HOME

Wednesday, November 15, 2017

PENDEKATAN FEMINIS DALAM KAJIAN ISLAM ASAL USUL DAN GERAKAN DI BARAT DAN DUNIA ISLAM

PENDEKATAN FEMINIS DALAM KAJIAN ISLAM
ASAL USUL DAN GERAKAN DI BARAT DAN DUNIA ISLAM
Astrifidha Rahma Amalia 16771014
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Program Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

A.  Dasar Pemikiran
Dengan pengamatan yang sepintas saja, tanpa harus melalui penelitian dengan seksama, setiap pengamat masalah-masalah perempuan dan keperempuanan melihat bahwa perempuan sepanjang sejarah peradaban manusia hanya memainkan peran sosial-ekonomi apalagi politik yang lebih kecil jika dibandingkan dengan peran laki-laki[1]. Sebaliknya, peran domestik perempuan lebih menonjol baik sebagai istri maupun ibu rumah tangga.
Dalam sebuah esai yang ditulis oleh Aquarini Priyatna P bersama Nori Andriyani dengan judul “Merefleksi Pemikiran Feminis”, mereka mengidentiikasikan bahwa feminisme seringkali disalahtafsirkan: Pertama, sebagai gerakan dari Barat, atau bahkan lebih dari itu diidentifikasi dari Barat. Kedua, atau yang biasanya terus mengikuti kesalahtafsiran pertama adalah bahwa feminisme merupakan gerakan perempuan yang membenci laki-laki, pengikut seks bebas, dan/atau lesbian[2]. Yang merasa perlu dipikirkan adalah penekanan seolah feminisme datang dari Barat.
Doktrin-doktrin dalam agama menyudutkan kaum perempuan berada di bawah laki-laki. Moriz Winternitz pernah mengungkapkan bahwa perempuan selalu menjadi sahabat bagi agama, tetapi umumnya agama bukan sahabat bagi perempuan[3]. Anggapan ini dikuatkan oleh berbagai fakta sejarah yang menunjukkan kaum agamawan sering memposisikan perempuan sebagai “makhluk kedua”, setingkat lebih rendah dari laki-laki sebagai “makhluk utama”. Tahun 586 Masehi misalnya, Dewan Gereja memvonis perempuan sebagai manusia yang tujuan hidupnya hanyalah untuk melayani laki-laki[4]. Kemudian bagaimana dengan Islam?.
Al Qur’an sendiri sebagai pedoman hidup umat Muslim secara normatif telah menegaskan tentang konsep kesetaraan status antara laki-laki dan perempuan. Konsep kesetaraan itu mengisyaratkan dua hal penting[5] yaitu penerimaan martabat kedua jenis kelamin dalam ukuran setara dan pengetahuan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak-hak yang setara[6]. Hal ini membuktikan bahwasannya sang Maha Kuasa itu adil, kedua sifat antara feminis dan maskulin telah ada padaNya namun tidak dibedakan keduanya.
Dari dasar pemikiran yang dipaparkan di atas, maka pemakalah ingin memberikan informasi tentang apa sebenarnya definisi dari feminisme tersebut kemudian bagaimanakah asal-usul gerakan tersebut muncul serta beberapa teori atau pendekatan feminis yang dibuat oleh tokoh-tokohnya dan juga bagaimanakah feminis dalam dunia Islam itu.  
B.       Definisi Feminisme
Feminisme[7] berasal dari bahasa Latin, yaitu femina atau perempuan, sedangkan ism berarti paham. Sejatinya, secara etimologis kata femina yang dalam bahasa Inggris diterjemahlan menjadi feminine artinya adalah memilki sifat-sifat sebagai perempuan. Jadi jika digabungkan dengan kata ism maka berarti hal ihwal tentang perempuan atau paham mengenai perempuan. Dalam perkembangan selanjutnya, kata tersebut digunakan untuk menunjuk suatu teori kesetaraan jenis kelamin (sexual equality). Secara historis, istilah itu muncul pertama kali pada tahun 1895, sejak itu pula feminisme dikenal secara luas[8].
Feminisme yang memilki artian femina mempersepsikan tentang ketimpangan posisi perempuan dibanding laki-laki di dalam masyarakat. Akibatnya, timbul berbagai upaya untuk mengkaji penyebab ketimpangan tersebut untuk mengeliminasi dan menemukan formula penyetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam segala bidang, sesuai dengan potensi mereka sebagai human being[9].
Disebutkan dalam Ensiklopedia Feminisme karangan Maggie Humm bahwa feminisme bagi para penulis seperti Helene Cixous dan Monique Wittig adalah representasi tuntutan egalitarianism dari Borjuis[10]. Maggie Humm juga menyebutkan bahwa feminisme merupakan ideologi pembebasan perempuan karena yang melekat dalam semua pendekatannya adalah keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan disebabkan jenis kelamin yang dimilkinya.
Pemikiran Bhasin dan Nighat[11] akan feminisme memiliki alasan yang kuat, sebab keduanya menyaksikan banyak perempuan tertindas dalam berbagai hal dalam masyarakatnya sejak berabad-abad. Sebagian dari perempuan mengalami langsung penindasan terhadap dirinya, mungkin oleh tradisi yang mengutamakan laki-laki, mungkin sikap egois dan sikap macho laki-laki, mungkin oleh pandangan bahwa perempuan adalah objek seks. Sehingga kesemua kemungkinan tersebut telah melahirkan penindasan terhadap perempuan.
Dengan demikian hakikat feminisme adalah kesadaran terhadap adanya diskriminasi, ketidakadilan, dan subordinasi perempuan, dilanjutkan dengan sebuah upaya untuk merubah keadaan tersebut menuju suatu sistem masyarakat yang lebih adil. Untuk menjadi seorang feminis tidak harus berjenis kelamin perempuan. Seorang laki-laki pun dapat menjadi tokoh feminis[12] asal memiliki concern dan kesadaran untuk mengubah ketidakadilan dan penindasan terhadap perempuan, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Sehingga, perhatian utama gerakan feminisme adalah terciptanya justice, equality dalam sistem dan struktur masyarakat[13].
