Melacak Akar Formulasi Agama di Makkah
“Hanifiyyah
dan Egalitarianisme”
Oleh
Rizqi Miftakhudin Fauzi
frizqimmedia@gmail.com
PASCASARJANA
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UIN MAULANA
MALIK IBRAHIM MALANG
A.
Pendahuluan
Di
utusnya Nabi Muhammad SAW di muka bumi ini menandakan segera berakhirnya
sejarah kegelapan zaman jahiliyah. Pelbagai persoalan; bobroknya moral,
cacatnya akhlak mewarnai zaman jahilayah. Nabi Muhammad SAW hadir bersama agama
“rahmatan lil ‘alamin” yakni tidak lain adalah agama Islam yang
memberikan nafas baru bagi peradaban jahiliyah. Sebagaimana pernyataan H.A.R
Gibb di dalam bukunya Whither Islammenyatakan, “Islam is indeed much
more than a system of theology, it is a complete civilization” (Islam sesungguhhnya
lebih dari sekedar sebuah agama, ia adalah suatu peradaban yang sempurna).[1]
Sedikit demi sedikit namun pasti–perjuangan, keteguhan, keikhlasan, kesabaran, al-amin
yang melebelinya serta sifat Shiddiq, Amanah, Fatonah serta Tabligh[2]–pada
ahirnya membuahkan hasil yang sungguh gemilang yakni wajah perdaban baru yang
elok dengan label akhlakul karimah.
Prioritas
pertama dan utama diutusnya nabi Muhammad SAW tidak hanya menyebarkan agama
Islam, namun juga untuk merenovasi kerangka zaman jahiliyah yang bobrokakan
moral dan akhlak pada saat itu. Sebagaimana dalam hadist:
إنما بعثت لأتم صالح الاخلق
”Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang
sholeh”. (HR: Bukhari dalam shahih Bukhari kitab adab, Baihaqi dalam kitab
syu’bil Iman dan Hakim).
Pada
masa awal Islam, Nabi Muhammad SAW merupkan suara otoritatif mewakili kehendak
Tuhan. Tidak ada yang berani meragukan apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad
SAW. Hal ini sekaligus menjadi suara nomor satu yang di jadikan panutan utama
dan pertama jika terjadi penyimpangan-penyimpangan akhlak umat Islam pada saat
itu. Seketika Nabi Muhammad SAW memberikan arahan yang benar jika melihat
akhlak yang menyimpang dari ketentuan agama Islam. Atau jika setidaknya
terdapat seorang muslim yang bingung dengan harus bagaimanakah berinteraksi
horizontal dengan masyarakat, maka hal ini dapat terjawab langsung dengan
berkonsultasi kepada Nabi Muhammad SAW.
Namun
hal yang mendasar yang penting untuk di garis bawahi, jalan medan dakwah Nabi
Muhammad SAW tidak serta mudah seperti halnya membalikkan telapak tangan. Hisotritas
kelahiran Islam dan pergulatannya dalam menegakkan sebuah tatanan baru ditengah
puing-puing warisan masyarakat Arab yang berada pada titik nadirnya. Respon
Nabi tidak lain merupakan konsekuensi logis dari prilaku keseharian masyarakat
Arabi saat itu. Kehidupan masyarakat
Arab pada masa pra Islam dikenal dengan sebutan zaman jahiliyah. Zaman
jahiliyah adalah zaman kebodohan atau kegelapan terhadap kebenaran. Tatanan
sosial dan akhlak tidak berjalan semestinya, yang kuat senantiasa menindas yang
lemah, kaum wanita menjadi sasaran tindak kejahatan dan masih banyak lagi
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi pada masa itu. Mereka tidak mengenal
perikemanusiaan dan hidup tanpa dasar keimanam. Kaum wanita dipandang makhluk
yang lemah dan hidup tertindas di bawah kekuasaan kaum pria.[3]
Tak ada yang namanya kelemah-lembut-an serta kesetaran strata sosial.
