Wednesday, November 15, 2017

METODE PENGEMBANGAN ILMU JOHN STUART MILL: LOGIKA INDUKSI

METODE PENGEMBANGAN ILMU
JOHN STUART MILL: LOGIKA INDUKSI

Revisi Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas UAS
Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu:
Dr. H. Ahmad Barizi, M. Ag




Oleh
Adelina Sari Pohan (16771004)

MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

METODE PENGEMBANAGAN ILMU
JOHN STUART MILL: LOGIKA INDUKSI
Oleh
Adelina Sari Pohan: 16771004
Magister Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim
A.    Pendahuluan
Manusia mengembangkan seperangkat ilmu, hal ini bersumber pada kenyataan bahwa ia memerlukannya, karena manusia mau tak mau harus menentukan sendiri bagaimana ia bersikap terhadap prasyarat-prasyarat kehidupannya, dan karena seluruh realitas secara potensial memengaruhinya, ia sedemikian membutuhkan pengetahuan yang setepat-tepatnya dan selengkap- lengkapnya tentang seluruh realitas itu. Ia hanya dapat hidup dengan baik apabila ia menanggapi realitas itu sebagaimana adanya, dan untuk itu ia harus mengetahuinya. Ilmu-ilmu itu meningkatkan kuantitas dan kualitas pengetahuan manusia. Ilmu-ilmu mengorganisasikan pengetahuan manusia secara sistematis agar efektif, dan mengembangkan metode-metode untuk menambah, memperdalam, dan  membetulkannya.[1]
Demtujuan  ituilmu harus membatasi diri pada bidang-bidang tertentu dan mengembangkan metode-metode setepat mungkin untuk bidangnya masing-masing. Namun, super spesialisasi ilmu-ilmu berkat positivism yang mendasari sukses pesat ilmu-ilmu itu, sekaligus merupakan keterbatasannya. Pertanyaan yang lebih umum, yang menyangkut beberapa bidang atau hubungan  interdisipliner, pertanyaan mengenai realitas sebagai keseluruhan, mengenai manusia dalam keutuhannya, tidak dapat ditangani oleh ilmu-ilmu itu karena ilmu-ilmu itu tidak memiliki sarana teoretis untuk membahasnya. Justru dalam hal ini diperlukan filsafat ilmu, untuk menangani pertanyaan-pertanyaan penting yang di luar kemampuan metodis ilmu-ilmu spesial itu, secara metodis, sistematis, kritis dan berdasar.
Di samping itu, filsafat ilmu diperlukan untuk (1) membantu membedakan ilmu dengan saintisme (yang  memutlakkan  berlakunya  ilmdatidak  menerima  cara  pengenalan  lain  selain  cara pengenalan yang dijalankan ilmu), (2) memberi jawab atas pertanyaan”makna” dan nilai, dalam hal mana ilmu membatasi diri pada penjelasan mekanisme saja, (3) merefleksi, menguji, mengritik asumsi dan metode keilmuan, sebab ada kecenderungan  penerapan metode ilmiatanpa  memerhatikan  struktur ilmu itu sendiri, serta(4) dari hubungan historisnya dengan ilmu, filsafat menginspirasikan masalah-masalah yang akan dikaji oleh ilmu.[2]
