Friday, May 5, 2017

KAJIAN ATAS KARYA ABDULLAH AHMED AN-NAIM: DEKONTRUKSI SYARIAH

KAJIAN ATAS KARYA ABDULLAH AHMED AN-NAIM: DEKONTRUKSI SYARIAH
Oleh:
Yovi Nur Rohman (16771009)
Magister Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

A.  PENDAHULUAN

Islam adalah agama yang mengatur segala aspek kehidupan manusia (Solihun likulli zaman wal makan) tidak hanya dalam masalah ibadah yang hubungannya horisontal kepada sang pencipta. Islam juga mengatur hubungan vertikal antara manusia dengan manusia. Termasuk didalamnya pengaturan syariah tentang hukum publik yang meliputi hukum kontitusioanal, hukum pidana, hubungan internasional dan dan jaminan terhadap hak asasi manusia.
Dewasa ini banyak sekali pemikir modern pembaharu dalam Islam, termasuk para aktivis-aktivis pembela HAM seperti Aung San Suu Kyi, Mahatma Ghandi, Martin Tuther King Jr, Nelson Mandela, dan lain-lain[1]. Termasuk diantaranya adalah Abdullah Ahmed an-Naim yang mencoba mengkritik konsep-konsep Islam yang menurutnya tidak sesuai lagi jika diterapkan ke abad modern khususnya dalam hukum publik. Termasuk didalamnya konsep syariah Islam yang banyak menerima kritik dan perlu dilakukan interpretasi yang baru terhadap al-Quran dan Sunnah sehingga menghasilkan suatu konsep syariah modern yang sesuai dengan tuntuan modernisasi zaman. Adalah Abdullah Ahmed an-Naim yang mencoba melanjutkan pemikiran gurunya Mahmoud Muhammad Toha, merupakan dua ulama pembeharu dalam Islam yang mencoba menawarkan metodologi baru dalam melakukan interpretasi terhadap al-Quran dan Sunnah terkait hukum-hukum syariah yang berkaitan dengan hukum konstitusi, hukum pidana, hubungan internasinal dan hak-hak asasi manusia. Menurut Abdullah Ahmed an-Naim, syariat Islam yang bersifat historsi perlu di rekontruksi ulang. Menurutnya Hukum Syariah yang bersifat historis banyak yang bertentangan dengan hukum-hukum konstitusi negara yang berasal dari paham sekuler. Jika tidak dilakukan interpretasi yang baru terhadap nash-nash al-Quran maupun Sunnah, maka bagi orang Islam pilihannya hanyalah dua: pertama, tetap menerapkan hukum syariah yang sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman atau menerapkan sebuah hukum yang berasal dari paham sekuler Barat.
Berbeda dengan kaum skuleris, An-Na’im tetap mempertahankan legitimasi Islam atas pembaharuan yang diusulkan. Abdullahi Ahmed An-Na’im menyajikan titik tolak radikal baik dari posisi Islam modernis maupun fundamentalis yang keduanya mendominasi pemikiran kontemporer dalam dunia Islam. An-Na’im mencoba mentransformasikan pemahaman dasar-dasar hukum Islam tradisional tersebut, tak sekedar mereformasikannya. Dalam hal Syari’ah, An-Na’im menganjurkan suatu sistem baru hukum Islam yang menyeluruh yang diyakini memberikan dasar yang lebih sesuai dengan kehidupan Islam di dunia kontemporer. Ini merupakan formulasi yang menyeluruh dalam menghadapi struktur politik, tatanan sosial, hukum pidana, hukum internasional dan hak-hak asasi manusia. Akhirnya melalui bukunya yang berjudul Dekontruksi Syariah, dalam literatur hukum Islam kontemporer, kata “pembaruan” silih berganti dengan kata reformasi, modernisasi, reaktualisasi, dekontruksi, rekntruksi, tarjih, islah dan tajdid.[2] Penulis berusaha menyajikan hasil pemikiran Abdullah Ahmed terhadap hukum Syariah modern yang sesuai dengan tuntutan zaman akan tetapi tetapi tetap tidak menghilangkan keabsahan Islam.

B.  PEMBAHASAN

1.    Biografi Abdullah Ahmed an-Na’im

An-Anaim dilahirkan di Sudan pada tanggal 19 November 1946. ia menyelesaikan sekolah dasar menengah atasnya di Sudan. Abdullah Ahmed An-Na’im menyelesaikan pendidikan S1 jurusan Hukum di Universitas Khartoum Sudan dan memperoleh gelar LL.B (honour) dengan predikat cumlaud. Tiga tahun kemudian tahun 1973 mendapat 3 gelar sekaligus LL.B, LL.B, dan M.A (Diploma in Criminology) dari Uniersitas Cambridge, Inggris. Pada tahun 1976 mendapat gelar Ph.D dalam bidang hukum dan University of Edinbrug Skotlandia[3]. Setelah menyelesaikan studinya di bidang hukum, an-Naim kembali ke Sudan, mengabdi kepada bangsanya sebagai jaksa, pengacara dan dosen pada universitas Khartum. Selain mengajar, Naim menjadi corong pemikiran-pemikiran gurunya, Mahmud Muhammad thoha, salah satunya teori nasakh yang sebelumnya di kembangkan oleh gurunya. Menjelang 1979, Naim menjadi kepala departemen public di fakultas hukum Khartum. Ia sebagai sosok intelektual muda yang aktif dan brilian dalam berbagai diskusi dan seminar hukum di sudan. Selain itu juga aktif menulis berbagai artikel dalam berbagai jurnal, baik yang bersekala nasional, maupun internasional. Sekarang Naim menetap di Amerika serikat
An-Na’im adalah murid dari Mahmoed Mohamed Taha  pendiri partai Persaudaraan Republik (The Republican Brotherhood) pada akhir Perang Dunia II sebagai partai alternatif di tengah-tengah perjuangan nasionalis Sudan. An-Na’im menerjemahkan karya besar gurunya Al-Risalah al-Tsaniyah minal Islam ke dalam bahasa Inggris menjadi The Second Message of Islam, kemudian dicetak tahun 1987 setelah sembilan belas tahun ia resmi menjadi anggota Persaudaraan Republik yang pada saat itu masih studi di Universitas Khartoum fakultas hukum. Kaum Republikan ini tetap mendukung Numeyri sepanjang tahun 70-an sampai 80-an. Dukungan diberikan selam rezim tersebut mempertahankan kebijakan nasional tentang kesatuan dan menahan diri untuk tidak memakai hukum yang merugikan kaum perempuan dan non-muslim Sudan. Setelah syari’ah diterapkan secara paksa melalui keputusan presiden awal Agustus 1983, yang menggoyahkan  kesatuan nasional antara Muslim Utara dengan non-Muslim Selatan, maka sejak itu kaum Republikan menyatakan oposisinya terhadap rezim ini.[4] Akibat dari pernyataan oposisinya mereka terhadap program islamisasi Numeyri, maka selama kurang lebih satu setengah tahun, An-Na’im ditahan bersama sekitar 30 orang pimpinan Persaudaraan Republik, termasuk gurunya Taha. Pada akhir tahun 1984 mereka dibebaskan, namun Taha ditangkap kembali bersama beberapa pimpinan lainnya dengan tuduhan menghasut dan pelanggaran lainnya, tetapi hanya Taha yang kemudian dihukum mati pada tangal 18 Januari 1985 oleh rezim Sudan Ja’far Numeyry. Sejak itu kelompok ini sepakat untuk tidak terlibat dalam aktivitas politik dan secara resmi membubarkan diri.

