Wednesday, November 15, 2017

WACANA ISLAM LIBERAL DI INDONESIA (Greg Barton, Ph.D)

WACANA ISLAM LIBERAL DI INDONESIA
(Greg Barton, Ph.D)
Kunainah Afroyim 16771029
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Program Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

A.   Dasar Pemikiran
Pandangan greg barton mengenai Islam liberal dan eksistensinya politik Islam di Indonesia berangkat dari hasil penelitianyya terhadap tokoh-tokoh Islam liberal yang ada di Indonesia, diantaranya Nurcholis Madjid dan Abdurahman Wahid. Kedua tokoh tersebut berada pada jalur liberal. Cak Nur menggunakan metode Double Movement dalam kerangka pemikirannya, sedangkan Gus Dur menggunakan sosio kultural[1]. Cak Nur dikenal dengan sekularisasinya, sedangkan Gus Dur dikenal dengan pluralismenya.
Pandangan Greg tentang Islam liberal berbeda dengan pandangan pengamat pada umumnya, kebanyakan pengamat lainnya memandang Islam liberal dari sisi pemikiran an sich. Berbeda dengan Greg, pengamatannya terhadap pemikiran Islam liberal di Indonesia tidak terbatas dari sudut pandang pemikiran saja. Namun, juga membahas tentang implikasi pemikiran Islam liberal terhadap politik Islam di Indonesia. Perbedaan sudut pandang ini terlihat dari penelitiannya terhadap Islam di Asia, khususnya Indonesia dalam mengamati perkembangan politik Islam. Tak heran jika oleh sebagian orang, ia dijuluki sebagai ahli politik Islam, khususnya di Indonesia, salah seorang tersebut adalah Wimar Witoelar. Pada saat itu Dr. Greg menghadiri acara talk show yang diadakan oleh Wimar, dalam acara perspektif Wimar pada tanggal 22 mei 2008.
Dalam kajian kali ini ada beberapa batasan yang di tekankan oleh Greg barton dalam karyanya yang berjudul “Gagasan Islam Liberal di Indonesia”, adapun batasan-batasan dalam kajian ini hanya berfokus pada pemikiran Islam itu sendiri dan bkan pada dampak yang muncul di masyarakat maupun diarena politik. Meskipun nanti dalam bagian pembahasan di halaman selanjutnya mengupas tentang dampak pemikiran Islam tersebut. Akan tetapi kajiannya tetap lebih difokuskan pada topik pemikiran Islam.[2]
1.      Neo-Modernisme
Neo-moderenisme Islam dipolulerkan oleh Fazlur Rahman, intelektual Islam berkebangsaan Pakistan yang simaksudkan untuk menamai sebuah gerakan untelektual yang memiliki sintesis progresif dari rasionalisme Moderenis dengan Ijtihad dan tradisi klasik. Dalam menjelaskan posisi neo-Moderenisme Islam dalam sejarah dan wacana Islam, Rahman mengkalifikasi dan membagi gerakan intelektual Islam ke dalam empat tahap dan posisi, (1) Gerakan Revivalis di akhir abad ke 18 dan awal abad 19 (seperti gerakan Wahaniyah di Arab). (2) Gerakan Moderenis (tokoh-tokohnya antara lain Sayyid Ahmad Khan, Jamal al-Din al-Afgani, dan Muhammad Abduh). (3) Neo-Revivalisme (yang “Modern” tapi agak reaksioner, dimana Maududi dan jama’at islami-nya di Pakistan merupakan contoh terbaik). (4) Neo-Moderenisme dimana Rahman sendiri memasukan dirinya kedalam mazhab terakhir ini.
Istilah neo-Moderenisme kemudian digunakan oleh Greg Barton dalam bukunya “Gagasan Islam Liberal di Indonesia” untuk menamai gerakan intelektual baru Islam Indonesia di era 70-an dan 80-an serta memasukan Cak Nur dan Gus Dur ke dalamnya. Barton melihat gagasan-gagasan intelektual baru selaras dan setingkat dengan pikiran Rahman yang ia sebut neo-Moderenisme. Selain itu Barton melihat perbedaan-perbedaan mendasar dari intelektual baru dengan moderenisme lama, terutama dalam sintesa-sintesa progresif dari dialog antara Islam, tradisi, dan moderenitas. Karena itu istilah nep-Moderenisme, oleh Barton, juga dignakan untuk membedakan intelektual baru dengan Moderenisme lama.
Para Intelektual Muslim Indonesia umunya lebih terbuka dan jujur dalam menghadapi tantangan moderenitas daripada kelompok-kelompok Muslim lainya. Gagasan-gagasan yang di sebar para intelektual Muslim Indonesia lebih banyak ditulis dalam bahasa Indonesia dan sedikit sekali ditulis dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris, sehingga pandangan-andangan mereka kurang dikenal di negara-egara Islam lainya. Meskipun demikian gagasan-gagasan mereka berada di garis depan dalam pemikiran Islam baru. Hal ini terbukti dengan cepatnya mereka merespon tantangan-tantangan moderenitas di permulaan abad ke-20 dengan cara menggunakan pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh dan pengikutnya, secepat ketika mereka memberi respon pada pemikiran Islam baru di akhir abad ini. Dengan demikian, kini para intelektual Muslim Indonesia tidak dapat di katakan sebagai penerima pasif semata terhadap pemikiran-pemikiran baru.
Namun dalam pembahasan kali ini dimana pemakalah membahas tentang “Gagasan Islam Liberal di Indonesia” ini secara teoritik sangat perlu di tekankan bahwa kajian ini berusaha mengambil perspektif internal dari perkembangan – perkembangan pemikiran Islam di Indonesia. Hal ini perlu di perjelas sehingga keseluruhan pendekatan dalam karya Greg barton ini hanya mengkaji, kajian yang berpusat pada perkembngan pemikiran Islam dari pada persoalan-persoalan politik atau sosial. Untuk kedua alasan itu kajian ini memberi perhatian khusus pada tulisan-tulisan empat pemikir yang mewakili generasi awal pemikiran Islam neo-modernisme di Indonesia.[3]
Greg Barton dalam bukunya menuliskan bahwa lahirnya gerakan kaum neo-Moderenis pada ahir 1960-an dan awal 1970-an, atau bisa juga gerakan ni disebut Pembaharuan Pemikiran Islam, ‘akomodasionis’, ‘substansialis,’ ‘Progresif,’ ‘liberal’, atau cukup ‘baru’ saja, telah membuat Islam diperhatikan dan dikaji secara akademis selama dua puluh liam tahun lebih. Tokoh-tokoh pusat Gerakan ini, seperti Nur kholis Majid dan Abdurahman Wahid secara mencolok mengihasi berita-berita media cetak juga kajian-kajian akademik selama lebih satu dasawarsa.
Salah satu tugas penting dari kajian ni adalah menelaah gagasan-gagasan,isu-isu dan konteks sosialnya di dalam pemikiran kaum neo-modernis. Pekerjaan semacam ini dalam banyak hal telah membuat Greg barton di rasa perlu mengatur strategi yang tepat dan membentuk cara berfikir tersendiri. Gagasan dan isu tersebut berserakan dalam tulisan yang berbeda-beda, dari artikel-artikel umum hingga kajian panjang yang mengupas neo-Modernisme. Gagasan dan isu itu pun mencangkup pandangan-pandangan bervariasi ; baik yang di tulis oleh Muslim maupun non-Muslim, orang-orang Indonesia dan non-Indonesia , dengan tingkat keterlibatan berbeda.[4]
2.      Neo-Modernisme Islam
Neo-Modernisme islam merupakan pra syarat untuk terjadinya renaisans islam, (Fazlur Rahman, 1985). Ini dijelaskan oleh muridnya yang merupakan tokoh intelektual muslim terkemuka di Indonesia, ahmad syafi’i maarif (1994, 138) dia menegaskan bahwa yang dimaksud dengan neo-modernisme islam adalah tidak lain dari moderenisme islam dan metodologi yang mantab dan benar untuk memahami Al-Qur’an dan Assunah Nabi dalam prespektif sosio-historis.
Dengan demikian, neo modernisme islam di satu sisi merupakan kritik atas islam modernis terutama berkaitan dengan keengganannya memanfaatkan khasanah bidaya lokal. Di sisi lain, ia merupakan usaha revitalisasi islam modernis. Apabila islam modernism mau dan mampu meramu khasanah klasik dan kearifan lokal, dalam semangat rasionalisme, tentu akan menjadi kekuatan islam yang sesungguhnya. Bertitik tolak dari sudut pandang neo-moderisme islam, budhy munawar rahman (2004 ; 437-490) berusaha membedakan peta bumi intelektualisme islam indonesia yang secara epistimologis diklarifikasikan menjadi tiga bentuk pemikiran “islam peradaban” ala cak nurdan konowijoyo, “Islam Rasional”, ala Harus Nasution dan Djohan Effendi, dan “islam Tranformative” ala Dawam Rahardjo dan Adi sasono.
