DISINTEGRASI ABBASIYAH
“SERANGAN MONGOL”
Revisi Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas
ulangan akhir semester (UAS)
“Studi Peradaban Islam”
Dosen Pengampu:
Muhammad Hadi Masruri, Dr. H. M.A.
Disusun Oleh :
Luluk Susanti
(16771021)
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2017
DISINTEGRASI
SERANGAN MONGOL
Oleh:
LULUK SUSANTI (16771021)
Mahasiswa Prodi Magister Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang
A. PENDAHULUAN
Bangsa Mongol memiliki kekayaan
sejarah dan kebudayaan yang tak
ternilai sumbangannya terhadap peradaban dunia pada umumnya dan Islam pada
khususnya. Dalam khazanah pengetahuan sejarah, bangsa Mongol mulai muncul pada
akhir abad XII dan awal abad XIII. Bangsa
Mongol pada mulanya merupakan entitas masyarakat yang mendiami hutan Siberia
dan Mongolia Luar. Mereka adalah salah satu anak rumpun dari bangsa Tartar yang
menempati wilayah di antara Gurun Pasir Gobi dan Danau Baikal.
Bangsa Mongol tampil ke panggung
dunia setelah dipimpin oleh temujin (Jengis Khan). Dalam waktu 30 tahun, ia
berupaya keras membangun pasukan tempur yang besar yakni dengan cara menyatukan
Mongol dengan suku bangsa lainnya. Oleh karena buah karyanya ini, pada tahun
1206, ia mendapat gelar Jengis Khan yang berarti Raja Yang Perkasa. Pasukan
yang telah terbentuk dibagi dalam beberapa kelompok besar maupun kecil, mulai
dari berjumlah seribu, dua ratus, sampai sepuluh orang. Tiap-tiap kelompok
dipimpin oleh seorang komandan.
Baghdad adalah sasaran Mongol berikutnya,
setelah sebelumnya bangsa ini menundukkan beberapa daerah di Persia dan Irak. Menginjak
tahun 1258, dunia digemparkan oleh tragedi kejatuhan Baghdad, ibukota dinasti
Abbasiyah. Kejadian tersebut dilatar belakangi oleh banyak aspek antara lain
adalah semakin parahnya intrik politik yang melibatkan pejabat istana dan
ulama, penyakit yang menjangkit di beberapa bagian kota dan semakin mengecilnya
peran ibukota ini akibat banyak daerah bawahan yang memerdekakan diri. Seakan
menjadi penuntas bagi penderitaan itu, datanglah serbuan bangsa Mongol, di
bawah pimpinan Hulagu Khan yang memporak porandakan ibukota. Berikut akan menjelaskan tentang penyerangan Hulagu
Khan terhadap kota Baghdad:
B. PEMBAHASAN
1. Asal
Usul Bangsa Mongol
Bangsa Mongol berasal dari daerah pegunungan
Mongolia yang daerahnya terbentang dari kawasan Asia Tengah hingga menyentuh
Siberia Utara, Tibet Selatan hingga ke Manchuria Barat, dan Turkistan Timur. Ada pula yang berpendapan Bangsa Mongol
tinggal di kawasan yang terbentang dari Manchuria hingga Hongaria.
Merujuk pada penjelasan Badri Yatim yang
mengutip dari Ahmad Syalabi yang
menyebutkan bahwa nenek moyang orang Mongol bernama Alanja Khan yang memiliki
dua putra kembar bernama Mongol dan Tatar. Mongol memiliki anak bernama Ilkhan
yang di kemudian hari menjadi pemimpin bangsa Mongol.[1]
Bangsa Mongol banyak menghabiskan hidupnya
dari stepa ke stepa. Mereka hidup berdampingan dengan suku-suku nomad lain yang
nantinya merupakan leluhur dari orang Iran dan Turki. Suku-suku nomad ini
memiliki kesamaan bentuk dalam cara hidup maupun organisasi sosialnya. Stepa
merupakan suatu padang rumput luas, umumnya datar dan hanya diselingi sedikit
pepohonan. Keputusan mereka untuk menjalani kehidupan dengan cara
berpindah-pindah bukanlah tanpa sebab. Hal ini berhubungan dengan kondisi tanah
Mongolia yang keadaannya kurang subur dan diperparah dengan keadaan iklimnya
yang ganas.[2]
Bangsa Mongol mencapai kemajuan sosial secara
mencolok ketika dipimpin oleh Yasugi Bahadur Khan (Yesugai), setelah sebelumnya
hidup secara terpisah dalam suku-suku kecil. Dengan tidak mengenal lelah, ia
menyatukan 13 suku Mongol di bawah komandonya.[3] Yasugi
merupakan keturunan dari keluarga bangsawan tua dari suku Monghol. Spuler
menyebut bahwa Yasugi merupakan seorang komandan yang membawahi sepuluh orang
dan banyak yang meyakini, ia merupakan seorang pangeran yang independen.
