GERAKAN PEMBARUAN ISLAM DI
INDONESIA MENJELANG DAN PASCA KEMERDEKAAN SERTA KONTEMPORER
(NAHDLATUL ULAMA)
Ni’matul
Ulfa
Magister
Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana
Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
A. Dasar Pemikiran
Embrio
gerakan pembaharuan dalam Islam atau tajdid
sebenarnya sudah sejak lama muncul pasca periode akhir masa pemerintahan
khalifah Ali bin abi-Thalib (abad 3 H), yang juga menandai berakhirnya masa Kulafaurrasyidin dan munculnya dinasti
Muawiyah, inilah yang disebut oleh Khoiro Ummatin sebagai episode baru dalam
dalam sejarah kebudayaan Islam.[1]
Perubahan ini tidak hanya memiliki dampak terhadap peta politik Islam namun
juga berpengaruh terhadap dinamika corak pemikiran Islam dengan munculnya
berbagai macam aliran teologi Islam seperti Syiah, Mu’tazilah, Khawarij,
Maturidiyah, Asyariah. Perlahan namun pasti, setelah hampir berabad-abad
lamanya embrio gerakan pembaharuan Islam ini mulai menemukan bentuk yang rigid pada pertengahan abad ke-11 H.
Pada masa itu muncul seorang tokoh bernama Muhammad bin ‘Abdul Wahab yang membawa jargon purifikasi (pemurnian) akidah dalam gerakan dakwahnya. Tokoh inilah
yang kemudian disebut beberapa penulis sebagai mujaddid (pembaharu).
Gerakan
pembaharuan Islam di Indonesia dapat kita awali dengan kemunculan kerajaan
Islam Samudera Pasai di pulau Sumatra. Kemudian sepak terjang Walisongo yang
ikut berperan penting dalam penyebaran dan perkembangan Islam di pulau Jawa.
Hingga munculnya organisasi Sarekat Islam dan Muhammadiyah di tahun 1912.
Duapuluh tahun berselang, tepatnya ditahun 1926 lahirlah sebuah organisasi bernama
Nadhatul Ulama (kebangkitan ulama).
Banyak hal yang melatar belakangi kemunculan organisasi Islam, seperti Sarekat
Islam yang mengawali gerakan dakwahnya dengan perdagangan, Muhamammadiyah
dengan gerakan pembaharuan, dan Nadhatul
Ulama (N.U) yang muncul dengan
latar belakang “politis” yang salah satunya adalah untuk merespon gerakan
pembaharuan yang dilakukan Wahabi di Arab Saudi.
Hal ini
menandakan bahwa meskipun Islam itu satu dari sudut ajaran pokoknya, akan
tetapi setelah terlempar dalam konteks sosial-politik tertentu pada tingkat
perkembangan sejarah tertentu pula agama bisa memperlihatkan struktur interen
yang berbeda-beda.[2]
Maka jika dilihat dari masalah yang menjadi dinding pembatas di antara
beberapa kelompok di atas, adalah bagaimana memanifestasikan ajaran Islam itu
di dalam sistem kehidupan sosial,[3]
antara Islam sebagai model of reality
dan Islam sebagai models for reality,[4]
sehingga menciptakan setidaknya dua bentuk komunitas beragama yaitu antara folk
variant dan scholarly veriant, yang dalam konteks keindonesiaan
terwujud dalam bentuk komunitas NU dan komunitas Muhammadiyah. Yang pertama
sering diklaim sebagai kelompok tradisionalis, dan yang kedua sebagai kelompok
modernis.[5]
Meskipun demikian, NU yang selama ini dianggap sebagai organisasi tradisional
dengan basis pesantren justru memperlihatkan gairah progresivitas berpikir,
dibandingkan dengan organisasi modern yang malah tampak stagnan dan resisten.
Kitab kuning yang telah ditulis ulama berabad-abad lalu dan dijadikan salah
satu referensi utama nahdhiyin ternyata justru membuka wawasan yang membentang
luas dalam mencermati perubahan sosial. Pemahaman agama bergerak tidak lagi
secara tekstualis, tetapi kontekstual. Tentunya ini perlu dipandang sebagai
kemajuan di dalam NU. Hal ini diperkuat dengan sebuah penelitian yang dilakukan
oleh Arbiyah Lubis, ditemukan bahwa Muhammadiyah termasuk dalam kelompok
tradisionalis modernis. Di mana Muhammadiyah tampil sebagai modernis hanya
dalam dunia pendidikan, dan dalam memahami teks al Qur’an dan Hadits sebagai
sumber ijtihad, Muhammadiyyah berada dalam kelompok tradisonalis. Sementara
dalam penelitian lain, Muhammad Azhar juga mengatakan bahwa dalam beberapa hal,
NU yang dianggap tradisional, ternyata lebih modern keimbang Muhammadiyah.
