Pengembangan Kurikulum PAI
Berbasis Religius Culture
Oleh:
LULUK SUSANTI (16771021)
Mahasiswa Prodi Magister Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang
A.
Pendahuluan
Pendidikan merupakan hal yang
sangat penting dan tidak bisa lepas dari kehidupan.Dengan pendidikan bisa
memajukan kebudayaan dan mengangkat derajat bangsa di mata internasional.
Pendidikan akan sangat terasa gersang apabila tidak berhasil mencetak sumber
daya manusia yang berkualitas (baik segi spiritual, intelegensi, dan skill).
Sehingga diperlukan peningkatan mutu pendidikan supaya bangsa ini tidak
tergantung pada status bangsa yang sedang berkembang tetapi bisa menyandang
predikat bangsa maju.[1]
Untuk memperbaiki kehidupan bangsa harus dimulai dari penataan dalam segala
aspek dalam pendidikan, mulai dari aspek tujuan, sarana, pembelajaran,
manajerial dan aspek lain yang secara langsung maupun tidak langsung
berpengaruh terhadap kualitas pembelajaran.[2]
Hal ini dimaksudkan untuk mempersiapkan pendidikan yang mampu meyiapkan Sumber
Daya Manusia yang memiliki moralitas yang tinggi. Karena bagaimanapun juga
Pendidikan dan moral adalah dua pilar yang sangat penting bagi teguh dan
kokohnya suatu bangsa. Dua pilar ini perlu untuk dipahami secara mendalam dan
bijaksana oleh semua elemen bangsa ini dari masyarakat maupun pemegang
kebijakan dan pelaksana pendidikan. Dalam suatu negara yang sedang berusaha
lepas dari badai krisis, sangatlah tepat apabila kita mencoba untuk melihat
kembali posisi dan interrelasi dua pilar ini bagi bangsa Indonesia.
Salah satu hal penting dalam
pengembangan kurikulum pendidikan agama islam baik di tingkat dasar bahkan
sampai perguruan tinggi adalah suasana Islami. Dalam kajian pengembangan
kurilum pada umumnya, biasanya persoalan ini kurang mendapat perhatian.
Padahal, manajemen program pengembangan suasana Islami merupakan bagian
esensial bagi lembaga pendidikan Islam.
Jadi, madrasah sebagai lembaga
pendidikan berbasis religius adalah lembaga pendidikan Islam yang segala proses
penyelenggaraannya didasari oleh ajaran Islam. Hal ini untuk menafikan
keberadaan lembaga pendidikan berbasis agama lainnya. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia,[3]
disebutkan bahwa basis adalah asas atau dasar, berbasiskan berarti
menjadikan sesuatu sebagai basis. Sedangkan religious berarti bersifat
religi/ bersifat keagamaan. Dari kata “religi” dan “religius” selanjutnya
muncul istilah religiusitas yang berarti pengabdian terhadap agama atau
kesalehan.[4]
Jika yang dimaksud basis religius itu adalah basis pendidikan yang berkaitan
dengan ketaatan atau kesalehan seseorang di mana religius dipahami bukan
sebatas having religion tetapi juga “being religious”,
maka pendidikan berbasis religius berarti pendidikan yang menjadikan agama
sebagai basis (asas atau dasar) dari penyelenggaraan pendidikan untuk mendidik
siswa atau siswi yang memiliki ketaatan atau kesalehan. Religius bukan hanya
dalam hal nama lembaga saja tetapi juga dalam hal muatan (content)
pembelajarannya serta proses ataupun tujuannya.
B.
Konsep
Religius Culture (Budaya Agama)
Religi (Religion), Din dan Agama masing-masing mempunyai arti etimologi
sendiri-sendiri, namun dalam arti teknis – terminologis ketiga istilah tersebut
mempunyai inti makna yang sama. Tegasnya religi (bahasa belanda),
religion (bahasa Inggris), din (bahasa arab), agama (bahasa Indonesia).[5]
Adapun
religious menurut Islam disini mempunyai makna bahwa menjalankan ajaran
agama secara menyeluruh dari semua aspek kehidupan bagi setiap Muslim baik
dalam berpikir, bersikap maupun bertindak. Untuk itu perlu adanya penekanan
terhadap semua aspek kehidupan setiap muslim supaya dalam bertindak seseorang
harus sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah sesuai dengan ajaran
Islam[6]
Dari
keterangan di atas dapat disimpulkan sebuah definisi tentang agama adalah suatu
credo (tata keyakinan) atas adanya yang Mutlak di luar manusia atau suatu
system ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya yang Mutlak
itu, serta satu system norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia
dengan sesama manusia dan dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata
keimanan dan tata peribadatan termaksud.
Budaya
berasal dari bahasa Sansakerta “budhayah” bentuk jamak dari budhi yang
artinya akal atau segala sesuatu yang berkaitan dengan akal pikiran,
nilai-nilai dan sikap mental. Budi daya berarti memberdayakan sebagaimana dalam
bahasa inggris dikenal dengan culture yang artinya mengolah atau
mengerjakan sesuatu yang kemudian berkembang sebagai cara manusia
mengaktualisasikan rasa (value), karasa (creativity) dan
karya-karyanya (performance).
