Wednesday, November 15, 2017

KRITIK ATAS PEMIKIRAN ISLAM LIBERAL

KRITIK ATAS PEMIKIRAN ISLAM LIBERAL
Arif Setiawan  16771025
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Program Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

A.   Latar Belakang

Islam Liberal di Indonesia, setidaknya telah memberikan warna dan corak pemikiran yang berbeda. Dari sisi wacana, Islam Liberal tampil pede dan cukup konsisten dalam menyuarakan ide-ide dan konsep-konsep yang digulirkan; Islam bukan sebuah monument mati yang dipahat pada abad ketujuh masehi, lalu dianggap sebagai “patung” indah yang tak boleh disentuh tangan sejarah.  Kecenderungan “me-monumen-kan” Islam amat menonjol saat ini. Islam yang cenderung membeku, menjadi “paket” yang sulit didebat dan persoalkan: paket Tuhan yang disuguhkan kepada kita semua dengan pesan sederhana, take it or leve it! Islam  yang disuguhkan dengan cara demikian, amat berbahaya bagi kemajuan Islam itu sendiri.  Jalan satu-satunya menuju kemajuan Islam adalah dengan mempersoalkan cara kita menafsirkan agama ini. Untuk menuju kearah itu, kita memerlukan beberapa hal. Pertama, penafsiran Islam yang non-literal, substansial, kontekstual, dan sesuai denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah. Kedua, penafsiran Islam yang dapat memisahkan mana unsur-unsur di dalamnya yang merupakan kreasi budaya setempat, dan mana yang merupakan nilai fundamental. Ketiga, umat islam hendaknya tidak memandang dirinya sebagai “masyarakat” atau “umat” yang terpisah dari golongan yang lain, umat manusia adalah keluarga universal yang dipersatukan oleh kemanusiaan itu sendiri. Keempat, kita membutuhkan struktur sosial yang dengan jelas memisahkan mana kekuasaan politik dan mana kekuasaan agama. Agama adalah urusan pribadi; sementara pengaturan kehidupan publik adalah sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat melalui prosedur demokrasi.[1]
Untuk menunjukkan kepada orang awam dalam memahami wacanayang tak berujung ini, maka dalam makalah ini akan dihadirkan beberapa kritikan para tokoh terkait Islam Liberal. Dengan tujuan tawashau bil haqqi wa tawashau bis shabri (...Dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran supaya menetapi kesabaran). Pada sisi lain, tentu jika membiarkan sesuatu kemungkaran atau kesalahan yang diyakini salah maka bisa jadi mendapat dosa.[2] Oleh karenanya beberapa tokoh ingin mengkritiki atas kajian Islam Liberal yang ada. Dan hal tersebut akan diuraikan pada pembahasan makalah ini.

B.     Pokok-Pokok Pikiran Islam Liberal

Mencermati berbagai perkembangan paham liberal di kalangan umat Islam, setidaknya ada 3 aspek penting dalam Islam yang sedang gencar mengalami liberalisasi saat ini yang diantaranya yaitu:[3]
1.    Syari’at Islam, dilakukan dengan perubahan metodologi ijtihad. Yangmana dapat dilihat dari berbagai hukum-hukum yang tetap (qath’i) dibongkar dan diubah untuk disesuaikan dengan zaman.
2.    Al-Qur’an dan tafsir Al-Qur’an, dengan melakukan dekonstruksi konsep wahyu dalam Islam dan penggunaan metode hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an.
3.    Aqidah Islam, dengan penyebaran paham pluralisme agama. Pluralisme agama didasarkan pada satu asumsi bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi menurut penganut paham ini, semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama.
Menanggapi hal tersebut pada tanggal 28 Sepetember 2005 dalam Musyawarah Nasional (Munas)-nya yang ke-7, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan 11 Fatwa, yzangmana dari semua fatwa MUI ditanggapi secara normal, kecuali fatwa mengenai haramnya pluralisme, sekularisme, dan liberalisme, dan fatwa mengenai haramnya aliran Ahmadiyah. Berbagai kecaman dan penentangan atas fatwa tersebut dialamatkan ke MUI. Bahkan Menteri Agama yang mengutip fatwa MUI tentang Ahmadiyah mendapat somasi dari kelompok tersebut dibantu oleh golongan liberalis.
Diakui, fatwa mengenai haramnya pluralisme, sekularisme, dan liberalisme merupakan fatwa yang tidak mudah untuk diterapkan karena kuatnya penolakan dari mereka yang selama ini mengusung ide tersebut. Mereka, yaitu kelompok yang menamakan diri Islam liberal, yang rata-rata “menguasai” media massa di tanah air melakukan perlawanan yang tidak main-main. Beberapa tulisan, artikel, buku dan publikasi lain tetap saja terbit seperti mengabaikan adanya fatwa tersebut. Mereka mengkampanyekan bahwa fatwa MUI bukanlah hukum yang mengikat umat Islam. “Yang percaya silahkan ikut, Yang tidak juga ndak berdosa,” begitu kata seorang pentolan Islam liberal.
Bermula dari seorang Nurcholish Madjid yang menyampaikan pidato berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” pada 3 Januari 1970 di Gedung Pertemuan Islamic Research Center, Menteng Raya , Jakarta dan disampaikan lagi pada bulan Oktorber 1972 di TIM. Sejak itulah sekularisme dan liberalisme Islam di Indonesia bergulir. Makin hari, makin tahun makin tinggi intensitasnya dengan kualitas yang makin berat.
Ungkapan yang paling terkenal pada waktu itu adalah “Islam yes, partai Islam no,” Heboh pernyataan Cak Nur, demikian sapaan akrab Nurcholish Madjid, berulang lagi ketika ia menyampaikan pidato kenegaraannya di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada tanggal 21 Oktober 1972. Pidato yang makalahnya puluhan halaman itu berjudul “Berapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia.” Dalam kesempatan tersebut Cak Nur mengkritik tentang fundamentalis agama yang dianggapnya lebih berbahaya dibandingkan narkotika.
Selain Cak Nur, memang ada beberapa tokoh yang menyerukan paham ini selama 30 tahun terakhir ini. Nama-nama itu timbul tenggelam. Boleh jadi, karena hal itu nama Nurcholish Madjid-lah yang mencuat sehingga ia dijadikan ikon pembaruan Islam (dengna maksud sekularisme, liberalisme, dan pluralisme agama). Cak Nur dengan lembaga yang didirikannya yaitu Paramadina mengembangkan ide-ide tersebut lewat pendidikan, baik pendidikan menengah maupun Universitas Paramadina.
Namun bukan berarti andil mereka, selain Cak Nur yang mempelopori munculnya paham ini di tanah air tidak berarti. Justru mereka melakukan liberalisme Islam secara sistematik terutama di kalangan perguruan tinggi Islam dan LSM tanpa banyak berkoar-koar. Misalnya, mulai dari Menteri Agama Mukti Ali, dilanjutkan oleh Munawir Sjadzali, didukung oleh Rektor IAIN Syarif Hidayatullah waktu itu, Harun Nasution, dosen-dosen perguruan tinggi Islam di hampir seluruh perguruan tinggi Islam dikirim ke Barat untuk menuntut atau melanjutkan studi agama Islam. Mereka belajar Islam di Leiden, Chicago, Montreal-Canada, Melbourne dan negeri-negeri Barat lain.
Hasilnya di akhir melenium abad ini, muncullah tokoh-tokoh muda yang menyebut dirinya “Islam Liberal.” Anak-anak muda yang energik, persuasif dan juga agresif ini melambungkan istilah Islam liberal dengan mendirikan sebuah institusi bernama Jaringan Islam Liberal (JIL) pada tahun 2001. Pendirian lembaga tersebut juga tidak lepas dari peran para pelopor dan senior. Bagaikan Socrates (pernyataannya yang terkenal itu “Aku ini dukun beranak yang membantu orang untuk melahirkan. Bukan melahirkan anak, tapi melahirkan gagasan”), mereka membidani lahirnya jaringan yang lebih agresif dalam menyebarkan ide pluralisme agama. berbagai diskusi, publikasi dan debat publik digelar sehingga menyemarakkan laju dan bergulirnya ide pluralisme agama, yang kemudian disikapi oleh MUI dengan mengeluarkan fatwa keharamannya.[4]
Dalam situs www.hidayatullah.com, Islam liberal adalah nama sebuah gerakan dan aliran yang bermula dari sebuah ajang kongkow-kongkow di Jalan Utara Kayu 69H, Jakarta Timur. Tempat ini sejak 1996 menjadi ajang pertemuan para seniman sastra, teater, musik, film, dan seni rupa.
Di tempat itu pula Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang salah satu motor utamanya Ulil Abshar Abdalla berkantor. Bersama Goenawan Mohammad (mantan pemimpin redaksi Tempo) serta sejumlah pemikir muda seperti Ahmad Sahal, Ihsan Ali Fauzi, Hamid Basyaib dan Saiful Mujani, Ulil kerap menggelar diskusi bertema “pembaruan” pemikiran Islam. Setelah berdiskusi sekian lama pada akhir 1999 Ulil dan kawan-kawan sepakat memperkenalkan serta mengkampanyekan pemikiran mereka dengan bendera Islam Liberal. Lalu untuk mengintensifkan kampanyenya mereka membentuk wadah Jaringan Islam Liberal (JIL) pada Maret 2001.
Dengan ditunjang kucuran dana dari The Asia Foundation kampanye Islam liberal gencar dilancarkan melalui berbagai cara. Mulai dari forum kajian diskusi, media cetak, hingga media elektronik. Media internet juga tak ketinggalan mereka garap. Mula-mula dengan membuat forum diskusi internet (mailing list) kemudian dilanjutkan dengan membuat situs web, alamatnya www.Islamlib.com.
Adapun istilah Islam liberal dipilih oleh kalangan JIL untuk menamakan gerakan dan pemikiran mereka, nampaknya lantaran mereka mendapat inspirasi dari buku Liberal Islam: A Sourcebook karya Charles Kurzman (edisi bahasa Indonesia berjudul Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu Global, diterbitkan oleh Paramadina), sebab dari buku itu pula JIL meminjam enam agenda rumusan Charles Kurzman. Enam isu itu: antiteokrasi, demokrasi, hak-hak perempuan, hak-hak non-Muslim, kebebasan berpikir dan gagasan tentang kemajuan.
Agenda JIL di Indonesia menurut Luthfi Assyaukanie dalam makalahnya berjudul Wacana Islam Liberal di Timur Tengah yang disampaikannya di Teater Utan Kayu, Jakarta Rabu 21 Februari 2001 ada 4 hal. Katanya “Saya melihat, paling tidak ada empat agenda utama yang menjadi payung bagi persoalan-persoalan yang dibahas oleh para pembaru dan intelektual muslim selama ini yakni; agenda politik, agenda toleransi agama, agenda emansipasi wanita dan agenda kebebasan berekspresi. Kaum muslimin dituntut melihat keempat agenda ini dari perspektif agenda mereka sendiri dan bukan pada perspektif silam yang lebih banya memunculkan kontradiksi ketimbang penyelesaian yang baik.”[5]
Dalam agenda politik misalnya, JIL mendesakkan sekularisme dan menolak sistem pemerintahan Islam. Perdebatan sistem pemerintahan Islam, kata Luthfi Assyaukanie, dianggap sudah selesai, karena sudah ada para intelektual seperti Ali Abdur Raziq (Mesir), Ahmad Khalafallah (Mesir), Mahmud Taleqani (Iran), dan Nurcholish Madjid (Indonesia) yang mengatakan bahwa persoalan tersebut adalah masalah ijtihadi dan diserahkan sepenuhnya kepada kaum muslimin. Shiddiq Al-Jawi menulis, melanjutkan keterangan agenda JIL, agenda toleransi agama misalnya nampak dalam tawaran destruktif dan berbahaya dari JIL, yaitu teologi pluralisme yang inklusif. Ide ini menganggap semua agam benar dan tak boleh ada truth claim. Agenda emansipasi wanita, nampak dalam ide JIL yang menyamaratakan secara absolut peran atau hak pria dan wanita tanpa kecuali. Agenda kebebasan berekspresi, nampak dalam ide adanya hak untuk tidak beragama, hak untuk murtad, mengekpresikan seni dan sebagainya.
Sementara itu menurut Dr. Greg Barton, program liberalisasiIslam di Indonesia meliputi:[6]
1.    Pentingnya kontekstualisasi ijtihad
2.    Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan
3.    Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama
4.    Pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara
Sedangkan menurut Adian Husaini, program liberalisasi Islam di Indonesia mencakup 3 hal, yaitu:[7]
1.      Liberalisasi dalam Aqidah Islamiyah – Pluralisme Agama
2.      Liberalisasi Konsep Wahyu – Menggugat otentisitas Mushaf Utsmani
3.      Liberalisasi Syari’at dan Akhlak Islam
Mengapa JIL begitu gencar dan agresif menyebarluaskan pemikirannya? Seperti diakui oleh para pentolannya, meski nama Islam liberal baru dikenal belakangan ini, sebenarnya Islam liberal bukanlah suatu pemikiran baru. Di Indonesia pemikiran Islam liberal telah dirintis oleh antara lain Harun Nasution, Nurcholish Madjid, Munawir Sjadzali dan Abdurrahman Wahid. Mereka adalah orang-orang yang sejak tahun 1970-an dan 1980-an menggelindingkan ide pembaruan Islam, berupa Islam rasional, dekonstruksi syari’ah dan sekulerisasi.
Namun, kata Ulil Abshar kepada Gatra, para perintis itu gagal memasyarakatkan gagasan Islam liberal ke masyarakat. Kegagalan itu antara lain karena tidak adanya pengorganisasian secara sistematis. Atau, menurut Luthfi Assyaukanie, gerakan Islam liberal sebelum ini terlalu elitis. Gagasan itu lebih banyak dibawa kalangan akademisi dan peneliti yang tak mengakar ke masyarakat, sehingga opini publik tetap dikuasai oleh kalangan Islam konservatif yang memiliki jaringan kuat dan mengakar ke masyarakat.
Karena itu, kalangan JIL merasa perlu memiliki jaringan kuat agar pemikiran liberal bisa berkompetisi dengan pemikiran kaum revivalis (salaf). Apa beda Islam liberal dan Islam revivalis? Charles Kurzman mendefinisikan, Islam revivalis berusaha mengembalikan kemurnian Islam seperti di zaman Rasulullah saw, tetapi tidak ramah dengan kehadiran modernitas. Sedangkan Islam liberal, masih kata Kurzman, menghadirkan masa lalu Islam untuk kepentingan modernitas. “Ia menghargai rasionalitas,” kata Kurzman. Sebuah pengkategorian yang sangat layak diperdebatkan.
Tapi lepas dari perdebatan itu, menurut kalangan JIL, dalam konteks Indonesia, kaum revivalis adalah mereka yang mendukung penegakan syari’at Islam oleh negara dan menolak sekulerisme. Sebaliknya, kaum Islam liberal adalah mereka yang mendukung sekulerisme dan menentang penegakan syari’at Islam oleh negara. ‘Pemikir revivalis, katakanlah begitu, tercermin dalam FPI (Front Pembela Islam), atau Laskar Jihad yang lebih kuat, atau jaringan PK (Partai Keadilan) yang lebih mengakar,” kata Ulil menyebut lawan tandingnya.
Untuk menandingi kalangan revivalis, kini JIL telah menyusun sejumlah agenda, antara lain: kampanye sekulerisasi seraya menolak konsep Islam kaffah (total) dan menolak penegakan syari’at Islam, menjauhkan konsep jihad dari makna perang, penerbitan Al-Qur’an edisi kritik, mengkampanyekan feminisme dan kesetaraan gender serta pluralisme. “Menurut saya, beragama secara kaffah itu tidak sehat dilihat dari berbagai segi. Agama yang kaffah hanya tetap untuk masyarakat sederhana yang belum mengalami sofistikasi kehidupan seperti zaman modern. Beragama yang sehat adalah beragama yang tidak kaffah,” ungkap Ulil dalam rubrik Kajian Utan Kayu Jawa Pos.
Dari sekian banyak agenda, sentral dakwah Islam liberal adahal penyebaran ide pluralisme agama. Istilah pluralisme sendiri awalnya sempat menjadi perdebatan karena masih ada yang menganggap bahwa pluralisme sama denga pluralitas, yaitu sikap positif dalam menghadapi perbedaan, sikap ingin belajar dari lain yang berbeda. Padahal pluralisme adalah suatu sikap keberagamaan dimana penganut pluralisme mengakui semua agama itu benar.
Sedangkan definisi MUI mengenai pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.Keterangan rinci fatwa tersebut berbunyi:[8]
1.    Pluralism, sekualarisme dan liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
2.    Umat Islam haram mengikuti paham Pluralisme Sekularisme dan Liberalisme Agama.
3.    Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap ekseklusif, dalam arti haram mencampur adukan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.
Menurut Dr. Anis Malik Thoha pluralisme agama bisa diklasifikasikan sesuai dengan pokok-pokok pemikiran dan karakter utamanya kedalam empat kategori, yaitu (1) humanisme sekuler (secular humanismi); (2) teologi global (global theology); (3) sinkretisme (syncretism atau eclectisicm); dan (4) hikmah abadi (sophia perennis atau perennial philosophy). Hanya saja keempat tren ini, ujung-ujungnya berakhir pada muara yang sama, yaitu memberikan legitimasi yang setara kepada semua agama (semua aliran dan ideologi) yang ada, agar dapat hidup berdampingan bersama secara damai, aman, penuh tenggang rasa, toleransi dan saling menghargai. Serta dengan tanpa adanya perasaan superioritas dari salah satu agama diatas yang lain. Setidaknya inilah nilai-nilai yang ingin diwujudkan oleh tren-tren tersebut dan inilah yang kini dikenal secara luas dengan istilah pluralisme agama.
Gagasan ini yakni kesetaraan agama, sepintas tampak sebagai solusi yang menjanjikan harapan-harapan dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, namun kajian yang lebih mendalam, objektif, dan kritis terhadap gagasan tersebut telah menunjukkan hakikat yang justru sebaliknya dan semakin menyingkap topeng yang menyembunyikan wajah aslinya yang ternyata bengis, tidak ramah dan intoleran.[9]
Menurut Dr. Anis, pluralisme agama memiliki sejumlah kelemahan mendasar. Pertama, kaum pluralis mengklaim bahwa pluralisme menjunjung tinggi dan mengajarkan toleransi, tapi justru mereka sendiri tidak toleran karena menafikan “kebenaran eksklusif” sebuah agama.
Mereka menafikan klaim “paling benar sendiri” dalam suatu agama, tapi justru faktanya kaum pluralis-lah yang mengklaim dirinya benar sendiri dalam membuat dan memahami statemen keagamaan. Patut dicatat, katanya “any statement about religion is religious statement.” Para penganut pluralis tampaknya tidak sadar akan hal ini.
Kedua, adanya pemaksaan nilai-nilai dan budaya Barat (westernisasi), terhadap negara-negara dibelahan dunia bagian timur, dengan berbagai bentuk dan cara, dari embargo ekonomi sampai penggunaan senjata dan pengerahan militer secara besar-besaran seperti yang tengah menimpa Iraq saat ini.
Jadi, sebenarnya mereka tidak toleran. Mereka merelatifkan tuhan-tuhan yang dianggap absolut oleh kelompok-kelompok lain seperti Allah, Trinitas, Trimurti, dan lain sebagainya.Namun disaat yang sama, secara tanpa sadar mereka juga mengklaim, bahwa hanya tuhan mereka sendiri yang absolut. Tuhan yang absolut menurut mereka ini namanya, seperti yang diusulkan John Hick, adalah “The Real” yang kebetulan ia dapatkan padanan katanya dalam tradisi Islam sebagai “Al-Haq.
Dengan mengenali fenomena, pemahaman, dan item-item penting serta agenda Islam liberal di Indonesia, kita bisa menelaah dan mengenali para tokoh maupun pengusung ide sekularisme, liberalisme dan pluralisme agama. Bermula pada situlah perlu adanya untuk mengkritik pendapat para tokoh yang liberal.

