Wednesday, November 15, 2017

EPISTEMOLOGI IRFANI

EPISTEMOLOGI IRFANI


A.    PENDAHULUAN

Epistemologi lazimnya disebut teori pengetahuan yang secara umum membicarakan mengenai sumber-sumber, karakteristik, dan kebenaran pengetahuan.[1] Epistemologi atau teori tentang ilmu menjadi perhatian utama para cendekiawan muslim di masa silam. Mereka sepenuhnya menyadari tentang pentingnya mendefinisikan ilmu untuk mencari klarifikasi, menjelaskan sumber-sumber, menerangkan metode-metodenya, serta mengklarifikasikannya ke dalam berbagai disiplin, menjelaskan hierarki dan interelasinya. Berbagai upaya yang terus menerus dalam mengetengahkan eksposisi ilmu terinspirasi oleh keyakinan yang kuat terhadap doktrin ajaran Islam yang paling fundamental, yaitu tauhid.  
Filsafat Ilmu meliputi pembahasan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi. Ketiganya merupakan tiga cabang besar dari filsafat.  Ontologi atau teori  hakikat membicarakan pengetahuan itu sendiri. Membicarakan apa sebenarnya dari sesuatu. Epistemologi atau teori pengetahuan membicarakan cara memperoleh suatu pengetahuan. Bagaimana kita memperoleh suatu pengetahuan. Sedangkan yang terakhir, Aksiologi atau teori nilai membicarakan apa manfaat atau guna dari pengetahuan yang sebelumnya telah kita ketahui hakikat dan cara memperolehnya.[2]
 Aspek kedua dari ketiga cabang filsafat tersebut, yakni Epistemologi dalam rumusan lain disebutkan bahwa  epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat metode dan keahlian pengetahuan. Oleh karena itu sistematika epistemologi adalah terjadinya pengetahuan, teori kebanaran, metode-metode ilmiah, dan aliran-aliran teori pengetahuan.[3]
            Sejarah tentang peerkembangan Ilmu merupakan sebuah prestasi pencapaian sebuah kesuksesan. Karena dengan itu manusia mulai terlepas dari belenggu-belenggu pemikirab yang berasaskan pada pemikiran kebodohan dan takhayul. Asal usul permulaan munculnya ilmu pengetahuan sangat erat kaitanya dengan sifat asli fitrah manusia yang memiliki sifat selalu ingin tahu dan berfikir untuk menemukan sebuah kebenaran namun tetap berpegang pada nilai-nilai kebijaksanaan, atau yang sering dusebut dengan berfikit filosofi.
           Perjalanan ilmu pengetahuan dari masa ke masa sehingga sampai pada tahap ilmu modern seperti sekarang ini ternyata tidak semulus yang kita kira. Banyak perdebatan, perbedaan pendapat serta penyelisihan yang diakibatkan paham filosof masing-masing yang dianut oleh para ilmuan pada masa itu. Khusunya di abad ke-19 terdapat tentang adanya pembedaan-pembedaan antara ilmu, industri dan filsafat, dan tiga atau empat abad sebelumya. Para sejarahwan menemukan bahwa study terhadap alam dilaksanakan dalam suatu kerangka asumsi-asumsi tentang dunia atau berdasarkan pada kepercayaan dan tahayul. Namun seiring dengan munculnya sifat berfikir filosofi pemikran tersebut lambat lain semakin ditinggalkan dan diganti dengan sikap ilmiah denga hasil yang faktual serta didukung dengan data-data yang empiris.
          Dalam kajian Epistemologi terdapat banyak bagian-bagian yang masing-masing sebagai rancang bangun, yang kemudian membentuk sebuah disiplin ilmu secara otonom. Salah satunya adalah Epistemologi Irfani, yang dikatakan merupakan salah satu cabang dari ilmu filsafat islam, seperti halnya Burhani dan Bayani. Namun ketika pembahasan berlanjut ke ranah ilmu pengetahuan secara umum, maka tentu Epistemologi Irfani juga mempunyai andil di dalamnya. Mungkin Epistemologi Irfani dianggap merupakan bagian kecil dari cabang filsafat keseluruhan. Namun dalam pembahasannya akan ditemukan fenomena-fenomena menarik yang justru dapat sebagai awal dari ideology selanjutnya. Di sini pemakalah akan membahas tentang hal-hal yang mencakup tentang epistemologi irfani (pengertian epistemologi irfani, perkembangan epistemologi dan metode yang digunakan dalam epistemologi irfani).