Di sisi lain, fachry ali dan Bahtiar Effendi memahami neo-moderenisme dalam konteks keindonesiaan. Menurut mereka istilah itu mengacu pada pola pemikiran yang berusaha menyatukan dua kekuatan besar, yaitu modernism ala Muhammadiyah dan tradisionalisme ala Nahdlatul Ulama, sehingga menjadi produk baru yang berlainan dengan dua pola pemikiran sebelumnya. Sebab neo-Modernisme islam bersedia mengakomodasikan ide-ide modernis yang paling maju dan yang paling tradisional sekaligus.
Pergerakan islam saat ini bisa didiskripsikan menjadi dua pola perkembangan/ pemikiran pokok yang pertama islam neo-tradisional dan islam moderns. Islam tradisional melahirkan islam neo=tradisional dan tradisional radikal. Karena ketidak puasan terhadap islam tradisional dan neo-tradisional maka muncullah antitesa dari keduanya yaitu islam post tradisionalisme. Neo-tradisionalisme sama dengan Islam liberal. Sedangkan islam modern melahirkan tiga pemikiran yaitu ne0-modernis, islam transformative dan fundamental salafi. Neo-Modernisme sama dengan islam liberal.[5]
3.      Biografi Tokoh
Nama        : Greg Barton (Profespr Riset dan Ketua Politik Islam Global di Insitut Alfred Deakin untuk Kewargnegaraan dan Globalisasi
Arus            :  Institut Alfred Deakin untuk Kewarganegaraan dan Globalisasi, The Australian Intervention Support Hub (AISH), Hedayah Center
Sebelumnya :Universitas Monash, Pusat Studi keamanan Asia Pasifik (APCSS), Universitas Daekin
Pendidikan     : Universitas Monash
Greg Barton,Ph.D., adalah seorang pengajar senior Studi perbandingan seni, sains, dan Agama (Comperative Studies in Art, Science, and Religion), pada Deakin University, di Geelong, Victoria, Australia. Sekarang dikenal sebagai ahli mengenai Islam di Indonesia, Khususnya pemikiran darikalangan yang diebut “Islam Liberal”. Banyak tulisan karangan, di antaranya :
Neo-Moderenisme : a Vital Synthesis of Traditionalism and Moderenism in Indonesian Islam, Studi Islamika, Vol. 2 No. 3 (1995). Nahdlatul Ulama, tradisional Islam and Moderenity in Indonesia, (Clauton : Monash Asia Institut ,1996) penyunting : Greg Fealy, 319 halaman.zThe Liberal, Progressive Roots of Abdurrahman Wahid’s Thought” dalam Greg Barton dan Greg Fealy (penyunting), Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Moderenity in Indonesia, (Clayton : Monash Asia Institute, 1996), hal. 190-226 ; “Islam, Pancasila and The Middle Path of Tasawwuf : The Thought of AhmadSiddiq”, dalam Greg Barton dan Greg Fealy (penyunting), Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Moderenity in Indonesia, (Clayton : Monash Asia Institute, 1996) hal 110-128 ; (in Press) “Indonesia Nurcholis Madjid and Abdurrahman Wahid as intellectual ulama : the meeting of islamic traditionalism and moderenism in neo moderenist though”, Centre for the Study of Islam and Cristian Muslim Relations, Occasional Series 1997, Birmingham : Sellu Oak Colleges ; (In Press) “The Origins of Islamic Liberalism in Indonesia.
Greg adalah salah satu ilmuwan terkemuka Australia dari Indonesia modern dan terorisme dan melawan ekstremisme kekerasan. Selama lebih dari 25 tahun ia telah melakukan penelitian eksensif mengenai politik dan masyarakat Indonesia, terutama peran islam baik sebagai kekuatan yang konstruktif dan menggangu. Dia telah aktif dalam inisiatif dialog antar iman dn memiliki komitmen yang mendalam untuk membangun pemahaman tentang Islam dan masyarakat Muslim. Sumbu utama dari kepentingan penelitiannya adalah cara di mana pemikiran religius, individu percaya dan komunitas religius merespons moderenitas dan keadaan negara modern. Dia juga memiliki ketertarikan kuat pada hubungan internasional dan politik internasional komparatif. Sejak tahun 2004 ia telah membuat studi perbandingan tentang Islam progresif, dengan referensi khusus kepada Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di Indonesia dan gerakan tradisional Hizmet yang diilhami oleh Fethullah Gulen dan Turki.
Greg juga memiliki kepentingan umum dalam studi keamanan dan keamanan manusia dan kepentingan tertentu dalam melawan ekstremisme kekerasan. Dia terus meneliti cabang-cabang Jemaah Islamiyah dan mengaitkan gerakan-gerakan radikal islam di Asia tenggara. Greg sering di wawancarai oleh media cetak dan elektronik Australia dan Internasional tentang Islam, gerakan Islam dan Islam di seluruh dunia dan di Indonesia dan politik dunia Muslim. Dia adalah tamu ahli reguler di ABC, radio Australia, radio SBS dan SBS TV, Voice of America (Washington), China Radio Internasional (Beijing), Radio dan televisi BBC, Radio Hongkong, Radio New Zealand, cjina Central Television (CCTV), Chanel News Asia (Singapura), dan radio komersial dan TV di Australia, termasuk 3AW, 2GB. 2UE, Chanrl Seven News, Chanel Nine’s Today, dan Proyek Channel Ten. Dia juga menulis potongan opini untuk Melbourne Herald Sun dan Australian Financial Review.
4.    Latar belakang penelitian Greg Barton pada pemikiran Islam di Indonesia
Menurut Greg Barton, yang menjadi daya tarik awal ia melakukan penelitian adalah di Indonesia ada orang-orang yang betul-betul taat pada imannya, tapi juga sangat reatif dan secara jujur berjuang supaya bisa menerapkan ide-ide agama terhadap masyarakat modern. Menurut Greg itu adalah sebuah isu yang sangat menarik, hubungan antara agama dan masyarakat atau Negara Modern. Apa lagi ketika Greg membaca tentang Cak Nur, dan tentang Gus Dur, dan gagasan lainnya, dan itu membuat Greg semakin tertarik. Karena menurut Greg sosok Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid ini adalah sosok pemikir yang pemikirannya sangat orosinil.
Greg mengatakan bahwa yang menarik dari Nurcholis Madjid adalah karena Cak Nur ini bisa menjadi sosok negarawan Nasionalis, tapi sekaligus juga universal humanitarian.[6]menjadi sosok muslim yang taat, yang sholeh, tapi sekaligus seorang humanis. Cak Nur pun mempunyai keimanan yang sangat kuat, tapi saat bersamaan dapat berfikir secara terbuka. Dari pemikirannya itu Greg barton dapat menyimpul bahwa dalam diri Nurcholis Madjid ini ada titik dimana pertemuan antara umat, iman, dan bangsa.
Bagi Greg, Cak Nur merupakan figur yang sangat menarik karena kelihatan pemikirannya sangat jujur. Cak Nur berani untuk berjuang demi mencari kebenaran. Baginya, kebenaran itu tidak merupakan barang yang Cuma diterima, tapi juga harus di perjuangkan. Walaupun tak jarang Cak Nur ini di kritik oleh teman seagamanya dan lain sebagainya.[7] Gus Dur Juga demikian.
Greg Barton dalam tulisannya memahami Abdurrahman Wahid, ia mengungkapkan bahw, Gus Dur adalah salah seorang intelektual Indonesia yang menonjol dan sangat disegani. Tokoh yang sudah lebih sari 15 tahun menjabat ketua Umum Penerus Besar Nahdlatul Ulama (NU), organisasi kaum tradisionalis, ini sering menghiasi halaman-halaman koran dan media. Di luar pemerintah dan figur militer ini sangat sulit dibayangkan. Selama tahun-tahun kepemimpinan itu popularitasnya mengalami pasang dan surut, yang biasanya berkaitan dengan manuver politiknya dan juga yang tidak boleh dilupakan, tingkat pemahaman terhadap manuvernya. Dalam beberapa tahun terakir Gus Dur menjadi semakin kontroversial, ketika dia berusaha melerai pihak-pihak yang terlibat kekerasan, juga etika ia mencoba menyebrangi badai dan gelombang besar pada akhir pemehintahan Soeharto dan era Indonesia pasca Soeharto. Kendati demikian Abdurrahman tetap dan bahkan semakin populer, sebagai figur karismatik dan tokoh yang selalu memberi cinta bahkan pada orang yang mengkritiknya atau para penentangnya.
