Wednesday, November 15, 2017

PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM DI TIMUR TENGAH DAN PENGARUHNYA TERHADAP NEGARA-NEGARA MUSLIM (Kajian Terhadap Ide-ide Pembaharuan Hasan Al-Banna)

PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM DI TIMUR TENGAH DAN PENGARUHNYA TERHADAP NEGARA-NEGARA MUSLIM
(Kajian Terhadap Ide-ide Pembaharuan Hasan Al-Banna)


Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Studi Peradaban Islam”

Dosen Pengampu :
Dr. Muhammad Hadi Masruri, M.A



Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: UIN Malang


Pemakalah :
MUHAMMAD FURQAN
(16771006)



PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017
PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM DI TIMUR TENGAH DAN PENGARUHNYA TERHADAP NEGARA-NEGARA MUSLIM
(Kajian Terhadap Ide-ide Pembaharuan Hasan Al-Banna)
Oleh:
MUHAMMAD FURQAN (16771006)
Mahasiswa Prodi Magister Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang


A.      Dasar Pemikiran
Secara etimologi, kata ‘pembaruan’ dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah tajdîd, memiliki makna antara lain: proses, cara, perbuatan membarui. Sedangkan kata atau istilah yang lebih dikenal untuk pembaharuan adalah modernisasi. Dalam masyarakat Barat kata modernisasi mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya agar semua itu dapat disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan keadaan-keadaan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[1]
Dalam bahasa Indonesia selalu dipakai kata modern, modernisasi, dan medernisme, seperti umpamanya dalam “aliran-aliran modern dalam Islam” dan “Islam dan modernisasi.”[2] Modernisasi merupakan proses yang biasanya mengarah pada modernitas, yang berawal ketika suatu masyarakat mulai mengambil sikap ingin tahu mengenai bagaimana orang membuat pilihan, baik itu pilihan moral, pribadi, ekonomi, maupun politik.[3]
Modernisme Islam atau pembaharuan dalam Islam yang dimaksud bukanlah pembaharuan yang dilakukan terhadap ajaran-ajarannya yang bersifat mutlak, akan tetapi adalah pembaharuan terhadap pola berpikir kepada agamalah yang perlu diperbaharui. Pembaharuan pemikiran terhadap hal-hal yang berhubungan dengan masalah Islam itu sendiri, bukan dalam hal-hal dasar atau fundamental dari ajaran Islam itu, tetapi yang perlu diperbaharui adalah penafsiran-penafsiran atau interpretasi terhadap ajaran-ajaran dasar Al-Qur’an dan Hadist, sesuai dengan kebutuhan perkembangan zaman.[4]
Pembaharuan dalam Islam mempunyai tujuan yang sama. Tetapi dalam hal ini perlu diingat bahwa dalam Islam ada ajaran-ajaran yang bersifat mutlak yang tak dapat diubah-ubah. Yang dapat diubah hanyalah ajaran-ajaran yang tidak bersifat mutlak, yaitu penafsiran atau interpretasi dari ajaran-ajaran yang bersifat mutlak itu. Dengan kata lain pembaharuan mengenai ajaran-ajaran yang bersifat mutlak tak dapat diadakan. Pembaharuan dapat dilakukan mengenai interpretasi atau penafsiran dalam aspek-aspek teologi, hukum, politik dan seterusnya dan mengenai lembaga-lembaga. Perkataan pembaharuan atau modernisasi Islam kurang tepat dipakai; yang tepat adalah “pembaharuan atau modernisasi dalam Islam”.[5]
Dari beberapa ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa pembaharuan Islam bukanlah sesuatu yang evolutioner melainkan lebih cenderung devolusioner, dalam artian bahwa pembaharuan bukan merupakan proses perkembangan bertahap di mana yang datang kemudian lebih baik dari sebelumnya.
Pembaharuan dalam Islam adalah proses pemurnian di mana konsep pertama atau konsep asalnya dipahami dan ditafsirkan sehingga menjadi lebih jelas bagi masyarakat pada masanya dan lebih penting lagi penjelasan itu tidak bertentangan dengan aslinya. Di sini bukan perubahan yang terjadi, tetapi peragaman makna dan penafsiran. Di samping itu, tajdid ini bisa berarti memperbaharui ingatan orang yang telah melupakan ajaran agama Islam yang benar, dengan memberi penjelasan dan argumentasi-argumentasi baru sehingga meyakinkan orang yang tadinya ragu dan meluruskan kekeliruan atau kesalahpahaman mereka yang keliru dan salah paham.
Pembaharuan ini mulai terjadi di dunia Islam ketika kedatangan Napoleon di Mesir pada 1798 yang merupakan momentum penting dari perkembangan Islam. Kedatangan “penakluk dari Prancis” ini tidak hanya membuka mata kaum Muslim akan apa yang dicapai oleh peradaban Barat di bidang sains dan teknologi, tetapi juga menandai awal kolonialisme Barat atas wilayah-wilayah Islam. Di antaranya akibat kontak itu di lingkuangan elit Muslim para penguasa dan kalangan cendikiawan gerakan pembaharuan Islam kembali memperoleh gairah. Kaum Muslim semakin intensif dan bersemangat mengkaji kembali doktrin-doktrin dasar Islam khususnya dihadapkan pada kemajuan Barat. Kritik-kritik terhadap kondisi umum masyarakat Islam bermunculan, seruan berjihad semakin nyaring terdengar, pandangan lama yang menganggap pintu ijtihad telah tertutup tidak hanya digugat, tetapi bahkan dianggap sebagai cermin dari keterbelakangan intelektual. Tidak heran jika taqlid mendapat kritik pedas dari kalangan pembaharu.[6]
Meskipun kehadiran Barat telah memicu timbulnya respon dikalangan terpelajar Muslim, kontak dengan Barat bukanlah satu-satunya faktor yang menyebabkan munculnya gerakan pembaruan dalam Islam. Di samping dalam batang tubuh doktrin-doktrin Islam pembaharuan (tajdîd) merupakan sesuatu yang intern, kondisi objektif umat Islam sendiri yang secara umum ditandai oleh semakin memudarnya semangat keilmuan, kebekuan (jumûd) dibidang intelektual, dan berkembang pesatnya tradisi yang mendekati syirik, merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Faktor-faktor itu sekaligus juga merupakan tantangan kaum Muslim, tidak hanya dalam tataran intelektual tetapi juga pada tataran empiris, seperti kekhalifahan yang berabad-abad bertahan dalam Islam mulai digugat.
Realitas sejarah menunjukkan kelengahan umat Islam dalam memahami pergeseran agama yang benar” kepada ‘’ortodoksi ideologi”. Akibatnya, ketika agama telah berubah menjadi fiqh dogma-dogma teologi Asy’ari, umat Islam kehilangan kesempatan menatap sisi-sisi negatif dikotomi itu. Kehadiran berbagai mazhab yang berseteru, partai yang bersaing, kelompok-kelompok Muslim yang berselisih dan organisasi-organisasi sosial keagamaan yang tidak akur adalah manifestasi dominasi fiqh yang menggerus akar kekuatan umat. Pertikaian pengikut Sunni dan Syi’ah merupakan contoh menarik dalam konteks ini.
Ketika umat Islam harus berhadapan dengan modernisasi negara-negara industri, daerah yang tak terpikirkan” itu semakin melebar. Hegemoni dunia Barat yang terus berlanjut tidak memperoleh respon antisipasif dari umat Islam. Karenanya, upaya kongkrit menghentikan kesenjangan itu merupakan solusi terbaik bagi mereka jika Islam sebagai agama yang membumi. Pemahaman, penghayatan dan pengalaman yang utuh terhadap semua dimensi ajaran Islam adalah resep terbaik bagi kebangkitan agama mereka .
Hal ini kemudian menyebabkan banyak pemikir Islam dan hingga kini berusaha keras untuk membuktikan bahwa Islam pun sejalan dengan perkembangan zaman itu. Mereka ingin menunjukkan bahwa Islam tidak ketinggalan zaman. Suara-suara yang menggaungkan isu tajdid (pembaharuan) terhadap Islam menggema di berbagai wilayah kaum muslimin. Sayangnya, niat baik dan upaya keras ini seringkali justru berdampak negatif. Tanpa disadari, upaya tajdid yang mereka lakukan justru adalah “membaratkan Islam” dan bukan “mengislamkan nilai-nilai Barat”. Akibatnya, banyak nilai-nilai Islam yang bersifat prinsipil dinafikan, dan dianggap “mengganggu” kemajuan peradaban modern harus dibuang.  Ide-ide seperti sekulerisme, liberalisme dan pluralisme yang marak belakangan ini menurut hemat penulis tidak lebih merupakan bukti dampak turunan atas hal itu.
Penulis menyebut upaya tajdid semacam ini sebagai “tajdid yang tidak dilandasi oleh rasa ‘izzah (kebanggaan) pada Islam”. Ini adalah tajdid yang berangkat dari perasaan minder dan rendah diri pada Barat.  Hal ini yang akan membedakan gerakan pembaharuan dalam Islam yang terjadi di belahan dunia. Seorang tokoh pembaharuan yang telah memiliki pandangan keislaman yang kuat akan mengaitkan kemajuan modernisme Barat dengan ajaran Islam, sedangkan bagi tokoh pembaharuan yang kurang memiliki pandangan Islam yang kuat akan menghasilkan pemikiran yang berkiblat kepada Barat.
Akan tetapi karena terlalu luasnya bahasan pembaharuan dalam Islam ini, penulis akan membatasi pembaharuan Islam yang terjadi di Mesir dengan mengedepankan pemikiran-pemikiran tokoh di negara tersebut yang terjadi pada abad ke-20. Penulis akan membahas tentang Hassan Al-Banna dengan Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi dakwah yang berpengaruh di Timur Tengah, khususnya di Mesir. Dikatakan sebagai tokoh pembaharuan karena pada masa itu merubah pemahaman dan ajaran bahkan ideologi yang ada pada saat itu bukan merupakan hal yang mudah dan gampang akan tetapi ibarat menghadapi tembok kuat yang harus dirobohkan.

