PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI BERBASIS
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Oleh:
Yovi Nur Rohman (16771009)
Magister Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang
A.
DASAR PEMIKIRAN
Indonesia adalah
Negara yang teridiri dari bermacam-macam budaya, suku, ras, agama dan bahasa.
Hal inilah yang melandasi suatu semboyan yang berbunyi Bhineka Tunggal Ika (Berbeda-beda tetapi tetap dalam satu tujuan).
Kemajemukan yang berada dalam masyarakat Indonesia menuntuk simtem pendidikan
yang mampu mengcovernya sehingga tidak terjadi diskriminasi antar golongan,
suku, ras ataupun budaya.
Dewasa ini, bangsa
Indonesia memang sedang menghadapi krisis multidimensial. Dari hasil kajian berbagai
disiplin dan pendekatan, tampaknya ada kesamaan pandangan bahwa segala macam
krisis itu berpangkal dari krisis ahlak atau moral. Krisis ini secara langsung
atau tidak, berhubungan dengan persoalan pendidikan. Kontribusi pendidikan
dalam kontek ini adalah pada pengembangan mentalitas manusia yang merupakan
produknya. Ironisnya, krisis tersebut menurut sementara pihak-katanya
disebabkan karena kegagalan pendidikan agama, termasuk didalamnya pendidikan
agama Islam.[1]
Bagi Masyaakat
Indonesia yang telah melewati reformasi, konsep masyarakat multikultural bukan
hanya sebuah wacana, atau sesuatu yang dibayangkan. Tetapi, konsep ini adalah
sebuah ideologi yang harus diperjuangkan, karena dibutuhkan sebagai landasan
bagi tegaknya demokrasi, HAM dan kesejahteraan masyarakat. Karena itu, konsep
multikultural ini tidak henti-hentinya selalu dikomunikasikan diantara ahli
sehingga ditemukan kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan
ideologi ini.[2]
Dalam pembahasan makalah ini, akan dijabarkan tentang perkembangan kurikulum
berbasis pendidikan multikultural yang diharapkan memiliki peran dalam
perkembangan pendidikan Islam di Indonesia dalam menghadapi tantangan jaman dan
kemajemukan yang semakin hari semakin mengkawatirkan.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Multikultural
Kata “multicultural” menurut
Kamus Lengkap Bahasa Indonesia berasal dari dua akar kata yaitu “multi” berarti
lebih dari satu, banyak, berlipat ganda[3] , dan “kultur” berarti
kebudayaan, cara pembudidayaan, cara pemeliharaan[4] . Dalam M. Ainul
Yaqin,[5] ada banyak ilmuwan
dunia yang memberikan definisi kultur. Mereka antara lain: Elizabet B. Taylor
(1832-1917) dan L.H. Morgan yang mengartikan kultur sebagai sebuah budaya yang
universal bagi manusia dalam berbagai macam tingkatan yang dianut oleh seluruh
anggota masyarakat. Emile Durkheim (1858-1917) dan Marcel Maus
(1872-1950) menjelaskan bahwa kultur adalah sekelompok masyarakat yang
menganut sekumpulan symbol-simbol yang mengikat di dalam sebuah masyarakat yang
diterapkan. Franz Boas (1858-1942) dan A.L. Kroeber (1876-1960) mendifinisikan
bahwa kultur adalah hasil hasil dari sebuah sejarah-sejarah khusus untuk umat
manusia yang melewatinya secara bersama-sama di dalam kelompoknya. A.R.
Radcliffe Brown (1881-1955) dan Bronislaw Malinowski (1884-1942) menggambarkan
kultur sebagai sebuah praktik social yang memberi support terhadap
struktur social untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan individunya dan
lain-lainnya.
Secara
sederhana, multikultural berarti “keberagaman budaya”.[6] Sebenarnya, ada tiga
istilah yang kerap digunakan secara bergantian untuk menggambarkan masyarakat
yang terdiri keberagaman tersebut[7] –baik keberagaman agama,
ras, bahasa, dan budaya yang berbeda- yaitu pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan multikultural (multicultural). Ketiga ekspresi itu
sesungguhnya tidak merepresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengacu
kepada adanya ’ketidaktunggalan’. Konsep pluralitas mengandaikan adanya
’hal-hal yang lebih dari satu’ (many); keragaman menunjukkan bahwa keberadaan
yang ’lebih dari satu’ itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tak dapat
disamakan. Dibandingkan dua konsep terdahulu, multikultural sebenarnya relatif
baru. Secara konseptual terdapat perbedaan signifikan antara pluralitas,
keragaman, dan multikultural. Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan
menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan
perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama. Apabila pluralitas
sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu),
multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu
mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikultural menjadi semacam respons
kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas
yang berbeda saja tidak cukup; sebab yang terpenting adalah bahwa
komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara. Oleh karena itu,
multikulturalisme sebagai sebuah gerakan menuntut pengakuan (politics of recognition)[8] terhadap semua perbedaan
sebagai entitas dalam masyarakat yang harus diterima, dihargai, dilindungi
serta dijamin eksisitensinya. Diversitas dalam masyarakat modern bisa berupa
banyak hal, termasuk perbedaan yang secara alamiah diterima oleh individu
maupun kelompok dan yang dikonstruksikan secara bersama dan menjadi semacam
common sense. Perbedaan tersebut menurut Bikhu Parekh bisa dikategorikan dalam
tiga hal - salah satu atau lebih dari tiga hal-, yaitu pertama perbedaan
subkultur (subculture diversity),
yaitu individu atau sekelompok masyarakat yang hidup dengan cara pandang dan
kebiasaan yang berbeda dengan komunitas besar dengan sistem nilai atau budaya
pada umumnya yang berlaku. Kedua, perbedaan dalam perpektif (perspectival diversity), yaitu individu
atau kelompok dengan perpektif kritis terhadap mainstream nilai atau budaya
mapan yang dianut oleh mayoritas masyarakat di sekitarnya. Ketiga, perbedaan
komunalitas (communal diversity),
yakni individu atau kelompok yang hidup dengan gaya hidup yang genuine sesuai
dengan identitas komunal mereka (indigeneous
people way of life).[9] Sebagai sebuah gerakan,
menurut Bhikhu Parekh, baru sekitar 1970-an multikulturalisme muncul pertama
kali di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan
lainnya. Setelah itu, diskursus multikulturalisme berkembang dengan sangat
cepat. Setelah tiga dekade sejak digulirkan, multikulturalisme sudah mengalami
dua gelombang penting yaitu, pertama multikulturalisme dalam konteks perjuangan
pengakuan budaya yang berbeda. Prinsip kebutuhan terhadap pengakuan (needs of recognition) adalah ciri utama
dari gelombang pertama ini. Gelombang kedua, adalah multikulturalisme yang
melegitimasi keragaman budaya, yang mengalami beberapa tahapan, diantaranya:[10] kebutuhan atas pengakuan,
melibatkan berbagai disiplin akademik lain, pembebasan melawan imperialisme dan
kolonialisme, gerakan pembebasan kelompok identitas dan masyarakat
asli/masyarakat adat (indigeneous people), post-kolonialisme, globalisasi,
post-nasionalisme, post-modenisme dan post-strukturalisme yang mendekonstruksi
stuktur kemapanan dalam masyarakat.[11]
2. Pengetian Pendidikan Multikultural
Secara etimologi istilah
pendidikan multikultural terdiri dari dua term, yaitu pendidikan dan
multikultural. Pendidikan berarti proses pengembangan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan melalui pengajaran, pelatihan,
proses dan cara mendidik.[12] Dan
multikultural diartikan sebagai keragaman kebudayaan, aneka kesopanan[13].
Sedangkan secara terminologi,
pendidikan multikultural berarti proses pengembangan seluruh potensi manusia
yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekwensi keragaman
budaya, etnis, suku dan aliran (agama)[14].
Pengertian seperti ini mempunyai implikasi yang sangat luas dalam pendidikan,
karena pendidikan dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang
hayat. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan
penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia.
Dari pengertian multikultural di atas, maka para ahli
pun beragam pula dalam mendefinisikan tentang “Pendidikan
Multikultural”. Keberagaman difinisi itu diantaranya, Choirul Mahfud,
mengutip pendapat para pakar, yaitu: Anderson dan Chusher
(1994) menyatakan bahwa pendidikan multicultural dapat diartikan
sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. James Bank (1993)
mendifinisikan pendidikan multicultural sebagai pendidikan untuk people
for color. Artinya, pendidikan multicultural ingin mengeksplorasi perbedaan
sebagai keniscayaan (anugerah tuhan/sunatullah). Kemudian bagaimana kita
mampu mensikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan semangat egaliter.
Sejalan dengan pemikiran di atas, Muhaemin El-Ma’hady berpendapat bahwa secara
sederhana pendidikan multicultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan
tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan cultural
lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan (global). Hilda
Hernandez mengartikan pendidikan multicultural sebagai perspektif yang mengakui
realitas politik, social, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu
dalam pertemuanmanusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan
merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas, dan gender, etnisitas,
agama, status social, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses
pendidikan.[15]
Pendidikan pluralis multikultural adalah pendidikan
yang memberikan penekanan terhadap proses penanaman cara hidup yang saling
menghormati, tulus dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup
ditengah-tengah masyarakat dengan tingkat pluralitas yang tinggi. dengan
pendidikan pluralis multikultural diharapkan akan lahir kesadaran dan pemahaman
secara luas yang diwujudkan dalam sikap yang toleran, bukan sikap yang kaku,
eksklusif, dan menafikan eksistensi kelompok lain maupun mereka yang berbeda,
apapun bentuk perbedaannya. Dalam kontek Indonesia yang sarat dengan
kemajemukan, pendidikan pluralis multikultural memiliki peranan yang sangat
strategis untuk dapat mengelola kemajemuan secara kreatif.[16]
Dengan demikian, kurikulum pendidikan berbasis
multicultural adalah sebuah kurikulum yang mengacu pada keragaman budaya, yang
mana kurikulum tersebut senantiasa mengeksplorasi perbedaan sebagai
keniscayaan (anugerah tuhan/sunatullah).