Kehidupannya dipenuhi dengan pertarungan mempertahankan tanahnya serta
kewibawaannya. Menginjak tahun 1165,
Yasugi mangkat. Ia meninggalkan beberapa orang anak dan
yang tertua bernama Temujin (Jengis Khan), saat itu berusia 10 tahun. menurut
adat Mongol, ia digadang-gadang menjadi pemimpin Mongol masa depan. Namun,
kenyataan belum berjalan sesuai dengan ketentuan itu. Ia sepenuhnya menyadari
bahwa dalam mempertahankan warisan leluhur, maka ia membutuhkan banyak laskar
yang siap membantunya.[4]
Jengis Khan dikenal sebagai jenderal perang
Mongol yang ulung. Ia mereorganisasi tata kemiliteran Mongol sedemikian rupa
sehingga menjadi suatu kekuatan yang ditakuti oleh lawan-lawannya. Kehidupan
stepa yang serba keras, dipadati dengan latihan berkuda dan berperang
menempatkannya sebagai sosok yang membawa fajar baru bagi bangsa Mongol. Dengan
segera ia memugar kembali kepercayaan kaumnya, lewat pembentukan tentara
berkuda yang menjadi kepanjangan
tangannya meraih cita-cita
sebagai seorang penguasa yang paling disegani dalam sejarah.[5]
Setelah
menaklukkan daerah-daerah Cina.[6] Pandangan
sang Khan kini mengarah ke Barat. Lewat serangkaian pengaturan arus balik yang
teratur, pasukan berkuda sang Khan mulai
merayap keluar dari daerah Cina dan memacu kudanya ke barat. Beberapa mil di
depannya, terdapat daerah Dinasti Khawarizm, yang kala itu dipimpin oleh
Muhammad II. Di masanya Khawarizm
sedang menikmati masa-masa keemasannya. Sejak masuknya wilayah Uighur pada
kekuasaan Jengis Khan pada 1207, Dinasti Khawarizm merupakan lawan terberat
pasukan Khan di samping kekaisaran Cina.
Ketika mengetahui iring-iringan pasukan Jengis
Khan akan menghampiri negerinya, Muhammad II[7],
Syah Khawarizm, mengutus seorang utusan yang membawa surat perdamaian kepada
Jengis Khan. Isi surat tersebut adalah keinginan khalifah Dinasti Abbasiyah
untuk menjalin relasi perdagangan
dengan Mongol. Sumber lain mengatakan bahwa, sebenarnya baik sang utusan
maupun Syah Khawarizm tidak mengetahui isi surat yang ternyata memang berasal
dari Baghdad itu. Sebenarnya, isinya adalah mempersilahkan Jengis Khan
menyerang Khawarizm, bahkan khalifah Baghdad akan membantu pasukan Mongol.
Semuanya kemudian berjalan baik, Khawarizm
tidak jadi diserang hingga suatu ketika pada tahun 1218, konflik antara
keduanya pecah. Saat itu Syah Khawarizm kedatangan tiga pedagang Muslim kaya
yang mewakili Jengis Khan untuk menyampaikan salam hangat kepada Khawarizm,
yang dengan bahasa diplomatik sedemikian halus merujuk pada maksud agar Khawarizm
bersedia menjadi sekutu dari Mongol. Syah Khawarizm amat tersinggung dengan
ucapan itu. Segera setelahnya, ia membunuh duta-duta Mongol itu dan merampas
barang- barangnya. Pun dengan utusan kedua Mongol yang juga dibunuh, sama
sekali tidak ada rasa bersalah dari sang Syah, malahan hal ini dilakukan untuk
memenuhi kepuasannya.
Menanggapi kabar kematian utusannya, Jengis
Khan menganggapnya sebagai bentuk pelecehan. Tiada kata lain untuk membalasnya,
selain membumi hanguskan Khawarizm. Pasukannya segera dibangunkan dan digerakkan menuju Khawarizm. Sang Syah
menempatkan pasukannya di Samarkand, sedangkan ia memilih bertahan untuk memperkuat
bentengnya. Tentara Khawarizm porak poranda. Yang paling menakutkan adalah apa
yang dikisahkah Ibn al-Atsir dalam al-Kamil
fi at-Tarikh-nya terkait pembunuhan yang dilakukan oleh tentara sang Khan.
Setiap tempat yang terdapat manusia, maka di situ pasti terjadi pembunuhan.
Korbannya bukan hanya orang dewasa melainkan juga anak-anak.[8] Kala itu,
pertempuran melawan Syah diserahkan kapada anak Jengis Khan, sedangkan sang
Khan sendiri memilih menaklukkan Bukhara. Dua pasukan akhirnya bertemu dan pertempuran terjadi selama tiga hari. Pertempuran ini berakhir seimbang. Pasukan Mongol kembali ke negerinya dan
pasukan kaum muslimin kembali ke Bukhara. Khawarizm Syah Alauddin bersiap-siap untuk
bertempur melawan Mongol, dan mereka membangun benteng di dekat Kota
Balkh dengan dijaga oleh dua puluh ribu pasukan.[9]
Jengis Khan telah siap dengan tentaranya kemudian bergerak menuju Bukhara dan mengepungnya selama tiga hari berturut-turut. Warga Bukhara terjepit dengan pengepungan pasukan Jengis Khan lalu
meminta jaminan keamanan kepadanya. Jengis
Khan bersedia memberikan jaminan keamanan kepada warga Bukhara dan kemudian ia dan pasukannya memasuki Bukhara. Ini terjadi tanggal 4 Dzulhijjah tahun 616 H. Namun jaminan keamanan yang ia janjikan kepada warga merupakan tipuan. Langkah pasukan Jengis Khan
untuk menerobos jauh ke dalam Kota terhadang oleh benteng pertahanan Kota. Akhirnya ia kepung dengan ketat benteng tersebut
dengan menyertakan warga Kota
Bukhara untuk menghancurkan parit yang melindungi Kota Bukhara. Pasukan Mongol melemparkan mimbar-mimbar masjid, al-Qur’an dan buku-buku ke dalam parit agar bisa menyeberang benteng pertahanan.