Feminisme dalam pembahasan ini, mengikuti kerangka Sue Morgan[14] yaitu suatu pendekatan yang hendak melakukan dekonstruksi terhadap sistem sosial yang merugikan posisi perempuan karena jenis kelaminnya. Agama sebagai sumber sistem sosial tidak lepas dari perhatian para feminis. Pendekatan feminis dalam studi agama tidak lain merupakan transformasi kritis dari perspektif teoritis yang ada dengan menggunakan gender sebagai kategori analisis utamanya. Pendekatan ini menentang pelanggengan historis terhadap ketidakadilan dalam agama, praktik-praktik eksklusioner yang melegitimasi superioritas laki-laki dalam bidang sosial. Aspek transformatif yang meletakkan kembali simbol-simbol sentral, teks, dan ritual-ritual tradisi keagamaan secara lebih tepat untuk memasukkan dan mengkokohkan pengalaman perempuan yang diabaikan[15] dan kemudian mengalami perkembangan sepanjang zaman.
C.   Sejarah Asal-Usul Gerakan Feminisme dan Teori Feminis Barat
Secara historis, gerakan feminisme di Barat muncul sebagai reaksi atas ketimpangan dan ketidakadilan yang dihasilkan oleh suatu tatanan sosial yang patriarkis[16]. Aksi 1960-an dan awal 1970-an menjadi saksi meningkatnya aktivisme kaum kiri yang bersemangat di seluruh dunia Barat. Inilah konteks kemunculan Gerakan Pembebasan Perempuan, bersamaan dengan gerakan-gerakan lain seperti Gay Liberation dan Black Power[17]. Secara umum kelahiran feminisme dibagi menjadi tiga gelombang yang mengangkat isu yang berbeda-beda.
Gelompang pertama, ditandai dengan publikasi Mary Wollstonecraft yang berjudul “Vindication of the Rights of Women” tahun 1972. Wollstonecraft mendeskripsikan bahwa kerusakan psikologis dan ekonomi yang dialami perempuan disebabkan oleh ketergantungan perempuan secara ekonomi kepada laki-laki dan peminggiran perempuan dari ruang publik. Ada dua tokoh lainnya seperti Sejourner Truth dan Elizabeth Cady Stanton. Perhatian feminis gelombang pertama adalah memperoleh hak-hak politik dan kesempatan ekonomi yang setara bagi kaum perempuan. Feminis berargumentasi bahwa perempuan memiliki kapasitas rasio yang sama dengan laki-laki. Aksi politik feminis yang dimotori oleh kaum feminis liberal telah membawa perubahan pada kondisi perempuan saat itu. Perempuan berhasil mendapatkan hak pilihnya dalam pemilu pada tahun 1920, dan bukan hanya itu, kaum feminis berhasil memenangkan hak kepemilikan perempuan, kebebasan reproduksi yang lebih dan akses yang lebih besar dalam bidang pendidikan dan profesional[18].


-       Teori-Teori Feminis Gelombang Pertama
1.    Feminisme Liberal
Asumsi dasar feminisme liberal[19] adalah kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Dalam rangka memperjuangkan persoalan masyarakat, menurut kerangka kerja feminis liberal tertuju pada kesempatan yang sama dan hak yang sama bagi setiap individu, termasuk di dalamnya kaum perempuan. Kesempatan dan hak yang sama atara laki-laki dan perempuan ini penting, sehingga tidak perlu pembedaan kesempatan[20]. Tokoh-tokoh feminisme liberal antara lain: Mary Wollstonecraft: Vindication Rights of The women (1779), John Stuart Mill & Harriet Taylor: Early Essay on Marriage and Divorce (1832), Enfranchisement of Women (1851), Betty Freidan: The Feminine Mistique (1974), The Second Stage (1981).
2.    Feminisme Radikal
Teori feminisme radikal[21] ini muncul karena seksisme atau diskriminasi sosial berdasarkan jenis kelamin. Feminisme radikal berkembang pesat pada tahun 1960-an dan 1970-an di Amerika Serikat. Teori ini disebut radikal karena memfokuskan pada akar dominansi laki-laki dan klaim bahwa semua bentuk penindasan adalah perpanjangan dari supremasi laki-laki dan ideologi patriarki[22]. Tokoh-tokohnya adalah Kate Millet: Sexual Politics (1970); The Dialectic of Sex (1970), Marilyn French: Beyond Power (1985), Mary Daly: Beyond God the Father Toward a Philosophy of Women’s Liberation (1973), Ann Koedt: The Myth of The Virginal Orgasm (1970).

3.    Feminisme Marxism
Feminisme Marxism[23] memandang bahwa penindasan perempuan tidak dikarenakan ideologi patriarki, melainkan sebagai akibat dari struktur sosial, politik, dan ekonomi yang erat kaitannya dengan sistem kapitalism. Aliran ini mengembangkan teori matrealisme Karl Marx artinya perempuan harus masuk ke dalam sektor publik yang dapat menghasilkan nilai ekonomi, sehingga konsep pekerjaan domestik perempuan tidak ada lagi[24]. Tokohnya adalah Frederich Engles: The Origin of The Family, Private Property and The State (1845), Margareth Benston: The Political Economy of Women’s Liberation (1960), Mararosa Dalla Costa & Selma James: The Power of Women and the Subeverion of Community (1972).
Gelombang feminis kedua, pada tahun 1949 ditandai dengan munculnya publikasi dari Simone de Beauvoir’s, The Second Sex. Beauvior berargumnetasi bahwa perbedaan gender bukan berakar dari biologi, tetapi memang sengaja diciptakan untuk memperkuat penindasan terhadap kaum perempuan. Bagi feminis gelombang kedua, kesetaraan politik dan hukum tidak cukup untuk mengakhiri penindasan terhadap kaum perempuan. Mereka berpendapat bahwa feminisme harus mendapatkan kesetaraan ekonomi secara penuh bagi perempuan dan bukan hanya sebatas untuk bertahan secara ekonomi. Feminis gelombang kedua juga mulai menggugat institusi pernikahan, motherhood, hubungan lawan jenis (heterosexual relationship), seksualitas perempuan dan lain-lain. Mereka berjuang keras untuk merubah secara radikal setiap aspek dari kehidupan pribadi dan politik[25].  