Secara
praktis, di dalam pemahaman kita tentang budaya adalah adanya kandungan utama
yang antara lain sebagai berikut:
1. Budaya berkaitan erat
dengan persepsi terhadap nilai dan lingkungannya yang melahirkan makna dan
pandangan hidup, yang akan mempengaruhi sikap dan tingkah laku (the total
way of life of a people)
2. Adanya pola dan nilai,
sikap tingkah laku (termasuk bahasa), hasil karsa dan karya, termasuk segala
instrumennya, system kerja, teknologi ( a way of thinking, feeling, and
believing)
3. Budaya merupakan hasil dari
pengalaman hidup, kebiasaan-kebiasaan serta proses seleksi norma-norma yang ada
dalam cara dirinya ditengah-tengah lingkungan tertentu.
4. Dalam proses budaya
terdapat saling mempengaruhi dan saling ketergantungan (interdepensi), baik
social maupun lingkungan nasional.[7]
Budaya
atau culture merupakan istilah yang datang dari disiplin antropologi sosial.
Dalam dunia pendidikan budaya dapat digunakan sebagai salah satu transmisi
pengetahuan, karena sebenarnya yang tercakup dalam budaya sangatlah luas.
Budaya laksana software yang berada dalam otak manusia, yang menuntun persepsi,
mengidentifikasi apa yang di lihat, mengarahkan fokus pada suatu hal, serta
menghindar dari yang lain.
Menurut
kamus Besar Bahasa Indonesia, budaya di artikan sebagai: pikiran, adat
istiadat, sesuatu yang sudah berkembang, sesuatu yang menjadi kebiasaan yang
sukar di ubah.[8] Istilah
budaya, munurut Kotter dan Heskett, dapat diartikan sebagai totalitas pola
perilaku, kesenian, kepercayaan, kelembagaan, dan semua produk lain dari karya
dan pemikiran manusia yang mencirikan kondisi suatu masyarakat atau penduduk
yang ditransmisikan bersama.[9]
Dalam
pemakaian sehari-hari, orang biasanya mensinonimkan definisi budaya dengan
tradisi (tradition). Tradisi, dalam hal ini, diartikan sebagai ide-ide umum,
sikap dan kebiasaan dari masyarakat yang nampak dari perilaku sehari-hari yang
menjadi kebiasaan dari kelompok dalam masyarakat tersebut.[10] Padahal
budaya dan tradisi itu berbeda. Budaya dapat memasukkan ilmu pengetahuan ke
dalamnya, sedangkan tradisi tidak dapat memasukkan ilmu pengetahuan kedalam
tradisi terebut.
Pendidikan
agama yang syarat dengan pembentukan nilai-nilai moral (pembentukan afeksi),
menurut Mochtar Buchori juga hanya memperhatikan aspek kognitif semata dari
pertumbuhan kesadaran nilai-nilai (agama), dan mengabaikan pembinaan aspek
afektif dan konatif-volitif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan
nilai-nilai ajaran agama.[11] Pengajaran
agama yang berorientasi kognitifsemata hanyalah sekedar pengalihan pengetahuan
tentang agama. Pengalihan pengetahuan agama memang dapat menghasilkan pengetahuan
dan ilmu dalam diri orang yang diajar, tetapi pengetahuan ini belum menjamin
pengarahan seseorang untuk hidup sesuai dengan pengetahuan tersebut. Bahkan,
pengalihan pengetahuan agama sering kali berbentuk pengalihan rumus-rumus
doktrin dan kaidah susila. Oleh sebab itu, pengajaran agama menghasilkan
pengetahuan hafalan yang melekat di bibir dan hanya mewarnai kulit, tetapi
tidak mampu mempengaruhi orang yang mempelajarinya.[12]
Melihat
fenomena di atas maka solusi yang ditawarkan adalah pengembangan nilai-nilai
religius di lembaga pendidikan.Tentunya untuk mengembangkan ini yang menjadi
ujung tombak adalah peran guru agama yang harus betul-betul optimal mewujudkan
pembudayaan nilai-nilai religius. Dengan demikian pembiasaan nilai-nilai
religius di sekolah diharapkan mampu meningkatkan dan memperkokoh nilai
ketauhidan seseorang, pengetahuan agama dan pratik keagamaan. Sehingga
pengetahuan agama yang diperoleh di sekolah tidak hanya dipahami saja sebagai
sebuah pengetahuan akan tetapi bagaimana pengetahuan itu mampu diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Pengembangan
budaya agama dalam komunitas madrasah/ sekolah berarti bagaimana mengembangkan
agama islam di madrasah sebagai pijakan nilai, semangat, sikap, dan perilaku
bagi para aktormadrasah, guru dan tenaga kependidikan lainnya, orang tua murid,
dan peserta didik itu sendiri.[13]
Pelaksanaan
budaya religius di sekolah mempunyai landasan kokoh yang normatif religius
maupun konstitusional sehingga tidak ada alasan bagi sekolah untuk mengelak
dari usaha tersebut.[14] Oleh
karena itu, penyelenggaraan pendidikan agama yang diwujudkan dalam membangun
budaya religius di berbagai jenjang pendidikan, patut untuk dilaksanakan.
