Wednesday, November 15, 2017

Pengembangan Kurikulum PAI Berbasis Religius Culture

Pengembangan Kurikulum PAI
Berbasis Religius Culture
                                                                 Oleh:      
LULUK SUSANTI (16771021)
Mahasiswa Prodi Magister Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN  Maulana Malik Ibrahim Malang

A.    Pendahuluan
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan tidak bisa lepas dari kehidupan.Dengan pendidikan bisa memajukan kebudayaan dan mengangkat derajat bangsa di mata internasional. Pendidikan akan sangat terasa gersang apabila tidak berhasil mencetak sumber daya manusia yang berkualitas (baik segi spiritual, intelegensi, dan skill). Sehingga diperlukan peningkatan mutu pendidikan supaya bangsa ini tidak tergantung pada status bangsa yang sedang berkembang tetapi bisa menyandang predikat bangsa maju.[1] Untuk memperbaiki kehidupan bangsa harus dimulai dari penataan dalam segala aspek dalam pendidikan, mulai dari aspek tujuan, sarana, pembelajaran, manajerial dan aspek lain yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap kualitas pembelajaran.[2] Hal ini dimaksudkan untuk mempersiapkan pendidikan yang mampu meyiapkan Sumber Daya Manusia yang memiliki moralitas yang tinggi. Karena bagaimanapun juga Pendidikan dan moral adalah dua pilar yang sangat penting bagi teguh dan kokohnya suatu bangsa. Dua pilar ini perlu untuk dipahami secara mendalam dan bijaksana oleh semua elemen bangsa ini dari masyarakat maupun pemegang kebijakan dan pelaksana pendidikan. Dalam suatu negara yang sedang berusaha lepas dari badai krisis, sangatlah tepat apabila kita mencoba untuk melihat kembali posisi dan interrelasi dua pilar ini bagi bangsa Indonesia.
Salah satu hal penting dalam pengembangan kurikulum pendidikan agama islam baik di tingkat dasar bahkan sampai perguruan tinggi adalah suasana Islami. Dalam kajian pengembangan kurilum pada umumnya, biasanya persoalan ini kurang mendapat perhatian. Padahal, manajemen program pengembangan suasana Islami merupakan bagian esensial bagi lembaga pendidikan Islam.
Jadi, madrasah sebagai lembaga pendidikan berbasis religius adalah lembaga pendidikan Islam yang segala proses penyelenggaraannya didasari oleh ajaran Islam. Hal ini untuk menafikan keberadaan lembaga pendidikan berbasis agama lainnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,[3] disebutkan bahwa basis adalah asas atau dasar, berbasiskan berarti menjadikan sesuatu sebagai basis. Sedangkan religious berarti bersifat religi/ bersifat keagamaan. Dari kata “religi” dan “religius” selanjutnya muncul istilah religiusitas yang berarti pengabdian terhadap agama atau kesalehan.[4] Jika yang dimaksud basis religius itu adalah basis pendidikan yang berkaitan dengan ketaatan atau kesalehan seseorang di mana religius dipahami bukan sebatas having religion tetapi juga “being religious”, maka pendidikan berbasis religius berarti pendidikan yang menjadikan agama sebagai basis (asas atau dasar) dari penyelenggaraan pendidikan untuk mendidik siswa atau siswi yang memiliki ketaatan atau kesalehan. Religius bukan hanya dalam hal nama lembaga saja tetapi juga dalam hal muatan (content) pembelajarannya serta proses ataupun tujuannya.





B.     Konsep Religius Culture (Budaya Agama)
Religi (Religion), Din dan Agama masing-masing mempunyai arti etimologi sendiri-sendiri, namun dalam arti teknis – terminologis ketiga istilah tersebut mempunyai inti makna yang sama. Tegasnya religi (bahasa belanda), religion (bahasa Inggris), din (bahasa arab), agama (bahasa Indonesia).[5]
Adapun religious menurut Islam disini mempunyai makna bahwa menjalankan ajaran agama secara menyeluruh dari semua aspek kehidupan bagi setiap Muslim baik dalam berpikir, bersikap maupun bertindak. Untuk itu perlu adanya penekanan terhadap semua aspek kehidupan setiap muslim supaya dalam bertindak seseorang harus sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah sesuai dengan ajaran Islam[6]
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan sebuah definisi tentang agama adalah suatu credo (tata keyakinan) atas adanya yang Mutlak di luar manusia atau suatu system ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya yang Mutlak itu, serta satu system norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia dan dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan termaksud.
