KARAKTERISTIK
DAN PROBLEMATIKA
PENDIDIKAN
ISLAM DAN IMPLIKASI
PENGEMBANGAN
KURIKULUM
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
Makalah ini
disusun guna memenuhi tugas matakuliah
Pengembangan Kurikulum PAI
Dosen Pengampu :
Dr. Marno, M.Ag.
Kunainah Afroyim
NIM :16771029
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
TAHUN 2016
KARAKTERISTIK DAN PROBLEMATIKA
PENDIDIKAN ISLAM DAN IMPLIKASINYA
DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI
Oleh
Kunainah Afroyim
A.
Latar Belakang
Dalam UU No. 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab II Pasal 3 dinyatakan
bahwa:
“Pendidikan
Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”[1]
Tujuan
pendidikan yang bersifat umum itu kemudian dirumuskan ke dalam tujuan yang
lebih khusus yakni tujuan institusional dan tujuan kurikuler yang harus dicapai
oleh setiap mata pelajaran.
Salah satu
kelompok mata pelajaran yang ada dalam muatan kurikulum 2006, adalah kelompok
mata pelajaran agama dan akhlak mulia, yang memiliki tujuan membentuk peserta
didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
serta berakhlak mulia.[2]
Diketahui bahwa
agama (Islam) dan pendidikan adalah dua hal yang satu sama lain saling
berhubungan. Melalui agama, manusia diarahkan menjadi manusia seutuhnya sesuai
dengan nilai-nilai ajaran Islam. Proses UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pasal 3.Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan pengembangannya adalah melalui pendidikan. Karena
dengan pendidikan orang akan menjadi lebih dewasa dan lebih mampu baik dari
segi kecerdasannya maupun sikap mentalnya. Agama dimaksudkan untuk membentuk
manusia Indonesia seutuhnya, dengan pertama-tama mengarahkan siswa menjadi
"manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa".[3]
Di samping itu
juga, agama memberikan tuntunan yang jelas kepada manusia, mana yang baik dan
mana yang buruk, mana yang harus dikerjakan dan mana pula yang harus
ditinggalkan, mana yang menguntungkan dan mana yang merugikan. Harapan yang
paling fundamental dengan adanya pendidikan
Agama Islam di sekolah/madrasah adalah diharapkan lahirnya sosok-sosok
yang benar-benar mampu memahami substansi agama itu sendiri sekaligus dapat
mengimplementasikannya dalam kehidupan dengan indikasi pr ilaku
dan kesalehan yang nyata.
Kenyataannya,
pendidikan Agama Islam di sekolah atau madarasah masih dianggap kurang
memberikan kontribusi kearah tersebut. Menurut Muhaimin, menyoroti kegiatan
Pendidikan Agama Islam yang selama ini berlangsung di sekolah, antara lain;
Pendidikan Agama Islam selama ini lebih terkonsentrasi pada persoalan-persoalan
teoritis; Pembelajaran pendidikan agama Islam yang selama ini berlangsung
kurang memperhatikan persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang
bersifat kognitif menjadi "makna" dan "nilai" yang perlu diinternalisasikan
dalam diri siswa, untuk selanjutnya menjadi sumber minat bagi siswa untuk
bergerak, berbuat dan berperilaku secara kongkret -agamis dalam kehidupan
praksis sehari-hari; Isu kenakalan remaja, tauran, tindak kekerasan,
kriminalitas, dan sebagainya, sekalipun tidak sepenuhnya secara langsung
terkait dengan metodologi pendidikan agama yang selama ini berlangsung secara
konvensional dan tradisional merupakan bukti kurang tepatnya sasaran pendidikan
Agama Islam.[4]
Munculnya
kesenjangan antara harapan dan kenyataan ini, walaupun bukan sepenuhnya menjadi
tanggung jawab pendidikan Agama Islam, namun kenyataannya pendidikan Agama
Islam memeganng peranan dalam pembentukan kepribadian peserta didik.
Permasalahannya adalah bagaimana mengimplementasikan Pendidikan Agama Islam
sebagai bagian dari kurikulum secara nyata sesuai dengan tujuan yang telah
ditetapkan pada sekolah atau madrasah. Implementasi dari kurikulum ini adalah
melalui proses pembelajaran.
Menurut
Soedijarto, pada umumnya tujuan pendidikan yang telah dijabarkan dan demikian
ideal itu, selama ini tidak pernah dengan sunguh-sungguh diterjemahkan secara
operasional (diimpelementasikan). Salah satu masalah yang dihadapi dunia
pendidikan kita adalah masalah lemahnya proses pembelajaran. Dalam proses
pembelajaran, anak kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir.
Proses pembelajaran di dalam kelas diarahkan kepada kemampuan anak untuk
menghafal informasi; otak anak dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai
informasi tanpa dituntut untuk memahami informasi yang diingatnya itu untuk
menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari.
Akibatnya ketika anak didik lulus dari sekolah, mereka pintar secara
teoritis, akan tetapi mereka miskin aplikasi.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa dasar dan tujuan Pendidikan Agama Islam ?
2.
Bagaimanakah ruang lingkup Pendidikan Agama Islam ?
3.
Bagaimanakah karakteristik Pendidikan Agama Islam ?
4.
Apa saja problematika dalam Pendidikan Agama Islam ?
5.
Bagaimanakah implikasinya dalam pengembangan kurikulum Pendidikan
Agama Islam ?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui apa dasar dan tujuan Pendidikan Agama Islam
2.
untuk mengetahui bagaimanakah ruang lingkup Pendidikan Agama Islam
3.
untuk mengetahui bagaimanakah karakteristik Pendidikan Agama Islam
4.
Untuk mengetahui apa saja problematika dalam Pendidikan Agama Islam
5.
Untuk mengetahui bagaimanakah implikasinya dalam pengembangan
kurikulum Pendidikan Agama Islam
A.
Dasar Pendidikan Agama Islam
Pelaksanaan pendidikan agama islam di sekolah mempunyai dasar yang
kuat. Dasar tersebut menurut Zuhairini dkk. Dapatditinjau dari berbagai segi,
yaitu:
1.
