PENERAPAN
PENDEKATAN FENOMENOLOGI
AGAMA; KAJIAN ATAS KARYA ANNEMARIE SCHIMMEL, DECIPHERING THE SIGNS OF GOD: A PHENOMENOLOGICAL APPROACH TO ISLAM
Muhammad Yazid 16771033
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Program Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang
A. Dasar pemikiran
Pokok bahasan dari
setiap penyelidikan ilmiah terhadap agama adalah fakta agama dan
pengungkapannya. Bahan-bahan ini diambil dari pengamatan terhadap kehidupan dan
kebiasaan keagamaan manusia, tatkala mengungkapkan sikap-sikap keagamaannya dalam
tindakan-tindakan seperti doa, upacara seperti kurban dan sakramen,
konsep-konsep religiusnya sebagaimana termuat dalam mitos-mitos dan
simbol-simbol, kepercayaan-kepercayaannya berkenaan dengan yang suci,
makhluk-makhluk supernatural, dewa-dewa dan sebagainya. Penyelidikan ilmiah
terhadap fenomena agama ini dilakukan oleh berbagai disiplin tersebut
memeriksanyadari aspek-aspek khusus yang sesuai dengan jangkauan dan tujuannya.
Dari kondisi di
atas, kalangan ilmuwan, peneliti-peneliti agama dan pemerhati Studi Agama,
telah melakukan upaya pendekatan terhadap fenomena agama yang dianggap cukup
strategis ketika sebuah ajaran agama ingin dicari lokus nilai-nilai
kebenarannya. Karena pendekatan tersebut menguak hal-hal yang paling esensi
dari tradisi-tradisi keberagamaan yang bisa jadi selama ini hanya sebatas
fenomena ritualitas pemeluknya tanpa pernah dikuak apakah makna dan maksud yang
tersembunyi dari perintah maupun larangan Allah SWT. Meski secara de facto,
ajaran-ajaran yang disampaikan melalui Al-Qur’an dan As-sunnah tidak
terbantahkan, namun pesan dan petunjuk yang ada harus mampu ditangkap dan
dicerna secara baik dan rasional jika hal-hal yang transenden sekalipun
didekati dan dipahami secara fenomenologis, Dan Fenomenologi sendiri adalah
suatu bentuk pendekatan keilmuan yang berusaha mencari hakekat atau esensi dari
apa yang ada di balik segala macam bentuk manifestasi agama dalam
kehidupan manusia di bumi. [1] Namun
demikian, pembahasan fenomenologi agama
ini menggunakan pendekatan yang dalam pisau kajiannya terhadap Islam
melalui pemaknaan ayat-ayat (tanda-tanda) dari Allah terhadap obyek yang
bersifat abstrak maupun hal-hal yang bersifat konkrit, mulai dari aspek-aspek
alam sampai kepada komponen ajaran-ajarannya. Hal ini dimaksudkan supaya
Islam itu benar-benar dipahami dan dimengerti sesuai dengan sudut pandang
kebenarannya menurut penganutnya sendiri secara hakiki, dan tidak dipahami
berdasarkan tendensi-tendensi lain yang melatarbelakangi peneliti. Cukup obyektif
dan representatif bagi ummat Islam meski mungkin tidak bagi penganut agama lain
adalah sebuah Karya seorang pakar sastra Islam dan tokoh Mistisisme (Tasawwuf)
terkemuka dunia asal Jerman Annemarie Schimmel dalam bukunya “Dechipering
The Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam”. Karya ini
menekankan pendekatan fenomenologis dalam memahami Islam melalui tanda-tanda
Tuhan yang ada secara empirik dan spiritual, baik yang ada melalui benda-benda
abstrak maupun tradisi-tradisi keislaman yang melekat secara jelasdan benar.
Kenapa seorang
Annemarie tertarik untuk mendekati dan memahami Islam dari sudut fenomenologis?
Dan apa saja fenomena keberagamaan yang menjadi obyek kajiannya?, sekiranya
itulah yang menjadi pertanyaan besar bagi kita, mengingat secara metode ilmiah,
pendekatan Fenomenologi disamping memiliki keunggulan dibanding
pendekatan-pendekatan yang lain disebabkan hakikat fenomenologi adalah
penyangkalan terhadap asumsi-asumsi sifat-sifat manusia, sifat emosi,
sifat-sifat masyarakat, sifat-sifat dunia, seperti tema-tema dalam pendekatan
sosiologi, maupun sejarah dan psikologi yang sarat dengan teori-teori yang
bersifat “siap pakai” dan teori semacam ini memendam potensi penggagahan dan
manipulasi fakta. Tidak menutup kemungkinan pendekatan ini banyak juga
ditentang sebagaimana pendekatan-pendekatan lainnya. Namun di sinilah peran
partisipasi fenomenologi secara konkrit dan obyektif.
Hanya saja
masalah serius yang menentang klaim obyektivitas pendekatan ini adalah pertama,
fenomena-fenomena agama hampir (harus) selalu diidentikkan dengan pengalaman
keagamaan mayoritas (massa) penganutnya, yakni dengan manifestasi populernya.
Karena itu tak aneh jika isu-isu standar fenomena agama mencakup mitos-mitos
dan simbolisme-simbolisme sakral kepercayaan-kepercayaan mengenai benda-benda
dan tanda-tanda alam. Boleh jadi ini cocok bagi pemahaman esensi (eidos)
agama-agama tertentu yang menjadi tujuan fenomenologi agama. Tetapi amat
diragukan keakuratannya bagi pemahaman Islam yang setidaknya oleh sebagian
penganutnya dianggap sebagai agama intelektual. Kedua, ketika fenomena
keagamaan dibatasi pada apa yang bersifat individual dan personal, ketika ia
dipahami sebagai apa yang “menampakkan diri dalam jiwa orang-orang beriman”
maka agama cenderung diidentikkan dengan mistisisme.[2] Di
sinilah Annemarie sebagai seorang peneliti agama yang punya kecenderungan
mistikal mulai terpancing. Disamping alasan utamanya seperti yang dia nyatakan
dalam Pendahuluan bukunya Dechipheringa the Sign of God: A Phenomenological
Approach to Islam adalah karena keprihatinannya terus mendapati bahwa Islam
ditampilkan secara buruk dalam beberapa buku penting dalam bidang ini.
Karena itu,
karya ini menampilkan hal-hal yang paling esensial dalam agama Islam meski
tidak meninggalkan hal-hal yang bersifat profan[3]. Namun
kecenderungan mistikalnya, memunculkan asumsi bahwa kajian keislamannya ini
terlalu kental dipengaruhi oleh pemahaman dan prasangka pribadinya terhadap
budaya-budaya lokal Turki dan pengetahuannya yang dalam mengenai Syi’ah di
Iran. Meski tidak dipungkiri obyek-obyek yang dikaji selalu dikorelasikan dan
dikomparasikan secara baik terhadap pemahaman, kecendrungan, kebiasaan dari
berbagai macam faham dalam Islam sendiri maupun dalam agama lain. Dan
bagaimanapun kenyataan karya ini adalah wujud kecintaanya terhadap Islam dan
kegigihannya memahamkan Islam terhadap penghujat-penghujatnya. Selebihnya,
mengenai gambaran isi dan sikapnya dalam buku ini akan kami ulas selanjutnya.
