HOME

Wednesday, November 15, 2017

PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI BERBASIS PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI BERBASIS PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Oleh:
Yovi Nur Rohman (16771009)
Magister Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

A.    DASAR PEMIKIRAN

Indonesia adalah Negara yang teridiri dari bermacam-macam budaya, suku, ras, agama dan bahasa. Hal inilah yang melandasi suatu semboyan yang berbunyi Bhineka Tunggal Ika (Berbeda-beda tetapi tetap dalam satu tujuan). Kemajemukan yang berada dalam masyarakat Indonesia menuntuk simtem pendidikan yang mampu mengcovernya sehingga tidak terjadi diskriminasi antar golongan, suku, ras ataupun budaya.
Dewasa ini, bangsa Indonesia memang sedang menghadapi krisis multidimensial. Dari hasil kajian berbagai disiplin dan pendekatan, tampaknya ada kesamaan pandangan bahwa segala macam krisis itu berpangkal dari krisis ahlak atau moral. Krisis ini secara langsung atau tidak, berhubungan dengan persoalan pendidikan. Kontribusi pendidikan dalam kontek ini adalah pada pengembangan mentalitas manusia yang merupakan produknya. Ironisnya, krisis tersebut menurut sementara pihak-katanya disebabkan karena kegagalan pendidikan agama, termasuk didalamnya pendidikan agama Islam.[1]
Bagi Masyaakat Indonesia yang telah melewati reformasi, konsep masyarakat multikultural bukan hanya sebuah wacana, atau sesuatu yang dibayangkan. Tetapi, konsep ini adalah sebuah ideologi yang harus diperjuangkan, karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM dan kesejahteraan masyarakat. Karena itu, konsep multikultural ini tidak henti-hentinya selalu dikomunikasikan diantara ahli sehingga ditemukan kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini.[2] Dalam pembahasan makalah ini, akan dijabarkan tentang perkembangan kurikulum berbasis pendidikan multikultural yang diharapkan memiliki peran dalam perkembangan pendidikan Islam di Indonesia dalam menghadapi tantangan jaman dan kemajemukan yang semakin hari semakin mengkawatirkan.

B.     PEMBAHASAN

1.    Pengertian Multikultural

Kata “multicultural” menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia berasal dari dua akar kata yaitu “multi” berarti lebih dari satu, banyak, berlipat ganda[3] , dan “kultur” berarti kebudayaan, cara pembudidayaan, cara pemeliharaan[4] . Dalam M. Ainul Yaqin,[5] ada banyak ilmuwan dunia yang memberikan definisi kultur. Mereka antara lain: Elizabet B. Taylor (1832-1917) dan L.H. Morgan yang mengartikan kultur sebagai sebuah budaya yang universal bagi manusia dalam berbagai macam tingkatan yang dianut oleh seluruh anggota masyarakat. Emile Durkheim (1858-1917) dan Marcel Maus (1872-1950) menjelaskan bahwa kultur adalah sekelompok masyarakat yang menganut sekumpulan symbol-simbol yang mengikat di dalam sebuah masyarakat yang diterapkan. Franz Boas (1858-1942) dan A.L. Kroeber (1876-1960) mendifinisikan bahwa kultur adalah hasil hasil dari sebuah sejarah-sejarah khusus untuk umat manusia yang melewatinya secara bersama-sama di dalam kelompoknya. A.R. Radcliffe Brown (1881-1955) dan Bronislaw Malinowski (1884-1942) menggambarkan kultur sebagai sebuah praktik social yang memberi support terhadap struktur social untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan individunya dan lain-lainnya.
Secara sederhana, multikultural berarti “keberagaman budaya”.[6] Sebenarnya, ada tiga istilah yang kerap digunakan secara bergantian untuk menggambarkan masyarakat yang terdiri keberagaman tersebut[7] –baik keberagaman agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda- yaitu pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan multikultural (multicultural). Ketiga ekspresi itu sesungguhnya tidak merepresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengacu kepada adanya ’ketidaktunggalan’. Konsep pluralitas mengandaikan adanya ’hal-hal yang lebih dari satu’ (many); keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang ’lebih dari satu’ itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tak dapat disamakan. Dibandingkan dua konsep terdahulu, multikultural sebenarnya relatif baru. Secara konseptual terdapat perbedaan signifikan antara pluralitas, keragaman, dan multikultural. Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama. Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikultural menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup; sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara. Oleh karena itu, multikulturalisme sebagai sebuah gerakan menuntut pengakuan (politics of recognition)[8] terhadap semua perbedaan sebagai entitas dalam masyarakat yang harus diterima, dihargai, dilindungi serta dijamin eksisitensinya. Diversitas dalam masyarakat modern bisa berupa banyak hal, termasuk perbedaan yang secara alamiah diterima oleh individu maupun kelompok dan yang dikonstruksikan secara bersama dan menjadi semacam common sense. Perbedaan tersebut menurut Bikhu Parekh bisa dikategorikan dalam tiga hal - salah satu atau lebih dari tiga hal-, yaitu pertama perbedaan subkultur (subculture diversity), yaitu individu atau sekelompok masyarakat yang hidup dengan cara pandang dan kebiasaan yang berbeda dengan komunitas besar dengan sistem nilai atau budaya pada umumnya yang berlaku. Kedua, perbedaan dalam perpektif (perspectival diversity), yaitu individu atau kelompok dengan perpektif kritis terhadap mainstream nilai atau budaya mapan yang dianut oleh mayoritas masyarakat di sekitarnya. Ketiga, perbedaan komunalitas (communal diversity), yakni individu atau kelompok yang hidup dengan gaya hidup yang genuine sesuai dengan identitas komunal mereka (indigeneous people way of life).[9] Sebagai sebuah gerakan, menurut Bhikhu Parekh, baru sekitar 1970-an multikulturalisme muncul pertama kali di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Setelah itu, diskursus multikulturalisme berkembang dengan sangat cepat. Setelah tiga dekade sejak digulirkan, multikulturalisme sudah mengalami dua gelombang penting yaitu, pertama multikulturalisme dalam konteks perjuangan pengakuan budaya yang berbeda. Prinsip kebutuhan terhadap pengakuan (needs of recognition) adalah ciri utama dari gelombang pertama ini. Gelombang kedua, adalah multikulturalisme yang melegitimasi keragaman budaya, yang mengalami beberapa tahapan, diantaranya:[10] kebutuhan atas pengakuan, melibatkan berbagai disiplin akademik lain, pembebasan melawan imperialisme dan kolonialisme, gerakan pembebasan kelompok identitas dan masyarakat asli/masyarakat adat (indigeneous people), post-kolonialisme, globalisasi, post-nasionalisme, post-modenisme dan post-strukturalisme yang mendekonstruksi stuktur kemapanan dalam masyarakat.[11]

2.    Pengetian Pendidikan Multikultural

Secara etimologi istilah pendidikan multikultural terdiri dari dua term, yaitu pendidikan dan  multikultural. Pendidikan berarti proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan melalui pengajaran, pelatihan, proses dan cara mendidik.[12] Dan multikultural diartikan sebagai keragaman kebudayaan, aneka kesopanan[13].
Sedangkan secara terminologi, pendidikan multikultural berarti proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekwensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran (agama)[14]. Pengertian seperti ini mempunyai implikasi yang sangat luas dalam pendidikan, karena pendidikan dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia.
Dari pengertian multikultural di atas, maka para ahli pun beragam pula dalam mendefinisikan tentang “Pendidikan Multikultural”. Keberagaman difinisi itu diantaranya, Choirul Mahfud, mengutip pendapat para pakar, yaitu:  Anderson dan Chusher (1994)  menyatakan bahwa pendidikan multicultural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. James Bank (1993) mendifinisikan pendidikan multicultural sebagai pendidikan untuk people for color. Artinya, pendidikan multicultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah tuhan/sunatullah). Kemudian bagaimana kita mampu mensikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan semangat egaliter. Sejalan dengan pemikiran di atas, Muhaemin El-Ma’hady berpendapat bahwa secara sederhana pendidikan multicultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan cultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan (global). Hilda Hernandez mengartikan pendidikan multicultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, social, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuanmanusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas, dan gender, etnisitas, agama, status social, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan.[15]
Pendidikan pluralis multikultural adalah pendidikan yang memberikan penekanan terhadap proses penanaman cara hidup yang saling menghormati, tulus dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup ditengah-tengah masyarakat dengan tingkat pluralitas yang tinggi. dengan pendidikan pluralis multikultural diharapkan akan lahir kesadaran dan pemahaman secara luas yang diwujudkan dalam sikap yang toleran, bukan sikap yang kaku, eksklusif, dan menafikan eksistensi kelompok lain maupun mereka yang berbeda, apapun bentuk perbedaannya. Dalam kontek Indonesia yang sarat dengan kemajemukan, pendidikan pluralis multikultural memiliki peranan yang sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemuan secara kreatif.[16]
Dengan demikian, kurikulum pendidikan berbasis multicultural adalah sebuah kurikulum yang mengacu pada keragaman budaya, yang mana kurikulum tersebut senantiasa mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah tuhan/sunatullah).

