KAJIAN ATAS KARYA ABDULLAH AHMED AN-NAIM:
DEKONTRUKSI SYARIAH
Oleh:
Yovi Nur Rohman (16771009)
Magister Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
A. PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang mengatur segala aspek kehidupan manusia (Solihun likulli zaman wal makan) tidak
hanya dalam masalah ibadah yang hubungannya horisontal kepada sang pencipta.
Islam juga mengatur hubungan vertikal antara manusia dengan manusia. Termasuk
didalamnya pengaturan syariah tentang hukum publik yang meliputi hukum
kontitusioanal, hukum pidana, hubungan internasional dan dan jaminan terhadap
hak asasi manusia.
Dewasa ini banyak sekali pemikir modern pembaharu dalam Islam, termasuk para
aktivis-aktivis pembela HAM seperti Aung San Suu Kyi,
Mahatma Ghandi, Martin Tuther King Jr, Nelson Mandela, dan lain-lain[1]. Termasuk diantaranya
adalah Abdullah Ahmed an-Naim yang mencoba mengkritik konsep-konsep
Islam yang menurutnya tidak sesuai lagi jika diterapkan ke abad modern
khususnya dalam hukum publik. Termasuk didalamnya konsep syariah Islam yang
banyak menerima kritik dan perlu dilakukan interpretasi yang baru terhadap
al-Quran dan Sunnah sehingga menghasilkan suatu konsep syariah modern yang
sesuai dengan tuntuan modernisasi zaman. Adalah Abdullah Ahmed an-Naim yang
mencoba melanjutkan pemikiran gurunya Mahmoud Muhammad Toha, merupakan dua
ulama pembeharu dalam Islam yang mencoba menawarkan metodologi baru dalam
melakukan interpretasi terhadap al-Quran dan Sunnah terkait hukum-hukum syariah
yang berkaitan dengan hukum konstitusi, hukum pidana, hubungan internasinal dan
hak-hak asasi manusia. Menurut Abdullah Ahmed an-Naim, syariat Islam yang
bersifat historsi perlu di rekontruksi ulang. Menurutnya Hukum Syariah yang
bersifat historis banyak yang bertentangan dengan hukum-hukum konstitusi negara
yang berasal dari paham sekuler. Jika tidak dilakukan interpretasi yang baru
terhadap nash-nash al-Quran maupun Sunnah, maka bagi orang Islam pilihannya
hanyalah dua: pertama, tetap menerapkan hukum syariah yang sudah tidak sesuai
lagi dengan tuntutan zaman atau menerapkan sebuah hukum yang berasal dari paham
sekuler Barat.
Berbeda dengan
kaum skuleris, An-Na’im tetap mempertahankan legitimasi Islam atas pembaharuan
yang diusulkan. Abdullahi Ahmed An-Na’im menyajikan titik tolak radikal baik
dari posisi Islam modernis maupun fundamentalis yang keduanya mendominasi
pemikiran kontemporer dalam dunia Islam. An-Na’im mencoba mentransformasikan
pemahaman dasar-dasar hukum Islam tradisional tersebut, tak sekedar mereformasikannya.
Dalam hal Syari’ah, An-Na’im menganjurkan suatu sistem baru hukum Islam yang
menyeluruh yang diyakini memberikan dasar yang lebih sesuai dengan kehidupan
Islam di dunia kontemporer. Ini merupakan formulasi yang menyeluruh dalam
menghadapi struktur politik, tatanan sosial, hukum pidana, hukum internasional
dan hak-hak asasi manusia. Akhirnya melalui bukunya yang berjudul Dekontruksi Syariah, dalam literatur
hukum Islam kontemporer, kata “pembaruan” silih berganti dengan kata reformasi, modernisasi, reaktualisasi,
dekontruksi, rekntruksi, tarjih, islah dan tajdid.[2]
Penulis berusaha menyajikan hasil pemikiran Abdullah Ahmed terhadap hukum
Syariah modern yang sesuai dengan tuntutan zaman akan tetapi tetapi tetap tidak
menghilangkan keabsahan Islam.
B. PEMBAHASAN
1.
Biografi Abdullah Ahmed an-Na’im
An-Anaim dilahirkan di
Sudan pada tanggal 19 November 1946. ia menyelesaikan sekolah dasar menengah
atasnya di Sudan. Abdullah Ahmed An-Na’im menyelesaikan
pendidikan S1 jurusan Hukum di Universitas Khartoum Sudan dan memperoleh gelar
LL.B (honour) dengan predikat cumlaud. Tiga tahun kemudian tahun 1973 mendapat
3 gelar sekaligus LL.B, LL.B, dan M.A (Diploma in Criminology) dari Uniersitas
Cambridge, Inggris. Pada tahun 1976 mendapat gelar Ph.D dalam bidang hukum dan
University of Edinbrug Skotlandia[3]. Setelah menyelesaikan
studinya di bidang hukum, an-Naim kembali ke Sudan, mengabdi kepada bangsanya
sebagai jaksa, pengacara dan dosen pada universitas Khartum. Selain mengajar, Naim
menjadi corong pemikiran-pemikiran gurunya, Mahmud Muhammad thoha, salah
satunya teori nasakh yang sebelumnya di kembangkan oleh gurunya. Menjelang 1979,
Naim menjadi kepala departemen public di fakultas hukum Khartum. Ia sebagai
sosok intelektual muda yang aktif dan brilian dalam berbagai diskusi dan
seminar hukum di sudan. Selain itu juga aktif menulis berbagai artikel dalam
berbagai jurnal, baik yang bersekala nasional, maupun internasional. Sekarang Naim
menetap di Amerika serikat
An-Na’im adalah murid dari Mahmoed Mohamed Taha pendiri partai
Persaudaraan Republik (The Republican
Brotherhood) pada akhir Perang Dunia II sebagai partai alternatif di
tengah-tengah perjuangan nasionalis Sudan. An-Na’im menerjemahkan karya besar
gurunya Al-Risalah al-Tsaniyah minal
Islam ke dalam bahasa Inggris menjadi The
Second Message of Islam, kemudian dicetak tahun 1987 setelah sembilan belas
tahun ia resmi menjadi anggota Persaudaraan Republik yang pada saat itu masih
studi di Universitas Khartoum fakultas hukum. Kaum Republikan ini tetap mendukung
Numeyri sepanjang tahun 70-an sampai 80-an. Dukungan diberikan selam rezim
tersebut mempertahankan kebijakan nasional tentang kesatuan dan menahan diri
untuk tidak memakai hukum yang merugikan kaum perempuan dan non-muslim Sudan.
Setelah syari’ah diterapkan secara paksa melalui keputusan presiden awal
Agustus 1983, yang menggoyahkan kesatuan nasional antara Muslim Utara
dengan non-Muslim Selatan, maka sejak itu kaum Republikan menyatakan oposisinya
terhadap rezim ini.[4]
Akibat dari pernyataan oposisinya mereka terhadap program islamisasi Numeyri,
maka selama kurang lebih satu setengah tahun, An-Na’im ditahan bersama sekitar
30 orang pimpinan Persaudaraan Republik, termasuk gurunya Taha. Pada akhir
tahun 1984 mereka dibebaskan, namun Taha ditangkap kembali bersama beberapa
pimpinan lainnya dengan tuduhan menghasut dan pelanggaran lainnya, tetapi hanya
Taha yang kemudian dihukum mati pada tangal 18 Januari 1985 oleh rezim Sudan
Ja’far Numeyry. Sejak itu kelompok ini sepakat untuk tidak terlibat dalam aktivitas
politik dan secara resmi membubarkan diri.
2.
Pemikiran Abdullah Ahmed an-Naim dalam bukunya
dekontruksi Syariah
Pemikiran Abdullah Ahmed
an-Naim dalam bukunya Dekontruksi Syariah berangkat dari anggapannya bahwa
syariah yang ada sekarang ini tidak relevan lagi dengan nilai-nilai dan budaya
modern, karenanya perlu direformasi agar sesuai dengan perkembangan zaman.
Syariah yang selama ini dikenal tidaklah sakral (divine) atau bersifat ilahiah dalam arti seluruh rinciannya
diwahyukan langsung oleh Allah, ia adalah "the
product of a process of interpretation of analogical derivation from the text
of the Qur'an and Sunna and other tradition.” Secara khusus pemikiran
Abdullah ahmed membicarakan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin muncul dari
penerapan Syariah historis pada bidang publik: yaitu konstitusionalisme, hukum
pidana, hubungan internasional dan hak asasi manusia.