B.       Biografi Hasan Al-Banna: Tokoh Pendiri Ikhwanul Muslimin

Nama lengkapnya adalah Hasan Ahmad Abdurrahman Al-Banna As-Sa’ati, atau lebih dikenal dengan panggilan Hasan Al-Banna, seorang da’i pembaharu. Ia dilahirkan pada hari Ahad tanggal 25 Sya’ban 1324 H. bertepatan tangal 14 Oktober 1906 M, di Hamudiyah, Provinsi Buhairah, Mesir. Ayahnya bernama Asy-Syaikh Al-Alim Ahmad Abdurrahman Al-Banna As-Sa’ati[7], salah seorang ulama besar di zamannya. Beliau merupakan ulama yang menertibkan dan mensyarah kitab Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibani.[8] Kitabnya adalah Bulug Al-Amani min Asrar Al-Fath Ar-Rabbani, dalam 14 jilid. Hasan Al-Banna mulai perjalanan ilmiahnya dengan mempelajari Al-Quran ketika berumur empat tahun. Di usianya yang masih belia, Al-Banna sudah berhasil mengkhatamkan Al-Quran[9] dan juga diberi banyak wawasan oleh ayahandanya.[10]
Di usianya yang masih belia, Hasan Al-Banna sangat antusias dalam memperluas cakrawala keilmuannya. Ia mulai menghafal banyak matan kitab berbagai disiplin ilmu, seperti Milhat Al-Irab karya Al-Hariri, Alfiyyah karya Ibnu Malik, Al-Yaqutiyah kitab Mustalah Hadis, Jauharah At-Tauhid, Rahabiyyah, As-Sullam, berbagai matan Al-Qaduri kitab fikih Abu Hanifah,  Matan Gayah wa At-Taqrib karya Abu Syuja’ kitab fikih Syafi’iyyah, dan beberapa Manzumah Ibnu Amir tentang fikih Malikiyyah. Ayahandanya senantiasa memotivasi Al-Banna kecil dengan ungkapannya yang menyentuh, Man Hafiza Al-Mutun, Haza Al-Funun” (Siapa rajin menghafal matan, ia akan menguasai berbagai disiplin ilmu). Tidak heran, jika Al-Banna sedari kecil sudah begitu mencintai ilmu dan memiliki wawasan yang luas.[11]
Selanjutnya Hasan Al-Banna melanjutkan studinya ke Darul Ulum. Di waktu yang sama beliau juga ditunjuk sebagai pengajar di madrasah Kharbata Al-Awwaliyyah[12]. Namun, beliau lebih memilih melanjutkan studinya disbanding menerima tawaran pekerjaan ini. Akhirnya, beliau menghabiskan 4 tahun di Darul Ulum guna mengasah keilmuannya. Pada masa itu, keluarganya pindah ke Kairo. Hasan Al-Banna berhasil meraih gelar Diploma dari Universitas Darul Ulum pada tahun 1927. Selanjutnya, ia ditunjuk sebagai pengajar di Ismailiyah.[13]
Hasan Al-Banna memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap penduduk Ismailiyyah. Karena itu, ia mulai memiliki ide untuk membentuk Jamaah Ikhwanul Muslimin. Kemudian ia mendirikan madrasah At-Tahzib bagi Ikhawanul Muslimin. Di sini ia mengajari dan mendidik mereka metode komprehensif dalam studi Islam. Dimulai dari meluruskan akidah dan ibadah, mengenalkan kepada mereka rahasia tasyri’ dan adab-adab Islam secara umum, mengajari mereka sejarah Islam, perjalanan hidup para salafus-salih, sirah Nabi, memperbaiki bacaan Al-Quran, memahami dan menghafalnya, juga mengajari hadis-hadis Nabi, yang tujuannya mengembangkan dimensi ruhani dan amali. Selain itu, ia juga melatih cara berpidato dan berdakwah serta meminta mereka memberi ceramah dan kajian. Tidak hanya itu, Hasan Al-Banna juga menanamkan di dalam hati mereka arti pendidikan Islam praktis sehingga ia hendak menciptakan generasi ideal layaknya Al-Quran yang berjalan di bumi.[14]
Hasan Al-Banna telah mendirikan dakwah di Ismailiyyah[15], serta banyak membangun lembaga-lembaga. Jumlah Ikhwanul Muslimin semakin banyak dan semakin menguat. Setelah itu, Hasan Al-Banna pindah dakwah ke Kairo untuk menyebarkannya ke penjuru dunia. Pada bulan Februari 1941, akibat desakan dari Inggris, Hasan Al-Banna diasingkan di Qina, Mesir. Adapun orang yang memutuskan hal tersebut adalah Husain Sari dan Muhammad Husain Haikal, selaku menteri pendidikan. Pengasingan ini tidak hanya awal mula permusuhannya terhadap Hasan Al-Banna dan dakwahnya, namun persoalannya semakin meluas. Terutama setelah para duta besar Inggris, Amerika dan Prancis berkumpul di Fayed dan mengambil keputusan supaya membubarkan kelompok Ikhwanul Muslimin. Mereka mengancam kemerdekaan Kairo dan Alexandria. Dengan demikian, pada tanggal 8 Desember 1948, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan putusan pembubaran kelompok Ikhwanul Muslimin.
Hasan Al-Banna dieksekusi pada jam 8 malam, hari Sabtu 12 Februari 1949, bertepatan tanggal 14 Rabiul Tsani 1368 di depan kelompok Syubbanul Muslimin di tengah-tengah Kairo. Kurang dari seperempat abad, Hasan Al-Banna berhasil membangun pondasi kokoh bagi jamaah Ikhwanul Muslimin.[16] Kepergian Hassan Al-Banna pun menjadi duka berkepanjangan bagi umat Islam. Ia mewariskan 2 karya monumentalnya, yaitu Catatan Harian Dakwah dan Da'i serta Kumpulan Surat-surat. Selain itu Hasan Al-Banna mewariskan semangat dan teladan dakwah bagi seluruh aktivis dakwah saat ini.[17]
Selain sebagai seorang Ilmuwan, Al-Banna juga banyak meluncurkan berbagai tulisan baik yang bersumber dari hasil ceramah maupun kritik-kritiknya atas pemerintahan Mesir. Di antara karya-karyanya, antara lain: Allah fi al-‘Aqidah al-Islamiyah (Allah Menurut Aqidah Islamiyah), Ila al-Thulab (Kepada Para Mahasiswa), Risalah al-‘Aqaid (Risalah Aqidah), Risalah al-Mu’tamar al-sadis (Risalah Mu’tamar Keenam), Qadhiyyatuna baina yadai al-Ra’yi al-‘Am al-Mishri wa al-‘Arabi wa al-Islami wa al-Dhamir al-Insani al-‘Alami (Persoalan kita di tengah-tengah opini umum dan masyarakat Mesir Arab, Islam, dan Nurani manusia sedunia), Majmu’at Rasail al-Imam al-Syahid Hasan Al-Banna (Kumpulan risalah Imam Syahid Hasan al-Banna), Nizam al-Usar wa al-Risalah al-ta’lim (Sistem usrah dan risalah Ta’lim), dan Al-Mar’ah al-Muslimah (Perempuan yang Muslimah).[18]

