konsepsi-konsepsi stratifikasi di dalam masyarakat muslim masa kini.
Negeri-neger yang dipilih untuk riset Binder adalah Indonesia, Pakistan,
Mesir, Turki, Iran dan Maroko. Hasil risetnya kemudian di bukukan oleh Fazlur
Rahman dalam karyanya Islam and Modernity : Tranformation of an Intellectual
Tradition (1982).
Di
antara karya-karya tulisnya yang telah dipublikasikan:
-
Religion and Politics in Pakistan (1961)
- Iran :
Political Development in a Changing Society (1962)
- The
Ideological revolution in the Middle East (1964)
- In a
Moment of Enthusiasm : Political Power and the second Stratum in Egypt (1978)
-
Islamic Liberalism(1988)
2. Islam
Liberal Leonard Binder
Dalam
buku, Islamic Liberalism : A Critique of Development (1988), Leonard Binder
memfokuskan kajiannya, dalam liberalisme Islam dengan Liberalisme
politik. Buku tersebut mempertimbangkan pendapat bahwa dewasa ini sekularisme
mulai kurang mendapat sambutan dan cenderung tidak dipakai sebagai basis
ideologi bagi liberalisme politik di Timur Tengah. Buku tersebut
mempertanyakan mungkin-tidaknya liberalisme Islam diwujudkan, dan
menyimpulkan bahwa, tanpa liberalisme Islam yang kuat, liberalisme politik
tidak akan berhasil di Timur Tengah.
Melihat
perkembangan kawasan Timur Tengah, dengan munculnya gerakan-gerakan pemikir
pembaharu Islam, yang berusaha mengadakan pembaharuan dalam bidang politik.
Gerakan tersebut dimotori oleh para tokoh seperti Almaududi, dengan Jama’ah
Islamiyahnya, Sayid quthb,dan Hasan Al-Banna dengan Ikhwanul Musliminnya.
Pemikiran yang mereka sampaikan adalah memberikan penyadaran kapada
umat, bahwa dalam sejarah umat Islam berada dalam naungan pemerintahan Islami,
pemerintahan tersebut berlangsung dalam kurun waktu yang sangat penjang (kurang
lebih delapan abad). Dan bahwasanya Islam tidaklah hanya mengurus masalah
ibadah-ibadah seperti; shalat, puasa zakat, haji, pernikahan, masalah warisan dan
lain-lain yang bersifat individual, akan tetapi Islam adalah agama yang
sempurna (Syumul), mengurus semua aspek kehidupan umat, mulai dari akidah,
ibadah, muamalah, ekonomi, hukum, dan politik (pemerintahan).
Adanya
pemerintahan, yang dengannya dapat ditunaikan hak-hak setiap orang .
Untuk mewujudkan hal tersebut para tokoh pergerakan pembaharu Islam menawarkan
agar umat Islam kembali kepada sistem pemerintahan Islami, yang dipimpin oleh
seorang kholifah. Sedangkan sistem perintahannya disebut khilafahadanya
pemerintahan, yang dengannya dapat ditunaikan hak-hak setiap orang .
Untuk mewujudkan hal tersebut para tokoh pergerakan pembaharu Islam menawarkan
agar umat Islam kembali kepada sistem pemerintahan Islami, yang dipimpin oleh
seorang kholifah. Sedangkan sistem perintahannya disebut khilafah.
Sehingga
dapat dipahami bahwasannya kegiatan mengurus umat atau masyarakat tidaklah
terlepas dari adanya pemerintahan, yang dengannya dapat ditunaikan
hak-hak setiap orang . Untuk mewujudkan
hal tersebut para tokoh pergerakan pembaharu Islam menawarkan agar umat Islam kembali
kepada sistem pemerintahan Islami, yang dipimpin oleh seorang kholifah.
Sedangkan sistem perintahannya disebut khilafah.
Salah
satu ulama’ termuka, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa kekholifahan adalah
satu-satunya bentuk pemerintahan Islam yang mungkin diwujudkan. Dia menegaskan
bahwa kekhalifahan adalah “wajib” hukumnya dengan catatan bahwa lembaga ini
memberlakukan hukum Islam sebagai tindak lanjut dari ijma’ (kesepakatan) para
sahabat Rasul, golongan salaf, (pemeluk Islam pertama) dan umat, dan lembaga
ini “diperlukan” bagi pemerintahan dalam arti bahwa ia memenuhi tuntutan
alamiah dari semua komunitas manusia.[7]
Adanya
Keyakinan bahwa di dunia Islam sebaiknya membentuk diri sebagai komunitas
politik tidak bisa dilepaskan dari teori kekhilafahan, yang pernah terbukti
dalam sejarah menjadi payung bagi umat Islam selama beberapa abad. Khilafah
adalah bentuk ideal pemerintahan Islam, yang menjadikan Al-Qur’an dan
Sunnah sebagai sumber hukum utama dalam mengatur kehidupan umat. Namun
setelah keruntuhannya pada tahun 1924 M. oleh Kemal Attaturk di
Turki, semenjak itulah umat Islam tidak lagi memiliki seorang khalifah.
Sebagai
reaksi untuk mengahadapi realitas pemikiran para tokoh gerakan pembaharu Islam
tersebut, Binder sebagai seorang tokoh liberal mengkritik pemikiran Almaududi
dan Sayid Quthb. Disamping ia juga mengkritik pendapat Dhiyauddin Rais yang
mengkritik buku Ali Abdul Roziq.[8]
Binder menyebut kritikan ke Abdul Roziq sebagai kritik yang penuh kegusaran.[9]
Dalam
kritikannya terhadap Almaududi dan Sayid Quthb, Binder menyajikan karya radikal
‘Ali ‘Abd. Roziq yang menekankan pemisahan antara agama dan politik dalam
Islam. Leonard Binder dalam bukunya menyatakan bahwa titik sentral
karakter tantangan intelektual yang dimunculkan oleh Ali Abd. al-Raziq terhadap
para Ulama tradisional al-Azhar dalam bukunya al-Islam wa Ushul al-Hukm, adalah
perbedaan antara makna komunitas politik dan pemerintahan. Dalam arti, apakah
Umat Islam itu bisa dimaknai sebagai komunitas politik atau komunitas religius
an sich dan apakah pemerintahan itu menjadi bagian dari risalah kenabian. Tesis
yang dilontarkan Ali Abd. al-Raziq yang secara tajam menyatakan bahwa Umat
Islam adalah komunitas religius an sich dan risalah tidak terkait dengan
pemerintahan, diposisikan sebagai pemikiran liberal Mesir modern yang terbaik,
dan sebagai bahan perdebatan politik yang menarik.
Buku
itu, berikut reaksi resmi terhadapnya banyak menarik perhatian pada tahun 1925
sewaktu diterbitkannya untuk pertama kalinya. Banyak sejarahwan pemikiran Mesir
yang mengupasnya, terutama Albert Hourani dalam karyanya Arabic Thought in
Liberal Age, 1798-1939, dan Muhammad Imarah dalam al-Islam wa Ushul al-Hukm li
Ali Abd. al-Raziq.
Gagasan
utama Roziq dalam buku tersebut adalah bahwa Islam tidak menetapkan bentuk
rezim atau pemerintahan tertentu bagi kaum muslimin menurut persyaratan yang
dibuat oleh sistem itu sendiri, Islam justru memberi kebebasan untuk
membentuk Negara sesuai dengan kondisi intelektual, sosial dan ekonomi, dengan
mempertimbangkan perkembangan sosial dan tuntutan zaman. Al-Raziq mengulang
pendapatnya bahwa:
“kekhalifahan bukan rezim negara, bahwa lembaga
ini tidak disyaratkan dalam Islam, dan bahwa – terlepas dari niat para khalifah
– tidaklah mungkin ada pengganti, atau khalifah yang mengantikan kedudukan
Rasulullah, karena Rasul tidak pernah menjadi raja, dan tidak pernah berusaha
mendirikan sebuah negara ataupun pemerintahan. Dia adalah pembawa pesan yang
diutus oleh Allah, dan dia bukan pemimpin politik.”[10]
Lebih
lanjut al-Raziq menjelaskan, bahwa Rasul memang dapat menangani
persoalan-persoalan politik umatnya, namun menurut al-Raziq, Rasul adalah tugas
yang unik yang tidak bisa didelegasikan kepada orang lain, karena berhubungan
dengan potensi kenabian yang hanya dimiliki olehnya par exellence. Sehingga
paska Rasul, tidak akan ada lagi model kepemimpinan yang sama dengan model
kepemimpinan Rasul. Sehingga khalifah yang dimaknai sebagai kepemimpinan
pengganti Rasul sungguh tidak masuk akal.