-       Teori-Teori Feminisme Gelombang Kedua
1.    Feminisme Psikoanalisa[26]
Feminisme yang berkaitan erat dengan analisis mengenai struktur pikiran (psyche) dan hubungannya dengan tubuh, serta menggunakan analisis tersebut sebagai dasar menangani beberapa jenis penyakit tertentu[27]. Isu-isu feminis psikoanalisa meliputi drama psikoseksual Oedipus, egosentrisme laki-laki yang menganngap perempuan menderita “penis envy”, dual parenting, dan feminisme gender-etika perempuan. Tokohnya adalah Ernet Jones (1950), Karen Horney (1973).

2.    Feminisme Eksistensialisme
Feminisme yang menekankan pada kebebasan, pilihan bebas, etre en soi dan etre pour soi, kesadaran reflektif dan nonreflektif. Kebebasan yang ditekankan berawal dari pemikiran bahwa pada hakikatnya, manusia adalah bebas sebebas-bebasnya, bahkan manusia adalah kebebasan itu sendiri.[28] Tokoh yang ternama adalah Simon de Beauvoir: The Second Sex (1949). 
Gelombang ketiga, dimulai pada tahun 1980 oleh feminis yang menginginkan keragaman (women’s diversity) atau keragaman secara umum. Sebagai contoh, perempuan kulit bewarna dipertahankan ketika dahulu pengalaman, kepentingan, dan perhatian mereka tidak terwakili oleh feminis gelombang kedua yang didominasi oleh wanita kulit putih kelas menengah. Sebagai contoh, ketertindasan perempuan kulit putih kelas menengah berbeda secara signifikan dengan penindasan yang dialami oleh kulit hitam Amerika. Ketertindasan kaum perempuan heterosexual berbeda dengan ketertindasan yang dialami kaum lesbi dan sebagainya[29].
Teori-teori yang muncul pada feminis gelombang ketiga misalnya feminisme postmodern[30] yang menolak pemikiran phalogosentris yaitu ide-ide yang dikuasai oleh logos absolut (laki-laki). Tokohnya: Helene Cixious, Julia Cristeva, dan Linda Nicholsin. Ada juga feminisme multikultural yang sejalan dengan filsafat postmodern tetapi lebih menekankan kajian kultural. Tokoh-tokohnya antara lain: Audre Lorde: Age, Race, Class, and Sex: Women Redefining Diffrence (1995), Alice Walker: Coming Apart (1991), Angela Y Davis: Women, Race, and Class (1981) dan masih banyak lagi yang lain.  
Dari uraian di atas, dapat ditarik pelajaran bahwa feminisme sebagai sebuah gerakan bersamaan dengan teori-teorinya, mengisnpirasi kelahiran feminisme sebagai pendekatan dalam memahami teks-teks keislaman.
D.  Feminisme dalam Studi Islam
Feminisme sebagai sebuah pendekatan untuk mengkaji teks-teks keislaman dalam kerangka kerjanya selalu menggunakan analisis gender sebagai alat untuk mempertajam pandangan mereka. Ini dikarenakan feminisme dan agama keduanya sangat signifikan bagi kehidupan perempuan dan kehidupan kontemporer pada umumnya. Tujuan utama dari tugas feminis adalah mengidentifikasi sejauh mana terhadap persesuaian antara pandangan feminis dan pandangan keagamaan terhadap diri, dan bagaimana menjalin interaksi yang paling menguntungkan antara yang satu dengan yang lain[31].
Secara historis, konsep feminisme yang marak di Barat menjadi model bagi pembebasan perempuan di banyak negara berpenduduk Muslim. Bermula dari para intelektual Mesir yang belajar ke Eropa, wacana feminisme yang marak di Eropa diadopsi oleh mereka setelah pulang dari Eropa untuk kemudian dikembangkan dengan apa yang dikenal dengan istilah “Tahrir al-Mar’ah[32] (pembebasan perempuan).
Gerakan feminisme Islam[33] (tahrir al-Mar’ah) dalam sejarah Islam sendiri, berlangsung dalam beberapa cara[34], yaitu: Pertama, melalui pemberdayaan terhadp kaum perempuan melalui pemebentukan pusat studi. Kedua, melalui buku-buku yang ditulis beragam tema seperti fiqh pemeberdayaan. Ketiga, melalui kajian historis tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam sejarah masyarakat Islam. Keempat, melalui kajian-kajian kritis terhadap teks-teks keagamaan baik Al Qur’an maupun Hadis yang secara literal menampakkan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan misalnya dengan melakukan penafsiran ulang dengan pendekatan hermeneutik[35].
Dalam the Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, Margot Badran menyebutkan bahwa kesadaran akan ketidakadilan gender yang dialami kaum perempuan pada akhir abad ke-20 telah mulai terlihat alam karya tulis penulis Muslimah baik dalam bentuk puisi, cerita pendek, novel, essai, artikel, dan buku. Beberapa tokoh yang terkenal misalnya adalah ‘Aisyah Taimuriyah, Huda Sya’rawi, termasuk di dalamnya Raden Ajeng Kartini.
Kemudian paruh kedua abad ke-20, para feminis Muslimah mulai menulis tentang peran gender dan hubungannya dengan keluarga dan masyarakat, dalam tema-tema yang menyangkut kekerasan seksual terhadap perempuan, eksploitasi perempuan, sampai pada sistem patriarkhi itu sendiri. Mereka menuliskan pemikiran dan pandangan mereka dalam bentuk novel, esai, artikel, buku dan karya yang lain. Tokoh-tokoh yang muncul seperti Fatimah Mernissi dari Maroko, Lathiffah az-Zayat dari Mesir, Assia Djebar dari Aljazair, Amina Wadud Muhsin[36] dari Malaysia, dan tidak ketinggalan seorang feminis Muslim laki-laki dari India yaitu Asghar Ali Engineer[37], begitu juga dengan feminis asal Jepang, Sachiko Murata yang mengkaji feminis dalam konsep kosmologi dan teologi.
Menurut Mustaqim, berikut ini merupakan faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya pendekatan feminisme dalam kajian agama Islam antara lain[38]:  1) Faktor Internal, kaum feminis muslim berpendapat bahwa pada dasarnya agama Islam itu menegaskan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Meski, misalnya Al Qur’an menggunakan bahasa ungkapan yang secara literal seakan menunjuk pada struktur yang hirarkis namun secara moral ia justru ingin menghilangkan subordinasi yang dialami oleh perempuan pada masa-masa pra Islam. Dengan demikian, sesungguhnya ungkapan Al Qur’an adalah ungkapan yang sarat dengan upaya pembebasan, termasuk dalam hal ini adalah pembebasan perempuan dari dominasi dan eksploitasi kaum laki-laki dengan menggunakan prinsip-prinsip keadilan.
