Kejayaan
peradaban islam di Timur
Kebijakan
Politik pada masa daulah bani umayyah
Oleh
Kunainah
Afroyim
A.
Latar Belakang
Nama “Umayah”
di nisbatkan kepada Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf, yaitu salah seorang
dari pemimpin kabilah Quraisy pada zaman jahiliah. Ia dan pamanya, Hasyim bin
Abdi Manaf, selalu bertarung dalam memperebutkan kekuasaan dan kedudukan.
Bani Umayyah
baru masuk agama Islam setelah mereka tidak menemukan jalan lain selain
memasukinya, yaitu ketika Nabi Muhammad Saw. Beserta beribu-ribu pengikutnya
(yang benar-benar percaya terhadap kerasulan dan kepemimpinan) menyerbu masuk
ke dalam kota Makkah. [1]
Hampir semua
sejarawan membagi Disnasti Umayyah menjadi dua, yaitu:
Pertama, Dinasti
Umayyah yang dirintis dan didirikan oleh Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan yang berpusat
di Damaskus(Siria). Fase ini berlangsung satu abad dan mengubah sistem
pemerintahan dari sistem khilafah pada sistem mamlakat (kerajaan
atau monarki)[2]
Kedua, Dinasti
Umayyah di Andalusia(Siberia) yang pada awalnya wilayah taklukan umayyah di
bawah pimpinan seorang gubernur pada zaman Walid Ibn Abd Malik; kemudian diubah
menjadi kerajaan yang terpisah dari kekuasaan Dinasti Bani Abbas setelah
berhasil menaklukan Dinasti Umayyah di Damaskus.[3]
B.
Pembahasan
1.
Daulah Bani
Umayyah
Dinasti Bani
Umayyah didirikan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan pada tahun 41 H/661 M di
Damaskus, dan berlangsung hingga tahun 132 H/750 M. Mu’awiyah bin Abi Sufyan
adalah seorang politisi andal ; pengalaman politiknya sebagai Gubernur Syam
pada zaman Utsman bin Affan mengantarkan dirinya mampu mengambil alih kekuasaan
dari geng gaman keluarga Ali bin Abi Thalib. Tepatnya, setelah Hasan bin Ali
bin Abi Thalib menyerah kursi kekhaliffan secara resmi kepada Mu’awiyah bin Abi
sufyan dalam peristiwa ‘Ammul Jama’ah. Oleh karena itu, Mu’awiyah bin
Abi Sufyan dinyatakan sebagai pendiri Dinasti Bani Umayyah.
Ditinju dari
sejarahnya, Bani Umayyah memang begitu kental dengan kekuasaanya, terutama pada
masa jahiliah. Dalam setiap persaingan, ternyata Bani Umayyah selalu lebih
unggul dibandinglan keluarga Bani Hasyim. Hal ini dikarenakan Bani Umayyah
memiliki unsur-unsur berikut[4] :
-
Bani Umayyah berasal dari keturunan
keluarga bangsawan.
-
Bani Umayyah mempunyai harta yang
cukup banyak
-
Bani Umayyah memiliki 10 anak yang
terhormat dan menjadi pemimpin di masyarakat, di antaranya ialah Harb, Sufyan,
dan Abu Sufyan.
Sebagaimana
yang disebut-sebut dalam sejarah, Abu Sufyan menampakan pemimpin pasukan
Quraisy yang melawan Nabi Muhammad Saw. Pada Perang Badar Kubra. Keluarga Bani
Umayyah masuk Islam ketika terjadi Fathul Makkah pada tahun ke-8 H.
Abu sufyan
diberi kehormatan untuk mengumumkan pengamanan Nabi Muhammad Saw yang salah
satunya adalah barang siapa masuk
rumahnya, maka amanlah ia, masuk ke dalam masjidil haram, dan rumahnya Nabi
Muhammad Saw, maka ia juga akan merasa aman. Dengan inilah, banyak kaum dari
kalangan Bani Umayyah yang berduyun-duyun masuk Islam dan menyebarkan Islam ke
berbagai wilayah.
Secara
genealogis (garis keturunan), Mu’awiyah bin Abi sufyan bertemu dengan sisilah
keluarga Nabi Muhammad Saw pada Abdul Manaf. Keluaga Nabi Muhammad Saw di kenal
dengan sebutan Bani Hasyim, sedangkan keluarga Umayyah disebut dengan Bani
Umayyah.
Mu’awiyahbin
Abi Sufyan dilahirkan sekitar 15 Tahun sebelum hijriah, dan mauk islam saat
penaklukan kota Makkah bersama-sama penduduk kota Makkah lainya. Setelah masuk
Islam, Nabi Muhammad Saw mengatakannya sebagai anggota sidang dari penulis
wahyu. Dalam perjalanan sejarah hidupnya, ia diangkat sebagai Gubernur syam
pada masa Utsman bin Affan.
