HOME

Wednesday, November 15, 2017

PENERAPAN PENDEKATAN FENOMENOLOGI AGAMA; KAJIAN ATAS KARYA ANNEMARIE SCHIMMEL, DECIPHERING THE SIGNS OF GOD: A PHENOMENOLOGICAL APPROACH TO ISLAM

PENERAPAN PENDEKATAN FENOMENOLOGI AGAMA; KAJIAN ATAS KARYA ANNEMARIE SCHIMMEL, DECIPHERING THE SIGNS OF GOD: A PHENOMENOLOGICAL APPROACH TO ISLAM
Muhammad Yazid 16771033
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Program Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

A.  Dasar pemikiran
Pokok bahasan dari setiap penyelidikan ilmiah terhadap agama adalah fakta agama dan pengungkapannya. Bahan-bahan ini diambil dari pengamatan terhadap kehidupan dan kebiasaan keagamaan manusia, tatkala mengungkapkan sikap-sikap keagamaannya dalam tindakan-tindakan seperti doa, upacara seperti kurban dan sakramen, konsep-konsep religiusnya sebagaimana termuat dalam mitos-mitos dan simbol-simbol, kepercayaan-kepercayaannya berkenaan dengan yang suci, makhluk-makhluk supernatural, dewa-dewa dan sebagainya. Penyelidikan ilmiah terhadap fenomena agama ini dilakukan oleh berbagai disiplin tersebut memeriksanyadari aspek-aspek khusus yang sesuai dengan jangkauan dan tujuannya.
Dari kondisi di atas, kalangan ilmuwan, peneliti-peneliti agama dan pemerhati Studi Agama, telah melakukan upaya pendekatan terhadap fenomena agama yang dianggap cukup strategis ketika sebuah ajaran agama ingin dicari lokus nilai-nilai kebenarannya. Karena pendekatan tersebut menguak hal-hal yang paling esensi dari tradisi-tradisi keberagamaan yang bisa jadi selama ini hanya sebatas fenomena ritualitas pemeluknya tanpa pernah dikuak apakah makna dan maksud yang tersembunyi dari perintah maupun larangan Allah SWT. Meski secara de facto, ajaran-ajaran yang disampaikan melalui Al-Qur’an dan As-sunnah tidak terbantahkan, namun pesan dan petunjuk yang ada harus mampu ditangkap dan dicerna secara baik dan rasional jika hal-hal yang transenden sekalipun didekati dan dipahami secara fenomenologis, Dan Fenomenologi sendiri adalah suatu bentuk pendekatan keilmuan yang berusaha mencari hakekat atau esensi dari apa yang ada di  balik  segala macam bentuk manifestasi agama dalam kehidupan manusia di bumi. [1] Namun demikian,  pembahasan fenomenologi agama ini menggunakan  pendekatan yang dalam pisau kajiannya terhadap Islam melalui pemaknaan ayat-ayat (tanda-tanda) dari Allah terhadap obyek yang bersifat abstrak maupun hal-hal yang bersifat konkrit, mulai dari aspek-aspek alam  sampai kepada komponen ajaran-ajarannya. Hal ini dimaksudkan supaya Islam itu benar-benar dipahami dan dimengerti sesuai dengan sudut pandang kebenarannya menurut penganutnya sendiri secara hakiki, dan tidak dipahami berdasarkan tendensi-tendensi lain yang melatarbelakangi peneliti. Cukup obyektif dan representatif bagi ummat Islam meski mungkin tidak bagi penganut agama lain adalah sebuah Karya seorang pakar sastra Islam dan tokoh Mistisisme (Tasawwuf) terkemuka dunia asal Jerman Annemarie Schimmel dalam bukunya “Dechipering The Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam”. Karya ini menekankan pendekatan fenomenologis dalam memahami Islam melalui tanda-tanda Tuhan yang ada secara empirik dan spiritual, baik yang ada melalui benda-benda abstrak maupun tradisi-tradisi keislaman yang melekat secara jelasdan benar.
Kenapa seorang Annemarie tertarik untuk mendekati dan memahami Islam dari sudut fenomenologis? Dan apa saja fenomena keberagamaan yang menjadi obyek kajiannya?, sekiranya itulah yang menjadi pertanyaan besar bagi kita, mengingat secara metode ilmiah, pendekatan Fenomenologi disamping memiliki keunggulan dibanding pendekatan-pendekatan yang lain disebabkan hakikat fenomenologi adalah penyangkalan terhadap asumsi-asumsi sifat-sifat manusia, sifat emosi, sifat-sifat masyarakat, sifat-sifat dunia, seperti tema-tema dalam pendekatan sosiologi, maupun sejarah dan psikologi yang sarat dengan teori-teori yang bersifat “siap pakai” dan teori semacam ini memendam potensi penggagahan dan manipulasi fakta. Tidak menutup kemungkinan pendekatan ini banyak juga ditentang sebagaimana pendekatan-pendekatan lainnya. Namun di sinilah peran partisipasi fenomenologi secara konkrit dan obyektif.
Hanya saja masalah serius yang menentang klaim obyektivitas pendekatan ini adalah pertama, fenomena-fenomena agama hampir (harus) selalu diidentikkan dengan pengalaman keagamaan mayoritas (massa) penganutnya, yakni dengan manifestasi populernya. Karena itu tak aneh jika isu-isu standar fenomena agama mencakup mitos-mitos dan simbolisme-simbolisme sakral kepercayaan-kepercayaan mengenai benda-benda dan tanda-tanda alam. Boleh jadi ini cocok bagi pemahaman esensi (eidos) agama-agama tertentu yang menjadi tujuan fenomenologi agama. Tetapi amat diragukan keakuratannya bagi pemahaman Islam yang setidaknya oleh sebagian penganutnya dianggap sebagai agama intelektual. Kedua, ketika fenomena keagamaan dibatasi pada apa yang bersifat individual dan personal, ketika ia dipahami sebagai apa yang “menampakkan diri dalam jiwa orang-orang beriman” maka agama cenderung diidentikkan dengan mistisisme.[2] Di sinilah Annemarie sebagai seorang peneliti agama yang punya kecenderungan mistikal mulai terpancing. Disamping alasan utamanya seperti yang dia nyatakan dalam Pendahuluan bukunya Dechipheringa the Sign of God: A Phenomenological Approach to Islam adalah karena keprihatinannya terus mendapati bahwa Islam ditampilkan secara buruk dalam beberapa buku penting dalam bidang ini.
Karena itu, karya ini menampilkan hal-hal yang paling esensial dalam agama Islam meski tidak meninggalkan hal-hal yang bersifat profan[3]. Namun kecenderungan mistikalnya, memunculkan asumsi bahwa kajian keislamannya ini terlalu kental dipengaruhi oleh pemahaman dan prasangka pribadinya terhadap budaya-budaya lokal Turki dan pengetahuannya yang dalam mengenai Syi’ah di Iran. Meski tidak dipungkiri obyek-obyek yang dikaji selalu dikorelasikan dan dikomparasikan secara baik terhadap pemahaman, kecendrungan, kebiasaan dari berbagai macam faham dalam Islam sendiri maupun dalam agama lain. Dan bagaimanapun kenyataan karya ini adalah wujud kecintaanya terhadap Islam dan kegigihannya memahamkan Islam terhadap penghujat-penghujatnya. Selebihnya, mengenai gambaran isi dan sikapnya dalam buku ini akan kami ulas selanjutnya.
