HOME

Wednesday, November 15, 2017

ISLAM LIBERAL (Kajian Atas Karya Leonard Binder dan Charles Kurzman)

ISLAM LIBERAL
(Kajian Atas Karya Leonard Binder dan Charles Kurzman)
Luluk Susanti  16771021
Mahasiswa Prodi Magister Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN  Maulana Malik Ibrahim Malang

A.  Pendahuluan
Selama roda zaman masih berputar, pemikiran manusia tidak akan pernah berhenti, tak terkecuali pemikiran keagamaan, khususnya Islam. Pemikiran kegamaan Islam akan terus berjalan mengikuti alur perjalanan zaman. Dan ini merupakan sunnatullah yang harus dijalani oleh manusia. Oleh karena itu perkembangan pemikiran Islam tidak dapat dihindarkan meskipun sumber utama Islam adalah teks-teks dari Tuhan, karena teks-teks tersebut tidak lebih dari deretan huruf dan onggokan ayat yang tidak mempunyai arti tanpa dibaca dan diinterpretasikan manusia.[1] Manusia sebagai makhluk yang berperadaban, selalu menuntut dan memunculkan fenomena fenomena baru yang selalu membawa problem dan membutuhkan pemecahan. Oleh karena itu pemikiran manusia, termasuk pemikiran keagaman Islam tidak akan pernah berhenti dan tidak akan pernah sepi di manapun berada.[2]
Istilah Islam Liberal disusun dari dua buah kata, yaitu Islam dan liberal. Islam maksudnya adalah agama Islam yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad saw. Dan Liberal yang artinya adalah kebebasan. Kata Liberal adalah satu istilah asing yang diambil dari kata Liberalism dalam bahasa Inggris dan liberalisme dalam bahasa perancis yang berarti kebebasan. Kata ini kembali kepada kata Liberty dalam bahasa Inggrisnya dan Liberte dalam bahasa prancisnya yang bermakna bebas. Setelah dua kata ini disusun, kata liberal berfungsi sebagai keterangan terhadap Islam, sehingga bisa secara singkat bisa dikatakan islam yang liberal atau bebas. Gerakan Islam liberal, sebagaimana ditulis oleh tokohnya tujuannya adalah untuk untuk membebaskan (liberating) umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kejumudan.
Munculnya Islam liberal tidak lepas dari masalah-masalah bagaimana Islam menjawab tantangan kehidupan, yang dengan kata lain tantangan modernisai. Islam liberal dalam menjawab itu mempunyai asumsi-asumsi penegakan sebagai berikut. Pertama, makna al-Quran harus mempunyai kontekstualisasi dalam kehidupan. Kedua bahwa syariah itu tidak lengkap.
Lahirnya pemikiran Islam Liberal di kalangan pemikir dan intelektual tidak dapat terlepas dari pengaruh dari para pemikir Barat yang menggagas liberalisasi Islam. Gerakan liberalisasi pemikiran Islam yang akhir-akhir ini semakin marak, sebenarnya lebih berunsur pengaruh eksternal daripada perkembangan alami dari dalam tradisi pemikiran Islam. Pengaruh eksternal itu dengan mudah dapat ditelusur dari trend pemikiran liberal di Barat dan dalam tradisi keagamaan Kristen. Leornard Binder, diantara sarjana Barat keturunan Yahudi yang bertanggungjawab mencetuskan pergerakan Islam liberal dan mengorbitkannnya pada era 80-an, telah memerinci agenda-agenda penting Islam Liberal dalam bukunya Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies. Dalam buku ini ia menjelaskan premis dan titik tolak perlunya pergerakan Islam Liberal didukung dan di sebar luaskan. Selain rational discourse yang merupakan tonggak utamaya, gerakan ternyata tidak lebih daripada alat untuk mencapai tujuan politik yaitu menciptakan pemerintahan liberal. Binder menjelaskan: “ Liberal government is the product of a continuous process of rational discourse…. Political Liberalism in this sense, is indivisible. It will either prevail worldwide, or it will have to be defended by nondiscursive action .”[3]
Gerakan Islam liberal, sebagaimana ditulis oleh tokoh-tokohnya bertujuan untuk membebaskan (liberating) umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kejumudan. Sayangnya, gerakan ini menjadi liar dan benar-benar liberal, hingga mereka pun hendak melepaskan diri dari nash-nash al-Qur’an dan Hadits. Kalaupun mereka masih mengutip Qur’an dan Hadis, mereka adakan penafsiran liberal sedemikian rupa hingga memenuhi selera mereka.
B.  Konsep Islam Liberal
Istilah Islam Liberal disusun dari dua buah kata, yaitu Islam dan liberal. Islam maksudnya adalah agama Islam yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad saw. Dan Liberal yang artinya adalah kebebasan. Kata Liberal adalah satu istilah asing yang diambil dari kata Liberalism dalam bahasa Inggris dan liberalisme dalam bahasa perancis yang berarti kebebasan. Kata ini kembali kepada kata Liberty dalam bahasa Inggrisnya dan Liberte dalam bahasa prancisnya yang bermakna bebas.
Setelah dua kata ini disusun, kata liberal berfungsi sebagai keterangan terhadap Islam, sehingga bisa secara singkat bisa dikatakan islam yang liberal atau bebas. Gerakan Islam liberal, sebagaimana ditulis oleh tokohnya tujuannya adalah untuk untuk membebaskan (liberating) umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kejumudan
Lanjut Menurut Owen Chadwik Kata “Liberal” secara harfiah artinya bebas (free) dan terbuka, artinya “bebas dari berbagai batasan” (free from restraint).[4] Seandainya kita sifatkan dengan kata Islam berarti Islam yang bebas dan terbuka. Kita akui dalam Islam memang tidak ada paksaan namun bukan berarti bebas secara total. ‘Islam’ itu sendiri memiliki makna “pasrah”, tunduk kepada Allah dan terikat dengan hukum-hukum yang dibawa Muhammad SAW. Dalam hal ini, Islam tidak bebas. Tetapi disamping Islam tunduk kepada Allah SWT, Islam sebenarnya membebaskan manusia dari belenggu peribadatan kepada manusia atau makhluk lainnya. Jadi, bisa disimpulkan Islam itu “bebas” dan “tidak bebas”.[5]
Islam Liberal meyakini bahwa Islam selalu dilekati kata sifat, sebab pada kenyataannya Islam ditafsirkan secara berbeda-beda  sesuai dengan kebutuhan penafsirnya. Sehingga dipilihlah satu jenis tafsir, dan dengan demikian satu kata sifat terhadap Islam, yaitu ”Liberal”. Sebuah istilah yang digunakan untuk mengungkapkan rasa ketidak krasanan terhadap pemahaman agama yang telah dipahami kebanyakan orang.

Istilah Islam Liberal ini diperkenalkan oleh seorang intelektual asal India, Asaf 'Ali Asghar Fyzee, pada tahun 1950-an. Pada salah satu tulisannya dia menuliskan, ”Kita tidak perlu menghiraukan nomenklatur” Tetapi jika sebuah nama harus diberikan padanya, marilah kita sebut itu 'Islam liberal”. Kemudian istilah ini dipopulerkan di Indonesia melalui karya Greg barton, Leonard Binder dan Charles Kurzman.
Dari sekian penulis, Kurzman lah yang paling jelas dalam mendefinisikan Islam liberal. Kurzman mengidentifikasi liberal Islam dengan empat agenda Dalam pendangannya Islam liberal ditandai dengan beberapa agenda, yaitu pluralisme, demokratisasi dan sekularisasi, feminisme dan kesetaraan gender, serta re-interpretasi fiqh (syari’ah) dengan interpretasi yang liberal.
C.   Leonard Binder
1.    Biografi Leonard Binder
Leonard Binder lahir 20 Agustus 1927 di Boston Massachusetts Amerika. Ia adalah seorang ilmuwan politik Amerika. Dia adalah seorang profesor terkemuka ilmu politik dan direktur Pusat Timur Dekat di University of California, Los Angeles (UCLA). Binder juga Ketua Departemen Ilmu Politik dari UCLA dan University of Chicago. Dia dipilih mahasiswa Fellow American Academy of Arts dan Ilmu Pengetahuan pada tahun 2002.
Binder  adalah  seorang yang beragama Yahudi yang dikenal sebagai ahli Internasional untuk bidang Politik Timur Tengah dan Pemikiran Politik Islam. Jabatan Guru Besarnya mendapat sponsor dari UCLA, beliau juga seorang pendiri dan mengabdi sebagai Presiden Asosiasi Studi-Studi Timur Tengah di Amerika Utara (MESA), mantan anggota Komite Perbandingan Politik dan Studi-Studi Timur Tengah pada Dewan Riset Ilmu Sosial, mantan peserta Yayasan Ford untuk orang luar dan pernah menjadi peserta persahabatan dari Rockefeller Foundation, Dewan Riset Ilmu Sosial, the National Endowment untuk kemanusian, the Woodrow Wilson Foundation, Pusat studi Lanjutan di Yerussalem.[6]
Dalam melakukan panelitian Binder sering bersama-sama Fazlur Rahman. Di antara penelitiannya adalah tentang “Islam dan Perubahan Sosial”. Riset yang dibiayai oleh Ford Foundation itu,melibatkan puluhan ahli dan meneliti lima masalah pokok. Pertama, pendidikan agama dan peran ulama dalam Islam. Kedua, syariat dan kemajuan ekonomi. Ketiga, keluarga dalam masyarakat dan hukum Islam masa kini. Keempat, Islam dan masalah legalitas politik. Kelima, perubahan konsepsi-konsepsi stratifikasi di dalam masyarakat muslim masa kini.  Negeri-neger yang dipilih untuk riset Binder adalah Indonesia, Pakistan, Mesir, Turki, Iran dan Maroko. Hasil risetnya kemudian di bukukan oleh Fazlur Rahman dalam karyanya Islam and Modernity : Tranformation of an Intellectual Tradition (1982).
