Masa Kejayaan Bani Abbasiyah dalam Bidang Intelektual (Agama dan Sains)
A.
Pendahuluan
Popularitas Daulah Abbasiyah, mencapai puncaknya pada zaman
khalifah Harun Ar-Rasyid dan putranya Al-Ma’mun.[1]
Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini. Namun
puncak kegemilangan pemerintahan Abbasiyah atau boleh dikatakan zaman paling
gemilang dalam sejarah Islam adalah pada kekhalifahan Harun Ar-Rasyid.
Pemerintahan ketika itu menikmati segala bentuk kebesaran kekuasaan dan
keagungan ilmu pengetahuan.[2]
Ia amat disegani dan dihormati oleh negara-negara lain. Di dalam
negeri kedudukan Harun Ar-Rasyid lebih lebat daripada peristiwa-peristiwa dan
kekacauan yang timbul di beberapa tempat. Harun-Ar-Rasyid, dikenal di seluruh
jagad sebagai penguasa terbesar di dunia. Pada masanyalah terdapat pemerintahan
muslim yang paling cemerlang di Asia.
Kisah Seribu Satu Malam telah menunjukkan kekaguman kepada
khalifah yang sering turun ke jalan-jalan di Baghdad untuk memperbaiki
ketidakadilan dan membantu kaum tertindas. Ia taat menjalankan ajaran agama,
tidak menyentuh minuman keras, saleh dan dermawan, namun ia gemar sekali hidup
dalam penuh kemegahan sebagai lambang keagungannya. Agaknya karena karena
fenomena inilah sehingga Abu Yusuf berkata bahwa pada diri Harun Ar-Rasyid
sebagai seorang khalifah, telah terkumpul padanya berbagai sikap dan watak yang
saling berbeda, dalam waktu yang bersamaan, ia seorang tentara yang memiliki
watak keras, seorang raja yang hidup bermewah-mewah, dan seorang yang berpegang
teguh kepada agama dan takut kepada Allah.[3]
Kepribadian Harun Ar-Rasyid telah menyebabkan munculnya dongeng-dongeng rakyat
dan menyebarkan pengaruh besar karena wataknya yang luhur terhadap masyarakat.
Memang benar peradaban Islam mengalami puncak kejayaan pada masa
daulah Abbasiyah. Perkembangan ilmu pengetahuan sangat maju yang diawali dengan
penerjemahan naskah asing terutama yang berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, pendirian
pusat pengembangan ilmu dan perpustakaan dan terbentuknya madzab ilmu
pengetahuan dan keagamaan sebagai buah dari kebebasan berfikir. Dinasti
Abbasiyah merupakan dinasti Islam yang paling berhasil dalam mengembangkan peradaban
Islam. Para ahli sejarah tidak meragukan hasil kerja para pakar pada masa pemerintahan
dinasti Abbasiyah dalam memajukan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam.
Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah adalah melanjutkan kekuasaan
Dinasti Bani Umayyah. Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendiri dan
penguasa Dinasti ini adalah keturunan Abbas, paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti
Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah Ibn MuhammadIbn Ali Abdullah Ibn
al-Abbas. Dia dilahirkan di Humaimah pada tahun 104 H. Dia dilantik menjadi
Khalifah pada tanggal 3 Rabiul awwal 132 H. Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah berlangsung
dari tahun 750-12.
Pada abad ketujuh terjadi pemberontakan di seluruh negeri.
Pemberontakan yang paling dahsyat dan merupakan puncak dari segala
pemberontakan yakni perang antara pasukan Abbul Abbas melawan pasukan Marwan
Ibn Muhamnmad (Dinasti Bani Umayyah) yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan
Abdul Abbas. Dengan jatuhnya negeri Syiria, berakhirlah riwayat Dinasti Bani
Umayyah dan bersama dengan itu bangkitlah kekuasaan Abbasiyah.
Pada masa inilah masa kejayaan Islam yang mengalami puncak
keemasan pada masa itu berbagai kemajuan
dalam segala bidang mengalami peningkatan seperti bidang pendidikan, ekonomi politik dan sisten
pemerintahannya.
B.
Pembahasan
1.
Sejarah
Berdirinya Bani Abbasiyah
Sebelum berdirinya Daulah Abbasiyah terdapat tiga poros yang
merupakan pusat kegiatan, antar satu dengan yang lain mempunyai kedudukan
tersendiri dalam memainkan peranannya untuk menegakkan kekuasaan keluarga besar
paman Nabi SAW, Abbas Ibn Abdul Muthalib, dari namanya dinasti itu disandarkan.
Tiga tempat itu ialah Humaimah, Kufah, dan Khurasan. Humaimah merupakan tempat
yang tenteram, bermukim di kota kecil itu keluarga Bani Hasyim baik dari
kalangan pendukung Ali maupun pendukung keluarga Abbas. Kufah adalah wilayah
yang penduduknya menganut aliran Syi’ah, pendukung Ali ibn Abi Thalib, yang
selalu bergolak dan ditindas oleh Bani Umaiyah, sehingga mudah untuk
dipengaruhi agar memberontak terhadap Umaiyah. Khurrasan mempunyai warga yang
bertemperamen pemberani, kuat fisiknya, tegap tinggi, teguh pendirian, tidak
mudah terpengaruh nafsu dan tidak mudah bingung terhadap kepercayaan yang
menyimpang, di sanalah diharapkan dakwah kaum Abbasiyah mendapat dukungan.[4]
Babak ketiga dalam drama besar
politik Islam dibuka dengan peran penting yang dimainkan oleh Khalifah Abu
al-Abbas (750-754). Irak menjadi panggung drama besar itu. Dalam khutbah
penobatannya, yang disampaikan setahun sebelumnya di masjid Kufah, khalifah
Abbasiyah pertama itu menyebut dirinya al-saffah, penumpah darah, yang
kemudian menjadi julukannya. Julukan itu merupakan pertanda buruk, karena
dinasti yang baru muncul ini mengisyaratkan bahwa mereka lebih mengutamakan
kekuatan dalam menjalankan kebijakannya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah
Islam, di sisi singgasana khalifah tergelar karpet yang digunakan sebagai
tempat eksekusi. As-Saffah menjadi pendiri dinasti Arab Islam ketiga setelah Khulafa
al-Rasyidin dan Dinasti Umayyah yang sangat besar dan berusia lama. Dari 750
M hingga 1258 M, penerus Abu al-Abbas memegang pemerintahan, meskipun mereka
tidak selalu berkuasa.[5]
Sejarah peralihan kekuasaan dari
Daulah Umayyah kepada daulah Abbasiyah bermula ketika adanya pihak oposan yakni
Bani Hasyim yang menuntut kepemimpinan Islam berada di tangan mereka karena
mereka adalah keluarga Nabi SAW yang terdekat. Tuntutan itu sebenarnya sudah
ada sejak lama, tapi baru menjelma menjadi gerakan ketika Bani Umayyah naik
tahta dengan mengalahkan Ali bin Abi Thalib dan bersikap keras terhadap Bani
Hasyim. Alasan lainnya kenapa mereka bersikap oposan adalah karena menurut
mereka pemerintahan Umayyah telah banyak menyimpang jauh dari nilai-nilai
Islam.
