PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM DI TIMUR TENGAH DAN PENGARUHNYA
TERHADAP NEGARA-NEGARA MUSLIM
(Kajian Terhadap Ide-ide Pembaharuan Hasan Al-Banna)
Makalah
Diajukan
untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Studi Peradaban Islam”
Dosen
Pengampu :
Dr. Muhammad Hadi Masruri, M.A

Pemakalah
:
MUHAMMAD
FURQAN
(16771006)
PROGRAM
STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA
MALIK IBRAHIM MALANG
2017
PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM DI TIMUR TENGAH DAN PENGARUHNYA
TERHADAP NEGARA-NEGARA MUSLIM
(Kajian Terhadap Ide-ide Pembaharuan Hasan Al-Banna)
Oleh:
MUHAMMAD
FURQAN (16771006)
Mahasiswa Prodi Magister Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
A.
Dasar Pemikiran
Secara etimologi, kata ‘pembaruan’ dalam bahasa Arab dikenal dengan
istilah tajdîd, memiliki makna antara lain: proses, cara, perbuatan membarui. Sedangkan kata atau istilah yang lebih dikenal untuk
pembaharuan adalah modernisasi. Dalam masyarakat Barat kata modernisasi
mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham,
adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya agar semua itu dapat
disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan keadaan-keadaan baru yang ditimbulkan
oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[1]
Dalam bahasa Indonesia selalu
dipakai kata modern, modernisasi, dan medernisme, seperti umpamanya dalam
“aliran-aliran modern dalam Islam” dan “Islam dan modernisasi.”[2]
Modernisasi merupakan proses yang biasanya mengarah pada modernitas, yang
berawal ketika suatu masyarakat mulai mengambil sikap ingin tahu mengenai
bagaimana orang membuat pilihan, baik itu pilihan moral, pribadi, ekonomi,
maupun politik.[3]
Modernisme Islam atau pembaharuan dalam Islam yang dimaksud bukanlah pembaharuan yang dilakukan
terhadap ajaran-ajarannya yang bersifat mutlak, akan tetapi adalah pembaharuan
terhadap pola berpikir kepada agamalah yang perlu diperbaharui. Pembaharuan
pemikiran terhadap hal-hal yang berhubungan dengan masalah Islam itu sendiri,
bukan dalam hal-hal dasar atau fundamental dari ajaran Islam itu, tetapi yang
perlu diperbaharui adalah penafsiran-penafsiran atau interpretasi terhadap ajaran-ajaran
dasar Al-Qur’an dan Hadist, sesuai dengan kebutuhan perkembangan zaman.[4]
Pembaharuan dalam Islam mempunyai tujuan yang sama. Tetapi dalam hal ini perlu diingat
bahwa dalam Islam ada ajaran-ajaran yang bersifat mutlak yang tak dapat diubah-ubah. Yang
dapat diubah hanyalah ajaran-ajaran yang tidak bersifat mutlak, yaitu
penafsiran atau interpretasi dari ajaran-ajaran yang bersifat mutlak itu. Dengan kata lain
pembaharuan mengenai ajaran-ajaran yang bersifat mutlak tak dapat diadakan.
Pembaharuan dapat dilakukan mengenai interpretasi atau penafsiran dalam
aspek-aspek teologi, hukum, politik dan seterusnya dan mengenai
lembaga-lembaga. Perkataan pembaharuan atau modernisasi Islam kurang tepat dipakai; yang tepat
adalah “pembaharuan atau modernisasi dalam Islam”.[5]
Dari beberapa ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa pembaharuan Islam
bukanlah sesuatu yang evolutioner melainkan lebih cenderung devolusioner, dalam artian bahwa
pembaharuan bukan merupakan proses perkembangan bertahap di mana yang
datang kemudian lebih baik dari sebelumnya.
Pembaharuan dalam Islam adalah proses pemurnian
di mana konsep pertama atau konsep asalnya dipahami dan ditafsirkan
sehingga menjadi lebih jelas bagi masyarakat pada masanya dan lebih penting
lagi penjelasan itu tidak bertentangan dengan aslinya. Di sini bukan
perubahan yang terjadi, tetapi peragaman makna dan penafsiran. Di samping itu, tajdid ini bisa berarti memperbaharui
ingatan orang yang telah melupakan ajaran agama Islam yang benar, dengan
memberi penjelasan dan argumentasi-argumentasi baru sehingga meyakinkan orang
yang tadinya ragu dan meluruskan kekeliruan atau kesalahpahaman mereka yang
keliru dan salah paham.
Pembaharuan ini mulai terjadi di dunia Islam ketika kedatangan Napoleon
di Mesir pada 1798 yang merupakan momentum penting dari perkembangan Islam. Kedatangan
“penakluk dari Prancis” ini tidak hanya membuka mata kaum Muslim akan apa yang
dicapai oleh peradaban Barat di bidang sains dan teknologi, tetapi juga
menandai awal kolonialisme Barat atas wilayah-wilayah Islam. Di antaranya
akibat kontak itu di lingkuangan elit Muslim para penguasa dan kalangan cendikiawan
gerakan pembaharuan Islam kembali memperoleh gairah. Kaum Muslim semakin intensif
dan bersemangat mengkaji kembali doktrin-doktrin dasar Islam khususnya
dihadapkan pada kemajuan Barat. Kritik-kritik terhadap kondisi umum masyarakat
Islam bermunculan, seruan berjihad semakin nyaring terdengar, pandangan lama
yang menganggap pintu ijtihad telah tertutup tidak hanya digugat, tetapi bahkan
dianggap sebagai cermin dari keterbelakangan intelektual. Tidak heran jika taqlid mendapat kritik pedas dari
kalangan pembaharu.[6]
Meskipun kehadiran Barat telah memicu timbulnya
respon dikalangan terpelajar Muslim, kontak dengan Barat bukanlah satu-satunya faktor yang menyebabkan
munculnya gerakan pembaruan dalam Islam. Di samping dalam batang tubuh doktrin-doktrin Islam pembaharuan
(tajdîd) merupakan sesuatu yang
intern, kondisi objektif umat Islam sendiri yang secara umum ditandai oleh
semakin memudarnya semangat keilmuan, kebekuan (jumûd) dibidang intelektual, dan berkembang pesatnya tradisi yang
mendekati syirik, merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Faktor-faktor itu sekaligus juga merupakan tantangan kaum Muslim, tidak hanya dalam
tataran intelektual tetapi juga pada tataran empiris, seperti kekhalifahan yang
berabad-abad bertahan dalam Islam mulai digugat.
Realitas sejarah menunjukkan kelengahan umat Islam
dalam memahami pergeseran “agama yang benar” kepada ‘’ortodoksi ideologi”. Akibatnya, ketika
agama telah berubah menjadi fiqh dogma-dogma teologi Asy’ari, umat Islam
kehilangan kesempatan menatap sisi-sisi negatif dikotomi itu. Kehadiran
berbagai mazhab yang berseteru, partai yang bersaing, kelompok-kelompok Muslim yang berselisih dan
organisasi-organisasi sosial keagamaan yang tidak akur adalah manifestasi
dominasi fiqh yang menggerus akar kekuatan umat. Pertikaian pengikut Sunni dan
Syi’ah merupakan contoh menarik dalam konteks ini.
Ketika umat Islam harus berhadapan dengan
modernisasi negara-negara industri, daerah “yang tak terpikirkan” itu semakin melebar.
Hegemoni dunia Barat yang terus berlanjut tidak memperoleh respon antisipasif
dari umat Islam. Karenanya, upaya kongkrit menghentikan kesenjangan itu
merupakan solusi terbaik bagi mereka jika Islam sebagai agama yang membumi.
Pemahaman, penghayatan dan pengalaman yang utuh terhadap semua dimensi ajaran
Islam adalah resep terbaik bagi kebangkitan agama mereka .
Hal ini kemudian menyebabkan banyak pemikir Islam
dan hingga kini berusaha keras untuk membuktikan bahwa Islam pun sejalan
dengan perkembangan zaman itu. Mereka ingin menunjukkan bahwa Islam tidak
ketinggalan zaman. Suara-suara yang menggaungkan isu tajdid (pembaharuan) terhadap Islam menggema di berbagai wilayah
kaum muslimin. Sayangnya, niat baik dan upaya keras ini seringkali justru
berdampak negatif. Tanpa disadari, upaya tajdid
yang mereka lakukan justru adalah “membaratkan Islam” dan bukan “mengislamkan
nilai-nilai Barat”. Akibatnya,
banyak nilai-nilai Islam yang bersifat prinsipil dinafikan, dan dianggap “mengganggu”
kemajuan peradaban modern harus dibuang. Ide-ide seperti sekulerisme,
liberalisme dan pluralisme yang marak belakangan ini menurut hemat penulis
tidak lebih merupakan bukti dampak turunan atas hal itu.