Ilmu pengetahuan ialah usaha mencapai serta merumuskan sejumlah pendapat yang tersusun sekitar suatu keseluruhan persoalan, jika batasan tersebut diteliti tampaklah persesuaian antara ilmu pengetahuan dan filsafat, baik ilmu maupun filsafat menghadapi suatu keseluruhan persoalan atau problematika. Adapun usaha untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut merupakan usaha yang dirumuskan dalam suatu metode tertentu  bidang tertentu, [3]
Secara lebih detail, ilmu pengetahuan memiliki beberapa persyaratan. Pertama, setiap manusia memiliki hak dasar untuk mencari ilmu, hak ini tidak dapat diganggu gugat. Hal ini berlaku pada siapa pun, terlepas dari kasta, kepercayaan, jenis kelamin dan usia. Kedua, metode ilmiah itu tidak hanya pengamatan atau eksperimentasi akan tetapi juga teori dan sistematisasi, pengetahuan mengamati fakta, mengklasifikasikannya sebagai dasar untuk menyusun teori. Ketiga, ilmu pengetahuan itu jelas dan terbukti berguna dan berarti, baik untuk tingkat individu maupun tingkat sosial.[4]
Positivisme muncul pada abad ke-19 dimotori oleh sosiolog Auguste Comte, dengan buah karyanya yang terdiri dari enam jilid dengan judul The Course of Positive Philosophy (1830-1842). Comtmenguraikan  secara  garis besar prinsip-prinsip positivisme yang hingga kini masih banyak digunakan. John Struart Mill dari Inggris (1843) memodifikasi dan mengembangkan pemikiran Comte dalam sebuah karya yang cukup monumental berjudul A System of Logic. Sedangkan Emile Durkheim (Sosiolog Prancis) kemudian menguraikannya dalam Rules of the Sociological Method (1895), yang kemudian menjadi rujukan bagi para penelitian ilmu sosial yang beraliran positivisme.
Makalah ini menjelaskan tentang tokoh filsuf Induktivisme didalamnya terdapat pembahasan Metode pengembangan ilmu John Stuart Mill, Mill mengetengahkan 5 metode logika induktif yaitu, metode persetujuan, metode perbedaan, metode persamaan variasi, metode residu, dan gabungan metode persetujuan dan perbedaan.


B.     Pembahasan
1.      Biografi John Stuart Mill
John Stuart Mill seorang filsuf empiris dari Inggris lahir pada tahun 1806 di Pentonville London dan meninggal pada tahun 1973, ia dikenal sebagai reformator dari utilitarianisme sosial, ayahnya James Mill seorang sejarawan dan akademisi. John Stuart Mill dididik ayahnya dengan saran serta bantuan dari Jeremy Bentham dan Francis Place, ia diberikan pendidikan yang sangat ketat dan sengaja dilindungi dari pergaulan dengan anak-anak seusianya selain saudaranya. Ia mempelajari psikologi yang nantinya menjadi inti filsafat Mill dari ayahnya, dan Mill sejak kecil sudah mempelajari bahasa Yunani dan Latin, pada usia 15 tahun ia membaca karangan Jeremy Betham dan berhasil mempengaruhi paradigma berfikirnya, sehingga ia mematangkan pendapatnya dan memantapkan tujuannya untuk menjadi Sosial Reformer (pembaharu sosial), ketika berusia 17 tahun, Mill bekerja di India House Company, dimana ia mengabdi selama tiga puluh lima tahun sampai perusahan tersebut bubar pada tahun.