Propaganda Abbasiyah dimulai ketika
Umar bin Abdul Aziz (717-720) menjadi khalifah Daulah Umayyah. Umar memimpin
dengan adil. Ketentraman dan stabilitas negara memberi kesempatan kepada
gerakan Abbasiyah untuk menyusun dan merencanakan gerakannya yang berpusat di
al-Humayyah. Pimpinannya waktu itu adalah Ali bin Abdullah bin Abbas, seorang zahid.
Dia kemudian digantikan oleh anaknya, Muhammad, yang memperluas gerakannya. Dia
menetapkan tiga kota sebagai pusat gerakan yaitu kota al-Humayyah sebagi pusat
perencanaan dan organisasi, kota Kuffah sebagai kota penghubung dan kota
Khurasan sebagai pusat gerakan praktis. Muhammad wafat pada tahun 125 H/743 M
dan digantikan oleh anaknya Ibrahim al-Imam. Panglima perangnya berasal dari
Khurasan dan kemudian menyusul kemenangan demi kemenangan. Pada awal tahun 132
Bh/749 M Ibrahim al-Imam tertangkap oleh pemerintah Daulah Umayyah dan
dipenjara sampai ia meninggal. Setelah Ibrahim al-Imam meninggal pada akhirnya
ia digantikan oleh saudaranya Abu Abbas. Tidak lama setelah itu, dua bala
tentara Abbasiyah dan Umayyah bertempur di dekat sungai Zab bagian hulu. Dalam
perempuran itu Bani Abbas mendapatkan kemenangan dan bala tentaranya terus
menuju ke negeri Syam (Suriah) dan di sinilah pada akhirnya kota demi kota
dikuasainya.[6]
Kekuasaan bani Abassiyah berlangsung
dalam kurun waktu yang sangat panjang berkisar tahun 132 H sampai 656 H
(750 M-1258 M) yang dibagi menjadi 5 periode:
1.
Periode pertama (132 H/750 M- 232 H/847 M). Di sebut
periode pengaruh Persia pertama.
2.
Periode kedua
(232 H/847 M- 334 H/945 M). Di sebut masa pengaruh Turki pertama.
3.
Periode ketiga (334
H/ 945 M – 447 H/1055 M). Masa kekuasaan dinasti Buwaih atau pengaruh Persia
kedua.
4.
Periode ke empat
(447 H/1055 M – 590 H/1194 M). Merupakan kekuasaan dinasti bani Saljuk dalam
pemerintahan atau pengaruh Turki dua.
5.
Periode ke lima
(590 H/1194 M – 565 H/1258 M).[7]
Merupakan masa mendekati kemunduran dalam sejarah peradaban Islam.
2.
Perkembangan
Intelektual (Agama dan Sains) pada Masa Bani Abbasiyah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata intelektual adalah
cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan. Selain itu
juga memiliki arti totalitas pengertian atau kesadaran, terutama yg menyangkut
pemikiran dan pemahaman.[8]
Dalam makalah ini akan dibahas keemasan intelektual dalam makna umum, bukan
hanya berarti ilmu pengetahuan aqli dan naqli saja.
Kemajuan intelektual pada masa
tersebut, ditentukan oleh dua hal, yaitu:
a.
Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain
yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada
masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk lslam.
Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu
memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam.
Pengaruh Persia sangat kuat di bidang pemerintahan. Di samping itu Bangsa
Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh
India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika, dan astronomi.
Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan di berbagai
bidang ilmu, terutama filsafat.
b.
Gerakan penerjemahan berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama pada
masa Khalifah al-Manshur hingga Harun ar-Rasyid. Pada masa ini yang banyak
diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq. Fasekedua
berlangsung mulai masa khalifah al-makmun hingga tahun 922 M. buku-buku yang
banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat, dan kedokteran. Pada fase
ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan
kertas. Selanjutnya bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.[9]
Profesor Nicholson memberikan sebuah
gambaran tentang aktivitas intelektual yang berkembang selama masa Dinasti
Abbasiyyah.[10]
Beliau menggambarkan pada masa itu ilmuwan muslim mengembara ke berbagai
belahan dunia untuk mencari ilmu pengetahuan baru. Negara yang pernah mereka
datangi antara lain, Yunani, Romawi, India, Cina, dan masih banyak lagi. Mereka
kembali dengan membawa khazanah ilmu baru, kemudian mengembangkan serta
membukukannya.
Dalam bukunya yang berjudul Sejarah
dan Kebudayaan Islam 3, Prof. Dr. A. Syalabi membagi zaman keemasan
intelektual ini dalam tiga masa,[11]
yaitu:
a.
Masa Kodifikasi buku-buku ilmiah
Pada masa ini cara berpikir masyarakat arab berubah drastis. Ketika
Dinasti Umayyah masih berkuasa tradisi hafalan yang berasal dai masa jahiliyyah
masih tetap dipertahankan dan diagungkan. Namun setelah Dinasti Abbasiyyah
berkuasa tradisi tersebut perlahan terkikis, umat Islam memulai era baru dengan
melakukan kodifikasi pada setiap ilmu yang mereka ketahui. Kegiatan kodifikasi
terbagi dalam tiga tingkatan, masing-masing memilki keistimewaannya tersendiri.