2.    Pemikiran Abdullah Ahmed an-Naim dalam bukunya dekontruksi Syariah

Pemikiran Abdullah Ahmed an-Naim dalam bukunya Dekontruksi Syariah berangkat dari anggapannya bahwa syariah yang ada sekarang ini tidak relevan lagi dengan nilai-nilai dan budaya modern, karenanya perlu direformasi agar sesuai dengan perkembangan zaman. Syariah yang selama ini dikenal tidaklah sakral (divine) atau bersifat ilahiah dalam arti seluruh rinciannya diwahyukan langsung oleh Allah, ia adalah "the product of a process of interpretation of analogical derivation from the text of the Qur'an and Sunna and other tradition.” Secara khusus pemikiran Abdullah ahmed membicarakan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin muncul dari penerapan Syariah historis pada bidang publik: yaitu konstitusionalisme, hukum pidana, hubungan internasional dan hak asasi manusia.
Abdullah Ahmed an-Naim percaya bahwa penerapan aspek-aspek hukum publik Syariah Historis dalam kehidupan akan menimbulkan kesulitan-kesulitan luar biasa. Namun dalam islam tetap dimungkinkan mengembangkan konsep hukum publik alternatif yang dapat mengatasi kesulitan-kesulitan itu. Konsep hukum alternatif itu bisa disebut “Syariah modern” artinya ia sama-sama dijabarkan dari sumber-sumber asasi Islam.[5]
Bagi umat Islam, Syariah adalah tugas umat manusia yang menyeluruh, meliputi moral, teologi dan etika pembinaan umat, aspirasi spiritual, ibadah formal dan ritual yang rinci. Syariah mencakup semua aspek hukum publik dan perorangan, kesehatan, bahkan kesopanan dan ahlak. Menganggap ada bagian syariah yang tidak memadai, akan dituduh bidah[6] oleh mayoritas umat Islam yang menyakini bahwa keseluruhan Syariah itu bersifat Ilahiyah. Pandangan yang menjadi keyakinan umum ini akan menjadi hambatan psikologis utama dalam upaya merekontruksi Syariah, apalagi diperkuat dengan ancaman tuntutan hukum pidana dengan dakwaan murtad. Ini adalah ancaman nyata di negara-negara Islam seperti Sudan dewasa ini.
Langkah pertama untuk menembus hambatan ini adalah dengan menunjukkan bahwa sejatinya hukum publik syariah bukanlah hukum yang semua prinsip khusus dan aturan rinciannya langsung diwahyukan oleh Allah kepada nabi Muhammad SAW. Jika dapat diyakinkan bahwa syariah itu disusun oleh para ahli hukum-hukum Islam awal berdasarkan interpretasi sumber asasinya, yaitu al-Quran dan Sunnah, Umat Islam kontemporer niscaya akan lebih terbuka menerima kemungkinan reformasi syariah secara subtantial.[7] Perkembangan jaman yang semakin modern mengakibatkan ketidak relevanya hukum syariah historis yang dipandang melakukan diskriminasi terhadap perempuan dan non muslim dalam hukum publik, kemudian berangkat dari permasalah itu, memunculkan suatu solusi hukum publik baru yang bersifat sekuler.

a.    Metodologi Pembaruan Abdullah Ahmed an-Naim

Dalam bukunya Dekontruksi Syariah Abdullah Ahmed berusaha mempertimbangkan hukum publik Syariah dan pengalaman historis umat Islam dengan standart yang berlaku pada waktu Syariah diterapkan dan berusaha mengembangkan prinsip-prinsip Islam alternatif bagi hukum publik untuk penerapan modern.
Metodologi Pemikiran An-Na’im Reformasi Islam atau dekonstruksi syari’ah yang digagas an-Na’im yang kemudian terkenal ke seluruh penjuru dunia sebagai respon terhadap pemikirannya bermaksud memberikan solusi bagi proses perubahan persepsi, sikap dan kebijakan umat Islam atas dasar-dasar Islam dan bukan sekuler. Tesisnya mengatakan bahwa jika tidak dibangun dasar pembaruan modernis murni yang dapat diterima secara keagamaan, maka umat Islam sekarang dan akan datang hanya punya dua alternative, yaitu mengimplementasikan syari’ah dengan segala kelemahan dalam menjawab dinamika zaman dan masalahnya, atau meninggalkannya dan memilih hukum publik sekuler”.[8] Menurut an-Na’im, selama umat Islam tetap setia pada kerangka kerja syari’ah historis, mereka tidak akan pernah benar-benar mencapai tingkat keharusan pembaruan yang mendesak supaya hukum publik Islam bisa berfungsi sekarang”. Selanjutnya an-Na’im mengambil metode gurunya, yaitu metodologi pembaharuan yang revolusioner, yang digambarkan sebagai evolusi legislasi Islam (modern mistical approach), yang intinya suatu ajakan untuk membangun prinsip penafsiran baru yang memperbolehkan penerapan ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah. Pendekatan ini jika diterapkan akan mampu memecahkan kebuntuan antara tujuan pembaruan, keterbatasan konsep dan teknik syari’ah historis. Prinsip naskh pembatalan teks al-Qur’an dan Sunnah tertentu untuk tujuan-tujuan penetapan hukum oleh teks-teks al-Qur’an dan Sunnah untuk tujuan-tujuan penetapan hukum oleh teks al-Qur’an dan Sunnah yang lain sangat menentukan bagi validitas teoritik dan kelangsungan praktek dari pendekatan evolusioner. Kemudian memadukan teori naskh tersebut dengan prinsip-prinsip umum tentang analisa kongkret terhadap implikasi-implikasi hukum publik Islam. Utamanya terhadap keseimbangan hak-hak muslim dan non-muslim serta laki-laki dan perempuan dalam menentukan nasib sendiri. Inilah harga kemanusian yang tertimbun dalam formulasi teoritik syari’ah tradisional. An-Na’im mengadopsi teori naskh gurunya dengan alasan bahwa:
1)   Pesan Mekah adalah pesan abadi dan fundamental yang menginginkan egalitarianisme seluruh umat manusia. Karena pesan Mekah ini belum siap diterapkan oleh manusia pada abad ketujuh, maka Allah menurunkan pesan Madinah yang lebih sesuai dengan kondisi zaman waktu itu.
2)   Pemberlakuan teori naskh lama itu tidak permanen, karena jika permanen berarti umat Islam menolak sebagian dari agamanya
Misalnya, al-Quran masa Mekkah yang paling awal memerintahkan nabi dan para pengikutnya untuk menerapkan dakwah secara damai dan mengijinkan kebebasan memilih pihak lain untuk menerima atau menolak Islam, tetapi al-Quran dan Sunnah masa Madinah seccara jelas mewajibkan dan bahkan menegaskan dibawah kondisi tertentu untuk menggunakan kekerasan guna memaksa orang kafir untuk memeluk Islam atau memilih salah satu kemungkinan yang disedaiakan Syariah, seperti hukuman mati, perbudakan atau berbagai konsekuensi lainnya yang tidak menyenangkan. Seorang yang murtad bisa dihukum mati oleh Syariah.
Dari uraian diatas lalu menghasilkan sebuah pendekatan baru dalam modernisasi Islam yang ditawarkan oleh Abdullah Ahmed an-Naim yang sebenarnya berangkat dari pemikiran gurunya Mahmoed Muhammad Toha.
PENDEKATAN EVOLUSI
Mahmoed Muhammad Toha memiliki pandangan bahwa suatu pengujian secara terbuka terhadap isi al-Quran dan Sunnah yang melahirkan dua tingkat atau tahap risalah Islam, suatu periode awal Mekkah dan berikutnya tahap Madinah. Selanjutnya, dia berepndapat bahwa sebenarnya pesan Mekkah merupakan pesan Islam yang abadi dan fundamental, yang menekankan martabat yang inheren pada seluruh umat manusia, tanpa membedakan jenis kelamin (gender), keyakinan keagamaan, ras dan lain-lain. Pesan itu ditandai dengan persamaan antara laki-laki dan perempuan dan kebebasan penuh untuk memilih dalam beragama dan keimanan. Baik substansi pesan Islam maupun perilaku pengembangannya selama periode Mekkah didasarkan pada ismah, kebebasan untuk memilih tanpa ancaman atau bayangan kekerasan dan paksaan apapun.[9]
Ketika tingkat tertingi dari pesan itu dengan keras dan dengan tidak masuk akal ditolak secara praktis ditunjukkan bahwa pada umumnya masyarakat belum siap untuk melaksanakannya, maka pesan yang lebih realistik pada masa Madinah diberikan dan dilaksanakan. Dengan jalan ini, aspek-aspek pesan periode Mekkah yang belum siap untuk diterapkan dalam praktik dalam konteks sejarah abad VII, ditunda dan diganti dengan prinsip-prinsip yang lebih praktis yang diwahyukan dan diterapkan selama masa Madinah. Namun, Ustaz Mahmoed Muhammad Toha bahwa aspek-aspek pesan Makkah yang ditunda itu tidak akan pernah hilang sebaai sebuah sumber hukum Islam. Ia hanya ditangguhkan pelaksanaannya dalam kondisi yang tepat dimasa depan. Sebaliknya, dia berhujjah, aspek-aspek Islam yang agung dan abadi yang telah hilang tidak dapat ditukarkan.[10]
Untuk mengapresiasi logika argumentasi Ustaz Mahmoed kita harus mengingat kembali peristiwa-peristiwa historis Islam awal dan menyebut beberapa contoh untuk menggambarkan thesisnya dan implikasinya terhadap hukum publik Islam Modern. Selama tiga belas tahun pertama misinya (antara 610-622), nabi diperintahkan Islam untuk menyebarkan Islam dilingkungan Makkah dengan cara damai dan tertutup, sesuai dengan prinsip kebebasan penuh untuk memilih. Dengan demikian Al-Quran ayat 16:125 memerintahkan nabi untuk: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” Ayat 18:29 juga memerintahkan kepada nabi untuk:  Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sejumlah ayat lain periode Makkah juga memerintahkan nabi dengan cara yang sama.
Subtansi dari pesan Makkah menekankan nilai-nilai keadilan dan persamaan yang fundamental dan martabat yang melekat pada seluruh umat manusia. Sebagai contoh, Al-Quran selama periode Makkah selalu menyapa manusia, menggunakan kata-kata seperti, “wahai anak adam” atau “wahai manusia[11]
Sementara itu, al-Quran periode Madinah dan Sunnah yang menyertainya mulai membedakan antara laki-laki dan perempuan, umat Islam dan non muslim, dalam status hukum dan hak mereka didepan hukum. Semua ayat dan sunnah yang terkait yang menjadi dasar diskriminasi terhadap perempuan dan non muslim merupakan ayat-ayat Madinah, bukan ayat-ayat Makkah. Sebagai contoh, Al-Quran surat 4 yang dikenal sebagai surat an-Nisa, berisi aturan yang lebih rinci tentang perkawinan, perceraian, waris dan semacamnya dengan pengaruh diskriminasinya terhadap perempuan, diwahyukan selama masa Madinah. Khususnya ayat 34 surat ini diambil oleh para ahli hukum perintis sebagai dasar prinsip umum tentang qawwama. Prinsip umum ini digunakan oleh para ahli hukum perintis sebagai pengabsahan secara hukum untuk berbagai aturan yang luas tentang hukum publik. Sebagai contoh, perempuan didiskualifikasi dari memegang jabatan publik pada umumnya yang melibatkan penggunaan otoritas termasuk terhadap laki-laki. Padaha sesuai dengan ayat 4:34, laki-laki diberi hak untuk menggunakan otoritas terhadap perempuan bukan sebaliknya.[12]
Akhirnya, dengan memperhatikan isu hukum publik yang didiskusikan dalam buku dekontruksi syariah, Ustaz Mahmoud mengusulkan evolusi basis hukum Islam dari teks masa Madinah ke teks masa Makkah yang lebih awal. Dengan kata lain, prinsip interpretasi yang evolusioner tidak lain adalah membalikkan proses naskh (penghapusan hukum suatu teks) sehingga teks-teks yang dihapus pada masa lalu dapat digunakan dalam hukum sekarang, dengan konsekuensi penghapusan teks yang dulu digunakan sebagai basis syariah. Ayat-ayat yang digunakan sebagai basis Syariah dicabut, dan ayat-ayat yang dulu dicabut digunakan sebagai basis hukum Islam modern, ketika usulan ini diterima sebagai basis hukum publik modern, maka keseluruhan produk hukumnya akan sama islaminya dengan syariah yang ada selama ini.

