PENDEKATAN
FEMINIS DALAM KAJIAN ISLAM
ASAL
USUL DAN GERAKAN DI BARAT DAN DUNIA ISLAM
Astrifidha Rahma Amalia 16771014
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Program Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang
A.
Dasar Pemikiran
Dengan
pengamatan yang sepintas saja, tanpa harus melalui penelitian dengan seksama,
setiap pengamat masalah-masalah perempuan dan keperempuanan melihat bahwa
perempuan sepanjang sejarah peradaban manusia hanya memainkan peran
sosial-ekonomi apalagi politik yang lebih kecil jika dibandingkan dengan peran
laki-laki[1].
Sebaliknya, peran domestik perempuan lebih menonjol baik sebagai istri maupun
ibu rumah tangga.
Dalam
sebuah esai yang ditulis oleh Aquarini Priyatna P bersama Nori Andriyani dengan
judul “Merefleksi Pemikiran Feminis”, mereka mengidentiikasikan bahwa feminisme
seringkali disalahtafsirkan: Pertama, sebagai gerakan dari Barat, atau
bahkan lebih dari itu diidentifikasi dari Barat. Kedua, atau yang
biasanya terus mengikuti kesalahtafsiran pertama adalah bahwa feminisme
merupakan gerakan perempuan yang membenci laki-laki, pengikut seks bebas,
dan/atau lesbian[2].
Yang merasa perlu dipikirkan adalah penekanan seolah feminisme datang dari
Barat.
Doktrin-doktrin
dalam agama menyudutkan kaum perempuan berada di bawah laki-laki. Moriz
Winternitz pernah mengungkapkan bahwa perempuan selalu menjadi sahabat bagi
agama, tetapi umumnya agama bukan sahabat bagi perempuan[3].
Anggapan ini dikuatkan oleh berbagai fakta sejarah yang menunjukkan kaum
agamawan sering memposisikan perempuan sebagai “makhluk kedua”, setingkat lebih
rendah dari laki-laki sebagai “makhluk utama”. Tahun 586 Masehi misalnya, Dewan
Gereja memvonis perempuan sebagai manusia yang tujuan hidupnya hanyalah untuk
melayani laki-laki[4].
Kemudian bagaimana dengan Islam?.
Al
Qur’an sendiri sebagai pedoman hidup umat Muslim secara normatif telah menegaskan
tentang konsep kesetaraan status antara laki-laki dan perempuan. Konsep
kesetaraan itu mengisyaratkan dua hal penting[5]
yaitu penerimaan martabat kedua jenis kelamin dalam ukuran setara dan pengetahuan
bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak-hak yang setara[6]. Hal
ini membuktikan bahwasannya sang Maha Kuasa itu adil, kedua sifat antara
feminis dan maskulin telah ada padaNya namun tidak dibedakan keduanya.
Dari dasar
pemikiran yang dipaparkan di atas, maka pemakalah ingin memberikan informasi
tentang apa sebenarnya definisi dari feminisme tersebut kemudian bagaimanakah
asal-usul gerakan tersebut muncul serta beberapa teori atau pendekatan feminis
yang dibuat oleh tokoh-tokohnya dan juga bagaimanakah feminis dalam dunia Islam
itu.
B.
Definisi Feminisme
Feminisme[7]
berasal dari bahasa Latin, yaitu femina atau perempuan, sedangkan ism
berarti paham. Sejatinya, secara etimologis kata femina yang dalam
bahasa Inggris diterjemahlan menjadi feminine artinya adalah memilki
sifat-sifat sebagai perempuan. Jadi jika digabungkan dengan kata ism
maka berarti hal ihwal tentang perempuan atau paham mengenai perempuan. Dalam
perkembangan selanjutnya, kata tersebut digunakan untuk menunjuk suatu teori
kesetaraan jenis kelamin (sexual equality). Secara historis, istilah itu
muncul pertama kali pada tahun 1895, sejak itu pula feminisme dikenal secara
luas[8].
Feminisme yang memilki artian femina mempersepsikan tentang
ketimpangan posisi perempuan dibanding laki-laki di dalam masyarakat.
Akibatnya, timbul berbagai upaya untuk mengkaji penyebab ketimpangan tersebut
untuk mengeliminasi dan menemukan formula penyetaraan hak perempuan dan
laki-laki dalam segala bidang, sesuai dengan potensi mereka sebagai human
being[9].
Disebutkan
dalam Ensiklopedia Feminisme karangan Maggie Humm bahwa feminisme bagi
para penulis seperti Helene Cixous dan Monique Wittig adalah representasi
tuntutan egalitarianism dari Borjuis[10].
Maggie Humm juga menyebutkan bahwa feminisme merupakan ideologi pembebasan
perempuan karena yang melekat dalam semua pendekatannya adalah keyakinan bahwa
perempuan mengalami ketidakadilan disebabkan jenis kelamin yang dimilkinya.
Pemikiran
Bhasin dan Nighat[11]
akan feminisme memiliki alasan yang kuat, sebab keduanya menyaksikan
banyak perempuan tertindas dalam berbagai hal dalam masyarakatnya sejak
berabad-abad. Sebagian dari perempuan mengalami langsung penindasan terhadap
dirinya, mungkin oleh tradisi yang mengutamakan laki-laki, mungkin sikap egois
dan sikap macho laki-laki, mungkin oleh pandangan bahwa perempuan adalah objek
seks. Sehingga kesemua kemungkinan tersebut telah melahirkan penindasan
terhadap perempuan.
Dengan
demikian hakikat feminisme adalah kesadaran terhadap adanya diskriminasi,
ketidakadilan, dan subordinasi perempuan, dilanjutkan dengan sebuah upaya untuk
merubah keadaan tersebut menuju suatu sistem masyarakat yang lebih adil. Untuk
menjadi seorang feminis tidak harus berjenis kelamin perempuan. Seorang
laki-laki pun dapat menjadi tokoh feminis[12]
asal memiliki concern dan kesadaran untuk mengubah ketidakadilan dan
penindasan terhadap perempuan, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Sehingga,
perhatian utama gerakan feminisme adalah terciptanya justice, equality
dalam sistem dan struktur masyarakat[13].