B.     PENGERTIAN EPISTEMOLOGI IRFANI

Secara etimologis, kata Irfani berasal dari bahsa arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata ‘arafa yang berarti tahu/mengetahui. Seakar pula dengan kata Ma’ruf (Keba-jikan) dan Ma’rifat (pengetahuan).[4]
Dalam kalangan sufi al-irfan berarti al-kasyf dan al-ilham. Dilihat dari segi maknanya dapat dilihat bahwasannya sistem pengetahuan irfani adalah sebuah sistem pengetahuan di mana sumber pengetahuannya adalah intuisi. Suatu pengetahuan diperoleh secara langsung tanpa perantara dan proses pembuktian. Pengetahuan tercipta dalam kalbu sedemikian rupa setelah kalbu memperoleh pembersihan melalui mujahadah dan latihan spiritual sehingga tirai yang menutupi kalbu terhadap kebenaran tersebut itu menjadi terbuka.
 Ada beberapa pengertian tentang epistemologi irfani.
Pertama, Epistemologi irfani adalah cara memperoleh pengetahuan yang didasarkan pada kasyf, yaitu, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Pengetahuan dengan metode berpikir irfani diperoleh dengan olah ruhani.
         Kedua, epistemologi Irfani adalah cara memperoleh pengetahuan  dengan mengandalkan pengalaman batin. Ketiga, ada juga yang mengatakan epistimologi adalah cara memperoleh pengetahuan yang lebih dekat dengan intuisi, namun intuisi yang dekat dengan spiritual.
Tahapan untuk memperoleh pengetahuan irfani ada tiga, yaitu persiapan, penerimaan, dan pengungkapan. Berangkat dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa Epistemologi ‘irfani lebih bersumber pada intuisi dan bukannya teks. Sumber pokok ilmu pengetahuan dalam tradisi berfikir dan berpikir ‘irfani adalah experience (pengalaman). Pengalaman hidup sehari-hari yang otentik, sesungguhnya merupakan pelajaran yang tidak ternilai harganya.
Semua pengalaman otentik dapat dirasakan secara langsung oleh seluruh umat manusia apapun warna kulit, ras, budaya dan agama yang dipeluknya, tanpa harus mengatakannya terlebih dahulu lewat pengungkapan bahasa maupun logika. Validitas kebenaran epistemologi ‘irfani hanya dapat dirasakan dan dihayati secara langsung, intuisi, al-dzauq atau perasaan. Dan berpikir Irfani ini kebanyakan dilakukan oleh golongan kaum sufi.

C.    PERKEMBANGAN IRFANI

Perkembangan irfan, secara umum, bisa dibagi dalam lima fase. Pertama, fase pembibitan, terjadi pada abad pertama hijriyah. Pada masa ini, apa yang disebut irfan baru ada dalam bentuk laku zuhud. Kenyataan ini, menurut Thabathabai, karena para tokoh sufisme yang dikenal sebagai orang–orang suci tidak berbicara tentang irfan secara terbuka, meski mengakui bahwa mereka dididik dalam spiritualisme oleh Rasul atau para sahabat. Karakter asketisisme (zuhud) periode ini adalah:       
1.      Berdasarkan ajaran Al-Quran dan sunnah, yakni menjauhi hal-hal duniawi demi meraih pahala dan menjaga diri dari neraka.
2.      Bersifat praktis, tanpa ada perhatian untuk menyusun teori atas praktek-praktek yang dilakukan.
3.      Motivasi zuhudnya adalah rasa takut, yakni rasa takut yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh.