Urusan
politik adalah urusan dunia yang tidak terkait langsung dengan agama, bahkan
terpisah sama sekali dengan agama. Menurut al-Raziq, adalah masuk akal jika
dunia akan menganut satu agama dan bahwa semua umat manusia dapat diatur dalam
satu kesatuan agama. Namun, lanjut al-Raziq, kepenganutan seluruh dunia pada
satu pemerintahan dan dikelompokkan pada satu kesatuan politik bersama akan
bertentangan dengan sifat dasar manusia dan tidak terkait dengan kehendak
Tuhan. Karena hal itu merupakan tujuan duniawi, dan Tuhan telah menyerahkan
urusannya kepada manusia untuk memikirkannya.
Dalam
membangun tesis pemisahan agama dan politik, al-Raziq menghindarkan diri dari
pemikiran skriptualistik, idealistik maupun formalistik. Al-Raziq menegaskan
bahwa tidak ada rujukan yang dapat dipakai di dalam al-Qur’an maupun Hadits
untuk membuktikan adanya persyaratan menggerakkan sistem kekhalifahan.
Peraturan tentang kekuasaan politik, politheisme, perbudakan atau tentang
apapun tidak lantas menjadi wajib hanya karena dibahas dalam al-Qur’an. Dalam
al-Qur’an yang sangat terkenal, “patuhlah kepada Allah, Rasul dan ulil amri,”
tidak dengan serta merta merujuk kepada penguasa politik baru manapun.
Dengan
mengacu pada mufassir seperti Baidhawi dan Zamakhsyari, al-Raziq menyatakan
bahwa kata-kata ulil amri ditafsirkan sebagai “sahabat Nabi,” atau “ulama”.
Oleh karena itu ia membantah bahwa Nabi Muhammad telah membentuk negara
Islam di Madinah. Nabi hanya Rasulullah, bukan raja ataupun pemimpin politik.
Ia menyatakan : Muhammad merupakan utusan untuk misi keagamaan yang penuh
dengan keberagamaan, bersih dari kecenderungan pada sistem kerajaan dan pemerintahan
dan dia tidak memiliki pemerintahan, tidak juga memerintah, dan bahwa ia tidak
mendirikan sebuah kerajaan dalam pengertian politik baik dari term tersebut
ataupun yang semakna dengannya, karena ia hanyalah seorang utusan sebagaimana
pembawa risalah sebelumnya. Dia bukan seorang raja, atau pendiri negara, dia
tidak pernah berusaha untuk memiliki kekuasaan.
Al-Raziq
membangun argumennya dengan banyak merujuk kepada teks-teks al-Qur’an maupun
Hadis. Salah satu teks yang menjadi rujukan adalah :
“ Katakanlah aku tidak berkuasa menarik
kemanfaatan bagi diriku dan tidak pula menolak kemudharatan kecuali yang
dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku
membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa memudharatan.
Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa kabar gembira bagi
orang-orang beriman.”[11]
Dari
pemahaman teks diatas al-Raziq membangun tesisnya yang fundamental, bahwa
Muhammad Rasulullah tidak mempunyai hak apa-apa atas umatnya selain hak risalah.
Kalau saja Rasulullah seorang raja, kata al-Raziq, tentunya dia juga mempunyai
hak-hak seorang raja atas umatnya. Dan melihat fenomena kekuasaan raja pasca
wafatnya Rasulullah, dengan tegas ia menyatakan : “Seorang raja tidak
memiliki hak risalah, keutamaannya bukan keutamaan risalah, keagungannya bukan
keagungan risalah”.
Menurut
al-Raziq, al-Qura’an secara jelas menerangkan bahwa nabi Muhammad hanya seorang
rasul yang tidak ada rasul lain sesudahnya Ia juga menjelaskan bahwa Muhammad
tidak mempunyai tugas lain selain menyampaikan risalah Allah kepada manusia.
Dan ia tidak dibebani apa-apa selain agar menyampaikan risalah itu, dan ia
tidak berkewajiban memaksa manusia agar menerima apa yang dia bawa.
Dengan
bersikukuh bahwa Rosulullah bukanlah pemimpin politik, dan bahwa khalifah
bukanlah penerus Rosulullah, Abd. Raziq mengingkari adanya peralihan legitimasi
politik dari Rosulullah kepada khalifah. Tampaknya dia berkeyakinan bahwa
komunitas beragama yang memiliki kesamaan berkat misi dakwah Rasulullah tidak
memiliki dimensi politik. Kegigihannya mempertahankan pendapat bahwa Muhammad
bukan pemimpin politik tentunya nyaris tak dapat diterima, dari sudut pandang
historis maupun tradisional.
Binder berusaha memisahkan agama dengan
politik, dengan mempertahankan pendapat yang diungkapkan oleh Ali Abdul Roziq.
Menurutnya cukuplah urusan kepemimpinan diserahkan kepada umat untuk
menentukannya, kepemimpinan atau pemerintahan apa diinginkan. Tanpa harus
diformalkan dalam bentuk Negara Islam. Namun hal ini menurut beliau belum
berjalan dapat mulus, karena dibanyak tempat keduanya masih menyatu. Sehingga
dalam bukunya Binder mempertanyakan mungkin tidaknya liberalisme Islam
diwujudkan, dan beliau menyimpulkan bahwa tanpa liberalisme Islam yang kuat,
liberalisme politik tidak akan berhasil diwujudkan. Dengan kata lain, “bila
sebuah Negara ingin politik liberalnya kuat, maka Islam liberal harus lebih
dulu diperkuat”.
3. Jenis
Liberal Leonard Binder
Klasifikasi
politik liberal islammenurut Leonard Binder:
a. Islam Liberal, yang berpandangan bahwa ide
Negara Islam Liberal dimungkinkan dan diperlukan karena Islam memiliki semangat
yang demokratis dan liberal, dan terutama karena, di bidang politik, Islam
tidak banyak memiliki ketentuan khusus. Pandangan kelompok liberal ini adalah
bahwa Islam sedikit, atau tidak, memiliki ketentuan mengenai lembaga politik,
dan tidak banyak tuntutan keagamaan yang diwajibkan pengamalannya kepada
otoritas politik masa kini atau unsur-unsur di bawahnya. Kaum liberalisme Islam
kategori pertama ini tidak menyatakan bahwa Islam memisahkan agama dari Negara.
Mereka justru berpendapat bahwa kebisuan Islam terhadap pertanyaan seputar
lembaga Negara mengisyaratkan bahwa kaum muslim dibolehkan membentuk institusi
liberal jika mereka menghendaki demikian. Bahkan, mereka cenderung
menyimpulkan, dari kebisuan syari’ah terhadap perkara institusi polotik, bahwa
Islam hanya cocok dengan system liberal di mana kaum muslimin bebas memilih dan
mengubah struktur politik mereka. Meski demikian, Negara yang mereka usulkan
tetap Negara Islam.
b. Liberalisme
Islam, yang membenarkan dibentuknya institusi-institusi liberal (parlemen,
pemilu, dan hak-hak sipil) dan beberapa kebijakan kesejahteraan sosial, bukan
berdasarkan tiadanya undang-undang Islam yang kontradiktif, melainkan
berdasarkan ketentuan Islam yang sangat khusus, yang umumnya mereka kutip
dari sumber-summber keagamaan dan dari sejarah kekhalifahan awal.
D. Charles
Kurzman
1. Biografi
Charles Kurzman
Charles kurzman lahir pada 6 November 1963. Ia adalah
seorang profesor sosiologi di University of North Carolina di Chapel Hill dan
co-direktur Pusat Carolina untuk Studi Timur Tengah dan Peradaban Islam. Dia
adalah penulis The Martir Hilang (2011), Demokrasi Ditolak, 1905-1915 (2008),
dan Revolusi terpikirkan di Iran (2004), dan editor antologi Islam Liberal
(1998) dan Islam Modernis, 1840-1940 (2002 ).
