Wednesday, November 15, 2017

PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER

PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER
Oleh:
Ni’matul Ulfa (16771003)
Magister Pendidikan Agama Islam
Program Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

A.  Dasar Pemikiran
Pendidikan Indonesia, saat ini, dihadapkan banyak masalah. Di satu sisi, sering kali pelajar-pelajar Indonesia memperoleh prestasi berupa raihan medali emas, perak maupun perunggu, baik dalam kompetisi di tingkat nasional maupun internasional. Akan tetapi, di sisi lain, seringkali masih dijumpai banyak pelajar yang senang melakukan tindakan kekerasan dan asusila sesama peserta didik maupun yang lain. Ironinya lagi, beberapa tahun yang lalu sempat juga terkuak kasus sontek massal. Guru yang seharusnya memberikan contoh baik kepada peserta didik, ternyata justeru menyuruh peserta didiknya yang paling pintar di kelas untuk memberikan sontekan kepada teman-temannya. Kasus ini seperti menjadi tamparan keras bagi wajah pendidikan di Indonesia. Pendidikan, sebagai salah satu elemen penting dalam mendidik generasi bangsa, harus benar-benar dikelola dengan baik agar mampu membenahi akhlak bangsa. Hal ini dikarenakan hakikat pendidikan itu sebenarnya bukan hanya mengajar (transfer of knowledge) saja, tetapi lebih dari itu, yaitu mendidik agar berakhlak. Hal ini sebenarnya yang menjadi orientasi pendidikan dalam Islam yang belum tergambar pada masa jahiliyah.
Hal senada juga diungkapkan oleh Baidhawi dalam Said Ismail Ali bahwa pendidikan itu bertujuan untuk memperbaiki akhlak atau lebih dikenal dengan istilah ta’dib. 3 Fakta di lapangan sering menunjukkan bahwa pendidikan agama dianggap sebagai salah satu media efektif dalam menginternalisasikan karakter luhur terhadap peserta didik. Akan tetapi kenyataannya, harapan tersebut belum mampu direalisasikan oleh pendidikan agama Islam atau PAI,mengingat belum dapat berperan secara optimal. Meskipun anggapan itu tidak sepenuhnya benar, tetapi paling tidak idealnya pendidikan agama memang dimaksudkan untuk meningkatkan potensi spiritual dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang memiliki akhlaqul karimah.
Melalui PAI, peserta didik diharapkan memiliki karakter-karakter tersebut. Pemahaman yang mendalam tentang ajaran dan nilai-nilai agama Islam diharapakan mampu menjiwai perilaku dan tindakan peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, pengembangan PAI yang berorientasi kepada pendidikan karakter diharapkan mampu membenahi kualitas pembelajaran PAI, sehingga mampu memberikan kontribusi dalam pembenahan akhlak generasi penerusbangsa. Makalah ini akan menjelaskan berbagai pengembangan PAI yang berorientasi pada pendidikan karakter dengan beberapa kajian, yaitu landasan filosofis, teori-teori pendidikan karakter, model pengembangan karakter bangsa dan PAI, implikasi dan aplikasi model pendidikan karakter.

B.  Pengertian Pengembangan Kurikulum PAI
Pengembangan kurikulum adalah kegiatan untuk menghasilkan kurikulum baru melalui langkah-langkah penyusunan kurikulum atas dasar hasil penilaian yang dilakukan selama periode tertentu, pengembangan kurikulum berarti perubahan dan peralihan total dari satu kurikulum ke kurikulum lain, dan perubahan ini berlangsung dalam waktu panjang.[1]
Sedangkan Pengertian pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kurikulum secara umum, perbedaannya hanya terletak pada sumber pelajarannya saja. Sebagaimana yang diutarakan oleh Abdul Majid dalam bukunya “Pembelajaran Agama Islam berbasis Kompetensi, mengatakan bahwa kurikulum pendidikan agama Islam adalah rumusan tentang tujuan, materi, metode, dan evaluasi pendidikan yang bersumber pada ajaran agama Islam.[2]