Kedua, fase kelahiran, terjadi pada abad kedua hijrah. Pada masa ini, beberapa tokoh sufisme mulai berbicara terbuka tentang irfan. Karya-karya tentang irfan juga mulai ditulis, diawali Riwayat Huquq Allah karya Hasan Basri (642-728 M) yang dianggap sebagai tulisan pertama tentang irfan, kemudian diikuti Mishbah al Syari’ah karya Fudlail ibn Iyadl (803 M). laku asketisme juga berubah. Jika awalnya dilakukan atas dasar takut dan mengharap pahala, dalam periode ini, di tangan Rabiah Adawiyah (801 M). Zuhud dilakukan atas dasar cinta kepada Tuhan, bebas dari rasa takut adalah harapan mendapat pahala. Menurut Nicholson, zuhud ini adalah model perilaku irfan yang paling dini atau irfan periode awal.
Ketiga, fase pertumbuhan, terjadi abad 3-4 hijriyah. Sejak awal abad ke-3 H, para tokoh sufisme mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku, sehingga sufisme menjadi ilmu moral keagamaan (akhlaq). Pembahasan masalah ini lebih lanjut mendorong mereka untuk membahas soal pengetahuan intutif berikut sarana dan metodenya, tentang dzat Tuhan dan hubungan-Nya dengan manusia atau hubungan manusia dengan-Nya.
Dengan demikian dengan fase ini, irfan telah mengkaji soal moral, tingkah laku dan peningkatannya. Pengenalan intuitif langsung pada tuhan, kefanaan dalam realitas mutlak. Pencapaian kebahagiaan, kecenderungan umum fase ini masih pada psiko-moral, belum pada tingkat metafisis. Ide-ide metafisis yang belum terungkap secara jelas. Karena itu, Nicholson menyatakan dari segi teoritis dan praktis, kaum sufis fase ini telah merancang suatu sistem yang sempurna tentang irfan. Akan tetapi, karena bukan filosof, mereka sedikit menaruh perhatian terhadap problem-problem metafisika.
Keempat, fase puncak, terjadi pada abad ke-5 H. Pada masa periode ini irfan mencapai masa gemilang. Banyak pribadi besar yang lahir dan menulis tentang irfan, antara lain Sai Abu Khair (w.1048 M) yang menulis ruba’iyat, Ibn Utsman Al-Hujwiri (w.1077 M) menulis kasyf Al-Mahjub, dan Abdullah Al-Anshori (w.1088 M) menulis manazil al sa’irin, salah satu terpenting dalam irfan. Puncaknya Al-Ghazali (w. 1111 M) menulis ihya’ Ulum al-Din yang menyelaraskan tasawuf dan fiqh (irfan dan bayani). Menurut Nicholson dan TJ. De Boer, ditangan Al-Ghazali, irfan menjadi jalan yang jelas karakternya untuk mencapai pengenalan serta kefanaan dalam tauhid dan kebahagiaan.
Kelima, Fase Spesikasi, terjadi abad ke-6 dan 7 H. Berkat pengaruh pribadi Al-Gazali yang besar, lrfani memjadi semakin dukenal dan berkembangan dalam masyarakat islam. Dengan demikian, pada fase ini, secara epistemologis, irfani telah terpecah (terspesifikasi) dalam dua aliran. (1) Irfan Sunni, menurut istilah taftazani, yang cenderung pada perilaku praktis (etika) dalam bentuk tarikat-tarikat,(2) Irfan Teoritis yang didomlnasi pemikiran filsafat. Disampingitu, dalam pandangan jabirin, ditambah aliran kebatinan yang didomlnasi aspek mistik. Meski demikian, menurut Mathahari, irfan praktis tetap tidak sama dengan etika dan irfan teoris berbeda dengan filsafat.
Keenam, Fase kemunduran, terjadi sejak abad ke-8 H. Sejak abad itu, irfan tidak mengalami perkembangan berarti, bahkan justru mengalami kemunduran. Pada tokohnya lebih cenderung pada pemberian komentar dan ikhtiar atas karya-karya terdahulu, dan lelih menekan bentuk ritus dan formalisme, yang mendoring mereka menyimpang dari substansi ajarannya sendiri. Para pengikut memang semakin bertambah, tetapi di sana tidak muncul pribadi unggul yang mencapai kedudukan ruhaniyah cukup terhormat seperti para pendahulunya.[5]