Pertama, tingkat awal merupakan tingkatan yang paling mudah. Pada
tingkatan ini seorang penulis mencatat kemudian menyalin suatu ide, percakapan
atau hal lain yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Pada tahap ini seorang
penulis hanya menulis ulang, dan tidak menambahkan gagasan-gagasannya dalam
tulisan tersebut.
Kedua,
tingkat pertengahan yang bertugas membukukan ide-ide yang serupa dengan hadis
nabi. Pada tingkatan inilah hukum fiqih, hadis nabi, dan sirah
nabawiyyah dihimpun dalam satu buku.[12]
Ketiga,
tingkat tertinggi yang bertugas menyusun dan memilih ilmu pengetahuan yang
ditulis sebelumnya. Sebelum masa ini para cendikiawan telah menuliskan hafalan
dari para sahabat maupun thabi’in, namun sistematikanya masih belum jelas. Maka
dari itu para cendikiawan tingkat tertinggi ini menyusun kembali
tulisan-tulisan tersebut dalam satu urutan yang jelas. Serta melakukan
pengurangan dan penambahan menyesuaikan kebutuhan yang dibutuhkan masyarakat
pada masa itu.
Ilmu yang bersumber dari naqli, seperti ilmu tafsir dan hadis mengalami
banyak perkembangan. Sebelum masa ini ilmu tafsir al-Qur’an dan hadis masih
bercampur satu sama lain. Al-qu’ran hanya ditafsirkan sebagian saja, tidak
secara keseluruhan, melainkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat itu saja.
Dalam penafsiran tersebut terkadang disebutkan hadis sebagai penguat, namun
tidak dijelaskan secara rinci jalur periwayatanya.
Pada masa Bani Abbasiyyah terjadi perombakan secara besar-besaran
dalam ilmu naqli, khususnya ilmu tafsir dan hadis. Atas perintah Umar
bin Bukair, al-Fara’ menyusun sebuah kitab tafsir yang menafsirkan ayat
al-Qur’an secara keseluruhan. Tafsir al-Fara’ merupakan kitab tafsir pertama
yang melakuka hal itu, dan menginspirasi ulama-ulama lain untuk melakukan hal
serupa. Sejak itu kita tafsir adalah sebuah kitab yang berisi penafsiran
seorang mufassir terhadap ayat al-Qur’an. Bukan nukilan hadis yang disesuaikan
denga ayat al-Qur’an. Sehingga antara ilmu tafsir dan hadis tidak lagi
bercampur, masing-masing memiliki wilayah otonomi tersendiri.
c.
Masa penerjemahan buku-buku berbahasa asing
Kebangkitan intelektual kaum muslim pada masa Dinasti Abbasiyyah
sangat bergantung pada penerjemahan buku-buku berbahasa asing. Pada tahun 762 M
Khalifah al-Manshur mengumpulkan para cendikiawan, untuk menerjemahkan buku berbahasa
Sansekerta, Yunani, dan Suriyani ke dalam Bahasa Arab. Banyak kalangan yang
mendukung gerakan ini, terutama para ilmuwan muslim. Akibatnya geliat
penerjemahan buku berbahasa asing semakin berkembang, untuk mengetahui ilmu
yang belum mereka ketahui, kenudian mengembangkannya.
Untuk menunjang penerjemahan tersebut, pada tahun 832 M Khalifah
al-Ma’mun membangun sebuah lembaga bernama Baitul Hikmah di Baghdad. Lembaga
tersebut merupakan sebuah perpustakaan terbesar yang dimiliki kaum muslim saat
itu, dan juga berfungsi sebagai observatorium.[14]
3.
Masa Keemasan Bani Abbasiyah
Dinamakan
khalifah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah
keturunan al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh
Abdullah al-Suffah Ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn al-Abbas. Kekuasaannya
berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132-565 H (750-1258
M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda
sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan pola
pemerintahan, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah
menjadi tiga periode[15]
yaitu:
a.
Periode pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M). Kekuasaan pada periode
ini berada di tangan para khalifah.
b.
Periode kedua (232 H/847 M – 590 H/1194 M). Pada periode ini
kekuasaan hilang dari tangan para khalifah berpindah kepada kaum Turki (232-234
H), golongan Bani Buwaim (334-447 H), dan golongan Bani Saljuq (447-590 H).
c.
Periode ketiga (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), pada periode ini
kekuasaan berada kembali di tangan para khalifah, tetapi hanya di Baghdad dan
kawasan-kawasan sekitarnya
Pada periode
pertama, pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya. Secara politis,
para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik
dan agama sekaligus. Di sisi lain kemakmuran masyarakat mencapai tingkat
tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan
filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun, setelah periode ini berakhir,
pemerintahan Bani Abbasiyah mulai menurun dalam bidang politik meskipun
filsafat dan ilmu pengetahuan berkembang.[16]
Perkembangan
intelektual masa Abbasiyah terlihat jelas dengan terbentuknya jaringan keilmuan
yang kuat terutama yang berhubungan dengan 2 sumber agama, al-Quran dan Hadits,
dan semuanya itu juga tidak luput dari adanya gesekan dengan peradaban lainnya
seperti Yunani, India, dan Mesir. Dinamika intelektual setidaknya dapat
dipahami dari periodesasi pemerintahan Abbasiyah sehingga akan terlihat jelas
kontinuitas keintelektualannya. Sehingga meskipun intensitas politiknya sangat
tinggi, namun kajian-kajian ilmiah tetap stabil.
Periode ke-3,
yaitu masa Buwaihiyah misalnya banyak tokoh-tokoh intelektual yang bermunculan,
yaitu:
No.
|
Bidang
|
Tokoh
|
Keterangan
|
1.
|
Arsitektur
|
|
Adanya
Rumah sakit
Adhudud
Daulah
|
|
Filsafat
|
Al-Farabi
|
|
|
Kedokteran
|
Ibnu Sina/Avicena
Ikhwanus Shafa’
Muhammad bin Zakaria ar-Razi
Ali bin Abbas al-Majusi
|
Lembaga kesayangan bani Buwaihiyah
Dokter pribadi Adhudud Daulah
|
|
Matematika
|
Al-Khawarizmi
|
|
|
Sastra
|
a.