Di antara karya-karya tulisnya yang telah dipublikasikan: 
- Religion and Politics in Pakistan (1961)
- Iran : Political Development in a Changing Society (1962)
- The Ideological revolution in the Middle East (1964)
- In a Moment of Enthusiasm : Political Power and the second Stratum in Egypt (1978)
- Islamic Liberalism(1988)
2.    Islam Liberal Leonard Binder
Dalam buku, Islamic Liberalism : A Critique of Development (1988), Leonard Binder memfokuskan kajiannya,  dalam  liberalisme Islam dengan Liberalisme politik. Buku tersebut mempertimbangkan pendapat bahwa dewasa ini sekularisme mulai kurang mendapat sambutan dan cenderung tidak dipakai sebagai basis ideologi  bagi liberalisme politik di Timur Tengah. Buku tersebut mempertanyakan mungkin-tidaknya   liberalisme Islam diwujudkan, dan menyimpulkan bahwa, tanpa liberalisme Islam yang kuat, liberalisme politik tidak akan berhasil di Timur Tengah.
Melihat perkembangan kawasan Timur Tengah, dengan munculnya gerakan-gerakan pemikir pembaharu Islam, yang berusaha mengadakan pembaharuan dalam bidang politik. Gerakan tersebut dimotori oleh para tokoh seperti Almaududi, dengan Jama’ah Islamiyahnya, Sayid quthb,dan Hasan Al-Banna dengan Ikhwanul Musliminnya. Pemikiran yang mereka  sampaikan adalah memberikan penyadaran  kapada umat, bahwa dalam sejarah umat Islam berada dalam naungan pemerintahan Islami, pemerintahan tersebut berlangsung dalam kurun waktu yang sangat penjang (kurang lebih delapan abad). Dan bahwasanya Islam  tidaklah hanya mengurus masalah ibadah-ibadah seperti; shalat, puasa zakat, haji, pernikahan, masalah warisan dan lain-lain yang bersifat individual, akan tetapi Islam adalah agama yang sempurna (Syumul), mengurus semua aspek kehidupan umat, mulai dari akidah, ibadah, muamalah, ekonomi, hukum,  dan politik (pemerintahan).
Adanya pemerintahan, yang dengannya dapat ditunaikan  hak-hak setiap orang . Untuk mewujudkan hal tersebut para tokoh pergerakan pembaharu Islam menawarkan agar umat Islam kembali kepada sistem pemerintahan Islami, yang dipimpin oleh seorang kholifah. Sedangkan sistem perintahannya disebut khilafahadanya pemerintahan, yang dengannya dapat ditunaikan  hak-hak setiap orang . Untuk mewujudkan hal tersebut para tokoh pergerakan pembaharu Islam menawarkan agar umat Islam kembali kepada sistem pemerintahan Islami, yang dipimpin oleh seorang kholifah. Sedangkan sistem perintahannya disebut khilafah.
Sehingga dapat dipahami bahwasannya kegiatan mengurus umat atau masyarakat tidaklah terlepas dari adanya pemerintahan, yang dengannya dapat ditunaikan  hak-hak  setiap orang . Untuk mewujudkan hal tersebut para tokoh pergerakan pembaharu Islam menawarkan agar umat Islam kembali kepada sistem pemerintahan Islami, yang dipimpin oleh seorang kholifah. Sedangkan sistem perintahannya disebut khilafah.
Salah satu ulama’ termuka, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa kekholifahan adalah satu-satunya bentuk pemerintahan Islam yang mungkin diwujudkan. Dia menegaskan bahwa kekhalifahan adalah “wajib” hukumnya dengan catatan bahwa lembaga ini memberlakukan hukum Islam sebagai tindak lanjut dari ijma’ (kesepakatan) para sahabat Rasul, golongan salaf, (pemeluk Islam pertama) dan umat, dan lembaga ini “diperlukan”  bagi pemerintahan dalam arti bahwa ia memenuhi tuntutan alamiah dari semua komunitas manusia.[7]
Adanya Keyakinan bahwa di dunia Islam sebaiknya membentuk diri sebagai komunitas politik tidak bisa dilepaskan dari teori kekhilafahan, yang pernah terbukti dalam sejarah menjadi payung bagi umat Islam selama beberapa abad. Khilafah adalah  bentuk ideal pemerintahan Islam, yang menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber hukum utama dalam mengatur kehidupan umat. Namun  setelah keruntuhannya pada tahun 1924 M. oleh Kemal Attaturk  di Turki, semenjak itulah umat Islam tidak lagi memiliki seorang khalifah.
Sebagai reaksi untuk mengahadapi realitas pemikiran para tokoh gerakan pembaharu Islam tersebut, Binder sebagai seorang tokoh liberal mengkritik pemikiran Almaududi dan Sayid Quthb. Disamping ia juga mengkritik pendapat Dhiyauddin Rais yang mengkritik buku Ali Abdul Roziq.[8] Binder menyebut kritikan ke Abdul Roziq sebagai kritik yang penuh kegusaran.[9]
Dalam kritikannya terhadap Almaududi dan Sayid Quthb, Binder menyajikan karya radikal ‘Ali ‘Abd. Roziq yang menekankan pemisahan antara agama dan politik dalam Islam.  Leonard Binder dalam bukunya menyatakan bahwa titik sentral karakter tantangan intelektual yang dimunculkan oleh Ali Abd. al-Raziq terhadap para Ulama tradisional al-Azhar dalam bukunya al-Islam wa Ushul al-Hukm, adalah perbedaan antara makna komunitas politik dan pemerintahan. Dalam arti, apakah Umat Islam itu bisa dimaknai sebagai komunitas politik atau komunitas religius an sich dan apakah pemerintahan itu menjadi bagian dari risalah kenabian. Tesis yang dilontarkan Ali Abd. al-Raziq yang secara tajam menyatakan bahwa Umat Islam adalah komunitas religius an sich dan risalah tidak terkait dengan pemerintahan, diposisikan sebagai pemikiran liberal Mesir modern yang terbaik, dan sebagai bahan perdebatan politik yang menarik.
Buku itu, berikut reaksi resmi terhadapnya banyak menarik perhatian pada tahun 1925 sewaktu diterbitkannya untuk pertama kalinya. Banyak sejarahwan pemikiran Mesir yang mengupasnya, terutama Albert Hourani dalam karyanya Arabic Thought in Liberal Age, 1798-1939, dan Muhammad Imarah dalam al-Islam wa Ushul al-Hukm li Ali Abd. al-Raziq.
Gagasan utama Roziq dalam buku tersebut adalah bahwa Islam tidak menetapkan bentuk rezim atau pemerintahan tertentu bagi kaum muslimin menurut persyaratan yang dibuat oleh sistem itu sendiri,  Islam justru memberi kebebasan untuk membentuk Negara sesuai dengan kondisi intelektual, sosial dan ekonomi, dengan mempertimbangkan perkembangan sosial dan tuntutan zaman. Al-Raziq mengulang pendapatnya bahwa:
“kekhalifahan bukan rezim negara, bahwa lembaga ini tidak disyaratkan dalam Islam, dan bahwa – terlepas dari niat para khalifah – tidaklah mungkin ada pengganti, atau khalifah yang mengantikan kedudukan Rasulullah, karena Rasul tidak pernah menjadi raja, dan tidak pernah berusaha mendirikan sebuah negara ataupun pemerintahan. Dia adalah pembawa pesan yang diutus oleh Allah, dan dia bukan pemimpin politik.”[10]
Lebih lanjut al-Raziq menjelaskan, bahwa Rasul memang dapat menangani persoalan-persoalan politik umatnya, namun menurut al-Raziq, Rasul adalah tugas yang unik yang tidak bisa didelegasikan kepada orang lain, karena berhubungan dengan potensi kenabian yang hanya dimiliki olehnya par exellence. Sehingga paska Rasul, tidak akan ada lagi model kepemimpinan yang sama dengan model kepemimpinan Rasul. Sehingga khalifah yang dimaknai sebagai kepemimpinan pengganti Rasul sungguh tidak masuk akal.
Urusan politik adalah urusan dunia yang tidak terkait langsung dengan agama, bahkan terpisah sama sekali dengan agama. Menurut al-Raziq, adalah masuk akal jika dunia akan menganut satu agama dan bahwa semua umat manusia dapat diatur dalam satu kesatuan agama. Namun, lanjut al-Raziq, kepenganutan seluruh dunia pada satu pemerintahan dan dikelompokkan pada satu kesatuan politik bersama akan bertentangan dengan sifat dasar manusia dan tidak terkait dengan kehendak Tuhan. Karena hal itu merupakan tujuan duniawi, dan Tuhan telah menyerahkan urusannya kepada manusia untuk memikirkannya.