Dari sinilah,
karier potilik Mu’awiyah bin Abi Sufyan dimulai. Setelah kemenangannya dalam
peristiwa Tahkim Daumatul Jandal dan proses perdamaian yang dilakukan
oleh Hasan bin Ali bin Abi Thalib dalam peristiwa ‘Ammul Jama’ah. Mu’awiyah
bin Abi Sufyan menjadi khalifah dalam pemerintahan Islam.
Sebenarnya,
Mu’awiyah bin Abi Sufyan berhasil mendirikan Dinasti Umayyah bukan hanya
dikarenakan kemenangan diplomasi di siffin dan terbunuhnya khalifah Ali bin Abi
Thalib, melainkan sejak semula ia memiliki “basis rasional” yang solid bagi
landasan pembangunan politiknya di masa depan, di antaranya ialah sebagai
berikut :
·
Dukungan yang kuat dari rakyat
Suriah dan keluarga Bani Umayyah. Penduduk Suriah yang lama diperintah oleh
Mu’awiyah mempunyai pasukan yang kokoh, terlatih, dan disiplin di garis depan
dalam peperangan melawan romawi. Mereka bersama kelompok bangsawan kaya Makkah
dari keturunan Umayyah berbeda sepenuhnya di belakang Mu’awiyah dan memasoknya
dengan sumber-sumber kekuatan yang tidak ada habisnya, baik moral, tenaga
manusia, maupun kekayaan. Negeri suriah pun terkenal makmur dan mnyimpan sumber
alam yang melimpah. Ditambah lagi bumi Mesir yang berhasil dirampas, maka
sumber-sumber kemakmuran dan suplai bertambah bagi Mu’awiyah.
·
Sebagai seorang administrator.
Mu’awiyah sangat bijaksana dalam menempatkan para pembantunya pada
jabatan-jabatan penting. Tiga orang patutlah mendapat perhatian khusus, yaitu
Amr bin Ash, Mughirah bin Syu’bah, dan Ziyad bin Abihi. Ketika pembantu
Mu’awiyah ini merupakan empat polotikus yang sangat mengagumkan di kalangan
muslim Arab. Akses mereka sangat kuat dalam membina perpolitikan Mu’awiyah.
·
Mu’awiyah memiliki kemampuan
menonjol sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat hilm, sifat
penting yang dimiliki oleh para pembesar Makkah zaman dahulu. Seorang manusia hilm,
seperti Mu’awiyah dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil
keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi.
Gambaran dari sifat mulia tersebut ada di dalam diri Mu’awiyah,
setidak-tidaknya tampak dalam keputusannya yang berani memaklumkan jabatan
khalifah secara turun menurun.
Gaya
kepemimpinan yang di gunakan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan sangat bertolat
belakang dengan sistem kepemimpinan pada masa khulafaur rasyidin. Pada
masa ini, sistem pemerintshsn yang digunakan adalah sistem demokrasi, yaitu
sistem pemerintahan berasaskan musyawarah dalam mengambil keputusan dan
pemilihan pemimpin dilakukan oleh rakyat.
Selain sistem
pemerintahan, ada pula perubahan lainya, seperyi baitl mal. Pada masa khulafaur
rasyidin, baitul mal berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat ; setiap warga
negara memiliki hak yang sama terhadap harta tersebut. Akan tetapi, berbeda
dengan masa Mu’awiyah bin Abi Sufyan, lantaran baitul mal beralih
keudukan menjadi harta kekayaan keluarga raja.
Diatntara
kebijakan yang dilakukan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan pada masa
pemerintahannya ialah sebagai berikut[5] :
·
Pembentukan diwanul hijabah, yaitu
sebuah lembaga yang bertugas memberikan pengawalan khalifah.
·
Pembentukan diwanul khatam, yakni
lembaga yang bertugas mencatat semua peraturan yang di keluarkan oleh khalifah
dalam berita acara pemerintahan.
·
Pembentukan diwanul barid, yaitu
departemen pos dan transportasi, yang bertugas menjaga pos-pos perjalanan dan
menyediakan kuda sebagai alat transportasi.
·
Pembentukan shahibul kharraj (pemungut
pajak)
2.