Abdullah Ahmed an-Naim
percaya bahwa penerapan aspek-aspek hukum publik Syariah Historis dalam
kehidupan akan menimbulkan kesulitan-kesulitan luar biasa. Namun dalam islam
tetap dimungkinkan mengembangkan konsep hukum publik alternatif yang dapat
mengatasi kesulitan-kesulitan itu. Konsep hukum alternatif itu bisa disebut “Syariah modern” artinya ia sama-sama
dijabarkan dari sumber-sumber asasi Islam.[5]
Bagi umat Islam, Syariah adalah tugas umat manusia yang menyeluruh,
meliputi moral, teologi dan etika pembinaan umat, aspirasi spiritual, ibadah
formal dan ritual yang rinci. Syariah mencakup semua aspek hukum publik dan
perorangan, kesehatan, bahkan kesopanan dan ahlak. Menganggap ada bagian
syariah yang tidak memadai, akan dituduh bidah[6] oleh mayoritas umat Islam yang
menyakini bahwa keseluruhan Syariah itu bersifat Ilahiyah. Pandangan yang
menjadi keyakinan umum ini akan menjadi hambatan psikologis utama dalam upaya
merekontruksi Syariah, apalagi diperkuat dengan ancaman tuntutan hukum pidana
dengan dakwaan murtad. Ini adalah ancaman nyata di negara-negara Islam seperti
Sudan dewasa ini.
Langkah pertama untuk menembus hambatan ini adalah dengan menunjukkan
bahwa sejatinya hukum publik syariah bukanlah hukum yang semua prinsip khusus
dan aturan rinciannya langsung diwahyukan oleh Allah kepada nabi Muhammad SAW.
Jika dapat diyakinkan bahwa syariah itu disusun oleh para ahli hukum-hukum
Islam awal berdasarkan interpretasi sumber asasinya, yaitu al-Quran dan Sunnah,
Umat Islam kontemporer niscaya akan lebih terbuka menerima kemungkinan
reformasi syariah secara subtantial.[7]
Perkembangan jaman yang semakin modern mengakibatkan ketidak relevanya hukum
syariah historis yang dipandang melakukan diskriminasi terhadap perempuan dan
non muslim dalam hukum publik, kemudian berangkat dari permasalah itu,
memunculkan suatu solusi hukum publik baru yang bersifat sekuler.
a.
Metodologi Pembaruan Abdullah Ahmed an-Naim
Dalam bukunya
Dekontruksi Syariah Abdullah Ahmed berusaha mempertimbangkan hukum publik
Syariah dan pengalaman historis umat Islam dengan standart yang berlaku pada
waktu Syariah diterapkan dan berusaha mengembangkan prinsip-prinsip Islam
alternatif bagi hukum publik untuk penerapan modern.
Metodologi Pemikiran
An-Na’im Reformasi Islam atau dekonstruksi syari’ah yang digagas an-Na’im yang
kemudian terkenal ke seluruh penjuru dunia sebagai respon terhadap pemikirannya
bermaksud memberikan solusi bagi proses perubahan persepsi, sikap dan kebijakan
umat Islam atas dasar-dasar Islam dan bukan sekuler. Tesisnya mengatakan bahwa
jika tidak dibangun dasar pembaruan modernis murni yang dapat diterima secara
keagamaan, maka umat Islam sekarang dan akan datang hanya punya dua
alternative, yaitu mengimplementasikan syari’ah dengan segala kelemahan dalam
menjawab dinamika zaman dan masalahnya, atau meninggalkannya dan memilih hukum
publik sekuler”.[8]
Menurut an-Na’im, selama umat Islam tetap setia pada kerangka kerja syari’ah
historis, mereka tidak akan pernah benar-benar mencapai tingkat keharusan
pembaruan yang mendesak supaya hukum publik Islam bisa berfungsi sekarang”.
Selanjutnya an-Na’im mengambil metode gurunya, yaitu metodologi pembaharuan
yang revolusioner, yang digambarkan sebagai evolusi legislasi Islam (modern mistical approach), yang intinya
suatu ajakan untuk membangun prinsip penafsiran baru yang memperbolehkan
penerapan ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah. Pendekatan ini jika diterapkan akan
mampu memecahkan kebuntuan antara tujuan pembaruan, keterbatasan konsep dan
teknik syari’ah historis. Prinsip naskh pembatalan teks al-Qur’an dan Sunnah
tertentu untuk tujuan-tujuan penetapan hukum oleh teks-teks al-Qur’an dan
Sunnah untuk tujuan-tujuan penetapan hukum oleh teks al-Qur’an dan Sunnah yang
lain sangat menentukan bagi validitas teoritik dan kelangsungan praktek dari
pendekatan evolusioner. Kemudian memadukan teori naskh tersebut dengan
prinsip-prinsip umum tentang analisa kongkret terhadap implikasi-implikasi hukum
publik Islam. Utamanya terhadap keseimbangan hak-hak muslim dan non-muslim
serta laki-laki dan perempuan dalam menentukan nasib sendiri. Inilah harga
kemanusian yang tertimbun dalam formulasi teoritik syari’ah tradisional.
An-Na’im mengadopsi teori naskh gurunya dengan alasan bahwa:
1)
Pesan Mekah adalah pesan abadi dan fundamental
yang menginginkan egalitarianisme seluruh umat manusia. Karena pesan Mekah ini
belum siap diterapkan oleh manusia pada abad ketujuh, maka Allah menurunkan
pesan Madinah yang lebih sesuai dengan kondisi zaman waktu itu.
2)
Pemberlakuan teori naskh lama itu tidak
permanen, karena jika permanen berarti umat Islam menolak sebagian dari
agamanya
Misalnya,
al-Quran masa Mekkah yang paling awal memerintahkan nabi dan para pengikutnya
untuk menerapkan dakwah secara damai dan mengijinkan kebebasan memilih pihak
lain untuk menerima atau menolak Islam, tetapi al-Quran dan Sunnah masa Madinah
seccara jelas mewajibkan dan bahkan menegaskan dibawah kondisi tertentu untuk
menggunakan kekerasan guna memaksa orang kafir untuk memeluk Islam atau memilih
salah satu kemungkinan yang disedaiakan Syariah, seperti hukuman mati,
perbudakan atau berbagai konsekuensi lainnya yang tidak menyenangkan. Seorang
yang murtad bisa dihukum mati oleh Syariah.
Dari uraian diatas lalu menghasilkan sebuah pendekatan baru dalam
modernisasi Islam yang ditawarkan oleh Abdullah Ahmed an-Naim yang sebenarnya
berangkat dari pemikiran gurunya Mahmoed Muhammad Toha.
PENDEKATAN EVOLUSI
Mahmoed Muhammad Toha memiliki pandangan bahwa suatu pengujian secara
terbuka terhadap isi al-Quran dan Sunnah yang melahirkan dua tingkat atau tahap
risalah Islam, suatu periode awal Mekkah dan berikutnya tahap Madinah.
Selanjutnya, dia berepndapat bahwa sebenarnya pesan Mekkah merupakan pesan
Islam yang abadi dan fundamental, yang menekankan martabat yang inheren pada
seluruh umat manusia, tanpa membedakan jenis kelamin (gender), keyakinan
keagamaan, ras dan lain-lain. Pesan itu ditandai dengan persamaan antara
laki-laki dan perempuan dan kebebasan penuh untuk memilih dalam beragama dan
keimanan. Baik substansi pesan Islam maupun perilaku pengembangannya selama
periode Mekkah didasarkan pada ismah,
kebebasan untuk memilih tanpa ancaman atau bayangan kekerasan dan paksaan
apapun.[9]
Ketika tingkat tertingi dari pesan itu dengan keras dan dengan tidak
masuk akal ditolak secara praktis ditunjukkan bahwa pada umumnya masyarakat
belum siap untuk melaksanakannya, maka pesan yang lebih realistik pada masa
Madinah diberikan dan dilaksanakan. Dengan jalan ini, aspek-aspek pesan periode
Mekkah yang belum siap untuk diterapkan dalam praktik dalam konteks sejarah
abad VII, ditunda dan diganti dengan prinsip-prinsip yang lebih praktis yang
diwahyukan dan diterapkan selama masa Madinah. Namun, Ustaz Mahmoed Muhammad Toha
bahwa aspek-aspek pesan Makkah yang ditunda itu tidak akan pernah hilang sebaai
sebuah sumber hukum Islam. Ia hanya ditangguhkan pelaksanaannya dalam kondisi
yang tepat dimasa depan. Sebaliknya, dia berhujjah, aspek-aspek Islam yang
agung dan abadi yang telah hilang tidak dapat ditukarkan.[10]
Untuk mengapresiasi logika argumentasi Ustaz Mahmoed kita harus mengingat
kembali peristiwa-peristiwa historis Islam awal dan menyebut beberapa contoh
untuk menggambarkan thesisnya dan implikasinya terhadap hukum publik Islam
Modern. Selama tiga belas tahun pertama misinya (antara 610-622), nabi
diperintahkan Islam untuk menyebarkan Islam dilingkungan Makkah dengan cara
damai dan tertutup, sesuai dengan prinsip kebebasan penuh untuk memilih. Dengan
demikian Al-Quran ayat 16:125 memerintahkan nabi untuk: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah
yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” Ayat 18:29 juga
memerintahkan kepada nabi untuk: Dan katakanlah: "Kebenaran itu
datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia
beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir".