3.
Multikultural dalam Islam
Islam adalah
agama universal yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, persamaan hak
dan mengakui adanya keragaman latar belakang budaya dan kemajemukan. Oleh
karena itu, terdapat banyak ayat Al-Quran yang membicarakan hal tersebut.
Multikultural menurut Islam adalah sebuah aturan Tuhan (sunnatullah) yang tidak
akan berubah, juga tidak mungkin dilawan, diingkari atau ditinggalkan. Setiap
orang akan menghadapi kemajemukan di manapun dan dalam hal apapun. Ungkapan ini
menggambarkan bahwa Islam sangat menghargai multikultural karena Islam adalah
agama yang dengan tegas mengakui perbedaan setiap individu untuk hidup bersama
dan saling menghormati satu dengan yang lainnya.
Berikut
ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan kehidupan multikultural;[17]
1. Al
Qur’an menyatakan bahwa manusia diciptakan dari asal yang sama. Sebagaimana
dijelaskan di dalam surat al-Hujurat aya 13 yang berbunyi:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ
إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ
لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ
عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣
Artinya :
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh Allah Maha
mengetahui, Mahateliti.[18]
Ayat ini
menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari asal yang sama sebagai
keturunan Adam dan Hawa yang tercipta dari tanah. Seluruh manusia sama di
hadapan Allah, manusia menjadi mulia bukan karena suku, warna kulit ataupun
jenis kelamin melainkan karena ketaqwaannya. Kemudian dijadikan
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Tujuan penciptaan semacam itu bukan untuk
saling menjatuhkan, menghujat, dan bersombong-sombongan melainkan agar
masing-masing saling kenal-mengenal untuk menumbuhkan rasa saling menghormati
dan semangat saling tolong-menolong. Dari paparan ayat ini dapat di pahami
bahwa agama Islam secara normatif telah menguraikan tentang kesetaraan dalam
bermasyarakat yang tidak mendiskriminasikan kelompok lain.
2. Al-Qur’an
menyatakan bahwa dulu manusia adalah umat yang satu. Saat timbul perselisihan,
Allah mengutus para Nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan.
Dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang berisi petunjuk, untuk
memberikan keputusan yang benar dan lurus diantara manusia tentang perkara yang
mereka perselisihkan. Sebagaimana dijelaskan di dalam Surat al-Baqarah ayat 213
yang berbunyi:
كَانَ ٱلنَّاسُ أُمَّةٗ
وَٰحِدَةٗ فَبَعَثَ ٱللَّهُ ٱلنَّبِيِّۧنَ مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ وَأَنزَلَ
مَعَهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ لِيَحۡكُمَ بَيۡنَ ٱلنَّاسِ فِيمَا ٱخۡتَلَفُواْ
فِيهِۚ وَمَا ٱخۡتَلَفَ فِيهِ إِلَّا ٱلَّذِينَ أُوتُوهُ مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَتۡهُمُ
ٱلۡبَيِّنَٰتُ بَغۡيَۢا بَيۡنَهُمۡۖ فَهَدَى ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لِمَا ٱخۡتَلَفُواْ
فِيهِ مِنَ ٱلۡحَقِّ بِإِذۡنِهِۦۗ وَٱللَّهُ يَهۡدِي مَن يَشَآءُ إِلَىٰ صِرَٰطٖ
مُّسۡتَقِيمٍ ٢١٣
Manusia
itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus
Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka
kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara
yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan
orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada
mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri.
Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang
hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu
memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.[19]
Dari ayat ini
dapat dipahami bahwa sumber perselisihan, permusuhan dan perpecahan di kalangan
umat beragama adalah bukan karena ajaran agama yang dianutnya melainkan
karena rasa dengki yang membuat mereka mengabaikan ajaran agamanya
masing-masing. Seandainya mereka menghilangkan rasa dengkinya dan murni
mengamalkan ajaran agamanya, niscaya tidak terjadi perslisihan semacam itu.
Karena, tiap-tiap agama mengajarkan pemeluknya untuk menjadi manusia-manusia
yang baik dan menghargai orang lain.
3. Al-Qur’an
menekankan akan pentingnya saling percaya, pengertian, dan menghargai orang
lain, menjauhi buruk sangka dan mencari kesalahan orang lain. Sebagaimana
dijelaskan dalam surat al-Hujurat ayat 12 yang berbunyi :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٞۖ
وَ لَا تَجَسَّسُواْ وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن
يَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتٗا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ
تَوَّابٞ رَّحِيمٞ ١٢
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan),
karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari
keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang
diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka
tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.[20]
4. Ketika
menghadapi permasalahan, Al-Qur’an mengajarkan untuk selalu
mengedepankan klarifikasi, dialog, diskusi, dan musyawarah. Tidak boleh
menjatuhkan vonis tanpa mengetahui dengan jelas permasalahannya. Sebagaimana
dijelaskan dalam surat al-Hujurat ayat 6 yang berbunyi:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ
قَوۡمَۢا بِجَهَٰلَةٖ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَٰدِمِينَ ٦
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu
berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu.[21]
5. Al-Qur’an
mengajarkan untuk tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, Sebagaimana
dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 256 yang
berbunyi :
لَآ إِكۡرَاهَ فِي ٱلدِّينِۖ
قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشۡدُ مِنَ ٱلۡغَيِّۚ فَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤۡمِنۢ
بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَاۗ وَٱللَّهُ
سَمِيعٌ عَلِيمٌ ٢٥٦
Tidak ada
paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada
Thaghut[] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada
buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi
Maha mengetahui.[22]
6. Al-qur’an
menekankan untuk menghindari konflik dan melaksanakan rekonsiliasi atas
berbagai persoalan yang terjadi, yakni upaya perdamaian melalui sarana
pengampunan atau memaafkan. Pemberian ampun atau maaf dalam rekonsiliasi adalah
tindakan tepat dalam situasi konflik komunal. Dalam ajaran Islam, seluruh umat
manusia harus mengedepankan perdamaian, cinta damai dan memberi rasa aman bagi
seluruh makhluk. Juga secara tegas al-Qur’an menganjurkan untuk memberi maaf,
membimbing kearah kesepakatan damai dengan cara musyawarah, duduk satu meja
dengan prinsip kasih sayang. Hal tersebut terdapat dalam Surat asy-Syuura
ayat 40 yang berbunyi :
وَجَزَٰٓؤُاْ سَيِّئَةٖ
سَيِّئَةٞ مِّثۡلُهَاۖ فَمَنۡ عَفَا وَأَصۡلَحَ فَأَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۚ
إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلظَّٰلِمِينَ ٤٠
Artinya:
Dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang siapa
memaafkan dan berbuat baik(2) Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.
Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.[23]
Selain itu, didalam al-Hadits, Rosulullah
juga mengajarkan multikulturalisme. Berikut diantaranya:
1. Hadits
Nabi Muhammad saw menyatakan semua hamba Allah bersaudara. Seperti yang
dijelaskan dalam hadits di bawah ini :
عن أبي
هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : إياكم والظن فإن الظن أكذب
الحديث ولا تحسسوا ولا تجسسوا ولا تحاسدوا ولا تدابروا ولا تباغضوا ، وكونوا عباد
الله إخوانا
Artinya: “Diriwayatkan dari Abi Hurairah RA
dari Nabi Muhammad SAW bersabda: Takutlah kalian terhadap persangkaan buruk,
sesungguhnya prasangka buruk adalah seburuk-buruknya pemberitaan dan janganlah
kalian mencari aib orang lain, mendengki, membenci dan saling bermusuhan. Dan
jadilah hamba Allah yang saling bersaudara.”[24]
2. Hadits
Nabi Muhammad saw menyatakan tidak ada keutamaan dari orang Arab dengan
bukan orang Arab. Semua suku bangsa baik Asia, Eropa, ameriaka, Kulit Putih
atau kulit Hitam semuanya sama dihadapan Allah swt.
قال رسول الله يا أيها الناس ألا إن ربكم
واحد و إن أباكم واحد ألا لا فضل لعربي على أعجمي و لا أعجمي على عربي و لا لأحمر
على أسود ولا أسود على أحمر إلا بالتقوى (رواه أحمد)
Artinya : Wahai manusia sekalian, ketahuilah
bahwa Tuhan kalian satu, bapak kalian juga satu, ketahuilah tidak ada keutamaan
dari orang arab terhadap non arab, dan juga tidak ada keutamaan orang non arab
dari orang arab kecuali ketakwaannya. (HR. Imam Ahmad).
3. Hadits Nabi Muhammad saw
menyatakan bahwa agama yang dicintai Allah adalah agama yang lurus dan toleran.