Para Khalifah
Dinasti Umayyah
Masa kekuasaan
Dinasti Bani Umayyah hampir mencapai satu abad tepatnya selama 90 tahu dengan
14 khalifah. Berikut daftar 14 khalifat tersebut :
no
|
Nama
|
Tahun
|
1
|
Mu’awiyah bin Abi Sufyan
|
(41-60 H / 661-680 M)
|
2
|
Yazid bin Mu’awiyah
|
(60-64 H / 680-683 M)
|
3
|
Mu’awiyah bin Yazid
|
(64-64 H / 683-683 M)
|
4
|
Marwan bin Hakam
|
(64-65 H / 683-685 M)
|
5
|
Abd Malik bin Marwan
|
(65-86 H / 685-705 M)
|
6
|
Al-Walid bin Abd Malik
|
(86-96 H / 705-715 M)
|
7
|
Sulaiman bin Abd Malik
|
(96-101 H / 715-716 M)
|
8
|
Umar bin Abd Aziz
|
(99-101 H / 716-720 M)
|
9
|
Yazid bin Abd Malik
|
(101-105 H / 720-724 M)
|
10
|
Hisyam bin Abd Malik
|
(105-125 H / 724-743 M)
|
11
|
Walid bin Yazid
|
(125-126 H / 743-744 M)
|
12
|
Yazid bin Walid
|
(126-127 H / 744-744 M)
|
13
|
Ibrahim bin Walid
|
(127-127 H / 744-745 M)
|
14
|
Marwan bin Muhammad
|
(127-132 H / 745-750 M)
|
Di antara 14
orang khalifah Bani Umayyah yang berkuasa sekitar 90 tahun, terdapat beberapa
orang khalifah yang dianggap berhasil dalam menjlankan roda pemerintahan.
Addapun nama-nama khalifah Bani Umayyah yang menonjol karena prestasinya
masing-masing adalah sebagai berikut :
·
Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
·
Abdul Malik bin Marwan
·
Al-Walid bin Abdul Malik
·
Umar bin Abdul Aziz
·
Hisyam bin Abdul Malik
3.
Ekspansi pada
Masa Umayyah
Secara umum
penaklukan pemerintahan Bani Umayyah, mwliputi tiga wilayah. Pertama, melawan
pasukan Romawi di Asia Kecil. Penaklukan ini sampai dengan pengepungan
Konstatinopel dan beberapa kepulauan di Laut Tengah. Kedua, wilayah
Afrika Utara. Penaklukan ini sampai ke Samudra Atlantik dan menyebrang ke
Gunung Thariq hingga ke Spanyol. Ketiga, wilayah Timur. Penaklukan ini
sampai ke sebelah timur Irak. Kemudian, meluas ke wilayah Turkistan di utara,
serta ke wilayah Sindh di bagian selatan.
Ekspansi Bani
Umayyah dalam rangka memperluas wilayah kekuasaan merupakan lanjutan dari ekspansi
yang dilakukan oleh para pemimpin Islam sebelumnya.muawiyah berhasil menaklukan
Tunis, Khurasan sampai ke sungai Oxus serta Afganistan sampai Kabul ; dan
angkatan laut Muawiyah menyerang Konstantinopel (ibukota Bizantium). Ekspansi
ini kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Abd Al-Malik. Ia berhasil menundukan
Balkh, Bukhara, Khawarizm, Fergana, Samarkand, dan bahkan sampai ke India
dengan menguasai Balukhistan, Sind, dan daerah Punjab sampai ke Maltan.
Selain itu,
Walid Ibn Abd Al-Malik adalah khalifah yang berhasil menundukan Maroko dan
Al-Jazair. Dari kota ini, serangan kemudian dilanjut ke Eropa atas pemimpinan
Thariq Ibn Ziyad. Tentara Spanyol dapat dikalahkan oleh pasukan Thariq. Oleh
karena itu, ibukota Spanyol, Kordova, dapat dikuasai. Setelah itu, dikuasi pula
oleh kota Seville, Elvira, dan Toledo. Pada zaman Umar Ibn Abd Ar-Rahman Ibn
Abdullah AL-Gafiqi. Di Prancis, umat Islam berhasil menundukkan kota Tours.
Namun, Al-Gafiqi mati terbunuh, akhirnya tentara Islam mundur dan kembali ke
Spanyol.
Secara
operasional, Ahmad AL-Usairy menjelaskan lekak-likuk penaklukan tersebut bahwa
ke wilayah Romawi (Turki) ketika itu selalu ilakukan pengintaian dan ekspedisi
ke sana. Tujuannya adalah menaklukan Konstantinopel. Kota itu dikepung pada
tahun 50 H./670 M. Dan tahun 53-61 H./672-680 M., namun tidak berhasil
ditaklukan. Muawiyah membentuk pasukan laut yang siaga di Laut Tengah dengan
kekuatan 1.700 kapal. Dengan kekuatan itu, dia berhasil memetik berbagai
kemenangan. Dia berhasil memetik berbagai kemenangan. Dia berhasil menaklukan
pulai Jarba di Tunisia pada tahun 49 H./669 M., kepulauan Rhodesia pada tahun
53 H./673 M., kepulauan Kreta pada tahun 55 H./624 M., kepulauan Ijij dekat
Konstantinopel pada tahun 57 H./680 M.
Di Afrika,
Benzarat berhasil dilakukan pada tahun 41 H./661 M., Qamuniyah (dekat Qayrawan)
ditaklukan pada tahun 45 H./665 M., Susat juga ditaklkan pada tahun yang sama.