C.    Profil Tokoh Anti Liberal

Kiranya sebelum membahas terkait kritik terhadap Islam Liberal atas pemikiran Adian Husaini, Hartono Ahmad Jaiz, Adnin Armas, dan Daud Rasyid, maka akan penulis paparkan terlebih dahulu terkait profilnya. Karena dengan mengetahui profilnya, maka sedikit banyak kita akan mengetahui bagaimana corak pemikirannya nanti yang salah satunya juga terpengaruh dari latar belakang pendidikannya. Yangmana keempat tokoh diatas dianggap sebagai “penjaga gawang” bagi kemurnian ajaran Islam. Adapun profil dari keempat tokoh tersebut akan diuraikan dibawah ini, yaitu:

1.    Adian Husaini

Secara singkat biografi Adian Husaini adalah seperti terlampir dalam bukunya yang berjudul “Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi”. Beliau lahir di Bojonegoro, 17 Desember 1965.[10]
Beliau pernah belajar di Madrasah Diniyah Nurul Ilmi Padangan Bojonegoro (1971-1977), pernah nyantri di pondok pesantren Ar-Rasyid Kendal Bojonegoro (1981-1984), di pondok pesantren Ulil Albab Bogor (1988-1989), serta di LIPIA Jakarta (1988).
Adian Husaini lahir dari keluarga santri yang kuat aktivitas agamanya, sehingga sejak kecil beliau telah mendapatkan pendidikan agama dengan pola pendidikan pesantren seperti terlihat dalam rentetan lembaga-lembaga pendidikan yang dilaluinya. Sekitar kelas empat sekolah dasar beliau telah mendapat asupan pelajaran tentang akidah, fikih, serta hadits dan bahasa Arab. Pada usia demikian juga beliau telah “bergaul” dengan kitab-kitab kuning seperti Kutubul Mu’tabaroh, Sulamu At-Taufiq, Safinatun Najah, Aqidatul Awam. Pendidikan agama beliau ditempuh di langgar Al-Muhsin Desa Kuncen Padangan Bojonegoro dan beberapa pesantren selanjutnya, sedangkan pendidikan formal beliau tempuh di SD Banjarjo 1, SMPN 1 Padangan Bojonegoro, SMAN 1 Bojonegoro.
Kecintaan akan agama beliau telah terpupuk sejak kecil karena selain terlahir dari keluarga santri, beliau juga banyak membaca artikel Buya Hamka, majalah Panji Mas, dan majalah Muslimun sejak ia masih duduk di bangku SMP. Hal ini juga yang akhirnya membentuk kecerdasan beliau yang dapat dikatakan sangat mumpuni.
Setelah menamatkan pendidikan di SMA, Adian Husaini meneruskan perjalanan pendidikannya ke Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Pada masa kuliah di IPB ini kegiatan keagamaannya tidak pernah surut, bahkan semakin intens dalam mengkaji diskusi-diskusi keagamaan. Beliau mulai berkenalan dengan beberapa aktivis mahasiswa Islam yang mampu memompa semangatnya dalam mempelajari Islam. Setelah menamatkan kuliah strata satu di Institiut Pertanian Bogor, beliau melanjutkan kuliah di Universitas Jayabaya jurusan Hubungan Internasional, dan sempat belajar di LIPIA Jakarta. Beilau kemudian melanjutkan S3 di bidang Pemikirang dan Peradaban Islam di International Institute of Islamic Thought and Civilization- International Islamic University Malaysia (ISTAC UHM), dan ketika pada kurun inilah Adian Husaini memperoleh kematangan intelektual di bawah asuhan Wan Daud.
Selain itu ada beberapa macam bentuk pendekatan Adian Husaini dalam mengekspresikan pemikirannya, yaitu seperti berikut ini:
a.    Pendekatan Teologis. Adian Husaini mencoba membangunkan kesadaran teologis umat Islam bahwa keyakian yang dipercayai oleh umat Islam tersebut sedang berada dalam ancaman pemikiran barat yang notabene bertolak belakang dan bermusuhan dengan keyakianan umat Islam.
b.    Pendekatan Tafsir Normatif. Menurut beliau, salah satu medan atau wilayah yang menjadi target utama barat dalam mengikis keyakinan dan peradaban Islam adalah wilayah tafsir ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits. Karena dari hasil penafsiran itulah lahir bentuk-bentuk keputusan dan sikap umat Islam dalam kehidupan dan peradabannya. Menurut Adian Husaini, penafsiran Al-Qur’an dan Hadits tersebut haruslah sesuai dengan asas normativitas tanpa campur tangan hermeneutika.
c.    Pendekatan Jurnalistik Kontrainformasi. Dengan kapabilitasnya dalam bidang jurnalistik yang mumpuni, Adian Husaini mencoba menampik informasi-informasi dari barat dengan mengemukakan premis-premis yang bersifat kontra dengan informasi dari barat. Yang dimaksud dengan informasi di sini adalah pemikiran- pemikiran yang terbungkus dalam berbagai macam model kemasan. Banyak tulisan-tulisan dari Adian Husaini yang bersifat kontrainformasi dalam menanggapi pemikiran-pemikiran barat.
d.   Pendekatan History (Romantisme Sejarah). Adian Husaini yakin bahwa barat memiliki trauma terhadap peradaban Islam yang dulu sempat menguasai dunia. Hal ini merupakan salah satu motivasi barat untuk menghancurkan peradaban Islam. Maka Adian Husaini mencoba membangkitakan romantisme sejarah tentang kemegahan dan kemenangan peradaban Islam dahulu atas peradaban barat.
Selain menggunakan pendekatan seperti diatas, Adian Husaini juga menggunakan metode yang beliau tempuh dalam aplikasi pendekatan dan pemikirannya sebagai berikut:
a.    Metode Doktriner (Media Dakwah). Dalam setiap karya dan diskusi yang beliau berikan sejatinya memuat nilai-nilai ajakan
dan dakwah kepada Al-Qur’an dan Hadits.
b.    Metode Analisa Teks (Text Analyzing). Di samping meyakini otoritas teks Al-Qur’an dan Hadits tanpa harus ada campur tangan penafsiran sumber-sumber baru, beliau juga menyampaikan ide-idenya dengan mengedepankan nilai teks, dibuktikan dengan karya-karya beliau dalam membahas berbagai permasalahan.
c.    Metode Deskripsi Kritis. Beliau mendeskripsikan beberapa isu yang menjadi perbincangan, kemudian dihadapkan kepada argumen yang beliau ajukan sebagai pembantahnya. Contohnya adalah deskripsi beliau tentang sejarah peradaban dan pemikiran barat sebelum beliau kritisi pemikiran dan peradaban barat tersebut dengan argumen-argumennya.

2.    Hartono Ahmad Jaiz

Dalam beberapa bukunya disebutkan bahwa nama Beliau ialah Drs. Hartono bin Ahmad Jaiz, yang lahir pada kamis, 1 April, 1953 di Tari Wetan, Sumber, Simo-Boyolali.[11] Hartono sekolah di SD Sumber-Simo Boyolali 1959-1965. Tamat sekolah dasar, beliau tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, tetapi masuk Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) II di Tinawas Nogosari Boyolali 1966-1968. Hal ini mengindikasikan ketertarikan Hartono pada disiplin ilmu agama.

Kemudian, Hartono melanjutkan studinya ke PGAN (Pendidikan Guru Agama) 6 tahun di Solo Jawa Tengah 1968-1973. Selama belajar di PGAN Solo, beliau mondok di Pesantren Jenengan - tempat Munawir Sjadzali, mantan Menteri Agama, belajar di bawah asuhan KH Ma’ruf – untuk memperdalam kemampuan jelajah turats Islami. Berikutnya masuk Fakultas Adab/Sastra Arab IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Sunan Kalijaga Yogyakarta 1980-1981. Sebelum dan selama menjadi mahasiswa di institusi ini (1974-1981) bersama teman-temannya menghidupkan jama’ah Masjid Sapen (Safinatur Rahmah) dekat rel kereta api. Sejak 1981, sambil kuliah, Hartono mulai menapaki karir dengan mengajar di Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah Pesantren As-Syafi’iyah 1981-1986 Jakarta dan menjadi Redaktur Majalah Remaja Islam “Salam” terbitan As-Syafi’iyah 1981-1982. Tidak ditemukan rekam jejak yang dimainkan Hartono lewat majalah ini. Namun satu hal yang perlu dicatat adalah, bahwa beliau, selain sebagai mahasiswa, pendidik, aktivis Masjid, juga merupakan seorang yang memiliki talenta dibidang jurnalistik.