3.    Multikultural dalam Islam

Islam adalah agama universal yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, persamaan hak dan mengakui adanya keragaman latar belakang budaya dan kemajemukan. Oleh karena itu, terdapat banyak ayat Al-Quran yang membicarakan hal tersebut. Multikultural menurut Islam adalah sebuah aturan Tuhan (sunnatullah) yang tidak akan berubah, juga tidak mungkin dilawan, diingkari atau ditinggalkan. Setiap orang akan menghadapi kemajemukan di manapun dan dalam hal apapun. Ungkapan ini menggambarkan bahwa Islam sangat menghargai multikultural karena Islam adalah agama yang dengan tegas mengakui perbedaan setiap individu untuk hidup bersama dan saling menghormati satu dengan yang lainnya.
Berikut ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan kehidupan multikultural;[17]
1.      Al Qur’an menyatakan bahwa manusia diciptakan dari asal yang sama. Sebagaimana dijelaskan di dalam surat al-Hujurat aya 13 yang berbunyi:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣   
Artinya : Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami  jadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku agar  kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh Allah Maha mengetahui, Mahateliti.[18]
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari asal yang sama sebagai keturunan Adam dan Hawa yang tercipta dari tanah. Seluruh manusia sama di hadapan Allah, manusia menjadi mulia bukan karena suku, warna kulit ataupun jenis kelamin melainkan karena ketaqwaannya. Kemudian dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Tujuan penciptaan semacam itu bukan untuk saling menjatuhkan, menghujat, dan bersombong-sombongan melainkan agar masing-masing saling kenal-mengenal untuk menumbuhkan rasa saling menghormati dan semangat saling tolong-menolong. Dari paparan ayat ini dapat di pahami bahwa agama Islam secara normatif telah menguraikan tentang kesetaraan dalam bermasyarakat yang tidak mendiskriminasikan kelompok lain.
2.      Al-Qur’an menyatakan bahwa dulu manusia adalah umat yang satu. Saat timbul perselisihan, Allah mengutus para Nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang berisi petunjuk, untuk memberikan keputusan yang benar dan lurus diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Sebagaimana dijelaskan di dalam Surat al-Baqarah ayat 213 yang berbunyi:
كَانَ ٱلنَّاسُ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗ فَبَعَثَ ٱللَّهُ ٱلنَّبِيِّ‍ۧنَ مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ وَأَنزَلَ مَعَهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ لِيَحۡكُمَ بَيۡنَ ٱلنَّاسِ فِيمَا ٱخۡتَلَفُواْ فِيهِۚ وَمَا ٱخۡتَلَفَ فِيهِ إِلَّا ٱلَّذِينَ أُوتُوهُ مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَتۡهُمُ ٱلۡبَيِّنَٰتُ بَغۡيَۢا بَيۡنَهُمۡۖ فَهَدَى ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لِمَا ٱخۡتَلَفُواْ فِيهِ مِنَ ٱلۡحَقِّ بِإِذۡنِهِۦۗ وَٱللَّهُ يَهۡدِي مَن يَشَآءُ إِلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٍ ٢١٣
Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.[19]
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa sumber perselisihan, permusuhan dan perpecahan di kalangan umat beragama adalah  bukan karena ajaran agama yang dianutnya melainkan karena rasa dengki yang membuat mereka mengabaikan ajaran agamanya masing-masing. Seandainya mereka menghilangkan rasa dengkinya dan murni mengamalkan ajaran agamanya, niscaya tidak terjadi perslisihan semacam itu. Karena, tiap-tiap agama mengajarkan pemeluknya untuk menjadi manusia-manusia yang baik dan menghargai orang lain.
3.      Al-Qur’an menekankan akan pentingnya saling percaya, pengertian, dan menghargai orang lain, menjauhi buruk sangka dan mencari kesalahan orang lain. Sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Hujurat ayat 12 yang berbunyi :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٞۖ وَ لَا تَجَسَّسُواْ وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن يَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتٗا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٞ رَّحِيمٞ ١٢   
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.[20]
4.      Ketika menghadapi permasalahan,  Al-Qur’an mengajarkan untuk selalu mengedepankan klarifikasi, dialog, diskusi, dan musyawarah. Tidak boleh menjatuhkan vonis tanpa mengetahui dengan jelas permasalahannya. Sebagaimana dijelaskan dalam surat  al-Hujurat ayat 6 yang berbunyi:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ قَوۡمَۢا بِجَهَٰلَةٖ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَٰدِمِينَ ٦   
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.[21]
5.      Al-Qur’an mengajarkan untuk tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, Sebagaimana dijelaskan dalam surat  al-Baqarah  ayat 256 yang berbunyi :
لَآ إِكۡرَاهَ فِي ٱلدِّينِۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشۡدُ مِنَ ٱلۡغَيِّۚ فَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَاۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ٢٥٦
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.[22]
6.      Al-qur’an menekankan untuk menghindari konflik dan melaksanakan rekonsiliasi atas berbagai persoalan yang terjadi, yakni upaya perdamaian melalui sarana pengampunan atau memaafkan. Pemberian ampun atau maaf dalam rekonsiliasi adalah tindakan tepat dalam situasi konflik komunal. Dalam ajaran Islam, seluruh umat manusia harus mengedepankan perdamaian, cinta damai dan memberi rasa aman bagi seluruh makhluk. Juga secara tegas al-Qur’an menganjurkan untuk memberi maaf, membimbing kearah kesepakatan damai dengan cara musyawarah, duduk satu meja dengan prinsip kasih sayang. Hal tersebut terdapat dalam Surat asy-Syuura  ayat 40 yang berbunyi :
وَجَزَٰٓؤُاْ سَيِّئَةٖ سَيِّئَةٞ مِّثۡلُهَاۖ فَمَنۡ عَفَا وَأَصۡلَحَ فَأَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلظَّٰلِمِينَ ٤٠
Artinya: Dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik(2) Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.[23]
Selain itu, didalam al-Hadits, Rosulullah juga mengajarkan multikulturalisme. Berikut diantaranya:
 1.      Hadits Nabi Muhammad saw menyatakan semua hamba Allah bersaudara. Seperti yang dijelaskan dalam hadits di bawah ini :
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : إياكم والظن فإن الظن أكذب الحديث ولا تحسسوا ولا تجسسوا ولا تحاسدوا ولا تدابروا ولا تباغضوا ، وكونوا عباد الله إخوانا
Artinya: “Diriwayatkan dari Abi Hurairah RA dari Nabi Muhammad SAW bersabda: Takutlah kalian terhadap persangkaan buruk, sesungguhnya prasangka buruk adalah seburuk-buruknya pemberitaan dan janganlah kalian mencari aib orang lain, mendengki, membenci dan saling bermusuhan. Dan jadilah hamba Allah yang saling bersaudara.”[24]
2.      Hadits Nabi Muhammad saw menyatakan  tidak ada keutamaan dari orang Arab dengan bukan orang Arab. Semua suku bangsa baik Asia, Eropa, ameriaka, Kulit Putih atau kulit Hitam semuanya sama dihadapan Allah swt.
قال رسول الله يا أيها الناس ألا إن ربكم واحد و إن أباكم واحد ألا لا فضل لعربي على أعجمي و لا أعجمي على عربي و لا لأحمر على أسود ولا أسود على أحمر إلا بالتقوى (رواه أحمد)