Dalam studi tentang Agama, berbagai pendekatan dilakukan untuk mendapatkan formulasi Pemahaman yang utuh dan terintegral  terhadap agama dirasa perlu untuk dilengkapi dengan jenis pendekatan dan pemahaman mengenai Agama itu sendiri secara husus. Hal ini dilakukan dengan maksud supaya agama tidak lagi dipahami secara parsial dan tidak lagi dipandang tidak memiliki nilai fungsional terutama bagi kalangan awam penganutnya. Supaya tidak sampai terjadi distorsi atau reduksi yang berlebihan terhadap fenomena keberagamaan manusia, maka pendekatan model applied sciences baik dalam bentuk sosiologi, sejarah maupun psikologi terhadap agama dirasa perlu untuk dilengkapi dengan jenis pendekatan dan pemahaman lain yang bersifat fenomenologis,[4] yaitu suatu bentuk pendekatan keilmuan yang berusaha mencari hakikat atau esensi dari apa yang ada di balik segala macam bentuk manifestasi agama dalam kehidupan manusia di muka bumi.
Secara Harfiah, fenomenologi berarti pelajaran mengenai gejala-gejala.[5] Dan Fenomenologi berkeyakinan bahwa setiap pengetahuan diri kita dan dunia mestilah dimulai dengan manusia yang paling personal. William James menyebutnya empirisme radikal. Yang real, menurut James, adalah yang dialami-murni dan tidak ditafsir-tafsirkan. Meski agak khas, pernyataan Corbin di bawah ini barangkali cukup jelas meringkas pendekatan ini:
Fenomenologi adalah pemulihan fenomena, yakni menemui fenomena dimana mereka berlangsung dan di mana mereka mengambil tempat-tempat mereka. Sehubungan dengan ilmu-ilmu keagamaan, ini berarti menemui mereka dalam jiwa-jiwa orang-orang beriman ketimbang dalam monumen-monumen pencermatan kritis atau pemeriksaan-pemeriksaan mendetail; tujuannya, adalah untuk memaparkan apa yang telah menampakkan dirinya kepada jiwa-jiwa itu atau, dengan kata lain, fakta keagamaan”.[6]
Fenomenologi agama-seperti halnya fenomenologi pada umumnya menuntut penyisian sikap menilai (Judgement) oleh peneliti terhadap objek yang ditelitinya. Pada saat yang sama ia merupakan pemberontakan terhadap meruyaknya metode-metode penelitian yang dihasilkan dari sains-sains teoretis, khususnya sosiologi dan sejarah (baca:historisisme). Buat Schimmel, satu-satunya metode yang sah dalam mempelajari dan mengungkapakan Islam adalah Fenomenologi. Islam harus dilihat dan dipahami sebagaimana orang Islam memahaminya.[7]
Sebuah karya fenomenal “Dechipering The Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam (1994) oleh Annemarie Schimmel merupakan salah satu literatur dalam upaya pendekatan pemahaman terhadap Islam melalui pendekatan Fenomenologis. Kemudian karya ini diterjemahkan oleh Rahmani Astuti (1996) dan berganti judul menjadi “Rahasia Wajah Suci Ilahi”, dimana Annemarie mengkaji hal-hal yang suci dalam Islam; alam dan kebudayaan yang suci, ruang dan waktu yang suci, tindakan yang suci, firman dan kitab suci, individu dan masyarakat, Tuhan dan ciptaan-Nya (Schimmel, 1996:7)[8]
1.    Sekilas Tentang Penulis
Annemarie Schimmel lahir pada 7 April 1922 di Jerman ia menjadi terkenal dan berpengaruh sebagai Iranologist, sebagai sejarawan dan penulis produktif tentang Islam dan tasawuf sampai ia meninggal pada 26 Januari 2003. Schimmel belajar di Universitas Berlin dan menerima gelar doktor dalam bahasa dan peradaban Islam pada usia sembilan belas. Dia kemudian menjadi profesor bahasa Arab di Universitas Marburg pada tahun 1946. Sementara di sana, ia meraih gelar doktor kedua pada tahun 1954, kali ini dalam sejarah agama. Pada tahun yang sama, ia menjadi profesor sejarah agama di Universitas Ankara di Turki. Dia menghabiskan lima tahun di sana, mengajar di Turki dan menyerap budaya dan agama melingkupi daerah. Dari 1967 hingga 1992, ia mengajar di Harvard University dan menjadi profesor emeritus Indo-budaya Muslim. Dia juga seorang profesor kehormatan Universitas Bonn, menerbitkan lebih dari seratus buku-buku tentang sastra Islam, mistisisme dan budaya dan diterjemahkan tambahan berbagai puisi Islam untuk bahasa Inggris dan Jerman dari bahasa-bahasa seperti Persia, Urdu, Arab, Sindhi dan Turki . Pemerintah Pakistan menganugerahkan gelar kehormatan dengan ketertiban sipil tertinggi  yang dikenal sebagai Hilal-e-Imtiaz atau 'Bulan Sabit of Excellence'. Dia menerima banyak penghargaan lainnya dari banyak negara lain, termasuk Hadiah Perdamaian dari Perdagangan Buku Jerman pada tahun 1995, yang terbukti kontroversial karena dirinya dianggap mendukung dijatuhkannya hukuman mati terhadap Salman Rushdie seorang penghujat Nabi SAW.
Annemarie Schimmel, (1922-2003) adalah salah satu pakar terkemuka sastra Islam dan mistisisme (tasawuf) di dunia. Dia menulis lebih dari 80 buku dan esai, dan memberikan kuliah di universitas dan konferensi di seluruh dunia. Profesor Schimmel merupakan staf pengajar di berbagai Universitas termasuk Ankara University, University of Bonn, dan Harvard University. Tulisannya termasuk terjemahan ke dalam bahasa Inggris dan Jerman dari karya-karya dalam bahasa Persia, Urdu, Arab dan Turki, serta orang-orang kudus studi Islam, tasawuf, dan literatur Islam. Bukunya Mystical Dimensions of Islam (1975) dianggap klasik di bidangnya. Profesor Annemarie Schimmel menyumbangkan kata pengantar untuk edisi terbaru mahakarya Frithjof Schuon,Understanding Islam. Dalam kata pengantar untuk Memahami Islam dia menulis: "buku Schuon menunjukkan esensi Islam, membandingkan dengan pandangan dunia Kristen dan sering membawa contoh-contoh dari tradisi-tradisi agama lain, yang semuanya terdiri dari pengetahuan yang luas. Gaya mengingatkan pekerjaan kadang-kadang pembaca melihat bentuk kristal murni, namun orang sering menemukan bagian-bagian yang menyentuh hati.”[9]
Dalam Tulisan Awal buku Terjemahan Dechipering The Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam yakni “Rahasia Wajah Suci Ilahi”, yang berjudul Fenomena Schimmel oleh Haidar Bagir, Yang has dari Profesor yang konon menguasai lebih dari 20 bahasa asing dan memiliki Photographic memory ini adalah bahwa sepanjang perkuliahannya matanya menatap ke langit-langit kelas tanpa sedetikpun menatap ratusan mahasiswa yang dengan antusias mengikuti kuliah-kuliahnya tentang Tasawwuf. Dan betapapun amat bersimpati kepada Islam, dia tidak pernah benar-benar mengaku sebagai seorang muslimah.