DasarYuridis/Hukum
Dasar pelaksanaan pendidikan agama berasal dari perundang-undangan
yang secara tidak langsung dapat menjadi pegangan dalam melaksanakan pendidikan
agama di sekolah secara formal tersebut terdiri dari tiga macam, yaitu:
a.
Dasar ideal, yaitu dasar falsafah negara Pancasila, sila pertama:
Ketuhanan Yang Maha Esa
b.
Dasar structural/konstitusional, yaitu UUD 45 dalam bab XI pasal 29
ayat 1 dan 2, yang berbunyi: 1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha
Esa, 2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama
masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.
c.
Dasar operasional, yaitu terdapat dalam Tap MPR No IV/MPR/1973 yang
kemudian dikokohkan dalam Tap MPR No. IV/MPR 1978jo. Ketetapan MPR Np.
II/MPR/1983, diperkuat oleh Tap MPR No. II/MPR/1988 dan Tap. MPR No.
II/MPR/1993 tentang garis-garis Besar Haluan Negara yang pada pokoknya
menyatakan bahwa pelaksanaan pendidikan secara langsung dimaksudkan dalam
kurikulum sekolah-sekolah formal, mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
2.
Segi Religius
Yang dimaksud dengan dasar religius adalah dasar yang bersumber
dari ajaran Islam. Menurutajaran islam pendidikan agama adalah perintah Tuhan
dan merupakan perwujudan ibadah kepada-Nya. Dalam Al-quran banyak ayat yang
menunjukkan perintah tersebut, antara lain:
a.
Q.S Al-Nahl: 125
äbÎ) ö7ÅÁè? ×puZ|¡ym öNèd÷sÝ¡s? ( bÎ)ur ö7ÅÁè? ×pt6ÅÁãB (#qä9qà)t ôs% !$tRõs{r& $tRtøBr& `ÏB ã@ö6s% (#q©9uqtGtur öNèd¨r cqãmÌsù ÇÎÉÈ
“serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
b.
Q.S Al-Imran: 104
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôt n<Î) Îösø:$# tbrããBù'tur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztur Ç`tã Ìs3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ
“dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang
yang beruntung.”
c.
Hadits: “sampaikanlah ajaran kepadaorang lain walaupun hanya
sedikit.”
3.
Aspek Psikologis
Psikologi dasar yang berhubungan dengan aspek kejiwaan kehidupan
bermasyarakat. Hal ini didasarkan bahwa dalam hidupnya, manusia baik sebagai
induvidu maupun sebagai anggota masyarakat dihadapkan pada hal-hal yang membuat
hatinya tidak tenang dan tidak tentram sehingga memerlukan adanya peganggan
hidup.sebagaimana dikemukakan oleh Zuhairini dkk bahwa: semua manusia di dunia
ini selalu membutuhkan adanya peganggan hidup yang disebut agama. Mereka
merasakan bahwa dalam jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui adanya Zat yang
Maha Kuasa, tempat mereka berlindung dan tempat mereka memohon pertolongan-Nya.
Hal semacam ini terjadi pada masyarakat yang masih primitif maupun masyarakat
yang sudah modern. Mereka merasa tenang dan tentram hatinya kalau mereka dapat
mendekat dan mengabdi kepada Zat yang Maha
Kuasa.
Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwa untuk membuat hati tenang
dan tentram ialah dengan jalan mendekatkan diri kepada tuhan. Hal ini sesuai
dengan firman Allah dalam surat Al-Ra’ad ayat 28, yaitu:[5]
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä ûÈõuKôÜs?ur Oßgç/qè=è% Ìø.ÉÎ/ «!$# 3 wr& Ìò2ÉÎ/ «!$# ûÈõyJôÜs? Ü>qè=à)ø9$# ÇËÑÈ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah
hati menjadi tenteram.”
B.
Tujuan Pendidikan Agama Islam
Tujuan
pendidikan Islam dirumuskan dari nilai-nilai filosofis yang kerangka dasarnya
termuat dalam filsafat pendidikan islam. Seperti halnya dasar pemdidikannya
maka tujuan pendidikan islam juga identik dengan tujuan islam itu sendiri. Hal
ini sempat menimbulkan pandangan yang kontroversial dari pihak alhi didik
terhadap pendidikan islam. Seakan mereka kurag dapat menerima penjelasan yang
demikian.
Menurut
pandangan ini, pendidikan Islam tidak dapat disebut sebagai sebuah disiplin
ilmu. Alasanya antara lain karena, pada hakikatnya pendidikan Islam identik
dengan agama islam itu sendiri. Padahal menurut paradigma filsafat ilmu,
kerangka dasar ilmu harus berawal dari pengalaman empiris. Bukan dari ajaran
wahyu, yang kebenarannya adalah mutlak. Islam adala agama wahyu, dan bukan
lapangan kajian keilmuan, yang kebenaranya perlu pembuktian secara empiris.
Pandangan
seperti ini sebenarnya kurang relevan. Sebab mereka melihat ajaran islam
berdasarkan sudut pandang keagamaan semata. Padahal islam sebagaimana pendapat
H.A.R Gibb, tidak dapat hanya dipandang sebagai ajaran agama semata.
Menurutnya, islam bukan hanya sistem teologi semata, melainkan Islam juga
adalah suatu sistem peradaban yang lengkap (M. Natsir, 1971). Islam bukan hanya
agama yang memuat ajaran yang bersifat doktrinal, tetapi islam merupakan bentuk
pelajaran yang operasional. Maksudnya ajaran islam bersumber dari wahyu ilahi
itu dapat dibumikan dalam kehidupan peradaban manusia. Sejalan dengan tujuan
tersebut, maka filosofis pendidikan Islam bertujuan sesuai dengan hakikat
penciptaan manusia yaitu agar manusia menjadi pengabdi Allat yang patuh dan
setia. Tujuan ini tidak mungkin di capai secara utuh, secara sekaligus. Perlu
proses dan pentahapan. Tujuan ini hanya dijadikan dasar dalam merumuskan tujuan
acuan lebih konkret. Dari tujuan utama ini kemudian dibuat penjabatanya.