Faktor selanjutnya yaitu faktor eksternal yang terdiri dari: realitas sosial, persentuhan dengan peradaban Barat, perkembangan global, dan gagasan tentang HAM. Realitas sosial, menunjukkan bahwa kaum feminis rata-rata hidup dalam lingkungan yang sangat patriarkis dan mereka menyadari bahwa ada pola budaya dan relasi yang ternyata sangat tidak menguntungkan perempuan. Kesadaran tentang hal ini berpengaruh dalam membentuk wacana feminisme dalam mengkaji teks-teks agamanya.
Begitu juga halnya dengan persentuhan dengan peradaban Barat yang berperan dalam membentuk pemikiran feminisme. Tokoh-tokoh feminisme seperti Riffat Hassan, Mernissi, maupun Engineer memiliki basis ilmu-ilmu sosial, ilmu yang notabene berasal dari Barat, selain ilmu-ilmu keagamaan yang mempengaruhi pandangan hidup mereka. Kemampuan mereka memahami ilmu-ilmu sosial yang digunakan untuk memahami gejala-gejala keagamaan yang sejauh ini hanya didasarkan pada ilmu-ilmu agama. Mereka tampaknya menyadari bahwa ilmu sosial yang berasal dari Barat itu sangat penting untuk memahami dan ataupun mengkritik gejala yang ada dalam dunia Islam.
Globalisasi juga berpengaruh memaksa kaum muslim untuk merumuskan kembali berbagai pemikiran keislaman. Teknologi informasi yang berkembang demikian pesat akhir-akhir ini telah menyebabkan terjadinya perubahan yang demikian kompleks dalam kehidupan umat Islam. Faktor lainnya yang juga mempengaruhi munculnya pemikir feminis dalam Islam adalah serangan dunia Barat terhadap Islam yang menuding bahwa Islam tidak menghargai hak-hak kaum perempuan. Serangan Barat kepada Islam dan tuntutan dunia modern untuk melaksanakan hak-hak asasi manusia (HAM) secara menyeluruh ini agaknya menyadarkan pemikir-pemikir muslim untuk merumuskan kembali ajaran Islam yang secara moral ternyata sangat membela ide-ide egalitarianisme dna kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Sebenarnya, tujuan para feminis adalah senada yakni untuk memperoleh pemahaman atas teks-teks keislaman yang adil secara gender, namun ternyata mereka dapat digolongkan dalam kelompok yang berbeda berdasarkan corak pemikiran mereka. Ghazala Anwar menggolongkan pemahaman feminis terhadap teks-teks keislaman kepada lima macam, yaitu: feminis apologis, feminis transformis, feminis rejeksionis, dan feminis rasionalis [39].
1.    Feminisme Apologis
Feminisme apologis ini meyakini bahwa Islam sebagaimana tersirat dalam Al Qur’an dan Hadis telah memberikan semua hak yang diperlukan oleh kedua jenis kelamin, laki-laki dan perempaun bagi kesejahteraan dan pemenuhan pribadi masing-masing. Keyakinan ini memunculkan dua perbedaan. Pertama, ada perbedaan yang tidak bisa dipungkiri antara kebutuhan dan keinginan laki-laki dengan kebutuhan dan keinginan perempuan, yang dipahami dan dilayani oleh ayat-ayat dalam Al Qur’an. Kedua, praktik umum dalam berbagai komunitas muslim menyalahi atau tidak memenuhi seluruh hak bagi perempuan sebagaimana telah tersurat dalam teks-teks otoritatif (Al Qur’an dan Hadis). Penekanan mereka bukan pada upaya untuk menafsirkan kembali ayat-ayat al Qur’an agar berdampak kepada dua jenis kelamin, namun dengan mendidik perempuan tentang makna dan tafsiran teks-teks tersebut.

2.    Feminis Reformis
Persoalan utama feminis reformis adalah adanya perbedaan antara teks-teks otoritatif dengan tafsiran-tafsiran tentangnya, bukan perbedaan antara teks-teks otoritatif dengan praktik budaya sebagaimana diyakini feminis apologis. Bagi feminis reformis, teks-teks Al Qur’an telah disalahpahami secara tidak memadai atau disalahtafsirkan. Sebagaimana para apologis, para reformis juga menggunakan argumen-argumen filologis dan kontekstual untuk menafsirkan kembali ayat-ayat Al Qur’an, namun mereka lebih sadar akan kebutuhan untuk menafsirkan kembali sekaligus sadar akan keterlibatan diri mereka dalam kegiatan semacam itu.
3.    Feminis Transformasionis
Feminis ini bertujuan untuk mentransformasikan tradisi dengan tetap menggunakan metodologi hermeneutik klasik yang telah akrab dalam wacan Islam tradisional. Dasar hermeneutik feminis trasformasionis ini sudah dikenal dalam wacana Islam klasik, namun dirumuskan dengan rumusan-rumusan baru dan berbeda sama sekali dengan rumusan yang ada dalam wacana Islam klasik. Misalnya pengkategorian teks-teks Al Qur’an menjadi muhkamat dan mutasyabihat. Dalam wacana Islam tradisional, suatu teks disebut muhkamat apabila maknanya sudah jelas dan tegas secara literal, yang tidak memerlukan penafsiran ulang. Sementara teks-teks Al Qur’an disebut mutasyabihat jika maknanya masih samar, tidak jelas, ambigu, dan seterusnya.
4.    Feminisme Rejeksionis
Berbeda dengan aliran feminisme yang lain, aliran feminisme ini menganggap bahwa memang terdapat teks-teks dalam Al Qur’an dan Hadis dalam kaitannya dengan masalah perempuan yang misoginis, seksis, dan deiskriminatif. Tilik rujukan mereka adalah pengalaman perempuan. Oleh karena itu, argumen apapun di luar itu darimanapun sumbernya yang mendukung diskriminasi terhadap perempuan akan ditolak. Tasleema Nasreen dari Bangladesh adalah contoh pengikut aliran feminis rejeksionis ini. Nasreen mengemukakan perlunya merevisi atau bahkan menolak sebagian teks Al Qur’an yang dianggap misoginis atau seksis tersebut.