Mengingat pekerjaannya yang begitu intensif, tidaklah mengherankan bahwa pada tahun 1826 ia mengalami keambrukan karena sakit saraf, namun krisis mental itu mempunyai efek yang positif, ia mulai membebaskan diri dari filsafat Jeremy Betham dan mengembangkan pahamnya sendiri tentang utilitarianisme, paham ini dirumuskannya dalam essay Utilitarianism dari tahun 1864, yang kemudian menjadi bahan sebuah diskusi hebat selama hampir seluruh abad ke 19, terutama di Inggris, paham khas tentang Utilitarianisme yang dirumuskan Mill merupakan sumbangan penting kepada filsafat moral, ia meninggal di Avigron di Prancis pada tahun 1873.[5]
Mill adalah seorang penulis yang produktif, tulisan-tulisannya tentang Ekonomi dan kenegaraan dibaca luas oleh masyarakat, salah satu tulisannya yangpaling gemilang dalam etika politik segala zaman adalah On Liberty yang terbit tahun 1859, yang merupakan pembelaan kebebaan individu terhadap segala usaha penyamarataan masyarakat, tulisan lainnya yang tidak kalah penting adalah Sistem Of Logic, Considerations of Refresentatif Government, dan Subjection of Woman. Mill menjadi tokoh intelektual liberalisme Inggris kedua yang tidak lagi membela paham Laissez Faire klasik, melainkan memperhatikan tuntutan-tuntutan keadilan sosial.[6]
Mill juga menyinggung tentang masalah pendidikan, menurutnya masyarakat tidak berhak melakukan pemaksaan suatu hal terhadap orang lain demi kepentingan individu, pemaksaa seperlunya hanya berlaku pada anak-anak, bukan orang dewasa. Sebab anak-anak harus dilindungi terhadap kemungkinan bahwa mereka dirugikan oleh oang lain atau mereka dapat merugikan diri mereka sendiri. Negara harus menuntut suatu pendidikan terhadap orang-orang yang dilahirkan sebagai warganya sampai pada standart tertentu, hal tersebut bukan berarti orangtua harus memaksakan anak-anaknya untuk bersekolah atau mengikuti suatu jenjang pendidikan, apabila orangtua tersebut tidak mampu manyekolahkan anaknya, disini Negara harus berperan untuk mengatasi kondisi tersebut agar anak-anak tidak dirugikan akan hal itu.[7]
2.      Logika Induksi
Logika berasal dari kata Yunani “logos” , kata logos berarti kata nalar, teori, atau uraian. Logika juga didefenisikan sebagai kecapan nalar yang berkenaan dengan ungkapan lewat bahasa, atau alat untuk berfikir secara lurus, dalam bahasa sehari-hari sering kita jumpai kata logis yang artinya masuk akal. Logika digunakan untuk penalaran yang betul dari penalaran yang salah, logika merupakan cabang filsafat yang bersifat praktis dan sekaligus sebagai dasar ilmu, leh karena itu bernalar yang baik harus dilandasi logika supaya penalarannya logis dan kritis. Selain itu logika juga merupakan, sama halnya dengan matematika dan statistika, jadi logika berfungsi sebagai dasar dan sarana ilmu, dengan demikian logika merupakan jembatan penghubng antara filsafat dan ilmu, objek materialnya adalah pemikiran, sedangkan objek formalnya adalah kelurusan berfikir.
Aristoteles sebagai bapak logika meninggalkan enam buah buku yang diberi nama organon yaitu: 1. Categoriae, asas-asas dan prosedur mengenai pengertian-pengertian, 2. De Interpretatione, membahas mengenai keputusan-keputusan, 3. Analitica a Priora, membahas tentang silogisme, 4. Analitica Posteriora, membahas mengenai pembuktian, 5. Topika, berisi cara berargumentasi atau cara berdebat, 6. De Sophisticis Elenchis, membicarakan kesesatan dan kekeliruan berfikir.