Dalam studi
tentang Agama, berbagai pendekatan dilakukan untuk mendapatkan formulasi
Pemahaman yang utuh dan terintegral terhadap agama dirasa perlu untuk
dilengkapi dengan jenis pendekatan dan pemahaman mengenai Agama itu sendiri
secara husus. Hal ini dilakukan dengan maksud supaya agama tidak lagi dipahami
secara parsial dan tidak lagi dipandang tidak memiliki nilai fungsional
terutama bagi kalangan awam penganutnya. Supaya tidak sampai terjadi distorsi
atau reduksi yang berlebihan terhadap fenomena keberagamaan manusia, maka
pendekatan model applied sciences baik dalam bentuk sosiologi, sejarah
maupun psikologi terhadap agama dirasa perlu untuk dilengkapi dengan jenis
pendekatan dan pemahaman lain yang bersifat fenomenologis,[4] yaitu
suatu bentuk pendekatan keilmuan yang berusaha mencari hakikat atau esensi dari
apa yang ada di balik segala macam bentuk manifestasi agama dalam kehidupan
manusia di muka bumi.
Secara Harfiah,
fenomenologi berarti pelajaran mengenai gejala-gejala.[5] Dan
Fenomenologi berkeyakinan bahwa setiap pengetahuan diri kita dan dunia mestilah
dimulai dengan manusia yang paling personal. William James menyebutnya empirisme
radikal. Yang real, menurut James, adalah yang dialami-murni dan tidak
ditafsir-tafsirkan. Meski agak khas, pernyataan Corbin di bawah ini barangkali
cukup jelas meringkas pendekatan ini:
Fenomenologi
adalah pemulihan fenomena, yakni menemui fenomena dimana mereka berlangsung dan
di mana mereka mengambil tempat-tempat mereka. Sehubungan dengan ilmu-ilmu
keagamaan, ini berarti menemui mereka dalam jiwa-jiwa orang-orang beriman
ketimbang dalam monumen-monumen pencermatan kritis atau pemeriksaan-pemeriksaan
mendetail; tujuannya, adalah untuk memaparkan apa yang telah menampakkan
dirinya kepada jiwa-jiwa itu atau, dengan kata lain, fakta keagamaan”.[6]
Fenomenologi
agama-seperti halnya fenomenologi pada umumnya menuntut penyisian sikap menilai
(Judgement) oleh peneliti terhadap objek yang ditelitinya. Pada saat
yang sama ia merupakan pemberontakan terhadap meruyaknya metode-metode
penelitian yang dihasilkan dari sains-sains teoretis, khususnya sosiologi dan
sejarah (baca:historisisme). Buat Schimmel, satu-satunya metode yang sah dalam
mempelajari dan mengungkapakan Islam adalah Fenomenologi. Islam harus dilihat
dan dipahami sebagaimana orang Islam memahaminya.[7]
Sebuah karya fenomenal “Dechipering The
Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam (1994) oleh Annemarie
Schimmel merupakan salah satu literatur dalam upaya pendekatan pemahaman
terhadap Islam melalui pendekatan Fenomenologis. Kemudian karya ini
diterjemahkan oleh Rahmani Astuti (1996) dan berganti judul menjadi “Rahasia
Wajah Suci Ilahi”, dimana Annemarie mengkaji hal-hal yang suci dalam Islam;
alam dan kebudayaan yang suci, ruang dan waktu yang suci, tindakan yang suci,
firman dan kitab suci, individu dan masyarakat, Tuhan dan ciptaan-Nya
(Schimmel, 1996:7)[8]
1.
Sekilas Tentang Penulis
Annemarie Schimmel lahir pada 7 April 1922 di
Jerman ia menjadi terkenal dan berpengaruh sebagai Iranologist, sebagai
sejarawan dan penulis produktif tentang Islam dan tasawuf sampai ia meninggal
pada 26 Januari 2003. Schimmel belajar di Universitas Berlin dan menerima gelar
doktor dalam bahasa dan peradaban Islam pada usia sembilan belas. Dia kemudian
menjadi profesor bahasa Arab di Universitas Marburg pada tahun 1946. Sementara
di sana, ia meraih gelar doktor kedua pada tahun 1954, kali ini dalam sejarah
agama. Pada tahun yang sama, ia menjadi profesor sejarah agama di Universitas
Ankara di Turki. Dia menghabiskan lima tahun di sana, mengajar di Turki dan
menyerap budaya dan agama melingkupi daerah. Dari 1967 hingga 1992, ia mengajar
di Harvard University dan menjadi profesor emeritus Indo-budaya Muslim. Dia
juga seorang profesor kehormatan Universitas Bonn, menerbitkan lebih dari
seratus buku-buku tentang sastra Islam, mistisisme dan budaya dan diterjemahkan
tambahan berbagai puisi Islam untuk bahasa Inggris dan Jerman dari
bahasa-bahasa seperti Persia, Urdu, Arab, Sindhi dan Turki . Pemerintah
Pakistan menganugerahkan gelar kehormatan dengan ketertiban sipil
tertinggi yang dikenal sebagai Hilal-e-Imtiaz atau 'Bulan Sabit of
Excellence'. Dia menerima banyak penghargaan lainnya dari banyak negara lain,
termasuk Hadiah Perdamaian dari Perdagangan Buku Jerman pada tahun 1995, yang
terbukti kontroversial karena dirinya dianggap mendukung dijatuhkannya hukuman
mati terhadap Salman Rushdie seorang penghujat Nabi SAW.
Annemarie
Schimmel, (1922-2003) adalah salah satu pakar terkemuka sastra Islam dan
mistisisme (tasawuf) di dunia. Dia menulis lebih dari 80 buku dan esai,
dan memberikan kuliah di universitas dan konferensi di seluruh dunia. Profesor
Schimmel merupakan staf pengajar di berbagai Universitas termasuk Ankara
University, University of Bonn, dan Harvard University. Tulisannya termasuk
terjemahan ke dalam bahasa Inggris dan Jerman dari karya-karya dalam bahasa
Persia, Urdu, Arab dan Turki, serta orang-orang kudus studi Islam, tasawuf, dan
literatur Islam. Bukunya Mystical Dimensions of Islam (1975) dianggap klasik di
bidangnya. Profesor Annemarie Schimmel menyumbangkan kata pengantar untuk edisi
terbaru mahakarya Frithjof Schuon,Understanding Islam. Dalam kata pengantar
untuk Memahami Islam dia menulis: "buku Schuon menunjukkan esensi Islam,
membandingkan dengan pandangan dunia Kristen dan sering membawa contoh-contoh
dari tradisi-tradisi agama lain, yang semuanya terdiri dari pengetahuan yang
luas. Gaya mengingatkan pekerjaan kadang-kadang pembaca melihat bentuk kristal
murni, namun orang sering menemukan bagian-bagian yang menyentuh hati.”[9]
Dalam Tulisan
Awal buku Terjemahan Dechipering The Signs of God: A Phenomenological Approach
to Islam yakni “Rahasia Wajah Suci Ilahi”, yang berjudul Fenomena Schimmel oleh
Haidar Bagir, Yang has dari
Profesor yang konon menguasai lebih dari 20 bahasa asing dan memiliki Photographic
memory ini adalah bahwa sepanjang perkuliahannya matanya menatap ke
langit-langit kelas tanpa sedetikpun menatap ratusan mahasiswa yang dengan
antusias mengikuti kuliah-kuliahnya tentang Tasawwuf. Dan betapapun amat
bersimpati kepada Islam, dia tidak pernah benar-benar mengaku sebagai seorang
muslimah.
2.