Feminisme dalam pembahasan ini, mengikuti kerangka Sue Morgan[14]
yaitu suatu pendekatan yang hendak melakukan dekonstruksi terhadap sistem
sosial yang merugikan posisi perempuan karena jenis kelaminnya. Agama sebagai
sumber sistem sosial tidak lepas dari perhatian para feminis. Pendekatan
feminis dalam studi agama tidak lain merupakan transformasi kritis dari
perspektif teoritis yang ada dengan menggunakan gender sebagai kategori
analisis utamanya. Pendekatan ini menentang pelanggengan historis terhadap
ketidakadilan dalam agama, praktik-praktik eksklusioner yang melegitimasi
superioritas laki-laki dalam bidang sosial. Aspek transformatif yang meletakkan
kembali simbol-simbol sentral, teks, dan ritual-ritual tradisi keagamaan secara
lebih tepat untuk memasukkan dan mengkokohkan pengalaman perempuan yang
diabaikan[15]
dan kemudian mengalami perkembangan sepanjang zaman.
C.
Sejarah Asal-Usul Gerakan
Feminisme dan Teori Feminis Barat
Secara historis, gerakan feminisme di Barat muncul sebagai reaksi
atas ketimpangan dan ketidakadilan yang dihasilkan oleh suatu tatanan sosial
yang patriarkis[16].
Aksi 1960-an dan awal 1970-an menjadi saksi meningkatnya aktivisme kaum kiri
yang bersemangat di seluruh dunia Barat. Inilah konteks kemunculan Gerakan
Pembebasan Perempuan, bersamaan dengan gerakan-gerakan lain seperti Gay
Liberation dan Black Power[17].
Secara umum kelahiran feminisme dibagi menjadi tiga gelombang yang
mengangkat isu yang berbeda-beda.
Gelompang pertama, ditandai dengan publikasi Mary Wollstonecraft
yang berjudul “Vindication of the Rights of Women” tahun 1972.
Wollstonecraft mendeskripsikan bahwa kerusakan psikologis dan ekonomi yang
dialami perempuan disebabkan oleh ketergantungan perempuan secara ekonomi
kepada laki-laki dan peminggiran perempuan dari ruang publik. Ada dua tokoh
lainnya seperti Sejourner Truth dan Elizabeth Cady Stanton. Perhatian feminis
gelombang pertama adalah memperoleh hak-hak politik dan kesempatan ekonomi yang
setara bagi kaum perempuan. Feminis berargumentasi bahwa perempuan
memiliki kapasitas rasio yang sama dengan laki-laki. Aksi politik feminis
yang dimotori oleh kaum feminis liberal telah membawa perubahan pada
kondisi perempuan saat itu. Perempuan berhasil mendapatkan hak pilihnya dalam
pemilu pada tahun 1920, dan bukan hanya itu, kaum feminis berhasil
memenangkan hak kepemilikan perempuan, kebebasan reproduksi yang lebih dan akses
yang lebih besar dalam bidang pendidikan dan profesional[18].
- Teori-Teori
Feminis Gelombang Pertama
1.
Feminisme Liberal
Asumsi dasar feminisme
liberal[19]
adalah kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara
dunia privat dan publik. Dalam rangka memperjuangkan persoalan masyarakat,
menurut kerangka kerja feminis liberal tertuju pada kesempatan yang sama
dan hak yang sama bagi setiap individu, termasuk di dalamnya kaum perempuan.
Kesempatan dan hak yang sama atara laki-laki dan perempuan ini penting,
sehingga tidak perlu pembedaan kesempatan[20].
Tokoh-tokoh feminisme liberal antara lain: Mary Wollstonecraft: Vindication
Rights of The women (1779), John Stuart Mill & Harriet Taylor: Early
Essay on Marriage and Divorce (1832), Enfranchisement of Women
(1851), Betty Freidan: The Feminine Mistique (1974), The Second Stage
(1981).
2.
Feminisme Radikal
Teori feminisme radikal[21]
ini muncul karena seksisme atau diskriminasi sosial berdasarkan jenis kelamin. Feminisme
radikal berkembang pesat pada tahun 1960-an dan 1970-an di Amerika Serikat.
Teori ini disebut radikal karena memfokuskan pada akar dominansi laki-laki dan
klaim bahwa semua bentuk penindasan adalah perpanjangan dari supremasi
laki-laki dan ideologi patriarki[22].
Tokoh-tokohnya adalah Kate Millet: Sexual Politics (1970); The
Dialectic of Sex (1970), Marilyn French: Beyond Power (1985), Mary
Daly: Beyond God the Father Toward a Philosophy of Women’s Liberation (1973),
Ann Koedt: The Myth of The Virginal Orgasm (1970).
3.
Feminisme Marxism
Feminisme
Marxism[23]
memandang bahwa penindasan perempuan tidak dikarenakan ideologi patriarki,
melainkan sebagai akibat dari struktur sosial, politik, dan ekonomi yang erat
kaitannya dengan sistem kapitalism. Aliran ini mengembangkan teori matrealisme
Karl Marx artinya perempuan harus masuk ke dalam sektor publik yang dapat
menghasilkan nilai ekonomi, sehingga konsep pekerjaan domestik perempuan tidak
ada lagi[24].
Tokohnya adalah Frederich Engles: The Origin of The Family, Private Property
and The State (1845), Margareth Benston: The Political Economy of
Women’s Liberation (1960), Mararosa Dalla Costa & Selma James: The
Power of Women and the Subeverion of Community (1972).
Gelombang
feminis kedua, pada tahun 1949 ditandai dengan munculnya publikasi dari
Simone de Beauvoir’s, The Second Sex. Beauvior berargumnetasi bahwa
perbedaan gender bukan berakar dari biologi, tetapi memang sengaja diciptakan
untuk memperkuat penindasan terhadap kaum perempuan. Bagi feminis gelombang
kedua, kesetaraan politik dan hukum tidak cukup untuk mengakhiri penindasan
terhadap kaum perempuan. Mereka berpendapat bahwa feminisme harus
mendapatkan kesetaraan ekonomi secara penuh bagi perempuan dan bukan hanya
sebatas untuk bertahan secara ekonomi. Feminis gelombang kedua juga
mulai menggugat institusi pernikahan, motherhood, hubungan lawan jenis (heterosexual
relationship), seksualitas perempuan dan lain-lain. Mereka berjuang keras
untuk merubah secara radikal setiap aspek dari kehidupan pribadi dan politik[25].
- Teori-Teori
Feminisme Gelombang Kedua
1.
Feminisme Psikoanalisa[26]
Feminisme yang
berkaitan erat dengan analisis mengenai struktur pikiran (psyche) dan
hubungannya dengan tubuh, serta menggunakan analisis tersebut sebagai dasar
menangani beberapa jenis penyakit tertentu[27].