Induksi adalah proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena menuju kesimpulan umum, fenomena individual sebagai landasan penalaran induktif adalah fenomena dalam bentuk pernyataan (proposisi).[8] Dalam karangan singkat yang terkenal, karena jelasnya dan sederhananya, berjudul “The Method of Science”, Thomas Henry menerangkan induksi dengan contoh sebagai berikut:
“Anggaplah kita mengunjungi warung buah-buahan karena ingin membeli apel, kita ambil sebuah dan ketika mencicipinya terbukti itu masam, kita perhatikan apel itu dan terbukti bahwa apel itu keras hijau dan masam. Si pedagang menawarkan apel ketiga, tetapi sebelum mencicipinya kita memperhatikannya dan terbukti yang itupun adalah keras dan hujau dan seketika itu kita beritahukan bahwa kita tidak menghendakinya karena yang itu pun pasti masam seperti lain-lainnya yang telah dicicipi. Jalan pikiran si calon pembeli sehingga ia sampai pada kesimpulan untuk tidak membeli apel ialah induksi. Huxley menjelaskan proses induksi sebagai berikut:
Pertama-tama kita telah melakukan kegiatan yang disebut induksi, kita telah menemukan bahwa dalam dua kali pengalaman sifat keras dan hijau pada Apel itu selalu bersifat masam. Demikianlah peristiwa yang pertama dan itu diperkuat dalam peristiwa yang kedua, memang itu dasar yang amat sempit, akan tetapi sudah cukup untuk dijadikan dasar induksi, kedua fakta itu kita generalisasikan dan kita percaya akan berjumpa dengan rasa masam pada apel, bila kita temui sifat keras dan hijau, dan ini suatu induksi yang tepat. Menurut Huxley untuk sampai kepada kesimpulan penolakan apel ketiga, penalaran induktif itu diikuti oleh penalaran deduktif:
Dengan demikian kita menemukan hukum alam, ketika kita ditawari apel lain yang terbukti keras dan hijau kita berkata semua apel yang keras dan hijau itu masam, apel ini keras dan hijau, berarti apel ini masam. Jalan pikiran inilah yang oleh ahli logika disebut dengan silogisme.
John Stuart Mill salah seorang tokoh terpenting yang mengembangkan logika induktif, mendefenisikan induksi sebagai: kegiatan budi dimanakan kita menyimpulkan bahwa apa yang kita ketahui benar untuk semua kasus yang serupa dengan yang tersebut dalam hal-hal tertentu. Dari contoh di atas dapat diketahui ciri-ciri induksi. Pertama, premis-premis dari induksi ialah proposisi empirik yang langsung kembali kepada suatu observasi indera atau proposisi dasar seperti telah diterangkan di atas, proposisi dasar menunjuk kepada fakta yaitu observasi yang dapat diuji kecocokannya dengan tangkapan indra, pikiran tidak dapat mempersoalkan benar tidaknya fakta akan tetapi hanya dapat menerimanya. Bahwa apel 1 itu keras, hijau dan masam, hanya inderalah yang dapat menangkapnya, sekali indera mengatakan demikian pikiran tinggal menerimanya.[9]
Kedua konkulusi penalaran induktif itu lebih luas daripada apa yang dikatakan didalam premis-premisnya, premis-premisnya hanya mengatakan bahwa apel yang keras, hijau masam itu hanya dua, apel 1 dan 2. Itulah yang diobservasi dan itulah yang dirumuskan dalam oremis itu, kalau dikatakan bahwa juga apel 3 itu masam, hal itu tidak didukung oleh premis-premis penalaran, menurut kaidah-kaidah logika, penalaran itu tidak shahih: pemikiran terikat untuk menerima kebenaran konklusinya.
Ketiga meskipun konklusi induksi itu tidak mengikat, akan tetapi manusia yang normal akan menerimanya, kecuali kalau ada alasan untuk menolaknya, jadi konklusi penalaran induktif itu oleh pikiran dapat dipercaya kebenarannya atau dengan perkataan lain konklusi induksi itu memiliki kredibilitas rasional, kredibilitas rasional disebut probabilitas, probabilitas itu didukung oleh pengalaman artinya konkulasi induksi itu menurut pengalaman biasanya cocok dengan observasi indera  
3.      Metode Pengembangan Ilmu John Stuart Mill: Logika Induksi
Pada abad ke XVII dan XVIII logika berkembang, dimana Francis Bacon mengembangkan metode induktif menyusun Novum Organum Scientiarum, Wilhem Leibnitz dengan logika aljabar, dan Emmanuel Kant dengan logika transendental (logika yang menyelidiki bentuk pemikiran di luar batas pengalaman), John Stuart Mill tentang System of Logic. Jadi logika adalah cara nalar yang benar melalui premis atau proposisi (pernyataan pengetahuan), bila dikatakan premis adalah pasir, batu, dan semen, maka logika (proses penalaran) adalah bagan atau arsitekturnya, premis benar dan arsitektur baik maka dihasilkan bangunan yang kokoh dan indah, demikian juga dengan logika.
