Wednesday, November 15, 2017

Melacak Akar Formulasi Agama di Makkah “Hanifiyyah dan Egalitarianisme”

Melacak Akar Formulasi Agama di Makkah
“Hanifiyyah dan Egalitarianisme”
Oleh
Rizqi Miftakhudin Fauzi
frizqimmedia@gmail.com
PASCASARJANA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

A.    Pendahuluan
Di utusnya Nabi Muhammad SAW di muka bumi ini menandakan segera berakhirnya sejarah kegelapan zaman jahiliyah. Pelbagai persoalan; bobroknya moral, cacatnya akhlak mewarnai zaman jahilayah. Nabi Muhammad SAW hadir bersama agama “rahmatan lil ‘alamin” yakni tidak lain adalah agama Islam yang memberikan nafas baru bagi peradaban jahiliyah. Sebagaimana pernyataan H.A.R Gibb di dalam bukunya Whither Islammenyatakan, “Islam is indeed much more than a system of theology, it is a complete civilization” (Islam sesungguhhnya lebih dari sekedar sebuah agama, ia adalah suatu peradaban yang sempurna).[1] Sedikit demi sedikit namun pasti–perjuangan, keteguhan, keikhlasan, kesabaran, al-amin yang melebelinya serta sifat Shiddiq, Amanah, Fatonah serta Tabligh[2]–pada ahirnya membuahkan hasil yang sungguh gemilang yakni wajah perdaban baru yang elok dengan label akhlakul karimah.
Prioritas pertama dan utama diutusnya nabi Muhammad SAW tidak hanya menyebarkan agama Islam, namun juga untuk merenovasi kerangka zaman jahiliyah yang bobrokakan moral dan akhlak pada saat itu. Sebagaimana dalam hadist:
إنما بعثت لأتم صالح الاخلق
”Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang sholeh”. (HR: Bukhari dalam shahih Bukhari kitab adab, Baihaqi dalam kitab syu’bil Iman dan Hakim).
Pada masa awal Islam, Nabi Muhammad SAW merupkan suara otoritatif mewakili kehendak Tuhan. Tidak ada yang berani meragukan apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal ini sekaligus menjadi suara nomor satu yang di jadikan panutan utama dan pertama jika terjadi penyimpangan-penyimpangan akhlak umat Islam pada saat itu. Seketika Nabi Muhammad SAW memberikan arahan yang benar jika melihat akhlak yang menyimpang dari ketentuan agama Islam. Atau jika setidaknya terdapat seorang muslim yang bingung dengan harus bagaimanakah berinteraksi horizontal dengan masyarakat, maka hal ini dapat terjawab langsung dengan berkonsultasi kepada Nabi Muhammad SAW.
Namun hal yang mendasar yang penting untuk di garis bawahi, jalan medan dakwah Nabi Muhammad SAW tidak serta mudah seperti halnya membalikkan telapak tangan. Hisotritas kelahiran Islam dan pergulatannya dalam menegakkan sebuah tatanan baru ditengah puing-puing warisan masyarakat Arab yang berada pada titik nadirnya. Respon Nabi tidak lain merupakan konsekuensi logis dari prilaku keseharian masyarakat Arabi saat itu. Kehidupan masyarakat Arab pada masa pra Islam dikenal dengan sebutan zaman jahiliyah. Zaman jahiliyah adalah zaman kebodohan atau kegelapan terhadap kebenaran. Tatanan sosial dan akhlak tidak berjalan semestinya, yang kuat senantiasa menindas yang lemah, kaum wanita menjadi sasaran tindak kejahatan dan masih banyak lagi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi pada masa itu. Mereka tidak mengenal perikemanusiaan dan hidup tanpa dasar keimanam. Kaum wanita dipandang makhluk yang lemah dan hidup tertindas di bawah kekuasaan kaum pria.[3] Tak ada yang namanya kelemah-lembut-an serta kesetaran strata sosial.