Sebagai contoh, proses penerimaan asas Pancasila, pendirian BPR Nusumma,
ternyata NU terkesan mendahului Muhammadiyah.
B.
Sejarah
Berdirinya NU
Organisasi
Islam Nahdatul Ulama pertama kali
berdiri pada 16 Rajab 1344 H menurut kalender Islam atau pada tanggal 31 Januari
1926 menurut penanggalan masehi. Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asyari
sebagai Rais Akbar,[6]
dengan didukung oleh para tokoh alim ulama yang di antaranya
yaitu:
1.
KH. Abdul Wahab Hasbullah
2.
KH. Bisri
3.
KH. Ridwan
4.
KH. Nawawi
5.
KH. R. Asnawi
6.
KH. R. Hambali
7.
KH. Nakhrawi
8.
KH. M. Alwi Abdul Aziz
9.
KH. Doromuntaha Bangkalan, dan lain
sebagainya.
Latar
belakang pendirian organisasi NU ini tidak dapat dilepaskan dari faktor
sosial-politik dan keagamaan yang terjadi pada saat itu. Setidaknya ada dua latar
belakang yang melatar belakangi berdirinya organisasi ini yaitu latar belakang
kebangsaan atau nasionalisme dan agama.
Pertama, adalah
latar belakang kebangsaan (nasionalisme). Kondisi bangsa Indonesia yang sedang
terkungkung oleh penjajahan yang dilakukan bangsa Belanda pada saat itu
menimbulkan keterbelakangan mental dan ekonomi yang dialami bangsa Indonesia.
Pada tahun 1908 muncul gerakan Kebangkitan Nasional yang digagas oleh kaum
terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa melalui jalan pendidikan dan
organisasi.
Latar
belakang kedua yang tidak kalah pentingnya adalah latar belakang keagamaan
dimana perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam kala itu,
diantaranya adalah pada tahun 1924, Syarif Husein raja Hijaz ( Makah ) yang
berfaham Sunni (ahlus sunah wal jama’ah)
ditakluk- kan oleh Abdul Aziz bin Saud yang beraliran Wahabi. Aliran Wahabi ini
bentuk ajarannya adalah melarang semua bentuk amaliah keagamaan ala kaum Sunni,
yang sudah berlaku di Tanah Arab dan akan menggantinya dengan model Wahabi.
Pengamalan agama dengan sistem bermadzhab, tawasul,
maulid Nabi, ziarah kubur dan lain sebagainya akan segera dilarang. Dan bahkan
Raja Ibnu Saud juga ingin melebarkan pengaruh kekuasaannya ke seluruh dunia
Islam. Dengan dalih demi kejayaan Islam, ia berencana meneruskan kekhilafahan
Islam yang terputus di Turki pasca runtuhnya Daulah Usmaniyah.[7]
Gagasan kaum
wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik
kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII atau Sarekat
Islam di bawah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren
yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan
penghancuran warisan peradaban tersebut. Sikapnya yang berbeda, kalangan
pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925,
akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam
Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Didorong oleh
minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta peduli
terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa
membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hijaz, yang diketuai oleh
KH. Wahab Hasbullah.
Atas desakan
kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hijaz, dan tantangan dari segala
penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya
hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka
masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang
berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan
peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga. Berangkat dari komite
dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi
yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan
zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul
kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama yang
dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari.[8]
Dan untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka KH. Hasyim Asy'ari
merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip
dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad
Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam
Khittah NU, yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan
bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
C. Gerakan Pembaharuan
Islam Nahdlatul Ulama
1. Sebelum Kemerdekaan
Pada tahun 1908 muncul gerakan
Kebangkitan Nasional yang digagas oleh kaum terpelajar untuk memperjuangkan
martabat bangsa melalui jalan pendidikan dan organisasi. Berangkat dari gerakan
ini, kalangan pesantren yang turut berjuang melawan kolonialisme membentuk
organisasi pergerakan seperti Nahdlatut
Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada tahun 1916 yang diprakarsai oleh KH.