D.    METODE IRFANI

Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti halnya bayani, tidak juga didasarkan pada rasio sepertihalnya burhani, tetapi pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Disebutkan juga bahwa Irfani ini erat kaitannya dengan konsep tasawuf. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, di mana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya.[6] Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan;[7]
1.      Persiapan[8]
Dalam epistemologi irfani, untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak, ketujuh tahapan itu adalah:
a.         Taubat, yakni, meninggalkan segala perbuatan yang kurang baik disertai penyesalan yang mendalam untuk kemudian menggantinya dengan perbuatan-perbuatan baru yang terpuji. Perilaku taubat ini sendiri terdiri atas beberapa tingkatan. Pertama-tama, taubat dari perbuatan-perbuatan dosa dan makanan haram, kemudian taubat dari ghaflah (lalai mengingat Tuhan), dan puncaknya taubat dari klaim bahwa dirinya telah melakukan taubat. Menurut al-Qusyairi, taubat adalah landasan dan tahapan pertama bagi perjalanan spiritual berikutnya. Jika seseorang tidak berhasil membersihkan dirinya pada tahapan ini, ia akan sulit untuk naik pada jenjang berikutnya.
b.        Wara`, yakni, menjauhkan diri dari segala sesuatu yang tidak jelas statusnya (syubhat). Dalam tasawuf, wara’ ini terdiri atas dua tingkatan, lahir dan batin. Wara’ lahir berarti tidak melakukan sesuatu kecuali untuk beribadah kepada Tuhan, sedang wara’batin adalah tidak memasukkan sesuatu apapun dalam hati kecuali Tuhan.
c.         Zuhud yakni, tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia. Ini lebih serius dan lebih tinggi disbanding tingkat sebelumnya, karena di sini tidak hanya menjaga dari yang syubhat, bahkan juga yang halal. Meski demikian, zuhud bukan berarti meninggalkan harta sama sekali. Menurut Abu Bakar Al-Syibli, seseorang tidak dianggap zuhud jika hal itu terjadi lantaran ia memang tidak mempunyai harta. Zuhud adalah bahwa hati tidak tersibukkan oleh sesuatu apapun kecuali Tuhan (meski di sana banyak kekayaan). Semua tidak berarti di hatinya dan tidak memberi pengaruh dalam hubungannya dengan Tuhan.
d.        Faqir, yakni, mengosongkan seluruh fikiran dan harapan dari kehidupan masa kini dan masa yang akan datang, dan tidak menghendaki sesuatu apapun kecuali Tuhan SWT, sehingga ia tidak terikat dengan apapun dan hati tidak menginginkan sesuatupun. Dengan demikian, jika pada tingkat wara’ seseorang berusaha meninggalkan perkara subhat, pada tingkat zuhud mulai meninggalkan segala keinginan yang bersifat duniawi, maka pada tingkat ini sudah pada puncaknya, mengkosongkan hati dari seluruh ikatan kecuali pada Tuhan. Tingkat faqir merupakan realisasi dari upaya pensucian hati secara keseluruhan dari segala yang selain Tuhan (tahhir al-qalbi bi al-kulliyah ‘anma siwa Allah).
e.         Sabar, yakni menerima segala cobaan atau bencana dengan rela, tanpa menunjukkan rasa kesal atau marah. Menurut Al-Junaidi Al-Baghdadi (830-910 M), sabar berarti rela menanggung beban, kesulitan, kesempitan, dan sejenisnya semata-mata demi untuk mendapat rida Allah SWT hingga saat-saat sulit tersebut berlalu.
f.         Tawakkal, yakni, percaya atas segala apa yang ditentukan Tuhan. Tahap awal dari tawakkal adalah menyerahkan diri pada Tuhan laksana mayat di hadapan orang yang memandikan. Namun, menurut Qusyairi (986-1072 M), hal ini bukan berarti fatalisme (jabariyah), karena tawakal adalah kondisi dalam hati dan itu tidak menghalangi seseorang untuk bekerja mencari nafkah demi kelangsungan hidupnya. Begitu pula sebaliknya, apa yang dikerjakan tidak menafikan tawakal dalam hatinya sehingga jika mengalami kesulitan ia akan menyadari bahwa itu berarti takdir-Nya dan jika berhasil berarti atas kemudahan-Nya.
g.        Ridla, yakni, hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira dan sukacita terhadap segala apa yang diberikan dan ditentukan Tuhan kepadanya. Menurut Abu Nasr Al-Sarraj (w.988 M), rida adalah tahap terakhir dari seluruh rangkaian maqamat.[9]
Setelah mencapai tingkat tertentu dalam spiritual, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara iluminatif atau noetic yang diistilahkan dengan kasyaf sehingga dia akan dapat mencapai musyahadah dan akhirnya ittihad. Menurut Al-Qusyairi, kasyf adalah kesadaran hati akan sifat-sifat kebenaran, musyahadah adalah penyaksian hati atas realitas kebenaran, sedang ittihad adalah penyatuan hati (diri) dengan realitas kebenaran itu sendiri.
Dalam kajian filsafat Mehdi H. Yazdi, persoalan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut. Ketika seseorang mencapai tingkatan spiritual tertentu, dia akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf) sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyahadah) sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, karena bukan objek eksternal, keduanya bukan sesuatu yang berbeda melainkan merupakan eksistensi yang sama sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihad). Oleh karena itu, dalam perspektif epistemologis, pengetahuan irfani ini tidak diperoleh melalui representasi data-dderaindra apa pun, bahkan objek eksternal sama sekali tidak berfungsi dalam pembentukan gagasan umum pengetahuan ini. Pengetahuan ini justru terbentuk melalui unifikasi eksistensial yang oleh Mehdi Heiri Yazdi disebut sebagai ilmu huduri atau pengetahuan swaobjek (self-object-knowledge), atau jika dalam teori permainan bahasa (language game) Wittgenstein (1889-1951 M), pengetahuan irfani ini tidak lain adalah bahasa ‘wujud’ itu sendiri.
2.      Penerimaan
Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif (pencerahan). Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihâd)yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut ‘Ilmu Huduri’ atau pengetahuan swaobjek (self object knowledge).