Perlu adanya formulasi yang tepat dalam menata peradaban baru yang lebih gemilang. Lantas bagaimanakah formulasi strategi yang digunakan Nabi Muhammad SAW pada pembentukan peradaban Islam awal, sehingga hak asasi serta egalitarianisme[4] bisa tercapai hingga saat ini. Inilah titik koordinat fokus pada penelitian yang akan di ungkap pada permukaan analitis kritis objektif. Dengan menggunakan pendekatan buku-buku sirah klasik maupun kontemporer serta melakukan kajian-kajian analisis jurnal pustaka sejarah yang otentik.


B.     Pembahasan
1.      Historitas Hanifiyyah dan Egalitarianisme
Melacak akar latar belakang hanifiyyah, penting kiranya mengetahui historitasnya.  Perlu diketahui, sebelum Islam hadir di tanah Arab dibawah pimpinan Nabi Muhammad SAW, terdapat empat jenis kepercayaan yang berpengaruh di sana, yaitu :
a)      Arab Jahiliyah
b)      Yahudi
c)      Kristian
d)     Hanif
Perkataan hanif bermaksud “dia yang berpaling” yaitu dari penyembahan berhala. Orang hanif ialah orang Jahiliyah yang telah dipengaruhi oleh faham Yahudi dan Kristen, tetapi mereka menolak amalan penyembahan berhala. Mereka tidak berjamaah tetapi percaya pada agama yang benar ialah agama yang dipegang bapak bangsa mereka yaitu Ibrahim. Agama Yahudi, Kristen dan Islam masing-masing menuntut mewakili agama Ibrahim yang benar.[5]
Al-Qur’an menjelaskan bahwa Ibrahim bukanlah seorang Yahudi atau Kristen melainkan seorang hanif (orang yang memiliki kecenderungan suci, dan pemihakan alami kepada kebenaran) dan seorang muslim (orang yang tulus berserah diri kepada Tuhan). Oleh karena itu, demikian yang disebutkan dalam al-Qur’an yang paling berhak atas Ibrahim adalah mereka yang mengikuti ajarannya.[6]
Hal yang mendasar dalam historitas hanifiyyah yang mana di ungkapkan oleh Irena Handono dalam bukunya Islam di Hujat menyatakan karena adanya kekhawatiran makin meningkat terhadap ketidakadilan peradaban baru yang berkembang di Mekkah, sebagian orang Arab mulai mencari kebenaran, yang tidak puas dengan agama dominan bangsa Arab (memuja berhala) yang berada dalam wilayah keyakinan yang lebih tinggi.[7]
Meskipun demikian, hanifiyyah dalam konteks historis Arab pra-Islam mendapati status yang kurang melegakan, yakni hanif adalah sebuah sebutan bernada mencemooh yang diberikan oleh kaum pagan Arab pada masa pra-Islam kepada orang-orang Arab yang menjadi monotheis yakni mereka yang hanya menyembah Allah, serta yang mengklaim bahwa Allah adalah Tuhan kaum Yahudi dan Kristen, dan hanif pada masa itu diartikan dengan kaum kafir.[8]
Namun, ada yang menarik dari keberagamaan bangsa Arab jahiliyah bahwa meskipun mereka menyembah berhala, tetapi mereka tidak mengakui berhala sebagai Tuhan mereka. Berhala-berhala tersebut hanya diyakini mampu mendekatkan kepada Tuhan (Allah) dan menghubungkan mereka kepadaNya serta memberikan manfaat di sisiNya.[9]
Adapun dalam ranah pelacakan egalitarianisme, sebagai pijakan awal perlu di ketahui pada zaman pra-Islam, perbedaan strata sosial sangat menonjol di Arab. Hubungan seseorang dengan keluarga di kalangan bangsawan sangat diunggulkan dan diprioritaskan, dihormati, dan dijaga sekalipun harus dengan pedang terhunus dan pertumpahan darah. Tambahan pula, mulai dari strata suku, keluarga, hingga perbedaan strata antar gender sangat menonjol di wajah peradaban Arab jahiliyyah. Banyak fakta yang ditemukan kasus-kasus yang menciderai strata sosial ini. Yang paling popular diantaranya kebiasaan membunuh anak perempuan. Di samping itu, juga budaya mengawini perempuan sebanyak yang disukai dan menceraikan mereka sesuka hati.[10] Seperti yang di gambarkan oleh al-Mubarakfuri yang mana dalam tradisi Arab memiliki tradisi pernikahan dimana, wanita yang akan menikah harus sepersetujuan wali wanita, sehingga wanita tidak bebas menentukan calon suaminya.[11] Inilah yang menjadi keresahan Nabi Muhammad SAW dan projek besar dalam meratas kerangka peradaban yang bobrok pada saat itu.