Wahab Hasbullah bekerjasama dengan KH. Abdul Qahar (seorang pengusaha kaya) di
Surabaya dan didukung oleh masyarakat berhasil mendirikan sebuah gedung
bertingkat di kampung Kawatan Gg. IV Surabaya yang kemudian dikenal sebagai
perguruan Nahdlatul Wathan yang
berarti Kebangkitan Tanah Air.[9]
Tidak berhenti sampai disitu, di
tahun 1918 kalangan pesantren mendirikan sebuah organisasi bernama Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran),
sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri.
Selanjutnya didirikanlah Nahdlatut Tujjar,
(Pergerakan Kaum Sudagar) yang dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian
rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu,
maka Taswirul Afkar, selain tampil
sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat
pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.[10]
Organisasi-organisasi inilah yang nantinya menjadi embrio dari lahirnya sebuah
organisasi Islam bernama Nahdlatul Ulama. Sekaligus menjadi titik dimana
ditemukanlah tiga pilar penting bagi NU yaitu: (1) Wawasan Ekonomi kerakyatan,
(2) Wawasan Keilmuan, Sosial Budaya, dan (3) Wawasan Kebangsaan.
2. Pasca Kemerdekaan
Tanggal 22 Oktober 1945, tiga bulan setelah Indonesia merayakan
kemerdekaan, NU mengeluarkan resolusi jihad yang berisi ajakan kepada umat
Islam untuk mempertahankan tanah airnya yang merdeka. Dalam resolusi tersebut
menyebutkan bahwa jihad untuk mempertahankan tanah air Indonesia adalah fardhu
‘ain, tiap-tiap muslim wajib jihad di mana saja berada. Resolusi ini
kenyataannya mendapatkan sambutan yang baik dan hangat dari kalangan umat
Islam.
Untuk memperkuat posisi dan perjuangan umat Islam, pada maka kongres umat
Islam di Yogyakarta tanggal 7 November 1945 di ambil keputusan bahwa Masyumi
(Majelis Syura Muslimin Indonesia) dijelmakan menjadi partai politik Islam di
Indonesia. Di Masyumi, NU menjadi anggota istimewa dan pimpinan NU (KH. Hasyim
Asy’ari) menjadi ketua Masyumi. Masyumi merupakan badan federasi pergerakan
umat Islam dan berusaha dalam rangka perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia.
Namun NU pada tahun 1952 memisahkan diri dari Masyumi melalui keputusan
kongresnya pada tanggal 26 april-1 mei 1952 di Palembang. Perbedaan kepentingan
politik antar kelompok dalam Masyumi yang berupa pendistribusian kekuasaan
adalah faktor-faktor yang cukup berpengaruh, di samping ketidak mampuan para
pemimpin Masyumi melakukan negosiasi dan kompromi antar anggota. Jika dilihat
dari latar belakang masing-masing individu yang ada dalam Masyumi, secara umum
dapat dikatakan bahwa politisi dan pemimpin NU terdiri atas ulama atau mereka
yang merupakan alumni pesantren dan kalaupun ada yang berpendidikan barat
jumlahnya sedikit. Sementara kalangan non-NU memandang rendah lulusan
pesantren. Inilah yang berpengaruh terhadap kurang harmonisnya hubungan antara
anggota Masyumi dari NU dan kelompok lain. Mulai saat itu, NU berpisah dari
Masyumi dan berdiri sendiri sebagai partai politik dan mengubah Anggaran Dasar
dan Anggaran Rumah Tangga. Dengan demikian, NU setelah menjadi parta politik di
samping Masyumi, PSII dan Perti, maka NU bukan hanya mengurusi
madrasah-madrasah, mengadakan pengajian-pengajian, melainkan juga
memperjuangkan cita-cita politiknya dengan turut serta dalam pemerintahan dan
Dewan Perwakilan Rakyat dari pusat sampai ke daerah-daerah.
NU lebih berkiprah pada pengembangan masyarakat
tingkat bawah (grass root) untuk menciptakan civil society. Juga pada rezim
inilah terlahir konsensus untuk kembali ke khittah 1926 melalui muktamar NU
ke-27 di Sukorejo Situbondo, tahun 1984. Inti dari Khittah adalah keinginan
untuk kembali pada semangat perjuangan awal, menjadi ormas sosial keagamaan.