Menurut Kurzman, paham liberal dalam pemikiran Islam sesungguhnya
telah muncul di antara gerakan-gerakan revivalis Islam sejak abad XVIII, masa
yang subur bagi perdebatan-perdebatan keislaman. Figur terpenting yang menjadi
rujukan bagi paham Islam liberal (liberal Islam) terdapat pada diri Shah
Waliyullah (1703-1762). Argumentasi menempatkan Shah Waliyullah sebagai nenek
moyang intelektual Islam liberal dapat diamati dari pemikirannya yang tampak
lebih humanistik dibanding dengan Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1787) dan
pelopor kebangkitan Islam lainnya. Sebagai contoh, Waliyullah sangat toleran
dengan adat istiadat lokal, yang mungkin oleh kaum revivalis dianggap telah
bertentangan dengan rumusan Islam ortodoks. Waliyullah juga sangat menekankan
pentingnya ijtihad, dan menolak taqlid. Pandangan Kurzman tersebut sekaligus
menunjukkan pada dunia Islam bahwa wacana Islam liberal itu memiliki akar tradisi
yang otentik di dalam Islam. Jadi, tidak seperti yang dituduhkan sebagian orang
yang mengatakan bahwa Islam liberal itu bersumber dari Barat dan sekular, atau
sekurang-kurangnya merupakan kreativitas pemikir muslim dalam merespon tradisi
Barat.
Charles
Kurzman menegaskan bahwa munculnya Islam liberal adalah dalam rangka melepaskan
diri dari Islam adat dan Islam revivalis. Islam adat (customary Islam) ditandai
oleh kombinasi kebiasaan-kebiasaan kedaerahan dan kebiasaan-kebiasaan yang juga
dilakukan di seluruh dunia Islam. Sebaliknya, Islam revivalis, juga dikenal
sebagai Islamisme, Fundamentalisme, atau Wahabisme ditunjukkan dengan menyerang
interpretasi adat yang kurang memberi perhatian terhadap inti doktrin Islam.
Dalam menghadapi penyimpangan-penyimpangan lokal, tradisi revivalis
menginginkan penekanan (pentingnya) bahasa Arab kembali, menegaskan kepalsuan
institusi-institusi politik lokal, otoritas kaum revivalis sebagai satu-satunya
kelompok penafsir Islam yang memenuhi syarat, dan kebangkitan praktik-praktik
keagamaan periode awal Islam. Di sinilah Islam liberal menawarkan diri menjadi
alternatif ketiga, dengan pemikirannya yang menegaskan bahwa Islam, jika
dipahami secara benar, akan sejalan dengan atau bahkan perintis jalan bagi
liberalisme Barat.[12]
Islam
liberal dapat menangkap ajaran Islam yang relatif utuh dan sekaligus bersifat
nisbi merupakan pilihan untuk melihat Islam yang tanpa politisasi. Selain itu
ia merupakan alternatif untuk menjawab pemikiran Islam di Indonesia yang
bertumpu dari tradisi Islam tradisionalis dan Islam modernis atau modernisme
Islam yang telah dianggap ketinggalan zaman. Kurzman menyebut tiga faktor yang
menguatkan kebangkitan Islam Liberal: peningkatan pendidikan, komunikasi
internasional, dan gagalnya pemerintahan Islam.[13]
Sejarah kemunculan Islam liberal oleh Kurzman juga ditempatkan
dalam konteks dialektika tiga tradisi interpretasi sosio-religius di dunia
Islam, yang satu sama lain saling melengkapi bagi sejarah wacana Islam masa
kini melalui perspektif masing-masing. Ketiga jenis tradisi tersebut adalah:
Islam adat (customary Islam), Islam revivalis (revivalist
Islam), dan Islam liberal (liberal Islam).[14]
Tradisi pertama disebut
Islam adat, yang ditandai oleh kombinasi kebiasaan kedaerahan dan kebiasaan
yang dilakukan di dunia Islam. Kurzman mencontohkan tradisi penghormatan
terhadap tokoh-tokoh yang dianggap suci seperti halnya terjadi di Maroko dan di
Indonesia. Khusus di Indonesia tradisi semacam ini juga menyangkut
pertunjukan-pertunjukan ritual keagamaan dan kekuatan yang mengekpresikan
tradisi-tradisi lokal. Dapat juga dicontohkan suara bedug di Afrika Selatan dan
tradisi-tradisi musikal lainnya di dunia Islam; kepercayaan suku Kurdi dan umat
Islam lainnya terhadap roh; perayaan tahun baru Islam dan hari-hari besar
lainnya di Iran dan di dunia Islam lainnya; hirarki sosial yang menyerupai
kasta di kawasan Islam Asia Selatan; serta kepercayaan terhadap orang-orang dan
benda-benda tertentu yang memiliki kekuatan ghaib. Pada sebagian orang,
tradisi-tradisi lokal tersebut bukan saja dapat dipandang bertentangan dengan
ajaran Islam, melainkan juga memang terdapat aspek-aspek yang berbeda sesuai
dengan adat di masing-masing wilayah. Karena itulah tradisi-tradisi di
masing-masing wilayah itu cenderung dijustifikasi pada tingkat lokal saja,
tidak pada tingkat global. Tradisi
kedua dan yang merupakan alternatif terpenting dari Islam adat adalah Islam revivalis, atau juga biasa dikenal dengan Islamisme, Fundamentalisme, dan Wahabisme. Tradisi ini menyerang interpretasi adat (customary interpretation) yang dianggap kurang memberikan tekanan pada doktrin Islam. Dalam menghadapi penyimpangan lokal, kaum revivalis menghendaki pentingnya kembali kepada wahyu, menegaskan kepalsuan institusi-institusi politik lokal yang dianggap telah merebut kedaulatan Tuhan, otoritas kaum revivalis sebagai satu-satunya penafsir Islam yang memenuhi syarat, serta kebangkitan praktik keagamaan di periode awal Islam. Sebagai contoh gerakan tradisi revivalis Islam adalah gerakan Muhammad bin Abdul Wahhab pada abad XVIII, yang
kemudian menjadi prototipe untuk semua gerakan pemurnian Islam yang bertujuan membersihkan ajaran Islam dari adat lokal dan praktek-praktek yang tidak islami. Tradisi ketiga adalah Islam liberal (liberal Islam). Islam liberal mendefinisikan dirinya berbeda dengan tradisi Islam adat dan menyerukan keutamaan periode awal Islam untuk menegaskan ketidakabsahan praktek keagamaan masa kini. Sepintas memang dapat dikatakan bahwa ada kesamaan pandangan antara tradisi Islam revivalis dengan Islam liberal. Perbedaannya, Islam liberal menghadirkan kembali masa lalu untuk kepentingan modernitas, sementar Islam revivalis mengaskan modernitas atas nama masa lalu. Meski terdapat beberapa versi Islam liberal, namun satu elemen yang umum adalah kritiknya baik terhadap tradisi Islam adat maupun Islam revivalis, yang dikatakan mengalami keterbelakangan (backwardness). Menurut Islam liberal, kedua tradisi tersebut telah menghalangi dunia Islam menikmati buah modernitas, seperti: kemajuan ekonomi, demokrasi, dan hak-hak hukum. Islam liberal juga berpandangan bahwa Islam jika dipahami secara benar, akan sejalan dengan, atau bahkan perintis jalan bagi liberalisme Barat, yang dapat disamakan dengan kemodernan.[15]
kedua dan yang merupakan alternatif terpenting dari Islam adat adalah Islam revivalis, atau juga biasa dikenal dengan Islamisme, Fundamentalisme, dan Wahabisme. Tradisi ini menyerang interpretasi adat (customary interpretation) yang dianggap kurang memberikan tekanan pada doktrin Islam. Dalam menghadapi penyimpangan lokal, kaum revivalis menghendaki pentingnya kembali kepada wahyu, menegaskan kepalsuan institusi-institusi politik lokal yang dianggap telah merebut kedaulatan Tuhan, otoritas kaum revivalis sebagai satu-satunya penafsir Islam yang memenuhi syarat, serta kebangkitan praktik keagamaan di periode awal Islam. Sebagai contoh gerakan tradisi revivalis Islam adalah gerakan Muhammad bin Abdul Wahhab pada abad XVIII, yang
kemudian menjadi prototipe untuk semua gerakan pemurnian Islam yang bertujuan membersihkan ajaran Islam dari adat lokal dan praktek-praktek yang tidak islami. Tradisi ketiga adalah Islam liberal (liberal Islam). Islam liberal mendefinisikan dirinya berbeda dengan tradisi Islam adat dan menyerukan keutamaan periode awal Islam untuk menegaskan ketidakabsahan praktek keagamaan masa kini. Sepintas memang dapat dikatakan bahwa ada kesamaan pandangan antara tradisi Islam revivalis dengan Islam liberal. Perbedaannya, Islam liberal menghadirkan kembali masa lalu untuk kepentingan modernitas, sementar Islam revivalis mengaskan modernitas atas nama masa lalu. Meski terdapat beberapa versi Islam liberal, namun satu elemen yang umum adalah kritiknya baik terhadap tradisi Islam adat maupun Islam revivalis, yang dikatakan mengalami keterbelakangan (backwardness). Menurut Islam liberal, kedua tradisi tersebut telah menghalangi dunia Islam menikmati buah modernitas, seperti: kemajuan ekonomi, demokrasi, dan hak-hak hukum. Islam liberal juga berpandangan bahwa Islam jika dipahami secara benar, akan sejalan dengan, atau bahkan perintis jalan bagi liberalisme Barat, yang dapat disamakan dengan kemodernan.[15]
2. Bentuk
Islam Liberal
Islam
liberal berjalan dalam dua konteks intelektual, yaitu islam dan barat. Sehingga
menurut Charles Kurzman dengan menggunakan perdebatan-perdebatan islam ini
sebagai konteks, dapat diidentifikasi tiga bentuk (modes) utama islam
liberal. Yangmana hal ini melibatkan hubungan liberalisme dengan sumber-sumber
primer islam: kitab wahyu (al-Qur’an) dan praktik-praktik dari Rasulullah.