Bakat jurnalistik Hartono semakin terasah setelah harian Pelita mendaulatnya menjadi wartawan sejak tahun 1982 hingga 1996. kehadiran Harian Pelita dibidani oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) setelah dibredelnya Harian Abadi oleh Orde Baru. Terbit sejak tahun 1974 dan menjadi alternatif koran Islam yang mengusung aspirasi perjuangan DDII dan umat Islam. Pernah mencapai oplah di atas 200 ribu eksemplar pada kurun waktu antara 1977 dan 1982. Pencapaian oplah sebesar itu sekaligus membuat Pelita mengukir sejarah sebagai koran yang pernah mengalahkan oplah harian Kompas, walaupun hanya beberapa saat. Tetapi karena berbagai bentuk tekanan politik, mulai dari pembredelan berulang-ulang, upaya persuasi tokoh-tokoh muslim dan Golkar, hingga senjata undang-undang yang menekan dengan persyaratan modal, Harian Pelita akhirnya melunak kepada Golkar. Sejak saat itu, Pelita menjadi koran dengan ideologi “Islam Pembangunan”.

Berkiprah sebagai jurnalis di era “pengekangan pers” yang sarat dengan aturan yang mengkrangkeng kebebasan berekspresi, apalagi koresponden pada harian yang berafiliasi dengan DDII yang dianggap “kontra” Orde Baru, adalah tidak mudah dan menjadi tantangan bagi Hartono muda yang sesak dengan idealisme. Hartono pernah ditangkap karena pemberitaan 62 jenis makanan diduga mengandung lemak babi pada 1989 oleh harian pelita. Diinterogasi selama 2 hari, kendati pun pada akhirnya dinyatakan tidak bersalah oleh Kejaksaan Agung Jakarta. Belakangan, Hartono dialihkan menjadi Kepala Bagian Perpustakaan dan dokumentasi sampai 1997.

Sebagai komunitas DDII dan salah seorang wartawan kawakan harian Pelita, Hartono, hampir dapat dipastikan terpengaruh dengan corak pemikiran yang dikembangkan di lembaga tersebut. Asumsi ini ditopang oleh kenyataan, bahwa beliau juga termasuk anggota pendiri LepHI (Lembaga Pengkajian Hadits Indonesia) yang diketuai Ali Mustafa Ya’qub[12] di Jakarta pada tahun 1995, dan menjadi anggota tim KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam) dalam melacak daging olahan (sosis, bulatan bakso dsb.) PT. Aroma di Denpasar Bali yang ternyata penggilingannya campur antara daging sapi dan daging babi pada Agustus 1997. Kemudian, menjadi pengasuh rubrik Islamika di Majalah Media Dakwah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia sejak 1998. Menjadi anggota tim editor terjemahan Tafsir Ibnu Katsir, Yayasan Imam Syafi’i di Bogor, sejak 1999. Menjadi Ketua Lajnah Ilmiah LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam) di Jakarta sejak 1998.

Adapun terkait pemikirannya, hampir dalam setiap bukunya, tatkala Hartono mengkritik pendapat para tokoh “liberal”, beliau menawarkan solusi dan sistematika memahami Islam yang dianggapnya paling benar, yaitu manhaj salafi. Menurutnya, letak kekeliruan para liberalis adalah karena mereka meninggalkan metodologi ini. Selain itu, kedangkalan pemahaman terhadap metodologi keilmuan Islam dan kekaguman mereka terhadap metodologi keilmuan Barat dalam memahami agamanya memperparah kekeliruan itu. Para liberalis misalnya, tanpa pertimbangan yang cukup matang menggunakan hermeneutik dalam menafsirkan Al-Qur’an. Padahal menurut Hartono, metodologi itu belum tentu cocok digunakan untuk menafsirkan Al-Qur’an yang berbeda dengan kitab suci mereka.

Karenanya menurut Hartono, para pemikir itu harus kembali kepada manhaj (metode) Islami, yaitu manhaj salafi dalam memahami Islam. Hanya manhaj ini yang dapat menyelamatkan mereka dari kekeliruan dalam upaya memahami Islam.[13]

Manhaj berasal dari نهج , yang berarti طريق نهج واضح بين , jalan atau metode yang jelas dan terang.[14] Sedangkan as-Salaf memiliki arti yang beragam. Di antaranyaما مضى و تقدم , yang telah berlalu dan terdahulu. Jika dikatakan سلف الشئ شئا, artinya adalah مضى, yang telah lewat. Jika dikatakan سلف فلان سلفا , artinya adalah المتقدم, telah berlalu, terdahulu. As-Salaf juga berarti الجماعة المتقدمون, jamaah orang yang terdahulu. As-Salaf juga dapat bermaknaa القوم المتقدمون فى السير, orang-orang yang mendahului dalam perjalanan hidup. As-Salaf juga dapat diartikan كل عمل صالح قدمته , setiap amal saleh yang terdahulu.
Terlepas dari beberapa pengertian di atas, yang dimaksud dengan as-Salaf di sini adalah umat terdahulu (as-salaf as-salih), yaitu para sahabat, tabi’in (orang-orang yang mengikuti sahabat), dan tabi’ut tabi’in (orang-orang yang mengikuti tabi’in). Tiga generasi awal ini yang disebut dengan salaf as-shalih. Sedangkan orang-orang belakangan yang berusaha menghidupkan ajaran salaf sering disebut sebagai salafi atau salafiyah. Sesuai perkembangannya, salafiyah menjadi gerakan yang berusaha menghidupkan ajaran kaum Salaf (Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in) yang bertujuan agar umat Islam kembali kepada Al-Qur’an dan hadits serta meninggalkan pendapat ulama mazhab yang tidak berdasar dan segala bid’ah yang tersisip di dalamnya.[15]
Umat terdahulu dalam memahami Islam memiliki metode yang disebut dengan manhaj salafi. Metode tersebut merupakan metode terbaik sesuai sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Bukhari[16] dan Muslim[17] sebagai berikut:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِى ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَجِىءُ مِنْ بَعْدِهِمْ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَتُهُمْ أَيْمَانَهُمْ
Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian setelahnya, kemudian setelahnya. Kemudian akan datang suatu kaum setelah mereka bersaksi namun tidak diminta kesaksiannya.
Mengacu kepada hadits di atas, maka generasi terbaik dan metode memahami Islam terbaik adalah metode yang merujuk kepada metodologi yang digunakan para Salaf as-Salih sebagai dikemukakan hadits tersebut.
Menurut Hartono, manhaj salafi yang juga sering menyebut kelompoknya Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah,[18] dalam memahami Islam mengacu kepada ketentuan berikut:
a.    Al-Qur’an sebagai sumber dalil naqli dan aqli.
b.    Mengikuti Salaf as-Salihin dalam menafsirkan nas.
c.    Beriman kepada masalah-masalah gaib terbatas pada berita yang benar atau sah (khabar shadiq).
d.   Pembagian tauhid kepada Rububiyah dan Uluhiyah dan kewajiban meyakini keduanya.
e.    Mengisbatkan (menetapkan) nama dan sifat Allah, dan mengakui maknanya tanpa mencoba membicarakan kaifiyatnya.
f.     Menolak takwil.
g.    Membatasi akal dari memikirkan yang bukan bidangnya.
h.    Membatasi makna mutasyabih dan menjelaskan bahwa Al-Qur’an itu seluruhnya jelas dan dapat ditafsir.
i.      Pengaruh sebab-sebab alam bagi akibat yang ditimbulkannya dengan izin Allah.
j.      Baik dan buruk dalam tindakan adalah bersifat aqli dan syar’i.
k.    Tidak boleh mengkafirkan seorang muslim karena perbuatan dosa yang diikhtilafkan dan bukan dosa syirik besar.

3.    Adnin Armas

Lahir di Medan 2 September 1972. Saat ini ia kandidat doktor bidang Pemikiran Islam di ISTAC-IIUM (International institute of Islamic Thought and Civilization – International Islamic Uneversity Malaysia)[19]Adnin Armas, menyelesaikan pendidikan menengahnya di Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor Ponorogo tahun 1992 dan melanjutkan ke Universitas Islam Antarabangsa Malaysia (UIA), dalam bidang Filsafat. Lulus S1 dari UIA, Adnin Armas melanjutkan pendidikan S2 di International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) bidang Pemikiran Islam (Islamic Thought). Di kampus ini Adnin belajar langsung kepada S.M.N al-Attas. Adnin kemudian memperoleh gelar M.A. dari ISTAC dengan tesis berjudul Fakhruddin al-Razi on Time pada tahun 2003. Kini, pria kelahiran Medan tahun 1972 ini menjabat sebagai Ketua Yayasan INSISTS Bina Tamaddun Islam, merangkap sekretaris MIUMI pusat dan Pemimpin Redaksi Majalah Gontor.
Adnin Armas M.A, adalah direktur eksekutif Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS), Jakarta. Saat ini tercatat sebagai tenaga pengajar di ISID Gontor dan Redaktur ahli Majalah Gontor. Ia telah menerbitkan beberapa karya seperti Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an (Diterbitkan Gema Insani Press tahun 2005). Buku ini telah direkomendasikan sebagai bacaan wajib di University Malaya dan Universitas Kebangsaan Malaysia. Satu buku lagi berjudul Pengaruh Kristen Orientalis terhadap Islam Liberal (diterbitkan Gema Insani Press tahun 2003).

4.    Daud Rasyid

Dr. Daud Rasyid, MA lahir di Tanjung Balai, sebuah kota kecil di pesisir pantai Sumatera Utara pada hari Senin tanggal 3 Desember 1962 Masehi bertepatan dengan tanggal 5 Rajab 1382 Hijriyah.[20] Daud Rasyid adalah putera tunggal alm. Bapak Harun al-Rasyid dan alm. Ibunda Hajjah Nurul Huda, seorang pendidik dan ustazah di kota itu.
Masa kecilnya dihabiskan belajar pagi-sore di sekolah formal. Pagi, belajar di sekolah umum dan sore belajar di Madrasah. Malam hari dan hari libur diisi dengan belajar non-formal kepada para syaikh dan Ustaz di daerahnya. Tahun 1980, setelah tamat SMA dan Aliyah, ia meninggalkan kota kelahirannya, merantau ke Medan untuk mengecap pendidikan tinggi di IAIN Medan dan di USU. Namun itu hanya tiga tahun dilaluinya. Baru saja menyelesaikan B.A dari IAIN, dibukalah kesempatan untuk belajar ke Al-Azhar melalui beasiswa Al-Azhar yang disalurkan melalui IAIN.
Daud, yang semasa mahasiswanya aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini, pada awalnya tidak terlalu serius mengikuti tes beasiswa itu, karena studinya yang rangkap di USU dan di IAIN harus ia selesaikan. Namun, apa mau dikata, ketika diumumkan, ia lulus ranking satu dalam seleksi itu.
Di Mesir, hari-harinya ia habiskan belajar tidak saja di lembaga-lembaga formal, seperti di Fak. Syari`ah wa al-Qanun, Al-Azhar, tetapi juga kepada para `Ulama Mesir. Majma` al-Buhuts al-Islamiyah (Institut Riset Islam) di Al-Azhar adalah salah satu tempat Daud menimba ilmu kepada ulama-ulama terkemuka di Azhar, seperti Syaikh Abdul Muhaimin, Ustaz Sa`ad Abdul Fattah dan lain-lainnya.
Riwayat pendidikannya yaitu pada tahun 1980-1983 belajar di Fak. Syari'ah IAIN Sumatera Utara, Medan, selesai Sarjana Muda (B.A) dengan yudisium : "Memuaskan". Tahun 1981-1983 belajar di Fak. Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Dan pada tahun 1984-1987 belajar di Fak. Syari'ah wal-Qanun (Syari'ah dan Hukum) Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.
Kemudian pada tahun 1987-1990 belajar di program Pascasarjana (S2) Fakultas Darul 'Ulum (Studi Islam dan Arab) Universitas Kairo, jurusan "Syari'ah" dan lulus Master (M.A.) dalam bidang "syari`ah" dengan judicium : "Cum Laude" (mumtaz). Judul tesis : "Marwiyyat al-Hakam ibn 'Utaibah wa fiqhuhu" (Hadits-hadits riwayat Imam Al-Hakam ibn 'Utaibah dan Metodologi Fiqhnya).
Selanjutnya Daud melanjutkan studinya pada tahun 1994-1996 menempuh program Doktor (S3) di Fak. Darul 'Ulum, Universitas Kairo dan meraih "Doktor" (PhD) dalam bidang "Syari`ah" dengan yudicium "Summa Cumlaude" (mumtaz bi martabat syaraf `ula) dengan judul disertasi : "Juhud 'Ulama` Indonesia fi as-Sunnah" (Jasa-jasa Ulama Indonesia di bidang Sunnah").[21]
Studi informalnya ditempuh di masjid-masjid dan di rumah syuyukh Mesir. Ia pernah berguru kepada almarhum Syeikh Hasanain Makhluf, mantan Grand Mufti Mesir. Juga Dr. Abdussattar Fatahallah Sa`id, ahli Tafsir di Azhar. Syaikhnya di bidang Hadits adalah Dr. Rif`at Fauzi, guru besar di Dar al-`Ulum, Universitas Kairo. Syaikh Rif`at tidak saja gurunya di kampus, tetapi lebih mendalam lagi di luar kampus. Ia membaca kutub al-Sittah, Muwatto' Malik, Muqaddimah Ibnu al-Shalah dan karya-karya hadits lainnya secara talaqqi. Sampai-sampai Dr. Rif`at mempercayakan perpustakaannya untuk dipegang oleh penerjemah ( Daud Rasyid), selama ia bertugas ke luar negeri. Ia juga banyak belajar dari Dr. `Abdushshobur Syahin, pemikir kondang Mesir dan senantiasa aktif mengikuti ceramah dan khutbah Syahin di Mesir.
Yang banyak membentuk pola pikir Daud adalah gurunya Prof. Muhammad Boultagi Hasan, pakar Ushul Fiqh di Dar al-`Ulum, Kairo. Begitu juga Syekh Yusuf al-Qaradhawi yang kitab-kitabnya senantiasa diikuti oleh penerjemah.
Tahun 1993 ia kembali ke Mesir untuk melanjutkan studinya (program doktor) di Fakultasnya semula. Di Fakultas yang telah mengeluarkan sejumlah pemikir besar di Arab dan sejumlah Syahid, di antaranya Imam Hasan Al-Banna ini, ia dibimbing oleh Dr. Muhammad Nabil Ghanayim. Lebih kurang tiga tahun, disertasinya rampung, dan di depan sidang yang beranggotakan Prof. Boultagi, Prof, Rif`at dan Prof. Nabil, ia berhasil mempertahankan disertasinya dan meraih gelar Ph.D. dalam bidang Syari`ah, Universitas Kairo dengan nilai Summa Cum Laude.
Selesai studi, ia segera kembali ke tanah air dan menjumpai ibu tercinta di kampung halamannya, dengan empat orang putera: `Aisyah, Usamah, Ummu Hani dan Bilal. Sesampainya di Jakarta tahun 1996, ia diminta oleh Prof. Harun Nasution, untuk mengajar di Fak. Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Semula Daud Rasyid termasuk mahasiswa yang gandrung dengan pemikiran tokoh-tokoh liberalis-sekularis. Sebut saja, misalnya, pemikiran almarhum Nurcholis Madjid, alias Cak Nur. "Iya, saya pernah mengagumi pemikiran Cak Nur. Buku-bukunya saya baca," katanya.
Dijelaskannya, dirinya sempat menjadi peminat pemikiran liberalis-sekularis lantaran saat menjadi mahasiswa Fakultas Syari'ah IAIN Sumatera Utara (Sumut), Daud adalah aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). "Dulu, yang namanya anak HMI pasti membaca buku-buku Cak Nur," akunya.
Namun, episode ini tak berlangsung lama. Setelah lulus dari IAIN Sumut, Daud lantas hijrah ke Mesir. Di negeri Sungai Nil inilah, ia mengalami perubahan paradigma secara drastis. Melalui kegiatan membaca karya-karya tokoh-tokoh sekular dan tokoh-tokoh Islamis Mesir dan dunia Arab, pandangan Daud berbalik 180 derajat. Ia tahu dan sadar benar, ternyata pandangan hidup dan pemikiran sekular adalah keliru. Dari situlah Daud Rasyid mengikuti jejak Sayyid Qutb. Yakni, kritis terhadap pemikiran dan gaya hidup Barat.