Perlu adanya formulasi yang tepat dalam menata
peradaban baru yang lebih gemilang. Lantas bagaimanakah formulasi
strategi yang digunakan Nabi Muhammad SAW pada pembentukan peradaban Islam
awal, sehingga hak asasi serta egalitarianisme[4]
bisa tercapai hingga saat ini. Inilah titik koordinat fokus pada penelitian
yang akan di ungkap pada permukaan analitis kritis objektif. Dengan menggunakan
pendekatan buku-buku sirah klasik
maupun kontemporer serta melakukan kajian-kajian analisis jurnal pustaka
sejarah yang otentik.
B.
Pembahasan
1.
Historitas Hanifiyyah dan Egalitarianisme
Melacak akar latar belakang hanifiyyah, penting kiranya mengetahui
historitasnya. Perlu diketahui, sebelum
Islam hadir di tanah Arab dibawah pimpinan Nabi Muhammad SAW, terdapat empat
jenis kepercayaan yang berpengaruh di sana, yaitu :
a) Arab Jahiliyah
b) Yahudi
c) Kristian
d) Hanif
Perkataan
hanif bermaksud “dia yang berpaling” yaitu dari penyembahan berhala.
Orang hanif ialah orang Jahiliyah yang telah dipengaruhi oleh faham
Yahudi dan Kristen, tetapi mereka menolak amalan penyembahan berhala. Mereka
tidak berjamaah tetapi percaya pada agama yang benar ialah agama yang dipegang
bapak bangsa mereka yaitu Ibrahim. Agama Yahudi, Kristen dan Islam
masing-masing menuntut mewakili agama Ibrahim yang benar.[5]
Al-Qur’an menjelaskan bahwa Ibrahim
bukanlah seorang Yahudi atau Kristen melainkan seorang hanif (orang yang
memiliki kecenderungan suci, dan pemihakan alami kepada kebenaran) dan seorang
muslim (orang yang tulus berserah diri kepada Tuhan). Oleh karena itu, demikian
yang disebutkan dalam al-Qur’an yang paling berhak atas Ibrahim adalah mereka
yang mengikuti ajarannya.[6]
Hal yang mendasar dalam historitas hanifiyyah yang mana di ungkapkan oleh
Irena Handono dalam bukunya Islam di
Hujat menyatakan karena adanya kekhawatiran makin meningkat terhadap
ketidakadilan peradaban baru yang berkembang di Mekkah, sebagian orang Arab
mulai mencari kebenaran, yang tidak puas dengan agama dominan bangsa Arab
(memuja berhala) yang berada dalam wilayah keyakinan yang lebih tinggi.[7]
Meskipun demikian, hanifiyyah dalam konteks historis Arab pra-Islam mendapati status
yang kurang melegakan, yakni hanif adalah sebuah sebutan bernada
mencemooh yang diberikan oleh kaum pagan Arab pada masa pra-Islam kepada
orang-orang Arab yang menjadi monotheis yakni mereka yang hanya
menyembah Allah, serta yang mengklaim bahwa Allah adalah Tuhan kaum Yahudi dan
Kristen, dan hanif pada masa itu diartikan dengan kaum kafir.[8]
Namun, ada yang menarik dari
keberagamaan bangsa Arab jahiliyah bahwa meskipun mereka menyembah berhala,
tetapi mereka tidak mengakui berhala sebagai Tuhan mereka. Berhala-berhala
tersebut hanya diyakini mampu mendekatkan kepada Tuhan (Allah) dan
menghubungkan mereka kepadaNya serta memberikan manfaat di sisiNya.[9]
Adapun dalam ranah pelacakan
egalitarianisme, sebagai pijakan awal perlu di
ketahui pada zaman pra-Islam, perbedaan strata sosial sangat menonjol di Arab.
Hubungan seseorang dengan keluarga di kalangan bangsawan sangat diunggulkan dan
diprioritaskan, dihormati, dan dijaga sekalipun harus dengan pedang terhunus
dan pertumpahan darah. Tambahan pula, mulai dari strata suku, keluarga, hingga
perbedaan strata antar gender sangat menonjol di wajah peradaban Arab jahiliyyah. Banyak fakta yang ditemukan
kasus-kasus yang menciderai strata sosial ini. Yang paling popular diantaranya
kebiasaan membunuh anak perempuan. Di samping itu, juga budaya mengawini
perempuan sebanyak yang disukai dan menceraikan mereka sesuka hati.[10]
Seperti yang di gambarkan oleh al-Mubarakfuri yang mana dalam tradisi Arab
memiliki tradisi pernikahan dimana, wanita yang akan menikah harus
sepersetujuan wali wanita, sehingga wanita tidak bebas menentukan calon
suaminya.[11]
Inilah yang menjadi keresahan Nabi Muhammad SAW dan projek besar dalam meratas
kerangka peradaban yang bobrok pada saat itu.