2.    Pengertian Dechipering The Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam
Adapun Dechipering The Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam mengandung pengertian sebagai berikut: menurut arti kamus (Lexical Meaning), yaitu salah satu fase awal pemaknaan yang ada dalam semantik,[10] dechipering (gerund: kata kerja yang dibendakan) merupakan derivasi dari kata dechiper yang berarti menemukan arti sesuatu yang tertulis dalam bentuk, kode, tanda-tanda, tulisan tangan jelek, atau steno dan sebagainya (find the meaning of something written in code, sign, bad hand writing, ect).[11] The (definite article), jika disandingkan dengan jabatan kata yang ada dalam tata Bahasa Arab, menempati posisi kata yang sama dengan lam al-ta’rif (ma’rifah: ال), dipakai untuk menunjukkan kejelasan sesuatu.[12] Dalam hal ini, yaitu tanda-tanda (signs) atau simbol-simbol yang digunakan untuk mempresentasikan sesuatu,[13]  yakni Tuhan (God). Dengan demikian, Dechipering The Signs of God kurang lebih berarti menemukan makna atau apa (rahasia-rahasia) dibalik tanda-tanda Tuhan, baik yang tersurat (explicit) maupun yang tersirat (implicit), tanda-tanda yang tertulis sebagai teks yang kemudian dibacakan (wahyu mathluw) dan yang di luar teks (wahyu masyhud)[14] secara fenomenologis.
Lain dari pemaknaan literal di atas, kajian ini tidak akan memfokuskan pembahasan untuk menyoroti objek studi lewat telaah bahasa (Linguistics) ataupun sastra (literature) secara utuh dan partikular, melainkan terlebih kepada keterlibatan pengarang dalam menemukan tanda-tanda kebesaran Tuhan melalui pendekatan fenomenologis. Hal ini tercermin dalam upaya konkrit penemuan obyek-obyek fenomena keberagamaan dalam Islam melalui hal-hal yang sakral dan esensi untuk memahami secara mendetail keagungan dan ketinggian nilai-nilai Ilahiah di bumi ini.

3.    Tujuan Pendekatan Fenomenologi

Dalam konteks ilmiah, pendekatan (approach) memiliki beberapa arti: pertama, cara pandang dalam suatu obyek; kedua, cara atau langkah yang diambil untuk melaksanakan tugas dalam mengatasi masalah; ketiga, cara pandang yang digunakan untuk menjelaskan suatu data yang dihasilkan dalam penelitian; keempat; pisau analisis yang didasarkan pada ciri pokok sesuai dengan disiplin tertentu.[15]
Sementara itu fenomenologi[16] merupakan sebuah istilah yang telah luas dipakai dalam hazanah filsafat modern untuk menunjuk pada pengetahuan tentang fenomena. Sebagai sebuah disiplin ilmu, fenomenologi pertama kali diperkenalkan oleh Johan Heinrich Lambert[17] dan Immanuel Kant. Fenomenologi kemudian dikembangkan lebih dalam lagi oleh G.W.F. Hegel dalam karya monumentalnya Phenomenology of the Spirit (1807)[18] yang kemudian diteruskan oleh Husserl.[19]
Dari pendapat beberapa tokoh di atas dapat diketahui, bahwa fenomenologi berusaha menangkap fenomena sebagaimana adanya (to show itself) atau menurut penampakannya sendiri (views itself). Menurut Elliston, “phenomenology then means… to let what shows itself be seen by itself and in terms of itself, just as it shows itself by and from itself.”[20] Maka bisa dimaklumi jika Schimmel melihat bahwa pendekatan fenomenologi sangat cocok dipakai untuk memahami Islam.[21] Karena dalam Islam, “Everything can become an aya, a sign, not only the verse of the Koran.” Pada dasarnya semua ciptaan Tuhan itu mengagungkan kebesaran-Nya dengan caranya masing-masing. Jadi, semua yang ada di alam ini bisa dilihat dengan kacamata agama untuk mengantarkan pada pemahaman terhadap Yang Maha Esa.
4.    Aspek-aspek dan Objek Kajian Annimerie Schimmel dalam “Dechipering The Signs of God; A Phenomenological Approach to Islam”
Objek kajian Schimmel dalam memahami Islam dengan menggunakan pendekatan fenomenologis adalah seluruh apa yang terdapat di alam ini yang terdiri dari sesuatu yang tampak dan yang tidak tampak. Ia lantas membaginya ke dalam empat lapisan.
     Schimmel melalui pendekatan fenomenologi agamanya mengunakan metode pendekatan yang dikembangkan oleh Friedrich Heiler berusaha menjelaskan tentang aspek-aspek dalam Islam. Ia berpendapat bahwa dengan menggunakan struktur lingkaran Friedrich Heiler dapat masuk ke dalam jantung agama dengan jalan menelaah lebih dulu fenomenanya dan selanjutnya lapisan-lapisan yang lebih dalam dan lebih dalam lagi dari tanggapan-tanggapan manusia tentang Tuhan, hinggamencapai intisari suci atau deus absconditus yang paling dalam dari masing-masing agama. Friedrich Heiler selalu mengacu pada perkatan Friedrich von Hugel bahwa ruh itu bangkit ketika ia berhubungan dengan benda-benda materi.
Adapun objek kajian tersebut disebut dengan cincin konsentris. Model cincin konsentris mungkin kelihatan artifisial; namun, aneh juga model yang sama telah digambarkan lebih dari seribu tahun yang lalu dalam karya Abul Husain an-Nuri (w.907). lingkaran empat lapisnya (cincin konsentris) adalah sebagai berikut:
Gambar I. Struktur Cincin Konsentris yang dikembangkan Friedrich Heiler dan digunakan oleh Annimerie Schimmel.
Lapisan terluar, the world of outer manifestations, yang terdiri dari tiga bagian yaitu pertama, objek yang suci;[22] ruang yang suci di mana tinggal di dalamnya tata cara memuja Tuhan,[23] waktu yang suci di mana dilaksanakan ritual keagamaan,[24] angka suci yang dengannya diukur kesucian objek,[25] ruang, waktu, kata-kata, manusia, dan perbuatan/tindakan yang suci.[26] Kedua, kata-kata yang suci, yaitu kata-kata yang diucapkan (firman Tuhan,[27] doa, nama-nama Tuhan, sabda-sabda, mitos, legenda, ramalan, ajaran, doktrin, penebusan dosa, pujian, rasa syukur, permohonan, penyerahan), dan kata-kata yang tertulis yaitu teks kitab suci.[28] Ketiga, manusia yang suci dan masyarakat yang suci.[29] Dalam pandangan Schimmel, ketiganya merupakan sesuatu yang bisa diobservasi, bisa dilihat, didengarkan, disentuh. Agama menurutnya bukanlah sesuatu yang tak nyata tapi merupakan sebuah komuni fisik dengan sang Tuhan.[30]
Lapisan berikutnya adalah lapisan dalam yang pertama. Schimmel menyebutnya sebagai the world of religious imagination yang terdiri dari konsep ketuhanan, konsep penciptaan (kosmologi dan antropologi), konsep wahyu, konsep penebusan dosa/penyelamatan, dan konsep tentang hari akhir (eschatology).
Selanjutnya adalah lapisan dalam kedua yang oleh Schimmel disebut sebagai the world of religious experience. Wilayah ini menjelaskan apa yang terjadi jauh dalam hati seseorang sebagai pandangan rasional tentang Tuhan. Di sini terdapat nilai-nilai keagamaan yang di dalamnya merupakan dari manusia yang suci, objek suci dan perbuatan yang suci seperti penghormatan terhadap Tuhan, taqwa, iman, harapan, dan cinta kepada Tuhan.