حَدَّثَنِا عبد الله حدثنى أبى حدثنى
يَزِيدُ قَالَ أنا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ عَنْ
عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ اْلأَدْيَانِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ
الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ.
Telah
menceritakan kepada kami Abdillah, telah menceritakan kepada saya Abi telah
menceritakan kepada saya Yazid berkata; telah mengabarkan kepada kami Muhammad
bin Ishaq dari Dawud bin Al Hushain dari Ikrimah dari Ibnu 'Abbas, ia berkata;
Ditanyakan kepada Rasulullah saw. "Agama manakah yang paling dicintai oleh
Allah?" maka beliau bersabda: "Al-Hanifiyyah As-Samhah (yang lurus
lagi toleran)"[25]
4. Hadits
Nabi Muhammad saw mengajarkan untuk menciptakan perdamaian dan rasa aman
bagi kehidupan seluruh umat manusia tanpa membedakan suku, agama, ras, dan
antar golongan.
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ : مَنْ آذَى ذِمِّيًّا فَأَنَا خَصْمُهُ وَمَنْ كُنْتُ خَصْمَهُ
خَصَمْتُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ(أَخْرَجَهُ الخَطِيبُ)
Artinya :
Dari Ibnu Mas’ud ra, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Siapa
yang menyakiti seorang kafir dzimmi, maka aku kelak yang akan menjadi musuhnya.
Dan siapa yang menjadikanku sebagai musuhnya, maka aku akan menuntutnya pada
hari kiamat.”
5. Hadits
Nabi Muhammad saw mengajarkan untuk menjalin komunikasi meskipun dengan non
muslim.
إذا سلم عليكم أحد من أهل الكتاب فقولوا :
و عليكم (رواه الترمذي و إبن مجه).
Artinya, “Apabila salah seorang ahli
kitab mengucapkan salam kepada kalian, maka jawablah denan ‘Wa’alaikum’.” (HR.
Tirmidzi dan Ibnu Majah)
6. Hadits
Nabi Muhammad saw mengajarkan untuk bersikap adil dengan memberikan hak secara
proporsional.
يقول الله تعالى : يا عبادي! إني حرمت
الظلم على نفسي و جعلته بينكم محرما فلا تظالموا (رواه مسلم)
Artinya
: Allah SWT.
berfirman “Wahai hamba-hambaku, sesungguhnya aku telah mengharamkan
kedhaliman terhadap diriku sendiri, dan aku telah menjadikannya haram pula di
antara kalian, maka janganlah saling mendhalimi.” (HR. Muslim)
Dari
beberapa ayat Al-Quran dan Al-Hadits diatas, dapat disimpulkan bahwa Islam
sangat menekankan multikulturalisme yang tidak bisa diabaikan dan ditinggalkan.
Bahkan, Islam sudah memberikan gambaran dengan detail tentang
multikulturalisme. Ajaran tersebut adalah 1) Manusia diciptakan dari asal yang
sama, 2) Manusia dahulunya adalah umat yang satu, 3) perintah untuk saling
percaya, pengertian, dan menghargai orang lain, menjauhi buruk sangka dan
mencari kesalahan orang lain, 4) menyelesaikan masalah dengan cara dialog atau
musyawarah, 5) tidak memaksakan kehendak, 6) dan, menghindari permusuhan.
4.
Multikultural dalam Kontek
ke Indonesiaan
Pendidikan
di Indonesia secara perundangan telah diatur dengan memberikan ruang keragaman
sebagai bangsa. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 4 UU N0. 20
Tahun 2003 menjelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis,
tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai
kultural, dan kemajemukan bangsa. Dasar perundangan ini selain memberi arahan
pendidikan di Indonesia juga mewajibkan bahwa pendidikan di Indonesia harus
dikembangan berdasarkan nilai-nilai keagamaan, kultural, dan kemajemukan
bangsa.
Wacana pendidikan multikultural di Indonesia yang didasarkan pada UU
Sisdiknas di atas tidak dapat dilepaskan dengan gelombang reformasi pendidikan
dunia. Sebagai bangsa, Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh dunia lebih
luas. Globalisasi menjadikan keterikatan bangsa-bangsa sebagai kesatuan
komunitas dunia.
Di era globalisasi masa kini, bangsa
Indonesia dihadapkan pada
serangkaian tantangan baru yang tidak terlalu berbeda dengan apa yang pernah
dialami sebelumnya. Pluralisme agama, konflik internal, baik terhadap agama
maupun terhadap budaya dan peradaban. Kesemuanya merupakan fenomena yang nyata
di permukaan. Fenomena ini kelihatannya juga berlanjut sampai masa kini.[26] Bahkan, Fenomena tersebut lahir dari ketidakmampuan
para pemeluk agama memahami realitas kekinian. Akhirnya setiap agama tampil
secara ekslusif dan tidak mampu memahami kemajemukan.[27]
Bangsa Indonesia dalam konteks fitrah keragamannnya diikat oleh
perbedaan-perbedaan. Perbedaan itu meliputi agama atau kepercayaannya terhadap
Tuhan Yang Mahaesa; warna kulit atau ras; etnis atau kesukuan, dan kebudayaan
atau adat kebiasaan. Menempatkan dan menyadari perbedaan empat pilar tersebut
dalam praktik pendidikan haruslah dilakukan. Kesadaran tersebut terbangun
manakala seluruh aktivitas pendidikan di Indonesia dimuarakan pada menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Penggalian ajaran agama, ras, suku, dan kebudayaan yang menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan haruslah ditanamkan pada peserta didik. Memanusiakan
manusia sebagai kedudukan yang mulia merupakan ajaran semua agama. Semua agama
sebagai keyakinan warga bangsa Indonesia mengakui bahwa menghargai orang lain
merupakan kewajiban; memudahkan sesama umat manusia merupakan perintah Tuhan;
menolong adalah perbuatan terpuji; umat yang taat adalah umat yang menjaga
perdamaian hidup; dan mencintai sesama adalah ajaran semua agama.
Dengan demikian, pendidikan multikulturalisme di Indonesia haruslah
menggali nilai-nilai agama, etnis, suku, dan budaya peserta didik sebagai
keyakinan mereka yang mengajarkan bahwa perbedaan adalah fitrah Tuhan. Dalam
segala perbedaan, rasa cinta dan kasih sayang sesama manusia merupakan hal yang
harus terus ditumbuhkan. Dengan konsep ini, pendidikan mampu menciptakan toleransi,
tindakan saling menolong, kedamaian, dan meningkatkan kualitas kemanusiaan
dengan pola pembelajaran yang memiliki visi dan tindakan pembiasaan di semua
satuan pendidikan
5.
Prinsip-prinsip Filosofis
PAI berbasis Multikultural
Pendidikan
Agama Islam (PAI) berbasis multikultural penting ditawarkan[28] Antara
lain Karena ada kecenderungan bahwa para penganut agama bersikap intoleran
terhadap penganut agama lainnya, eksklusif, egois, close-minded, dan
berorientasi pada kesalehan individu. Menghadapi kehidupan masyarakat yang
multikultural perlu dimulai dari perubahan paradigma pendidikan dalam PAI. PAI
tidak hanya menggunakan paradigma learning
to think, to do dan to be, tetapi
juga to live together.[29]
Sebelum membahas beberapa prinsip penting pendidikan agama berbasis
multikultural, perlu dikemukakan beberapa asumsi filosofis pendidikan
multikultural itu sendiri. Pertama, tidak lagi terbatas pada pandangan bahwa
pendidikan (education) adalah persekolahan (schooling) atau memandang bahwa
pendidikan multikultural sama dengan program-program sekolah formal. Pendidikan
multikultural harus berpijak pada pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan
sebagai transmisi kebudayaan. Pandangan ini membebaskan pendidik dari anggapan
selama ini bahwa tanggung jawab utama dalam mengembangkan kompetensi peserta
didik semata-mata berada di tangan mereka. Dalam konteks pendidikan
multikultural justru meniscayakan semakin banyak pihak yang bertanggung jawab
terhadap pengembangan komptensi peserta didik, karena program-program sekolah akan
selalu terkait dengan hal-hal di luar sekolah.
Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok
etnik. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasi-kan kebudayaan semata-mata dengan
kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. Dalam konteks
pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para
penyusun program-program pendidikan multikultural untuk menghindari
kecenderungan memandang peserta didik secara stereotip menurut identitas etnik
mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai
kesamaan dan perbedaan dikalangan peserta didik dari berbagai kelompok
etnik.
Ketiga, pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan baru"
biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orangorang yang sudah memiliki
kompetensi, bahkan dapat dilihat dengan jelas bahwa upaya-upaya untuk mendukung
sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan
pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidaritas kelompok
adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi
pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara
logis.
Keempat, kemungkinan bahwa pendidikan (baik di dalam maupun di luar
sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan.
Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan peserta didik dari konsep dwi
budaya atau dikotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini
bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas
kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme
sebagai pengalaman normal manusia yang mengandung makna bahwa pendidikan
multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi
yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri peserta didik.[30] Jika
dikaitkan dengan Pendidikan Agama Islam sebagai sebuah bidang studi, menurut
Zakiuddin Baidhawi[31] ada
tujuh asumsi paradigmatik PAI berbasis multikultural, yaitu: mendidik peserta
didik untuk:
Belajar
Hidup dalam Perbedaan
Nilai-nilai
budaya, tradisi, dan kepercayaan senantiasa mengiringi pemeliharaan dan
pengasuhan seorang anak. Ketika ia mulai masuk sekolah nilai-nilai yang
terbentuk dari dalam pengasuhan dalam keluarga ini terus ia bawa. Maka setiap
anak memiliki latar belakang dan nilai-nlai yang berbeda pula. Ini realitas yang
harus dipertimbangkan dalam PAI berbasis multikultural. Perbedaan nilai-nilai ini
meniscayakan PAI tidak hanya berpijak pada paradigma learning to know,
learning to do, learning to be, tetapi juga learning to live together.