Artinya : Wahai manusia sekalian, ketahuilah bahwa Tuhan kalian satu, bapak kalian juga satu, ketahuilah tidak ada keutamaan dari orang arab terhadap non arab, dan juga tidak ada keutamaan orang non arab dari orang arab kecuali ketakwaannya. (HR. Imam Ahmad).
3.      Hadits Nabi Muhammad saw menyatakan bahwa agama yang dicintai Allah adalah agama yang lurus dan toleran.
حَدَّثَنِا عبد الله حدثنى أبى حدثنى يَزِيدُ قَالَ أنا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ اْلأَدْيَانِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ.
Telah menceritakan kepada kami Abdillah, telah menceritakan kepada saya Abi telah menceritakan kepada saya Yazid berkata; telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ishaq dari Dawud bin Al Hushain dari Ikrimah dari Ibnu 'Abbas, ia berkata; Ditanyakan kepada Rasulullah saw. "Agama manakah yang paling dicintai oleh Allah?" maka beliau bersabda: "Al-Hanifiyyah As-Samhah (yang lurus lagi toleran)"[25]
4.      Hadits Nabi Muhammad saw mengajarkan untuk menciptakan perdamaian dan rasa aman bagi kehidupan seluruh umat manusia tanpa membedakan suku, agama, ras, dan antar golongan.
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ آذَى ذِمِّيًّا فَأَنَا خَصْمُهُ وَمَنْ كُنْتُ خَصْمَهُ خَصَمْتُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ(أَخْرَجَهُ الخَطِيبُ)
Artinya : Dari Ibnu Mas’ud ra, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang menyakiti seorang kafir dzimmi, maka aku kelak yang akan menjadi musuhnya. Dan siapa yang menjadikanku sebagai musuhnya, maka aku akan menuntutnya pada hari kiamat.”
5.      Hadits Nabi Muhammad saw mengajarkan untuk menjalin komunikasi meskipun dengan non muslim.
إذا سلم عليكم أحد من أهل الكتاب فقولوا : و عليكم (رواه الترمذي و إبن مجه).
 Artinya, “Apabila salah seorang ahli kitab mengucapkan salam kepada kalian, maka jawablah denan ‘Wa’alaikum’.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah) 
6.      Hadits Nabi Muhammad saw mengajarkan untuk bersikap adil dengan memberikan hak secara proporsional.
يقول الله تعالى : يا عبادي! إني حرمت الظلم على نفسي و جعلته بينكم محرما فلا تظالموا (رواه مسلم)
Artinya : Allah SWT. berfirman “Wahai hamba-hambaku, sesungguhnya aku telah mengharamkan kedhaliman terhadap diriku sendiri, dan aku telah menjadikannya haram pula di antara kalian, maka janganlah saling mendhalimi.” (HR. Muslim)
Dari beberapa ayat Al-Quran dan Al-Hadits diatas, dapat disimpulkan bahwa Islam sangat menekankan multikulturalisme yang tidak bisa diabaikan dan ditinggalkan. Bahkan, Islam sudah memberikan gambaran dengan detail tentang multikulturalisme. Ajaran tersebut adalah 1) Manusia diciptakan dari asal yang sama, 2) Manusia dahulunya adalah umat yang satu, 3) perintah untuk saling percaya, pengertian, dan menghargai orang lain, menjauhi buruk sangka dan mencari kesalahan orang lain, 4) menyelesaikan masalah dengan cara dialog atau musyawarah, 5) tidak memaksakan kehendak, 6) dan, menghindari permusuhan.

4.    Multikultural dalam Kontek ke Indonesiaan

Pendidikan di Indonesia secara perundangan telah diatur dengan memberikan ruang keragaman sebagai bangsa. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 menjelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Dasar perundangan ini selain memberi arahan pendidikan di Indonesia juga mewajibkan bahwa pendidikan di Indonesia harus dikembangan berdasarkan nilai-nilai keagamaan, kultural, dan kemajemukan bangsa.
Wacana pendidikan multikultural di Indonesia yang didasarkan pada UU Sisdiknas di atas tidak dapat dilepaskan dengan gelombang reformasi pendidikan dunia. Sebagai bangsa, Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh dunia lebih luas. Globalisasi menjadikan keterikatan bangsa-bangsa sebagai kesatuan komunitas dunia.
Di era globalisasi masa kini, bangsa Indonesia dihadapkan pada serangkaian tantangan baru yang tidak terlalu berbeda dengan apa yang pernah dialami sebelumnya. Pluralisme agama, konflik internal, baik terhadap agama maupun terhadap budaya dan peradaban. Kesemuanya merupakan fenomena yang nyata di permukaan. Fenomena ini kelihatannya juga berlanjut sampai masa kini.[26] Bahkan, Fenomena tersebut lahir dari ketidakmampuan para pemeluk agama memahami realitas kekinian. Akhirnya setiap agama tampil secara ekslusif dan tidak mampu memahami kemajemukan.[27]
Bangsa Indonesia dalam konteks fitrah keragamannnya diikat oleh perbedaan-perbedaan. Perbedaan itu meliputi agama atau kepercayaannya terhadap Tuhan Yang Mahaesa; warna kulit atau ras; etnis atau kesukuan, dan kebudayaan atau adat kebiasaan. Menempatkan dan menyadari perbedaan empat pilar tersebut dalam praktik pendidikan haruslah dilakukan. Kesadaran tersebut terbangun manakala seluruh aktivitas pendidikan di Indonesia dimuarakan pada menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Penggalian ajaran agama, ras, suku, dan kebudayaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan haruslah ditanamkan pada peserta didik. Memanusiakan manusia sebagai kedudukan yang mulia merupakan ajaran semua agama. Semua agama sebagai keyakinan warga bangsa Indonesia mengakui bahwa menghargai orang lain merupakan kewajiban; memudahkan sesama umat manusia merupakan perintah Tuhan; menolong adalah perbuatan terpuji; umat yang taat adalah umat yang menjaga perdamaian hidup; dan mencintai sesama adalah ajaran semua agama.
Dengan demikian, pendidikan multikulturalisme di Indonesia haruslah menggali nilai-nilai agama, etnis, suku, dan budaya peserta didik sebagai keyakinan mereka yang mengajarkan bahwa perbedaan adalah fitrah Tuhan. Dalam segala perbedaan, rasa cinta dan kasih sayang sesama manusia merupakan hal yang harus terus ditumbuhkan. Dengan konsep ini, pendidikan mampu menciptakan toleransi, tindakan saling menolong, kedamaian, dan meningkatkan kualitas kemanusiaan dengan pola pembelajaran yang memiliki visi dan tindakan pembiasaan di semua satuan pendidikan