John S. Mill (1806-1873) adalah di antara filsuf yang juga mempersoalkan ‘proses generalisasi’ dengan cara induksi, dalam persoalan generalisasi ini, Mill sependapat dengan David Hume yang mempersoalkan secara radikal. Jika Francis Bacon kemudian menawarkan teori “idola”nya, Menurut John Stuart Mill, setiap fenomena merupakan akibat dari suatu sebab yang tersembunyi. Induksi adalah penalaran atau penelitian untuk menemukan sebab-sebab yang tersembunyi itu.
Mill menyusun lima metode penalaran dan penelitian induktif, yaitu: (1) metode persesuaian (method of agreement), (2) metode perbedaan (method of difference), (3) metode gabungan persesuaian dan perbedaan (joint method of agreement and difference), (4) metode residu (method of residues), dan (5) metode variasi kesamaan (method of concomitant variations).
Mill melihat tugas utama logika lebih dari sekedar menentukan patokan deduksi silogistis yang tak pernah menyampaikan pengetahaun baru, ia berharap bahwa jasa metodenya dalam logika induktif sama besarnya dengan jasa Aristoteles dalam logika deduktif.[10] Menurutnya, pemikiran silogistis selalu mencakup suatu lingkaran setan (petitio), di mana kesimpulan sudah terkandung di dalam premis, sedangkan premis itu sendiri akhirnya masih bertumpu juga pada induksi empiris. Tugas logika, menurutnya, cukup luas, termasuk meliputi ilmu-ilmu sosial dan psikologi, yang memang pada masing-maisng ilmu itu, logika telah diletakkan dasar-dasarnya oleh Comte dan James Mill.[11]
John S. Mill, dalam menguraikan logika induksi hendak menghindari dua ekstrem: pertama, generalisasi empiris, sebagaimana pada Francis Bacon dan untuk ini ia sependapat dengan Hume yang mempertanyakan generalisasi empiris, bahkan menyebutnya sebagai induksi yang tidak sah; kedua induksi yang mencari dukungan pengetahuan a priori, sebagaimana pada Kant.[12]
4.      Cara Kerja Induksi John Stuart Mill
Cara kerja induksi menurut Mill sebagai berikut:
a.    Metode kesesuaian (method of agreement)
Apabila ada dua macam peristiwa atau lebih pada gejala yang diselidiki dan masing-masing peristiwa itu mempunyai faktor yang sama, maka faktor yang sama itu merupakan satu-satunya sebab bagi gejala yang diselidiki. Misalnya, semua anak yang sakit perut membeli dan minum es sirup yang dijajakan di sekolah, maka es sirup itu yang menjadi sebab sakit perut mereka, artinya suatu sebab disimpulkan dari adanya kecocokan sumber kejadian.[13]
Contoh lainnya: Metode kesesuaian kaidah ini menyatakan: ‘Jika dua hal atau lebih dari fenomena yang diteliti memiliki hanya satu sirkumtansi yang sama, maka sirkumtansi satu-satunya di mana hal itu bersesuaian adalah sebab (atau akibat) dari fenomena yang diteliti itu. Misal: Ada suatu pesta pernikahan dan terdapat puluhan orang yang keracunan makanan, kemudian ditelitilah semua makanan yang dimakan oleh mereka yang hadir di pesta pernikahan tersebut. Selanjutnya, diketahui pula ada makanan yang disediakan oleh perusahaan catering A dan B. Fenomena yang diteliti adalah ‘keracunan makanan’, sedangkan hal-hal yang diteliti dari fenomena itu ialah makanan yang disediakan oleh perusahaan catering A dan B. Hasil penelitian sebagai berikut:
Pak Aman, menyantap semua jenis makanan yang disediakan oleh perusahaan catering A, tidak keracunan.