(Sunnah) yang bersamaan menetapkan dasar hokum islam (syari’ah). Bentuk
pertama menggunakan posisi atau sikap liberal sebagai sesuatu yang secara
eksplisit didukung oleh syari’ah, bentuk kedua menyatakan bahwa kaum
muslim bebas mengadopsi sikap liberal dalam hal-hal yang oleh syari’ah
dibiarkan terbuka untuk dipahami oleh akal budi dan kecerdasan manusia, bentuk
ketiga memberikan kesan bahwa syari’ah yang bersifat ilahiyah ditujukan
bagi berbagai penafsiran manusia yang beragam. dan Charles Kurzman menyebut
tiga bentuk ini dengan syari’ah liberal, silent dan interpreted.[16]
Pemikiran
Islam liberal ini kemudian mendapatkan rumusan formula tipologinya oleh Charles
Kurzman. Ada tiga tipologi Islam liberal yang dikemukakan Kurzman yaitu syariat
yang liberal, silent dan interpreted Kurzman menjelaskan: Kita dapat mengidentifikasikan tiga (modes)
utama Islam liberal. Hal ini melibatkan hubungan liberalisme dengan
sumber-sumber primer Islam: kitab wahyu (al-Quran) dan praktik-praktik dari
Rasulullah saw (sunnah) yang secara bersamaan menetapkan dasar hukum Islam
(syaria). Bentuk pertama menggunakan posisi atau sikap liberal sebagai sesuatu
yang secara eksplisit didukung oleh syariah; bentuk kedua menyatakan bahwa kaum
Muslim bebas mengadopsi sikap liberal dalam hal-hal yang oleh syariah dibiarkan
terbuka untuk dipahami oleh akal budi dan kecerdasan manusia; bentuk ketiga
memberikan kesan bahwa syariah yang bersifut ilahiah, ditujukan bagi berbagai
penafsiran manusia yang beragam. Yang menyebut ketiga bentuk ini dengan syariah
yang liberal, silent dan interpreted.[17]
Kurzman
dalam kajian tentang Islam liberal menjelaskan bahwa Islam liberal berakar pada
Syah Waliyullah (1703-1762) di India dan muncul di antara gerakan-gerakan
pemurnian Islam ala Wahabi pada abad ke-18. Tokoh-tokoh Islam liberal pada tiap
zaman misalnya. Jamaluddin al-Afghani di Afganistan, Sayyid Ahmad Khan di India,
dan Muhammad Abduh di Mesir. Ketiganya hidup pada abad ke-19. Adapun pada abad
20 terdapat antara lain Abdullah Ahmed Naim, Mohammad Arkoun, Fazlur Rahman,
dan Fatima Mernissi. Nurcholish Madjid, cendekiawan Indonesia yang mengibarkan
teologi inklusif, juga disebut oleh Kurzman.
a. Syariah
Liberal (Liberal Shari’a)
Bentuk
pertama ini menyatakan bahwa syari’ah bersifat liberal pada dirinya sendiri
jika dipahami secara tepat. Sebagai contoh, Ali Bullac (Turki, lahir 1951),
salah seorang islamis liberal terkemuka di Turki yang dalam artikel-artikelnya
berpendapat bahwa piagam madinah, dimana Rasulullah menjamin hak-hak non-muslim
untuk hidup dibawah pemerintahan muslim, menghadirkan contoh bagaimana syari’ah
memecahkan masalah-masalah kontemporer secara liberal. Abdurrahman I Doi
(India-Nigeria, lahir 1933) berpendapat bahwa al-Qur’an merupakan konstitusi
yang pertama didunia, sedangkan orang-orang Kristen Eropa baru menemukan
konstitusionalismenya satu abad kemudian. Maurice Bucaille (Perancis lahir
1920) berpendapat bahwa al-Qur’an memberikan metode-metode penalaran ilmiah,
sedangkan kalangan ilmiah sekuler satu abad lebih lama untuk memahaminya.
Syafique Ali Khan (Pakistan lahir 1936) dan Abdelkebir Alaoui M’Daghri (Maroko,
lahir 1942) berpendapat bahwa syar’ah membangun kebebasan berfikir.[18]
“Liberal shari’ah” tidak diragukan lagi, merupakan bentuk islam
liberal yang paling berpengaruh. Charles Kurzman memberikan tiga penjalasan. 1)
liberal shari’a menghindari tuduhan-tuduhan ketidak otentikan otentitas dengan
mendasarkan posisi-posisi liberal secara kuat dalam sumber-sumber islam
ortodoks. 2) liberal shari’a mengatakan bahwa posisi liberal bukan
sekedar pilihan-pilihan manusia, emalinkan perintah Tuhan (yang membawa pada
posisi menyimpang), yang juga membuat liberalism barat menderita, yang
melakukan pembenaran atas liberalism dengan merujuk pada referensi illiberalism, seperti tentang
hak-hak yang “diberikan Tuhan”.[19]
3) liberal shari’a itu memberikan rasa bangga akan penemuan yang dihasilkan;
berpendapat bahwa islam liberal lebih tua dari liberalism barat merupakan
sebuah strategi retorika yang kuat dikalangan orang-orang yang terlalu sering
menginternalisasi citra-citra orang barat tentang inferioritas dan
keterbelakangan.
Liberal shari’a harus dipahami sebagai lapangan-rumput rumah (home
turf) ortodoksi, sebagaimana pada masa-masa awal islam; analisis rinci
mengenai makna al-Qur’an, penyelidikan terhadap rantai penyampaian (sanad)
hadist Nabi yang dapat dipercaya, penelitian serius sebagai sarana pelatihan
para sarjana ortodoks secara intensif.
liberal syari‟ah, yang beranggapan bahwa sebenarnya syari‟ah itu
sendiri sejak awalnya sudah liberal jika ditafsirkan apa adanya. Liberalisme
Islam merupakan “fitrah” Islam. Alasannya adalah Islam sejak dari awal sudah
mempunyai solusi umum atas problem-problem kontemporer.
b. Syariah
yang diam (Silent Shari’a)
Bentuk
argumentasi islam liberal yang kedua berpandangan bahwa syari’a tidak member
jawaban jelas mengenai topic-topik tertentu. Muhammad Salim Al-Aww’ (mesir,
kontemporer), seorang sarjana hokum meringkas pendekatan ini sebagai berikut:
Jika
Islam tidak “menyebutkan” sesuatu, hal ini menunjukkan satu dari dua hal:
apakah hal ini tidak disebutkan dalam- sumber-sumber trdisional manapun atau
kaum muslim tidak pernah mempraktikkannya sepanjang sejarah mereka. Dalam kasus
yang pertama, tidak menyebutkan sesuatu berarti sesuatu itu dibolehkan.
Pengecualian terhadap peraturan ini hanya berlaku dalam masalah ibadah, dalam
kasus kedua merupakan hal yang alamiah bahwa kaum Muslim seharusnya tanggap
terhadap perubahan dan perkembangan setiap waktu dan tempat.[20]
Abd
al-Raziq, sarjana mesir yang kontroversional, ikut serta memolopori penggunaan
jata ini secara figurative pada tahun 1920-an dengan berpendapat bahwa shari’a
tidak menyebutkan bentuk khusus dari Negara yang harus diikuti oleh kaum
Muslim, karenanya membolehkan pembentukan demokrasi-demokrasi liberal,
sebagaimana dicacat oleh Muhammad Sai’id
al-Asmawi (Mesir, lahir 1932) dari sekitar 6000 ayat al-Qur’an, hanya 200 ayat
yang memuat aspek hukum, yaitu sepertigapuluh dari qur’an termasuk ayat-ayat
yang di dinasakh oleh ayat-ayat sesudahnya. Oleh karena itu Asmawi dan yang
lainnya menyimpulkan bahwa al-Qur’an tidak memerintahkan untuk memberlakukan
bentuk pemerintahan tertentu.