5.    Prinsip-prinsip Filosofis PAI berbasis Multikultural

Pendidikan Agama Islam (PAI) berbasis multikultural penting ditawarkan[28] Antara lain Karena ada kecenderungan bahwa para penganut agama bersikap intoleran terhadap penganut agama lainnya, eksklusif, egois, close-minded, dan berorientasi pada kesalehan individu. Menghadapi kehidupan masyarakat yang multikultural perlu dimulai dari perubahan paradigma pendidikan dalam PAI. PAI tidak hanya menggunakan paradigma learning to think, to do dan to be, tetapi juga to live together.[29]
Sebelum membahas beberapa prinsip penting pendidikan agama berbasis multikultural, perlu dikemukakan beberapa asumsi filosofis pendidikan multikultural itu sendiri. Pertama, tidak lagi terbatas pada pandangan bahwa pendidikan (education) adalah persekolahan (schooling) atau memandang bahwa pendidikan multikultural sama dengan program-program sekolah formal. Pendidikan multikultural harus berpijak pada pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan. Pandangan ini membebaskan pendidik dari anggapan selama ini bahwa tanggung jawab utama dalam mengembangkan kompetensi peserta didik semata-mata berada di tangan mereka. Dalam konteks pendidikan multikultural justru meniscayakan semakin banyak pihak yang bertanggung jawab terhadap pengembangan komptensi peserta didik, karena program-program sekolah akan selalu terkait dengan hal-hal di luar sekolah. 
Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasi-kan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk menghindari kecenderungan memandang peserta didik secara stereotip menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan dikalangan peserta didik dari berbagai kelompok etnik. 
Ketiga, pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan baru" biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orangorang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat dengan jelas bahwa upaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidaritas kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis.
Keempat, kemungkinan bahwa pendidikan (baik di dalam maupun di luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan peserta didik dari konsep dwi budaya atau dikotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia yang mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri peserta didik.[30] Jika dikaitkan dengan Pendidikan Agama Islam sebagai sebuah bidang studi, menurut Zakiuddin Baidhawi[31] ada tujuh asumsi paradigmatik PAI berbasis multikultural, yaitu: mendidik peserta didik untuk:
Belajar Hidup dalam Perbedaan
Nilai-nilai budaya, tradisi, dan kepercayaan senantiasa mengiringi pemeliharaan dan pengasuhan seorang anak. Ketika ia mulai masuk sekolah nilai-nilai yang terbentuk dari dalam pengasuhan dalam keluarga ini terus ia bawa. Maka setiap anak memiliki latar belakang dan nilai-nlai yang berbeda pula. Ini realitas yang harus dipertimbangkan dalam PAI berbasis multikultural. Perbedaan nilai-nilai ini meniscayakan PAI tidak hanya berpijak pada paradigma learning to know, learning to do, learning to be, tetapi juga learning to live together. Paradigma yang disebut terakhir ini dalam konteks PAI akan menjadikan PAI sebagai proses: (a) pengembangan sikap toleran, empati, dan simpati yang menjadi syarat utama suksesnya Koeksistensi dalam keragaman agama; (b) klarifikasi nilai-nilai kehidupan bersama menurut perspektif agama-agama; (c) pendewasaan emosional; (d) kesetaraan dalam partisipasi; (e) kontrak sosial baru dan aturan main kehidupan bersama antar agama.
Membangun Saling Percaya
Penguatan kultural masyarakat memerlukan modal sosial yang dibangun dari rasa saling percaya. Modal sosial adalah seperangkat nilai atau norma informal yang dimiliki bersama suatu masyarakat yang mendorong terjadinya kerjasama satu sama lain. Norma yang dapat menjadi modal sosial adalah norma yang menonjolkan kebaikan-kebaikan. Norma semacam inilah yang akan membangun rasa saling percaya antara satu anggota masyarakat dengan anggota yang lain. PAI berbasis multikultural harus mengusung norma norma kebaikan yang merupakan modal sosial untuk tumbuhnya rasa saling percaya antar anggota masyarakat. PAI multikultural perlu menanamkan mutual trust atau saling pengertian antar agama, budaya dan etnik. Oleh karena itu modal sosial diyakini sebagai salah satu komponen utama dalam menggerakkan kebersamaan, keharmonisan, mobilitas ide, saling kepercayaan dan  saling menguntungkan untuk mencapai kemajuan bersama.[32]
Memelihara Saling Pengertian 
PAI berbasis multikultural juga harus mendorong peserta didik dengan berbagai etnik dan latar belakang untuk dapat memelihara rasa saling pengertian baik dengan teman sejawat maupun dengan anggota masyarakat lain yang berbeda latar belakang. Saling pengertian berarti kesadaran bahwa nilai-nilai mereka dan kita dapat berbedaan mungkin saling melengkapi serta berkontribusi terhadap keharmonisan hubungan. Selain saling memahami PAI multikultural juga mendorong peserta didik siap menerima perbedaan di antara berbagai keragaman paham agama dan kultur masyarakat yang beragama.
Menjunjung Sikap Saling Menghargai (Mutual Respect)
PAI berbasis multikultural harus mengarahkan peserta didik agar memiliki sikap saling menghargai terhadap semua orang, apapun latar belakangnya. Sikap ini muncul jika seseorang memandang orang lain secara setara. Pada kenyataannya ajaran agama yang terkandung dalam PAI memang mengajarkan Muslim untuk menghormati dan menghargai sesama manusia. Inilah ajaran universal yang mestinya ditonjolkan. PAI multikultural diharapkan mampu menumbuhkembangkan kesadaran pada peserta didik bahwa kedamaian dan harmoni dalam kehidupan masyarakat hanya akan tumbuh jika sikap saling menghormati dan menghargai benar-benar diamalkan dalam kehidupan, bukan sikap saling merendahkan. Sikap saling menghargai akan melahirkan sikap saling berbagi di antara semua individu maupun kelompok sosial.
Terbuka dalam Berpikir
Sikap keterbukaan dalam berpikir pada peserta didik merupakan salah satu tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan secara umum. Demikian pula dalam PAI berwawasan multikultural yang mendorong peserta didik membuka diri terhadap kenyataan hidup yang beragam, khususnya dalam hal pemahaman agama. Peserta didik perlu disiapkan untuk berhadapan dengan model pemahaman agama yang berbeda dari apa yang diajarkan selama ini. Dengan sikap terbuka ini peserta didik diharapkan mau memahami makna eksitensi dirinya, identitasnya di tengah keragaman budaya dan agama yang ada.
Apresiasi dan Interdependensi
PAI multikultural juga perlu menghadirkan sikap apresiatif terhadap keragaman dan menyadarkan tentang adanya saling ketergantungan atau interdependensi antara satu manusia dengan yang lain.
Resolusi Konflik dan Rekonsiliasi Nirkekerasan
Konflik dengan latar belakang sebab yang beragam (baik karena agama, etnik, ekonomi, sosial dan budaya) adalah fakta kehidupan yang sulit dibantah keberadaannya. PAI multikltural memberi kontribusi bagi upaya mengantisipasi munculnya konflik ini dengan cara menginternaslisasikan kekuatan spiritual yang menjadi sarana integrasi dan kohesi sosial (social cohesion) dan menawarkan bentuk-bentuk resolusi konflik. Resolusi kemudian dilanjutkan dengan rekonsiliasi yang merupakan upaya perdamaian melalui pengampunan atau pemaafan. PAI perlu mengarahkan peserta didik agar menjadi manusia yang mudah memaafkan kesalahan orang lain, meskipun tahu bahwa pendekatan hukum juga dapat dilakukan. Akan tetapi memberi maaf jauh lebih luhur dan mulia.[33]
Dengan memahami asumsi-asumsi paradigmatik di atas, maka apa yang dimaksud PAI berbasis multikultural menurut Baidhawi dapat didefinisikan sebagai:
Gerakan pembaruan dan inovasi pendidikan agama dalam rangka menanamkan kesadaran akan pentingnya hidup bersama dalam keragaman dan perbedaaan agama-agama, dengan spirit kesetaraan dan kesederajatan, saling percaya, saling memahami dan menghargai persamaan, perbedaan dan keunikan agama-agama, terjalin dalam suatu relasi dan independensi dalam situasi saling mendengar dan menerimaperbedaan perspektif agama-agama dalam satu dan lain masalah dengan pikiran terbuka, untuk menemukan jalan terbaik mengatasi konflik antar agama dan menciptakan perdamaian melalui sarana pengampunan dan tindakan nirkekerasan.[34]

6.    Fokus PAI Berbasis Multikultural

Dengan mengacu kepada konsep kurikulum yang pluralis-multikultural, maka progam pembelajaran yang dikembangkan harus memiliki kesesuaian dengan kebutuhan dasar akademik dan sosial anak anak didik. Model pembelajaran pluralis multikultural yang dikembangkan diarahkan pada beberapa kompetensi dasar, diantaranya: pertama, mengembangkan kompetensi akademik standart dan dasar (standard and basic academic skill) tentang nilai persatuan dan kesatuan, demokrasi, keadilan, kebebasan, persamaan derajat, atau saling menghargai dalam beraneka jenis keragaman. Kedua mengembangkan kompetensi sosial agar dapat menumbuhkan pemahaman yang lebih baik ( a better understanding) tentang latar belakang budaya dan agama sendiri dan juga budaya agama lain dalam masyarakat. Ketiga, mengembangkan kompetensi akademik untuk menganalisi dan membuat keputusan yang cerdas (intelligent decisions) tentang isu-isu dan masalah keseharian (real-life problem) melalui sebuah proses demokratis atau penyelidikan dialogis (dialogical inquiry). Keempat, membantu mengonseptualisasi dan menganspirasikan kontruksi masyarakat yang lebih baik, demokratis dan egaliter tanpa ada diskriminasi, penindasan, dan pelanggaran terhadap nilai-nilai asasi yang universal.[35]
Kurikulum berbasis multicultural merupakan pendidikan yang bertujuan menghargai segala keragaman, menciptakan perdamaian, melindungi hak-hak asasi manusia dan mengembangkan demokrasi. Untuk itu ada beberapa pembelajaran yang harus di fokuskan guru agama pada peserta didik sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Ihat Hatimah, dkk berikut:[36]
a.    Pembelajaran Perdamaian
Javier Perez mengungkapkan bahwa perdamaian harus dimulai dari diri kita masing-masing. Melalui pemikiran yang tenang dan sungguh-sungguh tentang maknanya, maka cara-cara baru dan kreatif dapat ditemukan untuk mengembangkan pengertian, persahabatan dan kerja sama antara semua manusia. Suatu kebudayaan perdamaian di perlukan untuk kehidupan bersama yang bermakna. Di dalam kehidupan yang beragam dalam tata cara pribadi, social dan budaya tentang keberadaan dan kehidupan, maka pemikiran nilai-nilai manusia yang penting dapat mengatasi perbedaan-perbedaan untuk menjamin perdamaian dan solidaritas.
Strategi yang dapat digunakan dalam pembelajaran perdamaian di dalam kelas adalah “strategi introspeksi” dan “interaksi yang positif”. Strategi introspektif yaitu cara untuk menumbuhkan kesadaran bagi peserta didik untuk berani mengoreksi dirinya sendiri tentang kegiatan/perbuatan yang sudah dilakukan. Melalui introspeksi, peserta didik diharapkan berani untuk menilai dirinya sendiri sehingga dapat memilih kegiatan-kegiatan apa saja yang dapat menumbuhkan perdamaian diantara peserta didik dan kegiatan apa saja yang menimbulkan konflik di antara peserta didik. Interaksi social yang positif yaitu cara untuk menumbuhkan hubungan yang harmonis di antara peserta didik, dan antara peserta didik dengan lingkungan lainnya. Dengan terciptanya interaksi social yang harmonis, diharapkan dapat menumbuhkan saling menghargai, saling toleran di antara peserta didik, sekalipun di antara mereka mempunyai keanekaragaman budaya.
b.     Pembelajaran Hak Asasi Manusia
Semua hak manusia adalah universal, tak terbagi, interdependen dan saling terkait. Pendidikan adalah alat yang paling efektif untuk pengembangan nilai-nilai yang berhubungan dengan hak-hak asasi manusia. Pendidikan hak-hak asasi manusia haruslah mengembangkan kemampuan untuk menilai kebebasan pemikiran, kata hati dan keyakinan, kemampuan untuk menilai kesamaan, keadilan dan cinta, dan suatu kemauan untuk mengasuh dan melindungi hak-hak anak, kaum wanita, kaum pekerja, minoritas etnik, kelompok-kelompok yang tidak beruntung.
Di dalam mengembangkan pengertian dan mewujudkan nilai-nilai terkait hak-hak asasi manusia adalah membelajarkan peserta didik tentang apa hak-hak dan kebebasan yang dimiliki bersama sehingga hak-hak itu dihormati dan kemauan untuk melindungi hak-hak orang lain dipromosikan. Kegiatan dalam pembelajaran harus difokuskan pada nilai-nilai untuk melestarikan kehidupan dan memelihara martabat manusia. Setiap peserta didik harus diberi kesempatan yang memadai untuk menilai perwujudan dari nilai-nilai inti yang terkait dengan hak-hak asasi manusia di dalam kehidupannya.
c.     Pembelajaran Demokrasi
Pembelajaran untuk demokrasi pada hakekatnya adalah untuk mengembangkan eksistensi manusia dengan jalan mengilhaminya dalam pengertian martabat dan persamaan, saling mempercayai, toleransi, penghargaan pada kepercayaan dan kebudayaan orang lain, penghormatan pada individu, peran serta aktif dalam semua aspek kehidupan social, kebebasan berekspresi, kepercayaan dan beribadat. Apabila hal-hal tersebut sudah ada, maka dapat digunakan untuk mengembangkan pengambilan keputusan yang efektif, demokratis pada semua tingkatan yang akan mengarah pada kewajaran, keadilan dan perdamaian.
Untuk menciptakan demokrasi, dapat digunakan berbagai strategi, yaitu: [1]. Etos demokrasi harus berlaku di tempat pembelajaran, baik di sekolah maupun di luar sekolah. [2]. Pembelajaran untuk demokrasi berlangsung secara berlanjut, secara tepat harus diperkenalkan di semua jenjang dan bentuk pendidikan melalui pendekatan terpadu. [3]. Penafsiran demokrasi harus sesuai dengan berbagai konteks sosio budaya, ekonomis, dan evolusinya.