b.   Syariah, Konstitusionalisme modern, dan hukum pidana

Dalam pengertian formal istilah kontitusi negara adalah kumpulan aturan-aturan dan peraturan-peraturan yang menciptakan berbagai alat pemerintahan dan menentukan hubungan satu dengan yang lainnya, serta hubungan alat-alat itu dengan subyek pribadi manusia, baik dalam kapasitasnya sebagai individu atapun kolektif.
Dalam pengertian formalistik ini, konstitusi didefinisikan sebagai hukum organik dan dasar suatu bangsa atau negara, yang menetapkan konsep dan sifat suatu pemerintahnya, mengorganisasikan pemerintahan, mengatur, membagi dan membatasi fungsi departemen-departemen yang ada, serta menentukan cakupan dan cara mnggunakan kekuasaaan. Konstitusionalisme merupakan teori atau prinsip pemerintahan konstitusional, atau menganut teori tersebut. Dalam alur yang sama, sumber yang lain mendefinisikan konstitusinalisme sebaai prinsip”bahwa otoritas publik harus digunakan menurut hukum; bahwa konstitusi negara dan masyarakat, kekuasaan eksekutif fan legislatif, memiliki sumbernya didalam konstitusi yang harus dipatuhi dan tidak menyimpang dari gerak pemerintahan saat itu. Singkatnya konstitusionalisme adalah suatu pemerintahan oleh hukum bukan pemerintahan oleh orang-orang.[13]
Didalam pembahasan ini akan diuraikan penerapan hukum Syariah historis yang tidak bisa diterima dalam konstitusionalisme modern. Problem yang melekat didalam negara Syariah sebagai idealitas yang ingin dicapai umat Islam sekarang ini lebih serius daripada problem realisasi “idealitas” itu sendiri. Seandainya idealitas itu dilaksanakan dalam praktik sekarang, ia tetap tidak akan sesuai dengan standart konstitusionalisme modern. Sebagian problem ini bisa dijelaskan sebagai berikut:
1)   Status Konstitusional umat Islam
Warga negara yang secara formal diidentifikasi sebagai umat Islam merupakan satu-satunya warga negara penuh dalam negara Islam Syariah, yang secara teoritik berhak penuh terhadap hak-hak sipil dan politik,[14] tetapi tunduk pada batasan-batasan berikut ini: pertama, siapapun yang secara formal diidentifikasikan sebagai seorang muslim, tidak dapat keluar dari Islam (murtad/opostasi), baik berpindah ke agama lain atau menjadi kafir. Seorang dapat dianggap murtad ketika yang berwenang menentukan bersalah karena mempertahankan pandangan dan pendapat yang secara prinsip bertentangan dengan ajaran Islam, dengan mengabaikan pandangannya sendiri tentang hubungannya dengan agama Islam.[15] Dengan kata lain, keimanan pada Islam secara obyektif ditentukan oleh mereka yang berwenang, bukan secara subyektif ditentukan oleh orang yang bersangkutan.[16]
Pembenaran yang selalu disebut sebut untuk menghukum orang murtad adalah pernyataan bahwa kemurtadan akan melemahkan integrasi umat Islam dan keamanan negara Islam. Seorang penulis: misalnya, memulai dengan premis bahwa negara Islam adalah suatu negara doktrinal atau negara ideologis yang didesain untuk menegakkan dan memajukan nilai-nilai syariah. Dia mendifinisikan bangsa sebaai suatu masyarakat yang berdasarkan atas kesamaan kepercayaan. Konsekuensinya, hak-hak dan kebebasa individu dibatasi oleh prinsip yang melarang penyimpangan dari ideologi negara atau membela ideologi lain. Hal ini dikawatirkan akan bermuara pada pembangkangan warga dan mengundang munculnya perlawanan terhadap negara untuk menghapus sifat negara Islam itu. Dia mengatakan orang yang meninggalkan Islam, ideologi dan hukumnya, tidak mempunyai pilihan lain kecuali dilarang mengidentifikasi diri dengan negara dan masyarakat Islam dan ia harus berusaha mengidentifikasi diri dengan negara dan masyarakat lain.[17]
Pemikiran seperti ini menurut Abdullah Ahmed keliru karena mengacu pada kemurtadan dan ini bisa ditolak pada pandangan konstitusional. Keliru pada kemurtadan karena kemurtadan pribadi per se dibawah syariah dikenakan hukuman mati, tak peduli apakah orang yang murtad itu menyatakan pandangan dan pendapatnya atau tidak. Selain itu, meskipun kita menerima dalih, bahwa syariah menghukum orang murtad dengan hukuman hanya jika dia menyatakan dan mempertahankan pandangan-pandangannya, prinsip seperti itu tetap melanggar prinsip kebebasan, kepercayaan, mengemukakan pendapat dan berserikat yang dijamin secara konstitusional. Mengapa orang Kristen, misalnya, ditarik masuk Islam dan mengajarkan kepercayaan barunya itu pada orang lain, sementara orang Islam yang pindah ke kristen akan dihukum mati, tak peduli apakah dia mengajarkan kepercayaan kristennya itu atau tidak.[18]
Batasan kedua tentang hak politik dan hak sipil umat Islam, kaitannya dengan kebebasan perempuan menggunakan hak-hak mereka. Meskipun perempuan muslimah berhak memegangi pendapat apapun yang dianggap ada dalam ajaran dasar Islam, namun pembatasan Syariah atas hak mereka untuk tampil dan berbicara didepan umum dan bergabung dengan muslim laki-laki untuk mendukung pandangan-pandangan mereka[19] telah menimpakan sejumlah batasan-batasan atas hak-hak politik dan sipil baik perempuan maupun laki-laki Muslim.
Ketiga, disamping batasan-batasan tadi, hak perempuan untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik “yakni jabatan publik yang melibatkan penggunaan otoritas atas laki-laki” juga diikuti oleh Syariah. Prinsip umum syariah ini berdasarkan Al-Quran ayat 4:34 yang menyatakan bahwa laki-laki adalah penjaga dan pelindung (qowwamun) perempuan. Sementara mazhab Syafii melarang perempuan memegang jabatan hakim, mazhab Hanafi mengizinkan jabatan hakim dalam kasus-kasus perdata.[20]
2)   Status Kontitusional non-Muslim
Syariah tidak memberi tempat tingal yang tetap bagi non-muslim didalam negara Islam, kecuali jika ada ijin tingal sementara yang terbatas masa dan syarat kehadiran mereka; atau jika mereka dijamin dalam status dzimmah. Orang-orang non muslim tidak memiliki hak sipil dan politik apapun, meskipun mereka lahir dan dibesarkan diwilayah negara Islam.[21] Akibanya warga non muslim meskipun dijaga keamanan jiwa dan harta bendanya dengan aman, namun tak berhak berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat secara luas. Mereka tidak memiliki otonomi komunal dalam urusan pribadi mereka kecuali jika mereka berstatus dzimmah. Siapa saja yang diberi status dzimmah oleh syariah berhak memperoleh perlindungan jiwa dan harta bendanya, serta melaksanakan agamanya secara pribadi, dengan kompensasi membayar pajak (jizyah).[22]
Suatu masyarakat dzimmi yang menikmati kebersamaan dzimmah dengan umat Islam, diberi hak oleh Syariah untuk mengatur dirinya dalam masalah pribadi, namun harus tetap tunduk pada perundang-undangan negara Islam dalam urusan-urusan publik.[23] Syariah menentukan bahwa jurisdiksi semua urusan publik harus tetap menjadi wilayah eklusif umat Islam.[24] Karena itu, kaum dzimmi memiliki kebebasan berpendapat atau berkepercayaan, berekspresi dan berserikat didalam komunitas mereka sendiri. Artinya, kebebasan itu hanya berkaitan dengan praktik keagamaan dan pelaksanaan urusan-urusan pribadi mereka didalam kerangka komunitas ekskusif kelompok dzimmi.[25]