Setelah dikepung selama sepuluh hari,
benteng pertahananan tersebut jebol.
Jengis Khan membebaskan pasukannya untuk
berbuat apa saja yang mereka sukai. Mereka
membunuh banyak sekali warga
Kota Bukhara, menawan para wanita dan anak-anak, memperkosa para wanita di depan keluarganya. Ada yang melawan untuk mempertahankan
istrinya hingga terbunuh dan ada
yang menjadi tawanan perang
kemudian disiksa
dengan berbagai
macam bentuk penyiksaan.
Pasukan
Mongol membakar habis perumahan
penduduk, masjid dan sekolah. Mereka
meninggalkan Bukhara seperti
kemah yang hancur berantakan. Pada
tahun yang sama 616 H /1219 M, pada
saat pasukan Mongol mengamuk di Bukhara, pasukan salib juga menyerbu
Kota Dimyath. Sebagaimana yang
dilakukan oleh pasukan Mongol di Bukhara,
pasukan salib juga menipu
warga Dimyath, membunuh laki-lakinya,
menawan wanita dan anak-anak, memperkosa
para wanita muslimah, mengirim mimbar masjid,
al- Qur’an dan kepala kaum muslimin yang terbunuh ke Aljazair dan merubah masjid menjadi
gereja.[10]
Pasukan
Jengis Khan setelah
itu bergerak menuju Samarkand, negeri
ulama dan sastrawan, negeri yang subur
dan makmur. Pasukan ditemani oleh
penduduk Bukhara yang selamat dengan berjalan kaki. Orang yang tidak mampu melanjutkan perjalanan mereka bunuh. Menghadapi kedatangan Jengis Khan, Khawarizm Syah, mempersiapkan lima puluh ribu pasukan. Tetapi mental pasukan tiba-tiba jatuh ketika mendengar keberingasan pasukan Mongol, apalagi ketika melihat
mereka datang dengan pasukan berkuda yang tangguh dan disertai oleh pasukan infanteri, para tawanan dan orang-orang yang tidak berdaya. Selain lima puluh ribu pasukan, Samarkand juga
dibentengi oleh tujuh puluh ribu penduduk
sipil. Tetapi akhirnya mereka menyerah Penduduk
meminta perlindungan keamanan kepada
pasukan Mongol, karena mereka menganggap satu darah.
Pasukan Mongol meminta mereka untuk
melucuti senjata dan menyerahkan harta mereka
sebagai harga keamanan buat mereka. Tetapi pengkhianatan
kembali dilakukan oleh pasukan Mongol, mereka membunuh para penduduk,
merampas harta, menawan, merusak negeri, dan membakar masjid.
Peristiwa ini terjadi pada bulan Muharram 617 H.[11] Samarkand akhirnya dijadikan markas oleh Jengis Khan untuk melakukan
penyerangan ke segala penjuru.
Setelah
penaklukan Bukhara dan Samarkand berakhir, Jengis Khan menginstruksikan dua puluh ribu pasukannya yang terlatih untuk mengejar Khawarizm Syah Alauddin. Perburuan pun dilakukan. Khawarizm Syah lari menyelamatkan diri, berpindah
dari satu negeri ke negeri lain,
tetapi selalu diketahui oleh pasukan Mongol. Akhirnya ia menyeberangi
laut Tibristan. Ia memanjat ke
benteng pertahanan pulau tersebut dan di situ Kawarizm Syah Muhammad menghembuskan nafasnya yang
terakhir,[12] ia
digantikan oleh Jalaluddin bin Khawarizm Syah.
Setelah
Bukhara dan Samarkand ditaklukkan,
daerah-daerah lain secara hampir
beruntun jatuh ke tangan besi Jengis
Khan. Daerah-daerah tersebut adalah Khurasan, Hamadzan, Quzwain dan sampai ke perbatasan Irak.[13] Pada
akhir tahun 617 H/1220 M, memasuki tahun 618 H/1220 M, pasukan
Mongol menyerang negeri Kurj. Tapi
karena penduduk negeri ini melakukan perlawananan dengan sengit, akhirnya mereka meninggalkan negeri Kurj
untuk berangkat mencari mangsa berikutnya.
Tahun 618 ini mereka berhasil
menaklukkan Tibriz, Kanjah, Hamdan dan Ardabil. Selanjutnya mereka bertolak menuju pusat pemerintahan Islam di Baghdad.
Anaknya,
Chagatai berusaha menguasai kembali daerah-daerah Islam yang pernah ditaklukkan dan berhasil merebut Illi, Ferghana, Ray, Hamazan dan Azerbaijan. Sultan Khawarizm, Jalal
al-Din berusaha keras membendung serangan tentara Mongol ini, namun Khawarizm tidak sekuat
dulu. Kekuatannya sudah
banyak terkuras dan akhirnya terdesak.