Uqbah bin Nafi berhasil menaklukan Sirt dan Mogadishu, Tharablis, dan
menaklukan Wadan kembali. Kota Qayrawan dibangun pada tahun 50 H./ 670 M. Kur
sebuah wilayah di Sudan berhasil pula ditaklukan. Akhirnya, penaklukan ini
sampai ke wilayah Maghrib Tengah (Aljazair). Uqbag bin Nafi adalah komandan
yang paling terkenal di kawasan ini.
Selain itu,
penaklukan meluas ke kawsan timur (negri Asia Tengah dan Sindh). Negri-negri
Asia Tengah, meliputi kawasan yang berada di antara sungai Sayhun dan Jayhun.
Di antara kerajaan yang paling penting adalah
sungai Sayhun dan Jayhun. DI antara kerajaan yang paling penting adalah
Thakharistan dengan ibukotanya Balkh, Shafaniyan dengan ibukota Syawman,
Shaghad dengan ibukota Samarkand dan Bukhari, Farghanah dengan ibukota
Jahandah, Khawarizm dengan ibukota Jurjaniyah, Asyrusanah dengan ibukota
Banjakat, Syasy dengan ibukota Banlats. Mayoritas penduduk di kawasan itu
adalah kaum paganis. Pasukan Islam menyerang wilayah Asia Tengah pada tahun 41
H./661 M.
Pada tahun 43
H./663 M ., mereka mampu menaklukan Sajistan dan sebagaian wilayah Tharistan
pada tahun 44 H./664 M,. Abdullah bin Ziyad tiba di pegunungan Bukhari. Pada
tahun 44 H./664 M., kaum muslimin menyerang wilayah Sindh dan India. Penduduk
di tempat itu selalu menaklukan pemberontakan sehingga membuat kawasan itu
tidak selamanya stabil, kecuali pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik.[6]
4.
Bidang Politik
dan Pemerintahan
Memasuki masa
kekuasan Mu’awiyyah (661 M) yang menjadi awal kekuasaan bani Umayyah ini,
sistem pemerintahan Islam yang dulunya bersifat demokrasi berubah menjadi
monarki heredetis (kerajaan turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan
seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, yaitu Yazid. Beliau
menjadikan azas nepotisme sebagai dasar pengangkatan khalifah. Hal ini
menunjukan bahwa Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan Bizantium,
yakni penerapan garis-garis kepemimpinan.[7]
Pemerintahan
ini tentu saja memberikan sinyal awal bahwa kesetiaan terhadap Yazid merupakan
bentuk pengokohan terhadap sistem pemerintahan yang turun temurun telah coba
dibangun oleh Mu’awiyah. Tidak ada lagi suksesi kepemimpinan berdasarkan asas
musyawarah (syuro) dalam menentukan seorang pemimpin baru Mu’awiyah telah
merunbah model kekuasaan dengan cara memeberikan kepada putera mahkota.
Orang-orang yang berada di luar garis ketutunan Mu’awiyah, secara substansial
tidak memiliki ruang dan kesempatan yang sama untuk memimpin pemerintah Umat
Islam, karena sistem dinasti hanya membenarkan satu kebenaran dalam dinasti
tersebut.
Tradisi bentuk
khalifah konfederasi yang diciptakan Rasul pada tahun 622 M (awal priode
Madinah), terus berlanjut hingga masa Dinasti Umayyah sejak tahun 661 M.
Bedanya, Rasul menerapkan bentuk konfederasi kabilah, sedangkan Dinasti Umayyah
menerapkan konfederasi propinsi. Untuk menangani banyaknya propinsi yang ada,
maka khalifah ketika itu, Muawiyah bin Abu Sofyan, mencoba menggabungkan
beberapa wilayah menjadi satu propinsi. Wilayah-wilayah ini terus berkembang
sejalan dengan keberhasilan progam futuhat. Setiap gubernur memilih amir atas
jajahan yang berbeda dalam kekuasaanya, dan para amir tersebut bertanggung
jawab langsung kepada ara khalifah di daerah.
Nilai politis
kebijakan ini adalah upaya sentralisasi wilayah kekuasaan, mengingat potensi
daerah-daerah ersebut dalam menopang jalannya pemerintah, baik dari sudut
pandang ekonomi, maupun keamanan dan pertahanan nasional. Pada masa Hisyam bin
Abdul Malik, Gubernur mempunyai wewenang penuh dalam hal admnistrasi politik
dan militer dalam propinsinya, namun mempunyai tanggung jawab langsung pada
khalifah.
Pada masa
pemerintahan Muawiyah Konsolidasi Internal mulai dilakukan. Tujuannya adalah
untuk memperkokoh barisan dalam rangka pertahanan dan keamanan dalam negri.
