Wednesday, November 15, 2017

Kejayaan peradaban islam di Timur Kebijakan Politik pada masa daulah bani umayyah

Kejayaan peradaban islam di Timur
Kebijakan Politik pada masa daulah bani umayyah
Oleh
Kunainah Afroyim
A.    Latar Belakang
Nama “Umayah” di nisbatkan kepada Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf, yaitu salah seorang dari pemimpin kabilah Quraisy pada zaman jahiliah. Ia dan pamanya, Hasyim bin Abdi Manaf, selalu bertarung dalam memperebutkan kekuasaan dan kedudukan.
Bani Umayyah baru masuk agama Islam setelah mereka tidak menemukan jalan lain selain memasukinya, yaitu ketika Nabi Muhammad Saw. Beserta beribu-ribu pengikutnya (yang benar-benar percaya terhadap kerasulan dan kepemimpinan) menyerbu masuk ke dalam kota Makkah. [1]
Hampir semua sejarawan membagi Disnasti Umayyah menjadi dua, yaitu:
Pertama, Dinasti Umayyah yang dirintis dan didirikan oleh Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan yang berpusat di Damaskus(Siria). Fase ini berlangsung satu abad dan mengubah sistem pemerintahan dari sistem khilafah pada sistem mamlakat (kerajaan atau monarki)[2]
Kedua, Dinasti Umayyah di Andalusia(Siberia) yang pada awalnya wilayah taklukan umayyah di bawah pimpinan seorang gubernur pada zaman Walid Ibn Abd Malik; kemudian diubah menjadi kerajaan yang terpisah dari kekuasaan Dinasti Bani Abbas setelah berhasil menaklukan Dinasti Umayyah di Damaskus.[3]

B.     Pembahasan
1.      Daulah Bani Umayyah
Dinasti Bani Umayyah didirikan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan pada tahun 41 H/661 M di Damaskus, dan berlangsung hingga tahun 132 H/750 M. Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah seorang politisi andal ; pengalaman politiknya sebagai Gubernur Syam pada zaman Utsman bin Affan mengantarkan dirinya mampu mengambil alih kekuasaan dari geng gaman keluarga Ali bin Abi Thalib. Tepatnya, setelah Hasan bin Ali bin Abi Thalib menyerah kursi kekhaliffan secara resmi kepada Mu’awiyah bin Abi sufyan dalam peristiwa ‘Ammul Jama’ah. Oleh karena itu, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dinyatakan sebagai pendiri Dinasti Bani Umayyah.
Ditinju dari sejarahnya, Bani Umayyah memang begitu kental dengan kekuasaanya, terutama pada masa jahiliah. Dalam setiap persaingan, ternyata Bani Umayyah selalu lebih unggul dibandinglan keluarga Bani Hasyim. Hal ini dikarenakan Bani Umayyah memiliki unsur-unsur berikut[4] :
-          Bani Umayyah berasal dari keturunan keluarga bangsawan.
-          Bani Umayyah mempunyai harta yang cukup banyak
-          Bani Umayyah memiliki 10 anak yang terhormat dan menjadi pemimpin di masyarakat, di antaranya ialah Harb, Sufyan, dan Abu Sufyan.
Sebagaimana yang disebut-sebut dalam sejarah, Abu Sufyan menampakan pemimpin pasukan Quraisy yang melawan Nabi Muhammad Saw. Pada Perang Badar Kubra. Keluarga Bani Umayyah masuk Islam ketika terjadi Fathul Makkah pada tahun ke-8 H.
Abu sufyan diberi kehormatan untuk mengumumkan pengamanan Nabi Muhammad Saw yang salah satunya  adalah barang siapa masuk rumahnya, maka amanlah ia, masuk ke dalam masjidil haram, dan rumahnya Nabi Muhammad Saw, maka ia juga akan merasa aman. Dengan inilah, banyak kaum dari kalangan Bani Umayyah yang berduyun-duyun masuk Islam dan menyebarkan Islam ke berbagai wilayah.
Secara genealogis (garis keturunan), Mu’awiyah bin Abi sufyan bertemu dengan sisilah keluarga Nabi Muhammad Saw pada Abdul Manaf. Keluaga Nabi Muhammad Saw di kenal dengan sebutan Bani Hasyim, sedangkan keluarga Umayyah disebut dengan Bani Umayyah.
Mu’awiyahbin Abi Sufyan dilahirkan sekitar 15 Tahun sebelum hijriah, dan mauk islam saat penaklukan kota Makkah bersama-sama penduduk kota Makkah lainya. Setelah masuk Islam, Nabi Muhammad Saw mengatakannya sebagai anggota sidang dari penulis wahyu. Dalam perjalanan sejarah hidupnya, ia diangkat sebagai Gubernur syam pada masa Utsman bin Affan.
