KRITIK
ATAS PEMIKIRAN ISLAM LIBERAL
Arif Setiawan 16771025
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Program Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang
A. Latar Belakang
Islam
Liberal di Indonesia, setidaknya telah memberikan warna dan corak pemikiran
yang berbeda. Dari sisi wacana, Islam Liberal tampil pede dan cukup konsisten
dalam menyuarakan ide-ide dan konsep-konsep yang digulirkan; Islam bukan sebuah
monument mati yang dipahat pada abad ketujuh masehi, lalu dianggap sebagai
“patung” indah yang tak boleh disentuh tangan sejarah. Kecenderungan “me-monumen-kan” Islam amat
menonjol saat ini. Islam yang cenderung membeku, menjadi “paket” yang sulit didebat dan persoalkan: paket Tuhan yang
disuguhkan kepada kita semua dengan pesan sederhana, take it or leve it! Islam yang disuguhkan dengan cara demikian, amat
berbahaya bagi kemajuan Islam itu sendiri. Jalan satu-satunya menuju kemajuan Islam
adalah dengan mempersoalkan cara kita menafsirkan agama ini. Untuk menuju
kearah itu, kita memerlukan beberapa hal. Pertama, penafsiran Islam yang
non-literal, substansial, kontekstual, dan sesuai denyut nadi peradaban manusia
yang sedang dan terus berubah. Kedua, penafsiran Islam yang dapat
memisahkan mana unsur-unsur di dalamnya yang merupakan kreasi budaya setempat,
dan mana yang merupakan nilai fundamental. Ketiga, umat islam hendaknya
tidak memandang dirinya sebagai “masyarakat” atau “umat” yang terpisah dari
golongan yang lain, umat manusia adalah keluarga universal yang dipersatukan
oleh kemanusiaan itu sendiri. Keempat, kita membutuhkan struktur sosial
yang dengan jelas memisahkan mana kekuasaan politik dan mana kekuasaan agama.
Agama adalah urusan pribadi; sementara pengaturan kehidupan publik adalah
sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat melalui
prosedur demokrasi.[1]
Untuk
menunjukkan kepada orang awam dalam memahami wacanayang tak berujung ini, maka
dalam makalah ini akan dihadirkan beberapa kritikan para tokoh terkait Islam
Liberal. Dengan tujuan tawashau bil haqqi wa tawashau bis shabri (...Dan
nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran supaya menetapi kesabaran). Pada
sisi lain, tentu jika membiarkan sesuatu kemungkaran atau kesalahan yang
diyakini salah maka bisa jadi mendapat dosa.[2]
Oleh karenanya beberapa tokoh ingin mengkritiki atas kajian Islam Liberal yang
ada. Dan hal tersebut akan diuraikan pada pembahasan makalah ini.
B.
Pokok-Pokok Pikiran Islam
Liberal
Mencermati berbagai perkembangan paham liberal di kalangan umat Islam,
setidaknya ada 3 aspek penting dalam Islam yang sedang gencar mengalami
liberalisasi saat ini yang diantaranya yaitu:[3]
1.
Syari’at
Islam, dilakukan dengan perubahan metodologi ijtihad. Yangmana dapat dilihat
dari berbagai hukum-hukum yang tetap (qath’i) dibongkar dan diubah untuk
disesuaikan dengan zaman.
2.
Al-Qur’an
dan tafsir Al-Qur’an, dengan melakukan dekonstruksi konsep wahyu dalam Islam
dan penggunaan metode hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an.
3.
Aqidah
Islam, dengan penyebaran paham pluralisme agama. Pluralisme agama didasarkan
pada satu asumsi bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan
yang sama. Jadi menurut penganut paham ini, semua agama adalah jalan yang
berbeda-beda menuju Tuhan yang sama.
Menanggapi hal tersebut pada tanggal 28 Sepetember 2005 dalam
Musyawarah Nasional (Munas)-nya yang ke-7, Majelis Ulama Indonesia (MUI)
mengeluarkan 11 Fatwa, yzangmana dari semua fatwa MUI ditanggapi secara normal,
kecuali fatwa mengenai haramnya pluralisme, sekularisme, dan liberalisme, dan
fatwa mengenai haramnya aliran Ahmadiyah. Berbagai kecaman dan penentangan atas
fatwa tersebut dialamatkan ke MUI. Bahkan Menteri Agama yang mengutip fatwa MUI
tentang Ahmadiyah mendapat somasi dari kelompok tersebut dibantu oleh golongan
liberalis.
Diakui, fatwa mengenai haramnya pluralisme, sekularisme, dan
liberalisme merupakan fatwa yang tidak mudah untuk diterapkan karena kuatnya
penolakan dari mereka yang selama ini mengusung ide tersebut. Mereka, yaitu
kelompok yang menamakan diri Islam liberal, yang rata-rata “menguasai” media
massa di tanah air melakukan perlawanan yang tidak main-main. Beberapa tulisan,
artikel, buku dan publikasi lain tetap saja terbit seperti mengabaikan adanya
fatwa tersebut. Mereka mengkampanyekan bahwa fatwa MUI bukanlah hukum yang
mengikat umat Islam. “Yang percaya silahkan ikut, Yang tidak juga ndak
berdosa,” begitu kata seorang pentolan Islam liberal.
Bermula dari seorang Nurcholish Madjid yang menyampaikan pidato
berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”
pada 3 Januari 1970 di Gedung Pertemuan Islamic Research Center, Menteng Raya ,
Jakarta dan disampaikan lagi pada bulan Oktorber 1972 di TIM. Sejak itulah
sekularisme dan liberalisme Islam di Indonesia bergulir. Makin hari, makin
tahun makin tinggi intensitasnya dengan kualitas yang makin berat.
Ungkapan yang paling terkenal pada waktu itu adalah “Islam yes,
partai Islam no,” Heboh pernyataan Cak Nur, demikian sapaan akrab Nurcholish
Madjid, berulang lagi ketika ia menyampaikan pidato kenegaraannya di Taman
Ismail Marzuki (TIM) pada tanggal 21 Oktober 1972. Pidato yang makalahnya
puluhan halaman itu berjudul “Berapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di
Indonesia.” Dalam kesempatan tersebut Cak Nur mengkritik tentang
fundamentalis agama yang dianggapnya lebih berbahaya dibandingkan narkotika.
Selain Cak Nur, memang ada beberapa tokoh yang menyerukan paham ini
selama 30 tahun terakhir ini. Nama-nama itu timbul tenggelam. Boleh jadi,
karena hal itu nama Nurcholish Madjid-lah yang mencuat sehingga ia dijadikan
ikon pembaruan Islam (dengna maksud sekularisme, liberalisme, dan pluralisme
agama). Cak Nur dengan lembaga yang didirikannya yaitu Paramadina mengembangkan
ide-ide tersebut lewat pendidikan, baik pendidikan menengah maupun Universitas Paramadina.
Namun bukan berarti andil mereka, selain Cak Nur yang mempelopori
munculnya paham ini di tanah air tidak berarti. Justru mereka melakukan
liberalisme Islam secara sistematik terutama di kalangan perguruan tinggi Islam
dan LSM tanpa banyak berkoar-koar. Misalnya, mulai dari Menteri Agama Mukti
Ali, dilanjutkan oleh Munawir Sjadzali, didukung oleh Rektor IAIN Syarif
Hidayatullah waktu itu, Harun Nasution, dosen-dosen perguruan tinggi Islam di
hampir seluruh perguruan tinggi Islam dikirim ke Barat untuk menuntut atau
melanjutkan studi agama Islam. Mereka belajar Islam di Leiden, Chicago,
Montreal-Canada, Melbourne dan negeri-negeri Barat lain.
Hasilnya di akhir melenium abad ini, muncullah tokoh-tokoh muda
yang menyebut dirinya “Islam Liberal.” Anak-anak muda yang energik, persuasif
dan juga agresif ini melambungkan istilah Islam liberal dengan mendirikan
sebuah institusi bernama Jaringan Islam Liberal (JIL) pada tahun 2001.
Pendirian lembaga tersebut juga tidak lepas dari peran para pelopor dan senior.
Bagaikan Socrates (pernyataannya yang terkenal itu “Aku ini dukun beranak yang
membantu orang untuk melahirkan. Bukan melahirkan anak, tapi melahirkan
gagasan”), mereka membidani lahirnya jaringan yang lebih agresif dalam
menyebarkan ide pluralisme agama. berbagai diskusi, publikasi dan debat publik
digelar sehingga menyemarakkan laju dan bergulirnya ide pluralisme agama, yang
kemudian disikapi oleh MUI dengan mengeluarkan fatwa keharamannya.[4]
Dalam situs www.hidayatullah.com, Islam liberal adalah nama sebuah gerakan dan aliran yang bermula
dari sebuah ajang kongkow-kongkow di Jalan Utara Kayu 69H, Jakarta Timur.
Tempat ini sejak 1996 menjadi ajang pertemuan para seniman sastra, teater,
musik, film, dan seni rupa.
Di tempat itu pula Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang
salah satu motor utamanya Ulil Abshar Abdalla berkantor. Bersama Goenawan
Mohammad (mantan pemimpin redaksi Tempo) serta sejumlah pemikir muda seperti
Ahmad Sahal, Ihsan Ali Fauzi, Hamid Basyaib dan Saiful Mujani, Ulil kerap
menggelar diskusi bertema “pembaruan” pemikiran Islam. Setelah berdiskusi
sekian lama pada akhir 1999 Ulil dan kawan-kawan sepakat memperkenalkan serta
mengkampanyekan pemikiran mereka dengan bendera Islam Liberal. Lalu untuk
mengintensifkan kampanyenya mereka membentuk wadah Jaringan Islam Liberal (JIL)
pada Maret 2001.
Dengan ditunjang kucuran dana dari The Asia Foundation kampanye Islam
liberal gencar dilancarkan melalui berbagai cara. Mulai dari forum kajian
diskusi, media cetak, hingga media elektronik. Media internet juga tak
ketinggalan mereka garap. Mula-mula dengan membuat forum diskusi internet
(mailing list) kemudian dilanjutkan dengan membuat situs web, alamatnya www.Islamlib.com.
Adapun istilah Islam liberal dipilih oleh kalangan JIL untuk
menamakan gerakan dan pemikiran mereka, nampaknya lantaran mereka mendapat
inspirasi dari buku Liberal Islam: A Sourcebook karya Charles Kurzman
(edisi bahasa Indonesia berjudul Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam
Kontemporer Tentang Isu-Isu Global, diterbitkan oleh Paramadina), sebab
dari buku itu pula JIL meminjam enam agenda rumusan Charles Kurzman. Enam isu
itu: antiteokrasi, demokrasi, hak-hak perempuan, hak-hak non-Muslim, kebebasan
berpikir dan gagasan tentang kemajuan.
Agenda JIL di Indonesia menurut Luthfi Assyaukanie dalam makalahnya
berjudul Wacana Islam Liberal di Timur Tengah yang disampaikannya di Teater
Utan Kayu, Jakarta Rabu 21 Februari 2001 ada 4 hal. Katanya “Saya melihat,
paling tidak ada empat agenda utama yang menjadi payung bagi
persoalan-persoalan yang dibahas oleh para pembaru dan intelektual muslim
selama ini yakni; agenda politik, agenda toleransi agama, agenda emansipasi
wanita dan agenda kebebasan berekspresi. Kaum muslimin dituntut melihat keempat
agenda ini dari perspektif agenda mereka sendiri dan bukan pada perspektif
silam yang lebih banya memunculkan kontradiksi ketimbang penyelesaian yang
baik.”[5]
Dalam agenda politik misalnya, JIL mendesakkan sekularisme dan
menolak sistem pemerintahan Islam. Perdebatan sistem pemerintahan Islam, kata
Luthfi Assyaukanie, dianggap sudah selesai, karena sudah ada para intelektual
seperti Ali Abdur Raziq (Mesir), Ahmad Khalafallah (Mesir), Mahmud Taleqani
(Iran), dan Nurcholish Madjid (Indonesia) yang mengatakan bahwa persoalan
tersebut adalah masalah ijtihadi dan diserahkan sepenuhnya kepada kaum muslimin.
Shiddiq Al-Jawi menulis, melanjutkan keterangan agenda JIL, agenda toleransi
agama misalnya nampak dalam tawaran destruktif dan berbahaya dari JIL, yaitu
teologi pluralisme yang inklusif. Ide ini menganggap semua agam benar dan tak
boleh ada truth claim. Agenda emansipasi wanita, nampak dalam ide JIL
yang menyamaratakan secara absolut peran atau hak pria dan wanita tanpa
kecuali. Agenda kebebasan berekspresi, nampak dalam ide adanya hak untuk tidak
beragama, hak untuk murtad, mengekpresikan seni dan sebagainya.
Sementara itu menurut Dr. Greg Barton, program liberalisasiIslam di
Indonesia meliputi:[6]
1.
Pentingnya
kontekstualisasi ijtihad
2.
Komitmen
terhadap rasionalitas dan pembaruan
3.
Penerimaan
terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama
4.
Pemisahan
agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara
Sedangkan
menurut Adian Husaini, program liberalisasi Islam di Indonesia mencakup 3 hal,
yaitu:[7]
1.
Liberalisasi
dalam Aqidah Islamiyah – Pluralisme Agama
2.
Liberalisasi
Konsep Wahyu – Menggugat otentisitas Mushaf Utsmani
3.
Liberalisasi
Syari’at dan Akhlak Islam
Mengapa
JIL begitu gencar dan agresif menyebarluaskan pemikirannya? Seperti diakui oleh
para pentolannya, meski nama Islam liberal baru dikenal belakangan ini,
sebenarnya Islam liberal bukanlah suatu pemikiran baru. Di Indonesia pemikiran Islam
liberal telah dirintis oleh antara lain Harun Nasution, Nurcholish Madjid,
Munawir Sjadzali dan Abdurrahman Wahid. Mereka adalah orang-orang yang sejak
tahun 1970-an dan 1980-an menggelindingkan ide pembaruan Islam, berupa Islam
rasional, dekonstruksi syari’ah dan sekulerisasi.
Namun,
kata Ulil Abshar kepada Gatra, para perintis itu gagal memasyarakatkan gagasan Islam
liberal ke masyarakat. Kegagalan itu antara lain karena tidak adanya pengorganisasian
secara sistematis. Atau, menurut Luthfi Assyaukanie, gerakan Islam liberal
sebelum ini terlalu elitis. Gagasan itu lebih banyak dibawa kalangan akademisi
dan peneliti yang tak mengakar ke masyarakat, sehingga opini publik tetap
dikuasai oleh kalangan Islam konservatif yang memiliki jaringan kuat dan
mengakar ke masyarakat.