Pengertian Dechipering The Signs of God: A Phenomenological
Approach to Islam
Adapun
Dechipering The Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam mengandung
pengertian sebagai berikut: menurut arti kamus (Lexical Meaning), yaitu salah
satu fase awal pemaknaan yang ada dalam semantik,[10]
dechipering (gerund: kata kerja yang dibendakan) merupakan derivasi dari kata
dechiper yang berarti menemukan arti sesuatu yang tertulis dalam bentuk, kode,
tanda-tanda, tulisan tangan jelek, atau steno dan sebagainya (find the meaning
of something written in code, sign, bad hand writing, ect).[11] The
(definite article), jika disandingkan dengan jabatan kata yang ada dalam tata
Bahasa Arab, menempati posisi kata yang sama dengan lam al-ta’rif (ma’rifah: ال), dipakai untuk menunjukkan kejelasan
sesuatu.[12]
Dalam hal ini, yaitu tanda-tanda (signs) atau simbol-simbol yang digunakan
untuk mempresentasikan sesuatu,[13] yakni Tuhan (God). Dengan demikian, Dechipering
The Signs of God kurang lebih berarti menemukan makna atau apa
(rahasia-rahasia) dibalik tanda-tanda Tuhan, baik yang tersurat (explicit)
maupun yang tersirat (implicit), tanda-tanda yang tertulis sebagai teks yang
kemudian dibacakan (wahyu mathluw) dan yang di luar teks (wahyu masyhud)[14] secara
fenomenologis.
Lain dari pemaknaan literal di atas, kajian ini tidak akan memfokuskan pembahasan
untuk menyoroti objek studi lewat telaah bahasa (Linguistics) ataupun sastra
(literature) secara utuh dan partikular, melainkan terlebih kepada keterlibatan
pengarang dalam menemukan tanda-tanda kebesaran Tuhan melalui pendekatan
fenomenologis. Hal ini tercermin dalam upaya konkrit penemuan obyek-obyek
fenomena keberagamaan dalam Islam melalui hal-hal yang sakral dan esensi untuk
memahami secara mendetail keagungan dan ketinggian nilai-nilai Ilahiah di bumi
ini.
3.
Tujuan Pendekatan Fenomenologi
Dalam konteks ilmiah, pendekatan (approach) memiliki
beberapa arti: pertama, cara pandang dalam suatu obyek; kedua, cara atau
langkah yang diambil untuk melaksanakan tugas dalam mengatasi masalah; ketiga,
cara pandang yang digunakan untuk menjelaskan suatu data yang dihasilkan dalam
penelitian; keempat; pisau analisis yang didasarkan pada ciri pokok sesuai
dengan disiplin tertentu.[15]
Sementara itu fenomenologi[16]
merupakan sebuah istilah yang telah luas dipakai dalam hazanah filsafat modern
untuk menunjuk pada pengetahuan tentang fenomena. Sebagai sebuah disiplin ilmu,
fenomenologi pertama kali diperkenalkan oleh Johan Heinrich Lambert[17]
dan Immanuel Kant. Fenomenologi kemudian dikembangkan lebih dalam lagi oleh
G.W.F. Hegel dalam karya monumentalnya Phenomenology of the Spirit (1807)[18]
yang kemudian diteruskan oleh Husserl.[19]
Dari
pendapat beberapa tokoh di atas dapat diketahui, bahwa fenomenologi berusaha menangkap
fenomena sebagaimana adanya (to show itself) atau menurut penampakannya sendiri
(views itself). Menurut Elliston, “phenomenology then means… to let what shows
itself be seen by itself and in terms of itself, just as it shows itself by and
from itself.”[20] Maka
bisa dimaklumi jika Schimmel melihat bahwa pendekatan fenomenologi sangat cocok
dipakai untuk memahami Islam.[21]
Karena dalam Islam, “Everything can become an aya, a sign, not only the verse
of the Koran.” Pada dasarnya semua ciptaan Tuhan itu mengagungkan kebesaran-Nya
dengan caranya masing-masing. Jadi, semua yang ada di alam ini bisa dilihat
dengan kacamata agama untuk mengantarkan pada pemahaman terhadap Yang Maha Esa.
4.
Aspek-aspek dan Objek Kajian Annimerie Schimmel dalam “Dechipering The Signs of God; A Phenomenological Approach to Islam”
Objek kajian
Schimmel dalam memahami Islam dengan menggunakan pendekatan fenomenologis
adalah seluruh apa yang terdapat di alam ini yang terdiri dari sesuatu yang
tampak dan yang tidak tampak. Ia lantas membaginya ke dalam empat lapisan.
Schimmel
melalui pendekatan fenomenologi agamanya mengunakan metode pendekatan yang
dikembangkan oleh Friedrich Heiler berusaha menjelaskan tentang aspek-aspek
dalam Islam. Ia berpendapat bahwa dengan menggunakan struktur lingkaran
Friedrich Heiler dapat masuk ke dalam jantung agama dengan jalan menelaah lebih
dulu fenomenanya dan selanjutnya lapisan-lapisan yang lebih dalam dan lebih
dalam lagi dari tanggapan-tanggapan manusia tentang Tuhan, hinggamencapai
intisari suci atau deus absconditus yang paling dalam dari masing-masing
agama. Friedrich Heiler selalu mengacu pada perkatan Friedrich von Hugel bahwa
ruh itu bangkit ketika ia berhubungan dengan benda-benda materi.
Adapun objek kajian tersebut disebut dengan
cincin konsentris. Model cincin konsentris mungkin kelihatan artifisial; namun,
aneh juga model yang sama telah digambarkan lebih dari seribu tahun yang lalu
dalam karya Abul Husain an-Nuri (w.907). lingkaran empat lapisnya
(cincin konsentris) adalah sebagai berikut:
Gambar I. Struktur Cincin Konsentris yang
dikembangkan Friedrich Heiler dan digunakan oleh Annimerie Schimmel.
Lapisan terluar, the world of outer manifestations, yang terdiri
dari tiga bagian yaitu pertama, objek yang suci;[22]
ruang yang suci di mana tinggal di dalamnya tata cara memuja Tuhan,[23]
waktu yang suci di mana dilaksanakan ritual keagamaan,[24]
angka suci yang dengannya diukur kesucian objek,[25]
ruang, waktu, kata-kata, manusia, dan perbuatan/tindakan yang suci.[26]
Kedua, kata-kata yang suci, yaitu kata-kata yang diucapkan (firman Tuhan,[27]
doa, nama-nama Tuhan, sabda-sabda, mitos, legenda, ramalan, ajaran, doktrin,
penebusan dosa, pujian, rasa syukur, permohonan, penyerahan), dan kata-kata
yang tertulis yaitu teks kitab suci.[28]
Ketiga, manusia yang suci dan masyarakat yang suci.[29]
Dalam pandangan Schimmel, ketiganya merupakan sesuatu yang bisa diobservasi,
bisa dilihat, didengarkan, disentuh. Agama menurutnya bukanlah sesuatu yang tak
nyata tapi merupakan sebuah komuni fisik dengan sang Tuhan.[30]
Lapisan
berikutnya adalah lapisan dalam yang pertama. Schimmel menyebutnya sebagai the
world of religious imagination yang terdiri dari konsep ketuhanan, konsep
penciptaan (kosmologi dan antropologi), konsep wahyu, konsep penebusan
dosa/penyelamatan, dan konsep tentang hari akhir (eschatology).
Selanjutnya
adalah lapisan dalam kedua yang oleh Schimmel disebut sebagai the world of
religious experience. Wilayah ini menjelaskan apa yang terjadi jauh dalam hati
seseorang sebagai pandangan rasional tentang Tuhan. Di sini terdapat
nilai-nilai keagamaan yang di dalamnya merupakan dari manusia yang suci, objek
suci dan perbuatan yang suci seperti penghormatan terhadap Tuhan, taqwa, iman,
harapan, dan cinta kepada Tuhan.