Isu-isu feminis psikoanalisa meliputi drama psikoseksual Oedipus,
egosentrisme laki-laki yang menganngap perempuan menderita “penis envy”, dual
parenting, dan feminisme gender-etika perempuan. Tokohnya adalah Ernet
Jones (1950), Karen Horney (1973).
2.
Feminisme Eksistensialisme
Feminisme yang
menekankan pada kebebasan, pilihan bebas, etre en soi dan etre pour
soi, kesadaran reflektif dan nonreflektif. Kebebasan yang ditekankan
berawal dari pemikiran bahwa pada hakikatnya, manusia adalah bebas sebebas-bebasnya,
bahkan manusia adalah kebebasan itu sendiri.[28]
Tokoh yang ternama adalah Simon de Beauvoir: The Second Sex (1949).
Gelombang
ketiga, dimulai pada tahun 1980 oleh feminis yang menginginkan keragaman
(women’s diversity) atau keragaman secara umum. Sebagai contoh,
perempuan kulit bewarna dipertahankan ketika dahulu pengalaman, kepentingan,
dan perhatian mereka tidak terwakili oleh feminis gelombang kedua yang
didominasi oleh wanita kulit putih kelas menengah. Sebagai contoh, ketertindasan
perempuan kulit putih kelas menengah berbeda secara signifikan dengan
penindasan yang dialami oleh kulit hitam Amerika. Ketertindasan kaum perempuan
heterosexual berbeda dengan ketertindasan yang dialami kaum lesbi dan
sebagainya[29].
Teori-teori
yang muncul pada feminis gelombang ketiga misalnya feminisme
postmodern[30]
yang menolak pemikiran phalogosentris yaitu ide-ide yang dikuasai oleh logos
absolut (laki-laki). Tokohnya: Helene Cixious, Julia Cristeva, dan Linda
Nicholsin. Ada juga feminisme multikultural yang sejalan dengan filsafat
postmodern tetapi lebih menekankan kajian kultural. Tokoh-tokohnya antara lain:
Audre Lorde: Age, Race, Class, and Sex: Women Redefining Diffrence
(1995), Alice Walker: Coming Apart (1991), Angela Y Davis: Women,
Race, and Class (1981) dan masih banyak lagi yang lain.
Dari uraian di
atas, dapat ditarik pelajaran bahwa feminisme sebagai sebuah gerakan
bersamaan dengan teori-teorinya, mengisnpirasi kelahiran feminisme sebagai
pendekatan dalam memahami teks-teks keislaman.
D.
Feminisme dalam Studi Islam
Feminisme
sebagai sebuah pendekatan untuk mengkaji teks-teks keislaman dalam kerangka
kerjanya selalu menggunakan analisis gender sebagai alat untuk mempertajam
pandangan mereka. Ini dikarenakan feminisme dan agama keduanya sangat
signifikan bagi kehidupan perempuan dan kehidupan kontemporer pada umumnya.
Tujuan utama dari tugas feminis adalah mengidentifikasi sejauh mana
terhadap persesuaian antara pandangan feminis dan pandangan keagamaan
terhadap diri, dan bagaimana menjalin interaksi yang paling menguntungkan
antara yang satu dengan yang lain[31].
Secara
historis, konsep feminisme yang marak di Barat menjadi model bagi
pembebasan perempuan di banyak negara berpenduduk Muslim. Bermula dari para
intelektual Mesir yang belajar ke Eropa, wacana feminisme yang marak di
Eropa diadopsi oleh mereka setelah pulang dari Eropa untuk kemudian dikembangkan
dengan apa yang dikenal dengan istilah “Tahrir al-Mar’ah”[32]
(pembebasan perempuan).
Gerakan
feminisme Islam[33] (tahrir
al-Mar’ah) dalam sejarah Islam sendiri, berlangsung dalam beberapa cara[34],
yaitu: Pertama, melalui pemberdayaan terhadp kaum perempuan melalui
pemebentukan pusat studi. Kedua, melalui buku-buku yang ditulis beragam tema
seperti fiqh pemeberdayaan. Ketiga, melalui kajian historis tentang
kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam sejarah masyarakat Islam. Keempat,
melalui kajian-kajian kritis terhadap teks-teks keagamaan baik Al Qur’an maupun
Hadis yang secara literal menampakkan ketidaksetaraan antara laki-laki dan
perempuan misalnya dengan melakukan penafsiran ulang dengan pendekatan
hermeneutik[35].
Dalam
the Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, Margot Badran
menyebutkan bahwa kesadaran akan ketidakadilan gender yang dialami kaum
perempuan pada akhir abad ke-20 telah mulai terlihat alam karya tulis penulis
Muslimah baik dalam bentuk puisi, cerita pendek, novel, essai, artikel, dan
buku. Beberapa tokoh yang terkenal misalnya adalah ‘Aisyah Taimuriyah, Huda
Sya’rawi, termasuk di dalamnya Raden Ajeng Kartini.
Kemudian paruh
kedua abad ke-20, para feminis Muslimah mulai menulis tentang peran
gender dan hubungannya dengan keluarga dan masyarakat, dalam tema-tema yang
menyangkut kekerasan seksual terhadap perempuan, eksploitasi perempuan, sampai
pada sistem patriarkhi itu sendiri. Mereka menuliskan pemikiran dan
pandangan mereka dalam bentuk novel, esai, artikel, buku dan karya yang lain.
Tokoh-tokoh yang muncul seperti Fatimah Mernissi dari Maroko, Lathiffah
az-Zayat dari Mesir, Assia Djebar dari Aljazair, Amina Wadud Muhsin[36]
dari Malaysia, dan tidak ketinggalan seorang feminis Muslim laki-laki dari
India yaitu Asghar Ali Engineer[37],
begitu juga dengan feminis asal Jepang, Sachiko Murata yang mengkaji feminis
dalam konsep kosmologi dan teologi.
Menurut
Mustaqim, berikut ini merupakan faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya
pendekatan feminisme dalam kajian agama Islam antara lain[38]: 1) Faktor Internal, kaum feminis muslim
berpendapat bahwa pada dasarnya agama Islam itu menegaskan kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan. Meski, misalnya Al Qur’an menggunakan bahasa ungkapan
yang secara literal seakan menunjuk pada struktur yang hirarkis namun secara
moral ia justru ingin menghilangkan subordinasi yang dialami oleh perempuan
pada masa-masa pra Islam. Dengan demikian, sesungguhnya ungkapan Al Qur’an
adalah ungkapan yang sarat dengan upaya pembebasan, termasuk dalam hal ini adalah
pembebasan perempuan dari dominasi dan eksploitasi kaum laki-laki dengan
menggunakan prinsip-prinsip keadilan.