Dalam membangun tesis pemisahan agama dan politik, al-Raziq menghindarkan diri dari pemikiran skriptualistik, idealistik maupun formalistik. Al-Raziq menegaskan bahwa tidak ada rujukan yang dapat dipakai di dalam al-Qur’an maupun Hadits untuk membuktikan adanya persyaratan menggerakkan sistem kekhalifahan. Peraturan tentang kekuasaan politik, politheisme, perbudakan atau tentang apapun tidak lantas menjadi wajib hanya karena dibahas dalam al-Qur’an. Dalam al-Qur’an yang sangat terkenal, “patuhlah kepada Allah, Rasul dan ulil amri,”  tidak dengan serta merta merujuk kepada penguasa politik baru manapun.
Dengan mengacu pada mufassir seperti Baidhawi dan Zamakhsyari, al-Raziq menyatakan bahwa kata-kata ulil amri ditafsirkan sebagai “sahabat Nabi,” atau “ulama”.  Oleh karena itu ia membantah bahwa Nabi Muhammad telah membentuk negara Islam di Madinah. Nabi hanya Rasulullah, bukan raja ataupun pemimpin politik. Ia menyatakan : Muhammad merupakan utusan untuk misi keagamaan yang penuh dengan keberagamaan, bersih dari kecenderungan pada sistem kerajaan dan pemerintahan dan dia tidak memiliki pemerintahan, tidak juga memerintah, dan bahwa ia tidak mendirikan sebuah kerajaan dalam pengertian politik baik dari term tersebut ataupun yang semakna dengannya, karena ia hanyalah seorang utusan sebagaimana pembawa risalah sebelumnya. Dia bukan seorang raja, atau pendiri negara, dia tidak pernah berusaha untuk memiliki kekuasaan.
Al-Raziq membangun argumennya dengan banyak merujuk kepada teks-teks al-Qur’an maupun Hadis. Salah satu teks yang menjadi rujukan adalah :
“ Katakanlah aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak pula menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa memudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa kabar gembira bagi orang-orang beriman.”[11]
Dari pemahaman teks diatas al-Raziq membangun tesisnya yang fundamental, bahwa Muhammad Rasulullah tidak mempunyai hak apa-apa atas umatnya selain hak risalah. Kalau saja Rasulullah seorang raja, kata al-Raziq, tentunya dia juga mempunyai hak-hak seorang raja atas umatnya. Dan melihat fenomena kekuasaan raja pasca wafatnya Rasulullah, dengan tegas ia menyatakan : “Seorang raja tidak memiliki hak risalah, keutamaannya bukan keutamaan risalah, keagungannya bukan keagungan risalah”.
Menurut al-Raziq, al-Qura’an secara jelas menerangkan bahwa nabi Muhammad hanya seorang rasul yang tidak ada rasul lain sesudahnya Ia juga menjelaskan bahwa Muhammad tidak mempunyai tugas lain selain menyampaikan risalah Allah kepada manusia. Dan ia tidak dibebani apa-apa selain agar menyampaikan risalah itu, dan ia tidak berkewajiban memaksa manusia agar menerima apa yang dia bawa.
Dengan bersikukuh bahwa Rosulullah bukanlah pemimpin politik, dan bahwa khalifah bukanlah penerus Rosulullah, Abd. Raziq mengingkari adanya peralihan legitimasi politik dari Rosulullah kepada khalifah. Tampaknya dia berkeyakinan bahwa komunitas beragama yang memiliki kesamaan berkat misi dakwah Rasulullah tidak memiliki dimensi politik. Kegigihannya mempertahankan pendapat bahwa Muhammad bukan pemimpin politik tentunya nyaris tak dapat diterima, dari sudut pandang historis maupun tradisional.
Binder berusaha memisahkan agama dengan politik, dengan mempertahankan pendapat yang diungkapkan oleh Ali Abdul Roziq. Menurutnya cukuplah urusan kepemimpinan diserahkan kepada umat untuk menentukannya, kepemimpinan atau pemerintahan apa diinginkan. Tanpa harus diformalkan dalam bentuk Negara Islam. Namun hal ini menurut beliau belum berjalan dapat mulus, karena dibanyak tempat keduanya masih menyatu. Sehingga dalam bukunya Binder mempertanyakan mungkin tidaknya liberalisme Islam diwujudkan, dan beliau menyimpulkan bahwa tanpa liberalisme Islam yang kuat, liberalisme politik tidak akan berhasil diwujudkan. Dengan kata lain, “bila sebuah Negara ingin politik liberalnya kuat, maka Islam liberal harus lebih dulu diperkuat”.
3.    Jenis Liberal Leonard Binder
Klasifikasi politik liberal islammenurut Leonard Binder:
a. Islam Liberal, yang berpandangan bahwa ide Negara Islam Liberal dimungkinkan dan diperlukan karena Islam memiliki semangat yang demokratis dan liberal, dan terutama karena, di bidang politik, Islam tidak banyak memiliki ketentuan khusus. Pandangan kelompok liberal ini adalah bahwa Islam sedikit, atau tidak, memiliki ketentuan mengenai lembaga politik, dan tidak banyak tuntutan keagamaan yang diwajibkan pengamalannya kepada otoritas politik masa kini atau unsur-unsur di bawahnya. Kaum liberalisme Islam kategori pertama ini tidak menyatakan bahwa Islam memisahkan agama dari Negara. Mereka justru berpendapat bahwa kebisuan Islam terhadap pertanyaan seputar lembaga Negara mengisyaratkan bahwa kaum muslim dibolehkan membentuk institusi liberal jika mereka menghendaki demikian. Bahkan, mereka cenderung menyimpulkan, dari kebisuan syari’ah terhadap perkara institusi polotik, bahwa Islam hanya cocok dengan system liberal di mana kaum muslimin bebas memilih dan mengubah struktur politik mereka. Meski demikian, Negara yang mereka usulkan tetap Negara Islam.
b.  Liberalisme Islam, yang membenarkan dibentuknya institusi-institusi liberal (parlemen, pemilu, dan hak-hak sipil) dan beberapa kebijakan kesejahteraan sosial, bukan berdasarkan tiadanya undang-undang Islam yang kontradiktif, melainkan berdasarkan ketentuan Islam yang sangat khusus, yang umumnya mereka kutip  dari sumber-summber keagamaan dan dari sejarah kekhalifahan awal.

D.  Charles Kurzman
1.    Biografi Charles Kurzman
Charles kurzman lahir pada 6 November 1963. Ia adalah seorang profesor sosiologi di University of North Carolina di Chapel Hill dan co-direktur Pusat Carolina untuk Studi Timur Tengah dan Peradaban Islam. Dia adalah penulis The Martir Hilang (2011), Demokrasi Ditolak, 1905-1915 (2008), dan Revolusi terpikirkan di Iran (2004), dan editor antologi Islam Liberal (1998) dan Islam Modernis, 1840-1940 (2002 ).
Menurut Kurzman, paham liberal dalam pemikiran Islam sesungguhnya telah muncul di antara gerakan-gerakan revivalis Islam sejak abad XVIII, masa yang subur bagi perdebatan-perdebatan keislaman. Figur terpenting yang menjadi rujukan bagi paham Islam liberal (liberal Islam) terdapat pada diri Shah Waliyullah (1703-1762). Argumentasi menempatkan Shah Waliyullah sebagai nenek moyang intelektual Islam liberal dapat diamati dari pemikirannya yang tampak lebih humanistik dibanding dengan Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1787) dan pelopor kebangkitan Islam lainnya. Sebagai contoh, Waliyullah sangat toleran dengan adat istiadat lokal, yang mungkin oleh kaum revivalis dianggap telah bertentangan dengan rumusan Islam ortodoks. Waliyullah juga sangat menekankan pentingnya ijtihad, dan menolak taqlid. Pandangan Kurzman tersebut sekaligus menunjukkan pada dunia Islam bahwa wacana Islam liberal itu memiliki akar tradisi yang otentik di dalam Islam. Jadi, tidak seperti yang dituduhkan sebagian orang yang mengatakan bahwa Islam liberal itu bersumber dari Barat dan sekular, atau sekurang-kurangnya merupakan kreativitas pemikir muslim dalam merespon tradisi Barat.