Keputusan penting lainnya adalah NU secara formal menerima Pancasila sebagai
asas tunggal atau landasan dasar NU.
Perkembangan NU pada masa ini dimungkinkan oleh sejumlah faktor
yang mengurangi isolasi warga NU dari masyarakat luas. Beberapa faktor penting
yang menonjol ialah, berdirinya IAIN di setiap propinsi, yang membuka peluang
bagi alumni pesantren untuk meraih pendidikan tinggi. Kehidupan di kampus, kelompok
diskusi, interaksi dengan mahasiswa dari latar belakang berbeda, bacaan yang
luas, di samping mata kuliah beragam, kemudian membantu sebagian mereka untuk
memperluas cakrawala sosial dan intelektual mereka.
Faktor lain
ialah usaha-usaha untuk menggerakkan proyek pengembangan masyarakat melalui
pesantren, yang dipelopori oleh LP3ES dan kemudian melibatkan sejumlah LSM
nasional dan internasional lainnya. Dengan demikian, pesantren sedikit demi
sedikit mulai ditarik ke dalam jaringan komunikasi internasional. Gerakan LSM
mulai menjadi faktor penting di panggung politik internasional pada dasawarsa
1960-an. Di Indonesia, sponsor asing mulai membidangi LSM pada dasawarsa
1970-an, dan gerakan LSM menjadi semakin menonjol pada dasawarsa 1980-an.
Dari segi
jamaah NU, menjamurnya LSM-LSM di Indonesia dapat dianggap sebagai faktor
eksternal, tetapi khususnya sesudah Muktamar Situbondo semakin banyak orang NU
sendiri mulai terlibat langsung dalam aktivitas berbagai jenis LSM. Hal ini
diperkuat oleh keputusan Situbondo, yang mengalihkan tenaga dan waktu sebagian
besar aktivis NU dari arena politik kepada syu’un ijtima’iyyah, yaitu perhatian
pada masalah-masalah sosial, dan kepada wacana, perkembangan pemikiran Islam
yang relevan.
Proses
depolitisasi pada masa orde baru, kebijaksanaan massa mengambang,
penyederhanaan sistem kepartaian, monoloyalitas pegawai negeri, normalisasi
kehidupan kampus, pemaksaan azas tunggal, membawa dampak berat juga terhadap NU.
Selama dua dasawarsa pertama orde baru, NU merupakan satu-satunya ormas yang
mempunyai akses ke akar rumput dan sekaligus aktif sebagai organisasi politik.
Karena dukungan massanya, NU selama itu merupakan kekuatan politik terbesar di
luar pemerintah, dan dianggap satu-satunya oposisi yang perlu diperhitungkan.
Di Situbondo kekuatan politik itu dikorbankan dengan harapan akan dapat
menjalin kembali hubungan mesra antara NU dan pemerintah di pusat maupun
daerah. Orang boleh bertanya apakah harga depolitisasi tersebut tidak terlalu
mahal. Tetapi perkembangan pemikiran dan kegiatan sosial yang menjadi begitu
menonjol pada limabelas tahun berikutnya, kelihatannya, tidak akan mungkin
terjadi seandainya tidak ada keputusan Situbondo. Perkembangan tersebut juga
tidak lepas dari peranan Abdurrahman Wahid, yang telah memberi contoh dan
rangsangan kepada banyak aktivis dan pemikir muda, dan dengan karisma sebagai
cucu para pendiri NU sempat melindungi mereka dari kritik kalangan konservatif.
Kemudian,
pada masa reformasi yang menjadi tanda berakhirnya kekuasaan pemerintahan orde
baru merupakan sebuah momentum bagi Nahdlatul Ulama untuk melakukan pembenahan
diri. Selama rezim orde baru berkuasa, Nahdlatul Ulama cenderung dipinggirkan
oleh penguasa saat itu. Ruang gerak Nahdlatul Ulama pada masa orde baru juga
dibatasi, terutama dalam hal aktivitas politiknya.