2.      Pembangunan Prinsip Hanifiyyah dan Egalitarianisme “Sebuah Ruang Lingkup dan Historisnya”
Sejauh pelacakan penulisan, kebanyakan pembahasan hanif  banyak disinggung ketika membahas agama Ibrahim (Abraham Religion) karena perintah untuk megikuti agama Ibrahim, selalu dikaitkan dengan konsep Al-Hanifiyyah.
Temuan lain, ruang lingkup hanifiyyah merupakan agama Ibrahim yang otentik dan asli itu disebut agama Hanifiyyah atau “kehanifan” dan Nabi Ibrahim adalah seorang yang hanif artinya  kepada Allah Tuhan Seru Sekalian Alam.[12] Hanifiyyah merupakan suatu bentuk kepercayaan yang juga berkembang di Arab, secara harfiah hanif  berarti menolak penyembahan berhala.
Kepercayaan hanifiyyah merupakan pemberontakan terhadap penyembahan berhala dan kemusyrikan, sebaliknya ia mengajak ketauhidan. Ini sama dengan menciptakan kondisi untuk periode perpindahan dari masa jahiliyah terakhir kepada masa Islam.[13]
Tujuan agama hanif bukan hanya memerangi keboborokan masyarakat dan kejahatan moral saja, tetapi juga menolak untuk menyembah berhala dan mengajak untuk menyembah pada Tuhan Yang Maha Esa, yang merupakan pengaruh dari kedua ajaran tauhid yang lebih dikenal oleh masyarakat Arab pada waktu itu yaitu Yahudi dan Nasrani.[14] Agama hanif memiliki keistimewaan dalam menyebarkan dan menaburkan aqidah tauhid, menolak penyembahan berhala, dan para penyembahnya, membongkar dari kepalsuannya, dari kekotoran pikiran menjadi keimanan terhadap hari kebangkitan, hari penghisaban, surga, dan neraka.
Adapan dalam prespektif Nabi Muhammad SAW tentunya agama Islam yang di sandangnya, Nabi Muhammad SAW membangun sebuah prinsip bahwa hanifiyyah bukan sebagai agama baru tetapi sebagai agama tertua, memang jika dilihat dari perjalanan sejarah agama-agama semitik atau Ibrahimiah Islam adalah agama baru, namun apabila dilihat dari esensi pesan semua Nabi (tauhid yang diwahyukan Tuhan kepada mereka), maka esensi Islam adalah agama tertua yang telah ada sejak Nabi Adam AS.[15]
Mengingat bahwa Islam mengidentifikasikan dirinya dengan agama primordial (mendasar) sebagai ad-din al-hanif, agama yang benar yaitu agama Ibrahim dan keturunannya maka dirasa perlu untuk diadakan pengkajian tentang masalah hanif karena danya tradisi monotheistik yang berasal dari Mesopotamia Ibrahimiah atau tradisi Ibrahimiah yang disebut hanifiyyah itu telah digeser oleh tradisi syirik. Sehingga para hanif menolak penyekutuan Tuhan-Tuhan lain dengan Allah SWT, menolak ikut serta upacara-upacara keagamaan orang kafir dan mempertahankan suatu hidup kesucian etis tanpa celaan.[16]
Nabi Muhammad SAW membangun prinsip hanif dengan tidak berbeloknya atau tidak berkepihakan dalam pandangan orang-orang Yahudi yang mengajak umat Islam menganut pandangan mereka dan tidak juga hidup mengarah pada agama Nasrani yang penganut-penganutnya mengajak kaum umat Islam menganut pandangan mereka. Para rasul diutus Allah untuk meluruskan yang miring atau bengkok dalam pandangan manusia, yang melakukan pelurusan itu adalah Nabi Ibrahim yang dihormati oleh penganut agama Yahudi dan Nasrani.[17]
Oleh karena itu sangat tepat bahwa Allah mengajarkan kepada Nabi Muhammad dan umat Islam untuk menjadikan beliau sebagai titik temu. Apalagi semua mengakui, paling tidak dengan lisan tentang ke-Esaan Allah SWT. Sedangkan Nabi Ibrahim bukanlah dia dari golongan orang-orang musyrik.[18] Atau dalam penulis singgung diatas Nabi Muhammad SAW merupakan suara paling otoritatif mewakili kehendak Allah SWT.