Charles Kurzman menegaskan bahwa munculnya Islam liberal adalah dalam rangka melepaskan diri dari Islam adat dan Islam revivalis. Islam adat (customary Islam) ditandai oleh kombinasi kebiasaan-kebiasaan kedaerahan dan kebiasaan-kebiasaan yang juga dilakukan di seluruh dunia Islam. Sebaliknya, Islam revivalis, juga dikenal sebagai Islamisme, Fundamentalisme, atau Wahabisme ditunjukkan dengan menyerang interpretasi adat yang kurang memberi perhatian terhadap inti doktrin Islam. Dalam menghadapi penyimpangan-penyimpangan lokal, tradisi revivalis menginginkan penekanan (pentingnya) bahasa Arab kembali, menegaskan kepalsuan institusi-institusi politik lokal, otoritas kaum revivalis sebagai satu-satunya kelompok penafsir Islam yang memenuhi syarat, dan kebangkitan praktik-praktik keagamaan periode awal Islam. Di sinilah Islam liberal menawarkan diri menjadi alternatif ketiga, dengan pemikirannya yang menegaskan bahwa Islam, jika dipahami secara benar, akan sejalan dengan atau bahkan perintis jalan bagi liberalisme Barat.[12]
Islam liberal dapat menangkap ajaran Islam yang relatif utuh dan sekaligus bersifat nisbi merupakan pilihan untuk melihat Islam yang tanpa politisasi. Selain itu ia merupakan alternatif untuk menjawab pemikiran Islam di Indonesia yang bertumpu dari tradisi Islam tradisionalis dan Islam modernis atau modernisme Islam yang telah dianggap ketinggalan zaman. Kurzman menyebut tiga faktor yang menguatkan kebangkitan Islam Liberal: peningkatan pendidikan, komunikasi internasional, dan gagalnya pemerintahan Islam.[13]
Sejarah kemunculan Islam liberal oleh Kurzman juga ditempatkan dalam konteks dialektika tiga tradisi interpretasi sosio-religius di dunia Islam, yang satu sama lain saling melengkapi bagi sejarah wacana Islam masa kini melalui perspektif masing-masing. Ketiga jenis tradisi tersebut adalah: Islam adat (customary Islam), Islam revivalis (revivalist Islam), dan Islam liberal (liberal Islam).[14]
Tradisi pertama disebut Islam adat, yang ditandai oleh kombinasi kebiasaan kedaerahan dan kebiasaan yang dilakukan di dunia Islam. Kurzman mencontohkan tradisi penghormatan terhadap tokoh-tokoh yang dianggap suci seperti halnya terjadi di Maroko dan di Indonesia. Khusus di Indonesia tradisi semacam ini juga menyangkut pertunjukan-pertunjukan ritual keagamaan dan kekuatan yang mengekpresikan tradisi-tradisi lokal. Dapat juga dicontohkan suara bedug di Afrika Selatan dan tradisi-tradisi musikal lainnya di dunia Islam; kepercayaan suku Kurdi dan umat Islam lainnya terhadap roh; perayaan tahun baru Islam dan hari-hari besar lainnya di Iran dan di dunia Islam lainnya; hirarki sosial yang menyerupai kasta di kawasan Islam Asia Selatan; serta kepercayaan terhadap orang-orang dan benda-benda tertentu yang memiliki kekuatan ghaib. Pada sebagian orang, tradisi-tradisi lokal tersebut bukan saja dapat dipandang bertentangan dengan ajaran Islam, melainkan juga memang terdapat aspek-aspek yang berbeda sesuai dengan adat di masing-masing wilayah. Karena itulah tradisi-tradisi di masing-masing wilayah itu cenderung dijustifikasi pada tingkat lokal saja, tidak pada tingkat global. Tradisi
kedua dan yang merupakan alternatif terpenting dari Islam adat adalah Islam revivalis, atau juga biasa dikenal dengan Islamisme, Fundamentalisme, dan Wahabisme. Tradisi ini menyerang interpretasi adat (customary interpretation) yang dianggap kurang memberikan tekanan pada doktrin Islam. Dalam menghadapi penyimpangan lokal, kaum revivalis menghendaki pentingnya kembali kepada wahyu, menegaskan kepalsuan institusi-institusi politik lokal yang dianggap telah merebut kedaulatan Tuhan, otoritas kaum revivalis sebagai satu-satunya penafsir Islam yang memenuhi syarat, serta kebangkitan praktik keagamaan di periode awal Islam. Sebagai contoh gerakan tradisi revivalis Islam adalah gerakan Muhammad bin Abdul Wahhab pada abad XVIII, yang
kemudian menjadi prototipe untuk semua gerakan pemurnian Islam yang bertujuan membersihkan ajaran Islam dari adat lokal dan praktek-praktek yang tidak islami. Tradisi ketiga adalah Islam liberal (liberal Islam). Islam liberal mendefinisikan dirinya berbeda dengan tradisi Islam adat dan menyerukan keutamaan periode awal Islam untuk menegaskan ketidakabsahan praktek keagamaan masa kini. Sepintas memang dapat dikatakan bahwa ada kesamaan pandangan antara tradisi Islam revivalis dengan Islam liberal. Perbedaannya, Islam liberal menghadirkan kembali masa lalu untuk kepentingan modernitas, sementar Islam revivalis mengaskan modernitas atas nama masa lalu. Meski terdapat beberapa versi Islam liberal, namun satu elemen yang umum adalah kritiknya baik terhadap tradisi Islam adat maupun Islam revivalis, yang dikatakan mengalami keterbelakangan (backwardness). Menurut Islam liberal, kedua tradisi tersebut telah menghalangi dunia Islam menikmati buah modernitas, seperti: kemajuan ekonomi, demokrasi, dan hak-hak hukum. Islam liberal juga berpandangan bahwa Islam jika dipahami secara benar, akan sejalan dengan, atau bahkan perintis jalan bagi liberalisme Barat, yang dapat disamakan dengan kemodernan.[15]
2.    Bentuk Islam Liberal
Islam liberal berjalan dalam dua konteks intelektual, yaitu islam dan barat. Sehingga menurut Charles Kurzman dengan menggunakan perdebatan-perdebatan islam ini sebagai konteks, dapat diidentifikasi tiga bentuk (modes) utama islam liberal. Yangmana hal ini melibatkan hubungan liberalisme dengan sumber-sumber primer islam: kitab wahyu (al-Qur’an) dan praktik-praktik dari Rasulullah. (Sunnah) yang bersamaan menetapkan dasar hokum islam (syari’ah). Bentuk pertama menggunakan posisi atau sikap liberal sebagai sesuatu yang secara eksplisit didukung oleh syari’ah, bentuk kedua menyatakan bahwa kaum muslim bebas mengadopsi sikap liberal dalam hal-hal yang oleh syari’ah dibiarkan terbuka untuk dipahami oleh akal budi dan kecerdasan manusia, bentuk ketiga memberikan kesan bahwa syari’ah yang bersifat ilahiyah ditujukan bagi berbagai penafsiran manusia yang beragam. dan Charles Kurzman menyebut tiga bentuk ini dengan syari’ah liberal, silent dan interpreted.[16]
Pemikiran Islam liberal ini kemudian mendapatkan rumusan formula tipologinya oleh Charles Kurzman. Ada tiga tipologi Islam liberal yang dikemukakan Kurzman yaitu syariat yang liberal, silent dan interpreted Kurzman menjelaskan:  Kita dapat mengidentifikasikan tiga (modes) utama Islam liberal. Hal ini melibatkan hubungan liberalisme dengan sumber-sumber primer Islam: kitab wahyu (al-Quran) dan praktik-praktik dari Rasulullah saw (sunnah) yang secara bersamaan menetapkan dasar hukum Islam (syaria). Bentuk pertama menggunakan posisi atau sikap liberal sebagai sesuatu yang secara eksplisit didukung oleh syariah; bentuk kedua menyatakan bahwa kaum Muslim bebas mengadopsi sikap liberal dalam hal-hal yang oleh syariah dibiarkan terbuka untuk dipahami oleh akal budi dan kecerdasan manusia; bentuk ketiga memberikan kesan bahwa syariah yang bersifut ilahiah, ditujukan bagi berbagai penafsiran manusia yang beragam. Yang menyebut ketiga bentuk ini dengan syariah yang liberal, silent dan interpreted.[17]
Kurzman dalam kajian tentang Islam liberal menjelaskan bahwa Islam liberal berakar pada Syah Waliyullah (1703-1762) di India dan muncul di antara gerakan-gerakan pemurnian Islam ala Wahabi pada abad ke-18. Tokoh-tokoh Islam liberal pada tiap zaman misalnya. Jamaluddin al-Afghani di Afganistan, Sayyid Ahmad Khan di India, dan Muhammad Abduh di Mesir. Ketiganya hidup pada abad ke-19. Adapun pada abad 20 terdapat antara lain Abdullah Ahmed Naim, Mohammad Arkoun, Fazlur Rahman, dan Fatima Mernissi. Nurcholish Madjid, cendekiawan Indonesia yang mengibarkan teologi inklusif, juga disebut oleh Kurzman.   