C.  Hakikat Pendidikan Karakter
1.    Sejarah Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter pertama kali dicetuskan oleh pedagog Jerman F.W. Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi. Tujuan pendidikan karakter yang dicetuskan Foerster adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subjek dengan prilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang individu. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur. Kemudian, sejak tahun 1990-an, terminologi pendidikan karakter mulai ramai dibicarakan. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya melalui karyanya yang sangat memukau, The Return of Character Education sebuah buku yang menyadarkan dunia Barat secara khusus dimana tempat Lickona hidup, dan seluruh dunia pendidikan secara umum, bahwa pendikan karakter adalah sebuah keharusan untuk memperbaiki karakter generasi muda. Para tokoh besar di Indonesia juga memberikan sumbangannya terhadap pendidikan karakter seperti Ki Hajar Dewantara dengan semangat “Ingarsa sung tuladhaing madya mangun karsa, tut wuri handayani” juga beberapa tokoh lainnya seperti RA. Kartini, Soekarno, Hatta, dan sebagainya yang bertujuan membentuk kepribadian dan identitas bangsa sesuai dengan konteks dan situasi yang mereka alami.

2.  Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter menurut Kerangka Acuan Pendidikan Karakter Tahun Anggaran 2010 yang diterbitkan oleh Direktorat Ketenagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional yaitu merupakan pendidikan yang erat kaitannya dengan habit atau kebiasaan yang terus menerus di praktekkan atau dilakukan.
Pendidikan karakter menurut Ratna Megawangi yaitu sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan  dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya.
Sedangkan menurut Dharma Kesuma, dkk bahwa pendidikan karakter adalah pembelajaran yang mengarah pada penguatan dan pengembangan prilaku anak secara utuh yang didasarkan pada suatu nilai tertentu yang dirujuk oleh sekolah. Menurut Agus Wibowo, pendidikan karakter adalah pendidikan yang menanamkan dan mengembangkan karakter-karakter luhur kepada anak didik, sehingga mereka memiliki karakter luhur itu, menerapkan, dan mempraktikkan  dalam kehidupannya, entah dalam keluarga, sebagai masyarakat, dan warga negara.
Menurut Darmiyati Zuhdi, pendidikan karakter yaitu pendidikan yang mengajarkan cara berpikir, bersikap, bertindak yang menjadi ciri khas seseorang yang menjadi kebiasaan yang ditampilkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Menurut Mukhlas Samani dan Hariyanto, pendidikan karakter adalah hal positif apa saja yang dilakukan guru dan berpengaruh terhadap karakter siswa yang diajarnya. Menurut penulis yang diilhami dari proses pembelajaran input memory tentang makna pendidikan akhirnya didapat sebuah pengertian tentang pendidikan karakter yaitu kegiatan atau usaha, sistematis dan berkesinambungan untuk mengembangkan potensi manusia, memberikan kecakapan, sikap yang sesuai dengan tujuan pendidikan karakter sedangkan potensi sendiri dapat diartikan sebagai kemampuan atau fitrah yang dibawa manusia seperti kekuatan spiritual keagamaan, kepribadian, kecerdasan, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, agamanya, masyarakat, bangsa dan negara yang mempunyai kemungkinan untuk menjadi kemampuan nyata.