Muhammad Omar
al-toumy al-Syaibanu menggariskan bahwa tuuan pendidikan islam adalah untuk
mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga mencapai tingkat ahlakul karimah
(al-Syaibany, 1979). Tujuan ini sama dan sebangun dengan tujuan yang akan do
capai oleh misi kerasulan, yaitu “ membimbing manusia agar berakhlak mulia”
(al-Hadist) kemudian ahlak mulia dimaksud, di harapkan tercermin dari sikapdan
tingkah laku invidu dalam hubungannya dengan Allah, diri sendiri, sesama manusia
dan sesama makhluk Allah, serta lingkungannya.
Pencapaian
tujuan itu bagaimanapun tidak mungkin dilakuakan sekaligus secara serentak.
Oleh karena itupencapaian tujuan harus secara bertahab dan berjenjang. Namun
demikian, setiap tahap dan jenjang memiliki hubungan dan keterkaitan sesamnya,
karena adanya landasandasar yang sama, serta tujuan yang tunggal. Pencapaian
jenjang itu senantiasa didasarkan pada prinsip dasar pandangan terhadap
manusia, alam semesta, ilmu pengetahuan, masyarakat dan akhlak seperti yang
termuat dalam dasar pendidikan islam itu sendiri. Sehubungan dengan hal itu,
maka tujuan pendidikan Islam mengacu kepada tujuan yang dapat dilihat dari
beragai dimensi.
Dari sudut
pandang ini, maka tjuan pendidikan islam memiliki karakteristik yang kaitanya
dengan sudut pandang tertentu. Secara garis besarnya tujuan pendidikan Islam
dapat dilihat dari tujuh dimensi utama. Setiap dimensi mengacu kepada tujuan
pokok yang khusus. Atas dasar pandangan yang demikian, maka tujuan pendidikan
Islam mencakup ruang lingkup yang luas.
1. Dimensi hakikat penciptaan manusia
Berdasarkan
dimensi ini, tujuan pendidikan Islam di arahkan kepada pencapaian target yang
berkaitan dengan hakikat penciptaan manusia oleh Allah SWT.
Mengacu kepada tujuan tersebut, pendidikan Islam
dipandang sebagai upaya untuk menempatkan manusia pada statusnya sebagai
makhluk yang diciptakan. Dengan demikian perikehidupannya diarahkan pada upaya
untuk menaati pedoman kehidupan yang telah diperuntukan baginya oleh sang
pencipta. Makanya indikator dari keberhasilan pencapikan tujuan dimaksud,
adalah pada tingkat ketaatan optimal yang ditunjukan oleh peserta didik
terhadap pemenuhan tuntutan Allah SWT. Mampukah ia merealisasikan ketaan
tersebut dalam sikap dan perilaku kesehariannya secara konsisten, dan
berlangsung sepanjang hidupnya.
2. Dimensi Tauhid
Mengacu kepada
dimensi ini, maka tujuan pendidikan Islam diarahkan upaya untuk membimbing dan
mengembangkan potensi peserta didik secara optimal agar dapat menjadi hamba
Allah yang takwa. Di antara ciri mereka yang takwa adalah beriman kepada yang
ghaib, mendirikan Shalat, menafkahkan sebagian rezeki anugerah Allah, beriman
kepada al-Qur’an dan kitabn-kitab samawi sebelum al-Qur’an, serta keyakinan
kehidupan akhirat.
Takwa kemudian secara umum dapat dirumuskan
sebagai kemampuan untuk memelihara diri dari siksaan Allah, yakni dengan cara
mematuhi dan melaksanakan segala perintah-Nya secara rutin (istiqomah), lalu di
imbangi dengan usaha semaksimal munkin untuk menjauhkan dan menghindari diri
dari perbuatan yang melanggar-segala bentuk larangan-Nya.
3. Dimensi Moral
Dalam dimensi
ini manusia di pandang sebagai sosok individu yang memiliki potensi fitriyah.
Maksudnya bahwa sejak dilahirkan, pada diri manusia sudah ada sejumlah potensi
bawaan yang diperoleh secara fitrah. Menurut M.Quraish shihab, potensi ini
mengacu kepada tiga cenderung utama, yaitu benar, baik, dan indah. Manusia pada
dasarnya cenderung untuk senang dengan yang benar, yang baik, dan yang indah.
4. Dimensi perbedaan individu
Manusia
merupakan mahluk ciptaan yang unik. Secara umum manusia memiliki sejumlah
persamaan. Namun di balik itu sebagai individu, manusia juga memiliki berbagai
perbedaan antara individu yang satu dengan individu yang lainnya. Bahkan
perbedaan tersebut juag ditemui pada mereka yang dilahirkan sebagai bayi kembar
identik (identcal twin).
Kenyataan ini menunjukan bahwa manusia sebagai
indibidu secara fitrah memiliki perbedaan. Selain itu perbedaan tersebut juga
terdapat pada kadar kemampuan yang dimiliki masing-masing individu (individual
diffenecies) yang memang unik. Sehubungan dengan kondisi itu, maka tujuan
pendidikan diarahkan pada usaha membimbing dan mengembangkan potensi peserta
didik secara optimal, dengan tidak mengabaikan adanya faktor perbedaan
individu, serta menyesuaikan pengembangannya dengan kadar kemampuan dari
potensi yang dimiliki masing-masing.
5. Dimensi sosial
Manusia adalah
mahkluk sosial, yaitu mahkluk yang memiliki dorongan untuk hidup berkelompok
secara bersama-sama. Oleh karena itu dimensi sosial mengacu kepada kepentingan
sebagai mahkluk sosial, yang didaarkan pada pemahaman bahwa manusia hidup
bemasyarakat. Dlam hidup bermasyarakat, manusia menganal seumlah lingkungan
sosial, dari bentuk satuan yang terkecil hingga yang paling kompleks., yaitu
rumah tangga hingga ke lingkungan yang paling luas yaitu Negara. Selain pada
hal itu maka tujuan pendidikan juga di arahan kepada pembentukan manusia yang
memiliki kesadaran akan kewajiban, hak dan tanggung jawab sosial, serta sikap
toleran, agar keharmonisan h8ubungan antar sesama manusia dapat berjalan dengan
harmonis.