C.      Ide-ide Pembaharuan Hasan Al-Banna dan Pengaruhnya bagi Dunia Islam

1.        Latar Belakang Pemikiran Hasan Al-Banna

Mengingat cita-cita Syekh Ahmad, yaitu menginginkan putranya (Al-Banna) menjadi seorang mujahid (pejuang) dan menjadi seorang mujaddid (pembaharu).[19] Oleh karena itu, sejak kecil Al-Banna langsung didik oleh ayahnya sendiri terutama dalam mengahafal Al-Qur’an dan tersedianya perpustakaan pribadi di rumah. Sehingga dunia Islam sangat mengenal sosok Hasan Al-Banna, yang mana beliau dikenal sebagai mujahid dakwah dan pembangkit umat Islam.
Hasan Al-Banna berpandangan bahwa kelemahan dan kerentanan Muslim terhadap dominasi Eropa disebabkan oleh penyimpangan kaum Muslim dari Islam sejati. Untuk membangkitkan Mesir kembali maka kaum Muslim harus bertekad kembali memahami dan hidup menurut Islam seperti yang ditegaskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw dan Khulafa Ar-Rasyidin tentang tatanan Islam yang komprehensif. Dunia Islam semakin lemah, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: perebutan kekuasaan, perpecahan akibat soal-soal sekunder, kemewahan penguasa, pemerintahan oleh non-Arab seperti Turki dan Persia yang tak pernah tahu Islam sejati, kurangnya minat pada ilmu-ilmu praktis, dan taklid buta pada otoritas.[20]
Pemikiran pembaharuan Hasan al-Banna berdasarkan atas keyakinan bahwa agama Islam adalah agama universal yang sesuai dengan perkembangan peradaban manusia, yang mana Al-Banna mengubah wacana menjadi sebuah gerakan. Hal unik inilah yang menjadi pembeda dengan para pembaharu dan pembangkit sebelumnya.

2.        Ide-ide Pembaharuan Hasan Al-Banna

Hasan Al-Banna membangun pondasi dakwahnya dengan berpegang pada Al-Quran dan Sunnah. Dua hal ini dianggap sebagai sumber pokok umat Islam dalam berakidah, bersyariah dan berakhlak. Dalam Majmu’ah Ar-Rasa’il nya (himpunan risalah), Hasan Al-Banna menjelaskan,
Dakwah kami memang Islamiyah, dengan segala makna yang tercakup di dalam kata itu. Pahamilah apa saja yang ingin anda pahami dari kata itu dengan tetap berpedoman kepda Kitab Allah, Sunnah Rasulullah dan sirah Salafus-salih (jalan hidup pendahulu yang shalih) dari kaum muslimin. Kitab Allah adalah sumber dasar Islam, Sunnah Rasulullah saw adalah penjelas dari kitab tersebut, sedang sirah kaum salaf adalah contoh aplikatif dari perintah Allah dan ajaran Islam.[21]
Pembaharuan yang dilakukan oleh Al-Banna memiliki karakter tersendiri yang membedakannya dengan para pembaharu sebelumnya. Setidaknya terdapat tiga karakter pembaharuan Al-Banna: pertama; dakwah Islam secara komprehensif, dalam artian Islam harus masuk ke dalam kehidupan manusia secara sempurna, tanpa adanya pemisahan antara negara dan agama atau pemisahan dunia dan akhirat. Kedua; dakwah secara universal, artinya dakwah tidak terbatas pada daerah atau person tertentu, akan tetepi dakwah Islam harus disebarkan di seluruh dunia. Ketiga; ajakan mendirikan khilafah Islamiyyah, yaitu bagaimana agama Allah -Islam- bisa menguasai bumi dan mendirikan negara Islam. Sehingga dengan demikian, tajdid (pembaharuan) yang dilakukan oleh Hasan Al-Banna telah merambah ke berbagai aspek, baik pembaharuan di bidang akidah, fikih, pendidikan Islam, maupun politik.
a)   Metode Tajdid Hasan Al-Banna dalam Mengidupkan Aqidah
Dalam dakwahnya, Hasan Al-Banna mencoba meluruskan pemahaman tentang akidah dan menanamkannya ke dalam hati. Untuk tujuan itu, ia membuat dua risalah yang berkaitan dengan akidah Islam. Dua risalah tersebut adalah risalah yang berjudul Allah fi Al-Aqidah Al-Islamiyyah dan risalah kedua berjudul Al-Aqaid. Secara ringkas, metode Hasan Al-Banna alam pemaparannya tentang akidah dapat disimpulkan sebagai berikut:
-       Memperhatikan pengaruh akidah terhadap jiwa,
-       Men-counter syubhat akidah modern,
-       Memperkuat hubungan manusia dengan sang Pencipta, dan
-       Menghindari sikap takfir (mengkafirkan orang lain) dan tadhlil (menyesatkan orang lain).[22]