Dari sinilah, karier potilik Mu’awiyah bin Abi Sufyan dimulai. Setelah kemenangannya dalam peristiwa Tahkim Daumatul Jandal dan proses perdamaian yang dilakukan oleh Hasan bin Ali bin Abi Thalib dalam peristiwa ‘Ammul Jama’ah. Mu’awiyah bin Abi Sufyan menjadi khalifah dalam pemerintahan Islam.
Sebenarnya, Mu’awiyah bin Abi Sufyan berhasil mendirikan Dinasti Umayyah bukan hanya dikarenakan kemenangan diplomasi di siffin dan terbunuhnya khalifah Ali bin Abi Thalib, melainkan sejak semula ia memiliki “basis rasional” yang solid bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan, di antaranya ialah sebagai berikut :
·         Dukungan yang kuat dari rakyat Suriah dan keluarga Bani Umayyah. Penduduk Suriah yang lama diperintah oleh Mu’awiyah mempunyai pasukan yang kokoh, terlatih, dan disiplin di garis depan dalam peperangan melawan romawi. Mereka bersama kelompok bangsawan kaya Makkah dari keturunan Umayyah berbeda sepenuhnya di belakang Mu’awiyah dan memasoknya dengan sumber-sumber kekuatan yang tidak ada habisnya, baik moral, tenaga manusia, maupun kekayaan. Negeri suriah pun terkenal makmur dan mnyimpan sumber alam yang melimpah. Ditambah lagi bumi Mesir yang berhasil dirampas, maka sumber-sumber kemakmuran dan suplai bertambah bagi Mu’awiyah.
·         Sebagai seorang administrator. Mu’awiyah sangat bijaksana dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting. Tiga orang patutlah mendapat perhatian khusus, yaitu Amr bin Ash, Mughirah bin Syu’bah, dan Ziyad bin Abihi. Ketika pembantu Mu’awiyah ini merupakan empat polotikus yang sangat mengagumkan di kalangan muslim Arab. Akses mereka sangat kuat dalam membina perpolitikan Mu’awiyah.
·         Mu’awiyah memiliki kemampuan menonjol sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat hilm, sifat penting yang dimiliki oleh para pembesar Makkah zaman dahulu. Seorang manusia hilm, seperti Mu’awiyah dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi. Gambaran dari sifat mulia tersebut ada di dalam diri Mu’awiyah, setidak-tidaknya tampak dalam keputusannya yang berani memaklumkan jabatan khalifah secara turun menurun.
Gaya kepemimpinan yang di gunakan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan sangat bertolat belakang dengan sistem kepemimpinan pada masa khulafaur rasyidin. Pada masa ini, sistem pemerintshsn yang digunakan adalah sistem demokrasi, yaitu sistem pemerintahan berasaskan musyawarah dalam mengambil keputusan dan pemilihan pemimpin dilakukan oleh rakyat.
Selain sistem pemerintahan, ada pula perubahan lainya, seperyi baitl mal. Pada masa khulafaur rasyidin, baitul mal berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat ; setiap warga negara memiliki hak yang sama terhadap harta tersebut. Akan tetapi, berbeda dengan masa Mu’awiyah bin Abi Sufyan, lantaran baitul mal beralih keudukan menjadi harta kekayaan keluarga raja.
Diatntara kebijakan yang dilakukan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan pada masa pemerintahannya ialah sebagai berikut[5] :
·         Pembentukan diwanul hijabah, yaitu sebuah lembaga yang bertugas memberikan pengawalan khalifah.
·         Pembentukan diwanul khatam, yakni lembaga yang bertugas mencatat semua peraturan yang di keluarkan oleh khalifah dalam berita acara pemerintahan.
·         Pembentukan diwanul barid, yaitu departemen pos dan transportasi, yang bertugas menjaga pos-pos perjalanan dan menyediakan kuda sebagai alat transportasi.