7.    Silabus dan Materi PAI Berbasi Multikultural

a.    Arah Silasbus
PAI sesungguhnya adalah sebuah subyek yang merefleksikan doktrin ajaran agama Islam. Kurikulumnya selama ini dirancang sesuai sistematika ajaran Islam yang meliputi Aqidah, Ibadah, dan Akhlak. Dalam konteks PAI berbasis multikulturalisme harus ada penekanan yang sangat besar pada silabusnya di atas prinsip transformasi ideologi menjadi ilmu. Jika ajaran agama berhenti pada ideologi, maka ia akan bersifat tertutup dan subyektif. Persoalan pergeseran dari pendekatan subyektif ke obyektif itu dapat berupa: 1) menghilangkan egosentrisme umat, 2) pluralisme sosial, 3) pluralisme budaya, dan 4) pluralisme agama. Namun diantara keempat hal itu pluralisme agamalah yang paling berat bobotnya. Pluralisme agama paling mudah dirumuskan, tetapi paling sulit dilaksanakan.[37] Walau berat namun sebenarnya titik tekan dari perubahan pendekatan ini membangun kesadaran secara perlahan untuk menghilangkan egosentrisme umat, mencarikan solusi atas pluralisme sosial dan pluralisme budaya. Menurut Ali Maksum dan Luluk Runan Ruhendi untuk pluralisme budaya pendidikan berparadigma multikulturalisme mengarahkan peserta didik untuk bersikap dan berpandangan toleran dan inklusif
Setidaknya, pendidikan multikulturalisme mempunyai tujuan pendidikan membentuk “manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat manusia berbudaya”.[38]
b.   Materi PAI Berbasis Multikulturalisme
Ajaran Islam yang bersifat universal adalah rahmat bagi seluruh alam. Oleh sebab itu tidak sulit mencari materi PAI yang relevan dengan prinsip-prinsip multikulturalisme. Mengenai materi pendidikan agama Islam sendiri, menurut Z. Arifin Nurdin, seperti dikutip Mustatho’ gagasan multikultural bukanlah sesuatu yang sulit ataupun baru. Setidaknya ada tiga alasan untuk itu. Pertama, Islam mengajarkan menghormati dan mengakui keberadaan orang lain. Kedua, konsep persaudaraan Islam tidak hanya terbatas pada satu sekte atau golongan saja. Ketiga, dalam pandangan Islam bahwa nilai tertinggi seorang hamba adalah terletak pada integralitas taqwa dan kedekatannya dengan Tuhan.[39]
Dalam hubungannya dengan multikulturalisme beberapa materi PAI yang perlu diajarkan dengan penekanan yang besar adalah sebagai berikut:
a. Ajaran tentang Kasih Sayang
Menurut Zuhairi Misrawi dan Novriantoni sejatinya kasih sayang menjadi ajaran applicable dan bersifat praksis. Sebagai mekanisme internal, kasih sayang penting di tengah perbedaan apapun harus dilandasi dengan kasih sayang, sehingga perbedaan tidak bisa mengakibatkan konflik sosial. Perbedaan dan keragaman umat Islam harus dibingkai dengan semangat kasih sayang. Kasih sayang harus menjadi mekanisme eksternal, terutama dalam hubungan umat Islam dengan umat lain. Islam sebagai agama hadir dengan konteks luas meniscayakan adanya sikap simpati terhadap agama dan kelompok lain maka diperlukan keterbukaan dan keinginan untuk hidup bersama secara damai dan aman.
b. Ajaran tentang Persaudaraan
Konsep persaudaraan yang ingin ditegakkan Islam adalah jenis persaudaraan yang tidak diskriminatif. Jenis persaudaraan itu sekuat tenaga harus diupayakan berlandaskan pada nilai-nilai kebajikan seperti keadilan, persamaan, toleransi, dan jauh dari suasana keangkuhan. Ajaran Islam tentang persaudaraan tidak mengenal batas agama. Bahkan dalam sejarahnya, Islam tetap menganjurkan umatnya untuk menjali hubungan baik, sekalipun dengan orang
yang berlainan agama dan pandangan hidup agar terjadi situasi yang harmonis dan dinamis. Pada dasarnya standar persahabatan dan permusuhan dalam Islam bukanlah faktor agama atau keyakinan semata-mata dalam menyemangati umat Islam untuk bertindak konfrontatif terhadap  umat lain. Yang menjadi faktor menentukan perseturuan dan permusuhan dalam lintas sejarah lebih banyak bersifat sosiologis atau akibat kondisi-kondisi sosial politik tertentu. Artinya dengan konsep persaudaraan non-diskriminatif yang terbuka, elastis, cair, dan tidak menafikan kelompok lain, umat Islam berprestasi dan menyumbangkan peradaban kemanusiaan secara gilang-gemilang. Membangun situasi non-diskriminatif amat penting agar dalam pluralisme tidak terjadi “perasaan marginal” dalam berbagai kalangan.
c. Ajaran tentang Perdamaian
Perdamaian dipahami doktrin langit yang hanya dimiliki Tuhan belaka. Tuhan disebut sebagai pencipta kedamaian. Memaknai Islam sebagai perdamaian, sebenarnya sejalan dengan hakikat Islam itu sendiri. Hal yang otentik dalam Islam adalah perdamaian. Teologi perdamaian adalah khazanah keagamaan yang mesti ditanamkan kepada setiap individu, sehingga berislam adalah hidup secara damai dan memahami keragaman. Spirit perdamaian sejatinya menjadi budaya yang menghiasi kehidupan sehari-hari. Setiap individu, keluarga, masyarakat dalam pelbagai etnis, suku, ras, dan agama harus bekerjasama mengangkat doktrin perdamaian ke permukaan. Karena itu, perdamaian harus senantiasa dijaga. Ajaran ini juga menjadi kerangka pendidikan multikultur untuk menanggulangi munculnya tindakan“anti-perdamaian”.
d.Ajaran tentang Maslahat Ada lima
pokok-pokok maslahat ini yang biasa disebut sebagai alkulliyat al-khamsah atau panca jiwa maslahat, yaitu menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga nalar, menjaga keturunan dan menjaga harta. Kelima maslahat ini, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Syatibi, dianggap primer bagi manusia. Islam memegang teguh panca-jiwa maslahat ini. Untuk mengusung gagasan ini Nasr Hamed Abu Zayd mengemukakan tiga prinsip, yakni; 1) prinsip rasionalisme sebagai lawan dari fanatisme, sebab fanatisme adalah sumber kejahilan, 2) prinsip liberalisme, atau paham kebebasan sebagai kebutuhan mendasar bagi negara Muslim, dan 3) prinsip keadilan yang menjadi puncak dambaan dan impian paling “jauh panggang dari api” di negara-negara muslim. Sebagai catatan bahwa untuk liberalisme tetap berkiblat kepada Islam yang memiliki norma dan tata cara Islam dalam konteks ini akhlak karimah dalam berbagai aspeknya.[40] Perlunya ajaran ini tak terlepas untuk mempersempit paham radikalisme Islam, dengan rasionalisme dunia Islam dapat lebih mengembangkan pemikiran dan mampu memberantas kebodohan sosial-politik-ekonomi, dengan liberalisme iklim elegan dan elastis memungkinkan umat Islam dapat mengembangkan segenap potensinya sehingga terjaminnya proses kehidupan masyarakat yang moralis, etis dan agamis secara lebih makmur dan terjamin. Mengutip Samsul Ma’arif, penulis artikel bernama Mustatho’ mengatakan pendidikan Islam atau khususnya PAI berbasis multikultural harus memuat lima hal pokok, yaitu:
1. Pendidikan agama seperti fiqih, tafsir tidak harus bersifat linier,  namun menggunakan pendekatan muqaran. Ini menjadi sangat penting, karena anak tidak hanya dibekali pengetahuan atau pemahaman tentang ketentuan hukum dalam fiqih atau makna ayat yang tunggal, namun juga diberikan pandangan yang berbeda. Tentunya, bukan sekedar mengetahui yang berbeda, namun juga diberikan pengetahuan tentang mengapa bisa berbeda.
2. Untuk mengembangkan kecerdasan sosial, peserta didik juga harus diberikan pendidikan lintas agama. Hal ini dapat dilakukan dengan program dialog antar agama yang dimasukkan dalam kurikulum lembaga pendidikan Islam. Sebagai contoh, dialog tentang “puasa” yang bisa menghadirkan para bikhsu atau agamawan dari agama lain. Program ini menjadi sangat strategis, khususnya untuk memberikan pemahaman kepada peserta didik bahwa ternyata puasa itu juga menjadi ajaran saudara-saudaranya yang beragama Budha. 
3. Untuk memahami realitas perbedaan dalam beragama, lembaga lembaga pendidikan Islam bukan hanya sekedar menyelenggarakan dialog antar agama, namun juga menyelenggarakan program road show lintas agama. Program road show lintas agama ini adalah program nyata untuk menanamkan kepedulian dan solidaritas terhadap komunitas agama lain. Hal ini dengan cara mengirimkan peserta didik-peserta didik untuk ikut kerja bhakti membersihkan gereja, wihara ataupun tempat suci lainnya atau disebut dengan dialog aksi.[41] Kesadaran pluralitas bukan sekedar hanya memahami keberbedaan, namun juga harus ditunjukkan dengan sikap konkrit bahwa di antara umat sekalipun berbeda keyakinan, namun saudara dan saling membantu antar sesama. 
4. Untuk menanamkan kesadaran spiritual, pendidikan Islam perlu menyelenggarakan program seperti Spiritual Work Camp (SWC). Hal ini bisa dilakukan dengan cara mengirimkan peserta didik untuk ikut dalam sebuah keluarga selama beberapa hari, termasuk kemungkinan ikut pada keluarga yang berbeda agama. Peserta didik harus melebur dalam keluarga tersebut. Ia juga harus melakukan aktifitas sebagaimana aktifitas keseharian dari keluarga tersebut. Jika keluarga tersebut petani, maka ia harus pula membantu keluarga tersebut bertani dan sebagainya. Ini adalah suatu program yang sangat strategis untuk meningkatkan kepekaan serta solidaritas sosial. Pelajaran penting lainnya adalah peserta didik dapat belajar bagaimana memahami kehidupan yang beragam. Dengan demikian, peserta didik akan mempunyai kesadaran dan kepekaan untuk menghargai dan menghormati orang lain. 
5. Pada bulan Ramadhan, adalah bulan yang sangat strategis untuk menumbuhkan kepekaaan sosial pada peserta didik. Dengan menyelenggarakan “program sahur on the road”, misalnya. Karena dengan program ini, dapat dirancang sahur bersama antara peserta didik dengan anak-anak jalanan. Program ini juga memberikan manfaat langsung kepada peserta didik untuk menumbuhkan sikap kepekaan sosial, terutama pada orang orang di sekitarnya yang kurang mampu.