Menemukan kebenaran dengan cara ini juga diakui John S. Brubacher dalam bukunya, Modern Philosophies of Education, bahwa salah satu dari teori tentang kebenaran adalah Teori Religius (Re-ligious), yaitu kebenaran adalah kebenaran ilahi= divine truth, kebe-naran yang bersumber dari Tuhan, kebenaran disampaikan melalui wahyu (ilham). Kebenaran tidak cukup diukur dengan interes dan rasio individu, akan tetapi harus bisa menjawab kebutuhan dan memberi keyakinan pada seluruh umat. Karena itu kebenaran haruslah mutlak, berlaku sepanjang sejarah manusia.[10]
Pengetahuan semacam ini di dunia islam sering disebut dengan ilham, seperti yang dikatakan Ali Issa Othman, bahwa Pengetahuan yang diperoleh di dalam “kebangkitan” disebut ilham. Tetapi ilham bukan merupakan wahyu atau kenabian. Wahyu merupakan kata-kata yang menggambarkan hal-hal yang tidak dapat dilihat secara umum, yang diurunkan Allah dengan maksud supaya disampakan kepada orang-orang lain sebagai petunjuk-petunjuk dari Allah, sedangkan ilham hanya merupakan “pengungkapan” kepada manusia pribadi yang disampaikan melalui batinnya. Wahyu hanya diberikan kepada nabi-nabi, sedang ilham diberikan kepada siapa saja yang diperkenankan Allah.[11]
3.      Pengungkapan
Yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena penge-tahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan,[12] sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan.[13] Hal ini dibenarkan pula oleh Ali Issa Othman;
          “Pengetahuan tentang kebenaran tidak dapat diungkapkan secara umum dan hanya dapat diketahui secara pribadi. Usaha-usaha untuk merumuskannya ke dalam kata-kata hanya akan menyesatkan. Kata-kata tidak dapat melukiskan kenyataan, karena kata-kata hanya diciptakan untuk mengutarakan hal-hal secara sepakat, dan kebenaran itu tidak dikenal secara sepakat”.[14]
Kemudian beberapa cara pengungkapan makna atau dimensi batin yang diperoleh dari hasil kasyf  tersebut adalah; Pertama, dapat diungkapkan dengan cara i`tibâr atau qiyas irfani. Yakni analogi makna batin yang ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada dalam teks. Kedua, diungkapkan lewatsyathahât, suatu ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdân) karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan. Ungkapan-ungkapan seperti itu menjadi tidak beraturan dan diluar kesadaran, karena keluar saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat men-dalam, sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis maupun epistemologis tertentu, sehingga karena itu pula ia sering dihujat dan dinilai menyimpang dari ajaran islam yang baku. Meski demikian, secara umum, syathahât sebenarnya diterima dikalangan sufisme, meskipun dikalangan sufisme sunni yang membatasi diri pada aturan syariat, dengan syarat bahwa syathahât tersebut harus ditakwilkan, yakni ungkapannya harus terlebih dahulu dikembalikan pada makna zahir teks. Artinya, syathahat tidak boleh diungkapkan secara ‘liar’ dan berseberangan dengan ketentuan syariat yang ada.
    Metode analogi seperti di atas, menurut al-Jabiri, juga dikenal dalam pemikiran di Barat, yakni dalam aliran filsafat esoterik, yang disebut analogi intuitif. Namun, dalam analogi filsafat esoterik, perbandingan (qiyas) bukan dialakukan atas dasar kesamaan tetapi karena adanya keterpengaruhan. Bagi al-Jabiri, dengan tidak adanya kesetaraan atau kesamaan diantara dua hal yang dianalogikan berarti analogi (qiyas) tersebut telah jatuh. Karena itu, dan ini merupakan kesalahan al-Jabiri, ia menggunakan metode analogi Barat tersebut untuk menganalisa irfani Islam, sehingga menganggap bahwa pengetahuan irfani yang dibangun diatas dasar qiyas bukan sesuatu yang luar biasa tetapi hanya kreatifitas akal yang didasarkan atas imajinasi. Lebih lanjut, irfani akhirnya hanya merupakan filsafatisasi mitos-mitos, yang tidak memberikan kontribusi apapun terhadap pembangunan masyarakat. Padahal, irfani islam sama sekali berbeda dengan mistik di barat, meski di beberapa bagian ada kesamaan. Irfani lebih berkaitan dengan kebersihan jiwa, rasa dan kayakinan hati, sementara mistik barat kurang berkaitan dengan semua itu tetapi lebih bersifat positifistik.
Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas objek eksternal atau runtutan logis, melainkan dari diri sendiri, tepatnya dari realitas kesadaran diri yang dalam bahasa tasawuf disebut kasyf. Sedemikian, sehingga ia tidak dapat diuji berdasarkan validitas korespondensi maupun koheren. Lebih jauh, objeknya tidak lain hanyabersifat immaterial dan essensial, tetapi sekaligus juga bersifat swaobjektif (self-object-kowledge), sehingga apa yang disebut sebagai objektivitas objek tidak lain bersifat analitis dan terwujudnya dalam tindakan mengetahui itu sendiri.[15]
Dari pemaparan di atas  penulis menyimpulkan bahwasanya irfani tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara korespondensi dan koherensi, karena epistemologi irfani diistilahkan sebagai pengetahuan tentang (knowledge of) sebuah pengetahuan intuitif yang diperoleh secara langsung, yang berbeda dengan “pengetahuan mengenai (knowledge about) sebuah pengetahuan diskursif yang diperoleh lewat perantara, ataupun rasio. Perbandingan kebenaran antara epistemologi Bayani, Burhani, dan Irfani dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 1. Perbandingan Epistemologi Bayani, Irfani, dan Burhani
Bayani
Irfani
Burhani
Sumber
Teks Keagamaan/
Nash
Ilham/ Intuisi
Rasio
Metode
Istinbat/ Istidlal
Kasyf
Tahlili (analitik),
Diskursus
Pendekatan
Linguistik
Psikho-Gnostik
logika
Tema sentral
Ashl – Furu’
Kata – Makna
Zahir – Batin
Wilayah – Nubuwah
Essensi – Aksistensi
Bahasa – Logika
Validitas kebenaran
Korespondensi
Intersubjektif
Koherensi
Konsistensi
Pendukung
Kaum Teolog,
ahli Fiqh,
ahli Bahasa
Kaum Sufi
Para Filosof