3)   Persamaan didepan Hukum
Dalam pembahasan ini juga akan berkaitan dengan hukum pidana dalam penerapan syariah historis jika dipaksakan terhadap kontitusionalisme modern. Semua aspek syariah historis yang berhubungan dengan perempuan dan dzimmi yang dikemukakan diatas melanggar prinsip persamaan didepan hukum knstitusional. Contoh-contoh ketidak adilan dan diskriminasi berdasar gender dan agama dalam syariah dapat dimasukkan dalam masalah pokok itu.
Pertama, hukum pidana syariah membedakan warga negara berdasarkan gender dan agama. Misalnya diyat (membayar kompensasi uang kepada keluarga korban pembunuhan) atas korban perempuan atau dzimmi tidak banyak diyat untuk korban seorang laki-laki muslim.[26] Disamping itu harga seorang dzimmi tidak dinilai dengan cara yang sama dengan harga seorang Muslim. Persyaratan syariah untuk menentukan hadd bagi qadf (yang hukumannya telah diatur secara jelas bagi penuduh zina yang tak terbukti) adalah bahwa seorang yang dituduh zina tanpa bukti haruslah seorang Muslim.[27] Walaupun hukuman secara ringan dapat dijatuhkan dengan kebijksanaan yang berwenang terhadap qadf terhadap dzimmi, namun berbagai implikasi penghinaan dan diskriminasi jelas mengandung konsekuensi psikologis dan sosial yang mencolok.
Kedua, hukum Syariah tentang pembuktian membedakan saksi berdasarkan jenis kelamin dan agama. Kesaksian perempuan muslimat dan dzimmi tidak terima dalam kasus-kasus pelanggaran kriminal hudud dan qisas. Dalam masalah-masalah perdata, kesaksian perempuan muslimat dapat diterima, tetapi diperlukan dua perempuan untuk satu kesaksian.[28] Sementara tidak ada batasan apapun bagi laki-laki muslim, yang dianggap selalu adil kesaksiannya menurut syariah.
Ketiga masih dalam bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan kelompok dzimmi. Misalnya, dalam hukum keluara syariah, seorang laki-laki muslim dapat mengawini sampai empat perempuan dan menceraikannya sekehendak hati tanpa perlu ada alasan pembenaran atau menjelaskan keputusannya kepada siapapun. Sebaliknya seorang perempuan dibatasi dengan satu suami dalam waktu bersamaan, dan dapat bercerai hanya melalui pengadilan atas proses yang sangat ketat atau melalui persetujuan suaminya.[29]
Contoh diskriminasi lain terhadap perempuan Muslimat dalam hukum keluarga Syariah adalah hak umum suami untuk memberikan perlindungan dan kntrol terhadap istrinya termasuk menghukumnya dengan berbagai cara, termasuk “memukul ringan” jika dia dianggap tidak patuh “nusyuz”.[30] Adanya izin bagi suami untuk mendisiplinkan istrinya dengan pukulan ringan ini bertentangan dengan martabat manusia. Mau tidak mau perempuan menjadi korban penghinaan tersebut. Contoh lain larangan syariah kepada perempuan muslimat untuk kawin dengan laki-laki non muslim, sementara laki-laki muslim dijinkan kawin dengan perempuan kitabiyah (perempuan kristen dan yahudi)[31] merupakan contoh dikriminasi berdasarkan gender dan agama.
Para penulis Muslim modern mencari jalan untuk membela Syariah menyangkut semua sifat diskriminatif terhadap perempuan muslimat dan dzimmi ini dengan menyebut pembenaran sosio historis dan politis. Walaupun penerimaan atau penolakan atas suatu pembenaran adalah sah secara subyektif, namun secara umum ada gagasan keadilan dan kelayakan yang berperan dalam proses tersebut. Misalnya, perbudakan dapat diterima di masa lalu, namun tidak seorang pun dapat menerima hal itu sekarang. Elemen-elemen diskriminatif terhadap perempuan dan non-muslim tidak dapat diterima oleh ukuran keadilan dan kelayakan dimasa sekarang.[32]
Dalam pembahasan selanjutnya, rasanya tidak adil jika hanya dipaparkan ketidakcocokan syariah dengan konstitusionalisme modern tanpa memberikan solusi mengenai permasalahan tersebut. Selain menawarkan pendekatan Evolusi, Abdullah Ahmed an-Naim menawarkan interpretasi berbeda terhadap Al-Quran dan hadits mengenai permasalah tersebut yang terangkum dalam bab Konsep Modern Tentang “Negara Konstitusionalisme Islam”.
Menuru Abdullah Ahmed, pernyataan paling baik tentang gambaran dan implikasi konstitusionalisme adalah yang dikemukakan oleh Ulama pembaharu Sudan, Ustad Mahmoud Muhammad Toha, menurutnya konstitusioanalisme didasarkan pada dua prinsip fundamental. Pertama, setiap individu merupakan tujuan bagi dirinya sendiri dan jangan pernah digunakan sebagai alat untuk tujuan orang lain. Kedua, masyarakat adalah alat untuk yang paling efektif untuk mencapai tujuan kebebasan dan martabat individu. Untuk mendesak kedua aspek konstitusionalisme yang harus dilakukan secara simultan dan dengan kekuatan yang sama, tidak untuk mengatakan bahwa ia harus diperjuangkan melalui metode-metode yang sama. Kebutuhan akan metode-metode yang tepat, bagaimanapun jangan pernah digunakan sebagai suatu dalih untuk mengabaikan dan menunda realisasi satu aspek konstitusioanalisme atau yang lainnya.
Tanpa prinsip interpretasi baru yang bisa melahirkan konsepsi alternatif hukum publik Islam, hanya dua pilihan akan terbuka bagi umat Islam Modern: meninggalkan hukum publik syariah atau mengabaikan konstitusioanlisme.
Melalui metodologi pembaruan yang diusulkan oleh Ustaz Mahmoud Muhammad Toha. Maka akan nampak bahwa semua prinsip syariah yang problematis didasarkan pada teks al-Quran dan Sunnah masa Madinah. Karena pada periode Makkah umat Islam bukanlah masyarakat politik dan tidak membangun suatu negara. Sekali lagi dengan prinsip interpretasi yang sama yang diusulkan oleh Mahmoud Muhammad Toha, teks-teks Madinah yang terkait, sekarang dapat digantikan oleh teks-teks periode Mekkah. Status dan hak perempuan dapat digunakan sebagai contoh dalam karya penting ini.
Perlu diingat kembali bahwa prinsip fundamental subornisasi perempuan oleh lelaki, yang dijadikan otoritas untuk mendiskualifikasi perempuan dari jabatan publik yang melibatkan penggunaan otoritas atas laki-laki, yaitu qowwama perwalian atau otoritas lelaki atas perempuan berdasarkan ayat al-Quran Madinah 4:34. Bagian yang relevan dari ayat tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut: “lelaki memiliki qawwama (perwalian atau otoritas) atas perempuan karena keuntungan yang mereka(laki-laki) nikmati atas mereka (perempuan) dan karena (lelaki) membelanjakan kekayaan mereka untuk membantu mereka (perempuan).” Menurut Ustad Mahmoud qawwama lelaki maupun perpuan bersifat kondisional, berdasarkan variabel ekonomi dan keamanan perempuan terhadap laki-laki. Karena laki-laki dan perempuan keamanannya terantung pada aturan hukum (the rule of law) dan perempuan, sebagaimana umum terjadi, lebih mampu mandiri secara ekonomi, maka alasan qawwama tidak berlaku dalam praktik. Bila kita mengambil analisis ini bersama-sama dengan prinsip umum persamaan lelaki dan perempuan yang terdapat dalam al-Quran masa Mekkah, demikian argumen Ustas Mahmoud, kita hanya dapat menyimpulkan bahwa sekarang lelaki dan perempuan harus sama dihadapan hukum. Ini adalah langkah pertama yang diperlukan dalam proses panjang mencapai kesamaan.[33]