Karena dengan tertanamnya nilai-nilai budaya religius pada diri siswa akan
memperkokok imannya dan aplikasinya nilai-nilai keislaman tersebut dapat
tercipta dari lingkungan di sekolah. Untuk itu membangun budaya religius sangat
penting dan akan mempengaruhi sikap, sifat dan tindakan siswa secara tidak
langsung.
Pendidikan
agama di sekolah, tidak saja di madrasah atau di sekolah yang bernuansa islami
tetapi juga di sekolah-sekolah umum sangatlah penting untuk pembinaan dan
penyempurnaan pertumbuhan kepribadian anak didik, karena pendidikan agama
melatih anak didik untuk melakukan ibadah yang diajarkan dalam agama, yaitu
praktek-praktek agama yang menghubungkan manusia dengan Tuhannya. Karena
praktek-praktek ibadah itulah yang akan membawa jiwa anak kepada Tuhannya. Semakin
sering dilakukan ibadah, semakin tertanam kepercayaan dan semakin dekat pula
jiwa sang anak terhadap Tuhannya. Disamping praktek ibadah, anak didik harus
dibiasakan mengatur tingkah laku dan sopan santun baik terhadap orang tua yang
lebih tua maupun terhadap sesama teman sebayannya. Kepercayaan kepada Tuhan
tidak akan sempurna bila isi ajaran-ajaran dari Tuhan tidak diketahui
betul-betul. Anak didik harus ditunjukkan mana yang disuruh dan mana yang
dilarang oleh Tuhannya.
C.
Religius
Culture di Sekolah
Guru untuk membangun generasi baru yang bermoral dan
berprilaku jujur, mulia dan bermartabat demi masa depan bangsa dan negara
melalui proses pendidikan, tentunya tidak lepas dari suasana religius yang
diciptakan di semua lembaga pendidikan, akan tetapi sampai dimana kesungguhan
suatu lembaga dan peran guru yang memiliki kepribadian luhur untuk menciptakan
suasana yang religius di lingkungan pendidikan. Penciptaan suasana religius di
sekolah dimulai dengan mengadakan berbagai kegiatan keagamaan yang pelaksanaannya
ditempatkan di lingkungan sekolah, adanya kebutuhan ketenangan batin,
persaudaraan serta silaturrahmi diantara warga sekolah, hal ini tidaklah luput
dari peran guru yang memberikan santapan jiwa dengan ilmu, pembinaan akhalq
mulia, dan meruluskan perilakunya yang buruk bagi anak didiknya.
Meningkatkan kualitas dan taraf hidup untuk mewujudkan
realisasi diri dan pemenuhan diri (self realization/Fulfillment) merupakan
bagian dari peristiwa budaya. Proses penemuan identitas pribadi, harga diri,
martabat dan prakarsa maupun kemampuan diri untuk berdiri sendiri dan
penggalakan kreatifitas merupakan unsur terpenting dalam menciptakan tatanan
masyarakat yang sustainable.[15]
Pendidikan agama menyangkut tiga aspek, yaitu aspek
kognitif, afektif, dan psikomotor. Ini berarti bahwa pendidikan agama bukan
hanya sekedar memberi pengetahuan tentang keagamaan, melainkan justru yang
lebih utama adalah membiasakan anak taat dan patuh menjalankan ibadat dan
berbuat serta bertingkah laku di dalam kehidupannya sesuai dengan norma-norma
yang telah ditetapkan dalam agama masing-masing.
Keberagamaan atau religiusitas dapat diwujudkan dalam
berbagai sisi kehidupan manusia yang tidak hanya melakukan ritual (beribadah)
tapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan
supranatural. Bukan hanya yang berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat
dilihat dengan mata, tetapi juga aktivitas yang tidak tampak dan terjadi
didalam hati seseorang.[16]
Dalam meningkatkan religiusitas pada diri siswa tentunya
diperlukan sebuah tahapan dalam meningkatkan keimanan dan ketakwaan pada Allah
Swt. Tahapan-tahapan peningkatan religiusitas anak dibutuhkan keterlibatan
keluarga (orang tua), sekolah, dan masyarakat. Dukungan yang maksimal dari
keluarga (orang tua) dan lingkungan masyarakat dalam penerapan nilai-nilai
agama sangat menentukan tingkat keberhasilan religiusitas anak dalam kehidupan
sehari-hari. Artinya religiusitas tidak hanya diserahkan sepenuhnya pada
sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, akan tetapi diperlukan dukungan
keluarga dan lingkungan masyarakat.
Pendidikan Agama Islam di sekolah bertujuan untuk
menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan
pengetahuan, penghayatan, pengamalan serta pengalaman peserta didik tentang
agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang berkembang dalam hal
keimanan, ketakwaannya, berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat melanjutkan
pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.[17] Proses
internalisasi nilai-nilai agama ini akan terwujud jika dalam sekolah ada sebuah
pembiasan yang dilakukan oleh masyarakat sekolah. Dari pembiasaan yang
dilakukan diharapkan akan membentuk karakter siswa yang religius.