Lapisan yang
paling dalam adalah the objective world of religion yang merupakan pusat dari
lingkaran tersebut. Ini merupakan realitas ketuhanan yang hanya bisa dipahami
melalui seluruh manifestasi eksternal, pikiran dalam, pengalaman hati, melalui
dua pengertian. Pertama, Tuhan sebagai Deus revelatus. Yaitu wajah tuhan yang
tampak dari sudut pandang manusia sebagai Yang Maha Suci, Maha Benar, Maha
Adil, Maha Cinta, Maha Pengasih, Sang Penyelamat, yaitu Tuhan yang personal
yang diekspresikan dengan kata KAU. Kedua, sebagai Deus ipse atau absconditus.
Yaitu tuhan yang Maha Agung yang diekspresikan sebagai DIA sebagai kesatuan
yang absolute.
Dalam pandangan
Schimmel, ada korelasi antara beberapa segmen dalam lapisan-lapisan di atas.
Ekspresi dalam bentuk fisik, pikiran, perasaan, pada akhirnya akan berhubungan
dengan realitas ketuhanan. Meskipun realitas itu tidak akan pernah dapat
diekspresikan secara sempurna oleh manusia, namun menurut Schimmel terdapat
hubungan tertentu dengan realitas tersebut. Pola hubungan tersebut adalah
analogia entis, yang berarti wujud yang diciptakan berhubungan dengan wujud
ketuhanan yang tidak diciptakan.[31]
Bagi seorang muslim, segala sesuatu dapat
menjadi ‘ayat, tanda dari Tuhan. Al-Qur’an mengulang-ulang kebenaran ini
berkali-kali, memperingatkan mereka yang tidak percaya pada
tanda-tanda Tuhan atau yang mengingkarinya. Semua makhluk adalah tanda-tanda,
perubahan antara siang dan malam adalah suatu tanda, begitu juga pertemuan yang
disertai cinta-kasih antara suami istri; dan mukjizat-mukjizat itupun merupakan
tanda-tanda (lihat QS 30: 19-25): mereka semua membuktikan bahwa ada satu Tuhan
yang tetap hidup, yang merupakan asal dari segalanya. Alam sesungguhnya adalah
sebuah buku besar di mana mereka yang mempunyai mata untuk melihat dan
mempunyai telinga untuk mendengar dapat menemukan tanda-tanda Tuhan dan
karenanya dituntun melalui perenungan mereka menuju Sang Pencipta itu sendiri.
Dengan memahami dan menafsirkan tanda-tanda tersebut kita mungkin dapat
memahami kebijaksanaan dan kekuasaan Ilahi. Kita juga akan memahami bahwa,
Tuhan memberi pelajaran melalui perbandingan-perbandingan,
perumpamaan-perumpamaan, dan persamaan-persamaan untuk menarik hati manusia di
luar paras-paras penciptaan lahiriah.
Harus selalu diingat bahwa aspek-aspek ruhaniah
dari kehidupan hanya dapat diungkapkan melalui aspek-aspek yang terinderai seperti angin
hanya dapat dilihat melalui gerakan rumput atau daun yang digerakkan angin.
Sebagaimana didendangkan oleh penyair Indo-Muslim abad ke sembilan belas,
Ghalib; debu yang dapat kita lihat dari jauh di gurun pasir menyembunyikan
penunggang kuda yang mengepulkannya; dan lapisan-lapisan busa di permukaan
samudera menunjuk pada jurang yang tak terukur dalamnya. Tanda-tanda ini
penting, sebab hati manusia ingin sekali menangkap kilasan Ilahi (meskipun
Tuhan itu tidak terjangkau oleh segala bentuk dan imajinasi) namun kita
tetap berharap dapat menyentuh kekuatan sang Ilah dengan satu atau lain cara.
Hal yang lain seperti tugas penyembahan, juga
dapat ditafsirkan di luar makna penting lahiriah mereka sebagai tanda-tanda
bagi sesuatu yang lebih tinggi:Shalat adalah hilangnya diri seseorang yang
kecil dalam penyatuan dengan yang suci, atau pengorbanan jiwa seseorang di
hadapan Tuhan yang dicintai dan menguasai; perjalanan Haji menunjuk pada
perjalanan tanpa henti dari jiwa menuju Tuhan;puasa mengajarkan seseorang untuk
hidup dengan cahaya dan peribadatan. Oleh karena itu setiap bentuk ritual
lahiriah dapat menjadi tanda pengalaman ruhaniah. Demikian pula,
tindakan-tindakan simbolis dapat digunakan untuk menjelaskan aspekaspek
ruhaniah tertentu dalam Islam;ketika Nabi melemparkan pasir dan batu kerikil ke
arah musuh-musuhnya dalam perang Badr (624) seperti yang diwahyukan dalam QS
8:17 (Waktu kamu melempar itu sebenarnya bukan kamu yang melakukan...’), hal
itu menunjukkan bahwa seseorang yang telah mutlak patuh kepada Tuhan dapat
bertindak, begitu dikatakan, melalui kekuatan Tuhan.
Dalam buku Dechipering The Signs of God: a
Phenomenological Approach to Islam, diuraikan banyak hal-hal yang bersifat
suci dalam agama Islam baik itu berupa benda-benda maupun rumusan
ajaran-ajarannya untuk menuntun keyakinan dan memberikan pemahaman lebih tegas
atas tanda-tanda Allah di dalam Alam semesta ini. Untuk lebih jelasnya, berikut
aspek-aspek umum kajian bukunya:
a.
Aspek-aspek Suci, Alam dan Kebudayaan
Alam Tak Bernyawa, yaitu Batu, dalam
Fenomena Islam diketahui ada Ka’bah di Mekkah yang tidak lain adalah sebuah
batu yang merupakan pusat atau titik kemana orang-orang beriman berpaling
ketika shalat. Gunung, yang diyakini sebagai penyangga bumi, Air, yang tidak lain untuk berwudlu, begitu
juga ada air Zam-zam merupakan fenomena yang luar biasa dalam Islam dan
memiliki sejarah yang cukup sakral.Air juga bisa berupa Lautan, samudera, hujan
dan sungai. Api, dimana syaitan dan jin diciptakan darinya.
Pohon, banyak sekali disebutkan dalam
konsepsi-konsepsi tentang manusia dalam hubungannya dengan alam. Karena pohon
yang mendatangkan buah untuk dimakan manusia sebagai sumber kehidupannya.
Kaitan erat antara pohon dan kehidupan terutama kehidupan ruhania, diungkapkan
secara indah dalam hadits yang menyatakan bahwa orang yang berzikir, mengingat
Tuhan adalah laksana sebatang pohon hijau di tengah pepohonan yang gersang. Hewan,
bukan hanya tumbuhan, hewanpun menyembah Tuhan, masin-masing dengan
cara-caranya sendiri. Adapun hewan-hewan yang pernah memiliki andil maupun
hewan yang hanya muncul dalam sebuah kisah baik dalam al Qur’an al
Hadits,maupun riwayat para sahabat dan orang-orang saleh adalah: lebah, semut,
laba-laba, singa, kucing, anjing, landak besar, buroq, ular, burung; merpati,bangau,ayam
jago, merak, nuri, dan angsa.
b.