Karena
itu, kalangan JIL merasa perlu memiliki jaringan kuat agar pemikiran liberal
bisa berkompetisi dengan pemikiran kaum revivalis (salaf). Apa beda Islam
liberal dan Islam revivalis? Charles Kurzman mendefinisikan, Islam revivalis
berusaha mengembalikan kemurnian Islam seperti di zaman Rasulullah saw, tetapi
tidak ramah dengan kehadiran modernitas. Sedangkan Islam liberal, masih kata
Kurzman, menghadirkan masa lalu Islam untuk kepentingan modernitas. “Ia
menghargai rasionalitas,” kata Kurzman. Sebuah pengkategorian yang sangat layak
diperdebatkan.
Tapi
lepas dari perdebatan itu, menurut kalangan JIL, dalam konteks Indonesia, kaum
revivalis adalah mereka yang mendukung penegakan syari’at Islam oleh negara dan
menolak sekulerisme. Sebaliknya, kaum Islam liberal adalah mereka yang
mendukung sekulerisme dan menentang penegakan syari’at Islam oleh negara.
‘Pemikir revivalis, katakanlah begitu, tercermin dalam FPI (Front Pembela Islam),
atau Laskar Jihad yang lebih kuat, atau jaringan PK (Partai Keadilan) yang
lebih mengakar,” kata Ulil menyebut lawan tandingnya.
Untuk
menandingi kalangan revivalis, kini JIL telah menyusun sejumlah agenda, antara
lain: kampanye sekulerisasi seraya menolak konsep Islam kaffah (total) dan
menolak penegakan syari’at Islam, menjauhkan konsep jihad dari makna perang,
penerbitan Al-Qur’an edisi kritik, mengkampanyekan feminisme dan kesetaraan
gender serta pluralisme. “Menurut saya, beragama secara kaffah itu tidak sehat
dilihat dari berbagai segi. Agama yang kaffah hanya tetap untuk masyarakat
sederhana yang belum mengalami sofistikasi kehidupan seperti zaman modern.
Beragama yang sehat adalah beragama yang tidak kaffah,” ungkap Ulil dalam
rubrik Kajian Utan Kayu Jawa Pos.
Dari
sekian banyak agenda, sentral dakwah Islam liberal adahal penyebaran ide
pluralisme agama. Istilah pluralisme sendiri awalnya sempat menjadi perdebatan
karena masih ada yang menganggap bahwa pluralisme sama denga pluralitas, yaitu
sikap positif dalam menghadapi perbedaan, sikap ingin belajar dari lain yang
berbeda. Padahal pluralisme adalah suatu sikap keberagamaan dimana penganut
pluralisme mengakui semua agama itu benar.
Sedangkan
definisi MUI mengenai pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan
bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah
relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya
agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga
mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di
surga.Keterangan rinci fatwa tersebut berbunyi:[8]
1.
Pluralism, sekualarisme
dan liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham
yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
2.
Umat Islam haram
mengikuti paham Pluralisme Sekularisme dan Liberalisme Agama.
3.
Dalam masalah aqidah
dan ibadah, umat Islam wajib bersikap ekseklusif, dalam arti haram mencampur
adukan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama
lain.
Menurut
Dr. Anis Malik Thoha pluralisme agama bisa diklasifikasikan sesuai dengan
pokok-pokok pemikiran dan karakter utamanya kedalam empat kategori, yaitu (1)
humanisme sekuler (secular humanismi); (2) teologi global (global
theology); (3) sinkretisme (syncretism atau eclectisicm); dan
(4) hikmah abadi (sophia perennis atau perennial philosophy).
Hanya saja keempat tren ini, ujung-ujungnya berakhir pada muara yang sama,
yaitu memberikan legitimasi yang setara kepada semua agama (semua aliran dan
ideologi) yang ada, agar dapat hidup berdampingan bersama secara damai, aman,
penuh tenggang rasa, toleransi dan saling menghargai. Serta dengan tanpa adanya
perasaan superioritas dari salah satu agama diatas yang lain. Setidaknya inilah
nilai-nilai yang ingin diwujudkan oleh tren-tren tersebut dan inilah yang kini
dikenal secara luas dengan istilah pluralisme agama.
Gagasan
ini yakni kesetaraan agama, sepintas tampak sebagai solusi yang menjanjikan
harapan-harapan dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, namun kajian yang lebih
mendalam, objektif, dan kritis terhadap gagasan tersebut telah menunjukkan
hakikat yang justru sebaliknya dan semakin menyingkap topeng yang
menyembunyikan wajah aslinya yang ternyata bengis, tidak ramah dan intoleran.[9]
Menurut
Dr. Anis, pluralisme agama memiliki sejumlah kelemahan mendasar. Pertama,
kaum pluralis mengklaim bahwa pluralisme menjunjung tinggi dan mengajarkan
toleransi, tapi justru mereka sendiri tidak toleran karena menafikan “kebenaran
eksklusif” sebuah agama.
Mereka
menafikan klaim “paling benar sendiri” dalam suatu agama, tapi justru faktanya
kaum pluralis-lah yang mengklaim dirinya benar sendiri dalam membuat dan
memahami statemen keagamaan. Patut dicatat, katanya “any statement about
religion is religious statement.” Para penganut pluralis tampaknya tidak
sadar akan hal ini.
Kedua, adanya pemaksaan nilai-nilai dan budaya Barat (westernisasi),
terhadap negara-negara dibelahan dunia bagian timur, dengan berbagai bentuk dan
cara, dari embargo ekonomi sampai penggunaan senjata dan pengerahan militer
secara besar-besaran seperti yang tengah menimpa Iraq saat ini.
Jadi,
sebenarnya mereka tidak toleran. Mereka merelatifkan tuhan-tuhan yang dianggap
absolut oleh kelompok-kelompok lain seperti Allah, Trinitas, Trimurti, dan lain
sebagainya.Namun disaat yang sama, secara tanpa sadar mereka juga mengklaim,
bahwa hanya tuhan mereka sendiri yang absolut. Tuhan yang absolut menurut
mereka ini namanya, seperti yang diusulkan John Hick, adalah “The Real”
yang kebetulan ia dapatkan padanan katanya dalam tradisi Islam sebagai “Al-Haq.”
Dengan
mengenali fenomena, pemahaman, dan item-item penting serta agenda Islam liberal
di Indonesia, kita bisa menelaah dan mengenali para tokoh maupun pengusung ide
sekularisme, liberalisme dan pluralisme agama. Bermula pada situlah perlu
adanya untuk mengkritik pendapat para tokoh yang liberal.
C. Profil
Tokoh Anti Liberal
Kiranya
sebelum membahas terkait kritik terhadap Islam Liberal atas pemikiran Adian
Husaini, Hartono Ahmad Jaiz, Adnin Armas, dan Daud Rasyid, maka akan penulis
paparkan terlebih dahulu terkait profilnya. Karena dengan mengetahui profilnya,
maka sedikit banyak kita akan mengetahui bagaimana corak pemikirannya nanti
yang salah satunya juga terpengaruh dari latar belakang pendidikannya. Yangmana
keempat tokoh diatas dianggap sebagai
“penjaga gawang” bagi kemurnian ajaran Islam. Adapun
profil dari keempat tokoh tersebut akan diuraikan dibawah ini, yaitu:
1. Adian Husaini
Secara singkat biografi Adian Husaini adalah seperti terlampir dalam
bukunya yang berjudul “Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan
Tinggi”. Beliau lahir di Bojonegoro, 17 Desember 1965.[10]
Beliau pernah belajar di Madrasah Diniyah Nurul Ilmi Padangan Bojonegoro (1971-1977), pernah nyantri di pondok pesantren Ar-Rasyid Kendal Bojonegoro (1981-1984), di pondok pesantren Ulil Albab Bogor (1988-1989), serta di LIPIA Jakarta (1988).
Beliau pernah belajar di Madrasah Diniyah Nurul Ilmi Padangan Bojonegoro (1971-1977), pernah nyantri di pondok pesantren Ar-Rasyid Kendal Bojonegoro (1981-1984), di pondok pesantren Ulil Albab Bogor (1988-1989), serta di LIPIA Jakarta (1988).
Adian Husaini lahir dari keluarga santri yang kuat aktivitas agamanya,
sehingga sejak kecil beliau telah mendapatkan pendidikan agama dengan pola
pendidikan pesantren seperti terlihat dalam rentetan lembaga-lembaga pendidikan
yang dilaluinya. Sekitar kelas empat sekolah dasar beliau telah mendapat asupan
pelajaran tentang akidah, fikih, serta hadits dan bahasa Arab. Pada usia
demikian juga beliau telah “bergaul” dengan kitab-kitab kuning seperti Kutubul
Mu’tabaroh, Sulamu At-Taufiq, Safinatun Najah, Aqidatul Awam. Pendidikan agama
beliau ditempuh di langgar Al-Muhsin Desa Kuncen Padangan Bojonegoro dan
beberapa pesantren selanjutnya, sedangkan pendidikan formal beliau tempuh di SD
Banjarjo 1, SMPN 1 Padangan Bojonegoro, SMAN 1 Bojonegoro.
Kecintaan akan agama beliau telah terpupuk sejak kecil karena selain
terlahir dari keluarga santri, beliau juga banyak membaca artikel Buya Hamka,
majalah Panji Mas, dan majalah Muslimun sejak ia masih duduk di bangku SMP. Hal
ini juga yang akhirnya membentuk kecerdasan beliau yang dapat dikatakan sangat
mumpuni.
Setelah menamatkan pendidikan di SMA, Adian Husaini meneruskan perjalanan
pendidikannya ke Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Pada masa kuliah di IPB ini
kegiatan keagamaannya tidak pernah surut, bahkan semakin intens dalam mengkaji
diskusi-diskusi keagamaan. Beliau mulai berkenalan dengan beberapa aktivis
mahasiswa Islam yang mampu memompa semangatnya dalam mempelajari Islam. Setelah
menamatkan kuliah strata satu di Institiut Pertanian Bogor, beliau melanjutkan
kuliah di Universitas Jayabaya jurusan Hubungan Internasional, dan sempat
belajar di LIPIA Jakarta. Beilau kemudian melanjutkan S3 di bidang Pemikirang
dan Peradaban Islam di International Institute of Islamic Thought and
Civilization- International Islamic University Malaysia (ISTAC UHM), dan ketika
pada kurun inilah Adian Husaini memperoleh kematangan intelektual di bawah
asuhan Wan Daud.
Selain itu ada beberapa macam bentuk pendekatan Adian Husaini dalam
mengekspresikan pemikirannya, yaitu seperti berikut ini:
a. Pendekatan Teologis. Adian Husaini mencoba membangunkan kesadaran teologis
umat Islam bahwa keyakian yang dipercayai oleh umat Islam tersebut sedang
berada dalam ancaman pemikiran barat yang notabene bertolak belakang dan
bermusuhan dengan keyakianan umat Islam.
b. Pendekatan Tafsir Normatif. Menurut beliau, salah satu medan atau wilayah
yang menjadi target utama barat dalam mengikis keyakinan dan peradaban Islam
adalah wilayah tafsir ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits. Karena dari hasil
penafsiran itulah lahir bentuk-bentuk keputusan dan sikap umat Islam dalam
kehidupan dan peradabannya. Menurut Adian Husaini, penafsiran Al-Qur’an dan
Hadits tersebut haruslah sesuai dengan asas normativitas tanpa campur tangan
hermeneutika.
c. Pendekatan Jurnalistik Kontrainformasi. Dengan kapabilitasnya dalam bidang
jurnalistik yang mumpuni, Adian Husaini mencoba menampik informasi-informasi
dari barat dengan mengemukakan premis-premis yang bersifat kontra dengan
informasi dari barat. Yang dimaksud dengan informasi di sini adalah pemikiran-
pemikiran yang terbungkus dalam berbagai macam model kemasan. Banyak
tulisan-tulisan dari Adian Husaini yang bersifat kontrainformasi dalam
menanggapi pemikiran-pemikiran barat.
d. Pendekatan History (Romantisme Sejarah). Adian Husaini yakin bahwa barat
memiliki trauma terhadap peradaban Islam yang dulu sempat menguasai dunia. Hal
ini merupakan salah satu motivasi barat untuk menghancurkan peradaban Islam.
Maka Adian Husaini mencoba membangkitakan romantisme sejarah tentang kemegahan
dan kemenangan peradaban Islam dahulu atas peradaban barat.
Selain menggunakan
pendekatan seperti diatas, Adian Husaini juga menggunakan metode yang beliau
tempuh dalam aplikasi pendekatan dan pemikirannya sebagai berikut:
a. Metode Doktriner (Media Dakwah). Dalam setiap karya dan diskusi yang beliau
berikan sejatinya memuat nilai-nilai ajakan
dan dakwah kepada Al-Qur’an dan Hadits.
dan dakwah kepada Al-Qur’an dan Hadits.
b. Metode Analisa Teks (Text Analyzing). Di samping meyakini otoritas teks Al-Qur’an
dan Hadits tanpa harus ada campur tangan penafsiran sumber-sumber baru, beliau
juga menyampaikan ide-idenya dengan mengedepankan nilai teks, dibuktikan dengan
karya-karya beliau dalam membahas berbagai permasalahan.
c. Metode Deskripsi Kritis. Beliau mendeskripsikan beberapa isu yang menjadi
perbincangan, kemudian dihadapkan kepada argumen yang beliau ajukan sebagai
pembantahnya. Contohnya adalah deskripsi beliau tentang sejarah peradaban dan
pemikiran barat sebelum beliau kritisi pemikiran dan peradaban barat tersebut
dengan argumen-argumennya.
2. Hartono Ahmad Jaiz
Dalam beberapa bukunya disebutkan bahwa nama Beliau ialah
Drs. Hartono bin Ahmad Jaiz, yang lahir pada kamis, 1 April, 1953 di Tari
Wetan, Sumber, Simo-Boyolali.[11] Hartono
sekolah di SD Sumber-Simo Boyolali 1959-1965. Tamat sekolah dasar, beliau tidak
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, tetapi masuk Madrasah
Ibtidaiyah Negeri (MIN) II di Tinawas Nogosari Boyolali 1966-1968. Hal ini
mengindikasikan ketertarikan Hartono pada disiplin ilmu agama.