Paradigma yang disebut terakhir ini dalam konteks PAI akan menjadikan PAI
sebagai proses: (a) pengembangan sikap toleran, empati, dan simpati yang
menjadi syarat utama suksesnya Koeksistensi dalam keragaman agama; (b)
klarifikasi nilai-nilai kehidupan bersama menurut perspektif agama-agama; (c)
pendewasaan emosional; (d) kesetaraan dalam partisipasi; (e) kontrak sosial
baru dan aturan main kehidupan bersama antar agama.
Membangun
Saling Percaya
Penguatan
kultural masyarakat memerlukan modal sosial yang dibangun dari rasa saling
percaya. Modal sosial adalah seperangkat nilai atau norma informal yang
dimiliki bersama suatu masyarakat yang mendorong terjadinya kerjasama satu sama
lain. Norma yang dapat menjadi modal sosial adalah norma yang menonjolkan kebaikan-kebaikan.
Norma semacam inilah yang akan membangun rasa saling percaya antara satu
anggota masyarakat dengan anggota yang lain. PAI berbasis multikultural harus
mengusung norma norma kebaikan yang merupakan modal sosial untuk tumbuhnya rasa
saling percaya antar anggota masyarakat. PAI multikultural perlu menanamkan mutual
trust atau saling pengertian antar agama, budaya dan etnik. Oleh karena itu
modal sosial diyakini sebagai salah satu komponen utama dalam menggerakkan kebersamaan,
keharmonisan, mobilitas ide, saling kepercayaan dan saling menguntungkan untuk mencapai kemajuan
bersama.[32]
Memelihara
Saling Pengertian
PAI berbasis
multikultural juga harus mendorong peserta didik dengan berbagai etnik dan
latar belakang untuk dapat memelihara rasa saling pengertian baik dengan teman
sejawat maupun dengan anggota masyarakat lain yang berbeda latar belakang.
Saling pengertian berarti kesadaran bahwa nilai-nilai mereka dan kita dapat berbedaan
mungkin saling melengkapi serta berkontribusi terhadap keharmonisan hubungan.
Selain saling memahami PAI multikultural juga mendorong peserta didik siap
menerima perbedaan di antara berbagai keragaman paham agama dan kultur masyarakat
yang beragama.
Menjunjung
Sikap Saling Menghargai (Mutual Respect)
PAI berbasis
multikultural harus mengarahkan peserta didik agar memiliki sikap saling
menghargai terhadap semua orang, apapun latar belakangnya. Sikap ini muncul
jika seseorang memandang orang lain secara setara. Pada kenyataannya ajaran
agama yang terkandung dalam PAI memang mengajarkan Muslim untuk menghormati dan
menghargai sesama manusia. Inilah ajaran universal yang mestinya ditonjolkan.
PAI multikultural diharapkan mampu menumbuhkembangkan kesadaran pada peserta
didik bahwa kedamaian dan harmoni dalam kehidupan masyarakat hanya akan tumbuh
jika sikap saling menghormati dan menghargai benar-benar diamalkan dalam
kehidupan, bukan sikap saling merendahkan. Sikap saling menghargai akan melahirkan
sikap saling berbagi di antara semua individu maupun kelompok sosial.
Terbuka
dalam Berpikir
Sikap
keterbukaan dalam berpikir pada peserta didik merupakan salah satu tujuan yang
hendak dicapai oleh pendidikan secara umum. Demikian pula dalam PAI berwawasan
multikultural yang mendorong peserta didik membuka diri terhadap kenyataan
hidup yang beragam, khususnya dalam hal pemahaman agama. Peserta didik perlu
disiapkan untuk berhadapan dengan model pemahaman agama yang berbeda dari apa
yang diajarkan selama ini. Dengan sikap terbuka ini peserta didik diharapkan
mau memahami makna eksitensi dirinya, identitasnya di tengah keragaman budaya
dan agama yang ada.
Apresiasi
dan Interdependensi
PAI
multikultural juga perlu menghadirkan sikap apresiatif terhadap keragaman dan
menyadarkan tentang adanya saling ketergantungan atau interdependensi antara
satu manusia dengan yang lain.
Resolusi
Konflik dan Rekonsiliasi Nirkekerasan
Konflik dengan
latar belakang sebab yang beragam (baik karena agama, etnik, ekonomi, sosial
dan budaya) adalah fakta kehidupan yang sulit dibantah keberadaannya. PAI
multikltural memberi kontribusi bagi upaya mengantisipasi munculnya konflik ini
dengan cara menginternaslisasikan kekuatan spiritual yang menjadi sarana
integrasi dan kohesi sosial (social cohesion) dan menawarkan bentuk-bentuk
resolusi konflik. Resolusi kemudian dilanjutkan dengan rekonsiliasi yang
merupakan upaya perdamaian melalui pengampunan atau pemaafan. PAI perlu
mengarahkan peserta didik agar menjadi manusia yang mudah memaafkan kesalahan orang
lain, meskipun tahu bahwa pendekatan hukum juga dapat dilakukan. Akan tetapi
memberi maaf jauh lebih luhur dan mulia.[33]
Dengan memahami
asumsi-asumsi paradigmatik di atas, maka apa yang dimaksud PAI berbasis
multikultural menurut Baidhawi dapat didefinisikan sebagai:
Gerakan
pembaruan dan inovasi pendidikan agama dalam rangka menanamkan kesadaran akan
pentingnya hidup bersama dalam keragaman dan perbedaaan agama-agama, dengan
spirit kesetaraan dan kesederajatan, saling percaya, saling memahami dan
menghargai persamaan, perbedaan dan keunikan agama-agama, terjalin dalam suatu
relasi dan independensi dalam situasi saling mendengar dan menerimaperbedaan
perspektif agama-agama dalam satu dan lain masalah dengan pikiran terbuka,
untuk menemukan jalan terbaik mengatasi konflik antar agama dan menciptakan perdamaian
melalui sarana pengampunan dan tindakan nirkekerasan.[34]
6. Fokus PAI Berbasis Multikultural
Dengan mengacu kepada konsep
kurikulum yang pluralis-multikultural,
maka progam pembelajaran yang dikembangkan harus memiliki kesesuaian dengan
kebutuhan dasar akademik dan sosial anak anak didik. Model pembelajaran pluralis multikultural yang dikembangkan
diarahkan pada beberapa kompetensi dasar, diantaranya: pertama, mengembangkan kompetensi
akademik standart dan dasar (standard and
basic academic skill) tentang nilai persatuan dan kesatuan, demokrasi,
keadilan, kebebasan, persamaan derajat, atau saling menghargai dalam beraneka
jenis keragaman. Kedua mengembangkan kompetensi sosial agar dapat menumbuhkan
pemahaman yang lebih baik ( a better
understanding) tentang latar belakang budaya dan agama sendiri dan juga
budaya agama lain dalam masyarakat. Ketiga, mengembangkan kompetensi akademik
untuk menganalisi dan membuat keputusan yang cerdas (intelligent decisions) tentang isu-isu dan masalah keseharian (real-life problem) melalui sebuah proses
demokratis atau penyelidikan dialogis (dialogical
inquiry). Keempat, membantu mengonseptualisasi dan menganspirasikan
kontruksi masyarakat yang lebih baik, demokratis dan egaliter tanpa ada
diskriminasi, penindasan, dan pelanggaran terhadap nilai-nilai asasi yang
universal.[35]
Kurikulum berbasis multicultural merupakan pendidikan
yang bertujuan menghargai segala keragaman, menciptakan perdamaian, melindungi
hak-hak asasi manusia dan mengembangkan demokrasi. Untuk itu ada beberapa
pembelajaran yang harus di fokuskan guru agama pada peserta didik sebagaimana
yang telah diungkapkan oleh Ihat Hatimah, dkk berikut:[36]
a.
Pembelajaran Perdamaian
Javier Perez mengungkapkan bahwa perdamaian harus
dimulai dari diri kita masing-masing. Melalui pemikiran yang tenang dan
sungguh-sungguh tentang maknanya, maka cara-cara baru dan kreatif dapat
ditemukan untuk mengembangkan pengertian, persahabatan dan kerja sama antara
semua manusia. Suatu kebudayaan perdamaian di perlukan untuk kehidupan bersama
yang bermakna. Di dalam kehidupan yang beragam dalam tata cara pribadi, social
dan budaya tentang keberadaan dan kehidupan, maka pemikiran nilai-nilai manusia
yang penting dapat mengatasi perbedaan-perbedaan untuk menjamin perdamaian dan
solidaritas.