Sultan melarikan diri di sebuah daerah
pegunungan ia dibunuh oleh seorang
Kurdi. Dengan demikian,
berakhirlah kerajaan Khawarizm. Kematian Sultan Khawarizm syah itu membuka jalan bagi Chagatai untuk melebarkan sayap kekuasaannya dengan lebih leluasa. Saudara
Chagatai, Tuli Khan menguasai Khurasan, karena kerajaan- kerajaan Islam sudah terpecah-belah dan kekuatannya sudah lemah,
akhirnya Tuli dengan mudah dapat menguasai Irak. Ia meninggal tahun 654 H/1256 M, dan digantikan oleh puteranya, Hulagu Khan.[14]
2. Sebab
Serangan Baghdad
Serangan-serangan yang dilakukan oleh
Mongol memiliki latar belakang yang menjadi motivasi mereka untuk melakukan
penyerang tersebut. Maidir Harun dan Firdaus[15]
memaparkan bahwa ada beberapa hal yang menjadi motivasi bagi Mongol untuk
melakukan serangan, sebagai berikut:
a.
Factor Politik
Pada
tahun 615 H. sekitar 400 orang pedagang bangsa Tartar dibunuh atas persetujuan
wali (gubernur) Utrar. Barang dagangan mereka dirampas dan dijual kepada
saudagar Bukhara dan Samarkand dengan tuduhan mata-mata Mongol. Tentu saja hal
ini menimbulkan kemarahan Jenghis Khan. Jenghis Khan mengirimkan pasukan kepada
Sultan Khawarizmi untuk meminta agar wali Utrar diserahkan sebagai ganti rugi
kepadanya. Utusan ini juga dibunuh oleh Khawarizmi Syah sehingga Jenghis Khan
dengan pasukannya melakukan penyerangan terhadap wilayah Khawarizmi.[16]
b.
Factor Ekonomi
Motif ini diperkuat oleh ucapan
Jenghis Khan sendiri, bahwa penaklukan-penaklukan dilakukannya adalah
semata-mata untuk memperbaiki nasib bangsanya, menambah penduduk yang masih
sedikit, membantu orang-orang miskin dan yang belum berpakaian. Sementara di
wilayah Islam rakyatnya makmur, sudah berperadaban maju, tetapi kekuatan
militernya sudah rapuh.
c.
Tabiat
Orang Mongol
Tabiat
mereka yang suka mengembara, diundang ataupun tidak diundang mereka akan datang
juga menjarah dan merampas harta kekayaan penduduk dimana mereka berdiam.
Penyerangan-penyerangan yang dilakukan oleh Jenghis Khan dengan pasukan
perangnya yang terorganisir, berusaha memperluas wilayah kekuasaan dengan
melakukan penaklukan. Para ahli pertukangan mereka bawa dalam pasukan batalion Zeni
(yon-zipur) untuk membuat jembatan dan menjamin melancarkan
transportasi dalam penyerangan. Para tawanan perang dimanfaatkan secara paksa
untuk memanggul perlengkapan perang dan makanan. Strategi perang Jenghis Khan
yang tidak ketinggalan juga adalah membariskan penduduk sipil yang telah kalah
di depan tentara sebagai tameng untuk menggetarkan musuh. Di samping itu,
Jenghis Khan membawa penasehat yang terdiri dari para rahib dan tukang ramal.
3. Serangan
Bangsa Mongol ke Baghdad
Jengis Khan berarti Penguasa Mutlak, Temujin
lebih dikenal dengan gelarnya. Sesuai dengan gelarnya, Jengis Khan sangat
berambisi untuk menjadi maharaja diraja.
Pada saat kondisi fisiknya sudah mulai
melemah, Jengis Khan membagi wilayah kekuasaannya menjadi
empat bagian kepada
keempat orang puteranya, yaitu Juchi,
Chagatai, Ogotai dan Tuli. Jengis
Khan meninggal pada tahun 624 H/1227
M dalam usia seratus dua belas tahun, setelah
menyerang negeri-negeri Islam sejak
tahun 616 H/1219 M[17]. Anaknya, Chagatai berusaha menguasai kembali
daerah-daerah Islam yang pernah ditaklukkan dan berhasil merebut Illi,
Ferghana, Ray, Hamazan dan Azerbaijan. Sultan Khawarizm, Jalal al-Din berusaha keras membendung serangan
tentara Mongol ini, namun Khawarizm tidak sekuat dulu. Kekuatannya
sudah banyak terkuras dan akhirnya terdesak.