b)   Tajdid dalam Fikih
Hasan Al-Banna menggunakan gaya Rasulullah dalam fikih, yaitu gaya pengamalan (al-uslub al-amaly) dalam rangka pembaharuan fikih. Gaya ini memiliki pengaruh yang signifikan, yang membuat kaum muslimin melihat kembali sikap sebagian mereka dalam masalah perbedaan-perbedaan dalam fikih.
Dalam pengantar kitab Fiqh As-Sunnah, Hasan Al-Banna mengingatkan kepada kaum muslimin bahwa agama Allah itu luas. Ia lebih luas dan lebih mudah dibandingkan menghukumi pendapat individu maupun kelompok. Sedangkan segala sesuatu -kebenarannya- dikembalikan kepada Allah, Rasulullah, kaum muslimin dan imam mereka.
Pembaharuan fikih yang dilakukan Hasan Al-Banna adalah dengan menjauhkan umat Islam dari pembahasan njlimet (bahasa Jawa yang artinya kurang lebih seperti istilah benang kusut) terkait cabang-cabang fikih, pembuatan istilah-istilah asing, dan asumsi-asumsi fikih atas hukum peristiwa yang belum terjadi. Sebagai gantinya, Hasan Al-Banna selalu mengkaitkan fikih manusia dengan Al-Quran dan As-Sunnah dengan gaya bahasa yang mudah dan sederhana. Gaya Hasan Al-Banna dan pembaharuan fikihnya ini telah menyebar luas. Sehingga, banyak sekali bermunculan kitab-kitab fikih yang mengikuti gaya Al-Banna ini. Di antara kitab fikih yang paling terkenal adalah Fiqh As-Sunnah karya Syaikh Sayyid Sabiq yang di dalamnya banyak menerjemahkan gagasan-gagasan Al-Banna dan pandangan fikihnya.
Secara khusus, gagasan-gagasan Al-Banna tentang bagaimana memahami Islam secara benar, terutama terkait fikih dan ushul fikih telah dipaparkannya dalam Usul Al-Isyrin (dua puluh pokok ajaran Hasan Al-Banna).
-       Dalam pokok kelima, Al-Banna mengatakan pendapat imam atau wakilnya tentang sesuatu yang tidak ada teks hukumnya, tentang sesuatu yang mengandung ragam interpretasi, dan tentang sesuatu yang membawa kemaslahatan umum, bisa diamalkan sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah umum syariat. Ia mungkin berubah seiring dengan perubahan situasi, kondisi, dan tradisi setempat. Yang prinsip, ibadah itu diamalkan dengan kepasrahan total tanpa mempertimbangkan makna. Sedangkan dalam urusan selain ibadah (adat-istiadat), maka harus mempertimbangkan maksud dan tujuannya.
-       Dalam pokok keenam juga disebutkan, Setiap orang boleh diambil atau ditolak kata-katanya, kecuali Al-Ma’sum (Rasulullah). Setiap yang datang dari kalangan salaf dan sesuatu dengan Kitab dan Sunah, kita terima. Jika tidak sesuai dengannya, maka Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya lebih utama untuk diikuti. Namun demikian, kita tidak boleh melontarkan kepada orang-orang -oleh sebab sesuatu yang diperselisihkan denganya- kata-kata caci maki dan celaan. Kita serahkan saja kepada niat mereka, dan mereka telah berlalu dengan amal-amalnya.
-       Gagasan lainnya dijelaskan juga dalam pokok ketujuh, setiap masalah amal yang tidak dibangun di atasnya -sehingga menimbulkan perbincangan yang tidak perlu- adalah kegiatan yang dilarang secara syar’i. Misalnya memperbincangkan berbagai hukum tentang masalah yang tidak benar-benar terjadi, atau memperbincangkan makna ayat-ayat Al-Quran yang kandungan maknanya tidak dipahami oleh akal pikiran, atau memperbincangkan perbandingan keutamaan dan perselisihan yang terjadi di antara para sahabat (padahal masing-masing dari mereka memiliki keutamaannya sebagai sahabat Nabi dan pahala niatnya) dengan takwil (menafsiri baik perilaku para  sahabat) kita terlepas dari  persoalan.
Terkait persoalan pemahaman terhadap hukum Islam, Hasan Al-Banna menjelaskan dalam pokok kedua bahwa Al-Quran dan As-Sunnah merupakan rujukan setiap Muslim dalam mengetahui hukum-hukum Islam. Memahami Al-Quran disesuaikan dengan tatanan bahasa Arab tanpa takalluf dan taassuf. Sedangkan dalam memahami Sunnah Nabi dikembalikan pada para rijal hadis yang terpecaya (siqqah). Dari sini dapat dipahami, bahwa Syaikh Hasan al-Banna tidak hanya seorang ahli fikih saja, melainkan juga memiliki gagasan baru dalam fikih Islam.[23]
c)    Tajdid dalam Pendidikan Islam
Tidak banyak karya-karya yang dihasilkan Hasan Al-Banna dalam pendidikan. Hal ini memang sengaja dilakukannya. Sebab, dalam pandangan Al-Banna, tugas pokok dirinya bukanlah membuat karya sebanyak mungkin, tapi bagaimana caranya menciptakan para tokoh sebanyak mungkin.
Hasan Asy-Syurbaji dalam bukunya Al-Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna Mujaddid Al-Qarn Ar-Rabi’ Asyar Al-Hijry menceritakan bahwa banyak para ikhwan -sebutan jamaah Al-Banna- meminta Hasan Al-Banna supaya mengarang kitab yang merekam ilmu-ilmunya. Namun, permintaan mereka ini selalu ditolak olehnya. Al-Banna mengakatan kepada mereka, “Saya tidak mengarang kitab, tetapi tugas pokokku adalah menciptakan kader-kader tokoh terbaik. Kader tersebut saya tempatkan di suatu daerah lalu ia menghidupkannya.
Oleh karena itu, melalui gerakan Ikhwanul Muslimin Syaikh Hasan Al-Banna telah berhasil membentuk generasi Muslim yang memahami Islam secara benar, memiliki keyakinan yang mendalam terhadap Islam, mempraktekkannya dan mengajak manusia padanya serta berjihad di jalannya. Adapun faktor keberhasilan Hasan Al-Banna dalam mendirikan madrasah ini adalah keyakinannya yang begitu kuat bahwa pendidikan merupakan satu-satunya cara mengubah masyarakat. Meskipun berat dan memerlukan waktu yang lama, namun inilah jalan yang ditempuh Rasulullah. Hasan Al-Banna membuat metode pendidikan yang sumbernya Al-Quran dan Sunnah Rasulullah, dan menciptakan nuansa jamaah penuh kekeluargaan.[24] Dalam dakwahnya ini, Hasan Al-Banna menggunakan berbagai macam sarana, seperti: ceramah dan khutbah, seminar, kajian, slogan-slogan, nasyid, liqa’ (pertemuan rutin), buku-buku, kelompok perkemahan dan olahraga, serta cara-cara lainnya.
Gagasan tentang pembaruan pendidikan Al-Banna banyak dituangkan dalam kitab Majmuah Ar-Rasail (Himpunan Risalah) karyanya. Dalam risalahnya itu, Hasan Al-Banna membuat metode pendidikan yang dirumuskan dalam 10 prinsip, yang merupakan ringkasan dakwah Ikhwanul Muslimin. Kesepuluh prinsip tersebut adalah pemahaman, ikhlas, amal, jihad, pengorbanan, ketaatan, sabat, tajarrud, persaudaraan, dan percaya diri.
Sepuluh prinsip ini dijelaskan olehnya, “Wahai saudaraku yang tulus! Inilah bingkai global dakwahmu dan penjelasan ringkas fikrahmu. Engkau dapat menghimpun prinsip-prinsip ini dalam lima slogan: Allah gayatuna (Allah tujuan kami), ar-Rasul qudwatuna (Rasul adalah teladan kami), al-Quran syir’atuna (Al-Quran adalah undang-undang kami), al-Jihadu sabiluna (jihad adalah jalan kami), dan asy-Syahadah umniyyatuna (mati syahid adalah cita-cita kami). Cengkeramlah secara sungguh-sungguh ajaran ini. Jika tidak demikian maka engkau akan jatuh dalam barisan qaidin (yang duduk-duduk santai) yang akan mengantarkanmu menjadi pemalas.[25]
d)   Tajdid dalam Politik
Politik dalam pandangan Hasan Al-Banna adalah bagian dari agama. Sebab, Islam -menurutnya- adalah agama dan negara. Sehingga tidak mengherankan bila Ikhwan Muslimin terjun ke dalam dunia politik. Selain politik dipandang sebagai bagian dari agama, ia merupakan cara dakwah Ikhwanul Muslimin.
Secara detil, Hasan Al-Banna menjelaskan karakter pemikiran Ikhwanul  Muslimin, Wahai Ikhwanul Muslimin! Kalian bukan partai politik, meskipun politik sebagai salah satu pilar Islam adalah prinsip kami. Kalian bukan yayasan sosial dan perbaikan, meskipun kerja sosial dan perbaikan adalah bagian dari maksud besar kalian. Kalian bukan klub olah raga, meskipun olah raga dan olah rohani menjadi salah satu perangkat terpenting kalian. Kalian bukan kelompok-kelompok macam itu semua, karena itu semua diciptakan untuk tujuan parsial dan terbatas, untuk masa yang terbatas pula. Bahkan terkadang tidak dibuat kecuali sekedar menuruti perasaan sesaat; ingin membuat organisasi, lalu dihias dengan berbagai slogan dan sebutan kelembagaan yang muluk-muluk. Namun wahai Ikhwan, kalian adalah pemikiran dan akidah, hukum dan sistem, yang tidak dibatasi oleh tema, tidak diikat oleh jenis suku bangsa, dan tidak berdiri berhadapan dengan batas geografis. Perjalanan kalian tidak pernah berhenti sehingga Allah swt mewariskan bumi ini dengan segala isinya kepada kami, karena ia adalah sistem milik Rabb, Penguasa alam semesta, dan ajaran milik rasul-Nya yang terpercaya. Bukan sombong, kalian inilah, wahai ikhwan, pemegang tongkat estafet panji Islam sesudahnya. Kalian angkat benderanya tinggi-tinggi sebagaimana para shahabat mengangkatnya, kalian kibarkan dan kalian sebarluaskan ia sebagaimana mereka menyebarluaskannya, kalian jaga Qur’annya sebagaimana mereka menjaganya, dan kalian diberi janji kemenangan sebagaimana mereka diberinya. Kalian inilah rahmat Allah untuk seluruh alam.
Selanjutnya, Hasan Al-Banna dengan tegas menekankan bahwa memisahkan agama dengan politik bukanlah termasuk ajaran Islam. Selain pembaharuan-pembaruan di atas, Hasan Al-Banna juga melakukan pembaharuan terkait pemahaman jihad. Dalam hal ini, ia membuat risalah khusus tentang jihad. Isinya pertama-tama mengupas tentang hukum jihad, anjuran berjihad, serta menjelaskan pahala mujahidin dan syuhada’. Selanjutnya ia menjelaskan hukum jihad dalam perpektif ulama fikih. Ia menyimpulkan, bahwa jihad sekarang hukumnya fardhu ain atas umat Islam, guna menahan serangan-serangan orang kafir, membebaskan Al-Aqsha, dan mengembalikan negara yang dirampas. Di akhir risalahnya tersebut, Hasan Al-Banna membicarakan tentang betapa mulianya mati di jalan Allah. Ia memandang bahwa jihad merupakan salah satu dari 10 rukun baiat. Sebagaimana ia membuat slogan yang sangat populer di kalangan para ikhwan yang berbunyi al-Jihadu sabiluna, wa al- mautu fi sabilillah asma amanina” (jihad adalah jalan kami, dan mati syahid di jalan Allah adalah angan-angan kami tertinggi).
Pembaruan lainnya yang dilakukan Hasan Al-Banna adalah gerakan dakwahnya. Dalam dakwahnya ini ia memvariasi metode dan gaya berdakwah. Sehingga, dalam rentang 20 tahun ia berhasil membentuk jamaah -Jamaah Al-Ikhwan Al-Muslimin- yang konsinten berjuang mendakwahkan Islam. Dakwah Hasan Al-Banna ini mencakup semua lini, baik bidang informasi, pendidikan, dan kebudayaan. Semua bidang apa pun pasti tidak lepas dari dakwahnya ini. Demikianlah, kita bisa melihat betapa universalnya dakwah pembaharuan yang dilakukan Hasan Al-Banna yang mencakup semua dimensi kehidupan yang beragam.[26]