Sejumlah ayat lain periode Makkah juga memerintahkan nabi dengan cara yang
sama.
Subtansi dari pesan Makkah menekankan nilai-nilai keadilan dan persamaan
yang fundamental dan martabat yang melekat pada seluruh umat manusia. Sebagai
contoh, Al-Quran selama periode Makkah selalu menyapa manusia, menggunakan
kata-kata seperti, “wahai anak adam”
atau “wahai manusia”[11]
Sementara itu, al-Quran periode Madinah dan Sunnah yang menyertainya
mulai membedakan antara laki-laki dan perempuan, umat Islam dan non muslim,
dalam status hukum dan hak mereka didepan hukum. Semua ayat dan sunnah yang
terkait yang menjadi dasar diskriminasi terhadap perempuan dan non muslim
merupakan ayat-ayat Madinah, bukan ayat-ayat Makkah. Sebagai contoh, Al-Quran
surat 4 yang dikenal sebagai surat an-Nisa, berisi aturan yang lebih rinci
tentang perkawinan, perceraian, waris dan semacamnya dengan pengaruh
diskriminasinya terhadap perempuan, diwahyukan selama masa Madinah. Khususnya
ayat 34 surat ini diambil oleh para ahli hukum perintis sebagai dasar prinsip
umum tentang qawwama. Prinsip umum
ini digunakan oleh para ahli hukum perintis sebagai pengabsahan secara hukum
untuk berbagai aturan yang luas tentang hukum publik. Sebagai contoh, perempuan
didiskualifikasi dari memegang jabatan publik pada umumnya yang melibatkan
penggunaan otoritas termasuk terhadap laki-laki. Padaha sesuai dengan ayat
4:34, laki-laki diberi hak untuk menggunakan otoritas terhadap perempuan bukan
sebaliknya.[12]
Akhirnya, dengan memperhatikan isu hukum publik yang didiskusikan dalam
buku dekontruksi syariah, Ustaz Mahmoud mengusulkan evolusi basis hukum Islam
dari teks masa Madinah ke teks masa Makkah yang lebih awal. Dengan kata lain,
prinsip interpretasi yang evolusioner tidak lain adalah membalikkan proses
naskh (penghapusan hukum suatu teks) sehingga teks-teks yang dihapus pada masa
lalu dapat digunakan dalam hukum sekarang, dengan konsekuensi penghapusan teks
yang dulu digunakan sebagai basis syariah. Ayat-ayat yang digunakan sebagai
basis Syariah dicabut, dan ayat-ayat yang dulu dicabut digunakan sebagai basis
hukum Islam modern, ketika usulan ini diterima sebagai basis hukum publik
modern, maka keseluruhan produk hukumnya akan sama islaminya dengan syariah
yang ada selama ini.
b.
Syariah, Konstitusionalisme modern, dan hukum
pidana
Dalam pengertian formal
istilah kontitusi negara adalah kumpulan aturan-aturan dan peraturan-peraturan
yang menciptakan berbagai alat pemerintahan dan menentukan hubungan satu dengan
yang lainnya, serta hubungan alat-alat itu dengan subyek pribadi manusia, baik
dalam kapasitasnya sebagai individu atapun kolektif.
Dalam pengertian formalistik ini, konstitusi didefinisikan sebagai hukum
organik dan dasar suatu bangsa atau negara, yang menetapkan konsep dan sifat
suatu pemerintahnya, mengorganisasikan pemerintahan, mengatur, membagi dan
membatasi fungsi departemen-departemen yang ada, serta menentukan cakupan dan
cara mnggunakan kekuasaaan. Konstitusionalisme merupakan teori atau prinsip
pemerintahan konstitusional, atau menganut teori tersebut. Dalam alur yang
sama, sumber yang lain mendefinisikan konstitusinalisme sebaai prinsip”bahwa
otoritas publik harus digunakan menurut hukum; bahwa konstitusi negara dan
masyarakat, kekuasaan eksekutif fan legislatif, memiliki sumbernya didalam
konstitusi yang harus dipatuhi dan tidak menyimpang dari gerak pemerintahan
saat itu. Singkatnya konstitusionalisme adalah suatu pemerintahan oleh hukum
bukan pemerintahan oleh orang-orang.[13]
Didalam pembahasan ini akan diuraikan penerapan hukum Syariah historis
yang tidak bisa diterima dalam konstitusionalisme modern. Problem yang melekat
didalam negara Syariah sebagai idealitas yang ingin dicapai umat Islam sekarang
ini lebih serius daripada problem realisasi “idealitas” itu sendiri. Seandainya
idealitas itu dilaksanakan dalam praktik sekarang, ia tetap tidak akan sesuai
dengan standart konstitusionalisme modern. Sebagian problem ini bisa dijelaskan
sebagai berikut:
1) Status Konstitusional umat Islam
Warga negara yang secara formal diidentifikasi sebagai umat Islam
merupakan satu-satunya warga negara penuh dalam negara Islam Syariah, yang
secara teoritik berhak penuh terhadap hak-hak sipil dan politik,[14]
tetapi tunduk pada batasan-batasan berikut ini: pertama, siapapun yang secara formal diidentifikasikan sebagai
seorang muslim, tidak dapat keluar dari Islam (murtad/opostasi), baik berpindah
ke agama lain atau menjadi kafir. Seorang dapat dianggap murtad ketika yang
berwenang menentukan bersalah karena mempertahankan pandangan dan pendapat yang
secara prinsip bertentangan dengan ajaran Islam, dengan mengabaikan
pandangannya sendiri tentang hubungannya dengan agama Islam.[15]
Dengan kata lain, keimanan pada Islam
secara obyektif ditentukan oleh mereka yang berwenang, bukan secara subyektif
ditentukan oleh orang yang bersangkutan.[16]
Pembenaran yang selalu disebut sebut untuk menghukum orang murtad adalah
pernyataan bahwa kemurtadan akan melemahkan integrasi umat Islam dan keamanan
negara Islam. Seorang penulis: misalnya, memulai dengan premis bahwa negara
Islam adalah suatu negara doktrinal atau negara ideologis yang didesain untuk
menegakkan dan memajukan nilai-nilai syariah. Dia mendifinisikan bangsa sebaai
suatu masyarakat yang berdasarkan atas kesamaan kepercayaan. Konsekuensinya,
hak-hak dan kebebasa individu dibatasi oleh prinsip yang melarang penyimpangan
dari ideologi negara atau membela ideologi lain. Hal ini dikawatirkan akan
bermuara pada pembangkangan warga dan mengundang munculnya perlawanan terhadap
negara untuk menghapus sifat negara Islam itu. Dia mengatakan orang yang
meninggalkan Islam, ideologi dan hukumnya, tidak mempunyai pilihan lain kecuali
dilarang mengidentifikasi diri dengan negara dan masyarakat Islam dan ia harus
berusaha mengidentifikasi diri dengan negara dan masyarakat lain.[17]
Pemikiran seperti ini menurut Abdullah Ahmed keliru karena mengacu pada
kemurtadan dan ini bisa ditolak pada pandangan konstitusional. Keliru pada
kemurtadan karena kemurtadan pribadi per
se dibawah syariah dikenakan hukuman mati, tak peduli apakah orang yang
murtad itu menyatakan pandangan dan pendapatnya atau tidak. Selain itu,
meskipun kita menerima dalih, bahwa syariah menghukum orang murtad dengan
hukuman hanya jika dia menyatakan dan mempertahankan pandangan-pandangannya,
prinsip seperti itu tetap melanggar prinsip kebebasan, kepercayaan,
mengemukakan pendapat dan berserikat yang dijamin secara konstitusional.