Penulis menyebut upaya tajdid semacam ini sebagai
“tajdid yang tidak dilandasi oleh
rasa ‘izzah (kebanggaan) pada Islam”.
Ini adalah tajdid yang berangkat dari
perasaan minder dan rendah diri pada Barat. Hal ini yang akan membedakan
gerakan pembaharuan dalam Islam yang terjadi di belahan dunia. Seorang tokoh
pembaharuan yang telah memiliki pandangan keislaman yang kuat akan mengaitkan kemajuan
modernisme Barat dengan ajaran Islam, sedangkan bagi tokoh pembaharuan yang
kurang memiliki pandangan Islam yang kuat akan menghasilkan pemikiran yang
berkiblat kepada Barat.
Akan tetapi
karena terlalu luasnya bahasan pembaharuan dalam Islam ini, penulis akan membatasi
pembaharuan Islam yang terjadi di Mesir dengan mengedepankan
pemikiran-pemikiran tokoh di negara tersebut yang terjadi pada abad ke-20. Penulis akan membahas tentang Hassan Al-Banna
dengan Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi dakwah yang berpengaruh di Timur
Tengah, khususnya di Mesir. Dikatakan sebagai tokoh
pembaharuan karena pada masa itu merubah pemahaman dan ajaran bahkan ideologi
yang ada pada saat itu bukan merupakan hal yang mudah dan gampang akan tetapi
ibarat menghadapi tembok kuat yang harus dirobohkan.
B.
Biografi
Hasan Al-Banna: Tokoh Pendiri Ikhwanul Muslimin
Nama lengkapnya adalah Hasan Ahmad
Abdurrahman Al-Banna As-Sa’ati, atau lebih dikenal dengan panggilan Hasan Al-Banna, seorang da’i
pembaharu. Ia dilahirkan pada hari Ahad tanggal 25 Sya’ban 1324 H. bertepatan
tangal 14 Oktober 1906 M, di Hamudiyah, Provinsi Buhairah, Mesir. Ayahnya bernama Asy-Syaikh Al-Alim Ahmad Abdurrahman Al-Banna As-Sa’ati[7], salah seorang ulama besar di zamannya. Beliau merupakan ulama
yang menertibkan dan mensyarah kitab Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibani.[8] Kitabnya adalah Bulug Al-Amani min Asrar Al-Fath Ar-Rabbani, dalam 14 jilid. Hasan Al-Banna mulai perjalanan ilmiahnya dengan mempelajari Al-Qur’an ketika berumur empat
tahun. Di usianya yang masih belia, Al-Banna sudah berhasil mengkhatamkan Al-Qur’an[9] dan juga diberi banyak wawasan
oleh ayahandanya.[10]
Di usianya yang
masih belia, Hasan Al-Banna sangat antusias dalam memperluas cakrawala keilmuannya. Ia mulai
menghafal banyak matan kitab berbagai disiplin ilmu, seperti Milhat Al-I’rab karya Al-Hariri, Alfiyyah karya Ibnu Malik, Al-Yaqutiyah kitab Mustalah Hadis, Jauharah At-Tauhid, Rahabiyyah, As-Sullam, berbagai matan Al-Qaduri kitab fikih Abu Hanifah, Matan Gayah wa At-Taqrib karya Abu Syuja’ kitab fikih
Syafi’iyyah, dan beberapa Manzumah Ibnu Amir tentang fikih Malikiyyah. Ayahandanya senantiasa memotivasi Al-Banna kecil dengan ungkapannya yang menyentuh, “Man Hafiza Al-Mutun, Haza Al-Funun” (Siapa rajin menghafal
matan, ia akan menguasai berbagai disiplin ilmu). Tidak heran,
jika Al-Banna
sedari kecil sudah begitu mencintai ilmu dan memiliki wawasan yang luas.[11]
Selanjutnya
Hasan Al-Banna
melanjutkan studinya ke Darul Ulum. Di waktu yang sama beliau juga ditunjuk
sebagai pengajar di madrasah Kharbata Al-Awwaliyyah[12]. Namun, beliau lebih memilih melanjutkan studinya disbanding menerima
tawaran pekerjaan ini. Akhirnya, beliau menghabiskan 4 tahun di Darul Ulum guna mengasah keilmuannya. Pada masa
itu, keluarganya pindah ke Kairo. Hasan Al-Banna berhasil meraih gelar Diploma
dari Universitas Darul Ulum pada tahun 1927. Selanjutnya, ia ditunjuk sebagai
pengajar di Ismailiyah.[13]
Hasan Al-Banna memiliki
pengaruh yang luar biasa terhadap penduduk Ismailiyyah. Karena itu, ia
mulai memiliki ide untuk membentuk Jamaah Ikhwanul Muslimin. Kemudian ia mendirikan madrasah At-Tahzib bagi Ikhawanul Muslimin. Di sini ia mengajari dan mendidik mereka metode komprehensif dalam studi
Islam. Dimulai dari meluruskan akidah dan ibadah, mengenalkan kepada mereka rahasia tasyri’ dan adab-adab Islam secara umum, mengajari mereka sejarah Islam, perjalanan hidup
para salafus-salih, sirah Nabi,
memperbaiki bacaan Al-Qur’an, memahami dan menghafalnya, juga mengajari hadis-hadis Nabi, yang tujuannya
mengembangkan dimensi ruhani dan amali.
Selain itu, ia juga melatih cara berpidato dan berdakwah serta meminta
mereka memberi ceramah dan kajian. Tidak hanya itu, Hasan Al-Banna juga menanamkan
di dalam hati mereka arti pendidikan Islam praktis sehingga ia hendak menciptakan
generasi ideal layaknya Al-Qur’an yang berjalan di bumi.[14]
Hasan Al-Banna telah mendirikan
dakwah di Ismailiyyah[15], serta banyak membangun lembaga-lembaga. Jumlah Ikhwanul Muslimin
semakin banyak dan semakin menguat. Setelah itu, Hasan Al-Banna pindah dakwah ke
Kairo untuk menyebarkannya ke penjuru dunia. Pada bulan Februari 1941,
akibat desakan dari Inggris, Hasan Al-Banna diasingkan di Qina, Mesir.
Adapun orang yang memutuskan hal tersebut adalah Husain Sari dan
Muhammad Husain Haikal, selaku menteri pendidikan. Pengasingan ini tidak hanya
awal mula permusuhannya terhadap Hasan Al-Banna dan dakwahnya, namun persoalannya semakin
meluas. Terutama setelah
para duta besar Inggris, Amerika dan Prancis berkumpul di Fayed dan mengambil
keputusan supaya membubarkan kelompok Ikhwanul Muslimin.
Mereka mengancam kemerdekaan Kairo dan Alexandria.
Dengan demikian, pada tanggal 8
Desember 1948, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan putusan pembubaran kelompok Ikhwanul Muslimin.
Hasan Al-Banna dieksekusi pada
jam 8 malam, hari Sabtu 12 Februari 1949, bertepatan tanggal 14 Rabiul Tsani 1368 di depan kelompok Syubbanul Muslimin di tengah-tengah Kairo. Kurang dari seperempat abad, Hasan Al-Banna berhasil membangun pondasi kokoh bagi jamaah
Ikhwanul Muslimin.[16] Kepergian Hassan Al-Banna pun menjadi duka berkepanjangan bagi umat Islam. Ia mewariskan
2 karya monumentalnya, yaitu Catatan Harian
Dakwah dan Da'i serta Kumpulan Surat-surat. Selain itu Hasan Al-Banna mewariskan
semangat dan teladan dakwah bagi seluruh aktivis dakwah saat ini.[17]
Selain
sebagai seorang Ilmuwan, Al-Banna
juga banyak meluncurkan
berbagai tulisan baik yang bersumber dari hasil ceramah maupun kritik-kritiknya
atas pemerintahan Mesir. Di antara
karya-karyanya, antara lain: Allah
fi al-‘Aqidah al-Islamiyah (Allah Menurut Aqidah Islamiyah), Ila al-Thulab (Kepada
Para Mahasiswa), Risalah
al-‘Aqaid (Risalah Aqidah), Risalah al-Mu’tamar al-sadis
(Risalah Mu’tamar Keenam), Qadhiyyatuna
baina yadai al-Ra’yi al-‘Am al-Mishri wa al-‘Arabi wa al-Islami wa al-Dhamir
al-Insani al-‘Alami (Persoalan kita di tengah-tengah opini umum
dan masyarakat Mesir Arab, Islam, dan Nurani manusia sedunia), Majmu’at Rasail al-Imam al-Syahid Hasan
Al-Banna (Kumpulan risalah Imam Syahid Hasan al-Banna), Nizam al-Usar wa al-Risalah al-ta’lim
(Sistem usrah dan risalah Ta’lim), dan Al-Mar’ah
al-Muslimah (Perempuan yang Muslimah).[18]
C.