5.    Feminis Rasionalis
Amina Wadud dan Riffat Hassan adalah seorang feminis yang tergolong dalam klasifikasi feminis rasionalis. Pandangan yang berarti menerapkan kriteria keadilan kepada Al Qur’an daripada hanya sekedar menerima begitu saja bahwa Al Qur’an pastilah adil. Atau, ia hanya mengambil padnangan tentang keadilan yang dikemabangkan dalam sebagian ayat-ayat Al Qur’an serta menggunakannya untuk menilai ayat-ayat lain yang tampaknya mengguncangkan pandangan tentang keadilan tersebut[40]. Berikut telah dipaparkan tentang pendekatan feminis sesuai dengan konteks historinya. Pendekatan-pendekatan feminis tersebut dalam memahami Islam yang berkaitan dengan teks Al Qur’an atau lainnya akan senantiasa berkembang seiring perkembangan para intelektual yang ingin secara khusus mengkajinya.

E.  Memahami Teks-Teks Keislaman dalam Kajian Kaum Feminis
Beberapa permasalahan yang dibahas oleh pendekatan feminis dalam memahami teks-teks Al Qur’an diantaranya sebagai berikut[41] :
1.    Konsep Penciptaan Manusia
Dalam diskursus feminisme, konsep penciptaan perempuan adalah isu yang sangat dan mendasar dibicarakan terlebih dahulu, karena konsep kesetaraan atau ketiaksetaraan laki-laki dan perempuan berakar dari konsep penciptaan perempuan ini.
Dalam tradisi Islam dikenal dan diyakini empat macam cara penciptaan manusia yaitu: 1) Diciptakan dari tanah (penciptaan Nabi Adam a.s dalam Q.S Fathir: 11, Ash Shaffat:11, dan Al Hijr :26; 2)Diciptakan dari tulang rusuk Adam (penciptaan Hawa) dalam Q.S An Nisa: 1, Al A’raf: 189, dan Az Zumar:6 ; 3) Diciptakan melalui seorang ibu dengan proses kehamilan tanpa ayah (penciptaan Nabi Isa a.s) dalam Q.S Maryam: 19-22; dan 4) Diciptakan melalui kehamilan dengan adanya ayah secara biologis (penciptaan manusia selain Adam, Hawa, dan Isa) dalam Q.S Al Mukminun: 12-14.
Berbeda dari ketiga macam cara penciptaan yang lain, ayat-ayat tentang penciptaan Hawa tidak menyebutkan secara jelas dan terperinci mekanisme penciptaan Hawa. Dalam ketiga ayat tersebut hanya disebutkan bahwa “dari padanya (nafs wahidah-Adam), Dia menciptakan istrinya “zaujaha-Hawa”. Redaksi ini sangat potensial untuk ditafsirkan secara kontroversial.
Para mufassir pada umumnya seperti az-Zamakhshari, Al-Alusi dan Said Hawwa sepakat menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan nafs wahidah dalam Q.S An Nisa: 1 adalah Adam dan zawjaha adalah istrinya (Hawa). Argumen yang mereka kemukakan: 1) Berdasar ayat, min  yang terdapat dalam kalimat wa khalaqa minha zaujaha adalah min tab’idhiyah yang dengan demikian berarti Hawa diciptakan dari sebagian Adam; 2) Berdasar hadis Rasulullah SAW. riwayat Bukhari dan Muslim, yang menyebutkan secara eksplisit penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam.
Pemahaman Amina Wadud Muhsin terhadap QS An Nisa: 1 tidak secara tegas menyebutkan penolakannya bahwa yang dimaksud nafs di sini adalah Adam mengingat minimnya penjelasan Al Qur’an tentang ini. Menurutnya, kata nafs secara gramatikal adalah feminin, namun secara konseptual nafs tidak feminin maupun maskulin. Ia juga mengungkapkan bahwa menurut kisah al-Qur’an tentang penciptaan, Allah tidak pernah berencana memulai penciptaan manusia dengan seorang laki-laki; Dia juga tidak pernah merujukkan asal-muasal manusia pada Adam. Dengan demikian, secara teknis kata nafs dalam Al Qur’an merujuk pada asal semua manusia secara umum. Meskipun manusia berkembangbiak di muka bumi dan membentuk bermacam-macam negara, suku, dan bangsa yang berlainan bahasa dan warna kulit, namun mereka semua berasal dari sumber yang sama.
Mengenai teknis penciptaan Hawa, Amina tidak mengemukakan pendapatnya secara tegas, apakah Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam seperti pendapat para mufassir, atau diciptakan sendiri secara terpisah dengan cara yang sama dengan penciptaan Adam. Dia hanya menjelaskan bahwa kata min dalam bahasa Arab. Pertama, dapat digunakan sebagai preposisi (kata depan) “dari” untuk menunjukkan makna mencarikan sesuatu dari sesuatu yang lainnya. Kedua, dapat digunakan untuk menyatakan sama macam atau jenisnya. Bila min pada kalimat minha dalam Q.S. An Nisa: 1 digunakan fungsinya yang pertama (preposisi) maka maknanya Hawa diciptakan dari Adam (seperti umumnya pendapat mufassir), sebaliknya jika digunakan fungsi min yang kedua maka maknanya Hawa diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam. Penggunaan min yang terakhir ini dapat dilihat contohnya pada Q.S. Ar-Rûm: 21 misalnya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri (min anfusikum) supaya kamu tenteram”. Meski demikian, Amina terkesan tidak menyukai kemungkinan pertama, sekalipun tidak secara tegas memilih yang kedua.
2.    Konsep Kepemimpinan Rumah Tangga
Kepemimpinan rumah tangga menurut para mufassir klasik dengan berdasar pada Q.S An Nisa: 34 ditafsirkan sebagai kepemimpinan suami atas istri. Menurut feminis, paham yang menempatkan suami sebagai pemimpin rumah tangga tidak sejalan, bahkan bertentangan dengan ide utama feminisme yaitu kesetaraan laki-laki dan perempuan. Karenanya, para feminis muslim seperti Asghar Ali Engineer, Amina Wadud, dan Riffat Hassan telah berupaya untuk melakukan penafsiran kembali terhadap ayat tersebut, tentu saja setelah membongkar penafsiran lama yang dinilai bias gender. Para ulama memaknai kata dalam Q.S. An-Nisa: 34 tersebut sebagai pemimpin. Al Qur’an mengemukakan dua alasan kenapa suami yang menjadi pemimpin. Pertama, karena kelebihan yang diberikan Allah kepada mereka. Kedua, karena kewajiban mereka memberi nafkah keluarga. Meski demikian, para ulama masih berselisih pendapat mengenai maksud “kelebihan”, apakah yang dimaksud kelebihan fisik, intelektual atau agama, atau semuanya sekaligus.