Mengapa orang Kristen, misalnya, ditarik masuk Islam dan mengajarkan
kepercayaan barunya itu pada orang lain, sementara orang Islam yang pindah ke
kristen akan dihukum mati, tak peduli apakah dia mengajarkan kepercayaan
kristennya itu atau tidak.[18]
Batasan kedua tentang hak politik dan hak sipil umat Islam, kaitannya
dengan kebebasan perempuan menggunakan hak-hak mereka. Meskipun perempuan
muslimah berhak memegangi pendapat apapun yang dianggap ada dalam ajaran dasar
Islam, namun pembatasan Syariah atas hak mereka untuk tampil dan berbicara
didepan umum dan bergabung dengan muslim laki-laki untuk mendukung
pandangan-pandangan mereka[19]
telah menimpakan sejumlah batasan-batasan atas hak-hak politik dan sipil baik
perempuan maupun laki-laki Muslim.
Ketiga, disamping batasan-batasan tadi, hak perempuan untuk
berpartisipasi dalam kehidupan publik “yakni jabatan publik yang melibatkan
penggunaan otoritas atas laki-laki” juga diikuti oleh Syariah. Prinsip umum
syariah ini berdasarkan Al-Quran ayat 4:34 yang menyatakan bahwa laki-laki
adalah penjaga dan pelindung (qowwamun)
perempuan. Sementara mazhab Syafii melarang perempuan memegang jabatan hakim,
mazhab Hanafi mengizinkan jabatan hakim dalam kasus-kasus perdata.[20]
2) Status Kontitusional non-Muslim
Syariah tidak memberi tempat tingal yang tetap bagi non-muslim didalam
negara Islam, kecuali jika ada ijin tingal sementara yang terbatas masa dan
syarat kehadiran mereka; atau jika mereka dijamin dalam status dzimmah. Orang-orang non muslim tidak
memiliki hak sipil dan politik apapun, meskipun mereka lahir dan dibesarkan
diwilayah negara Islam.[21]
Akibanya warga non muslim meskipun dijaga keamanan jiwa dan harta bendanya
dengan aman, namun tak berhak berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat secara
luas. Mereka tidak memiliki otonomi komunal dalam urusan pribadi mereka kecuali
jika mereka berstatus dzimmah. Siapa
saja yang diberi status dzimmah oleh
syariah berhak memperoleh perlindungan jiwa dan harta bendanya, serta
melaksanakan agamanya secara pribadi, dengan kompensasi membayar pajak (jizyah).[22]
Suatu masyarakat dzimmi yang menikmati kebersamaan dzimmah dengan umat Islam, diberi hak oleh Syariah untuk mengatur
dirinya dalam masalah pribadi, namun harus tetap tunduk pada perundang-undangan
negara Islam dalam urusan-urusan publik.[23]
Syariah menentukan bahwa jurisdiksi semua urusan publik harus tetap menjadi
wilayah eklusif umat Islam.[24]
Karena itu, kaum dzimmi memiliki kebebasan berpendapat atau berkepercayaan,
berekspresi dan berserikat didalam komunitas mereka sendiri. Artinya, kebebasan
itu hanya berkaitan dengan praktik keagamaan dan pelaksanaan urusan-urusan
pribadi mereka didalam kerangka komunitas ekskusif kelompok dzimmi.[25]
3) Persamaan didepan Hukum
Dalam pembahasan ini juga akan berkaitan dengan hukum pidana dalam
penerapan syariah historis jika dipaksakan terhadap kontitusionalisme modern. Semua
aspek syariah historis yang berhubungan dengan perempuan dan dzimmi yang
dikemukakan diatas melanggar prinsip persamaan didepan hukum knstitusional.
Contoh-contoh ketidak adilan dan diskriminasi berdasar gender dan agama dalam
syariah dapat dimasukkan dalam masalah pokok itu.
Pertama, hukum pidana syariah membedakan warga negara berdasarkan gender
dan agama. Misalnya diyat (membayar
kompensasi uang kepada keluarga korban pembunuhan) atas korban perempuan atau
dzimmi tidak banyak diyat untuk korban seorang laki-laki muslim.[26]
Disamping itu harga seorang dzimmi tidak dinilai dengan cara yang sama dengan
harga seorang Muslim. Persyaratan syariah untuk menentukan hadd bagi qadf (yang
hukumannya telah diatur secara jelas bagi penuduh zina yang tak terbukti)
adalah bahwa seorang yang dituduh zina tanpa bukti haruslah seorang Muslim.[27]
Walaupun hukuman secara ringan dapat dijatuhkan dengan kebijksanaan yang
berwenang terhadap qadf terhadap
dzimmi, namun berbagai implikasi penghinaan dan diskriminasi jelas mengandung
konsekuensi psikologis dan sosial yang mencolok.
Kedua, hukum Syariah tentang pembuktian membedakan saksi berdasarkan
jenis kelamin dan agama. Kesaksian perempuan muslimat dan dzimmi tidak terima
dalam kasus-kasus pelanggaran kriminal hudud dan qisas. Dalam masalah-masalah
perdata, kesaksian perempuan muslimat dapat diterima, tetapi diperlukan dua
perempuan untuk satu kesaksian.[28]
Sementara tidak ada batasan apapun bagi laki-laki muslim, yang dianggap selalu
adil kesaksiannya menurut syariah.
Ketiga masih dalam bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan kelompok
dzimmi. Misalnya, dalam hukum keluara syariah, seorang laki-laki muslim dapat
mengawini sampai empat perempuan dan menceraikannya sekehendak hati tanpa perlu
ada alasan pembenaran atau menjelaskan keputusannya kepada siapapun. Sebaliknya
seorang perempuan dibatasi dengan satu suami dalam waktu bersamaan, dan dapat
bercerai hanya melalui pengadilan atas proses yang sangat ketat atau melalui
persetujuan suaminya.[29]
Contoh diskriminasi lain terhadap perempuan Muslimat dalam hukum keluarga
Syariah adalah hak umum suami untuk memberikan perlindungan dan kntrol terhadap
istrinya termasuk menghukumnya dengan berbagai cara, termasuk “memukul ringan”
jika dia dianggap tidak patuh “nusyuz”.[30]
Adanya izin bagi suami untuk mendisiplinkan istrinya dengan pukulan ringan ini
bertentangan dengan martabat manusia. Mau tidak mau perempuan menjadi korban
penghinaan tersebut. Contoh lain larangan syariah kepada perempuan muslimat
untuk kawin dengan laki-laki non muslim, sementara laki-laki muslim dijinkan
kawin dengan perempuan kitabiyah (perempuan kristen dan yahudi)[31]
merupakan contoh dikriminasi berdasarkan gender dan agama.
Para penulis Muslim modern mencari jalan untuk membela Syariah menyangkut
semua sifat diskriminatif terhadap perempuan muslimat dan dzimmi ini dengan
menyebut pembenaran sosio historis dan politis. Walaupun penerimaan atau
penolakan atas suatu pembenaran adalah sah secara subyektif, namun secara umum
ada gagasan keadilan dan kelayakan yang berperan dalam proses tersebut.
Misalnya, perbudakan dapat diterima di masa lalu, namun tidak seorang pun dapat
menerima hal itu sekarang. Elemen-elemen diskriminatif terhadap perempuan dan
non-muslim tidak dapat diterima oleh ukuran keadilan dan kelayakan dimasa
sekarang.[32]
Dalam pembahasan selanjutnya, rasanya tidak adil jika hanya dipaparkan
ketidakcocokan syariah dengan konstitusionalisme modern tanpa memberikan solusi
mengenai permasalahan tersebut. Selain menawarkan pendekatan Evolusi, Abdullah
Ahmed an-Naim menawarkan interpretasi berbeda terhadap Al-Quran dan hadits
mengenai permasalah tersebut yang terangkum dalam bab Konsep Modern Tentang “Negara
Konstitusionalisme Islam”.
Menuru Abdullah Ahmed, pernyataan paling baik tentang gambaran dan
implikasi konstitusionalisme adalah yang dikemukakan oleh Ulama pembaharu
Sudan, Ustad Mahmoud Muhammad Toha, menurutnya konstitusioanalisme didasarkan
pada dua prinsip fundamental. Pertama, setiap individu merupakan tujuan bagi
dirinya sendiri dan jangan pernah digunakan sebagai alat untuk tujuan orang
lain. Kedua, masyarakat adalah alat untuk yang paling efektif untuk mencapai
tujuan kebebasan dan martabat individu. Untuk mendesak kedua aspek
konstitusionalisme yang harus dilakukan secara simultan dan dengan kekuatan
yang sama, tidak untuk mengatakan bahwa ia harus diperjuangkan melalui
metode-metode yang sama. Kebutuhan akan metode-metode yang tepat, bagaimanapun
jangan pernah digunakan sebagai suatu dalih untuk mengabaikan dan menunda
realisasi satu aspek konstitusioanalisme atau yang lainnya.