Ruang dan Waktu yang suci
1)
Ruang yang Suci; dalam konteks ini Schimmel
mengkaji ruang dan tempat-tempat seperti Gua, Rumah, Masjid, Kuburan, Makkah
dan Madinah (al Haramain), Ka’bah. Yang mana tempat-tempat ini memiliki
nilai sejarah dan barakah tersendiri.
2)
Waktu yang Suci, Waktu
mengukur kehidupan kita, dan setiap agama mempunyai waktu sucinya
sendiri-sendiri. Secara historis, kesadaran waktu Muslim dimulai dengan hijrah
yang berarti realisasi praktis konsep-konsep wahyu. Suatu awal baru yang
penting dibuat dengan diperkenalkannya tahun Komariyyah;
3)
Ramadhan; adalah bulan yang paling suci dari
semua bulan. Karena di dalamnya Muslim wajib berpuasa, waktu diturunkannya al
Qur’an dan di dalamnya terdapat Lailatul qadr’ yang lebih baik dari seribu
bulan (QS 97).
4)
Dua hari raya (‘idain); ‘Idul Fithri pada 1
Syawal dan ‘Idul ‘Adlha di bulan Dzul Hijjah sekaligus sebagai waktu untuk
Ibadah Hajji yang penuh rahmat.
5)
Maulid Nabi SAW; pada 12 Rabi’ul Awwal
6)
Rajab; bulan ke tujuh komariyah, dikaitkan
dengan Isra’ Mi’raj pada tanggal 27.
7)
Sya’ban; bulan laylatul bara’ah,
disunnatkan memperbanyak ibadah di dalamnya, terutama puasa sebagai persiapan
memasuki bulan Ramadhan.
c.
Tindakan yang Suci
Al Qur’an menekankan perbuatan yang baik dan
tindakan yang bermanfaat, dan agar bersandar pada Sunnah Nabi SAW serta para
pemimpin Ummat yang terdahulu (salaf). Annemarie membagi tindakan yang suci
menjadi tiga, yaitu:
1)
Via Purgativa; terdiri atas car-cara untuk
menyucikan diri sendiri dalam usaha untuk berhubungan dengan yang suci.Seperti
berwuldu sebelum shalat, berpuasa untuk memohon ampunan dan menyucikan diri.
2)
Via Illuminativa; contoh konkritnya adalah
Niat, karena batas tertentu antara yang profan yang tidak termasuk dalam
tindakan Penyucian, dan yang ritual adalah niyyat, contoh lainnya adalah bay’ah
(bai’at) mengambil sumpah untuk terlaksananya sesuatu.
3)
Via Unitiva; upaya penyatuan fisik (jiwa kasar
Manusia) yang imanen dengan Tuhan yang transenden. Konsep tentang Cinta kepada
Allah adalah contoh konkritnya. Gambaran-gambaran al Qur’an mengenai surga
dengan kenikmatannya dapat ditafsirkan sebagai isyarat kebahagiaan
tertinggi penyatuan ruhaniah yang tidak dapat diungkapkan dalam istilah-istilah
lain.
d. Firman dan
Kitab Suci
1)
Firman (Mengenai Tuhan dan dari Tuhan)
Firman, karena ia berasal dari Tuhan dan
mengungkapkan diriNya serta kehendakNya, sangat sentral dalam Islam. Tetapi
secara umum, firman suci terlindung dari hiruk pikuk kehidupan sehari-hari
melalui suatu cara pembacaan khusus yang menekankan ciri kesuciannya. Bukti
bahwa Firman itu berasal dari Tuhan tidak lain karena kemukjizatan yang
dikandungnya, tata bahasa yang indah yakni dari Bahasa Arab Fasih yang tidak
dapat ditiru oleh penyair manapun. Firman ini juga sebagai bahasa pujian, disamping
merupakan bahasa hati, karena cara lain untuk menyebarkan isi wahyu adalah glossolalia,
atau berbicara dalam berbagai bahasa. Kaum muslim tau bahwa wahyu yang
sesungguhnya selalu penuh misteri: orang tidak pernah dapat mengerti sepenuhnya
dan memahaminya, meskipun makna dan urutan kata-katanya sangat jelas. Sebuah
wahyu yang dipahami sepenuhnya tidak akan menjadi wahyu sejati dari zat Ilahi
yang tak dapat diperkirakan.[32]
2)
Kata Untuk Tuhan
Kata
mempunyai kekuatan realisasi: karena datang dari Tuhan pada awalnya(sebagaimana
segala sesuatu). Bangsa-bangsa kuno (dan sampai batas tertentu manusia modern
pula) mengenal kekuatan magis dari kata, yang dapat direalisasikan dalam
pengaruh-pengaruh dari rahmat dan kutukan, salam dan perintah: mengucapkan kata
itu dapat menyembuhkan sekaligus menyakiti. Itu sebabnya rumusan salam amat
penting, Al Qur’an memerintahkan orang mukmin untuk menyalami satu sama
lain.Selain salam ada Tashliyah;dapat menguatkan nilai suatu permohonan
atau menuntun pada pengampunan dosa-dosa. Kutukan, sumpah, janji, Istighfar,
suara adzan, baru kemudian Shalat, Doa, pujian, Zikir merupakan bahasa-bahasa
yang bersumber dari Allah dan untukNyapun diucapkan.
3) Kitab Suci;
Yakni Al Qur’an
yang berisi kisah-kisah umat dan Nabi terdahulu, peringatan, Tauhid, perintah
dan larangan, hukum-hukum dan lain sebagainya berupa rumusan petunjuk bagi
kehidupan manusia. Membaca, belajar dan mengajarkannya lalu mengamalkannya
adalah pahala yang besar di sisi Allah SWT.
e.
Individu dan Masyarakat.
1)
Manusia
Fenomena yang
paling nyata di alam ini adalah adanya manusia, sebagai hamba (abd);
yang menyembah, sebagai khalifah; wakil Tuhan di bumi yang bertugas memakmurkan
Bumi dan isinya supaya bisa mempertanggung jawabkan tugasnya kelak di akhirat,
sebagai insanunn hathiq yang diberi kelebihan-kelebihan tertentu dibandingkan
mahluk lainnya terutama akal. Dari segi penciptaannya, manusia diciptakan dari
debu dan selanjutnya menjadi ‘alaq (QS 96:1). Sebagaimanaan yang dapat
dipahami dari kisah penciptaan, manusia itu terdiri dari badan dan jiwa. Ruh
dan Nafs sangat penting sebagai aspek-aspek ruhaniah sejati yang membuat
manusia tetap berhubungan dengan realitas-realitas yang lebih tinggi, tetapi
badan sangat diperlukan bagi kehidupan ini. Organ-organ tubuh yang dimilki
manusia sangat sempurna dan memilki keistimewaan-keistimewaan tersendiri, mulai
dari rambut, kepala, jenggot, kuku, nafas, keringat, darah, kaki, tangan dan
sebagainya, semua memilki nilai kesucian dan faedah yang bervariatif. Manusia
ada yang laki-laki dan perempuan, memilki peran dan tanggungjawab
masing-masing.