Syari’ah
Tuhan, sebagaimana terangkup dalam al-Qur’an dan Sunnah tidak mengikat manusia
dalam hal muamalat, kecuali hanya memberikan beberapa prinsip-prinsip umum
sebagai pedoman dan sejumlah kecil perintah. Syari’a jarang mempersoalkan
dirinya secara terperinci. Pembatasan syari’a untuk memperluas prinsip-prinsip
dan kebisuannya dalam ruang-ruang lain disebabkan oleh kebijakan dan rahmat
Tuhan. Fakta bahwa syari’a itu diam dalam masalah tersebut, dan kita seharusnya
mencamkannya dalam pikiran kita bahwa, sebagaimana dikatakan dalam al-Qur’an “
Tuhan tidak pernah lupa”, berarti hanya pelaksanaan perintah-perintah yang umum
atas perincian kehidupan manusia yang beraneka ragam, dan pertantangan mengenai
masalah-masalah baru menurut ketentuan kemaslahatan umum (maslahah) telah diserahkan pada kebijaksanaan
bangunan kesadaran kaum muslim.[21]
Silent Shari’a bersandar kepada tafsir al-Qur’an untuk
membentuk pikiran utamanya. Namun beban pembuktian sedikit lebih ringan
dibandingkan dengan “liberal shari’a” yang hanya perlu menunjukkan
perintah-perintah positif bagi kemampuan pembentukan-pembentukan manusia secara
abstrak, ketimbang praktik-praktik liberal secara khusus. Maka, ia memindahkan
seluruh wilayah tindakan manusia dari wilayah kesarjanaan al-Qur’an, dimana
pendidikan-pendidikan ortodoks memiliki keuntungan yang berbeda, dan menempatkannya
dalam wilayah perdebatan public.
Bentuk argumentasi liberal Islam yang kedua ini berpandangan bahwa
syariah tidak memberikan jawaban yang jeas mengenai topic-topik tertentu,
muhammmad salim al-a’wa (mesir, kontemporer, sarjana hukum) meringkaskan
pendekatan ini sebagai berikut: Jika islam tidak menyebutkan sesuatu, hal ini menunjukakan
satu dari dua hal: apakaah hal ini tdak disebutkan dalam sumber-sumber
tradisional manapun atau kaum muslim tidak pernah mempraktekkannya sepanjang
masa. Dalam kasus yang pertama, tidak menyebutkan sesuatu berarti sesuatu
dibolehkan. Pengecualian terhadap peraturan ini hanya berlaku dalan ibadah.
Dalam kasus kedua, merupakan hal yang ilmiyah bahwa kaum muslim
seharusnya tanggap terhadap perubahan setiap waktu dan tempat.
Model ini berasumsi bahwa Islam tidak banyak berbicara mengenai isu-isu
kontemporer. Islam liberal dimungkinkan terjadi pada masalah-masalah tertentu
yang tidak ada presedennya dalam Islam baik secara normatif maupun historis.
Karena Islam tidak banyak berbicara mengenai isu-isu kontemporer, maka
diperlukan kreatifitas, terutama yang menyangkut bidang muamalah.
c. Syariah
yang ditafsirkan (Interpreted Shari’a)
Bentuk
ketiga argumentasi Islam liberal dan yang paling dekat pada perasaan atau pikiran-pikiran
liberal Barat berpendapat bahwa syari’ah ditengahi oleh penafsiran manusia.
Dalam pandangan ini, syarî’ah merupakan hal yang berdimensi ilahiah, sedangkan
penafsiran-penafsiran manusia dapat menimbulkan konflik dan kekeliruan.
Kesimpulan semacam ini sangat rentan terhadap tuduhan-tuduhan relativisme.
Namun, kaum liberal seperti Muhammad Asad (Leopold Weiss, Austria-Pakistan,
lahir 1900), mempergunakan sumber-sumber pelaksanaan syarî’ah seperti hadits
Rasulullah saw.: “Perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan umatku yang
terpelajar merupakan rahmat Tuhan.”47 Menurut hadits Rasulullah saw. yang lain:
“Al-Qur’an bersifat lentur, terbuka terhadap berbagai jenis penafsiran. Oleh
karena itu, tafsirkanlah menurut kemungkian cara yang terbaik”.48 Muhammad
Bahrul ‘Ulum (Iraq, lahir 1927), seorang `ulamâ syi’ah terpelajar dan pendukung
gerakan demokrasi Iraq yang terkemuka, mengutip dua ayat al-Qur’an dalam
memandang masalah ini: ”Perbedaan pikiran, pandangan, dan metode sepenuhnya
diakui, sehingga seseorang tidak bisa mencabut pendirian-pendirian orang lain.
‘Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia sebagai umat yang satu,
tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat (QS. 11:118).’ ‘Manusia dahulunya
hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih (QS.10:19).[22]
Bentuk ketiga, argumentasi islam liberal yang paling dekat pada
perasaan atau pikiran-pikiran liberal barat, berpendapat bahwa syariah
ditengahi oleh pemikiran manusia. Dalam pandangan ini, syariah merupakan hal
yang berdimensi ilahiyah, sedangkan penafsiran-penafsiran manusia dapat
menimbulkan konflik dan kekeliruan. Kesimmpulan semacam ini sangat rentan
terhadap tuduhan-tuduhan relatifisme. Namun, kaum liberal seperti Muhammad
as’ad lahir 1900 mepergunakan sumber-sumber pelaksanaan syariah seperti hadits
Rasulullah SAW: “ Perbedaan-perbedaan dikalangan umatmu yang terpelajar
merupakan rahmat Tuhan. Basis syariah yang ditafsirkan ini bersifat normatif.
Yusuf Qardawi misalnya membenarkan keaneka ragaman pendapat itu dalam persoalan
persoalan praktis, misalnya:
“Ketakutan saya yang paling buruk terhadap gerakan islam adalah
bahwa gerakan itu menentang para pemikir bebas dikalangan
pengikutnya serta menutup pintu bagi pembaharuan dan ijtihad,
membatasi dirinya sendiri dengan hanya satu jenis pemikiran yang
tidak menerima sudut pandang yang lain. Hasil akhir bagi pergeraka tersebut adalah kehilangan pikiran-pikiran kreatifnya dan akhirnya mengalami stagnasi.”
bahwa gerakan itu menentang para pemikir bebas dikalangan
pengikutnya serta menutup pintu bagi pembaharuan dan ijtihad,
membatasi dirinya sendiri dengan hanya satu jenis pemikiran yang
tidak menerima sudut pandang yang lain. Hasil akhir bagi pergeraka tersebut adalah kehilangan pikiran-pikiran kreatifnya dan akhirnya mengalami stagnasi.”
Model pembacaan ini berasumsi bahwa Islam membuka kemungkinan liberal pada
masalah-masalah yang dimungkinkan munculnya penafsiran (interpretable). Mereka mengedepankan suatu epistimologi yang
menekankan perlunya keragaman di dalam menafsirkan teks-teks keagamaan. Dari
susut pandang Barat, mereka lebih dekat dengan sensibilitas liberalisme Barat.
Mereka membela pemahaman tentang kebenaran yang memerlukan dialog. Dengan kata
“dialog” berarti terus menerus mempelajari agama, bukan sebagai “kata benda”,
melainkan sebagai “kata kerja”. Karena
itu mereka mendukung sikap demokratis dalam beragama,
Karena sebuah demokrasi merupakan suatu penerimaan terhadap perbedaan pendapat di dalam
menafsirkan agama.
3. Tema Pokok Islam Liberal
Charles Kurzman
Perhatian
Islam liberal adalah pada hal-hal yang prinsip. Fokus dari tradisi yang
terabaikan ini, memang terkenal sangat kontroversial. Karena membahas mengenai
gagasan-gagasan Islam yang paling liberal dalam pemikiran Dunia Islam dewasa
ini. Sebenarnya tradisi yang disebut sebagai Islam liberal ini sangat
menggugah, karena mentradisikan pemikiran Islam yang terbuka, inklusif dan
menerima usaha-usaha ijtihad kontekstual. Kurzman, menyebut enam gagasan yang
dapat dipakai sebagai tolok ukur sebuah pemikiran Islam dapat disebut liberalis
yaitu: 1) Melawan teokrasi, yaitu ide-ide yang hendak mendirikan negara Islam;
2) Mendukung gagasan demokrasi; 3) Membela hak-hak perempuan; 4) Membela
hak-hak non-Muslim; 5) Membela kebebasan berpikir; 6) Membela gagasan kemajuan.