Ada beberapa faktor yang membedakan Nurcholis Madjid denga Abdurrahman Wahid, yaitu Cak Nur dengan wataknya yang personality, karena cak Nur ini pada dasarnya orang yang pendiam. Beliau memang sangat mampu dan sangat senang berbicara di depan umum, tapi secara pribadi lebih senang bergaul dengan forum di lingkungan terbatas. Tetapi Gus Dur malah sebaliknya, dimana Gus Dur adalahseorang extrovert. Bagii seorang extrovet seperti Gus Dur ini, ia bisa menambah tenagany lewat berkawan, Cak Nur, ia menambah tenaga lewat duduk sendiri, menulis, membaca, berfikir.
Labih dari itu, Gus Dur memang dari kalangan NU, sedangkan Cak Nur memang punya latar belakang budaya NU tapi sudah ada kontak dengan Masyumi lewat ayahnya (Abdul Madjid). Dan ahirnya Cak Nur pindah ke Jakarta dan sudah berakar di ibukota. Sebagai seorang penulis, seorang cendikiawan, ia senang di kota besar dan bergaul dalam lingkungan yang agak terbatas. Tapi sangat berbeda dengan Gus Dur , yaitu Gus Dur lebih senang berkeliling di desa-desa kecil. Ia senang berjumpa dengan begitu banyak orang baik itu orang yang dalam posisi yang tinggi atau orang awam yang sangat rendah posisinya.

Gus Dur sudah biasa bergaul dengan orang NU di berbagai pelosok, yang jelas berbeda dengan orang yang menjadi cendekiawan di ibukota seperti Cak Nur. Jadi, boleh dikatakan bahwa walaupun Cak Nur itu sangat rendah hati dan sangat sederhana, Cak Nur kan memang sudah pas di ibukota di antara  orang-orang kelas menengah ke atas atau mahasiswa. Tetapi kalau Gus Dur kan tidak. Beliau paling senang berkeliling di desa dan pesantren. Dari segi orang kota, orang pesantren kan kadang-kadang disebut agak kolot atau agak kampungan. Gayanya Gus Dur dengan sengaja memang gitu. Tak heran Gus Dur sering disamakan dengan semar. Orang yang kasar tapi pintar. Orang yang kelihatan tolol dan nekat tapi sebenarnya arif dan budiman. Itu Gus Dur, lain halnya dengan Cak Nur.
Ketertarikan Greg Barton untuk membaca karya Cak Nur dan Gus Dur dan berminat meneliti pergolakan sosial-politik maupun perkembangan Islam Indonesia ketika iya masih belajar engineering, lalu pindah ke Monash University tahun 1984 untyk mendalami sosial-politik. Ketika ia sedang belajar di Monash itu ia belajar Bahasa Indonesia, dan ia juga sudah membaca tentang sejarah dan politik Indonesia, bahkan Geg Barton pun sudah belajar sastra melayu. Dari daya tarik Greg Barton ini yang sangat menonjol adalah untuk lebih fokus pada Indonesia, bahwa orang Indonesia itu adalah sangat ramah, terbuka, dan sederhana. Sewaktu Greg studi di Monash, ia lebih mendalami studi tentang Asia Tenggara, dan ia mengatakan bahwa senang meneliti di Asia Tenggara.  Dan yang terpenting ada banyak proses perkembangan yang menarik, ada banyak yang terjadi dan banyak potensi di Indonesia.
Potensi itu berupa ada sebuah kemungkinan perkembangan politik. Sudah jelas ada perubahan yang terus-menerus di Mayarakat sperti pada kebudayaanya, jika kita bicarakan pemikiran Agama ada banyak yang sangat menarik di Indonesia, tandas Greg Barton. Apa lagi Indonesia adlah Negara yang besar.


B.  Pembahasan
Ancaman serius bagi setiap pemikiran keagamaan adalah kemeandekan, kebutuhan, dan ketiaaan semangat inovasi. Kondisi semacam ini akan menyebabkan agama kehilangan relevansinya dengan zaman dan masyarakat yang terus berubah, pemikiran keagamaan dalam bentuk tafsir, teologi, dan lebih-lebih hukum (fiqh), bagaimana pun merupakan hasil interaksi dengan semangat zamannya.
Maka, mandeknya pemikiran keagamaan akan berdampak langsung pada relevansi agama dan akhirnya peminggiran agama dari denyut nasi kehidupan manusia. Itulah sebabnya, di setiap kurun waktu selalu ada orang atau kelompok yang “gelisah” bahwa agama mereka akan kehilangan elan vital untuk menyesuaikan diri dengan atau menjawab tantangan zaman. Mereka berusaha mempelopori perubahan dan melampaui pemikiran status quo.[8]
1.    Asal Muasal Neo-Moderenisme
Lahirnya pemikiran Islam neo-Moderenisme Indonesia dapat ditelusui sejak ahir tahun 1960-an, ketika gagasan-gagasan neo-Moderenisme yang penuh masa depan secara mandiri menyebar ke kota Jakarta dan Yogyakarta. Gagasan itu mampu menyebar secara secara spontan di dua kota yang berjarak ratusan kilo, karena pribadi-pribadi yang terlibat memiliki kesamaan latar belakang dan datang dari lingkungan yang sama.
Greg barton dalam buku nya menyebutkan, di Yogyakarta, orang-orang yang memegang peranan dalam membangun medan kesadaran intelektualisme adalah Djohan Effendi[9] dan Ahmad Wahid, di dukung M. Dawam Raharjo[10].
Djohan effendi dan Ahmad Wahib adalah aktivis HMI[11]. Keduanya menguasai kepustakaan arab dan aspek-aspek pelajaran Islam tradisional. Djohan Efffendi dan Ahmad Wahib sama-sama memiliki gairah intelektual luar biasa tinggi. Di sampin keimana Islam mereka sangat kuat dan dasar-dasar keyakinan sangat teguh, mereka pun berhasrat untuk bersikap jujur secara intelektual dalam mencari kebenaran , dengan keyakinan bahwa sikap dan praktik keimanan rekan-rekan serta para senior mereka sering tidak sejalan dengan semangat kebenaran Islam.
Djohan Effendi dan Ahmad Wahib percaya bahwa mereka dapat memulai pendekatan untuk membongkar wacana Islam secara lebih memuaskan bagi masyarakat Indonesia abad ke-20 melalui perwujudan Ijtihad[12] yang terus menerus, dengan semangat bahwa apa yang dibutuhkan adalah proses pencarian rasional yang kontinyu tanpa harus terkait batasan-batasan tabu maupun kebiasaan dogmatik. Untuk mencapai sasaran tersebut, keduanya bersama M. Dawam Raharjo dan beberapa anggota lainnya memulai dengan menggelar pertemuan untuk debat terbuka secara bebas setiap pekan dalam kelompok yang dimana-mana Lingkaran Diskusi Limited Group. Pertemuan ini diselenggarakan di kompleks perumahan dosen IAIN Yogyakarta, di kediaman dosen Mukti Ali (yang kemudian menjadi Menteri Agama).
Sementara di Jakarta,  Nurcholis Madjid[13], ketua Umum HMI, secara diam-diam menyusun gagasan yang sama. Terlepas dari jabatannya sebagai ketua umum untuk dua periode, ia bukan merupakan tokoh khas HMI. Tidak seperti kebanyakan anggota HMI, juga tidak seperti ketua-ketua umum sebelumnya. Keharuman Nurcholis madjid yang tiba-tiba dan cukup sempurna , bermula ketika ia menyajikanan makalah “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan masalah Integrasi Umat” pada acara Halal Bil Halal Idul Fitri yang diselenggarakan empat organisasi mahasiswa dan pelajar ekstra sekolah pada 3 januari 1970. Sejak itu Nurcholis Madjid dipublikasi secara besar-besaran. Pada mulanya ia dianggap “anak emas” oleh para penjaga Masyumi, tapi akhirnya Nurcholis Madjid menampakan diri sepenuhnya sebagai pembaru intelektual yang teliti sesuai dngan semangat Moderenisme awal. Sayang sekali, bagi Nurcholis madjid hal tersebut berarti “ia merupakan pemuda radikal yang membahayakan”[14] di mata para pemimpin eks-Masyumi. Begitulah, apapun peristiwanya, pemikiran Islam di Indonesia memang telah memasuki era baru.[15]
2.    Tokoh Liberal di Indonesia
Nurcholis Madjid
Nurcholis Madjid dilahirkan di sudut kampung kecil di desa Mojoanyar Jombang, Jawa Timur, pada 17 Maret 1939. Dia adalah seorang pemikir Islam, cendikiawan, dan budayawan Indonesia. Pada masa mudanya sebagai aktifis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), ide dan gagasannya tentang sekularisasi dan pluralisme pernah menimbulkan kontroversi dan mendapat banyak perhatian dari berbagai kalangan masyarakat. Nurcholis pernah menjabat sebagaii Wakil Ketua Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, dan sebagai Rektor Universitas Paramadina, sampai dengan wafatnya pada tahun 2005. Ia di besarkan di lingkungan keluarga Kyai terpandang di Mojoanyar, Mojokerto, Jawa Timur. Ayahnya, KH Abdul Madjid, dikenal sebagai pendukung Masyumi. Setelah melewati pendidikan di berbagai pesantren, termasuk Gontor, Ponorogo, menempuh studi kesarjanaan IAIN Jakarta (1961-1968), tokoh HMI ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat (1978-1984), dengan disertai tentang filsafat dan kalam Ibnu Taimiyah. Mengajar di IAIN Syarif hidayatullah, 1972-1976, Dosen pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1985, peneliti pada LIPI, 1978, Guru besar tamu pada Universitas McGill, Montreal, Canada, 1991-1992. Fellow dalam Eisenhower Fellowship, bersama istri, 1990. Ia banyak menulis makalah-makalah yang diterbitkan dalam berbagai majalah, surat kabar dan buku suntingan, beberapa diantaranya berbahasa Inggris. Buku-bukunya telah terbit ialah Khazanah Intelektual Islam (Jakarta, Bulan Bintang/Obor, 1984) dan Islam, kemoderenan dan Keindonesiaan, suntingan Agus dy Santoso (Bandung, Mizan, 1988).