Menurut Asghar, Q.S. An Nisa: 34 tidak boleh dipahami lepas dari konteks sosial pada waktu ayat itu diturunkan. Menurutnya, struktur sosial pada zaman Nabi tidaklah benar-benar mengakui kesetaraan laki-laki dan perempuan. Orang tidak dapat mengambil pandangan yang semata-mata teologis dalam hal semacam ini. Orang harus menggunakan pandangan sosio-teologis. Bahkan, Al Qur’an pun terdiri dari ajaran yang kontekstual dan juga normatif. Tidak akan ada kitab suci yang bisa efektif, jika mengabaikan konteksnya sama sekali[42].
Asghar membangun pendapatnya itu dengan menggunakan argumen struktur kalimat “ar rijalu qawwamuna ‘alan nisa”. Dalam bukunya, ia berpendapat: Al Qur’an hanya mengatakan bahwa laki-laki adalah qawwam (pemberi nafkah atau pengatur urusan keluarga) dan tidak mengatakan bahwa mereka harus menjadi qawwam. Dapat dilihat bahwa qawwam merupakan sebuah pernyataan kontekstual, bukan normatif. Seandainya Al Qur’an mengatakan bahwa laki-laki harus menjadi qawwam maka hal tersebut akan menjadi sebuah pernyataan normatif, dan pastilah akan mengikat bagi semua perempuan pada semua zaman dan dalam semua keadaan. Tetapi Allah tidak menginginkan hal itu.
Riffat Hasan pun tidak setuju jika qawwamun itu diartikan sebagai pemimpin, penguasa. Ia lebih cenderung mengartikannya dengan pelindung. Pelindung juga terkandung di dalamnya sebagai pencari nafkah atau mereka yang menyediakan sarana pendukung perempuan.

3.    Konsep Warisan 2:1
Mengenai formulasi warisan 2:1, Asghar tidak menilai ketentuan ini bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Menurut Asghar, selain mendapatkan bagian dari warisan, nanti setelah anak perempuan itu kawin, dia akan mendapatkan tambahan harta berupa mas kawin dari suaminya. Padahal disamping itu, dia tidak mempunyai kewajiban apapun untuk menafkahi dirinya sendiri dan anak-anaknya, karena semuanya sudah menjadi tanggung jawab suaminya. Hanya saja Asghar mengkritik penafsiran yang menjadikan ketentuan warisan ini sebagai alasan untuk menganggap anak perempuan lebih rendah nilainya dibanding anak laki-laki. Menurut dia, pandangan seperti ini sangat keliru, karena kesetaraan laki-laki dan perempuan termasuk kategori moral, sementara warisan masuk kategori ekonomi. Pewarisan sangat banyak tergantung kepada struktur sosial dan ekonomi dan fungsi jenis kelamin tertentu di dalam masyarakat.
Menurut Amina, meski pernyataan awal Al Qur’an, dalam Q.S. An Nisa: 11-12 menetapkan bahwa bagian laki-laki sama dengan bagian dua perempuan, namun kajian yang lengkap atas ayat ini menunjukkan variasi pembagian yang proporsional antara laki-laki dan perempuan. Pada kenyataannya, jika hanya ada satu anak perempuan, maka bagiannya adalah setengah harta pusaka. Selain itu, pertimbangan orangtua, saudara kandung, kerabat jauh, maupun anak-cucu dibahas dalam berbagai kombinasi yang berbeda-beda untuk  menunjukkan bahwa bagian perempuan adalah setengah dari bagian laki-laki bukanlah satu-satunya model pembagian harta, melainkan salah satu dari beberapa penetapan proporsional yang bisa dilakukan. Dengan demikian dalam pandangan Amina, pembagian warisan bersifat fleksibel dengan mempertimbangkan naf’un (manfaat) bagi orang-orang yang ditinggalkan. Ia memberikan contoh, jika dalam suatu keluarga yang terdiri atas seorang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan, sedangkan sang ibu yang janda dirawat dan dinafkahi oleh salah seorang anak perempuannya, lantas mengapa anak laki-laki harus menerima bagian yang lebih besar? Mungkin bukan ini keputusannya jika diperhatikan naf’un yang nyata bagi ahli waris tertentu[43]. Dan masih banyak permasalahan lainnya yang dibahas oleh para tokoh menggunakan pendekatan feminis ini.
F.   Kesimpulan
Hakikat feminisme adalah kesadaran terhadap adanya diskriminasi, ketidakadilan, dan subordinasi perempuan, dilanjutkan dengan sebuah upaya untuk merubah keadaan tersebut menuju suatu sistem masyarakat yang lebih adil. Untuk menjadi seorang feminis tidak harus berjenis kelamin perempuan.
Aksi 1960-an dan awal 1970-an menjadi saksi meningkatnya aktivisme kaum kiri yang bersemangat di seluruh dunia Barat. Inilah konteks kemunculan Gerakan Pembebasan Perempuan, bersamaan dengan gerakan-gerakan lain seperti Gay Liberation dan Black Power. Secara umum kelahiran feminisme dibagi menjadi tiga gelombang yang mengangkat isu yang berbeda-beda dan kemudian melahirkan teori-teori feminis, seperti: feminis liberal, feminis radikal, feminis marxism, dan masih banyak lagi yang lain.
Sedangkan feminis di dunia Islam bermula dari para intelektual Mesir yang belajar ke Eropa, wacana feminisme yang marak di Eropa diadopsi oleh mereka setelah pulang dari Eropa untuk kemudian dikembangkan dengan apa yang dikenal dengan istilah “Tahrir al-Mar’ah”. Setelah dalam perkembangannya, melahirkan beberapa feminis Muslim seperti Amina Wadud dan Sachiko Murata yang dibahas pada pertemuan selanjutnya yang mana dianatara tokoh-tokoh feminis itu akan membahas tentang penciptaan manusia, kepemimpinan dalam rumah tangga, dan juga formulasi pembagian warisan 2:1.