Adapun dalam penataan Egalitarianisme, Nabi Muhammad SAW sadar betul atas kondisi sosial yang tersekat-sekat. Bangsa Arab hidup berkasta-kasta. Tiap-tiap manusia digolongkan kepada kasta yang tidak boleh dilampauinya. Tetapi, seruan Nabi Muhammad memberikan hak sama kepada manusia. Hak sama inilah suatu dasar yang penting dalam agama Islam, karena itu kasta bangsawan dari kaum Quraisy enggan menganut agama Islam karena mereka anggap akan meruntuhkan tradisi dan dasar kehidupan mereka.[19]
Nabi Muhammad SAW merubah budaya masyarakat jahiliyyah dengan ajaran yang mengangkat dan memuliakan harkat dan martabat perempuan. Dari posisi perempuan yang tidak dihargai sama sekali, yang dulunya perempuan diwariskan kepada laki-laki kemudian Islam mengangkat posisi perempuan sehingga bisa mewarisi harta setengah dari bagian laki-laki.
3.      Pengarauh Hanifiyyah dan Egalitarianisme pada Masa Awal
Adapun perubahan-perubahan yang dialami oleh masyarakat pra-Islam hingga gerakan hanifiyyah tersebar, bahwa kekuatan-kekuatan produktif terus berkembang, pekerjaan pemesanan kebutuhan semakin meluas, produksi pertanian bertambah dan produksi perindustrian diikat dengan pasar barter, kota-kota berkembang, perkampungan kecil berubah menjadi kota-kota yang maju, pasar musiman ditata rapi, perdagangan internal dan eksternal semakin menyimpul sehingga orang Arab semakin dekat, aktifitas perdagangan yang semakin giat dan proses tukar menukar barang (barter) dalam menyebarkan pertukaran keuangan yang meluas, mempercepat perubahannya, perubahan hubungan darah dan keturunan antar generasi suku.
Ditemukan pula, pengaruh dari inti hanifiyyah ini merupakan tema penting dalam perkembangan dakwah Nabi Muhammad SAW. Dalam formulasi hanifiyyah (semangat mencari kebenaran yang lapang, toleran, tanpa kefanatikan dan tidak membelenggu jiwa)[20] hasil yang diperoleh Nabi Muhammad SAW tidak langsung meraup dalam sekala besar, namun hanya beberapa saja yang tertarik oleh ajaran yang di bawa. Nabi Muhammad SAW hanya berhasil menarik beberapa pengikut. Khadijah, istrinya, yang berhasil di yakinkan oleh Waraqah ibn Nawfal, sepupunya yang menjadi pelopor Hanif[21], termasuk di antara beberapa gelintir orang yang pertama kali memenuhi seruannya. Sepupu Muhammad, ‘Ali dan temannya sesuku.[22]
Selain pengaruh pada prespektif dakwah, perubahan perekonomian dan kemasyarakatan, muncul agama Yahudi dan Nasrani yang membawa kesadaran agama dengan pandangan-pandangan yang kritis terhadap problematika kehidupan, melampaui pandangan intuitif demi terciptanya fnomena al-hunafa’ yang merupakan langkah awal bagi munculnya dakwah Islam.[23]
Adapun hanif tersebut berubah dari fenomena (zahirah) menjadi sebuah gerakan (harakah) karena kondisi sosial, ekonomi, politik, budaya dan aqidah yang mungkin atas perkembangan dan tegaknya agama tersebut.