6. Dimensi profesional
Setiap manusia
memiliki kadar kemampuan yang berbeda. Berdasarkan pengembangan kemampuan yang
dimiliki itu, manusia diharapkan dapat menguasai keterampilan profesional.
Maksudnya dengan ketrampilan yang dimiliki itu ia dapat diandalkan untuk
digunakan dalam mencari nafkah hidup.
7. Dimensi ruang dan waktu
Selain dimensi
yang di kemukaan di atas, tujuan pendidikan islam juga dapat dirumuskan atas
dasar pertimbangan dimensi ruang dan waktu, yaitu dimana dan kapan. Dimensi ini
sejalan dengan tataran pendidikan islam yang prosesnyaterentang dalam lintasan
ruang dan waktu yang cukup panjang. Dengan demikian secara garis besarnya
tujuan yang harus di capai pendidikan islam harus merangkum semua tujuan yang
terkait dalam rentang ruang dan waktu tersebut.
Secara substansial ruang dan waktu kehidupan
yang diinformasikan oleh wahyu meliputi fase (alam), kehidupan manusia, yaitu :
1) kehidupan alam roh, 2) kehidupan alam rahim, 3) kehidupan alam dunia, 4)
kehidupan alam kubur, 5)kehidupan alam barzah , dan 6)kehidupan alam akhirat. [6]
C. Ruang Lingkup Pendidikan Agama
Islam
Secara umum,
Pendidikan Agama Islam bertujuan untuk meningkatkan keimanan, pemahaman,
penghayatan, dan pengamalan peserta didik tentang agama
Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah
SWT. serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara (GBPP PAI, 1999).
Dari tujuan tersebut dapat ditarik beberapa dimensi yang hendak ditingkatkan
dan dituju oleh pembelajaran agama Islam, yaitu: dimensi keimanan peserta didik
terhadap ajaran agama Islam, dimensi pemahaman atau penalaran serta keilmuan
peserta didik terhadap ajaran agama Islam; dimensi penghayatan dan pengamalan
batin yang dirasakan peserta didik dalam menjalankan ajaran Islam, dimensi
pengalaman, dalam arti bagaimana ajaran Islam yang telah di Imani,
dipahami, dan dihayati oleh peserta didik itu mampu diamalkan dalam kehidupan
pribadi, sebagai manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. dan
berakhlak mulia, serta diaktualisasikan dalam kehidipan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Pendidikan
Agama Islam dijenjang pendidikan dasar bertujuan memberikan
kemampuan dasar kepada peserta didik tentang agama Islam untuk mengembangkan
kehidupan beragama, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa
kepada Allah SWT serta berakhlak mulia sebagai pribadi, anggota masyarakat,
warga negara dan anggota umat manusia. Sedangkan Pendidika Agama Islam pada
jenjang menengah bertujuan untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman,
penghayatan, dan pengalaman peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia, serta
diaktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta
untuk melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi.
Untuk
mencapai tujuan tersebut, maka ruang lingkup pendidikan agama Islam meliputi
keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara:
1.
Hubungan manusia dengan Allah.
2.
Hubungan manusia dengan sesama makhluk.
3.
Hubungan manusia dengan dirinya sendiri.
4.
Hubungan manusia dengan makhluk lain dan
lingkungannya.
Dari ruang lingkup tersebut, kemudian dijabarkan dalam kurikulum
PAI, yang pada dasarnya mencakup tujuh unsur pokok yaitu: Al-Qur’an, hadits,
keimanan, syari’ah, ibadah, muamalah, akhlak, dan
tarikh yang menekankan pada perkembangan poltik. Pada kurikulum 1999 dipadatkan
menjadi lima unsur pokok yaitu: Al-Qur’an, keimanan,
akhlak, fiqih, dan bimbingan ibadah, serta tarikh atau sejarah
yang lebih menekankan pada perkembangan ajaran agama, ilmu
pengetahuan dan kebudayaan.
Ruang lingkup Pendidikan Agama Islam meliputi
keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara hubungan manusia dengan Allah
SWT, hubungan manusia dengan sesama manusia, dan ketiga hubungan manusia dengan
dirinya sendiri, serta hubungan manusia dengan makhluk lain dan lingkungannya.
Apabila dilihat dari segi pembahasannya maka
ruang lingkup Pendidikan Agama Islam yang umum dilaksanakan di sekolah adalah :
1.
Pengajaran keimanan
Pengajaran keimanan berarti proses belajar mengajar tentang aspek
kepercayaan, dalam hal ini tentunya kepercayaan menurut ajaran Islam, inti dari
pengajaran ini adalah tentang rukun Islam.
2.
Pengajaran
akhlak
Pengajaran akhlak adalah bentuk
pengajaran yang mengarah pada pembentukan jiwa, cara bersikap individu pada
kehidupannya, pengajaran ini berarti proses belajar mengajar dalam mencapai
tujuan supaya yang diajarkan berakhlak baik.
3. Pengajaran ibadah
Pengajaran ibadah adalah
pengajaran tentang segala bentuk ibadah dan tata cara pelaksanaannya, tujuan
dari pengajaran ini agar siswa mampu melaksanakan ibadah dengan baik dan benar.
Mengerti segala bentuk ibadah
dan memahami arti dan tujuan pelaksanaan ibadah.
4.
Pengajaran fiqih
Pengajaran fiqih adalah pengajaran yang isinya menyampaikan materi tentang
segala bentuk-bentuk hukum Islam yang bersumber pada Al-Quran, sunnah, dan
dalil-dalil syar'i yang lain. Tujuan pengajaran ini adalah agar siswa
mengetahui dan mengerti tentang hukum-hukum Islam dan melaksanakannya dalam
kehidupan sehari-hari.
5.
Pengajaran Al-Quran
Pengajaran Al-Quran adalah pengajaran yang bertujuan agar siswa dapat
membaca Al-Quran dan mengerti arti kandungan yang terdapat di setiap ayat-ayat
Al-Quran. Akan tetapi dalam prakteknya hanya ayat-ayat tertentu yang di
masukkan dalam materi Pendidikan Agama Islam yang disesuaikan dengan tingkat
pendidikannya.