[1] Secara historis, telah terjadi dominasi laki-laki dalam semua masyarakat di sepanjang zaman, kecuali dalam masyarakat matriarkhal, yang jumlahnya tidak seberapa. Perempuan dianggap tidak lebih rendah daripada laki-laki. Dari sinilah muncul doktrin ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan tidak cocok memegang kekuasaan ataupun memiliki kemampuan yang dimilki laki-laki dan karena itu dianggap tidak setara dengan laki-laki. Laki-laki harus mendominasi perempuan, menjadi pemimpinnya dan menentukan masa depannya, dengan bertindak baik sebagai ayah, saudara laki-laki, ataupun suami. Dengan dibatasi di rumah dan di dapur, perempuan dianggap tidak mampu mengambil keputusan di luar wilayahnya. Lihat Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terjemahan Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1994), hlm 55
[2] Lihat Aquarini Priyatna Prabasmoro, Kajian Budaya Feminis Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop. (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), hlm.19
[3] Ungkapan Moriz ini dikutip kembali oleh Annimarie Schimmel dalam pengantar buku Sachiko Murata. Lihat Annimarie Schimmel “pengantar” dalam Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dan Teologi Islam), alih bahasa Rahmani Astuti dan M.S Nasrullah, cet.2 (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 15
[4] Lihat Qasim Amin, Sejarah Penindasan Perempuan: Menggugat “Islam Laki-Laki” Menggurat “Perempuan Baru”, alih bahasa Syaiful Alam, cet.1 (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), hlm. 30
[5] Lihat Drs.Yunahar Ilyas, Lc, M.A, Feminisme Dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm.3
[6] Hak-hak yang setara dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik; keduanya harus memilki hak yang setara untuk mengadakan kontrak perkawinan atau memutuskannya; keduanya harus memiliki hak untuk memiliki atau mengatur harta miliknya tanpa campur tangan yang lain; keduanya bebas memilih profesi atau cara hidup; keduanya harus setara dalam tanggung jawab sebagaimana dalam hal kebebasan. Lihat, Asghar Ali Engineer, opcit. hlm 57
[7] Sebelum feminis digunakan sebagai ungkapan umum dalam Bahasa Inggris, kata-kata seperti womanisme, the woman movement, atau woman questions telah digunakan terlebih dahulu. Kata feminist pertama kali ditemukan pada awal abad ke 19 oleh seorang sosialis berkebangsaan Perancis yaitu Charles Fourier. Ide yang diusungnya adalah transformasi perempuan oleh masyarakat berdasarkan saling ketergantungan dan kerjasama bukan pada kompetisi dan mencari keuntungan. Epmikirannya ini mempengaruhi banyak perempuan dan mengombinasikan antara emansipasi pribadi dan emansipasi sosial. Lihat Rowbotham, Sheila, Women in Movement: Feminism and Social Action (Rountledge, New York, 1992), hlm. 11.
[8] Lihat Abdul Mustaqim, Tafsir Feminis versus Tafsir Patriarki, (Yogyakarta: Sabda Persada, 2003), hlm. 16
[9] Lihat Aida Vitalaya S. Hubis, “Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan, (Yogyakarta: Persada, 1997), hlm. 19
[10] Lihat Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), hlm. 156
[11] Menurut Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, feminisme adalah suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dan dalam keluarga, serta tindakan sadar perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. Lihat Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, Persoalan-Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya, alih Bahasa S. Herlinah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995). hlm.5
[12] Tokoh feminis yang berjenis kelamin laki-laki misalnya Asghar Ali Engineer. Lihat Drs.Yunahar Ilyas, Lc, M.A, opcit, hlm.56
[13] Lihat Umma Farida, Teks-Teks Keislaman dalam Kajian Kaum Feminis: Telaah Terhadap Pendekatan Studi Islam dari Kalangan Feminis Muslim.Jurnal PALASTRen: Vol.3 No.2 Desember 2010, hlm 205
[14] Lihat Conolly, Peter. Aneka Pendekatan Studi Agama. (Yogyakarta: LkiS, 1999) hlm. 64
[15] Lihat Umma Farida, opcit., hlm 205
[16] Sejarah feminisme terbagi menjadi dua fase, feminisme lahir bersamaan dengan era pencerahan Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Worlky Montagu dan Marquis de Condarcet yang keduanya adalah anggota perkumpulan perempuan ilmiah. Dari Eropa gerakan ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat setelah Jhon Stuart Mill menerbitkan buku The Subjection of Women. Kemudian gelombang kedua lahir setelah terjadinya perang dunia kedua, dimana lahir negara-negara baru yang terbebas dari penjajahan Eropa dan memberikan hak pemilihan di parlemen. Sebagai gerakan yang telah lama muncul, dalam Ensiklopedia Islam dikatakan bahwa gerakan feminisme telah hadir sejab abad ke 14. Meskipun secara historis feminisme merupakan gerakan yang sudah tua, namun baru pada tahun 1960-an dianggap sebagai tahun lahirnya gerakan feminisme. Karena di tahun-tahun inilah gerakan feminsime dianggap menguat dengan ditandainya kemunculan gerakan feminisme liberal di Amerika. Pada saat itu di Amerika muncul gerakan yang meletakkan feminisme sebagai bagian dari hak-hak sipil dan kebebasan seksual. Lihat Nina Armando dkk, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ictiar Baru Van Hoven, 2005), hlm 159  
[17] Lihat Stevi Jackson dan Jackie Jones, Pengantar Teori-Teori Feminis Kontemporer, (Yogyakarta: Jalasutra, 1998), hlm. 5
[18] Lihat Cudd, Ann E. dan Robin O. Andreasen (Ed). Feminist Theory, A Philosophical Antology, Blackwell Publishing Ltd. Cornwall, 2005. hlm.7