Kemudian, Hartono melanjutkan studinya ke PGAN (Pendidikan
Guru Agama) 6 tahun di Solo Jawa Tengah 1968-1973. Selama belajar di PGAN Solo,
beliau mondok di Pesantren Jenengan - tempat Munawir Sjadzali, mantan Menteri
Agama, belajar di bawah asuhan KH Ma’ruf – untuk memperdalam kemampuan jelajah
turats Islami. Berikutnya masuk Fakultas Adab/Sastra Arab IAIN (Institut Agama Islam
Negeri) Sunan Kalijaga Yogyakarta 1980-1981. Sebelum dan selama menjadi
mahasiswa di institusi ini (1974-1981) bersama teman-temannya menghidupkan
jama’ah Masjid Sapen (Safinatur Rahmah) dekat rel kereta api. Sejak 1981,
sambil kuliah, Hartono mulai menapaki karir dengan mengajar di Madrasah
Tsanawiyah dan Aliyah Pesantren As-Syafi’iyah 1981-1986 Jakarta dan menjadi
Redaktur Majalah Remaja Islam “Salam” terbitan As-Syafi’iyah 1981-1982. Tidak
ditemukan rekam jejak yang dimainkan Hartono lewat majalah ini. Namun satu hal
yang perlu dicatat adalah, bahwa beliau, selain sebagai mahasiswa, pendidik,
aktivis Masjid, juga merupakan seorang yang memiliki talenta dibidang
jurnalistik.
Bakat jurnalistik Hartono semakin terasah setelah harian
Pelita mendaulatnya menjadi wartawan sejak tahun 1982 hingga 1996. kehadiran
Harian Pelita dibidani oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) setelah
dibredelnya Harian Abadi oleh Orde Baru. Terbit sejak tahun 1974 dan menjadi
alternatif koran Islam yang mengusung aspirasi perjuangan DDII dan umat Islam.
Pernah mencapai oplah di atas 200 ribu eksemplar pada kurun waktu antara 1977
dan 1982. Pencapaian oplah sebesar itu sekaligus membuat Pelita mengukir
sejarah sebagai koran yang pernah mengalahkan oplah harian Kompas, walaupun hanya
beberapa saat. Tetapi karena berbagai bentuk tekanan politik, mulai dari
pembredelan berulang-ulang, upaya persuasi tokoh-tokoh muslim dan Golkar,
hingga senjata undang-undang yang menekan dengan persyaratan modal, Harian
Pelita akhirnya melunak kepada Golkar. Sejak saat itu, Pelita menjadi koran
dengan ideologi “Islam Pembangunan”.
Berkiprah sebagai jurnalis di era “pengekangan pers” yang
sarat dengan aturan yang mengkrangkeng kebebasan berekspresi, apalagi
koresponden pada harian yang berafiliasi dengan DDII yang dianggap “kontra”
Orde Baru, adalah tidak mudah dan menjadi tantangan bagi Hartono muda yang
sesak dengan idealisme. Hartono pernah ditangkap karena pemberitaan 62 jenis
makanan diduga mengandung lemak babi pada 1989 oleh harian pelita. Diinterogasi
selama 2 hari, kendati pun pada akhirnya dinyatakan tidak bersalah oleh
Kejaksaan Agung Jakarta. Belakangan, Hartono dialihkan menjadi Kepala Bagian
Perpustakaan dan dokumentasi sampai 1997.
Sebagai komunitas DDII dan salah seorang wartawan kawakan
harian Pelita, Hartono, hampir dapat dipastikan terpengaruh dengan corak
pemikiran yang dikembangkan di lembaga tersebut. Asumsi ini ditopang oleh
kenyataan, bahwa beliau juga termasuk anggota pendiri LepHI (Lembaga Pengkajian
Hadits Indonesia) yang diketuai Ali Mustafa Ya’qub[12] di
Jakarta pada tahun 1995, dan menjadi anggota tim KISDI (Komite Indonesia untuk
Solidaritas Dunia Islam) dalam melacak daging olahan (sosis, bulatan bakso
dsb.) PT. Aroma di Denpasar Bali yang ternyata penggilingannya campur antara
daging sapi dan daging babi pada Agustus 1997. Kemudian, menjadi pengasuh
rubrik Islamika di Majalah Media Dakwah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia sejak
1998. Menjadi anggota tim editor terjemahan Tafsir Ibnu Katsir, Yayasan Imam
Syafi’i di Bogor, sejak 1999. Menjadi Ketua Lajnah Ilmiah LPPI (Lembaga
Penelitian dan Pengkajian Islam) di Jakarta sejak 1998.
Adapun terkait pemikirannya, hampir dalam setiap bukunya,
tatkala Hartono mengkritik pendapat para tokoh “liberal”, beliau menawarkan
solusi dan sistematika memahami Islam yang dianggapnya paling benar, yaitu
manhaj salafi. Menurutnya, letak kekeliruan para liberalis adalah karena mereka
meninggalkan metodologi ini. Selain itu, kedangkalan pemahaman terhadap
metodologi keilmuan Islam dan kekaguman mereka terhadap metodologi keilmuan
Barat dalam memahami agamanya memperparah kekeliruan itu. Para liberalis
misalnya, tanpa pertimbangan yang cukup matang menggunakan hermeneutik dalam
menafsirkan Al-Qur’an. Padahal menurut Hartono, metodologi itu belum tentu cocok
digunakan untuk menafsirkan Al-Qur’an yang berbeda dengan kitab suci mereka.
Karenanya menurut Hartono, para pemikir itu harus kembali
kepada manhaj (metode) Islami, yaitu manhaj salafi dalam memahami Islam. Hanya
manhaj ini yang dapat menyelamatkan mereka dari kekeliruan dalam upaya memahami
Islam.[13]
Manhaj berasal dari نهج , yang berarti طريق نهج واضح بين , jalan atau metode yang jelas dan terang.[14]
Sedangkan as-Salaf memiliki arti yang beragam. Di antaranyaما مضى و تقدم , yang telah berlalu dan terdahulu. Jika
dikatakan سلف الشئ شئا, artinya adalah مضى, yang telah lewat. Jika dikatakan سلف فلان سلفا , artinya adalah المتقدم,
telah berlalu, terdahulu. As-Salaf juga berarti الجماعة
المتقدمون, jamaah orang yang terdahulu. As-Salaf juga dapat bermaknaa القوم المتقدمون فى السير, orang-orang yang
mendahului dalam perjalanan hidup. As-Salaf juga dapat diartikan كل عمل صالح قدمته , setiap amal saleh yang terdahulu.
Terlepas dari beberapa pengertian di atas, yang dimaksud dengan as-Salaf di
sini adalah umat terdahulu (as-salaf as-salih), yaitu para sahabat, tabi’in
(orang-orang yang mengikuti sahabat), dan tabi’ut tabi’in (orang-orang yang
mengikuti tabi’in). Tiga generasi awal ini yang disebut dengan salaf as-shalih.
Sedangkan orang-orang belakangan yang berusaha menghidupkan ajaran salaf sering
disebut sebagai salafi atau salafiyah. Sesuai perkembangannya, salafiyah
menjadi gerakan yang berusaha menghidupkan ajaran kaum Salaf (Sahabat, Tabi’in,
dan Tabi’ut Tabi’in) yang bertujuan agar umat Islam kembali kepada Al-Qur’an
dan hadits serta meninggalkan pendapat ulama mazhab yang tidak berdasar dan
segala bid’ah yang tersisip di dalamnya.[15]
Umat terdahulu dalam memahami Islam memiliki metode yang disebut dengan
manhaj salafi. Metode tersebut merupakan metode terbaik sesuai sabda Rasulullah
saw yang diriwayatkan oleh Bukhari[16] dan
Muslim[17] sebagai
berikut:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِى ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ
يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَجِىءُ مِنْ بَعْدِهِمْ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَتُهُمْ
أَيْمَانَهُمْ
Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian setelahnya, kemudian
setelahnya. Kemudian akan datang suatu kaum setelah mereka bersaksi namun tidak
diminta kesaksiannya.
Mengacu kepada hadits di atas, maka generasi terbaik dan metode memahami Islam
terbaik adalah metode yang merujuk kepada metodologi yang digunakan para Salaf
as-Salih sebagai dikemukakan hadits tersebut.
Menurut Hartono, manhaj salafi yang juga sering menyebut kelompoknya Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah,[18] dalam memahami Islam mengacu kepada ketentuan berikut:
Menurut Hartono, manhaj salafi yang juga sering menyebut kelompoknya Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah,[18] dalam memahami Islam mengacu kepada ketentuan berikut:
a. Al-Qur’an sebagai sumber dalil naqli dan aqli.
b. Mengikuti Salaf as-Salihin dalam menafsirkan nas.
c. Beriman kepada masalah-masalah gaib terbatas pada berita yang benar atau
sah (khabar shadiq).
d. Pembagian tauhid kepada Rububiyah dan Uluhiyah dan kewajiban meyakini
keduanya.
e. Mengisbatkan (menetapkan) nama dan sifat Allah, dan mengakui maknanya tanpa
mencoba membicarakan kaifiyatnya.
f. Menolak takwil.
g. Membatasi akal dari memikirkan yang bukan bidangnya.
h. Membatasi makna mutasyabih dan menjelaskan bahwa Al-Qur’an itu seluruhnya
jelas dan dapat ditafsir.
i. Pengaruh sebab-sebab alam bagi akibat yang ditimbulkannya dengan izin
Allah.
j. Baik dan buruk dalam tindakan adalah bersifat aqli dan syar’i.
k. Tidak boleh mengkafirkan seorang muslim karena perbuatan dosa yang
diikhtilafkan dan bukan dosa syirik besar.
3. Adnin Armas
Lahir di Medan 2 September 1972.
Saat ini ia kandidat doktor bidang Pemikiran Islam di ISTAC-IIUM (International
institute of Islamic Thought and
Civilization – International Islamic Uneversity Malaysia)[19]Adnin
Armas, menyelesaikan pendidikan menengahnya di Pondok Pesantren Modern
Darussalam Gontor Ponorogo tahun 1992 dan melanjutkan ke Universitas Islam
Antarabangsa Malaysia (UIA), dalam bidang Filsafat. Lulus S1 dari UIA, Adnin
Armas melanjutkan pendidikan S2 di International Institute of Islamic Thought
and Civilization (ISTAC) bidang Pemikiran Islam (Islamic Thought). Di kampus
ini Adnin belajar langsung kepada S.M.N al-Attas. Adnin kemudian memperoleh
gelar M.A. dari ISTAC dengan tesis berjudul Fakhruddin al-Razi on Time
pada tahun 2003. Kini, pria kelahiran Medan tahun 1972 ini menjabat sebagai
Ketua Yayasan INSISTS Bina Tamaddun Islam, merangkap sekretaris MIUMI pusat dan
Pemimpin Redaksi Majalah Gontor.
Adnin Armas M.A, adalah direktur eksekutif Institute for the Study
of Islamic Thought and Civilization (INSISTS), Jakarta. Saat ini tercatat
sebagai tenaga pengajar di ISID Gontor dan Redaktur ahli Majalah Gontor. Ia
telah menerbitkan beberapa karya seperti Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an
(Diterbitkan Gema Insani Press tahun 2005). Buku ini telah direkomendasikan
sebagai bacaan wajib di University Malaya dan Universitas Kebangsaan Malaysia.
Satu buku lagi berjudul Pengaruh Kristen Orientalis terhadap Islam Liberal
(diterbitkan Gema Insani Press tahun 2003).
4.
Daud Rasyid
Dr. Daud Rasyid, MA lahir di Tanjung Balai, sebuah kota kecil di
pesisir pantai Sumatera Utara pada hari Senin tanggal 3 Desember 1962 Masehi
bertepatan dengan tanggal 5 Rajab 1382 Hijriyah.[20]
Daud Rasyid adalah putera tunggal alm. Bapak Harun al-Rasyid dan alm. Ibunda
Hajjah Nurul Huda, seorang pendidik dan ustazah di kota itu.
Masa kecilnya dihabiskan belajar pagi-sore di sekolah formal. Pagi,
belajar di sekolah umum dan sore belajar di Madrasah. Malam hari dan hari libur
diisi dengan belajar non-formal kepada para syaikh dan Ustaz di daerahnya.
Tahun 1980, setelah tamat SMA dan Aliyah, ia meninggalkan kota kelahirannya,
merantau ke Medan untuk mengecap pendidikan tinggi di IAIN Medan dan di USU.
Namun itu hanya tiga tahun dilaluinya. Baru saja menyelesaikan B.A dari IAIN,
dibukalah kesempatan untuk belajar ke Al-Azhar melalui beasiswa Al-Azhar yang
disalurkan melalui IAIN.
Daud, yang semasa mahasiswanya aktif di Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI) ini, pada awalnya tidak terlalu serius mengikuti tes beasiswa itu, karena
studinya yang rangkap di USU dan di IAIN harus ia selesaikan. Namun, apa mau
dikata, ketika diumumkan, ia lulus ranking satu dalam seleksi itu.
Di Mesir, hari-harinya ia habiskan belajar tidak saja di
lembaga-lembaga formal, seperti di Fak. Syari`ah wa al-Qanun, Al-Azhar, tetapi
juga kepada para `Ulama Mesir. Majma` al-Buhuts al-Islamiyah (Institut Riset Islam)
di Al-Azhar adalah salah satu tempat Daud menimba ilmu kepada ulama-ulama
terkemuka di Azhar, seperti Syaikh Abdul Muhaimin, Ustaz Sa`ad Abdul Fattah dan
lain-lainnya.
Riwayat pendidikannya yaitu pada tahun 1980-1983 belajar di Fak. Syari'ah IAIN Sumatera Utara, Medan,
selesai Sarjana Muda (B.A) dengan yudisium : "Memuaskan". Tahun
1981-1983 belajar di Fak. Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Dan
pada tahun 1984-1987 belajar di Fak. Syari'ah wal-Qanun (Syari'ah dan Hukum)
Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.
Kemudian pada tahun 1987-1990 belajar di program Pascasarjana (S2)
Fakultas Darul 'Ulum (Studi Islam dan Arab) Universitas Kairo, jurusan
"Syari'ah" dan lulus Master (M.A.) dalam bidang "syari`ah"
dengan judicium : "Cum Laude" (mumtaz). Judul tesis : "Marwiyyat
al-Hakam ibn 'Utaibah wa fiqhuhu" (Hadits-hadits riwayat Imam Al-Hakam ibn
'Utaibah dan Metodologi Fiqhnya).
Selanjutnya Daud melanjutkan studinya pada tahun 1994-1996 menempuh
program Doktor (S3) di Fak. Darul 'Ulum, Universitas Kairo dan meraih
"Doktor" (PhD) dalam bidang "Syari`ah" dengan yudicium
"Summa Cumlaude" (mumtaz bi martabat syaraf `ula) dengan judul
disertasi : "Juhud 'Ulama` Indonesia fi as-Sunnah" (Jasa-jasa Ulama
Indonesia di bidang Sunnah").[21]
Studi informalnya ditempuh di masjid-masjid dan di rumah syuyukh
Mesir. Ia pernah berguru kepada almarhum Syeikh Hasanain Makhluf, mantan Grand
Mufti Mesir. Juga Dr. Abdussattar Fatahallah Sa`id, ahli Tafsir di Azhar.