Tanpa prinsip interpretasi baru yang bisa melahirkan konsepsi alternatif
hukum publik Islam, hanya dua pilihan akan terbuka bagi umat Islam Modern:
meninggalkan hukum publik syariah atau mengabaikan konstitusioanlisme.
Melalui metodologi pembaruan yang diusulkan oleh Ustaz Mahmoud Muhammad
Toha. Maka akan nampak bahwa semua
prinsip syariah yang problematis didasarkan pada teks al-Quran dan Sunnah masa
Madinah. Karena pada periode Makkah umat Islam bukanlah masyarakat politik
dan tidak membangun suatu negara. Sekali lagi dengan prinsip interpretasi yang
sama yang diusulkan oleh Mahmoud Muhammad Toha, teks-teks Madinah yang terkait,
sekarang dapat digantikan oleh teks-teks periode Mekkah. Status dan hak
perempuan dapat digunakan sebagai contoh dalam karya penting ini.
Perlu diingat kembali bahwa prinsip fundamental subornisasi perempuan
oleh lelaki, yang dijadikan otoritas untuk mendiskualifikasi perempuan dari
jabatan publik yang melibatkan penggunaan otoritas atas laki-laki, yaitu
qowwama perwalian atau otoritas lelaki atas perempuan berdasarkan ayat al-Quran
Madinah 4:34. Bagian yang relevan dari ayat tersebut dapat diterjemahkan
sebagai berikut: “lelaki memiliki qawwama
(perwalian atau otoritas) atas perempuan karena keuntungan yang
mereka(laki-laki) nikmati atas mereka (perempuan) dan karena (lelaki)
membelanjakan kekayaan mereka untuk membantu mereka (perempuan).” Menurut
Ustad Mahmoud qawwama lelaki maupun perpuan bersifat kondisional, berdasarkan
variabel ekonomi dan keamanan perempuan terhadap laki-laki. Karena laki-laki
dan perempuan keamanannya terantung pada aturan hukum (the rule of law) dan
perempuan, sebagaimana umum terjadi, lebih mampu mandiri secara ekonomi, maka
alasan qawwama tidak berlaku dalam praktik. Bila kita mengambil analisis ini
bersama-sama dengan prinsip umum persamaan lelaki dan perempuan yang terdapat
dalam al-Quran masa Mekkah, demikian argumen Ustas Mahmoud, kita hanya dapat
menyimpulkan bahwa sekarang lelaki dan
perempuan harus sama dihadapan hukum. Ini adalah langkah pertama yang
diperlukan dalam proses panjang mencapai kesamaan.[33]
c.
Syariah dan hukum Internasional Modern
Tujuan dan fungsi
fundamental hukum internasional modern adalah mengatur hubungan antara semua
anggota komunitas negara-negara internasional sesuai dengan prinsip-prinsip
kesamaan dan keadilan berdasarkan hukum demi menciptakan koeksistensi damai,
meningkatkan keamanan dan kesejahteraan negara-negara serta warganya secara
individu.
Pernyataan prinsip-prinsip syariah berikut ini terbatas pada
wilayah-wilayah utama dimana syariah tampak berada dalam konflik dan ketegangan
dengan asas hukum internasionalisme, yaitu antagonisme kearah penggunaan
kekerasan terhadap non-muslim dan umat Islam sempalan.
1) Antagonisme dan penggunaan kekerasan
terhadap non-Muslim
Sebagai tambahan terhadap sumber-sumber Syariah yang ekplisit mengenai
penggunaan kekerasan melawan non muslim dan umat Islam sempalan akan ditinjau
dibawah nanti. Banyak ayat al-Quran yang diwahyukan setelah hijrah ke Madinah
pada tahun 622 M menekankan kohesi internal komunitas Muslim dan berusaha
membedakannya dari komunitas-komunitas lain dalam term-term permusuhan dan
antagonistik. Selama masa Madinah, Al-Quran berulang-berulang memerintahkan
umat Islam untuk saling menolong antara satu dengan yang lain dan untuk tidak
tolong menolong dengan non-Muslim, serta memerangi mereka yang berlawanan dan
bersekutu dengan non-Muslim. Sehingga ayat-ayat al-Quran 3:28, 4:144, 8:72-73,
9:23 dan 71, serta 60:1 mewajibkan umat Islam menghindari kaum kafir sebaai
auliya (kawan, pembantu dan pendukung) serta memerintahkan pertemanan dan
mendorong kerja sama diantara umat Islam sendiri. Demikian pula, ayat 5:51
menginstruksikan kaum Muslimin untuk tidak mengambil kaum Yahudi dan Kristen
sebagai pelindung (awliya), seperti mereka memperlakukan umat Islam yang lain,
dan barang siapa orang muslim bekerja sama dengan mereka (untuk berkawan), maka
ia menjadi salah seorang dari golongan mereka.[34]
Istilah lain yang biasa digunakan dalam term pengerahan kekuatan adalah jihad
dan qital (berperang) serta derivatifnya untuk menyebut penggunaan kekuatan
dalam hubungan internasional.
Ayat-ayat al-Quran yang secara jelas membenarkan penggunaan kekuatan oleh
kaum muslimin terhadap non-Muslim diwahyukan di Madinah, setelah nabi dan para
sahabatnya berhijrah dari Makkah pada tahun 622 M. Menurut perkiraan Ibnu Kasir
dalam tafsirnya yang terkenal, ayat-ayat al-Quran yang pertama memerintahkan
kaum Muslimin menggunakan kekuatan dalam jihad/qital terhadap orang kafir
adalah 2:190-93 dan 22:39.
Ketika membahas beberapa ayat-ayat al-Quran yang mewajibkan berperang,
maka yang perlu diperhatikan adalah secara eksklusif sebaai fenomena Madinah
(berhubungan dengan periode Madinah setelah nabi Hijrah dari Mekkah).
Sebaliknya sebaian besar ayat al-Quran yang mepersilakan kebebasan memilih
dalam kepercayaan/agama dan menjamin kebebasan berkepercayaan dan kesamaan
konsekuensi dan tidak melakukan diskriminasi terhadap non-Muslim dalam masalah
hukum jika diimplementasikan didalam Syariah, adalah ayat-ayat periode Mekkah.[35]
2)
Aturan
penggunaan kekuatan dan perjanjian damai
Selain kewajiban berperang, syariah juga mengatur tingkah laku perang
aktual. Pertama persyaratan penawaran kepada pihak lain untuk memilih memeluk
Islam dan menerima status dzimmah bila secara tepat merupakan apa yang dikenal
dalam terminologi modern sebagai deklarasi perang formal dan peringatan yang
fair sebagai prasyarat yang dibutuhkan untuk permulaan serangan.[36]
Lebih jauh lagi, syariah mengatur tingkah laku tentara muslim secara detail
dalam pertempuran. Dalam sunnah nabi mengintruksikan tentara muslim untuk tidak
menipu, tidak berkhianat dan bisa dipercaya, tidak membantai dan membunuh
anak-anak.
Menurut para ahli hukum Syariah awal, umat Islam harus menanda tangani
perjanjian damai. Sulh atau ahd menghentikan permusuhan dengan
sistem politik non-Muslim jika umat Islam berkepentingan dengan itu, tetapi
perjanjian tersebut harus bersifat temporer, tidak lebih dari 10 tahun menurut
Syafii dan hanya mengijinkan umat Islam untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan
internal mereka atau mempersiapkan peperangan babak berikutnya dengan non
Mulim.[37]
Seperti ditunjukkan oleh aturan-aturan pembuatan perjanjian damai dan
ditunjukkan oleh berbagai sumber Syariah dan pengalaman sejarah, secara
teoritik keadaan perang permanen antara kaum Muslim dan non Muslim tidak
berarrti diperlukan kekerasan atau peperangan. Tetapi penting untuk diingat
bahwa teori syariah bahwa Islam dan kafir tidak bisa hidup bersama dalam dunia
ini. Sehingga syariah mensyaratkan bahwa, baik melalui perang aktif atau
melalui sarana yang lainnya. Dar al harb
harus ditundukkan kedalam Dar al-Islam.
Jika dibandingkan antara hukum Internasional dengan Sayariah maka akan
terjadi perbedaan yang tidak bisa disatukan. Karena syariat secara langsung
bertentangan dengan piagam PBB karena, piagam tersebut melarang penggunaan
kekuatan dalam hubungan Internasional kecuali untuk mempertahankan diri.
Sedangakan Syariah membenarkan penggunaan kekuatan untuk menyebarkan Islam atau
menegakkan integritas dalam negara Muslim.