E.     KONSEP TEKSTUAL DAN KONTENSTUAL NASH DALAM EPISTEMOLOGI IRFANI

Sesuai dengan sasaran bidik Irfani yang esoterik, isu sentral Irfani adalah zahir & batin, bukan sebagai konsep yang berlawanan tetapi sebagai pasangan. Menurut Muhasibi (w. 857 M), al-Ghazali (w. 1111 M), Ibn Arabi (w. 1240 M), juga para sufis yang lain, teks keagamaan (al-Qur`an dan hadits) tidak hanya mengandung apa yang tersurat (zahir) tetapi juga apa yang tersirat (batin). Aspek zahir teks adalah bacaannya (tilawah) sedang aspek batinnya adalah takwilnya.[16] Jika dianalogikan dengan bayani, konsep zahir-batin ini tidak berbeda dengan lafad-makna. Bedanya, dalam epistemologi bayani, seseorang berangkat dari lafat menuju makna, sedang dalam Irfani, seseorang justru berangkat dari makna menuju lafat, dari batin menuju zahir, atau dalam bahasa al-Ghazali, makna sebagai ashl, sedang lafat mengikuti makna (sebagai furu’).
Pendapat zahir-batin di atas didasarkan, pertama, pada al-Qur’an, QS. Luqman: 20, al-An’am: 120 dan khususnya QS. al-Hadid: 3, yang sekaligus digunakan sebagai dasar pijakan metafisisnya. Kedua, hadits Rasul, ‘Tidak ada satu ayatpun dalam al-Qur`an kecuali di sana mengandung aspek zahir dan batin, dan setiap huruf mempunyai had (batas) dan matla’ (tempat terbit). Ketiga, pernyataan Imam Ali ibn Abi Thalib (w. 660 M). Menurut Ali ra, al-Qur`an mengandung empat dimensi, zahir, batin, had dan matla’. Aspek zahir al-Qur`an adalah tilawah, aspek batinnya adalah pemahaman, aspek had-nya ketentuan halal dan haram, dan matla’nya adalah apa yang dikehendaki Tuhan atas hamba-Nya.
Menurut Jabiri, makna batin ini, pertama, diungkapkan dengan cara apa yang disebut sebagai i’tibar atau qiyas Irfani. Yakni analogi makna batin yang ditangkap dalam kasyf  kepada makna zahir yang ada dalam teks. Sebagai contoh, qiyas yang dilakukan kaum Syiah yang menyakini keunggulan keluarga Imam Ali ra. atas QS. Al-Rahman, 19-22. “Dia membiarkan dua lautan mengalir dan bertemu; di antara keduanya ada batas yang tidak terlampaui dan dari keduanya keluar mutiara dan marjan”. Dalam hal ini, Ali dan Fatimah dinisbatkan pada dua lautan, Muhammad saw dinisbatkan pada batas (barzah), sedang Hasan & Husein dinisbatkan pada mutiara dan marjan. Barzah=Muhammad, Dua lautan = Ali/Fatimah Dua laut Ali/Fatimah Mutiara & Marjan Hasan/Husein Contoh lain adalah qiyas yang dilakukan al-Qusyairi atas ayat yang sama. Menurutnya, dalam hati ini ada dua lautan, yakni khauf (takut) dan raja’ (harapan), dan dari sana keluar mutiara dan marjan, yakni ahwal al-shufiyah dan lathaif al-mutawaliyah. Di antara keduanya ada batas yang tak terlampaui, yakni pengawan Tuhan atas ini dan itu. Artinya, konsep sufisme tentang khauf dan raja’ dinisbatkan pada kata ‘bahrain’ (dua lautan), sedang ahwal dan lathaif dinisbatkan pada mutiara dan marjan. Khauf/ Raja’ via Dua lautan Ahwal/ Lathaif Mutiara/ Marjan Dengan demikian, qiyas Irfani ini tidak sama dengan qiyas bayani atau silogisme.
Qiyas Irfani di sini berusaha menyesuaikan konsep yang telah ada atau pengetahuan yang diperoleh lewat kasyf dengan teks. Ibn Arabi menyatakan bahwa zahir al-Qur`an adalah tafsir, aspek batinnya adalah takwil, had-nya adalah batas kemampuan pemahaman dan matla`nya adalah puncak pendakian hamba dimana ia menyaksikan Tuhan. Namun, Jabiri menyangsikan otensitas hadis dan tafsir ini, karena dibagian lain, Ibn Arabi menyatakan bahwa ia memperoleh hadis tersebut lewat kasyf. Tidak mengikuti rantai perawian sebagaimana dalam ilmu hadis.