Budaya berasal dari bahasa Sansakerta “budhayah” bentuk jamak dari budhi yang artinya akal atau segala sesuatu yang berkaitan dengan akal pikiran, nilai-nilai dan sikap mental. Budi daya berarti memberdayakan sebagaimana dalam bahasa inggris dikenal dengan culture yang artinya mengolah atau mengerjakan sesuatu yang kemudian berkembang sebagai cara manusia mengaktualisasikan rasa (value), karasa (creativity) dan karya-karyanya (performance).


Secara praktis, di dalam pemahaman kita tentang budaya adalah adanya kandungan utama yang antara lain sebagai berikut:
1.      Budaya berkaitan erat dengan persepsi terhadap nilai dan lingkungannya yang melahirkan makna dan pandangan hidup, yang akan mempengaruhi sikap dan tingkah laku (the total way of life of a people)
2.      Adanya pola dan nilai, sikap tingkah laku (termasuk bahasa), hasil karsa dan karya, termasuk segala instrumennya, system kerja, teknologi ( a way of thinking, feeling, and believing)
3.      Budaya merupakan hasil dari pengalaman hidup, kebiasaan-kebiasaan serta proses seleksi norma-norma yang ada dalam cara dirinya ditengah-tengah lingkungan tertentu.
4.      Dalam proses budaya terdapat saling mempengaruhi dan saling ketergantungan (interdepensi), baik social maupun lingkungan nasional.[7]
Budaya atau culture merupakan istilah yang datang dari disiplin antropologi sosial. Dalam dunia pendidikan budaya dapat digunakan sebagai salah satu transmisi pengetahuan, karena sebenarnya yang tercakup dalam budaya sangatlah luas. Budaya laksana software yang berada dalam otak manusia, yang menuntun persepsi, mengidentifikasi apa yang di lihat, mengarahkan fokus pada suatu hal, serta menghindar dari yang lain.
Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, budaya di artikan sebagai: pikiran, adat istiadat, sesuatu yang sudah berkembang, sesuatu yang menjadi kebiasaan yang sukar di ubah.[8] Istilah budaya, munurut Kotter dan Heskett, dapat diartikan sebagai totalitas pola perilaku, kesenian, kepercayaan, kelembagaan, dan semua produk lain dari karya dan pemikiran manusia yang mencirikan kondisi suatu masyarakat atau penduduk yang ditransmisikan bersama.[9]
Dalam pemakaian sehari-hari, orang biasanya mensinonimkan definisi budaya dengan tradisi (tradition). Tradisi, dalam hal ini, diartikan sebagai ide-ide umum, sikap dan kebiasaan dari masyarakat yang nampak dari perilaku sehari-hari yang menjadi kebiasaan dari kelompok dalam masyarakat tersebut.[10] Padahal budaya dan tradisi itu berbeda. Budaya dapat memasukkan ilmu pengetahuan ke dalamnya, sedangkan tradisi tidak dapat memasukkan ilmu pengetahuan kedalam tradisi terebut.
Pendidikan agama yang syarat dengan pembentukan nilai-nilai moral (pembentukan afeksi), menurut Mochtar Buchori juga hanya memperhatikan aspek kognitif semata dari pertumbuhan kesadaran nilai-nilai (agama), dan mengabaikan pembinaan aspek afektif dan konatif-volitif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama.[11] Pengajaran agama yang berorientasi kognitifsemata hanyalah sekedar pengalihan pengetahuan tentang agama. Pengalihan pengetahuan agama memang dapat menghasilkan pengetahuan dan ilmu dalam diri orang yang diajar, tetapi pengetahuan ini belum menjamin pengarahan seseorang untuk hidup sesuai dengan pengetahuan tersebut. Bahkan, pengalihan pengetahuan agama sering kali berbentuk pengalihan rumus-rumus doktrin dan kaidah susila. Oleh sebab itu, pengajaran agama menghasilkan pengetahuan hafalan yang melekat di bibir dan hanya mewarnai kulit, tetapi tidak mampu mempengaruhi orang yang mempelajarinya.[12]
Melihat fenomena di atas maka solusi yang ditawarkan adalah pengembangan nilai-nilai religius di lembaga pendidikan.Tentunya untuk mengembangkan ini yang menjadi ujung tombak adalah peran guru agama yang harus betul-betul optimal mewujudkan pembudayaan nilai-nilai religius. Dengan demikian pembiasaan nilai-nilai religius di sekolah diharapkan mampu meningkatkan dan memperkokoh nilai ketauhidan seseorang, pengetahuan agama dan pratik keagamaan. Sehingga pengetahuan agama yang diperoleh di sekolah tidak hanya dipahami saja sebagai sebuah pengetahuan akan tetapi bagaimana pengetahuan itu mampu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pengembangan budaya agama dalam komunitas madrasah/ sekolah berarti bagaimana mengembangkan agama islam di madrasah sebagai pijakan nilai, semangat, sikap, dan perilaku bagi para aktormadrasah, guru dan tenaga kependidikan lainnya, orang tua murid, dan peserta didik itu sendiri.[13]
Pelaksanaan budaya religius di sekolah mempunyai landasan kokoh yang normatif religius maupun konstitusional sehingga tidak ada alasan bagi sekolah untuk mengelak dari usaha tersebut.[14] Oleh karena itu, penyelenggaraan pendidikan agama yang diwujudkan dalam membangun budaya religius di berbagai jenjang pendidikan, patut untuk dilaksanakan. Karena dengan tertanamnya nilai-nilai budaya religius pada diri siswa akan memperkokok imannya dan aplikasinya nilai-nilai keislaman tersebut dapat tercipta dari lingkungan di sekolah. Untuk itu membangun budaya religius sangat penting dan akan mempengaruhi sikap, sifat dan tindakan siswa secara tidak langsung.