Solusi yang ditawarkan Abdullah
Ahmed dalam pendekatan Evolusinya:
Teori dan realitas hubungan internasional Islam yang ada sudah memasukkan
beberapa elemen yang dapat digunakan sebagai dasar bagi rekonsiliasi Islam dan
hukum Internasional modern. Pertama, meskipun antagonisme teoritik dan keadaan
perang yang abadi antara umat Islam dan non Muslim, kaum Muslim telah mengalami
proses hidup bersama-sama dengan damai dengan non-Muslim dimasa lalu. Kedua,
ada dukungan yang sangat besar terhadap kesucian perjanjian antara kaum Muslim
dan non Muslim. Ini ditekankan baik al-Quran dan Sunnah dan didukung oleh
praktek Muslim awal. Ketiga, kita telah menerima metode penyelesaian masalah
yang ditetapkan bagi pergaulan internasional secara damai baik melalui
diplomasi maupun arbritase.[38]
Semua cara ini dan kemungkinan elmen-elemen positif lain dari tradisi Islam,
sekarang dapat digunakan dalam menyusun teori hukum modern yang kmprehensif
yang sepenuhnya sesuai dengan hukum Internasional yang hakiki.
Jalan satu-satunya untuk mencapai tingkat pembaruan yang dibutuhkan
adalah mengganti dasar-dasar hukum Islam, yaitu ayat-ayat yang jelas dan
terperinci dan sunnah terkait yang membenarkan penggunaan kekuatan dalam
penyebaran Islam dikalangan non-Muslim dan dalam menegakkannya dikalangan umat
Islam yang murtad dengan teks Al-Quran dan Sunnah yang memerintahkan penggunaan
cara damai dalam mencapai tujuan-tujuan tersebut. Sesuai dengan premis
fundamental bahwa al-Quran dan Sunnah harus dipahami dalam kontek sejarahnya.
Suatu pembaruan yang diusulkan untuk mengganti elemen-elemen syariah yang
berdasarkan al-Quran Madinah, Sunnah yang berhubungan dan pada praktek masa
itu, dengan hukum Islam modern yang mendasarkan pada al-Quran Makkah dan Sunnah
yang berhubungan.
d.
Syariah dan Hak Asasi Manusia
Pasal 1.3 piagam PBB,
mewajibkan kerja sama bagi seluruh anggota PBB untuk mempromosikan dan
memperjuangkan hak-hak asasi dan kebebasan bagi seluruh umat manusia, tanpa
membedakan ras, jenis kelamin, bahasa maupun Agama. Tetapi piagam ini tidak
mendiskusikan term-term hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebesan dasar.
Tugas itu dilaksanakan oleh PBB dalam rangkaian deklarasi, konvensi, perjanjian
dan digunakan sejak tahun 1948.[39]
Dan dokemnet-dokument regional Eropa, Amerika dan Afrika[40]seluruhnya
memiliki premis yang sama bahwa ada standart universal tentang Hak-hak Asasi
Manusia yang harus ditaati oleh seluruh negara di dunia, atau negara-negara
regional dalam hubungannya dengan dokumen regional.
Standart hak Asasi manusia secara definitif dapresiasi oleh berbagai
tradisi budaya yang luas karena meyangkut harkat dan kesejahteraan yang inhern
pada setiap umat manusia, dengan mengabaikan ras, jenis kelamin, bahasa maupun
agama. Abdullah Ahmed berpendapat bahwa hak-hak asasi manusia didasarkan pada
dua kekuatan utama yang emvotivasi seluruh tingkah laku manusia, kehendak untuk
hidup, dan kehenda untuk bebas.[41]
Selanjutnya akan dibahas tentang beberapa problem yang fundamental
berkenaan dengan syariah terhadap hak asasi manusia. Uraian disini lebih fokus
pada standart-standart hak asasi manusia yang dilanggar oleh Syariah, yakni
larangan perbudakan, dan diskriminasi berdasarkan gender dan agama.
1) Perbudakan
Jelas bahwa Syariah tidak mengenalkan perbudakan, karena perbudakan
merupakan norma seluruh dunia pada waktu itu. Syariah mengakui perbudakan
sebagai institusi tetapi mengharuskan membatasi sumber-sumber yang menambah
perbudakan, memperjuangkan kondisi mereka dan mendorong pembebasan mereka
melalui berbaai cara, baik cara agama maupun cara kemanusian.[42]
Tetapi perbudakan sah menurut hukum Syariah hingga sekarang ini. Sekarang tidak
mungkin disetujui pelembagaan perbudakan secara formal disuatu negara muslim.
Namun jika kondisi memungkinkan diperbolehkannya perbudakan dapat muncul
sekrang dan seseorang bisa menjadi budak dibawah kondisi-kondisi itu, maka
Syariah harus melindungi “hak-hak” tuan maupun budak, dengan cara yang sama
pada abad ketiga belas yang lalu.
Satu-satunya jalan
bagi seseorang yang dilahirkan bebas dapat menyeretnya menjadi budak adalah
kekalahan dalam peperangan yang diperbolehkan Syari’ah. Ketika seseorang
dijadikan budak melalui penaklukan militer atau dilahirkan orang tuanya sebagai
budak, maka ia tetap akan menjadi seorang budak hingga dibebaskan. Sementara
seseorang budak dapat dipekerjakan dalam apa saja yang dianggap layak oleh
majikannya tetapi harus diperlakukan dengan bauk dan belas kasih seperti yang
disyaratkan oleh Syari’ah. Menurut beliau, ketika kita mempertimbangkan bahwa
baik Al-Qur’an maupun Sunnah mengakui dan mengatur perbudakan dengan berbagai
cara, bahwa Nabi sendiri dan para Sahabat terkemuka memiliki budak, dan bahwa
semua ahli hukum Syari’ah perintis membenarkan adanya perbudakan, dan
mengelaborasi berbagai hukum untuk mengaturnya, kita tidak dapat
mengesampingkan persoalan tersebut sebagai dugaan kegagalan generasi umat Islam
yang dikatakan untuk mengimplementasikan niat Al-Qur’an untuk menghapuskan
perbudakan. Di samping itu batasan yang jelas oleh ayat 47:4 tentang pilihan
terbuka bagi umat Islam bagi tawanan mereka, selama dan setelah masa Nabi,
melanjutkan pelaksanaan pilihan perbudakan terhadap tawanan. Selain itu, ia
ditekankan bahwa para ahli hukum Syari’ah perintis tidak merasa ayat ini
sebagai upaya menghapuskan pilihan menajdi budak terhadap tawanan. Ayat ini
sekarang dapat digunakan sebagai argumen melarang perbudakan.
Beliau yakin bahwa
umat Islam awal benar ketika menafsirkan Al-Qur’an dan Sunnah dengan menerima
lembaga perbudakan dalam konteks historis ketika itu. Dalam konteks
historis berbeda, dapat diusulkan prinsip penafsiran yang berbeda untuk
menghapuskan perbudakan di dalam hukum Islam dengan yang otoritatif. Walaupun
argumen-argumen tersebut tidak dapat diterima untuk mengubah hukum dan fakta
sejarah bahwa Syari’ah telah menerima perbudakan dan melanjutkannya hingga
sekarang ini, mereka memberikan indikasi yang sangat siginifikan tentang
keinginan umat Islam modern untuk menghapuskan perbudakan dalam hukum Islam.
Ketika perbudakan akhirnya dilarang oleh negara-negara
Muslim modern, dalam berbagai kasus sejak tahun 1960-1n dan sesudahnya, hasil
tersebut dicapai melalui hukum sekular dan bukan hukum Syari’ah. Dengan
larangan formal perbudakan diseluruh negara Muslim, ada beberapa alasan bahwa
ia tidak lagi sebagai isu penting. Saya setuju dan yakin bahwa perbudakan tetap
menjadi isu hak-hak asasi manusia yang fundamental bagi umat Islam hingga ia
benar-benar dihapuskan dalam hukum Islam
Menurut pendapat Abdullah Ahmed, secara moral tidak dapat dipertanggung
jawabkan bagi syariah untuk melanjutkan pengabsahan perbudakan sekarang, dengan
mengesampingkan berbagai proses praktiknya. Selain itu, fakta bahwa perbudakan
diijinkan dibawah syariah memiliki konsekuensi-konsekuensi pratikal yang
serius, tidak hanya dalam pengekalan perasaan sosial yang negatif terhadap
pembentukan perbudakan dan segmen-segmen penduduk yang menggunakan sumber perbudakan
melainkan juga dalam mengesahkan bentuk-bentuk praktik terselubung yang sama
dengan perbudakan. Di Sudan misalnya,citra tentang perbudakan dibawaah syariah
dan literatur Islam terus saja mendukung stereotip yang negatif masyarakat
Sudan dari negara bagian barat daya, sebagai sumber perbudakan hingga akhir
abad ke sembilan belas. Selain itu, berita-berita terakhir melaporkan indikasi
bahwa anggota suku Muslim Sudan barat daya merasa sah untuk mengkap non-Muslim
dari Sudan selatan dan memperlakukan mereka sebagai budak terselubung.[43]
2) Diskriminasi Gender dan Agama
Menurut syari’ah,
non-muslim dapat hidup di dalam negara Muslim, baik dengan status dzimmah
bagi warga negara non-Muslim maupun status aman (janji atau jaminan
kemanan) bagi orang asing non-Muslim.