a.    Syariah Liberal (Liberal Shari’a)
Bentuk pertama ini menyatakan bahwa syari’ah bersifat liberal pada dirinya sendiri jika dipahami secara tepat. Sebagai contoh, Ali Bullac (Turki, lahir 1951), salah seorang islamis liberal terkemuka di Turki yang dalam artikel-artikelnya berpendapat bahwa piagam madinah, dimana Rasulullah menjamin hak-hak non-muslim untuk hidup dibawah pemerintahan muslim, menghadirkan contoh bagaimana syari’ah memecahkan masalah-masalah kontemporer secara liberal. Abdurrahman I Doi (India-Nigeria, lahir 1933) berpendapat bahwa al-Qur’an merupakan konstitusi yang pertama didunia, sedangkan orang-orang Kristen Eropa baru menemukan konstitusionalismenya satu abad kemudian. Maurice Bucaille (Perancis lahir 1920) berpendapat bahwa al-Qur’an memberikan metode-metode penalaran ilmiah, sedangkan kalangan ilmiah sekuler satu abad lebih lama untuk memahaminya. Syafique Ali Khan (Pakistan lahir 1936) dan Abdelkebir Alaoui M’Daghri (Maroko, lahir 1942) berpendapat bahwa syar’ah membangun kebebasan berfikir.[18]
“Liberal shari’ah” tidak diragukan lagi, merupakan bentuk islam liberal yang paling berpengaruh. Charles Kurzman memberikan tiga penjalasan. 1) liberal shari’a menghindari tuduhan-tuduhan ketidak otentikan otentitas dengan mendasarkan posisi-posisi liberal secara kuat dalam sumber-sumber islam ortodoks. 2) liberal shari’a mengatakan bahwa posisi liberal bukan sekedar pilihan-pilihan manusia, emalinkan perintah Tuhan (yang membawa pada posisi menyimpang), yang juga membuat liberalism barat menderita, yang melakukan pembenaran atas liberalism dengan merujuk  pada referensi illiberalism, seperti tentang hak-hak yang “diberikan Tuhan”.[19] 3) liberal shari’a itu memberikan rasa bangga akan penemuan yang dihasilkan; berpendapat bahwa islam liberal lebih tua dari liberalism barat merupakan sebuah strategi retorika yang kuat dikalangan orang-orang yang terlalu sering menginternalisasi citra-citra orang barat tentang inferioritas dan keterbelakangan.
Liberal shari’a harus dipahami sebagai lapangan-rumput rumah (home turf) ortodoksi, sebagaimana pada masa-masa awal islam; analisis rinci mengenai makna al-Qur’an, penyelidikan terhadap rantai penyampaian (sanad) hadist Nabi yang dapat dipercaya, penelitian serius sebagai sarana pelatihan para sarjana ortodoks secara intensif.
liberal syari‟ah, yang beranggapan bahwa sebenarnya syari‟ah itu sendiri sejak awalnya sudah liberal jika ditafsirkan apa adanya. Liberalisme Islam merupakan “fitrah” Islam. Alasannya adalah Islam sejak dari awal sudah mempunyai solusi umum atas problem-problem kontemporer.
b.      Syariah yang diam (Silent Shari’a)
Bentuk argumentasi islam liberal yang kedua berpandangan bahwa syari’a tidak member jawaban jelas mengenai topic-topik tertentu. Muhammad Salim Al-Aww’ (mesir, kontemporer), seorang sarjana hokum meringkas pendekatan ini sebagai berikut:
Jika Islam tidak “menyebutkan” sesuatu, hal ini menunjukkan satu dari dua hal: apakah hal ini tidak disebutkan dalam- sumber-sumber trdisional manapun atau kaum muslim tidak pernah mempraktikkannya sepanjang sejarah mereka. Dalam kasus yang pertama, tidak menyebutkan sesuatu berarti sesuatu itu dibolehkan. Pengecualian terhadap peraturan ini hanya berlaku dalam masalah ibadah, dalam kasus kedua merupakan hal yang alamiah bahwa kaum Muslim seharusnya tanggap terhadap perubahan dan perkembangan setiap waktu dan tempat.[20]
Abd al-Raziq, sarjana mesir yang kontroversional, ikut serta memolopori penggunaan jata ini secara figurative pada tahun 1920-an dengan berpendapat bahwa shari’a tidak menyebutkan bentuk khusus dari Negara yang harus diikuti oleh kaum Muslim, karenanya membolehkan pembentukan demokrasi-demokrasi liberal, sebagaimana dicacat oleh  Muhammad Sai’id al-Asmawi (Mesir, lahir 1932) dari sekitar 6000 ayat al-Qur’an, hanya 200 ayat yang memuat aspek hukum, yaitu sepertigapuluh dari qur’an termasuk ayat-ayat yang di dinasakh oleh ayat-ayat sesudahnya. Oleh karena itu Asmawi dan yang lainnya menyimpulkan bahwa al-Qur’an tidak memerintahkan untuk memberlakukan bentuk pemerintahan tertentu.
Syari’ah Tuhan, sebagaimana terangkup dalam al-Qur’an dan Sunnah tidak mengikat manusia dalam hal muamalat, kecuali hanya memberikan beberapa prinsip-prinsip umum sebagai pedoman dan sejumlah kecil perintah. Syari’a jarang mempersoalkan dirinya secara terperinci. Pembatasan syari’a untuk memperluas prinsip-prinsip dan kebisuannya dalam ruang-ruang lain disebabkan oleh kebijakan dan rahmat Tuhan. Fakta bahwa syari’a itu diam dalam masalah tersebut, dan kita seharusnya mencamkannya dalam pikiran kita bahwa, sebagaimana dikatakan dalam al-Qur’an “ Tuhan tidak pernah lupa”, berarti hanya pelaksanaan perintah-perintah yang umum atas perincian kehidupan manusia yang beraneka ragam, dan pertantangan mengenai masalah-masalah baru menurut ketentuan kemaslahatan umum (maslahah) telah diserahkan pada kebijaksanaan bangunan kesadaran kaum muslim.[21] 
Silent Shari’a bersandar kepada tafsir al-Qur’an untuk membentuk pikiran utamanya. Namun beban pembuktian sedikit lebih ringan dibandingkan dengan “liberal shari’a” yang hanya perlu menunjukkan perintah-perintah positif bagi kemampuan pembentukan-pembentukan manusia secara abstrak, ketimbang praktik-praktik liberal secara khusus. Maka, ia memindahkan seluruh wilayah tindakan manusia dari wilayah kesarjanaan al-Qur’an, dimana pendidikan-pendidikan ortodoks memiliki keuntungan yang berbeda, dan menempatkannya dalam wilayah perdebatan public.
Bentuk argumentasi liberal Islam yang kedua ini berpandangan bahwa syariah tidak memberikan jawaban yang jeas mengenai topic-topik tertentu, muhammmad salim al-a’wa (mesir, kontemporer, sarjana hukum) meringkaskan pendekatan ini sebagai berikut: Jika islam tidak  menyebutkan sesuatu, hal ini menunjukakan satu dari dua hal: apakaah hal ini tdak disebutkan dalam sumber-sumber tradisional manapun atau kaum muslim tidak pernah mempraktekkannya sepanjang masa. Dalam kasus yang pertama, tidak menyebutkan sesuatu berarti sesuatu dibolehkan. Pengecualian terhadap peraturan ini hanya berlaku dalan ibadah. Dalam kasus kedua, merupakan hal yang ilmiyah bahwa kaum muslim seharusnya tanggap terhadap perubahan setiap waktu dan tempat.
Model ini berasumsi bahwa Islam tidak banyak berbicara mengenai isu-isu kontemporer. Islam liberal dimungkinkan terjadi pada masalah-masalah tertentu yang tidak ada presedennya dalam Islam baik secara normatif maupun historis. Karena Islam tidak banyak berbicara mengenai isu-isu kontemporer, maka diperlukan kreatifitas, terutama yang menyangkut bidang muamalah.
c.       Syariah yang ditafsirkan (Interpreted Shari’a)
Bentuk ketiga argumentasi Islam liberal dan yang paling dekat pada perasaan atau pikiran-pikiran liberal Barat berpendapat bahwa syari’ah ditengahi oleh penafsiran manusia. Dalam pandangan ini, syarî’ah merupakan hal yang berdimensi ilahiah, sedangkan penafsiran-penafsiran manusia dapat menimbulkan konflik dan kekeliruan. Kesimpulan semacam ini sangat rentan terhadap tuduhan-tuduhan relativisme. Namun, kaum liberal seperti Muhammad Asad (Leopold Weiss, Austria-Pakistan, lahir 1900), mempergunakan sumber-sumber pelaksanaan syarî’ah seperti hadits Rasulullah saw.: “Perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan umatku yang terpelajar merupakan rahmat Tuhan.”47 Menurut hadits Rasulullah saw. yang lain: “Al-Qur’an bersifat lentur, terbuka terhadap berbagai jenis penafsiran. Oleh karena itu, tafsirkanlah menurut kemungkian cara yang terbaik”.48 Muhammad Bahrul ‘Ulum (Iraq, lahir 1927), seorang `ulamâ syi’ah terpelajar dan pendukung gerakan demokrasi Iraq yang terkemuka, mengutip dua ayat al-Qur’an dalam memandang masalah ini: ”Perbedaan pikiran, pandangan, dan metode sepenuhnya diakui, sehingga seseorang tidak bisa mencabut pendirian-pendirian orang lain. ‘Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia sebagai umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat (QS. 11:118).’ ‘Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih (QS.10:19).[22]
Bentuk ketiga, argumentasi islam liberal yang paling dekat pada perasaan atau pikiran-pikiran liberal barat, berpendapat bahwa syariah ditengahi oleh pemikiran manusia. Dalam pandangan ini, syariah merupakan hal yang berdimensi ilahiyah, sedangkan penafsiran-penafsiran manusia dapat menimbulkan konflik dan kekeliruan. Kesimmpulan semacam ini sangat rentan terhadap tuduhan-tuduhan relatifisme. Namun, kaum liberal seperti Muhammad as’ad lahir 1900 mepergunakan sumber-sumber pelaksanaan syariah seperti hadits Rasulullah SAW: “ Perbedaan-perbedaan dikalangan umatmu yang terpelajar merupakan rahmat Tuhan. Basis syariah yang ditafsirkan ini bersifat normatif. Yusuf Qardawi misalnya membenarkan keaneka ragaman pendapat itu dalam persoalan persoalan praktis, misalnya:
“Ketakutan saya yang paling buruk terhadap gerakan islam adalah
bahwa gerakan itu menentang para pemikir bebas dikalangan
pengikutnya serta menutup pintu bagi pembaharuan dan ijtihad,
membatasi dirinya sendiri dengan hanya satu jenis pemikiran yang
tidak menerima sudut pandang yang lain. Hasil akhir bagi pergeraka tersebut adalah kehilangan pikiran-pikiran kreatifnya dan akhirnya mengalami stagnasi.”