Pak Amin, menyantap sebagian jenis makanan yang disediakan oleh perusahaan catering A, tidak keracunan.
Pak Iman, menyantap sebagian jenis makanan yang disediakan oleh perusahaan catering A dan menyantap sebagian jenis makanan yang disediakan oleh perusahaan catering B, ternyata keracunan.
Pak Eman, menyantap sebagian jenis makanan yang disediakan oleh perusahaan catering B, ternyata keracuan.
Pak Oman, menyantap semua jenis makanan yang disediakan oleh perusahaan catering B, ternyata keracunan.
Sirkumtansi yang sama di mana hal-hal yang diteliti dari fenomena itu bersesuaian, yaitu menyantap makanan yang disediakan oleh perusahaan catering B, dan itulah yang menjadi penyebabnya, yaitu menyantap makanan yang disediakan oleh perusahaan catering B.[14]
b.    Metode perbedaan (method of difference)
Metode ini menggunakan hukum kontradiksi apabila sebuah peristiwa mengandung gejala yang diselidiki dan sebuah peristiwa lain yang tidak mengandungnya, namun faktor-faktornya sama kecuali satu, yang satu itu terdapat pada peristiwa pertama, maka itulah satu-satunya faktor yang menyebabkan peristiwa itu berbeda. Karenanya dapat disimpulkan bahwa satu faktor (yang berbeda) itu sebagai suatu sebab terjadinya suatu gejala pembeda (yang diselidiki) tersebut.
Misalnya, seseorang A yang sakit perut mengatakan telah makan: sop buntut, nasi, rendang dan buah dari kaleng. Sedang B yang tidak sakit perut mengatakan bahwa ia telah makan: sop buntut, nasi, dan rendang. Maka kemudian disimpulkan bahwa buah dari kaleng yang menyebabkan sakit perut, ini artinya suatu sebab disimpulkan dari adanya kelainan dalam peristiwa yang terjadi.
c.    Gabungan metode persetujuan dan perbedaan
Metode ini menggunakan hukum cukup alasan, yang menjelaskan bahwa jika terjadi perubahan pada sesuatu, perubahan itu haruslah berdasarkan alasan yang cukup, artinya tidak ada perubahan yang tiba-tiba tanda alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional, hukum ini merupakan hukum pelengkap hukum identitas.
Contoh: metode gabungan adalah pemberian makan ayam dengan beras putih dan beras putih ditambah dedak, ayam dengan beras putih kesemuanya terserang polyneuritis dan sebagian besar mati, kelompok lain diberi beras putih dengan dedak, kesemuanya tidak ada yang terkena neauritis dan mati. Bila ayam yang sakit neauritis dan yang sehat diberi makan beras bercampur dedak, ayam yang sakit tersebut dapat sembuh. Metode gabungan akan memberikan hasil hubungan sebab akibat yang lebih kuat.[15]
d.   Metode menyisakan (method of residues)
Metode ini menggunakan hukum tiada jalan tengah, yang mengungkapkan bahwa sesuatu itu pasti memiliki suatu sifat tertentu atau tidak memiliki sifat tertentu itu dan tidak ada kemungkinan lain. Jika a diketahui dan b diketahui, maka adanya kejadian tersebut c mesti karena sebab lain
Jika ada peristiwa dalam keadaan tertentu dan keadaan tertentu ini merupakan akibat dari factor yang mendahuluinya, maka sisa akibat yang terdapat pada peristiwa itu disebabkan oleh factor lain, dari pengamatan factor yang mempengaruhi kinerja seseorang diketahui bahwa factor kemampuan dan motivasi mempengaruhi kinerja. Bila diketahui bahwa kemampuan dan motivasi baik, tetapi kinerja seseorang menjadi menurun, maka factor lain diluar kemampuan dan motivasi dipikirkan sebagai penyebab penurunan kinerja.