Pendidikan agama di sekolah, tidak saja di madrasah atau di sekolah yang bernuansa islami tetapi juga di sekolah-sekolah umum sangatlah penting untuk pembinaan dan penyempurnaan pertumbuhan kepribadian anak didik, karena pendidikan agama melatih anak didik untuk melakukan ibadah yang diajarkan dalam agama, yaitu praktek-praktek agama yang menghubungkan manusia dengan Tuhannya. Karena praktek-praktek ibadah itulah yang akan membawa jiwa anak kepada Tuhannya. Semakin sering dilakukan ibadah, semakin tertanam kepercayaan dan semakin dekat pula jiwa sang anak terhadap Tuhannya. Disamping praktek ibadah, anak didik harus dibiasakan mengatur tingkah laku dan sopan santun baik terhadap orang tua yang lebih tua maupun terhadap sesama teman sebayannya. Kepercayaan kepada Tuhan tidak akan sempurna bila isi ajaran-ajaran dari Tuhan tidak diketahui betul-betul. Anak didik harus ditunjukkan mana yang disuruh dan mana yang dilarang oleh Tuhannya.
C.    Religius Culture di Sekolah
Guru untuk membangun generasi baru yang bermoral dan berprilaku jujur, mulia dan bermartabat demi masa depan bangsa dan negara melalui proses pendidikan, tentunya tidak lepas dari suasana religius yang diciptakan di semua lembaga pendidikan, akan tetapi sampai dimana kesungguhan suatu lembaga dan peran guru yang memiliki kepribadian luhur untuk menciptakan suasana yang religius di lingkungan pendidikan. Penciptaan suasana religius di sekolah dimulai dengan mengadakan berbagai kegiatan keagamaan yang pelaksanaannya ditempatkan di lingkungan sekolah, adanya kebutuhan ketenangan batin, persaudaraan serta silaturrahmi diantara warga sekolah, hal ini tidaklah luput dari peran guru yang memberikan santapan jiwa dengan ilmu, pembinaan akhalq mulia, dan meruluskan perilakunya yang buruk bagi anak didiknya.
Meningkatkan kualitas dan taraf hidup untuk mewujudkan realisasi diri dan pemenuhan diri (self realization/Fulfillment) merupakan bagian dari peristiwa budaya. Proses penemuan identitas pribadi, harga diri, martabat dan prakarsa maupun kemampuan diri untuk berdiri sendiri dan penggalakan kreatifitas merupakan unsur terpenting dalam menciptakan tatanan masyarakat yang sustainable.[15]
Pendidikan agama menyangkut tiga aspek, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Ini berarti bahwa pendidikan agama bukan hanya sekedar memberi pengetahuan tentang keagamaan, melainkan justru yang lebih utama adalah membiasakan anak taat dan patuh menjalankan ibadat dan berbuat serta bertingkah laku di dalam kehidupannya sesuai dengan norma-norma yang telah ditetapkan dalam agama masing-masing.
Keberagamaan atau religiusitas dapat diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia yang tidak hanya melakukan ritual (beribadah) tapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya yang berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat dengan mata, tetapi juga aktivitas yang tidak tampak dan terjadi didalam hati seseorang.[16]
Dalam meningkatkan religiusitas pada diri siswa tentunya diperlukan sebuah tahapan dalam meningkatkan keimanan dan ketakwaan pada Allah Swt. Tahapan-tahapan peningkatan religiusitas anak dibutuhkan keterlibatan keluarga (orang tua), sekolah, dan masyarakat. Dukungan yang maksimal dari keluarga (orang tua) dan lingkungan masyarakat dalam penerapan nilai-nilai agama sangat menentukan tingkat keberhasilan religiusitas anak dalam kehidupan sehari-hari. Artinya religiusitas tidak hanya diserahkan sepenuhnya pada sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, akan tetapi diperlukan dukungan keluarga dan lingkungan masyarakat.