Syaikhnya di bidang Hadits adalah Dr. Rif`at Fauzi, guru besar di Dar al-`Ulum,
Universitas Kairo. Syaikh Rif`at tidak saja gurunya di kampus, tetapi lebih
mendalam lagi di luar kampus. Ia membaca kutub al-Sittah, Muwatto' Malik,
Muqaddimah Ibnu al-Shalah dan karya-karya hadits lainnya secara talaqqi.
Sampai-sampai Dr. Rif`at mempercayakan perpustakaannya untuk dipegang oleh
penerjemah ( Daud Rasyid), selama ia bertugas ke luar negeri. Ia juga banyak
belajar dari Dr. `Abdushshobur Syahin, pemikir kondang Mesir dan senantiasa
aktif mengikuti ceramah dan khutbah Syahin di Mesir.
Yang banyak membentuk pola pikir Daud adalah gurunya Prof. Muhammad
Boultagi Hasan, pakar Ushul Fiqh di Dar al-`Ulum, Kairo. Begitu juga Syekh
Yusuf al-Qaradhawi yang kitab-kitabnya senantiasa diikuti oleh penerjemah.
Tahun 1993 ia kembali ke Mesir untuk melanjutkan studinya (program
doktor) di Fakultasnya semula. Di Fakultas yang telah mengeluarkan sejumlah
pemikir besar di Arab dan sejumlah Syahid, di antaranya Imam Hasan Al-Banna
ini, ia dibimbing oleh Dr. Muhammad Nabil Ghanayim. Lebih kurang tiga tahun,
disertasinya rampung, dan di depan sidang yang beranggotakan Prof. Boultagi,
Prof, Rif`at dan Prof. Nabil, ia berhasil mempertahankan disertasinya dan
meraih gelar Ph.D. dalam bidang Syari`ah, Universitas Kairo dengan nilai Summa
Cum Laude.
Selesai studi, ia segera kembali ke tanah air dan menjumpai ibu
tercinta di kampung halamannya, dengan empat orang putera: `Aisyah, Usamah,
Ummu Hani dan Bilal. Sesampainya di Jakarta tahun 1996, ia diminta oleh Prof.
Harun Nasution, untuk mengajar di Fak. Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta.
Semula
Daud Rasyid termasuk mahasiswa yang gandrung dengan pemikiran tokoh-tokoh
liberalis-sekularis. Sebut saja, misalnya, pemikiran almarhum Nurcholis Madjid,
alias Cak Nur. "Iya, saya pernah mengagumi pemikiran Cak Nur. Buku-bukunya
saya baca," katanya.
Dijelaskannya,
dirinya sempat menjadi peminat pemikiran liberalis-sekularis lantaran saat
menjadi mahasiswa Fakultas Syari'ah IAIN Sumatera Utara (Sumut), Daud adalah
aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). "Dulu, yang namanya anak HMI pasti
membaca buku-buku Cak Nur," akunya.
Namun,
episode ini tak berlangsung lama. Setelah lulus dari IAIN Sumut, Daud lantas
hijrah ke Mesir. Di negeri Sungai Nil inilah, ia mengalami perubahan paradigma
secara drastis. Melalui kegiatan membaca karya-karya tokoh-tokoh sekular dan
tokoh-tokoh Islamis Mesir dan dunia Arab, pandangan Daud berbalik 180 derajat.
Ia tahu dan sadar benar, ternyata pandangan hidup dan pemikiran sekular adalah
keliru. Dari situlah Daud Rasyid mengikuti jejak Sayyid Qutb. Yakni, kritis
terhadap pemikiran dan gaya hidup Barat.
D. Pokok-Pokok
Kritik atas Islam Liberal
1.
Adian Husaini
Sebagai salah satu dari insider yang mumpuni
pemahamannya dalam kajian agama, Adian Husaini berdiri dan mengemuka dengan
bekal pemikiran yang tentunya urgen untuk diperhitungkan dalam perbincangan
publik, khususnya dalam ranah diskusi keagamaan. Secara garis besar pemikiran
Adian Husaini mengerucut menjadi tiga bentuk yaitu sebagai berikut:[22]
a.
Pluralisme- Liberalisme
Adian Husaini juga
fokus membahas pluralisme-sekularisme agama-liberalisme. Beliau menilai bahwa
liberalisme dan pluralisme adalah alat yang digunakan barat untuk merusak agama
dan peradaban Islam, serta menghapus trauma barat terhadap supremasi peradaban Islam
yang sempat mereka saksikan dahulu. Ada kecurigaan bahwa barat sengaja
menciptakan konsep-konsep semacam liberalisme dan pluralisme untuk meruntuhkan
moralitas Islam dalam tubuh umat Islam. Dalam bukunya yang berjudul “Islam
Liberal” dijelaskan tentang persepsi salah serta penyimpangan-penyimpangan yang
dilakukan barat dalam bingkai liberalisme dan pluralisme. Kemudian pemikiran
beliau akan liberalisme ini pun kembali dibahas dalam bukunya yang berjudul Wajah
Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal, bahwa di
balik liberalisme dan sekularisme terdapat kepentingan barat untuk menguasai
peradaban.[23]
Islam liberal merupakan
fenomena mutakhir gerakan kontemporer pemikiran Islam yang di Indonesia banyak
dimotori oleh kalangan muda Islam yang banyak menimbulkan tanggapan
kontroversial dari kalangan umat Islam itu sendiri. Sebenarnya ada beberapa
gerakan Islam liberal di Indonesia pasca revormasi. Namun yang paling terkenal
dan menentang arus pemikiran di Indonesia adalah gerakan pemikiran yang
dimotori oleh kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL) yang digerakan oleh tokoh
tokoh muda seperti Ulil Absar Abdalla dan kawan kawannya.
Beragam tanggapan dan
respon yang muncul mengenai pemikiran liberal khususnya di Indonesia. Ada
kelompok yang tidak begitu antusia dalam menanggapinya, ada pula sebagian
kelompok yang sangat serius menanggapinya karena dianggap menentang akidah Islam
bahkan ada kelompok radikal yang menghalalkan darah Ulil Abshar Abdalla dan
kawan kawannya yang tergabung dalam Jaringan Islam Liberal (JIL). Adian Husaini
merupakan salah satu sosok penentang keberadaan JIL di Indonesia. Dia begitu
aktif dan kontra ketika berhadapan dengan paham-paham baru yang dirasa dapat
merusak citra agama Islam. Berbagai upaya dilakukannya untuk memerangi
paham-paham baru tersebut dengan menyuguhkan argumentasi-argumentasi yang tidak
dapat dipandang sebelah mata.
Menurutnya, sebenarnya
sikap pro kontra terhadap gerakan Islam liberal terutama Jaringan Islam Liberal
(JIL) dapat dipetakan menjadi dua yaitu: dalam bentuk fisik dan intelektual.
Dalam bentuk intelektual dapat dilihat dari terbitnya berbagai buku baik yang
menghujat maupun menanggapinya secara positif. Beberapa penulis yang menentang
JIL yang dibukukan antara lain Adian Husaini, Adnin Armas, Yudhi R. Haryono,
Hartono Ahmad Jaiz dan Fauzan Al Anshari. Sementara ada juga yang mencoba
berfikir obyektif, ilmiah, menjadikan JIL sebagai fokus bahasan untuk menyusun
skripsi, tesis maupun disertasi. Ada juga yang secara aktif menantang gagasan
gagasan JIL dengan menerbitkan bulletin setiap jum’at seperti yang dilakukan
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
JIL dianggapnya sebagai
paham yang sangat liberal, yang dapat dengan mudah merusak keislaman seseorang,
apalagi yang tidak terlalu memahami kajian keislaman dengan baik. Oleh karena
itu, dia menjadi salah satu sosok yang menentang keberadaan JIL.
b.
Wacana Tafsir
Sesuai dengan latar
belakang pendidikannya yang berkonsentrasi pada kajian Tafsir dan Hadits ketika
beliau kuliah, maka wacana yang ada dalam pemikiran beliau pun tidak akan lari
jauh dari kontek Tafsir. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam sebagian besar karya
beliau adalah kajian tentang Tafsir. Dan dalam kajian ini, bagian yang paling
disinggung oleh Adian Husaini adalah tentang penggunaan hermeneutika sebagai
salah satu instrumen dalam memahami dan mengkaji tafsir Al-Qur’an. sebut saja
dalam karyanya yang berjudul “Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an”, beliau
mempertanyakan tentang keabsahan dan kelayakan hermeneutika sebgai metode ilmu
tafsir serta akibat dari penggunaan hermenneutika tersebut dalam pemikiran umat
muslim secara keseluruhan. Menurut Adian Husaini, Hermeneutika adalah produk
barat yang akan digunakan untuk menghancurkan keyakinan dan pemikiran umat Islam.
Euforia penerapan
hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’anyang gencar disuarakan oleh kalangan
akademisi muslim, cukup menjadi bukti nyata kesuksesan Barat-Kristen dalam
menghegemoni dunia Islam. Barat kini bukan hanya menghegemoni dunia Islam dalam
aspek politik, ekonomi, militer, sosial dan budaya. Globalisasi atau
westernisasi bukan hanya berlangsung dalam aspek 3F (Food, Fun, Fashion), seperti
disebutkan John Naisbitt, tetapi juga 1T (Tought).[24]
Fenomena merebaknya
hermeneutika di kalangan akademisi Islam juga tidak terlepas dari hegemoni
pemikiran Barat dalam studi Islam. Hermeneutika kini, di berbagai perguruan
tinggi Islam, bagaikan wabah yang menjangkiti sarjana muslim. Banyak yang
terjangkit, tetapi merasa bangga, karena menemukan sesuatu yang baru. Karena
merasa mainan baru ini akan membawa kemaslahatan umat, maka ‘barang lama’
berupa tradisi Islam dikecam dan mau dicampakkan begitu saja.
Bagi mereka,
hermeneutika dapat memperkaya dan dijadikan alternatif pengganti metode tafsir
tradisional yang dituduh ahistoris (mengabaikan konteks sejarah) dan uncritical
(tidak kritis). Kalangan ini tidak menyadari bahwa hermeneutika sesungguhnya
sarat dengan asumsi-asumsi dan implikasi teologis, filosofis, epistemologis dan
metodologis yang timbul dalam konteks keberagamaan dan pengalaman sejarah
Yahudi dan Kristen.
Sebagai hal baru yang
masuk dalam tradisi keilmuan Islam, hermeneutika seyogyanya dikaji secara
cermat, sebelum memutuskan, metodologi interpretasi Bibel ini dapat
diaplikasikan untuk menggantikan metode tafsir Al-Quran. Jika ditelaah,
ternyata hermeneutika memang berasal dari tradisi Kristen/Yahudi yang kemudian
diadopsi oleh para teolog dan filosof Barat modern menjadi metode interpretasi
teks secara umum. Hermeneutika berkembang dalam tradisi Kristen dan intelektual
Barat, karena memang berangkat dari teks Bibel dan doktrin teologis Kristen
yang mengandung banyak sekali masalah di mata para cendekiawannya sendiri. Dan,
kini hermeneutika hendak diterapkan untuk menafsirkan Al-Quran.[25]
Di awal abad ke-20,
hermeneutika menjadi sangat filosofis. Interpretasi merupakan interaksi
keberadaan kita dengan wahana Sang Wujud (Sein) yang memanifestasikan dirinya
melalui bahasa, ungkap Heidegger. Yang tak terelakkan dalam interaksi tersebut
adalah terjadinya ‘hermeneutic circle’, semacam lingkaran setan atau proses tak
berujung-pangkal antara teks, praduga-praduga, interpretasi, dan peninjauan
kembali (revisi). Demikian pula rumusan Gadamer, yang membayangkan interaksi
pembaca dengan teks sebagai sebuah dialog atau dialektika soal-jawab, di mana
cakrawala kedua belah pihak melebur jadi satu (Horizontverschmelzung), hingga
terjadi kesepakatan dan kesepahaman. Interaksi tersebut tidak boleh berhenti,
tegas Gadamer. Setiap jawaban adalah relatif dan tentatif kebenarannya,
senantiasa boleh dikritik dan ditolak. Habermas pergi lebih jauh. Baginya,
hermeneutika bertujuan membongkar motif-motif tersembunyi (hidden interests)
yang melatarbelakangi lahirnya sebuah teks. Sebagai kritik ideologi,
hermeneutika harus bisa mengungkapkan pelbagai manipulasi, dominasi, dan
propaganda di balik bahasa sebuah teks, segala yang mungkin telah mendistorsi
pesan atau makna secara sistematis.
Hermeneutika tidaklah
layak disinonimkan dengan tafsir Al-Quran, yang memiliki konsep yang jelas,
berurat serta berakar di dalam Islam. Hermeneutika dibangun atas paham
relativisme. Hermeneutika menggiring kepada gagasan bahwa segala penafsiran
Al-Qur’anitu relatif, padahal fakta empiris menunjukkan para mufasir yang
terkemuka sepanjang masa tetap memiliki kesepakatan-kesepakatan. Jika
hermeneutika tetap digunakan sebagai sebuah sinonim terhadap tafsir, akan
mengimplikasikan bahwa berbagai problematika yang ada di dalam hermeneutika,
juga terjadi di dalam Al-Quran, padahal tidak seperti itu.
Setidaknya ada tiga
persoalan serius apabila hermeneutika diterapkan untuk menafsirkan Al-Quran.
Pertama, memunculkan sikap kritis yang terkadang berlebihan dan curiga terhadap
Al-Quran. Kedua, teks Al-Qur’anakan dipandang sebagai produk budaya yang
dipengaruhi oleh kondisi sosio-historis Arab dan diabaikan dari hal-hal yang
sifatnya transenden (ilahiyyah). Ketiga, memunculkan relativisme tafsir,[26]sehingga
kebenaran tafsir itu menjadi sangat relatif, yang pada gilirannya menjadi repot
untuk diterapkan. Berbagai persoalan itu akan benar-benar muncul, apabila
hermeneutika dijadikan metode untuk memahami Al-Quran. Karena, hermeneutika
yang berasal dari tradisi Yunani, kemudian berkembang sebagai metodologi
penafsiran Bibel, yang kemudian dikembangkan oleh para teolog dan filosof di
Barat sebagai metode penafsiran secara umum dalam ilmu-ilmu sosial dan
humaniora dan sekarang banyak dikampayekan oleh kaum liberalis, ia jelas tidak
bebas-nilai. Ia mengandung sejumlah asumsi dan konsekuensi.