·         Pembentukan shahibul kharraj (pemungut pajak)

2.      Para Khalifah Dinasti Umayyah
Masa kekuasaan Dinasti Bani Umayyah hampir mencapai satu abad tepatnya selama 90 tahu dengan 14 khalifah. Berikut daftar 14 khalifat tersebut :
no
Nama
Tahun
1
Mu’awiyah bin Abi Sufyan
(41-60 H / 661-680 M)
2
Yazid bin Mu’awiyah
(60-64 H / 680-683 M)
3
Mu’awiyah bin Yazid
(64-64 H / 683-683 M)
4
Marwan bin Hakam
(64-65 H / 683-685 M)
5
Abd Malik bin Marwan
(65-86 H / 685-705 M)
6
Al-Walid bin Abd Malik
(86-96 H / 705-715 M)
7
Sulaiman bin Abd Malik
(96-101 H / 715-716 M)
8
Umar bin Abd Aziz
(99-101 H / 716-720 M)
9
Yazid bin Abd Malik
(101-105 H / 720-724 M)
10
Hisyam bin Abd Malik
(105-125 H / 724-743 M)
11
Walid bin Yazid
(125-126 H / 743-744 M)
12
Yazid bin Walid
(126-127 H / 744-744 M)
13
Ibrahim bin Walid
(127-127 H / 744-745 M)
14
Marwan bin Muhammad
(127-132 H / 745-750 M)

Di antara 14 orang khalifah Bani Umayyah yang berkuasa sekitar 90 tahun, terdapat beberapa orang khalifah yang dianggap berhasil dalam menjlankan roda pemerintahan. Addapun nama-nama khalifah Bani Umayyah yang menonjol karena prestasinya masing-masing adalah sebagai berikut :
·         Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
·         Abdul Malik bin Marwan
·         Al-Walid bin Abdul Malik
·         Umar bin Abdul Aziz
·         Hisyam bin Abdul Malik
3.      Ekspansi pada Masa Umayyah
Secara umum penaklukan pemerintahan Bani Umayyah, mwliputi tiga wilayah. Pertama, melawan pasukan Romawi di Asia Kecil. Penaklukan ini sampai dengan pengepungan Konstatinopel dan beberapa kepulauan di Laut Tengah. Kedua, wilayah Afrika Utara. Penaklukan ini sampai ke Samudra Atlantik dan menyebrang ke Gunung Thariq hingga ke Spanyol. Ketiga, wilayah Timur. Penaklukan ini sampai ke sebelah timur Irak. Kemudian, meluas ke wilayah Turkistan di utara, serta ke wilayah Sindh di bagian selatan.
Ekspansi Bani Umayyah dalam rangka memperluas wilayah kekuasaan merupakan lanjutan dari ekspansi yang dilakukan oleh para pemimpin Islam sebelumnya.muawiyah berhasil menaklukan Tunis, Khurasan sampai ke sungai Oxus serta Afganistan sampai Kabul ; dan angkatan laut Muawiyah menyerang Konstantinopel (ibukota Bizantium). Ekspansi ini kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Abd Al-Malik. Ia berhasil menundukan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Fergana, Samarkand, dan bahkan sampai ke India dengan menguasai Balukhistan, Sind, dan daerah Punjab sampai ke Maltan.
Selain itu, Walid Ibn Abd Al-Malik adalah khalifah yang berhasil menundukan Maroko dan Al-Jazair. Dari kota ini, serangan kemudian dilanjut ke Eropa atas pemimpinan Thariq Ibn Ziyad. Tentara Spanyol dapat dikalahkan oleh pasukan Thariq. Oleh karena itu, ibukota Spanyol, Kordova, dapat dikuasai. Setelah itu, dikuasi pula oleh kota Seville, Elvira, dan Toledo. Pada zaman Umar Ibn Abd Ar-Rahman Ibn Abdullah AL-Gafiqi. Di Prancis, umat Islam berhasil menundukkan kota Tours. Namun, Al-Gafiqi mati terbunuh, akhirnya tentara Islam mundur dan kembali ke Spanyol.
Secara operasional, Ahmad AL-Usairy menjelaskan lekak-likuk penaklukan tersebut bahwa ke wilayah Romawi (Turki) ketika itu selalu ilakukan pengintaian dan ekspedisi ke sana. Tujuannya adalah menaklukan Konstantinopel. Kota itu dikepung pada tahun 50 H./670 M. Dan tahun 53-61 H./672-680 M., namun tidak berhasil ditaklukan. Muawiyah membentuk pasukan laut yang siaga di Laut Tengah dengan kekuatan 1.700 kapal. Dengan kekuatan itu, dia berhasil memetik berbagai kemenangan. Dia berhasil memetik berbagai kemenangan. Dia berhasil menaklukan pulai Jarba di Tunisia pada tahun 49 H./669 M., kepulauan Rhodesia pada tahun 53 H./673 M., kepulauan Kreta pada tahun 55 H./624 M., kepulauan Ijij dekat Konstantinopel pada tahun 57 H./680 M.
Di Afrika, Benzarat berhasil dilakukan pada tahun 41 H./661 M., Qamuniyah (dekat Qayrawan) ditaklukan pada tahun 45 H./665 M., Susat juga ditaklkan pada tahun yang sama. Uqbah bin Nafi berhasil menaklukan Sirt dan Mogadishu, Tharablis, dan menaklukan Wadan kembali. Kota Qayrawan dibangun pada tahun 50 H./ 670 M. Kur sebuah wilayah di Sudan berhasil pula ditaklukan. Akhirnya, penaklukan ini sampai ke wilayah Maghrib Tengah (Aljazair). Uqbag bin Nafi adalah komandan yang paling terkenal di kawasan ini.