3.        Pengaruh Pemikiran Hassan Al-Banna Bagi Dunia Islam

Pengaruh Hasan Al-Banna terhadap dunia Islam bisa dilihat dari kontribusi yang diberikan oleh Jamaah Ikhawanul Muslimin. Jamaah ini didirikan oleh Hasan Al-Banna dan ia pula yang meletakkan dasar dan tujuannya. Jamaah ini terus bekerja secara berkesinambungan melalui rumah-rumah, masjid-masjid, sekolah-sekolah dan juga di parlemen, baik di Kairo maupun di daerah-daerah lainnya, sehingga gerakan Ikhwanul Muslimin merambah ke pelosok Mesir. Tidak hanya di Mesir, gerakan ini juga telah merambah ke negara-negara Arab lainnya, seperti Sudan, Yaman, Yordania, Palestina, Yaman, Irak, dan Maroko. Bahkan, gerakan ini sekarang sudah sampai ke Eropa, Amerika, India, Pakistan, Australia, Afrika, Afganistan, dan juga sampai di Indonesia.
Gerakan jamaah Ikhwanul Muslimin memiliki misi membentuk (1) pribadi muslim dalam berpikir, berakidah, beramal dan bertindak; (2) keluarga muslim; (3) masyarakat muslim; (4) pemerintah muslim yang menggiring rakyat senantiasa ke masjid; (5) negara Islam dan mengajak kelompok-kelompok kecil masuk ke dalamnya; gerakan ini tidak menerima pengkotak-kotakan partai yang membuat negara Islam menjadi negara-negara kecil yang lemah; (6) semua upaya ini dimaksudkan untuk mengembalikan khilafah sesuai dengan manhaj Nabi.
Melalui metode dakwah yang baru ini, Hasan Al-Banna telah memberikan pengaruh yang besar terhadap pemikiran Islam. Ia telah belajar banyak dari pengamalan orang sebelumnya, dan dari sejarah para pemimpin dan pemikir yang membawa panji Islam. Dengan dakwah model ini, ia sebarkan di masjid-masjid, kedai-kedai kopi dan berkeliling ke penjuru negeri. Bahkan, tidak ada satu daerah pun melaikan ia datangi penduduknya, ia sampaikan dakwahnya. Tercatat, ia telah mengunjungi 3000 desa dari 4000 desa yang ada di Mesir. Hasilnya, selama 20 tahun ia berhasil membentuk jamaah Ikhwanul Muslimin yang solid hingga sekarang ini.
Pembaharuan (tajdid) yang dilakukan Hasan Al-Banna merupakan gerakan pembaharuan yang komprehensif, yang berpengaruh besar pada segenap bidang pemikiran Islam. Dalam bidang akidah, ia mengajak untuk mengikuti mazhab Salaf dalam memahami sifat-sifat Tuhan dan tidak larut dalam perdebatan seputarnya. Perbebatan-perdebatan klasik seputar sifat-sifat Tuhan dianggapnya sebagai salah satu penyebab terpecahnya barisan kaum muslimin, dan tidak perlu dihidupkan lagi.
Dalam bidang ibadah, Hasan Al-Banna merumuskan metode dalam beribadah yang didasarkan atas asas Al-Quran dan Sunnah yang bisa membentuk kepribadian Muslim. Sehingga, hal itu menjadi benteng yang membentengi dari godaan kehidupan materialis, dan menyiapkannya menjadi anggota yang shalih di masyarakat. Untuk tujuan ini, Hasan al-Banna membuat risalah Al-Ma’surat.
Dalam bidang politik dan hukum, Hasan Al-Banna mengajak kepada penerapan syariah Islam di semua lini kehidupan. Sebab, dalam pandangannya, syariat Islam adalah syariah Tuhan yang hadir untuk menciptakan kemaslahatan manusia, dan bisa berkembang demi menghadapi tantangan kehidupan melalui jalan ijtihad dan tajdid yang berkelanjutan.
Dalam bidang ekonomi, Hasan Al-Banna menyeru pada independensi ekonomi umat Islam dari hegemoni ekonomi asing, supaya kekayaan-kekayaannya bisa kembali pada penduduk pribumi sekaligus persiapan memasuki era industri. Ajakan independensi ekonomi umat dari hegemoni asing bukan dakwah teoritis saja, namun ajakan ini dipraktekkan dan dijalankannya. Hasan Al-Banna telah ikut berpartisipasi dan menyokong perekonomian bangsa serta mengajak serta rakyat. Ia juga membuat undang-undang khusus bagi Ikhwanul Muslimin yang isinya bahwa salah satu tujuan Ikhwan adalah mengembangkan kekayaan bangsa, menjaga dan memerdekakannya. Ia juga menyeru kepada para ikhwan supaya tetap menjalankan roda ekonomi sekalipun ia kaya, menggunakan sebaik-baiknya kekayaan Islam umum dengan mendorong industri dan sumber-sumber ekonomi Islam. Ia menyeru kepada para ikhwan supaya tidak memakai pakaikan dan makan kecuali dari buatan negeri Islam.
Demi memperkuat hal tersebut, Hasan Al-Banna mendirikan berbagai syirkah untuk menyokong perekonomian Negara, seperti Syirkah al-Mu’amalat al-Islamiyyah, asy-Syirkah al-Arabiyyah li al-Manajim wa al-Mahajir, Syirkah al-Ikhwan al-Muslimin li al-Gazl wa an-Nasij, Syirkah al-Matbaah al-Islamiyyah wa al-Jaridah al-Yaumiyyah, Syirkah at-Tijarah wa al-Asygal al-Handasiyyah di Alexandria, Syirkah at-Taukilat at-Tijariyyah, Syirkah al-I’lanat al-Arabiyyah, dan masih banyak lagi perseroan milik Ikhwanul Muslimin yang tersebar di penjuru Mesir sekarang ini.
Sedangkan di bidang jihad, Hasan Al-Banna ikut memerangi imperialisme -terutama Inggris- baik secara tindakan maupun tulisan-tulisannya. Ia sangat antusias mengingatkan umat Islam akan kewajiban jihad di Palestina dari tangan para penjajah. Tindakan Hasan Al-Banna ini diterjemahkan dengan cara membentuk para pejuang jihad yang dikirim ke Palestina pada tahun 1948 yang memperlihatkan bentuk pengorbanan dan kepahlawanan yang begitu memukau. Hal ini yang membuat gentar dan ciut nyali Israil. Sikap heroik para pejuang Ikhwan ini diakui betul oleh Musya Diyan di Amerika. Ia pernah mengatakan, “Kami tidak perlu senjata untuk memerangi tentara Arab, itu mudah bagi kami. Kami mencari senjata untuk memerangi sikap fanatisme Ikhwan yang begitu mengerikan. Para pejuang Ikhawanul Muslimin di Palestina terus-menerus memperoleh kemenangan. Seandainya bukan karena rekan kami Israil dan kroni-kroninya di Mesir dan di luar Mesir, tentu kami tidak mampu membendungnya”.
Adapun terkait sikap Hasan Al-Banna terhadap peradaban Barat adalah sama dengan sikap yang ditunjukkan oleh Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan para pembaharu Islam di era modern, yaitu tetap menerima ilmu dan pengetahuan Barat tanpa harus tenggelam dalam kehidupan sosial dan akhlak mereka.
Pengaruh dakwah dan pemikiran Hasan Al-Banna tetap berlanggung hingga sekarang ini. Bahkan, hasil pemikirannya mampu mencetuskan nama-nama tokoh besar, baik penulis, da’i, dan ulama di berbagai aspek pemikiran   Islam sebagaimana berikut:
-       Syaikh Sayyid Qutb, pemikir Muslim modern yang menuangkan ide-idenya dalam kitab tafsir Fi Zilal Al-Quran, yang menjadi banyak rujukan kalangan Ikhwanul Muslimin.
-       Abdul Qadir Audah, seorang pakar hukum Islam yang telah menulis tentang perundang-undangan dan politik dalam masarakat Islam.
-       Syaikh Muhammad Al-Ghazali, seorang pemikir Muslim produktif, yang telah mengarang 50 kitab tentang kebudayaan Islam modern dan pergaulatannya dengan musuh-musuh Islam.
-       Yusuf Al-Qardhawi, pemikir muslim modern, yang memusatkan studinya pada penjelasan tentang akidah Islam dan pengaruh keimananya, tentang kemudahan fikih Islam, tentang minoritas muslim dan problematikanya yang beragam, di samping kitab-kitab beliau lainnya tentang kebangkitan Islam, juga sumbangan pemikiran beliau tentang ekonomi dengan berusaha memberi solusi Islam terhadap problematika kontemporer.[27]