Model pembacaan ini berasumsi bahwa Islam membuka kemungkinan liberal pada masalah-masalah yang dimungkinkan munculnya penafsiran (interpretable). Mereka mengedepankan suatu epistimologi yang menekankan perlunya keragaman di dalam menafsirkan teks-teks keagamaan. Dari susut pandang Barat, mereka lebih dekat dengan sensibilitas liberalisme Barat. Mereka membela pemahaman tentang kebenaran yang memerlukan dialog. Dengan kata “dialog” berarti terus menerus mempelajari agama, bukan sebagai “kata benda”, melainkan sebagai “kata kerja”.  Karena itu mereka mendukung sikap demokratis dalam          beragama, Karena sebuah demokrasi merupakan suatu penerimaan  terhadap perbedaan pendapat di dalam menafsirkan agama.
3.    Tema Pokok Islam Liberal  Charles Kurzman
Perhatian Islam liberal adalah pada hal-hal yang prinsip. Fokus dari tradisi yang terabaikan ini, memang terkenal sangat kontroversial. Karena membahas mengenai gagasan-gagasan Islam yang paling liberal dalam pemikiran Dunia Islam dewasa ini. Sebenarnya tradisi yang disebut sebagai Islam liberal ini sangat menggugah, karena mentradisikan pemikiran Islam yang terbuka, inklusif dan menerima usaha-usaha ijtihad kontekstual. Kurzman, menyebut enam gagasan yang dapat dipakai sebagai tolok ukur sebuah pemikiran Islam dapat disebut liberalis yaitu: 1) Melawan teokrasi, yaitu ide-ide yang hendak mendirikan negara Islam; 2) Mendukung gagasan demokrasi; 3) Membela hak-hak perempuan; 4) Membela hak-hak non-Muslim; 5) Membela kebebasan berpikir; 6) Membela gagasan kemajuan. Siapapun yang membela salah satu dari enam gagasan di atas dapat disebut sebagai Muslim liberal.  
a.    Teokrasi, kaum muslim liberal berkeberatan terhadap pemberlakuan syari’ah karena beberapa alasan. Argumen tradisional, yang dipelopori oleh Ali Abd al-Raziq dan digaungkan oleh Khalaf menerapkan bentuk “silent shari’a”,[23] wahyu ilahi menyerahkan bentuk pemerintahan pada konstruksi pemikiran manusia. Nabi Muhammad merupakan pemimpin pemerintahan, sekaligus juga pemimpin agama, tetapi tidak membangun prinsip-prinsip tertentu bagi pemerintahan selanjutnya. Sebagaimana diungkapkan dalam pertemuan yang baru-baru ini dilaksanakan oleh Ibn Khaldun Society: karena al-Qur’an lebih memberikan penekanan pada penciptaan masyarakat yang adil ketimbang ideology Negara, bentuk Negara yang dipilih bukanlah sesuatu yang diamanatkan. Kaum juslimin seharusnya memandang al-Qur’an sebagai sebuah bangunan moral yang besar ketimbang sebuah kitab hokum. Dengan demikian, Negara muslim yang baru sesungguhnya adalah Negara sekuler, dengan ketentuan bahwa istilah Negara sekuler tersebut tidak dipahami dalam sebuah pengertian yang negative. Negara demikian dapat melindungi agama dari manipulasi politik oleh kekuasaan Negara.[24]
Mengenai teokrasi ini di antaranya dapat diamati dari pemikiran Ali Abd al-Raziq, yang kemudian dipertegas oleh Khalaf Allah. Keduanya menekankan bahwa wahyu Allah menyerahkan bentuk pemerintahan pada konstruksi pemikiran manusia. Bahkan Khalaf Allah dapat dikatakan melampaui pandangan Ali Abd Raziq karena menyatakan bahwa Islam berkesuasian dengan demokrasi. Menurutnya, al Qur‟an menyusun prinsip-prinsip dasar demokrasi dan menuntut umat Islam untuk merumuskan implementasinya. Wahyu Tuhan bukan sekedar membolehkan, tetapi juga menghendaki demokrasi. Karya Mahmud Taleqani (Iran, 1911-1979), seorang pemimpin Revolusi Iran, juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap munculnya teokrasi di Iran. Keberatan terhadap teokrasi juga dapat disimak melalui tulisan Muhammad Sa„id al-„Asmawi (Mesir, lahir 1932) yang menyatakan bahwa al-Qur‟an memaksudkan syari‟ah sebagai sebuah jalan (path), bukan sebagai sistem hukum yang siap dipakai untuk diberlakukan.
b.    Demokrasi, secara luas diperdebatkan dalam model “liberal shari’a. dengan penekanan khusus pada konsep syura (musyawarah), yang dipakai untuk memberikan kesempatan atau menuntut pernyataan kehendak umum dalam masalah-masalah kenegaraan.[25]
ini diperdebatkan dengan penekanan khusus pada konsep musyawarah (shûrâ) yang digunakan untuk memberikan kesempatan atau menuntut pernyataan kehendak umum dalam masalah-masalah kenegaraan. Mehdi Bazargan, seorang pejuang demokrasi yang pernah ditunjuk sebagai perdana menteri sementara oleh Imam Khomeini, merupakan pendukung utama konsep shu>ra> sebagai demokrasi. S. M. Zafar (Pakistan, lahir 1930) berpendapat bahwa sistem pertanggungjawaban pemerintah harus disesuaikan dengan kebutuhan kebutuhan masyarakat yang berbeda. Menurutnya, pemerintahan parlementer adalah alat yang paling efektif untuk menjamin pertanggungjawaban di zaman kontemporer ini.
c.    Hak Kaum Perempuan, ini umumnya untuk merespons ayat-ayat al-Qur‟an dan Hadith yang kelihatannya menunjukkan kontradiksi dengan hak-hak perempuan, sebagaimana dipahami Islam liberal. Sebagai contoh ayat yang menerangkan tentang hak poligami bagi laki-laki, hak unilateral kaum pria untuk bercerai, hak-hak kewarisan dan kesaksian hukum pria yang lebih besar. [26]Demikian halnya dengan Hadith-hadith yang berbicara tentang jilbab, pemisahan gender, dan hak kaum perempuan untuk menjadi pemimpin. Tokoh seperti Benazir Bhuto (Pakistan, lahir 1953) dan Aminah Wadud Muhsin (Amerika Serikat, lahir 1952), merupakan figur menganjurkan agar kita memeriksa kembali pernyataan-pernyataan (al-Qur‟an dan Hadith) tersebut dan menyimpulkan bahwa pernyataan itu tidak benar-benar mengurangi hak-hak kaum perempuan sebagaimana anggapan sebagian orang. Keduanya juga dikenal sangat concern membahas secara lebih luas tentang ayat al-Qur‟an dan Hadith yang seringkali ditafsirkan untuk membenarkan dominasi lakilaki terhadap perempuan.
d.   Hak kaum Non Muslim, ini membicarakan hubungan antar agama, hak-hak nonmuslim, terutama ahli kitab (Yahudi dan Kristen) untuk tetap menjalankan agama mereka, sepanjang mereka menunjukkan kesetiaannya dan membayar upeti kepada pemimpin muslim yang berkuasa. Persoalan ini muncul di tahun pertama Islam dalam konteks penaklukan kaum muslim terhadap non-muslim. Ali Bulac (Turki, lahir 1951) termasuk intelektual yang menerima tradisi tersebut sebagai model bagi perlakuan yang manusiawi terhadap non-muslim. Dasar pijakan Bulac adalah Piagam Madinah (Medina Document), yang ditandatangani Nabi Muhammad, pihak Yahudi dan kaum musyrik.
e.    Kebebasan Berpikir,  ini merupakan inti dari persoalan Islam liberal. Sebab kaum liberal harus mempertahankan kebebasan berpikir agar dapat memberikan dasar pembenaran terhadap pengungkapan pemikiran yang lainnya.[27] Kebebasan berpikir dibicarakan dalam konteks ijtihad, dan berkaitan dengan pembahasan: siapa yang boleh berbicara dan apa saja yang boleh dibicarakan. Pertanyaan; siapa yang boleh berbicara (berkaitan dengan orang yang boleh melakukan ijtihad), merupakan persoalan yang sangat penting bagi kaum liberal. Shahrour misalnya, sebagai seorang yang berlatar belakang teknik, menyatakan bahwa metodenya dalam menganalisis al-Qur‟an adalah bersifat ilmiah, suatu usaha yang jelas berbeda dibanding ijtihad mazhab tradisional. Pertanyaannya; apakah sah seorang yang tidak memiliki latar belakang pendidikan agama melakukan ijtihad? Menjawab pertanyaan tersebut kelompok Islam liberal menjelaskan bahwa Tuhan menciptakan manusia untuk menjadi pemikir dan syari„ah mendorong kaum muslim untuk melakukan refleksi dan penyelidikan. Ali Syari‟ati (Iran, 1933-1977) adalah cendekiawan muslim terkemuka yang banyak mengkritik kaum agamawan yang ingin memonopoli penafsiran atas Islam. Al-Qardawi (Mesir-Qatar, lahir 1926) mengutip ajaran-ajaran mengenai toleransi atau penghargaan terhadap perbedaan pandangan, khususnya yang berkaitan dengan kewajiban agama, dan mengkritik kaum ekstremis yang ingin mengelabui umat Islam dengan penafsiran mereka mengenai kewajiban keagamaan.