Faktor
selanjutnya yaitu faktor eksternal yang terdiri dari: realitas sosial,
persentuhan dengan peradaban Barat, perkembangan global, dan gagasan tentang
HAM. Realitas sosial, menunjukkan bahwa kaum feminis rata-rata hidup dalam
lingkungan yang sangat patriarkis dan mereka menyadari bahwa ada pola budaya
dan relasi yang ternyata sangat tidak menguntungkan perempuan. Kesadaran
tentang hal ini berpengaruh dalam membentuk wacana feminisme dalam mengkaji
teks-teks agamanya.
Begitu
juga halnya dengan persentuhan dengan peradaban Barat yang berperan dalam
membentuk pemikiran feminisme. Tokoh-tokoh feminisme seperti Riffat Hassan,
Mernissi, maupun Engineer memiliki basis ilmu-ilmu sosial, ilmu yang notabene
berasal dari Barat, selain ilmu-ilmu keagamaan yang mempengaruhi pandangan
hidup mereka. Kemampuan mereka memahami ilmu-ilmu sosial yang digunakan untuk
memahami gejala-gejala keagamaan yang sejauh ini hanya didasarkan pada
ilmu-ilmu agama. Mereka tampaknya menyadari bahwa ilmu sosial yang berasal dari
Barat itu sangat penting untuk memahami dan ataupun mengkritik gejala yang ada
dalam dunia Islam.
Globalisasi
juga berpengaruh memaksa kaum muslim untuk merumuskan kembali berbagai
pemikiran keislaman. Teknologi informasi yang berkembang demikian pesat
akhir-akhir ini telah menyebabkan terjadinya perubahan yang demikian kompleks
dalam kehidupan umat Islam. Faktor lainnya yang juga mempengaruhi munculnya
pemikir feminis dalam Islam adalah serangan dunia Barat terhadap Islam yang
menuding bahwa Islam tidak menghargai hak-hak kaum perempuan. Serangan Barat
kepada Islam dan tuntutan dunia modern untuk melaksanakan hak-hak asasi manusia
(HAM) secara menyeluruh ini agaknya menyadarkan pemikir-pemikir muslim untuk
merumuskan kembali ajaran Islam yang secara moral ternyata sangat membela
ide-ide egalitarianisme dna kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Sebenarnya,
tujuan para feminis adalah senada yakni untuk memperoleh pemahaman atas
teks-teks keislaman yang adil secara gender, namun ternyata mereka dapat
digolongkan dalam kelompok yang berbeda berdasarkan corak pemikiran mereka.
Ghazala Anwar menggolongkan pemahaman feminis terhadap teks-teks
keislaman kepada lima macam, yaitu: feminis apologis, feminis transformis,
feminis rejeksionis, dan feminis rasionalis [39].
1.
Feminisme Apologis
Feminisme
apologis ini meyakini bahwa Islam sebagaimana tersirat dalam Al Qur’an dan
Hadis telah memberikan semua hak yang diperlukan oleh kedua jenis kelamin,
laki-laki dan perempaun bagi kesejahteraan dan pemenuhan pribadi masing-masing.
Keyakinan ini memunculkan dua perbedaan. Pertama, ada perbedaan yang tidak bisa
dipungkiri antara kebutuhan dan keinginan laki-laki dengan kebutuhan dan
keinginan perempuan, yang dipahami dan dilayani oleh ayat-ayat dalam Al Qur’an.
Kedua, praktik umum dalam berbagai komunitas muslim menyalahi atau tidak
memenuhi seluruh hak bagi perempuan sebagaimana telah tersurat dalam teks-teks
otoritatif (Al Qur’an dan Hadis). Penekanan mereka bukan pada upaya untuk
menafsirkan kembali ayat-ayat al Qur’an agar berdampak kepada dua jenis
kelamin, namun dengan mendidik perempuan tentang makna dan tafsiran teks-teks
tersebut.
2.
Feminis Reformis
Persoalan
utama feminis reformis adalah adanya perbedaan antara teks-teks otoritatif
dengan tafsiran-tafsiran tentangnya, bukan perbedaan antara teks-teks
otoritatif dengan praktik budaya sebagaimana diyakini feminis apologis. Bagi
feminis reformis, teks-teks Al Qur’an telah disalahpahami secara tidak memadai
atau disalahtafsirkan. Sebagaimana para apologis, para reformis juga
menggunakan argumen-argumen filologis dan kontekstual untuk menafsirkan kembali
ayat-ayat Al Qur’an, namun mereka lebih sadar akan kebutuhan untuk menafsirkan
kembali sekaligus sadar akan keterlibatan diri mereka dalam kegiatan semacam
itu.
3.
Feminis Transformasionis
Feminis
ini bertujuan untuk mentransformasikan tradisi dengan tetap menggunakan
metodologi hermeneutik klasik yang telah akrab dalam wacan Islam tradisional.
Dasar hermeneutik feminis trasformasionis ini sudah dikenal dalam wacana Islam
klasik, namun dirumuskan dengan rumusan-rumusan baru dan berbeda sama sekali
dengan rumusan yang ada dalam wacana Islam klasik. Misalnya pengkategorian teks-teks
Al Qur’an menjadi muhkamat dan mutasyabihat. Dalam wacana Islam
tradisional, suatu teks disebut muhkamat apabila maknanya sudah jelas
dan tegas secara literal, yang tidak memerlukan penafsiran ulang. Sementara
teks-teks Al Qur’an disebut mutasyabihat jika maknanya masih samar,
tidak jelas, ambigu, dan seterusnya.
4.
Feminisme Rejeksionis
Berbeda
dengan aliran feminisme yang lain, aliran feminisme ini menganggap bahwa memang
terdapat teks-teks dalam Al Qur’an dan Hadis dalam kaitannya dengan masalah
perempuan yang misoginis, seksis, dan deiskriminatif. Tilik rujukan mereka
adalah pengalaman perempuan. Oleh karena itu, argumen apapun di luar itu
darimanapun sumbernya yang mendukung diskriminasi terhadap perempuan akan
ditolak. Tasleema Nasreen dari Bangladesh adalah contoh pengikut aliran feminis
rejeksionis ini. Nasreen mengemukakan perlunya merevisi atau bahkan menolak
sebagian teks Al Qur’an yang dianggap misoginis atau seksis tersebut.
5.