Pada masa
reformasi inilah peluang Nahdlatul Ulama untuk memainkan peran pentingnya di
Indonesia kembali terbuka. Presiden NU
pertama lahir di era ini, yakni KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) seorang tokoh NU
yang kontroversial (baca: pola pikirnya sulit dipahami dan sering
“nyleneh”). Nahdlatul Ulama yang merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia, pada
awalnya lebih memilih sikap netral menjelang mundurnya Soeharto. Namun sikap
ini kemudian berubah, setelah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
mengeluarkan sebuah pandangan untuk merespon proses reformasi yang berlangsung
di Indonesia, yang dikenal dengan Refleksi Reformasi.
Dengan tidak lagi menjadi partai politik, NU sebagai organisasi
kemasyarakatan bisa lebih leluasa mengembangkan diri, memfokuskan pada visi dan
misinya di bidang-bidang sosial, kemasyarakatan, keagamaan dan pendidikan.
Makin banyak tantangan yang dihadapi, massa NU yang banyak bermukim di pedesaan
terutama di Jawa timur dan sebagian Jawa Tengah serta beberapa daerah mulai
intensif mendapatkan perhatian dari pimpinan NU. Sebagian besar nahdliyin di
pedesaan tak lepas dari belitan kemiskinan, namun organisasi-organisasi otonom
NU melakukan langkah-langkah lebih konkrit untuk berupaya mengatasi kemiskinan,
karena bila dibiarkan terus-menerus lama-kelamaan akan menggerus massa NU.
Dikhawatirkan akan banyak umat nahdliyn semakin renggang hubungan silaturahim,
fungsional dan strukturnya dengan NU.Organisasi-organisasi otonom NU adalah
Muslimat NU, GP Ansor, Fatayat, IPNU dan IPPNU, juga kalangan mahasiwanya yang
tergabung dalam PMII. Organisasi-organisasi otonom itu sebenarnya merupakan
potensi cukup besar yang bila dikelola maksimal akan menjadikan pohon NU lebih
subur, rindang dan akarnya juga semakin kuat.
Angkatan Muda NU semakin banyak yang menjadi intelektual dalam berbagai
bidang, bahkan mulai ada yang sudah diperhitungkan dalam forum nasional maupun
internasional. Pada 1985 mereka mendirikan Lembaga Kajian dan Pengembangan
Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU. Selain itu, sebetulnya NU memiliki kelebihan
dari warganya kalangan bawah yang menjadi wiraswasta meskipun sebagian besar
masih dalam skala usaha kecil. Tapi di sini sudah ada modal dasar yakni jiwa
wiraswasta mereka. Bila mereka terus dibina oleh NU dengan dukungan pemerintah,
mereka tidak akan sulit untuk ditingkatkan menjadi wiraswasta tingkat menengah
dan kemudian tinggi.
Misi NU yang tak kurang beratnya adalah bagaimana mengantisipasi
gerakan-gerakan radikal dari kalangan Islam sendiri, baik yang berasal dari
luar maupun dalam negeri. Mengantisipasi hal itu pada 2012 NU membentuk Laskar
Aswaja untuk merespons keresahan atas radikalisme berbasis agama. Pegangan yang dipakai NU sejauh ini tetap
mempertahankan paham ahlus sunnah wal jama'ah (aswaja) yang disesuaikan dengan
kultur masyarakat dalam bingkai kebangsaan dan NKRI. Menangkal gerakan radikal
lewat gerakan dakwah dan secara fisik bila dalam keadaan terpaksa dengan Laskar
Aswaja. Aswaja bila ditilik pengertiannya adalah aliran yang dianut siapa pun
umat Islam yang berpegang teguh pada Al Qur'an dan sunnah nabi. Dengan
pengertian itu maka sebenarnya NU bukanlah satu-satunya organisasi Islam di
Indonesia yang menganut paham Aswaja. Secara akidah NU menempatkan dirinya di
jalan tengah, tidak mengakomodasi ekstrimisme baik radikal maupun liberal.
3. Masa Kontemporer
Dewasa ini, NU bergerak di bidang sosial dan pendidikan agama menurut paham
yang diyakini yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah. Dengan usaha-usaha ini, maka NU
mempunyai banyak sekali Pondok Pesantren dan Madrasah yang tersebar di seluruh
pelosok tanah air, terutama di daerah-daerah pedesaan yang pada umumnya mereka
mempunyai tradisi keagamaan yang sangat kuat. Di samping itu NU juga mempunyai
sekolah-sekolah umum dari tingkat TK sampai Perguruan Tinggi. Dalam bidang
pendidikan dan pengajaran formal ini, NU membentuk satu bagian khusus yang
menanganinya yaitu yang disebut Ma’arif, di mana tugasnya adalah untuk membuat
perundangan dan program pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah
yang berada di bawah naungan NU.