D.     Pokok-Pokok Kritik atas Islam Liberal

1.    Adian Husaini

Sebagai salah satu dari insider yang mumpuni pemahamannya dalam kajian agama, Adian Husaini berdiri dan mengemuka dengan bekal pemikiran yang tentunya urgen untuk diperhitungkan dalam perbincangan publik, khususnya dalam ranah diskusi keagamaan. Secara garis besar pemikiran Adian Husaini mengerucut menjadi tiga bentuk yaitu sebagai berikut:[22]
a.    Pluralisme- Liberalisme
Adian Husaini juga fokus membahas pluralisme-sekularisme agama-liberalisme. Beliau menilai bahwa liberalisme dan pluralisme adalah alat yang digunakan barat untuk merusak agama dan peradaban Islam, serta menghapus trauma barat terhadap supremasi peradaban Islam yang sempat mereka saksikan dahulu. Ada kecurigaan bahwa barat sengaja menciptakan konsep-konsep semacam liberalisme dan pluralisme untuk meruntuhkan moralitas Islam dalam tubuh umat Islam. Dalam bukunya yang berjudul “Islam Liberal” dijelaskan tentang persepsi salah serta penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan barat dalam bingkai liberalisme dan pluralisme. Kemudian pemikiran beliau akan liberalisme ini pun kembali dibahas dalam bukunya yang berjudul Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal, bahwa di balik liberalisme dan sekularisme terdapat kepentingan barat untuk menguasai peradaban.[23]
Islam liberal merupakan fenomena mutakhir gerakan kontemporer pemikiran Islam yang di Indonesia banyak dimotori oleh kalangan muda Islam yang banyak menimbulkan tanggapan kontroversial dari kalangan umat Islam itu sendiri. Sebenarnya ada beberapa gerakan Islam liberal di Indonesia pasca revormasi. Namun yang paling terkenal dan menentang arus pemikiran di Indonesia adalah gerakan pemikiran yang dimotori oleh kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL) yang digerakan oleh tokoh tokoh muda seperti Ulil Absar Abdalla dan kawan kawannya.
Beragam tanggapan dan respon yang muncul mengenai pemikiran liberal khususnya di Indonesia. Ada kelompok yang tidak begitu antusia dalam menanggapinya, ada pula sebagian kelompok yang sangat serius menanggapinya karena dianggap menentang akidah Islam bahkan ada kelompok radikal yang menghalalkan darah Ulil Abshar Abdalla dan kawan kawannya yang tergabung dalam Jaringan Islam Liberal (JIL). Adian Husaini merupakan salah satu sosok penentang keberadaan JIL di Indonesia. Dia begitu aktif dan kontra ketika berhadapan dengan paham-paham baru yang dirasa dapat merusak citra agama Islam. Berbagai upaya dilakukannya untuk memerangi paham-paham baru tersebut dengan menyuguhkan argumentasi-argumentasi yang tidak dapat dipandang sebelah mata.
Menurutnya, sebenarnya sikap pro kontra terhadap gerakan Islam liberal terutama Jaringan Islam Liberal (JIL) dapat dipetakan menjadi dua yaitu: dalam bentuk fisik dan intelektual. Dalam bentuk intelektual dapat dilihat dari terbitnya berbagai buku baik yang menghujat maupun menanggapinya secara positif. Beberapa penulis yang menentang JIL yang dibukukan antara lain Adian Husaini, Adnin Armas, Yudhi R. Haryono, Hartono Ahmad Jaiz dan Fauzan Al Anshari. Sementara ada juga yang mencoba berfikir obyektif, ilmiah, menjadikan JIL sebagai fokus bahasan untuk menyusun skripsi, tesis maupun disertasi. Ada juga yang secara aktif menantang gagasan gagasan JIL dengan menerbitkan bulletin setiap jum’at seperti yang dilakukan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
JIL dianggapnya sebagai paham yang sangat liberal, yang dapat dengan mudah merusak keislaman seseorang, apalagi yang tidak terlalu memahami kajian keislaman dengan baik. Oleh karena itu, dia menjadi salah satu sosok yang menentang keberadaan JIL.
b.    Wacana Tafsir
Sesuai dengan latar belakang pendidikannya yang berkonsentrasi pada kajian Tafsir dan Hadits ketika beliau kuliah, maka wacana yang ada dalam pemikiran beliau pun tidak akan lari jauh dari kontek Tafsir. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam sebagian besar karya beliau adalah kajian tentang Tafsir. Dan dalam kajian ini, bagian yang paling disinggung oleh Adian Husaini adalah tentang penggunaan hermeneutika sebagai salah satu instrumen dalam memahami dan mengkaji tafsir Al-Qur’an. sebut saja dalam karyanya yang berjudul “Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an”, beliau mempertanyakan tentang keabsahan dan kelayakan hermeneutika sebgai metode ilmu tafsir serta akibat dari penggunaan hermenneutika tersebut dalam pemikiran umat muslim secara keseluruhan. Menurut Adian Husaini, Hermeneutika adalah produk barat yang akan digunakan untuk menghancurkan keyakinan dan pemikiran umat Islam.
Euforia penerapan hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’anyang gencar disuarakan oleh kalangan akademisi muslim, cukup menjadi bukti nyata kesuksesan Barat-Kristen dalam menghegemoni dunia Islam. Barat kini bukan hanya menghegemoni dunia Islam dalam aspek politik, ekonomi, militer, sosial dan budaya. Globalisasi atau westernisasi bukan hanya berlangsung dalam aspek 3F (Food, Fun, Fashion), seperti disebutkan John Naisbitt, tetapi juga 1T (Tought).[24]
Fenomena merebaknya hermeneutika di kalangan akademisi Islam juga tidak terlepas dari hegemoni pemikiran Barat dalam studi Islam. Hermeneutika kini, di berbagai perguruan tinggi Islam, bagaikan wabah yang menjangkiti sarjana muslim. Banyak yang terjangkit, tetapi merasa bangga, karena menemukan sesuatu yang baru. Karena merasa mainan baru ini akan membawa kemaslahatan umat, maka ‘barang lama’ berupa tradisi Islam dikecam dan mau dicampakkan begitu saja.
Bagi mereka, hermeneutika dapat memperkaya dan dijadikan alternatif pengganti metode tafsir tradisional yang dituduh ahistoris (mengabaikan konteks sejarah) dan uncritical (tidak kritis). Kalangan ini tidak menyadari bahwa hermeneutika sesungguhnya sarat dengan asumsi-asumsi dan implikasi teologis, filosofis, epistemologis dan metodologis yang timbul dalam konteks keberagamaan dan pengalaman sejarah Yahudi dan Kristen.
Sebagai hal baru yang masuk dalam tradisi keilmuan Islam, hermeneutika seyogyanya dikaji secara cermat, sebelum memutuskan, metodologi interpretasi Bibel ini dapat diaplikasikan untuk menggantikan metode tafsir Al-Quran. Jika ditelaah, ternyata hermeneutika memang berasal dari tradisi Kristen/Yahudi yang kemudian diadopsi oleh para teolog dan filosof Barat modern menjadi metode interpretasi teks secara umum. Hermeneutika berkembang dalam tradisi Kristen dan intelektual Barat, karena memang berangkat dari teks Bibel dan doktrin teologis Kristen yang mengandung banyak sekali masalah di mata para cendekiawannya sendiri. Dan, kini hermeneutika hendak diterapkan untuk menafsirkan Al-Quran.[25]
Di awal abad ke-20, hermeneutika menjadi sangat filosofis. Interpretasi merupakan interaksi keberadaan kita dengan wahana Sang Wujud (Sein) yang memanifestasikan dirinya melalui bahasa, ungkap Heidegger. Yang tak terelakkan dalam interaksi tersebut adalah terjadinya ‘hermeneutic circle’, semacam lingkaran setan atau proses tak berujung-pangkal antara teks, praduga-praduga, interpretasi, dan peninjauan kembali (revisi). Demikian pula rumusan Gadamer, yang membayangkan interaksi pembaca dengan teks sebagai sebuah dialog atau dialektika soal-jawab, di mana cakrawala kedua belah pihak melebur jadi satu (Horizontverschmelzung), hingga terjadi kesepakatan dan kesepahaman. Interaksi tersebut tidak boleh berhenti, tegas Gadamer. Setiap jawaban adalah relatif dan tentatif kebenarannya, senantiasa boleh dikritik dan ditolak. Habermas pergi lebih jauh. Baginya, hermeneutika bertujuan membongkar motif-motif tersembunyi (hidden interests) yang melatarbelakangi lahirnya sebuah teks. Sebagai kritik ideologi, hermeneutika harus bisa mengungkapkan pelbagai manipulasi, dominasi, dan propaganda di balik bahasa sebuah teks, segala yang mungkin telah mendistorsi pesan atau makna secara sistematis.
Hermeneutika tidaklah layak disinonimkan dengan tafsir Al-Quran, yang memiliki konsep yang jelas, berurat serta berakar di dalam Islam. Hermeneutika dibangun atas paham relativisme. Hermeneutika menggiring kepada gagasan bahwa segala penafsiran Al-Qur’anitu relatif, padahal fakta empiris menunjukkan para mufasir yang terkemuka sepanjang masa tetap memiliki kesepakatan-kesepakatan. Jika hermeneutika tetap digunakan sebagai sebuah sinonim terhadap tafsir, akan mengimplikasikan bahwa berbagai problematika yang ada di dalam hermeneutika, juga terjadi di dalam Al-Quran, padahal tidak seperti itu.
Setidaknya ada tiga persoalan serius apabila hermeneutika diterapkan untuk menafsirkan Al-Quran. Pertama, memunculkan sikap kritis yang terkadang berlebihan dan curiga terhadap Al-Quran. Kedua, teks Al-Qur’anakan dipandang sebagai produk budaya yang dipengaruhi oleh kondisi sosio-historis Arab dan diabaikan dari hal-hal yang sifatnya transenden (ilahiyyah). Ketiga, memunculkan relativisme tafsir,[26]sehingga kebenaran tafsir itu menjadi sangat relatif, yang pada gilirannya menjadi repot untuk diterapkan. Berbagai persoalan itu akan benar-benar muncul, apabila hermeneutika dijadikan metode untuk memahami Al-Quran. Karena, hermeneutika yang berasal dari tradisi Yunani, kemudian berkembang sebagai metodologi penafsiran Bibel, yang kemudian dikembangkan oleh para teolog dan filosof di Barat sebagai metode penafsiran secara umum dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora dan sekarang banyak dikampayekan oleh kaum liberalis, ia jelas tidak bebas-nilai. Ia mengandung sejumlah asumsi dan konsekuensi.
Hermeneutika menghendaki pelakunya untuk menganut relativisme epistemologis. Tidak ada tafsir yang mutlak benar, semuanya relatif. Yang benar menurut seseorang, boleh jadi salah menurut orang lain. Kebenaran terikat dan bergantung pada konteks (zaman dan tempat) tertentu. Selain mengaburkan dan menolak kebenaran, paham ini juga akan melahirkan mufasir-mufasir palsu dan pemikir-pemikir yang tidak terkendali (liar). Adian Husaini menyebutkan ada tiga dampak negatif hermeneutika jika diterapkan sebagai metodologi memahami Al-Quran. Dampak negatif tersebut akan merusak cara pandang, pemikiran, pemahaman dan bahkan perilaku umat.
Pertama, memunculkan relativisme tafsir. Paham relativisme tafsir ini sangat berbahaya, sebab: (1) Menghilangkan keyakinan akan kebenaran dan finalitas Islam, sehingga selalu berusaha memandang kerelativan kebenaran Islam. (2) Menghancurkan bangunan ilmu pengetahuan Islam yang lahir dari Al-Qur’andan Sunnah Rasul yang sudah teruji selama ratusan tahun. Padahal, metode hermeneutika Al-Qur’anhingga kini masih merupakan upaya coba-coba beberapa ilmuwan kontemporer yang belum membuahkan pemikiran Islam yang utuh dan komprehensif. Akibatnya, para pendukung hermeneutika tidak akan mampu membuat satu tafsir Al-Qur’anyang utuh. Mereka hanya berkutat pada masalah dekonstruksi sejumlah konsep/hukum Islam yang sudah dipandang baku dalam Islam. (3) Menempatkan Islam sebagai agama sejarah yang selalu berubah mengikuti zaman. Bagi mereka tidak ada yang tetap dalam Islam. Hukum-hukum Islam yang sudah dinyatakan final dan tetap (tsawabit) akan senantiasa bisa diubah dan disesuaikan dengan perkembangan zaman. Saat ini, sejalan dengan arus liberalisasi Islam, sudah banyak yang berani menghalalkan hukum-hukum yang sudah pasti, seperti haramnya muslimah menikah dengan laki-laki non muslim, dan haramnya perkawinan homoseksual.
Kedua, hermeneutika menyuburkan sikap curiga dan mencerca ulama Islam. Para pendukung metode ini juga tidak segan-segan memberikan tuduhan yang membabi buta terhadap para ulama Islam yang terkemuka, seperti Imam Syafi’i, yang berjasa merumuskan metodologi keilmuan Islam, yang tidak dikehendaki oleh para pendukung hermeneutika.
Ketiga, hermeneutika memunculkan dekonstruksi konsep wahyu. Sebagian pendukung hermeneutika memasuki wilayah yang sangat rawan dengan mempersoalkan dan menggugat otentisitas Al-Qur’ansebagai kitab yang lafzhan wa ma’nan minallah (lafazh dan maknanya dari Allah). Dan, hal ini sangat berbahaya sekali, karena bersentuhan langsung dengan masalah akidah Islam.
c.    Barat vs Islam
Secara tidak langsung Adian Husaini telah ikut serta menempatkan diri dalam pergulatan Barat vs Islam yang telah diciptakan oleh beberapa tokoh sebelumnya. Beliau berpendapat bahwa telah terjadi gap yang berakhir pada permusuhan antar Islam dan Barat. Barat begitu gencar melakukan perlawanan terhadap Islam dengan hard-fighting dan soft-fighting. Kemudian beliau juga mengenalkan konsep ghazwul fikri atau perang pemikiran yang telah ditabuhkan sejak lama. Barat terus menciptakan “senjata-senjata” semacam hermeneutika, pluralisme, dan liberalisme untuk merontokkan hegemoni peradaban Islam. Oleh karena itu, faith protecting merupakan pemikiran yang paling utama dari seorang Adian Husaini. Aktivitas dan gerakan-gerakan ilmiah dan keagamaannya, serta jenis kajian lainnya adalah beertujuan untuk melakukan pemeliharaan akidah umat Islam dari pengaruh liberalisme, sekularisme, pluralisme, hermeneutika, serta produk-produk barat lainnya yang diasumsikan dapat mengancam keyakinan umat Islam. Tema inti dari karya-karya serta diskusi beliau adalah penyadaran umat Islam terhadap ancaman dan teror barat yang diyakini senantiasa “mengintai” umat Islam. Atau dapat dikatakan bahwa orientasi dari setiap buah pemikiran beliau adalah upaya penjagaan akidah umat Islam.