Selain itu, penaklukan meluas ke kawsan timur (negri Asia Tengah dan Sindh). Negri-negri Asia Tengah, meliputi kawasan yang berada di antara sungai Sayhun dan Jayhun. Di antara kerajaan yang paling penting adalah  sungai Sayhun dan Jayhun. DI antara kerajaan yang paling penting adalah Thakharistan dengan ibukotanya Balkh, Shafaniyan dengan ibukota Syawman, Shaghad dengan ibukota Samarkand dan Bukhari, Farghanah dengan ibukota Jahandah, Khawarizm dengan ibukota Jurjaniyah, Asyrusanah dengan ibukota Banjakat, Syasy dengan ibukota Banlats. Mayoritas penduduk di kawasan itu adalah kaum paganis. Pasukan Islam menyerang wilayah Asia Tengah pada tahun 41 H./661 M.
Pada tahun 43 H./663 M ., mereka mampu menaklukan Sajistan dan sebagaian wilayah Tharistan pada tahun 44 H./664 M,. Abdullah bin Ziyad tiba di pegunungan Bukhari. Pada tahun 44 H./664 M., kaum muslimin menyerang wilayah Sindh dan India. Penduduk di tempat itu selalu menaklukan pemberontakan sehingga membuat kawasan itu tidak selamanya stabil, kecuali pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik.[6]

4.      Bidang Politik dan Pemerintahan
Memasuki masa kekuasan Mu’awiyyah (661 M) yang menjadi awal kekuasaan bani Umayyah ini, sistem pemerintahan Islam yang dulunya bersifat demokrasi berubah menjadi monarki heredetis (kerajaan turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, yaitu Yazid. Beliau menjadikan azas nepotisme sebagai dasar pengangkatan khalifah. Hal ini menunjukan bahwa Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan Bizantium, yakni penerapan garis-garis kepemimpinan.[7]
Pemerintahan ini tentu saja memberikan sinyal awal bahwa kesetiaan terhadap Yazid merupakan bentuk pengokohan terhadap sistem pemerintahan yang turun temurun telah coba dibangun oleh Mu’awiyah. Tidak ada lagi suksesi kepemimpinan berdasarkan asas musyawarah (syuro) dalam menentukan seorang pemimpin baru Mu’awiyah telah merunbah model kekuasaan dengan cara memeberikan kepada putera mahkota. Orang-orang yang berada di luar garis ketutunan Mu’awiyah, secara substansial tidak memiliki ruang dan kesempatan yang sama untuk memimpin pemerintah Umat Islam, karena sistem dinasti hanya membenarkan satu kebenaran dalam dinasti tersebut.
Tradisi bentuk khalifah konfederasi yang diciptakan Rasul pada tahun 622 M (awal priode Madinah), terus berlanjut hingga masa Dinasti Umayyah sejak tahun 661 M. Bedanya, Rasul menerapkan bentuk konfederasi kabilah, sedangkan Dinasti Umayyah menerapkan konfederasi propinsi. Untuk menangani banyaknya propinsi yang ada, maka khalifah ketika itu, Muawiyah bin Abu Sofyan, mencoba menggabungkan beberapa wilayah menjadi satu propinsi. Wilayah-wilayah ini terus berkembang sejalan dengan keberhasilan progam futuhat. Setiap gubernur memilih amir atas jajahan yang berbeda dalam kekuasaanya, dan para amir tersebut bertanggung jawab langsung kepada ara khalifah di daerah.
Nilai politis kebijakan ini adalah upaya sentralisasi wilayah kekuasaan, mengingat potensi daerah-daerah ersebut dalam menopang jalannya pemerintah, baik dari sudut pandang ekonomi, maupun keamanan dan pertahanan nasional. Pada masa Hisyam bin Abdul Malik, Gubernur mempunyai wewenang penuh dalam hal admnistrasi politik dan militer dalam propinsinya, namun mempunyai tanggung jawab langsung pada khalifah.