Sultan melarikan diri di sebuah daerah
pegunungan ia dibunuh oleh seorang
Kurdi. Dengan demikian,
berakhirlah kerajaan Khawarizm. Kematian Sultan Khawarizmsyah itu membuka jalan bagi Chagatai untuk melebarkan sayap kekuasaannya dengan lebih leluasa. Saudara
Chagatai, Tuli Khan menguasai Khurasan, karena kerajaan- kerajaan Islam sudah terpecah-belah dan kekuatannya sudah lemah,
akhirnya Tuli dengan mudah dapat menguasai Irak. Ia meninggal tahun 654 H/1256 M, dan digantikan oleh puteranya, Hulagu Khan.[18]
Hulagu
Khan, Ia lahir tahun 614 H/1217 M, sepuluh tahun sebelum meninggalnya Jengis Khan. Ibnu Katsir berkata: “Hulagu Khan adalah
raja yang diktator, sadis dan
tidak bermoral. Ia bantai kaum
muslimin di timur dan barat dalam jumlah yang sangat besar. Ia tidak menganut agama apapun. Isterinya, Zafar Khatun beragama Kristen dan mendahulukan orang-orang Kristen dari yang lain[19]. Ketika Hulagu Khan resmi berkuasa, ia
berambisi besar menggabungkan Baghdad-markas negeri Islam ke
dalam pemerintahannya. Kalau ini tercapai, maka ia mampu mewujudkan cita-cita kakeknya yang tidak terwujud. Pada masa
pemerintahan Hulagu Khan, pasukan Mongol
melakukan penyerbuan brutal terhadap
negeri-negeri Islam. Mereka menyerang Kota Arbil, mengepungnya, merobohkan tembok pertahanannya dan menaklukkannya
dengan paksa kemudian membunuh
warganya dan menawan anak-anak dan
para wanita.
Setelah
itu, mereka menyerang
Aljazair, Suruj, Ra’yal ‘ain dan wilayah-wilayah sekitarnya. Mereka membantai penduduknya, menawannya, merampok harta kekayaannya dan menghancurkannya. Jumlah korban jiwa di Aljazair
ketika itu mencapai sepuluh ribu orang. Jumlah wanita dan anak-anak yang ditawan
juga sekitar sepuluh ribu orang. Dari
Aljazair mereka meneruskan penyerbuan terhadap
wilayah-wilayah Islam yang lain
dengan disertai penghancuran total dan
penawanan massal. Itu semua disambut gembira oleh Hulagu, dan sangat ingin agar ambisinya
terwujud.[20]
Setelah
Hulagu Khan merasa optimis
dengan kemampuan pasukannya untuk menduduki Baghdad, dia langsung melaksanakan strategi perangnya yang telah dirancang saat
dia di Hamadzan. Pasukan Hulagu
Khan mengepung Baghdad dari segala
penjuru. Ia menunjuk salah seorang
panglima perang yang bernama Baju
untuk melakukan penyerangan dari arah barat, dan Hulagu sendiri memimpin pasukan inti untuk mengepung Baghdad dari arah timur (tahun 656/1257). Hulagu ditemani
oleh banyak pemimpin kaum muslimin seperti
Abu Bakar Sa’ad Zanki Atabek Syiraj, Nushair as Sa’di, penulis dan penyair Persia yang terkenal, Badruddun Lu’lu Atabek Maushil dan
sekretaris pribadinya Atha’ Malik al Juwaini, dan Nashiruddin at Thusi, ahli
falak terkemuka.
Dua puluh farsakh sebelum memasuki Hamadzan, Hulagu
didatangi oleh Syarafuddin bin al
Jauzi, utusan khalifah al Abbasy
dengan membawa surat untuk menenangkan tentara Hulagu dan berjanji
akan membayar jizyah pertahun jika ia mau kembali ke negerinya. Hulagu tidak menggubris
surat tersebut dan sambil mengejek ia berkata kepada duta khalifah
sebagai berikut: “Kami telah menempuh jarak yang jauh, bagaimana mungkin kami kembali sebelum bertemu dengan Khalifah. Setelah kami mendapat kemuliaan
untuk bersimpuh dihadapannya dan
setelah berbincang-bincang dengan beliau, kami akan mendengar titahnya dan setelah itu kami akan kembali segera. Kemudian Hulagu melanjutkan perjalanan dan memerintahkan kepada Baju agar segera menyeberang
sungai Dijlah dan menyerang Baghdad dari arah barat. Ketika pasukan Baju
berhasil menyeberangi sungai tersebut terjadilah pertempuran, dan pasukan Abbasiyah mengalami kekalahan pada tgl. 10 Muharram tahun 656 H. Baju menguasai bagian barat Baghdad. Konsentrasi pasukan Abbasiyyah terpusat ke arah barat dan menyebabkan perbatasan bagian
timur kosong. Akhirnya pasukan
Hulagu merengsek masuk dari arah timur menuju Kota Baghdad. Jumlah
pasukannya tidak terhitung
jumlahnya. Ibnu Katsir memperkirakan
pasukannya berjumlah dua ratus ribu
personil.[21]
Ketika Khalifah melihat bahwa kekalahan
sudah di depan mata, akhirnya dia mengambil jalan untuk menyerah.
Sekali lagi beliau mengutus Syarafuddin al Jauzi kepada Hulagu untuk membawa hadiah-hadiah yang
berharga dan memberitahukan bahwa
beliau menyerah dan meminta perang dihentikan. Beberapa hari berselang,
pasukan Mongol menipu kaum muslimin
dengan janji-janji dusta. Ibnu Katsir menyebutkan bahwa menteri Ibnu
Alqami, keluarga, teman dan
kerabatnya telah berkumpul di
bawah perlindungan Hulagu. Kemudian beliau menyarankan
kepada Khalifah untuk keluar menemui
Hulagu dan bersimpuh dihadapannya
dengan menyerahkan sebagian pajak
kepada Hulagu dan sebagiannya lagi untuk Khalifah.