Ide-ide Pembaharuan Hasan
Al-Banna dan Pengaruhnya bagi Dunia Islam
1.
Latar
Belakang Pemikiran Hasan Al-Banna
Mengingat
cita-cita Syekh Ahmad, yaitu menginginkan putranya (Al-Banna) menjadi seorang mujahid (pejuang)
dan menjadi seorang mujaddid (pembaharu).[19] Oleh karena itu, sejak
kecil Al-Banna langsung didik oleh ayahnya sendiri terutama dalam mengahafal
Al-Qur’an dan tersedianya perpustakaan pribadi di rumah. Sehingga dunia Islam
sangat mengenal sosok Hasan Al-Banna, yang mana beliau dikenal sebagai mujahid
dakwah dan pembangkit umat Islam.
Hasan Al-Banna
berpandangan bahwa kelemahan dan kerentanan Muslim terhadap dominasi Eropa
disebabkan oleh penyimpangan kaum Muslim dari Islam sejati. Untuk membangkitkan
Mesir kembali maka kaum Muslim harus bertekad kembali memahami dan hidup
menurut Islam seperti yang ditegaskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah seperti
yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw dan Khulafa Ar-Rasyidin tentang
tatanan Islam yang komprehensif. Dunia Islam semakin lemah, hal ini disebabkan
oleh beberapa faktor, diantaranya: perebutan kekuasaan, perpecahan akibat
soal-soal sekunder, kemewahan penguasa, pemerintahan oleh non-Arab seperti
Turki dan Persia yang tak pernah tahu Islam sejati, kurangnya minat pada
ilmu-ilmu praktis, dan taklid buta pada otoritas.[20]
Pemikiran pembaharuan
Hasan al-Banna berdasarkan atas keyakinan bahwa agama Islam adalah agama
universal yang sesuai dengan perkembangan peradaban manusia, yang mana Al-Banna
mengubah wacana menjadi sebuah gerakan. Hal unik inilah yang menjadi pembeda
dengan para pembaharu dan pembangkit sebelumnya.
2.
Ide-ide Pembaharuan Hasan Al-Banna
Hasan Al-Banna membangun pondasi
dakwahnya dengan berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah. Dua hal ini dianggap sebagai sumber pokok umat Islam dalam berakidah, bersyariah dan berakhlak. Dalam Majmu’ah Ar-Rasa’il nya (himpunan risalah), Hasan Al-Banna menjelaskan,
Dakwah kami memang Islamiyah, dengan segala
makna yang tercakup di dalam kata itu. Pahamilah apa saja yang ingin anda pahami
dari kata itu dengan tetap berpedoman kepda Kitab Allah, Sunnah Rasulullah dan
sirah Salafus-salih (jalan hidup
pendahulu yang shalih) dari kaum muslimin. Kitab Allah adalah sumber
dasar Islam, Sunnah Rasulullah saw adalah penjelas dari kitab tersebut, sedang sirah kaum salaf
adalah contoh aplikatif dari perintah Allah dan ajaran Islam.[21]
Pembaharuan yang dilakukan oleh Al-Banna memiliki karakter tersendiri yang membedakannya dengan para pembaharu sebelumnya.
Setidaknya terdapat tiga karakter pembaharuan Al-Banna: pertama; dakwah Islam secara komprehensif, dalam artian Islam harus
masuk ke dalam kehidupan manusia secara sempurna, tanpa adanya pemisahan
antara negara dan agama atau pemisahan dunia dan akhirat. Kedua; dakwah secara universal, artinya
dakwah tidak terbatas pada daerah atau person tertentu, akan tetepi dakwah
Islam harus disebarkan di seluruh dunia. Ketiga; ajakan mendirikan khilafah Islamiyyah, yaitu bagaimana agama Allah -Islam- bisa menguasai bumi dan
mendirikan negara Islam. Sehingga dengan demikian, tajdid (pembaharuan) yang dilakukan oleh
Hasan Al-Banna
telah merambah ke berbagai aspek, baik pembaharuan di bidang akidah, fikih,
pendidikan Islam, maupun politik.
a)
Metode Tajdid Hasan Al-Banna dalam Mengidupkan Aqidah
Dalam
dakwahnya, Hasan Al-Banna mencoba meluruskan pemahaman tentang akidah dan menanamkannya ke dalam hati. Untuk
tujuan itu, ia membuat dua risalah yang berkaitan dengan akidah Islam. Dua
risalah tersebut adalah risalah yang berjudul Allah fi Al-Aqidah Al-Islamiyyah dan risalah kedua berjudul Al-Aqaid. Secara
ringkas, metode Hasan Al-Banna alam pemaparannya tentang akidah dapat
disimpulkan sebagai berikut:
- Memperhatikan pengaruh akidah
terhadap jiwa,
- Men-counter syubhat akidah
modern,
- Memperkuat hubungan manusia
dengan sang Pencipta, dan
b)
Tajdid dalam Fikih
Hasan Al-Banna menggunakan gaya
Rasulullah dalam fikih, yaitu gaya pengamalan (al-uslub al-amaly) dalam rangka pembaharuan fikih. Gaya ini memiliki pengaruh yang signifikan, yang membuat kaum muslimin melihat kembali sikap
sebagian mereka dalam masalah perbedaan-perbedaan dalam fikih.
Dalam pengantar
kitab Fiqh As-Sunnah, Hasan Al-Banna mengingatkan
kepada kaum muslimin bahwa agama Allah itu luas. Ia lebih luas dan lebih mudah
dibandingkan menghukumi pendapat individu maupun kelompok. Sedangkan segala
sesuatu -kebenarannya- dikembalikan kepada
Allah, Rasulullah, kaum muslimin dan imam mereka.
Pembaharuan fikih
yang dilakukan Hasan
Al-Banna adalah dengan menjauhkan umat Islam dari
pembahasan njlimet (bahasa Jawa yang
artinya kurang lebih seperti istilah benang kusut) terkait cabang-cabang fikih, pembuatan istilah-istilah asing, dan
asumsi-asumsi fikih atas hukum peristiwa yang belum terjadi. Sebagai gantinya,
Hasan Al-Banna
selalu mengkaitkan fikih manusia dengan Al-Quran dan As-Sunnah dengan gaya bahasa yang mudah dan sederhana. Gaya Hasan Al-Banna dan pembaharuan
fikihnya ini telah menyebar luas. Sehingga, banyak sekali bermunculan kitab-kitab
fikih yang mengikuti gaya Al-Banna ini. Di antara kitab fikih yang paling terkenal adalah Fiqh As-Sunnah karya Syaikh Sayyid Sabiq yang di dalamnya banyak menerjemahkan gagasan-gagasan
Al-Banna dan
pandangan fikihnya.
Secara khusus,
gagasan-gagasan Al-Banna tentang bagaimana memahami Islam secara benar, terutama terkait fikih dan ushul fikih telah dipaparkannya dalam Usul Al-Isyrin (dua puluh pokok ajaran Hasan Al-Banna).
- Dalam pokok kelima, Al-Banna mengatakan pendapat imam atau wakilnya tentang sesuatu yang
tidak ada teks hukumnya, tentang sesuatu yang mengandung ragam interpretasi,
dan tentang sesuatu yang membawa kemaslahatan umum, bisa diamalkan sepanjang tidak
bertentangan dengan kaidah-kaidah umum syariat. Ia mungkin berubah seiring dengan
perubahan situasi, kondisi, dan tradisi setempat. Yang prinsip, ibadah itu diamalkan dengan kepasrahan total tanpa
mempertimbangkan makna. Sedangkan dalam urusan selain ibadah (adat-istiadat),
maka harus mempertimbangkan maksud dan tujuannya.