Pada masa pemerintahan Muawiyah Konsolidasi Internal mulai dilakukan. Tujuannya adalah untuk memperkokoh barisan dalam rangka pertahanan dan keamanan dalam negri. Antisipasi atas setiap gerakan pemberontakan, dan untuk memperlancar progam futuhah. Ada lima diwan (lembaga) yang menopang suksesnya konsolidasi yang dilakukan. Bani Umayah menyusun tata pemerintahan yang sama sekali baru, untuk memenuhi tuntutan perkembangan wilayah dan administrasi kenegaraan yan semakin kompleks. Selain mengangkat majelis penasihat sebagai pendamping, khalifah Bani Umayyah juga dibantu oleh beberapa sekertaris guna membantu pelaksanaan tugas, di antaranya ialah sebagai berikut :
a.       Katib ar-rasail , yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat menyurat dengan para pembesar setempat.
b.      Katib al-kharrah, yaitu sekertaris yang bertugas menyenggarakan penerimaan dan pengeluaran negara.
c.       Katib al-jundi, yaitu sekertaris yang bertugas menyenggarakan berbagai hal yang berkaitan dengan ketentaraan.
d.      Khatibasy-syurtah, yaitu sekertaris yang bertugas menyenggarakan pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum.
e.       Katib al-qudat, yaitu sekertaris yang bertugas menyenggarakan tertib hukum melalui badan-badan peradilan dan hakum setempat.
Selain itu, jasa-jasa Bani Umayyah dalam bidang pemerintahan juga cukup banyak. Mu’awiyah mendirikan dinas pos, menertibkan angkatan bersenjata, mencetak mata uan, dan jabatan qadhi (hakim) mulai berkembang menjadi profesi sendiri.
Abdul malik bin marwan adalah khalifah yang pertama kali membuat mata uang dinar dan menuliskan di atasnya ayat-ayat al-Qur’an.[8] Ia juga melakukan pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahas arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam.
Pada masa Al-Walid bin Abdul Malik, dibangun panti-panti untuk orang cacat, membangun jalan-jalan raya, pabrik-pabrik, gedung pemerintahan, dan masjid-masjid yang megah.
Sedanglan umar bin Abdul aziz memprioritaskan pembangunan dalam negri. Keberhasilannya antara lain menjalin hubungan baik dengan gologan Syi’ah, memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya, ia sering disebut-sebut sebagai khalifah kelima setelah Ali binn Abi Thalib.[9]
Dari segi organisasi militer, pada masa dinasti ini bangsa Arab telah mencapai perkembangan yang cukup signifikan. Jumlah tentara ketika pemerintahan berada dibawah kekuasaan Muawiyah berjumlah 60.000 orang, dengan anggaran sebesar 60 juta dirham. Setelah penaklukan Bizantium, angkatan perang Umayyah didata dalam sebuah organisasi yang cukup besar. Satu devisi terdiri dari 5 corp, dua corp lagi adalah untuk barisan belakang. Organisasi ini masih terus berlangsung hingga ahir pemerintahan Marwan (II) bin Muhammad. Ia menghapus organisasi ini dan menenalkan susunan tentara yang disebut kardus. Pada tentara dilenkapi dnegan senjata canggih para masa itu, seperti peluru yang digerakkan dengan roket.
Dari segi cara hidup, para khalifah Dinasti Umayyah telah meninggalkan pola dan cara hidup Nabi Muhammad SAW dan Khulafa’ Ar-Rasyidin. Mereka menjaga jarak dengan masyarakat, dengan tinggal di istana yang dikelilingi oleh para pengawal. Baitul mal yang selama masa pemerintahan sebelumnya difungsikan sebagai dana swadaya mayarakat yang difungsikan untuk kepentingan rakyat, pada masa Umayyah telah berubah fungsi. Kecuali ketika dinasti Umayyah di bawah pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, kas negara adalah milik penguasa dan keluarganya. Rakyat hanya wajib untuk menyetor pajak tanpa mempunyai hak menanyakan penggunaanya. Pada masa ini pajak Negara dialihkan menjadi harta pribadi para khalifah. Pendapatan pajak diperoleh dari pajak tanah, jizyah, zakat, cukai dan pajak pembelian, upeti yang harus dibayar menuru perjanjian, seperlima ghonimah, fai’, impor tambahan hasil bui, hadiah festifal, dan upeti anak dari bangsa barbar.[10]
5.      Kebijakan dan prestasi-prestasi Bani Umayyah
Terdapat banyak kebijakan yang diambil para khalifah Bani Umayyah. Dalam pemerintahan yang ditempuh selama 90 tahun ini banyak kebijakan diambil dan memberi pengaruh besar terhadap dinamika kehidupan islam selanjutnya. Diantara kebijakan-kebijakan dan prestasi-prestasi pentik pada masa daulah ini berkuasa adalah sebagai berikut :
1.      Memindah ibu kota dari madinah ke damaskus (Syiria)
Setelah Mu’awiyah menjadi khalifah, ia mulai menata pemerintahanya, kebijakan ini dilakukan untuk mengantisipasi tindakan-tindakan yang timbul dari reaksi pembentukan kekuaanya. Khususnya dari kelompok yang tidak menyukainya. Langkah awal yang diambilnya adalah memindahkan pusat pemetintahan dari Madinah ke Damaskus.