Antisipasi atas setiap gerakan pemberontakan, dan untuk memperlancar progam
futuhah. Ada lima diwan (lembaga) yang menopang suksesnya konsolidasi yang
dilakukan. Bani Umayah menyusun tata pemerintahan yang sama sekali baru, untuk
memenuhi tuntutan perkembangan wilayah dan administrasi kenegaraan yan semakin
kompleks. Selain mengangkat majelis penasihat sebagai pendamping, khalifah Bani
Umayyah juga dibantu oleh beberapa sekertaris guna membantu pelaksanaan tugas,
di antaranya ialah sebagai berikut :
a.
Katib ar-rasail , yaitu
sekertaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat menyurat
dengan para pembesar setempat.
b.
Katib al-kharrah, yaitu
sekertaris yang bertugas menyenggarakan penerimaan dan pengeluaran negara.
c.
Katib al-jundi, yaitu
sekertaris yang bertugas menyenggarakan berbagai hal yang berkaitan dengan
ketentaraan.
d.
Khatibasy-syurtah, yaitu
sekertaris yang bertugas menyenggarakan pemeliharaan keamanan dan ketertiban
umum.
e.
Katib al-qudat, yaitu
sekertaris yang bertugas menyenggarakan tertib hukum melalui badan-badan
peradilan dan hakum setempat.
Selain itu,
jasa-jasa Bani Umayyah dalam bidang pemerintahan juga cukup banyak. Mu’awiyah
mendirikan dinas pos, menertibkan angkatan bersenjata, mencetak mata uan, dan
jabatan qadhi (hakim) mulai berkembang menjadi profesi sendiri.
Abdul malik
bin marwan adalah khalifah yang pertama kali membuat mata uang dinar dan
menuliskan di atasnya ayat-ayat al-Qur’an.[8]
Ia juga melakukan pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahas
arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam.
Pada masa
Al-Walid bin Abdul Malik, dibangun panti-panti untuk orang cacat, membangun
jalan-jalan raya, pabrik-pabrik, gedung pemerintahan, dan masjid-masjid yang
megah.
Sedanglan umar
bin Abdul aziz memprioritaskan pembangunan dalam negri. Keberhasilannya antara
lain menjalin hubungan baik dengan gologan Syi’ah, memberi kebebasan kepada
penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya, ia sering
disebut-sebut sebagai khalifah kelima setelah Ali binn Abi Thalib.[9]
Dari segi
organisasi militer, pada masa dinasti ini bangsa Arab telah mencapai
perkembangan yang cukup signifikan. Jumlah tentara ketika pemerintahan berada
dibawah kekuasaan Muawiyah berjumlah 60.000 orang, dengan anggaran sebesar 60
juta dirham. Setelah penaklukan Bizantium, angkatan perang Umayyah didata dalam
sebuah organisasi yang cukup besar. Satu devisi terdiri dari 5 corp, dua corp
lagi adalah untuk barisan belakang. Organisasi ini masih terus berlangsung
hingga ahir pemerintahan Marwan (II) bin Muhammad. Ia menghapus organisasi ini
dan menenalkan susunan tentara yang disebut kardus. Pada tentara dilenkapi
dnegan senjata canggih para masa itu, seperti peluru yang digerakkan dengan
roket.
Dari segi cara
hidup, para khalifah Dinasti Umayyah telah meninggalkan pola dan cara hidup
Nabi Muhammad SAW dan Khulafa’ Ar-Rasyidin. Mereka menjaga jarak dengan
masyarakat, dengan tinggal di istana yang dikelilingi oleh para pengawal. Baitul
mal yang selama masa pemerintahan sebelumnya difungsikan sebagai dana swadaya
mayarakat yang difungsikan untuk kepentingan rakyat, pada masa Umayyah telah
berubah fungsi. Kecuali ketika dinasti Umayyah di bawah pemerintahan Umar bin
Abdul Aziz, kas negara adalah milik penguasa dan keluarganya. Rakyat hanya
wajib untuk menyetor pajak tanpa mempunyai hak menanyakan penggunaanya. Pada
masa ini pajak Negara dialihkan menjadi harta pribadi para khalifah. Pendapatan
pajak diperoleh dari pajak tanah, jizyah, zakat, cukai dan pajak pembelian,
upeti yang harus dibayar menuru perjanjian, seperlima ghonimah, fai’, impor
tambahan hasil bui, hadiah festifal, dan upeti anak dari bangsa barbar.[10]
5.