D. Perubahan NU dari Masa ke masa
(Sebelum dan pasca kemerdekaan, hingga kontemporer)
NU adalah organisasi
terbesar di negera Republik Indonesia. Warganya NU tersebar keseluruh pelosok
nusantara, mulai wilayah Sumatra, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Bali, Nusa
tenggara, sampai wilayah Irian Jaya. Ketika dipimpin oleh K.H. Hasyim As’ari NU
berkembang dengan baik dan pesat keseluruh wilayah Indonesia, khususnya waliyah
Jawa dan Madura. Ketika masa K.H. Hasyim Muzaddi, NU melebarkan sayapnya sampai
ke-maca negara. Seperti; Malaysia, Amerika, Jepang, Syiria, Sudan, bahkan
ke-Arab Saudi. Jeddah dan Makkah adalah pusat kegiatan warga NU. Yang puncaknya
yaitu pada tahun 2001, K.H Hasyim Muzadi meresmikan NU di Arab Saudi. Mulai
saat itu, sampai saat ini warga NU yang ada di Arab Saudi mempunyai sebutan NU
Cabang Istimewa Arab Saudi. Ketuanya adalah Ir. Fuad Abdul Wahab, seorang
penggusaha Jasa Penggiriman barang (Amir Cargo) asal Tasik Malaya yang tidak
diragukan lagi ke-NU-anya. Khususnya, loyalitas terhadap ulama’-ulama’ salaf
yang berbasis Aswaja (ahlussunah wal jama’ah). Seiring dengan perkembangan waktu,
NU dari masa kemasa mengalami perubahan-perbuhan. Para elit NU semakin elitis-
sementara kaum alit NU- semakin terjepit dan terhimpit. Para era tahun tujuh puluhan,
loyalitas warga NU begitu kuat dan nyata terhadap organisasinya. Semenjak NU-
melahirkan bayinya (PKB), sedikit demi sedikit loyalitas warga NU tidak sekuat
dan sehebat tahun 70-an. Apalagi, ketika NU-Melahirkan bayi (PKNU), semakin
nyata, kekuatan NU-tidak lagi diperhitungkan oleh lawan-lawan polotiiknya.
Berbagai even besar seperti, Pilpres, Pilkada ternyata menjadi bukti nyata,
bahwa NU- tidak bisa berbuat banyak. Para politis NU sering jengkulitan
kesana-kemari mencari dukungan untuk menjadi walikota, gubernur, dan wakil
gubernur. Akan tetapi, tidak sedikit mereka yang kandas ditenggah jalan. Dukung
mendukung para Kyai dan tanda tangan mereka seringkali tidak ‘’mujarab’’ atau
kurang ampuh. Kesakralan Kyai mulai pudar. Kadang, mereka dengan mudahnya
membubuhkan tanda tangan untuk memberikan sebuah dukungan. Ternyata, hasilnya
nihil, dan ini semaki menyudutkan NU sebagai oraganisasi para ulama’ yang
menjunjung nilai dan moral para Nabi dan auliya’. Ketika presiden Suharto turun
tahta dengan paksa oleh demonstran, tahun 1997. Ternyata, moment itu menjadi
awal sebuah perubahan. Orang-orang NU- yang merindukan kekuasaan terjun bebas
di dalam dunia politik. Mereka naik kendaraan NU untuk meraih sebuah tujuan.
Jadi, NU- termasuk organisasi yang membesarkan warganya. Dan tidak tidak
sedikit, mereka yang dibesarkan lupa dengan ibu kadnunganya NU. Wong NU, Ilang
NU-nya, banyak yang berlomba-lomba menjadi warga NU, yang bertujuan untuk
mencari popuaritas. Pada masa lampau, awal-awal berdirinya NU, dan masa
perjuangan dan perkembangan. Para Kyai, berusaha sekuat tenaga mencurahkan
tenaga, fikiran, bahkan hartanya untuk membesarkan NU. Mereka ihlas, keliling
ke desa-desa, memberikan penyuluhan-penyuluhan agama, serta memberikan ceramah
agama. Mereka tidak mendapatkan amplop, jusrtu mereka-lah yang membagi angpao
kepada fakir miskin. Sekarang sudah jauh berbeda. Orang-orang yang mendekati
NU, tidak lagi membesarkan dan mengembangkan NU-nya. Mereka merapat ke NU,
karena ingin mendapatkan dukungan, atau karena ingin mencalonkan diri agar bisa
menjadi walikota atau Gubernur, atau wakilnya. Orang kampung yang jauh tinggal
dipelosok mengatakan, NU itu artinya nunut urip. Menurut K.H.Tolhah Hasan
Sekarang, NU lebaih banyak membesarkan orang, bukanya orang yang membesarkan NU.