3. Tujuan Pendidikan Karakter
Socrates berpendapat bahwa tujuan paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi good and smart. Dalam sejarah Islam, Rasulullah Muhammad saw, juga menegaskan bahwa misi utamanya dalam mendidik manusia adalah mengupayakan pembentukan karakter yang baik (good character). Kemudian Lickona dan tokoh lainnya seperti menyuarakan kembali gaung yang disuarakan Socrates dan Muhammad saw, bahwa moral, akhlak, atau karakter adalah tujuan yang tidak bisa dihindarkan  dari dunia pendidikan, begitu juga dengan Marthin Lither King yang mengatakan kecerdasan plus karakter, itulah tujuan yang  benar dalam pendidikan.
Pakar pendidikan Indonesia, Fuad Hasan, juga ingin menyampaikan hal yang sama dengan tokoh pendidikan tersebut. Menurutnya, pendidikan bermuara pada pengalihan nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial. Sementara Mardiatmaja menyebut pendidikan karakter sebagai ruh pendidikan dalam memanusiakan manusia. Pendidikan karakter juga merupakan kewajiban keluarga, masyarakat, dan pemerintah untuk mempersiapkan generasi yang tangguh.
Pemaparan pandangan tokoh-tokoh diatas  menunjukkan bahwa pendidikan sebagai nilai universal kehidupan memiliki tujuan pokok yang disepakai di setiap zaman, pada setiap kawasan, dan dalam semua pemikiran. Dengan bahasa sederhana, tujuan yang disepakati itu adalah merubah manusia menjadi lebih baik dalam pengetahuan sikap dan keterampilan.





4.  Komponen Pendidikan Karakter
Dalam pendidikan karakter Lickona menekankan tiga komponen karakter yang baik yaitu moral knowing(pengetahuan tentang moral), moral feeling (perasaan tentang moral), dan moral action (perbuatan bermoral).
a.    Moral Knowing (pengetahuan tentang moral)
William Killpatrick menyebutkan salah satu penyebab ketidak mampuan seseorang berlaku baik meskipun ia telah memiliki pengetahuan tentang kebaikan itu (moral knowing) adalah karena ia tidak terlatih untuk melakukan kebaikan (moral doing). Berangkat dari pemikiran itu maka kesuksesan pendidikan karakter sangat tergantung pada ada tidaknya knowing, loving, dan  doing atau acting dalam penyelenggaraan pendidikan karakter.

b.      Moral Feeling (perasaan tentang moral)
Seorang yang mempunyai kemampuan kognitif yang baik, tidak saja menguasai bidangnya, tetapi memiliki dimensi rohani yang kuat. Keputusan-keputusannya menunjukkan warna kemahiran seorang professional yang didasarkan pada sikap moral atau akhlak yang luhur. 
Moral loving atau moral feeling merupakan penguatan aspek emosi siswa untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan  dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh siswa, yaitu kesadaran akan jati diri.

c.       Moral Action (perbuatan bermoral)
Fitrah manusia sejak kelahirannya yaitu kebutuhan dirinya kepada orang lain. Kita tak akan berkembang dan survive  tanpa ada kehadiran orang lain. Seseorang tidak mungkin berkembang dan mempunyai kualitas unggul kecuali dengan kebersamaan. Kehadirannya di tengah-tengah pergaulan harus senantiasa memberikan manfaat. Di sini sifat tabligh yang dicontohkan Rasulullah yaitu menyampaikan kebenaran melalui keteladanan.
Untuk memberikan keteladanan tentu harus mempunyai ketrampilan dan kompetensi atau kemampuan. Hendaknya proses pembelajaran membentuk kompetensi agar siswa mempunyai kemampuan untuk memberi manfaat kepada orang lain. Setelah mampu memberi keteladanan yang baik dan memiliki kompetensi yang bagus maka moral acting akan mudah muncul.