Pendidikan Agama Islam di sekolah bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang berkembang dalam hal keimanan, ketakwaannya, berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.[17] Proses internalisasi nilai-nilai agama ini akan terwujud jika dalam sekolah ada sebuah pembiasan yang dilakukan oleh masyarakat sekolah. Dari pembiasaan yang dilakukan diharapkan akan membentuk karakter siswa yang religius.
Budaya sekolah ini merupakan seluruh pengalaman psikologis para peserta didik baik yang bersifat sosial, emosional, maupun intelektual yang diserap oleh mereka selama berada dalam lingkungan sekolah. Respon psikologis keseharian peserta didik terhadap hal-hal seperti cara-cara guru dan personil sekolah lainnya bersikap dan berprilaku (layanan wali kelas dan tenaga administratif), implementasi kebijakan sekolah, kondisi dan layanan warung sekolah, penataan keindahan, kebersihan, dan kenyamanan lingkungan sekolah, semuanya membentuk budaya sekolah. Semuanya itu akan merembes pada penghayatan psikologis warga sekolah termasuk peserta didik, yang pada gilirannya membentuk pola nilai, sikap, kebiasaan, dan perilaku.[18]
D.    Pentingnya Agama Islam Menjadi Budaya
Ada beberapa alasan mengenai perlunya Pendidikan Agama Islam dikembangkan menjadi budaya sekolah, yaitu :
1.      Orang tua memiliki hak progretif untuk memilih sekolah bagi anak-anaknya, sekolah berkualitas semakin dicari, dan yang mutunya rendah akan ditinggalkan. Ini terjadi hampir disetiap kota di Indonesia. Di era globalisasi ini sekolah-sekolah yang bermutu dan memberi muatan agama lebih banyak menjadi pilihan pertama bagi orang tua di berbagai kota. Pendidikan keagamaan tersebut untuk menangkal pengaruh yang negatif di era globalisasi.
2.      Penyelengaraan pendidikan di sekolah (negeri dan swasta) tidak lepas dari nilai-nilai, norma perilaku, keyakinan maupun budaya. Apalagi sekolah yang diselenggarakan oleh yayasan Islam.
3.      Selama ini banyak orang mepersepsi prestasi sekolah dilihat dari dimensi yang tampak, bisa diukur dan dikualifikasikan, terutama perolehan nilai UNAS dan kondisi fisik sekolah. Padahal ada dimensi lain, yaitu soft, yang mencakup : Nilai-nilai (value), keyakinan (belief), budaya dan norma perilaku yang disebut sebagai the human side of organization (sisi/aspek manusia dari organisasi) yang justru lebih berpengaruh terhadap kinerja individu dan organisasi (sekolah), sehingga menjadi unggul.
4.      Budaya sekolah mempunyai dampak yang kuat terhadap prestasi kerja. Budaya sekolah merupakan faktor yang lebih penting dalam menentukan sukses atau gagalnya sekolah. Jika prestasi kerja yang diakibatkan oleh terciptanya budaya sekolah yang bertolak dari dan disemangati oleh ajaran dan nilai-nilai agama Islam, maka akan bernilai ganda, yaitu dipihak sekolah itu sendiri akan memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif dengan tetap menjaga nilai-nilai agama sebagai akar budaya bangsa, dan di lain pihak, para pelaku sekolah seperti kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan lainnya, orang tua murid dan peserta didik itu sendiri berarti  telah mengamalkan nilai-nilai Ilahiyah, ubudiyah, dan muamalah, sehingga memperoleh pahala yang berlipat ganda dan memiliki efek terhadap kehidupannya kelak.[19]
Metode pembiasaan yang sering disebut dengan pengkondisian (conditioning), adalah upaya membentuk perilaku tertentu dengan cara mempraktekkannya secara berualang-ulang.[20] Menurut Gagne metode ini disebut
direct method karena metode ini digunakan secara sengaja dan langsung untuk merubah perilaku. Metode belajar conditioning tergolong dalam pendekatan behaviorisme dan merupakan kelanjutan dari teori belajar koneksionisme. Prinsip belajar yang diusung adalah bahwa belajar merupakan hasil dari hubungan antara stimulus dan respon. Dalam teori belajar koneksionisme atau teori stimulusrespon dijelaskan bahwa belajar adalah modifikasi tingkah laku organisme/individu sebagai hasil kematangan dan pengalaman.[21] Kematangan dan pengalaman merupakan hasil dari proses latihan terus menerus atau pembiasaan.
Secara praktis metode ini merekomendasikan agar proses pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk praktek langsung (direct experience) atau menggunanakan pengalaman pengganti/tak langsung (vicarious
experience)
. Siswa diberikan pengalaman langsung yaitu dengan membiasakan mereka bersikap dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di sekolah maupun masyarakat. Praktek langsung membaca Al-Qur’an, bersalaman dengan guru, melaksanakan shalat berjamaah merupakan contoh-contoh pemberian pengalaman langsung.