Konflik PKB yang hingga belum ada ujung pangkalnya menjadi jawaban sementara
bahwa orang-orang NU yang duduk dikancah politik semakin haus dengan kekuasaan.
Jangan heran jika NU kelak akan ditinggalkan pengikutnya. Secara amaliyah,
mereka masih NU, secara organisasi mereka lebih memilih yang realistis. Memang,
orang NU tidak harus meninggalkan NU. Tetapi, lama-kelamaan orang NU itu bosan
melihat elit politiknya bertengkar tanpa ada yang mau mengalah. Wallu a’lam.
Kyai adalah sebuatan khusus ulama’ NU. Kyai berasal dari bahasa sangseketa Kai yang artinya seorang Guru, pakar
ruhani keagamaan yang mempunyai spritulitas tinggi serta kedekatan dengan sang
pencipta Allah SWT. Sedangkan Santri
berarti orang yang ngansu mencari ilmu kerpada sang Kyai. Arti santri adalah
Sanggup Netepi Tuntunan Rosul Illahi. Jadi orang bisa dikatakan Kyai, Jika
mereka benar-benar menjadi guru yang selalu memberikan mentransfer ilmu
pengethuan agama dan moral akhlak kepada santri-santinya, Kyai juga memiliki
pesantren atau padepokan tempat mengajarkan ilmunyta. Tingkah laku kyai juga
menjadi panutan oleh semua santrinya.
E. Kesimpulan
NU sebagai oraganisasi masyarakat terbesar di Indonesia telah memainkan
peranan yang penting dalam kemerdekaan dan perkembangan bangsa dan agama.
Sebagai oraganisasi yang bergerak dalam bidang sosial, pendidikan, dan dakwah
Islamiyah, NU telah memberikan banyak perubahan dan kemajuan. Semangat NU zaman
dahulu hingga sekarang semestinya harus tetap tumbuh, sehingga dapat terus
mewujudkan apa yang telah di cita-citakan oleh sang pendiri KH. Hasyim Asy’ari,
sehingga mampu melahirkan tokoh-tokoh bagi perubahan bangsa yang lebih baik.
Setidaknya ada 3 karakteristik utama
yang menjadi pegangan dakwah ahlussunnah NU. Pertama, at-Tawassuth yakni
memiliki sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim
kanan, sebagaimana disarikan dari firman Allah SWT dalam Qur'an Surat Al
Baqarah ayat 143. Yang kedua adalah at-Tawazun atau seimbang dalam segala hal,
terrnasuk dalam penggunaan dalil 'aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran
rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits) sebagaiman
dikemukakan dalam Qur'an Surat al-Hadid ayat 25. Dan yang terakhir atau yang
ketiga adalah al-I'tidal atau tegak lurus, yakni bersikap adil dan tidak
berlaku dzalim kepada sesama manusia hanya dikarenakan sikap kebencian
sebagaiman terungkap dalam Qur'an Surat al-Maidah ayat 8. Selain ketiga prinsip
ini, golongan Ahlussunnah wal Jama'ah Nahdlatul Ulama juga mengamalkan sikap
tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang
memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau
membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang
diyakini.
NU sebagai organisasi
keagamaan, keumatan, kebangsaan dan kemanusiaan tentunya tak lepas dari misi
amar ma’ruf nahi mungkar. Dalam langkah
memperjuangkan amar ma’ruf nahi mungkar inilah NU akan diuji sejauh mana
komitmennya terhadap Islam yang rahmatan lilalamin yang bersikap moderat yang
merupakan inti ajaran Islam Ahli Sunnah wal Jama’ah. Apalagi ketika NU adalah sebuah ormas yang
hidup di dalam sebuah Negara yang bukan hanya dihuni oleh umat Islam saja
tetapi berbagai macam agama dan aliran kepercayaan hidup dan tumbuh serta
dilindungi oleh undang-undang. Disinilah diperlukan pemahaman kita tentang
akidah Islam Ahli Sunnah wal Jama’ah dalam konteks hidup berkebangsaan.