Strategi yang dapat digunakan dalam pembelajaran
perdamaian di dalam kelas adalah “strategi introspeksi” dan “interaksi
yang positif”. Strategi introspektif yaitu cara untuk menumbuhkan
kesadaran bagi peserta didik untuk berani mengoreksi dirinya sendiri tentang
kegiatan/perbuatan yang sudah dilakukan. Melalui introspeksi, peserta didik
diharapkan berani untuk menilai dirinya sendiri sehingga dapat memilih
kegiatan-kegiatan apa saja yang dapat menumbuhkan perdamaian diantara peserta
didik dan kegiatan apa saja yang menimbulkan konflik di antara peserta didik. Interaksi
social yang positif yaitu cara untuk menumbuhkan hubungan yang
harmonis di antara peserta didik, dan antara peserta didik dengan lingkungan
lainnya. Dengan terciptanya interaksi social yang harmonis, diharapkan dapat
menumbuhkan saling menghargai, saling toleran di antara peserta didik,
sekalipun di antara mereka mempunyai keanekaragaman budaya.
b.
Pembelajaran Hak Asasi Manusia
Semua hak manusia adalah universal, tak terbagi,
interdependen dan saling terkait. Pendidikan adalah alat yang paling efektif
untuk pengembangan nilai-nilai yang berhubungan dengan hak-hak asasi manusia.
Pendidikan hak-hak asasi manusia haruslah mengembangkan kemampuan untuk
menilai kebebasan pemikiran, kata hati dan keyakinan,
kemampuan untuk menilai kesamaan, keadilan dan cinta, dan suatu kemauan untuk
mengasuh dan melindungi hak-hak anak, kaum wanita, kaum pekerja, minoritas
etnik, kelompok-kelompok yang tidak beruntung.
Di dalam mengembangkan pengertian dan mewujudkan
nilai-nilai terkait hak-hak asasi manusia adalah membelajarkan peserta didik
tentang apa hak-hak dan kebebasan yang dimiliki bersama sehingga hak-hak itu
dihormati dan kemauan untuk melindungi hak-hak orang lain dipromosikan.
Kegiatan dalam pembelajaran harus difokuskan pada nilai-nilai untuk
melestarikan kehidupan dan memelihara martabat manusia. Setiap peserta didik
harus diberi kesempatan yang memadai untuk menilai perwujudan dari nilai-nilai
inti yang terkait dengan hak-hak asasi manusia di dalam kehidupannya.
c.
Pembelajaran Demokrasi
Pembelajaran untuk demokrasi pada hakekatnya adalah
untuk mengembangkan eksistensi manusia dengan jalan mengilhaminya dalam
pengertian martabat dan persamaan, saling mempercayai, toleransi, penghargaan
pada kepercayaan dan kebudayaan orang lain, penghormatan pada individu, peran
serta aktif dalam semua aspek kehidupan social, kebebasan berekspresi,
kepercayaan dan beribadat. Apabila hal-hal tersebut sudah ada, maka dapat
digunakan untuk mengembangkan pengambilan keputusan yang efektif, demokratis
pada semua tingkatan yang akan mengarah pada kewajaran, keadilan dan
perdamaian.
Untuk menciptakan demokrasi, dapat digunakan berbagai
strategi, yaitu: [1]. Etos demokrasi harus berlaku di tempat pembelajaran, baik
di sekolah maupun di luar sekolah. [2]. Pembelajaran untuk demokrasi
berlangsung secara berlanjut, secara tepat harus diperkenalkan di semua jenjang
dan bentuk pendidikan melalui pendekatan terpadu. [3]. Penafsiran demokrasi
harus sesuai dengan berbagai konteks sosio budaya, ekonomis, dan evolusinya.
7.
Silabus dan Materi PAI
Berbasi Multikultural
a. Arah Silasbus
PAI
sesungguhnya adalah sebuah subyek yang merefleksikan doktrin ajaran agama
Islam. Kurikulumnya selama ini dirancang sesuai sistematika ajaran Islam yang
meliputi Aqidah, Ibadah, dan Akhlak. Dalam konteks PAI berbasis
multikulturalisme harus ada penekanan yang sangat besar pada silabusnya di atas
prinsip transformasi ideologi menjadi ilmu. Jika ajaran agama berhenti pada ideologi,
maka ia akan bersifat tertutup dan subyektif. Persoalan pergeseran dari
pendekatan subyektif ke obyektif itu dapat berupa: 1) menghilangkan
egosentrisme umat, 2) pluralisme sosial, 3) pluralisme budaya, dan 4) pluralisme
agama. Namun diantara keempat hal itu pluralisme agamalah yang paling berat bobotnya.
Pluralisme agama paling mudah dirumuskan, tetapi paling sulit dilaksanakan.[37] Walau
berat namun sebenarnya titik tekan dari perubahan pendekatan ini membangun
kesadaran secara perlahan untuk menghilangkan egosentrisme umat, mencarikan solusi
atas pluralisme sosial dan pluralisme budaya. Menurut Ali Maksum dan Luluk
Runan Ruhendi untuk pluralisme budaya pendidikan berparadigma multikulturalisme
mengarahkan peserta didik untuk bersikap dan berpandangan toleran dan inklusif
Setidaknya, pendidikan
multikulturalisme mempunyai tujuan pendidikan membentuk “manusia budaya” dan
menciptakan “masyarakat manusia berbudaya”.[38]
b. Materi PAI Berbasis Multikulturalisme
Ajaran Islam yang bersifat
universal adalah rahmat bagi seluruh alam. Oleh sebab itu tidak sulit mencari
materi PAI yang relevan dengan prinsip-prinsip multikulturalisme. Mengenai
materi pendidikan agama Islam sendiri, menurut Z. Arifin Nurdin, seperti
dikutip Mustatho’ gagasan multikultural bukanlah sesuatu yang sulit ataupun
baru. Setidaknya ada tiga alasan untuk itu. Pertama, Islam mengajarkan
menghormati dan mengakui keberadaan orang lain. Kedua, konsep
persaudaraan Islam tidak hanya terbatas pada satu sekte atau golongan saja. Ketiga,
dalam pandangan Islam bahwa nilai tertinggi seorang hamba adalah terletak pada
integralitas taqwa dan kedekatannya dengan Tuhan.[39]
Dalam hubungannya
dengan multikulturalisme beberapa materi PAI yang perlu diajarkan dengan penekanan
yang besar adalah sebagai berikut:
a. Ajaran tentang
Kasih Sayang
Menurut Zuhairi
Misrawi dan Novriantoni sejatinya kasih sayang menjadi ajaran applicable dan
bersifat praksis. Sebagai mekanisme internal, kasih sayang penting di tengah
perbedaan apapun harus dilandasi dengan kasih sayang, sehingga perbedaan tidak
bisa mengakibatkan konflik sosial. Perbedaan dan keragaman umat Islam harus
dibingkai dengan semangat kasih sayang. Kasih sayang harus menjadi mekanisme
eksternal, terutama dalam hubungan umat Islam dengan umat lain. Islam sebagai
agama hadir dengan konteks luas meniscayakan adanya sikap simpati terhadap
agama dan kelompok lain maka diperlukan keterbukaan dan keinginan untuk hidup
bersama secara damai dan aman.
b. Ajaran tentang
Persaudaraan
Konsep
persaudaraan yang ingin ditegakkan Islam adalah jenis persaudaraan yang tidak
diskriminatif. Jenis persaudaraan itu sekuat tenaga harus diupayakan
berlandaskan pada nilai-nilai kebajikan seperti keadilan, persamaan, toleransi,
dan jauh dari suasana keangkuhan. Ajaran Islam tentang persaudaraan tidak
mengenal batas agama. Bahkan dalam sejarahnya, Islam tetap menganjurkan umatnya
untuk menjali hubungan baik, sekalipun dengan orang
yang berlainan
agama dan pandangan hidup agar terjadi situasi yang harmonis dan dinamis. Pada
dasarnya standar persahabatan dan permusuhan dalam Islam bukanlah faktor agama
atau keyakinan semata-mata dalam menyemangati umat Islam untuk bertindak
konfrontatif terhadap umat lain. Yang
menjadi faktor menentukan perseturuan dan permusuhan dalam lintas sejarah lebih
banyak bersifat sosiologis atau akibat kondisi-kondisi sosial politik tertentu.
Artinya dengan konsep persaudaraan non-diskriminatif yang terbuka, elastis,
cair, dan tidak menafikan kelompok lain, umat Islam berprestasi dan menyumbangkan
peradaban kemanusiaan secara gilang-gemilang. Membangun situasi
non-diskriminatif amat penting agar dalam pluralisme tidak terjadi “perasaan
marginal” dalam berbagai kalangan.
c. Ajaran tentang
Perdamaian
Perdamaian
dipahami doktrin langit yang hanya dimiliki Tuhan belaka. Tuhan disebut sebagai
pencipta kedamaian. Memaknai Islam sebagai perdamaian, sebenarnya sejalan
dengan hakikat Islam itu sendiri. Hal yang otentik dalam Islam adalah
perdamaian. Teologi perdamaian adalah khazanah keagamaan yang mesti ditanamkan kepada
setiap individu, sehingga berislam adalah hidup secara damai dan memahami
keragaman. Spirit perdamaian sejatinya menjadi budaya yang menghiasi kehidupan
sehari-hari. Setiap individu, keluarga, masyarakat dalam pelbagai etnis, suku,
ras, dan agama harus bekerjasama mengangkat doktrin perdamaian ke permukaan.