2)
Masyarakat;
Masyarakat
Islam yang ideal, menurut Louis Massignon dan sebagai pengikutnya Louis Gardet,
adalah ‘suatu teokrasi egaliter dari para anggota awam.’Komunitas kaum beriman
sangat penting dalam pemikiran Muslim normatif, sehingga timbullah keengganan
sebagai Muslim terhadap minat Barat pada tokoh-tokoh eksotik seperti para sufi
dan yang semacamnya, sebab mereka tidak mewakili norma-norma dan cita-cita dari
umat sebab ummat dibangun sesuai dengan visi Nabi yang merupakan hasil dari
Ilham Ilahi mengenai masyarakat yang sempurna.[33] Kehidupan
yang baik,’kehidupan seorang Muslim yang akan membawanya menuju kebahagiaan di
dunia dan di Akhirat, harus ditata hingga rincian yang paling kecil sesuai
dengan aturan-aturan wahyu sebagaimana yang ditafsirkan oleh ahli-ahli yang
kompeten.[34]
Al-Qur’an menggambarkan komunitas Muslim sebagai Ummatan wustha (QS 2:
143), yaitu komunitas tengah, segolongan manusia yang mengambil jalan tengah
antara kedua ekstrem, sebagaimana Nabi sering tampil sebagai tokoh yang
menghindari legalisme yang kaku dan keras dari Musa dan kelembutan yang
berlebihan dari Isa. Landasan utama terbentuknya masyarakat Muslim adalah
sunnah Nabi SAW yang banyak memberikan gambaran bahwa muslim yang satu dengan
yang lain adalah satu jiwa, karenanya mereka berkewajiban untuk mendukung satu
sama lain di jalan keselamatan dengan memerintahkan kebaikan dan melarang
kejahatan, amr bi al-ma’ruf wa nahyi an al-munkar.
f.
Tuhan dan CiptaanNya, Eskatologi; Schimmel
dalam konsep ini menjelaskan bahwa Tuhan digambarkan sebagai wajib al-wujub,’Dia
yang eksistensi-Nya mutlak wajib’ dan yang kepadaNya segala sesuatu bergantung.
Tuhan adalah Prima causa, dan tidak ada penyebab sekunder.
Peristiwa-peristiwa di dalam dunia ciptaan merupakan pengaruh dari keterlibatan
langsung sang pencipta:apapun yang terjadi bukan akibat dari kausalitas
melainkan karena sunnat Allah.
g.
Cara Pendekatan terhadap Islam; adalah uraian
pamungkas dari buku ini, menegaskan perlunya pendekatan yang sesuai dan
obyektif terhadap Islam. Untuk menegaskan eksistensi kebenaran ajarannya.
Ada keterkaitan dari berbagai lingkaran itu; bentuk fisik dari ungkapan,
pemikiran, perasaan, yang akhirnya terkait dengan realitas Ilahi. Meskipun
realitas itu tidak akan pernah terungkap secara sempurna dalam bentuk-bentuk
ungkapan, pemikiran, dan pengalaman manusia, ada keterkaitan tertentu dengan
Ilahi, analogia etnis: makhluk ciptaan berkaitan dengan zat ilahi yang tak
tercipta.[35]
Paparan terebut di atas
menjelaskan tentang suatu konsepbahwa untuk menuju kepada deus abscondetus yaitu Tuhan yang diakui sebagai kesatuan
mutlak, maka dapat dijabarkan melalui aspek-aspek susi seperti aspek alam dan
kebudayaan suci, objek suci, ruang dan waktu suci, tindakan suci, firman dan
kitab suci, serta manusia dan masyarakat yang suci. Di mana dari melihat
aspek-aspek tersebut akan mengggiring kita untuk melihat konsep mengenai Tuhan,
wahyu , dan keselamatan sehingga akan menciptakan suatu ketakjuban dan
ketundukan, cinta serta iman yang kemudian akan menjadi suatu kekudusan dari
Tuhan.
5.
Memahami Islam Secara Fenomenologis menurut Annimerie Schimmel
Pada Cover belakang;Dechipering
the Signs of God:A Phenomenological Approach to Islam William C. Chittick
menyatakan bahwa Dechipering the Signs of God: A Phenomenological Approach
to Islam, adalah suatu karya penting Schimmel yang memberi pencerahan
pemahaman Islam sepanjang masa. Lebih penting lagi, pemilihan pendekatan
fenomenologisnya sebagai kerangka berfikir yang sangat mungkin akan banyak
diapresiasi oleh tradisi keagamaan lain.[36]
Schimmel berusaha mengungkap apa sebenarnya
yang terdapat di balik kepercayaan yang menyebar di kalangan kaum Muslim bahwa
suatu benda, tempat, waktu atau tindakan mengandung barakah tertentu serta cara
pendekatan terhadap Islam.[37] Dia
(Schimmel) menyimpulkan dengan teliti tiap-tiap respon terhadap misteri Ilahi.
Berdasarkan sumber orisinil, baik literatur klasik maupun modern, dan
pengalaman pribadi yang bisa dipertimbangkan kebenarannya, Dechipering The
Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam bukan hanya menarik
sebagai penelitian praktik-praktik keislaman dan keyakinan Islam, tetapi juga
merupakan pandangan fenomenologis Islam yang terintegral.[38]
Islam memungkinkan untuk dilihat dari hal
mendasarnya, yaitu normatif yang dibangun sebagai acuan hukum di mana kehendak
Tuhan terkuak, dapat dilihat.[39] Konsep
lain adalah pertemanan dengan Tuhan
yang terjalin sedemikian rupa sehingga agama yang akhir-akhir ini sering
dimaknai sebagai keterlibatan seseorang, dapat dibangun dengan landasan
pertemanan, menjadi teman Tuhan (God’s friend).[40]
Islam dalam konteks fenomenologis Schimmel ini
pada hakikatnya adalah usaha memahami Islam apa adanya sesuai dengan esensi
ajaran, tanpa mengenyampingkan peran-peran tradisi yang dipraktekkan sebagai
wujud aktualisasi keimanan dan ketakwaan sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan
sunnah. Meski tidak dapat dipungkiri konsekuensi dari semua ini munculnya fakta
mistis dalam aspek-aspek kajian ini.
Dalam perspektif ini, penafsiran-penafsiran dan
anggapan yang subyektif dari penganut Islam sendiri tidak dapat dihindari
karena obyek kajiannya adalah hal yang paling sensitif dan fundamen dalam
ajaran ini, meski tetap memiliki keunggulan tersendiri, baik itu bagi
pemeluknya secara spesifik maupun bagi pemerhati studi agama-agama secara general.
Kajian fenomenologis ini, dimaksudkan supaya
agama tetap ditempatkan pada sebuah lokus spiritual, dinamika dan gejala
sosial, sumber intelektual, sehingga manifestasi dari fenomena keberagamaan
memiliki corak dan warna dalam membentuk pemahaman sekaligus karakter yang
kokoh, tidak hanya bagi pemeluknya melainkan bagi siapa saja yang memiliki
respek untuk mengkajinya. Hal ini dimungkinkan untuk meminimalisir pandangan
sentimen yang terlalu ekstrim terhadap Islam.
[1] Prof.Dr.H. Abuddin Nata, MA. Metodologi
Studi Islam, (Jakarta:PT raja grfindo Persada, 1998), hal.28-51.
[4] Lihat Dr. M. Amin Abdullah,dalam “Studi
Agama Normatifitas atau Historisitas?”,Pustaka Pelajar Offset,1996.hal.27
[5] Phenomenology:1. The scince of phenomena as
distinct from that of the nature of being. 2. An approach that concentrates on
the study of consciousness and the objects of direct experience. Lihat Oxford:
Dictionary Theasaurus & Wordpower Guide, New York: Oxford University Press,
2001, hlm. 963.
[6] Henry Corbin, “For the Concept of Irano-Islamic
Philosophy, “The Philosophical Forum [Boston] 4/1, hlm.114-123,
sebagaimana dikutip dalam Hamid Algar, “The Study of Islam: The New Work of Henry
Corbin, “Religious Studies Review (Ontario, Canada: The Council on the
Study of Religion,, 6/2 [1980].