Hal ini dapat dimaklumi, karena jika dianalisa setidaknya ada 2 faktor yang menyebabkan Mu’awiyah mengambil langkah ini, yaitu karena di Madinah sebagai pusat pemerintahan khulafauttasyidin sebelumnya, masih terdapat sisa-sisa kelompok yang antipati terhadapnya. Ini akan menggangu stabilitas kekuatannya, selain itu di Madinah dia kurang memiliki pengikut yang kuat di fanatik, sedang di Damaskus pengaruhnya telah menciptakan nilai simpatik masyarakat, basis kekuatanya cukup kuat.
2.      Merubah Sistem Pemerintahan Menjadi Monarki Absolut
Pada masa awal Mu’awiyah menjadi penguasa kekuasaan masih berjalan secara demokratis, tetapi setelah berjalan dalam beberapa waktu, Mu’awiyah mengubah model pemerintahanya dengan model pemerintahan monarchiheredetis (kerajaan turu temurun).
Mu’awiya bin Abu Sufyan di pengaruhi oleh sistem monarki yang ada di persia dan Bizantium, istilah khalifah tetap digunakan, namun Muawiyah bin Abu Sufyah memberikan interprestasi sendiri dari kata-kata tersebut dimana khalifah Allah dalam pengertian penguasa yang diangkat oleh Allah padaha tidak ada satu dalil pun dari al-Qur’an dan Hadits nabi yang mendukung pendapatnya.
Pembaruan model dan pola pemerintahan tersebut menunjukan bahwa Mu’awiyah telah memulai mengubah paradigama pemerintahan dari yang demokratis (di zaman itu) menjadi dinastian, yang menempatkan kekuasaan sebagai sesuatu yang mutlak dipegang oleh kluarga besar Mu’awiyah. Ia telah mulai melakukan revolusi suksesi kekuasaan dengan logika yang belum pernah dilakukan oleh para khalifah sebelumnya. Abu bakar terpilih dengan cara aklamasi, Umar, Ustman dan Ali juga demikian adanya.
Keempat khalifah tersebut bukan atas dasar dinastian, sejak Abu Bakar sampai Ali, suksesi kepemimpinan dilaksanakan dengan cara musyawarah untuk menentukan posisi puncak sebagai khalifah. Pada masa khalifah ar-rasyidun tradisi musyawarah benar-benar dilaksanakan dengan baik, sesuai dengan apa yang disebutkan daam al-Qur’an, menurut Taqiyuddin bin Taimiyah, bagi seorang waliyul amri, syura merupakan sesuatu yang tidak bisa dinafikan, karena Allah telah memerintahkan kepada Nabi untuk selalu bermusyawarah.
Namun demikian, pada masa Dinasti Umayyah suksesi pemerintahan tidak lagi menempatkan tradisi musyawarah sebagai bagian integral dalam proses suksesi kepemimpinan. Mu’awiyah telah mengubah pola suksesi kekhalifahan dengan logika turun temurun, yang dimulai ketika Mu’awiyah mewajibkan kepada seluruh rakyatnya untuk menyatakan kesetiaan kepada Yazid, putra Mu’awiyah.
Perintah ini tentu saja memberikan sinyal awal bahwa kesetian terhadap Yazid merupakan bentuk pengkokohan terhadap sistem pemerintahan yang turun temurun telah coba dibangun oleh Mu’awiyah. Tidak ada lagi suksesi kepemimpinan berdasarkan asa musyawarah (syuro) dalam menentukan seorang pemimpin baru. Mu’awiyah telah merubah model kekuasaan dengan model kerajaan yang membenarkan regerisasi kekuasaan dengan cara memberikan kepada putera mahkota. Orang-orang yang berada di luar garis keturuan Mu’awiyah, secara substansial tidak memiliki ruang dan kesempatan yang sama untuk memimpn pemerintah Umat Islam, karea system dinassti hanya membenarkan satu kebenran bahwa suksesi hanya bisa diberikan keturunan dalam dinasti tersebut.
Perubahan konsep suksesi kepemimpinan yang dilakukan oleh Mu’awiyah telah melahirkan penolakan yang kuat dari kubu-kubu yang tidak searah dengan kubu Mu’awiyah. Deklarasi pergantian kekuasaan kepada Yazid oleh Mu’awiyah, selain tela menyalahi kebiasaan kekuasaan para penguasa Arab, tetapi telah melahirkan kekecewaan dari musuh-musuh politik mu’awiyah, sehingga menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat dan seringkali melahirkan konflik perang antar saudara, Husein bin Ali di Kufah tahun 680 M, Mukhtar di Kufah tahun 685 M, dan Abdullah bin Zubair di Makkah tahun 692 M. Khalifah Yazid melakukan perlawanan keras dengan pemberontak. Hal ini kemudian melahirkan tragedi-tragedi seperti tragedi meninggalnya Husein di Karbala, pestiwa Hurah dihalalkanya kehormatan Madinah Al-Munawwaroh dan diseranya Ka’bah dengan Manjaniq.