Lapisan yang paling dalam adalah the objective world of religion yang merupakan pusat dari lingkaran tersebut. Ini merupakan realitas ketuhanan yang hanya bisa dipahami melalui seluruh manifestasi eksternal, pikiran dalam, pengalaman hati, melalui dua pengertian. Pertama, Tuhan sebagai Deus revelatus. Yaitu wajah tuhan yang tampak dari sudut pandang manusia sebagai Yang Maha Suci, Maha Benar, Maha Adil, Maha Cinta, Maha Pengasih, Sang Penyelamat, yaitu Tuhan yang personal yang diekspresikan dengan kata KAU. Kedua, sebagai Deus ipse atau absconditus. Yaitu tuhan yang Maha Agung yang diekspresikan sebagai DIA sebagai kesatuan yang absolute.
Dalam pandangan Schimmel, ada korelasi antara beberapa segmen dalam lapisan-lapisan di atas. Ekspresi dalam bentuk fisik, pikiran, perasaan, pada akhirnya akan berhubungan dengan realitas ketuhanan. Meskipun realitas itu tidak akan pernah dapat diekspresikan secara sempurna oleh manusia, namun menurut Schimmel terdapat hubungan tertentu dengan realitas tersebut. Pola hubungan tersebut adalah analogia entis, yang berarti wujud yang diciptakan berhubungan dengan wujud ketuhanan yang tidak diciptakan.[31]
Bagi seorang muslim, segala sesuatu dapat menjadi ‘ayat, tanda dari Tuhan. Al-Qur’an mengulang-ulang kebenaran ini berkali-kali, memperingatkan mereka yang tidak percaya pada tanda-tanda Tuhan atau yang mengingkarinya. Semua makhluk adalah tanda-tanda, perubahan antara siang dan malam adalah suatu tanda, begitu juga pertemuan yang disertai cinta-kasih antara suami istri; dan mukjizat-mukjizat itupun merupakan tanda-tanda (lihat QS 30: 19-25): mereka semua membuktikan bahwa ada satu Tuhan yang tetap hidup, yang merupakan asal dari segalanya. Alam sesungguhnya adalah sebuah buku besar di mana mereka yang mempunyai mata untuk melihat dan mempunyai telinga untuk mendengar dapat menemukan tanda-tanda Tuhan dan karenanya dituntun melalui perenungan mereka menuju Sang Pencipta itu sendiri. Dengan memahami dan menafsirkan tanda-tanda tersebut kita mungkin dapat memahami kebijaksanaan dan kekuasaan Ilahi. Kita juga akan memahami bahwa, Tuhan memberi pelajaran melalui perbandingan-perbandingan, perumpamaan-perumpamaan, dan persamaan-persamaan untuk menarik hati manusia di luar paras-paras penciptaan lahiriah.
Harus selalu diingat bahwa aspek-aspek ruhaniah dari kehidupan hanya dapat diungkapkan melalui aspek-aspek yang terinderai seperti angin hanya dapat dilihat melalui gerakan rumput atau daun yang digerakkan angin. Sebagaimana didendangkan oleh penyair Indo-Muslim abad ke sembilan belas, Ghalib; debu yang dapat kita lihat dari jauh di gurun pasir menyembunyikan penunggang kuda yang mengepulkannya; dan lapisan-lapisan busa di permukaan samudera menunjuk pada jurang yang tak terukur dalamnya. Tanda-tanda ini penting, sebab hati manusia ingin sekali menangkap kilasan Ilahi (meskipun Tuhan itu tidak terjangkau oleh segala bentuk dan imajinasi) namun kita tetap berharap dapat menyentuh kekuatan sang Ilah dengan satu atau lain cara.
Hal yang lain seperti tugas penyembahan, juga dapat ditafsirkan di luar makna penting lahiriah mereka sebagai tanda-tanda bagi sesuatu yang lebih tinggi:Shalat adalah hilangnya diri seseorang yang kecil dalam penyatuan dengan yang suci, atau pengorbanan jiwa seseorang di hadapan Tuhan yang dicintai dan menguasai; perjalanan Haji menunjuk pada perjalanan tanpa henti dari jiwa menuju Tuhan;puasa mengajarkan seseorang untuk hidup dengan cahaya dan peribadatan. Oleh karena itu setiap bentuk ritual lahiriah dapat menjadi tanda pengalaman ruhaniah. Demikian pula, tindakan-tindakan simbolis dapat digunakan untuk menjelaskan aspekaspek ruhaniah tertentu dalam Islam;ketika Nabi melemparkan pasir dan batu kerikil ke arah musuh-musuhnya dalam perang Badr (624) seperti yang diwahyukan dalam QS 8:17 (Waktu kamu melempar itu sebenarnya bukan kamu yang melakukan...’), hal itu menunjukkan bahwa seseorang yang telah mutlak patuh kepada Tuhan dapat bertindak, begitu dikatakan, melalui kekuatan Tuhan.
Dalam buku Dechipering The Signs of God: a Phenomenological Approach to Islam, diuraikan banyak hal-hal yang bersifat suci dalam agama Islam baik itu berupa benda-benda maupun rumusan ajaran-ajarannya untuk menuntun keyakinan dan memberikan pemahaman lebih tegas atas tanda-tanda Allah di dalam Alam semesta ini. Untuk lebih jelasnya, berikut aspek-aspek umum kajian bukunya:
a.    Aspek-aspek Suci, Alam dan Kebudayaan
Alam Tak Bernyawa, yaitu Batu, dalam Fenomena Islam diketahui ada Ka’bah di Mekkah yang tidak lain adalah sebuah batu yang merupakan pusat atau titik kemana orang-orang beriman berpaling ketika shalat. Gunung,  yang diyakini sebagai penyangga bumi,  Air, yang tidak lain untuk berwudlu, begitu juga ada air Zam-zam merupakan fenomena yang luar biasa dalam Islam dan memiliki sejarah yang cukup sakral.Air juga bisa berupa Lautan, samudera, hujan dan sungai. Api, dimana syaitan dan jin diciptakan darinya.
Pohon, banyak sekali disebutkan dalam konsepsi-konsepsi tentang manusia dalam hubungannya dengan alam. Karena pohon yang mendatangkan buah untuk dimakan manusia sebagai sumber kehidupannya. Kaitan erat antara pohon dan kehidupan terutama kehidupan ruhania, diungkapkan secara indah dalam hadits yang menyatakan bahwa orang yang berzikir, mengingat Tuhan adalah laksana sebatang pohon hijau di tengah pepohonan yang gersang. Hewan, bukan hanya tumbuhan, hewanpun menyembah Tuhan, masin-masing dengan cara-caranya sendiri. Adapun hewan-hewan yang pernah memiliki andil maupun hewan yang hanya muncul dalam sebuah kisah baik dalam al Qur’an al Hadits,maupun riwayat para sahabat dan orang-orang saleh adalah: lebah, semut, laba-laba, singa, kucing, anjing, landak besar, buroq, ular, burung; merpati,bangau,ayam jago, merak, nuri, dan angsa.
b.    Ruang dan Waktu yang suci
1)   Ruang yang Suci; dalam konteks ini Schimmel mengkaji ruang dan tempat-tempat seperti Gua, Rumah, Masjid, Kuburan, Makkah dan Madinah (al Haramain), Ka’bah. Yang  mana tempat-tempat ini memiliki nilai sejarah dan barakah tersendiri.