Sejak 1986, bersama kawan-kawan di ibukota, mendirikan dan memimpin Yayasan Wakaf Paramadina, dengan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada gerakan intelektual Islam di Indonesia. Buku ini adalah salah satu hasil kegiatan itu. Dan sejak 1991 menjabat wakil ketua Dewan pakar ikatan cendikiawan Muslim se Indonesia (ICMI).
Cak Nur dianggap sebagai salah satu tokoh pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia, cak Nur dikenal dengan konsep pluralismenya yang mengkomodasi keberagaman, ke-bhinneka-an keyakinan di Indonesia. Menurut Cak Nur, keyakinan adalah hak primordial setiap manusia dan keyakinan meyakini keberadaan Tuhan adalah keyakinan yang mendasar. Cak Nur mendukung konsep kebebasan dalam beragama, namun bebas dalam konsep cak Nur tersebut dimaksudkan sebagai kebebasan dalam menjalankan agama tertentu yang disertai dengan tanggung jawb penuh atas apa yang dipilih. Cak Nur meyakini bahwa manusia sebagai individu yang paripurna, ketika menghadap Tuhan di kehidupan yang akan datang bertanggung jawab atas yang ia lakukan , dan kebeasan dalam memilih adalah konsep yang logis.[16]
Nurcholis Madjid juga menjadi Ketua Umum PB HMI untukuntuk dua priode berturut-turut dari tahun 1966-1969 hingga 1969-1971. Ia pun menjadi Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT) priode 1967-1969. Lalu masa bakti 1968-1971 ia juga menjadi Wakil Sekertaris Umum dan pendoro Internasional Islamic Federation Of Student Organisation (IFSO), Himpunan Organisasi Mahasiswa Islam se-Dunia.
Kepemimpinan Nurcholis Madjid di tingkat Nasional dalam organisasi kemahasiswaan seperti HMI, merupakan hal amat penting dalam jalur intelektualisme kehidupannya. Di samping kegiatan di HMI, petualangan internasional adalah bentuk kegiatan lainnya yang selama beberapa puluh tahun yang telah memberi sumbangan berharga terhadap perkembangan intelektualnya. Maka jika ada pemeo[17] yang mengatakan ‘petualangan meluaskan wawasan pikiran’ pernyataan tersebut sebenarnya ustru kelirujika di alamatkan kepada Nurcolis Madjid. Beberapa pengamat termasuk Ahmad Wahib, menyatakan bahwa kunjungan Nurcholis Madjid ke Amerika merupakan pengalaman penting.[18] Tetapi kata Nurcholis Madjid pada kunjungannya ke America selama lima pekan ini yang begitu penting, ternyata kurang memiliki nilai lebih jika di bandingkan dengan kunjungannya ke Negara-negara Timut Tengah selama dua bulan. Bagi beliau perjalanan ke Timur Tengah yang telah membuka matanya untuk melihat persoalan-persoalan yang berkaitan dengan diskrus Islam.
Pada kunjungan Nucholis Madjid yang kedua di Arab dalam rangka menunaikan ibadah Haji sebagai hadiah beliau yang telah mensajikan makalahnya, beliau juga berkunjung ke Irak dimana ia pertama kali bertemu dengan Abdurahman Wahid. Ia di pertemukan pertama kali oleh panitia penyambutan yang di ketuai Abdurahman Wahid sendiri di Bandara, pada saat itu Nurcholis Madjid hanya mengtahui bahwa gus Dur ini adalah seorang cucu dari Kyai Hasyim Asy’ Ari yang merupakan Guru dari Ayahnya. Adapun perjumpaan lebih akrab antara cak Nur dan Gus Dur ini adalah pada tahun 1970-an, dan intensi pertemuannya ketika Gus Dur sering kejakarta dan dan tinggal di rumah kluarganya. Karena reputasi ayahnya maka Nurcholis Madjid ini diterima dengan sangat familliar di keluarga Abdurrahman Wahid di Tebuireng.[19]
DJOHAN Effendi
Ia dilahirkan 1 oktober 1939 di kota kecil Kandangan, Kalimantan Selatan.[20] Ibu dan Ayahnya orang Banjar asli dan bekerja di Kandangan sebagai pedagang kecil. Sjohan effendi dibesarkan dalam keluarga santri sehingga sejak kecil ia di dorong untuk belajar membaca Al-Qur’sn serta memerdalam buku-buku Arab klasik. Ia dulu pernah menjadi menteri sekretariat negara Kabinet Persatuan Nasional era presiden Abdurrahman Wahid. Sebelumnya ia merupakan staf Khusus sekertaris Negara/penulis pidato Presiden Soeharto (1978-1995) dan ia telah menulis ratusan pidato untuk presiden Soeharto.
Ia dikenal sebagai pembela kelompok Ahmadiyah dan senior di kalangan aktivis liberal. Namanya masuk dalam buku “50 Tokoh Liberal di Indonesia” untuk kategori pionir atau pelopor gerakan liberal bersama dengan Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid. Bagi Djohan Ahmadiyah mempunyai hak yang sama dalam menjalankan keyakinan di Indonesia.
Ia dikenal sebagai pemikir Islam inklusif yang sangat liberal. Dalam memahami agama, Djohan sampai pada kesimpulan :  “Pada setiap agama terdapat kebenaran yang bisa diambil”. Karena itu, ia sangat prihatin pada segala bentuk pertentangan yang mengatasnamakan agama. Karier Djohan sebagai penulis pidato Prisiden berahir ketika ia “nekat” mendampingi K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berkunjung ke Israel, 1994. Kunjungan itu ditentang keras oleh sejumlah kelompok Islam. Bahkan, Moerdiono, Sekertaris Negara saat itu, juga ikut menyesalkannya.
Ketika Abdurrahman Wahid menjabat sebagai presiden, ia di angkat sebagai Menteri Sekertaris Negara.