3.      Penguatan Militer dan Kebijakan Ekspansi
Pada masa Bani Umayyah, organisasi militer terdisi dari Angkatan darat (al-jund), Angkatan Laut (al-Bahriyah), dan Angkatan Kepolisian (asy-Syurthah). Berbeda dengan masa Usman, yang bala tentara atasan dasar kesadaran sendiri, pada masa ini ada tekanan penguasa, bahkan pada masa ini ada tekanan penguasa. Bahkan pada masa Abdul Malik bin Marwan diberlakukan Undang-Undang Wajib Militer (Nidzom at-Tajdid Al-Ijbari). Pada waktu itu aktifitas bala tentara diperlengkapi dengan kuda, baju besi, pedang dan panah.
Penguatan militer yang dilakukan oleh para khalifa Bani Umayyah itu tidak lain dikarenakan kebijakan ekspasionis, yaitu kebijakan perluasan wilayah kerajaan. Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan perluasan wilayah yang terhenti pada masa khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dilanjutkan kembali, dimulai dengan menaklukan Tunisia, kemudian ekpansi ke sebelah timur, dengan menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Sedangkan ekspansi ke timur ini kemudian terus dilanjutkan kembali pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan. Abdul Malik bin Marwan mwngirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan berhasil menundukkan Balkanabad, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Ternyata bahkan sampai ke India dan menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.
Ekspansi ke barat secara besar-besaramn dilanjutkan di zaman Al-Walid bin Abdul-Malik. Masa pemerintahan al-Walid adalah masa ketenraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahanya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah Aljazair dan Maroko dapat ditundukan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam, dengan pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko (magrib) dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq). Tentara spanyol dapat dikalahkan, dengan demikan, spanyol menjadi sasarn ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Cordoba, dengan cpatnya dapat dikuasai. Menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Seville, elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Cordoba. Pasukan islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukunagan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.
Di zaman Umar bin Abdul-Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pengumuman Pirenis. Serangan ini dipimpin oleh Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang Bordeaux, Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun dalam peperangan yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi terbunuh dan tentanyanya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut di atas, pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah (mediterania) juga jatuh ke tangan islam pada zaman Bani Umayyah ini.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-aerah itu meliputi Spanyol, afrika utara, Syiria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia kecil, Persia, Afganistam, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turmenistan, Uzbekistan, dan Kirgistan di Asia Tengah.[11]
6.       Latar Belakang dan Dampak atas kebijakan politik
Yang melatar belakangi kebijakan politik pada masa Bani Umayyah adalah ketika terjadinya permusuhan dengan Bizantium. Ketika posisi Mua’wiyah belum mantab, dan banyak di gerogori persoalan dalam negri, ia merasa perlu untuk melakukan genjatan senjata (685/689) dengan raja Constantine II (641-668) dengan menyerahkan sejumlah upeti tahunan , yang jumlahnya di sebutkan dalam karya Theophanis dan dirujuk sekilah oleh al-Baladzuri. Tetapi tidak lama kemudian, penguasa Damaskus manyangkal kewajiban membayar upeti itu, dan mulai serangan ke wilayah-wilayah Bizantium melalui darat dan laut dengan lebih bersemangat dan lebih gigih dibanding serangan para khalifah sesudahnya. Dua kali Mua’wiyah mengerahkan pasukannya ke ibu kota musuh. Motif utama sebutan ke Bilad al-Rum (negri orang-orang romawi, Asia Minor) tidak lain adalah untuk memperoleh rampasan perang, meskipun gambaran tentang Konstantinopel juga menjadi daya tarik mereka. Secara bertahap, serangan-serangan kecil itu menjadi aktivitas tahunan di musim panas, yang berfungsi untuk menjaga agar kondisi pasukan tetap segar dan terlatih. Namun orang-orang arab