2.
Pembangunan Prinsip Hanifiyyah dan Egalitarianisme “Sebuah Ruang Lingkup dan
Historisnya”
Sejauh pelacakan penulisan, kebanyakan
pembahasan hanif banyak
disinggung ketika membahas agama Ibrahim (Abraham Religion) karena
perintah untuk megikuti agama Ibrahim, selalu dikaitkan dengan konsep Al-Hanifiyyah.
Temuan lain, ruang lingkup hanifiyyah merupakan agama Ibrahim yang
otentik dan asli itu disebut agama Hanifiyyah atau “kehanifan” dan Nabi
Ibrahim adalah seorang yang hanif artinya kepada Allah Tuhan Seru Sekalian Alam.[12] Hanifiyyah
merupakan suatu bentuk kepercayaan yang juga berkembang di Arab, secara
harfiah hanif berarti menolak
penyembahan berhala.
Kepercayaan hanifiyyah merupakan
pemberontakan terhadap penyembahan berhala dan kemusyrikan, sebaliknya ia
mengajak ketauhidan. Ini sama dengan menciptakan kondisi untuk periode
perpindahan dari masa jahiliyah terakhir kepada masa Islam.[13]
Tujuan agama hanif bukan hanya
memerangi keboborokan masyarakat dan kejahatan moral saja, tetapi juga menolak
untuk menyembah berhala dan mengajak untuk menyembah pada Tuhan Yang Maha Esa,
yang merupakan pengaruh dari kedua ajaran tauhid yang lebih dikenal oleh
masyarakat Arab pada waktu itu yaitu Yahudi dan Nasrani.[14]
Agama hanif memiliki keistimewaan dalam menyebarkan dan menaburkan
aqidah tauhid, menolak penyembahan berhala, dan para penyembahnya, membongkar
dari kepalsuannya, dari kekotoran pikiran menjadi keimanan terhadap hari
kebangkitan, hari penghisaban, surga, dan neraka.
Adapan dalam prespektif Nabi Muhammad
SAW tentunya agama Islam yang di sandangnya, Nabi Muhammad SAW membangun sebuah
prinsip bahwa hanifiyyah bukan
sebagai agama baru tetapi sebagai agama tertua, memang jika dilihat dari
perjalanan sejarah agama-agama semitik atau Ibrahimiah Islam adalah agama baru,
namun apabila dilihat dari esensi pesan semua Nabi (tauhid yang diwahyukan
Tuhan kepada mereka), maka esensi Islam adalah agama tertua yang telah ada
sejak Nabi Adam AS.[15]
Mengingat bahwa Islam
mengidentifikasikan dirinya dengan agama primordial (mendasar) sebagai ad-din
al-hanif, agama yang benar yaitu agama Ibrahim dan keturunannya maka dirasa
perlu untuk diadakan pengkajian tentang masalah hanif karena danya
tradisi monotheistik yang berasal dari Mesopotamia Ibrahimiah atau
tradisi Ibrahimiah yang disebut hanifiyyah itu telah digeser oleh
tradisi syirik. Sehingga para hanif menolak penyekutuan Tuhan-Tuhan lain
dengan Allah SWT, menolak ikut serta upacara-upacara keagamaan orang kafir dan
mempertahankan suatu hidup kesucian etis tanpa celaan.[16]
Nabi Muhammad SAW membangun prinsip hanif dengan tidak berbeloknya atau
tidak berkepihakan dalam pandangan orang-orang Yahudi yang mengajak umat Islam
menganut pandangan mereka dan tidak juga hidup mengarah pada agama Nasrani yang
penganut-penganutnya mengajak kaum umat Islam menganut pandangan mereka. Para
rasul diutus Allah untuk meluruskan yang miring atau bengkok dalam pandangan
manusia, yang melakukan pelurusan itu adalah Nabi Ibrahim yang dihormati oleh
penganut agama Yahudi dan Nasrani.[17]
Oleh karena itu sangat tepat bahwa Allah
mengajarkan kepada Nabi Muhammad dan umat Islam untuk menjadikan beliau sebagai
titik temu. Apalagi semua mengakui, paling tidak dengan lisan tentang ke-Esaan
Allah SWT. Sedangkan Nabi Ibrahim bukanlah dia dari golongan orang-orang
musyrik.[18]
Atau dalam penulis singgung diatas Nabi Muhammad SAW merupakan suara paling
otoritatif mewakili kehendak Allah SWT.