c.    Syariah dan hukum Internasional Modern

Tujuan dan fungsi fundamental hukum internasional modern adalah mengatur hubungan antara semua anggota komunitas negara-negara internasional sesuai dengan prinsip-prinsip kesamaan dan keadilan berdasarkan hukum demi menciptakan koeksistensi damai, meningkatkan keamanan dan kesejahteraan negara-negara serta warganya secara individu.
Pernyataan prinsip-prinsip syariah berikut ini terbatas pada wilayah-wilayah utama dimana syariah tampak berada dalam konflik dan ketegangan dengan asas hukum internasionalisme, yaitu antagonisme kearah penggunaan kekerasan terhadap non-muslim dan umat Islam sempalan.
1)      Antagonisme dan penggunaan kekerasan terhadap non-Muslim
Sebagai tambahan terhadap sumber-sumber Syariah yang ekplisit mengenai penggunaan kekerasan melawan non muslim dan umat Islam sempalan akan ditinjau dibawah nanti. Banyak ayat al-Quran yang diwahyukan setelah hijrah ke Madinah pada tahun 622 M menekankan kohesi internal komunitas Muslim dan berusaha membedakannya dari komunitas-komunitas lain dalam term-term permusuhan dan antagonistik. Selama masa Madinah, Al-Quran berulang-berulang memerintahkan umat Islam untuk saling menolong antara satu dengan yang lain dan untuk tidak tolong menolong dengan non-Muslim, serta memerangi mereka yang berlawanan dan bersekutu dengan non-Muslim. Sehingga ayat-ayat al-Quran 3:28, 4:144, 8:72-73, 9:23 dan 71, serta 60:1 mewajibkan umat Islam menghindari kaum kafir sebaai auliya (kawan, pembantu dan pendukung) serta memerintahkan pertemanan dan mendorong kerja sama diantara umat Islam sendiri. Demikian pula, ayat 5:51 menginstruksikan kaum Muslimin untuk tidak mengambil kaum Yahudi dan Kristen sebagai pelindung (awliya), seperti mereka memperlakukan umat Islam yang lain, dan barang siapa orang muslim bekerja sama dengan mereka (untuk berkawan), maka ia menjadi salah seorang dari golongan mereka.[34] Istilah lain yang biasa digunakan dalam term pengerahan kekuatan adalah jihad dan qital (berperang) serta derivatifnya untuk menyebut penggunaan kekuatan dalam hubungan internasional.
Ayat-ayat al-Quran yang secara jelas membenarkan penggunaan kekuatan oleh kaum muslimin terhadap non-Muslim diwahyukan di Madinah, setelah nabi dan para sahabatnya berhijrah dari Makkah pada tahun 622 M. Menurut perkiraan Ibnu Kasir dalam tafsirnya yang terkenal, ayat-ayat al-Quran yang pertama memerintahkan kaum Muslimin menggunakan kekuatan dalam jihad/qital terhadap orang kafir adalah 2:190-93 dan 22:39.
Ketika membahas beberapa ayat-ayat al-Quran yang mewajibkan berperang, maka yang perlu diperhatikan adalah secara eksklusif sebaai fenomena Madinah (berhubungan dengan periode Madinah setelah nabi Hijrah dari Mekkah). Sebaliknya sebaian besar ayat al-Quran yang mepersilakan kebebasan memilih dalam kepercayaan/agama dan menjamin kebebasan berkepercayaan dan kesamaan konsekuensi dan tidak melakukan diskriminasi terhadap non-Muslim dalam masalah hukum jika diimplementasikan didalam Syariah, adalah ayat-ayat periode Mekkah.[35]
2)        Aturan penggunaan kekuatan dan perjanjian damai
Selain kewajiban berperang, syariah juga mengatur tingkah laku perang aktual. Pertama persyaratan penawaran kepada pihak lain untuk memilih memeluk Islam dan menerima status dzimmah bila secara tepat merupakan apa yang dikenal dalam terminologi modern sebagai deklarasi perang formal dan peringatan yang fair sebagai prasyarat yang dibutuhkan untuk permulaan serangan.[36] Lebih jauh lagi, syariah mengatur tingkah laku tentara muslim secara detail dalam pertempuran. Dalam sunnah nabi mengintruksikan tentara muslim untuk tidak menipu, tidak berkhianat dan bisa dipercaya, tidak membantai dan membunuh anak-anak.
Menurut para ahli hukum Syariah awal, umat Islam harus menanda tangani perjanjian damai. Sulh atau ahd menghentikan permusuhan dengan sistem politik non-Muslim jika umat Islam berkepentingan dengan itu, tetapi perjanjian tersebut harus bersifat temporer, tidak lebih dari 10 tahun menurut Syafii dan hanya mengijinkan umat Islam untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan internal mereka atau mempersiapkan peperangan babak berikutnya dengan non Mulim.[37]
Seperti ditunjukkan oleh aturan-aturan pembuatan perjanjian damai dan ditunjukkan oleh berbagai sumber Syariah dan pengalaman sejarah, secara teoritik keadaan perang permanen antara kaum Muslim dan non Muslim tidak berarrti diperlukan kekerasan atau peperangan. Tetapi penting untuk diingat bahwa teori syariah bahwa Islam dan kafir tidak bisa hidup bersama dalam dunia ini. Sehingga syariah mensyaratkan bahwa, baik melalui perang aktif atau melalui sarana yang lainnya. Dar al harb harus ditundukkan kedalam Dar al-Islam.
Jika dibandingkan antara hukum Internasional dengan Sayariah maka akan terjadi perbedaan yang tidak bisa disatukan. Karena syariat secara langsung bertentangan dengan piagam PBB karena, piagam tersebut melarang penggunaan kekuatan dalam hubungan Internasional kecuali untuk mempertahankan diri. Sedangakan Syariah membenarkan penggunaan kekuatan untuk menyebarkan Islam atau menegakkan integritas dalam negara Muslim.
Solusi yang ditawarkan Abdullah Ahmed dalam pendekatan Evolusinya:
Teori dan realitas hubungan internasional Islam yang ada sudah memasukkan beberapa elemen yang dapat digunakan sebagai dasar bagi rekonsiliasi Islam dan hukum Internasional modern. Pertama, meskipun antagonisme teoritik dan keadaan perang yang abadi antara umat Islam dan non Muslim, kaum Muslim telah mengalami proses hidup bersama-sama dengan damai dengan non-Muslim dimasa lalu. Kedua, ada dukungan yang sangat besar terhadap kesucian perjanjian antara kaum Muslim dan non Muslim. Ini ditekankan baik al-Quran dan Sunnah dan didukung oleh praktek Muslim awal. Ketiga, kita telah menerima metode penyelesaian masalah yang ditetapkan bagi pergaulan internasional secara damai baik melalui diplomasi maupun arbritase.[38] Semua cara ini dan kemungkinan elmen-elemen positif lain dari tradisi Islam, sekarang dapat digunakan dalam menyusun teori hukum modern yang kmprehensif yang sepenuhnya sesuai dengan hukum Internasional yang hakiki.
Jalan satu-satunya untuk mencapai tingkat pembaruan yang dibutuhkan adalah mengganti dasar-dasar hukum Islam, yaitu ayat-ayat yang jelas dan terperinci dan sunnah terkait yang membenarkan penggunaan kekuatan dalam penyebaran Islam dikalangan non-Muslim dan dalam menegakkannya dikalangan umat Islam yang murtad dengan teks Al-Quran dan Sunnah yang memerintahkan penggunaan cara damai dalam mencapai tujuan-tujuan tersebut. Sesuai dengan premis fundamental bahwa al-Quran dan Sunnah harus dipahami dalam kontek sejarahnya. Suatu pembaruan yang diusulkan untuk mengganti elemen-elemen syariah yang berdasarkan al-Quran Madinah, Sunnah yang berhubungan dan pada praktek masa itu, dengan hukum Islam modern yang mendasarkan pada al-Quran Makkah dan Sunnah yang berhubungan.