Siapapun yang membela salah satu dari enam gagasan di atas dapat disebut
sebagai Muslim liberal.
a.
Teokrasi, kaum muslim liberal
berkeberatan terhadap pemberlakuan syari’ah karena beberapa alasan. Argumen
tradisional, yang dipelopori oleh Ali Abd al-Raziq dan digaungkan oleh Khalaf
menerapkan bentuk “silent shari’a”,[23] wahyu
ilahi menyerahkan bentuk pemerintahan pada konstruksi pemikiran manusia. Nabi
Muhammad merupakan pemimpin pemerintahan, sekaligus juga pemimpin agama, tetapi
tidak membangun prinsip-prinsip tertentu bagi pemerintahan selanjutnya.
Sebagaimana diungkapkan dalam pertemuan yang baru-baru ini dilaksanakan oleh
Ibn Khaldun Society: karena al-Qur’an lebih memberikan penekanan pada
penciptaan masyarakat yang adil ketimbang ideology Negara, bentuk Negara yang
dipilih bukanlah sesuatu yang diamanatkan. Kaum juslimin seharusnya memandang al-Qur’an
sebagai sebuah bangunan moral yang besar ketimbang sebuah kitab hokum. Dengan
demikian, Negara muslim yang baru sesungguhnya adalah Negara sekuler, dengan
ketentuan bahwa istilah Negara sekuler tersebut tidak dipahami dalam sebuah
pengertian yang negative. Negara demikian dapat melindungi agama dari
manipulasi politik oleh kekuasaan Negara.[24]
Mengenai teokrasi ini di antaranya
dapat diamati dari pemikiran Ali Abd al-Raziq, yang kemudian dipertegas oleh
Khalaf Allah. Keduanya menekankan bahwa wahyu Allah menyerahkan bentuk
pemerintahan pada konstruksi pemikiran manusia. Bahkan Khalaf Allah dapat
dikatakan melampaui pandangan Ali Abd Raziq karena menyatakan bahwa Islam
berkesuasian dengan demokrasi. Menurutnya, al Qur‟an menyusun prinsip-prinsip
dasar demokrasi dan menuntut umat Islam untuk merumuskan implementasinya. Wahyu
Tuhan bukan sekedar membolehkan, tetapi juga menghendaki demokrasi. Karya
Mahmud Taleqani (Iran, 1911-1979), seorang pemimpin Revolusi Iran, juga
mengungkapkan kekhawatirannya terhadap munculnya teokrasi di Iran. Keberatan
terhadap teokrasi juga dapat disimak melalui tulisan Muhammad Sa„id al-„Asmawi
(Mesir, lahir 1932) yang menyatakan bahwa al-Qur‟an memaksudkan syari‟ah
sebagai sebuah jalan (path), bukan sebagai sistem hukum yang siap
dipakai untuk diberlakukan.
b.
Demokrasi, secara luas
diperdebatkan dalam model “liberal shari’a. dengan penekanan khusus pada
konsep syura (musyawarah), yang dipakai untuk memberikan kesempatan atau
menuntut pernyataan kehendak umum dalam masalah-masalah kenegaraan.[25]
ini diperdebatkan dengan penekanan
khusus pada konsep musyawarah (shûrâ) yang digunakan untuk memberikan
kesempatan atau menuntut pernyataan kehendak umum dalam masalah-masalah
kenegaraan. Mehdi Bazargan, seorang pejuang demokrasi yang pernah ditunjuk
sebagai perdana menteri sementara oleh Imam Khomeini, merupakan pendukung utama
konsep shu>ra> sebagai demokrasi. S. M. Zafar (Pakistan,
lahir 1930) berpendapat bahwa sistem pertanggungjawaban pemerintah harus
disesuaikan dengan kebutuhan kebutuhan masyarakat yang berbeda. Menurutnya,
pemerintahan parlementer adalah alat yang paling efektif untuk menjamin
pertanggungjawaban di zaman kontemporer ini.
c.
Hak Kaum Perempuan, ini umumnya
untuk merespons ayat-ayat al-Qur‟an dan Hadith yang kelihatannya menunjukkan
kontradiksi dengan hak-hak perempuan, sebagaimana dipahami Islam liberal.
Sebagai contoh ayat yang menerangkan tentang hak poligami bagi laki-laki, hak
unilateral kaum pria untuk bercerai, hak-hak kewarisan dan kesaksian hukum pria
yang lebih besar. [26]Demikian
halnya dengan Hadith-hadith yang berbicara tentang jilbab, pemisahan gender,
dan hak kaum perempuan untuk menjadi pemimpin. Tokoh seperti Benazir Bhuto
(Pakistan, lahir 1953) dan Aminah Wadud Muhsin (Amerika Serikat, lahir 1952),
merupakan figur menganjurkan agar kita memeriksa kembali pernyataan-pernyataan
(al-Qur‟an dan Hadith) tersebut dan menyimpulkan bahwa pernyataan itu tidak
benar-benar mengurangi hak-hak kaum perempuan sebagaimana anggapan sebagian
orang. Keduanya juga dikenal sangat concern membahas secara lebih luas
tentang ayat al-Qur‟an dan Hadith yang seringkali ditafsirkan untuk membenarkan
dominasi lakilaki terhadap perempuan.
d.
Hak kaum Non Muslim, ini
membicarakan hubungan antar agama, hak-hak nonmuslim, terutama ahli kitab (Yahudi
dan Kristen) untuk tetap menjalankan agama mereka, sepanjang mereka menunjukkan
kesetiaannya dan membayar upeti kepada pemimpin muslim yang berkuasa. Persoalan
ini muncul di tahun pertama Islam dalam konteks penaklukan kaum muslim terhadap
non-muslim. Ali Bulac (Turki, lahir 1951) termasuk intelektual yang menerima
tradisi tersebut sebagai model bagi perlakuan yang manusiawi terhadap
non-muslim. Dasar pijakan Bulac adalah Piagam Madinah (Medina Document),
yang ditandatangani Nabi Muhammad, pihak Yahudi dan kaum musyrik.
e.
Kebebasan Berpikir, ini merupakan inti dari persoalan Islam
liberal. Sebab kaum liberal harus mempertahankan kebebasan berpikir agar dapat
memberikan dasar pembenaran terhadap pengungkapan pemikiran yang lainnya.[27]
Kebebasan berpikir dibicarakan dalam konteks ijtihad, dan berkaitan dengan
pembahasan: siapa yang boleh berbicara dan apa saja yang boleh dibicarakan.
Pertanyaan; siapa yang boleh berbicara (berkaitan dengan orang yang boleh
melakukan ijtihad), merupakan persoalan yang sangat penting bagi kaum liberal.
Shahrour misalnya, sebagai seorang yang berlatar belakang teknik, menyatakan
bahwa metodenya dalam menganalisis al-Qur‟an adalah bersifat ilmiah, suatu
usaha yang jelas berbeda dibanding ijtihad mazhab tradisional. Pertanyaannya; apakah
sah seorang yang tidak memiliki latar belakang pendidikan agama melakukan
ijtihad? Menjawab pertanyaan tersebut kelompok Islam liberal menjelaskan bahwa
Tuhan menciptakan manusia untuk menjadi pemikir dan syari„ah mendorong kaum
muslim untuk melakukan refleksi dan penyelidikan. Ali Syari‟ati (Iran,
1933-1977) adalah cendekiawan muslim terkemuka yang banyak mengkritik kaum
agamawan yang ingin memonopoli penafsiran atas Islam. Al-Qardawi (Mesir-Qatar,
lahir 1926) mengutip ajaran-ajaran mengenai toleransi atau penghargaan terhadap
perbedaan pandangan, khususnya yang berkaitan dengan kewajiban agama, dan
mengkritik kaum ekstremis yang ingin mengelabui umat Islam dengan penafsiran
mereka mengenai kewajiban keagamaan.
f.
Gagasan Tentang Kemajuan, ini
merujuk pada pandangan pemikir muslim yang melihat modernitas dan perubahan
sebagai perkembangan positif yang potensial.[28]
Sikap ini merefleksikan sebuah peralihan kebiasaan yang signifikan dari
pandangan tradisionalis dalam Islam, yang memandang sejarah kontemporer sebagai
kemunduran dan peralihan yang berkesinambungan dari masa-masa awal pewahyuan
yang diagungkan. Muhammad Iqbal (India, 1877-1938), menempatkan prinsip tentang
pergerakan pada bagian inti teologinya (the principle of movement).