Adapun dalam penataan
Egalitarianisme, Nabi Muhammad SAW sadar betul atas kondisi sosial yang
tersekat-sekat. Bangsa Arab hidup berkasta-kasta. Tiap-tiap manusia digolongkan
kepada kasta yang tidak boleh dilampauinya. Tetapi, seruan Nabi Muhammad
memberikan hak sama kepada manusia. Hak sama inilah suatu dasar yang penting
dalam agama Islam, karena itu kasta bangsawan dari kaum Quraisy enggan menganut
agama Islam karena mereka anggap akan meruntuhkan tradisi dan dasar kehidupan
mereka.[19]
Nabi Muhammad SAW merubah
budaya masyarakat jahiliyyah dengan ajaran yang mengangkat dan memuliakan
harkat dan martabat perempuan. Dari posisi perempuan yang tidak dihargai sama
sekali, yang dulunya perempuan diwariskan kepada laki-laki kemudian Islam mengangkat
posisi perempuan sehingga bisa mewarisi harta setengah dari bagian laki-laki.
3.
Pengarauh Hanifiyyah dan Egalitarianisme pada Masa
Awal
Adapun perubahan-perubahan yang dialami
oleh masyarakat pra-Islam hingga gerakan hanifiyyah tersebar, bahwa
kekuatan-kekuatan produktif terus berkembang, pekerjaan pemesanan kebutuhan
semakin meluas, produksi pertanian bertambah dan produksi perindustrian diikat
dengan pasar barter, kota-kota berkembang, perkampungan kecil berubah
menjadi kota-kota yang maju, pasar musiman ditata rapi, perdagangan internal
dan eksternal semakin menyimpul sehingga orang Arab semakin dekat, aktifitas
perdagangan yang semakin giat dan proses tukar menukar barang (barter) dalam
menyebarkan pertukaran keuangan yang meluas, mempercepat perubahannya,
perubahan hubungan darah dan keturunan antar generasi suku.
Ditemukan pula, pengaruh dari inti hanifiyyah ini merupakan tema penting
dalam perkembangan dakwah Nabi Muhammad SAW. Dalam
formulasi hanifiyyah (semangat mencari kebenaran yang lapang, toleran, tanpa
kefanatikan dan tidak membelenggu jiwa)[20]
hasil yang diperoleh Nabi Muhammad SAW tidak langsung meraup dalam
sekala besar, namun hanya beberapa saja yang tertarik oleh ajaran yang di bawa.
Nabi Muhammad SAW hanya berhasil menarik beberapa pengikut. Khadijah, istrinya,
yang berhasil di yakinkan oleh Waraqah ibn Nawfal, sepupunya yang menjadi
pelopor Hanif[21],
termasuk di antara beberapa gelintir orang yang pertama kali memenuhi
seruannya. Sepupu Muhammad, ‘Ali dan temannya sesuku.[22]
Selain pengaruh pada prespektif dakwah,
perubahan perekonomian dan kemasyarakatan, muncul agama Yahudi dan Nasrani yang
membawa kesadaran agama dengan pandangan-pandangan yang kritis terhadap
problematika kehidupan, melampaui pandangan intuitif demi terciptanya fnomena
al-hunafa’ yang merupakan langkah awal bagi munculnya dakwah Islam.[23]
Adapun hanif tersebut berubah
dari fenomena (zahirah) menjadi sebuah gerakan (harakah) karena
kondisi sosial, ekonomi, politik, budaya dan aqidah yang mungkin atas
perkembangan dan tegaknya agama tersebut.