d.   Syariah dan Hak Asasi Manusia

Pasal 1.3 piagam PBB, mewajibkan kerja sama bagi seluruh anggota PBB untuk mempromosikan dan memperjuangkan hak-hak asasi dan kebebasan bagi seluruh umat manusia, tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa maupun Agama. Tetapi piagam ini tidak mendiskusikan term-term hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebesan dasar. Tugas itu dilaksanakan oleh PBB dalam rangkaian deklarasi, konvensi, perjanjian dan digunakan sejak tahun 1948.[39] Dan dokemnet-dokument regional Eropa, Amerika dan Afrika[40]seluruhnya memiliki premis yang sama bahwa ada standart universal tentang Hak-hak Asasi Manusia yang harus ditaati oleh seluruh negara di dunia, atau negara-negara regional dalam hubungannya dengan dokumen regional.
Standart hak Asasi manusia secara definitif dapresiasi oleh berbagai tradisi budaya yang luas karena meyangkut harkat dan kesejahteraan yang inhern pada setiap umat manusia, dengan mengabaikan ras, jenis kelamin, bahasa maupun agama. Abdullah Ahmed berpendapat bahwa hak-hak asasi manusia didasarkan pada dua kekuatan utama yang emvotivasi seluruh tingkah laku manusia, kehendak untuk hidup, dan kehenda untuk bebas.[41]
Selanjutnya akan dibahas tentang beberapa problem yang fundamental berkenaan dengan syariah terhadap hak asasi manusia. Uraian disini lebih fokus pada standart-standart hak asasi manusia yang dilanggar oleh Syariah, yakni larangan perbudakan, dan diskriminasi berdasarkan gender dan agama.
1)      Perbudakan
Jelas bahwa Syariah tidak mengenalkan perbudakan, karena perbudakan merupakan norma seluruh dunia pada waktu itu. Syariah mengakui perbudakan sebagai institusi tetapi mengharuskan membatasi sumber-sumber yang menambah perbudakan, memperjuangkan kondisi mereka dan mendorong pembebasan mereka melalui berbaai cara, baik cara agama maupun cara kemanusian.[42] Tetapi perbudakan sah menurut hukum Syariah hingga sekarang ini. Sekarang tidak mungkin disetujui pelembagaan perbudakan secara formal disuatu negara muslim. Namun jika kondisi memungkinkan diperbolehkannya perbudakan dapat muncul sekrang dan seseorang bisa menjadi budak dibawah kondisi-kondisi itu, maka Syariah harus melindungi “hak-hak” tuan maupun budak, dengan cara yang sama pada abad ketiga belas yang lalu.
Satu-satunya jalan bagi seseorang yang dilahirkan bebas dapat menyeretnya menjadi budak adalah kekalahan dalam peperangan yang diperbolehkan Syari’ah. Ketika seseorang dijadikan budak melalui penaklukan militer atau dilahirkan orang tuanya sebagai budak, maka ia tetap akan menjadi seorang budak hingga dibebaskan. Sementara seseorang budak dapat dipekerjakan dalam apa saja yang dianggap layak oleh majikannya tetapi harus diperlakukan dengan bauk dan belas kasih seperti yang disyaratkan oleh Syari’ah. Menurut beliau, ketika kita mempertimbangkan bahwa baik Al-Qur’an maupun Sunnah mengakui dan mengatur perbudakan dengan berbagai cara, bahwa Nabi sendiri dan para Sahabat terkemuka memiliki budak, dan bahwa semua ahli hukum Syari’ah perintis membenarkan adanya perbudakan, dan mengelaborasi berbagai hukum untuk mengaturnya, kita tidak dapat mengesampingkan persoalan tersebut sebagai dugaan kegagalan generasi umat Islam yang dikatakan untuk mengimplementasikan niat Al-Qur’an untuk menghapuskan perbudakan. Di samping itu batasan yang jelas oleh ayat 47:4 tentang pilihan terbuka bagi umat Islam bagi tawanan mereka, selama dan setelah masa Nabi, melanjutkan pelaksanaan pilihan perbudakan terhadap tawanan. Selain itu, ia ditekankan bahwa para ahli hukum Syari’ah perintis tidak merasa ayat ini sebagai upaya menghapuskan pilihan menajdi budak terhadap tawanan. Ayat ini sekarang dapat digunakan sebagai argumen melarang perbudakan.
Beliau yakin bahwa umat Islam awal benar ketika menafsirkan Al-Qur’an dan Sunnah dengan menerima lembaga perbudakan dalam konteks historis ketika itu. Dalam konteks historis berbeda, dapat diusulkan prinsip penafsiran yang berbeda untuk menghapuskan perbudakan di dalam hukum Islam dengan yang otoritatif. Walaupun argumen-argumen tersebut tidak dapat diterima untuk mengubah hukum dan fakta sejarah bahwa Syari’ah telah menerima perbudakan dan melanjutkannya hingga sekarang ini, mereka memberikan indikasi yang sangat siginifikan tentang keinginan umat Islam modern untuk menghapuskan perbudakan dalam hukum Islam.
Ketika perbudakan akhirnya dilarang oleh negara-negara Muslim modern, dalam berbagai kasus sejak tahun 1960-1n dan sesudahnya, hasil tersebut dicapai melalui hukum sekular dan bukan hukum Syari’ah. Dengan larangan formal perbudakan diseluruh negara Muslim, ada beberapa alasan bahwa ia tidak lagi sebagai isu penting. Saya setuju dan yakin bahwa perbudakan tetap menjadi isu hak-hak asasi manusia yang fundamental bagi umat Islam hingga ia benar-benar dihapuskan dalam hukum Islam
Menurut pendapat Abdullah Ahmed, secara moral tidak dapat dipertanggung jawabkan bagi syariah untuk melanjutkan pengabsahan perbudakan sekarang, dengan mengesampingkan berbagai proses praktiknya. Selain itu, fakta bahwa perbudakan diijinkan dibawah syariah memiliki konsekuensi-konsekuensi pratikal yang serius, tidak hanya dalam pengekalan perasaan sosial yang negatif terhadap pembentukan perbudakan dan segmen-segmen penduduk yang menggunakan sumber perbudakan melainkan juga dalam mengesahkan bentuk-bentuk praktik terselubung yang sama dengan perbudakan. Di Sudan misalnya,citra tentang perbudakan dibawaah syariah dan literatur Islam terus saja mendukung stereotip yang negatif masyarakat Sudan dari negara bagian barat daya, sebagai sumber perbudakan hingga akhir abad ke sembilan belas. Selain itu, berita-berita terakhir melaporkan indikasi bahwa anggota suku Muslim Sudan barat daya merasa sah untuk mengkap non-Muslim dari Sudan selatan dan memperlakukan mereka sebagai budak terselubung.[43]
2)      Diskriminasi Gender dan Agama
Menurut syari’ah, non-muslim dapat hidup di dalam negara Muslim, baik dengan status dzimmah bagi warga negara non-Muslim maupun status aman (janji atau jaminan kemanan) bagi orang asing non-Muslim.