- Dalam pokok keenam juga
disebutkan, Setiap orang boleh diambil atau ditolak
kata-katanya, kecuali Al-Ma’sum (Rasulullah). Setiap yang datang dari kalangan
salaf dan sesuatu dengan Kitab dan Sunah, kita terima. Jika tidak sesuai dengannya, maka Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya
lebih utama untuk diikuti. Namun demikian, kita tidak boleh melontarkan kepada
orang-orang -oleh sebab sesuatu yang diperselisihkan denganya- kata-kata caci maki dan
celaan. Kita serahkan saja kepada niat mereka, dan mereka telah berlalu dengan
amal-amalnya.
-
Gagasan lainnya dijelaskan juga dalam pokok ketujuh, setiap masalah amal yang tidak dibangun di atasnya -sehingga menimbulkan
perbincangan yang tidak perlu- adalah kegiatan yang dilarang secara syar’i. Misalnya memperbincangkan
berbagai hukum tentang masalah yang tidak benar-benar terjadi, atau memperbincangkan makna ayat-ayat Al-Qur’an yang kandungan
maknanya tidak dipahami oleh akal pikiran, atau memperbincangkan perbandingan
keutamaan dan perselisihan yang terjadi di antara para sahabat
(padahal masing-masing dari mereka memiliki keutamaannya sebagai sahabat Nabi
dan pahala niatnya) dengan takwil (menafsiri baik perilaku para sahabat) kita terlepas dari persoalan.
Terkait persoalan
pemahaman terhadap hukum Islam, Hasan Al-Banna menjelaskan dalam pokok kedua bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan rujukan setiap
Muslim dalam
mengetahui hukum-hukum Islam. Memahami Al-Qur’an disesuaikan dengan tatanan bahasa Arab tanpa takalluf
dan taassuf. Sedangkan dalam memahami Sunnah Nabi
dikembalikan pada para rijal hadis
yang terpecaya (siqqah). Dari sini dapat dipahami, bahwa Syaikh Hasan al-Banna tidak hanya
seorang ahli fikih saja, melainkan juga memiliki gagasan baru dalam fikih
Islam.[23]
c)
Tajdid dalam Pendidikan Islam
Tidak banyak
karya-karya yang dihasilkan Hasan
Al-Banna dalam pendidikan. Hal ini memang sengaja
dilakukannya. Sebab, dalam pandangan Al-Banna, tugas pokok dirinya bukanlah membuat
karya sebanyak mungkin, tapi bagaimana caranya menciptakan para tokoh sebanyak mungkin.
Hasan Asy-Syurbaji dalam bukunya Al-Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna Mujaddid Al-Qarn Ar-Rabi’ Asyar Al-Hijry menceritakan bahwa banyak para ikhwan -sebutan jamaah Al-Banna- meminta Hasan Al-Banna supaya mengarang kitab yang merekam ilmu-ilmunya. Namun, permintaan
mereka ini selalu ditolak olehnya. Al-Banna mengakatan kepada mereka, “Saya tidak mengarang
kitab, tetapi tugas pokokku adalah menciptakan
kader-kader tokoh terbaik. Kader tersebut saya tempatkan di suatu daerah lalu
ia menghidupkannya.
Oleh karena itu, melalui gerakan Ikhwanul Muslimin Syaikh Hasan Al-Banna telah berhasil membentuk generasi Muslim yang memahami Islam
secara benar, memiliki keyakinan yang mendalam terhadap Islam, mempraktekkannya dan mengajak manusia padanya serta berjihad di jalannya. Adapun faktor
keberhasilan Hasan Al-Banna dalam mendirikan madrasah ini adalah
keyakinannya yang begitu kuat bahwa pendidikan merupakan satu-satunya cara mengubah masyarakat. Meskipun berat dan memerlukan waktu yang
lama, namun inilah jalan yang ditempuh Rasulullah. Hasan Al-Banna
membuat metode pendidikan yang sumbernya Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah,
dan menciptakan nuansa jamaah penuh kekeluargaan.[24] Dalam
dakwahnya ini, Hasan
Al-Banna
menggunakan berbagai macam sarana, seperti: ceramah dan
khutbah, seminar, kajian, slogan-slogan,
nasyid, liqa’ (pertemuan rutin),
buku-buku, kelompok perkemahan dan olahraga, serta cara-cara lainnya.
Gagasan tentang
pembaruan pendidikan Al-Banna banyak dituangkan dalam kitab Majmuah Ar-Rasail (Himpunan Risalah) karyanya. Dalam risalahnya itu, Hasan Al-Banna membuat metode pendidikan yang dirumuskan
dalam 10 prinsip, yang merupakan ringkasan dakwah Ikhwanul Muslimin. Kesepuluh prinsip tersebut adalah pemahaman, ikhlas, amal, jihad, pengorbanan, ketaatan, sabat, tajarrud,
persaudaraan, dan percaya diri.
Sepuluh prinsip ini dijelaskan olehnya, “Wahai saudaraku yang tulus! Inilah bingkai
global dakwahmu dan penjelasan ringkas fikrahmu. Engkau dapat menghimpun
prinsip-prinsip ini dalam lima slogan: Allah
gayatuna (Allah tujuan kami), ar-Rasul qudwatuna (Rasul adalah teladan kami), al-Qur’an syir’atuna (Al-Quran adalah undang-undang
kami), al-Jihadu sabiluna (jihad
adalah jalan kami), dan asy-Syahadah umniyyatuna (mati syahid adalah cita-cita kami). Cengkeramlah secara
sungguh-sungguh ajaran ini. Jika tidak demikian maka engkau akan jatuh dalam barisan qaidin (yang duduk-duduk santai) yang
akan mengantarkanmu menjadi pemalas.[25]
d)
Tajdid dalam Politik
Politik dalam
pandangan Hasan Al-Banna adalah bagian dari agama. Sebab, Islam -menurutnya- adalah agama dan negara. Sehingga tidak mengherankan bila Ikhwan Muslimin terjun ke dalam dunia
politik. Selain politik dipandang sebagai bagian dari agama, ia merupakan cara
dakwah Ikhwanul Muslimin.
Secara
detil, Hasan Al-Banna
menjelaskan karakter pemikiran Ikhwanul Muslimin, “Wahai Ikhwanul Muslimin!
Kalian bukan partai politik, meskipun politik sebagai salah satu pilar
Islam adalah prinsip kami. Kalian bukan yayasan sosial dan perbaikan, meskipun kerja sosial
dan perbaikan adalah bagian dari maksud besar kalian. Kalian bukan klub olah
raga, meskipun olah raga dan olah rohani menjadi salah satu perangkat terpenting
kalian. Kalian bukan kelompok-kelompok macam itu semua, karena itu semua
diciptakan untuk tujuan parsial dan terbatas, untuk masa yang terbatas pula.
Bahkan terkadang tidak dibuat kecuali sekedar menuruti perasaan sesaat; ingin
membuat organisasi, lalu dihias
dengan berbagai slogan dan sebutan kelembagaan yang muluk-muluk. Namun wahai
Ikhwan, kalian adalah pemikiran dan akidah, hukum dan sistem, yang tidak
dibatasi oleh tema, tidak diikat oleh jenis suku bangsa, dan tidak berdiri
berhadapan dengan batas geografis. Perjalanan kalian tidak pernah berhenti
sehingga Allah swt mewariskan bumi ini dengan segala isinya kepada kami, karena
ia adalah sistem milik Rabb, Penguasa alam semesta, dan ajaran milik rasul-Nya yang
terpercaya. Bukan sombong, kalian inilah, wahai ikhwan, pemegang tongkat estafet
panji Islam sesudahnya. Kalian angkat benderanya tinggi-tinggi sebagaimana
para shahabat mengangkatnya, kalian kibarkan dan kalian sebarluaskan ia sebagaimana mereka menyebarluaskannya,
kalian jaga Qur’annya sebagaimana mereka menjaganya, dan kalian
diberi janji kemenangan sebagaimana mereka diberinya. Kalian inilah rahmat
Allah untuk seluruh alam”.
Selanjutnya,
Hasan Al-Banna
dengan tegas menekankan bahwa memisahkan agama dengan politik bukanlah termasuk
ajaran Islam. Selain
pembaharuan-pembaruan di atas, Hasan
Al-Banna juga melakukan pembaharuan terkait pemahaman
jihad. Dalam hal ini, ia membuat risalah
khusus tentang jihad.