Feminis Rasionalis
Amina
Wadud dan Riffat Hassan adalah seorang feminis yang tergolong dalam
klasifikasi feminis rasionalis. Pandangan yang berarti menerapkan
kriteria keadilan kepada Al Qur’an daripada hanya sekedar menerima begitu saja
bahwa Al Qur’an pastilah adil. Atau, ia hanya mengambil padnangan tentang
keadilan yang dikemabangkan dalam sebagian ayat-ayat Al Qur’an serta
menggunakannya untuk menilai ayat-ayat lain yang tampaknya mengguncangkan
pandangan tentang keadilan tersebut[40].
Berikut telah dipaparkan tentang pendekatan feminis sesuai dengan
konteks historinya. Pendekatan-pendekatan feminis tersebut dalam
memahami Islam yang berkaitan dengan teks Al Qur’an atau lainnya akan
senantiasa berkembang seiring perkembangan para intelektual yang ingin secara
khusus mengkajinya.
E.
Memahami Teks-Teks Keislaman dalam Kajian Kaum Feminis
Beberapa
permasalahan yang dibahas oleh pendekatan feminis dalam memahami teks-teks Al
Qur’an diantaranya sebagai berikut[41] :
1.
Konsep Penciptaan Manusia
Dalam
diskursus feminisme, konsep penciptaan perempuan adalah isu yang sangat dan mendasar
dibicarakan terlebih dahulu, karena konsep kesetaraan atau ketiaksetaraan
laki-laki dan perempuan berakar dari konsep penciptaan perempuan ini.
Dalam
tradisi Islam dikenal dan diyakini empat macam cara penciptaan manusia yaitu:
1) Diciptakan dari tanah (penciptaan Nabi Adam a.s dalam Q.S Fathir: 11, Ash
Shaffat:11, dan Al Hijr :26; 2)Diciptakan dari tulang rusuk Adam (penciptaan
Hawa) dalam Q.S An Nisa: 1, Al A’raf: 189, dan Az Zumar:6 ; 3) Diciptakan
melalui seorang ibu dengan proses kehamilan tanpa ayah (penciptaan Nabi Isa
a.s) dalam Q.S Maryam: 19-22; dan 4) Diciptakan melalui kehamilan dengan adanya
ayah secara biologis (penciptaan manusia selain Adam, Hawa, dan Isa) dalam Q.S
Al Mukminun: 12-14.
Berbeda
dari ketiga macam cara penciptaan yang lain, ayat-ayat tentang penciptaan Hawa
tidak menyebutkan secara jelas dan terperinci mekanisme penciptaan Hawa. Dalam
ketiga ayat tersebut hanya disebutkan bahwa “dari padanya (nafs wahidah-Adam),
Dia menciptakan istrinya “zaujaha-Hawa”. Redaksi ini sangat potensial
untuk ditafsirkan secara kontroversial.
Para mufassir pada umumnya seperti az-Zamakhshari, Al-Alusi dan Said Hawwa sepakat
menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan nafs
wahidah dalam Q.S An Nisa: 1 adalah Adam dan zawjaha adalah istrinya
(Hawa). Argumen yang mereka kemukakan: 1)
Berdasar ayat, min yang terdapat
dalam kalimat wa khalaqa minha zaujaha adalah min tab’idhiyah yang dengan demikian berarti Hawa diciptakan dari sebagian Adam; 2)
Berdasar hadis Rasulullah SAW. riwayat Bukhari dan Muslim, yang menyebutkan
secara eksplisit penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam.
Pemahaman
Amina Wadud Muhsin terhadap QS An Nisa: 1 tidak secara tegas menyebutkan
penolakannya bahwa yang dimaksud nafs di sini adalah Adam mengingat
minimnya penjelasan Al Qur’an tentang ini. Menurutnya, kata nafs secara
gramatikal adalah feminin, namun secara konseptual nafs tidak feminin
maupun maskulin. Ia juga mengungkapkan bahwa menurut kisah al-Qur’an tentang
penciptaan, Allah tidak pernah berencana memulai penciptaan manusia dengan
seorang laki-laki; Dia juga tidak pernah merujukkan asal-muasal manusia pada
Adam. Dengan demikian, secara teknis kata nafs dalam Al Qur’an merujuk
pada asal semua manusia secara umum. Meskipun manusia berkembangbiak di muka
bumi dan membentuk bermacam-macam negara, suku, dan bangsa yang berlainan
bahasa dan warna kulit, namun mereka semua berasal dari sumber yang sama.
Mengenai
teknis penciptaan Hawa, Amina tidak mengemukakan pendapatnya secara tegas,
apakah Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam seperti pendapat para mufassir,
atau diciptakan sendiri secara terpisah dengan cara yang sama dengan penciptaan
Adam. Dia hanya menjelaskan bahwa kata min dalam bahasa Arab. Pertama,
dapat digunakan sebagai preposisi (kata depan) “dari” untuk menunjukkan
makna mencarikan sesuatu dari sesuatu yang lainnya. Kedua, dapat
digunakan untuk menyatakan sama macam atau jenisnya. Bila min pada
kalimat minha dalam Q.S. An Nisa: 1 digunakan fungsinya yang pertama
(preposisi) maka maknanya Hawa diciptakan dari Adam (seperti umumnya pendapat
mufassir), sebaliknya jika digunakan fungsi min yang kedua maka maknanya
Hawa diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam. Penggunaan min yang
terakhir ini dapat dilihat contohnya pada Q.S. Ar-Rûm: 21 misalnya: “Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri (min anfusikum) supaya kamu
tenteram”. Meski demikian, Amina terkesan tidak menyukai kemungkinan
pertama, sekalipun tidak secara tegas memilih yang kedua.
2.
Konsep Kepemimpinan Rumah Tangga
Kepemimpinan
rumah tangga menurut para mufassir klasik dengan berdasar pada Q.S An Nisa: 34 ditafsirkan sebagai kepemimpinan suami atas istri.
Menurut feminis, paham yang menempatkan
suami sebagai pemimpin rumah tangga tidak sejalan, bahkan bertentangan dengan ide utama feminisme yaitu kesetaraan laki-laki dan perempuan. Karenanya, para
feminis muslim seperti Asghar Ali Engineer,
Amina Wadud, dan Riffat Hassan telah
berupaya untuk melakukan penafsiran kembali terhadap ayat tersebut, tentu saja setelah membongkar
penafsiran lama yang dinilai bias
gender. Para ulama memaknai kata dalam
Q.S. An-Nisa: 34 tersebut sebagai pemimpin. Al Qur’an mengemukakan dua alasan
kenapa suami yang menjadi pemimpin. Pertama,
karena kelebihan yang diberikan Allah kepada mereka. Kedua, karena kewajiban mereka memberi nafkah
keluarga. Meski demikian, para ulama masih
berselisih pendapat mengenai maksud
“kelebihan”, apakah yang dimaksud kelebihan fisik, intelektual atau agama, atau
semuanya sekaligus.