Karena itu, perdamaian harus senantiasa dijaga. Ajaran ini juga menjadi
kerangka pendidikan multikultur untuk menanggulangi munculnya tindakan“anti-perdamaian”.
d.Ajaran tentang Maslahat
Ada lima
pokok-pokok
maslahat ini yang biasa disebut sebagai alkulliyat al-khamsah atau panca
jiwa maslahat, yaitu menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga nalar, menjaga
keturunan dan menjaga harta. Kelima maslahat ini, sebagaimana dikemukakan oleh
Imam Syatibi, dianggap primer bagi manusia. Islam memegang teguh panca-jiwa
maslahat ini. Untuk mengusung gagasan ini Nasr Hamed Abu Zayd mengemukakan tiga
prinsip, yakni; 1) prinsip rasionalisme sebagai lawan dari fanatisme, sebab
fanatisme adalah sumber kejahilan, 2) prinsip liberalisme, atau paham
kebebasan sebagai kebutuhan mendasar bagi negara Muslim, dan 3) prinsip keadilan
yang menjadi puncak dambaan dan impian paling “jauh panggang dari api” di
negara-negara muslim. Sebagai catatan bahwa untuk liberalisme tetap berkiblat
kepada Islam yang memiliki norma dan tata cara Islam dalam konteks ini akhlak
karimah dalam berbagai aspeknya.[40] Perlunya
ajaran ini tak terlepas untuk mempersempit paham radikalisme Islam, dengan
rasionalisme dunia Islam dapat lebih mengembangkan pemikiran dan mampu
memberantas kebodohan sosial-politik-ekonomi, dengan liberalisme iklim elegan
dan elastis memungkinkan umat Islam dapat mengembangkan segenap potensinya sehingga
terjaminnya proses kehidupan masyarakat yang moralis, etis dan agamis secara
lebih makmur dan terjamin. Mengutip Samsul Ma’arif, penulis artikel bernama
Mustatho’ mengatakan pendidikan Islam atau khususnya PAI berbasis multikultural
harus memuat lima hal pokok, yaitu:
1. Pendidikan
agama seperti fiqih, tafsir tidak harus bersifat linier, namun menggunakan pendekatan muqaran.
Ini menjadi sangat penting, karena anak tidak hanya dibekali pengetahuan atau pemahaman
tentang ketentuan hukum dalam fiqih atau makna ayat yang tunggal, namun juga
diberikan pandangan yang berbeda. Tentunya, bukan sekedar mengetahui yang
berbeda, namun juga diberikan pengetahuan tentang mengapa bisa berbeda.
2. Untuk
mengembangkan kecerdasan sosial, peserta didik juga harus diberikan pendidikan
lintas agama. Hal ini dapat dilakukan dengan program dialog antar agama yang
dimasukkan dalam kurikulum lembaga pendidikan Islam. Sebagai contoh, dialog
tentang “puasa” yang bisa menghadirkan para bikhsu atau agamawan dari agama
lain. Program ini menjadi sangat strategis, khususnya untuk memberikan
pemahaman kepada peserta didik bahwa ternyata puasa itu juga menjadi ajaran saudara-saudaranya
yang beragama Budha.
3. Untuk memahami
realitas perbedaan dalam beragama, lembaga lembaga pendidikan Islam bukan hanya
sekedar menyelenggarakan dialog antar agama, namun juga menyelenggarakan
program road show lintas agama. Program road show lintas agama ini
adalah program nyata untuk menanamkan kepedulian dan solidaritas terhadap
komunitas agama lain. Hal ini dengan cara mengirimkan peserta didik-peserta didik
untuk ikut kerja bhakti membersihkan gereja, wihara ataupun tempat suci lainnya
atau disebut dengan dialog aksi.[41] Kesadaran
pluralitas bukan sekedar hanya memahami keberbedaan, namun juga harus
ditunjukkan dengan sikap konkrit bahwa di antara umat sekalipun berbeda
keyakinan, namun saudara dan saling membantu antar sesama.
4. Untuk
menanamkan kesadaran spiritual, pendidikan Islam perlu menyelenggarakan program
seperti Spiritual Work Camp (SWC). Hal ini bisa dilakukan dengan cara
mengirimkan peserta didik untuk ikut dalam sebuah keluarga selama beberapa
hari, termasuk kemungkinan ikut pada keluarga yang berbeda agama. Peserta didik
harus melebur dalam keluarga tersebut. Ia juga harus melakukan aktifitas
sebagaimana aktifitas keseharian dari keluarga tersebut. Jika keluarga tersebut
petani, maka ia harus pula membantu keluarga tersebut bertani dan sebagainya.
Ini adalah suatu program yang sangat strategis untuk meningkatkan kepekaan
serta solidaritas sosial. Pelajaran penting lainnya adalah peserta didik dapat
belajar bagaimana memahami kehidupan yang beragam. Dengan demikian, peserta
didik akan mempunyai kesadaran dan kepekaan untuk menghargai dan menghormati
orang lain.
5. Pada bulan
Ramadhan, adalah bulan yang sangat strategis untuk menumbuhkan kepekaaan sosial
pada peserta didik. Dengan menyelenggarakan “program sahur on the road”,
misalnya. Karena dengan program ini, dapat dirancang sahur bersama antara
peserta didik dengan anak-anak jalanan. Program ini juga memberikan manfaat
langsung kepada peserta didik untuk menumbuhkan sikap kepekaan sosial, terutama
pada orang orang di sekitarnya yang kurang mampu.
8.
Desain Kuikulum PAI Bebasis
Multikultural
Desain kurikulum yang bagaimanakah
yang paling tepat untuk PAI berbasis
multikulturalisme? Kalau Kurikulum 2013 hendak merombak kurikulum yang
berorientasi hanya pada aspek kognisi kepada kurikulum yang berorientasikan
kepada kompetensi yang utuh, maka pada level kebudayaan (culture)
sesungguhnya lembaga pendidikan membutuhkan sebuah rumusan kurikulum yang berorientasi
pada pemahaman kebudayaan. Hal ini menyangkut kondisi nyata Indonesia yang
terdiri dari beragam kultur, bahasa, suku, agama dan sebagainya. Kompetensi ini
diharapkan mampu mengelola konflik yang bersumber dari adanya perbedaan
kebudayaan ini. Kondisi ini, menjadi
realitas yang secara arif harus direspons. Pluralitas dan konflik antar agama
di Indonesia sebagai bagian integral dari sejarah sosial agama-agama dunia,
tentu tidak akan merupakan pengekecualian yang mencolok. Oleh karena itu, sikap
pluralisme harus ditumbuhkembangkan. Hal ini dirasakan semakin mendesak karena
dalam beberapa tahun terakhir konflik antar etnik semakin sering terjadi.
Pertanyaannya adalah bagaimana Indonesia menghadapi realitas ini?
Sebagai
bahan pertimbangan tatkala menyusun kurikulum pendidikan agama berwawasan
multikultural, ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan sebagai dasar
pijakan bagi pendidik agama, yakni (1) mengajarkan kepada peserta didik bahwa manusia
itu beragam, setiap manusia harus terampil hidup bersama dalam kultur yang
beragam, (2) Perlu diajarkan agar peserta didik mampu hidup bersama dalam
perbedaan, maka perlu merujuk pada beberapa surat yakni, surat Ali Imran: 64,
al-Hujurat: 13, dan Yusuf: 67, (3) Perlu dididik agar peserta didik memiliki
sikap mempercayai orang lain, tidak mencurigai, dan tidak berprasangka buruk.
Pendidikan bisa memperkenalkan bebera surat, antara lain al-Hujurat: 15, (4)
Perlu dididik agar peserta didik itu memiliki sikap menghargai orang lain.
Memahami bukan selalu berarti menyetujui; dipihak lain memahami selalu berarti
menghargai. Pendidikan bisa memaparkan beberapa surat, seperti al-Hujurat: 13,
(5) Didiklah peserta didik agar senang memaafkan orang lain baik diminta
ataupun tidak serta mendoakan orang itu agar diberi ampunan oleh Allah. Pendidikan bisa menjelaskan
surat-surat, di antaranya al-A’raf: 199, al-An’am: 54, Ali Imran: 134.
Dengan
demikian, jika para Pendidik PAI memahami kultur yang beragam dari peserta
didiknya dan mengajarkan agama dengan wawasan yang multikultural dengan
menampilkan surat-surat di atas, maka akan dapat menanamkan nilai-nilai
kedamaian pada peserta didik dan akan
dapat meminimilasir potensi perselisihan baik dalam interen agama maupun antar
agama.
9. Rekomendasi Kurikulum Berbasis Multikultural
a.
Kurukulum berbasis
multikultural harus berangkat dari paradigma baru dalam pendidikan Islam yakni learning to think, to do, to be, dan to live together.
b.
Kurikulum berbasis
multikultural harus selalu menekankan pendidik untuk mengajarkan peserta didik
dalam hal; 10 belajar hidup dalam perbedaan, 2) membangun rasa saling percaya,
3) memelihara saling pengertian, 4) menjunjung sikap saling menghargai, 5)
terbuka dalam berfikir, 6) apresiasi dan interdependensi, 7) resolusi konflik
dan rekonsiliasi nirkekerasan.
c.
Model pembelajaran pluralis
multikultural yang dikembangkan diarahkan pada beberapa kompetensi dasar,
diantaranya: pertama, mengembangkan kompetensi akademik standart dan dasar (standard and basic academic skill)
tentang nilai persatuan dan kesatuan, demokrasi, keadilan, kebebasan, persamaan
derajat, atau saling menghargai dalam beraneka jenis keragaman. Kedua
mengembangkan kompetensi sosial agar dapat menumbuhkan pemahaman yang lebih
baik ( a better understanding)
tentang latar belakang budaya dan agama sendiri dan juga budaya agama lain
dalam masyarakat. Ketiga, mengembangkan kompetensi akademik untuk menganalisi
dan membuat keputusan yang cerdas (intelligent
decisions) tentang isu-isu dan masalah keseharian (real-life problem) melalui sebuah proses demokratis atau
penyelidikan dialogis (dialogical inquiry).