Pada hari ahad, 4 shafar tahun
656 (11 Februari 1258), Khalifah
keluar menemui Hulagu dengan ditemani oleh tiga anaknya dan tiga ribu tokoh-tokoh
penting, diantaranya para qadhi, fuqaha, kalangan sufi, para gubernur dan tokoh-tokoh Kota Baghdad. Dalam pertemuan itu Hulagu minta
kepada Khalifah untuk menyerahkan seluruh
harta yang ia miliki. Selanjutnya dia meminta agar penduduk
Baghdad meletakkan senjata. Tetapi
penduduk tidak mengikuti seruan
Khalifah, sehingga akhirnya pasukan
Mongol turun tangan dan membunuh penduduk dengan cara yang sangat kejam. Disaat Hulagu sudah berada di
Istana Ma’muniyah, di timur Baghdad,
ia baru memerintahkan pasukannya untuk
masuk ke Kota. Mereka melakukan huru
hara selama seminggu. Mereka merobohkan
masjid untuk mengambil emas yang ada di kubahnya, dan mengambil apa
saja yang ada di istana, memusnahkan
buku-buku yang berharga yang ada
di perpustakaan
dan membunuh banyak sekali ulama.
Pasukan Mongol meletakkan ujung pedangnya
ke batang leher penduduk
Baghdad selama empat puluh hari. Mereka merampas harta penduduk,
membunuh cendekiawan, membunuh imam-imam masjid dan penghafal-penghafal
al-Qur’an, masjid, sekolah dan
segala aktivitas keilmuan berhenti total. Baghdad seperti padang tandus.
Mayat bergelimpangan di jalan-jalan laksana bukit. Warnanya berubah dan membusuk hingga mengeluarkan bau busuk ke seluruh
pelosok Baghdad. Akibatnya timbul wabah penyakit yang tidak hanya menimpa masyarakat Baghdad tetapi menular sampai ke Syam karena terbawa
tiupan angin. Banyak yang meninggal
karena wabah ini. Ketika seruan aman diumumkan, orang-orang yang
tadinya bersembunyi di bawah tanah berkeluaran,
seolah- olah mayat yang keluar
dari kuburnya.
Tetapi mereka keluar
dari tempat persembunyiannya ternyata bukan untuk menikmati kehidupan. Namun keluar untuk menghadapi maut yang
telah siap menunggunya. Mereka diserang
wabah penyakit dan kemudian meninggal
dunia. Peristiwa tragis ini berakhir dengan terbunuhnya Khalifah Mu’tashim dan
dua anaknya, Abul Abbas Ahmad dan Abul Fadha’il Abdurrahman, tertawannya anak
bungsunya Mubarak dan tiga saudara perempuannya Fatimah, Khadijah dan Maryam.
Target
selanjutnya dari Hulagu
adalah Syria dan Mesir. Ia bertahan dua tahun di Baghdad untuk berbenah diri sebelum melakukan ekspansi ke dua daerah tersebut. Sepeninggal Hulagu, Baghdad dan
daerah yang terletak antara Asia
Kecil di barat dan India di timur dengan Tabriz sebagai ibu Kotanya dikuasai
oleh Dinasti Ilkhan. Ilkhan adalah gelar
yang diberikan kepada Hulagu.
4. Akibat
Serangan Mongol
Daerah
kekuasaan Islam pada jaman Abbasiyyah adalah kawasan termodern saat itu di dunia.
Masyarakatnya terpelajar dengan
banyaknya sekolah yang berdiri di seluruh
penjuru negeri. Struktur
masyarakat sudah rapi.
Perpustakaan Baghdad adalah perpustakaan
terlengkap yang menyimpan banyak sekali
informasi ilmu pengetahuan. Serangan
yang dilancarkan oleh Mongol adalah
serangan terakhir yang dilakukan
oleh masyarakat nomaden terhadap masyarakat berperadaban yang tenggelam dalam
kemewahan.[22] Pasukan
Mongol Menyapu bersih peradaban
Islam, baik itu Kota maupun ilmu pengetahuan. Mereka tidak meninggalkan disana kecuali puing- puing
usang, padahal sebelumnya telah
berdiri istana-istana megah yang dikelilingi dengan taman yang sangat indah dan kebun-kebun gandum
yang subur. Ketika tentara Mongol bergerak meninggalkan Kota Herat, hanya tinggal
hanya empat puluh orang yang tersisa dari jumlah penduduk sebelumya mencapai 100.000 orang. Sedangkan Kota Bukhara yang terkenal dengan Kota ilmuwan dan para alim dijadikan oleh pasukan Mongol kandang kuda mereka. Mereka sobek-sobek mushaf dan mereka jadikan injakan kendaraan mereka. Begitu juga nasib Kota Samarkand,
Balkh, dan Kota-Kota besar lainnya di
AsiaTengah yang dulunya menjadi kebanggaan peradaban Islam, tempat tinggal
para ulama dan ka’bahnya ilmu
pengetahuan. Nasib yang sama juga dialami Baghdad
yang untuk beberapa lama menjadi
pusat peradaban Islam.
Jadi kerugian yang dialami
oleh kaum muslimin begitu besar, tidak
hanya bangunan fisik, tetapi juga
SDM-SDM tangguh.[23]
5.