6.
Pengajaran sejarah Islam
Tujuan pengajaran dari sejarah Islam ini adalah agar siswa dapat mengetahui
tentang pertumbuhan dan perkembangan agama Islam dari awalnya sampai zaman
sekarang sehingga siswa dapat mengenal dan mencintai agama Islam.
D.
Karakteristik
Pendidikan Agama Islam
Menurut PUSKUR depdiknas, tujuan PAI adalah untuk
menumbuhkan dan meningkatkan keimanan peserta didik melalui pemberian dan
pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengalaman , serta pengalaman peserta didik.tentang
agama islam sehingga menjaddi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal
keimanan, ketakwaanya kepada Allah Swt serta berakhlak mulia dalam kehidupan
pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. [7]
Menurut dalam
kamus lengkap bahasa Indonesia, karakteristik berarti ciri-ciri khusus. Jadi,
dimaksud dengan karakteristik pendidikan agama islam adalah ciri-ciri khusus
pendidikan islam. menurut Djamaluddin dan Abdullah Aly, karakteristik
pendidikan islam itu, yaitu: pendidikan islam selalu mempertimbangkan dua sisi
kehidupan duniawi dan ukhrawi dalam setiap langkah dan geraknya, pendidikan
islam merujuk pada aturan-aturan yang sudah pasti, pendidikan islambermotifkan
ibadah secara lebih jelas, karakteristik pendidikan agama islam sebagai
berikut:[8]
1.
Pendidikan
islam selalu mempertimbangkan dua sisi kehidupan dunia dan ukhrawi dalam setiap
langkah dan geraknya. Pendidikan islam laksana mata uang yang memiliki dua
muka, yaitu: 1) sisi keagamaan yang merupakan wahyu Allah dan Sunnah Rasul;
berisikan hal-hal mutlak dan berada di luar jangkauan indera dan akal
(keterbatasan akal dan indera). Di sini, wahyu dan sunnah berfungsi memberikan
petunjuk dan mendekatkan jangkauan indera dan akal budi manusia untuk memahami
hakikat kehidupan; 2) sisi pengetahuan
berisikan hal-hal yang mungkin dapat diindera dan diakal, berbentuk pengalaman
faktual maupun pengalaman piker, baik yang berasal dari wahyu dan sunnah maupun
dari para pemeluknya (kebudayaan).
2.
Karakteristik
pendidikan islam yang kedua ini menjelaskan bahwa pendidikan islam merujuk pada
aturan-aturan atau garis-garis yang sudah pasti, harus selalu mengikuti aturan
dan garis-garis yang sudah jelas dan pasti, serta tidak dapat ditolak atau
ditawar. Aturan itu, yaitu wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, semua
yang terlibat dalam pendidikan islam harus berpedoman pada wahyu Tuhan
tersebut.Al-Quran menjamin bahwa sesuatu apa pun yang berhubungan dengan manusia
dan makhluk pada umumnya tidak ada yang terlewatkan di dalamnya termasuk
persoalan pendidikan. Sebagaimana firmannya:
4 $¨B $uZôÛ§sù Îû É=»tGÅ3ø9$# `ÏB &äóÓx« 4 ÇÌÑÈ
.... Tiadalah Kami
alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab (Q.S Al-An’am)
3. Pendidikan islam bermisikan pembentukan
akhlakul karimah. Pendidikan islam selalu menekankan pada pembentukan hati
nurani, menanamkan dan mengembangkan sifat-sifat Ilahiyah yang jelas dan pasti,
baik dalam hubungan dengan manusia, hubungan manusia dengan Maha Pencipta,
maupun denganalam sekitar.Salah satu misi penting yang diemban Rasulullah ke
dunia adalah menyempurnakan akhlak mulia yang sering disebut di dalam Al-Quran
tercemin dalam sifat-sifat kerasulan yang ada pada pribadi Nabi Muhammad Saw.
Seperti sifatfathanah, amanah, tabligh, dan syaja’ah.
4. Pendidikan Islam diyakini sebagai tugas suci
Pada umumnya, kaum muslimin berkeyakinan bahwa
penyelenggaraan pendidikan islam merupakan bagian dari misi risalah. Karena
itu, mereka menganggapnya sebagai misi suci. Dengan menyelenggarakan pendidikan
islam berarti pula mengakkan agama.
5. Pendidikan Islam bermotifkan ibadah
Karakteristik pendidikan islam yang terakhir ini menjelaskan berperilaku di
dalam pendidikan islam merupakan ibadah yang akan mendapatkan pahala dari Allah
Swt.
Dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan agama islam itu memiliki beberapa ciri
dan ciri pendidikan islam itu selalu memperhatiakan kebahagiaan di dunia dan
akhirat. Ajarannya berdasarkan Al-Quran dan Hadits di antara ajarannya adalah
pendidikan akhlak sesuai dengan diutusnya Nabi Muhammad Saw ke dunia ini,
pendidikan islam sebagai tugas suci, dan ciri pendidikan islam yang terakhir
yaitu bermotifkan ibadah.
Pendidikan
Agama Islam mempunyai perbedaan dengan mata pelajaran lainnya yang ada di
sekolah umum lainnya. Karakteristik pendidikan agama Islam antara lain yaitu:
a. PAI adalah mata pelajaran yang dikembangkan
dari ajaran pokok yang terdapat dalam agama Islam. Dari segi isi pelajarannya
PAI bertujuan mengembangkan moral dan kepribadian siswa.
b. PAI adalah suatu pebelajaran yang mengarahkan siswa pada (a) menjaga aqidah
dan ketaqwaan siswa, (b) menjadi landasan dasar kedisiplinan mempelajari ilmu
lainnya, (c) mendorong siswa untuk berpikir kritis, kreatif, dan inovatif serta
(d) menjadi pegangan dalam pergaulan sehari-hari.
c. PAI tidak hanya menekankan pada perkembangan kognitif saja, tetapi juga
pada afektif dan psikomotorik siswa.
d. Materi PAI dikembangkan dari tiga dasar materi
Islam yaitu, aqidah, hukum dan akhlak.
e. Output pembelajaran PAI di sekolah adalah
terbentuknya siswa yang memiliki akhlak yang mulia.