Menurut beliau ada beberapa diskriminasi hukum keluarga dan hukum perdata Syari’ah mencangkup hal-hal sebagai berikut:
a)    Seorang laki-laki Muslim boleh mengawini perempuan Kristen atau Yahudi, tapi seorang laki-laki Kristen atau Yahudi tidak boleh mengawini perempuan Musli. Baik laki-laki maupun perempuan Muslim tidak boleh mengawini orang kafir, yaitu seseorang yang tidak beriman dengan pegangan kitab yang diwahyukan.
b)   Perbedaan agama adalah pengahalang dari seluruh pewarisan. Sehingga seorang Muslim tidak akan dapat mewarisi dari maupun wariskan kepada Non-Muslim.
c)    Contoh-contoh diskriminasi berdasrkan gender dalam hukum keluarga dan perdata mencangkup hal-hal berikut:
d)   Laki-laki Muslim dapat mengawini hingga empat perempuan dalam waktu bersamaan, tetapi perempuan Muslim hanya dapat kawin dengan seorang laki-laki dalam waktu yang bersamaan.
e)    Seorang laki-laki Muslim dapat menceraikan istrinya, atau seoarang dari Istri-istrinya dengan meninggalkan begitu saja tanpa akad, talaq, tanpa berkewajiban memberikan berbagai alasan pembenaran tindakannya terhadap seorang atau suatu otorita. Sebaliknya seorang perempuan Muslim dapat bercerai hanya dengan kerelaan suami atau dengan surat keputusan pengadilan yang mengijinkaannya dengan dasar-dasar khusus, seperrti ketidakmampuan suami dan keengganannya untuk mengurus istri.
f)    Dalam pewarisan, seorang perempuan Muslim menerima bagian lebih sedikit dari bagian laki-laki Muslim ketika keduanya berada pada tingkatan yang sama dalam hubungnnya dengan seseorang yang meninggal.
Kesimpulan yang bisa diambil dari keterangan diatas adalah. Pertama, dalam keberlanjutan menerima perbudakan sebagai suatu institusi yang sah menurut hukum, meskipun hanya dalam teori Syari’ah sepenuhnya melanggar hak-hak manusia paling asasi dan universal. Sangat signifikan bahwa perbudakan di hapus dalam dunia Muslim melalui hukum sekular dan buakn Syari’ah  dan bahwa Syari’ah tidak menolak institusional kembali perbudakan di bawah kondisi-kondisi mereka sendiri yang menerima sumber perbudakan dan kondisi-kondisi terhadap perlakuan mereka. Walaupun sebagian besar umat Islam kontemporer membenci perbudakan, ia masih merupakan bagian dari hukum agama mereka.[44]
Kedua, Diskriminasi atas dasar agama dan gender dibawah Syari’ah juga melanggar penegakan hak-hak asasi manusia. Diskriminasi atas dasar agama telah dibangun dengan berbagai sebab besar dari konflik dan perang internasional karena negara-negara tersebut setuju dengan minorritas non-Muslim yang tersiksa mungkin di dorong untuk bertindak mendukung korban-korban diskriminasi agama, dengan demikian menciptakan suatu situasi konflik internasional dan mungkin perang. Yang lebih penting, usulan beliau bahwa diskriminasi yang mendasarkan baik gender maupun agama secara morak tertolak dan secara politik tidak dapat diterima sekarang. Menurut beliau, hal-hal tersebut adalah titik konflik dan ketegangan yang paling serius antara Syari’ah dan hak-hak asasi manusia.
Hak-hak Asasi Universal dalam Islam
Jika dasar hukum Islam modern tidak digeser dari teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah masa Madinah sebagai dasar konstruksi Syari’ah, maka tak ada jalan untuk menghindari pelanggaran yang mencolok dan serius terhadap standar-standar universal hak-hak asasi manusia. Untuk meraih tingkat pembaruan tersebut, kita harus dapat melengkapi Al-Qur’an dan Sunnah yang jelas dan terinci masa Madinah yang melayani tujuan transisional dan penerapan teks-teks masa Makkah yang secara khusus tidak tepat untuk penerapan praktikal, tapi sekarang merupakan jalan yang satu-satunya jalan yang harus dilakukan.[45]
Sesuai dengan logika prinsip evolusioner yang diajukan oleh Ustadh Muhammad Taha, teks-teks Al-Qur’an yang menekankan solidaritas umat Islam secara eksklusif diwahyukan selama masa Madinah untuk memberikan kepada masyarakat Muslim yang sedang menumbuhkan kepercayaan psikologis dalam berhadapan dengan serangan non-Muslim. Kebalikan dari ayat-ayat tersebut, pesan Islam yang fundamental dan abadi, seperti diwahyukan dalam Al-Qur’an periode Mekkah, mengajarkan solidaritas seluruh umat manusia. Dalam pandangan kebutuhan vital bagi prinsip hidup berdampingan secara damai dalam masyarkat manusia global sekarang ini, umat Islam harus menekankan pesan-pesan abadi solidaritas universal pesan Mekkah daripada semangat solidaritas Muslim eksklusif pesan-pesan tradisonal Madinah.
Penerapan prinsip evolusioner Ustadh Mahmoud terhadap qawama (perwalian) laki-laki, terhadap perempuan telah sedikit dijelaskan sebelumnya. Laki-laki merupakan qawama (wali) dari perempuan telah dirasioanalisasi oleh ayat 4:34 sebagai akibat ketergantungan perempuan terhadap laki-laki dalam bidang ekonomi dan keamanan. Karena ketergantungan itu tidak lagi ada, Ustadh Mahmoud menjelaskan, perwalinan laki-laki terhadap perempuan pun selesailah. Baik laki-laki maupun perempuan sekarang memiliki kebebasan dan tanggung jawab kemampuan yang sama di depan hukum, yang menjamin kesempatan ekonomi dan kemanan bagi seluruh anggota masyarakat.
Prinsip evolusioner juga akan menghapus kemungkinan alasan larangan perkawinan yang lain antara perempuan Muslim dengan laki-laki non-Muslim, yaitu asumsi bahwa seorang Istri adalah lebih rentan terhadap pengaruh suaminya daripada sebaliknya. Dengan kata lain, ia memunculkan asumsi bahwa jika perkawinan itu di ijinkan, maka akan lebih mungkin bahwa suami non-Muslim akan mempengaruhi istri Muslimnya keluar dari Islam. Alasan ini , tentu saja, bagian dari fenomena sosiologi yang lebih luas, yaitu kelemahan kepercayaan diri dalam integritas perempuan dan keputusannya yang baik. Pendidikan dan upaya-upaya lainnya dibutuhkan untuk menghapuskan fenomena sosiologis ini dalam seluruh berbagai manifestasinya. Tugas ini dapat dimulai dengan mengganti, melalui penerapan prinsip evolusioner Ustadh Mahmoud, seluruh aspek hukum yang mendiskriminasi terhadap perempuan, dengan jalan mendorong dan menopang suatu pandangan positif terhadap perempuan.