Menurut beliau ada
beberapa diskriminasi hukum keluarga dan hukum perdata Syari’ah mencangkup
hal-hal sebagai berikut:
a) Seorang
laki-laki Muslim boleh mengawini perempuan Kristen atau Yahudi, tapi seorang
laki-laki Kristen atau Yahudi tidak boleh mengawini perempuan Musli. Baik
laki-laki maupun perempuan Muslim tidak boleh mengawini orang kafir, yaitu
seseorang yang tidak beriman dengan pegangan kitab yang diwahyukan.
b) Perbedaan
agama adalah pengahalang dari seluruh pewarisan. Sehingga seorang Muslim tidak
akan dapat mewarisi dari maupun wariskan kepada Non-Muslim.
c) Contoh-contoh
diskriminasi berdasrkan gender dalam hukum keluarga dan perdata mencangkup
hal-hal berikut:
d) Laki-laki
Muslim dapat mengawini hingga empat perempuan dalam waktu bersamaan, tetapi
perempuan Muslim hanya dapat kawin dengan seorang laki-laki dalam waktu yang
bersamaan.
e) Seorang
laki-laki Muslim dapat menceraikan istrinya, atau seoarang dari Istri-istrinya
dengan meninggalkan begitu saja tanpa akad, talaq, tanpa berkewajiban
memberikan berbagai alasan pembenaran tindakannya terhadap seorang atau suatu
otorita. Sebaliknya seorang perempuan Muslim dapat bercerai hanya dengan
kerelaan suami atau dengan surat keputusan pengadilan yang mengijinkaannya
dengan dasar-dasar khusus, seperrti ketidakmampuan suami dan keengganannya
untuk mengurus istri.
f) Dalam
pewarisan, seorang perempuan Muslim menerima bagian lebih sedikit dari bagian
laki-laki Muslim ketika keduanya berada pada tingkatan yang sama dalam
hubungnnya dengan seseorang yang meninggal.
Kesimpulan yang bisa diambil dari keterangan diatas adalah. Pertama,
dalam keberlanjutan menerima perbudakan sebagai suatu institusi yang sah
menurut hukum, meskipun hanya dalam teori Syari’ah sepenuhnya melanggar hak-hak
manusia paling asasi dan universal. Sangat signifikan bahwa perbudakan di hapus
dalam dunia Muslim melalui hukum sekular dan buakn Syari’ah dan bahwa Syari’ah tidak menolak
institusional kembali perbudakan di bawah kondisi-kondisi mereka sendiri yang
menerima sumber perbudakan dan kondisi-kondisi terhadap perlakuan mereka.
Walaupun sebagian besar umat Islam kontemporer membenci perbudakan, ia masih
merupakan bagian dari hukum agama mereka.[44]
Kedua, Diskriminasi atas
dasar agama dan gender dibawah Syari’ah juga melanggar penegakan hak-hak asasi
manusia. Diskriminasi atas dasar agama telah dibangun dengan berbagai sebab
besar dari konflik dan perang internasional karena negara-negara tersebut
setuju dengan minorritas non-Muslim yang tersiksa mungkin di dorong untuk
bertindak mendukung korban-korban diskriminasi agama, dengan demikian
menciptakan suatu situasi konflik internasional dan mungkin perang. Yang lebih
penting, usulan beliau bahwa diskriminasi yang mendasarkan baik gender maupun
agama secara morak tertolak dan secara politik tidak dapat diterima sekarang.
Menurut beliau, hal-hal tersebut adalah titik konflik dan ketegangan yang
paling serius antara Syari’ah dan hak-hak asasi manusia.
Hak-hak Asasi Universal dalam Islam
Jika dasar hukum Islam
modern tidak digeser dari teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah masa Madinah sebagai
dasar konstruksi Syari’ah, maka tak ada jalan untuk menghindari pelanggaran
yang mencolok dan serius terhadap standar-standar universal hak-hak asasi
manusia. Untuk meraih tingkat pembaruan tersebut, kita harus dapat melengkapi
Al-Qur’an dan Sunnah yang jelas dan terinci masa Madinah yang melayani tujuan
transisional dan penerapan teks-teks masa Makkah yang secara khusus tidak tepat
untuk penerapan praktikal, tapi sekarang merupakan jalan yang satu-satunya
jalan yang harus dilakukan.[45]
Sesuai dengan logika
prinsip evolusioner yang diajukan oleh Ustadh Muhammad Taha, teks-teks
Al-Qur’an yang menekankan solidaritas umat Islam secara eksklusif diwahyukan
selama masa Madinah untuk memberikan kepada masyarakat Muslim yang sedang
menumbuhkan kepercayaan psikologis dalam berhadapan dengan serangan non-Muslim.
Kebalikan dari ayat-ayat tersebut, pesan Islam yang fundamental dan abadi,
seperti diwahyukan dalam Al-Qur’an periode Mekkah, mengajarkan solidaritas
seluruh umat manusia. Dalam pandangan kebutuhan vital bagi prinsip hidup
berdampingan secara damai dalam masyarkat manusia global sekarang ini, umat
Islam harus menekankan pesan-pesan abadi solidaritas universal pesan Mekkah daripada
semangat solidaritas Muslim eksklusif pesan-pesan tradisonal Madinah.
Penerapan prinsip
evolusioner Ustadh Mahmoud terhadap qawama (perwalian) laki-laki,
terhadap perempuan telah sedikit dijelaskan sebelumnya. Laki-laki merupakan qawama
(wali) dari perempuan telah dirasioanalisasi oleh ayat 4:34 sebagai akibat
ketergantungan perempuan terhadap laki-laki dalam bidang ekonomi dan keamanan.
Karena ketergantungan itu tidak lagi ada, Ustadh Mahmoud menjelaskan,
perwalinan laki-laki terhadap perempuan pun selesailah. Baik laki-laki maupun
perempuan sekarang memiliki kebebasan dan tanggung jawab kemampuan yang sama di
depan hukum, yang menjamin kesempatan ekonomi dan kemanan bagi seluruh anggota
masyarakat.
Prinsip evolusioner juga akan menghapus kemungkinan alasan
larangan perkawinan yang lain antara perempuan Muslim dengan laki-laki
non-Muslim, yaitu asumsi bahwa seorang Istri adalah lebih rentan terhadap
pengaruh suaminya daripada sebaliknya. Dengan kata lain, ia memunculkan asumsi
bahwa jika perkawinan itu di ijinkan, maka akan lebih mungkin bahwa suami
non-Muslim akan mempengaruhi istri Muslimnya keluar dari Islam. Alasan ini ,
tentu saja, bagian dari fenomena sosiologi yang lebih luas, yaitu kelemahan
kepercayaan diri dalam integritas perempuan dan keputusannya yang baik.
Pendidikan dan upaya-upaya lainnya dibutuhkan untuk menghapuskan fenomena
sosiologis ini dalam seluruh berbagai manifestasinya. Tugas ini dapat dimulai
dengan mengganti, melalui penerapan prinsip evolusioner Ustadh Mahmoud,
seluruh aspek hukum yang mendiskriminasi terhadap perempuan, dengan jalan
mendorong dan menopang suatu pandangan positif terhadap perempuan.
C. KESIMPULAN
Kesimpulan yang
diperoleh dalam pembahasan Pemikiran Abdullah Ahmed dalam bukunya “Dekontruksi
Syariah” adalah sebagai berikut:
1.