E.
Problematika Pendidikan Agama Islam
Dalam paradigma pendidikan islam, peserta didik merupakan orang yang belum
dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu
dikembangkan.
Disisi lain, pendidikan itu berfungsi membentuk kepribadian anak,
mengembangkan agar mereka percaya diri dan menggapai kemerdekaan kepribadian,
pendidikan itu bergerak untuk mewujudkan perkembangan yang sempurna dan
mempersiapkannya dalam kehidupan, membantu untuk berinteraksi sosial yang
positif di masyarakat, menumbuhkan kekuatan dan kemampuan dan memberikan
sesuatu yang dimilikinya semaksimal mungkin. Juga menimbulkan kekuatan atau ruh
kreativitas, pencerahan dan transparansi serta pembahasan atau analisis di dalamnya.
Peserta didik merupakan ukuran dari keberhasilan suatu pendidikan.
Masyarakat selalu menilai keberhasilan pendidikan dari output yang berasal dari
siswa. Problematika yang muncul drai peserta didik adalah umumnya siswa yang
telah belajar selama 12 tahun (SD, SMP, dan SMA), yang mana mata pelajaran
agama hanya diajarkan dua jam saja dalam satu minggu, masih banyak yang
belum bisa membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar, tidak menjalankan kewajiban
sholat secra rutin, tidak beribadah puasa di bulan Ramadhan, dan yang paling
penting adalah kurang bisa berprilaku secara benar.
1.
Peserta didik
Peserta didik dalam suatu lembaga pendidikan tentu berasal dari latar
belakang kehidupan beragama yang berbeda-beda. Ada siswa yang berasal dari
keluarga yang taat beragama, namun ada juga yang berasal dari keluarga yang
kurang taat beragama, dan bahkan ada yang berasal dari keluarga yang tidak
peduli dengan agama. Bagi anak didik yang berasal dari keluarga yang kurang
taat atau tidak peduli terhadap agama, perlu perhatian yang serius. Sebab jika
tidak, maka anak didik tidak akan peduli terhadap pendidikan agama, lebih parah
lagi mereka menganggap remeh pendidikan agama. Sikap ini akan sangat berbahaya,
meskipun demikian, tentu ada faktor-faktor yang mempengaruhi peserta didik
seperti; minat belajar, keluarga, lingkungan, dan lain sebagainya.
Diantara problematika pendidikan PAI yang berhubungan dengan peserta didik
adalah : (1) rendahnya minat peserta didik untuk memahami ilmu-ilmu agama
Islam, (2) rendahnya minat dan kemampuan peserta didik untuk bisa membaca dan
memahami Al-Qur’an, (3) peserta didik belum memiliki dasar keimanan dan
ketakwaan yang kuat, sehingga mudah untuk terbawa arus, (4) semakin banyak
peserta didik yang berprilaku menyimpang dari moral agama, pergaulan bebas
semakin meningkat, (5) peserta didik terbiasa dengan narkoba, kekerasan, dan
tindak anarkis.
Masalah yang paling memprihatinkan adalah tentang etika dan akhlaq siswa.
Karena berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh dari Swiss, yang telah melakukan
penelitian di sebelas negara tentang faktor-faktor yang meletarbelakangi
menurunya ekonomi bangsa. Menurutnya, diantara faktor yang paling mempengaruhi
adalah akhlaq.
Akhlaq seakan-akan menjadi acuan keberhasilan pendidikan agama Islam,
terutama pendidikan di tingkat SD/MI. Pendidikan dasar akan sangat berimplikasi
pada masa depan seseorang, maka dari itu, tidak mengejutkan ketika Gunar Mirdal
menyimpulkan sebagaimana di atas. Sebagai contoh, anak yang sejak kecil
dibiasakan untuk diberi imbalan ketika melakukan kebaikan, maka hal ini akan
terus dia amalkan, sehigga semakin banyak usianya, maka semakin banyak imbalan
yang dia minta, hal ini yang menyebabkan korupsi semakin tumbuh segar.
2.
Guru / Pendidik
Peran guru sangat penting dalam proses pendidikan. Bahkan ada lelucon yang
mengatakan andaikan pak Mendiknas dan Kabid Mapenda tidak masuk kantor,
sedangkan guru tetap masuk dan mengajar, maka pendidikan akan tetap berjalan,
akan tetapi ketika pak Mendiknas dan Kabid Mapenda masuk kantor sedangak guru
tidak masuk, maka KBM tidak berjalan dengan baik.
Meskipun guru memegang peranan yang sangat sentral dalam pendidikan, guru
juga bisa menjadi sumber problem pendidikan, khususnya pendidikan agama Islam.
Problematika tersebut mencakup pola prilaku guru agama yang kadang kurang bisa
mencerminkan agama. Selain itu, seorang guru juga bisa menimbulkan
permasalahan, sebagaimana penulis kutip dari jurnal Islamic Studies And
Islamic Education In Contemporary Southeast Asia : Other
problems have to do with teacher
competence, curriculum, instructional materials and
infrastructure..Beberapa guru memang dalam praktisnya tidak terlalu menguasai
materi yang diajarkan, terutama di sekolah-sekolah swasta di daerah, hal ini
tetntu akan menimbulkan persoalan, karena pendidikan agama idealnya dipegang
oleh ahli dibidangnya.
Hal senada juga dikemukakan oleh Muhaimin dan Suti’ah yang mengutip
pendapat Towaf. Bahwa guru juga memiliki andil dalam munculnya problematika.
Yakni metode yang digunakan cenderung monoton, sehingga siswa kurang antusias
dalam belajar PAI
3.
Keluarga dan lingkungan
Situasi dan kondisi di dalam keluarga dan lingkungan sosial sedikit banyak
pasti berimbas pada siswa yang kemudian banyak memunculkan permasalahan.
Keluarga menjadi faktor yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan dan
kegagalan siswa di semua aspek kehidupan seseorang, termasuk pada permasalahan
pendidikan. PAI akan semakin bermasalah ketika sering dijumpainya orang tua
yang kurang memperhatikan pendidikan agama anaknya, hal ini tidak hanya terjadi
di perkotaan saja, di pedesaan juga banyak ditemukan orang tua yang kurang
memberi perhatian serta tidah memberikan contoh bagaimana PAI dalam aplikasinya
sehari-hari.