Hermeneutika
menghendaki pelakunya untuk menganut relativisme epistemologis. Tidak ada
tafsir yang mutlak benar, semuanya relatif. Yang benar menurut seseorang, boleh
jadi salah menurut orang lain. Kebenaran terikat dan bergantung pada konteks
(zaman dan tempat) tertentu. Selain mengaburkan dan menolak kebenaran, paham
ini juga akan melahirkan mufasir-mufasir palsu dan pemikir-pemikir yang tidak
terkendali (liar). Adian Husaini menyebutkan ada tiga dampak negatif
hermeneutika jika diterapkan sebagai metodologi memahami Al-Quran. Dampak
negatif tersebut akan merusak cara pandang, pemikiran, pemahaman dan bahkan
perilaku umat.
Pertama, memunculkan
relativisme tafsir. Paham relativisme tafsir ini sangat berbahaya, sebab: (1)
Menghilangkan keyakinan akan kebenaran dan finalitas Islam, sehingga selalu
berusaha memandang kerelativan kebenaran Islam. (2) Menghancurkan bangunan ilmu
pengetahuan Islam yang lahir dari Al-Qur’andan Sunnah Rasul yang sudah teruji
selama ratusan tahun. Padahal, metode hermeneutika Al-Qur’anhingga kini masih
merupakan upaya coba-coba beberapa ilmuwan kontemporer yang belum membuahkan
pemikiran Islam yang utuh dan komprehensif. Akibatnya, para pendukung
hermeneutika tidak akan mampu membuat satu tafsir Al-Qur’anyang utuh. Mereka
hanya berkutat pada masalah dekonstruksi sejumlah konsep/hukum Islam yang sudah
dipandang baku dalam Islam. (3) Menempatkan Islam sebagai agama sejarah yang
selalu berubah mengikuti zaman. Bagi mereka tidak ada yang tetap dalam Islam.
Hukum-hukum Islam yang sudah dinyatakan final dan tetap (tsawabit) akan
senantiasa bisa diubah dan disesuaikan dengan perkembangan zaman. Saat ini,
sejalan dengan arus liberalisasi Islam, sudah banyak yang berani menghalalkan
hukum-hukum yang sudah pasti, seperti haramnya muslimah menikah dengan
laki-laki non muslim, dan haramnya perkawinan homoseksual.
Kedua, hermeneutika
menyuburkan sikap curiga dan mencerca ulama Islam. Para pendukung metode ini
juga tidak segan-segan memberikan tuduhan yang membabi buta terhadap para ulama
Islam yang terkemuka, seperti Imam Syafi’i, yang berjasa merumuskan metodologi
keilmuan Islam, yang tidak dikehendaki oleh para pendukung hermeneutika.
Ketiga, hermeneutika memunculkan dekonstruksi konsep wahyu. Sebagian
pendukung hermeneutika memasuki wilayah yang sangat rawan dengan mempersoalkan
dan menggugat otentisitas Al-Qur’ansebagai kitab yang lafzhan wa ma’nan
minallah (lafazh dan maknanya dari Allah). Dan, hal ini sangat berbahaya
sekali, karena bersentuhan langsung dengan masalah akidah Islam.
c.
Barat vs Islam
Secara tidak langsung Adian Husaini telah ikut serta menempatkan diri dalam
pergulatan Barat vs Islam yang telah diciptakan oleh beberapa tokoh sebelumnya.
Beliau berpendapat bahwa telah terjadi gap yang berakhir pada permusuhan antar Islam
dan Barat. Barat begitu gencar melakukan perlawanan terhadap Islam dengan
hard-fighting dan soft-fighting. Kemudian beliau juga mengenalkan konsep
ghazwul fikri atau perang pemikiran yang telah ditabuhkan sejak lama. Barat
terus menciptakan “senjata-senjata” semacam hermeneutika, pluralisme, dan
liberalisme untuk merontokkan hegemoni peradaban Islam. Oleh karena itu, faith
protecting merupakan pemikiran yang paling utama dari seorang Adian Husaini.
Aktivitas dan gerakan-gerakan ilmiah dan keagamaannya, serta jenis kajian
lainnya adalah beertujuan untuk melakukan pemeliharaan akidah umat Islam dari
pengaruh liberalisme, sekularisme, pluralisme, hermeneutika, serta
produk-produk barat lainnya yang diasumsikan dapat mengancam keyakinan umat Islam.
Tema inti dari karya-karya serta diskusi beliau adalah penyadaran umat Islam
terhadap ancaman dan teror barat yang diyakini senantiasa “mengintai” umat Islam.
Atau dapat dikatakan bahwa orientasi dari setiap buah pemikiran beliau adalah
upaya penjagaan akidah umat Islam.
2. Hartono Ahmad Jaiz
Kendatipun Hartono berbicara dan menulis tentang
banyak hal, tetapi konsern utamanya fokus pada upaya meluruskan akidah umat.
Upaya itu menurut beliau sangat penting di tengah berkembangnya paham liberal,
pluralis dan bid’ah.Karya-karyanya pun mayoritas merupakan reaksi terhadap
tulisan-tulisan tokoh yang dianggapnya pengusung liberalisme, pluralisme, dan
bid’ah. Hampir semua wacana yang dilontarkan tokoh-tokoh “JIL”, telah
ditanggapi oleh Hartono. Mulai dari diskursus jilbab, murtad, pendekatan
hermeneutika dalam menafsirkan Al-Qur’an, dan sebagainya.
Begitu banyak wacana yang beliau tulis, sehingga tidak
mungkin untuk dikembangkan dalam makalah sederhana ini. Pemakalah hanya akan
mengurai sebagiannya saja.
a. Tentang IAIN
Menurut Hartono,
sebenarnya, masyarakat sangat membutuhkan alumni IAIN untuk membimbing keislaman.
Namun kebutuhan itu tidak terpenuhi dengan baik, lantaran sajian yang diberikan
oleh alumni IAIN, kebanyakan tidak sesuai standar ilmu Islam. Ilmu Islam yang
beliau maksud adalah sebagai berikut:
Ilmu Islam itu
materinya Al-Qur’an dan As-Sunnah, sedang manhaj (metode pemahaman) yang
selamat adalah manhaj salafus shalih. Yaitu metode pemahaman generasi terbaik
dalam Islam, yakni Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’it Tabi’in; yang semua itu sudah
disusun ilmu-ilmunya oleh para ulama, dan sampai kepada kita sekarang ini.
Semua itu bisa diverifikasi, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang
shahih dan mana yang dho’if/ lemah bahkan palsu (maudhu’). Sehingga sampai
sekarang tetap ketahuan, mana yang benar-benar sabda Nabi saw dan yang bukan.
Bahkan sampai perkataan para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan ulama yang
terkemuka pun bisa dilacak. Jadi keutuhan sumber Islam itu masih terjaga,
bahkan penjelasan-penjelasannya pun masih terjaga dan bisa dideteksi shohih
tidaknya.[27]
Buku Ada Pemurtadan di
IAIN adalah dalam rangka menunjukkan bukti-bukti kenyelenehan (keanehan)
pendapat yang muncul dari kampus-kampus Perguruan Tinggi Islam di Indonesia,
yakni di IAIN (Institut Agama Islam Negeri), UIN (Universitas Islam Negeri),
STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) , dan STAIS (Sekolah Tinggi Agama Islam
Swasta) di Indonesia, dan apa yang melatar belakanginya. Kenyelenehan itu sudah
merajalela ke mana-mana dan telah membahayakan bagi Islam dan umatnya, apalagi
justru ada gejala bahwa kenyelenehan itu menjadi sistem pendidikan tinggi Islam
di Indonesia, yang arahnya menjauhkan umat Islam dari agamanya yang benar.
Realitas ini menurut Hartono, mirip dengan pembunuhan berencara dan sistematis
terhadap akidah umat, sebagaimana ia nyatakan: Pembunuhan secara fisik
yang terjadi di mana-mana di dunia ini, biasa disebut sebagai kesadisan. Namun
pembunuhan secara non fisik yaitu membunuh iman tauhidi diganti dengan
kemusyrikan dengan nama pluralisme agama adalah lebih sadis dibanding pembunuhan
fisik. Apalagi pembunuhan iman ini justru dilaksanakan secara sistematis,
terencana rapi, dan secara serempak, didanai oleh negeri ini dan Barat. Maka
jauh lebih sadis dibanding pembunuhan massal. Karena, orang-orang yang dibunuh
fisiknya, ketika mereka itu imannya di dada masih utuh, maka insya Allah masuk
surga. Sedang kalau pembunuhan massal itu yang dibunuh adalah iman di dada, di
ganti dengan kemusyrikan yang namanya dimenterengkan menjadi pluralisme agama,
maka jurusannya adalah neraka selamanya. Baik pembunuhan iman maupun
pembengkokan pemahaman Islam serta penjauhan umat dari sumber-sumber otentik/
murni Islam, semuanya itu adalah aksi sadis yang memusuhi Islam dan umatnya.[28]
Bahkan, pada tingkat
tertentu, menurut beliau akan menggiring mahasiswa kepada murtad. Maka jadilah
IAIN mesin yang memproduksi manusia-manusia murtad dan akan memurtadkan umat.
Hal itu karena materi yang diajarkan di IAIN tidak utuh, metode pengajarannya
tidak benar, karena tidak mengacu kepada manhaj salaf as-salih dan tidak
merujuk kepada Al-Qur’an dan sunnah secara utuh Beliau menyatakan: ”Materi Islam
yang memang masih utuh dan perlu didakwahkan kepada masyarakat itu tidak
dimiliki oleh para alumni IAIN –kecuali sebagian kecil yang rajin menuntut ilmu
sendiri--, karena memang di perguruan tinggi yang labelnya Islam itu tidak
menyajikannya sedemikian itu. Justru di sana disajikan pemikiran-pemikiran dan
sejarah budaya, sebagai mata kuliah dasar, yang itu semua bukan materi Islam,
dan cara mengajarkannya tanpa sanad (pertalian riwayat), hingga bukan mengikuti
manhaj Islami. Pengajarannya secara liar, yaitu dibebaskan berkomentar semau
pikiran masing-masing. Tidak mengherankan kalau ada mahasiswa yang dengan
lantang mengecam Abu Bakar ra, Umar ra, Utsman ra dan sebagainya. Karena system
pengajarannya tidak dirujukkan kepada Al-Qur’an dan Assunnah, dan tidak pakai
manhaj yang ditempuh para ulama salafus shalih. Bahkan ketika membicarakan
pemikiran sekte-sekte sesat, misalnya Ahmadiyah yang mengangkat nabi palsu
Mirza Ghulam Ahmad pun tidak dirujukkan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan
pemahaman yang benar, tetapi pakai pemahaman Ahmadiyah itu pula. Akibatnya,
semua sekte sesat pun dianggapnya sah-sah saja. Dan itu kemudian ditingkatkan
kepada pemikiran jenis tasawuf falsafi yang sampai menganggap alam ini
perwujudan Tuhan, hingga menyembah patung pun dianggapnya menyembah Tuhan,
karena patung itu perwujudan Tuhan. Faham wihdatul wujud ini jelas kufur. Dan
itulah pemurtadan. Masih pula ditambah lagi dengan pemikiran filsafat, yang
memasukkan Ar-Razi yang tak percaya kepada kenabian dan wahyu ke dalam mata
kuliah filsafat Islam. Materi-materi yang memurtadkan itu diberi label Sejarah
Pemikiran Islam, dan justru menjadi mata kuliah dasar, semua mahasiswa harus
ikut. Dan kalau swasta harus ujian negeri. Akibatnya, ketika para alumni IAIN
itu keluar, bergelar sarjana agama, master agama, dan doktor ilmu agama, mereka
tidak berbekal materi Islam yang utuh, tetapi hanya berbekal landasan
pemikiran-pemikiran, sejarah budaya peradaban dan semacamnya. Hingga ketika
dibutuhkan untuk menyajikan materi Islam yang utuh, mereka menggunakan
logika-logika, bahkan ada yang pakai cerita-cerita rekaan dan duga-duga.[29]
Pokok masalahnya
berawal dari adopsi terhadap pemikiran Harun Nasution dan Mukti Ali (para
petinggi di IAIN dan Departemen Agama masa lalu). Sehingga berakibat pada
perubahan sistem pengajaran, kurikulum, dan pola rekruitmen dosen yang
kebanyakan produk orientalis dan berasal dari universitas-universitas Barat.
Solusinya menurut beliau adalah, kembali kepada jalan yang benar, dengan
mengembalikan pendidikan Islam kepada pemahaman Al-Qur’an dan As-Sunnah secara
manhaj yang benar, secara sistematis dan intensif. Wadahnya sudah ada,
tenaga-tenaganya pun tinggal difungsikan serta direkrut; sedang sistemnya
tinggal disusun lalu diprogramkan dan dilaksanakan.[30]
b. Tentang Islam Liberal (JIL)
Menurut Hartono, Islam
liberal bukan merupakan nama baku dari satu kelompok Islam, namun hanyalah satu
kategori untuk memudahkan analisis. Buktinya, orang-orang yang dikategorikan
dalam Islam liberal itu sendiri ada yang saling berjauhan pendapatnya, bahkan
yang satu mengkritik tajam yang lain. Misalnya, Ali Abdul Raziq dari Mesir yang
menulis buku Al-Islăm wa Usŭl al-Hukm dikritik tajam oleh Rasyid Ridha dan
Dhiyauddin Rayis. Namun yang dikritik maupun pengkritiknya itu kedua belah
pihak dimasukkan dalam kategori IslamLiberal, sebagaimana ditulis dalam buku
Charles Kurzman, Liberal Islam: A Sourcebook. Padahal, di kalangan Islam
revivalis (salafi), Rasyid Ridha adalah seorang salaf, yang diakui sebagai
ulama yang menguasai Hadits pula.[31]
Sebagai sebuah
kategorisasi, para pengusung Islam Liberal, sangat salah jika dinobatkan
sebagai pembaharu. Pembaharu adalah tempat terhormat yang tidak layak diberikan
kepada para penyebar fitnah dan kriminal.[32] Dengan
mengutip Kurzman, Hartono menjelaskan kesalahan yang beliau lakukan yaitu:
Kurzman yang alumni
Harvad dan Berkeley itu menyebut para tokoh Islam Liberal sebagai orang-orang
yang mengadakan pembaruan lewat pendidikan, dengan memakai sistem pendidikan
non Islam alias Barat. Maka secara umum, tokoh-tokoh Islam Liberal itu
menurutnya, adalah orang-orang modernis atau pembaharu.[33]
Contoh kekeliruan paham
Islam Liberal tersebut dapat ditelisik dari tulisan Nurcholish Madjid berikut
ini:
“Islam adalah al-Din
bukan agama semata-mata, melainkan juga meliputi bidang lain, yang akhirnya
melahirkan apresiasi ideologis-politis totalier, itu tidak benar ditinjau dari
beberapa segi. Pertama ialah segi bahasa. Di situ terjadi inkonsistensi yang
nyata, yaitu perkataan al-Din dipakai juga untuk menyatakan agama-agama yang
lain, termasuk agama syirk-nya orang-orang Quraisy Makkah. Jadi arti kata itu
memang agama; karena itu, Islam adalah agama.”[34]
Menurut Hartono,
sistematika berpikir dengan cara membolak-balik istilah lewat bahasa semacam
itu, sering menjadikan orang yang tidak paham, menjadi bingung. Namun bagi yang
paham, justru bisa mengatakan, seperti kata Pak Rasyidi, pemikiran semacam itu
berbahaya karena pemikirannya sederhana. Memang berbahaya, karena logikanya
sangat sederhana. Islam itu al-Din, sedang al-Din itu digunakan untuk nama
agama lain, yang semua agama itu, dia anggap tidak mengatur negara. Jadi Islam
juga tidak ada urusannya dengan negara. Padahal, menurut Hartono, kata al-Din
ada yang berarti undang-undang, seperti dalam Surat Yusuf ayat 76:
مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ إِلاَّ أَن يَشَاءَ اللّهُ
نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مِّن نَّشَاء وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ
Artinya:“…Tiadalah
patut Yusuf menghukum saudaranya menurut dinil Maliki (undang-undang Raja), kecuali
Allah menghendakinya.” (QS. Yusuf: 76).[35]
Pada ayat ini kata din
artinya adalah undang-undang. Itu kaitannya untuk menghukum saudara Yusuf yang
di dalam kantongnya terdapat sukatan Raja. Menurut Mukhtashor Tafsir At-Thobari,
tafsir ayat ini tidaklah memerintahkan Yusuf untuk menghukum saudaranya itu
dalam hukum raja dan kesultanannya, karena tidak ada dalam hukum raja itu untuk
menjadikan pencuri jadi budak, tetapi ini adalah hukum yang ada dalam syari’at
Ya’qub. Tetapi kami (Allah) berbuat demikian padanya dengan kehendak Kami.