Pada proses pembiasaan inilah proses belajar terjadi sebab seseorang yang dikondisikan untuk membiasakan diri melakukan perilaku tertentu berarti ia berusaha untuk menyesuaikan diri dengan perilaku tersebut. Hal ini sejalan dengan pandangan Skinner bahwa belajar adalah proses adaptasi atau proses penyesuaian tingkah laku secara progresif (process of progressive behavior
adaptation).[22]
Menurut teori conditioning, perubahan perilaku yang merupakan hasil dari proses belajar pembiasaan dapat diperoleh secara optimal apabila diberi penguatan (reinforcer). Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan maka respon akan semakin kuat.
Pengembangan budaya religius di sekolah adalah bagian dari pembiasaan penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupan di sekolah dan di masyarakat. Pembiasaan ini memiliki tujuan untuk menanamkan nilai-nilai agama Islam yang diperoleh siswa dari hasil pembelajaran disekolah untuk diterapkan dalam perilaku siswa sehari-hari. Banyak hal bentuk pengamalan nilai-nilai religius yang bisa dilakukan di sekolah seperti ; saling mengucapkan salam, pembisaan menjaga hijab antara laki-laki dan perempuan (misal; laki-laki hanya bisa berjabat tangan siswa laki-laki dan guru laki-laki, begitu juga sebaliknya.), pembisaan berdoa, sholat dhuha, dhuhur secara berjamaah, mewajibkan siswa dan siswi menutup aurat, hafalan surat-surat pendek dan pilihan dan lain sebagainya.
Menurut Muhaimin Strategi pengembangan budaya agama dalam komunitas madrasah melalui tiga tataran, yaitu tataran nilai yang dianut, tataran praktik keseharian, dan tataran symbol-simbol budaya. Pada tataran nilai yang dianut, perlu dirumuskan secara bersama-sama nilai-nilai agama yang disepakati dan perlu dikembangkan di sekolah, untuk selanjutnya di bangun konmitmen dan loyalitas bersama di antara semua warga sekolah terhadap nilai-nilai yang bersifat vertical (hambl min Allah) dan Horizontal (Habl min An nas), dan hubungan dengan alam sekitarnya.
Dalam tataran praktik keseharian, nilai-nilai keagamaan yang telah disepakati tersebut diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku keseharian oleh semua warga sekolah. Dalam tataran simbol-simbol budaya, pengembangan yang perlu dilakukan adalah mengganti symbol-simbol budaya yang kurang sejalan dengan ajaran dan nilai-nilai agama dengan symbol budaya yang agamis. Perubahan symbol dapat dilakukan dengan mengubah model berpakaian dengan prinsip menutup aurat, pemasangan hasil karya peserta didik, foto-foto, dan motto yang mengandung pesan-pesan nilai keagamaan dan lain-lain.[23]
E.     Strategi Penerapan Religius Culture
Untuk mewujudkan budaya agama disekolah, menurut Tafsir ada beberapa strategi yang dapat dilakukanoleh para praktisi pendidikan, di antaranya melalui: (1) memberikan contoh (teladan); (2) membiasakan hal-hal yang baik; (3) menegakkan disiplin; (4) memberikan motivasi dan dorongan; (5) memberikan hadiah terutama secara psikologis; (6) menghukum (mungkin dalam rangka kedisiplinan); (7) pembudayaan agama yang berpengaruh bagi pertumbuhan anak.[24]
Muhaimin dalam bukunya Rekonstruksi Pendidikan Islam menjelaskan bahwa: Strategi pengembangan budaya agama di Sekolah meminjam teori Koentjaraningrat (1974) tentang wujud kebudayaan, meniscayakan adanya upaya pengembangan dalam tiga tataran, yaitu tataran nilai yang dianut, tataran praktik keseharian, dan symbol-simbol budaya:
1.      Dalam tataran nilai yang dianut perlu dirumuskan secara bersama nilai-nilai agama yang disepakati dan perlu di kembangkan di Sekolah, untuk selanjutnya dibangun komitmen dan loyalitas bersama diantara semua warga sekolah terhadap nilai-nilai yang disepakati. Seperti hubungan manusia atau warga sekolah dengan Allah (hubungan vertical) dan yang horizontal berwujud hubungan manusia atau warga sekolah dengan sesamanya, dan hubungan mereka dengan lingkungan dan alam sekitarnya.