e.    Metode persamaan variasi (method of concomitan variation)
Metode ini juga dikenal dengan metode perubahan selang-seling seiring. Apabila suatu gejala yang dengan suatu cara mengalami perubahan ketika gejala lain berubah dengan cara tertentu, maka gejala itu adalah sebab atau akibat dari gejala lain, atau berhubungan secara sebab akibat. Metode ini bisa dicontohkan misalnya dalam fenomena pasang surut air laut, diketahui bahwa pasang surut disebabkan oleh tarikan gravitasi bulan.Tetapi kenyataan itu tidak dapat disimpulkan melalui ketiga metode di atas. Kedekatan bulan saat air pasang bukan satu-satunya hal yang berada saat kejadian (pasang) itu, tetapi masih ada bintang-bintang, di mana bintang-bintang itu tidak dapat begitu saja disingkirkan, atau dikesampingkan (dalam arti, tidak dipertimbangkan), begitu pula bulan juga tidak mungkin disingkirkan dari langit demi penerapan suatu metode.
Maka yang dapat dikerjakan adalah mengamati kenyataan bahwa semua variasi dalam posisi bulan selalu diikuti oleh variasi-variasi yang berkaitan dalam waktu dan tempat air tinggi.Tempatnya atau bagian dari dunia yang terdekat dengan bulan atau tempat yang paling jauh dari bulan mengandung banyak evidensi bahwa bulan secara keseluruhan atau sebagian adalah sebab yang menentukan pasang surut.Argumentasi ini disebut dengan metode perubahan selang-seling seiring.[16] Contoh lainnya: air raksa dan panas, besar produksi dengan luas sawah, kesuburan tanah dan hasil panen, disiplin dan motivasi terhadap kinerja, jumlah barang yang ditawarkan dengan harga, dll
Menurut Mill tugas logika ialah membedakan hubungan gagasan-gagasan yang bersifat kebetulan dari hubungan gagasan yang tetap dan sesuai dengan hukum, karena seluruh pengetahuan kita berasal dari pengalaman, maka satu-satunya metode dalam ilmu pengetahuan adalah metode induktif, istilahnya metode yang merumuskan suatu hukum umum dengan bertitik tolak berdasarkan pada sejumlah kasus khusus sebagaimana yang telah dicontohkan diatas
KESIMPULAN
John Stuart Mill seorang filsuf empiris dari Inggris lahir pada tahun 1806 di Pentonville London dan meninggal pada tahun 1973, ia dikenal sebagai reformator dari utilitarianisme sosial, ayahnya James Mill seorang sejarawan dan akademisi. John Stuart Mill di didik ayahnya dengan saran serta bantuan dari Jeremy Bentham dan Francis Place, ia diberikan pendidikan yang sangat ketat dan sengaja dilindungi dari pergaulan dengan anak-anak seusianya selain saudaranya. Ia mempelajari psikologi yang nantinya menjadi inti filsafat Mill dari ayahnya, dan Mill sejak kecil sudah mempelajari bahasa Yunani dan Latin, pada usia 15 tahun ia membaca karangan Jeremy Betham dan berhasil mempengaruhi paradigma berfikirnya, sehingga ia mematangkan pendapatnya dan memantapkan tujuannya untuk menjadi Sosial Reformer (pembaharu sosial), ketika berusia 17 tahun, Mill bekerja di India House Company, dimana ia mengabdi selama tiga puluh lima tahun sampai perusahan tersebut bubar pada tahun 1853.