Dampak
Positif dan Negatif Dinasti Ilkhan
Kekuasaan Mongol
terhadap peradaban Islam sungguh sangat terasa. Dampak negatif tentunya lebih
banyak jika dibandingkan dampak positifnya. Kehancuran tampak jelas di
mana-mana dari serangan Mongol, sejak dari wilayah timur hingga ke barat.
Kehancuran kota-kota dengan bangunan yang indah-indah dan
perpustakaan-perpusatakaan yang mengoleksi banyak buku memperburuk situasi umat
Islam. Pembunuhan terhadap umat Islam terjadi, bukan hanya pada masa Hulagu
yang membunuh Khalifah Abbasiyah dan keluarganya, tetapi pembunuhan juag
dilakukan terhadap umat Islam yang tidak berdosa. Seperti yang dilakukan oleh
Arghun, Khan keempat pada dinasti Ilkhan terhadap Takudar sebagai Khan ketiga
yang dihukum mati karena masuk Islam. Arghun membunuh umat Islam dan mencopot
mereka dari jabatan-jabatan penting negara. Shamsuddin, seorang administrator
dari keluarga Juwaini yang tersohor juga di hukum mati pada tahun 1284.
Syhihabuddin, penggantinya juga di bunh pada tahun 1289, dan Sa’id Ad-Daulah
yang orang Yahudi itu dihukum mati pula pada tahun 1289.
Bangsa Mongol yang
asal mulanya memeluk agama nenek moyang mereka, beralih memeluk agama Buddha
dan rupanya mereka bersimpati terhadap orang-orang Kristen yang bangkit kembali
pada masa itu dan menghalang-halangi dakwah Islam dikalangan Mongol. Yang lebih
fatal lagi ialah hancurnya Baghdad sebagai puasat Dinasti Abbasiyah yang
didalamnya terdapat berbagai macam tempat belajar dengan fasilitas
perpustakaan, hilang lenyap dibakar oleh Hulagu. Suatu kerugian besar bagi
khazanah ilmu pengetahuan yang dampaknya masih dirasakan hingga kini.
Adapula dampak
positif dengan berkuasanya dinasti Mongol ini setelah para pemimpinya memeluk
agama Islam. Mereka dapat menerima dan masuk ke agama Islam, antara lain
disebabkan mereka berasimilasi dan bergaul dengan masyarakat muslim dalam
jangka panjang. Seperti yang dilakukan oleh Ghazan Khan (1295-1304) yang
menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaannya, walaupun pada mulanya
beragama Buddha. Rupanya ia telah mempelajari ajaran agama-agama sebelum menetapkan
keislamannya. Dan yang lebih mendorongnya
masuk Islam ialah karena pengaruh seorang menterinya, Rashiduddin yang
terpelajar dan ahli sejarah yang terkemuka yang selalu berdialog dengannya, dan
Nawruz, seorang gubernurnya untuk beberapa provinsi Syiria. Ia menyuruh kaum
Kristen dan Yahudi untuk membayar jizyah, dan memerintahkan untuk mencetak uang
yang bercirikan Islam, melarang riba, serat menyuruh para pemimpinnya
menggunakan sorban. Ia gemar kepada seni dan ilmu pengetahuan, menguasai
beberapa bahasa seperti Mongol, Arab, Persia, Cina, Tibet, dan Latin. Ia wafat
muda pada usia ketika masih berumur 32 tahun karena tekanan batin yang berat
sehigga ia sakit yang menyebabkan kematiannya, yaitu ketika pasukannya kalah di
Syiria dan munculnya sebuah komplotan yang berusaha untuk menggusurnya dari
kekuasaannnya. Sepeninggal Ghazan digantikanlah oleh Uljaytu Khuda Banda
(1305-1326) yang memberlakukan aliran Syi’ah sebagai hukum resmi kerajaannnya.
Ia mendirikan ibu kota baru yang bernama Sultaniyah, dekat Qazwain yang
dibangun dengan arsitektur khas Ilkhan dan menjadi pusat perdagangan yang
menghubungkan antara dunia Barat dan India serta Timur jauh. Namun,
perselisihan dalam keluarga Dinasti Ilkhan menyebabkan runtuhnya kekuasaan
mereka.[24]
C. Penutup
Dari uraian diatas
dapat disimpulkan bahwa:
1.
Bangsa
Mongol berasal dari daerah pegunungan Mongolia yang daerahnya terbentang dari
kawasan Asia Tengah hingga menyentuh Siberia Utara, Tibet Selatan hingga ke
Manchuria Barat, dan Turkistan Timur. Ada
pula yang berpendapan Bangsa Mongol tinggal di kawasan yang terbentang dari
Manchuria hingga Hongaria.
2.
Pasukan mongol menyerang Negara islam ketika Jengis
Khan menjadi pemimpin mereka. Sebelum jengis Khan meninggal ia Mewariskan
daerah kekuasaannya kepada empat orang putranya, diantaranya putranya ialah Tuli
yang merupakan ayah Hulagu Khan sang penghancur Baghdad sebagai kota peradaban.
3.