2.      Dalam tataran praktik keseharian, nilai-nilai keagamaan yang disepakati tersebut diwujudkan dalam bentuk sikap dan prilaku keseharian oleh warga sekolah. Proses pengembangan tersebut dapat dilakukan dengan tiga cara, Pertama, sosialisasi nilai-nilai agama yang disepakati sebagai sikap dan prilaku ideal yang ingin dicapai pada masa mendatang di sekolah. Kedua, penetapan action plan mingguan atau bulanan sebagai tahanan dan langkah sistematis yang akan dilakukan oleh semua warga disekolah dalam melaksanakan nilai-nialai agama yang telah disepakati tersebut. Ketiga, Pemberian penghargaan terhadap prestasi warga sekolah, seperti guru, tenaga kependidikan, dan peserta didik sebagai usaha pembiasaan (habit formation) yang menjunjung sikap dan prilaku komitmen dan loyal terhadap ajaran dan nilai-nilai agama yang disepakati.

3.      Dalam tataran simbol-simbol budaya, Pengembangan yang perlu dilakukan adalah mengganti symbol-simbol budaya yang kurang sejalan dengan ajaran dan nilai-nilai agama dengan symbol budaya yang agamis. Perubahan symbol dapat dilakukan dengan mengubah model berpakaian dengan prinsip menutup aurat, pemasangan hasil karya peserta didik, fotofoto dan moto yang mengandung pesan-pesan nilai-nilai keagamaan dan lain-lain.[25]
Selanjutnya Muhaimin menjelaskan bahwa strategi untuk membudayakan nilai-nilai agama di madrasah dapat dilakukan melalui : (1) Power strategi, yakni strategi pembudayaan agama di madrasah dengan cara menggunakan kekuasaan atau melalui people’s power, dalam hal ini peran kepala madrasah dengan segala kekuasaannya sangat dominan dalam melakukan perubahan; (2) persuasive
strategy, yang dijalankan lewat pembentukan opini dan pandangan masyarakat warga madrasah; dan (3) normative re-educative. Artinya norma yang berlaku di masyarakat termasyarakatkan lewat education, dan mengganti paradigm berpikir masyarakat madrasah yang lama dengan yang baru. Pada strategi pertama tersebut dikembangkan melalui pendekatan perintah dan larangan atau reward dan
punishment. Sedangkan strategi kedua dan ketiga tersebut dikembangkan melalui pembiasaan, keteladanan, dan pendekatan persuasif atau mengajak pada warganya dengan cara yang halus, dengan memberikan alasan dan prospek baikyang bisa menyakinkan mereka.[26]
Strategi –strategi tersebut bisa terlaksana dengan baik manakala ada sebuah kerjasama yang baik antara semua warga sekolah, baik kepala sekolah sebagai manajer, guru, karyawan dan siswa.Sehingga lingkungan religius lebih mudah diciptakan. Nuansa religius di sekolah akan sangat sulit di ciptakan manakala kewajiban untuk melaksanakan nilai-nilai agama hanya diwajibkan pada semua siswa. Hal ini akan berdampak pada pembisaan siswa dimana dalam menjalankan nilai-nilai religius di sekolah hanya pada tataran menunaikan kewajiban saja bukan pada proses kesadaran. Akibatnya nilai-nilai agama yang menjadi sebuah pembiasaan di sekolah tidak mampu membentuk karakter siswa di luar sekolah.
Kepala sekolah dan guru perlu membuat sebuah standar pelaksanaan dan tahapan penerapan budaya religius di sekolah. Sehingga keberhasilan pengembangan budaya religius bisa dievaluasi. Muhaimin, memberikan contoh standart dan tahapan yang berkelanjutan dalam pengembangan budaya religius seperti misalnya; a) dilaksanakan sholat berjamaah dengan tertib dan disiplin di masjid madrasah, b) tidak terlibat dalam perkelahian antar-peserta didik, c) sopan santun berbicara antara peserta didik, peserta didik dengan guru dan tenaga kependidikan, antara guru dengan guru, anatara guru dan tenaga kependidikan dan lainnya, d) cara berpakaian peserta didik dan guru yang islami, e) cara pergaulan peserta didik dan guru sesuai dengan norma islam, terciptanya budaya senyum, salam dan sapa dan lain sebagainya.[27]
Menurut Muhaimin, agar pendidikan agama Islam di sekolah dapat membentuk peserta didik yang memiliki iman, takwa, dan akhlak mulia, maka proses pembelajaran pendidikan agama harus menyentuh tiga aspek secara terpadu. Tiga aspek yang dimaksud adalah: (1) knowing, yakni agar peserta didik dapat mengetahui dan memahami ajaran dan nilai-nilai agama; (2) doing, yakni agar peserta didik dapat mempraktikkan ajaran dan nilai-nilai agama; dan (3)
being, yakni agar peserta didik dapat menjalani hidup sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai agama. Ini tentunya tidak hanya mengandalkan pada proses belajarmengajar di dalam atau di luar kelas yang hanya dua jam pelajaran untuk jenjang SMA/K per pekannya. Namun dibutuhkan pembinaan perilaku dan mentalitas being religiousmelalui pembudayaan agama dalam komunitas sekolah, keluarga, dan lingkungan masyarakat di mana para siswa tinggal dan berinteraksi.