D.      Tranformasi Gerakan Ikhwanul Muslimin di Indonesia

            Ikhwanul Muslimin adalah salah satu jamaah dari umat Islam, mengajak dan menuntut ditegakkannya syariat Allah swt, hidup di bawah naungan Islam, seperti yang diturunkan Allah kepada Rasulullah saw, dan diserukan oleh para salafush-shalih, bekerja dengannya dan untuknya, keyakinan yang bersih menghujam dalam sanubari, pemahaman yang benar yang merasuk dalam akal dan fikrah (pemikiran), syariah yang mengatur Al-Jawarih (anggota tubuh), perilaku dan politik. Yang mana lahir dan berkembangnya Ikhwanul Muslimin tidak dapat dilepaskan dari upaya yang dilakukan oleh Al-Banna sebagai pendirinya. Ikhwanul didirikan pada bulan Zulka’dah 1346 H/ Maret 1928 M bersama enam tokoh lainnya.[28]
Pada tahun 1930, Anggaran Dasar Ikhwanul Muslimin dibuat dan disahkan pada Rapat Umum Ikhwanul Muslimin yang diselenggarakan pada 24 September 1930. Selanjutnya, pada tahun 1932, struktur administrasi Ikhwanul Muslimin disusun dan pada tahun itu pula, Ikhwanul Muslimin membuka cabang di Suez, Abu Soweir dan Al-Mahmoudiya. Pada tahun 1933, Ikhwanul Muslimin menerbitkan majalah mingguan yang dipimpin oleh Muhibuddin Khatib.
Tujuan Ikhwanul Muslimin adalah untuk mewujudkan terbentuknya sosok individu Muslim, rumah tangga Islami, bangsa yang Islami, pemerintahan yang Islami, negara yang dipimpin oleh negara-negara Islam, menyatukan perpecahan kaum Muslimin dan negara mereka yang terampas, kemudian membawa bendera jihad dan dakwah kepada Allah sehingga dunia mendapatkan ketentraman dengan ajaran-ajaran Islam. Namun sayang sekali ajaran shufi kental sekali memengaruhi organisasi ini. Ikhwanul Muslimin menolak segala bentuk penjajahan dan monarki yang pro-Barat. Yang mana tujuan tersebut selaras dengan visi yang diucapakan oleh Al-Banna “Kami menginginkan terbentuknya sosok individu Muslim, rumah tangga Islami, bangsa yang Islami, pemerintahan yang Islami, negara yang dipimpin oleh negara-negara Islam, menyatukan perpecahan kaum Muslimin dan negara mereka yang terampas, kemudian membawa bendera jihad dan dakwah kepada Allah sehingga dunia mendapatkan ketenteraman dengan ajaran-ajaran Islam.[29] Ikhwanul Muslimin adalah pembaharuan yang sangat besar ketika itu dan pengaruhnya masih bisa dirasakan hingga sekarang, karena perkembangannya yang sangat pesat.
Pimpinan Ikhwanul Muslimin disebut Mursyid 'Am atau Ketua Umum. Adapun tugas dari Mursyid 'Am adalah untuk mengatur organisasi Ikhwanul Muslimin di seluruh dunia. Para pemimpin itu adalah: Hassan Al-Banna (1928- 1949), Hassan Al-Hudhaibi (1949-1972), Umar At-Tilmisani (1972-1986), Muhammad Hamid Abu Nasr (1986 -1996), Mustafa Masyhur (1996-2002), Ma'mun Al-Hudhaibi (2002-2004), Muhammad Mahdi Akif  (2004-2010), Muhammad Badie (2010-Sekarang).
Ikhwanul Muslimin masuk ke Indonesia melalui jamaah haji dan kaum pendatang Arab sekitar tahun 1930. Ikhwanul Muslimin memiliki peran penting dalam proses kemerdekaan Republik Indonesia. Atas desakan Ikhwanul Muslimin, negara Mesir menjadi negara pertama yang mengakui secara de facto (bukan de jure) kemerdekaan Republik Indonesia, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dan Hal ini akhirnya diikuti oleh beberapa negara dengan status seperti Mesir dan akhirnya Vatican sebagai negara berdaulat penuh yang pertama mengakui Indonesia. Ikhwanul Muslimin kemudian semakin berkembang di Indonesia setelah Muhammad Natsir mendirikan partai yang memakai ajaran Ikhwanul Muslimin, yaitu Partai Masyumi. Partai Masyumi kemudian dibredel oleh Soekarno dan dilarang keberadaannya di Indonesia.[30]
Masuknya pemikiran Ikhwanul Muslimin ke Indonesia dapat dihubungkan dengan peranan Muhammad Natsir dan secara kelembagaan melalui Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Sebagai mantan ketua umum Masyumi pada zaman orde lama, Natsir tergugah mengadakan pengkaderan kepada generasi muda Muslim. Setelah keluar dari tahanan Orde Lama tahun 1966 yang diikuti dengan gagalnya rehabilitasi Masyumi, Natsir mulai memikirkan bagaimana berpolitik tanpa melalui partai politik. Menurutnya dakwah dan politik seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.
Pada tanggal 26 Februari 1967 atas undangan pengurus masjid Al-Munawarah, Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat, para alim ulama bermusyawarah untuk membahas berbagai masalah yang berkaitan dengan permasalahan umat.[31] Musyawarah ini memutuskan untuk membuat lembaga baru yang diberi nama Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang diberi amanat untuk melaksakan tugas dakwah. Natsir melihat ada tiga pondasi utama kekuatan umat Islam yang harus dijaga dan dikembangkan dalam konteks dakwah, yaitu dunia pesantren, masjid, kampus. Menurutnya ketiga pondasi ini harus memiliki jaringan yang integral satu dengan lainnya.
Di tahun 1968, Natsir beserta teman-temannya membina generasi muda kampus (khususnya dosen) sebanyak 40 orang yang berasal dari berbagai kampus di Indonesia. Sekembali dari pembinaan tersebut mereka mengembangkan pemikiran keislaman seperti apa yang mereka terima dalam acara tersebut. Pembinaan ini diadakan berkelanjutan tidak hanya sekali dan menunjuk Imadudin sebagai Ketua Koordinator.
Menindaklanjuti kegiatan pengkaderan tersebut, maka DDII pada tahun 1974 melaksanakan suatu program yang disebut dengan Bina Masjid Kampus. Program ini mengusahakan pembangunan masjid di sekitar kampus untuk dipakai berbagai aktifitas. Fasilitas masjid ini diperlukan agar pembinaan Islami tetap terjaga. Pembangunan masjid kampus ini dilakukan di berbagai wilayah di Indonesia. Masjid-masjid kampus seperti Masjid Salman di ITB, Masjid Arif Rahman Hakim di UI, dan masjid kampus lainnya menjadi pusat kegiatan mahasiswa Muslim. Muncul forum-forum diskusi yang membahas tentang Islam tidak lagi hanya dalam ranah ibadah, namun dibahas juga Islam dalam berbagai sisi kehidupan, sosial, ekonomi, dan politik.
Proses perkenalan para aktivis mahasiswa muslim dengan pemikiran Ikhwanul Muslimin tidak dapat dilepaskan dari peran para alumni mahasiswa Indonesia yang belajar di Timur Tengah. Para alumnus ini bersentuhan langsung dengan para aktivis Ikhwanul Muslimin di Timur Tengah. Sekembalinya ke Indonesia mereka mulai memperkenalkan pemikiran Ikhwanul Muslimin melalui forum-forum yang telah ada di masjid-masjid kampus. Para alumnus Timur Tengah tersebut merupakan hasil dari program pengiriman mahasiswa yang pada mulanya dikelola oleh Partai Masyumi. Melalui pendekatan Natsir pada tahun 1957 pemerintah Mesir memberikan beasiswa kepada mahasiswa Indonesia sejumlah 90 orang. Program ini adalah bagian dari upaya Jamal Abdul Naseer, yang saat itu menjabat sebagai ketua Organisasi Konferensi Islam (OKI), untuk mengembalikan pamor mesir yang jatuh di mata partai-partai Islam karena penangkapan terhadap para aktivis Ikhwanul Muslimin.[32] Ini merupakan pengiriman gelombang pertama yang diusahakan oleh Natsir dan program ini terus berjalan melalui pengelolaan Departemen Agama. Pada akhir 1970an dan awal 1980an, program ini banyak menghasilkan para alumni Timur Tengah yang kembali ke Indonesia.
Para alumnus Timur Tengah seperti Abu Ridha menterjemahkan buku-buku Ikhwanul Muslimin ke dalam bahasa Indonesia. Natsir meminta kader-kader muda tersebut untuk menterjemahkan buku-buku Ikhwanul Muslimin seperti buku-buku Hasan Al-Banna, Yusuf Qardhawi, Sayyid Qutb. Dan diterbitkan melalui Media Dakwah, lembaga penerbitan DDII. Penerbitan buku-buku Ikhwanul Muslimin ini membantu penyebarluasan pemikiran-pemikiran Ikhwanul Muslimin terutama di masjid-masjid kampus.
Perkenalan antara aktivis mahasiswa Muslim dengan pemikiran Ikhwanul Muslimin juga tidak bisa dilepaskan dari peranan Imaduddin Abdurrahim. Keterlibatannya dalam jaringan dakwah internasional serta aktifitas di Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM) memberikan kesempatan padanya untuk berkenalan dengan pemikiran gerakan di Timur Tengah khususnya Ikhwanul Muslimin. Imaduddin kemudian mempernalkan pemikiran-pemikiran Ikhwanul Muslimin dalam forum-forum dakwah kampus.[33]
Gerakan dakwah kampus bermula dari gerakan dakwah yang dikelola oleh mahasiswa di Masjid Salman ITB. Kegiatan ini pada awalnya berupa shalat Jum’at.  Pada perkembangan berikutnya Masjid Salman tidak hanya digunakan sebagai tempat shalat tetapi juga dijadikan sebagai pusat kegiatan keislaman. Bagi mahasiswa, masjid ini dikembangkan menjadi tempat para aktivis dakwah. Pada tahun 1974 diselenggarakan Latihan Mujahid Dakwah (LMD) pertama kali. Gagasan kegiatan LMD ini merupakan prakarsa Ir. Imaduddin Abdurrahim yang pada akhir 1960an menjabat sebagai ketua umum Pengurus Besar Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (PB. LDMI) yang merupakan lembaga kekaryaan di bawah HMI, dan sebagai sekjen International Islamic Federation of Student Organisation (IIFSO). Melalui LMD ini, para aktivis dakwah kampus bersentuhan dengan pemikiran Ikhwanul Muslimin melalui Imaduddin. Selain di IIFSO, Imaduddin juga aktif di World Assembly of Muslim Youth (WAMY) yang memberikan kesempatan padanya untuk berinteraksi dengan para aktifis dakwah dari berbagai dunia Islam. Selain itu ia juga berinteraksi dengan para aktivis ABIM yng terlebih dahulu intens mendalami pemikiran Ikhwanul Muslimin.
Prinsip pemikiran yang disampaikan Imaduddin di LMD yakni Islam merupakan ajaran yang bersifat totalitas yang tidak memisahkan satu aspek dengan aspek lainnya. Islam tidak dilihat dari perspektif yang memisahkan antara yang sakral dan yang profan. Islam adalah din wa daulah (agama sekaligus negara) artinya Islam menolak gagasan sekularisme. Pandangan keagamaan yang berkembang di masjid Salman adalah bahwa totalitas ajaran Islam itu tersimpul dalam konsep risalah Islam. Ia merupakan sistem ajaran yang dianggap mengandung keseluruhan aturan hidup yang mesti diwujudkan dalam masyarakat Islam. Upaya mewujudkan Islam itu perlu dilakukan melalui jihad, yaitu bentuk perjuangan untuk merubah situasi yang belum islami ke dalam situasi yang Islami.