f.     Gagasan Tentang Kemajuan, ini merujuk pada pandangan pemikir muslim yang melihat modernitas dan perubahan sebagai perkembangan positif yang potensial.[28] Sikap ini merefleksikan sebuah peralihan kebiasaan yang signifikan dari pandangan tradisionalis dalam Islam, yang memandang sejarah kontemporer sebagai kemunduran dan peralihan yang berkesinambungan dari masa-masa awal pewahyuan yang diagungkan. Muhammad Iqbal (India, 1877-1938), menempatkan prinsip tentang pergerakan pada bagian inti teologinya (the principle of movement). Prinsip gerak yang dimaksud Iqbal adalah anjuran untuk melakukan ijtihad sehingga terbuka kreativitas dan orisinalitas berpikir dalam memecahkan masalah. Anjuran al-Qur‟an untuk menggunakan akal, dan keyakinannya terhadap adanya siklus sejarah manusia, semakin memperkuat pandangannya bahwa Islam mengajarkan dinamisme dan menolak statisme.
E.     Analisis Islam Liberal
Munculnya Islam liberal tidak lepas dari masalah-masalah bagaimana Islam menjawab tantangan kehidupan, yang dengan kata lain tantangan modernisasi. Islam liberal dalam menjawab itu mempunyai asumsi-asumsi penegakan sebagai berikut:
1. Makna al-Quran harus mempunyai kontekstualisasi dalam kehidupan.
2. Bahwa syariah itu tidak lengkap. 
3. al-Quran dan Sunnah tidak mernpunyai penafsiran tunggal.
Berangkat dari pijakan asumsi-asumsi yang terdapat dalam pemikiran Islam liberal rnaka dapat ditarik kesirnpulan bahwa Islam liberal sebetulnya juga melakukan ijtihad terhadap ketentuan-ketentuan yang ada dalam al-Quran dan Sunnah.
Ahmad Sahal mencoba mencari justifikasi dari pemikiran Islam klasik bahwa tradisi ijtihad Islam liberal itu mengikuti salah seorang sahabat Nabi yakni Umar Bin Khathab, yang terkenal dengan pemikiran liberalnya.[29] Aliran liberal ini merupakan titik berangkat Islam liberal. Menurutnya titik itu adalah (1) nash tidak mengatur kehidupan secara total karena yang terpenting bukanlah ketentuan teknis dalam bunyi harfiah nash yang mencakup seluruh kehidupan, melainkan prinsip moralitas universal yang menjadi maqashid al-syariahnya. (2) peran utama akal yang terdapat dalam pandangan liberal menjadikan kemajemukan merupakan kemestian, disinilah penghargaan kemajemukan timbul ini terjadi karena konteks yang melatarinya juga majemuk. (3) nash selalu merupakan nash yang ditafsirkan.
Meminjam analisis Jalaluddin, tentang landasan penegakan mazhab ini yang mengganggap bahwa nash-nash syariah itu terbatas, ini sejalan dengan asumsi kedua yang dikatakan oleh Kurzman sebagai silent sharia sebagaimana juga sejalan dengan pendapat Sahal di atas. Konsep dasar pemikiran ini sebagai ditunjukkan dalam al-Quran dan Sunnah belumlah cukup dan hanya memuat hukum-hukum tentang sejumlah proposisi terbatas saja. Sehingga al-Quran dan Sunnah, dalam pemikiran mazhab ini hanya dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan parsial dalam deduksi, maka mereka pun berusaha memperbaiki situasi itu serta berupaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya dengan memperluas serta menyatakan prinsip ijtihad. Ijtihad yang dilakukan dengan dasar seperti ini menghasilkan ketentuan hukum yang bersifat sebagai penilaian individual.
Prinsip maqasid al-syariyah dapat menimbulkan hal yang membingungkan jika tidak melihat kualitas individu yang ber-ijtihad. Prinsip maqasid al-syariyah ini mengindentikan prinsip-prinsip abadi tersebut dengan apa yang disebut-sebut sebagai ruh Islam (ruh al-Quran), yang ingin melihat maksud-maksud hukum dari syariah itu. Dengan ini dimaksudkan prinsip-prinsip dasar yang bersifat umum dan serba meliputi, yang kepadanya pemahaman prinsip-prinsip lain yang lebih khusus meski dirujukkan.
Sebagai contoh adalah tentang hukum waris. Dalam Islam ada suatu prinsip pokok yaitu penegakan keadilan. Lalu benarkah pernyataan bahwa pemberian warisan kepada wanita sebesar hanya setengah bagian pria bisa dianggap tak adil? Sekelompok orang, dengan alasan-alasan tertentu, justru menganggapnya sangat adil, yakni karena dengan 2/3 bagiannya itu sang pria wajib menatkahi keluarganya, suatu hal yang tidak terjadi pada si wanita. Masalah ini menyangkut dalam ijtihad dengan apa yang disebut dengan (penentuan illat atau alasan validitas hukum) Hal ini dilandasi kenyataan bahwa suatu hukum ditetapkkkan secara kontektual berkaitan dengan konteks, baik redaksional maupun historis (biasa disebut asbab al- nuzul ayat-ayat al-Quran maupun asbab al-wurud hadis-hadis) dan harus dipahami secara demikian. Menurut pemahaman ini, suatu hukum tak lagi valid jika illat-nya tidak wujud.[30] Dengan demikian harus ada kriteria tentang apa yang dimaksud dengan kemaslahatan umum sebagai maqasidd al-syariyah.
Muhammad al- Baqir berpendapat bahwa syarat-syarat kemaslahatan umum itu adalah:
1.    Kemaslahatan yang dimaksud harus benar-benar merupakan kemaslahatan yang hakiki, bukan semu; bahwa hukum yang ditetapkan atas dasar ini dipastikan dan bukannya hanya diperkirakan mendatangkan kemaslahatan atau mencegah kemudaratan bagi seluruh masyarakat.
2.    Kemaslahatan tersebut harus merupakan kemaslahatan bagi mayoritas rakyat, bukannya perorangan. Maka tidak boleh menggunakan atas nama kemaslahatan umum demi kepentingan pribadi seorang penguasa atau sekelompok kecil masyarakat saja.
3.    Hukum yang dibuat berdasarkan prinsip ini tidak bertentangan dengan suatu hukum atau prinsip yang telah ditetapkan dengan nash dan ijma.[31]
Dalam pandangan mazhab liberal perbedaan pendapat para mujtahid adalah benar karena Allah Swt tidak menetapkan hukum umum yang pasti dalam bidang-bidang di mana ijtihad diperlukan. Jadi, keputusan hukum didasarkan pada estimasi atau perkiraan sang mujtahid dan sesuatu yang dituju oleh pandangan-pandangan serta preferensi-preferensinya. Hal inilah yang menimbulkan apa yang disebut menisbatkan kebenaran (tashwib). Dalam hal ini doktrin tashwib mencerminkan gagasan tentang kekurangan serta transformasinya menjadi penisbatan kekurangan dan ketaksempurnaan kepada syariah secara langsung. Doktrin ini memungkinkan para fakih menafikan adanya hukum syariah yang pasti dalam berbagai bidang yang dibahas oleh ijtihad dan memandang semua mujtahid yang berbeda pendapat itu sebagai benar. Doktrin tashwib yang merupakan pijakan konsep kekurangan dalam syariah ini mengubah tugas para fakih dalam bidang ijtihad menjadi tugas legislasi dan bukan menemukan hukum. Dengan demikian ijtihad oleh mazhab ini tidak dipandang berdasarkan konsep tentang kekurangan dalam syariah sebagai sarana untuk menemukan hukum-hukum syariah, lantaran tidak ada hukum syariah pasti yang harus ditemukan oleh ijtihad dalam cakupannya. Maka akal dan ijtihad menjadi dasar perumusan hukum-hukum baru oleh mujtahid, sesuai dengan penilaian individualnya. Dengan cara begini, ijtihad pun berubah berdasarkan doktrin tashwib menjadi sumber legislasi dan seorang fakih menjadi seorang pembuat hukum dalam berbagai masalah yang membutuhkan ijtihad, dan yang menemukan hukum dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan teks-teks al-Quran dan Sunnah.