[19] Feminsime liberal memandang diskriminasi wanita yang diperlakukan tidak adil. Wanita seharusnya memiliki kesempatan yang sama dengan pria untuk sukses di dalam masyarakat. Menurut feminisme liberal, keadilan gender dapat dimulai dari diri kita sendiri. Pertama, peraturan untuk permainannya harus adil. Kedua, pastikan tidak ada puhak yang ingin memanfaatkan sekelompok masyarakat lain dan sistem uang dipakainya haruslah sistematis serta tidak ada yang dirugikan. Lihat http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/543/jbptunikompp-gdl-eighwikaku-27140-6-unikom_e-i.pdf Akses 5 Juni 2017 pkl 11:25
[20] Lihat Umma Farida, opcit., hlm 208
[21]Feminisme radikal menganggap sistem patrialinisme terbentuk oleh kekuasaan, dominasi, hirarki dan kompetisi. Namun hal tersebut tidak bisa direformasi dan bahkan pemikirannya harus dirubah. Feminsime radikal fokus pada jenis kelamin, gender, dan reproduksi sebagai tepat untuk mengembangkan pemikiran feminisme mereka. Lihat http:// ://elib.unikom.ac.id/files/disk1/543/jbptunikompp-gdl-eighwikaku-27140-6-unikom_e-i.pdf Akses 5 Juni 2017 pkl 11:25
[22] Ibid. hlm 209
[23] Feminis Marxist dan sosialis menyatakan kalau mustahil bagi siapapun terutama wanita untuk mencapai kebebasan yang sesungguhnya di tengah masyarakat yang menganut sistem berdasarkan kelas, diimana kekayaan diproduksi oleh orang yang tak punya kekuatan yang dikendalikan oleh sedikit orang yang mempunyai kekuatan. Lihat ://elib.unikom.ac.id/files/disk1/543/jbptunikompp-gdl-eighwikaku-27140-6-unikom_e-i.pdf Akses 5 Juni 2017 pkl 11:25
[24] Ibid. hlm 209-210
[25] Lihat Cudd, Ann E. dan Robin O. Andreasen (Ed). opcit., 2005. hlm.8
[26] Feminisme psikoanalitis fokus kepada karya-karya Sigmund Freud untuk lebih mengerti peran jenis kelamin di dalam kasus penindasan terhadap wanita. Lihat ://elib.unikom.ac.id/files/disk1/543/jbptunikompp-gdl-eighwikaku-27140-6-unikom_e-i.pdf Akses 5 Juni 2017 pkl 11:25
[27] Lihat Stevi Jackson dan Jackie Jones, opcit, hlm. 277
[28] Lihat kolomsosiologi.blogspot.co.id/2011/03/feminisme-eksistensial.html?m=1 akses tgl 10 April 2017 17:19
[29] Lihat Dinar Dewi Kania, Isu Gender: Sejarah dan Perkembangannya. hlm 5
[30] Feminis postmodern memiliki pemikiran untuk menghapuskan perbedaan antara maskulin dan feminis, jenis kelamin, wanita dan pria. Mereka mencoba menghancurkan konsep kaum pria yang mencegah wanita untuk memposisikan dirinya dengan pemikirannya sendiri dan tidak mengikuti pemikiran pria. Lihat ://elib.unikom.ac.id/files/disk1/543/jbptunikompp-gdl-eighwikaku-27140-6-unikom_e-i.pdf Akses 5 Juni 2017 pkl 11:25
[31] Lihat Conolly, Peter. Aneka Pendekatan Studi Agama. (Yogyakarta: LkiS, 1999) hlm. 63
[32] Gerakan “Tahrir al-Mar’ah” ini cepat berkembang manakala masyarakat semakin menyadari ketertindasan, terutama yang dialami oleh perempuan, yang diakibatkan oleh kolonialisme dan modernisme. Lihat Ariana Suryorini, Menelaah Feminisme dalam Islam, Jurnal SAWWA, Volume 7 Nomor 2, April 2012 hlm. 22
[33] Pada tahun 1970-an, kampanye tentang hak-hak perempuan semakin giat dikumandangkan. Pada saat itu sudah banyak kaum perempuan yang memeproleh pendidikan di perguruan tinggi sampai jenjang pendidikan tertinggi. Mereka memilki hak suara dan ikut menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan di hampir semmua negara yang mempunyai prosedur pemilihan umum. Kampanye gender sampai pula ke dunia Islam Negara Mesir sebagai transformasi sains dan teknologi Eropa merupakan pintu gerbang masuknya kampanye gender dan feminisme ke dunia Islam pada awal abad ke-20. Diantara perubahan yang tampak yaitu kaum perempuan Mesir tidak lagi hanya tinggal di rumah. Mereka mulai berperan aktif dalam organisasi, dunia pendidikan bahkan dunia politik. Dapat dipastikan bahwa pandangan perempuan yang sudah mulai berubah dan sadar akan hak-hak mereka ini, mengalami benturan dengan teks-teks keislaman. Tidak semua penafsiran dalam Islam mengusung gagasan-gagasan kebebasan gender. Dalam beberapa karya tafsir dan fiqih yang dijadikan pegangan untuk mengatur kehidupan umat Islam dijumpai bentuk-bentuk diskriminasi terhadap perempuan, yang selanjutnya ditanggapi dengan lahirnya gerakan feminsime. Lihat Umma Farida, Teks-Teks Keislaman dalam Kajian Kaum Feminis: Telaah Terhadap Pendekatan Studi Islam dari Kalangan Feminis Muslim.Jurnal PALASTRen: Vol.3 No.2 Desember 2010, hlm 207
[34] Lihat Ahmad Baidowi, “Gerakan Feminisme dalam Islam”,  Jurnal Penelitian, Vol.X No..2 Mei- Agustus 2001, hlm. 211-213
[35] Lihat Ariana Suryorini, opcit. hlm. 25-26
[36] Bukunya yang berjudul Qur’an and Women diterbikan di Kuala Lumpur, Malaysia. Dalam bukunya tersebut, Amina mencoba menafsirkan kembali beberapa ayat-ayat tentang perempuan dengan metodologi model hermeneutik. Lihat Drs.Yunahar Ilyas, Lc, M.A, opcit., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm 59
[37] Ibid hlm 53-54
[38] Lihat Abdul Mustaqim, Tafsir Feminis versus Tafsir Patriarki, (Yogyakarta: Sabda Persada, 2003), hlm 62-74
[39] Lihat Zakiyuddin Baidhawy, Wacana Teologi Feminis. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, hlm.7-14
[40] Lihat Umma Farida, opcit., hlm 218
[41] Lihat Ibid , hlm 219-226
[42] Lihat Asghar Ali Engineer, opcit. hlm 61
[43] Lihat Amina Wadud. Qur’an Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan. (Jakarta:Serambi, 2003) hlm 150-151

No comments:

Post a Comment