Kebijakan dan
prestasi-prestasi Bani Umayyah
Terdapat banyak
kebijakan yang diambil para khalifah Bani Umayyah. Dalam pemerintahan yang
ditempuh selama 90 tahun ini banyak kebijakan diambil dan memberi pengaruh
besar terhadap dinamika kehidupan islam selanjutnya. Diantara
kebijakan-kebijakan dan prestasi-prestasi pentik pada masa daulah ini berkuasa
adalah sebagai berikut :
1. Memindah ibu kota dari madinah ke damaskus (Syiria)
Setelah Mu’awiyah
menjadi khalifah, ia mulai menata pemerintahanya, kebijakan ini dilakukan untuk
mengantisipasi tindakan-tindakan yang timbul dari reaksi pembentukan kekuaanya.
Khususnya dari kelompok yang tidak menyukainya. Langkah awal yang diambilnya
adalah memindahkan pusat pemetintahan dari Madinah ke Damaskus.
Hal ini dapat
dimaklumi, karena jika dianalisa setidaknya ada 2 faktor yang menyebabkan
Mu’awiyah mengambil langkah ini, yaitu karena di Madinah sebagai pusat
pemerintahan khulafauttasyidin sebelumnya, masih terdapat sisa-sisa kelompok
yang antipati terhadapnya. Ini akan menggangu stabilitas kekuatannya, selain
itu di Madinah dia kurang memiliki pengikut yang kuat di fanatik, sedang di
Damaskus pengaruhnya telah menciptakan nilai simpatik masyarakat, basis
kekuatanya cukup kuat.
2. Merubah Sistem Pemerintahan Menjadi Monarki Absolut
Pada masa awal
Mu’awiyah menjadi penguasa kekuasaan masih berjalan secara demokratis, tetapi
setelah berjalan dalam beberapa waktu, Mu’awiyah mengubah model pemerintahanya
dengan model pemerintahan monarchiheredetis (kerajaan turu temurun).
Mu’awiya bin Abu Sufyan di pengaruhi oleh sistem monarki yang ada di persia
dan Bizantium, istilah khalifah tetap digunakan, namun Muawiyah bin Abu Sufyah
memberikan interprestasi sendiri dari kata-kata tersebut dimana khalifah Allah
dalam pengertian penguasa yang diangkat oleh Allah padaha tidak ada
satu dalil pun dari al-Qur’an dan Hadits nabi yang mendukung pendapatnya.
Pembaruan model dan
pola pemerintahan tersebut menunjukan bahwa Mu’awiyah telah memulai mengubah
paradigama pemerintahan dari yang demokratis (di zaman itu) menjadi dinastian,
yang menempatkan kekuasaan sebagai sesuatu yang mutlak dipegang oleh kluarga
besar Mu’awiyah. Ia telah mulai melakukan revolusi suksesi kekuasaan dengan
logika yang belum pernah dilakukan oleh para khalifah sebelumnya. Abu bakar
terpilih dengan cara aklamasi, Umar, Ustman dan Ali juga demikian adanya.
Keempat khalifah
tersebut bukan atas dasar dinastian, sejak Abu Bakar sampai Ali, suksesi
kepemimpinan dilaksanakan dengan cara musyawarah untuk menentukan posisi puncak
sebagai khalifah. Pada masa khalifah ar-rasyidun tradisi musyawarah
benar-benar dilaksanakan dengan baik, sesuai dengan apa yang disebutkan daam
al-Qur’an, menurut Taqiyuddin bin Taimiyah, bagi seorang waliyul amri, syura
merupakan sesuatu yang tidak bisa dinafikan, karena Allah telah memerintahkan
kepada Nabi untuk selalu bermusyawarah.
Namun demikian, pada
masa Dinasti Umayyah suksesi pemerintahan tidak lagi menempatkan tradisi musyawarah
sebagai bagian integral dalam proses suksesi kepemimpinan. Mu’awiyah telah
mengubah pola suksesi kekhalifahan dengan logika turun temurun, yang dimulai
ketika Mu’awiyah mewajibkan kepada seluruh rakyatnya untuk menyatakan kesetiaan
kepada Yazid, putra Mu’awiyah.
Perintah ini tentu
saja memberikan sinyal awal bahwa kesetian terhadap Yazid merupakan bentuk
pengkokohan terhadap sistem pemerintahan yang turun temurun telah coba dibangun
oleh Mu’awiyah. Tidak ada lagi suksesi kepemimpinan berdasarkan asa musyawarah
(syuro) dalam menentukan seorang pemimpin baru. Mu’awiyah telah merubah model
kekuasaan dengan model kerajaan yang membenarkan regerisasi kekuasaan dengan
cara memberikan kepada putera mahkota. Orang-orang yang berada di luar garis
keturuan Mu’awiyah, secara substansial tidak memiliki ruang dan kesempatan yang
sama untuk memimpn pemerintah Umat Islam, karea system dinassti hanya
membenarkan satu kebenran bahwa suksesi hanya bisa diberikan keturunan dalam
dinasti tersebut.