8.    Desain Kuikulum PAI Bebasis Multikultural

Desain kurikulum yang bagaimanakah yang paling tepat untuk PAI berbasis      multikulturalisme? Kalau Kurikulum 2013 hendak merombak kurikulum yang berorientasi hanya pada aspek kognisi kepada kurikulum yang berorientasikan kepada kompetensi yang utuh, maka pada level kebudayaan (culture) sesungguhnya lembaga pendidikan membutuhkan sebuah rumusan kurikulum yang berorientasi pada pemahaman kebudayaan. Hal ini menyangkut kondisi nyata Indonesia yang terdiri dari beragam kultur, bahasa, suku, agama dan sebagainya. Kompetensi ini diharapkan mampu mengelola konflik yang bersumber dari adanya perbedaan kebudayaan  ini. Kondisi ini, menjadi realitas yang secara arif harus direspons. Pluralitas dan konflik antar agama di Indonesia sebagai bagian integral dari sejarah sosial agama-agama dunia, tentu tidak akan merupakan pengekecualian yang mencolok. Oleh karena itu, sikap pluralisme harus ditumbuhkembangkan. Hal ini dirasakan semakin mendesak karena dalam beberapa tahun terakhir konflik antar etnik semakin sering terjadi. Pertanyaannya adalah bagaimana Indonesia menghadapi realitas ini?
Sebagai bahan pertimbangan tatkala menyusun kurikulum pendidikan agama berwawasan multikultural, ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan sebagai dasar pijakan bagi pendidik agama, yakni (1) mengajarkan kepada peserta didik bahwa manusia itu beragam, setiap manusia harus terampil hidup bersama dalam kultur yang beragam, (2) Perlu diajarkan agar peserta didik mampu hidup bersama dalam perbedaan, maka perlu merujuk pada beberapa surat yakni, surat Ali Imran: 64, al-Hujurat: 13, dan Yusuf: 67, (3) Perlu dididik agar peserta didik memiliki sikap mempercayai orang lain, tidak mencurigai, dan tidak berprasangka buruk. Pendidikan bisa memperkenalkan bebera surat, antara lain al-Hujurat: 15, (4) Perlu dididik agar peserta didik itu memiliki sikap menghargai orang lain. Memahami bukan selalu berarti menyetujui; dipihak lain memahami selalu berarti menghargai. Pendidikan bisa memaparkan beberapa surat, seperti al-Hujurat: 13, (5) Didiklah peserta didik agar senang memaafkan orang lain baik diminta ataupun tidak serta mendoakan orang itu agar diberi ampunan  oleh Allah. Pendidikan bisa menjelaskan surat-surat, di antaranya al-A’raf: 199, al-An’am: 54, Ali Imran: 134.
Dengan demikian, jika para Pendidik PAI memahami kultur yang beragam dari peserta didiknya dan mengajarkan agama dengan wawasan yang multikultural dengan menampilkan surat-surat di atas, maka akan dapat menanamkan nilai-nilai kedamaian pada  peserta didik dan akan dapat meminimilasir potensi perselisihan baik dalam interen agama maupun antar agama.