Mutanabii
b.
Abul A’la al-Maariy (973-1057)
c.
Shabi (925-994)
d.
Shahib Ibnu Ubbad (938-995 M)
e.
Badi’uz Zaman (969-1007)
f.
Ibnul Amied (948-977 M)
|
|
|
Hukum dan Politik
|
Imam Mawardi
|
Penulis al-Ahkam al-Sulthaniyahh
|
Sedangkan dinamika intelektual lainnya dapat dilihat di bawah ini:
No
|
Keilmuan
|
Tokoh dan
Kitab
|
|
Tafsir
|
a.
Al-Tabari-kitab al-Jami’ al-Bayan
b.
Az-Zamakhsari-al-Kasyaf
c.
Fakhruddin ar-Razi-Mafatih al-Ghaib
|
2.
|
Hadits
|
a.
Bukhari (masa Mutawakkil)
b.
Muslim
|
3.
|
Sastra dan Sejarah
|
a.
Muhammad ibn Ishaq-Sirah
b.
Ibn Hisayam-Sirah ibn Hisyam
c.
Ibn Sa’ad-Tabaqat al-Kubra
d.
Abu Raihan al-Biruni-Tahqiq ma Lil Hind
|
4.
|
Tasawuf
|
a.
Munculnya al-Qusyairi (1072-Risalah al-Qusyairiyah)
b.
Al-Ghazali (1108)-Ihya Ulumuddin
c.
Syahabudin (w=1234)-Awarif al-Maarif
d.
Dzun Nun al-Misri (mutawakkil)
|
5.
|
Fiqih
|
a.
Abu Hanifah (699-767)
b.
Malik bin Anas (715-795)
c.
Syafii (820)
d.
Ahmad bin Hanbal (855)
|
6.
|
Filsafat
|
a.
Al-Kindi (masa Mutawakkil)
b.
Abu Bakar ar-Razi (864-926)
c.
Al-Farabi(870-950)
d.
Ibn Sina (980-1037)
|
7.
|
Sains
|
a.
Khawarizmi (masa Mutawakkil)-ahli matematika
b.
Al-Fazari, ahli astronomi
c.
Al-Haitami-ahli optik
|
8.
|
Teologi
|
a.
Murjiah
b.
Mu’tazilah
c.
Khawarij
|
Adanya
tokoh-tokoh intelektual di atas secara tidak langsung membuktikan adanya
dinamika intelektual yang terjadi masa itu yang sekaligus menjadi bukti
kongkret adanya kemajuan Islam yang identik dengan The Golden Age nya.[17]
Kalau
dasar-dasar pemerintahan Bani Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu
al-Abbas dan Abu Ja’far al-Mansur, maka puncak keemasannya dari dinasti ini
berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu:
a.
Al-Mahdi (775-785 M)[18]
b.
Al-Hadi (775-786 M)
c.
Harun al-Rasyid (785-809 M)
d.
Al-Ma’mun (813-833 M)
e.
Al-Mu’tashim (833-842 M)
f.
Al-Wasiq (842-847 M)
g.
Al-Mutawakkil (847-861 M)
Pada masa
al-Mahdi, perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian
melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga
dan besi.[19]
Popularitas
Daulah Bani Abbasiyah mencapai puncaknya pada zaman khalifah Harun al-Rasyid[20]
dan putranya al-Makmun. Ketika mendirikan sebuah akademi pertama dilengkapi
pula dengan lembaga untuk penerjemahan. Adapun kemajuan yang dapat dicapai
adalah sebagai berikut:[21]
a.
Lembaga dan kegiatan ilmu pengetahuan
Sebelum dinasti
Bani Abbasiyah, pusat kegiatan dunia Islam selalu bermuara pada masjid. Masjid
dijadikan center of education. Pada dinasti Bani Abbasiyah inilah mulai
adanya pengembangan keilmuan dan teknologi diarahkan ke dalam ma’had. Lembaga
ini kita kenal ada dua tingkatan, yaitu:
1)
Maktab/kuttab dan masjid yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat
anak-anak remaja belajar dasar-dasar bacaan, menghitung dan menulis serta anak
remaja belajar dasar-dasar ilmu agama.
2)
Tingkat pendalaman, para pelajar yang ingin memperdalam Islam pergi
ke luar daerah atau ke masjid-masjid, bahkan ke rumah gurunya. Pada tahap
berikutnya, mulailah dibuka madrasah-madrasah yang dipelopori Nizhamul Muluk
yang memerintah pada tahun 456-485 H. Lembaga inilah yang kemudian berkembang
pada masa dinasti Bani Abbasiyah.
b.
Corak gerakan keilmuan
Gerakan
keilmuan pada dinasti Abbasiyah lebih bersifat spesifik, kajian keilmuan yang
kemanfaatannya bersifat keduniaan bertumpu pada ilmu kedokteran, di samping
kajian yang bersifat pada al-Qur’an dan al-Hadits, sedang astronomi, mantiq dan
sastra baru dikembangkan dengan penerjemahan dari Yunani.
c.
Kemajuan dalam bidang agama
Pada masa dinasti Bani Abbasiyah, ilmu dan metode tafsir mulai
berkembang, terutama dua metode, yaitu tafsir bil al-ma’tsur
(interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari nabi dan para
sahabat), dan tafsir bil al-ra’yi (metode rasional yang lebih banyak
bertumpu kepada pendapat dan pikiran daripada hadits dan pendapat sahabat).[22]
Dalam bidang hadits, pada zamannya hanya bersifat penyempurnaan,
pembukuan dari catatan dan hafalan dari para sahabat. Pada zaman ini juga mulai
diklasifikasikan secara sistematis dan kronologis.
Dalam bidang fiqh, pada masa ini lahir fuqaha legendaris, seperti
Imam Hanifah (700-767 M), Imam Malik (713-795 M), Imam Syafi’i (767-820 M) dan
Imam Ahmad ibn Hambal (780-855 M).
Ilmu lughah tumbuh berkembang dengan pesat pula karena bahasa Arab
yang semakin dewasa memerlukan suatu ilmu bahasa yang menyeluruh.
d. Ilmu pengetahuan sains dan teknologi,
kemajuan tersebut antara lain:
1)
Astronomi, ilmu ini melalui karya India Sindhind, kemudian diterjemahkan
Muhammad ibn Ibrahim al-Farazi.[23]
Di samping itu, masih ada ilmuwan Islam lainnya, seperti al-Battani (850–923), Umar al-Khayyam[24]
dan Al Tusi atau Nasir al-Din Tusi (1274).
2)
Kedokteran, dokter pertama yang terkenal adalah Ali ibn Rabban al-Tabari. Tokoh
lainnya al-Razi (w.313 H/925), al-Farabi (w.946-974 M), dan Ibnu Sina (980-1037).
3)
Kimia, tokohnya adalah Jabir ibn Hayyan (721-815 M). Tokoh lainnya al-Razi,
al-Tuqrai yang hidup di abad ke-12 M.
4)
Sejarah dan geografi, tokohnya Ahmad ibn al-Yakubi (w 895 M). Kemudian ahli ilmu bumi yang terkenal adalah Ibnu
Khurdazabah (820-913 M). Ilmu bumi memudahkan perjalanan kaum muslimin ke
penjuru dunia, antara lain ke India, Srilangka, dan Melayu.[25]
e. Perkembangan politik, ekonomi dan
administrasi
Pada masa
pemerintahan Bani Abbasiyah periode I, kebijakan-kebijakan politik yang
dikembangkan antara lain:
1)
Memindahkan ibu kota negara dari Damaskus ke Baghdad
2)
Memusnahkan keturunan Bani Umayyah
3)
Merangkul orang-orang Persia, dalam rangka politik memperkuat diri,
Abbasiyah memberi peluang dan kesempatan besar kepada kaum Mawali.
4)
Menumpas
pemnberontakan-pemberontakan
5)
Menghapus politik kasta
6)
Para khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri,
panglima, gubernur dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan
Mawali.
7)
Ilmu pengetahuan dipandang
sebagai suatu yang sangat penting dan mulia
8)
Kebebasan berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya.
9)
Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan
tugasnya dalam pemerintah.
Selain kemajuan
di atas, pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, pertumbuhan ekonomi dapat
dikatakan maju dan menunjukkan angka vertikal. Devisa negara penuh dan melimpah
ruah. Khalifah al-Mansur merupakan tokoh ekonomi Abbasiyah yang mampu
meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam ekonomi dan keuangan negara. Di sektor
perdaganganpun merupakan yang terbesar di dunia saat itu dan Baghdad sebagai
kota pusat perdagangan.[26]
Pengaruh dari
kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan
terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi
juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua
metode, penafsiran pertama, tafsir bi al-ma’tsur, yaitu interpretasi
tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi dan para sahabat. Kedua,
tafsir bi al-ra’yi, yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu
kepada pendapat dan pikiran daripada hadits dan pendapat sahabat. Kedua metode
ini memang berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi jelas
sekali bahwa tafsir dengan metode bi al-ra’yi, (tafsir rasional), sangat
dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal yang
sama juga terlihat dalam ilmu fiqih dan terutama dalam ilmu teologi.
Perkembangan logika di kalangan umat Islam sangat memengaruhi perkembangan dua
bidang ilmu tersebut.
Imam-imam
madzhab hukum yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam
Abu Hanifah Rahimahullah (700-767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya
dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah, kota yang berada di
tengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup kemasyarakatannya telah mencapai
tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Karena itu, mazhab ini lebih banyak
menggunakan pemikiran rasional daripada hadits. Muridnya dan sekaligus
pelanjutnya, Abu Yusuf, menjadi Qadhi al-Qudhat di zaman Harun Ar-Rasyid.
Berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik Rahimahullah (713-795 M)
banyak menggunakan hadits dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh
mazhab hukum itu ditengahi oleh Imam Syafi’i Rahimahullah (767-820 M),
Imam Ahmad ibn Hanbal Rahimahullah (780-855 M) yang mengembalikan sistem
mazhab dan pendapat akal semata kepada hadits Nabi serta memerintahkan para
muridnya untuk berpegang kepada hadits Nabi serta pemahaman para sahabat Nabi.
Hal ini mereka lakukan untuk menjaga dan memurnikan ajaran Islam dari
kebudayaan serta adat istiadat orang-orang non-Arab. di samping 4 pendiri
mazhab besar tersebut, pada masa pemerintahan Bani Abbas banyak para mujtahid
lain yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan madzhabnya pula.
Akan tetapi, karena pengikutnya tidak berkembang, pemikiran dan mazhab itu
hilang bersama berlalunya zaman.
Aliran-aliran
sesat yang sudah ada pada masa Bani Umayyah, seperti Khawarij, Murji’ah dan
Mu’tazilah pun ada. Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas.
Teologi rasional Mu’tazilah muncul di ujung pemerintahan Bani Umayyah. Namun,
pemikiran-pemikirannya yang lebih kompleks dan sempurna baru mereka rumuskan
pada masa pemerintahan Bani Abbas periode pertama, setelah terjadi kontak
dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran filsafat dan rasionalisme dalam
Islam. Tokoh perumus pemikiran Mu’tazilah yang terbesar adalah Abu al-Huzail
al-Allaf (135-235 H/752-849 M) dan al-Nazzam (185-221 H/801-835 M). Asy’ariyah,
aliran tradisional di bidang teologi yang dicetuskan oleh Abu al-Hasan
al-Asy’ari (873-935 M) yang lahir pada masa Bani Abbas ini juga banyak sekali
terpengaruh oleh logika Yunani. Ini terjadi, karena Al-Asy’ari sebelumnya
adalah pengikut Mu’tazilah. Hal yang sama berlaku pula dalam bidang sastra.
Penulisan hadits, juga berkembang pesat pada masa Bani Abbas. Hal itu mungkin
terutama disebabkan oleh tersedianya fasilitas dan transportasi, sehingga
memudahkan para pencari dan penulis hadits bekerja.
Pengaruh
gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama
di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan
astronomi terkenal nama al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali
menyusun astrolobe. Al-Farghani, yang dikenal di Eropa dengan nama Al-Faragnus,
menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh
Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis. Dalam lapangan kedokteran dikenal nama
ar-Razi dan Ibnu Sina. Ar-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara
penyakit cacar dengan measles.3 Dia juga orang pertama yang menyusun buku
mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibn
Sina. Ibnu Sina yang juga seorang filosof berhasil menemukan sistem peredaran
darah pada manusia. Di antara karyanya adalah al-Qoonuun fi al-Thibb
yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah.
2. Faktor-faktor
Pendukung Masa Keemasan
Bani Abbasiyah mencapai puncak keemasannya karena
terdapat beberapa faktor di antaranya adalah :
1.
Islam makin meluas di Baghdad.
4.
Ilmu pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang sangat
mulia dan berharga. Para khalifah membuka kesempatan pengembangan pengetahuan
seluas-luasnya.
5.
Rakyat bebas berpikir serta memperoleh hak asasinya dalam
segala bidang.
6.
Para khalifah banyak mendukung perkembangan ilmu
pengetahuan sehingga banyak buku-buku yang dikarang dalam berbagai ilmu
pengatahuan, serta buku-buku pengetahuan berbahasa asing diterjemahkan
ke dalam bahasa
Arab.[29]
Adanya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa
lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan ilmu pengetahuan, asimilasi itu
berlangsung efektif dan bangsa-bangsa tersebut memberi saham pengetahuan yang
bermanfaat.
Selain itu ada faktor
yang turut mempengaruhi masa keemasan Bani Abbasiyah, khususnya dalam bidang
bahasa,[30]
adalah:
a.
Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain
yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan.
Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa itu memberi
saham-saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
b.
Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase.
1)
Fase pertama, pada masa khalifah al-Mansur hingga Harun al-Rasyid.
Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang
astronomi dan mantiq.
2)
Fase kedua, berlangsung mulai khalifah al-Ma’mun hingga tahun 300
H.
3)
Fase ketiga, berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah
adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang yang diterjemahkan semakin luas.
Dengan gerakan
terjemahan, bukan saja membawa kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan umum,
tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Akan tetapi, secara garis besar ada dua
faktor penyebab tumbuh dan kejayaan Bani Abbasiyah,[31]
yaitu:
a.
Faktor internal: faktor yang berasal dari dalam ajaran Islam yang
mampu memberikan motivasi bagi para pemeluk untuk mengembangkan peradabannya.
b.
Faktor eksternal, ada 4 pengaruh, yaitu: semangat Islam,
perkembangan organisasi Negara, perkembangan ilmu pengetahuan, dan perluasan
daerah Islam.
Adapun penyebab
keberhasilan kaum penganjur berdirinya khilafah Bani Abbasiyah adalah karena
mereka berhasil menyadarkan kaum muslimin pada umumnya, bahwa Bani Abbas adalah
keluarga yang dekat kepada Nabi dan bahwasanya mereka akan mengamalkan
al-Qur’an dan Sunnah Rasul serta menegakkan syariat Islam.[32]
3. Lahirnya tokoh-tokoh
Intelektual Muslim
Pada masa
daulah Bani Abbasiyah, telah banyak tokoh-tokoh intelektual muslim yang
berhasil menemukan berbagai bidang ilmu pengetahuan, antara lain yaitu:[33]
a.
Filsafat
Setelah
kitab-kitab filsafat Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, kaum muslimin
sibuk mempelajari ilmu filsafat, sehingga lahir filosof dunia yang terkenal,
yaitu :
1)
Abu Nashr al-Faroby (karyanya sebanyak 12 buah)[34]
2)
Ibnu Sina (karyanya al-Qanun fil al-Thib)[35]
3)
Al-Ghazali (terkenal dengan karyanya Ihya’ Ulumuddin)[36]
b.
Kedokteran
Daulah Bani Abbasiyah telah melahirkan banyak dokter kenamaan,
yaitu:
2)
Abu Zakaria al-Razi[38]
3)
Ibnu Sina[39]
c.
Matematika
Di antara ahli
matematika Islam terkenal adalah beliau (al-Khawarizmi) pengarang
kitab Al-Gebra (al-Jabar), ahli matematika yang berhasil menemukan angka nol
(0).
d.
Farmasi dan Kimia
Di masa para
ahli farmasi dan kimia pada masa pemerintahan dinasti Bani Abbasiyah adalah
Ibnu Baithar (karyanya yang terkenal adalah al-Mughni).
e.
Perbintangan
Tokoh ilmu perbintangan antara lain:
2)
Abu Manshur al-Falaky
3)
Jabir al-Batany (pencipta teropong bintang)
4)
Raihan al-Bairleny
5)
Abu Ali al-Hasan ibn
al-Hitami (terkenal dengan al-Hazen dalam bidang optik).[40]
f.
Tafsir dan Hadits
Ilmu tafsir
yang berkembang pesat adalah tafsir al-Ma’tsur dan al-Ra’yi di antara
tokoh-tokohnya adalah :
1)
Ibnu Jarir al-Thabari (ahli tafsir al-Ma’tsur)
2)
Ibnu Athiyah al-Andalusy (ahli tafsir al-Ma’tsur)
3)
Abu Bakar Asam (ahli tafsir al-Ra’yi)
4)
Abu Muslim Muhammad (ahli tafsir al-Ra’yi)
Sedangkan tokoh ilmu hadits yang terkenal antara lain: Imam
Bukhari, Imam Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud, dan Al-Nasa’i.
g.
Kalam dan Bahasa
Perdebatan para
ahli mengenai dosa, pahala, surga, dan neraka serta pembicaraan mereka mengenai
ilmu ketuhanan atau tauhid menghasilkan ilmu, yaitu ilmu tauhid dan ilmu kalam.
Para pelopornya adalah Jaham ibnu Shafwan. Sedangkan ilmu bahasa yang
berkembang pada waktu itu adalah nahwu, bayan, badi’ dan arudl. Di antara
ilmuwan bahasa yang terkenal, adalah:
1)
Imam Sibawih (karyanya terdiri dari 2 jilid setebal 1.000 halaman)
2)
Abu Zakaria al-Farra (kitab nahwunya terdiri dari 6.000 halaman)
C.
Kesimpulan
Peradaban Islam
mengalami puncak kejayaan pada masa daulah Abbasiyah. Perkembangan ilmu
pengetahuan sangat maju yang diawali dengan penerjemahan naskah naskah asing
terutama yang berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, pendirian pusat
pengembangan ilmu dan perpustakaan dan terbentuknya mazhab ilmu pengetahuan dan
keagamaan sebagai buah dari kebebasan berfikir. Dari segi politik Dinasti
abbasiyah berkuasa sejak tahun 132 H sampai tahun 656 H. Periode pertama (132
H/750 M- 232 H/847 M). Disebut periode pengaruh Persia pertama. Periode kedua
(232 H/847 M- 334 H/945 M). Disebut masa pengaruh Turki pertama. Periode ketiga
(334 H/ 945 M – 447 H/1055 M). Masa kekuasaan dinasti Buwaih atau pengaruh
Persia kedua.Periode keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M). Merupakan kekuasaan
dinasti bani Saljuk dalam pemerintahan atau pengaruh Turki dua. Periode ke lima
(590 H/1194 M – 565 H/1258 M). Merupakan masa mendekati kemunduran dalam
sejarah peradaban islam4 Bidang-bidang ilmu pengetahuan umum yang berkembang
pada masa dinasti abbasiyah yaitu filsafat, ilmu kalam, ilmu kedokteran, ilmu
kimia, ilmu hisab, sejarah, ilmu bumi dan astronom. Bidang-bidang ilmu
pengetahuan keagamaan berkembang pada masa ini yaitu: ilmu hadist, ilmu tafsir,
ilmu fiqih, tasawuf.
Daftar
Pustaka
Abu Bakar, Istianah, (2008), Sejarah Peradaban Islam, Malang:
UIN-Malang Press.
A. Syalabi, (2003), Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, Jakarta:
PT. Al Husna Baru.
A’la
al-Maududi, Abul, (2006), Khilafah dan Kerajaan, Bandung: Mizan.
Al-Maududi, (1996), Khilafah dan
Kerajaan, Bandung: Mizan.
Asnawi,
Muhammad, (2009), Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang: CV.Aneka Ilmu.
K.
Hitti, Philip, (2006), History of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin
dan Dedi Slamet, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Kamus Pustaka Bahasa, (2008), Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Pusat Bahasa.
Mufrodi, Ali, (1997), Islam di Kawasan Kebudayaan Islam, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu.
Muhamad
Hakiki, Kiki, (2012), Mengkaji Ulang Sejarah Politik Kekuasaan Dinasti
Abbasiyah, Jurnal TAPIs, Vol. 8 No.1, Januari-Juni.
Murodi, (2003),
Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang: PT. Thoha Putra.
Riyadi, Fuad, (2014), PERPUSTAKAAN BAYT AL HIKMAH ”THE GOLDEN
AGE OF ISLAM”, Jurnal Dosen STAIN Kudus, Vol. 2 No. 1, Januari-Juni.
Sanusi, Ja`far, Sejarah Kebudayaan Islam, Madrasah Aliyah III, Semarang: CV. Wicaksana.
Syalabi, Ahmad, (1993), Sejarah dan Kebudayaan 3, Jakarta:
Pustaka Al-Husna.
Syukur, Fatah,
(2009), Sejarah Peradaban Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki.
Thohir, Ajid, (2004), Perkembangan Peradaban
di Kawasan Dunia Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Yatim, Badri, (1994), Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
[3] Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, (Bandung:
Mizan, 1996), hlm. 360
[4]Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan
Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. 1, hlm. 87
[5] Philip K. Hitti, History of The Arabs,
Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2006), Cet. 1, hlm. 358
[6] Kiki Muhamad Hakiki, Mengkaji Ulang
Sejarah Politik Kekuasaan Dinasti Abbasiyah, Jurnal TAPIs, Vol. 8 No.1,
Januari-Juni 2012, hlm. 114)
[7] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan
Islam 3, (Jakarta: PT. Al Husna Baru , 2003), hlm. 19
[9] Fuad Riyadi, PERPUSTAKAAN BAYT
AL HIKMAH ”THE GOLDEN AGE OF ISLAM”, Jurnal Dosen STAIN Kudus, Vol. 2 No.
1, Januari-Juni 2014, hlm 12-13
[14] A. Syalabi, Sejarah dan …., hlm. 198.
Observatorium adalah gedung yg
dilengkapi alat-alat (teleskop, teropong bintang, dan sebagainya) untuk
keperluan pengamatan dan penelitian ilmiah tentang bintang dan sebagainya.
[15] A. Syalaby,
Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1997, hlm. 2
[17]
Istianah Abu Bakar, Sejarah Peradaban Islam, (Malang: UIN-Malang Press, 2008),Cet.
1, hlm. 82-84
[18] Muhammad bin
Mansur al-Mahdi (berkuasa 775–785) adalah khalifah ketiga Bani Abbasiyah. Ia menggantikan ayahnya al-Mansur.
Al-Mahdi, yang namanya berarti "Pemimpin yang Baik" atau
"Penebus", diangkat sebagai kholifah saat ayahnya di akhir hidupnya.
Masa pemerintahannya yang damai melanjutkan kebijakan para pendahulunya.
[20]Harun
Ar-Rasyid, dilahirkan pada bulan Februari tahun 763 M di Rayy. Ayahnya bernama
Al-Mahdi bin Abu Ja’far Al-Mansyur, khalifah ketiga dari Bani Abbasiyah. Ibunya
bernama Khizuran, seorang wanita sahaya dari Yaman yang dimerdekakan oleh
Al-Mahdi.
Harun Ar-Rasyid memperoleh pendidikan di
istana, baik pendidikan agama maupun ilmu pemerintah. Ia dididik oleh keluarga
Barmaki, Yahya bin Khalid salah seorang anggota keluarga Barmak yang berperan
dalam pemerintahan Bani Abbas, sehingga ia menjadi terpelajar, cerdas, dan
berkepribadian yang kuat.