5. Tahapan Pendidikan Karakter
Secara teoritik nilai moral atau karakter berkembang secara psikologis dari dalam individu mengikuti perkembangan usia dan konteks sosial. Dalam kaitannya dengan usia, Piaget merumuskan perkembangan kesadaran dan pelaksanaan aturan dengan membagi menjadi beberapa tahapan dalam dua domain yakni kesadaran mengenai aturan dan pelaksanaan aturan. 
a.    Tahapan pada domain kesadaran aturan yaitu :
- Usia 0-2 tahun : aturan dilaksanakan sebagai hal yang tidak memaksa
- Usia 2-8 tahun : aturan disikapi bersifat sakral dan diterima tanpa pemikiran
- Usia8-12 tahun : aturan diterima sebagai hasil kesepakatan
     b.  Tahapan pada domain pelaksanaan aturan yaitu :
          - Usia 0-2 tahun  : aturan dilakukan hanya bersifat motorik
- Usia 2-6 tahun  : aturan dilakukan dengan orientasi diri sendiri
- Usia 6-10 tahun : aturan dilakukan sesuai dengan kesepakatan
- Usia 10-12 tahun : aturan dilakukan karena sudah dihimpun 

Bertolak dari teorinya tersebut, pendidikan di sekolah seyogyanya menitikberatkan pada pengembangan kemampuan mengambil keputusan dan memecahkan masalah serta membina moral dengan cara menuntut peserta didik untuk mengembangkan aturan berdasarkan keadilan atau kepatutan. Dengan kata lain, pendidikan nilai berdasarkan teori piaget adalah pendidikan nilai moral atau nilai etis yang dikembangkan berdasarkan psikologi perkembangan moral kognitif.

D.    Penerapan Pendidikan Karakter dalam Kurikulum di Sekolah
Konteks pendidikan karakter dalam makalah ini adalah konteks mikro, berpusat pada satuan pendidikan secara holistik. Satuan pendidikan merupakan sektor utama yang secara optimal memanfaatkan dan memberdayakan semua lingkungan belajar yang ada untuk menginisiasi, memperbaiki, menguatkan, dan menyempurnakan secara terus-menerus proses pendidikan karakter di satuan pendidikan. Pendidikanlah yang akan melakukan upaya sungguh-sungguh dan senantiasa menjadi garda depan dalam upaya pembentukan karakter manusia Indonesia yang sesungguhnya. Pengembangan karakter dibagi dalam empat pilar, yakni kegiatan belajar-mengajar di kelas, kegiatan keseharian dalam bentuk pengembangan budaya satuan pendidikan; kegiatan ko-kurikuler atau ekstra kurikuler, serta kegiatan keseharian di rumah dan masyarakat. Menurut konsep rancangan pemerintah yang terdapat dalam Policy Brief  terbitan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan Nasional juga dalam materi rancangan oleh pusat kurikulum kementerian pendidikan nasional, program pendidikan karakter pada konteks mikro dapat digambarkan sebagai berikut:


Penjelasan Gambar:
a.    Kegiatan Belajar Mengajar di Kelas
Pengembangan nilai/karakter dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan terintegrasi dalam semua mata pelajaran (embeded approach). Khusus, untuk mata pelajaran pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan, karena memang misinya adalah mengembangkan nilai dan sikap maka pengembangan nilai/karakter harus menjadi fokus utama yang dapat menggunakan berbagai strategi/metode pendidikan nilai (value/character education). Untuk kedua mata pelajaran tersebut nilai/karakter dikembangkan sebagai dampak pembelajaran (instructional effects) dan juga dampak pengiring (nurturant effects). Sementara itu untuk mata pelajaran lainnya, yang secara formal memiliki misi utama selain pengembangan nilai/karakter, wajib dikembangkan kegiatan yang memiliki dampak pengiring (nurturant effects) berkembangnya nilai/karakter dalam diri peserta didik.
Pada tahap pelaksanaan pembelajaran, guru harus memperhatikan materi yang akan diajarkan dengan karakter yang ingin dibentuk. Dari segi materi PAI dapat tercakup nilai pendididikan karakter. Hal ini bisa dilihat dalam tabel berikut ini:

Guru, di sisi lain, juga harus mampu memilah dan memilih metode yang tepat sesuai dengan karakter yang ingin dibangun, karena karakter tersebut lebih banyak mengarah kepada softskill. Yang perlu diperhatikan juga adalah harus dengan mengacu pada karakteristik peserta didik.[3] Untuk membangun kejujuran peserta didik, sebagaistudikasus, maka dapat digunakan metode tugas. Tugas peserta didik harus diteliti agar dapat dinilai kejujurannya, apakah tugasnya ada unsur plagiasi atau tidak. Untuk membangun kerjasama, dapat digunakan metode tugas kelompok dan lain sebagainya. Dalam tahap ini, guru juga harus membangun karakter peserta didik melalui kegiatan pembukaan, proses dan pentup pembelajaran. Sebagaistudikasusadalah membuka dan menutup pelajaran dengan doa. Guru juga harus memberikan keteladanan yang baik selama proses pembelajaran, misalnya datang tepat waktu yang dapat membangun karakter disiplin peserta didik. Sedangkan dalam tahap evaluasi, teknik dan instrumen yang dipilih tidak hanya mengukur pencapaian kognitif saja, tetapi juga harus mencakup aspek afektif dan psikomotorik. Misalnya metode obsevasi dengan berdasarkan indikator karakter yang ingin dicapai.

b.   Dalam Lingkungan Sekolah
Sebenarnya semua yang ada di lingkungan masyarakatMmerupakan model pembelajaran bagi pesertadidik. Manusia itu memiliki kecenderungan meniru yang merupakan tingkah laku yang dipelajari.[4] Menurut Suwandi dalam Zubaedi, pendekatan modeling, keteladanan (uswah) lebih tepat digunakan dalam pendidikan karakter, karena karakter itu bukan pengetahuan, sehingga harus diteladankan, bukan diajarkan. Perilaku moral diperoleh dengan cara yang sama dari respon-respon lainnya, yaitu melalui modeling dan penguatan. Lewat pembelajaran modeling akan terjadi internalisasi berbagai perilaku moral, prososialdan aturan-aturan lainnya untuk tindakan baik. Demikian juga menurut social learning theory, bahwa perilaku manusia diperoleh melalui cara pengamatan model, dari mengamati orang lain, membentuk ide dan perilaku-perilaku baru dan akhirnya digunakan sebagai arahan untuk beraksi.
Model-model yang berasal dari lingkungan selalu memberikan rangsangan kepada peserta didik untuk memberikan tindak balas, jika rangsangan tersebut terkait dengan keadaan peserta didik. Dalam hal ini ada tiga model, yaitu live model, symbolic model dan verbal description model. Live model adalah model yang berasal dari kehidupan nyata. Symbolic model adalah model yang berasal dari perumpamaan. Verbal description model adalah model yang diuraikan dalam bentukdeskripsi verbal. Model-model itu mencakup behavioral model untuk performa yang kasat mata dan cognitive model untuk proses kognitif yang tidak kasat mata.[5]
Strategi keteladanan ini dapat dibedakan menjadi keteladanan internal dan keteladan eksternal. Keteladanan internal dapat dilakukan melalui pemberian contoh yang dilakukan oleh pendidik sendiri dalam proses pembelajaran. Semua unsur pendidikan yang ada, terutama di sekolah, harus dikondisikan dengan baik untuk membentuk karakter peserta didik. Jika ingin membentuk kedisiplinan peserta didik, sebagaistudikasus, tidak perlu dengan susahpayahmenjelaskan makna disiplin. Dengan guru atau pendidik yang datang tepat waktu secara tidak langsungitu sudah mengajarkan kedisiplinan kepada peserta didik, karena peserta didik pasti akan sungkan datang terlambat. Lingkungan sekolah yang bersih dan rapi dengan fasilitas kebersihan yang memadai secara tidak langsung juga sudah mendidik peserta didik untuk hidup bersih dan rapi, karena mereka pasti akan sungkan untuk membuang sampah sembarangan. Hal ini dapat dilihat di mal-mal yang bersih dan rapi, secara otomatis atau reflek ketika akan mau membuang sampah, pasti orang akan mencari tempat sampah.
Keteladanan eksternal dapat dilakukan dengan pemberian contoh yang baik dari tokoh yang dapat diteladani, baik lokal maupun internasional. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menyajikan cerita tentang tokoh-tokoh berpengaruh baik yang mampu dijadikan teladan, misalnya cerita para nabi. Misalnya Nabi Muhammad Saw, karena sosoknabiterakhirini merupakan pendidik pertama dalam Islam. Cara Nabi Saw menyelesaiakan konflik di masyarakat, sikap terhadap anak kecil, cara mengajarkan al Qur’an, cara menyebarkan Islam dan sebagainya, patut diketahui oleh peserta didik karena muatan karakternya yang ada dalam sikap Nabi Saw.[6]
 Penyajian cerita yang menarik tentang kisah para tokoh ini diharapkan menjadikan peserta didik mengidolakan dan meniru tindakan positif telah dilakukan. Pendidik memang tidak memasukkan hal-hal yang terkait dengan keteladanan ini ke dalam rencana pembelajaran, karena termasuk dalam hidden curriculum.[7] Contoh keteladanan sikap yang dipraktikkan secara konsisten itujusteru mampu menempatkan seseorang untuk layak menjadi pemimpin bagi orang lain. Keteladanan iniadalah kata yang mampu menggugah dan mendorong setiap orang untuk menapaki jalan yang pernah dibuat oleh seorang pemimpin. Mengajak orang untuk melakukan suatu perbuatan tidak cukup melalui seruan kata-kata, melainkan sikap nyata yang dimulai dari diri sendiri serta keteladanan sikap yang dipraktikkan secara mengagumkan.
Dikondisikan agar lingkungan fisik dan sosial-kultural sekolah memungkinkan para peserta didik bersama dengan warga sekolah lainnya terbiasa membangun kegiatan keseharian di sekolah yang mencerminkan perwujudan nilai/karakter.