Perubahan konsep
suksesi kepemimpinan yang dilakukan oleh Mu’awiyah telah melahirkan penolakan
yang kuat dari kubu-kubu yang tidak searah dengan kubu Mu’awiyah. Deklarasi
pergantian kekuasaan kepada Yazid oleh Mu’awiyah, selain tela menyalahi
kebiasaan kekuasaan para penguasa Arab, tetapi telah melahirkan kekecewaan dari
musuh-musuh politik mu’awiyah, sehingga menyebabkan munculnya gerakan-gerakan
oposisi di kalangan rakyat dan seringkali melahirkan konflik perang antar
saudara, Husein bin Ali di Kufah tahun 680 M, Mukhtar di Kufah tahun 685 M, dan
Abdullah bin Zubair di Makkah tahun 692 M. Khalifah Yazid melakukan perlawanan
keras dengan pemberontak. Hal ini kemudian melahirkan tragedi-tragedi seperti
tragedi meninggalnya Husein di Karbala, pestiwa Hurah dihalalkanya kehormatan
Madinah Al-Munawwaroh dan diseranya Ka’bah dengan Manjaniq.
3. Penguatan Militer dan Kebijakan Ekspansi
Pada masa Bani
Umayyah, organisasi militer terdisi dari Angkatan darat (al-jund), Angkatan
Laut (al-Bahriyah), dan Angkatan Kepolisian (asy-Syurthah). Berbeda
dengan masa Usman, yang bala tentara atasan dasar kesadaran sendiri, pada masa
ini ada tekanan penguasa, bahkan pada masa ini ada tekanan penguasa. Bahkan
pada masa Abdul Malik bin Marwan diberlakukan Undang-Undang Wajib Militer
(Nidzom at-Tajdid Al-Ijbari). Pada waktu itu aktifitas bala tentara
diperlengkapi dengan kuda, baju besi, pedang dan panah.
Penguatan militer yang
dilakukan oleh para khalifa Bani Umayyah itu tidak lain dikarenakan kebijakan
ekspasionis, yaitu kebijakan perluasan wilayah kerajaan. Pada masa Muawiyah bin
Abu Sufyan perluasan wilayah yang terhenti pada masa khalifah Utsman bin Affan
dan Ali bin Abi Thalib dilanjutkan kembali, dimulai dengan menaklukan Tunisia,
kemudian ekpansi ke sebelah timur, dengan menguasai daerah Khurasan sampai ke
sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Sedangkan ekspansi ke timur ini
kemudian terus dilanjutkan kembali pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan.
Abdul Malik bin Marwan mwngirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan berhasil
menundukkan Balkanabad, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Ternyata
bahkan sampai ke India dan menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai
ke Maltan.
Ekspansi ke barat
secara besar-besaramn dilanjutkan di zaman Al-Walid bin Abdul-Malik. Masa
pemerintahan al-Walid adalah masa ketenraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat
Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahanya yang berjalan kurang lebih
sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju
wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah Aljazair dan Maroko
dapat ditundukan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam, dengan pasukannya menyeberangi
selat yang memisahkan antara Maroko (magrib) dengan benua Eropa, dan mendarat
di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq).
Tentara spanyol dapat dikalahkan, dengan demikan, spanyol menjadi sasarn
ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Cordoba, dengan cpatnya dapat dikuasai.
Menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Seville, elvira dan Toledo yang
dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Cordoba. Pasukan islam
memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukunagan dari rakyat
setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.
Di zaman Umar bin
Abdul-Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pengumuman Pirenis. Serangan
ini dipimpin oleh Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang Bordeaux,
Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun dalam peperangan yang
terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi terbunuh dan tentanyanya mundur kembali
ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut di atas, pulau-pulau yang terdapat
di Laut Tengah (mediterania) juga jatuh ke tangan islam pada zaman Bani Umayyah
ini.
Dengan keberhasilan
ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat, wilayah kekuasaan Islam
masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-aerah itu meliputi
Spanyol, afrika utara, Syiria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia
kecil, Persia, Afganistam, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turmenistan,
Uzbekistan, dan Kirgistan di Asia Tengah.[11]
6. Latar Belakang dan Dampak atas kebijakan
politik
Yang melatar belakangi
kebijakan politik pada masa Bani Umayyah adalah ketika terjadinya permusuhan
dengan Bizantium. Ketika posisi Mua’wiyah belum mantab, dan banyak di gerogori
persoalan dalam negri, ia merasa perlu untuk melakukan genjatan senjata (685/689)
dengan raja Constantine II (641-668) dengan menyerahkan sejumlah upeti tahunan
, yang jumlahnya di sebutkan dalam karya Theophanis dan dirujuk sekilah oleh
al-Baladzuri. Tetapi tidak lama kemudian, penguasa Damaskus manyangkal
kewajiban membayar upeti itu, dan mulai serangan ke wilayah-wilayah Bizantium
melalui darat dan laut dengan lebih bersemangat dan lebih gigih dibanding
serangan para khalifah sesudahnya. Dua kali Mua’wiyah mengerahkan pasukannya ke
ibu kota musuh. Motif utama sebutan ke Bilad al-Rum (negri orang-orang
romawi, Asia Minor) tidak lain adalah untuk memperoleh rampasan perang,
meskipun gambaran tentang Konstantinopel juga menjadi daya tarik mereka. Secara
bertahap, serangan-serangan kecil itu menjadi aktivitas tahunan di musim panas,
yang berfungsi untuk menjaga agar kondisi pasukan tetap segar dan terlatih.