Banyaknya orang tua yang kurang memperhatikan perkembangan pendidikan
agama Islam ankanya karena beberapa faktor, diantaranya adalah karena orang tua
disibukkan dengan bekerja. Sehingga orang tua tidak ada waktu untuk mengontrol
sholat serta akhlaq anak ketika di rumah. Padahal idealnya adalah guru
mengajarkan materi keagamaan di sekolah, seperti tata cara sholat, kepada
siswa, kemudian aplikasinya adalah setiap hari siswa melaksanakan sholat
minimal lima kali dalam satu hari, akan tetapi masih ada beberapa orang tua
yang tidak memperhatikan sholat anaknya karena faktor berkerja sebagaimana
ditulis oleh pemakalah sebelumnya.
Lingkungan hidup siswa juga sangat brengaruh terhadap siswa. Ketika
lingkungan sosialnya merupakan lingkungan yang tingkat religiusnya tinggi, maka
siswa akan lebih memahami aplikasi PAI yang sesungguhnya, akan tetapi ketika
lingkunga sosialnya kurang memberi perhatian pada agama, maka secara otomatis
anak didik hanya akan menganggapa PAI hanya sekedar mata pelajaran di sekolah
sebagaimana mata pelajaran lain seperti IPA, IPS dan Bahasa Indonesia.
4.
Politik
Kondisi politik juga sangat berpengaruh terhadap munculnya problematika
pendidikan PAI. Ketika pemegang kekuasaan memutuskan sebuah kebijakan yang
mengamini bahwa pendidikan agama merupakan hal yang sangat penting, maka
kurikulum yang diberlakukan akan memandang agama sebagai faktor yang
dipertimbangkan dalam merumuskan kurikulum, akan tetapi ketika pemegang
kekuasaan lebih fokus kepada pendidikan yang beorientasi pada materi eksakta
saja, maka pendidikan agama dianak tirikan dan kurang mendapat perhatian.
Politik juga memegang peranan dalam hal menyelesaiakan dan menemukan solusi
dalam dunia pendidikan, tidak hanya pendidikan agama, akan tetapi semua aspek
dan problematika pendidikan. Keadaan politik yang stabil maka akan berimplikasi
bai disemua aspek kehidupan.
Probematika pendidikan PAI bisa muncul di segala aspek eksternal lainya,
seperti, metode mengajar, fasilitas belajar, sarana dan prasarana. Akan tetapi
permasalahan yang mungkin muncul di semua aspek tersebut bisa ditutupi dengan
guru yang senantiasa bisa memanage sebaik mungkin. Aspek-aspek tersebut bisa
menjadi masalah jika seorang guru tidak berhasil untuk menyembunyikan
kekurangan dimana-mana dengan kesempurnaaan performa seorang guru.[9]
F.
Implikasi Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam
Pengembangan kurikulum (curriculum development atau curriculum
planning) adalah proses atau kegiatan yang disengaja dan dipikirka n
untuk menghasilkan sebuah kurikulum sebagai pedoman dalam proses dan
penyelenggaraan pembelajaran oleh guru di sekolah.
Menurut Oemar Hamalik, mengatakan bahwa implementasi kurikulum
mencakup tiga kegiatan pokok, yaitu pengembangan program, pelaksanaan
pembelajaran, dan evaluasi. Pengembangan program mencakup program pembelajaran,
program bimbingan dan konseling atau remedial. Pelaksanaan pembelajaran
meliputi proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya sehingga
terjadi perubahan prilaku yang lebih baik. Sementara evaluasi adalah proses
penilaian yang dilakukan sepanjang pelaksanaan kurikulum.[10]
Salah satu bentuk implementasi kurikulum adalah pelaksanaan
pembelajaran. Pelaksanaan pembelajaran mengacu pada program pembelajaran yang
disusun oleh guru, di antaranya dalam bentuk Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP). Komponen RPP harus mencakup perencanaan seluruh kegiatan pelaksanaan
pembelajaran berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam pengimplementasian kurikulum diperlukan komitmen semua pihak
yang terlibat, seperti dukungan kepala sekolah, guru dan dukungan internal
dalam kelas. Peran guru dalam implementasi kurikulum di sekolah sangat
menentukan sekali. Bagaimanapun baiknya sarana dan prasarana pendidikan, jika
guru tidak melaksanakan tugasnya dengan baik maka impelementasi kurikulum tidak
akan berhasil secara maksimal.
Sejak tahun 2006 Sistem Pendidikan Nasional menggunakan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Secara umum KTSP memiliki beberapa kelebihan,
di antaranya memberikan keleluasan kepada Stake holder sekolah/madrasah untuk
meningkatkakan kreativitasnya, termasuk guru. Keleluasan tersebut tentunya
memberikan peluang bagi guru untuk menciptakakan proses pembelajaran yang lebih
menarik. Peluang ini belum sepenuhnya dimanfaatkan guru. Guru masih terjebak
dalam keasyikan menggunakan metode lama, salah satu yang paling populer adalah
metode ceramah.
Hal ini tentunya berimplikasi terhadap proses pembelajaran yang
monoton dan cenderung kurang menarik, karena bersifat teoritis dan tidak
menyentuh aspek pembentukan pribadi dan akhlak. Demikian pula dengan pendekatan
pembelajaran yang lebih menekankan pada penguasaan apek kognitif seperti
hapalan dan pengetahuan. Sementara afektif dan psikomotorik siswa jarang
tersentuh, akibatnya pembelajaran jadi kurang bermakna. Padahal agama adalah
akhlak yang berkaitan dengan sikap, perkataan, dan prilaku keseharian.
Selain itu, sebagian guru agama masih terpaku pada ketuntasan
kurikulum. Sehingga beranggapan, bahwa pembelajaran dianggap sukses jika target kurikulum tercapai. Oleh karena
itu tidak heran jika selama ini pembelajaran hanya sebatas pengajaran bukan pendidikan,
sebatas transfer of knowledge belum menyentuh transfer of value. Faktor lain
yang menjadi kendala dalam implementasi kurikulum Pendidikan Agama Islam adalah
keterbatasan waktu pelaksanaan pembelajaran terutama di sekolah umum yang hanya
diberikan dua jam pelajaran dalam satu minggu. Dengan muatan pelajaran yang
banyak, tentunya tidak cukup untuk menyampaikan materi yang sangat kompleks.