2.    Hartono Ahmad Jaiz

Kendatipun Hartono berbicara dan menulis tentang banyak hal, tetapi konsern utamanya fokus pada upaya meluruskan akidah umat. Upaya itu menurut beliau sangat penting di tengah berkembangnya paham liberal, pluralis dan bid’ah.Karya-karyanya pun mayoritas merupakan reaksi terhadap tulisan-tulisan tokoh yang dianggapnya pengusung liberalisme, pluralisme, dan bid’ah. Hampir semua wacana yang dilontarkan tokoh-tokoh “JIL”, telah ditanggapi oleh Hartono. Mulai dari diskursus jilbab, murtad, pendekatan hermeneutika dalam menafsirkan Al-Qur’an, dan sebagainya.
Begitu banyak wacana yang beliau tulis, sehingga tidak mungkin untuk dikembangkan dalam makalah sederhana ini. Pemakalah hanya akan mengurai sebagiannya saja.
a.    Tentang IAIN
Menurut Hartono, sebenarnya, masyarakat sangat membutuhkan alumni IAIN untuk membimbing keislaman. Namun kebutuhan itu tidak terpenuhi dengan baik, lantaran sajian yang diberikan oleh alumni IAIN, kebanyakan tidak sesuai standar ilmu Islam. Ilmu Islam yang beliau maksud adalah sebagai berikut:
Ilmu Islam itu materinya Al-Qur’an dan As-Sunnah, sedang manhaj (metode pemahaman) yang selamat adalah manhaj salafus shalih. Yaitu metode pemahaman generasi terbaik dalam Islam, yakni Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’it Tabi’in; yang semua itu sudah disusun ilmu-ilmunya oleh para ulama, dan sampai kepada kita sekarang ini. Semua itu bisa diverifikasi, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang shahih dan mana yang dho’if/ lemah bahkan palsu (maudhu’). Sehingga sampai sekarang tetap ketahuan, mana yang benar-benar sabda Nabi saw dan yang bukan. Bahkan sampai perkataan para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan ulama yang terkemuka pun bisa dilacak. Jadi keutuhan sumber Islam itu masih terjaga, bahkan penjelasan-penjelasannya pun masih terjaga dan bisa dideteksi shohih tidaknya.[27]
Buku Ada Pemurtadan di IAIN adalah dalam rangka menunjukkan bukti-bukti kenyelenehan (keanehan) pendapat yang muncul dari kampus-kampus Perguruan Tinggi Islam di Indonesia, yakni di IAIN (Institut Agama Islam Negeri), UIN (Universitas Islam Negeri), STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) , dan STAIS (Sekolah Tinggi Agama Islam Swasta) di Indonesia, dan apa yang melatar belakanginya. Kenyelenehan itu sudah merajalela ke mana-mana dan telah membahayakan bagi Islam dan umatnya, apalagi justru ada gejala bahwa kenyelenehan itu menjadi sistem pendidikan tinggi Islam di Indonesia, yang arahnya menjauhkan umat Islam dari agamanya yang benar. Realitas ini menurut Hartono, mirip dengan pembunuhan berencara dan sistematis terhadap akidah umat, sebagaimana ia nyatakan: Pembunuhan secara fisik yang terjadi di mana-mana di dunia ini, biasa disebut sebagai kesadisan. Namun pembunuhan secara non fisik yaitu membunuh iman tauhidi diganti dengan kemusyrikan dengan nama pluralisme agama adalah lebih sadis dibanding pembunuhan fisik. Apalagi pembunuhan iman ini justru dilaksanakan secara sistematis, terencana rapi, dan secara serempak, didanai oleh negeri ini dan Barat. Maka jauh lebih sadis dibanding pembunuhan massal. Karena, orang-orang yang dibunuh fisiknya, ketika mereka itu imannya di dada masih utuh, maka insya Allah masuk surga. Sedang kalau pembunuhan massal itu yang dibunuh adalah iman di dada, di ganti dengan kemusyrikan yang namanya dimenterengkan menjadi pluralisme agama, maka jurusannya adalah neraka selamanya. Baik pembunuhan iman maupun pembengkokan pemahaman Islam serta penjauhan umat dari sumber-sumber otentik/ murni Islam, semuanya itu adalah aksi sadis yang memusuhi Islam dan umatnya.[28]
Bahkan, pada tingkat tertentu, menurut beliau akan menggiring mahasiswa kepada murtad. Maka jadilah IAIN mesin yang memproduksi manusia-manusia murtad dan akan memurtadkan umat. Hal itu karena materi yang diajarkan di IAIN tidak utuh, metode pengajarannya tidak benar, karena tidak mengacu kepada manhaj salaf as-salih dan tidak merujuk kepada Al-Qur’an dan sunnah secara utuh Beliau menyatakan: ”Materi Islam yang memang masih utuh dan perlu didakwahkan kepada masyarakat itu tidak dimiliki oleh para alumni IAIN –kecuali sebagian kecil yang rajin menuntut ilmu sendiri--, karena memang di perguruan tinggi yang labelnya Islam itu tidak menyajikannya sedemikian itu. Justru di sana disajikan pemikiran-pemikiran dan sejarah budaya, sebagai mata kuliah dasar, yang itu semua bukan materi Islam, dan cara mengajarkannya tanpa sanad (pertalian riwayat), hingga bukan mengikuti manhaj Islami. Pengajarannya secara liar, yaitu dibebaskan berkomentar semau pikiran masing-masing. Tidak mengherankan kalau ada mahasiswa yang dengan lantang mengecam Abu Bakar ra, Umar ra, Utsman ra dan sebagainya. Karena system pengajarannya tidak dirujukkan kepada Al-Qur’an dan Assunnah, dan tidak pakai manhaj yang ditempuh para ulama salafus shalih. Bahkan ketika membicarakan pemikiran sekte-sekte sesat, misalnya Ahmadiyah yang mengangkat nabi palsu Mirza Ghulam Ahmad pun tidak dirujukkan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman yang benar, tetapi pakai pemahaman Ahmadiyah itu pula. Akibatnya, semua sekte sesat pun dianggapnya sah-sah saja. Dan itu kemudian ditingkatkan kepada pemikiran jenis tasawuf falsafi yang sampai menganggap alam ini perwujudan Tuhan, hingga menyembah patung pun dianggapnya menyembah Tuhan, karena patung itu perwujudan Tuhan. Faham wihdatul wujud ini jelas kufur. Dan itulah pemurtadan. Masih pula ditambah lagi dengan pemikiran filsafat, yang memasukkan Ar-Razi yang tak percaya kepada kenabian dan wahyu ke dalam mata kuliah filsafat Islam. Materi-materi yang memurtadkan itu diberi label Sejarah Pemikiran Islam, dan justru menjadi mata kuliah dasar, semua mahasiswa harus ikut. Dan kalau swasta harus ujian negeri. Akibatnya, ketika para alumni IAIN itu keluar, bergelar sarjana agama, master agama, dan doktor ilmu agama, mereka tidak berbekal materi Islam yang utuh, tetapi hanya berbekal landasan pemikiran-pemikiran, sejarah budaya peradaban dan semacamnya. Hingga ketika dibutuhkan untuk menyajikan materi Islam yang utuh, mereka menggunakan logika-logika, bahkan ada yang pakai cerita-cerita rekaan dan duga-duga.[29]
Pokok masalahnya berawal dari adopsi terhadap pemikiran Harun Nasution dan Mukti Ali (para petinggi di IAIN dan Departemen Agama masa lalu). Sehingga berakibat pada perubahan sistem pengajaran, kurikulum, dan pola rekruitmen dosen yang kebanyakan produk orientalis dan berasal dari universitas-universitas Barat.
Solusinya menurut beliau adalah, kembali kepada jalan yang benar, dengan mengembalikan pendidikan Islam kepada pemahaman Al-Qur’an dan As-Sunnah secara manhaj yang benar, secara sistematis dan intensif. Wadahnya sudah ada, tenaga-tenaganya pun tinggal difungsikan serta direkrut; sedang sistemnya tinggal disusun lalu diprogramkan dan dilaksanakan.[30]
b.    Tentang Islam Liberal (JIL)
Menurut Hartono, Islam liberal bukan merupakan nama baku dari satu kelompok Islam, namun hanyalah satu kategori untuk memudahkan analisis. Buktinya, orang-orang yang dikategorikan dalam Islam liberal itu sendiri ada yang saling berjauhan pendapatnya, bahkan yang satu mengkritik tajam yang lain. Misalnya, Ali Abdul Raziq dari Mesir yang menulis buku Al-Islăm wa Usŭl al-Hukm dikritik tajam oleh Rasyid Ridha dan Dhiyauddin Rayis. Namun yang dikritik maupun pengkritiknya itu kedua belah pihak dimasukkan dalam kategori IslamLiberal, sebagaimana ditulis dalam buku Charles Kurzman, Liberal Islam: A Sourcebook. Padahal, di kalangan Islam revivalis (salafi), Rasyid Ridha adalah seorang salaf, yang diakui sebagai ulama yang menguasai Hadits pula.[31]
Sebagai sebuah kategorisasi, para pengusung Islam Liberal, sangat salah jika dinobatkan sebagai pembaharu. Pembaharu adalah tempat terhormat yang tidak layak diberikan kepada para penyebar fitnah dan kriminal.[32] Dengan mengutip Kurzman, Hartono menjelaskan kesalahan yang beliau lakukan yaitu:
Kurzman yang alumni Harvad dan Berkeley itu menyebut para tokoh Islam Liberal sebagai orang-orang yang mengadakan pembaruan lewat pendidikan, dengan memakai sistem pendidikan non Islam alias Barat. Maka secara umum, tokoh-tokoh Islam Liberal itu menurutnya, adalah orang-orang modernis atau pembaharu.[33]
Contoh kekeliruan paham Islam Liberal tersebut dapat ditelisik dari tulisan Nurcholish Madjid berikut ini:
“Islam adalah al-Din bukan agama semata-mata, melainkan juga meliputi bidang lain, yang akhirnya melahirkan apresiasi ideologis-politis totalier, itu tidak benar ditinjau dari beberapa segi. Pertama ialah segi bahasa. Di situ terjadi inkonsistensi yang nyata, yaitu perkataan al-Din dipakai juga untuk menyatakan agama-agama yang lain, termasuk agama syirk-nya orang-orang Quraisy Makkah. Jadi arti kata itu memang agama; karena itu, Islam adalah agama.”[34]