2)   Waktu yang Suci, Waktu mengukur kehidupan kita, dan setiap agama mempunyai waktu sucinya sendiri-sendiri. Secara historis, kesadaran waktu Muslim dimulai dengan hijrah yang berarti realisasi praktis konsep-konsep wahyu. Suatu awal baru yang penting dibuat dengan diperkenalkannya tahun Komariyyah;
3)   Ramadhan; adalah bulan yang paling suci dari semua bulan. Karena di dalamnya Muslim wajib berpuasa, waktu diturunkannya al Qur’an dan di dalamnya terdapat Lailatul qadr’ yang lebih baik dari seribu bulan (QS 97).
4)   Dua hari raya (‘idain); ‘Idul Fithri pada 1 Syawal dan ‘Idul ‘Adlha di bulan Dzul Hijjah sekaligus sebagai waktu untuk Ibadah Hajji yang penuh rahmat.
5)   Maulid Nabi SAW; pada 12 Rabi’ul Awwal
6)   Rajab; bulan ke tujuh komariyah, dikaitkan dengan Isra’ Mi’raj pada tanggal 27.
7)   Sya’ban; bulan laylatul bara’ah, disunnatkan memperbanyak ibadah di dalamnya, terutama puasa sebagai persiapan memasuki bulan Ramadhan.
c.    Tindakan yang Suci
Al Qur’an menekankan perbuatan yang baik dan tindakan yang bermanfaat, dan agar bersandar pada Sunnah Nabi SAW serta para pemimpin Ummat yang terdahulu (salaf). Annemarie membagi tindakan yang suci menjadi tiga, yaitu:
1)   Via Purgativa; terdiri atas car-cara untuk menyucikan diri sendiri dalam usaha untuk berhubungan dengan yang suci.Seperti berwuldu sebelum shalat, berpuasa untuk memohon ampunan dan menyucikan diri.
2)   Via Illuminativa; contoh konkritnya adalah Niat, karena batas tertentu antara yang profan yang tidak termasuk dalam tindakan Penyucian, dan yang ritual adalah niyyat, contoh lainnya adalah bay’ah (bai’at) mengambil sumpah untuk terlaksananya sesuatu.
3)   Via Unitiva; upaya penyatuan fisik (jiwa kasar Manusia) yang imanen dengan Tuhan yang transenden. Konsep tentang Cinta kepada Allah adalah contoh konkritnya. Gambaran-gambaran al Qur’an mengenai surga dengan  kenikmatannya dapat ditafsirkan sebagai isyarat kebahagiaan tertinggi penyatuan ruhaniah yang tidak dapat diungkapkan dalam istilah-istilah lain.
d. Firman dan Kitab Suci
1)   Firman (Mengenai Tuhan dan dari Tuhan)
Firman, karena ia berasal dari Tuhan dan mengungkapkan diriNya serta kehendakNya, sangat sentral dalam Islam. Tetapi secara umum, firman suci terlindung dari hiruk pikuk kehidupan sehari-hari melalui suatu cara pembacaan khusus yang menekankan ciri kesuciannya. Bukti bahwa Firman itu berasal dari Tuhan tidak lain karena kemukjizatan yang dikandungnya, tata bahasa yang indah yakni dari Bahasa Arab Fasih yang tidak dapat ditiru oleh penyair manapun. Firman ini juga sebagai bahasa pujian, disamping merupakan bahasa hati, karena cara lain untuk menyebarkan isi wahyu adalah glossolalia, atau berbicara dalam berbagai bahasa. Kaum muslim tau bahwa wahyu yang sesungguhnya selalu penuh misteri: orang tidak pernah dapat mengerti sepenuhnya dan memahaminya, meskipun makna dan urutan kata-katanya sangat jelas. Sebuah wahyu yang dipahami sepenuhnya tidak akan menjadi wahyu sejati dari zat Ilahi yang tak dapat diperkirakan.[32]
2)   Kata Untuk Tuhan
    Kata mempunyai kekuatan realisasi: karena datang dari Tuhan pada awalnya(sebagaimana segala sesuatu). Bangsa-bangsa kuno (dan sampai batas tertentu manusia modern pula) mengenal kekuatan magis dari kata, yang dapat direalisasikan dalam pengaruh-pengaruh dari rahmat dan kutukan, salam dan perintah: mengucapkan kata itu dapat menyembuhkan sekaligus menyakiti. Itu sebabnya rumusan salam amat penting, Al Qur’an memerintahkan orang mukmin untuk menyalami satu sama lain.Selain salam ada Tashliyah;dapat menguatkan nilai suatu permohonan atau menuntun pada pengampunan dosa-dosa. Kutukan, sumpah, janji, Istighfar, suara adzan, baru kemudian Shalat, Doa, pujian, Zikir merupakan bahasa-bahasa yang bersumber dari Allah dan untukNyapun diucapkan.
3)   Kitab Suci;
Yakni Al Qur’an yang berisi kisah-kisah umat dan Nabi terdahulu, peringatan, Tauhid, perintah dan larangan, hukum-hukum dan lain sebagainya berupa rumusan petunjuk bagi kehidupan manusia. Membaca, belajar dan mengajarkannya lalu mengamalkannya adalah pahala yang besar di sisi Allah SWT.
e.    Individu dan Masyarakat.
1)   Manusia
Fenomena yang paling nyata di alam ini adalah adanya manusia, sebagai hamba (abd); yang menyembah, sebagai khalifah; wakil Tuhan di bumi yang bertugas memakmurkan Bumi dan isinya supaya bisa mempertanggung jawabkan tugasnya kelak di akhirat, sebagai insanunn hathiq yang diberi kelebihan-kelebihan tertentu dibandingkan mahluk lainnya terutama akal. Dari segi penciptaannya, manusia diciptakan dari debu dan selanjutnya menjadi ‘alaq (QS 96:1). Sebagaimanaan yang dapat dipahami dari kisah penciptaan, manusia itu terdiri dari badan dan jiwa. Ruh dan Nafs sangat penting sebagai aspek-aspek ruhaniah sejati yang membuat manusia tetap berhubungan dengan realitas-realitas yang lebih tinggi, tetapi badan sangat diperlukan bagi kehidupan ini. Organ-organ tubuh yang dimilki manusia sangat sempurna dan memilki keistimewaan-keistimewaan tersendiri, mulai dari rambut, kepala, jenggot, kuku, nafas, keringat, darah, kaki, tangan dan sebagainya, semua memilki nilai kesucian dan faedah yang bervariatif. Manusia ada yang laki-laki dan perempuan, memilki peran dan tanggungjawab masing-masing.