tidak pernah berhasil membangun pijakan yang kokoh di Asia kecil. Energi utama mereka diarahkan ke sebelah timur dan barat, ke beberapa wilayah yang lemah pertahannya. Jika tidak begitu, kisah hubungan Arab-Bizantium di Asia Kecil, dan bahkan di seberang Hellespont, mungkin akan berbeda. Di sebelah utara, barisan gunung Taurus dan anti-Taurus yang tinggi tampaknya telah ditakdirkan menjadi garis pembatas, dan bahasa Arab tapaknya hanya sampai di lereng sebelah selatan pegunungan itu. Meskipun kawasan itu belakangan berhasil dimasukan ke dalam lingkaran Islam oleh Bani Saljuk dan Turki Usmani, tidk sedikit pun wilayah Asia Timur yang pernah menggunakan bahassa Arab. Sejak masa silam, mulai priode Hitti, penduduk di daerah itu adalah non-Semit, dan cuacanya memang terlalu keras bagi tumbuhnya peradaban.[12]
Salah satu faktor penyebab kebijakan penetrasi ke utara oleh orang-orang Arab adalah adanya aktivitas orang-orang Mardait (pemberontak) Kristen mendapat dukungan dari Bizantium. Sebagai bangsa yang tidak diketahui asal-usulnya, dan sedang menapaki jalan menuju kehidupan semi independen di dalam benteng al-Lukkam (Amanus), orang-orang Arab, menjadi pemasok pasukan tidak tetap dan merupakan duri bagi kekhalifahan Arab di Suriah. Di perbatasan Arab-Bizantium mereka mambangun “sebuah dinding besi untuk mempertahankan Asia Kecil. Sekitar 666, pasukan mereka menerobos jantung Libanon, sehingga kota itu menjadi tepat kumpul para pelarian dan orang-orang yang kecewa, termasuk di antaranya orang-orang sekte Maronis yang membentuk komunitas khusus. Mu’awiyah setuju untuk membayar upeti tahunan yang sangat besar kepada musuh internalnya ini, yang juga akan mendapat upeti. Sekitar 689, Justine II kembali memberikan dukungannya kepada orang-orang Mardait di dataran tinggi Suriah, dan ‘Abd al-Malik mengikuti “jejak Mu’awiyah menerima syarat baru yang diajukan oleh raja Bizantium, dan bersedia membayar seribu dinar setiap minggu kepada Jarajimah. Akhirnya, sebagian besar penyerbu itu meninggalkan Suriah dan menetap di provinsi bagian dalam atau di pesisir Asia Kecil, untuk keudian menjadi pelaut. Sisanya tetap tinggal di tempat semula dan membentuk satu komunitas Maronis yang kemudian menyebar di Libanon Utara.[13]




C.    Kesimpulan
Terlepas dari kepicikan yang pernah dilakukan oleh bani Umayyah terhadap seterunya yaitu Ali, ternyata pada masa bani Umayyah ini dalam bidang politiknya telah menorehkan sejarah baru dengan menjadikan sistem monarki sebagai sistem pemerintahan menggantikan sistem demokrasi (Syuro), ini pula yang menjadikan salah satu runtuhnya bani Umayyah karena konflik yang ditimbulkannya untuk memperebutkan kekuasaan diantara para calon pewaris kekuasaan, pada masa ini juga sejarah Islam ditorehkan dengan berkembangnya wilayah kekuasaan yang tidak hanya bermisi pada harta tetapi juga misi penyebaran Islam, selain itu juga pada masa ini ilmu pengetahuan mulai berkembang yang kemudian diteruskan oleh bani abbasiyah yang kian gemilang.




[1] Rizem Aizid “Sejarah Peradaban Islam “ 2015 : Yogyakarta, DIVAPress, hal : 246-247
[2] Siti Maryam, dkk, sejarah Peradaban Islam  dari Klasik Hingga Modern. 2003, Yogyakarta : LESFI, hal : 79
[3] Siti Maryam, dkk, sejarah Peradaban Islam  dari Klasik Hingga Modern. 2003, Yogyakarta : LESFI, hal : 95
[4] Rizem Aizid “Sejarah Peradaban Islam “ 2015 : Yogyakarta, DIVAPress, hal : 247-248
[5] Rizem Aizid “Sejarah Peradaban Islam “ 2015 : Yogyakarta, DIVAPress, hal : 246-251
[6] Dedi Supriyadi, “Sejarah Peradaban Islam” (Bandung : Pustaka Setia, 2016) hal : 106-108
[7] Badri Yatim, “Sejarah Peradaban Islam” Jakarta : Dirasah Islamiyah II, PT RajaGrafindo Persada, 2001, hal : 42
[8] Imam as-Suyuti, “Tarikh Khulafa’” (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2003) hal : 258
[9] Rezim Aizid, “Sejarah Peradaban Islam Terlengkap” Yogyakarta : Divapress, 2015, hal : 254-255
[10] (http : //www.scribd.com/doc/22114141/Sejarah-Peradaban-Dan-Pemikiran-Bani-Umayyah
[11] Jurnal, Taufiqurahman Huri, Kebijakan dan presentasi Daulah Bani Umayyah
[12] Philip K. Hitti “Hostory of The Arabs” Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2002, hal : 246-247
[13] Philip K. Hitti “Hostory of The Arabs” Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2002, hal : 253-254

No comments:

Post a Comment