Budaya sekolah ini merupakan seluruh pengalaman psikologis
para peserta didik baik yang bersifat sosial, emosional, maupun intelektual
yang diserap oleh mereka selama berada dalam lingkungan sekolah. Respon
psikologis keseharian peserta didik terhadap hal-hal seperti cara-cara guru dan
personil sekolah lainnya bersikap dan berprilaku (layanan wali kelas dan tenaga
administratif), implementasi kebijakan sekolah, kondisi dan layanan warung
sekolah, penataan keindahan, kebersihan, dan kenyamanan lingkungan sekolah,
semuanya membentuk budaya sekolah. Semuanya itu akan merembes pada penghayatan
psikologis warga sekolah termasuk peserta didik, yang pada gilirannya membentuk
pola nilai, sikap, kebiasaan, dan perilaku.[18]
D.
Pentingnya
Agama Islam Menjadi Budaya
Ada
beberapa alasan mengenai perlunya Pendidikan Agama Islam dikembangkan menjadi
budaya sekolah, yaitu :
1. Orang tua memiliki hak
progretif untuk memilih sekolah bagi anak-anaknya, sekolah berkualitas semakin
dicari, dan yang mutunya rendah akan ditinggalkan. Ini terjadi hampir disetiap
kota di Indonesia. Di era globalisasi ini sekolah-sekolah yang bermutu dan
memberi muatan agama lebih banyak menjadi pilihan pertama bagi orang tua di
berbagai kota. Pendidikan keagamaan tersebut untuk menangkal pengaruh yang
negatif di era globalisasi.
2.
Penyelengaraan pendidikan di sekolah (negeri dan swasta)
tidak lepas dari nilai-nilai, norma perilaku, keyakinan maupun budaya. Apalagi
sekolah yang diselenggarakan oleh yayasan Islam.
3.
Selama ini banyak orang mepersepsi prestasi sekolah dilihat
dari dimensi yang tampak, bisa diukur dan dikualifikasikan, terutama perolehan
nilai UNAS dan kondisi fisik sekolah. Padahal ada dimensi lain, yaitu soft,
yang mencakup : Nilai-nilai (value), keyakinan (belief), budaya
dan norma perilaku yang disebut sebagai the human side of organization (sisi/aspek
manusia dari organisasi) yang justru lebih berpengaruh terhadap kinerja
individu dan organisasi (sekolah), sehingga menjadi unggul.
4.
Budaya sekolah mempunyai dampak yang kuat terhadap prestasi
kerja. Budaya sekolah merupakan faktor yang lebih penting dalam menentukan
sukses atau gagalnya sekolah. Jika prestasi kerja yang diakibatkan oleh
terciptanya budaya sekolah yang bertolak dari dan disemangati oleh ajaran dan
nilai-nilai agama Islam, maka akan bernilai ganda, yaitu dipihak sekolah itu
sendiri akan memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif dengan tetap menjaga
nilai-nilai agama sebagai akar budaya bangsa, dan di lain pihak, para pelaku
sekolah seperti kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan lainnya, orang tua
murid dan peserta didik itu sendiri berarti
telah mengamalkan nilai-nilai Ilahiyah, ubudiyah, dan muamalah, sehingga
memperoleh pahala yang berlipat ganda dan memiliki efek terhadap kehidupannya
kelak.[19]
Metode
pembiasaan yang sering disebut dengan pengkondisian (conditioning),
adalah upaya membentuk perilaku tertentu dengan cara mempraktekkannya secara
berualang-ulang.[20] Menurut Gagne metode ini disebut
direct method karena metode ini digunakan secara sengaja dan langsung untuk merubah perilaku. Metode belajar conditioning tergolong dalam pendekatan behaviorisme dan merupakan kelanjutan dari teori belajar koneksionisme. Prinsip belajar yang diusung adalah bahwa belajar merupakan hasil dari hubungan antara stimulus dan respon. Dalam teori belajar koneksionisme atau teori stimulusrespon dijelaskan bahwa belajar adalah modifikasi tingkah laku organisme/individu sebagai hasil kematangan dan pengalaman.[21] Kematangan dan pengalaman merupakan hasil dari proses latihan terus menerus atau pembiasaan.
direct method karena metode ini digunakan secara sengaja dan langsung untuk merubah perilaku. Metode belajar conditioning tergolong dalam pendekatan behaviorisme dan merupakan kelanjutan dari teori belajar koneksionisme. Prinsip belajar yang diusung adalah bahwa belajar merupakan hasil dari hubungan antara stimulus dan respon. Dalam teori belajar koneksionisme atau teori stimulusrespon dijelaskan bahwa belajar adalah modifikasi tingkah laku organisme/individu sebagai hasil kematangan dan pengalaman.[21] Kematangan dan pengalaman merupakan hasil dari proses latihan terus menerus atau pembiasaan.
Secara
praktis metode ini merekomendasikan agar proses pembelajaran memberikan
kesempatan kepada siswa untuk praktek langsung (direct experience) atau
menggunanakan pengalaman pengganti/tak langsung (vicarious
experience). Siswa diberikan pengalaman langsung yaitu dengan membiasakan mereka bersikap dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di sekolah maupun masyarakat. Praktek langsung membaca Al-Qur’an, bersalaman dengan guru, melaksanakan shalat berjamaah merupakan contoh-contoh pemberian pengalaman langsung.
experience). Siswa diberikan pengalaman langsung yaitu dengan membiasakan mereka bersikap dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di sekolah maupun masyarakat. Praktek langsung membaca Al-Qur’an, bersalaman dengan guru, melaksanakan shalat berjamaah merupakan contoh-contoh pemberian pengalaman langsung.