c.    Dalam Kegiatan Ekstra Kurikuler
Yakni kegiatan belajar di luar kelas yang terkait langsung pada suatu materi dari suatu mata pelajaran, atau kegiatan ekstra kurikuler, yakni kegiatan sekolah yang bersifat umum dan tidak terkait langsung pada suatu mata pelajaran, Misalnya untuk membentuk karakter kemandirian dapat diterapkan melalui kegiatan Pramuka, Palang Merah Remaja, Pecinta Alam dll. Untuk membentuk karakter gemar membaca al-Qur’an dapat diterapkan melalui program tahfidz al-Qur’an. Untuk membentuk karakter religius dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan keagamaan, misalnya shalat Dhuha dan sholat Dzuhur berjamaah dan lain sebagainya.

d.   Dalam Lingkungan Keluarga dan Masyarakat
Pendidikan karakter tidak cukup hanya diajarkan melalui mata pelajaran di kelas, tetapi sekolah dapat menerapkannya melalui pembiasaan, karena halitu merupakan salah satu faktor pembentuk karakter. Pembiasaan diarahkan pada upaya pembudayaan pada aktivitas tertentu sehingga menjadi aktivitas yang terpola dan tersistem. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai aktivitas spontan maupun terencana. Untuk yang spontan, misalnya dibiasakan mengucapkan salam ketika bertemu teman, guru atau lainnya. Saatpeserta didik sudah terbiasa mengucapkan salam, maka secara spontan ketika bertemu orang lain, baik di lingkungan sekolah maupun yang lainnya, pasti juga akan mengucapkan salam. Ketika jam istirahat sekolah, disana social skill lebih banyak dibangun. Saat itu pesertadidik akan bergaul dengan temannya, cara bersikap dengan temannya yang memiliki karakter berbeda-beda.
Hal ini mungkin juga bukan termasuk dalam kurikulum terencana. Sedangkan yang terencana, misalnya, setiap sebelum pembelajaran dimulai peserta didik dibiasakan shalat Dhuha berjama’ah dan membaca al-Qur’an. Ketika sudah terbiasa seperti itu, di lingkungan yang lainpun peserta didik juga akan menerapkan hal yang sama dengan kebiasaannya di sekolah.
Hal serupa juga tergambar dalam sistem pembelajaran yang ada di masa kejayaan pendidikan Islam. Menurut Goerge Makdisi, pendidik selalu mengawali dan menutup pembelajaran dengan doa. Selain itu, parapendidik juga dibiasakan shalat lima waktu dengan berjamaah, kecuali bagi yang sudah menikah. Hal ini dikarenakan mereka memang tinggal di asrama, sehingga para pendidik akan lebih mudah mengontrol dan mengawasi perilaku pesertadidik sehari-hari.16 Untuk mendukung kegiatan sehari-hari yang sudah dijadikan pembiasaan di sekolah, maka perlu adanya integrasi pendidikan formal, nonformal dan in-formal.
Menurut Pasal 13 ayat 1 UU Nomor20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non-formal dan in-formal. Untuk membentuk dan mengontrol karakter peserta didik, sistem integrasi antara lembaga-lembaga pendidikan tersebut itu sangat penting diterapkan. [8]