2)   Masyarakat;
Masyarakat Islam yang ideal, menurut Louis Massignon dan sebagai pengikutnya Louis Gardet, adalah ‘suatu teokrasi egaliter dari para anggota awam.’Komunitas kaum beriman sangat penting dalam pemikiran Muslim normatif, sehingga timbullah keengganan sebagai Muslim terhadap minat Barat pada tokoh-tokoh eksotik seperti para sufi dan yang semacamnya, sebab mereka tidak mewakili norma-norma dan cita-cita dari umat sebab ummat dibangun sesuai dengan visi Nabi yang merupakan hasil dari Ilham Ilahi mengenai masyarakat yang sempurna.[33] Kehidupan yang baik,’kehidupan seorang Muslim yang akan membawanya menuju kebahagiaan di dunia dan di Akhirat, harus ditata hingga rincian yang paling kecil sesuai dengan aturan-aturan wahyu sebagaimana yang ditafsirkan oleh ahli-ahli yang kompeten.[34] Al-Qur’an menggambarkan komunitas Muslim sebagai Ummatan wustha (QS 2: 143), yaitu komunitas tengah, segolongan manusia yang mengambil jalan tengah antara kedua ekstrem, sebagaimana Nabi sering tampil sebagai tokoh yang menghindari legalisme yang kaku dan keras dari Musa dan kelembutan yang berlebihan dari Isa. Landasan utama terbentuknya masyarakat Muslim adalah sunnah Nabi SAW yang banyak memberikan gambaran bahwa muslim yang satu dengan yang lain adalah satu jiwa, karenanya mereka berkewajiban untuk mendukung satu sama lain di jalan keselamatan dengan memerintahkan kebaikan dan melarang kejahatan, amr bi al-ma’ruf wa nahyi an al-munkar.
f.     Tuhan dan CiptaanNya, Eskatologi; Schimmel dalam konsep ini menjelaskan bahwa Tuhan digambarkan sebagai wajib al-wujub,’Dia yang eksistensi-Nya mutlak wajib’ dan yang kepadaNya segala sesuatu bergantung. Tuhan adalah Prima causa, dan tidak ada penyebab sekunder. Peristiwa-peristiwa di dalam dunia ciptaan merupakan pengaruh dari keterlibatan langsung sang pencipta:apapun yang terjadi bukan akibat dari kausalitas melainkan karena sunnat Allah.
g.      Cara Pendekatan terhadap Islam; adalah uraian pamungkas dari buku ini, menegaskan perlunya pendekatan yang sesuai dan obyektif terhadap Islam. Untuk menegaskan eksistensi kebenaran ajarannya.
Ada keterkaitan dari berbagai lingkaran itu; bentuk fisik dari ungkapan, pemikiran, perasaan, yang akhirnya terkait dengan realitas Ilahi. Meskipun realitas itu tidak akan pernah terungkap secara sempurna dalam bentuk-bentuk ungkapan, pemikiran, dan pengalaman manusia, ada keterkaitan tertentu dengan Ilahi, analogia etnis: makhluk ciptaan berkaitan dengan zat ilahi yang tak tercipta.[35]
Paparan terebut di atas menjelaskan tentang suatu konsepbahwa untuk menuju kepada deus abscondetus  yaitu Tuhan yang diakui sebagai kesatuan mutlak, maka dapat dijabarkan melalui aspek-aspek susi seperti aspek alam dan kebudayaan suci, objek suci, ruang dan waktu suci, tindakan suci, firman dan kitab suci, serta manusia dan masyarakat yang suci. Di mana dari melihat aspek-aspek tersebut akan mengggiring kita untuk melihat konsep mengenai Tuhan, wahyu , dan keselamatan sehingga akan menciptakan suatu ketakjuban dan ketundukan, cinta serta iman yang kemudian akan menjadi suatu kekudusan dari Tuhan. 

5.     Memahami Islam Secara Fenomenologis menurut Annimerie Schimmel
     Pada Cover belakang;Dechipering the Signs of God:A Phenomenological Approach to Islam William C. Chittick menyatakan bahwa Dechipering the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam, adalah suatu karya penting Schimmel yang memberi pencerahan pemahaman Islam sepanjang masa. Lebih penting lagi, pemilihan pendekatan fenomenologisnya sebagai kerangka berfikir yang sangat mungkin akan banyak diapresiasi oleh tradisi keagamaan lain.[36]
     Schimmel berusaha mengungkap apa sebenarnya yang terdapat di balik kepercayaan yang menyebar di kalangan kaum Muslim bahwa suatu benda, tempat, waktu atau tindakan mengandung barakah tertentu serta cara pendekatan terhadap Islam.[37] Dia (Schimmel) menyimpulkan dengan teliti tiap-tiap respon terhadap misteri Ilahi. Berdasarkan sumber orisinil, baik literatur klasik maupun modern, dan pengalaman pribadi yang bisa dipertimbangkan kebenarannya, Dechipering The Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam bukan hanya menarik sebagai penelitian praktik-praktik keislaman dan keyakinan Islam, tetapi juga merupakan pandangan fenomenologis Islam yang terintegral.[38]
     Islam memungkinkan untuk dilihat dari hal mendasarnya, yaitu normatif yang dibangun sebagai acuan hukum di mana kehendak Tuhan terkuak, dapat dilihat.[39] Konsep lain adalah pertemanan dengan Tuhan yang terjalin sedemikian rupa sehingga agama yang akhir-akhir ini sering dimaknai sebagai keterlibatan seseorang, dapat dibangun dengan landasan pertemanan, menjadi teman Tuhan (God’s friend).[40]
     Islam dalam konteks fenomenologis Schimmel ini pada hakikatnya adalah usaha memahami Islam apa adanya sesuai dengan esensi ajaran, tanpa mengenyampingkan peran-peran tradisi yang dipraktekkan sebagai wujud aktualisasi keimanan dan ketakwaan sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan sunnah. Meski tidak dapat dipungkiri konsekuensi dari semua ini munculnya fakta mistis dalam aspek-aspek kajian ini.
     Dalam perspektif ini, penafsiran-penafsiran dan anggapan yang subyektif dari penganut Islam sendiri tidak dapat dihindari karena obyek kajiannya adalah hal yang paling sensitif dan fundamen dalam ajaran ini, meski tetap memiliki keunggulan tersendiri, baik itu bagi pemeluknya secara spesifik maupun bagi pemerhati studi agama-agama secara general.
     Kajian fenomenologis ini, dimaksudkan supaya agama tetap ditempatkan pada sebuah lokus spiritual, dinamika dan gejala sosial, sumber intelektual, sehingga manifestasi dari fenomena keberagamaan memiliki corak dan warna dalam membentuk pemahaman sekaligus karakter yang kokoh, tidak hanya bagi pemeluknya melainkan bagi siapa saja yang memiliki respek untuk mengkajinya. Hal ini dimungkinkan untuk meminimalisir pandangan sentimen yang terlalu ekstrim terhadap Islam. 



[1] Prof.Dr.H. Abuddin Nata, MA. Metodologi Studi Islam, (Jakarta:PT raja grfindo Persada, 1998), hal.28-51.
[2] Fenomena Schimmel oleh Haidar Bagir dalam Catatan awal buku “Rahasia Wajah Suci Ilahi”.
[3] Profane adalah tidak bersangkutan dengan agama atau tujuan keagamaan; lawan sakral;
[4] Lihat Dr. M. Amin Abdullah,dalam “Studi Agama Normatifitas atau Historisitas?”,Pustaka Pelajar Offset,1996.hal.27
[5] Phenomenology:1. The scince of phenomena as distinct from that of the nature of being. 2. An approach that concentrates on the study of consciousness and the objects of direct experience. Lihat Oxford: Dictionary Theasaurus & Wordpower Guide, New York: Oxford University Press, 2001, hlm. 963.
[6] Henry Corbin, “For the Concept of Irano-Islamic Philosophy, “The Philosophical Forum [Boston] 4/1, hlm.114-123, sebagaimana dikutip dalam Hamid Algar, “The Study of Islam: The New Work of Henry Corbin, “Religious Studies Review (Ontario, Canada: The Council on the Study of Religion,, 6/2 [1980].