C.  KESIMPULAN

Kesimpulan yang diperoleh dalam pembahasan Pemikiran Abdullah Ahmed dalam bukunya “Dekontruksi Syariah” adalah sebagai berikut:
1.      Latar Belakang pemikiran Abdullah Amed an-Naim dalam bukunya “Dekontruksi Syariah” adalah Perkembangan jaman yang semakin modern mengakibatkan ketidak relevanya hukum syariah historis yang dipandang melakukan diskriminasi terhadap perempuan dan non muslim dalam hukum publik, kemudian berangkat dari permasalahan itu, memunculkan suatu solusi hukum publik baru yang bersifat sekuler. Abdullah Ahmed percaya bahwa sekulerisme bukanlah satu-satunya jawaban dalam mengatasi permasalahan hukum Syariat Historis yang tidak sesuai dengan tuntutan nilai-nilai dan budaya modern. Sehingga beliau menawarkan sebuah pendekatan baru dalam melakukan interpretasi terhadap al-Quran dan Sunnah. Yaitu pendekatan Evolusioner. Dengan pendektan ini maka akan dihasilkan sebuah hukum Syariah modern yang tetap mempertahankan keabsahan Islam.
2.      Pendekatan Evolusi mengusulkan evolusi basis hukum Islam dari teks masa Madinah ke teks masa Makkah yang lebih awal. Dengan kata lain, prinsip interpretasi yang evolusioner tidak lain adalah membalikkan proses naskh (penghapusan hukum suatu teks) sehingga teks-teks yang dihapus pada masa lalu dapat digunakan dalam hukum sekarang, dengan konsekuensi penghapusan teks yang dulu digunakan sebagai basis syariah. Ayat-ayat yang digunakan sebagai basis Syariah dicabut, dan ayat-ayat yang dulu dicabut digunakan sebagai basis hukum Islam modern, ketika usulan ini diterima sebagai basis hukum publik modern, maka keseluruhan produk hukumnya akan sama islaminya dengan syariah yang ada selama ini.
3.      Permasalahan-permasalahan penerapan hukum Syariah Historis pada masa modern dan ketidaksesuaiannya hukum tersebut dengan hukum konstitusionalisme modern, hukum pidana, hubungan internasional dan hak-hak asasi manusia, dapat terpecahkan dengan pendekatan evolusi yang ditawarkan Abdullah Ahmed yaitu dengan menaskh ayat-ayat madaniyah yang dipercaya sebagai dasar adanya bentuk diskriminasi kepada wanita dan non-Muslim, kemudian menerapkan kembali ayat-ayat Makkah yang penuh dengan toleransi, kebebasan individu, persamaan gender dll.

D.  DAFTAR RUJUKAN


An-Na’im, Abdullahi Ahmed. 2001. Dekonstruksi Syari’ah. Terj. Ahmad Suaedy, dan Amirudin ar Rany.(Yogyakarta: LkiS)

Clack, George, dan Kathleen Hug. 1998. Hak Asasi Manusia Sebuah Pengantar, A Hermaya. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan)

Mannan, Abdul. 2006. Reformasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Taha, Mahmoud Mohamed. 1996. Syari’ah Demokaratik. terj. Nur Rachman. Surabaya: eLSaD

Usman, Muh Ilham. Studi Komparasi K.H. Abdurrahman Wahid dan Abdulah Ahmad An-Naim tentang Liberasi dan Humanisasi, www.uin-alauddin.ac.id, (Diakses tanggal 22-04- 2017)





[1] George Clack, dan Kathleen Hug, Hak Asasi Manusia Sebuah Pengantar, A Hermaya, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), hlm. 100.
[2] Abdul Mannan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 145.
[3] Muh Ilham Usman, Studi Komparasi K.H. Abdurrahman Wahid dan Abdulah Ahmad An-Naim tentang Liberasi dan Humanisasi, www.uin-alauddin.ac.id, (Diakses tanggal 22-11- 2016, Jam 19.00), hlm. 89.
[4] Mahmoud Mohamed Taha, Syari’ah Demokaratik, terj. Nur Rachman, (Surabaya: eLSaD, 1996), hlm. 36-37
[5]Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 4.
[6] Bid’ah adalah sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh nabi yang berhubungan dengan perkara ibadah.
[7]Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 25-26.
[8] Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 21.
[9] Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 103
[10] Ibid., hlm. 104.
[11] Ibid., hlm. 106
[12] Abdullah Muhammad al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-Quran, sebaaimana dkutip oleh Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 107
[13]G.A Forrest, Constitution and Constitutinal Law, sebagaimana dikutip oleh Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 135
[14]Khadduri, War and Peace in the Law of Islam, hlm. 162.
[15]An-Naim, The Islamic Law of Apostasy and its Modern Applicability, hlm. 212-13.
[16]Nu’man A. Al-Smara’i, Ahkam al murtad fi al-sharia al-Islamiyah, sebagaimana dikutip oleh Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 166.
[17]Al-Mubarak, Nizam al-Islam fi al-hukm wa al-dawla, sebagaimana dikutip oleh Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 167.
[18]Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 168
[19] Batasan ini disebut al-hijab, ketentuan bagi perempuan untuk tinggal dirumah atau menutup seluruh badan ketika mereka harus meninggalkan rumah, aturan ini didasarkan pada ayat al-Quran seperti 24:31, 33:33, 33:53, dan 33”59 dan dengan sunnah yang berkait. Sekali lagi kita memusatkan perhatian pada posisi dalam syariah seperti yang ada sekaran. Kemungkinan penafsiran kembali sumber-sumber tersebut untu menolak al-hijab dibela disini, tetapi jangan dikacaukan dengan interpretasi ayat-ayat tersebut dan sunnah yang ada sekarang ini.
[20] Rahim, Principles of Muhammadan Jurisprudence, hlm. 389.
[21] Khadduri, War and Peace in the Law of Islam, hlm. 163-69
[22] Al-Quran, 9:29. Lihat Syafii, al-Umm, 4:172
[23] S. D. Goiten, Minority Self-rule and Goverment Control in Islam, studia islamica,  sebagaimana dikutib Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 172
[24] Khadduri, War and Peace in the Law of Islam, hlm. 198. Seperti disebut dalam The Encyclopedia od Islam, 2:228-29, pandangan doktrinal ini tidak selalu diterapkan dalam praktik karena kemampuan administrasi dan birokrasi dzimmi dibtuhkan oleh penguasa Muslim. Hal ini bisa menunjukkan bahwa pemerintahan Islam tidak sesuai dengan Syariah namun tidak mengubah fakta bahwa Syariah tidak mengijinkan partisipasi dzimmi dalam pemerintahan Muslim.
[25] Hal ini merupakan gambaran umum kesepakatan paling awal tentang kedudukan dzimmah. .
[26] Syafi’i, Al-Umm, 6:105-6
[27] Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, 2:330, sebagaimana dikutip oleh Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 173.
[28] Berdasarkan ayat al-Quran 2:282
[29] Lihat Schacht, Intoduction to Islamic Law, hlm. 161-66, sebaaimana dikutip oleh Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 174
[30] Al-Quran, 4:34; at-Thabari, jami al bayan, 5:57-70. Syafii dalam al-Umm, 5:193-94
[31] Syafii,Al-Umm, 5:6-9, 44,50
[32] Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 15
[33] Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 190
[34] Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 274
[35] Noor Mohammad, The Doctrine of Jihad: an Introduction. “Journal of Low and Religion 3 (1985): 385. Sebagaimana dikutip oleh Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 279
[36] Hamidullah, Muslim Conduct of state, sebagaimana dikutip Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 283.
[37] Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, sebagaimana dikutip Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 285
[38] Hamidullah, Muslim Conduct of state, sebagaimana dikutip Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 299
[39] United Nations Action in Human Right, Dok. PBB ST/HR/2/Rev. 1
[40] Ini merupakan Perjanjian Masyarakat Eropa tentang Perlindungan hak-hak Asasi manusia dan kebebasan-kebesan fundamental tahun 1950, perjanjian Amerika tentang Hak-hak Asasi Manusia tahun 1969, dan piagam Afrika tentang Hak-hak Asasi masyarakat dan Manusia tahun 1981.
[41] Mahmoud Toha, the second Message of Islam, sebagaimana dikutip Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 313.
[42] Fazlur Rahman, Islam, Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 330
[43] Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 336
[44] Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 339
[45] Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hlm. 343-344

1 comment: