Wednesday, November 15, 2017

MELACAK AKAR PEMIKIRAN MUNAWIR SJAZDALI SEBUAH STUDI ATAS REAKTUALISASI/KONTEKSTUALISAS AJARAN ISLAM

MELACAK AKAR PEMIKIRAN MUNAWIR SJAZDALI
SEBUAH STUDI ATAS REAKTUALISASI/KONTEKSTUALISAS AJARAN ISLAM
                                         Rizqi Miftakhudin Fauzi 16771047
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Program Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
                                                                        
A.  Pendahuluan
Dewasa ini tantangan umat Islam terasa kian berat. Semakin kekinian problematika umat Islam maka semakin kompleks pula persoalan yang dihadapinya. Pada akhirnya, warisan utama umat Islam yakni al-Quran dan as-Sunnah seakan-akan dituntut harus bisa menjadi sebuah fleksibilitas hokum namun tetap berwibawa akan konsistensinya dalam berpendirian penegakan hokum.
Dari beberapa seambrek problematika yang ada didepan pintu umat Islam diantaranya adalah terkait pembagian hak waris, hokum Islam, serta politik Islam. Dari segi pembagian hak waris umat islam mengalami pergeseran nilai-nilai serta prinsip. Umat islam sebagai tuan rumah hokum islam seakan-akan berusaha lari dari ketentuan dalil-dalil qath’i. Mencari hokum lain yang sekiranya lebih praktis dan menguntungkan. Dari segi hokum Islam, di hadapkan persoalan terkait pembuatan hokum yang sekiranya relevan dengan adat konteks kekinian. Dari segi politik Islm, umat islam dihadapkan pada kericuhan prinsip dasar Negara.
Kiranya sangatlah mendesak untuk bisa segera menjawab dengan tuntas problematika tersebut. Umat islam tidak boleh berlarut-larut dengan percekcokan semacam ini, karenanya dapat membuat ketegangan horizontal kepada sesame umat.
Munawir Sjazdali hadir dengan gagasn Reaktualisasi/Kontekstualisasi Ajaran Islam mencoba menembus dimensi problematika tersebut. Dengan gagasan inilah idealnya umat islam diharapkan pada sebuah muara kehidupan yang sesuai konteks kekinia dengan sesuai rel hokum Islam. Terkait istilah reaktualisasi/kontekstualisasi, memang dalam tiga dekade ini, di Indonesia banyak bermunculan istilah-istilah yang dipergunakan oleh para pemikir Muslim dan para pengamat sosial-keagamaan Islam untuk menggarisbawahi perlunya meneliti dan mencermati kembali prinsip-prinsip dasar, nilai-nilai dan norma-norma keislaman yang hendak dihidupkan kembali dalam era modernitas. Istilah-istilah itu antara lain adalah reinterpretasi (penafsiran ulang), reaktualisasi (mengangkat dan menghidupkan kembali), reorientasi (memikirkan kembali), revitalisasi (membangkitkan kembali), kontekstualisasi (mempertimbangkan konteks kehidupan sosialbudaya), membumikan Islam, dan istilah-istilah lain yang masih mempunyai kandungan makna yang relatif sama seperti Islam transformatif, Islam intelektual, dan Islam substansial.[1]
Salah satu dari istilah-istilah tersebut yang paling menonjol dan paling banyak menimbulkan kontroversi adalah reaktualisasi, atau tepatnya Reaktualisasi Ajaran Islam dengan tokoh penggagasnya Munawir Sjadzali, Menteri Agama Republik Indonesia dua periode (1983-1993). Karena gagasan ini diangkat oleh seorang pejabat tinggi negara yang memiliki banyak forum untuk memasyarakatkan gagasannya,maka segera saja gagasan reaktualisasi itu mendapatkan respons dari umat Islam Indonesia, terutama dari kalangan ulama dan pemikir Muslim. Tidak ketinggalan juga tanggapan dari masyarakat awam. Popularitas gagasan ini—terlepas dari pro dan kontra—mengalahkan gagasan pembaharuan pemikiran Islam lainnya.
Makalah ini akan menulusuri akar pemikiran Munawir Sjazdali terhadap tinjauan reaktualisasi/kontekstualisasi ajaran Islam. Diantara fokus permasalahannya adalah terkait fara’idl, hokum islam serta politik islam. Dengan menggunakan tinjuan kritis analitis referensi-referensi yang mendukung khazanah kontens di dalam makalah ini.





B.  Pembahasan
1.    Biografi Munawir Sjazdali
Sebelum menelusuri pemikiran Munawir Sjazdali, penting kiranya untuk melacak siapakah sosok yang fenomenal ini atas pemikiran reaktuali-sasi/kontekstualisasi ajaran Islam.
Beliau adalah Munawir Sjazdali, lahir di Klaten, Jawa Tengah pada 7 November 1925.[2] Beliau lahir dari pasangan Abu Aswad Hasan Sjadzali bin Tohari (setelah menikah diberi nama tua Mughaffir) dan Tas’iyyah binti Badruddin. Ayah Munawir adalah seorang Kyai di kampungnya yang secara formal menjabat Kepala Madrasah Bi’tsah al-Muslimin (tingkat Ibtidaiyah) di Karanganom Klaten. Nama Sjadzali di belakang nama ayahnya karena memang beliau seorang pengikut Tarekat Syadzaliyah. Itu pulalah sebabnya di belakang nama anaknya juga ditambah Sjadzali.
Rekam jejak pendidikan Munawir Sjazdali dimulai pada Pendidikan SD dan SMP di Solo, (1937-1940); Kursus Diplomatik dan Konsuler Deplu di Universitas Exeter, Inggris Raya, (1953-1954); Memperoleh M.A dari Universitas Georgtown, AS, (1959); mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Agama Islam dari IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Sebagaimana di kutip oleh Yunahar Ilyas, beliau mendiskripsikan singkat bagaimana rekam jejak awal karir dedikasi kebangsaan dan keagamaan hingga menjadi sosok tokoh yang berpengaruh pada kontribusi khazanah keilmuan Islam:
Sebelum diangkat oleh Presiden Soeharto sebagai Menteri Agama dalam Kabinet Pembangunan IV (1983), Munawir Sjadzali tidak banyak dikenal oleh masyarakat, apalagi dalam bidang pemikiran Islam. Hal itu dapat dimaklumi karena dalam kariernya di Departemen Luar Negeri (1950-1983), Munawir lebih banyak berada di luar negeri dalam berbagai jabatan diplomatik, mulai dari Sekretaris III Kedutaan Besar Republik Indonesia di Washington D.C. (1956-1959), Sekretaris I KBRI di Colombo Srilangka (1963-1966), kemudian Kuasa Usaha Sementara KBRI yang sama (1966-1968), Minister Councelor KBRI London (1970-1975) sampai menjadi Duta Besar RI di KBRI Kuwait, merangkap Duta Besar RI non resident untuk Uni Emirat Arab (UEA), Qatar dan Bahrain (1976-1980). Total dari 33 tahun berkarir di Deplu, Munawir menghabiskan 17 tahun di luar negeri, sedangkan di dalam negeri Munawir menduduki berbagai jabatan di Deplu mulai dari staf seksi Arab/Timur Tengah (1950) sampai Dirjen Politik (1980-1983). Praktis Munawir tidak pernah terjun dalam bidang yang menyebabkan dia bisa dikenal luas oleh masyarakat.[3]
Karya tulis Munawir yang pertama terbit tahun 1950 berjudul Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam (80 halaman). Buku itu dicetak 5000 eksemplar dan dalam 4 bulan habis. Lewat buku itulah dia dapat berkenalan dengan Bung Hatta, Wakil Presiden RI pertama (lewat penyalur bukunya, Zein Jambek, ipar Hatta, direktur toko buku Tintamas Jakarta). Atas jasa baik Hatta, Munawir diterima jadi pegawai negeri di Deplu. Karya Munawir lainnya adalah Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, “Reaktualisasi Ajaran Islam” dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, dan “Dari Lembah Kemiskinan” dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA.[4]

2.    Rekam Jejak Alur Perjalanan Gagasan Kontekstualisasi/Reaktualisasi
Awal rekam jejak gagasan kontekstualisai/reaktualisasi awal kali  dikemukakan oleh Munawir pada tanggal 15 April 1985 (dua tahun setelah menjabat Menteri Agama R.I.). Waktu itu Munawir memberikan kata sambutan dalam pertemuan Panitia Kompilasi Hukum Islam bertempat di gedung Mahkamah Agung. Hadir dalam kesempatan itu segenap anggota panitia, para hakim agung, Ketua Mahkamah Agung Ali Said, dan K.H. Ibrahim Hosen dari Majelis Ulama Indonesia. Sementara itu Bustanil Arifin sendiri hadir sebagai Pimpinan Proyek Kompilasi Hukum Islam.[5]
Historitas keberangkatan gagasan ini bisa di lacak pada pernyatan Munawir Sjazdali sendiri yang termaktub dalam buku Kontekstualisasi Ajaran Agama Islam pada sub-bab Gagasan Reaktualisasi Ajara Islam;
“Gagasan ini sudah mulai saya lemparkan kepada masyarakat di banyak kesempatan sejak awal tahun 1985 dan mendapat tanggapan yang biasa-biasa saja. Barui setelah saya sampaikan pada forum Paramadina, maka timbul reaksi pro-kontra yang cukup keras. Di antaranya ada yang mengingatkan agar saya dan tokoh-tokoh “pembaruan” yang lainnya jangan gegabah.”[6]

Setelah itu Munawir Sjazdali menyampaikan gagasannya secara gencar dalam berbagai kesempatan, antara lain dalam (1) Seminar Hukum Islam yang diselenggarakan oleh Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol Padang; (2) Forum Bahsul Masail Syuriah Nahdhatul Ulama Jawa Timur di Tambak Beras, Jombang; (3) Seminar Kompilasi Hukum Islam yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta5; (4) Penataran Pimpinan Pemuda Anshor Tingkat Propinsi Seluruh Indonesia di Malang; (5) Latihan Kader Tarjih Muhammadiyah di Yogyakarta (dua kali)6; (6) Ceramah di hadapan Mahasiswa Indonesia di Kairo; (7) Forum Kodifikasi Hukum Islam yang diselenggarakan oleh South East Asian Shariah Association di Kolombo, Srilanka; (8) Jamuan makan malam yang diselenggarakan oleh Menteri Pengajaran Malaysia, Anwar Ibrahim di Kuala Lumpur; juga disampaikan di (9) Pengajian perdana Yayasan Wakaf Paramadina, 28 November 1986 di Jakarta.[7]
Segera saja pemikiran Munawir tersebut menjadi topic pembicaraan di berbagai forum, baik yang ilmiah seperti seminar dan diskusi, maupun forum-forum dakwah seperti ceramah dan khutbah. Tidak sedikit pula yang menghujatnya lewat surat pembaca berbagai surat kabar. Menurut Munawir, reaksi-reaksi yang tidak atau kurang bersahabat itu baru muncul setelah gagasan itu disampaikan dalam pengajian Paramadina. Padahal dalam forum-forum lain, katanya, reaksinya lebih bersahabat.[8] Tampaknya Munawir ingin mengatakan bahwa sikap kontra terhadap gagasannya lebih banyak disebabkan oleh faktor Paramadinanya daripada isi gagasannya sendiri. Seperti diketahui sejak lama Nurcholish Madjid, di samping memiliki pendukung fanatik, juga menghadapi penentang fanatik, terutama sejak ide sekularisasinya diperdebatkan publik.[9]
3.    Mengapa Reaktualisasi?
Dibalik hingar-bingarnya syiar Islam yang gencar di Indonesia ternyata ada beberapa hal yang menyeret kegelisahan dalam benak Munawir Sjazdali. Kegembiraan atas meningkatnya semangat kembali pada agama di kalangan masyarakat Islam di Indonesia ternyata ada yang kurang lengkap, layaknya ada yang ditutup-tutupi. Kalau kita berani jujur dan tidak bersikap seperti burung onta, kita harus mengakui tentang masih cukup banyaknya sikap kita yang mendua di antara kita dalam beragama yang perlu diluruskan.
Disini Munawir Sjazdali memberikan dua contoh yang cukup hangat popular di sekitar masyarakat, mulai dari kalangan awam hingga tokoh Islam sekalipun. Yang pertama adalah terkait riba dan yang kedua adalah terkait hak waris.
Pertama. Diantara kita banyak yang berpendirian bahwa bunga atau interest dalam bank itu riba, dan oleh karenanya maka sama-sama haram dan terkutuk sebagaimana riba. Sementara itu mereka tidak hanya hidup dari bungan deposito, melainkan dalam kehidupan sehari-hari juga banyak mempergunakan jasa bank, dan bahka mendirikan bank dengan sistem bunga, dengan alasan dlarurat, padahal seperti yang dapat kit abaca bersama dalam al-Quran, surat al-Baqarah, ayat 173, kelonggaran yang diberikan kepada kita dalam keadaaan darurat itu dengan syarat tidak ada unsure kesengajaan dan tidak lebih dari pemenuhan kebutuhan esensial.[10]
Kedua. Dalam pembagian harta warisan, al-Quran surat al-Nisa’, ayat 11, dengan jelas menyatakan bahwa hak anak laki-laki adalah dua kali lebih besar daripada hak anak perempuan. Tetapi ketentuan tersebut sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat Islam di Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kasus ini terjadi di lapisan masyarakat awam hingga elit. Acapkali para hakim agama menyaksikan, apabila seorang keluarga Muslim meniggal, dan atas permintaan para ahli warisnya, Pengadilan Agama memberikan fatwa waris sesuai dengan hukum waris Islam atau fara’idl, kerapkali terjadi para ahli waris tidak melaksanakan fatwa waris tersebut, dan pergi ke Pengadilan Negeri untuk meminta agar di perlakukan sistem pembagian yang lain, yang terang tidak sesuai fara’idl. Sementara itu, telah membudaya pula penyimpangan tidak langsung dari ketentuan al-Quran. Banyak kepala keluarga yang mengambil keputusan pre-empive. Semasa hidup merekatelah membagikan sebagian besar dari kekayaannya kepada anak-anaknya, masing-masing mendapatkan bagian yang sama besar tanpa membedakanjenis kelamin, sebagai hibah. Dengan demikian maka pada waktu mereka meninggal, kekayaanya harus dibagi tinggal sedikit, atau bahkan hamper habis sama sekali.[11]
Dari sinilah Munawir Sjazdali ingin mengentaskan persoalan (diantaranya adalah riba serta pembagian waris) yang melanda umat Islam di Indonesia saat itu dan di harapkan pada samapai saat ini gagasan reaktualisasi/kontekstualisasi dapat menjawab realitas empiris masyarakat.

4.    Bolehkah Reaktualisasi?
Dalam proses menjawab pertanyaan ini, Munawir Sjazdali menggunakan beberapa pendekatan untuk bisa menyentuh jawaban secara objektif dan empiris. Beliau mencari jawaban dengan kembali kepada al-Quran berikut tafsir-tafsirnya, Sunnah Nabi, dan karya-karya para mujtahid sepanjang sejarah Islam, dengan hasil-hasil sementara sebagai berikut;
Pertama-tama dapat dikemukakan bahwa dalam al-Quran dan Hadits Nabi terdapat naskh. Dalam kitab suci kita terdapat ayat-ayat yang berisikan pergeseran atau bahkan pembatalan terhadap hukum-hukum atau petunjuk yang telah diberikan dalam ayat-ayat yang diterima oleh Nabi Besar Muhammmad SAW. pada waktu-waktu sebelumnya. Demikian juga terdapat banyak hadits Nabi yang menarik kembali petunjuk-petunjuk yang pernah beliau berikan sebelumnya. Menurut tafsir Al-Jawhir, karya Syeikh Thantawi Jawhari, terdapat sebanyak 21 kasus naskh dalam al-Quran.[12] Sebagai contoh adalah QS. al-Baqarah:106;
Apa saja ayat yang kami naskh-kan (batalkan), atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.[13]
Kemudian, dibawah ini ada beberapa komentar dari sejumlah mufassir besar terhadap ayat tersebut, ini juga merupakan salah satu bentuk landasan Munawir Sjazdali dalam aktualiasasi ajaran Islam;
a.    Ibn Katsir
Sesungguhnya, menurut nalar tidak terdapat sesuatu yang menolak adanya naskh (pembatalan) dalam hukum-hukum Allah.[14]
b.    Ahmad Musthafa al-Maraghi
Sesungguhnya hukum-hukum itu diundangkan untuk kepentingan manusia, dan kepentingan manusia dapat berbeda-beda karena perbedaan waktu dan tempat. Apabila suatu hukum diundangkan pada waku dimana memang dirasakan kebutuhan akan adanya hukum itu, kemudian kebuituhan tidak ada lagi, maka suatu tindakan yang bijaksana menghapuskan hukum itu dan menggantikannya dengan hukum (lain) yang lebih sesuai dengan waktu terakhir.[15]
a.    Muhammad Rasyid Ridha
Sesungguhnya hukum itu (dapat) berbeda karena perbadaan waktu, tempat (lingkungan) dan situasi. Kalau suatu hukum diundangkan pada waktu sangat dibutuhkannya hukum itu, kemudian kebutuhan itu tidak ada lagi pada waktu lain, maka suatu tindakan bijaksana menghapuskan hukum itu dan menggantikannya dengan hukum (lain) yang lebihsesuai dengan waktu yang belakangan itu.[16]
b.      Sayyid Quthb
Ayat 106 dari surat al-Baqarah itu diturunkan sebagai sanggahan terdapat tuduhan orang-orang yahudi bahwa Nabi Muhammad SAW tidak konsisten, baik mengenai kepindahan kiblat dari Masjid al-Aqsha ke Masjid al-Haram, maupun perubahan-perubahan petunjuk, hukum dan perintah yang akan terjadi sebagai akibat dari pertumbuhan masyarakat Islam, dan situasi serta kondisi mereka yang terus berkembang.[17]
Di antara para ahli hukum dari empat mazhab, meskipun mereka banyak saling berbeda pendapat, namun terdapat semacam kesepakatan atau konsensus bahwa hukum Islam terbagi menjadi dua kategori; hukum yang bertalian dengan ibadah murni, dan hukum yang menyangkut mu’amalah duniawiyah (kemasyarakatan). Dalam hukum yang masuk kategori pertama, tidak banyak kesempatan bagi kita untuk mempergunakan penalaran, tetapi dalam hal hukum kategori kedua labih luas ruang gerak untuk penalaran intelektual, dengan kepentingan masyarakat sebagai dasar pertimbangan atau tolok ukur utama.[18]

5.    Melacak Beberapa Pokok Isu Pemikiran Munawir Sjazali
Gagasan Munawir Sjazdali dalam wilayah aktualisasi ajaran Islam sempat membuat geger umat Islam di Indonesia – terdapat pro kontra – pada saat itu. Disini penulis mengambil analisa hanya beberapa catatan-catatan pokok saja akan pemikiran Munawir Sjazdali, yakni Hukum Islam serta Politik. Terasa menyenangkan sekali wisata studi kali ini jika pemikiran beliau menggunakan kacamata analisa objektif, tidak keberpihakan.

Reaktualisai Hukum Islam
Terasa sekali fondasi yang dibuat untuk membangun sebuah konstruksi pemikiran Munawir Sjazdali dalam prespektif hukum Islam berkiblat pada Al-Thufi’ dan Abu Yusuf. Terlihat berulangkali dalam berbagai kesempatan Munawir Sjazdali mengutip al-Thufi’ dengan teori mashlahah-nya dan Abu Yusuf dengan pandangannya tentang tradisi (adat istiadat, al-‘urf wa al-adah).[19]
a.     Al-Thufi’ dan Teori Mashlahah
Nama lengkapnya adalah Sulayman ibn ‘Abd al-Qawi ibn ‘Abd al-Karim ibn Sa’id al-Thufi’ (lebih dikenal dengan Najm al-Din al-Thufi’), wafat pada 716 H.[20] Ia seorang menjadikan pemikiran Ahmad ibn Hanbal sebagai mazhabnya, walaupun beberapa ulama memandangya sebagai seorang bermadzhab Syi’ah. Dalam pandangan ini mendahulukan mashlahah atas nash dan ijma’. Padahal ini nampaknya bertitik tolak dari konsep maqashid al-syar’I yang menegaskan bahwa hukum Islam itu disyariatkan untuk diwujdkan dan melindungi kemaslahatan umat Islam.
At-Thufi’ membangun pendapatnya atas empat asas, yakni; Pertama. Pendapat at-Thufibahwa akal semata, tanpa harus melalui wahyu dapat mengetahui kebaikan dan keburukan menjadi dasar bangunannya yang pertama dalam piramida pemikirannya. Akan tetapi, ia membatasi kemandirian akal itu dalam hal muamalah dan adat istiadat, dan ia melepaskan ketergantungan pada petunjuk nash baik dan buruk pada kedua bidang itu.
Kedua. Maslahah itu merupakan dalil syar’I mandiri yang ke-hujjah-annya tidak bergantung pada “kesaksian” atau konfirmasi nash, tetapi hanya bergantung pada akal semata. Bagi at-Thufi’, untuk menyatakan sesuatu itu maslahah atas adat-istiadat dan percobaan/eksperimen, tanpa memerlukan petunjuk nash.
Ketiga. Mashlahah diambil sebagai dalil syar’I hanya dalam bidang mu’amalah (hubungan social) dan adat istiadat. Sedangkan dalam bidang ibadat dan muqaddarat, mashlahah tidak dapat dijadikan dalil.
Keempat. Mashlahah merupakan dalil syara’ yang terkuat. Baginya, mashlahah itu bukan hanya merupakan hujjah semata ketika tidak terdapat nash dan ijma’ disaat terjadi pertentangan antara keduanya.

b.    Abu Yusuf dan Teori Adat
Pada dasarnya pendapat ini berangkat dari jika suatu nash berasal dari adat istidat atau tradisi dan adat itu kemudian berubah (datang adat baru), maka gugur hukum dalam nash itu.[21] Yang perlu di garis bawahi sebagai fokus catatan disini adalah jumhur ‘ulama menolak pendapat Abu Yusuf tersebut. Sebagian besar ulama seperti mazhab Hanafi dan Maliki, demikian juga Syafi’I, memandang tradisi, perkataan ataupun perbuatan, sebagai salah satu kiat dalam melaksanakan hukum Islam,[22] dan menjadi dasar rumusan hukum ketika tidak ada nash dalam al-Quran atau Hadits di samping sebagai sarana untuk memahami nash-nash yang tiada penjelasan resmi dan konkritnya. Demikianlah kiranya maksud kaidah yang dirumuskan mereka: al-‘adat-u muhakkamat-un.
Selanjutnya, setiap ketentuan syara’ (hukum Islam) yang di-kemukakan secara mutlak dan tidak ada penjelasannya secara konkrit baik dalam syar’I itu sendiri maupun dalam bahasa, penjelasnnya diserahkan pada tradisi – kiranya tidak menimbulkan permasalahan bahwa tradisi itu dapat dijadikan landasan perumusan hukum – dapat menimbulkan problem.[23] Mengenai masalah ini terdapat berbagai kemungkinan antara lain sebagai berikut.
Pertama. Apabila bertentangan antara tradisi dengan nash itu secara total (min kulli wajh-in), sehingga pengakuan terhadap tradisi tersebut di pandang sebagai meninggalkan dan pengabaian nash, maka tradisi demikian haruslah ditinggalkan, tidak dapat dipedomani dalam merumuskan hukum.
Kedua. Apabila terjadi pertentangan antara tradisi (baru) dengan nash dan nash ini didasrkan pada tradisi yang berlaku pada saat turunnya nash dan tradisi tersebut di pandang sebagai illat hukumnya, maka dalam hal ini Abu Yusuf – berbeda dengan Abu Hanifah dan Muhammad ibn Hasan – berpendapat bahwa tradisi baru yang bertentangan dengan tradisi yang terkandung dalam nash itulah yang harus dipedomani. Tindakan demikian menurut Abu Yusuf, tidak di pandang sebagai pengabaian nash, melainkan sebagai salah satu cara menakwilkannya, dan ini sejalan dengan kaidah al-hukm-u yadu-u ma’a ‘illatih-i wujud-an wa ‘adam-an.
Atas dasar uraian diatas, dapat di kemukakan bahwa dengan tawarannya menggunakan untuk menggunakan teori Abu Yusuf tentang adat, Munawir Sjazdali mempunyai wawasan luas dan pandangan jauh kedepan. Sebab, dengan teori ini kita dapat menujukkan bahwa ajaran Islam senantiasa relevan dengan segala situasi dan kondisi, serta mampu menjawab tantangan zaman tanpa harus meninggalkan atau melanggar nash.
Selain contoh pembahasan dalam prespektif hukum Islam, penulis memberikan contoh yang sempat memanas pada saat itu tentang pemikiran hak waris yang pada awalnya adalah keresahan Munawir Sjazdali tentang suku bunga di bank konvensional. Hal ini terlacak pada tulisan pertama Munawir Sjazdali yang mengungkapkan bahwa merasa resah dengan adanya sikap mendua umat Islam Indonesia dalam beragama. Di satu sisi tetap mempertahankan keyakinan tentang sesuatu, tapi di sisi lain tidak mengamalkannya. Dia mengemukakan dua contoh, yaitu tentang bunga bank dan pembagian warisan.
Menurut Munawir, umat Islam meyakini bahwa bunga bank adalah riba, oleh sebab itu haram, tapi dalam prakteknya umat tetap menggunakan jasa bank dan hidup dari bunga deposito yang diperoleh. Begitu juga tentang pembagian warisan, umat Islam tetap meyakini bahwa, berdasarkan surat al-Nisa’ ayat 11, anak laki-laki mendapat warisan dua bagian anak perempuan. Tapi ketentuan ini sudah lama ditinggalkan dalam prakteknya. Kesimpulan ini diambil Munawir setelah mendapat laporan dari para Hakim Agama di Sulawesi Selatan dan Kalimatan Selatan (dua daerah yang dikenal kuat keIslamannya), bahwa meskipun pengadilan agama sudah mengeluarkan fatwa waris, mereka memindahkan perkaranya ke pengadilan negeri.[24]
Disamping penolakan langsung seperti kasus di dua propinsi itu, Munawir juga menengarai banyak umat, bukan hanya kalangan awam, tapi juga dari kalangan ulamanya, yang menolak formula 2:1 tersebut secara pre-emptiv dengan cara membagi habis warisan dengan wasiat wajibah atau menghibahkannya sebelum yang bersangkutan meninggal dunia. Dalam wasiat wajib atau hibah itu, anak perempuan diberi bagian sama dengan anak laki-laki. Dalam hal ini Munawir juga punya pengalaman pribadi sendiri, bagaimana seorang kyai menasehatinya untuk membuat wasiat wajib tatkala dia berkonsultasi tentang pembagian waris untuk anak-anaknya nanti. Tatkala dia masih hidup, anak laki-laki sudah mengeluarkan biaya jauh lebih besar dibandingkan dengan anak perempuan, apakah adil kalau nanti anak perempuan dapat warisan lebih kecil dari saudara laki-lakinya.[25]
Berdasarkan latar belakang di atas, Munawir kemudian mengajukan ide untuk melakukan modifikasi terhadap ketentuan tersebut yang kemudian diistilahkannya dengan reaktualisasi. Tetapi pertanyaannya, apakah reaktualisasi tersebut boleh dilakukan? Bukankah ketentuan hukum tersebut berdasarkan nas yang oleh para ulama dinilai qath’i? Menurut Munawir dalam aspek kemasyarakatan, nas yang qat\‘i sekali pun dapat dimodifikasi dengan alasan bukankah dalam sejarahnya juga ada beberapa ayat yang di-mansu>kh oleh ayat lain. Tentang naskh ini Munawir mengutip Mustafa al-Maraghy sebagai berikut:
Sesungguhnya hukum-hukum itu diundangkan untuk kepentingan manusia, dan kepentingan manusia dapat berbeda karena perbedaan waktu dan tempat. Apabila suatu hukum diundangkan pada waktu dirasakan kebutuhan akan adanya hukum itu, kemudian kebutuhan itu tidak ada lagi, maka tindakan yang bijaksana adalah menghapuskan hukum itu dan menggantikannya dengan hukum (lain) yang lebih sesuai dengan waktu terakhir.[26]