Pada
proses pembiasaan inilah proses belajar terjadi sebab seseorang yang dikondisikan
untuk membiasakan diri melakukan perilaku tertentu berarti ia berusaha untuk
menyesuaikan diri dengan perilaku tersebut. Hal ini sejalan dengan pandangan
Skinner bahwa belajar adalah proses adaptasi atau proses penyesuaian tingkah
laku secara progresif (process of progressive behavior
adaptation).[22]
adaptation).[22]
Menurut
teori conditioning, perubahan perilaku yang merupakan hasil dari proses
belajar pembiasaan dapat diperoleh secara optimal apabila diberi penguatan (reinforcer).
Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila
penguatan ditambahkan maka respon akan semakin kuat.
Pengembangan
budaya religius di sekolah adalah bagian dari pembiasaan penerapan nilai-nilai
agama dalam kehidupan di sekolah dan di masyarakat. Pembiasaan ini memiliki tujuan
untuk menanamkan nilai-nilai agama Islam yang diperoleh siswa dari hasil
pembelajaran disekolah untuk diterapkan dalam perilaku siswa sehari-hari.
Banyak hal bentuk pengamalan nilai-nilai religius yang bisa dilakukan di
sekolah seperti ; saling mengucapkan salam, pembisaan menjaga hijab antara
laki-laki dan perempuan (misal; laki-laki hanya bisa berjabat tangan siswa
laki-laki dan guru laki-laki, begitu juga sebaliknya.), pembisaan berdoa,
sholat dhuha, dhuhur secara berjamaah, mewajibkan siswa dan siswi menutup
aurat, hafalan surat-surat pendek dan pilihan dan lain sebagainya.
Menurut
Muhaimin Strategi pengembangan budaya agama dalam komunitas madrasah melalui
tiga tataran, yaitu tataran nilai yang dianut, tataran praktik keseharian, dan
tataran symbol-simbol budaya. Pada tataran nilai yang dianut, perlu dirumuskan
secara bersama-sama nilai-nilai agama yang disepakati dan perlu dikembangkan di
sekolah, untuk selanjutnya di bangun konmitmen dan loyalitas bersama di antara
semua warga sekolah terhadap nilai-nilai yang bersifat vertical (hambl min
Allah) dan Horizontal (Habl min An nas), dan hubungan dengan alam
sekitarnya.
Dalam
tataran praktik keseharian, nilai-nilai keagamaan yang telah disepakati
tersebut diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku keseharian oleh semua warga
sekolah. Dalam tataran simbol-simbol budaya, pengembangan yang perlu dilakukan
adalah mengganti symbol-simbol budaya yang kurang sejalan dengan ajaran dan
nilai-nilai agama dengan symbol budaya yang agamis. Perubahan symbol dapat dilakukan
dengan mengubah model berpakaian dengan prinsip menutup aurat, pemasangan hasil
karya peserta didik, foto-foto, dan motto yang mengandung pesan-pesan nilai
keagamaan dan lain-lain.[23]
E.
Strategi
Penerapan Religius Culture
Untuk
mewujudkan budaya agama disekolah, menurut Tafsir ada beberapa strategi yang
dapat dilakukanoleh para praktisi pendidikan, di antaranya melalui: (1)
memberikan contoh (teladan); (2) membiasakan hal-hal yang baik; (3) menegakkan
disiplin; (4) memberikan motivasi dan dorongan; (5) memberikan hadiah terutama
secara psikologis; (6) menghukum (mungkin dalam rangka kedisiplinan); (7)
pembudayaan agama yang berpengaruh bagi pertumbuhan anak.[24]
Muhaimin
dalam bukunya Rekonstruksi Pendidikan Islam menjelaskan bahwa: Strategi
pengembangan budaya agama di Sekolah meminjam teori Koentjaraningrat (1974)
tentang wujud kebudayaan, meniscayakan adanya upaya pengembangan dalam tiga
tataran, yaitu tataran nilai yang dianut, tataran praktik keseharian, dan
symbol-simbol budaya:
1.
Dalam tataran nilai yang dianut perlu dirumuskan secara
bersama nilai-nilai agama yang disepakati dan perlu di kembangkan di Sekolah,
untuk selanjutnya dibangun komitmen dan loyalitas bersama diantara semua warga
sekolah terhadap nilai-nilai yang disepakati. Seperti hubungan manusia atau
warga sekolah dengan Allah (hubungan vertical) dan yang horizontal berwujud
hubungan manusia atau warga sekolah dengan sesamanya, dan hubungan mereka
dengan lingkungan dan alam sekitarnya.
2.
Dalam tataran praktik keseharian, nilai-nilai keagamaan
yang disepakati tersebut diwujudkan dalam bentuk sikap dan prilaku keseharian
oleh warga sekolah. Proses pengembangan tersebut dapat dilakukan dengan tiga
cara, Pertama, sosialisasi nilai-nilai agama yang disepakati sebagai sikap dan
prilaku ideal yang ingin dicapai pada masa mendatang di sekolah. Kedua,
penetapan action plan mingguan atau bulanan sebagai tahanan dan langkah
sistematis yang akan dilakukan oleh semua warga disekolah dalam melaksanakan
nilai-nialai agama yang telah disepakati tersebut. Ketiga, Pemberian
penghargaan terhadap prestasi warga sekolah, seperti guru, tenaga kependidikan,
dan peserta didik sebagai usaha pembiasaan (habit formation) yang
menjunjung sikap dan prilaku komitmen dan loyal terhadap ajaran dan nilai-nilai
agama yang disepakati.