E.       Penutup

Sebagai penutup dari makalah yang sangat sederhana ini, penulis akan mencoba untuk sarikan beberapa poin penting yang berkaitan dengan pembaruan pemikiran Islam di Timur Tengah dan pengaruhnya terhadap negara-negara Muslim (analisis terhadap pemikiran Hasan Al-Banna), yaitu sebagai berikut:
·      Hasan Al-Banna adalah salah satu tokoh dan pemikir Islam yang punya kepedulian terhadap perkembangan Islam dan masyarakat Muslim.  Pembaharu dan perintis bagi sebuah gerakan Islam yang sangat besar pada abad ke 20, yang mana Al-Banna mewakafkan dirinya untuk kebangkitan Islam dan pengaruhnya masih bisa kita rasakan hingga saat ini.
·      Pembaharuan yang dilakukan oleh Al-Banna adalah melalui Gerakan dan Dakwah, yang mana sebagai aset bagi kelangsungan Al-Ikhwan Al-Muslimun dalam mengembangkan risalah dakwah Islamiyah, semua terjadi dengan proses yang tidak sebentar, namun melalui latihan intensif mengisi diri dengan berbagai bekal yang dibutuhkan oleh pergerakan, dan mampu memprediksikan strategi dakwah yang dapat diterima oleh masyarakat. Sehingga ia bergerak di berbagai bidang seperti bidang politik, pendidikan, dan ekonomi.
·      Dengan pemikiran dakwah dan pembaharuannya, Hasan Al-Banna telah berhasil memberi banyak pengaruh terhadap tokoh-tokoh pembangkit Islam. Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa beliau merupakan tokoh Islam terdepan abad ke 14 H. Hal ini melihat begitu detil dan tersrukturnya dasar-dasar pemikiran yang dibangunnya padahal ketika itu baru berumur 23 tahun. Andaikata bukan karena struktur ini, tentu Hasan Al-Banna tidak lebih sekedar seorang dai yang memiliki kemampuan memikat hati saja. Akan tetapi, dengan pola yang terstruktur ini, Hasan al-Banna telah berhasil menciptakan jamaah yang solid yang tidak bisa dilakukan oleh para ulama dan dai, meski syahid diusia muda.