Sebagai generasi muda NU tentunya kita harus selalu berusaha
memahami Islam Ahli Sunnah wal Jama’ah secara integeral tidak terbatas pada
masalah akidah saja tetapi harus berani membuka diri untuk mengkaji misalnya, bagaimana
sesungguhnya pandangan politik Islam Ahli Sunnah wal Jama’ah. Atau barang kali
bagaimana pandangan Islam Ahli Sunnah wal Jama’ah tentang hidup berdampinagan
dengan non muslim padahal kita sebangsa dan senegara yang dulunya kita
perjuangkan bersama-sama kemerdekaannya. Itulah beberapa hal yang menurut saya
cukup mendesak untuk dipikirkan dan direalisasikan, mengingat banyak generasi muda NU tidak memahami sebenarnya
Islam yang bagaimakah yang di jadikan landasan hidup oleh orang-orang NU.
Daftar
Pustaka
Abduh, Muhammad. 1925. Rislah Taud, Terj. B. Michel dan Mustafa Abdul Raziq. Paris: t.t.p
Abdullah, Taufik. 1996. Islam dan Masyarakat. Jakarta: LP3S
Achmad Hasyim Muzadi dkk. 2009. Profil dan Direktori
Nahlatul Ulama dari masa ke masa. Jakarta: PT.Yellow Multi Media
Alfaruqi, Jabir, Wakil Ketua PW GP Ansor Jawa Tengah. NU, Fundamentalisme,
dan Liberalisme. harian Kompas, 28 Juli 2006
Ali,
As’ad Said. 2012. Ideologi Gerakan Pasca
Reformasi. Jakarta: LP3ES
Azra, Azyumardi. 2002. Suplemen Republika.
Desertasi. Ahmad Ali Riyadi. 2006. Gerakan
Pembaharuan Islam Kaum Muda
Nahdlatul Ulama (NU) di Indonesia
1990-2005. Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
2006
Donald, Eugene Smith. 1985. Agama dan Modernisasi Politik: Suatu Kajian Analitis. Jakarta: Rajawali
Press
Haidar, M. Ali. 1994. Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Muhammad, Azhar. 2001. Fiqh
Peradaban. Yogyakarta: Ittaqa Press
Mukti, Ali. 1998. Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini.
Jakarta: Rajawali
Noer,
Deliar. 1982. Gerakan Moderen Islam di
Indonesia 1900- 1942. LP3ES: Jakarta
Sunarto AS, Jurnal Sosiologi Islam,
Vol. 3, No.2, Oktober 2013
Taufik, Abdullah. 1996. Islam
dan Masyarakat. Jakarta: LP3S
Ummatin, Khoiro. 2015. Sejarah Islam dan
Budaya Lokal; Kearifan Islam atas Tradisi Masyarakat. Kalimedia:
Yogyakarta
[1] Ummatin, Khoiro. Sejarah Islam dan Budaya
Lokal; Kearifan Islam atas Tradisi Masyarakat (Kalimedia: Yogyakarta, 2015),
hlm. 72
[5] Yang pertama mengisyaratkan bahwa
Islam adalah representasi dari sebuah realitas, sementara yang kedua
mengisyaratkan bahwa Islam merupakan konsep bagi realitas, seperti aktivitas
manusia. Dalam pemahaman yang kedua ini Agama mencakup teori teori, dogma atau
doktrin bagi sebuah realitas. Bassam Tibi, Islam and the Cultural, 8.
[6] http://www.nu.or.id/a,public-m,static-s,detail-lang,id-ids,1-id,6-t,sejarah-.phpx, terakhir diakses pada 1 Desember 2015
[8] Deliar Noer. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900- 1942. (LP3ES: Jakarta,
1982), hlm. 242-244
[9] M. Ali Haidar., Nahdatul Ulama dan Islam Indonesia:
Pendekatan Fikih dalam Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 1994), hlm.
42
[10]
Achmad Hasyim Muzadi
dkk, Profil dan DIrektori Nahlatul Ulama dari masa ke masa (Jakarta:
PT.Yellow Multi Media, 2009) hlm. 34-35.
No comments:
Post a Comment