Isinya pertama-tama mengupas
tentang hukum jihad, anjuran berjihad,
serta menjelaskan pahala mujahidin dan syuhada’. Selanjutnya ia menjelaskan hukum
jihad dalam perpektif ulama fikih. Ia menyimpulkan, bahwa jihad
sekarang hukumnya fardhu ain atas umat Islam, guna menahan serangan-serangan orang kafir, membebaskan Al-Aqsha, dan mengembalikan negara yang dirampas. Di akhir risalahnya tersebut, Hasan Al-Banna membicarakan tentang betapa mulianya mati
di jalan Allah. Ia memandang bahwa jihad merupakan
salah satu dari 10 rukun baiat. Sebagaimana ia membuat slogan
yang sangat populer di kalangan para ikhwan yang berbunyi “al-Jihadu sabiluna, wa al- mautu fi sabilillah asma amanina” (jihad adalah jalan kami, dan mati syahid di jalan Allah
adalah angan-angan kami tertinggi).
Pembaruan
lainnya yang dilakukan Hasan Al-Banna adalah gerakan dakwahnya. Dalam dakwahnya ini ia memvariasi
metode dan gaya berdakwah. Sehingga, dalam rentang 20 tahun ia berhasil membentuk jamaah -Jamaah Al-Ikhwan Al-Muslimin- yang
konsinten berjuang mendakwahkan Islam. Dakwah Hasan Al-Banna ini mencakup semua lini, baik bidang
informasi, pendidikan, dan kebudayaan. Semua bidang apa pun pasti tidak lepas
dari dakwahnya ini. Demikianlah, kita bisa melihat betapa universalnya dakwah pembaharuan
yang dilakukan Hasan Al-Banna yang mencakup semua dimensi kehidupan yang beragam.[26]
3.
Pengaruh Pemikiran Hassan Al-Banna Bagi Dunia Islam
Pengaruh Hasan Al-Banna terhadap dunia Islam bisa dilihat
dari kontribusi yang diberikan oleh Jamaah Ikhawanul
Muslimin. Jamaah ini didirikan oleh Hasan Al-Banna
dan ia pula yang meletakkan dasar dan tujuannya.
Jamaah ini terus bekerja secara berkesinambungan melalui rumah-rumah, masjid-masjid,
sekolah-sekolah dan juga di parlemen, baik di Kairo maupun di daerah-daerah lainnya, sehingga gerakan Ikhwanul Muslimin merambah ke pelosok Mesir. Tidak hanya di Mesir, gerakan
ini juga telah merambah ke negara-negara Arab lainnya, seperti Sudan, Yaman, Yordania,
Palestina, Yaman, Irak, dan
Maroko. Bahkan, gerakan ini sekarang sudah sampai ke Eropa, Amerika, India,
Pakistan, Australia, Afrika, Afganistan, dan juga sampai di Indonesia.
Gerakan jamaah Ikhwanul Muslimin memiliki misi membentuk (1) pribadi muslim dalam berpikir, berakidah, beramal dan bertindak; (2) keluarga
muslim; (3) masyarakat muslim; (4) pemerintah
muslim yang menggiring rakyat senantiasa ke masjid; (5) negara Islam dan mengajak
kelompok-kelompok kecil masuk ke dalamnya; gerakan ini tidak menerima
pengkotak-kotakan partai yang
membuat negara Islam menjadi
negara-negara kecil yang lemah; (6)
semua upaya ini dimaksudkan untuk mengembalikan khilafah sesuai dengan manhaj Nabi.
Melalui metode
dakwah yang baru ini, Hasan Al-Banna telah memberikan pengaruh
yang besar terhadap
pemikiran Islam. Ia telah
belajar banyak dari pengamalan orang sebelumnya, dan dari sejarah para pemimpin
dan pemikir yang membawa panji Islam. Dengan dakwah model ini, ia sebarkan di
masjid-masjid, kedai-kedai kopi dan berkeliling ke penjuru negeri. Bahkan, tidak
ada satu daerah pun melaikan ia datangi penduduknya, ia sampaikan dakwahnya. Tercatat, ia telah
mengunjungi 3000 desa dari 4000 desa yang ada di Mesir. Hasilnya, selama 20 tahun ia berhasil membentuk jamaah Ikhwanul Muslimin yang solid hingga sekarang ini.
Pembaharuan (tajdid) yang dilakukan Hasan Al-Banna merupakan gerakan pembaharuan yang komprehensif, yang berpengaruh
besar pada segenap bidang pemikiran Islam. Dalam bidang akidah, ia mengajak
untuk mengikuti mazhab Salaf dalam memahami sifat-sifat Tuhan dan tidak larut
dalam perdebatan seputarnya. Perbebatan-perdebatan klasik seputar sifat-sifat
Tuhan dianggapnya sebagai salah satu penyebab terpecahnya barisan kaum
muslimin, dan tidak perlu dihidupkan lagi.
Dalam bidang
ibadah, Hasan Al-Banna merumuskan metode dalam beribadah yang didasarkan atas asas Al-Qur’an dan Sunnah yang bisa membentuk kepribadian Muslim. Sehingga, hal itu menjadi benteng yang
membentengi dari godaan kehidupan materialis, dan menyiapkannya menjadi anggota
yang shalih
di masyarakat. Untuk tujuan ini, Hasan al-Banna membuat risalah Al-Ma’surat.
Dalam bidang politik
dan hukum, Hasan Al-Banna mengajak kepada penerapan syariah Islam di semua lini kehidupan.
Sebab, dalam pandangannya, syariat Islam adalah syariah Tuhan yang hadir
untuk menciptakan kemaslahatan manusia, dan bisa berkembang demi menghadapi
tantangan kehidupan melalui jalan ijtihad
dan tajdid yang berkelanjutan.
Dalam bidang
ekonomi, Hasan Al-Banna menyeru pada independensi ekonomi umat Islam dari hegemoni
ekonomi asing, supaya kekayaan-kekayaannya bisa kembali pada penduduk pribumi
sekaligus persiapan memasuki era industri. Ajakan independensi ekonomi umat
dari hegemoni asing bukan dakwah teoritis saja, namun ajakan ini dipraktekkan
dan dijalankannya. Hasan Al-Banna telah ikut berpartisipasi dan menyokong perekonomian bangsa
serta mengajak serta rakyat. Ia juga membuat undang-undang khusus bagi Ikhwanul Muslimin yang isinya
bahwa salah satu tujuan Ikhwan adalah mengembangkan kekayaan bangsa, menjaga dan memerdekakannya. Ia juga menyeru kepada
para ikhwan supaya tetap menjalankan roda ekonomi sekalipun ia kaya,
menggunakan sebaik-baiknya kekayaan Islam umum dengan mendorong industri dan
sumber-sumber ekonomi Islam. Ia menyeru kepada para ikhwan supaya tidak memakai
pakaikan dan makan kecuali dari buatan negeri Islam.
Demi memperkuat hal tersebut, Hasan Al-Banna mendirikan berbagai syirkah
untuk menyokong perekonomian Negara, seperti Syirkah al-Mu’amalat al-Islamiyyah, asy-Syirkah al-Arabiyyah li al-Manajim wa al-Mahajir,
Syirkah al-Ikhwan al-Muslimin li al-Gazl wa an-Nasij, Syirkah al-Matbaah al-Islamiyyah wa al-Jaridah al-Yaumiyyah, Syirkah at-Tijarah wa al-Asygal al-Handasiyyah di Alexandria, Syirkah at-Taukilat at-Tijariyyah, Syirkah al-I’lanat al-Arabiyyah, dan masih banyak lagi perseroan milik
Ikhwanul Muslimin yang tersebar
di penjuru Mesir sekarang ini.
Sedangkan di
bidang jihad, Hasan Al-Banna ikut memerangi imperialisme -terutama Inggris- baik secara tindakan
maupun tulisan-tulisannya. Ia sangat antusias mengingatkan umat Islam akan
kewajiban jihad di Palestina dari tangan para penjajah. Tindakan Hasan Al-Banna ini diterjemahkan dengan cara membentuk
para pejuang jihad yang dikirim ke Palestina pada tahun 1948 yang memperlihatkan
bentuk pengorbanan dan kepahlawanan yang begitu memukau. Hal ini yang
membuat gentar dan ciut nyali Israil. Sikap heroik para pejuang Ikhwan ini diakui betul oleh Musya
Diyan di Amerika. Ia pernah mengatakan, “Kami tidak perlu senjata untuk
memerangi tentara Arab, itu mudah bagi kami. Kami mencari senjata untuk memerangi sikap
fanatisme Ikhwan yang begitu mengerikan. Para pejuang Ikhawanul
Muslimin di Palestina terus-menerus memperoleh kemenangan. Seandainya bukan
karena rekan kami Israil dan kroni-kroninya di Mesir dan di luar Mesir, tentu kami tidak mampu membendungnya”.