DAFTAR PUSTAKA



Aay Muhammad Furqon, Pengaruh Pemikiran Al Ikhwan Al Muslimun Terhadap Gerakan Politik Islam Indonesia (1980-2000): Studi Kasus Partai Keadilan, Depok, Tesis Universitas Indonesia, 2003.
Abdul  Kholiq,  Pemikiran  Pendidikan  Islam  Kajian  Tokoh  Ktasik  dan  Kontemporer, Semarang:  Fakultas  Tarbiyah  IAIN  Walisongo  Semarang  bekerjasama  dengan  Pustaka  Pelajar, 1999.
Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Ahmad Hasan Asy-Syurbaji, Al-Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna Mujaddid Al-Qarn Ar-RabiAsyr Al-Hijry, Iskandariyah: Dar Ad-Dakwah: 1998.
Ali Abdul halim Mahmud, Metode Pendidikan Ikhwanul Muslimin, Terj. Syafril Halim, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Harun Nasution, Islam di Tinjau dari Berbagai Aspek, Jilid II, Jakarta: UI Press, 1985.
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 2003.
Hasan Al-Banna, Majmuah Ar-Rasa>il; Risa>lah Da’watuna.
Hasan Al-Banna, Muzakarat Ad-Da’wah wa Ad-Da’iyah, Kairo: Dar At-Tauzi’ wa An-Nasyr Al-Islamiyyah, t.t.
John Cooper, dkk, Pemikiran Islam dari Sayyid Ahmad Khan hingga Nasr Hamid Abu Zayd, Jakarta: Erlangga, 2002.
Muhammad Imadudin, Transmisi Gerakan Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia 1980-2002, (Depok, Skripsi Universitas Indonesia, 2003.
Muhammad Misbah, Kontribusi Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna Terhadap Pemikiran Islam Modern, Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan, Vol. 3, No. 2, Desember 2015.
Otoman, Pemikiran Politik Hasan Al-Banna dan Pembentukan Radikalisme Islam, dalam Jurnal Tamddun, Vol. XV, No. 1, Januari-Juni 2015.
Rosmani Ahmad, Analisis terhadap Pemikiran Hasan Al-Banna, dalam Jurnal Analytica Islamica, Vol. 9, No. 1, 2007.
Syamsul Kurniawan & Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
https://id.wikipedia.org


[1] Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 1.
[2] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), hlm. 3.
[3] John Cooper, dkk, Pemikiran Islam dari Sayyid Ahmad Khan hingga Nasr Hamid Abu Zayd, (Jakarta: Erlangga, 2002), hlm. xiii.
[4] Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran, hlm. 2-3.
[5] Harun Nasution, Islam di Tinjau dari Berbagai Aspek, Jilid II, (Jakarta: UI Press, 1985), hlm. 91-92.
[6] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, hlm. 21.
[7] Syeikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna menguasai ilmu fiqh, tauhid, ilmu bahasa dan mengahafal Al-Qur’an. Bahkan pernah belajar sebagai mahasiswa Al-Azhar pada waktu Muhammad Abduh mengajar di lembaga tersebut. As-Sa’ati adalah tukang arloji, yang mana selain menjadi tukang arloji juga sebagai imam masjid dan guru agama di masjid. Lihat Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 408.
[8] As-Sa’ati mengedit sebagian dari Musnad Ahmad ibn Hanbal dan Musnad-musnad lainnya dan menulis sharahnya yang berjudul Bulugh Al-Amami min Asrar Al-fath Al-Rabbani. Lihat Otoman, Pemikiran Politik Hasan Al-Banna dan Pembentukan Radikalisme Islam, dalam Jurnal Tamddun, Vol. XV, No. 1, Januari-Juni 2015.
[9] Ayahnya membimbingnya secara langsung menghafal Al-Qur’an serta senantiasa memberi dorongan membaca di perpustakaannya yang penuh dengan buku. Lihat Ali Abdul halim Mahmud, Metode Pendidikan Ikhwanul Muslimin, Terj. Syafril Halim, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 23.
[10] Hasan Al-Banna, Muzakarat Ad-Da’wah wa Ad-Da’iyah, (Kairo: Dar At-Tauzi’ wa An-Nasyr Al-Islamiyyah, t.t.), hlm. 13-14.
[11] Ahmad Hasan Asy-Syurbaji, Al-Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna Mujaddid Al-Qarn Ar-RabiAsyr Al-Hijry, (Iskandariyah: Dar Ad-Dakwah: 1998), hlm. 46.
[12] Disinilah ia berkenalan dengan tarekat Shufi Al-Hashafiyyah, dan terkagum-kagum dengan majelis dzikir dan lantunan nasyid yang didengarkan secara bersamaan oleh pengikut tarekat tersebut.
[13] Hasan Al-Banna, Muzakarat Ad-Da’wah wa Ad-Da’iyah, hlm. 18-19. Lihat juga Ali Abdul halim Mahmud, Metode Pendidikan Ikhwanul Muslimin, hlm. 23.
[14] Ahmad Hasan Asy-Syurbaji, Al-Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna, hlm. 85-86.
[15] Disamping menunaikan tugas mengajar beliau aktif berdakwah , yang mana aktifitas dakwahnya dimulai dari masjid ke masjid dan kedai-kedai kopi. Dengan bermodalkan kekarismatikan dan teknik dakwah yang dapat menyentuh para audiens, semakin banyak orang yang beragama Islam empati kepada beliau. Dan dengan kecerdasannya beliau melihat bahwa ada beberapa kelompok masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk mensukseskan misi dakwah. Masyarakat tersebut dapat diklasifikasikan dalam empat kelompok, yaitu pemuka agama, tokoh tarekat, tokoh masyarakat, dan para jamah. Lihat Syamsul Kurniawan & Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 156.
[16] Tentang biografi Hasan Al-Banna lebih lanjut bisa dirujuk buku Muzakarat Ad-Dakwah wa Ad-Daiyah; Al-Mulhim Al-Mauhub Hasan Al-Banna, Ustaz Al-Jail karya Umar At-Tilmisani, Hasan Al-Banna Ad-Daiyah wa Al-Mujaddid Asy-Syahid karya Anwar Al-Jundi, Ikhwan Al-Muslimin: Ahdas Sanaat At-Tarikh karya Mahmud Abdul Halim, At-Tarbiyyah Al-Islamiyyah wa Madrasah Hasan Al-Banna karya Yusuf Al-Qardhawi, Madrasah Hasan Al-Banna karya Dr. Rauf Syalabi.
[17] https://id.wikipedia.org/wiki/Hasan_al-Banna, dikutip pada tanggal 12 April 2017.
[18] Syamsul Kurniawan & Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh, hlm. 158.
[19] Abdul  Kholiq,  Pemikiran  Pendidikan  Islam  Kajian  Tokoh  Ktasik  dan  Kontemporer, (Semarang:  Fakultas  Tarbiyah  IAIN  Walisongo  Semarang  bekerjasama  dengan  Pustaka  Pelajar, 1999), hlm. 253.
[20] Rosmani Ahmad, Analisis terhadap Pemikiran Hasan Al-Banna, dalam Jurnal Analytica Islamica, Vol. 9, No. 1, 2007.
[21] Hasan Al-Banna, Majmuah Ar-Rasa>il; Risa>lah Da’watuna, hlm. 16.
[22] Ahmad Hasan Asy-Syurbaji, Al-Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna, hlm. 125-132.
[23] Muhammad Misbah, Kontribusi Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna Terhadap Pemikiran Islam Modern, Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan, Vol. 3, No. 2, Desember 2015, hlm. 399-401.
[24] Hal ini bisa dilihat dari banyaknya usrah dalam praktik kelompok Ikhwanul Muslimin.
[25] Muhammad Misbah, Kontribusi Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna, hlm. 401-402.
[26] Muhammad Misbah, Kontribusi Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna, hlm. 403-405.
[27] Muhammad Misbah, Kontribusi Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna, hlm. 405-409.
[28] Al-Banna didatangi oleh enam orang yang tertarik pada kepribadaiannya dan terkesan pada pola-pola dakwahnya, yaitu: Hafidz Abdul Hamid (Berprofesi sebagai tukang kayu), Ahmad Al-Hushary (berprofesi sebagai tukang potong rambut), Fuad Ibrahim (berprofesi sebagai tukang setrika), Abdurrahman Hasbullah (berprofesi sebagai sopir), Ismail Izz ( berprofesi sebagai tukang kebun), Zaki Al-Maghribi (berprofesi sebagai penyewa dan montir sepeda). Lihat Ali Abdul halim  Mahmud, Metode Pendidikan Ikhwanul Muslimin, hlm. 25.
[29] Ali Abdul halim  Mahmud, Metode Pendidikan Ikhwanul Muslimin, hlm. 26.
[30] https://id.wikipedia.org/wiki/Ikhwanul_Muslimin, dikutip pada tanggal 12 April 2017.
[31] Aay Muhammad Furqon, Pengaruh Pemikiran Al Ikhwan Al Muslimun Terhadap Gerakan Politik Islam Indonesia (1980-2000): Studi Kasus Partai Keadilan, (Depok, Tesis Universitas Indonesia, 2003), hlm. 158.
[32] Muhammad Imadudin, Transmisi Gerakan Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia 1980-2002, (Depok, Skripsi Universitas Indonesia, 2003), hlm. 105.
[33] Muhammad Imadudin, Transmisi Gerakan Revivalisme Islam Timur Tengah, hlm. 99.

No comments:

Post a Comment