Keempat, membantu mengonseptualisasi dan menganspirasikan kontruksi masyarakat
yang lebih baik, demokratis dan egaliter tanpa ada diskriminasi, penindasan,
dan pelanggaran terhadap nilai-nilai asasi yang universal.
d.
PAI berbasis
multikulturalisme harus ada penekanan yang sangat besar pada silabusnya di atas
prinsip transformasi ideologi menjadi ilmu.
e.
Pendidikan agama seperti
fiqih, tafsir tidak harus bersifat linier,
namun menggunakan pendekatan muqaran.
f.
Untuk mengembangkan
kecerdasan sosial, peserta didik juga harus diberikan pendidikan lintas agama.
g.
Selain menyelenggarakan
dialog antar agama, namun juga menyelenggarakan program road show lintas
agama.
h.
Pendidikan Islam perlu
menyelenggarakan program seperti Spiritual Work Camp (SWC).
i.
Merancang progam-progam
yang dapat menumbuhkan kepekaan sosial kepada peserta didik.
j.
Proses
pembelajaran lebih menekankan pada bagaimana mengajarkan tentang agama (teaching
about religion), bukan mengajarkan agama (teaching of religion).
Mengajarkan tentang agama melibatkan pendekatan kesejarahan dan perbandingan,
sedangkan mengajarkan agama pendekatannya indoktrinasi dogmatik. Proses
pembelajaran perlu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk aktif
mencari, menemukan, dan mengevaluasi pandangan keagamaannya sendiri dengan
membandingkannya dengan pandangan keagamaan peserta didik lainnya. Dengan
pendekatan ini diharapkan tumbuh sikap toleransi, tidak menghakimi, dan melepaskan
diri dari sikap fanatik berlebihan.
C. KESIMPULAN
Pendidikan
pluralis multikultural adalah pendidikan yang memberikan penekanan terhadap
proses penanaman cara hidup yang saling menghormati, tulus dan toleran terhadap
keanekaragaman budaya yang hidup ditengah-tengah masyarakat dengan tingkat
pluralitas yang tinggi. Kurikulum
berbasis multicultural merupakan pendidikan yang bertujuan menghargai segala
keragaman, menciptakan perdamaian, melindungi hak-hak asasi manusia dan
mengembangkan demokrasi. Kurikulum berbasis multikultural berangkat dari
paradigma baru dalam pendidikan Islam yakni learning
to think, to do, to be, dan to live together
Dalam konteks PAI berbasis multikulturalisme harus ada
penekanan yang sangat besar pada silabusnya di atas prinsip transformasi
ideologi menjadi ilmu. Jika ajaran agama berhenti pada ideologi, maka ia akan
bersifat tertutup dan subyektif. Persoalan pergeseran dari pendekatan subyektif
ke obyektif itu dapat berupa: 1) menghilangkan egosentrisme umat, 2) pluralisme
sosial, 3) pluralisme budaya, dan 4) pluralisme agama. Dalam hubungannya
dengan multikulturalisme beberapa materi PAI yang perlu diajarkan dengan
penekanan yang besar adalah sebagai berikut: (1) ajaran tentang kasih sayang,
(2) ajaran tentang persaudaraan, (3) ajaran tentang perdamaian, (4) ajaran
tentang maslahat yang lima.
Sementara
itu dalam segi desain kurikulum, tatkala menyusun
kurikulum pendidikan agama berwawasan multikultural, ada beberapa hal penting
yang harus diperhatikan sebagai dasar pijakan bagi pendidik agama, yakni (1)
mengajarkan kepada peserta didik bahwa manusia itu beragam, setiap manusia
harus terampil hidup bersama dalam kultur yang beragam, (2) Perlu diajarkan
agar peserta didik mampu hidup bersama dalam perbedaan, maka perlu merujuk pada
beberapa surat yakni, surat Ali Imran: 64, al-Hujurat: 13, dan Yusuf: 67, (3)
Perlu dididik agar peserta didik memiliki sikap mempercayai orang lain, tidak
mencurigai, dan tidak berprasangka buruk. Pendidikan bisa memperkenalkan bebera
surat, antara lain al-Hujurat: 15, (4) Perlu dididik agar peserta didik itu
memiliki sikap menghargai orang lain. Memahami bukan selalu berarti menyetujui;
dipihak lain memahami selalu berarti menghargai. Pendidikan bisa memaparkan
beberapa surat, seperti al-Hujurat: 13, (5)Didiklah peserta didik agar senang
memaafkan orang lain baik diminta ataupun tidak serta mendoakan orang itu agar
diberi ampunan oleh Allah. Pendidikan bisa menjelaskan
surat-surat, di antaranya al-A’raf: 199, al-An’am: 54, Ali Imran: 134.
D.
DAFTAR RUJUKAN
Ahmad bin Ali bin Hajar
al-Asqalany. 1996. Fath al-Bary. Cet.
I; Madinah al-Munawarah. Jilid. I
Azis, Amir. 1999. Neo Modernisme Islam di Indonesia; Gagasan
Sentral Nurcholis Madjid dan KH. Abdurrahkan Wahid. Jakarta : Rineka Cipta.
Baidhawy, Zakiyuddin. 2008.
”Membangun Harmoni dan Perdamaian Melalui
Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural”. Lokakarya Implementasi Pendidikan
Multikultural dalam Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Australian Indonesia
Partnership dan Kemenag RI.
C. Boker, Gwendolyn. 1994. Planing and Organizing for Multicultural
Instruction (California: Addison-Wesley Publishing Company.
E. Kendall, Frances. 1983. Diversity
in the Classroom a Multicultural Approach to The Education of Young
Children. New York: Teachers College Press. sebagaimana dikuti dari ebook
Kasiyo Harto. Pengembangan Pendidikan
Agama Islam berbaasi Pendidikan Multikultural. Fakultas Tarbiyah dan
Kependidikan Universitas Raden Patah Palembang.
Fuadi, Maarif. Multikulturalisme dalam Pandangan Islam.
sebagaimana dikutip dilaman
(http://maariffuadi.blogspot.co.id/2014/01/multikulturalisme-dalam-pandangan-islam.html)
diakses pada tanggal 24 Mei 2017
Harahap, Syahrin. 1997. Islam Dinamis; Menegaskan Nilai-Nilai Ajaran
Alqur`an dalam Kehidupan Modern di Indonesia. Cet. I; Yogyakarta : Tiara
Wacana Yogya.
Harto, Kasinyo. 2007. “Membangun Pola Pembelajaran Pendidikan Agama
Yang Berwawasan Multikultural”. Conciencia, Vol. 1.
Harto, Kasiyo. Pengembangan Pendidikan Agama Islam berbaasi
Pendidikan Multikultural. Fakultas Tarbiyah dan Kependidikan Universitas
Raden Patah Palembang, Journal At-Tahrir, Vol.14.
Hatimah, dkk. 2007. Pendidikan
Berwawasan Kemasyarakatan. Jakarta: Universitas Terbuka.
Jay, Gregory. “Critical
Contexts For Multiculturalism” dalam http://www.uwm.
edu/~gjay/Multicult/contextsmulticult.htm.
Lash,
Scott dan Mike Featherstone (ed.). 2002. Recognition
And Difference: Politics, Identity, Multiculture . London: Sage Publication.
Madjid,
Nurcholis. 1986. “Meninggalkan Kemutlakan Jalan Menuju Kedamaian, dalam Prisma, No. 9.
Mahfud,
Choirul. 2010. Pendidikan Multikultural.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Maksum,
Ali dan Luluk Yunan. Tanpa tahun. Paradigma Pendidikan Universal di Era
Modern dan Pos Modern. Yogyakarta: IRCiSod.
Masgnud. 2010. Pendidikan
Multikultural: Pemikiran & Upaya Implementasinya. Yogyakarta: Idea
Press.
Muhaimin.
2014. Pengembangan Kurikulum Pendidikan
Agama Islam. Jakarta. PT raja Grafindo Persada
Mustatho’ , diakses melalui gurubuku.blogspot.com
2008/08 sebagaimana dikutip di
ebook Kasiyo Harto. Pengembangan
Pendidikan Agama Islam berbaasi Pendidikan Multikultural. Fakultas Tarbiyah
dan Kependidikan Universitas Raden Patah Palembang
Mukhibat. 2014. Rekonstruksi
Spirit Harmoni Berbasis Masjid. Jakarta:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kemenag RI.
Naim, Ngainum dan Achmad
Sauqi. 2008. Pendidikan Multikultural
Konsep dan Aplikasi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Riwayadi
Susilo dan Suci Nur Anisyah. 2009. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia.
Surabaya: Sinar Terang.
Shihab,
Alwi. 1998. Islam Inklusif; Menuju Sikap Tebuka dalam Beragama. Cet.
IV; Bandung: Mizan.