Hal ini dikarenakan pendidikan formal hanya berlangsung sekitar 5-8 jam (sekitar 30%), selebihnya (sekitar 70%) keluarga dan lingkunganmasyarakatyang berperan. Dengan demikian, jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, maka pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar 30% saja terhadap pendidikan anak.
 Jika pendidikan formal diintegrasikan dengan in-formal atau non-formal tentu hasilnya akan lebih maksimal. Hal ini dapat dilakukan dengan sistem asrama ataupun pondok pesantren, sehingga peserta didik masih dapat diawasi selama 24 jampenuh. Kegiatan di luar pendidikan formal juga dapat membantu terbentuknya karakter peserta didik, yaitu membangun kecerdasan emosional, sosial dan spiritual, mengingat asrama atau pondok pesantren sebenarnya merupakan miniatur dari masyarakat. Dari sistem ini peserta didik akan belajar banyak tentang menghargai orang lain, menghargai waktu, disiplin dan sebagainya.
 Kegiatan yang ada di lembaga in-formal harus mendukung kegiatan yang ada di lembaga pendidikan formal. Misalnya, shalat berjamaah, kerja bakti, tadarrus al-Qur’an dan lain-lain. Dengan kegiatan seperti itu, maka tidak menutup kemungkinan bahwa nilai-nilai yang dibentuk tersebut akan terinternalisasi dalam segala aspek kehidupan peserta didik. Keluarga juga memiliki peranan penting dalam membentuk sikap hidup dan social skill yang harus menjadi budaya dalam keluarganya, sehingga setahap demi setahap akan mewarnai sikap hidup dan kecakapan sosial pesertadidik.[9]
Diupayakan agar terjadi proses penguatan dari orang tua/wali serta tokoh-tokoh masyarakat terhadap prilaku berkarakter mulia yang dikembangkan di sekolah menjadi kegiatan keseharian di rumah dan di lingkungan masyarakat masing-masing. Konteks mikro pengembangan nilai/karakter merupakan latar utama yang harus difasilitasi bersama oleh Pemerintah Daerah dan Kementrian Pendidikan Nasional. Dengan demikian terjadi proses sinkronisasi antara pengembangan nilai/karakter secara psiko-pedagogis di kelas dan di lingkungan sekolah, secara sosio-pedagogis di lingkungan sekolah dan masyarakat, dan pengembangan nilai/karakter secara social-kultural nasional. Untuk itu sekolah perlu difasilitasi untuk dapat mengembangkan budaya sekolah (school culture). Pengembangan budaya sekolah ini perlu menjadi bagian integral dari pengembangan sekolah sebagai entitas otonom seperti dikonsepsikan dalam managemen berbasis sekolah (MBS). Dengan demikian setiap satuan pendidikan secara bertahap dan sistemik ditumbuh-kembangkan menjadi sekolah-sekolah yang dinamis dan maju (self-renewal schools) (Purkey dan Novak: 1990).