9.    Rekomendasi Kurikulum Berbasis Multikultural

a.    Kurukulum berbasis multikultural harus berangkat dari paradigma baru dalam pendidikan Islam yakni learning to think, to do, to be, dan to live together.
b.    Kurikulum berbasis multikultural harus selalu menekankan pendidik untuk mengajarkan peserta didik dalam hal; 10 belajar hidup dalam perbedaan, 2) membangun rasa saling percaya, 3) memelihara saling pengertian, 4) menjunjung sikap saling menghargai, 5) terbuka dalam berfikir, 6) apresiasi dan interdependensi, 7) resolusi konflik dan rekonsiliasi nirkekerasan.
c.    Model pembelajaran pluralis multikultural yang dikembangkan diarahkan pada beberapa kompetensi dasar, diantaranya: pertama, mengembangkan kompetensi akademik standart dan dasar (standard and basic academic skill) tentang nilai persatuan dan kesatuan, demokrasi, keadilan, kebebasan, persamaan derajat, atau saling menghargai dalam beraneka jenis keragaman. Kedua mengembangkan kompetensi sosial agar dapat menumbuhkan pemahaman yang lebih baik ( a better understanding) tentang latar belakang budaya dan agama sendiri dan juga budaya agama lain dalam masyarakat. Ketiga, mengembangkan kompetensi akademik untuk menganalisi dan membuat keputusan yang cerdas (intelligent decisions) tentang isu-isu dan masalah keseharian (real-life problem) melalui sebuah proses demokratis atau penyelidikan dialogis (dialogical inquiry). Keempat, membantu mengonseptualisasi dan menganspirasikan kontruksi masyarakat yang lebih baik, demokratis dan egaliter tanpa ada diskriminasi, penindasan, dan pelanggaran terhadap nilai-nilai asasi yang universal.
d.   PAI berbasis multikulturalisme harus ada penekanan yang sangat besar pada silabusnya di atas prinsip transformasi ideologi menjadi ilmu.
e.    Pendidikan agama seperti fiqih, tafsir tidak harus bersifat linier,  namun menggunakan pendekatan muqaran.
f.     Untuk mengembangkan kecerdasan sosial, peserta didik juga harus diberikan pendidikan lintas agama.
g.    Selain menyelenggarakan dialog antar agama, namun juga menyelenggarakan program road show lintas agama.
h.    Pendidikan Islam perlu menyelenggarakan program seperti Spiritual Work Camp (SWC).
i.      Merancang progam-progam yang dapat menumbuhkan kepekaan sosial kepada peserta didik.
j.      Proses pembelajaran lebih menekankan pada bagaimana mengajarkan tentang agama (teaching about religion), bukan mengajarkan agama (teaching of religion). Mengajarkan tentang agama melibatkan pendekatan kesejarahan dan perbandingan, sedangkan mengajarkan agama pendekatannya indoktrinasi dogmatik. Proses pembelajaran perlu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk aktif mencari, menemukan, dan mengevaluasi pandangan keagamaannya sendiri dengan membandingkannya dengan pandangan keagamaan peserta didik lainnya. Dengan pendekatan ini diharapkan tumbuh sikap toleransi, tidak menghakimi, dan melepaskan diri dari sikap fanatik berlebihan.

C.      KESIMPULAN

Pendidikan pluralis multikultural adalah pendidikan yang memberikan penekanan terhadap proses penanaman cara hidup yang saling menghormati, tulus dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup ditengah-tengah masyarakat dengan tingkat pluralitas yang tinggi. Kurikulum berbasis multicultural merupakan pendidikan yang bertujuan menghargai segala keragaman, menciptakan perdamaian, melindungi hak-hak asasi manusia dan mengembangkan demokrasi. Kurikulum berbasis multikultural berangkat dari paradigma baru dalam pendidikan Islam yakni learning to think, to do, to be, dan to live together
Dalam konteks PAI berbasis multikulturalisme harus ada penekanan yang sangat besar pada silabusnya di atas prinsip transformasi ideologi menjadi ilmu. Jika ajaran agama berhenti pada ideologi, maka ia akan bersifat tertutup dan subyektif. Persoalan pergeseran dari pendekatan subyektif ke obyektif itu dapat berupa: 1) menghilangkan egosentrisme umat, 2) pluralisme sosial, 3) pluralisme budaya, dan 4) pluralisme agama. Dalam hubungannya dengan multikulturalisme beberapa materi PAI yang perlu diajarkan dengan penekanan yang besar adalah sebagai berikut: (1) ajaran tentang kasih sayang, (2) ajaran tentang persaudaraan, (3) ajaran tentang perdamaian, (4) ajaran tentang maslahat yang lima.
Sementara itu dalam segi desain kurikulum, tatkala menyusun kurikulum pendidikan agama berwawasan multikultural, ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan sebagai dasar pijakan bagi pendidik agama, yakni (1) mengajarkan kepada peserta didik bahwa manusia itu beragam, setiap manusia harus terampil hidup bersama dalam kultur yang beragam, (2) Perlu diajarkan agar peserta didik mampu hidup bersama dalam perbedaan, maka perlu merujuk pada beberapa surat yakni, surat Ali Imran: 64, al-Hujurat: 13, dan Yusuf: 67, (3) Perlu dididik agar peserta didik memiliki sikap mempercayai orang lain, tidak mencurigai, dan tidak berprasangka buruk. Pendidikan bisa memperkenalkan bebera surat, antara lain al-Hujurat: 15, (4) Perlu dididik agar peserta didik itu memiliki sikap menghargai orang lain. Memahami bukan selalu berarti menyetujui; dipihak lain memahami selalu berarti menghargai. Pendidikan bisa memaparkan beberapa surat, seperti al-Hujurat: 13, (5)Didiklah peserta didik agar senang memaafkan orang lain baik diminta ataupun tidak serta mendoakan orang itu agar diberi  ampunan  oleh Allah. Pendidikan bisa menjelaskan surat-surat, di antaranya al-A’raf: 199, al-An’am: 54, Ali Imran: 134.

D.    DAFTAR RUJUKAN

Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalany. 1996. Fath al-Bary. Cet. I; Madinah al-Munawarah. Jilid. I
Azis, Amir. 1999. Neo Modernisme Islam di Indonesia; Gagasan Sentral Nurcholis Madjid dan KH. Abdurrahkan Wahid. Jakarta : Rineka Cipta.
Baidhawy, Zakiyuddin. 2008. ”Membangun Harmoni dan Perdamaian Melalui Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural”. Lokakarya Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Australian Indonesia Partnership dan Kemenag RI.
C. Boker, Gwendolyn. 1994. Planing and Organizing for Multicultural Instruction (California: Addison-Wesley Publishing Company.
E. Kendall, Frances. 1983. Diversity in the Classroom a Multicultural Approach to The Education of Young Children. New York: Teachers College Press. sebagaimana dikuti dari ebook Kasiyo Harto. Pengembangan Pendidikan Agama Islam berbaasi Pendidikan Multikultural. Fakultas Tarbiyah dan Kependidikan Universitas Raden Patah Palembang.
Fuadi, Maarif. Multikulturalisme dalam Pandangan Islam. sebagaimana dikutip dilaman (http://maariffuadi.blogspot.co.id/2014/01/multikulturalisme-dalam-pandangan-islam.html) diakses pada tanggal 24 Mei 2017
Harahap, Syahrin. 1997. Islam Dinamis; Menegaskan Nilai-Nilai Ajaran Alqur`an dalam Kehidupan Modern di Indonesia. Cet. I; Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya.
Harto, Kasinyo. 2007. “Membangun Pola Pembelajaran Pendidikan Agama Yang Berwawasan Multikultural”. Conciencia, Vol. 1.
Harto, Kasiyo. Pengembangan Pendidikan Agama Islam berbaasi Pendidikan Multikultural. Fakultas Tarbiyah dan Kependidikan Universitas Raden Patah Palembang, Journal At-Tahrir, Vol.14.
Hatimah, dkk. 2007. Pendidikan Berwawasan Kemasyarakatan. Jakarta: Universitas Terbuka.
Jay, Gregory. “Critical Contexts For Multiculturalism” dalam http://www.uwm. edu/~gjay/Multicult/contextsmulticult.htm.
Lash, Scott dan Mike Featherstone (ed.). 2002. Recognition And Difference: Politics, Identity, Multiculture . London: Sage Publication.
Madjid, Nurcholis. 1986.  “Meninggalkan Kemutlakan Jalan Menuju Kedamaian,  dalam Prisma, No. 9.
Mahfud, Choirul. 2010. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Maksum, Ali dan Luluk Yunan. Tanpa tahun. Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Pos Modern. Yogyakarta: IRCiSod.
Masgnud. 2010. Pendidikan Multikultural: Pemikiran & Upaya Implementasinya. Yogyakarta: Idea Press.
Muhaimin. 2014. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. Jakarta. PT raja Grafindo Persada
Mustatho’ , diakses melalui gurubuku.blogspot.com 2008/08 sebagaimana dikutip di ebook Kasiyo Harto. Pengembangan Pendidikan Agama Islam berbaasi Pendidikan Multikultural. Fakultas Tarbiyah dan Kependidikan Universitas Raden Patah Palembang
Mukhibat. 2014. Rekonstruksi Spirit Harmoni Berbasis Masjid. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kemenag RI.
Naim, Ngainum dan Achmad Sauqi. 2008. Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Riwayadi Susilo dan Suci Nur Anisyah. 2009. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Sinar Terang.
Shihab, Alwi. 1998.  Islam Inklusif; Menuju Sikap Tebuka dalam Beragama. Cet. IV; Bandung: Mizan.
Taylor, Charles. 1994. “The Politics of Recognation” dalam Amy Gutman. Multiculturalism, Examining the Politics of Recognation. Princenton: Princenton University Press. Sebagaimana dikutip Mujtahid. Kurikulum berbasis Multikultural. Dalam http://mujtahid-komunitaspendidikan.blogspot.co.id/2010/02/kurikulum-berbasis-multikultural.html (diakses pada tanggal 24/04/2017)
Tilaar, H.A.R. 2002. Multikulturalisme; Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.
Umar, Bukhari. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah
Yaqin Ainul, M. 2008. Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media.  