Dari sinilah dapat dikatakan bahwa agama hanif telah turut merwarnai perkembangan masyarakat Makkah dengan segala kebutuhannya dan bersama-sama berkembang memasuki fase baru, sebuah fase yang membentangkan atas munculnya agama Islam.[24]
Dalam pandangan egalitarianism, kesetaraan palin menonjol dampaknya di rasakan oleh kesetaraan perempuan, yang mana perempuan lebih dihargai deengan adanya hokum perkawinan Islam yang memerintahkan untuk mempergauli istri dengan baik sehingga hak-hak sebagai perempuan telah diwujudkan, tidak lagi menjadi bahan hinaan tetapi perempuan diakui keberadaanya sebagai manusia. Bahkan, perempuan memiliki andil dalam berbagai sektor kehidupan sebagaimana kisah isteri-isteri nabi seperti Khadijah yang menjadi pebisnis handal.[25]

C.    Kesimpulan
Sebagai refleksi dari catatan analisis pemaparan diatas, menunjukkan bahwa latar belakang penataat awal hanifiyyah merupakan langkah paling terpenting dalam penataan peradaban Islam di Makkah. Sangat tepat Allah SWT mengajarkan kepada Nabi Muhammad dan umat Islam untuk menjadikan beliau sebagai titik temu pehaman perihal keyakinan ke-agama-an. Apalagi semua mengakui, paling tidak dengan lisan tentang ke-Esaan Allah SWT. Sedangkan Nabi Ibrahim bukanlah dia dari golongan orang-orang musyrik. Nabi Muhammad SAW berhasil membangun prinsip hanifiyyah, yang mana memiliki keistimewaan dalam menyebarkan dan menaburkan aqidah tauhid, menolak penyembahan berhala, dan para penyembahnya, membongkar dari kepalsuannya, dari kekotoran pikiran menjadi keimanan terhadap hari kebangkitan, hari penghisaban, surga, dan neraka.
Keberhasilan Nabi Muhammad SAW dalam penataan Islam di Makkah terlihat dari egalitarianism yang telah menghiasi wajah Makkah. Nabi Muhammad SAW berhasil mengangkat egalitarianism yang sama sekali belum pernah di angkat ke permukaan praktis agama manapun. Pada ahirnya egalitarianism menjdai isu pokok penting dalam membangun humanisme yang membawa dampak kesetaraan dalam strata sosial.
---------------------
“My choice of Muhammad to lead the list of the world's most influential persons may surprise some readers and may be questioned by others, but he was the only man in history who was supremely successful on both the religious and secular level.”

Daftar Pustaka
1.      Buku
Amstrong, Karen.  Perang Suci: Dari Perang Salib hingga Perang Teluk. 2003. Jakarta: Penerbit Serambi Ilmu Semesta
Antonio, Muhammad Syafii. Muhammad SAW The Super Leader Super Manager. 2005. Jakarta Selatan: Tazkia Publishing
Cawidu, Harifudin. Konsep Kufur dalam Al-Qur’an. 1991.  Jakarta : Bulan Bintang.
Gowdy, John. Limited Wants. Unlimited Means: A reader on Hunter-Gatherer Economics and the Environment. 1998. St Louis: Island Press
Handono, Irena. Islam di Hujat. Menjawab Buku The Islamic Invation. 2004. Kudus : Penerbit Bima Rodheka.