E.     Penutup
1.      Kesimpulan
Pendidikan karakter tidak dapat berdiri sendiri, melainkan harus terintegrasi dan diinternalisasi. Cara tersebut dapat dilakukan dengan kegiatan pembiasaan, integrasi pendidikan formal, in-formal dan non-formal, integrasi dan internalisasi dalam seluruh mata pelajaran, integrasi dalam proses pembelajaran, keteladanan dari seluruh unsur pendidikan dan kegiatan ekstrakurikuler. Optimalisasi implementasi dari pendidikan karakter harus memperoleh dukungan dari semua pihak, terutama guru dan orang tua yang memiliki peran sangat penting. Pihak pihak ini merupakan kurikulum hidup, sehinggaketeladanan dan semangat untuk mendidik peserta didik harus ada dalam diri para guru dan orang tua. Oleh karena itu, pendidik itu harus berkarakter sebelum membentuk karakter peserta didik, agar peserta didik mampu menyerap dan mengamalkan atas karakter yang ditanamkan oleh pendidik.


Daftar Pustaka
Ahmed, Munir Ud-Din. 1968. Muslim Education and The Scholars’ Social Status.Verlag: Der Islam’ Zurich.
Ali, Said Ismail. 2007. Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah. Kairo: Darus Salam
Balitbang Kurikulum Kemendiknas. 2010. Pengembangan Pendidikan Kultur dan Karakter Bangsa. Jakarta: Balitbang Kurikulum Kemendiknas
Boyle, Helen N. Qur’anic School. 2004.  Agents of Preservation and Change. London: Roudledge Falmer.
Budiningsih,C. Asri. 2004. Pembelajaran Moral. Jakarta: Rineka Cipta.
Hendyat Soetopo dan Wast Soenanto. 1993. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara.
Hidayatullah, Furqon. 2010. Pendidikan Karakter, Membangun Peradaban Bangsa. Surakarta: Yuma Pustaka.
Izutsu, Toshihiko. 2002. Ethico Religious Concepts in the Qur’an. Montreal: McGill-Queen’s University Press.
al-Jalad, Majid Zaki. 2004. Tadris al-Tarbiyah al-Islamiyah.Aman: Dar al-Massira.
al-Khaladi, Abdurrahman. 1979. Ushul al-Tarbiyah wa Asalibiha fi al-Baiti wa al-Madrasati wa al-Mujtama’. Damaskus: Dar al-Fikr. 
Langgulung, Hasan. 2000. Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta: al-Husna Dzikra. 
Majid, Abdul dan Dian Andayani. 2004. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, Remaja Rosda Karya, Bandung.
Makdisi, George.1981. The Rise of Colleges. Edinburg: Edinburg University Press
al-Murabit, Abdul Qadir. 1982. Root Islamic Education. Belanda: Diwan al-Amir Publications
Samani, Muchlas. 2007. Menggagas Pendidikan Bermakna. Surabaya: SIC. 
Zubaedi. 2012. Desain Pendidikan Karakter. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.


[1] Hendyat Soetopo dan Wast Soenanto, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara, 1993, hlm.45
[2] Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2004, hlm.74
[3] C. Asri Budiningsih, Pembelajaran Moral, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hlm. 72
[4] Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Al-Husna Dzikra, 2000), 406.
[5] Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 234-235.
[6] Munir Ud-Din Ahmed, Muslim Education and The Scholars’ Social Status (Verlag: Der Islam’ Zurich, 1968), 29-30.
[7]  Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, 238-239
[8] Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Pasal 3) 
[9] Muchlas Samani, Menggagas Pendidikan Bermakna (Surabaya: SIC, 2007), hlm. 83.

No comments:

Post a Comment