Adapun
sebab dari penyerbuan Baghdad oleh pasukan Mongol dilator belakangi oleh
factor: a) Politik, Pada tahun 615 H. sekitar 400 orang pedagang bangsa Tartar
dibunuh atas persetujuan wali (gubernur) Utrar. Barang dagangan mereka dirampas
dan dijual kepada saudagar Bukhara dan Samarkand dengan tuduhan mata-mata
Mongol. Tentu saja hal ini menimbulkan kemarahan Jenghis Khan. b) Ekonomi,
Motif ini diperkuat oleh ucapan Jenghis Khan sendiri, bahwa
penaklukan-penaklukan dilakukannya adalah semata-mata untuk memperbaiki nasib
bangsanya.
4.
Hulagu Khan menyerang Baghdad karena ingin
mewujudkan ambisi dari para leluhurnya yaitu menjadi penguasa dunia. Ia
menaklukkan Bukhara yang dilanjutkan dengan menyerbu Samarkand hingga Akhirnya
pada tahun 1258 ia berhasil menaklukkan Baghdad setelah mengepungnya selama 40
hari dan membunuh al-Mu’tashim sang Khalifah terakhir abbasiyah beserta tiga
orang putra sang Khalifah. Akibat serangan mongol, kerugian yang dialami
oleh kaum muslimin begitu besar, tidak
hanya bangunan fisik, tetapi juga
SDM-SDM tangguh.
5.
Kekuasaan Mongol terhadap peradaban Islam sungguh sangat terasa. Dampak
negatif tentunya lebih banyak jika dibandingkan dampak positifnya.
D. DAFTAR
PUSTAKA
Al Wakil, Muh.Sayyid.
1998. Wajah Dunia Islam. Jakarta: Pustaka al Kautsar
Amin, Muhammad Masyhur. 2004. Sejarah
Peradaban Islam. Bandung: Indonesia Spirit Foundation
Atsir, Ibnu.
1982. al Kamil fit Tarikh. Beirut: Darul Fikr
Erik, Ignatius. 2009. Peranan Mongol terhadap Keruntuhan
Kepangeran Rus Kiev tahun 1237 – 1240. Skripsi: tidak diterbitkan
Hasan Shadily dkk. 1996. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: PT
Ichtiar Baru-Van Hoeve
Hasan, Hasan Ibrahim. 1989. Sejarahdan
Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Kota Kembang
Hitti, Philip K. 2006. History of
the Arabs. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta
Katsir,
Ibnu.1987. Bidayah
wan Nihayah. Beirut:
Dar el Kutub el Ilmiyyah
Lapidus, Ira M. 1999. Sejarah Sosial Umat Islam. Jakarta:
Raja Grafindo Persada
Maidir Harun dan Firdaus. 2002. Sejarah
Peradaban Islam. Padang: IAIN-IB Press
Stephen, Turnbull. 2003. Gengghis Khan and The Mongol Qonquest
1190-1400. Great Britain: Osprey Publishing
Supriyadi, Dedi. 2016. Sejarah
Peradaban Islam. Bandung: CV Pustaka Setia
Yatim, Badri. 1998. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada
[2] Ira M Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1999), h. 638
[3] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, ( Jakarta,PT Raja Grafindo
Persada,1998) h. 112
[4] Ibid, 123
[5]Ignatius Erik, Peranan Mongol
terhadap Keruntuhan Kepangeran Rus Kiev tahun 1237 – 1240 (skripsi) (tidak
diterbitkan, 2009), h. 20-22
[6]Turnbull Stephen, Gengghis Khan and The Mongol Qonquest 1190-1400 (Great Britain:
Osprey Publishing, 2003), h. 14-15
[7]Sumber lain mengatakan namanya adalah
Sultan Alauddin, sedangkan nama Muhammad
sendiri menurut Bertold Spuler merupakan Muhammad II dan ada pula yang
menyebutnya Alauddin Muhammad yang merupakan syah terbesar dinasti ini. Lihat
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,
h. 113
[11] Hasan Shadily dkk,
Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: PT
Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1996), h. 136-137
[13] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 1998), h. 113
[15] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam,
(Padang: IAIN-IB Press, 2002), h. 107-108.
[16]Muhammad Masyhur Amin, Sejarah
Peradaban Islam, (Bandung: Indonesia Spirit Foundation, 2004), h. 171. Bahwa
faktor politik yang menyebabkan bangsa Mongol melakukan penyerangan ke wilayah
Islam adalah pertama, karena Sultan Alauddin Muhammad Khawarizmi Syah
memasukkan daerah suku Qarahatun ke dalam kekuasaannya pada tahun 1210 M.,
sehingga wilayahnya langsung berbatasan dengan wilayah kerajaan Jenghis Khan. Kedua,
pembataian pedagang Mongol disebabkan karena tiga orang Islam saudagar besar
bersama rombongan-nya dibunuh dan dirampas barang dagangannya oleh orang-orang
Mongol di Ibu Kota Qoraqarun. Oleh sebab itu, amir Ghayun Khan diperintahkan
oleh Sultan Alauddin agar membunuh 150 orang pedagang Mongol yang ada di Utrar.
[19] Ibnu Katsir, al Bidayah wan Nihayah, (Beirut: Dar el Kutub el Ilmiyyah, 1987), h.
248
[21] Ibnu Katsir, Bidayah wan Nihayah, (Beirut: Dar el Kutub el Ilmiyyah, 1987), h. 200
[23] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2016), h. 185
No comments:
Post a Comment