Karena
kecerdasannya, walaupun usianya masih muda, ia sudah terlibat dalam urusan
pemerintahan ayahnya. Ia mendapatkan pendidikan ketentaraan. Pada masa
pemerintahan ayahnya, Harun Ar-Rasyid dipercayakan dua kali memimpin ekspedisi
militer untuk menyerang Bizantium (779-780) dan (781-782) sampai ke pantai
Bosporus. Ia didampingi oleh para pejabat tinggi dan jenderal veteran.
Sebelum menjadi khalifah, ia pernah memegang
jabatan gubernur selama dua kali, di as-Saifah pada tahun 163 H/779 M
dan di Magribi pada tahun 780 M. Setelah sempat dua kali menjadi gubernur, pada
tahun 166 H/782 M khalifah Al-Mahdi mengukuhkan menjadi putra Mahkota untuk
menjadi khalifah sesudah saudaranya, Al-Hadi, dan setelah pengukuhannya empat
tahun kemudian yakni tepatnya pada tanggal 14 September 786 M Harun Ar-Rasyid
memproklamirkan diri menjadi khalifah, untuk menggantikan saudaranya yang telah
wafat.
Setelah menduduki tahta kekhalifahan, ia pun
mengangkat Yahya bin Khalid sebagai wazir (perdana menteri) untuk
menjalankan roda pemerintahan dengan kekuasaan tidak terbatas. Ia berkata
kepada Yahya: “Sesungguhnya Aku serahkan kepadamu urusan rakyat, tetapkanlah
segala sesuatu menurut pendapatmu, pecat orang yang patut dipecat,
pekerjakanlah orang yang pantas menurut kamu dan jalankan segala urusan menurut
pendapatmu.”. (lihat di jurnal Kasmiati, Harun Ar-Rasyid, Jurnal STAIN
Datokarama Palu, Jurusan Tarbiyah, Vol. 3, No. 1, Maret 2006, hlm. 92-93)
[21] Ajid Thohir,
Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2004), hlm. 50
[23] Abu abdallah
Muhammad bin Ibrahim al-Fazari (meninggal 796 atau 806) adalah
seorang filsuf, matematikawan dan astronom Muslim. Ia banyak
menterjemahkan buku-buku sains ke dalam bahasa Arab dan Persia. Ia juga
merupakan astronom muslim pertama yang membuat astrolobe, alat untuk mengukur
tinggi bintang. Ia pernah mendapat tugas untuk menterjemahkan ilmu angka dan
ilmu hitung, serta ilmu astronomi India yang bernama Sind Hind, oleh khalifah
Al Mansyur dari Abbasiyah.
[24] Seorang penyair, ahli matematik, dan
ahli astronomi. Kahyyam yang lahir: 18 Mei 1048 di Nishapur, Iran (Parsi) dan
meninggal 4 Desember 1131 itu mempunyai nama asli Ghiyatuddin Abu al-Fatah Omar
ibni Ibrahim Al-Nisaburi Khayami. Khayam adalah perkataan pinjaman bahasa Arab
yang bermakna “pembuat khemah.” Beliau paling dikenali kerana himpunan
puisinya, Rubaiyat Omar Khayyam. Beliau memecahkan persamaan pangkat tiga dan
empat melalui kerucut-kerucut yang merupakan ilmu aljabar tertinggi dalam
matematika modern.
[25] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan
Arab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. 1, hlm 103
[27] Salah satu tokoh yang sangat berpengaruh
terhadap kejaayaan di masa Bani Abbasiyah adalah Harus Ar-Rasyid, beliau sangat
berperan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga kebudayaan
dan peradaban Islam maju dan berkembang pesat. Langkah yang dilakukan oleh
Harun Ar-Rasyid dalam pengembangan ilmu pengetahuan salah satunya yaitu mendirikan
lembaga pendidikan yang disebut “Baitul Hikmah” sebagai pusat penelitian
berbagai ilmu pengetahuan.
[29] Ja`far Sanusi, Sejarah Kebudayaan Islam, Madrasah Aliyah III, Semarang: CV. Wicaksana, hlm.32-33
[34] Al-Farabi (870-950 M)/Abu Nashr Muhammad bin Muhammad
Tarkhan Al-Farabi, nama filsuf al-Farabi menjadi
terkenal setelah masa al-Khindi.Beliau lahir di Farab pada tahun 870 M dan
wafat di Damaskus pada tahun 95 M. Di antara karyanya yaitu Tahsilus
Sa`adah, Assiyasatul Madaniyah, Tanbih ala
Sabilis Sa`adah dan lain-lain.
[35] Ibnu Sina (980-1037 M)/Ar-Rais Abu Ali Husain bin Abdullah
yang lebih terkenal dengan Ibnu Sina. Beliau lahir
di Afsyanah, Bukhara pada tahun 980 M, dan wafat di
Hamdan pada tahun 1037 M. Beliau adalah seorang dokter dan
filsuf ternama. Ibnu Sina meninggalkan karyanya
sebanyak kurang lebih 200 buah. Di antara karya buku filsafatnya adalah
Al Isyarat wa At Tanbihat, Mantiq Al Masyriqiyyin dan lain-lain. (lihat di bukunya Muh. Asnawi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Semarang: CV.Aneka Ilmu, 2009), hlm. 28)
[36] Al-Ghazali (1058-1111
M)/Abu Hamid bin Muhammad at-Tusi al-Ghazali lahir pada tahun 1058 M dan wafat
pada tahun 1111 M.Diantara karyanya adalah Tahafutul Falasifah, Ar-Risalatul
Qudsiyah dan Ilya Ulumuddin.
[37] Ibnu Baytsar (810-878 M), beliau adalah ahli farmasi dan kimia.
Karyanya yang terkenal adalah Al-Mughni, Mizanut Thabib dan Jami` Mufradtil
Adwiyah wa Aghniyah.
[38] Ar-Razi (194-264 H)/Abu Bakar bin Zakaria ar-Razi,beliau
adalah seorang dokter yang paling masyhur di zamannya, beliau menjadi ketua
dokter di Baghdad. Di antara kitab
karangannya adalah Al Hawi dan Fi Al Judari Wa Al Hasbat.
[39] Ibnu Sina (980-1037 M), selain sebagai filsuf beliau juga
terkenal sebagai seorang dokter. Di antara kitabnya adalah Asy Syifa`
dan Al Qonun Fitthibb.
bismillah izin copy ustad
ReplyDelete