Hitti, Philip K. History of The Arabs. Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. 2002. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta
Husain, Haekal Muhammad. Sejarah Hidup Muhammad. 2003.  Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa
Kharim, Khalil Abdul. Hegemony Quraisy: Agama, Budaya, Kekuasaan. 2002. Yogyakarta : Penerbit LKiS
Madjid, Nur Cholis. Pintu-pintu Menuju Tuhan. 1999. Jakarta : Penerbit Paramadina
Shadiq, Arjun, Muhammad. Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, Juz.1
Shafiyyurrahman, Al- Mubarakfuri Syaikh. Sirah Nabawiyah. 2012. Terj. Kathur Suhardi dari judul asli, Sirah Nabawiyyah, Jakarta: Pustaka al-Kautsar
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah. 2000.  Vol. I . Jakarta : Penerbit Lentera Hati
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. 2000. Jakarta: Rajawali Press
2.      Jurnal
Madjid, Nurcholis. Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang. Jurnal ULUMUL QURAN. 1993. Vol. IV. No. 01.
Maharsi, dkk. Hermeneutika Humanistik: Studi Pemikaran Hermeneutik M. Amin Abdullah dan Khaled Abou el Fadl. Jurnal PENELITAN AGAMA, UIN Yogyakarta. No. 3 Vol. XVII September-Desember 2008
Mazaya, Viky. Kesetaraan Gender dalam Prespektif Sejarah Islam. Jurnal SAWWA. Pegiat Studi Gender dan Anak Kab. Demak. Volume 09, No. 02, April 2014
Mubasyaroh, Karakteristik dan Strategi Dakwah Rasulullah Muhammad SAW pada Periode Makkah. Jurnal AT-TABSYIR: Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam. STAIN Kudus. Vol. 3, No. 2 Desember 2015


3.      Web-site
Nasrah. Nabi Muhammad sebagai Pemimpin Agama dan Negara. e-USU Repository @2005 Universitas Sumatera Utara
Arneson Richard, "Egalitarianism", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (2002.)  Web: http://plato.stanford.edu/entries/egalitarianism
Artikel Salmah. Di publikasikan pada library.walisongo.ac.id/digilib/download.php?id=8677.



[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2000), Hlm. 2
[2] Maharsi, dkk. Hermeneutika Humanistik: Studi Pemikaran Hermeneutik M. Amin Abdullah dan Khaled Abou el Fadl. Jurnal PENELITAN AGAMA, UIN Yogyakarta. No. 3 Vol. XVII September-Desember 2008, hlm. 556
[3] Mubasyaroh, Karakteristik dan Strategi Dakwah Rasulullah Muhammad SAW pada Periode Makkah. Jurnal AT-TABSYIR: Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam. STAIN Kudus. Vol. 3, No. 2 Desember 2015. Hlm. 384-385
[4] Baca John Gowdy. Limited Wants, Unlimited Means: A reader on Hunter-Gatherer Economics and the Environment. 1998. St Louis: Island Press Hlm. 342. Egalitarianisme (berasal dari bahasa Perancis égal yang berarti "sama"), adalah kecenderungan cara berpikir bahwa penikmatan atas kesetaraan dari beberapa macam premis umum misalkan bahwa seseorang harus diperlakukan dan mendapatkan perlakuan yang sama pada dimensi seperti agama, politik, ekonomi, sosial, atau budaya. Dalam kacamata analisis kritis, Dalam pengertian doktrin Egalitas ini mempertahankan bahwa pada hakikatnya semua orang manusia adalah sama dalam status nilai atau moral secara fundamental (Arneson Richard, "Egalitarianism", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (2002.) Web: http://plato.stanford.edu/entries/egalitarianism). Sebagian besar, pengertian ini merupakan respon terhadap pelanggaran pembangunan statis dan memiliki dua definisi yang berbeda dalam bahasa Inggris modern dapat didefinisikan secara baik sebagai doktrin politik yang menyatakan bahwa semua orang harus diperlakukan secara setara dan memiliki hak-hak politik, ekonomi, sosial, dan sipil yang sama atau dalam pengertian filsafat sosial penganjurk penghapusan kesenjangan ekonomi antara orang-orang atau adanya semacam redistribusi/desentralisasi kekuasaan. Dalam hal demikian ini dianggap oleh beberapa pihak dianggap sebagai keadaan alami dari sebuah masyarakat.