Menurut Asghar, Q.S. An Nisa: 34 tidak boleh dipahami lepas dari
konteks sosial pada waktu ayat itu diturunkan. Menurutnya, struktur sosial pada
zaman Nabi tidaklah benar-benar mengakui kesetaraan laki-laki dan perempuan.
Orang tidak dapat mengambil pandangan yang semata-mata teologis dalam hal
semacam ini. Orang harus menggunakan pandangan sosio-teologis. Bahkan, Al
Qur’an pun terdiri dari ajaran yang kontekstual dan juga normatif. Tidak akan
ada kitab suci yang bisa efektif, jika mengabaikan konteksnya sama sekali[42].
Asghar membangun pendapatnya itu dengan menggunakan argumen
struktur kalimat “ar rijalu qawwamuna ‘alan nisa”. Dalam bukunya, ia
berpendapat: Al Qur’an hanya mengatakan bahwa laki-laki adalah qawwam
(pemberi nafkah atau pengatur urusan keluarga) dan tidak mengatakan bahwa
mereka harus menjadi qawwam. Dapat dilihat bahwa qawwam merupakan
sebuah pernyataan kontekstual, bukan normatif. Seandainya Al Qur’an mengatakan
bahwa laki-laki harus menjadi qawwam maka hal tersebut akan menjadi
sebuah pernyataan normatif, dan pastilah akan mengikat bagi semua perempuan
pada semua zaman dan dalam semua keadaan. Tetapi Allah tidak menginginkan hal
itu.
Riffat Hasan pun tidak setuju jika qawwamun itu diartikan
sebagai pemimpin, penguasa. Ia lebih cenderung mengartikannya dengan pelindung.
Pelindung juga terkandung di dalamnya sebagai pencari nafkah atau mereka yang
menyediakan sarana pendukung perempuan.
3.
Konsep Warisan 2:1
Mengenai formulasi warisan 2:1, Asghar tidak menilai ketentuan
ini bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Menurut Asghar, selain
mendapatkan bagian dari warisan, nanti setelah anak perempuan itu kawin, dia
akan mendapatkan tambahan harta berupa mas kawin dari suaminya. Padahal
disamping itu, dia tidak mempunyai kewajiban apapun untuk menafkahi dirinya
sendiri dan anak-anaknya, karena semuanya sudah menjadi tanggung jawab
suaminya. Hanya saja Asghar mengkritik penafsiran yang menjadikan ketentuan
warisan ini sebagai alasan untuk menganggap anak perempuan lebih rendah nilainya
dibanding anak laki-laki. Menurut dia, pandangan seperti ini sangat keliru,
karena kesetaraan laki-laki dan perempuan termasuk kategori moral, sementara
warisan masuk kategori ekonomi. Pewarisan sangat banyak tergantung kepada struktur
sosial dan ekonomi dan fungsi jenis kelamin tertentu di dalam masyarakat.
Menurut
Amina, meski pernyataan awal Al Qur’an, dalam Q.S. An Nisa: 11-12 menetapkan
bahwa bagian laki-laki sama dengan bagian dua perempuan, namun kajian yang
lengkap atas ayat ini menunjukkan variasi pembagian yang proporsional antara
laki-laki dan perempuan. Pada kenyataannya, jika hanya ada satu anak perempuan,
maka bagiannya adalah setengah harta pusaka. Selain itu, pertimbangan orangtua,
saudara kandung, kerabat jauh, maupun anak-cucu dibahas dalam berbagai
kombinasi yang berbeda-beda untuk
menunjukkan bahwa bagian perempuan adalah setengah dari bagian laki-laki
bukanlah satu-satunya model pembagian harta, melainkan salah satu dari beberapa
penetapan proporsional yang bisa dilakukan. Dengan demikian dalam pandangan
Amina, pembagian warisan bersifat fleksibel dengan mempertimbangkan naf’un (manfaat)
bagi orang-orang yang ditinggalkan. Ia memberikan contoh, jika dalam suatu
keluarga yang terdiri atas seorang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan,
sedangkan sang ibu yang janda dirawat dan dinafkahi oleh salah seorang anak
perempuannya, lantas mengapa anak laki-laki harus menerima bagian yang lebih
besar? Mungkin bukan ini keputusannya jika diperhatikan naf’un yang nyata
bagi ahli waris tertentu[43].
Dan masih banyak permasalahan lainnya yang dibahas oleh para tokoh menggunakan
pendekatan feminis ini.
F.
Kesimpulan
Hakikat
feminisme adalah kesadaran terhadap adanya diskriminasi, ketidakadilan, dan
subordinasi perempuan, dilanjutkan dengan sebuah upaya untuk merubah keadaan
tersebut menuju suatu sistem masyarakat yang lebih adil. Untuk menjadi seorang feminis
tidak harus berjenis kelamin perempuan.
Aksi
1960-an dan awal 1970-an menjadi saksi meningkatnya aktivisme kaum kiri yang
bersemangat di seluruh dunia Barat. Inilah konteks kemunculan Gerakan
Pembebasan Perempuan, bersamaan dengan gerakan-gerakan lain seperti Gay
Liberation dan Black Power. Secara umum kelahiran feminisme dibagi
menjadi tiga gelombang yang mengangkat isu yang berbeda-beda dan kemudian
melahirkan teori-teori feminis, seperti: feminis liberal, feminis radikal, feminis
marxism, dan masih banyak lagi yang lain.
Sedangkan
feminis di dunia Islam bermula dari para intelektual Mesir yang belajar
ke Eropa, wacana feminisme yang marak di Eropa diadopsi oleh mereka
setelah pulang dari Eropa untuk kemudian dikembangkan dengan apa yang dikenal
dengan istilah “Tahrir al-Mar’ah”. Setelah dalam perkembangannya,
melahirkan beberapa feminis Muslim seperti Amina Wadud dan Sachiko
Murata yang dibahas pada pertemuan selanjutnya yang mana dianatara tokoh-tokoh
feminis itu akan membahas tentang penciptaan manusia, kepemimpinan dalam rumah
tangga, dan juga formulasi pembagian warisan 2:1.
[1] Secara
historis, telah terjadi dominasi laki-laki dalam semua masyarakat di sepanjang
zaman, kecuali dalam masyarakat matriarkhal, yang jumlahnya tidak seberapa.