Menurut Hartono, sistematika berpikir dengan cara membolak-balik istilah lewat bahasa semacam itu, sering menjadikan orang yang tidak paham, menjadi bingung. Namun bagi yang paham, justru bisa mengatakan, seperti kata Pak Rasyidi, pemikiran semacam itu berbahaya karena pemikirannya sederhana. Memang berbahaya, karena logikanya sangat sederhana. Islam itu al-Din, sedang al-Din itu digunakan untuk nama agama lain, yang semua agama itu, dia anggap tidak mengatur negara. Jadi Islam juga tidak ada urusannya dengan negara. Padahal, menurut Hartono, kata al-Din ada yang berarti undang-undang, seperti dalam Surat Yusuf ayat 76:
مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ إِلاَّ أَن يَشَاءَ اللّهُ نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مِّن نَّشَاء وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ
Artinya:“…Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut dinil Maliki (undang-undang Raja), kecuali Allah menghendakinya.” (QS. Yusuf: 76).[35]
Pada ayat ini kata din artinya adalah undang-undang. Itu kaitannya untuk menghukum saudara Yusuf yang di dalam kantongnya terdapat sukatan Raja. Menurut Mukhtashor Tafsir At-Thobari, tafsir ayat ini tidaklah memerintahkan Yusuf untuk menghukum saudaranya itu dalam hukum raja dan kesultanannya, karena tidak ada dalam hukum raja itu untuk menjadikan pencuri jadi budak, tetapi ini adalah hukum yang ada dalam syari’at Ya’qub. Tetapi kami (Allah) berbuat demikian padanya dengan kehendak Kami.
Dengan demikian, menurut tafsir tersebut, din diartikan hukm (hukum) dan syari’ah (jalan atau hukum). Jadi, pengembalian kepada bahasa seperti yang diinginkan Nurcholish pun, tidak sesederhana yang dia lontarkan, dengan cara memukul rata atau menggeneralisir alias main gebyah uyah, menganggap bagai garam semuanya asin. Karena ternyata, kata al-Din di Al-Qur’an tidak hanya berarti agama –ritual, tetapi ada juga yang maknanya undang-undang yang berkaitan dengan kekuasaan. Corak pemikiran lain dari Nurcholish sebagai imbas paham liberal, yang dianggap salah oleh Hartono adalah sebagai berikut:
Faktor kedua adalah legalisme, yang membawa sebagian kaum muslim pada pikiran apologetis “Negara Islam” itu. Legalisme ini menumbuhkan apresiasi yang serba legalistik kepada Islam, yang berupa penghayatan keislaman yang menggambarkan bahwa Islam itu adalah struktur dan kumpulan hukum. Legalisme ini merupakan kelanjutan “Fikihisme” (fikh-eism). Fikih adalah kodifikasi hukum hasil pemikiran sarjana-sarjana Islam pada abad-abad kedua dan ketiga Hijrah. Kodifikasi itu dibuat guna memenuhi kebutuhan akan sistem hukum yang mengatur pemerintahan dan negara yang, pada waktu itu, meliputi daerah yang amat luas dan rakyat yang amat banyak. “Fikihisme” ini begitu dominan di kalangan umat Islam, sehingga gerakan-gerakan reformasi pun umumnya masih memusatkan sasarannya kepada bidang itu. Susunan hukum ini juga kadang-kadang disebut sebagai syari’at. Maka, “Negara Islam” itupun suatu apologi, di mana umat Islam berharap dapat menunjukkan aturan-aturan dan syari’at Islam yang lebih unggul daripada hukum-hukum lainnya. Padahal sudah jelas, bahwa fiqih itu, meskipun telah ditangani oleh kaum reformis, sudah kehilangan relevansinya dengan pola kehidupan zaman sekarang. Sedangkan perubahan secara total, agar sesuai dengan pola kehidupan modern, memerlukan pengetahuan yang menyeluruh tentang kehidupan modern dalam segala aspeknya, sehingga tidak hanya menjadi kompetensi dan kepentingan umat Islam saja, melainkan juga orang-orang lain. Maka, hasilnya pun tidak perlu hanya merupakan hukum Islam, melainkan hukum yang meliputi semua orang, untuk mengatur kehidupan bersama. Dari tinjauan yang lebih prinsipil, konsep “Negara Islam” itu adalah suatu distorsi hubungan proporsional antara negara dengan agama. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi, yang dimensinya adalah rasional dan kolektif. Sedangkan agama adalah aspek kehidupan lain, yang dimensinya adalah spiritual dan pribadi.
Memang antara agama dengan negara tidak dapat dipisahkan, sebagaimana telah diterangkan di muka. Melalui individu-individu warga negara, terdapat pertalian yang tidak terpisahkan antara motivasi (sikap batin bernegara) dan aksi (sikap lahir bernegara).[36]
Hartono menanggapi tulisan tersebut dengan menyatakan, bahwa landasan berpikir Nurcholish Madjid itu telah gugur pada butir pertama. Dia menyalahkan orang, justru dirinya sendiri hujjahnya bertentangan dengan ayat Al-Qur’an. Sebenarnya uraiannya yang terakhir itu tidak usah dikomentari, sudah jelas, landasannya keropos. Tetapi, cara dia bikin istilah penyudutan (?) yaitu apa yang ia sebut fikihisme, lalu dia katakan kehilangan relevansinya walau sudah diperbarui; itu semua adalah penafian realitas. Lebih lanjut Hartono menyebutkan: Tentang Negara Islam, sebenarnya adalah realitas sejarah, dari zaman Nabi saw sampai Khulafaur Rasyidin dan para khalifah ataupun para sultan yang berlanjut selama berabad-abad; itu adalah satu bentuk pemerintahan Islam. Yang dipakai pun hukum Islam atau syari’at Islam. Itu adalah kenyataan, bukan dongeng. Bahkan adanya pemerintahan Islam atau sekarang bisa disebut negara Islam itu sudah sejak sebelum adanya fiqh.
Kenapa Nurcholish Madjid memutar balikkan fakta, sehinga ia katakan: “…legalisme membawa sebagian kaum muslim pada pikiran apologetis “Negara Islam”… Legalisme ini merupakan kelanjutan “Fikihisme” (fikh-eism). Fikh adalah kodifikasi hukum hasil pemikiran sarjana-sarjana Islam pada abad-abad kedua dan ketiga Hijrah.”
Selama manusia itu jujur, dia akan mengakui, pemerintahan Islam jelas sudah ada sejak sebelum munculnya fiqh yang Nurcholish sebut abad kedua Hijrah, karena pemerintahan Islam sudah berdiri sejak Nabi saw di Madinah. Tetapi kenapa Nurcholish katakan: pemikiran apologetik “Negara Islam” itu akibat pemahaman legalisme, dan legalisme itu merupakan kelanjutan fikihisme?
Nurcholish boleh menuduh seperti itu, apabila yang terjadi di dunia ini adalah: Belum pernah ada Pemerintahan/ Negara Islam, tetapi fiqh sudah tumbuh dan berkembang, lalu membawa umat Islam ke arus legalisme, barulah kemudian orang berapologetis “Negara Islam”.[37]
Masih banyak contoh kekeliruan lain yang diungkapkan oleh tokoh-tokoh Jaringan Islam Liberal. Tetapi menurut Hartono, jika diteiti, memiliki kelemahan yang sangat mendasar, diantaranya adalah: 1) Tidak punya landasan/dalil yang benar. 2) Tidak punya paradigma ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. 3) Tidak mengakui realita yang tampak nyata. 4) Tidak mengakui sejarah yang benar adanya. 5) Tidak punya rujukan yang bisa dipertanggungjawabkan. Yang kemudian oleh Hartono Ahmad Jaiz dikelompokkan dalam dua kelompok:[38]
1)   Lemah dari segi metode keilmuan.
2)   Lemah dari segi tinjauan keyakinan atau teologis.
c.    Tentang Tasawuf
Hartono kelihatannnya tidak mengenelarisir bahwa semua ajaran tasawuf sesat (bid’ah). Ajaran tasauf yang sesat hanya yang tidak berdasar kepada Al-Qur’an dan sunnah. Dengan mengutip Ibnu Jauzi, beliau memberikan contoh kesesatan sebagian besar sufi sebagai berikut:[39]
“Imam Ahmad bin Hambal (780-855M) pernah berkata tentang As-Saqathy (tokoh sufi), "Dia seorang syeikh yang terkenal karena suka menjamu makanan." Kemudian ada yang mengabari imam Ahmad, bahwa beliau berkata; tatkala Allah menciptakan huruf-huruf, maka huruf ba' sujud kepada-Nya. Maka seketika itu pula Imam Ahmad berkata: "Jauhilah dia!"
Akan tetapi, kelihatannya Hartono sangat alergi dengan istilah tasawuf, karena menurutnya, kata itu tidak jelas asal muasalnya. Kendatipun beliau tetap mengutip pendapat para ahli tentang asal usul terminologi itu, tetapi pada akhirnya beliau menutup uraiannya dalam buku tersebut dengan ungkapan sebagai berikut:
Tasawuf itu adalah kasus yang lebih berbahaya ketimbang seka­dar pakaian kasar, bahkan merupakan pemikiran-pemikiran buatan para filosof yang masuk ikut campur dalam Islam padahal sebenar­nya jauh dari Islam, tetapi disampuli dengan cover yang menimbul­kan pengelabuan bahwa tasawuf itu termasuk dalam Islam.”[40] Kemudian pada uraian berikutnya, beliau menjelaskan perbedaan antara tasawuf dengan Islam, sebagai berikut:
Pengambilan syari'at bagi ahli Islam adalah Al-Kitab (Al-Quran), As-Sunnah (Al-Hadits), Ijam' (kesepakatan para ulama terdahulu generasi awal Islam), dan qiyas (perbandingan, yaitu pengambilan hukum dengan membandingkan kepada hukum yang sudah ada ketegasannya dari nash/ teks Al-Quran atau Al-Hadits, dengan syarat kasusnya sama, misalnya beras bisa untuk zakat fitrah karena diqiaskan dengan gandum yang sudah ada nash hadit­snya). Sedangkan bagi orang-orang tasawwuf, syari'at mereka didirikan di atas mimpi-mimpi (tidur), Khidhir, jin, orang-orang mati, syeikh-syeikh, semua mereka itu dijadikan pembuat syari'at.[41]