[5] Harifudin Cawidu, Konsep Kufur dalam Al-Qur’an. 1991.  Jakarta : Bulan Bintang. Hlm 5
[6] Di jelaskan dalam al-Quara Q.S 3: 66-68
[7] Irena Handono. Islam di Hujat. Menjawab Buku The Islamic Invation. 2004. Kudus : Penerbit Bima Rodheka. hlm. 55.
[8] Karen Amstrong.  Perang Suci: Dari Perang Salib hingga Perang Teluk. 2003. Jakarta:
Penerbit Serambi Ilmu Semesta. Hlm. 835
[9] Op.Cit. Mubasyaroh. Hlm. 387
[10] Viky Mazaya. Kesetaraan Gender dalam Prespektif Sejarah Islam. Jurnal SAWWA. Pegiat Studi Gender dan Anak Kab. Demak. Volume 09, No. 02, April 2014. Hlm. 329
[11] Al- Mubarakfuri, Syaikh Shafiyyurrahman. Sirah Nabawiyah. 2012. Terj. Kathur Suhardi dari judul asli, Sirah Nabawiyyah, Jakarta: Pustaka al-Kautsar. Hlm. 33
[12] Nur Cholis Madjid. Pintu-pintu Menuju Tuhan. 1999. (Jakarta : Penerbit Paramadina. hlm. 55.
[13] Taufik Abdullah, dkk, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Akar dan Awal. 2002. Jakarta : PT. Icktiar Baru Van Hoeve.  hlm. 32.
[14] Baca Artikel Salmah. Di publikasikan pada library.walisongo.ac.id/digilib/download.php?id=8677. Hlm. 5
[15] Ibid. Hlm. 5
[16] Op.Cit. Taufik Abdullah, dkk. Hlm. 60
[17] Op.Cit. Salmah. Hlm. 6
[18] M. Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah. 2000.  Vol. I . Jakarta : Penerbit Lentera Hati. hlm. 316.
[19] Nasrah. Nabi Muhammad sebagai Pemimpin Agama dan Negara. e-USU Repository @2005 Universitas Sumatera Utara. Hlm.3
[20] Nurcholis Madjid. Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang. Jurnal ULUMUL QURAN. 1993. Vol. IV. No. 01. Hlm. 14
[21] Baca: Syaikhul Islam Abu Ali, Muhammad at-Tamimi dalam karyanya Tsalatsatul Ushul. Hal. 30-31. Al-Hanifiyyah adalah jalan dan syari’at Nabi Ibrohim dan seluruh Nabi ‘alaihimus salam, yaitu sebagaimana yang telah disebutkan oleh penulis : “engkau beribadah kepada Alloh dengan ikhlas kepada-Nya dalam menjalankan agama”. Inilah hakikat agama Nabi Ibrohim, beribadah kepada Alloh dengan ikhlas. Dan hanif adalah diambil dari kata al-hanaf, yaitu kecondongan. Orang yang hanif adalah orang yang berpaling dari kesyirikan dan melangkah menuju tauhid. Dan seorang yang Hanif juga bermakna: Orang yang istiqomah dan berpegang teguh pada ajaran Islam, membenarkan Alloh dan mengingkari semua sesembahan selain-Nya, dan orang yang hanif adalah siapa saja yang berada di atas agama Nabi Ibrohim ‘alaihis salam. Adapun kata hanifiyyah berarti sebuah golongan Hanif.
Dikutip dari artikel https://ummushofi.wordpress.com/2012/07/31/makna-hanifiyyah-dan-siapakah-orang-yang-hanif-itu/ Di posting pada 31 Juli 2012 oleh Ummu Shofiah.
[22] Op.Cit. Philip K. Hitti. Hlm. 142
[23] Khalil Abdul Kharim. Hegemony Quraisy: Agama, Budaya, Kekuasaan. 2002. Yogyakarta :
Penerbit LKiS. Hlm. 169-170.
[24] Ibid. Hlm. 182-183
[25] Op.Cit. Viky. Hlm. 340

No comments:

Post a Comment