Inti dari gagasan yang dikemukakan Munawir adalah tentang perlunya mempertimbangkan konteks kehidupan sosial-budaya masyarakat dalam memahami dan membuat kesimpulan hukum dari ayat-ayat Al-Qur’an dalam bidang kemasyarakatan, walau pun untuk itu kelihatannya tidak mengamalkan makna lahir dari teks tersebut. Sebagaimana Umar telah melakukannya untuk kasus rampasan perang dan muallaf, maka di Indonesia pun, seru Munawir, harus berani melakukan hal yang sama. Tanpa melakukan kontekstualisasi tersebut, ajaran Al-Qur’an akan ketinggalan zaman, atau kehilangan relevansinya untuk masa kini, atau ajaran tersebut menjadi mati (tidak dapat diamalkan).[27]
Politik “Islam dan Negara di Indonesia”
Sebagai prolog, penulis mengutip sebuah pernyataan dari Leonardo Binder[28] yang menyatakan bahwa “Kalau Islam hendak dipertahankan sebagai sebuah kekuatan social politik di Indonesia, seseorang hendaknya berperan sebagai mediator budaya antara Islam dan budaya nasional baru Indonesia”.
Adapun dalam hal ini, pandangan Munawir Sjazdali tentang posisi suatu agama sebagai agama Negara merupakan salah satu prasyarat penting bagi terbentuknya sebuah Negara teokratis. Hal ini juga terlihat atas pandangan konstitusi Madinah tidak menyebut Islam sebagai agama Negara menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak menganjurkan berdirinya sebuah Negara agama (theocratic state) dimana Islam akan berfungsi sebagai dasar satu-satunya.[29]
Bagi Munawir Sjazdali Islam tidak mempunyai preferensi konseptual atau teoritis tertentu tentang konstruk Negara dan sistem pemerintahannya. Atas dasar itu, dapat dikemukakan pula bahwa Islam tidak secara khusus mewajibkan umatnya untuk mendirikan Negara, apalagi yang bersift teokratis. Akan tetapi, meskipun Isloam tidak mengenal suatu konsep baku tentang Negara atau politik, Islam memberikan seperangkat nilai atau prinsip-prinsip politik seperti keadilan, musyawarah, atau persamaan. Adalah implementasi secara subtantif nilai-nilai ini, sebagaimana di contohkan oleh Nabi Muhammad SAW, yang dituntut Islam dalam proses penyelenggaraan Negara.[30]
Akan tetapi melihat kondisi seperti ini, Munawir Sjazdali memberikan jalan tengah dalam teorisasi politik Islam. Dalam hal ini, ia tidak sependapat dengan interpretasi tentang sifat holistic Islam secara formalistic, legalistic, atau skriptualistik. Terlepas dari pertimbangan-pertimbangan teologis, Munawwir Sjazdali melihat adanya factor-faktor lain yang membuat konstruk Negara kebangsaan dapat diterima. Termasuk didalamnya adalah kenyataan bahwa: (1) Negara tidak hanya menjamin menjamin kebebasan ummat Islam untuk menjalankan ajaran agamanya, tetapi juga member fasilitas; (2) mayoritas penduduk kepulauan nusantara adalah Muslim; dan (3) konstitusi Negara tidak bertentangan dengan – malahan, hingga taraf-taraf tertentu, merefleksikan – prinsip-prinsip Islam.[31]
Tambaha pula, hal ini sepakat dengan pernyataan KH. Marzuki Mustamar yang menyatakan bahwa; “Kita nyata-nyata sholat di Indonesia, ngaji di Indonesia, anak putu mondok di Indonesia, haji meskipun di Makkah tapi mencari uang di Indonesia. Bumi Indonesia itu ibarat masjid untuk kita sholat dan medan untuk berdakwah. Maka dari itu, ulama memberikan alasan bahwa membela Negara hukumnya wajib, mebela Republik Indonesia alasannya sangat Syar’i”.
Dapat disimpulkan kembali bahwa model dasar-dasar teologis atau filosofis poltik Islam hendak didefinisikan ulang dan dibentuk oleh Munawir Sjazdali adalah bersifat subtansialistik, berorientasi pada nilai-nilai keadilan, musyawarah dan persamaan. Dalam konsepsi semacam itu, sejalan dengan mobilitas social ekonomi umat, politik Islam tidak lagi di dasarkan atas simbolisme ideologis yang formalistic legalistic.