3.    Adnin Armas

Adapun pemikiran Adnin Armas dapat diuraikan sebagai berikut:
a.    Abdullahi Ahmed An-Na’im Lebih Simpatik Kepada HAM Ketimbang Kepada Syari’ah
Abdullahi Ahmed An-Na‘im dalam karyanya, Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syari’ah, menegaskan pemisahan institusi negara dan Islam seraya tetap menjaga hubungan antara Islam dan politik. Bagi An-Na‘im, negara harus bersikap netral terhadap agama, karena manusia cenderung mengikuti pandangan pribadinya, termasuk agama. Bagaimanapun, An-Na‘im juga menegaskan negara tetap perlu mengakui fungsi publik Islam dan pengaruhnya dalam pembuatan kebijakan publik dan undang-undang. An-Na‘im menyatakan Syari’ah bisa berperan dalam ruang publik tetapi harus melalui public reason (nalar publik) dalam kerangka Konstitusionalisme, HAM, dan Kewarganegaraan. Nalar publik yang dimaksudkan oleh An-Na‘im adalah sebuah ruang diskusi dan debat yang benar-benar berakar pada civil society dan ditandai dengan adanya proses kontestasi sejumlah aktor yang berbeda. Kinerja publik reason dalam menegosiasikan peran agama dalam kebijakan publik dan Negara harus dilindungi oleh prinsip-prinsip konstitusionalisme, hak asasi manusia dan kewarnegaraan.
An-Na‘im menolak peran Syari’ah dalam ruang publik jika tidak melalui nalar publik yang dipandu Konstitusionalisme, HAM, dan Kewarganegaraan. Sebabnya, An-Na‘im menilai watak inheren dalam Syari’ah sebagai sistem normatif keagamaan memang tidak bisa diterapkan oleh negara. An-Na‘im menganggap Syari’ah sebagai penafsiran atas Al-Qur’an dan Sunnah Nabi; prinsip-prinsip Syari’ah merupakan sesuatu yang dapat dipahami dan coba diamalkan oleh umat manusia dalam konteks sejarah tertentu. Konsep Syari’ah An-Na‘im yang relativistik dan pluralistik mendorongnya untuk membongkar makna ijtihad, menolak fatwa, melakukan reformasi Islami, menganggap Syari’ah yang selama ini dipahami kaum Muslimin sebagai Syari’ah tradisional, mereformasi usul fikh, dan menguji Syari’ah terus-menerus dalam nalar publik (public reason), yang alasan, maksud, dan tujuan kebijakan publik atau perundang-undangan harus didasarkan pada pemikiran yang didalamnya warga pada umumnya bisa menerima atau menolak, dan membuat usulan tandingan melalui debat publik tanpa ketakutan dituduh kafir atau murtad.
Ringkasnya, An-Na‘im menunjukkan dukungannya kepada sekularisme. Namun gagasannya tentang sekularisme tidak lah memiliki makna sempit, seperti yang biasanya dipahami, yaitu pemisahan tegas antara agama dan negara. An-Na‘im bahkan menegaskan “dikotomi untuk memilih salah satu di antara agama dan sekularisme sudah gagal karena konsep sekular tidak bisa berfungsi tanpa adanya ide agama.” An-Na‘im menyimpulkan gagasan sekularisme dalam pengertian yang ketat dan sempit itu sebagai dikotomi keliru dan dilema yang tidak perlu.
Sekularisme, dalam pandangan an-Na‘im, memiliki makna yang lebih luas. Bagi An-Na‘im, sekularisme adalah sebuah prinsip yang menjaga netralitas negara terhadap agama dengan tetap mempertahankan keterhubungan antara Islam dan politik.
Pemikiran An-Na‘im tentang sekularisme menunjukkan bahwa An-Na‘im telah maju selangkah dibanding para sekularis fundamentalis yang secara ketat memisahkan antara agama dan Negara. Pemikirannya sekaligus menunjukkan kegagalan ideologi sekularisme yang memiliki makna yang sempit. Oleh sebab itu, An-Na‘im merasa perlu untuk memperlebar makna tersebut sehingga tetap memungkinkan peran agama dalam ruang publik. An-Na‘im menegaskan supaya Islam dipisahkan dari Negara, sambil tetap mempertahankan hubungan antara Islam dan politik, yang memungkinkan penerapan prinsip-prinsip Islamdalam kebijakan dan perundangan-undangan resmi, tetapi dengan tetap tunduk kepada perisai-perisai hukum.
An-Na‘im, yang menulis selama 3 tahun (2004-2006) dengan dibiayai Ford Foundation, mengusulkan perlunya mediasi (bukan konfrontasi), yang berfungsi untuk menegosiasikan peranan Syari’ah dalam ruang publik yang berada dalam kerangka Konstitusionalisme, HAM, dan Kewarganegaraan. Bentuk negosiasi gagasan AAN untuk menjadi mediator antara ketegangan antara Syari’ah dan HAM, misalnya, tersurat dalam pernyataannya sebagai berikut. “Sebagai seorang Muslim, jika saya dihadapkan pada pilihan antara Islam dan hak-hak asasi manusia, saya pasti memilih Islam. Akan tetapi, jika dihadapkan pada argument bahwa ternyata ada konsistensi antara agama yang saya anut dan hak-hak asasi manusia, saya akan dengan senang hati menerima hak-hak asasi manusia sebagai ekspresi nilai-nilai agama dan bukan sebagai penggantinya. Sebagai Muslim pendukung hak-hak asasi manusia, saya mesti terus mencoba mencari cara untuk menjelaskan dan mendukung klaim bahwa hak-hak asasi manusia sesuai dengan Islam, benar-benar diperlukan dari perspektif Islam, meskipun tidak sesuai dengan beberapa interpretasi manusia atas Syari’ah.”
An-Na‘im juga menyatakan “Jika saya, sebagai seorang Muslim, diminta untuk memilih salah satu di antara Islam dan Hak Asasi Manusia, saya pasti akan memilih Islam. Namun, daripada harus menghadapkan pilihan sulit ini kepada umat Islam, saya kira lebih baik kita sebagai Muslim mulai mempertimbangkan untuk mentransformasikan pemahaman kita terhadap Syari’ah dalam konteks masyarakat Muslim saat ini. Saya percaya bahwa pendekatan ini bisa digunakan sebagai prinsip, sekaligus solusi pragmatis.
AAN berpendapat masalah HAM dan Syari’ah lebih baik dipahami dengan menggunakan dua kerangka yaitu inherennya keterlibatan manusia dalam pemahaman dan praktik Islam, di satu pihak, dan universalitas HAM di pihak lain. Pendekatan ini lebih realstis dan konstruktif daripada sekadar mengungkapkan kecocokan atau ketidakcocokan Islam dengan HAM dan mengambil keduanya dalam pemahaman yang absolut dan statis. Ketika kita menguji dinamika dan perkembangan hubungan Islam dan HAM, kita akan menemukan bahwa Islam sebenarnya sangat mendukung HAM. Untuk merealisasikan tujuan-tujuan tersebut, Muslim tidak harus mengabaikan agamanya hanya untuk mengakui HAM. Mereka juga tidak boleh mendiskriminasi orang lain berdasarkan jenis kelamin, ras, kebangsaan maupun agama.
Ada beberapa catatan untuk karya an-Na‘im. Pertama, an-Na‘im mengutip paling sedikit 31 karya (baik dalam bentuk buku dan artikel) dalam bahasa Indonesia. Padahal, an-Na‘im tidak menguasai bahasa Indonesia. Sangat wajar jika timbul keraguan akan otentisitas tulisannya. Atau apakah para ‘mitranya’ di Indonesia telah bersusah-payah menerjemahkan keseluruhan 31 karya tersebut ke dalam bahasa Inggris untuk an-Na‘im? Jika hal tersebut dilakukan, seharusnya an-Na‘im mengucapkan terima kasih yang mendalam dalam bukunya karena jerih-payah ‘mitra’nya. Sayangnya, hal tersebut sama sekali tidak dilakukan oleh an-Na‘im, intelektual yang berkaliber internasional. An-Na‘im hanya menyebutkan bahwa ia telah meminta LKiS Jogjakarta untuk menyelenggarakan seri FGD (Focus Group Discussion) di tujuh lokasi.
Kedua, an-Na‘im mengutip 4 artikel Nurcholish Madjid dalam bahasa Indonesia. Bagaimanakah an-Na‘im bisa mengutip pendapat Nurcholish Madjid, padahal ia tidak tahu bahasa Indonesia? Jika ke-4 artikel tersebut diterjemahkan oleh ‘mitra’nya, maka terjadi pengulangan penerjemahan. Sebabnya, ke-4 artikel Nurcholish Madjid tersebut sudah diterjemahkan oleh Muhammad Kamal Hassan, Muslim Intellectual Responses to “New Order” Modernization In Indonesia. Karya Muhammad Kamal Hassan merupakan hasil disertasi di Universitas Columbia, pada tahun 1975. Karya Muhammad Kamal Hasan tidak tercantum dalam bibliografi karya an-Na‘im. Atau karya Muhammad Kamal Hasan luput dari perhatian ‘mitra’ an-Na‘im. Persoalan sumber tulisan wajar ditimbulkan karena an-Na‘im tidak menerangkan bagaimana begitu banyak referensi dalam bahasa Indonesia ada, sementara ia tidak memiliki kemampuan membaca karya ilmiah dalam bahasa Indonesia.
Ketiga, terdapat kesalahan ketika an-Na‘im menyebut 5 agama yang resmi diakui Negara Indonesia. Namun, ia menerangkannya menjadi 6: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Keempat, dan ini poin penulis yang paling penting. an-Na‘im telah gagal untuk menegosiasikan peran Syari’ah dalam ruang publik. Ketika menegosiasikan peran Syari’ah dalam ruang publik, konsep AAN tentang Syari’ah sebenarnya telah tersekularkan. an-Na‘im menganggap watak dasar Syari’ah adalah pribadi karena ia adalah hubungan personal antara manusia dengan Tuhan dan relatif karena ia adalah hasil penafsiran manusia. An-Na‘im juga telah mensubordinasikan Syari’ah ketika menyatakan Syari’ah perlu disaring dalam nalar publik dan difilter lagi dengan Konstitusionalisme, HAM dan Kewarganegaraan. Padahal konsep an-Na‘im tentang nalar publik juga problematis. Perbedaan level pengetahuan masyarakat, dominasi kekuasaan finansial dan media-massa, konflik kepentingan yang abadi, kekuatan-kekuatan dominasi menjadikan nalar publik sebagai problematis. Selain itu, posisi ‘mediasi’ an-Na‘im terkesan memihak. Ia lebih simpatik terhadap negara sekular dan tidak begitu simpatik kepada Syari’ah. Disebabkan tidak begitu simpatik terhadap peran Syari’ah dalam ruang publik lah, maka an-Na‘im merasa perlu bagi mereformasi Syari’ah tradisional, usul fikh, membongkar ijtihad dan institusi fatwa, dsb. Padahal, seharusnya hal yang sama dilakukan oleh an-Na‘im terhadap konsep negara sekular. An-Na‘im seharusnya juga perlu untuk mereformasi HAM, menganggap HAM sekarang adalah HAM liberal-sekular yang dihasilkan oleh peradaban Barat yang traumatis dengan sejarahnya, mengganti HAM tersebut dengan HAM yang lebih sesuai dengan konsep manusia yang intim dengan spritualitas dan transcendental, dsb. Sayangnya, an-Na‘im tidak melakukan hal tersebut. an-Na‘im hanya mereformasi penafsiran terhadap Syari’ah supaya sesuai dengan HAM dan ia tidak mereformasi penafsiran HAM supaya sesuai dengan Syari’ah. Akibatnya, sebagai mediator, an-Na‘im telah meleburkan Syari’ah ke dalam HAM. Bahkan, gagasannyapun sebenarnya tidak sepenuhnya berfungsi sebagai mediator. Sebabnya, gagasan ‘mediasi’ nya ternyata lebih cenderung berfihak kepada ideologi sekular dibanding kepada Syari’ah. Hasil negosiasinya adalah Syari’ah yang tersekularkan yang memiliki masa depan. Inilah saripati pemikiran Abdullah Ahmed al-Na’im dalam buku terbarunya.
b.    Pengaruh Metodologi Bibel Terhadap Studi Al-Qur’an
Dalam perkembangannya, metodologi tersebut juga sudah diterapkan oleh sebagian pemikir Muslim.[42] Mohammed Arkoun, misalnya, sangat menyayangkan jika sarjana Muslim tidak mau mengikuti jejak kaum Yahudi-Kristen. Ia mengatakan: “Sayang sekali bahwa kritik-kritik filsafat tentang teks-teks suci yang telah digunakan kepada Bibel Ibrani dan Perjanjian Baru, sekalipun tanpa menghasilkan konsekuensi negatif untuk ide wahyu–terus ditolak oleh pendapat kesarjanaan Muslim.” (Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers). Ia juga menegaskan bahwa studi al-Qur’an sangat ketinggalan dibanding dengan studi Bibel (Quranic studies lag considerably behind biblical studies to which they must be compared). Menurut Arkoun, metodologi John Wansbrough, memang sesuai dengan apa yang selama ini ingin Ia kembangkan. Dalam pandangan Arkoun, intervensi ilmiah Wansbrough cocok dengan framework yang Ia usulkan. Framework tersebut memberikan prioritas kepada metode-metode analisa sastra yang, seperti bacaan antropologis-historis, menggiring kepada pertanyaan-pertanyaan dan sebuah refleksi yang bagi kaum fundamentalis saat ini tidak terbayangkan.[43]
Padahal John Wansbrough, yang menerapkan analisa Bibel, yaitu form criticism dan redaction criticism kepada al-Qur’an, menyimpulkan bahwa teks al-Qur’an yang tetap ada baru ada setelah 200 tahun wafatnya Rasulullah saw. Menurut John Wansbrough lagi, riwayat-riwayat mengenai al-Qur’an versi ‘Uthman adalah sebuah fiksi yang datang kemudian, direkayasa oleh komunitas Muslim supaya asal-muasal al-Qur’an dapat di lacak ke Hijaz.
Menurut Arkoun, kaum Muslimin menolak pendekatan kritis-historis al-Qur’an karena nuansa politis dan psikologis. Politis karena mekanisme demokratis masih belum berlaku, dan psikologis karena kegagalan pandangan muktazilah mengenai ke-makhluk-an al-Quran. Padahal, menurut Arkoun, mushaf ‘Uthmani tidak lain hanyalah hasil sosial dan budaya masyarakat yang kemudiannya dijadikan “tak terpikirkan” dan makin menjadi “tak terpikirkan” karena kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi. Ia mengajukan istilah untuk menyebut mushaf Uthmani, sebagai mushaf resmi tertutup (close official corpus).
Dalam pandangan Mohammed Arkoun, apa yang dilakukannya sama dengan apa yang diusahakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd, seorang intelektual asal Mesir. Arkoun menyayangkan sikap para ulama Mesir yang menghakimi Nasr Hamid. Padahal metodologi Nasr Hamid memang sangat layak untuk diaplikasikan kepada al-Qur’an. Nasr Hamid berpendapat bahwa al-Quran sebagai sebuah teks dapat dikaji dan ditafsirkan bukan hanya oleh kaum Muslim, tapi juga oleh Kristen maupun ateis. Al-Qur’an adalah teks liguisitk-historis-manusiawi. Ia adalah hasil budaya Arab.
Adopsi metodologi Bible yang dilakukan sarjana Muslim terhadap al-Qur’an sangat disayangkan. Jika adopsi ini diamini, maka hasilnya fatal sekali. Otentisitas al-Qur’an sebagai kalam Allah akan tergugat. Al-Qur’an akan diperlakukan sama dengan teks-teks yang lain. Ia akan menjadi teks historis, padahal sebenarnya ia adalah Tanzil (trans-historis). Ia jelas berbeda dengan sejarah Bible. Sumbernya juga berbeda. Setting sosial dan budaya juga berbeda. Bahkan Bahasa asli Bibel sudah tidak banyak lagi digunakan oleh penganut Kristen. Sangat berbeda dengan kaum Muslimin, yang dari dulu telah, sekarang masih, dan akan datang terus membaca dan menghafal al-Qur’an dalam bahasa Arab. Oleh sebab itu, mengadopsi metodologi Bibel terhadap al-Qur’an adalah adopsi dan metodologi yang salah.