Dari sinilah dapat dikatakan bahwa agama
hanif telah turut merwarnai perkembangan masyarakat Makkah dengan segala
kebutuhannya dan bersama-sama berkembang memasuki fase baru, sebuah fase yang
membentangkan atas munculnya agama Islam.[24]
Dalam pandangan
egalitarianism, kesetaraan palin menonjol dampaknya di rasakan oleh kesetaraan
perempuan, yang mana perempuan lebih dihargai deengan adanya hokum perkawinan
Islam yang memerintahkan untuk mempergauli istri dengan baik sehingga hak-hak
sebagai perempuan telah diwujudkan, tidak lagi menjadi bahan hinaan tetapi
perempuan diakui keberadaanya sebagai manusia. Bahkan, perempuan memiliki andil
dalam berbagai sektor kehidupan sebagaimana kisah isteri-isteri nabi seperti
Khadijah yang menjadi pebisnis handal.[25]
C. Kesimpulan
Sebagai refleksi dari catatan analisis pemaparan diatas,
menunjukkan bahwa latar belakang penataat awal hanifiyyah merupakan langkah paling terpenting dalam penataan
peradaban Islam di Makkah. Sangat tepat Allah SWT mengajarkan
kepada Nabi Muhammad dan umat Islam untuk menjadikan beliau sebagai titik temu
pehaman perihal keyakinan ke-agama-an. Apalagi semua mengakui, paling tidak
dengan lisan tentang ke-Esaan Allah SWT. Sedangkan Nabi Ibrahim bukanlah dia
dari golongan orang-orang musyrik. Nabi Muhammad SAW berhasil membangun prinsip
hanifiyyah, yang mana memiliki
keistimewaan dalam menyebarkan dan menaburkan aqidah tauhid, menolak
penyembahan berhala, dan para penyembahnya, membongkar dari kepalsuannya, dari
kekotoran pikiran menjadi keimanan terhadap hari kebangkitan, hari penghisaban,
surga, dan neraka.
Keberhasilan
Nabi Muhammad SAW dalam penataan Islam di Makkah terlihat dari egalitarianism
yang telah menghiasi wajah Makkah. Nabi Muhammad SAW berhasil mengangkat egalitarianism
yang sama sekali belum pernah di angkat ke permukaan praktis agama manapun. Pada
ahirnya egalitarianism menjdai isu pokok penting dalam membangun humanisme yang
membawa dampak kesetaraan dalam strata sosial.
---------------------
“My choice of Muhammad to lead the list
of the world's most influential persons may surprise some readers and may be
questioned by others, but he was the only man in history who was supremely
successful on both the religious and secular level.”
Daftar Pustaka
1. Buku
Amstrong, Karen. Perang Suci: Dari Perang Salib hingga
Perang Teluk. 2003. Jakarta: Penerbit Serambi Ilmu Semesta
Antonio, Muhammad
Syafii. Muhammad SAW The Super Leader
Super Manager. 2005. Jakarta Selatan: Tazkia Publishing
Cawidu, Harifudin. Konsep Kufur dalam Al-Qur’an. 1991. Jakarta : Bulan Bintang.
Gowdy, John. Limited
Wants. Unlimited Means: A reader on Hunter-Gatherer Economics and the
Environment. 1998. St Louis: Island Press
Handono, Irena. Islam
di Hujat. Menjawab Buku The Islamic Invation. 2004. Kudus : Penerbit Bima Rodheka.
Hitti, Philip K. History of The
Arabs. Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. 2002. Jakarta: Serambi
Ilmu Semesta
Husain, Haekal Muhammad. Sejarah
Hidup Muhammad. 2003. Jakarta:
Pustaka Litera Antar Nusa
Kharim, Khalil Abdul. Hegemony
Quraisy: Agama, Budaya, Kekuasaan. 2002.