Latar Belakang pemikiran Abdullah Amed an-Naim
dalam bukunya “Dekontruksi Syariah” adalah Perkembangan jaman yang semakin
modern mengakibatkan ketidak relevanya hukum syariah historis yang dipandang
melakukan diskriminasi terhadap perempuan dan non muslim dalam hukum publik,
kemudian berangkat dari permasalahan itu, memunculkan suatu solusi hukum publik
baru yang bersifat sekuler. Abdullah Ahmed percaya bahwa sekulerisme bukanlah
satu-satunya jawaban dalam mengatasi permasalahan hukum Syariat Historis yang
tidak sesuai dengan tuntutan nilai-nilai dan budaya modern. Sehingga beliau
menawarkan sebuah pendekatan baru dalam melakukan interpretasi terhadap
al-Quran dan Sunnah. Yaitu pendekatan Evolusioner. Dengan pendektan ini maka
akan dihasilkan sebuah hukum Syariah modern yang tetap mempertahankan keabsahan
Islam.
2.
Pendekatan Evolusi mengusulkan evolusi basis
hukum Islam dari teks masa Madinah ke teks masa Makkah yang lebih awal. Dengan
kata lain, prinsip interpretasi yang evolusioner tidak lain adalah membalikkan
proses naskh (penghapusan hukum suatu
teks) sehingga teks-teks yang dihapus pada masa lalu dapat digunakan dalam
hukum sekarang, dengan konsekuensi penghapusan teks yang dulu digunakan sebagai
basis syariah. Ayat-ayat yang digunakan sebagai basis Syariah dicabut, dan ayat-ayat
yang dulu dicabut digunakan sebagai basis hukum Islam modern, ketika usulan ini
diterima sebagai basis hukum publik modern, maka keseluruhan produk hukumnya
akan sama islaminya dengan syariah yang ada selama ini.
3.
Permasalahan-permasalahan penerapan hukum
Syariah Historis pada masa modern dan ketidaksesuaiannya hukum tersebut dengan
hukum konstitusionalisme modern, hukum pidana, hubungan internasional dan
hak-hak asasi manusia, dapat terpecahkan dengan pendekatan evolusi yang
ditawarkan Abdullah Ahmed yaitu dengan menaskh ayat-ayat madaniyah yang
dipercaya sebagai dasar adanya bentuk diskriminasi kepada wanita dan
non-Muslim, kemudian menerapkan kembali ayat-ayat Makkah yang penuh dengan
toleransi, kebebasan individu, persamaan gender dll.
D. DAFTAR
RUJUKAN
An-Na’im, Abdullahi Ahmed. 2001. Dekonstruksi Syari’ah. Terj.
Ahmad Suaedy, dan Amirudin ar Rany.(Yogyakarta: LkiS)
Clack, George,
dan Kathleen Hug. 1998. Hak Asasi Manusia
Sebuah Pengantar, A Hermaya. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan)
Mannan,
Abdul. 2006. Reformasi Hukum Islam di
Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Taha,
Mahmoud Mohamed. 1996. Syari’ah
Demokaratik. terj. Nur Rachman. Surabaya: eLSaD
Usman, Muh Ilham. Studi Komparasi K.H. Abdurrahman Wahid dan
Abdulah Ahmad An-Naim tentang Liberasi dan Humanisasi, www.uin-alauddin.ac.id, (Diakses tanggal 22-04- 2017)
[1] George Clack, dan Kathleen Hug, Hak Asasi Manusia Sebuah Pengantar, A
Hermaya, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), hlm. 100.
[2]
Abdul Mannan, Reformasi Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 145.
[3] Muh Ilham Usman, Studi Komparasi K.H. Abdurrahman Wahid dan
Abdulah Ahmad An-Naim tentang Liberasi dan Humanisasi, www.uin-alauddin.ac.id, (Diakses tanggal 22-11- 2016, Jam 19.00), hlm. 89.
[4] Mahmoud
Mohamed Taha, Syari’ah Demokaratik,
terj. Nur Rachman, (Surabaya: eLSaD, 1996), hlm. 36-37
[5]Abdullah
Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan
Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 4.
[6]
Bid’ah adalah sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh nabi yang berhubungan
dengan perkara ibadah.
[7]Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi
Syari’ah, terj.
Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 25-26.
[8] Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi
Syari’ah, terj.
Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 21.
[9] Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi
Syari’ah, terj.
Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 103
[10]
Ibid., hlm. 104.
[11]
Ibid., hlm. 106
[12]
Abdullah Muhammad al-Qurtubi, al-Jami’ li
Ahkam al-Quran, sebaaimana dkutip oleh Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan
Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 107
[13]G.A
Forrest, Constitution and Constitutinal
Law, sebagaimana dikutip oleh Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan Amiruddin
Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 135
[14]Khadduri,
War and Peace in the Law of Islam,
hlm. 162.
[15]An-Naim,
The Islamic Law of Apostasy and its
Modern Applicability, hlm. 212-13.
[16]Nu’man
A. Al-Smara’i, Ahkam al murtad fi
al-sharia al-Islamiyah, sebagaimana dikutip oleh Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan
Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 166.
[17]Al-Mubarak,
Nizam al-Islam fi al-hukm wa al-dawla,
sebagaimana dikutip oleh Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan
Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 167.
[18]Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi
Syari’ah, terj.
Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 168
[19]
Batasan ini disebut al-hijab, ketentuan bagi perempuan untuk tinggal dirumah
atau menutup seluruh badan ketika mereka harus meninggalkan rumah, aturan ini
didasarkan pada ayat al-Quran seperti 24:31, 33:33, 33:53, dan 33”59 dan dengan
sunnah yang berkait. Sekali lagi kita memusatkan perhatian pada posisi dalam
syariah seperti yang ada sekaran. Kemungkinan penafsiran kembali sumber-sumber
tersebut untu menolak al-hijab dibela disini, tetapi jangan dikacaukan dengan
interpretasi ayat-ayat tersebut dan sunnah yang ada sekarang ini.
[20]
Rahim, Principles of Muhammadan
Jurisprudence, hlm. 389.
[21]
Khadduri, War and Peace in the Law of
Islam, hlm. 163-69
[22]
Al-Quran, 9:29. Lihat Syafii, al-Umm, 4:172
[23]
S. D. Goiten, Minority Self-rule and
Goverment Control in Islam, studia islamica, sebagaimana dikutib Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan
Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 172
[24]
Khadduri, War and Peace in the Law of Islam, hlm. 198. Seperti disebut dalam
The Encyclopedia od Islam, 2:228-29, pandangan doktrinal ini tidak selalu
diterapkan dalam praktik karena kemampuan administrasi dan birokrasi dzimmi
dibtuhkan oleh penguasa Muslim. Hal ini bisa menunjukkan bahwa pemerintahan
Islam tidak sesuai dengan Syariah namun tidak mengubah fakta bahwa Syariah
tidak mengijinkan partisipasi dzimmi dalam pemerintahan Muslim.
[25]
Hal ini merupakan gambaran umum kesepakatan paling awal tentang kedudukan
dzimmah. .
[26]
Syafi’i, Al-Umm, 6:105-6
[27]
Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid,
2:330, sebagaimana dikutip oleh Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan
Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 173.
[28]
Berdasarkan ayat al-Quran 2:282
[29]
Lihat Schacht, Intoduction to Islamic Law,
hlm. 161-66, sebaaimana dikutip oleh Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan
Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 174
[30]
Al-Quran, 4:34; at-Thabari, jami al bayan,
5:57-70. Syafii dalam al-Umm,
5:193-94
[31]
Syafii,Al-Umm, 5:6-9, 44,50
[32] Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi
Syari’ah, terj.
Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 15
[33] Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi
Syari’ah, terj.
Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 190
[34] Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi
Syari’ah, terj.
Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 274
[35]
Noor Mohammad, The Doctrine of Jihad: an
Introduction. “Journal of Low and Religion 3 (1985): 385. Sebagaimana
dikutip oleh Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi
Syari’ah, terj.
Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 279
[36]
Hamidullah, Muslim Conduct of state, sebagaimana
dikutip Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi
Syari’ah, terj.
Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 283.
[37]
Khadduri, War and Peace in The Law of
Islam, sebagaimana dikutip Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan
Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 285
[38]
Hamidullah, Muslim Conduct of state,
sebagaimana dikutip Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan
Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 299
[39] United Nations Action in Human Right,
Dok. PBB ST/HR/2/Rev. 1
[40]
Ini merupakan Perjanjian Masyarakat Eropa tentang Perlindungan hak-hak Asasi
manusia dan kebebasan-kebesan fundamental tahun 1950, perjanjian Amerika
tentang Hak-hak Asasi Manusia tahun 1969, dan piagam Afrika tentang Hak-hak
Asasi masyarakat dan Manusia tahun 1981.
[41] Mahmoud
Toha, the second Message of Islam, sebagaimana dikutip Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan
Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 313.
[42]
Fazlur Rahman, Islam, Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan
Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 330
[43] Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi
Syari’ah, terj.
Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 336
[44] Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi
Syari’ah, terj.
Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 339
[45] Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi
Syari’ah, terj.
Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 343-344
Like it
ReplyDelete