4.    Daud Rasyid

Tulisan Daud Rasyid dalam setiap bukunya bergaya bahasa lugas dan terus terang. Secara umum pemikiran Daud Rasyid kental sekali warna Timur Tengahnya yang kaya terhadap pandangan ulama klasik dan miskin analisis kritis khas critical study ala Barat. Rasyid  menganggap bahwa pandangan ulama klasik (jauh lebih otentik dan dekat dengan kebenaran wahyu) ketimbang harus meminjam aneka metodologi modern yang menurutnya bisa mengarah kepada cara berfikir sesat.
Isu pertama yang diangkat dalam bukunya yang berjudul Sunnah di Bawah Ancaman: Dari Snouck Hurgronje Hingga Harun Nasution adalah kritik Daud Rasyid atas pandangan kaum orientalis klasik terhadap Sunnah. Isu ini diangkatnya karena menjadi penting adanya, dimana sunnah merupakan unsur terpenting dalam Islam, ia menempati martabat kedua setelah Al-Qur’an dari sumber-sumber hukum Islam.[44]
Nama orientalis yang dimaksud adalah Snouck Hurgronje yang kemudian disebut-sebut pula muridnya yaitu Karen Steenbrink, yang kebetulan keduanya adalah orang Belanda. Rasyid tidak banyak mengulas pemikiran keduanya, tetapi dari kesimpulan yang bisa ditangkap, Rasyid mengangap apa yang telah dipikirkan dan dilakukan oleh keduanya adalah menghujat dan mendeskriditkan Islam dengan pandangan-pandangannya yang melawan arus pemikiran ulama.
Isu kedua yang diangkat Rasyid adalah kritik dan bantahan keras Daud Rasyid terhadap pemikiran Harun Nasution tentang Sunnah. Rasyid menganggap Harun adalah kelanjutan (continuum) pemikiran Snouck Hurgronje. Ada beberapa poin pemikiran Harun yang mendapat sorotan Rasyid, diantaranya adalah:
a.       Secara mutlak, Harun mengingkari penulisan dan penghafalan Hadits pada masa Nabi.
  1. Kodifikasi Hadits baru dimulai pada abad kedua Hijriyah, sehingga sebelum periode itu, antara Hadits shahih dan Hadits paslu (maudhu’) tidak dapat dibedakan.
  2. Para sahabat bersikap sangat ketat dalam menerima Hadits. Secara implisit, Harun menganggap bahwa para sahabat meragukan kejujuran para rawi karena banyaknya pemalsuan Hadits.
  3. Pembukuan dalam skala besar dilakukan pada abad ketiga Hijriyah melalui para penulis Kutub al-sittah.
  4. Imam Bukhari menyaring tiga ribu Hadits dari enam ratus ribu hadits yang ia kumpulkan
  5. Tidak aja ijma’ kaum Muslimin  tentang keshahihan hadits-hadits Nabi.
  6. Kedudukan Sunnah sebagai hujjah tidak sama dengan al-Qur’an.
  7. Yang disepakati tentang kehujjahannya hanya hadits mutawatir saja. Adapun haditsmasyhur dan ahad, keduanya masih diperselisihkan.
  8. Karena sibuk mencari solusi atas berbagai persoalan yang menimpa umat Islam masa itu, para sahabat menerima segala macam hadits, sekalipun maudhu’ (palsu)
Untuk beberapa poin pemikiran Harun itu, Rasyid menulis bantahan keras. Menurut saya, apa yang menjadi obyek perdebatan antara Harun dan Rasyid di sini adalah sesuatu yang debatable (dapat diperdebatkan kebenarannya) secara historis. Walaupun perlu diakui, apa yang menjadi kecenderungan berfikir Harun tentang Hadits ini, menjadi ciri khas cara berfikir Sarjana Barat (orientalis) tentang Islam. Yang lantas menjadi persoalan adalah, apakah cara pandang para Sarjana Barat itu melulu salah? Apakah musti ada hidden idiology “busuk” yang tersimpan dalam otak para Sarjana Barat itu, sehingga setiap mereka berfikir tentang Islam, wajib kita curigai?
Lantas yang menjadi isu berikutnya yang ditulis Rasyid adalah kritik terhadap pandangan feminis atas beberapa hadits tentang perempuan. Ada dua nama feminis yang menjadi sorotan buku Rasyid, yaitu Riffat Hasan dan Wardah Hafidz. Pemikiran Riffat Hasan yang dibantah Rasyid adalah tentang penciptaan perempuan (Hawa) dari tulang rusuk laki-laki (Adam). Riffat menyatakan bahwa hadits yang mendasari pemikiran itu cacat dari sisi sanad dan matan. Bahkan, Riffat menyatakan bahwa hadits yang dimaksud bertentangan dengan al-Qur’an dan lebih mirip dengan Kitab Kejadian 2/18-33, dan 3/20. Hadits yang dimaksud adalah:
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ وَمُوسَى بْنُ حِزَامٍ قَالَا حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ زَائِدَةَ عَنْ مَيْسَرَةَ الْأَشْجَعِيِّ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهم عَنْهم قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاء

Hadits ini riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzi dan Ibn Majah. Dilihat dari siapa yang meriwayatkan, khususnya dalam hal ini adalah Bukhari dan Muslim, sulit dikatakan bahwa hadits ini adalah lemah (dha’if) sebagaimana pendapat Riffat Hasan. Memang hadits ini disampaikan oleh seorang sahabat yang bernama Abu Hurairah, yang dalam pandangan Riffat “bermasalah”. Tetapi adalah terlalu riskan untuk mengatakan hadits-hadits riwayat Abu Hurairah lemah, karena begitu banyaknya hadits yang diriwayatkan beliau.
Daud Rasyid jelas membantah keras pandangan Riffat Hasan itu. Tetapi yang cukup melegakan adalah, keduanya bersepakat tentang kemuliaan derajat perempuan yang diakui oleh Islam.
Daud Rasyid juga menyerang pendapat Wardah Hafidz tentang hadits yang berkaitan dengan perempuan sebagai pembatal shalat dan mayoritas penghuni sorga adalah perempuan. Intinya Hafidz menolak hadits-hadits itu karena merendahkan perempuan. Hadits-hadits yang dimaksud Hafidz adalah: 

و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا الْمَخْزُومِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ وَهُوَ ابْنُ زِيَادٍ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ ابْنِ الْأَصَمِّ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ الْأَصَمِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْمَرْأَةُ وَالْحِمَارُ وَالْكَلْبُ وَيَقِي ذَلِكَ مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ

Hadits ini menyatakan bahwa perempuan, keledai, dan anjing sebagai pemutus shalat. Dari segi sanad, kualitas hadits tidak perlu diragukan karena diriwayatkan oleh Muslim. Daud Rasyid pun menolak keras kedha’ifan hadits ini. Tetapi yang menarik, Daud menampilkan hadits pembanding yang justru secara implisit mendukung Hafidz untuk menolak hadits di atas. Hadits pembanding itu diriwayatkan secara shahih oleh Bukhari yaitu:

حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ قَالَ حَدَّثَنَا أَبِي قَالَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ قَالَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ عَنِ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ ح قَالَ الْأَعْمَشُ وَحَدَّثَنِي مُسْلِمٌ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ ذُكِرَ عِنْدَهَا مَا يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْكَلْبُ وَالْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ فَقَالَتْ شَبَّهْتُمُونَا بِالْحُمُرِ وَالْكِلَابِ وَاللَّهِ لَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَإِنِّي عَلَى السَّرِيرِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ مُضْطَجِعَةً فَتَبْدُو لِيَ الْحَاجَةُ فَأَكْرَهُ أَنْ أَجْلِسَ فَأُوذِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْسَلُّ مِنْ عِنْدِ رِجْلَيْهِ

Pada pembahasan terakhir, Daud Rasyid menulis tentang gerakan Inkar as-Sunnah di Indonesia. Mengutip secara penuh pendapat Ahmad Husnan dalam bukunya, Gerakan Inkar Sunah dan Jawabannya. Secara garus besar, Daud menyatakan bahwa gerakan Inkar as-Sunnah di Indonesia mengambil tiga posisi, yaitu: mengingkari sunnah secara mutlak; mengingkari sebagian sunnah; dan mengingkari sunnah yang terputus sanadnya. Dalam membantah pandangan kelompok Inkar as-Sunnah ini, Daud banyak mengutip pendapat dari Ahmad Husnan, sehingga tidak cukup menarik untuk diulas lebih jauh dalam kesempatan ini.
Adapaun kritik terhadap Harun Nasution dan metodologi Barat dapat dijelaskan sebagaimana berikut. Banyak kalangan mengakui Harun Nasution adalah tokoh pembaharu Islam di Indonesia yang cukup terkemuka. Pemikiran Harun mempunyai kekhasan tersendiri (sui generis) diantara pemikir lain, yakni terletak pada aras rasionalisme khas muktazilah di era silam. Obsesi Harun diantaranya adalah melakukan rekonstruksi atas teologi muktazilah sebagai antitesis terhadap teologi Islam saat ini yang lebih cenderung fatalistik. Sehingga oleh para “lawan berfikirnya”, dia dijuluki tokoh neo-muktazilah di Indonesia.
Gagasan pembaharuan Harun cukup genuin dan baru, lepas dari berbagai kontroversi dari orang-orang yang tidak sefaham dengan dia. Murid-muridnya banyak tersebar di seluruh Indonesia dan merakalah yang sampai hari ini melanjutkan ide-ide pembaharuan Harun, walaupun dengan materi dan kemasan yang berbeda. Sebagai manusia, pemikiran Harun tentu memberi ruang terbuka untuk terus dikritik dari berbagai kelemahan materi maupun metodologi. Diantara kritik yang perlu disampaikan diantaranya:
a.       Harun begitu membanggakan metodologi Barat yang memang membawa seseorang kepada tipologi berfikir bebas dan mencerahkan. Akan tetapi, metodologi Barat yang basis filosofisnya adalah liberalisme dalam banyak hal tidak cocok untuk alat analisis dalam obyek yang sakral, yaitu ajaran doktrinal Islam, misalnya.
  1. Teologi rasionalisme Muktazilah yang Harun tawarkan adalah produk masa silam peradaban Islam yang dalam banyak hal sudah tidak up to date dengan kebutuhan dan problem masyarakat Muslim saat ini.
  2. Harun sering kurang cermat dalam membaca sejarah yang terkait dengan tranmisi hadits (perjalanan hadits), karena ia lebih menitik beratkan  pada criticalhistory ketimbang informasi otentik sumber-sumber Islam.
  3. Pemikiran rasionalistik Harun Nasution sering tidak pas untuk menganalisis obyek supra-rasional dalam banyak aspek ajaran Islam.


E.     Kesimpulan

Pokok-Pokok Pikiran Islam Liberal mencermati berbagai perkembangan paham liberal di kalangan umat Islam, setidaknya ada 3 aspek penting dalam Islam yang sedang gencar mengalami liberalisasi saat ini yang diantaranya yaitu tentang syari’at Islam, Al-Qur’an dan tafsir Al-Qur’an, dan Aqidah Islam.
Adapun beberapa tokoh yang anti liberal mengangkat atas pemikiran tokoh Adian Husaini, Hartono Ahmad Jaiz, Adnin Armas dan Daud Rasyid. Yangmana keempat tokoh tersebutdianggap sebagai “penjaga gawang” bagi kemurnian ajaran Islam.
Adapun pokok-pokok yang dikritisi oleh Adian Husaini terkait: Pluralisme- Liberalisme, Wacana Tafsir, Barat vs Islam. Sedangkan yang disampaikan oleh Hartono Ahmad Jaiz yaitu tentang IAIN, tentangIslam Liberal (JIL), dan tentangTasawuf. Lain halnya dengan Adnin Armas yang membahas terkait HAM yang lebih diutamakan daripada syari’ah, dan juga membahas pengaruh metodologi bibel terhadap studi Al-Qur’an. Dan Daud Rasyid yang membahas tentang Sunnah di bawah ancaman.





[1] Ulil Abshar Abdilla dkk , Islam Liberal& Fundamental: Sebuah Pertarungan Wacana  (Yogyakarta: eLSAQ PRESS, 2005)
[2]Adian Husaini & Nuim Hidayat, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. ix-x
[3] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia: Pengusung Ide Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme Agama (Jakarta: Hujjah Press, 2007), hlm. xxiii
[4] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, hlm. xliii
[5] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, hlm. xlvi
[6] Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 98
[7] Adian Husaini, Liberalisasi Islam di Indonesia (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 11
[8] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, hlm. xlix
[9] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm. 3
[10] Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), hlm. 294
[11] Hartono Ahmad Jaiz, Bunga Rampai Penyimpangan Agama di Indonesia (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), hlm. 335
[12]Beliau adalah guru besar di bidang hadis. Alumni Pon-Pes Tebu Ireng, Jombang Jawa Timur, Universitas King Sa’ud. Mantan ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PII) di Riyadh. Salah seorang ketua MUI Pusat dan dosen (guru besar) di berbagai perguruan tinggi Islam, seperti Institut Ilmu Alquran (IIQ), Institut Studi Ilmu Alquran (ISIQ/PTIQ), Sekolah Tinggi Islam Dakwah (STIDA) Al-Hamidiyah, dan UIN Syarif Hidayatullah. telah menulis 20 judul buku sejak 1986, diantara karyanya yang kontroversial adalah “Haji Pengabdi Setan”.
[13]Hartono Ahmad Jaiz, Ada Pemurtadan di IAIN (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm. i
[14]Ibnu Manżūr, Lisân al-‘Arab (Beirut: Dar Sâdir, t.t.), hlm. 383
[15]Hartono Ahmad Jaiz, Bila Kyai Menjadi Tuhan (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm. 35
[16]Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, (http://www.islamic-council.com . tt), h. 442
[17]Muslim bin Hajjad, Shahih Muslim , (http://www.islamic-council.com . tt), h. 329
[18]Hartono Ahmad Jaiz, Bila Kyai Menjadi Tuhan, hlm. 40
[19] Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an: Kajian Kritis (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm. 173
[20] Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hlm.324
[21] Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi, hlm. 324
[22] Adian Husaini & Nuim Hidayat, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. ix
[23] Lihat Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm. xxxv
[24] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal, hlm. 288
[25] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal, hlm. 290
[26] Lihat Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, hlm. 208
[27]Hartono Ahmad Jaiz, Ada Pemurtadan di IAIN (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm. ii
[28]Hartono Ahmad Jaiz, Ada Pemurtadan di IAIN, hlm. i
[29]Hartono Ahmad Jaiz, Ada Pemurtadan di IAIN, hlm. 4
[30]Hartono Ahmad Jaiz, Ada Pemurtadan di IAIN, hlm. 5
[31]Hartono Ahmad Jaiz, Bahaya Islam Liberal (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002), hlm.1
[32]Hartono Ahmad Jaiz, Bahaya Islam Liberal, hlm. 16
[33]Hartono Ahmad Jaiz, Bahaya Islam Liberal, hlm. 17
[34]Charles Kurzman, ed. Wacana Islam Liberal (Jakarta: Paramadina, 2001), hlm. 502
[35] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit J-Art, 2005), hlm.245
[36]Charles Kurzman, ed. Wacana Islam Liberal, hlm. 503
[37]Hartono Ahmad Jaiz, Bahaya Islam Liberal, hlm. 78
[38]Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Cet. ke-8 (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm. 232
[39]Hartono Ahmad Jaiz, Tasawuf Belitan Iblis (Jakarta: Darul Falah, 2001), hlm. 58
[40]Hartono Ahmad Jaiz, Tasawuf Belitan Iblis, hlm. 28
[41]Hartono Ahmad Jaiz, Tasawuf Belitan Iblis, hlm. 28
[42] Lihat Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, hlm. 237
[43] Mohammed Arkoun, “Contemporay Critical Practices and the Qur’an”, di dalam Encyclopaedia of the Qur’an, Editor Jane Dammen McAuliffe (Leiden: Brill, 2001)
[44] Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hlm.35

No comments:

Post a Comment