Kondisi lainnya adalah adanya paradigma
dikotomis, aspek kehidupan dipandang dengan sangat sederhana, dan kata kuncinya
adalah dikotomi atau diskrit, sehingga dikenal ada istilah pendidikan agama dan
pendidikan umum. Karena itu, pengembangan pendidikan agama Islam hanya berkisar
pada aspek kehidupan ukhrowi yang terpisah dengan kehidupan duniawi, atau aspek
kehidupan rohani yang terpisah dengan kehidupan jasmani. Pendidikan (agama) Islam hanya mengurusi persoalan ritual dan
spiritual, sementara kehidupan ekonomi, politik, seni-budaya, ilmu pengetahuan
dan teknologi serta seni dan sebagainya dianggap sebagai urusan duniawi yang
menjadi bidang garap pendidikan non agama.
Kondisi di atas tentu saja menjadikan pendidikan Agama Islam
menjadi tidak maksimal dan wajar jika belum bisa membentuk pribadi siswa yang
berakhlak mulia. Hal ini tentu harus disadari semua pihak, terutama guru
sebagai pemeran utama dalam implementasi kurikulum. Selanjutnya bahwa untuk
mengimplementasikan kurikulum pendidikan yang baik harus memperhatikan empat
pilar belajar menurut Unesco, yaitu Learning to know, Learning to do, Learning
to live together. [11]Keempat pilar itu menyangkut proses bagaimana
peserta didik memperoleh kemampuan belajar; melatih dan mengembangkan kemampuan
berpikir; melatih dan mengembangkan kemampuan memecahkan masalah; dan pusat
pembudayaan nilai, sikap.
Kesimpulan
1. Dasar Pendidikan Agama Islam yakni : DasarYuridis/Hukum, Segi Religius, dan Aspek Psikologis
2. Tujuan Pendidikan Agama Islam yakni : Tujuan pendidikan islam secara Universal, Tujuan
Pendidikan Islam Secara Nasional, Tujuan
Pendidikan Islam Secara Institusional, Tujuan
Pendidikan Islam Pada Tingkat Program Studi (Kurikulum), Tujuan
Pendidikan Islam Pada Tingkat Mata Pelajaran, Tujuan
Pendidikan Islam Pada Tingkat Pokok Bahasan, dan Tujuan
Pendidikan Islam Pada Tingkat Subpokok Bahasan
3. Ruang lingkup Pendidikan Agama Islam meliputi keserasian, keselarasan, dan
keseimbangan antara hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan
sesama manusia, dan ketiga hubungan manusia dengan dirinya sendiri, serta
hubungan manusia dengan makhluk lain dan lingkungannya.
4. Karakteristik Pendidikan Agama Islam:
Ø Pendidikan islam selalu mempertimbangkan dua
sisi kehidupan dunia dan ukhrawi dalam setiap langkah dan geraknya
Ø Pendidikan islam merujuk pada aturan-aturan atau
garis-garis yang sudah pasti, harus selalu mengikuti aturan dan garis-garis
yang sudah jelas dan pasti, serta tidak dapat ditolak atau ditawar.
Ø Pendidikan islam selalu menekankan pada
pembentukan hati nurani, menanamkan dan mengembangkan sifat-sifat Ilahiyah yang
jelas dan pasti, baik dalam hubungan dengan manusia, hubungan manusia dengan
Maha Pencipta, maupun denganalam sekitar.
Ø Pendidikan Islam diyakini sebagai tugas suci
Ø Pendidikan Islam bermotifkan ibadah
5. Problematika Pendidikan Agama Islam dalam
makalah kami khususnya di sekolah yang meliputi: Masalah peserta didik, Masalah
lingkungan belajar, Masalah kompetensi guru, dan Masalah metode
6. Implikasinya Dalam Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Agama Islam
DAFTAR PUSTAKA
Aat Syafaat, Sohari Sahrani, Muslih, 2008, Peranan Pendidikan Agama
Islam Dalam Mencegah Kenakalan Remaja (Juvenile Delinquency), (Jakarta,
Rajawalipres)
Abdul
Majid, Pengantar: E.Mulyasa, 2012, Belajar dan Pembelajaran, (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya)
http://www.rangkumanmakalah.com/problematika-pendidikan-pai
Jalaludin, 2003, Teologi Pendidikan Islam, (Jakarta,
PT RajaGrafindo Persada)
M.
Dawam Raharjo, 2002, Islam dan
Transformasi Budaya,
(Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa)
Moh. Halimi Salim & Syamsul Kurniawan, 2012, Studi Pendidikan Islam,
(Jogjakarta : Ar-Ruzz Media
Muhaimin,et.
Al, 2002, Paradigma
Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah,(Bandung:Remaja Rosdakarya)
Muhamad Alim, 2006, Pendidikan
Agama Islma, (Bandung : PT. Reaja Rosdakarya)
Oemar
Hamalik, 2009, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya)
Soedijarto,
2008, Landasan
dan Arah Pendidikan Nasional Kita, (Jakarta: Kompas)
[2]
Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
[3] M.
Dawam Raharjo, Islam dan Transformasi Budaya, (Yogyakarta: Dana Bhakti
Prima Yasa, 2002) hal.85
[4]Muhaimin,et.
Al, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam
di Sekolah,(Bandung:Remaja Rosdakarya, 2002) hal.90
[5] Abdul
Majid, Pengantar: E.Mulyasa, Belajar dan Pembelajaran Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, hal. 13-15
[8]H.
TB. Aat Syafaat dkk. Peranan Pendidikan Agama Islam Dalam Mencegah Kenakalan
Remaja (Juvencile Delinquency), Jakarta: RajaGrafindo Persada. Hal. 71-73
[10]H.
Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung, PT. Remaja
Rosdakarya, 2009), hal.238
No comments:
Post a Comment