Dengan kata lain, seperti dikatakan al-Ghazali diatas, zahir teks dijadikan furu’ (cabang) sedang konsep atau pengetahuan kasyf sebagai ashl (pokok). Karena itu, qiyas Irfani atau I`tibâr tidak memerlukan persyaratan illat atau pertalian antara lafat dan makna (qarinah lafdziyah ‘an ma’nawiyah) sebagaimana yang ada dalam qiyas bayani, tetapi hanya berpedoman pada isyarat (petunjuk batin). Metode analogi seperti diatas, menurut al-Jabiri, juga dikenal dalam pemikiran di Barat, yakni dalam aliran filsafat esoterik, yang disebut analogi intuitif. Namun, dalam analogi filsafat esoterik, perbandingan bukan dialakukan atas dasar kesamaan tetapi karena adanya keterpengaruhan. Bagi al-Jabiri, dengan tidak adanya kesetaraan atau kesamaan diantara dua hal yang dianalogikan berarti analogi (qiyas) tersebut telah jatuh. Karena itu, dan ini merupakan kesalahan al-Jabiri, ia menggunakan metode analogi Barat tersebut untuk menganalisa Irfani Islam, sehingga menganggap bahwa pengetahuan Irfani yang dibangun diantas dasar qiyas bukan sesuatu yang luar biasa tetapi hanya kreatifitas akal yang didasarkan atas imajinasi. Lebih lanjut, Irfani akhirnya hanya merupakan filsafatisasi mitos-mitos, yang tidak memberikan kontribusi apapun terhadap pembangunan masyarakat. Padahal, Irfani Islam sama sekali berbeda dengan mistik di Barat, meski dibeberapa bagian ada kesamaan.
Irfani lebih berkaitan dengan kebersihan jiwa, rasa dan kayakinan hati, sementara mistik Barat kurang berkaitan dengan semua itu dan lebih positifistik. Karena itu, menggunakan alat ukur mistik Barat untuk menganalisa Irfani Islam, sesungguhnya, tidak berbeda dengan mengukur rasa kepedasan cabe dengan melihat warna kulitnya. Tidak akan mencapai hakekat yang sebenarnya. Kedua, pengetahuan kasyf diungkapkan lewat apa yang disebut dengan syathahât. Namun, berbeda dengan qiyas Irfani yang dijelaskan secara sadar dan dikaitkan dengan teks, syathahat ini sama sekali tidak mengikuti aturan-aturan tersebut. Syathahat lebih merupakan ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdan) karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan, seperti ungkapan ‘Maha Besar Aku’ dari Abu Yazid Bustami (w. 877 M), atau ‘Ana al-Haqq’ (Aku adalah Tuhan) dari al-Hallaj (w.913 M). Ungkapan-ungkapan seperti itu, keluar saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat mendalam, sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis maupun epistemologis tertentu; sehingga, karena itu pula, ia sering dihujat dan dinilai menyimpang dari ajaran Islam yang baku. Meski demikian, secara umum, syathahat sebenarnya diterima dikalangan sufisme, meskipun dikalangan sufisme sunni yang membatasi diri pada aturan syareat, dengan syarat bahwa syathahat tersebut harus di takwilkan, yakni ungkapannya harus terlebih dahulu dikembalikan pada makna zahir teks. Artinya, syathahat tidak boleh diungkapkan secara ‘liar’ dan berseberangan dengan ketentuan syareat yang ada. Persoalannya, di mana hakekat qiyas Irfani, takwil atau syathah sufisme diatas, sebab apa yang diungkapkan para tokoh sufis tersebut ternyata tidak sama, meski mereka sama-sama mengklaim telah mengalami atau mendapat pengetahuan langsung dari realitas mutlak. Mengikuti al-Jabiri, hakekat takwil dan syathah tidak terletak pada makna umumnya atau universalitasnya melainkan justru pada makna temporal atau subjektifitasnya. Sebab, takwil atau syathah tidak lain adalah pemaknaan atau pemahaman atas realitas yang ditangkap saat kasyf, dan itu pasti berbeda diantara masing-masing orang, sesuai dengan kualitas jiwa dan pengalaman sosial budaya yang menyertainya.




