Perempuan dianggap tidak lebih rendah daripada laki-laki. Dari sinilah muncul
doktrin ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan tidak cocok
memegang kekuasaan ataupun memiliki kemampuan yang dimilki laki-laki dan karena
itu dianggap tidak setara dengan laki-laki. Laki-laki harus mendominasi
perempuan, menjadi pemimpinnya dan menentukan masa depannya, dengan bertindak
baik sebagai ayah, saudara laki-laki, ataupun suami. Dengan dibatasi di rumah
dan di dapur, perempuan dianggap tidak mampu mengambil keputusan di luar
wilayahnya. Lihat Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam,
terjemahan Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, (Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya, 1994), hlm 55
[2]
Lihat Aquarini Priyatna Prabasmoro, Kajian Budaya Feminis Tubuh, Sastra, dan
Budaya Pop. (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), hlm.19
[3]
Ungkapan Moriz ini dikutip kembali oleh Annimarie Schimmel dalam pengantar buku
Sachiko Murata. Lihat Annimarie Schimmel “pengantar” dalam Sachiko Murata, The
Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dan Teologi Islam), alih
bahasa Rahmani Astuti dan M.S Nasrullah, cet.2 (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 15
[4]
Lihat Qasim Amin, Sejarah Penindasan Perempuan: Menggugat “Islam Laki-Laki”
Menggurat “Perempuan Baru”, alih bahasa Syaiful Alam, cet.1 (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2003), hlm. 30
[5]
Lihat Drs.Yunahar Ilyas, Lc, M.A, Feminisme Dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an
Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm.3
[6]
Hak-hak yang setara dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik; keduanya harus
memilki hak yang setara untuk mengadakan kontrak perkawinan atau memutuskannya;
keduanya harus memiliki hak untuk memiliki atau mengatur harta miliknya tanpa
campur tangan yang lain; keduanya bebas memilih profesi atau cara hidup;
keduanya harus setara dalam tanggung jawab sebagaimana dalam hal kebebasan.
Lihat, Asghar Ali Engineer, opcit. hlm 57
[7]
Sebelum feminis digunakan sebagai ungkapan umum dalam Bahasa Inggris, kata-kata
seperti womanisme, the woman movement, atau woman questions telah
digunakan terlebih dahulu. Kata feminist pertama kali ditemukan pada
awal abad ke 19 oleh seorang sosialis berkebangsaan Perancis yaitu Charles
Fourier. Ide yang diusungnya adalah transformasi perempuan oleh masyarakat
berdasarkan saling ketergantungan dan kerjasama bukan pada kompetisi dan
mencari keuntungan. Epmikirannya ini mempengaruhi banyak perempuan dan
mengombinasikan antara emansipasi pribadi dan emansipasi sosial. Lihat
Rowbotham, Sheila, Women in Movement: Feminism and Social Action
(Rountledge, New York, 1992), hlm. 11.
[8]
Lihat Abdul Mustaqim, Tafsir Feminis versus Tafsir Patriarki,
(Yogyakarta: Sabda Persada, 2003), hlm. 16
[9]
Lihat Aida Vitalaya S. Hubis, “Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan, (Yogyakarta:
Persada, 1997), hlm. 19
[10]
Lihat Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (Yogyakarta: Fajar Pustaka
Baru, 2002), hlm. 156
[11]
Menurut Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, feminisme adalah suatu
kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di
tempat kerja dan dalam keluarga, serta tindakan sadar perempuan maupun
laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. Lihat Kamla Bhasin dan Nighat Said
Khan, Persoalan-Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya,
alih Bahasa S. Herlinah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995). hlm.5
[12]
Tokoh feminis yang berjenis kelamin laki-laki misalnya Asghar Ali
Engineer. Lihat Drs.Yunahar Ilyas, Lc, M.A, opcit, hlm.56
[13]
Lihat Umma Farida, Teks-Teks Keislaman dalam Kajian Kaum Feminis: Telaah
Terhadap Pendekatan Studi Islam dari Kalangan Feminis Muslim.Jurnal
PALASTRen: Vol.3 No.2 Desember 2010, hlm 205
[14]
Lihat Conolly, Peter. Aneka Pendekatan Studi Agama. (Yogyakarta: LkiS,
1999) hlm. 64
[15] Lihat
Umma Farida, opcit., hlm 205
[16]
Sejarah feminisme terbagi menjadi dua fase, feminisme lahir bersamaan dengan
era pencerahan Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Worlky Montagu dan Marquis
de Condarcet yang keduanya adalah anggota perkumpulan perempuan ilmiah. Dari
Eropa gerakan ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat setelah Jhon Stuart
Mill menerbitkan buku The Subjection of Women. Kemudian gelombang kedua
lahir setelah terjadinya perang dunia kedua, dimana lahir negara-negara baru
yang terbebas dari penjajahan Eropa dan memberikan hak pemilihan di parlemen. Sebagai
gerakan yang telah lama muncul, dalam Ensiklopedia Islam dikatakan bahwa
gerakan feminisme telah hadir sejab abad ke 14. Meskipun secara historis
feminisme merupakan gerakan yang sudah tua, namun baru pada tahun 1960-an
dianggap sebagai tahun lahirnya gerakan feminisme. Karena di tahun-tahun inilah
gerakan feminsime dianggap menguat dengan ditandainya kemunculan gerakan
feminisme liberal di Amerika. Pada saat itu di Amerika muncul gerakan yang
meletakkan feminisme sebagai bagian dari hak-hak sipil dan kebebasan seksual.
Lihat Nina Armando dkk, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ictiar Baru Van
Hoven, 2005), hlm 159
[17]
Lihat Stevi Jackson dan Jackie Jones, Pengantar Teori-Teori Feminis
Kontemporer, (Yogyakarta: Jalasutra, 1998), hlm. 5
[18]
Lihat Cudd, Ann E. dan Robin O. Andreasen (Ed). Feminist Theory, A
Philosophical Antology, Blackwell Publishing Ltd. Cornwall, 2005. hlm.7
[19]
Feminsime liberal memandang diskriminasi wanita yang diperlakukan tidak adil.
Wanita seharusnya memiliki kesempatan yang sama dengan pria untuk sukses di
dalam masyarakat. Menurut feminisme liberal, keadilan gender dapat dimulai dari
diri kita sendiri. Pertama, peraturan untuk permainannya harus adil. Kedua,
pastikan tidak ada puhak yang ingin memanfaatkan sekelompok masyarakat lain dan
sistem uang dipakainya haruslah sistematis serta tidak ada yang dirugikan.