[1] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT raja Grafindo Persada,2014), hlm. 18
[2] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Cet. IV, hlm.100
[3] Susilo Riwayadi dan Suci Nur Anisyah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Sinar Terang, 2009), hlm. 487
[4] Ibid Susilo Riwayadi dan Suci nur Anisyah, Kamus Lengkap……. , hal. 413
[5] M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hal. 27-28. Lihat pula dalam  Ngainun Naim & Achmad  Sauqi, Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hlm. 121-122.
[6] Scott Lash dan Mike Featherstone (ed.), Recognition And Difference: Politics, Identity, Multiculture ,( London: Sage Publication, 2002), hlm. 2-6.
[7] Mujtahid, Kurikulum berbasis Multikultural, Dalam http://mujtahid-komunitaspendidikan.blogspot.co.id/2010/02/kurikulum-berbasis-multikultural.html (diakses pada tanggal 24/04/2017)
[8] Politics of recognition dikemukan oleh Charles Taylor pada 1992 di depan kuliah terbuka di Princenton University. Mulanya gagasanya adalah gagasan politik yang kemudian berkembang di kajian lain, flsafat, sosiologi, budaya dan lainnya. Gagasanya dipengaruhi oleh padangan Jean-Jacques Rousseau dalam Discourse Inequality dan kesamaan martabat (equal dignity of human rights) yang dicetuskan Immanuel Kant. Gagasan Taylor bersumber pada pertama, bahwa sesungguhnya harkat dan martabat manusia adalah sama. Kedua, pada dasarnya budaya dalam masyarakat adalah berbeda-beda, oleh karena itu membutuhkan hal yang ketiga, yaitu pengakuan atas bentuk perbedaan budaya oleh semua element sosial-budaya, termasuk juga negara. Charles Taylor. “The Politics of Recognation” dalam Amy Gutman. Multiculturalism, Examining the Politics of Recognation (Princenton: Princenton University Press, 1994), hlm. 18.
[9] Ibid., hlm. 3-4.
[10] H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme; Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional,  (Jakarta: Grasindo, 2001), hlm. 83.
[11] Gregory Jay. “Critical Contexts For Multiculturalism” dalam http://www.uwm. edu/~gjay/Multicult/contextsmulticult.htm.
[12] Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 28
[13] Masgnud, Pendidikan Multikultural: Pemikiran & Upaya Implementasinya (Yogyakarta: Idea Press, 2010), hlm. 19
[14] Ibid., hlm. 21
[15] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, Op.cit., hal. 175-176
[16] Ngainum Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hlm. 191
[17] Maarif Fuadi, Multikulturalisme dalam Pandangan Islam, sebagaimana dikutip dilaman (http://maariffuadi.blogspot.co.id/2014/01/multikulturalisme-dalam-pandangan-islam.html) diakses pada tanggal 24 Mei 2017
[18] QS. Al-Hujurot/ 13
[19] QS. Al-Baqoroh/ 213
[20] QS. Al-Hujurot/ 12
[21] QS. Al-Hujurot/6
[22] QS. Al-Baqoroh/256
[23] QS. As-Syuroo/ 40
[24] Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Kitab Adab, No 5604 dan 5606.  Imam Muslim, Sahih Muslim, Kitab al-Bir, wa ash-Shillah wa al-Adab, No 4646.
[25] Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalany, Fath al-Bary, (Cet. I; Madinah al-Munawarah, 1417 H / 1996 M), Jilid. I, hlm. 94
[26] Sejumlah kasus menunjukkan fenomena tantangan pluralisme dan multikulturalisme. Di Bosnia, umat – umat katolik dan Islam saling membunuh. Di Irlandia Utara, umat Katolik dan umat Protestan saling bermusuhan. Di Timur Tengah, ketiga cucu Nabi Ibrahim – Umat Yahudi, Kristen dan Islam – saling menggunakan bahasa kekerasan. Di Sudan, senjata adalah alat komunikasi antara umat Islam dan Kristen. DiKAsymir, pengikut agama Hindu dan Umat Muhammad saling bersitegang. Di Sri langka kaum Budha dan kelompok Hindu bercakar-cakaran. Semua fenomena tersebut terjadi di depan mata kita. Yang sangat menyayat hati adalah agama dijadikan elemen utama dalam mesin penghancur manusia. Kenyataan itu adalah agama dijadikan elemen utama dalam mesin penghancur permukaan bumi ini. Lihat Alwi Shihab,  Islam Inklusif; Menuju Sikap Tebuka dalam Beragama (Cet. IV; Bandung : Mizan, 1998), hlm. 39-40; Bandingkan dengan Syahrin Harahap, Islam Dinamis; Menegaskan Nilai-Nilai Ajaran Alqur`an dalam Kehidupan Modern di Indonesia (Cet. I; Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 226. Lihat juga Nurcholis Madjid,  “Meninggalkan Kemutlakan Jalan Menuju Kedamaian,  dalam Prisma, No. 9 Tahun 1986, h. 41-42.
[27] Misalnya, apabila Islam diyakini sebagai agama yang benar berarti Islam adalah agama satu-satunya agama yang benar. Namun tidak cukup itu saja, kelanjutannya adalah menginginkan orang-orang yang tidak segama dengannya beruba menjadi segama serta bersikap bahwa penyebaran agama efektif jika dilaksanakan dengan meneriakkan bahwa agamanya adalah satu-satunya yang unggul dengan mencercah dan merendahkan agama lain yang diikuti dengan tindak kekerasan bahkan penghancuran sarana peribadatan agama lain. Lihat Amir Azis, Neo Modernisme Islam di Indonesia; Gagasan Sentral Nurcholis Madjid dan KH. Abdurrahkan Wahid (Jakarta : Rineka Cipta, 1999), hlm. 51-52
[28] Kasiyo Harto. Pengembangan Pendidikan Agama Islam berbaasi Pendidikan Multikultural. Fakultas Tarbiyah dan Kependidikan Universitas Raden Patah Palembang, Journal At-Tahrir, Vol.14, No, hlm. 415-419
[29] Kasinyo Harto, “Membangun Pola Pembelajaran Pendidikan Agama Yang Berwawasan Multikultural”, Conciencia, Vol. 1 No. 2 (2007), hlm. 25.
[30] Gwendolyn C. Baker, Planing and Organizing for Multicultural Instruction (California: Addison-Wesley Publishing Company, 1994), hlm. 25-26.
[31] Zakiyuddin Baidhawy, ”Membangun Harmoni dan Perdamaian Melalui Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural”, Lokakarya Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Pengembangan Kurikulum (Jakarta: Australian Indonesia Partnership dan Kemenag RI, 10-13 April 2008), hlm. 75-78.
[32] Mukhibat, Rekonstruksi Spirit Harmoni Berbasis Masjid (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kemenag RI, 2014), hlm. 34.
[33] Baidhawy, ”Membangun Harmoni dan Perdamaian Melalui Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural”, (Jakarta: Australian Indonesia Partnership dan Kemenag RI, 10-13 April 2008), hlm. 79-85.
[34] Ibid
[35] Ibid., hlm. 204-205
[36] Hatimah, dkk, Pendidikan Berwawasan Kemasyarakatan, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), hlm. 7.19-7.22
[37] Frances E. Kendall, Diversity in the Classroom a Multicultural Approach to The Education of Young Children (New York: Teachers College Press, 1983), 24-26 sebagaimana dikutip dari ebook: Kasiyo Harto. Pengembangan Pendidikan Agama Islam berbaasi Pendidikan Multikultural. Fakultas Tarbiyah dan Kependidikan Universitas Raden Patah Palembang
[38] Ali Maksum dan Luluk Yunan, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Pos Modern (Yogyakarta: IRCiSod), hlm. 191.
[39] Mustatho’ , diakses melalui gurubuku.blogspot.com 2008/08 sebagaimana dikutip di ebook: Kasiyo Harto. Pengembangan Pendidikan Agama Islam berbaasi Pendidikan Multikultural. Fakultas Tarbiyah dan Kependidikan Universitas Raden Patah Palembang
[40] Ibid
[41] Mukhibat, Rekonstruksi Spirit Harmoni Berbasis Masjid, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kemenag RI. 2014), hlm. 101.

No comments:

Post a Comment