Adapun terkait
sikap Hasan Al-Banna
terhadap peradaban Barat adalah sama dengan sikap yang ditunjukkan oleh Sayyid
Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan para pembaharu Islam di era modern, yaitu tetap
menerima ilmu dan pengetahuan Barat
tanpa harus tenggelam dalam kehidupan sosial dan akhlak mereka.
Pengaruh dakwah dan pemikiran Hasan Al-Banna tetap berlanggung hingga
sekarang ini. Bahkan, hasil pemikirannya mampu mencetuskan nama-nama tokoh besar, baik
penulis, da’i, dan ulama di berbagai aspek pemikiran Islam sebagaimana berikut:
- Syaikh Sayyid Qutb,
pemikir Muslim modern yang menuangkan ide-idenya dalam kitab tafsir Fi Zilal Al-Qur’an, yang menjadi banyak rujukan kalangan Ikhwanul Muslimin.
- Abdul Qadir Audah, seorang pakar hukum Islam
yang telah menulis tentang perundang-undangan dan politik dalam masarakat Islam.
- Syaikh Muhammad Al-Ghazali, seorang pemikir Muslim produktif, yang telah mengarang 50 kitab tentang
kebudayaan Islam modern dan
pergaulatannya dengan musuh-musuh Islam.
-
Yusuf Al-Qardhawi, pemikir muslim modern, yang memusatkan studinya pada penjelasan tentang akidah
Islam dan pengaruh keimananya, tentang kemudahan fikih Islam, tentang minoritas
muslim dan problematikanya yang beragam, di samping kitab-kitab beliau lainnya
tentang kebangkitan Islam, juga sumbangan pemikiran beliau tentang ekonomi
dengan berusaha memberi solusi Islam
terhadap problematika kontemporer.[27]
D. Tranformasi Gerakan Ikhwanul Muslimin di Indonesia
Ikhwanul
Muslimin adalah salah satu jamaah dari umat Islam, mengajak dan menuntut
ditegakkannya syariat Allah swt,
hidup di bawah naungan Islam, seperti yang diturunkan Allah kepada Rasulullah saw, dan diserukan oleh para salafush-shalih,
bekerja dengannya dan untuknya, keyakinan yang bersih menghujam dalam sanubari,
pemahaman yang benar yang merasuk dalam akal dan fikrah (pemikiran), syariah yang mengatur Al-Jawarih
(anggota tubuh), perilaku dan politik. Yang mana lahir dan berkembangnya Ikhwanul Muslimin tidak
dapat dilepaskan dari upaya yang dilakukan oleh Al-Banna sebagai pendirinya. Ikhwanul
didirikan pada bulan Zulka’dah 1346 H/ Maret 1928 M bersama enam tokoh lainnya.[28]
Pada
tahun 1930, Anggaran Dasar Ikhwanul Muslimin dibuat dan disahkan pada Rapat
Umum Ikhwanul Muslimin yang diselenggarakan pada 24 September 1930.
Selanjutnya, pada tahun 1932, struktur administrasi Ikhwanul Muslimin disusun
dan pada tahun itu pula, Ikhwanul Muslimin membuka cabang di Suez, Abu Soweir
dan Al-Mahmoudiya. Pada tahun 1933, Ikhwanul Muslimin
menerbitkan majalah mingguan yang dipimpin oleh Muhibuddin Khatib.
Tujuan Ikhwanul Muslimin
adalah untuk mewujudkan terbentuknya sosok individu Muslim, rumah tangga
Islami, bangsa yang Islami, pemerintahan yang Islami, negara yang dipimpin oleh
negara-negara Islam, menyatukan perpecahan kaum Muslimin dan negara mereka yang
terampas, kemudian membawa bendera jihad dan dakwah kepada Allah sehingga dunia
mendapatkan ketentraman dengan ajaran-ajaran Islam. Namun sayang sekali ajaran shufi
kental sekali memengaruhi organisasi ini. Ikhwanul Muslimin menolak segala
bentuk penjajahan dan monarki yang pro-Barat. Yang
mana tujuan tersebut
selaras dengan visi yang diucapakan oleh Al-Banna “Kami menginginkan terbentuknya
sosok individu Muslim, rumah tangga Islami, bangsa yang Islami, pemerintahan
yang Islami, negara yang dipimpin oleh negara-negara Islam, menyatukan
perpecahan kaum Muslimin dan negara mereka yang terampas, kemudian membawa
bendera jihad dan dakwah kepada Allah sehingga dunia mendapatkan ketenteraman
dengan ajaran-ajaran Islam”.[29] Ikhwanul Muslimin adalah
pembaharuan yang sangat besar ketika itu dan pengaruhnya masih bisa dirasakan
hingga sekarang, karena perkembangannya yang sangat pesat.
Pimpinan
Ikhwanul Muslimin disebut Mursyid 'Am atau Ketua Umum. Adapun tugas dari
Mursyid 'Am adalah untuk mengatur organisasi Ikhwanul Muslimin di
seluruh dunia. Para pemimpin itu adalah: Hassan Al-Banna
(1928- 1949), Hassan Al-Hudhaibi
(1949-1972), Umar At-Tilmisani
(1972-1986), Muhammad Hamid Abu Nasr (1986 -1996), Mustafa Masyhur (1996-2002),
Ma'mun Al-Hudhaibi (2002-2004), Muhammad Mahdi
Akif (2004-2010),
Muhammad Badie (2010-Sekarang).
Ikhwanul
Muslimin masuk ke Indonesia melalui jamaah haji dan kaum pendatang Arab sekitar
tahun 1930. Ikhwanul Muslimin memiliki peran penting dalam proses kemerdekaan
Republik Indonesia. Atas desakan Ikhwanul Muslimin, negara Mesir menjadi negara
pertama yang mengakui secara de facto (bukan de jure) kemerdekaan
Republik Indonesia, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dan Hal ini akhirnya diikuti oleh beberapa
negara dengan status seperti Mesir dan akhirnya Vatican sebagai negara
berdaulat penuh yang pertama mengakui Indonesia. Ikhwanul Muslimin
kemudian semakin berkembang di Indonesia setelah Muhammad Natsir mendirikan
partai yang memakai ajaran Ikhwanul Muslimin, yaitu Partai Masyumi. Partai Masyumi kemudian dibredel oleh Soekarno dan
dilarang keberadaannya di Indonesia.[30]
Masuknya pemikiran Ikhwanul Muslimin ke Indonesia
dapat dihubungkan dengan peranan Muhammad Natsir dan secara kelembagaan melalui
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Sebagai mantan ketua umum Masyumi pada
zaman orde lama, Natsir tergugah mengadakan pengkaderan kepada generasi muda Muslim.
Setelah keluar dari tahanan Orde Lama tahun 1966 yang diikuti dengan gagalnya
rehabilitasi Masyumi, Natsir mulai memikirkan bagaimana berpolitik tanpa
melalui partai politik. Menurutnya dakwah dan politik seperti dua sisi mata
uang yang tidak bisa dipisahkan.
Pada tanggal 26 Februari 1967 atas undangan
pengurus masjid Al-Munawarah, Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat, para
alim ulama bermusyawarah untuk membahas berbagai masalah yang berkaitan dengan
permasalahan umat.[31] Musyawarah
ini memutuskan untuk membuat lembaga baru yang diberi nama Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia (DDII) yang diberi amanat untuk melaksakan tugas dakwah. Natsir
melihat ada tiga pondasi utama kekuatan umat Islam yang harus dijaga dan
dikembangkan dalam konteks dakwah, yaitu dunia pesantren, masjid, kampus.
Menurutnya ketiga pondasi ini harus memiliki jaringan yang integral satu dengan
lainnya.