Yogyakarta : Penerbit
LKiS
Madjid, Nur Cholis. Pintu-pintu
Menuju Tuhan. 1999. Jakarta
: Penerbit Paramadina
Shadiq, Arjun, Muhammad. Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam, Juz.1
Shafiyyurrahman, Al- Mubarakfuri Syaikh. Sirah Nabawiyah. 2012. Terj. Kathur Suhardi dari judul asli, Sirah Nabawiyyah, Jakarta: Pustaka
al-Kautsar
Shihab, M. Quraish. Tafsir
al-Misbah. 2000. Vol. I . Jakarta : Penerbit Lentera
Hati
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. 2000. Jakarta:
Rajawali Press
2. Jurnal
Madjid, Nurcholis. Beberapa Renungan tentang Kehidupan
Keagamaan untuk Generasi Mendatang. Jurnal ULUMUL QURAN. 1993. Vol. IV. No.
01.
Maharsi, dkk. Hermeneutika Humanistik: Studi Pemikaran Hermeneutik M.
Amin Abdullah dan Khaled Abou el Fadl. Jurnal PENELITAN AGAMA, UIN
Yogyakarta. No. 3 Vol. XVII September-Desember 2008
Mazaya, Viky. Kesetaraan Gender dalam Prespektif Sejarah
Islam. Jurnal SAWWA. Pegiat Studi Gender
dan Anak Kab. Demak. Volume 09, No. 02, April 2014
Mubasyaroh, Karakteristik dan Strategi Dakwah Rasulullah
Muhammad SAW pada Periode Makkah. Jurnal AT-TABSYIR: Jurnal Komunikasi Penyiaran
Islam. STAIN Kudus. Vol. 3, No. 2 Desember 2015
3.
Web-site
Nasrah. Nabi Muhammad sebagai Pemimpin Agama dan Negara. e-USU Repository
@2005 Universitas Sumatera Utara
https://ummushofi.wordpress.com/2012/07/31/makna-hanifiyyah-dan-siapakah-orang-yang-hanif-itu/ Di
posting pada 31 Juli 2012 oleh Ummu Shofiah.
Arneson Richard, "Egalitarianism", The Stanford Encyclopedia of
Philosophy (2002.) Web: http://plato.stanford.edu/entries/egalitarianism
Artikel Salmah. Di publikasikan pada library.walisongo.ac.id/digilib/download.php?id=8677.
[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Press,
2000), Hlm. 2
[2] Maharsi, dkk. Hermeneutika Humanistik: Studi Pemikaran Hermeneutik
M. Amin Abdullah dan Khaled Abou el Fadl. Jurnal PENELITAN AGAMA, UIN
Yogyakarta. No. 3 Vol. XVII September-Desember 2008, hlm. 556
[3] Mubasyaroh, Karakteristik dan Strategi Dakwah Rasulullah Muhammad SAW pada Periode
Makkah. Jurnal AT-TABSYIR: Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam. STAIN
Kudus. Vol. 3, No. 2 Desember 2015. Hlm. 384-385
[4] Baca John Gowdy. Limited Wants, Unlimited Means: A
reader on Hunter-Gatherer Economics and the Environment. 1998. St Louis:
Island Press Hlm. 342. Egalitarianisme (berasal dari bahasa Perancis égal yang
berarti "sama"), adalah kecenderungan cara berpikir bahwa penikmatan
atas kesetaraan dari beberapa macam premis umum misalkan bahwa seseorang harus
diperlakukan dan mendapatkan perlakuan yang sama pada dimensi seperti agama, politik, ekonomi, sosial, atau budaya. Dalam kacamata analisis kritis, Dalam pengertian
doktrin Egalitas ini mempertahankan bahwa pada hakikatnya semua orang manusia
adalah sama dalam status nilai atau moral secara fundamental (Arneson Richard,
"Egalitarianism", The
Stanford Encyclopedia of Philosophy (2002.)
Web: http://plato.stanford.edu/entries/egalitarianism). Sebagian besar, pengertian ini merupakan respon
terhadap pelanggaran pembangunan statis dan memiliki dua definisi yang berbeda
dalam bahasa Inggris modern dapat didefinisikan secara baik sebagai doktrin politik yang menyatakan bahwa semua orang harus diperlakukan
secara setara dan memiliki hak-hak politik, ekonomi, sosial, dan sipil yang
sama atau dalam pengertian
filsafat sosial penganjurk penghapusan kesenjangan ekonomi antara orang-orang
atau adanya semacam redistribusi/desentralisasi kekuasaan. Dalam hal demikian
ini dianggap oleh beberapa pihak dianggap sebagai keadaan alami dari sebuah
masyarakat.