Pendidikan Djohan Effendi :
-   Sekolah Dasar
-   Pendidikan Guru Agama Banjarmasin (1958)
-   Pendidikan Hakim Islam Negri (PHIN) Yogyakarta (1960)
-   IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1970)
Karier :
-   Pegawai Departemen Agama Amuntai, Kalimantan Selatan (1960-1962)
-   Staf Sekertaris Jendral Departemen Agama Jakarta (1972-1973)
-   Staf Pribadi Menteri Agama (1973-1978)
-   Peneliti Utama Depag (sejak 1993)
-   Staf Khusus Sekertaris Negara/Penulis pidato Presiden (1978-1995)
-   Kepala Badan penelitian dan pengembangan Departemen Agama (1998-2000)
-   Menteri Sekretaris Negara (2000-2001)

Ahmad Wahib
Ahmad wahib adalah seorang budayawan dan pemikir Islam, beliau lahir di Sampang, 09 November 1942 di kota Sampang di Pantai selatan pulau Madura.[21] Masyarakat Madura cukup masyhur dengan bentuk keislamannya yang kental, sehingga Islam telah menjadi identitas lokal masyarakat Madura. Latar belakang geografis inilah barangkali yang secara khusus tidak mengejutkan bahwa Ahmad Wahib besar di lingkungan nasyarakat serta keluarga yang pekat rasa keberagamaanya. Bahkan menurut ukuran orang-orang Madura kluarga besar Ahmad Wahib masuk dalam kelompok keluarga agamis. Ayahnya Sulaiman, dianggap sebagai salah seorang pemimpin spiritual di daerahnya. Konsekuensinya, sekalipun nyantri di sebuah pesantren, ia bukanlah orang asing bagi kehidupan pesantren, posisi ayahnya merupakan nilai berharga karena wawasan ayahnya yang terbuka dan luas sangat membantu cara berfikir Ahmad Wahib. Ahmad Wahib sering menyentuh perihal wawasan-terbuka ayahnya ini di buku hariannya. Ayahnya bahkan mengijinkan Ahmad Wahib mempelajari sains, pertama di SLA dekat Pamekasan dan lulus tahun 1961, lalu ke UGM Yogyakarta.[22]
Selama tahun-tahun perdana di Yogyakarta, Ahmad Wahib tinggal di lingkungan Katolik di Asrama Mahasiswa Realino. Dengan cepat ia terlibat dalam organisasi HMI dan kemudian sibuk berkecimpun dalam kegiatan-kegiatan HMI. Tidak puas hanya duduk-duduk  dan lihat-lihat, Ahmad Wahib menerjunkan diri kedalam pekerjaan seorang aktivis sehingga dengan cepat ia ke dalam tertinggi para pemimpin HMI Jawa Tengah.[23] Tidak lama kemudian ia juga di kenal sebagai pemikir independen yang besar. Kendai sebagai pendatang baru di HMI, hal tersebut tidak mencegah dia mengkritik pimpinan-pimpinan HMI yang di anggap salah. Mengenai ciri pembawaan ini Djohan Effendi menulis :
Walaupun Ahmad Wahib termasuk pendatang baru dalam lingkungan elite HMI waktu itu, ia juga terlibat dalam diskusi diskusi berat tersebut. Wahib tergolong di antara kawan-kawan yang berani beperpendirian dan bersikap berbeda, malah terkadang berlawanan dengan pendirian dan bersikap berbeda, malah terkadang berlawanan dengan pendirian dan sikap umat atau lebih tepat golongan Islam pada umumnya. Bagi Wahib dan kawan-kawannya, komitmen Muslim, pertama-tama dan terutama adalah pada nilai-nilai Islam dan bukan pada organisasi ‘Islam’ ataupun tokoh “Islam tertentu.”.[24]
Abdurrahman Wahid
Latar belakang kluarga Abdurrahman Wahid(Gus Dur) “Addakhil”, Secara lekisikal, “Addakhil” berarti “sang penakluk”, sebuah nama yang di Ambil Wahid Hasyim, orang Tuanya dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Belakangan kata “Addakhil” tidak cukup dikenal dan diganti nama “Wahid”, Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus[25] Dur.
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilairkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada 4 Agustus 1940. Secara genetik Gus Dur adalah keturunan “Darah Biru”. Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri jami’iyah Nahdlatul Ulama (NU) organisasi masa Islam terbesar di Indonesia dan pendiri Pesantren Tebuireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. bisri Syamsuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais ‘Aam PBNU setelah K.H abdul Wahab Jasbullah. Dengan Demikian, Gus Dur merupakan cucu dari ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia.
Pendidikan Gus Dur :
-   Pesantren Tambak Beras, Jombang (1959-1963)
-   Departemen Studi Islam dan Arab Tingkat Tinggi, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir (1964-1966)
-   Fakultas Surat-surat Universitas Bagdad (1966-1970)
Karir :
-   Pengajar Pesantren Pengajar dan Dekan Universitas Hasyim Asy’Ari (UNHASY) fakultas Ushuludin[26]
-   Ketua Balai Seni Jakarta (1983-1985)
-   Penemu Pesantren Ciganjur
-   Ketua Umum NU (1984-1999)
-   Ketua Forum Demokrasi (1990)
-   Anggota MPR (1999)
-   Presiden Republik Indonesia (20 Oktober 1999-24 Juli 2001)
Pada tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu, yang terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang profesi-yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering mangkal di rumahnya.
Kehadiran AbdurrahmanWAhid di kalangan masyarakat Indonesia saat ini tidak lain disebabkan oleh kualitas pribadinya yang luar biasa, disamping faktor lingkungan kluarga yang sangat mendukung. Gus Dur, cucu dari dua serangkai pendiri NU, Kiai Hasyim dan Kiai Bisri Sjansuri. Ayah Gus Dur, Kiai Wahid Hasyim, adalah puytra Kiai Hasyim Asy’ari dan ibunya Solichah, putri Kiai Bisri Sanjsuri. Sejak masa anak-aanak, ibunya telah diberi berbagai isyarat bahwa Gus Dur, anaknya akan mengalami garis hidup yang erbeda dan memiliki kesadaran penuh akan tanggung jawab terhadap organisasi NU. Menjelang masa remajanya, rasa tanggung jawab tersebut ternyata serasa dramatis mengingat setelah kematian ayahnya dalam suatu kecelakaan mobil[27], dan saat kecelakaan terjadi Gus Ddur duduk di samping ayahnya di jok depan.
Ayah Abdurrahman Wahid meninggal dunia dalam usia 40 tahun, dan saat itu masih menjabat ketua NU. Ibunya tetap melanjutkan peran informal yang vital dalam menjalankan NU. Dan sejak ayahnya meninggal, ada sesuatu yang terasa berubah secara tajam, yaitu Abdurrahman Wahid mulai sepi dari orang-orang dan para tamu penting.
Abdurrahman Wahid tidak hanya di kenal di kalangan kiai NU dan para politisi, melankan juga oleh masyarakat luas Indonesia. Hal tersebut dikarenakan bimbingan orang tuanya , saat ia kecil banyak berhubungan dengan tradisi di luar NU. Waktu kecil ia sering dititipkan pada seorang Belanda teman ayahnya dan saat itulah, menurut Abdurrahman Wahid, ia bersentuhan dan akhirnya mencintai musik-musik klasik Eropa. Kemudian dari tahun 1953 sampai 1957, saat belajar di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) ia tinggal di rumah Kiai Haji Junaid, seorang Kiai Muhammadiyah dan anggota Majlis Tarjih Muhammadiyah. Beberapa tahun kemudian ia “mondok” di Pesantren Tegalrejo, sebuah pesantren NU terkemua di Magelang. Dari tahun 1957 sampai 1963, ia sempat “nyantri” di Pesantren Krapyak, Ypgyakarta, dan tinggal di rumah K.H. Ali Maksum.
Pemikiran Gus Dur meliputi banyak bidang, antara lain : tentang ksempurnaan islam, sikap orang Yahudhi-Nasrani serta konsep kafir, dinamika fiwih dan Ushul fiqh, wawasan keadilan dan pluralisme, martabat wanita, dan pribumisasi islam.
Menurut Muhammad A.S. hikam, Abdurrahman Wahid adalah sosok yang sangat komplek sehingga melakukan kajian atas wawasan intelektualnya merupakan kegiatan yang tidak sederhana.
Pada tahun 1964 Abdurrahman Wahid meninggalkan tanah air menuju Kairo , Mesir, untuk belajar ilmu-ilmu agama di Ma’had al-Dimsat al-Islamiyyah yang berada di lingkungan Al-Azhar Islamic University. Barangkali tidak terlampau mengejutkan jika Abdurrahman Wahid sangat kecewa dengan atmosfir intelektual di Al-Azhar yang memadamkan potensi pribadi karena tekni pendidikanya yang masih bertumpu pada kekuatan hafalan. Meskipun demikian, ia memanfaatkan waktu di Kairo ini dengan baik, yaitu dengan cara yang tidak mengikuti pelajaran yang diberikan. Sebagai gantinya ia sering menghabiskan waktu di perpustakaan yang lengkap d Kairo, termasuk American University Library. Bagaimana pun pada satu sisi ia kecewa dengan Al-Azhar sebagai lembaga, namunpada sisi yang lain ia tetap menikmati kehidupan kosmopolitan[28] Kairo., bahkan beruntung karena terbuka peluang untuk tergabung dengan kelompok-kelomopok diskusi dan tukar pemikiran yang umumnya di ikuti para intelektual Mesir. Yang perlu di catat bahwa selama di Kairo, Gus Dur ternyta begitu tertarik pada film-film Perancis dan sepak bola.[29]
Dari Kairo Gus Dur terbang ke Bghdad. Di kota ini ia lewati dengan penuh rasa bahagia karena mempelajari sastra Arab, tapi juga filsafat dan teori sosial Eropa, disamping terpenuhinya hobi dia untuk menonton film-film klasik. Bahkan Gus Dur lebih senang dengan sistim yang di terapkan di Universitas Baghdad, yang dalam beberapa segi dapat dikatakan lebih berorientasi Eropa dari pada sistem yang diterapkan di Al-Azhar. Dan selama belajar di Timur Tengah inilah Gus Dur menjadi ketua Persatuan Mahasiswa untuk Timur Tengah masa bakti  1964-1970.