Di tahun 1968, Natsir beserta teman-temannya
membina generasi muda kampus (khususnya dosen) sebanyak 40 orang yang berasal
dari berbagai kampus di Indonesia. Sekembali dari pembinaan tersebut mereka
mengembangkan pemikiran keislaman seperti apa yang mereka terima dalam acara
tersebut. Pembinaan ini diadakan berkelanjutan tidak hanya sekali dan menunjuk
Imadudin sebagai Ketua Koordinator.
Menindaklanjuti kegiatan pengkaderan tersebut, maka
DDII pada tahun 1974 melaksanakan suatu program yang disebut dengan Bina Masjid
Kampus. Program ini mengusahakan pembangunan masjid di sekitar kampus untuk
dipakai berbagai aktifitas. Fasilitas masjid ini diperlukan agar pembinaan
Islami tetap terjaga. Pembangunan masjid kampus ini dilakukan di berbagai
wilayah di Indonesia. Masjid-masjid kampus seperti Masjid Salman di ITB, Masjid
Arif Rahman Hakim di UI, dan masjid kampus lainnya menjadi pusat kegiatan
mahasiswa Muslim. Muncul forum-forum diskusi yang membahas tentang Islam tidak
lagi hanya dalam ranah ibadah, namun dibahas juga Islam dalam berbagai sisi
kehidupan, sosial, ekonomi, dan politik.
Proses perkenalan para aktivis mahasiswa muslim
dengan pemikiran Ikhwanul Muslimin tidak dapat dilepaskan dari peran para
alumni mahasiswa Indonesia yang belajar di Timur Tengah. Para alumnus ini
bersentuhan langsung dengan para aktivis Ikhwanul Muslimin di Timur Tengah.
Sekembalinya ke Indonesia mereka mulai memperkenalkan pemikiran Ikhwanul
Muslimin melalui forum-forum yang telah ada di masjid-masjid kampus. Para
alumnus Timur Tengah tersebut merupakan hasil dari program pengiriman mahasiswa
yang pada mulanya dikelola oleh Partai Masyumi. Melalui pendekatan Natsir pada
tahun 1957 pemerintah Mesir memberikan beasiswa kepada mahasiswa Indonesia
sejumlah 90 orang. Program ini adalah bagian dari upaya Jamal Abdul Naseer,
yang saat itu menjabat sebagai ketua Organisasi Konferensi Islam (OKI), untuk
mengembalikan pamor mesir yang jatuh di mata partai-partai Islam karena penangkapan
terhadap para aktivis Ikhwanul Muslimin.[32] Ini
merupakan pengiriman gelombang pertama yang diusahakan oleh Natsir dan program
ini terus berjalan melalui pengelolaan Departemen Agama. Pada akhir 1970an dan
awal 1980an, program ini banyak menghasilkan para alumni Timur Tengah yang
kembali ke Indonesia.
Para alumnus Timur Tengah seperti Abu Ridha
menterjemahkan buku-buku Ikhwanul Muslimin ke dalam bahasa Indonesia. Natsir
meminta kader-kader muda tersebut untuk menterjemahkan buku-buku Ikhwanul
Muslimin seperti buku-buku Hasan Al-Banna, Yusuf Qardhawi, Sayyid Qutb. Dan diterbitkan
melalui Media Dakwah, lembaga penerbitan DDII. Penerbitan buku-buku Ikhwanul
Muslimin ini membantu penyebarluasan pemikiran-pemikiran Ikhwanul Muslimin terutama
di masjid-masjid kampus.
Perkenalan antara aktivis mahasiswa Muslim dengan
pemikiran Ikhwanul Muslimin juga tidak bisa dilepaskan dari peranan Imaduddin
Abdurrahim. Keterlibatannya dalam jaringan dakwah internasional serta aktifitas
di Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM) memberikan kesempatan padanya untuk
berkenalan dengan pemikiran gerakan di Timur Tengah khususnya Ikhwanul
Muslimin. Imaduddin kemudian mempernalkan pemikiran-pemikiran Ikhwanul Muslimin
dalam forum-forum dakwah kampus.[33]
Gerakan dakwah kampus bermula dari gerakan dakwah
yang dikelola oleh mahasiswa di Masjid Salman ITB. Kegiatan ini pada awalnya
berupa shalat Jum’at. Pada perkembangan berikutnya Masjid Salman tidak
hanya digunakan sebagai tempat shalat tetapi juga dijadikan sebagai pusat
kegiatan keislaman. Bagi mahasiswa, masjid ini dikembangkan menjadi tempat para
aktivis dakwah. Pada tahun 1974 diselenggarakan Latihan Mujahid Dakwah (LMD)
pertama kali. Gagasan kegiatan LMD ini merupakan prakarsa Ir. Imaduddin
Abdurrahim yang pada akhir 1960an menjabat sebagai ketua umum Pengurus Besar
Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (PB. LDMI) yang merupakan lembaga kekaryaan di
bawah HMI, dan sebagai sekjen International Islamic Federation of Student
Organisation (IIFSO). Melalui LMD ini, para aktivis dakwah kampus
bersentuhan dengan pemikiran Ikhwanul Muslimin melalui Imaduddin. Selain di
IIFSO, Imaduddin juga aktif di World Assembly of Muslim Youth (WAMY)
yang memberikan kesempatan padanya untuk berinteraksi dengan para aktifis
dakwah dari berbagai dunia Islam. Selain itu ia juga berinteraksi dengan para
aktivis ABIM yng terlebih dahulu intens mendalami pemikiran Ikhwanul Muslimin.
Prinsip pemikiran yang disampaikan Imaduddin di LMD
yakni Islam merupakan ajaran yang bersifat totalitas yang tidak memisahkan satu
aspek dengan aspek lainnya. Islam tidak dilihat dari perspektif yang memisahkan
antara yang sakral dan yang profan. Islam adalah din wa daulah (agama
sekaligus negara) artinya Islam menolak gagasan sekularisme. Pandangan
keagamaan yang berkembang di masjid Salman adalah bahwa totalitas ajaran Islam
itu tersimpul dalam konsep risalah Islam. Ia merupakan sistem ajaran yang
dianggap mengandung keseluruhan aturan hidup yang mesti diwujudkan dalam
masyarakat Islam. Upaya mewujudkan Islam itu perlu dilakukan melalui jihad,
yaitu bentuk perjuangan untuk merubah situasi yang belum islami ke dalam
situasi yang Islami.
E. Penutup
Sebagai penutup dari makalah yang sangat sederhana ini, penulis akan
mencoba untuk sarikan beberapa poin penting yang berkaitan dengan pembaruan pemikiran Islam di Timur Tengah dan pengaruhnya
terhadap negara-negara Muslim (analisis terhadap pemikiran Hasan Al-Banna), yaitu sebagai berikut:
·
Hasan
Al-Banna adalah salah satu tokoh dan pemikir Islam yang punya kepedulian
terhadap perkembangan Islam dan masyarakat Muslim. Pembaharu dan perintis bagi sebuah gerakan
Islam yang sangat besar pada abad ke 20, yang mana Al-Banna mewakafkan dirinya
untuk kebangkitan Islam dan pengaruhnya masih bisa kita rasakan hingga saat ini.
·
Pembaharuan
yang dilakukan oleh Al-Banna
adalah melalui Gerakan dan
Dakwah, yang
mana sebagai aset bagi kelangsungan Al-Ikhwan Al-Muslimun dalam
mengembangkan risalah dakwah Islamiyah, semua terjadi dengan proses yang tidak
sebentar, namun melalui latihan intensif mengisi diri dengan berbagai bekal
yang dibutuhkan oleh pergerakan, dan mampu memprediksikan strategi dakwah yang
dapat diterima oleh masyarakat. Sehingga ia bergerak di berbagai bidang seperti bidang politik,
pendidikan, dan ekonomi.
·
Dengan
pemikiran dakwah dan pembaharuannya, Hasan Al-Banna telah berhasil memberi banyak pengaruh
terhadap tokoh-tokoh pembangkit Islam. Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan
bahwa beliau merupakan tokoh Islam terdepan abad ke 14 H. Hal ini melihat
begitu detil dan tersrukturnya dasar-dasar pemikiran yang dibangunnya
padahal ketika itu baru berumur 23 tahun. Andaikata
bukan karena struktur
ini, tentu Hasan
Al-Banna tidak
lebih sekedar seorang
dai yang memiliki
kemampuan memikat hati saja. Akan tetapi, dengan pola yang terstruktur
ini, Hasan al-Banna telah berhasil menciptakan jamaah yang solid yang tidak
bisa dilakukan oleh para ulama dan da’i, meski syahid diusia muda.