3.
Dalam tataran simbol-simbol budaya, Pengembangan yang perlu
dilakukan adalah mengganti symbol-simbol budaya yang kurang sejalan dengan
ajaran dan nilai-nilai agama dengan symbol budaya yang agamis. Perubahan symbol
dapat dilakukan dengan mengubah model berpakaian dengan prinsip menutup aurat,
pemasangan hasil karya peserta didik, fotofoto dan moto yang mengandung
pesan-pesan nilai-nilai keagamaan dan lain-lain.[25]
Selanjutnya
Muhaimin menjelaskan bahwa strategi untuk membudayakan nilai-nilai agama di
madrasah dapat dilakukan melalui : (1) Power strategi, yakni strategi
pembudayaan agama di madrasah dengan cara menggunakan kekuasaan atau melalui
people’s power, dalam hal ini peran kepala madrasah dengan segala kekuasaannya
sangat dominan dalam melakukan perubahan; (2) persuasive
strategy, yang dijalankan lewat pembentukan opini dan pandangan masyarakat warga madrasah; dan (3) normative re-educative. Artinya norma yang berlaku di masyarakat termasyarakatkan lewat education, dan mengganti paradigm berpikir masyarakat madrasah yang lama dengan yang baru. Pada strategi pertama tersebut dikembangkan melalui pendekatan perintah dan larangan atau reward dan
punishment. Sedangkan strategi kedua dan ketiga tersebut dikembangkan melalui pembiasaan, keteladanan, dan pendekatan persuasif atau mengajak pada warganya dengan cara yang halus, dengan memberikan alasan dan prospek baikyang bisa menyakinkan mereka.[26]
strategy, yang dijalankan lewat pembentukan opini dan pandangan masyarakat warga madrasah; dan (3) normative re-educative. Artinya norma yang berlaku di masyarakat termasyarakatkan lewat education, dan mengganti paradigm berpikir masyarakat madrasah yang lama dengan yang baru. Pada strategi pertama tersebut dikembangkan melalui pendekatan perintah dan larangan atau reward dan
punishment. Sedangkan strategi kedua dan ketiga tersebut dikembangkan melalui pembiasaan, keteladanan, dan pendekatan persuasif atau mengajak pada warganya dengan cara yang halus, dengan memberikan alasan dan prospek baikyang bisa menyakinkan mereka.[26]
Strategi
–strategi tersebut bisa terlaksana dengan baik manakala ada sebuah kerjasama
yang baik antara semua warga sekolah, baik kepala sekolah sebagai manajer,
guru, karyawan dan siswa.Sehingga lingkungan religius lebih mudah diciptakan.
Nuansa religius di sekolah akan sangat sulit di ciptakan manakala kewajiban
untuk melaksanakan nilai-nilai agama hanya diwajibkan pada semua siswa. Hal ini
akan berdampak pada pembisaan siswa dimana dalam menjalankan nilai-nilai
religius di sekolah hanya pada tataran menunaikan kewajiban saja bukan pada
proses kesadaran. Akibatnya nilai-nilai agama yang menjadi sebuah pembiasaan di
sekolah tidak mampu membentuk karakter siswa di luar sekolah.
Kepala sekolah dan guru perlu
membuat sebuah standar pelaksanaan dan tahapan penerapan budaya religius di
sekolah. Sehingga keberhasilan pengembangan budaya religius bisa dievaluasi.
Muhaimin, memberikan contoh standart dan tahapan yang berkelanjutan dalam
pengembangan budaya religius seperti misalnya; a) dilaksanakan sholat berjamaah
dengan tertib dan disiplin di masjid madrasah, b) tidak terlibat dalam
perkelahian antar-peserta didik, c) sopan santun berbicara antara peserta
didik, peserta didik dengan guru dan tenaga kependidikan, antara guru dengan
guru, anatara guru dan tenaga kependidikan dan lainnya, d) cara berpakaian
peserta didik dan guru yang islami, e) cara pergaulan peserta didik dan guru
sesuai dengan norma islam, terciptanya budaya senyum, salam dan sapa dan lain
sebagainya.[27]
Menurut Muhaimin, agar pendidikan
agama Islam di sekolah dapat membentuk peserta didik yang memiliki iman, takwa,
dan akhlak mulia, maka proses pembelajaran pendidikan agama harus menyentuh
tiga aspek secara terpadu. Tiga aspek yang dimaksud adalah: (1) knowing,
yakni agar peserta didik dapat mengetahui dan memahami ajaran dan nilai-nilai
agama; (2) doing, yakni agar peserta didik dapat mempraktikkan ajaran dan
nilai-nilai agama; dan (3)
being, yakni agar peserta didik dapat menjalani hidup sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai agama. Ini tentunya tidak hanya mengandalkan pada proses belajarmengajar di dalam atau di luar kelas yang hanya dua jam pelajaran untuk jenjang SMA/K per pekannya. Namun dibutuhkan pembinaan perilaku dan mentalitas being religiousmelalui pembudayaan agama dalam komunitas sekolah, keluarga, dan lingkungan masyarakat di mana para siswa tinggal dan berinteraksi.
being, yakni agar peserta didik dapat menjalani hidup sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai agama. Ini tentunya tidak hanya mengandalkan pada proses belajarmengajar di dalam atau di luar kelas yang hanya dua jam pelajaran untuk jenjang SMA/K per pekannya. Namun dibutuhkan pembinaan perilaku dan mentalitas being religiousmelalui pembudayaan agama dalam komunitas sekolah, keluarga, dan lingkungan masyarakat di mana para siswa tinggal dan berinteraksi.