Dengan demikian,
menurut tafsir tersebut, din diartikan hukm (hukum) dan syari’ah (jalan atau
hukum). Jadi, pengembalian kepada bahasa seperti yang diinginkan Nurcholish
pun, tidak sesederhana yang dia lontarkan, dengan cara memukul rata atau
menggeneralisir alias main gebyah uyah, menganggap bagai garam semuanya asin.
Karena ternyata, kata al-Din di Al-Qur’an tidak hanya berarti agama –ritual,
tetapi ada juga yang maknanya undang-undang yang berkaitan dengan kekuasaan. Corak
pemikiran lain dari Nurcholish sebagai imbas paham liberal, yang dianggap salah
oleh Hartono adalah sebagai berikut:
Faktor kedua adalah
legalisme, yang membawa sebagian kaum muslim pada pikiran apologetis “Negara Islam”
itu. Legalisme ini menumbuhkan apresiasi yang serba legalistik kepada Islam,
yang berupa penghayatan keislaman yang menggambarkan bahwa Islam itu adalah
struktur dan kumpulan hukum. Legalisme ini merupakan kelanjutan “Fikihisme”
(fikh-eism). Fikih adalah kodifikasi hukum hasil pemikiran sarjana-sarjana Islam
pada abad-abad kedua dan ketiga Hijrah. Kodifikasi itu dibuat guna memenuhi
kebutuhan akan sistem hukum yang mengatur pemerintahan dan negara yang, pada
waktu itu, meliputi daerah yang amat luas dan rakyat yang amat banyak.
“Fikihisme” ini begitu dominan di kalangan umat Islam, sehingga gerakan-gerakan
reformasi pun umumnya masih memusatkan sasarannya kepada bidang itu. Susunan
hukum ini juga kadang-kadang disebut sebagai syari’at. Maka, “Negara Islam”
itupun suatu apologi, di mana umat Islam berharap dapat menunjukkan
aturan-aturan dan syari’at Islam yang lebih unggul daripada hukum-hukum
lainnya. Padahal sudah jelas, bahwa fiqih itu, meskipun telah ditangani oleh
kaum reformis, sudah kehilangan relevansinya dengan pola kehidupan zaman
sekarang. Sedangkan perubahan secara total, agar sesuai dengan pola kehidupan
modern, memerlukan pengetahuan yang menyeluruh tentang kehidupan modern dalam
segala aspeknya, sehingga tidak hanya menjadi kompetensi dan kepentingan umat Islam
saja, melainkan juga orang-orang lain. Maka, hasilnya pun tidak perlu hanya
merupakan hukum Islam, melainkan hukum yang meliputi semua orang, untuk
mengatur kehidupan bersama. Dari tinjauan yang lebih prinsipil, konsep “Negara Islam” itu adalah suatu
distorsi hubungan proporsional antara negara dengan agama. Negara adalah salah
satu segi kehidupan duniawi, yang dimensinya adalah rasional dan kolektif.
Sedangkan agama adalah aspek kehidupan lain, yang dimensinya adalah spiritual
dan pribadi.
Memang antara agama
dengan negara tidak dapat dipisahkan, sebagaimana telah diterangkan di muka.
Melalui individu-individu warga negara, terdapat pertalian yang tidak
terpisahkan antara motivasi (sikap batin bernegara) dan aksi (sikap lahir
bernegara).[36]
Hartono menanggapi
tulisan tersebut dengan menyatakan, bahwa landasan berpikir Nurcholish Madjid
itu telah gugur pada butir pertama. Dia menyalahkan orang, justru dirinya
sendiri hujjahnya bertentangan dengan ayat Al-Qur’an. Sebenarnya uraiannya yang
terakhir itu tidak usah dikomentari, sudah jelas, landasannya keropos. Tetapi,
cara dia bikin istilah penyudutan (?) yaitu apa yang ia sebut fikihisme, lalu
dia katakan kehilangan relevansinya walau sudah diperbarui; itu semua adalah
penafian realitas. Lebih lanjut Hartono menyebutkan: Tentang Negara Islam,
sebenarnya adalah realitas sejarah, dari zaman Nabi saw sampai Khulafaur
Rasyidin dan para khalifah ataupun para sultan yang berlanjut selama
berabad-abad; itu adalah satu bentuk pemerintahan Islam. Yang dipakai pun hukum
Islam atau syari’at Islam. Itu adalah kenyataan, bukan dongeng. Bahkan adanya
pemerintahan Islam atau sekarang bisa disebut negara Islam itu sudah sejak
sebelum adanya fiqh.
Kenapa Nurcholish
Madjid memutar balikkan fakta, sehinga ia katakan: “…legalisme membawa sebagian
kaum muslim pada pikiran apologetis “Negara Islam”… Legalisme ini merupakan
kelanjutan “Fikihisme” (fikh-eism). Fikh adalah kodifikasi hukum hasil
pemikiran sarjana-sarjana Islam pada abad-abad kedua dan ketiga Hijrah.”
Selama manusia itu jujur, dia akan mengakui, pemerintahan Islam jelas sudah ada sejak sebelum munculnya fiqh yang Nurcholish sebut abad kedua Hijrah, karena pemerintahan Islam sudah berdiri sejak Nabi saw di Madinah. Tetapi kenapa Nurcholish katakan: pemikiran apologetik “Negara Islam” itu akibat pemahaman legalisme, dan legalisme itu merupakan kelanjutan fikihisme?
Selama manusia itu jujur, dia akan mengakui, pemerintahan Islam jelas sudah ada sejak sebelum munculnya fiqh yang Nurcholish sebut abad kedua Hijrah, karena pemerintahan Islam sudah berdiri sejak Nabi saw di Madinah. Tetapi kenapa Nurcholish katakan: pemikiran apologetik “Negara Islam” itu akibat pemahaman legalisme, dan legalisme itu merupakan kelanjutan fikihisme?
Nurcholish boleh
menuduh seperti itu, apabila yang terjadi di dunia ini adalah: Belum pernah ada
Pemerintahan/ Negara Islam, tetapi fiqh sudah tumbuh dan berkembang, lalu
membawa umat Islam ke arus legalisme, barulah kemudian orang berapologetis
“Negara Islam”.[37]
Masih banyak contoh
kekeliruan lain yang diungkapkan oleh tokoh-tokoh Jaringan Islam Liberal.
Tetapi menurut Hartono, jika diteiti, memiliki kelemahan yang sangat mendasar,
diantaranya adalah: 1) Tidak punya landasan/dalil yang benar. 2) Tidak punya
paradigma ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. 3) Tidak mengakui realita
yang tampak nyata. 4) Tidak mengakui sejarah yang benar adanya. 5) Tidak punya
rujukan yang bisa dipertanggungjawabkan. Yang kemudian oleh Hartono Ahmad Jaiz
dikelompokkan dalam dua kelompok:[38]
1) Lemah dari segi metode keilmuan.
2) Lemah dari segi tinjauan keyakinan atau teologis.
c.
Tentang Tasawuf
Hartono kelihatannnya tidak mengenelarisir bahwa semua ajaran tasawuf sesat
(bid’ah). Ajaran tasauf yang sesat hanya yang tidak berdasar kepada Al-Qur’an
dan sunnah. Dengan mengutip Ibnu Jauzi, beliau memberikan contoh kesesatan
sebagian besar sufi sebagai berikut:[39]
“Imam Ahmad bin Hambal (780-855M) pernah berkata tentang As-Saqathy (tokoh
sufi), "Dia seorang syeikh yang terkenal karena suka menjamu
makanan." Kemudian ada yang mengabari imam Ahmad, bahwa beliau berkata;
tatkala Allah menciptakan huruf-huruf, maka huruf ba' sujud kepada-Nya. Maka
seketika itu pula Imam Ahmad berkata: "Jauhilah dia!"
Akan tetapi, kelihatannya Hartono sangat alergi dengan istilah tasawuf,
karena menurutnya, kata itu tidak jelas asal muasalnya. Kendatipun beliau tetap
mengutip pendapat para ahli tentang asal usul terminologi itu, tetapi pada
akhirnya beliau menutup uraiannya dalam buku tersebut dengan ungkapan sebagai
berikut:
Tasawuf itu adalah kasus yang lebih berbahaya ketimbang sekadar pakaian
kasar, bahkan merupakan pemikiran-pemikiran buatan para filosof yang masuk ikut
campur dalam Islam padahal sebenarnya jauh dari Islam, tetapi disampuli dengan
cover yang menimbulkan pengelabuan bahwa tasawuf itu termasuk dalam Islam.”[40] Kemudian
pada uraian berikutnya, beliau menjelaskan perbedaan antara tasawuf dengan Islam,
sebagai berikut:
Pengambilan syari'at bagi ahli Islam adalah Al-Kitab (Al-Quran), As-Sunnah
(Al-Hadits), Ijam' (kesepakatan para ulama terdahulu generasi awal Islam), dan
qiyas (perbandingan, yaitu pengambilan hukum dengan membandingkan kepada hukum
yang sudah ada ketegasannya dari nash/ teks Al-Quran atau Al-Hadits, dengan
syarat kasusnya sama, misalnya beras bisa untuk zakat fitrah karena diqiaskan
dengan gandum yang sudah ada nash haditsnya). Sedangkan bagi orang-orang
tasawwuf, syari'at mereka didirikan di atas mimpi-mimpi (tidur), Khidhir, jin,
orang-orang mati, syeikh-syeikh, semua mereka itu dijadikan pembuat syari'at.[41]
3. Adnin Armas
Adapun pemikiran Adnin Armas dapat diuraikan
sebagai berikut:
a. Abdullahi
Ahmed An-Na’im Lebih Simpatik Kepada HAM Ketimbang Kepada Syari’ah
Abdullahi
Ahmed An-Na‘im dalam karyanya, Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa
Depan Syari’ah, menegaskan pemisahan institusi negara dan Islam seraya tetap
menjaga hubungan antara Islam dan politik. Bagi An-Na‘im, negara harus bersikap
netral terhadap agama, karena manusia cenderung mengikuti pandangan pribadinya,
termasuk agama. Bagaimanapun, An-Na‘im juga menegaskan negara tetap perlu
mengakui fungsi publik Islam dan pengaruhnya dalam pembuatan kebijakan publik
dan undang-undang. An-Na‘im menyatakan Syari’ah bisa berperan dalam ruang
publik tetapi harus melalui public reason (nalar publik) dalam kerangka
Konstitusionalisme, HAM, dan Kewarganegaraan. Nalar publik yang dimaksudkan oleh
An-Na‘im adalah sebuah ruang diskusi dan debat yang benar-benar berakar pada
civil society dan ditandai dengan adanya proses kontestasi sejumlah aktor yang
berbeda. Kinerja publik reason dalam menegosiasikan peran agama dalam kebijakan
publik dan Negara harus dilindungi oleh prinsip-prinsip konstitusionalisme, hak
asasi manusia dan kewarnegaraan.
An-Na‘im
menolak peran Syari’ah dalam ruang publik jika tidak melalui nalar publik yang
dipandu Konstitusionalisme, HAM, dan Kewarganegaraan. Sebabnya, An-Na‘im
menilai watak inheren dalam Syari’ah sebagai sistem normatif keagamaan memang
tidak bisa diterapkan oleh negara. An-Na‘im menganggap Syari’ah sebagai
penafsiran atas Al-Qur’an dan Sunnah Nabi; prinsip-prinsip Syari’ah merupakan
sesuatu yang dapat dipahami dan coba diamalkan oleh umat manusia dalam konteks
sejarah tertentu. Konsep Syari’ah An-Na‘im yang relativistik dan pluralistik
mendorongnya untuk membongkar makna ijtihad, menolak fatwa, melakukan reformasi
Islami, menganggap Syari’ah yang selama ini dipahami kaum Muslimin sebagai Syari’ah
tradisional, mereformasi usul fikh, dan menguji Syari’ah terus-menerus dalam
nalar publik (public reason), yang alasan, maksud, dan tujuan kebijakan publik
atau perundang-undangan harus didasarkan pada pemikiran yang didalamnya warga
pada umumnya bisa menerima atau menolak, dan membuat usulan tandingan melalui
debat publik tanpa ketakutan dituduh kafir atau murtad.
Ringkasnya,
An-Na‘im menunjukkan dukungannya kepada sekularisme. Namun gagasannya tentang
sekularisme tidak lah memiliki makna sempit, seperti yang biasanya dipahami,
yaitu pemisahan tegas antara agama dan negara. An-Na‘im bahkan menegaskan
“dikotomi untuk memilih salah satu di antara agama dan sekularisme sudah gagal
karena konsep sekular tidak bisa berfungsi tanpa adanya ide agama.” An-Na‘im
menyimpulkan gagasan sekularisme dalam pengertian yang ketat dan sempit itu
sebagai dikotomi keliru dan dilema yang tidak perlu.