Keberagamaan atau religiusitas seseorang diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupannya. Aktifitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah),tetapi juga melakukan aktivitas yang didorong olehkekuatan supranatural. Bukan hanya berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat oleh mata, tetapi juga aktivitas yang tidak tampak dan terjadi dalam hati seseorang.
Menurut Nurcholis Madjid, agama bukanlah sekedar tindakan-tindakan ritual seperti shalat dan membaca do’a. Agama lebih dari itu, yaitu keseluruhan tingkah laku manusia yang terpuji, yang dilakukan demi memperoleh ridla atau perkenan Allah.Agama dengan demikian meliputi keseluruhan tingkah laku manusia dalam hidup ini, yang tingkah laku itu membentuk keutuhan manusia berbudi luhur atas dasar percaya atau iman kepada Allah dan tanggung jawab pribadi di hari kemudian.[28]
Dari uraian di atas dapat di pahami bahwa pengembangan budaya religius di sekolah harus memiliki landasan yang kokoh baik secara normatif religius maupun konstitusional.Sehingga semua lembaga pendidikan secara bersama-sama memiliki tujuan untuk mengembangkan budaya religius di komunitasnya.Oleh Karena itu diperlukan sebuah rancangan dan tategi yang baik untuk melakukan pengembangan budaya religius dengan tetap memperhatikan dan mempertimbangkan pendidikan multikultural.
Suasana keagamaan di lingkungan sekolah dengan berbagai bentuknya, sangat penting bagi proses penanaman nilai agama pada siswa. Proses penanaman nilai agama islam pada siswa disekolah akan menjadi lebih intensif dengan suasana kehidupan sekolah yang islami, baik yang nampak dalam kegiatan, sikap maupun prilaku , pembiasaan, penghayatan, dan pendalaman.
Budaya sekolah merupakan seluruh pengamalan psikologis para peserta didik baik yang bersifat sosial, emosional maupun intelektual yang diserap oleh mereka selama berada dalam lingkungan sekolah.Respon psikologis keseharian peserta didik terhadap hal-hal seperti cara-cara guru dan personel sekolah lainnya bersikap dan berperilaku, implementasi kebijakan sekolah, kondisi dan layanan kantin sekolah, penataan keindahan, kebersihan dan kenyamanan lingkungan sekolah, semuanya membentuk budaya sekolah. Semua itu akan merembes pada penghayatan psikologis warga sekolah termasuk peserta didik, yang pada gilirannya membentuk pola nilai, sikap, kebiasaan, dan perilaku.
Pelaksanaan pengembangan budaya religius di sekolah tidak akan berjalan dengan baik jika tanpa dukungan dan komitmen dari berbagai pihak, di antaranya adalah pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama atau Pemerintah Daerah, kebijakan kepala sekolah, guru pendidikan agama Islam, guru mata pelajaran umum, pegawai sekolah, komite sekolah, dukungan siswa (OSIS), lembaga dan ormas, keagamaan serta partisipasi masyarakat luas. Jika semua elemen ini dapat bersama-sama mendukung dan terlibatdalam pelaksanaan pengamalan budaya agama di sekolah maka bukan sesuatu yang mustahil hal ini akan terwujud dan sukses.
Sebagai upaya sistematis menjalankan pengamalan budaya agama (Islam) di sekolah perlu dilengkapi dengan sarana pendukung bagi pelaksanaan pengamalan budaya agama (Islam) di sekolah, di antaranya; musholla atau masjid, sarana pendukung ibadah (seperti: tempat wudhu, kamar mandi, sarung, mukena, mimbar, dsb.), alat peraga praktik ibadah, perpustakaan yang memadai, aula atau ruang pertemuan, ruang kelas sebagai tempat belajar yang nyaman dan memadai, alat dan peralatan seni Islami, ruang multimedia, laboratorium komputer, internet serta laboratorium PAI.





F.     Penutup
1.      Pengembangan budaya religius di sekolah sesungguhnya adalah pembudayaan atau pembiasaan nilai-nilai pendidikan agama Islam dalam kehidupan di sekolah.