F.     KESIMPULAN

Epistemologi ‘irfani merupakan salah satu kekayaan khazanah Islam yang patut dibanggakan dan tentunya harus dilestarikan, lebih lagi di era modern saat ini yang mendewakan rasionalisme dan empirisme, sehingga kering akan nuansa spiritual. Eksistensi keberadaan epistemology ‘irfani ini, sudah tentu diawali dengan sejarah panjang kemunculannya yang penuh dengan dinamika pergolakan. Epistemologi ‘irfani merupakan epistemologi yang cukup unik untuk dipahami. Tidak seperti bayani dan burhani yang cenderung teks, ‘irfani bersumber dari pengalaman spiritual pelakunya. Epistemologi ini banyak dianut oleh kalangan sufi.   
Pencapaian pengetahuan ‘irfani harus dilalui dengan beberapa tahapan mulai dari persiapan, penerimaan, dan pengungkapan. Tahap persiapan ini meliputi serangkaian tazkiyah an-nafs yang dilalui melalui maqamat dan ahwal, untuk pada akhirnya sampai pada tahap pengungkapan yang dapat diwujudkan melalui qiyas ‘irfani, symbol-simbol maupun syathahat. Verifikasi kebenaran epistemologi ‘irfani tidak dapat diuji baik dengan korespondensi maupun koherensi.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, 2009, Tafsir dalam Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Damami, Mohammad, 2002, Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa, Lesfi, Yogyakarta.
Hairi, Yazdi, Mehdi, 1994, Ilmu Hudhuri, terj Ahsin Muhammad, Bandung, Mizan.
Issa Othman, Ali, 1981, Manusia Menurut Al Ghazali, (terj johan Smit, Anas, Yusuf), (Bandung: Pustaka.
Makiah, Zulpa, Epistemologi Bayani, Burhani dan Irfani dalam Memperoleh Pengetahuan tentang Mashlahah.
Mudzakir, Syadali, 2004  Filsafat Umum, Bandung: Pustaka Setia.
Nasrullah, 2012, Nalar ‘Irfani Tradisi Pembentukan dan Karakteristiknya, Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol. 9, No. 2, Desember.
Noorsyam, 1984, filsafat Pendidikan dasar dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Usaha Nasional, Surabaya.
Salam, Burhanuddin, 1997, Logika Materil, Filsafat Ilmu Pengetahuan Rineka Cipta, Jakarta.
Soleh, A. Khudori, ”Mencermati Epistemologi Sufi (Irfan)”, Jurnal Ulumuna, tanpa keterangan.
Soleh, A. Khudori, 2004, Wacana Baru Filsafat Islam. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Soleh, A. Khudori, 2016,  Filsafat Islam, Jogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Sudarsono, 2008,  Ilmu Filsafat : Suatu Pengantar, Jakarta: Rineka Cipta.
https://harunalrasyidleutuan.wordpress.com/2010/01/26/epistemologi-al-irfani-2/




[1] Ahmad Syadali, Mudzakir, Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2004) Cet II, hlm. 24
[2] Ahmad Tafsir dalam Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009) hlm. 23
[3] Sudarsono, Ilmu Filsafat : Suatu Pengantar, (Jakarta: Rineka Cipta,2008), hlm. 138
[4] Noorsyam, filsafat Pendidikan dasar dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Usaha Nasional, Surabaya : 1984), hlm 34
[5] A. Khudori Soleh, M.Ag. Wacana Baru Filsafat Islam, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta:2004) hlm. 194
[6] Nasrullah, Nalar ‘Irfani Tradisi Pembentukan dan Karakteristiknya, Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol. 9, No. 2, Desember 2012, hlm 177
[7] Mehdi Hairi, Yazdi, Ilmu Hudhuri, terj Ahsin Muhammad, (Bandung, Mizan: 1994), hlm. 51-53
[8] Zulpa Makiah, Epistemologi Bayani, Burhani dan Irfani dalam Memperoleh Pengetahuan tentang Mashlahah, hlm. 23
[9] A. Khudori Soleh, Filsafat Islam, (Jogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), Cet 1, hlm. 208
[10] Burhanuddin Salam, Logika Materil, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Rineka Cipta, jakarta: 1997), hlm.58
[11] Ali Issa Othman, Manusia Menurut Al Ghazali, (terj johan Smit, Anas, Yusuf), (Bandung: Pustaka, 1981), hlm. 67
[12] Mohammad Damami, Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa, (Lesfi, Yogyakarta :2002), hlm. 41
[13] Mehdi Hairi,Yazdi, Ilmu Hudhuri, terj Ahsin Muhammad, (Bnadung: Mizan, 1994), hlm. 245
[14] Ali Issa Othman, Manusia Menurut Al-Ghazali, (terj Johan Smit, Anas, yusuf), (Bandung: Pustaka, 1981),  hlm 64
[15] A. Khudori Soleh,”Mencermati Epistemologi Sufi (Irfan)”, Jurnal Ulumuna, tanpa keterangan, hlm. 14-15
[16] Ibn Arabi, Tafsîr Ibn Arabi II, (Kairo, Bulaq, 1867), hlm. 2

No comments:

Post a Comment