Prinsip gerak yang dimaksud Iqbal adalah anjuran untuk melakukan ijtihad
sehingga terbuka kreativitas dan orisinalitas berpikir dalam memecahkan
masalah. Anjuran al-Qur‟an untuk menggunakan akal, dan keyakinannya terhadap
adanya siklus sejarah manusia, semakin memperkuat pandangannya bahwa Islam
mengajarkan dinamisme dan menolak statisme.
E. Analisis
Islam Liberal
Munculnya Islam liberal tidak lepas dari
masalah-masalah bagaimana Islam menjawab tantangan kehidupan, yang dengan kata
lain tantangan modernisasi. Islam liberal dalam menjawab itu mempunyai
asumsi-asumsi penegakan sebagai berikut:
1. Makna al-Quran harus mempunyai
kontekstualisasi dalam kehidupan.
2. Bahwa syariah itu tidak lengkap.
3. al-Quran dan Sunnah tidak mernpunyai
penafsiran tunggal.
Berangkat dari pijakan asumsi-asumsi yang
terdapat dalam pemikiran Islam liberal rnaka dapat ditarik kesirnpulan bahwa
Islam liberal sebetulnya juga melakukan ijtihad terhadap ketentuan-ketentuan
yang ada dalam al-Quran dan Sunnah.
Ahmad Sahal mencoba mencari justifikasi dari
pemikiran Islam klasik bahwa tradisi ijtihad Islam liberal itu mengikuti salah
seorang sahabat Nabi yakni Umar Bin Khathab, yang terkenal dengan pemikiran
liberalnya.[29]
Aliran liberal ini merupakan titik berangkat Islam liberal. Menurutnya titik
itu adalah (1) nash tidak mengatur kehidupan secara total karena yang
terpenting bukanlah ketentuan teknis dalam bunyi harfiah nash yang mencakup
seluruh kehidupan, melainkan prinsip moralitas universal yang menjadi maqashid
al-syariahnya. (2) peran utama akal yang terdapat dalam pandangan liberal
menjadikan kemajemukan merupakan kemestian, disinilah penghargaan kemajemukan
timbul ini terjadi karena konteks yang melatarinya juga majemuk. (3) nash
selalu merupakan nash yang ditafsirkan.
Meminjam analisis Jalaluddin, tentang landasan
penegakan mazhab ini yang mengganggap bahwa nash-nash syariah itu terbatas, ini
sejalan dengan asumsi kedua yang dikatakan oleh Kurzman sebagai silent sharia
sebagaimana juga sejalan dengan pendapat Sahal di atas. Konsep dasar pemikiran
ini sebagai ditunjukkan dalam al-Quran dan Sunnah belumlah cukup dan hanya
memuat hukum-hukum tentang sejumlah proposisi terbatas saja. Sehingga al-Quran
dan Sunnah, dalam pemikiran mazhab ini hanya dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan
parsial dalam deduksi, maka mereka pun berusaha memperbaiki situasi itu serta
berupaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya dengan memperluas serta
menyatakan prinsip ijtihad. Ijtihad yang dilakukan dengan dasar seperti ini
menghasilkan ketentuan hukum yang bersifat sebagai penilaian individual.
Prinsip maqasid al-syariyah dapat menimbulkan
hal yang membingungkan jika tidak melihat kualitas individu yang ber-ijtihad.
Prinsip maqasid al-syariyah ini mengindentikan prinsip-prinsip abadi tersebut
dengan apa yang disebut-sebut sebagai ruh Islam (ruh al-Quran), yang ingin
melihat maksud-maksud hukum dari syariah itu. Dengan ini dimaksudkan prinsip-prinsip
dasar yang bersifat umum dan serba meliputi, yang kepadanya pemahaman
prinsip-prinsip lain yang lebih khusus meski dirujukkan.
Sebagai contoh adalah tentang hukum waris.
Dalam Islam ada suatu prinsip pokok yaitu penegakan keadilan. Lalu benarkah pernyataan
bahwa pemberian warisan kepada wanita sebesar hanya setengah bagian pria bisa
dianggap tak adil? Sekelompok orang, dengan alasan-alasan tertentu, justru
menganggapnya sangat adil, yakni karena dengan 2/3 bagiannya itu sang pria
wajib menatkahi keluarganya, suatu hal yang tidak terjadi pada si wanita.
Masalah ini menyangkut dalam ijtihad dengan apa yang disebut dengan (penentuan illat
atau alasan validitas hukum) Hal ini dilandasi kenyataan bahwa suatu hukum
ditetapkkkan secara kontektual berkaitan dengan konteks, baik redaksional
maupun historis (biasa disebut asbab al- nuzul ayat-ayat al-Quran maupun asbab
al-wurud hadis-hadis) dan harus dipahami secara demikian. Menurut pemahaman
ini, suatu hukum tak lagi valid jika illat-nya tidak wujud.[30]
Dengan demikian harus ada kriteria tentang apa yang dimaksud dengan
kemaslahatan umum sebagai maqasidd al-syariyah.
Muhammad al- Baqir berpendapat bahwa
syarat-syarat kemaslahatan umum itu adalah:
1. Kemaslahatan
yang dimaksud harus benar-benar merupakan kemaslahatan yang hakiki, bukan semu;
bahwa hukum yang ditetapkan atas dasar ini dipastikan dan bukannya hanya
diperkirakan mendatangkan kemaslahatan atau mencegah kemudaratan bagi seluruh
masyarakat.
2. Kemaslahatan
tersebut harus merupakan kemaslahatan bagi mayoritas rakyat, bukannya
perorangan. Maka tidak boleh menggunakan atas nama kemaslahatan umum demi
kepentingan pribadi seorang penguasa atau sekelompok kecil masyarakat saja.
3. Hukum
yang dibuat berdasarkan prinsip ini tidak bertentangan dengan suatu hukum atau
prinsip yang telah ditetapkan dengan nash dan ijma.[31]
Dalam
pandangan mazhab liberal perbedaan pendapat para mujtahid adalah benar karena
Allah Swt tidak menetapkan hukum umum yang pasti dalam bidang-bidang di mana
ijtihad diperlukan. Jadi, keputusan hukum didasarkan pada estimasi atau
perkiraan sang mujtahid dan sesuatu yang dituju oleh pandangan-pandangan serta
preferensi-preferensinya. Hal inilah yang menimbulkan apa yang disebut
menisbatkan kebenaran (tashwib). Dalam hal ini doktrin tashwib mencerminkan gagasan
tentang kekurangan serta transformasinya menjadi penisbatan kekurangan dan
ketaksempurnaan kepada syariah secara langsung. Doktrin ini memungkinkan para
fakih menafikan adanya hukum syariah yang pasti dalam berbagai bidang yang
dibahas oleh ijtihad dan memandang semua mujtahid yang berbeda pendapat itu
sebagai benar. Doktrin tashwib yang merupakan pijakan konsep kekurangan dalam
syariah ini mengubah tugas para fakih dalam bidang ijtihad menjadi tugas
legislasi dan bukan menemukan hukum. Dengan demikian ijtihad oleh mazhab ini
tidak dipandang berdasarkan konsep tentang kekurangan dalam syariah sebagai
sarana untuk menemukan hukum-hukum syariah, lantaran tidak ada hukum syariah
pasti yang harus ditemukan oleh ijtihad dalam cakupannya. Maka akal dan ijtihad
menjadi dasar perumusan hukum-hukum baru oleh mujtahid, sesuai dengan penilaian
individualnya. Dengan cara begini, ijtihad pun berubah berdasarkan doktrin
tashwib menjadi sumber legislasi dan seorang fakih menjadi seorang pembuat
hukum dalam berbagai masalah yang membutuhkan ijtihad, dan yang menemukan hukum
dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan teks-teks al-Quran dan Sunnah.
Pandangan
Islam liberal bahwa al-Quran dan Sunnah memerlukan kontektualisasi dalam
kehidupan dan tidak mempunyai penafsiran tunggal, ini harusnya juga mempunyai
pertanyaan lanjutan. Siapa yang berhak melakukan penafsiran dan
kontektualisasi. Abu Zahrah menyebut beberapa sifat yang mutlak yang harus
dipenuh oleh seorang mujtahid yaitu kecerdasan dan kearifan, juga niat yang tulus
dan itikad yang baik.[32]
Jadi dalam hal ini ada aspek teknis yaitu ilmu dan aspek kepribadian yaitu
akhlak. Zainal Abidin menyebut beberapa ilmu yang harus dikuasai oleh seorang
mujtahid di antaranya: menguasai nahwu, sharaf, balaghah, menguasai ulm al-Quran
(seperti sebab-sebab turunya al-Quran, tafsir) dan lain-lain.[33]
Tanpa kedua persyaratan ini maka ajaran Islam akan menjadi sekedar perdebatan
wacana dan kehilangan kehilangan energi dalam membimbing kaum Muslimin yang itu
terwujud dalam diri para mujtahid.
Di sini bukan berarti seorang insiyur tidak dapat menafsirkan al- Quran. Jika ia mempunyai kemampuan dalam bidang ilmu-ilmu al-Quran tentu ia dapat menafsirkan sesuai dengan kemampuan ilmunya. Misalnya tidak mungkin orang yang tidak mempunyai otoritas ilmu kedokteran melakukan pengobatan apalagi pembedahan. Namun begitu penafsiran al- Quran dan ijtihad dalam Islam tidaklah tertutup, dan dimungkinkan setiap orang untuk melakukannya tentu saja jika orang itu berilmu. Dalam hal ini Islam memberikan kesamaan kesempatan kepada setiap orang baik laki-laki atau perempuan untuk menuntut ilmu. Islam liberal dalam hal ini telah menyamakan kemampuan semua oroang untuk melakukan ijtihad, padahal tidak semua orang mempunyai kemampuan (ilmu) untuk berijtihad. Ini tergambar dari penjelasan Kurzman pada tema kebebasan berfikir yang menentang taqlid.[34]
Di sini bukan berarti seorang insiyur tidak dapat menafsirkan al- Quran. Jika ia mempunyai kemampuan dalam bidang ilmu-ilmu al-Quran tentu ia dapat menafsirkan sesuai dengan kemampuan ilmunya. Misalnya tidak mungkin orang yang tidak mempunyai otoritas ilmu kedokteran melakukan pengobatan apalagi pembedahan. Namun begitu penafsiran al- Quran dan ijtihad dalam Islam tidaklah tertutup, dan dimungkinkan setiap orang untuk melakukannya tentu saja jika orang itu berilmu. Dalam hal ini Islam memberikan kesamaan kesempatan kepada setiap orang baik laki-laki atau perempuan untuk menuntut ilmu. Islam liberal dalam hal ini telah menyamakan kemampuan semua oroang untuk melakukan ijtihad, padahal tidak semua orang mempunyai kemampuan (ilmu) untuk berijtihad. Ini tergambar dari penjelasan Kurzman pada tema kebebasan berfikir yang menentang taqlid.[34]
Umat
Islam perlu berijtihad dalam menjawab masalah-masalah kehidupan. Al-Quran
merupakan Grand Theory tentang seluruh kehidupan di alam ini, yang kemudian
mendapatkan penjelasan dari sunnah. Sehingga untuk menarik ketentuan hukum
dalam kehidupan maka proses deduksilah yang harus dilakukan.[35]
Ijtihad
tentu tidak berkaitan dengan masalah fiqh saja. Sebagaimana yang dikatakan
Fakhruddin al-Razi yang mendefinisikan ijtihad sebagai pengerahan kemampuan
untuk memikirkan hal apa saja yang tidak mendatangkan celaan. Sehingga ijtihad
dapat dilakukan dalam bidang politik, akidah, tasawuf dan filsafat. Pengerahan
kemampuan dalam bidang yang bukan fiqh ini adalah dalam kerangka amaliy yang
menurut al-Syaukani berarti pengerahan kemampuan dalam menghasilkan hukum ilmi.[36]
F. Penutup
Dari
pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Leonard
binder dalam bukunya yang berjudul “Islam Liberal: kritik terhadap
ideology-ideologi pembangunan” mengemukakan pandangannya tentang Islam liberal,
tidak memfokuskan pada masalah-masalah Islam secara khusus, tetapi menitik
beratkan pada masalah politik, dengan mengutip pikiran Ali Abdul Roziq yang
menolak rekonstruksi Negara Islam. Menurutnya, Islam tidak secara khusus
menunjuk perlunya Negara Islam (khilafah) , karena tidak ada satupun
dalil yang menunjuk hal ini.
2. Charles
Kurzman dalam bukunya yang berjudul “Wacana Islam Liberal: Pemikiran islam
kontemporer tentang isu-isu global: mengemukakan pandangannya tentang tiga tipe
Islam liberal yaitu Syariah liberal, syariah yang diam dan syariah yang
ditafsirkan.
[1] A.
Muchith Muzadi dalam kata pengantar NU
dan Fiqih Kontekstua, (Yogyakarta:LKPSM DIY, 1995), h. VI
[2]Zuli Qodir. "wajah Islam Liberla di
Indonesia: Sebuah PenjajaganAwal" dalam al-Jami'ah Journal of Islamic
Studies,2002), h. 328.
[3]Leonard Binder.“Islamic Liberalism”. University of Chicago Press. Buku ini sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Islam Liberal: Kritik terhadap Ideologi-ideologi Pembangunan”, (Yogyakarta:
Pusataka Pelajar, 1988), h. 32.
[4]
Pendapat Owen Chadwik ini dikutip oleh Adian Husaini, MA., Mengapa Barat
Menjadi Sekular-Liberal?, (Kairo-Mesir: 2006), h. 12
[8] ‘Ali
‘Abdul Roziq (1866-1966) tokoh pertama yang menjadi rujukan kaum liberal.Beliau
dikenal dengan karya-karya tulisnya
[13] Charles
Kurzman, Liberal Islam: Prospect and Challenges, Journal Meria, Vol.3, No.3.
November 1999. Penulis tidak sepakat dengan Kurzman bahwa kebangkitan Islam
liberal karena faktor gagalnya Pemerintahan Islam. Kasus Sourush di Iran
seperti yang dijadikan contoh oleh Kurzman, bukan menunjukkan gagalnya
pemerintahan Islam Iran, tapi lebih menunjukkan perbedaan prinsip dan
pengertian demokrasi dalam wacana Islam dan Barat.
[18]
Abdurrahman I Doi, Constitutionalism in Islamic lau (Zaria, Nigeria:
center for Islamic legal studies, Ahmadu Bello University, 1977), Maurice
Bucaille, The Bible, The Qur’an and science (Indianapolis, ind: American Trust
Publiction, 1978)
[19]
Mengenai penyimpangan, “sripturalism liberalism”, lihat Binder, Islamic
Liberalism, h. 224. Mengenai elemen-elemen liberalism barat yang tidak
liberal (illiberal) lihat J. Sandel, Liberalism and the limits of justice
(Cambridge: Cambridge University Press, 1982)
[20]
Muhammad Salim Al-Awwa’, Political Pluralism from an Islamic Perpective, dalam
Azzam Tamimi, Power Islam, (London, Liberty for Muslim Word
Publications, 1993). h. 72-73. Lihat juga Muhammad S. El-Awa, On the
Political System of the Islamic State ,1975, terjemahan oleh Ahmed Nadji
al-Imam (Indianapolis, ind: American Trust Publication, 1980), h. 83
[21] Said
Ramadhan, Three Major Problems Confronting the Word of Islam (1960),
dalam Ahmed Ibrahim, Sharon Siddique, dan Yasmin Husain, Readings on Islam
in Southeas in Asia (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies,
1985), h. 330
[22]
Ayatullah Syed Muhmmad Bahrul
Uloom, Islam, Democrasy, and the
future of Iraq, dalam Richard W.Bulliet, under siege: Islam and Democrasy,
(New York:nThe Middle East Institusi of Columbia University, 1994), h. 26
[24]
Pengantar ini tentunya ditulis Kurzman pada tahun 1998, dimana matori Abdul
jalil masih menjadi salah satu seorang pemimpin partai persatuan pembangunan
(ppp) sebelum kemudian ia mendirikan partai
kebangkitan bangsa (PKB) pasca revormasi.
[34] Menurut
penulis taqlid dalam bidang hukum fiqh merupakan harus tetap dijalankan, namun
taqlid dalam bidang akidah tidak boleh dilakukan Karena akidah merupakan
pertanggungjawaban secara individual kepada Allah yang memerlukan alasan-alasan
yang dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan taqlid dalam bidang fiqh hanya
kepada mujtahid yang mempunyai otoritas. Lihat, Jalaluddin, Ibid, h. 74, 166
[36] Para
ahli fuqaha umumnya tidak membolehkan ijtihad dalam bidang akidah dan tasawuf.
Lihat, Jalaluddin Rahmat (ed)., Ibid., h. 182
No comments:
Post a Comment