Pandangan Islam liberal bahwa al-Quran dan Sunnah memerlukan kontektualisasi dalam kehidupan dan tidak mempunyai penafsiran tunggal, ini harusnya juga mempunyai pertanyaan lanjutan. Siapa yang berhak melakukan penafsiran dan kontektualisasi. Abu Zahrah menyebut beberapa sifat yang mutlak yang harus dipenuh oleh seorang mujtahid yaitu kecerdasan dan kearifan, juga niat yang tulus dan itikad yang baik.[32] Jadi dalam hal ini ada aspek teknis yaitu ilmu dan aspek kepribadian yaitu akhlak. Zainal Abidin menyebut beberapa ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mujtahid di antaranya: menguasai nahwu, sharaf, balaghah, menguasai ulm al-Quran (seperti sebab-sebab turunya al-Quran, tafsir) dan lain-lain.[33] Tanpa kedua persyaratan ini maka ajaran Islam akan menjadi sekedar perdebatan wacana dan kehilangan kehilangan energi dalam membimbing kaum Muslimin yang itu terwujud dalam diri para mujtahid.
Di sini bukan berarti seorang insiyur tidak dapat menafsirkan al- Quran. Jika ia mempunyai kemampuan dalam bidang ilmu-ilmu al-Quran tentu ia dapat menafsirkan sesuai dengan kemampuan ilmunya. Misalnya tidak mungkin orang yang tidak mempunyai otoritas ilmu kedokteran melakukan pengobatan apalagi pembedahan. Namun begitu penafsiran al- Quran dan ijtihad dalam Islam tidaklah tertutup, dan dimungkinkan setiap orang untuk melakukannya tentu saja jika orang itu berilmu. Dalam hal ini Islam memberikan kesamaan kesempatan kepada setiap orang baik laki-laki atau perempuan untuk menuntut ilmu. Islam liberal dalam hal ini telah menyamakan kemampuan semua oroang untuk melakukan ijtihad, padahal tidak semua orang mempunyai kemampuan (ilmu) untuk berijtihad. Ini tergambar dari penjelasan Kurzman pada tema kebebasan berfikir yang menentang taqlid.[34]
Umat Islam perlu berijtihad dalam menjawab masalah-masalah kehidupan. Al-Quran merupakan Grand Theory tentang seluruh kehidupan di alam ini, yang kemudian mendapatkan penjelasan dari sunnah. Sehingga untuk menarik ketentuan hukum dalam kehidupan maka proses deduksilah yang harus dilakukan.[35]
Ijtihad tentu tidak berkaitan dengan masalah fiqh saja. Sebagaimana yang dikatakan Fakhruddin al-Razi yang mendefinisikan ijtihad sebagai pengerahan kemampuan untuk memikirkan hal apa saja yang tidak mendatangkan celaan. Sehingga ijtihad dapat dilakukan dalam bidang politik, akidah, tasawuf dan filsafat. Pengerahan kemampuan dalam bidang yang bukan fiqh ini adalah dalam kerangka amaliy yang menurut al-Syaukani berarti pengerahan kemampuan dalam menghasilkan hukum ilmi.[36]

F.     Penutup
Dari pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1.    Leonard binder dalam bukunya yang berjudul “Islam Liberal: kritik terhadap ideology-ideologi pembangunan” mengemukakan pandangannya tentang Islam liberal, tidak memfokuskan pada masalah-masalah Islam secara khusus, tetapi menitik beratkan pada masalah politik, dengan mengutip pikiran Ali Abdul Roziq yang menolak rekonstruksi Negara Islam. Menurutnya, Islam tidak secara khusus menunjuk perlunya Negara Islam (khilafah) , karena tidak ada satupun dalil yang menunjuk hal ini.
2.    Charles Kurzman dalam bukunya yang berjudul “Wacana Islam Liberal: Pemikiran islam kontemporer tentang isu-isu global: mengemukakan pandangannya tentang tiga tipe Islam liberal yaitu Syariah liberal, syariah yang diam dan syariah yang ditafsirkan.








[1] A. Muchith Muzadi dalam kata pengantar NU dan Fiqih Kontekstua, (Yogyakarta:LKPSM DIY, 1995), h. VI
[2]Zuli Qodir. "wajah Islam Liberla di Indonesia: Sebuah PenjajaganAwal" dalam al-Jami'ah Journal of Islamic Studies,2002), h. 328.

[3]Leonard Binder.“Islamic Liberalism”. University of Chicago Press. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Islam Liberal: Kritik terhadap Ideologi-ideologi Pembangunan”, (Yogyakarta: Pusataka Pelajar, 1988), h. 32.
[4] Pendapat Owen Chadwik ini dikutip oleh Adian Husaini, MA., Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal?, (Kairo-Mesir: 2006), h. 12
[5] Husaini, MA., Nuim Hidayat,  Islam Liberal, (Jakarta: GIP, 2004), h. 2
[6] Leonard Binder,, Islam Liberal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 221
[7] Leonard Binder, Islam Liberal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 199
[8] ‘Ali ‘Abdul Roziq (1866-1966) tokoh pertama yang menjadi rujukan kaum liberal.Beliau dikenal dengan karya-karya tulisnya
[9] Leonard Binder, Islam Liberal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 221
[10] Leonard Binder, Islam Liberal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 195
[11] QS. Al-A’raaf : 188
[12] Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal, (Jakarta:: Paramadina, 2003),  h. xv-xvii.
[13] Charles Kurzman, Liberal Islam: Prospect and Challenges, Journal Meria, Vol.3, No.3. November 1999. Penulis tidak sepakat dengan Kurzman bahwa kebangkitan Islam liberal karena faktor gagalnya Pemerintahan Islam. Kasus Sourush di Iran seperti yang dijadikan contoh oleh Kurzman, bukan menunjukkan gagalnya pemerintahan Islam Iran, tapi lebih menunjukkan perbedaan prinsip dan pengertian demokrasi dalam wacana Islam dan Barat.
[14] Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal, (Jakarta: Paramadina, 2003),  h.  xv-xvii.
[15]Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal, (Jakarta: Paramadina, 2003),  h. xviii.
[16] Charles Kurzman, h. xxxiii
[17] Ibid
[18] Abdurrahman I Doi, Constitutionalism in Islamic lau (Zaria, Nigeria: center for Islamic legal studies, Ahmadu Bello University, 1977), Maurice Bucaille, The Bible, The Qur’an and science (Indianapolis, ind: American Trust Publiction, 1978)
[19] Mengenai penyimpangan, “sripturalism liberalism”, lihat Binder, Islamic Liberalism, h. 224. Mengenai elemen-elemen liberalism barat yang tidak liberal (illiberal) lihat J. Sandel, Liberalism and the limits of justice (Cambridge: Cambridge University Press, 1982)
[20] Muhammad Salim Al-Awwa’, Political Pluralism from an Islamic Perpective, dalam Azzam Tamimi, Power Islam, (London, Liberty for Muslim Word Publications, 1993). h. 72-73. Lihat juga Muhammad S. El-Awa, On the Political System of the Islamic State ,1975, terjemahan oleh Ahmed Nadji al-Imam (Indianapolis, ind: American Trust Publication, 1980), h. 83
[21] Said Ramadhan, Three Major Problems Confronting the Word of Islam (1960), dalam Ahmed Ibrahim, Sharon Siddique, dan Yasmin Husain, Readings on Islam in Southeas in Asia (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 1985), h. 330
[22] Ayatullah  Syed Muhmmad Bahrul Uloom,  Islam, Democrasy, and the future of Iraq, dalam Richard W.Bulliet, under siege: Islam and Democrasy, (New York:nThe Middle East Institusi of Columbia University, 1994), h. 26
[23] Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal, (Jakarta: Paramadina, 2003),  h.xiiii
[24] Pengantar ini tentunya ditulis Kurzman pada tahun 1998, dimana matori Abdul jalil masih menjadi salah satu seorang pemimpin partai persatuan pembangunan (ppp) sebelum kemudian ia mendirikan partai  kebangkitan bangsa (PKB) pasca revormasi.
[25] Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal, (Jakarta: Paramadina, 2003),  h. xiv
[26] Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal, (Jakarta: Paramadina, 2003),  h. xlviii
[27] Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal, (Jakarta: Paramadina, 2003),  h. liii
[28] Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal, (Jakarta: Paramadina, 2003),  h. lvii
[29] Ahmad Amin, Fajar Islam, Penerjemah H. Zaini Dahlan, (Cirebon: IAIN Cirebon, 1967), h. 320
[30]Jalaluddin Rahmat, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1988), h.19-20.
[31] Jalaluddin Rahmat, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1988), 156.
[32] Jalaluddin Rahmat, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1988), 166
[33] Ibid., h. 90
[34] Menurut penulis taqlid dalam bidang hukum fiqh merupakan harus tetap dijalankan, namun taqlid dalam bidang akidah tidak boleh dilakukan Karena akidah merupakan pertanggungjawaban secara individual kepada Allah yang memerlukan alasan-alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan taqlid dalam bidang fiqh hanya kepada mujtahid yang mempunyai otoritas. Lihat, Jalaluddin, Ibid,  h. 74, 166
[35] Murtadha Muthahari, Manusia dan Alam Semesta, (Jakarta: Lentera, 2002), h.  48.
[36] Para ahli fuqaha umumnya tidak membolehkan ijtihad dalam bidang akidah dan tasawuf. Lihat, Jalaluddin Rahmat (ed)., Ibid., h. 182

No comments:

Post a Comment