Sekularisme,
dalam pandangan an-Na‘im, memiliki makna yang lebih luas. Bagi An-Na‘im,
sekularisme adalah sebuah prinsip yang menjaga netralitas negara terhadap agama
dengan tetap mempertahankan keterhubungan antara Islam dan politik.
Pemikiran
An-Na‘im tentang sekularisme menunjukkan bahwa An-Na‘im telah maju selangkah
dibanding para sekularis fundamentalis yang secara ketat memisahkan antara
agama dan Negara. Pemikirannya sekaligus menunjukkan kegagalan ideologi
sekularisme yang memiliki makna yang sempit. Oleh sebab itu, An-Na‘im merasa
perlu untuk memperlebar makna tersebut sehingga tetap memungkinkan peran agama
dalam ruang publik. An-Na‘im menegaskan supaya Islam dipisahkan dari Negara,
sambil tetap mempertahankan hubungan antara Islam dan politik, yang
memungkinkan penerapan prinsip-prinsip Islamdalam kebijakan dan perundangan-undangan
resmi, tetapi dengan tetap tunduk kepada perisai-perisai hukum.
An-Na‘im,
yang menulis selama 3 tahun (2004-2006) dengan dibiayai Ford Foundation,
mengusulkan perlunya mediasi (bukan konfrontasi), yang berfungsi untuk
menegosiasikan peranan Syari’ah dalam ruang publik yang berada dalam kerangka
Konstitusionalisme, HAM, dan Kewarganegaraan. Bentuk negosiasi gagasan AAN
untuk menjadi mediator antara ketegangan antara Syari’ah dan HAM, misalnya,
tersurat dalam pernyataannya sebagai berikut. “Sebagai seorang Muslim, jika
saya dihadapkan pada pilihan antara Islam dan hak-hak asasi manusia, saya pasti
memilih Islam. Akan tetapi, jika dihadapkan pada argument bahwa ternyata ada
konsistensi antara agama yang saya anut dan hak-hak asasi manusia, saya akan
dengan senang hati menerima hak-hak asasi manusia sebagai ekspresi nilai-nilai
agama dan bukan sebagai penggantinya. Sebagai Muslim pendukung hak-hak asasi
manusia, saya mesti terus mencoba mencari cara untuk menjelaskan dan mendukung
klaim bahwa hak-hak asasi manusia sesuai dengan Islam, benar-benar diperlukan
dari perspektif Islam, meskipun tidak sesuai dengan beberapa interpretasi
manusia atas Syari’ah.”
An-Na‘im
juga menyatakan “Jika saya, sebagai seorang Muslim, diminta untuk memilih salah
satu di antara Islam dan Hak Asasi Manusia, saya pasti akan memilih Islam.
Namun, daripada harus menghadapkan pilihan sulit ini kepada umat Islam, saya
kira lebih baik kita sebagai Muslim mulai mempertimbangkan untuk
mentransformasikan pemahaman kita terhadap Syari’ah dalam konteks masyarakat
Muslim saat ini. Saya percaya bahwa pendekatan ini bisa digunakan sebagai
prinsip, sekaligus solusi pragmatis.
AAN
berpendapat masalah HAM dan Syari’ah lebih baik dipahami dengan menggunakan dua
kerangka yaitu inherennya keterlibatan manusia dalam pemahaman dan praktik Islam,
di satu pihak, dan universalitas HAM di pihak lain. Pendekatan ini lebih
realstis dan konstruktif daripada sekadar mengungkapkan kecocokan atau
ketidakcocokan Islam dengan HAM dan mengambil keduanya dalam pemahaman yang
absolut dan statis. Ketika kita menguji dinamika dan perkembangan hubungan Islam
dan HAM, kita akan menemukan bahwa Islam sebenarnya sangat mendukung HAM. Untuk
merealisasikan tujuan-tujuan tersebut, Muslim tidak harus mengabaikan agamanya
hanya untuk mengakui HAM. Mereka juga tidak boleh mendiskriminasi orang lain
berdasarkan jenis kelamin, ras, kebangsaan maupun agama.
Ada
beberapa catatan untuk karya an-Na‘im. Pertama, an-Na‘im mengutip paling
sedikit 31 karya (baik dalam bentuk buku dan artikel) dalam bahasa Indonesia.
Padahal, an-Na‘im tidak menguasai bahasa Indonesia. Sangat wajar jika timbul
keraguan akan otentisitas tulisannya. Atau apakah para ‘mitranya’ di Indonesia
telah bersusah-payah menerjemahkan keseluruhan 31 karya tersebut ke dalam
bahasa Inggris untuk an-Na‘im? Jika hal tersebut dilakukan, seharusnya an-Na‘im
mengucapkan terima kasih yang mendalam dalam bukunya karena jerih-payah
‘mitra’nya. Sayangnya, hal tersebut sama sekali tidak dilakukan oleh an-Na‘im,
intelektual yang berkaliber internasional. An-Na‘im hanya menyebutkan bahwa ia
telah meminta LKiS Jogjakarta untuk menyelenggarakan seri FGD (Focus Group
Discussion) di tujuh lokasi.
Kedua,
an-Na‘im mengutip 4 artikel Nurcholish Madjid dalam bahasa Indonesia.
Bagaimanakah an-Na‘im bisa mengutip pendapat Nurcholish Madjid, padahal ia
tidak tahu bahasa Indonesia? Jika ke-4 artikel tersebut diterjemahkan oleh
‘mitra’nya, maka terjadi pengulangan penerjemahan. Sebabnya, ke-4 artikel
Nurcholish Madjid tersebut sudah diterjemahkan oleh Muhammad Kamal Hassan,
Muslim Intellectual Responses to “New Order” Modernization In Indonesia. Karya
Muhammad Kamal Hassan merupakan hasil disertasi di Universitas Columbia, pada
tahun 1975. Karya Muhammad Kamal Hasan tidak tercantum dalam bibliografi karya
an-Na‘im. Atau karya Muhammad Kamal Hasan luput dari perhatian ‘mitra’
an-Na‘im. Persoalan sumber tulisan wajar ditimbulkan karena an-Na‘im tidak
menerangkan bagaimana begitu banyak referensi dalam bahasa Indonesia ada,
sementara ia tidak memiliki kemampuan membaca karya ilmiah dalam bahasa
Indonesia.
Ketiga,
terdapat kesalahan ketika an-Na‘im menyebut 5 agama yang resmi diakui Negara
Indonesia. Namun, ia menerangkannya menjadi 6: Islam, Katolik, Protestan,
Hindu, Budha, dan Konghucu.
Keempat,
dan ini poin penulis yang paling penting. an-Na‘im telah gagal untuk
menegosiasikan peran Syari’ah dalam ruang publik. Ketika menegosiasikan peran Syari’ah
dalam ruang publik, konsep AAN tentang Syari’ah sebenarnya telah tersekularkan.
an-Na‘im menganggap watak dasar Syari’ah adalah pribadi karena ia adalah
hubungan personal antara manusia dengan Tuhan dan relatif karena ia adalah
hasil penafsiran manusia. An-Na‘im juga telah mensubordinasikan Syari’ah ketika
menyatakan Syari’ah perlu disaring dalam nalar publik dan difilter lagi dengan
Konstitusionalisme, HAM dan Kewarganegaraan. Padahal konsep an-Na‘im tentang
nalar publik juga problematis. Perbedaan level pengetahuan masyarakat, dominasi
kekuasaan finansial dan media-massa, konflik kepentingan yang abadi,
kekuatan-kekuatan dominasi menjadikan nalar publik sebagai problematis. Selain
itu, posisi ‘mediasi’ an-Na‘im terkesan memihak. Ia lebih simpatik terhadap
negara sekular dan tidak begitu simpatik kepada Syari’ah. Disebabkan tidak
begitu simpatik terhadap peran Syari’ah dalam ruang publik lah, maka an-Na‘im
merasa perlu bagi mereformasi Syari’ah tradisional, usul fikh, membongkar
ijtihad dan institusi fatwa, dsb. Padahal, seharusnya hal yang sama dilakukan
oleh an-Na‘im terhadap konsep negara sekular. An-Na‘im seharusnya juga perlu
untuk mereformasi HAM, menganggap HAM sekarang adalah HAM liberal-sekular yang
dihasilkan oleh peradaban Barat yang traumatis dengan sejarahnya, mengganti HAM
tersebut dengan HAM yang lebih sesuai dengan konsep manusia yang intim dengan
spritualitas dan transcendental, dsb. Sayangnya, an-Na‘im tidak melakukan hal
tersebut. an-Na‘im hanya mereformasi penafsiran terhadap Syari’ah supaya sesuai
dengan HAM dan ia tidak mereformasi penafsiran HAM supaya sesuai dengan Syari’ah.
Akibatnya, sebagai mediator, an-Na‘im telah meleburkan Syari’ah ke dalam HAM.
Bahkan, gagasannyapun sebenarnya tidak sepenuhnya berfungsi sebagai mediator.
Sebabnya, gagasan ‘mediasi’ nya ternyata lebih cenderung berfihak kepada
ideologi sekular dibanding kepada Syari’ah. Hasil negosiasinya adalah Syari’ah
yang tersekularkan yang memiliki masa depan. Inilah saripati pemikiran Abdullah
Ahmed al-Na’im dalam buku terbarunya.
b.
Pengaruh
Metodologi Bibel Terhadap Studi Al-Qur’an
Dalam
perkembangannya, metodologi tersebut juga sudah diterapkan oleh sebagian
pemikir Muslim.[42]
Mohammed Arkoun, misalnya, sangat menyayangkan jika sarjana Muslim tidak mau
mengikuti jejak kaum Yahudi-Kristen. Ia mengatakan: “Sayang sekali bahwa
kritik-kritik filsafat tentang teks-teks suci yang telah digunakan kepada Bibel
Ibrani dan Perjanjian Baru, sekalipun tanpa menghasilkan konsekuensi negatif
untuk ide wahyu–terus ditolak oleh pendapat kesarjanaan Muslim.” (Mohammed
Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers). Ia juga
menegaskan bahwa studi al-Qur’an sangat ketinggalan dibanding dengan studi
Bibel (Quranic studies lag considerably behind biblical studies to which they
must be compared). Menurut Arkoun, metodologi John Wansbrough, memang sesuai
dengan apa yang selama ini ingin Ia kembangkan. Dalam pandangan Arkoun,
intervensi ilmiah Wansbrough cocok dengan framework yang Ia usulkan. Framework
tersebut memberikan prioritas kepada metode-metode analisa sastra yang, seperti
bacaan antropologis-historis, menggiring kepada pertanyaan-pertanyaan dan
sebuah refleksi yang bagi kaum fundamentalis saat ini tidak terbayangkan.[43]
Padahal John Wansbrough, yang menerapkan analisa Bibel, yaitu form
criticism dan redaction criticism kepada al-Qur’an, menyimpulkan bahwa teks
al-Qur’an yang tetap ada baru ada setelah 200 tahun wafatnya Rasulullah saw.
Menurut John Wansbrough lagi, riwayat-riwayat mengenai al-Qur’an versi ‘Uthman
adalah sebuah fiksi yang datang kemudian, direkayasa oleh komunitas Muslim
supaya asal-muasal al-Qur’an dapat di lacak ke Hijaz.
Menurut Arkoun, kaum Muslimin menolak pendekatan kritis-historis
al-Qur’an karena nuansa politis dan psikologis. Politis karena mekanisme
demokratis masih belum berlaku, dan psikologis karena kegagalan pandangan
muktazilah mengenai ke-makhluk-an al-Quran. Padahal, menurut Arkoun, mushaf
‘Uthmani tidak lain hanyalah hasil sosial dan budaya masyarakat yang
kemudiannya dijadikan “tak terpikirkan” dan makin menjadi “tak terpikirkan”
karena kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi. Ia mengajukan istilah untuk
menyebut mushaf Uthmani, sebagai mushaf resmi tertutup (close official corpus).
Dalam pandangan Mohammed Arkoun, apa yang dilakukannya sama dengan
apa yang diusahakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd, seorang intelektual asal Mesir.
Arkoun menyayangkan sikap para ulama Mesir yang menghakimi Nasr Hamid. Padahal
metodologi Nasr Hamid memang sangat layak untuk diaplikasikan kepada al-Qur’an.
Nasr Hamid berpendapat bahwa al-Quran sebagai sebuah teks dapat dikaji dan
ditafsirkan bukan hanya oleh kaum Muslim, tapi juga oleh Kristen maupun ateis.
Al-Qur’an adalah teks liguisitk-historis-manusiawi. Ia adalah hasil budaya
Arab.
Adopsi metodologi Bible yang dilakukan sarjana Muslim terhadap
al-Qur’an sangat disayangkan. Jika adopsi ini diamini, maka hasilnya fatal
sekali. Otentisitas al-Qur’an sebagai kalam Allah akan tergugat. Al-Qur’an akan
diperlakukan sama dengan teks-teks yang lain. Ia akan menjadi teks historis,
padahal sebenarnya ia adalah Tanzil (trans-historis). Ia jelas berbeda dengan
sejarah Bible. Sumbernya juga berbeda. Setting sosial dan budaya juga berbeda.
Bahkan Bahasa asli Bibel sudah tidak banyak lagi digunakan oleh penganut
Kristen. Sangat berbeda dengan kaum Muslimin, yang dari dulu telah, sekarang
masih, dan akan datang terus membaca dan menghafal al-Qur’an dalam bahasa Arab.
Oleh sebab itu, mengadopsi metodologi Bibel terhadap al-Qur’an adalah adopsi
dan metodologi yang salah.
4. Daud Rasyid
Tulisan
Daud Rasyid dalam setiap bukunya bergaya bahasa lugas dan terus terang. Secara
umum pemikiran Daud Rasyid kental sekali warna Timur Tengahnya yang kaya
terhadap pandangan ulama klasik dan miskin analisis kritis khas critical
study ala Barat. Rasyid menganggap bahwa
pandangan ulama klasik (jauh lebih otentik dan dekat dengan kebenaran wahyu)
ketimbang harus meminjam aneka metodologi modern yang menurutnya bisa mengarah
kepada cara berfikir sesat.