Di tahun 1971, ia mampir ke Eropa dengan harapan ia memperoleh penempatan di Universitas, tapi sayang sekali kualifikasi-kualifikasi mahasiswa dari Timur Tengah tidak di akui di Universitas Eropa. Inilah yang memotivasi Gus Dur untuk pergi ke McGill University, Kanada, untuk mengakaji kajian-kajian Islam secara Mendalam. Namun pada akhirnya, ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia setelah terilhami berita-berita yang menarik di sekitar perkembangan dunia pesantren.[30]
Gus dur ini banyak menyukai kepada pemikir kritis , baik dari Muslim maupun non-Muslim. Dia terpesona pada pemikiran Paul Tillich, seorang teolog kristen yang termashur, renungan filsafat Muhammad Abduh, juga tertarik pada pemikiran Hasan Hanafi. Namun, dibandingkan dengan pemikir itu yang paling dikagumi adalah Muhammad Arkoun yang mencoba melihat islam secara utuh. Selain itu Gus Dur sangat dipengaruhi Imam AL-Ghazali melalui karya monumental Ihya’ Ulum Al-Din yang sanggup membangkakan intuisi begitu jauh.[31]
3.    Pembharuan Pemikiran Islam dan Neo-Modernisme
Pemikiran Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid akan diteliti kemudian dengan gagasan Nurcholis Madjid ini tidaklah berarti memuat seluruh pikiran neo-Modernis yang ada, melainkan mencoba memetakan secara luas pokok-pokok yang substansial. Nurcholis Madjid akan mencoba membongkar konsistensi pemikiran dan mencoba membutikan, atau meliti, apa yang dikatan al-Qur’an tentang suatu berbagai persoalan. Cara seperti ini akan menggiring pada saru bukti bahwa Nurcholis Madjid dalam membedah persoalan baik daripada rekan-rekannya.
Bagi kalangan neo-Moderenisme maupun Modernisme, mereka sama-sama menjunjung tinggi kebutuhan terhadap Ijtihad kontenporer. Neo-Modernisme Nurcholis Madjid dan Moderenisme para pemimpin Muhammadiyah bersama-sama Masyumi, berupaya melaksanakan Ijtihad.
Nurcholis Madjid lebih memilih memikirkan keyakinan-keyakinan yang berkaitan dengan arus pemikiran politik. Dan untuj nebgerti pikiran Nurcholis Madjid terletak pada pandangannya terhadap kitab Suci. Pendekatan hermeneutik Nurcholis Madjid, juga pendekatannya terhadap sifat kitab suci. Lebih penting lagi, konsepsinya tentang Islam disandarkan pada pemahamannya yang luas terhadap al-Qur’an yang, pada gilirannya, dibentuk oleh pendekatan hermeneutik tadi.
Sementara boleh jadi banyak menganggap bahwa pandangan Nurcholis Madjid terhadap kitab suci secara inheren radikal, namun sebenarnya dari luar (khususnya ditilik dari perspektif barat pasca-Kristen) adalah amat konservatif. Secara esensial Nurcholis Madjid memandang al-Qur’an merupakan Kalam Tuhan yang tidak dapt diganggu gugat dan abadi, sebagai petunjuk paling terpercaya bagi kehidupan di dunia ini dan kesaksiannya yang paling dapat dipegang untuk masa depan.
Pandangan seperti ini secara lansung menggiring kepada pendekatan hermeneutika yang tenang dan natural, yang memprioritaskan prinsip-prinsio daripada melarang suatu praktik tindakan, serta mendorong untuk secara kreatf menerjemahkan masalah-masalah praktis antara konteks kultural al-Qur’an dengan konteks kultural kehidupan modern orang beriman. Metode interpretatif Nurcholis Madjid ini pertama-tama ditunjukan untuk membanggakan prinsip-prinsip yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan isu-isu keadilan sosial atau isu-isu moral, dengan mengacu pada lingkungan-lingkungan kultural dan historis pada masanya, yang meliputi bukan hanya konyeks makro abad ke-7 Arabia melainkan juga konteks mikro dimana partikulasi al-Qur’an diturunkan. Maka itulah perlunya menerjemahkan prinsip-prinsip itu kedalam petunjuk-petunjuk pelaksanaan yang relevan dengan masyarakat Indonesia modern abad-20, sebagian juga relevan untuk masa-masa awal ketika al-Qur’an diturunkan.
Sampai saat ini barangkali patut dipersoalkan, bahwa pikiran Nurcholis Madjid muncul agak berbeda dari para pemikir Moderenis sebelumnya. Bahkan pandangannya terhadap kitab suci, sekalipun dalam praktik lebih progresif daripada kebanyakan kaum Modernis, tidak jauh berbeda dengan Muhammad Abduh. Dan perbedaan mencolok antara Nurcholis Madjid dengan kalangan Moderenis bukan terletak pada pandangan terhadap kitab suci, karena perbedaan ini dalam tataran tingkatan saja bukan substansi, melainkan lebih pada brntuk menyeluruh dan konsisten dalam upaya merealisasikan pandanannya terhadap kitab suci. Seringkali dikatakan bahwa Moderenisme secara keseluruhan merupakan gerakan intelektual yang memperhatikan rasionalisme. Akan tetapi neo-Moderenisme di Indonesia justru mengambil apa yang ditinggalkan Moderenisme, dan membawa rasionalisme tadi khususnya pendekatan rasional terhadap kitab suci menuju kesimpulan yang logis.[32]
Jika menelaah Djohan Effendi, ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, term term sekularisai dan desakralisasi, ukhrawi dan duniawi tidaklah penting. Perbandingan secara sepintas antara tulisan-tulisan mereka tahun 1970-an dengan karya-karya Nurcholis Madjid boleh jadi memberikan gambaran bahwa term-term tersebut merupakan perbedaan pokok. Namum jika kita membaca karya-karya keempat tokoh tersebut dengan amat teliti, akan kita temui secara persis pemahaman yang sama seperti dengan term-term Nurcholis Madjid. Keempat tokoh tersebut begitu meyakini, bahwa alam duniawi adalah alam yang terus berubah. Dan mereka tidak bertentangan untuk meyakini bahwa elemen-elemen yang mendasari Islam itu kekal serta relevan.
Kecenderungan Djohan Effendi untuk bersikap liberal, sebagai konsekuensi langsung dari perbedaan-perbedaan kepribadian, namum faktor-faktor lainnya ikut mempengaruhi. Meskipun kedua orang ini di Indoesia dikenal sebagai intelektual-intelektual Islam, akan tetapi kehadirannya Nurcholish Madjid sebagai publik figur lebih memilih vibrasi yang besar daripada Djohan Effendi. Nurcholis Madjid bukan sekedar intelektual murni, tapi intelektual yang terlibat dalam pergulatan pemikiran di masyarakat. Tulisan-tulisan Nurcholis Madjid dan pertanyaan-pertanyaannya, senantiasa menjadi bahan perbincangan. Dan terutama karena Nurcholis Madjid telah membangun kredibilitasnya sebagai pemimpin atau intelektual islam sejak du dasawarsa terakhir pada tahun 1970-an ke atas, maka ia cukup strategis dalam mengaktualisasikan gagasan-gagasannya ke dalam prilaku yang tidak mengusik batas-batas sensibilitas umat. Sikap pemalu dan hati-hati serta terbiasa berdiri di podium, menyebabkan Djohan Effendi menggerahkan energi baik secara profesional maupun pribadi di wilayah dialog antar agama, sebuah lahan yang mendorong bakat spekulasinya. Akhirnya, persoalan di atas lebih merupakan faktor-faktor nuansa daripada substansi. Dalam parameter yang mendasar dan berbagai orientasi, betapapun pikiran Djohan Effendi adalah sama dengan gagasan Pembaharuan Pemikiran Islam yang diartikulasikan Nurcholis Madjid pada tahun 1970-an.[33]
Pokok-pokok yang menggambarkan tentang keberanian  dan karakter liberal pemikiran Djohan Effendi, juga bisa diterapkan pada pemikiran Ahmad Wahib. Dalam berbagai hal, bagaimana pun juga pemikiran Ahmad Wahib secara tertib paralel dengan pandangan Nurcholis Madjid.
Dua faktor pokok membutuhkan perhatian ketika memperhitungkan gagasan-gagagsan yang dikembangkan Ahmad Wahib. Pertama, bahwa Ahmad Wahib wafat pada tahun 1973, berarti ia berbeda dengan Nurcholis Madjid, Sjohan Effendi dan Abdurrahman Wahid, maka tidaklah mungkin untuk mengkaji ide-ide Ahmad Wahid tahun 1970-an ternyata menunjukan kesamaan semangat dengan tulisan-tulisan mereka sendiri yang selanjutnya. Adapun terhadap Ahmad Wahub, Greg terbatas hanya meneliti awal dari sebuah gambaran intelektual, dan hanya bisa berspekulasi tentang lintasan perjalanan selanjutnya.