[7] Haidar Bagir dalam Fenomena Schimmel, mengawali buku “Rahasia Wajah Suci Ilahi” oleh Rahmani Astuti terjm. Dechipering the Signs of God:A Phenomenological Approach to Islam (Annemarie Schimmel), hal.10-11
[8] Lihat Tesis M. Darojat Ariyanto, Ilmu Perbandingan Agama:Isi, Perkembangan, dan Manfaatnya bagi seorang Muslim, Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Annemarie Schimmel menulis bahwa para sufi mempunyai ungkapan kesayangan, yaitu “pelepasan kedua sandal”. Seorang “pencari” melepas sandal sebagai lambang pelepasan semua yang bersifat duniawi untuk memasuki wilayah Tuhan yang paling Suci. Begitu memulai perjalanan, ia dibimbing oleh cahaya bathin yang kian terang, sementara ia membebaskan diri dari keterikatan dengan dunia. Ia, kata para sufi,menggosok cermin jiwanya sampai mengkilap.Lihat ringkasan makalah Karlina Supelli, Bercanda dengan Tuhan, yang disampaikan dalam Diskusi sains, Filsafat dan Spiritualitas, diselenggarakan oleh Penerbit Mizan bekerjasama dengan Bentara Budaya Jakarta, 19 Maret 2003 dan dimuat di kompas 4 April 2003.
[10] Semantics: study of the meaning of words. (Oxford Learner’s Pocket Dictionary, New Edition, 1995:374)
[11] id, hlm. 106
[12] The: used for referring particular thing (Oxford, 1995: 429).
[13] Signs: mark or symbol used to represent something (Oxford, 1995: 384).
[14] Lihat Muzammil H. Siddiqi, Islamic Worlview: An Invitation to Proper Thought and Action, khutbah di ISOC January 20, 2006.
[15] Akh. Minhaji, Strategies for Social Rresearch: The Methodological Imagination in Islamic Studies (Yogyakarta: Suka Press, 2009), h. 29.
[16] Fenomenologi sendiri adalah suatu bentuk pendekatan keilmuan yang berusaha mencari hakekat atau esensi dari apa yang ada di balik segala macam bentuk manifestasi agama dalam kehidupan manusia di bumi. Lihat Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam  (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 1998), h. 28-51.
[17] Seorang filosuf Jerman. Lambert mamaknai istilah fenomenologi dengan pengertian “The Setting forth or Articulation of What Shows Itself” (pengaturan atau artikulasi dari apa yang menunjukkan dirinya). Ia menggunakan istilah ini untuk mengislustrasikan alam khayalan pengalaman manusia dalam upaya mengembangkan teori pengetahuan yang membedakan kebenaran dari kesalahan. Lihat: Rev. Emeka C. Ekeke & Chike Ekeopara, Phenomenological Approach to The Study of Religion A Historical Perspective, European Journal of Scientific Research, Vol. 44, No. 2, 2010, h. 267.
[18] Menurut Hegel, fenomenologi merupakan sains untuk mengetahui pikiran atau sesuatu yang yang tersembunyi dari sebuah objek melalui sesuatu yang tampak dari objek tersebut. Lihat: Donald M. Brochert, Editor in Chief, Encyclopedia of Philosophy, Volume 7, 2nd Edition, (USA: Macmillan Reference, 2006), p. 278. Hegel menjelaskan bahwa fenomenologi berkaitan dengan pengetahuan sebagaimana tampak kepada kesadaran, sebuah ilmu yang menggambarkan apa yang dipikirkan, dirasa dan diketahui oleh seseorang dalam kesadaran dan pengalamannya pada saat itu. Proses tersebut mengantarkan pada perkembangan kesadaran fenomenal melalui sains dan filsafat “menuju pengetahuan yang absolut.” Hegel mengembangkan pemahaman bahwa esensi (wesen) dipahami melalui penyelidikan terhadap tampilan-tampilan dan perwujudan atau manifestasi (erschinugnen). Ia menunjukkan bagaimana hal itu mengantarkan kepada satu pemahaman bahwa semua fenomena dalam keberagamannya, berakar pada esensi atau kesatuan mendasar (geist atau spirit). Hubungan antara esensi dan manifestasi tersebut memberikan pemahaman bahwa agama dan keagamaan merupakan sesuatu yang berbeda. Lihat: Clive Erricker, Pendekatan Fenomenologis dalam Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: LkiS, 2009), h. 110.
[19] Edmund Husserl (1859-1938) di lahirkan disebuah kota kecil Prosznitz di daerah Moravia, ketika itu merupakan wilayah kekaisaran Austria Hongaria, namun dari perang dunia pertama (1918) hingga sekarang masuk pada wilayah Cekoslavia. Ia dilahirkan dari keluarga Yahudi kelas menengah. Husserl sendiri berasal dari kata Iserle (=Israel). Pada umur 27 tahun dia dibaptis dalam gereja Kristen bertradisi Protestan. Ia mulai belajar di Universitas Leipzig, Berlin dan Wina dalam bidang matematika, fisika, astronomi dan filsafat. Lihat Hardiansyah A., Teori Pengetahuan Edmund Husserl, lihat jurnal Substantia Vol.15, No.2, Oktober 2013, h. 229.
[20] Lihat Federick Elliston, Phenomenology Reinterpreted: from Husserl to Heideger dalam Philosophy Today, Vol. xxi, No. 3/4, 1977, h. 279.
[21] Annemarie Schimmel, “Rahasia Wajah Suci Ilahi” oleh Rahmani Astuti terjm. Deciphering the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam, (Bandung: Mizan, 1996), h. 22

[22] Salah satu contoh  objek suci adalah batu; dalam fenomena Islam diketahui ada Ka’bah di Makkah yang tidak lain adalah sebuah batu yang merupakan pusat atau titik dimana orang-orang beriman menghadap ketika shalat. Lihat Annemarie Schimmel, “Rahasia Wajah Suci Ilahi” oleh Rahmani Astuti terjm. Deciphering the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam, (Bandung: Mizan, 1996), h. 33.
[23] Salah satu contoh ruang suci adalah Ka’bah; yang mana tempat-tempat ini memiliki nilai sejarah dan barakah tersendiri. Lihat Annemarie Schimmel, “Rahasia Wajah Suci Ilahi” oleh Rahmani Astuti terjm. Deciphering the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam, (Bandung: Mizan, 1996), h. 106.
[24] Salah satu contoh waktu suci adalah Ramadhan; adalah bulan yang paling suci dari semua bulan. Karena didalamnya Muslim wajib berpuasa, waktu diturunkannya al-Qur’an dan didalamnya terdapat Lailatul Qadr yang lebih baik dari seribu bulan. Lihat Annemarie Schimmel, “Rahasia Wajah Suci Ilahi” oleh Rahmani Astuti terjm. Deciphering the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam, (Bandung: Mizan, 1996), h. 122.
[25] Islam seperti semua agama menekankan makna penting dari angka-angka tertentu, seperti angka satu yang memiliki penegasan kuat bahwa Tuhan itu satu. Lihat Annemarie Schimmel, “Rahasia Wajah Suci Ilahi” oleh Rahmani Astuti terjm. Deciphering the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam, (Bandung: Mizan, 1996), h. 133-134.