[7] Haidar Bagir dalam Fenomena Schimmel, mengawali
buku “Rahasia Wajah Suci Ilahi” oleh Rahmani Astuti terjm. Dechipering the
Signs of God:A Phenomenological Approach to Islam (Annemarie Schimmel),
hal.10-11
[8] Lihat Tesis M. Darojat Ariyanto, Ilmu
Perbandingan Agama:Isi, Perkembangan, dan Manfaatnya bagi seorang Muslim,
Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Annemarie Schimmel menulis bahwa para sufi
mempunyai ungkapan kesayangan, yaitu “pelepasan kedua sandal”. Seorang
“pencari” melepas sandal sebagai lambang pelepasan semua yang bersifat duniawi
untuk memasuki wilayah Tuhan yang paling Suci. Begitu memulai perjalanan, ia
dibimbing oleh cahaya bathin yang kian terang, sementara ia membebaskan diri
dari keterikatan dengan dunia. Ia, kata para sufi,menggosok cermin jiwanya
sampai mengkilap.Lihat ringkasan makalah Karlina Supelli, Bercanda dengan
Tuhan, yang disampaikan dalam Diskusi sains, Filsafat dan Spiritualitas,
diselenggarakan oleh Penerbit Mizan
bekerjasama dengan Bentara Budaya Jakarta, 19 Maret 2003 dan dimuat di kompas 4
April 2003.
[10] Semantics: study of the meaning of words.
(Oxford Learner’s Pocket Dictionary, New Edition, 1995:374)
[14] Lihat Muzammil H. Siddiqi, Islamic Worlview: An
Invitation to Proper Thought and Action, khutbah di ISOC January 20, 2006.
[15] Akh. Minhaji, Strategies for
Social Rresearch: The Methodological Imagination in Islamic Studies
(Yogyakarta: Suka Press, 2009), h. 29.
[16] Fenomenologi
sendiri adalah suatu bentuk pendekatan keilmuan yang berusaha mencari hakekat
atau esensi dari apa yang ada di balik segala macam bentuk manifestasi agama
dalam kehidupan manusia di bumi. Lihat Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 1998), h.
28-51.
[17]
Seorang filosuf Jerman. Lambert mamaknai istilah fenomenologi dengan pengertian
“The Setting forth or Articulation of What Shows Itself” (pengaturan atau
artikulasi dari apa yang menunjukkan dirinya). Ia menggunakan istilah ini untuk
mengislustrasikan alam khayalan pengalaman manusia dalam upaya mengembangkan
teori pengetahuan yang membedakan kebenaran dari kesalahan. Lihat: Rev. Emeka
C. Ekeke & Chike Ekeopara, Phenomenological Approach to The Study of
Religion A Historical Perspective, European Journal of Scientific Research,
Vol. 44, No. 2, 2010, h. 267.
[18]
Menurut Hegel, fenomenologi merupakan sains untuk mengetahui pikiran atau
sesuatu yang yang tersembunyi dari sebuah objek melalui sesuatu yang tampak
dari objek tersebut. Lihat: Donald M. Brochert, Editor in Chief,
Encyclopedia of Philosophy, Volume 7, 2nd Edition, (USA: Macmillan
Reference, 2006), p. 278. Hegel menjelaskan bahwa fenomenologi berkaitan dengan
pengetahuan sebagaimana tampak kepada kesadaran, sebuah ilmu yang menggambarkan
apa yang dipikirkan, dirasa dan diketahui oleh seseorang dalam kesadaran dan
pengalamannya pada saat itu. Proses tersebut mengantarkan pada perkembangan
kesadaran fenomenal melalui sains dan filsafat “menuju pengetahuan yang
absolut.” Hegel mengembangkan pemahaman bahwa esensi (wesen) dipahami melalui
penyelidikan terhadap tampilan-tampilan dan perwujudan atau manifestasi
(erschinugnen). Ia menunjukkan bagaimana hal itu mengantarkan kepada satu
pemahaman bahwa semua fenomena dalam keberagamannya, berakar pada esensi atau
kesatuan mendasar (geist atau spirit). Hubungan antara esensi dan manifestasi
tersebut memberikan pemahaman bahwa agama dan keagamaan merupakan sesuatu yang
berbeda. Lihat: Clive Erricker, Pendekatan Fenomenologis dalam Peter
Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama terj. Imam Khoiri (Yogyakarta:
LkiS, 2009), h. 110.
[19] Edmund Husserl
(1859-1938) di lahirkan disebuah kota kecil Prosznitz di daerah Moravia, ketika
itu merupakan wilayah kekaisaran Austria Hongaria, namun dari perang dunia
pertama (1918) hingga sekarang masuk pada wilayah Cekoslavia. Ia dilahirkan
dari keluarga Yahudi kelas menengah. Husserl sendiri berasal dari kata Iserle
(=Israel). Pada umur 27 tahun dia dibaptis dalam gereja Kristen bertradisi
Protestan. Ia mulai belajar di Universitas Leipzig, Berlin dan Wina dalam
bidang matematika, fisika, astronomi dan filsafat. Lihat Hardiansyah A., Teori
Pengetahuan Edmund Husserl, lihat jurnal Substantia Vol.15, No.2, Oktober
2013, h. 229.
[20] Lihat Federick
Elliston, Phenomenology Reinterpreted: from Husserl to Heideger dalam
Philosophy Today, Vol. xxi, No. 3/4, 1977, h. 279.
[21]
Annemarie Schimmel, “Rahasia Wajah Suci Ilahi” oleh Rahmani Astuti
terjm. Deciphering the Signs of God: A Phenomenological Approach to
Islam, (Bandung: Mizan, 1996), h. 22
[22] Salah satu contoh objek suci adalah batu; dalam fenomena Islam
diketahui ada Ka’bah di Makkah yang tidak lain adalah sebuah batu yang
merupakan pusat atau titik dimana orang-orang beriman menghadap ketika shalat.
Lihat Annemarie Schimmel, “Rahasia Wajah Suci Ilahi” oleh Rahmani Astuti
terjm. Deciphering the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam,
(Bandung: Mizan, 1996), h. 33.
[23]
Salah satu contoh ruang suci adalah Ka’bah; yang mana tempat-tempat ini
memiliki nilai sejarah dan barakah tersendiri. Lihat Annemarie Schimmel, “Rahasia
Wajah Suci Ilahi” oleh Rahmani Astuti terjm. Deciphering the Signs of
God: A Phenomenological Approach to Islam, (Bandung: Mizan, 1996), h. 106.
[24]
Salah satu contoh waktu suci adalah Ramadhan; adalah bulan yang paling suci
dari semua bulan. Karena didalamnya Muslim wajib berpuasa, waktu diturunkannya
al-Qur’an dan didalamnya terdapat Lailatul Qadr yang lebih baik dari
seribu bulan. Lihat Annemarie Schimmel, “Rahasia Wajah Suci Ilahi” oleh
Rahmani Astuti terjm. Deciphering the Signs of God: A Phenomenological
Approach to Islam, (Bandung: Mizan, 1996), h. 122.
[25]
Islam seperti semua agama menekankan makna penting dari angka-angka tertentu,
seperti angka satu yang memiliki penegasan kuat bahwa Tuhan itu satu. Lihat
Annemarie Schimmel, “Rahasia Wajah Suci Ilahi” oleh Rahmani Astuti
terjm. Deciphering the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam,
(Bandung: Mizan, 1996), h. 133-134.
[26]
Annemarie membagi tindakan yang suci menjadi tiga, yaitu:
a.