Kedua hubungan dngan yang pertama, persoalan sumber. Di satu sisi kami memperoleh manfaat besar dari kekayaan serta intimitas luar biasa kumpulan tulisan dalam bentuk buku harian Ahmad Wahib ini. Di sisi lain, catatan pribadi tersebut, bagaimanapun mencerahkannya, tetap tidak seperti sebuah tulisan, dalam arti seperti layaknya tulisan-tulisan Nurcholish Madjid, Djohan Effendi dan Abdurrahman Wahid. Konsekuensinya, merupakan suatu kesukaran untuk mengetahui secara serius tentang bagaimana menilai karya Ahmad Wahib.
Dalam satu hal asusmi yang tidak bisa di bantahkan, Abdurrahman Wahid banyakmenulis tentang pesantrendan kehidupan pesantren, masalh yang sedikit sekali di sentuh oleh ketiga temannya.  Mereka tentu saja tidak menulis yang Abdurahman Wahid jabarkan. Mereka juga tidak menganalisis secara kristis tentang tantangan-tantangan dan problema yang di hadapi pesantren.
Pertimbangan lebih jauh terhadap Abdurrahman Wahid menjelaskan ada banyak kesamaan antara pemikiran Abdurrahman Wahid dengan pembahruan Islam Nurcholis Majid yang poko pada unsur-unsur tersebut adalah pada kebutuhan Ijtihad. Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Amdjid tidak selalu merujuk Ijtihad dalam nama kebutuhan pada Ijtihad yang di kaji dalam buku Greg barton terus menurus menjadi isu fundamental kepada empat tokoh tersebut. [34]
Jika kita amati lebih lanjut, neo-Moderenisme ini menjadi Diskursus Islam Liberal diIndonesia, dimana neo-Modernisme ini bermetafosis menjadi islam liberal. Pemikiran islam liberal yang biasa di singkat sebagai “Islib” kemudian di populerkan oleh satu kumpulan para pemuda dengan menumbuhkan satu rangkaian kerjasama di dalam dan di luar Negri, yang mereka namakan sebagai “Jaringan Islam Liberal”:JIL.
Gerakan Islam Liberal[35] di Indonesia menemukan momentumnya pada awal 1970-an, seiring dengan perubahan politik dari era Soekarno ke Soeharto. Gerakan ini dipicu oleh munculnya generasi santri baru yang lebih banyak berkesempatan mempelajari Islam dan melakukan refleksi lebih serius atas berbagai isu sosial-keagamaan. Seperti telah disebut sebelumnya, tokoh paling penting dalam gerakan pembaruan ini adalah Nurcholis Madjid(sarjana islam yang mempunyai semua syarat untuk menjadi pembaharu). Lahir dan tumbuh dari keluarga santri, Nurcholis Madjid adalah penulis dan pembicara yang luar biasa. Ia menguasai ilmu sosial sama baiknya dengan uraian tentang khazanah Islam. Nurchois adalah penerus sempurna gerakan pembaruan Islam yang telah dimulai di Indonesia sejak abad ke-19.[36]
Singkatnya gagasan neo-Modernsisme Islam Fazlur Rahman kini di tanah air muncul dalam kemasan baru yang disebut “Islam Liberal”. Dengan kemasan baru tersebut, neo-modernsme seakan mendapatkan suntikan darah segar. Gagasan-gagasannya kembali diingat dan diapresiasi, bahkan juga menimbulkan kontroversi. Sebagaimana ketika ia dulu diintroduksi oleh kalangan intelektual seperti Nurcholis Madjid, yang secara “kebetulan” merupakan muridnya Fazlur Rahman di Universitas Chicago, AS.[37]
C.   Kesimpulan
Di Indonesia ,beberapa tokoh seperti Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Ahmad Wahib, Djohan Effendi juga berpendapat relatif sama. Paradigma pemikiran seperti itu kemudian kemudian melahirkan pendapat bahwa pada dasarnya ada kesesuaian antara Islam dan sistem politik Modern ; termasuk yang diterapkan di beberapa negara barat yang mayoritas penduduknya tidak menganut agama Islam. Pandangan yang paling lunak terhadap politik islam pun, yang menolak pendirian negara Islam dan dan penerapan syari’at islam, termasuk bagian dari pembaru Islam Indonesia meski tidak masuk kategori modernis-liberal.
Liberalitas penafsiran terhadap agama juga memiliki imbas positif, terutama dalam kaitannya dengan realitas sosial masyarakat yang pluralistik. Dalam hal ini, pemikiran liberal mampu mengakomodasi pluralitas agama dan budaya yang pada gilirannya juga mampu membangun hubungan sinergis antara agama dan pluralisme yang ada di masyarakat. Imbas positif itu juga terlihat pada upaya menghadirkan agama agar lebih responsif terhadap isu-isu global dan problem kemanusiaan yang menjadi perhatian semua agama dan peradaban dunia.









[1] Berkenaan dengan segi sosial dan budaya Masyarakat.
[2] Greg Barton, “Gagasan Islam Liberal diIndonesia” Jakarta : Pustaka Antara, 1999, hal : 16
[3] Greg Barton, “Gagasan Islam Liberal diIndonesia” Jakarta : Pustaka Antara, 1999, hal : 17
[4] Greg Barton, “Gagasan Islam Liberal diIndonesia” Jakarta : Pustaka Antara, 1999, hal : 22-23
[6] Humanitarian adalah sebuah moral kekerabatan, tanpa pamrih, dan simpati yang ditunjukan kepada seluruh umat manusia. Humanitarianisme telah menjadi kondep sejak dulu, namun tema umunya berubah-ubah, tanpa memandang gender, orientasi seksual, ras, kasta, usia, agama, kemampuan, atau kewarganegaraan.
[7] http://www.madinaonline.id/
[8] KH. Abdurahman Wahid, “ Islam Liberal dan Fundamental” Yogyakarta, eLSAQ Press,2005, hal : 96
[9] Djohan Effendi, mahasiswa IAIN Yogyakarta
[10] M. Dawam raharjo, ia terkenal sebagai ekonom dan tokoh agama. Ia telah banyak menulis buku-buku baik tentang ekonomi maupun tentang agama islam. Dawam pernah menjadi ketua dari ICMI-Seindonesia, pemimpin Jurnal ilmu dan kebudayaan Ulumul Qur’an, dan ketua yayasan ELFAS (Lembaga Studi Agama dan Filsafat). Selain itu, Dawam juga di kenal sebagai seorang sosok multidimensi, karena ia adalah seorang ahli ekonomi, pengusaha, budayawan, cendikiawan , juga aktifis LSM, pemikir Islam dan juga penafsir. Dawam dilahirkan di solo, 20 april 1942. Ia meruopakan anak sulung dari Muhammad Zuhdi Rharjo dan Mutmainnah. Meskipun dilahirkan di lingkungan keluarga yang sederhana , namun Dawam telah berprestasi sejak kecil. Selama masa kecilnya, ia banyak belajar mengenai ilmu-ilmu agama. Dalam meniti karis Dawam pernah bekerja sebagai staf di Departemen Kredit Bank of America, jakarta 1969. Tapi setelah dua tahun bekerja di perusahaan tersebut, ia memutuskan berhenti, selepas dari Bank Of America, Dwam kemudia bergabung di LP3ES (Lembaga penelitian dan pembangunan Ekonomi-Sosial) sebagai staf peneliti. Lambat launposisinya merangkak naik menjadi kepala Bagian Penelitian dan Pengembangan hingga ahirnya menjadi direktur. Pada saat di LP3ES inilah, pengetahuan Dawam tentang ekonomi kerakyataan bertambah. Sejak itu, tulisan maupun esainya mengenai ekonomi dan politik tersebar di media massa. Setalah kurang lebih 10 tahun di LP3ES, ketertarikan Dawam pada dunia LSM semakin besar. Ia pernah ikut merintis sekaligus memimpin beberapa LSM, antara lain : Lembaga studi ilmu-ilmu kemasyarakatan, Lembaga Studi Ilmu-ilmu kemasyarakatan, lembaga studi pembangunan(LSP), pusat pengembangan masyarakat Agrikarya (PPMA), dan lembaga studi Agama sn filsfat (LSAF). Sementara itu dia mengembangkan minat intelektualnya untuk menggali al-Qur’an yang membawanya untuk mempelajari bebaragai buku tafsir maupun buku0buku yang berkaitan dengan al-Qur’an. Dalam penelusurannya itu dia menemukan arti pluralisme dan toleransi dalam kehidupan beragama. Menurutnya pluralisme merupakan sebuah jalan menuju kedamaian dan toleransi menjadi kata kuncinya, dawan raharjo mengaku, saat dirinya belum toleran, ia harus terus-menerus membenci dan menolak segala sesuatu yang berbeda darinya. Namun setelah toleran, ia mengaku mendapat kasih sayang lebih banyak. Ancaman yang dia terima pun malah berkurang.