DAFTAR PUSTAKA
Aay Muhammad Furqon, Pengaruh Pemikiran Al Ikhwan Al Muslimun Terhadap Gerakan Politik Islam
Indonesia (1980-2000): Studi Kasus Partai Keadilan, Depok, Tesis
Universitas Indonesia, 2003.
Abdul Kholiq,
Pemikiran Pendidikan Islam
Kajian Tokoh Ktasik
dan Kontemporer, Semarang: Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang bekerjasama dengan
Pustaka Pelajar, 1999.
Abu
Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2015.
Ahmad Hasan Asy-Syurbaji, Al-Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna Mujaddid Al-Qarn Ar-Rabi’ Asyr Al-Hijry, Iskandariyah: Dar Ad-Dakwah: 1998.
Ali
Abdul halim Mahmud,
Metode Pendidikan Ikhwanul Muslimin, Terj. Syafril Halim, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Harun Nasution, Islam di Tinjau
dari Berbagai Aspek, Jilid II, Jakarta: UI
Press, 1985.
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah
Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 2003.
Hasan Al-Banna, Majmuah Ar-Rasa>il; Risa>lah Da’watuna.
Hasan Al-Banna, Muzakarat
Ad-Da’wah wa Ad-Da’iyah, Kairo: Dar At-Tauzi’ wa An-Nasyr Al-Islamiyyah, t.t.
John Cooper, dkk, Pemikiran Islam dari Sayyid
Ahmad Khan hingga Nasr Hamid Abu Zayd, Jakarta: Erlangga, 2002.
Muhammad Imadudin, Transmisi
Gerakan Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia 1980-2002, (Depok, Skripsi Universitas Indonesia, 2003.
Muhammad Misbah, Kontribusi
Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna Terhadap Pemikiran Islam Modern, Fikrah:
Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan, Vol. 3, No. 2, Desember 2015.
Otoman,
Pemikiran Politik Hasan Al-Banna dan Pembentukan Radikalisme Islam,
dalam Jurnal Tamddun, Vol. XV, No. 1, Januari-Juni
2015.
Rosmani
Ahmad, Analisis terhadap Pemikiran Hasan Al-Banna, dalam Jurnal Analytica Islamica, Vol. 9, No. 1, 2007.
Syamsul
Kurniawan & Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan
Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
https://id.wikipedia.org
[1] Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan
Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm.
1.
[2] Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003),
hlm. 3.
[3] John Cooper, dkk, Pemikiran Islam dari Sayyid Ahmad
Khan hingga Nasr Hamid Abu Zayd, (Jakarta: Erlangga, 2002), hlm. xiii.
[5] Harun Nasution, Islam di
Tinjau dari Berbagai Aspek, Jilid II, (Jakarta:
UI Press, 1985), hlm. 91-92.
[7] Syeikh Ahmad Abdurrahman
Al-Banna menguasai ilmu fiqh, tauhid, ilmu bahasa dan mengahafal Al-Qur’an.
Bahkan pernah belajar sebagai mahasiswa Al-Azhar pada waktu Muhammad Abduh
mengajar di lembaga tersebut. As-Sa’ati
adalah tukang arloji, yang mana selain menjadi tukang arloji juga sebagai imam
masjid dan guru agama di masjid. Lihat Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran
Pendidikan Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 408.
[8] As-Sa’ati mengedit sebagian dari Musnad Ahmad ibn Hanbal
dan Musnad-musnad lainnya dan menulis sharahnya yang berjudul Bulugh
Al-Amami min Asrar Al-fath Al-Rabbani. Lihat
Otoman, Pemikiran Politik Hasan Al-Banna dan Pembentukan Radikalisme Islam,
dalam Jurnal Tamddun, Vol. XV, No.
1, Januari-Juni 2015.
[9] Ayahnya membimbingnya secara langsung
menghafal Al-Qur’an serta senantiasa memberi dorongan membaca di perpustakaannya yang penuh dengan buku. Lihat
Ali Abdul halim Mahmud,
Metode Pendidikan Ikhwanul Muslimin, Terj. Syafril Halim,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 23.
[10] Hasan
Al-Banna, Muzakarat
Ad-Da’wah wa Ad-Da’iyah, (Kairo: Dar At-Tauzi’ wa An-Nasyr Al-Islamiyyah, t.t.), hlm. 13-14.
[11] Ahmad Hasan Asy-Syurbaji, Al-Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna Mujaddid Al-Qarn Ar-Rabi’ Asyr Al-Hijry, (Iskandariyah: Dar Ad-Dakwah: 1998), hlm.
46.
[12] Disinilah ia berkenalan dengan tarekat Shufi
Al-Hashafiyyah, dan terkagum-kagum dengan majelis dzikir dan lantunan nasyid
yang didengarkan secara bersamaan oleh pengikut tarekat tersebut.
[13] Hasan Al-Banna, Muzakarat
Ad-Da’wah wa Ad-Da’iyah, hlm. 18-19. Lihat
juga Ali Abdul halim Mahmud, Metode Pendidikan Ikhwanul Muslimin, hlm. 23.
[15]
Disamping menunaikan tugas mengajar beliau aktif berdakwah , yang mana
aktifitas dakwahnya dimulai dari masjid ke masjid dan kedai-kedai kopi. Dengan
bermodalkan kekarismatikan dan teknik dakwah yang dapat menyentuh para audiens,
semakin banyak orang yang beragama Islam empati kepada beliau. Dan dengan kecerdasannya beliau melihat bahwa ada
beberapa kelompok masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk mensukseskan misi
dakwah. Masyarakat tersebut dapat diklasifikasikan
dalam empat kelompok, yaitu pemuka agama, tokoh tarekat, tokoh masyarakat, dan
para jamah. Lihat Syamsul Kurniawan & Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran
Tokoh Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 156.
[16] Tentang biografi Hasan Al-Banna lebih lanjut bisa dirujuk buku Muzakarat Ad-Dakwah wa Ad-Daiyah; Al-Mulhim Al-Mauhub Hasan Al-Banna, Ustaz Al-Jail karya Umar At-Tilmisani, Hasan Al-Banna Ad-Daiyah wa Al-Mujaddid Asy-Syahid karya Anwar Al-Jundi, Ikhwan Al-Muslimin: Ahdas Sanaat At-Tarikh karya Mahmud Abdul Halim, At-Tarbiyyah Al-Islamiyyah wa Madrasah Hasan Al-Banna karya Yusuf Al-Qardhawi, Madrasah Hasan Al-Banna karya Dr. Rauf Syalabi.
[19] Abdul
Kholiq, Pemikiran Pendidikan
Islam Kajian Tokoh
Ktasik dan Kontemporer, (Semarang:
Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang bekerjasama
dengan Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 253.
[20] Rosmani Ahmad, Analisis terhadap Pemikiran
Hasan Al-Banna, dalam Jurnal Analytica Islamica, Vol. 9, No.
1, 2007.
[23] Muhammad Misbah, Kontribusi Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna
Terhadap Pemikiran Islam Modern, Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi
Keagamaan, Vol. 3, No. 2, Desember 2015, hlm. 399-401.
[28] Al-Banna didatangi oleh enam orang yang tertarik pada
kepribadaiannya dan terkesan pada pola-pola dakwahnya, yaitu: Hafidz Abdul
Hamid (Berprofesi sebagai tukang kayu), Ahmad Al-Hushary (berprofesi sebagai
tukang potong rambut), Fuad Ibrahim (berprofesi sebagai tukang setrika),
Abdurrahman Hasbullah (berprofesi sebagai sopir), Ismail Izz ( berprofesi
sebagai tukang kebun), Zaki Al-Maghribi (berprofesi sebagai penyewa dan montir
sepeda). Lihat Ali Abdul halim Mahmud, Metode
Pendidikan Ikhwanul Muslimin, hlm. 25.
[30] https://id.wikipedia.org/wiki/Ikhwanul_Muslimin, dikutip
pada tanggal 12 April 2017.
[31] Aay
Muhammad Furqon, Pengaruh Pemikiran Al
Ikhwan Al Muslimun Terhadap Gerakan Politik Islam Indonesia (1980-2000): Studi
Kasus Partai Keadilan, (Depok, Tesis
Universitas Indonesia, 2003), hlm. 158.
[32] Muhammad Imadudin, Transmisi
Gerakan Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia 1980-2002, (Depok, Skripsi
Universitas Indonesia, 2003), hlm. 105.
No comments:
Post a Comment