[26] Annemarie membagi tindakan yang suci menjadi tiga, yaitu:
a. Via Purgativa; terdiri atas cara-cara untuk menyucikan diri sendiri dalam usaha untuk berhubungan dengan yang suci.Seperti berwudlu sebelum shalat dan berpuasa untuk memohon ampunan
b. Via Illuminativa; contoh konkritnya adalah Niat, karena batas tertentu antara yang profan yang tidak termasuk dalam tindakan Penyucian, dan yang ritual adalah niat.
c. Via Unitiva; upaya penyatuan fisik (jiwa kasar Manusia) yang imanen dengan Tuhan yang transenden. Konsep tentang Cinta kepada Allah adalah contoh konkritnya. Gambaran-gambaran al Qur’an mengenai surga dengan  kenikmatannya dapat ditafsirkan sebagai isyarat kebahagiaan tertinggi penyatuan ruhaniah yang tidak dapat diungkapkan dalam istilah-istilah lain.
Lihat Annemarie Schimmel, “Rahasia Wajah Suci Ilahi” oleh Rahmani Astuti terjm. Deciphering the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam, (Bandung: Mizan, 1996), h. 141-174.
[27] Dalam mengumandangkan firman Allah SWT dituntut supaya memperhatikan pola-pola suara yang benar, dan pembacaan yang sesuai dengan kaidah dalam ilmu tajwid atau tartil, tilawat dan lain sebagainya.
Bukti bahwa Firman itu berasal dari Tuhan tidak lain karena kemukjizatan yang dikandungnya, tata bahasa yang indah yakni dari Bahasa Arab Fasih yang tidak dapat ditiru oleh penyair manapun. Lihat Annemarie Schimmel, “Rahasia Wajah Suci Ilahi” oleh Rahmani Astuti terjm. Deciphering the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam, (Bandung: Mizan, 1996), h. 177.
[28] Kitab Suci; yakni Al Qur’an yang berisi kisah-kisah umat dan Nabi terdahulu, peringatan, Tauhid, perintah dan larangan, hukum-hukum dan lain sebagainya berupa rumusan petunjuk bagi kehidupan manusia. Membaca, belajar dan mengajarkannya lalu mengamalkannya adalah pahala yang besar di sisi Allah SWT. Lihat Annemarie Schimmel, “Rahasia Wajah Suci Ilahi” oleh Rahmani Astuti terjm. Deciphering the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam, (Bandung: Mizan, 1996), h. 229.
[29] Manusia; fenomena yang paling nyata di alam ini adalah adanya manusia, sebagai hamba (‘abd); yang menyembah, sebagai khalifah; wakil Tuhan di bumi yang bertugas memakmurkan Bumi dan isinya supaya bisa mempertanggungjawabkan tugasnya kelak di akhirat, sebagai insanunnhathiq yang diberi kelebihan-kelebihan tertentu dibandingkan mahluk lainnya terutama akal. Dari segi penciptaannya, manusia diciptakan dari tanah dan selanjutnya menjadi ‘alaq (QS 96:1).  Sebagaimanaan yang dapat dipahami dari kisah penciptaan, manusia itu terdiri dari badan dan jiwa. Ruh dan Nafs sangat penting sebagai aspek-aspek ruhaniah sejati yang membuat manusia tetap berhubungan dengan realitas-realitas yang lebih tinggi, tetapi badan sangat diperlukan bagi kehidupan ini. Organ-organ tubuh yang dimilki manusia sangat sempurna dan memilki keistimewaan-keistimewaan tersendiri, mulai dari rambut, kepala,  jenggot, kuku, nafas, keringat, darah, kaki, tangan dan sebagainya, semua memilki nilai kesucian dan faedah yang bervariatif. Manusia ada yang laki-laki dan perempuan, memilki peran dan tanggungjawab masing-masing. Lihat Annemarie Schimmel, “Rahasia Wajah Suci Ilahi” oleh Rahmani Astuti terjm. Deciphering the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam, (Bandung: Mizan, 1996), h. 261-262.
Masyarakat; Masyarakat Islam yang ideal, menurut Louis Massignon dan sebagai pengikutnya Louis Gardet, adalah ‘suatu teokrasi egaliter dari para anggota awam.’Komunitas kaum beriman sangat penting dalam pemikiran Muslim normatif, sehingga timbullah keengganan sebagai Muslim terhadap minat Barat pada tokoh-tokoh eksotik seperti para sufi dan yang semacamnya, sebab mereka tidak mewakili norma-norma dan cita-cita dari umat sebab ummat dibangun sesuai dengan visi Nabi yang merupakan hasil dari Ilham Ilahi mengenai masyarakat yang sempurna. Kehidupan yang baik,’kehidupan seorang Muslim yang akan membawanya menuju kebahagiaan di dunia dan di Akhirat, harus ditata hingga rincian yang paling kecil sesuai dengan aturan-aturan wahyu sebagaimana yang ditafsirkan oleh ahli-ahli yang kompeten. Al-Qur’an menggambarkan komunitas Muslim sebagai Ummatan wustha (QS 2: 143), yaitu komunitas tengah, segolongan manusia yang mengambil jalan tengah antara kedua ekstrem, sebagaimana Nabi sering tampil sebagai tokoh yang menghindari legalisme yang kaku dan keras dari Musa dan kelembutan yang berlebihan dari Isa. Landasan utama terbentuknya masyarakat Muslim adalah sunnah Nabi SAW yang banyak memberikan gambaran bahwa muslim yang satu dengan yang lain adalah satu jiwa, karenanya mereka berkewajiban untuk mendukung satu sama lain di jalan keselamatan dengan memerintahkan kebaikan dan melarang kejahatan, ‘amr bi al-ma’ruf wa nahyi an al-munkar. Lihat Annemarie Schimmel, “Rahasia Wajah Suci Ilahi” oleh Rahmani Astuti terjm. Deciphering the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam, (Bandung: Mizan, 1996), h. 292-293.
[30] Ibid., h. 27
[31] Ibid., h. 28-29
[32] G. Van Leeuw (1956),Phanomenologie der Religion, § 85 dalam Rahasia Wajah Suci Ilahi hal. 184, yang mengacu dalam konteks ini pada perkataan Paul Tillich ‘Hanya apa yang pada hakikatnya tersembunyi, dan tidak dapat dicapai oleh pengetahuan apapun, diberikan melalui wahyu.’

[33] T Naff (1984), ‘The linkage of history and reform in Islam. Seperti termaktub dalam Schimmel (1996) hlm. 292.
[34] G.E. von Grunebaum (1958), Muhammedan Festivals, hlm. 5
[35] Lihat, Annimerie Schimmel hal 27-29.
[36] This is one of Schimmel’s most important books. It suns up a lifetime of scholarship on Islam and, more importantly, it puts her understanding of Islam into a phenomenological framework that will readly be appreciated by scholars and students of other religious traditions. It will be looked hacked upon as a landmark in bringing Islamic studies into the mainstream of religious studies. Lihat komentar William C. Chittick pada Cover belakang;Dechipering the Signs of God:A Phenomenological Approach to Islam.
[37] Wikipedia: The free Encyclopedia
[38] She concludes with an examination of the individual’s respon to the Mystery of Divine. Based on bath original classical sources and modern literatures, as well as the author’s conciderable personal experience,, this is not only a fascinating survey of Islamic practices and beliefes, but also broad abroad integrated overview of the phenomenology of Islam(Dechipering The Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam: Back Cover)
[39] Lihat bab VII: How to Approach to Islam, hlm. 245
[40] Ibid, hlm. 253

No comments:

Post a Comment