Keberagamaan atau religiusitas
seseorang diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupannya. Aktifitas beragama bukan
hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah),tetapi
juga melakukan aktivitas yang didorong olehkekuatan supranatural. Bukan hanya
berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat oleh mata, tetapi juga
aktivitas yang tidak tampak dan terjadi dalam hati seseorang.
Menurut Nurcholis Madjid, agama
bukanlah sekedar tindakan-tindakan ritual seperti shalat dan membaca do’a.
Agama lebih dari itu, yaitu keseluruhan tingkah laku manusia yang terpuji, yang
dilakukan demi memperoleh ridla atau perkenan Allah.Agama dengan demikian
meliputi keseluruhan tingkah laku manusia dalam hidup ini, yang tingkah laku
itu membentuk keutuhan manusia berbudi luhur atas dasar percaya atau iman
kepada Allah dan tanggung jawab pribadi di hari kemudian.[28]
Dari uraian di atas dapat di
pahami bahwa pengembangan budaya religius di sekolah harus memiliki landasan
yang kokoh baik secara normatif religius maupun konstitusional.Sehingga semua
lembaga pendidikan secara bersama-sama memiliki tujuan untuk mengembangkan
budaya religius di komunitasnya.Oleh Karena itu diperlukan sebuah rancangan dan
tategi yang baik untuk melakukan pengembangan budaya religius dengan tetap
memperhatikan dan mempertimbangkan pendidikan multikultural.
Suasana keagamaan di lingkungan
sekolah dengan berbagai bentuknya, sangat penting bagi proses penanaman nilai
agama pada siswa. Proses penanaman nilai agama islam pada siswa disekolah akan
menjadi lebih intensif dengan suasana kehidupan sekolah yang islami, baik yang
nampak dalam kegiatan, sikap maupun prilaku , pembiasaan, penghayatan, dan
pendalaman.
Budaya sekolah merupakan seluruh
pengamalan psikologis para peserta didik baik yang bersifat sosial, emosional
maupun intelektual yang diserap oleh mereka selama berada dalam lingkungan
sekolah.Respon psikologis keseharian peserta didik terhadap hal-hal seperti
cara-cara guru dan personel sekolah lainnya bersikap dan berperilaku,
implementasi kebijakan sekolah, kondisi dan layanan kantin sekolah, penataan
keindahan, kebersihan dan kenyamanan lingkungan sekolah, semuanya membentuk
budaya sekolah. Semua itu akan merembes pada penghayatan psikologis warga
sekolah termasuk peserta didik, yang pada gilirannya membentuk pola nilai,
sikap, kebiasaan, dan perilaku.
Pelaksanaan pengembangan budaya
religius di sekolah tidak akan berjalan dengan baik jika tanpa dukungan dan
komitmen dari berbagai pihak, di antaranya adalah pemerintah, dalam hal ini
Departemen Agama atau Pemerintah Daerah, kebijakan kepala sekolah, guru
pendidikan agama Islam, guru mata pelajaran umum, pegawai sekolah, komite
sekolah, dukungan siswa (OSIS), lembaga dan ormas, keagamaan serta partisipasi
masyarakat luas. Jika semua elemen ini dapat bersama-sama mendukung dan
terlibatdalam pelaksanaan pengamalan budaya agama di sekolah maka bukan sesuatu
yang mustahil hal ini akan terwujud dan sukses.
Sebagai upaya sistematis
menjalankan pengamalan budaya agama (Islam) di sekolah perlu dilengkapi dengan
sarana pendukung bagi pelaksanaan pengamalan budaya agama (Islam) di sekolah,
di antaranya; musholla atau masjid, sarana pendukung ibadah (seperti: tempat
wudhu, kamar mandi, sarung, mukena, mimbar, dsb.), alat peraga praktik ibadah,
perpustakaan yang memadai, aula atau ruang pertemuan, ruang kelas sebagai
tempat belajar yang nyaman dan memadai, alat dan peralatan seni Islami, ruang
multimedia, laboratorium komputer, internet serta laboratorium PAI.
F.
Penutup
1.
Pengembangan budaya religius di sekolah sesungguhnya adalah
pembudayaan atau pembiasaan nilai-nilai pendidikan agama Islam dalam kehidupan
di sekolah.
2.
Dalam penerapannya pengembangan budaya religius tidak hanya
dilaksanakan di madrasah atau di sekolah yang bernuansa islami tetapi juga di
sekolah-sekolah umum. Hal ini sangat penting karena pelaksanaan pendidikan
agama Islam di butuhkan pembiasaan atau praktek-praktek agama yang
menghubungkan manusia dengan Tuhannya. Dari proses pembiasaan itulah akan
membentuk pendidikan Tauhid pada diri anak,
3.