Taylor,
Charles. 1994. “The Politics of
Recognation” dalam Amy Gutman. Multiculturalism, Examining the Politics of
Recognation. Princenton: Princenton University Press. Sebagaimana dikutip
Mujtahid. Kurikulum berbasis
Multikultural. Dalam http://mujtahid-komunitaspendidikan.blogspot.co.id/2010/02/kurikulum-berbasis-multikultural.html (diakses pada
tanggal 24/04/2017)
Tilaar, H.A.R. 2002. Multikulturalisme; Tantangan-Tantangan
Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta:
Grasindo.
Umar, Bukhari. 2010. Ilmu
Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah
Yaqin
Ainul, M. 2008. Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding
untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media.
[1] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama
Islam, (Jakarta: PT raja Grafindo Persada,2014), hlm. 18
[2] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), Cet. IV, hlm.100
[3] Susilo Riwayadi dan Suci
Nur Anisyah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Sinar
Terang, 2009), hlm. 487
[4] Ibid Susilo Riwayadi dan Suci
nur Anisyah, Kamus Lengkap……. , hal. 413
[5] M. Ainul Yaqin, Pendidikan
Multikultural, Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan,
(Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hal. 27-28. Lihat pula
dalam Ngainun Naim & Achmad Sauqi, Pendidikan
Multikultural Konsep dan Aplikasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hlm.
121-122.
[6] Scott Lash dan Mike
Featherstone (ed.), Recognition And
Difference: Politics, Identity, Multiculture ,( London: Sage Publication,
2002), hlm. 2-6.
[7] Mujtahid, Kurikulum berbasis Multikultural, Dalam http://mujtahid-komunitaspendidikan.blogspot.co.id/2010/02/kurikulum-berbasis-multikultural.html
(diakses pada tanggal 24/04/2017)
[8] Politics of recognition
dikemukan oleh Charles Taylor pada 1992 di depan kuliah terbuka di Princenton
University. Mulanya gagasanya adalah gagasan politik yang kemudian berkembang
di kajian lain, flsafat, sosiologi, budaya dan lainnya. Gagasanya dipengaruhi
oleh padangan Jean-Jacques Rousseau dalam Discourse Inequality dan kesamaan
martabat (equal dignity of human rights) yang dicetuskan Immanuel Kant. Gagasan
Taylor bersumber pada pertama, bahwa sesungguhnya harkat dan martabat manusia adalah
sama. Kedua, pada dasarnya budaya dalam masyarakat adalah berbeda-beda, oleh
karena itu membutuhkan hal yang ketiga, yaitu pengakuan atas bentuk perbedaan
budaya oleh semua element sosial-budaya, termasuk juga negara. Charles Taylor. “The Politics of Recognation” dalam Amy
Gutman. Multiculturalism, Examining the Politics of Recognation
(Princenton: Princenton University Press, 1994), hlm. 18.
[9] Ibid., hlm. 3-4.
[10] H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme; Tantangan-Tantangan
Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Grasindo, 2001), hlm. 83.
[11] Gregory Jay. “Critical Contexts For Multiculturalism”
dalam http://www.uwm. edu/~gjay/Multicult/contextsmulticult.htm.
[12] Bukhari Umar, Ilmu
Pendidikan Islam (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 28
[13] Masgnud, Pendidikan
Multikultural: Pemikiran & Upaya Implementasinya (Yogyakarta: Idea
Press, 2010), hlm. 19
[14] Ibid., hlm. 21
[15] Choirul Mahfud, Pendidikan
Multikultural, Op.cit., hal. 175-176
[16] Ngainum Naim dan Achmad
Sauqi, Pendidikan Multikultural Konsep
dan Aplikasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hlm. 191
[17] Maarif Fuadi, Multikulturalisme dalam Pandangan Islam,
sebagaimana dikutip dilaman (http://maariffuadi.blogspot.co.id/2014/01/multikulturalisme-dalam-pandangan-islam.html)
diakses pada tanggal 24 Mei 2017
[18] QS. Al-Hujurot/ 13
[19] QS. Al-Baqoroh/ 213
[20] QS. Al-Hujurot/ 12
[21] QS. Al-Hujurot/6
[22] QS. Al-Baqoroh/256
[23] QS. As-Syuroo/ 40
[24] Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Kitab Adab, No 5604 dan
5606. Imam Muslim, Sahih Muslim, Kitab al-Bir, wa ash-Shillah wa al-Adab, No 4646.
[25] Ahmad bin Ali bin Hajar
al-Asqalany, Fath al-Bary, (Cet. I;
Madinah al-Munawarah, 1417 H / 1996 M), Jilid. I, hlm. 94
[26] Sejumlah kasus menunjukkan fenomena tantangan
pluralisme dan multikulturalisme. Di Bosnia, umat – umat katolik dan Islam saling
membunuh. Di Irlandia Utara, umat Katolik dan umat Protestan saling bermusuhan.
Di Timur Tengah, ketiga cucu Nabi Ibrahim – Umat Yahudi, Kristen dan Islam –
saling menggunakan bahasa kekerasan. Di Sudan, senjata adalah alat komunikasi
antara umat Islam dan Kristen. DiKAsymir, pengikut agama Hindu dan Umat
Muhammad saling bersitegang. Di Sri langka kaum Budha dan kelompok Hindu
bercakar-cakaran. Semua fenomena tersebut terjadi di depan mata kita. Yang
sangat menyayat hati adalah agama dijadikan elemen utama dalam mesin penghancur
manusia. Kenyataan itu adalah agama dijadikan elemen utama dalam mesin
penghancur permukaan bumi ini. Lihat Alwi Shihab, Islam Inklusif;
Menuju Sikap Tebuka dalam Beragama (Cet. IV; Bandung : Mizan, 1998), hlm. 39-40; Bandingkan dengan Syahrin
Harahap, Islam Dinamis; Menegaskan Nilai-Nilai Ajaran Alqur`an dalam
Kehidupan Modern di Indonesia (Cet. I; Yogyakarta : Tiara
Wacana Yogya, 1997), h. 226. Lihat juga Nurcholis Madjid, “Meninggalkan
Kemutlakan Jalan Menuju Kedamaian, dalam Prisma, No. 9 Tahun
1986, h. 41-42.
[27] Misalnya, apabila Islam diyakini sebagai agama
yang benar berarti Islam adalah agama satu-satunya agama yang benar. Namun
tidak cukup itu saja, kelanjutannya adalah menginginkan orang-orang yang tidak
segama dengannya beruba menjadi segama serta bersikap bahwa penyebaran agama
efektif jika dilaksanakan dengan meneriakkan bahwa agamanya adalah satu-satunya
yang unggul dengan mencercah dan merendahkan agama lain yang diikuti dengan
tindak kekerasan bahkan penghancuran sarana peribadatan agama lain. Lihat Amir
Azis, Neo Modernisme Islam di Indonesia; Gagasan Sentral
Nurcholis Madjid dan KH. Abdurrahkan Wahid (Jakarta : Rineka Cipta,
1999), hlm. 51-52
[28] Kasiyo Harto. Pengembangan Pendidikan Agama Islam berbaasi
Pendidikan Multikultural. Fakultas Tarbiyah dan Kependidikan Universitas
Raden Patah Palembang, Journal At-Tahrir, Vol.14, No, hlm. 415-419
[29] Kasinyo Harto, “Membangun Pola Pembelajaran Pendidikan Agama
Yang Berwawasan Multikultural”, Conciencia, Vol. 1 No. 2 (2007), hlm.
25.
[30] Gwendolyn C. Baker, Planing
and Organizing for Multicultural Instruction (California: Addison-Wesley
Publishing Company, 1994), hlm. 25-26.
[31] Zakiyuddin Baidhawy,
”Membangun Harmoni dan Perdamaian Melalui Pendidikan Agama Berwawasan
Multikultural”, Lokakarya Implementasi Pendidikan Multikultural dalam
Pengembangan Kurikulum (Jakarta: Australian Indonesia Partnership dan
Kemenag RI, 10-13 April 2008), hlm. 75-78.
[32] Mukhibat, Rekonstruksi
Spirit Harmoni Berbasis Masjid (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Kemenag RI, 2014), hlm. 34.
[33] Baidhawy, ”Membangun
Harmoni dan Perdamaian Melalui Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural”,
(Jakarta: Australian Indonesia Partnership dan Kemenag RI, 10-13 April 2008), hlm.
79-85.
[34] Ibid
[35] Ibid., hlm. 204-205
[36] Hatimah, dkk, Pendidikan
Berwawasan Kemasyarakatan, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), hlm.
7.19-7.22
[37] Frances E. Kendall, Diversity
in the Classroom a Multicultural Approach to The Education of Young
Children (New York: Teachers College Press, 1983), 24-26 sebagaimana
dikutip dari ebook: Kasiyo Harto. Pengembangan
Pendidikan Agama Islam berbaasi Pendidikan Multikultural. Fakultas Tarbiyah
dan Kependidikan Universitas Raden Patah Palembang
[38] Ali Maksum dan Luluk
Yunan, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Pos Modern (Yogyakarta:
IRCiSod), hlm. 191.
[39] Mustatho’ , diakses
melalui gurubuku.blogspot.com 2008/08 sebagaimana dikutip di ebook: Kasiyo Harto. Pengembangan Pendidikan
Agama Islam berbaasi Pendidikan Multikultural. Fakultas Tarbiyah dan
Kependidikan Universitas Raden Patah Palembang
[40] Ibid
[41] Mukhibat, Rekonstruksi
Spirit Harmoni Berbasis Masjid, (Jakarta:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kemenag RI. 2014), hlm. 101.
No comments:
Post a Comment