Logika induksi adalah sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah dari sejumlah hal khusus sampai kepada kesimpulan umum yang bersifat probabilitas (boleh jadi), logika induktif sering disebut dengan logika material, artinya berusaha menemukan prinsip penalaran yang bergantung kesesuaiannya dengan kenyataan, oleh karena itu kesimpulannya adalah kebolehjadian, dalam arti selama kesimpulannya tidak ada bukti yang menyangkalnya maka pernyataan tersebut benar
Mill menyusun lima metode penalaran dan penelitian induktif, yaitu: (1) metode persesuaian (method of agreement), (2) metode perbedaan (method of difference), (3) metode gabungan persesuaian dan perbedaan (joint method of agreement and difference), (4) metode residu (method of residues), dan (5) metode variasi kesamaan (method of concomitant variations).
DAFTAR PUSTAKA
Burhanudin Salam. Pengantar Filsafat. 2005. Jakarta: Bumi Aksara
https://share.uc.ac.id/Department/Students/feh/IAD/SumberBuku/Logika%20Induksi.pdf
Muslih M, Logika Illuminasi Pemikiran Epistimologi Suhrawardi dalam Kalimah, Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 1, No. 1, September 2002
Poedjawijadna. Logika filsafat berfikir. 2012. Jakarta: Rineka Cipta
Rizal Muntansyir. Filsafat Ilmu. 2000. Jogjakarta: Pustaka Pelajar
Stefanus Sufriyanto. Filsafat Ilmu. 2013. Jakarta: Prestasi Pustaka
Suseno, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19
Saidiman, Meneguhkan Kembali Kebebasan Individu Kritik Isaiah Berlin Terhadap Universalisme Pencerahan. Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. 2006. UIN Jakarta
Sutardjo, Pengantar Filsafat, sistematika dan sejarah Filsafat 2009. Bandung: Refika Aditama
Wattimena, Filsafat dan Sains. 2008 Jakarta: Grasindo
Wahyu Murtiningsih. Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah. 2014 Jogjakarta: IRCiSoD
W. Pespoprodjo dan T. Gilareso. Logika Ilmu Menalar: Dasar-Dasar Berpikir Tertib, Logis, Kritis, Analitis, Dialektis. 2011. Bandung: Pustaka Grafika


[1] Magnis-Suseno, Filsafat-kebudayaan-politik: Butir-butir pemikiran kritis. (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1995), h. 80
[2] Sutardjo, Pengantar Filsafat, sistematika dan sejarah Filsafat Logika dan Filsafat Ilmu Metafisika dan Filsafat Manusia, Aksiologi, (Bandung: Refika Aditama, 2009), h. 16
[3]Wattimena, Filsafat dan Sains, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 129
[4] Rizal Muntansyir, Filsafat Ilmu, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar), h. 10
[5] Burhanudin Salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), h. 202
[6]Saidiman, Meneguhkan kembali Kebebasan Individu Kritik Isaiah Berlin Terhadap Universalisme Pencerahan. Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN JAKARTA, 2006
[7] Wahyu Murtiningsih, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2014), h, 145
[8]ttps://share.uc.ac.id/Department/Students/feh/IAD/SumberBuku/Logika%20Induksi
[9]ttps://share.uc.ac.id/Department/Students/feh/IAD/SumberBuku/Logika%20Induksi
[10] Poedjawijadna, Logika filsafat berfikir (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), h. 70
[11]Suseno, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19, h. 177
[12]Muslih M, Logika Illuminasi Pemikiran Epistemologi Suhrawardi dalam Kalimah, Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Volume 1, Nomor 1, September 2002.
[13]Stefanus Sufriyanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2013), h. 179
[14] http://biangmakalahku.blogspot.co.id/2009/12/makalah-ilmu-mantiq-kausalitas.html
[15] http://nassafira.blogspot.co.id/2016/10/john-stuart-mill-dan-5-kaidah-metode.html
[16]W. Pespoprodjo dan T. Gilareso. Logika Ilmu Menalar: Dasar-Dasar Berpikir Tertib, Logis, Kritis, Analitis, Dialektis. (Bandung: Pustaka Grafika, 2011), h. 80 

No comments:

Post a Comment