2.      Dalam penerapannya pengembangan budaya religius tidak hanya dilaksanakan di madrasah atau di sekolah yang bernuansa islami tetapi juga di sekolah-sekolah umum. Hal ini sangat penting karena pelaksanaan pendidikan agama Islam di butuhkan pembiasaan atau praktek-praktek agama yang menghubungkan manusia dengan Tuhannya. Dari proses pembiasaan itulah akan membentuk pendidikan Tauhid pada diri anak,
3.      Agar pengembangan budaya religius berhasil dengan baik, diperlukan beberapa strategi antara lain ; memberikan contoh (teladan); membiasakan halhal yang baik; menegakkan disiplin; memberikan motivasi dan dorongan
















DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid & Dian Andayani. 2005. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi. Bandung: PT. Remaja Rosdyakarya
Madjid, Nurcholis. 2010. Masyarakat Religius Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan. Jakarta: Paramadina
MS, Ishomuddin. 1996. Spektrum Pendidikan Islam Retropeksi Visi dan Aksi. Malang: UMM Press
Muchits, Saekhan. 2008. Pembelajaran Kontekstual. Semarang: Rasail Media Group
Muhaimin. 2006.  Nuansa Baru Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Rajawali Grafindo Persada
Muhaimin. 2008. Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam . Jakarta: Rajawali Pers
Muhaimin. 2010. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam; di Sekolah. Madrasah, dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Riberu, J. 2001. Pendidikan Agama dan Tata Nilai, dalam Sindhunata (Editor), Pendidikan; Kegelisahan Sepanjang Zaman. Yogyakarta: Kanisius
Sanjaya, Wina. 2009.  Strataegi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana
Susilo, M. Joko. 2007. Pembodohan siswa tersistematis. Yogyakarta: PINUS Book Publiser
Syah, Muhibbin. 2009.  Psikologi Belajar. Jakarta: Rajawali Press
Tafsir, Ahmad. 2004.  Metodologi Pengajaran Agama Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya
Tasmara, Toto. 2002.  Membudayakan Etos Kerja Islami. Jakarta: Gema Insani
Zakiah Darajat, dkk.. 1995.  Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Bumi Aksara dan Dirjen Binbaga Depag RI


[1] M. Joko Susilo, Pembodohan siswa tersistematis, (Yogyakarta: PINUS Book Publiser, 2007), h. 4
[2] Saekhan Muchits, Pembelajaran Kontekstual (Semarang: Rasail Media Group, 2008), h. 3
[3] KBBI online, diakses pada tanggal 15 April 2017
[4] KBBI online, diakses pada tanggal 15 April 2017
[5] Endang Saifudin Anshari, Kuliah al-Islam: Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi,(Jakarta: CV. Rajawali, 1989), h. 32
[6]Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), h. 297
[7] Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islami, (Jakarta: Gema Insani, 2002), h. 161
[8]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Balai Pustaka,1991), h. 149.
[9]Benyamin Molan, Dampak Budaya Perusahaan Terhadap Kinerja, (Jakarta: Prehallindo, 1992), h. 4.
[10]Soekarno Indrachfudi, Bagaimana Mengakrabkan Sekolah dengan Sekolah dengan Orang
Tua dan Masyarakat, (Malang: IKIP Malang, 1994), h. 20.
[11] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam; di Sekolah. Madrasah, dan Perguruan Tinggi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), h. 23.
[12] J. Riberu, Pendidikan Agama dan Tata Nilai, dalam Sindhunata (Editor), Pendidikan; Kegelisahan Sepanjang Zaman (Yogyakarta: Kanisius, 2001), h. 190.
[13] Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 33
[14] Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum Hingga Redifinisi Islamisasi Pengetahuan (Bandung: 2003), h. 23.
[15] Ishomuddin, MS., Spektrum Pendidikan Islam Retropeksi Visi dan Aksi (Malang: UMM Press. 1996), h. 181.
[16]Djamaluddin Ancok, Psikologi Islami, Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 76.
[17] Abdul Majid & Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, (Bandung: PT. Remaja Rosdyakarya, 2005), h. 135.
[18] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum PAI di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi,  (Jakarta: PT. Rajawali Grafindo Persada, 2006), h. 133.
[19] Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam,  (Jakarta: PT. Rajawali Grafindo Persada, 2006), h. 133-136
[20] Wina Sanjaya, Strataegi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana, Cet. 6, 2009), h. 118.
[21] Zakiah Darajat, dkk., Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam (Jakarta: Bumi Aksaradan Dirjen Binbaga Depag RI, 1995), h. 5
[22] Muhibbin Syah, Psikologi Belaja (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 64.
[23] Muhaimin, Pemikiran Dan Aktualisasi…, hlm. 135-136.
[24] Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), h. 112.
[25]Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam; Dari Paradigma Pengembangan,Manajemen kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), h. 326
[26] Ibid., hlm. 136.
[27]Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam; Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), h. 182.
[28]Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan, (Jakarta: Paramadina, 2010), h. 93.

No comments:

Post a Comment