Namun orang-orang arab tidak pernah berhasil membangun pijakan yang kokoh di
Asia kecil. Energi utama mereka diarahkan ke sebelah timur dan barat, ke
beberapa wilayah yang lemah pertahannya. Jika tidak begitu, kisah hubungan
Arab-Bizantium di Asia Kecil, dan bahkan di seberang Hellespont, mungkin akan
berbeda. Di sebelah utara, barisan gunung Taurus dan anti-Taurus yang tinggi
tampaknya telah ditakdirkan menjadi garis pembatas, dan bahasa Arab tapaknya
hanya sampai di lereng sebelah selatan pegunungan itu. Meskipun kawasan itu
belakangan berhasil dimasukan ke dalam lingkaran Islam oleh Bani Saljuk dan
Turki Usmani, tidk sedikit pun wilayah Asia Timur yang pernah menggunakan
bahassa Arab. Sejak masa silam, mulai priode Hitti, penduduk di daerah itu
adalah non-Semit, dan cuacanya memang terlalu keras bagi tumbuhnya peradaban.[12]
Salah satu faktor penyebab
kebijakan penetrasi ke utara oleh orang-orang Arab adalah adanya aktivitas
orang-orang Mardait (pemberontak) Kristen mendapat dukungan dari Bizantium.
Sebagai bangsa yang tidak diketahui asal-usulnya, dan sedang menapaki jalan
menuju kehidupan semi independen di dalam benteng al-Lukkam (Amanus),
orang-orang Arab, menjadi pemasok pasukan tidak tetap dan merupakan duri bagi
kekhalifahan Arab di Suriah. Di perbatasan Arab-Bizantium mereka mambangun
“sebuah dinding besi untuk mempertahankan Asia Kecil. Sekitar 666, pasukan
mereka menerobos jantung Libanon, sehingga kota itu menjadi tepat kumpul para
pelarian dan orang-orang yang kecewa, termasuk di antaranya orang-orang sekte
Maronis yang membentuk komunitas khusus. Mu’awiyah setuju untuk membayar upeti tahunan
yang sangat besar kepada musuh internalnya ini, yang juga akan mendapat upeti.
Sekitar 689, Justine II kembali memberikan dukungannya kepada orang-orang
Mardait di dataran tinggi Suriah, dan ‘Abd al-Malik mengikuti “jejak Mu’awiyah
menerima syarat baru yang diajukan oleh raja Bizantium, dan bersedia membayar
seribu dinar setiap minggu kepada Jarajimah. Akhirnya, sebagian besar penyerbu
itu meninggalkan Suriah dan menetap di provinsi bagian dalam atau di pesisir
Asia Kecil, untuk keudian menjadi pelaut. Sisanya tetap tinggal di tempat
semula dan membentuk satu komunitas Maronis yang kemudian menyebar di Libanon
Utara.[13]
C. Kesimpulan
Terlepas dari
kepicikan yang pernah dilakukan oleh bani Umayyah terhadap seterunya yaitu Ali,
ternyata pada masa bani Umayyah ini dalam bidang politiknya telah menorehkan
sejarah baru dengan menjadikan sistem monarki sebagai sistem pemerintahan
menggantikan sistem demokrasi (Syuro), ini pula yang menjadikan salah satu
runtuhnya bani Umayyah karena konflik yang ditimbulkannya untuk memperebutkan
kekuasaan diantara para calon pewaris kekuasaan, pada masa ini juga sejarah
Islam ditorehkan dengan berkembangnya wilayah kekuasaan yang tidak hanya
bermisi pada harta tetapi juga misi penyebaran Islam, selain itu juga pada masa
ini ilmu pengetahuan mulai berkembang yang kemudian diteruskan oleh bani
abbasiyah yang kian gemilang.
[2] Siti Maryam, dkk, sejarah Peradaban
Islam dari Klasik Hingga Modern. 2003,
Yogyakarta : LESFI, hal : 79
[3] Siti Maryam, dkk, sejarah Peradaban
Islam dari Klasik Hingga Modern. 2003,
Yogyakarta : LESFI, hal : 95
[7] Badri Yatim, “Sejarah Peradaban Islam” Jakarta
: Dirasah Islamiyah II, PT RajaGrafindo Persada, 2001, hal : 42
No comments:
Post a Comment