Agar pengembangan budaya religius berhasil dengan baik,
diperlukan beberapa strategi antara lain ; memberikan contoh (teladan);
membiasakan halhal yang baik; menegakkan disiplin; memberikan motivasi dan
dorongan
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid & Dian Andayani. 2005. Pendidikan
Agama Islam Berbasis Kompetensi. Bandung: PT. Remaja Rosdyakarya
Madjid, Nurcholis. 2010. Masyarakat Religius
Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan. Jakarta: Paramadina
MS, Ishomuddin. 1996. Spektrum Pendidikan
Islam Retropeksi Visi dan Aksi. Malang: UMM Press
Muchits, Saekhan. 2008. Pembelajaran Kontekstual. Semarang:
Rasail Media Group
Muhaimin. 2006.
Nuansa Baru Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Rajawali Grafindo
Persada
Muhaimin. 2008. Pemikiran
dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam . Jakarta: Rajawali Pers
Muhaimin. 2010. Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Agama Islam; di Sekolah. Madrasah, dan Perguruan Tinggi. Jakarta:
Raja Grafindo Persada
Riberu, J. 2001. Pendidikan Agama dan Tata Nilai, dalam
Sindhunata (Editor), Pendidikan; Kegelisahan Sepanjang Zaman. Yogyakarta:
Kanisius
Sanjaya, Wina. 2009. Strataegi Pembelajaran Berorientasi
Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana
Susilo, M. Joko. 2007. Pembodohan siswa
tersistematis. Yogyakarta: PINUS Book Publiser
Syah, Muhibbin. 2009. Psikologi Belajar. Jakarta: Rajawali
Press
Tafsir, Ahmad. 2004. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Bandung:
Remaja Rosda Karya
Tasmara, Toto. 2002. Membudayakan Etos Kerja Islami.
Jakarta: Gema Insani
Zakiah Darajat, dkk.. 1995. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam. Jakarta:
Bumi Aksara dan Dirjen Binbaga Depag RI
[1] M. Joko Susilo, Pembodohan siswa
tersistematis, (Yogyakarta: PINUS Book Publiser, 2007), h. 4
[2] Saekhan Muchits, Pembelajaran
Kontekstual (Semarang: Rasail Media Group, 2008), h. 3
[3]
KBBI online, diakses pada tanggal 15 April 2017
[4]
KBBI online, diakses pada tanggal 15 April 2017
[5] Endang Saifudin Anshari, Kuliah al-Islam: Pendidikan
Agama Islam di Perguruan Tinggi,(Jakarta: CV. Rajawali, 1989), h. 32
[7] Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja
Islami, (Jakarta: Gema Insani, 2002), h. 161
[8]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Balai Pustaka,1991), h. 149.
[10]Soekarno Indrachfudi, Bagaimana Mengakrabkan
Sekolah dengan Sekolah dengan Orang
Tua dan Masyarakat, (Malang: IKIP Malang, 1994), h. 20.
Tua dan Masyarakat, (Malang: IKIP Malang, 1994), h. 20.
[11] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Agama Islam; di Sekolah. Madrasah, dan Perguruan Tinggi (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2010), h. 23.
[12] J. Riberu, Pendidikan Agama dan Tata
Nilai, dalam Sindhunata (Editor), Pendidikan; Kegelisahan
Sepanjang Zaman (Yogyakarta: Kanisius, 2001), h. 190.
[13] Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi
Pengembangan Pendidikan Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 33
[14] Muhaimin, Arah Baru Pengembangan
Pendidikan Islam Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum Hingga Redifinisi
Islamisasi Pengetahuan (Bandung: 2003), h. 23.
[15] Ishomuddin, MS., Spektrum Pendidikan
Islam Retropeksi Visi dan Aksi (Malang: UMM Press. 1996), h. 181.
[16]Djamaluddin Ancok, Psikologi Islami, Solusi
Islam atas Problem-problem Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995),
h. 76.
[17] Abdul Majid & Dian Andayani, Pendidikan
Agama Islam Berbasis Kompetensi, (Bandung: PT. Remaja Rosdyakarya, 2005),
h. 135.
[18] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum PAI
di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi, (Jakarta: PT. Rajawali Grafindo Persada,
2006), h. 133.
[19] Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam,
(Jakarta: PT. Rajawali Grafindo
Persada, 2006), h. 133-136
[20] Wina
Sanjaya, Strataegi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan,
(Jakarta: Kencana, Cet. 6, 2009), h. 118.
[21] Zakiah Darajat, dkk., Metodik Khusus
Pengajaran Agama Islam (Jakarta: Bumi Aksaradan Dirjen Binbaga Depag RI,
1995), h. 5
[22] Muhibbin Syah, Psikologi Belaja (Jakarta:
Rajawali Press, 2009), h. 64.
[23] Muhaimin, Pemikiran Dan Aktualisasi…,
hlm. 135-136.
[24] Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran
Agama Islam (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), h. 112.
[25]Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam; Dari
Paradigma Pengembangan,Manajemen kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi
Pembelajaran, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), h. 326
[26] Ibid., hlm. 136.
[27]Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam; Dari
Paradigma Pengembangan, Manajemen kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi
Pembelajaran (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), h. 182.
[28]Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius
Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan, (Jakarta: Paramadina,
2010), h. 93.
No comments:
Post a Comment