[5] Harifudin Cawidu, Konsep Kufur dalam Al-Qur’an. 1991. Jakarta : Bulan Bintang. Hlm 5
[6] Di jelaskan dalam
al-Quara Q.S 3: 66-68
[7]
Irena Handono. Islam di Hujat. Menjawab Buku The Islamic Invation. 2004. Kudus : Penerbit Bima
Rodheka. hlm. 55.
[8]
Karen Amstrong. Perang Suci: Dari
Perang Salib hingga Perang Teluk. 2003.
Jakarta:
Penerbit
Serambi Ilmu Semesta. Hlm. 835
[9] Op.Cit. Mubasyaroh. Hlm. 387
[10] Viky Mazaya. Kesetaraan Gender dalam Prespektif Sejarah
Islam. Jurnal SAWWA. Pegiat Studi Gender
dan Anak Kab. Demak. Volume 09, No. 02, April 2014. Hlm. 329
[11] Al- Mubarakfuri, Syaikh Shafiyyurrahman. Sirah Nabawiyah. 2012. Terj. Kathur Suhardi dari judul asli, Sirah Nabawiyyah, Jakarta: Pustaka
al-Kautsar. Hlm. 33
[12] Nur Cholis Madjid. Pintu-pintu
Menuju Tuhan. 1999. (Jakarta
: Penerbit Paramadina. hlm. 55.
[13] Taufik
Abdullah, dkk, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Akar dan Awal. 2002. Jakarta : PT. Icktiar Baru Van
Hoeve. hlm. 32.
[14] Baca Artikel Salmah.
Di publikasikan pada library.walisongo.ac.id/digilib/download.php?id=8677.
Hlm. 5
[15] Ibid. Hlm. 5
[16] Op.Cit. Taufik Abdullah, dkk. Hlm. 60
[17] Op.Cit. Salmah. Hlm. 6
[18] M.
Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah. 2000.
Vol. I . Jakarta :
Penerbit Lentera Hati. hlm. 316.
[19] Nasrah. Nabi Muhammad sebagai Pemimpin Agama dan
Negara. e-USU Repository @2005 Universitas Sumatera Utara. Hlm.3
[20] Nurcholis Madjid. Beberapa Renungan tentang Kehidupan
Keagamaan untuk Generasi Mendatang. Jurnal ULUMUL QURAN. 1993. Vol. IV. No.
01. Hlm. 14
[21] Baca:
Syaikhul Islam Abu Ali, Muhammad at-Tamimi dalam karyanya Tsalatsatul Ushul. Hal. 30-31. Al-Hanifiyyah
adalah jalan dan syari’at Nabi
Ibrohim dan seluruh Nabi ‘alaihimus salam, yaitu sebagaimana yang telah
disebutkan oleh penulis : “engkau beribadah kepada Alloh dengan ikhlas
kepada-Nya dalam menjalankan agama”. Inilah hakikat agama Nabi Ibrohim,
beribadah kepada Alloh dengan ikhlas. Dan hanif adalah diambil dari kata
al-hanaf, yaitu kecondongan. Orang yang hanif adalah orang yang berpaling dari
kesyirikan dan melangkah menuju tauhid. Dan seorang yang Hanif juga bermakna:
Orang yang istiqomah dan berpegang teguh pada ajaran Islam, membenarkan Alloh
dan mengingkari semua sesembahan selain-Nya, dan orang yang hanif adalah siapa
saja yang berada di atas agama Nabi Ibrohim ‘alaihis salam. Adapun kata hanifiyyah berarti sebuah golongan Hanif.
Dikutip dari artikel https://ummushofi.wordpress.com/2012/07/31/makna-hanifiyyah-dan-siapakah-orang-yang-hanif-itu/ Di posting pada 31 Juli
2012 oleh Ummu Shofiah.
[22] Op.Cit. Philip K. Hitti. Hlm.
142
[23]
Khalil Abdul Kharim. Hegemony Quraisy: Agama, Budaya, Kekuasaan. 2002. Yogyakarta :
Penerbit
LKiS. Hlm. 169-170.
[24] Ibid. Hlm. 182-183
[25] Op.Cit. Viky. Hlm. 340
No comments:
Post a Comment