Via Purgativa; terdiri atas cara-cara untuk menyucikan diri sendiri dalam usaha
untuk berhubungan dengan yang suci.Seperti berwudlu sebelum shalat dan berpuasa
untuk memohon ampunan
b.
Via Illuminativa; contoh konkritnya adalah Niat, karena batas tertentu antara
yang profan yang tidak termasuk dalam tindakan Penyucian, dan yang ritual
adalah niat.
c.
Via Unitiva; upaya penyatuan fisik (jiwa kasar Manusia) yang imanen dengan
Tuhan yang transenden. Konsep tentang Cinta kepada Allah adalah contoh
konkritnya. Gambaran-gambaran al Qur’an mengenai surga dengan kenikmatannya dapat ditafsirkan sebagai
isyarat kebahagiaan tertinggi penyatuan ruhaniah yang tidak dapat diungkapkan
dalam istilah-istilah lain.
Lihat
Annemarie Schimmel, “Rahasia Wajah Suci Ilahi” oleh Rahmani Astuti
terjm. Deciphering the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam,
(Bandung: Mizan, 1996), h. 141-174.
[27] Dalam mengumandangkan firman Allah SWT dituntut supaya
memperhatikan pola-pola suara yang benar, dan pembacaan yang sesuai dengan
kaidah dalam ilmu tajwid atau tartil, tilawat dan lain sebagainya.
Bukti
bahwa Firman itu berasal dari Tuhan tidak lain karena kemukjizatan yang
dikandungnya, tata bahasa yang indah yakni dari Bahasa Arab Fasih yang tidak
dapat ditiru oleh penyair manapun. Lihat Annemarie Schimmel, “Rahasia Wajah
Suci Ilahi” oleh Rahmani Astuti terjm. Deciphering the Signs of God: A
Phenomenological Approach to Islam, (Bandung: Mizan, 1996), h. 177.
[28]
Kitab Suci; yakni Al Qur’an yang berisi kisah-kisah umat dan Nabi terdahulu,
peringatan, Tauhid, perintah dan larangan, hukum-hukum dan lain sebagainya
berupa rumusan petunjuk bagi kehidupan manusia. Membaca, belajar dan
mengajarkannya lalu mengamalkannya adalah pahala yang besar di sisi Allah SWT.
Lihat Annemarie Schimmel, “Rahasia Wajah Suci Ilahi” oleh Rahmani Astuti
terjm. Deciphering the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam,
(Bandung: Mizan, 1996), h. 229.
[29]
Manusia; fenomena yang paling nyata di alam ini adalah adanya manusia, sebagai
hamba (‘abd); yang menyembah, sebagai khalifah; wakil Tuhan di bumi yang
bertugas memakmurkan Bumi dan isinya supaya bisa mempertanggungjawabkan
tugasnya kelak di akhirat, sebagai insanunnhathiq yang diberi
kelebihan-kelebihan tertentu dibandingkan mahluk lainnya terutama akal. Dari
segi penciptaannya, manusia diciptakan dari tanah dan selanjutnya menjadi ‘alaq
(QS 96:1). Sebagaimanaan yang dapat
dipahami dari kisah penciptaan, manusia itu terdiri dari badan dan jiwa. Ruh
dan Nafs sangat penting sebagai aspek-aspek ruhaniah sejati yang membuat
manusia tetap berhubungan dengan realitas-realitas yang lebih tinggi, tetapi
badan sangat diperlukan bagi kehidupan ini. Organ-organ tubuh yang dimilki
manusia sangat sempurna dan memilki keistimewaan-keistimewaan tersendiri, mulai
dari rambut, kepala, jenggot, kuku,
nafas, keringat, darah, kaki, tangan dan sebagainya, semua memilki nilai
kesucian dan faedah yang bervariatif. Manusia ada yang laki-laki dan perempuan,
memilki peran dan tanggungjawab masing-masing. Lihat Annemarie Schimmel, “Rahasia
Wajah Suci Ilahi” oleh Rahmani Astuti terjm. Deciphering the Signs of
God: A Phenomenological Approach to Islam, (Bandung: Mizan, 1996), h.
261-262.
Masyarakat;
Masyarakat Islam yang ideal, menurut Louis Massignon dan sebagai pengikutnya
Louis Gardet, adalah ‘suatu teokrasi egaliter dari para anggota awam.’Komunitas
kaum beriman sangat penting dalam pemikiran Muslim normatif, sehingga timbullah
keengganan sebagai Muslim terhadap minat Barat pada tokoh-tokoh eksotik seperti
para sufi dan yang semacamnya, sebab mereka tidak mewakili norma-norma dan
cita-cita dari umat sebab ummat dibangun sesuai dengan visi Nabi yang merupakan
hasil dari Ilham Ilahi mengenai masyarakat yang sempurna. Kehidupan yang
baik,’kehidupan seorang Muslim yang akan membawanya menuju kebahagiaan di dunia
dan di Akhirat, harus ditata hingga rincian yang paling kecil sesuai dengan
aturan-aturan wahyu sebagaimana yang ditafsirkan oleh ahli-ahli yang kompeten.
Al-Qur’an menggambarkan komunitas Muslim sebagai Ummatan wustha (QS 2:
143), yaitu komunitas tengah, segolongan manusia yang mengambil jalan tengah
antara kedua ekstrem, sebagaimana Nabi sering tampil sebagai tokoh yang
menghindari legalisme yang kaku dan keras dari Musa dan kelembutan yang
berlebihan dari Isa. Landasan utama terbentuknya masyarakat Muslim adalah
sunnah Nabi SAW yang banyak memberikan gambaran bahwa muslim yang satu dengan
yang lain adalah satu jiwa, karenanya mereka berkewajiban untuk mendukung satu
sama lain di jalan keselamatan dengan memerintahkan kebaikan dan melarang
kejahatan, ‘amr bi al-ma’ruf wa nahyi an al-munkar. Lihat Annemarie
Schimmel, “Rahasia Wajah Suci
Ilahi” oleh Rahmani Astuti terjm. Deciphering
the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam, (Bandung: Mizan,
1996), h. 292-293.
[30] Ibid., h. 27
[31] Ibid., h. 28-29
[32] G. Van Leeuw (1956),Phanomenologie der
Religion, § 85 dalam Rahasia Wajah Suci Ilahi hal. 184, yang mengacu dalam
konteks ini pada perkataan Paul Tillich ‘Hanya apa yang pada hakikatnya
tersembunyi, dan tidak dapat dicapai oleh pengetahuan apapun, diberikan melalui
wahyu.’
[33] T Naff (1984), ‘The linkage of history and
reform in Islam. Seperti termaktub dalam Schimmel (1996) hlm. 292.
[35]
Lihat, Annimerie Schimmel hal
27-29.
[36] This is one of Schimmel’s most important books.
It suns up a lifetime of scholarship on Islam and, more importantly, it puts
her understanding of Islam into a phenomenological framework that will readly
be appreciated by scholars and students of other religious traditions. It will
be looked hacked upon as a landmark in bringing Islamic studies into the
mainstream of religious studies. Lihat komentar William C. Chittick pada Cover
belakang;Dechipering the Signs of God:A Phenomenological Approach to Islam.
[38] She concludes with an examination of the
individual’s respon to the Mystery of Divine. Based on bath original classical
sources and modern literatures, as well as the author’s conciderable personal
experience,, this is not only a fascinating survey of Islamic practices and
beliefes, but also broad abroad integrated overview of the phenomenology of
Islam(Dechipering The Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam:
Back Cover)
No comments:
Post a Comment