Lihat http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/543/jbptunikompp-gdl-eighwikaku-27140-6-unikom_e-i.pdf
Akses 5 Juni 2017 pkl 11:25
[20]
Lihat Umma Farida, opcit., hlm 208
[21]Feminisme
radikal menganggap sistem patrialinisme terbentuk oleh kekuasaan, dominasi,
hirarki dan kompetisi. Namun hal tersebut tidak bisa direformasi dan bahkan
pemikirannya harus dirubah. Feminsime radikal fokus pada jenis kelamin, gender,
dan reproduksi sebagai tepat untuk mengembangkan pemikiran feminisme mereka.
Lihat http://
://elib.unikom.ac.id/files/disk1/543/jbptunikompp-gdl-eighwikaku-27140-6-unikom_e-i.pdf
Akses 5 Juni 2017 pkl 11:25
[22] Ibid.
hlm 209
[23] Feminis
Marxist dan sosialis menyatakan kalau mustahil bagi siapapun terutama wanita
untuk mencapai kebebasan yang sesungguhnya di tengah masyarakat yang menganut
sistem berdasarkan kelas, diimana kekayaan diproduksi oleh orang yang tak punya
kekuatan yang dikendalikan oleh sedikit orang yang mempunyai kekuatan. Lihat ://elib.unikom.ac.id/files/disk1/543/jbptunikompp-gdl-eighwikaku-27140-6-unikom_e-i.pdf
Akses 5 Juni 2017 pkl 11:25
[24] Ibid.
hlm 209-210
[25]
Lihat Cudd, Ann E. dan Robin O. Andreasen (Ed). opcit., 2005. hlm.8
[26]
Feminisme psikoanalitis fokus kepada karya-karya Sigmund Freud untuk lebih
mengerti peran jenis kelamin di dalam kasus penindasan terhadap wanita. Lihat ://elib.unikom.ac.id/files/disk1/543/jbptunikompp-gdl-eighwikaku-27140-6-unikom_e-i.pdf
Akses 5 Juni 2017 pkl 11:25
[27] Lihat
Stevi Jackson dan Jackie Jones, opcit, hlm. 277
[28]
Lihat kolomsosiologi.blogspot.co.id/2011/03/feminisme-eksistensial.html?m=1 akses
tgl 10 April 2017 17:19
[29]
Lihat Dinar Dewi Kania, Isu Gender: Sejarah dan Perkembangannya. hlm 5
[30]
Feminis postmodern memiliki pemikiran untuk menghapuskan perbedaan antara
maskulin dan feminis, jenis kelamin, wanita dan pria. Mereka mencoba
menghancurkan konsep kaum pria yang mencegah wanita untuk memposisikan dirinya
dengan pemikirannya sendiri dan tidak mengikuti pemikiran pria. Lihat ://elib.unikom.ac.id/files/disk1/543/jbptunikompp-gdl-eighwikaku-27140-6-unikom_e-i.pdf
Akses 5 Juni 2017 pkl 11:25
[31]
Lihat Conolly, Peter. Aneka Pendekatan Studi Agama. (Yogyakarta: LkiS,
1999) hlm. 63
[32]
Gerakan “Tahrir al-Mar’ah” ini cepat berkembang manakala masyarakat
semakin menyadari ketertindasan, terutama yang dialami oleh perempuan, yang
diakibatkan oleh kolonialisme dan modernisme. Lihat Ariana Suryorini, Menelaah
Feminisme dalam Islam, Jurnal SAWWA, Volume 7 Nomor 2, April 2012 hlm. 22
[33]
Pada tahun 1970-an, kampanye tentang hak-hak perempuan semakin giat
dikumandangkan. Pada saat itu sudah banyak kaum perempuan yang memeproleh
pendidikan di perguruan tinggi sampai jenjang pendidikan tertinggi. Mereka
memilki hak suara dan ikut menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan di
hampir semmua negara yang mempunyai prosedur pemilihan umum. Kampanye gender
sampai pula ke dunia Islam Negara Mesir sebagai transformasi sains dan
teknologi Eropa merupakan pintu gerbang masuknya kampanye gender dan feminisme
ke dunia Islam pada awal abad ke-20. Diantara perubahan yang tampak yaitu kaum
perempuan Mesir tidak lagi hanya tinggal di rumah. Mereka mulai berperan aktif
dalam organisasi, dunia pendidikan bahkan dunia politik. Dapat dipastikan bahwa
pandangan perempuan yang sudah mulai berubah dan sadar akan hak-hak mereka ini,
mengalami benturan dengan teks-teks keislaman. Tidak semua penafsiran dalam
Islam mengusung gagasan-gagasan kebebasan gender. Dalam beberapa karya tafsir
dan fiqih yang dijadikan pegangan untuk mengatur kehidupan umat Islam dijumpai
bentuk-bentuk diskriminasi terhadap perempuan, yang selanjutnya ditanggapi
dengan lahirnya gerakan feminsime. Lihat Umma Farida, Teks-Teks Keislaman
dalam Kajian Kaum Feminis: Telaah Terhadap Pendekatan Studi Islam dari Kalangan
Feminis Muslim.Jurnal PALASTRen: Vol.3 No.2 Desember 2010, hlm 207
[34]
Lihat Ahmad Baidowi, “Gerakan Feminisme dalam Islam”, Jurnal Penelitian, Vol.X No..2 Mei-
Agustus 2001, hlm. 211-213
[35]
Lihat Ariana Suryorini, opcit. hlm. 25-26
[36]
Bukunya yang berjudul Qur’an and Women diterbikan di Kuala Lumpur, Malaysia.
Dalam bukunya tersebut, Amina mencoba menafsirkan kembali beberapa ayat-ayat
tentang perempuan dengan metodologi model hermeneutik. Lihat Drs.Yunahar Ilyas,
Lc, M.A, opcit., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm 59
[37] Ibid
hlm 53-54
[38]
Lihat Abdul Mustaqim, Tafsir Feminis versus Tafsir Patriarki,
(Yogyakarta: Sabda Persada, 2003), hlm 62-74
[39]
Lihat Zakiyuddin Baidhawy, Wacana Teologi Feminis. (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1997, hlm.7-14
[40]
Lihat Umma Farida, opcit., hlm 218
[41]
Lihat Ibid , hlm 219-226
[42]
Lihat Asghar Ali Engineer, opcit. hlm 61
[43]
Lihat Amina Wadud. Qur’an Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci
dengan Semangat Keadilan. (Jakarta:Serambi, 2003) hlm 150-151
No comments:
Post a Comment