[11] HMI merupakan organisasi independen, mandiri ; terlepas dari tuduhan, khususnya dari PKI, bahwa HMI adalah ‘anak Masyumi’. Independen HMI ditunjukan tidak hanya pada penolakannya untuk bergabung dengan partai-partai politikyang ada, melainkan juga oleh cita-citanya untuk menjadi organisasi yang kritis terhadap partai-partai politik tersebut, bahkan pada mayumi, lihat Greg Barton, “Gagasan islam liberal di Indonesia” hal : 59
[12] Usaha sungguh-sungguh yang di lakukan para ahli agama untuk mencapai suatu putusan (simpulan) hukum syarak mengenai kasus yang penyelesaiannya belum tertera dalam al-Qur’an dan sunnah.
[13] Mahasiswa IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan bukan mahasiswa UI atau dari salah satu lembaga-lembaga sekular yang menjadi basis kuat HMI.
[14] Secara ironis, ‘Natsir Muda’ memang sama persis dengan saat Natsir masih muda, tapi tidak tampak sebagai Natsir Tua. Lihat juga keterangan Natsir Muda yang di dapat Nurcholis Madjid di bukunya Greg Barton, “Gagasan Islam Liberal di Indonesia” hal :55
[15] Greg Barton, “Gagasan Islam Liberal diIndonesia” Jakarta : Pustaka Antara, 1999, hal : 68-70
[17] Sindiran/buah mulut
[18] Dikatan penting karena Nurcholis Madjid memburu buku-buku, seperti karangan-karangan kaum kiri tulisan Michael Harrington dan Erich Fromm tentang Sosialisme Demokrasi. Cak nur memang kutu buku dan suka gagasan-gagasan baru. Apalagi situasi politik dan ekonomi Indonesia di akhir 1960-an tidak memungkinkannya untuk mendapatkan edisi terbaru dan kontroversial.
[19] Greg Barton, “Gagasan Islam Liberal diIndonesia” Jakarta : Pustaka Antara, 1999, hal : 78-80
[20] Kebanyakan keterangan di bagian ini didapat dari catatan-catatan Djohan Effendi yang ditulis untuk Greg Barton di bulan Januari 1992. Keterangan lainnya diperoleh dari serangkaian wawancara di Jakarta dengan Djohan Effendi juga teman-temannya di bulan November dan Desember 1989, Desember 1991, Januari dan Juli 1992, di Melboure di bulan Februari dan September 1991, Desember 1992 dan Oktober 1994, serta melalui wawancara per telepon yang sering sekali anatara Greg Barton dan Djohan Effendi di antara tahun 1990 dan 1994. Keterangan tentang riwayat hidupnya yang lain ditemukan juga dari beberapa buku dan artikel, dimana yang paling penting adalah yang ditulis oleh Ahmad Wahib, Catatan Harian Ahmad Wahib.
[21] Kebanyakan informasi dan seksi ini diambil dari bagian yang bermacam-macam yang terdapat dalam “Catatan Harian Ahmad Wahib”. Rincian mengenai kehidupan Ahmad Wahib (dan mengenai masa belajarnya di Yogya).
[22] Tentunya dalam mengiim anaknya kesekolah umum dari pada ke sekolah pesantren, sebagai seorang agamawan Sulaiman melakukan seperti yang banyak di kerjakan para ayah yang taat, termasuk banyak Kiai, di sepanjang priode ini. Hal ini selaras dengan pandangan Ahmad Wahib sendiri terhadap ayahnya tersebut yang berwawasan terbuka. Terdapat banyak rujukan singkat mengenai ayah Ahmad Wahib dalam Catatan Harian Ahmad Wahib, Namun Cuma satu poin yang menceritakan dengan agak panjang. Poin pada buku tersebut, kendati di tulis di bulan April 1972, secara khusus masih menjelaskan dengan baik : ayahku adalah seorang pemberontak pada zamanyya. Dimasa mudanya dia telah mengkritik beberapa ini kitab-kitab agama yang dinilainya tidak sesuai dengan al-Qur’an dan Hadist. Dia malah mengatakan pada kyai-kyai gurunya dan temannya bahwa kitab-kitab semacam sullan dan Safina perlu perlu perombakan. Beliau juga membuang dengan terang-terangan warisan yang di anggapnya akan mempelihara pemikiran-pemikiran klenik seperti keris-keris, tombak bahkan lemari kuno yang dianggap bertuah. Beliau juga menenntang ramalan-ramalan jelek khayalia, dengan misalnya sengaja membangun rumah pada masa celaka (menurut perhitungan dukun). Ayahku merupakan tokoh santri pertama di Sampang yang menyekolahkan anak putrienya di sekolah umum. Dan beliaulah tokoh santri pertama di Sampang yang mengawinkan sekedar seperti yang diwajibkan Agama, suatu hal yang saya sendiri masih mempersoalkannya tetapi merupakan keberanian Ayah untuk membikin alternatif lain pada lingkungannya.
[23] Kata yang digunakan adalah aktivis, dan ini seperti term-term umum lainnya yang dipakai, termasuk kata kader (Inggris:cadre). Kata kader lebih banyak merefleksikan kelompok-kelompok mahasiswa seperti HMI, dan kelompok-kelompok mahasiswa ini mengambil terminologi kader dari betenoir (sesuatu yang paling di benci) mereka yaitu PKI. Ini mengingatkan pada ketegangan tingkat tinggi yang terbangun di masyarakat Indonesia saat itu dan merupakan hasil dari sikap militer di seluruh Indonesia, tidak kecuali HMI.
[24] Greg Barton, “Gagasan Islam Liberal diIndonesia” Jakarta : Pustaka Antara, 1999, hal : 254-256
[25] Panggilan Kehormataan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berarti “abang”/ “mas”.
[26] Sebuah yang menyangkut hukum dan filosofi
[27] Pada bulan April 1953, Gus Dur pergi bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru. Di suatu tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi dan Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan, akan tetapi ayahnya meninggal. Kematian ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya
[28] Mempunyai wawsan dan pengetahuan yang luas.
[29] Di buktikan dengan adanya buku Gus Dur dan Sepak Bola (kumpulan kolom Gus Dur Tentang Sepak Bola) editor : Mustiko Dwipoyono. “Bukankah kita akan diperkaya dalam pemahaman kita tentang kehidupan manusia oleh sesuatu yang terjadi di lapangan sepakbola? Sepakbola merupakan bagian kehidupan atau sebaliknya, kehidupan manusia merupakan sebuah umur penunjang sepakbola” *Gus Dur.
[30] Greg Barton, “Gagasan Islam Liberal diIndonesia” Jakarta : Pustaka Antara, 1999, hal : 326-328
[31] Mujamil Qomar, “NU Liberal (dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam”, Bandung : Mizan, 2002, hal : 166
[32] Greg Barton, “Gagasan Islam Liberal diIndonesia” Jakarta : Pustaka Antara, 1999, hal : 431-436
[33] Greg Barton, “Gagasan Islam Liberal diIndonesia” Jakarta : Pustaka Antara, 1999, hal : 442
[34] Greg Barton, “Gagasan Islam Liberal diIndonesia” Jakarta : Pustaka Antara, 1999, hal : 443-446
[35] Istilah liberal/liberalisme dalam percakapan kita tidak lepas dari konteks. Orang bisa membicarakan liberalisme dalam konteks ekonomi. Dalam koteks ini kita bicara tentang ekonomi liberal, dimana terhadap kebebasan bersaing, yangdibedakan dari ekonomi sosial di peranan negara sangat menentukan. Orang bisa juga membicarakan liberalisme dalam konteks politik. Misalnya, dalam kaitan dengan pemerintahan demokratis yang menjujung tinggi asas kedaulatan rakyat dan menjamin kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat sebagai pilihan lain dari pemerintahan teokratis yang berdasarkan keyakinan agama akan kedaulatan Tuhan yang diwujudkan melaui institusi agama, orang maupun hukum, atau pemerintahan otoriter yang mengekang hak-hak sipil warganegara. Wacana liberalisme di sini saya rasa lebih berkaitan dengan wacana kebebeasan berfikir khususnya dalam konteks agama.
[36] Budhy Munawar-Rahman, “Argumen Islam untuk Liberal”, Jakarta : Kompas Gramedia, 2010, hal : 99
[37] Abd. A’la, “Dari NeoModernisme ke Islam Liberal”,  Jakarta : Paramadina, 2009, hal : 227

No comments:

Post a Comment