Isu
pertama yang diangkat dalam bukunya yang berjudul Sunnah
di Bawah Ancaman: Dari Snouck Hurgronje Hingga Harun Nasution adalah
kritik Daud Rasyid atas pandangan kaum orientalis klasik terhadap Sunnah. Isu
ini diangkatnya karena menjadi penting adanya, dimana sunnah merupakan unsur
terpenting dalam Islam, ia menempati martabat kedua setelah Al-Qur’an dari
sumber-sumber hukum Islam.[44]
Nama
orientalis yang dimaksud adalah Snouck Hurgronje yang kemudian disebut-sebut
pula muridnya yaitu Karen Steenbrink, yang kebetulan keduanya adalah orang
Belanda. Rasyid tidak banyak mengulas pemikiran keduanya, tetapi dari
kesimpulan yang bisa ditangkap, Rasyid mengangap apa yang telah dipikirkan dan
dilakukan oleh keduanya adalah menghujat dan mendeskriditkan Islam dengan
pandangan-pandangannya yang melawan arus pemikiran ulama.
Isu kedua
yang diangkat Rasyid adalah kritik dan bantahan keras Daud Rasyid terhadap
pemikiran Harun Nasution tentang Sunnah. Rasyid menganggap Harun adalah
kelanjutan (continuum) pemikiran Snouck Hurgronje. Ada beberapa poin
pemikiran Harun yang mendapat sorotan Rasyid, diantaranya adalah:
a.
Secara mutlak, Harun mengingkari penulisan dan
penghafalan Hadits pada masa Nabi.
- Kodifikasi Hadits baru dimulai pada abad
kedua Hijriyah, sehingga sebelum periode itu, antara Hadits shahih dan Hadits
paslu (maudhu’) tidak dapat
dibedakan.
- Para sahabat bersikap sangat ketat dalam
menerima Hadits. Secara implisit, Harun menganggap bahwa para sahabat
meragukan kejujuran para rawi karena banyaknya pemalsuan Hadits.
- Pembukuan dalam skala besar dilakukan pada
abad ketiga Hijriyah melalui para penulis Kutub al-sittah.
- Imam Bukhari menyaring tiga ribu Hadits
dari enam ratus ribu hadits yang ia kumpulkan
- Tidak aja ijma’ kaum Muslimin
tentang keshahihan hadits-hadits Nabi.
- Kedudukan Sunnah sebagai hujjah tidak sama
dengan al-Qur’an.
- Yang disepakati tentang kehujjahannya
hanya hadits mutawatir saja. Adapun haditsmasyhur dan ahad,
keduanya masih diperselisihkan.
- Karena sibuk mencari solusi atas berbagai
persoalan yang menimpa umat Islam masa itu, para sahabat menerima segala
macam hadits, sekalipun maudhu’ (palsu)
Untuk beberapa poin pemikiran Harun
itu, Rasyid menulis bantahan keras. Menurut saya, apa yang menjadi obyek
perdebatan antara Harun dan Rasyid di sini adalah sesuatu yang debatable (dapat
diperdebatkan kebenarannya) secara historis. Walaupun perlu diakui, apa yang
menjadi kecenderungan berfikir Harun tentang Hadits ini, menjadi ciri khas cara
berfikir Sarjana Barat (orientalis) tentang Islam. Yang lantas menjadi
persoalan adalah, apakah cara pandang para Sarjana Barat itu melulu salah?
Apakah musti ada hidden
idiology “busuk” yang tersimpan dalam otak
para Sarjana Barat itu, sehingga setiap mereka berfikir tentang Islam, wajib
kita curigai?
Lantas yang menjadi isu berikutnya
yang ditulis Rasyid adalah kritik terhadap pandangan feminis atas beberapa hadits
tentang perempuan. Ada dua nama feminis yang menjadi sorotan buku Rasyid, yaitu
Riffat Hasan dan Wardah Hafidz. Pemikiran Riffat Hasan yang dibantah Rasyid
adalah tentang penciptaan perempuan (Hawa) dari tulang rusuk laki-laki (Adam).
Riffat menyatakan bahwa hadits yang mendasari pemikiran itu cacat dari sisi
sanad dan matan. Bahkan, Riffat menyatakan bahwa hadits yang dimaksud
bertentangan dengan al-Qur’an dan lebih mirip dengan Kitab Kejadian 2/18-33,
dan 3/20. Hadits yang dimaksud adalah:
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ وَمُوسَى بْنُ حِزَامٍ قَالَا حَدَّثَنَا
حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ زَائِدَةَ عَنْ مَيْسَرَةَ الْأَشْجَعِيِّ عَنْ أَبِي حَازِمٍ
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهم عَنْهم قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ
خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ
أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ
أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاء
Hadits
ini riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzi dan Ibn Majah. Dilihat dari siapa
yang meriwayatkan, khususnya dalam hal ini adalah Bukhari dan Muslim, sulit
dikatakan bahwa hadits ini adalah lemah (dha’if) sebagaimana pendapat Riffat Hasan. Memang hadits
ini disampaikan oleh seorang sahabat yang bernama Abu Hurairah, yang dalam
pandangan Riffat “bermasalah”. Tetapi adalah terlalu riskan untuk mengatakan hadits-hadits
riwayat Abu Hurairah lemah, karena begitu banyaknya hadits yang diriwayatkan
beliau.
Daud Rasyid
jelas membantah keras pandangan Riffat Hasan itu. Tetapi yang cukup melegakan
adalah, keduanya bersepakat tentang kemuliaan derajat perempuan yang diakui
oleh Islam.
Daud
Rasyid juga menyerang pendapat Wardah Hafidz tentang hadits yang berkaitan
dengan perempuan sebagai pembatal shalat dan mayoritas penghuni sorga adalah
perempuan. Intinya Hafidz menolak hadits-hadits itu karena merendahkan
perempuan. Hadits-hadits yang dimaksud Hafidz adalah:
و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ
أَخْبَرَنَا الْمَخْزُومِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ وَهُوَ ابْنُ زِيَادٍ
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ ابْنِ الْأَصَمِّ حَدَّثَنَا
يَزِيدُ بْنُ الْأَصَمِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْمَرْأَةُ وَالْحِمَارُ
وَالْكَلْبُ وَيَقِي ذَلِكَ مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ
Hadits
ini menyatakan bahwa perempuan, keledai, dan anjing sebagai pemutus shalat.
Dari segi sanad, kualitas hadits tidak perlu diragukan karena diriwayatkan oleh
Muslim. Daud Rasyid pun menolak keras kedha’ifan hadits ini. Tetapi yang
menarik, Daud menampilkan hadits pembanding yang justru secara implisit
mendukung Hafidz untuk menolak hadits di atas. Hadits pembanding itu
diriwayatkan secara shahih oleh Bukhari yaitu:
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ
قَالَ حَدَّثَنَا أَبِي قَالَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ قَالَ حَدَّثَنَا
إِبْرَاهِيمُ عَنِ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ ح قَالَ الْأَعْمَشُ وَحَدَّثَنِي
مُسْلِمٌ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ ذُكِرَ عِنْدَهَا مَا يَقْطَعُ الصَّلَاةَ
الْكَلْبُ وَالْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ فَقَالَتْ شَبَّهْتُمُونَا بِالْحُمُرِ
وَالْكِلَابِ وَاللَّهِ لَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَإِنِّي عَلَى السَّرِيرِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ
مُضْطَجِعَةً فَتَبْدُو لِيَ الْحَاجَةُ فَأَكْرَهُ أَنْ أَجْلِسَ فَأُوذِيَ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْسَلُّ مِنْ عِنْدِ رِجْلَيْهِ
Pada
pembahasan terakhir, Daud Rasyid menulis tentang gerakan Inkar as-Sunnah di
Indonesia. Mengutip secara penuh pendapat Ahmad Husnan dalam bukunya, Gerakan
Inkar Sunah dan Jawabannya. Secara garus besar, Daud menyatakan bahwa
gerakan Inkar as-Sunnah di Indonesia mengambil tiga posisi, yaitu: mengingkari
sunnah secara mutlak; mengingkari sebagian sunnah; dan mengingkari sunnah yang
terputus sanadnya. Dalam membantah pandangan kelompok Inkar as-Sunnah ini, Daud
banyak mengutip pendapat dari Ahmad Husnan, sehingga tidak cukup menarik untuk
diulas lebih jauh dalam kesempatan ini.
Adapaun
kritik terhadap Harun Nasution dan metodologi Barat dapat dijelaskan
sebagaimana berikut. Banyak kalangan mengakui Harun Nasution adalah tokoh
pembaharu Islam di Indonesia yang cukup terkemuka. Pemikiran Harun mempunyai
kekhasan tersendiri (sui generis) diantara pemikir lain, yakni terletak pada
aras rasionalisme khas muktazilah di era silam. Obsesi Harun diantaranya adalah
melakukan rekonstruksi atas teologi muktazilah sebagai antitesis terhadap
teologi Islam saat ini yang lebih cenderung fatalistik. Sehingga oleh para
“lawan berfikirnya”, dia dijuluki tokoh neo-muktazilah di Indonesia.
Gagasan
pembaharuan Harun cukup genuin dan baru, lepas dari berbagai kontroversi dari
orang-orang yang tidak sefaham dengan dia. Murid-muridnya banyak tersebar di
seluruh Indonesia dan merakalah yang sampai hari ini melanjutkan ide-ide
pembaharuan Harun, walaupun dengan materi dan kemasan yang berbeda. Sebagai
manusia, pemikiran Harun tentu memberi ruang terbuka untuk terus dikritik dari
berbagai kelemahan materi maupun metodologi. Diantara kritik yang perlu
disampaikan diantaranya:
a.
Harun begitu membanggakan metodologi Barat yang
memang membawa seseorang kepada tipologi berfikir bebas dan mencerahkan. Akan
tetapi, metodologi Barat yang basis filosofisnya adalah liberalisme dalam
banyak hal tidak cocok untuk alat analisis dalam obyek yang sakral, yaitu
ajaran doktrinal Islam, misalnya.
- Teologi rasionalisme Muktazilah yang Harun
tawarkan adalah produk masa silam peradaban Islam yang dalam banyak hal
sudah tidak up to date dengan kebutuhan
dan problem masyarakat Muslim saat ini.
- Harun sering kurang cermat dalam membaca
sejarah yang terkait dengan tranmisi hadits (perjalanan hadits), karena ia
lebih menitik beratkan pada criticalhistory ketimbang
informasi otentik sumber-sumber Islam.
- Pemikiran rasionalistik Harun Nasution
sering tidak pas untuk menganalisis obyek supra-rasional dalam banyak
aspek ajaran Islam.
E. Kesimpulan
Pokok-Pokok
Pikiran Islam Liberal mencermati berbagai perkembangan paham liberal di
kalangan umat Islam, setidaknya ada 3 aspek penting dalam Islam yang sedang
gencar mengalami liberalisasi saat ini yang diantaranya yaitu tentang syari’at
Islam, Al-Qur’an dan tafsir Al-Qur’an, dan Aqidah Islam.
Adapun
beberapa tokoh yang anti liberal mengangkat atas pemikiran tokoh Adian Husaini,
Hartono Ahmad Jaiz, Adnin Armas dan Daud Rasyid. Yangmana keempat tokoh
tersebutdianggap sebagai “penjaga gawang” bagi kemurnian ajaran Islam.
Adapun pokok-pokok yang
dikritisi oleh Adian Husaini terkait: Pluralisme- Liberalisme, Wacana Tafsir, Barat
vs Islam. Sedangkan yang disampaikan oleh Hartono Ahmad Jaiz yaitu tentang IAIN,
tentangIslam Liberal (JIL), dan tentangTasawuf. Lain halnya dengan Adnin Armas
yang membahas terkait HAM yang lebih diutamakan daripada syari’ah, dan juga
membahas pengaruh metodologi bibel terhadap
studi Al-Qur’an. Dan Daud Rasyid yang membahas tentang Sunnah di bawah ancaman.
[1] Ulil Abshar
Abdilla dkk , Islam Liberal& Fundamental: Sebuah Pertarungan Wacana (Yogyakarta: eLSAQ PRESS, 2005)
[2]Adian Husaini
& Nuim Hidayat, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan
Jawabannya (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. ix-x
[3] Budi
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia: Pengusung Ide Sekularisme,
Pluralisme, dan Liberalisme Agama (Jakarta: Hujjah Press, 2007), hlm. xxiii
[4] Budi
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, hlm. xliii
[5] Budi
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, hlm. xlvi
[6] Greg Barton, Gagasan
Islam Liberal di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 98
[7] Adian Husaini,
Liberalisasi Islam di Indonesia (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 11
[8] Budi
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, hlm. xlix
[9] Anis Malik
Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis (Jakarta: Gema Insani
Press, 2005), hlm. 3
[10] Adian Husaini,
Hegemoni Kristen-Barat
dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), hlm. 294
[11] Hartono Ahmad
Jaiz, Bunga Rampai Penyimpangan Agama di Indonesia (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2007), hlm. 335
[12]Beliau adalah guru
besar di bidang hadis. Alumni Pon-Pes Tebu Ireng, Jombang Jawa Timur,
Universitas King Sa’ud. Mantan ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PII) di
Riyadh. Salah seorang ketua MUI Pusat dan dosen (guru besar) di berbagai
perguruan tinggi Islam, seperti Institut Ilmu Alquran (IIQ), Institut Studi Ilmu
Alquran (ISIQ/PTIQ), Sekolah Tinggi Islam Dakwah (STIDA) Al-Hamidiyah, dan UIN
Syarif Hidayatullah. telah menulis 20 judul buku sejak 1986, diantara karyanya
yang kontroversial adalah “Haji Pengabdi Setan”.
[19] Adnin Armas, Metodologi
Bibel dalam Studi Al-Qur’an: Kajian Kritis (Jakarta: Gema Insani Press,
2005), hlm. 173
[20] Daud Rasyid, Islam
dalam Berbagai Dimensi (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hlm.324
[21] Daud Rasyid, Islam
dalam Berbagai Dimensi, hlm. 324
[22] Adian Husaini
& Nuim Hidayat, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan
Jawabannya (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. ix
[23] Lihat Adian
Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal (Jakarta: Gema Insani
Press, 2005), hlm. xxxv
[24] Adian Husaini,
Wajah Peradaban Barat:
Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal, hlm. 288
[25] Adian Husaini,
Wajah Peradaban Barat:
Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal, hlm. 290
[35] Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit J-Art,
2005), hlm.245
[38]Hartono Ahmad Jaiz, Aliran
dan Paham Sesat di Indonesia, Cet. ke-8 (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2005), hlm. 232
[43]
Mohammed Arkoun, “Contemporay Critical Practices and the Qur’an”, di dalam
Encyclopaedia of the Qur’an, Editor Jane Dammen McAuliffe (Leiden: Brill,
2001)
[44] Daud Rasyid, Islam
dalam Berbagai Dimensi (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hlm.35
No comments:
Post a Comment