C.  Kesimpulan
Awal rekam jejak gagasan kontekstualisai/reaktualisasi awal kali  dikemukakan oleh Munawir pada tanggal 15 April 1985 (dua tahun setelah menjabat Menteri Agama R.I.). Kemunculan reaktualisasi ajaran Islam berangkat dari kegelisahan problematika umat Islam di Indonesia yakni keberanutannya pada riba di bank yang seakan-akan sulit sekali untuk melepaskannya serta polemic masalah hak waris. Adapun landasan dalam reaktualisasi hokum Islam Munawir Sjazdali berlandaskan pada al-Thufi’ dengan teori mashlahah-nya dan Abu Yusuf. Terkait pendapat Munawir Sjazdali tentang politik, adapun dalam hal ini, pandangan beliau tentang posisi suatu agama sebagai agama Negara merupakan salah satu prasyarat penting bagi terbentuknya sebuah Negara teokratis. Hal ini juga terlihat atas pandangan konstitusi Madinah tidak menyebut Islam sebagai agama Negara menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak menganjurkan berdirinya sebuah Negara agama (theocratic state) dimana Islam akan berfungsi sebagai dasar satu-satunya.



[1] M. Amin Abdullah. “Telaah Hermeneutis terhadap Masyarakat Muslim Indonesia”, dalam Muhammad Wahyuni Nafis (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA. 1995. Jakarta: Paramadina. Hlm. 537.
[2] Ada cerita menarik dalam penentuan tanggal kelahiran Munawir Sjazdali. Seperti kebanyakan orang di desaku pada waktu itu, selain lapor kepada perangkat desa, orang tuaku tidak pernah membukukan hari dan tanggal lahir anak-anaknya. Hanya oleh ibu yang buta huruf Latin saya diberitahu bahwa saya lahir pada jam 10 pagi hari Sabtu Pon, tanggal 19 Bakdo Mulut (Rabi’ul Awwal) tahu Be. Ketika saya duduk di tingkat Aliyah Manba’ul ‘Ulum, saya mendapat mata-pelajaran Ilmu Falak. Dengan ilmu itu saya, antara lain, mempelajari cara mengalihkan tanggal-tanggal bulan Jawa/Hijriyah ke tanggal-tanggal bulan Masehi dan sebaliknya. Dengan pengetahuan itu saya menemukan bahwa hari kelahiran saya adalah tanggal 7 Nopember 1925. Konversi itu cocok dengan yang terdapat dalam buku Almanak 130 Tahun, 1870-2000, terbitan PT. Citra Jaya Murti.
Lihat dalam Munawir Sjazdali. Kontekstualisasi Ajaran Islam. 1995. Jakarta: Paramadina. Hlm. 6-7
[3] Yunahar Ilyas. REAKTUALISASI AJARAN ISLAM: Studi atas Pemikiran Hukum Munawir Sjadzali. Jurnal Al-Ja>mi‘ah, Vol. 44, No. 1, 2006 M/1427 H. Hlm. 225
[4] Ibid. Yunuhar Ilyas. Reaktualisasi Ajaran Islam… Hlm. 227
[5] Bustanil Arifin. “Munawir Sjadzali dan Alur Pemikirannya”. Dalam Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan. 1997. Jakarta:Paramadina. hlm. 21
[6] Op.Cit. Munawir Sjazdali. Kontekstualisasi… hlm. 87
[7] Munawir Sjadzali. “Reaktualisasi Ajaran Islam”. Dalam Iqbal Abdurrauf
Saimima. Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam. 1988. Jakarta: Pustaka Panjimas. Hlm.1
[8] Ibid., Munawir Sjazdali.
[9] Karya-karya yang membicarakan Nurcholish Madjid dapat dibaca seperti,
Jalaluddin Rakhmat, et. Al. Tharikat Nurcholishy Jejak Pemikiran dan Pembaharuan sampai
Guru Bangsa, cet. I (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), Adian Husaini. Nurcholish Madjid
Kontroversi Kematian dan Pemikirannya, cet. I (Jakarta : Khairul Bayan, Press, 2005), dan
Charles Kurzman. Liberal Islam, cet. I (New York : Oxford University Press, 1998).
[10] Op.Cit. Munawir Sjazdali. Kontekstualisasi… hlm. 87-88
[11] Ibid. Munawir Sjazdali. Kontekstualisasi… hlm. 88-89
[12] Ibid. Munawir Sjazdali. Kontekstualisasi… hlm. 91
[13] QS. Al-Baqarah:106
[14] Ibnu Katsir.Tafsir Ibn Katsir. Juz 1. Hlm. 151
[15] Ahmad Musthafa al-Maraghi. Tafsir al-Maraghi. Juz 1. Hlm. 187
[16] Muhammad Rasyid Ridha. Tafsir al-Manar. Juz 1. Hlm. 414
[17] Sayyid Quthb. Tafsir Fi Zhilal-I al-Quran. Juz 1. Hlm. 101-102
[18] Op.Cit. Munawir Sjazdali. Kontekstualisasi… hlm. 91-92
[19] Ibrahim Hosen. Beberapa Catatan Tentang Reaktualisasi Hukum Islam. Dalam Munawir Sjazdali. Kontekstualisasi Ajaran Islam. 1995. Jakarta: Paramadina. Hlm. 254-280
[20] ‘Abd Allah bin ‘Abd al-Muhsin at-Turky. Usul Mazhab al-Imam Ahmad. 1977. Riyadl. Hlm. 331
[21] Untuk penjelasan lebih lanjut tentang masalah adat dan berbagai permasalahannya seperti syarat-syarat dan argumentasi bagi kehujjahannya, serta pembahasan lengkap tentang bagaimana jika adat bertentangan dengan nash, lihat antara lain Muhammad Sidqi. Al-Wajiz fi Idah Qawa’id al-Fiqhi al-Kauliyah. 1983. Beirut: Mu’asasah al-Risalah. Hlm. 157-164
[22] ‘Ali Habullah. Ushul al-Tasyri’ al-Islami. 1976. Mesir: Dar al-Ma’arif. Hlm. 313
[23] Problem dimaksud adalah bagaimana jika suatu tradisi baru tidak sejalan atau bertentangan dengan nash syara’, masihkah ia harus dipertahankan sebagai landasan hukum dengan konsekuensi pengabaian nash ataukah ia harus diabaikan?
[24] Op.Cit., Yunahar Ilyas. Reaktualisasi Ajaran Islam… Hlm. 231
[25] Ibid. Hlm. 232
[26] Op.Cit. Iqbal Abdurrauf Saimima, Polemik, hlm. 7.
[27] Op.Cit., Yunahar Ilyas. Reaktualisasi Ajaran Islam… Hlm. 233
[28] Leonard Binder. Islamic Tradition and Politic: The Kijaji and The Alim. Komentar atas tulisan Clifford Geertz. The Javanese Kijaji: The Changing Role of A Cultural Broker. Comparative Studies in Society and History. Vol. 2. Oktober 1959-July 1960. Hlm. 256
[29] Menurut Munawir Sjazdali, parameter lain sebuah Negara teokrasi adalah (1) kitab suci sebagai undang-undang negara; (2) kepemimpinan negara di tangan Ulama. Munawir Sjazdali, “Negara Pancasila Bukan Negara Agama dan Bukan Negara Sekuler”.
[30] Bahtiar Effendy. Islam dan Negara di Indonesia: Munawir Sjazdali dan Pembangunan Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam. Dalam Munawir Sjazdali. Aktualisasi Ajaran Islam. 1995. Jakarta: Paramadina. Hlm. 417
[31] Ibid. Bahtiar Effendy. Hlm. 418-419

No comments:

Post a Comment