LANDASAN EMPIRIS
DALAM PENGEMBANGAN
KURIKULUM PAI
Makalah
Diajukan
untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pengembangan
Kurikulum PAI
Dosen
Pengampu:
Dr. Marno
Nurullah, M.Pd
Pemakalah:
SULFIYA
(16771020)
Program Studi Magister Pendidikan Agama Islam
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Jawa Timur 2017
LANDASAN EMPIRIS
DALAM PENGEMBANGAN KURIKUM PAI
A. Dasar Pemikiran
Pendidikan merupakan
salah satu aspek kehidupan yang sangat penting. Kemajuan pendidikan ini di
tandai dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, menjadikan manusia untuk
melakukan suatu pengembangan melalui bidang pendidikan, sebagaimana yang
dijelaskan M. Arifin, sejak manusia menghendaki kemajuan dalam kehidupan, sejak
itulah timbul gagasan untuk melakukan pengalihan, pelestarian dan pengembangan
kebudayaan melalui pendidikan. Dalam sejarah pertumbuhan masyarakat, pendidikan
senantiasa menjadi perhatian utama dalam rangka memajukan kehidupan generasi
sejalan dengan tuntutan masyarakat.[1]
Dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak akan berjalan dengan
baik tanpa adanya pendidikan yang baik dan efektif, terutama di dalam sistem
pendidikan tersebut. Hal Ini sesuai yang tercantum dalam UU RI. No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Bab I Pasal I Ayat I, yang berbunyi:
“Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keaagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat,bangsa, dan negara”.[2]
Oleh sebab itu semua pihak yang berkaitan baik
pemerintahan komite dan pengurus lembaga pendidikan dan yang paling utama
masyarakat pada umumnya diharapkan dapat bekerja sama dalam memajukan
pendidikan negara ini. Agar pendidikan berjalan dengan baik maka harus ada
suatu rancangan di dalamnya, yang kita kenal dengan istilah kurikulum.
Kurikulum[3] merupakan
syarat mutlak yang harus ada dalam suatu lembaga pendidikan. Alasan adanya keharusan kurikulum adalah diharapkan pendidikan yang
sedang berlangsung dengan efektif dan searah dengan tujuan yang ingin dicapai.
Selain itu kerikulum merupakan alat pendidikan. Dalam hal ini kurikulum berkedudukan
sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan.[4]
Selain sebagai suatu alat kurikulum juga sebagai suatu rancangan dalam
pelaksanaan pendidikan.[5]
Melihat betapa pentingnya kurikulum dalam pendidikan, maka dalam penyusunan
kurikulum tidak boleh dikerjakan dengan cara yang tidak benar. Dalam menyusun
kurikulum perlu landasan atau dasar yang kuat dalam penyusunannya. Kurikulum
disusun dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya
dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional serta kemajuan IPTEK.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka pengembangan kurikulum agar berlandaskan
faktor- faktor berikut:
1.
Tujuan
filsafat dan pendidikan nasional.
2.
Sosial budaya
dan agama yang berlaku dalam masyarakat.
3.
Perkembangan
peserta didik.
4.
Keadaan
lingkungan.
5.
Kebutuhan
pembangunan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.[6]
Seller mengemukakan bahwa pengembangan
kurikulum harus dimulai dari menentukan orientasi kurikulum, yaitu kebijakan-
kebijakan umum. Berdasarkan orisentasi tersebut maka dikembangkan kurikulum
menjadi pedoman pembelajaran, diimplementasikan dalam proses pembelajaran dan
dievaluasi.[7]
Selain faktor di atas kurikulum juga harus
bisa menjawab atau mengatasi problema- problema yang ada di negara ini, baik
itu problem yang berkaitan dengan bangsa dan negara seperti korupsi, ekonomi
dan perkembangan teknologi yang menuntut masyarakat akan melek pngetahuan, masalah
ummat beragama yang kurang akan sikap toleransi antar umat beragama serta
problema yang dihadapi dunia pendidikan khususnya pendidikan agama islam dalam
pelaksanaanya kedepan. Karena dengan berlandaskan pada faktor- faktor diatas
diharapkan kurikulum dapat mengatasi permasalahan baik berhubungan masalah
negara maupun dunia pendidikan itu sendiri, selain itu dengan berlandaskan pada
hal tersebut pendidikan tidak hanya sebagai pengetahuan, tetapi ada bentuk
implementasi dalam kehidupan. Berdasarkan uraian faktor pengembangan kurikulum
diatas, maka makalah ini akan menjelaskan tentang landasan empiris dalam
pengembangan kurikulum PAI dalam mengatasi problema- problema baik masalah
negara, ummat serta problema pelaksanaan PAI itu sendiri.
B.
Landasan
Empiris Dalam Pengembangan Kurikulum PAI
Kata landasan berarti melandasi atau mendasari
atau titik tolak.[8] Empiris
adalah suatu keadaan yang berdasarkan pada kejadian nyata yang pernah dialami,
dimana kejadian tersebut didapat melalui penelitian, observasi maupun
eksperimen.[9]
Jadi yang dimaksud dengan landasan empiris adalah suatu keadaan yang
berdasarkan pada kejadian yang dialami, dimana kejadian tersebut menjadi titik
tolak dasar pijakan yang didapat melalui penelitian dan eksperimen. Adapun
dasar atau landasan empiris pengembangan kurikulum PAI adalah dengan melihat
beberapa problem sebagai berikut:
1.
Problem negara
dan bangsa
Saat ini
masyarakat sedang menghadapi globalisasi baik dibidang kapital, budaya, etika
maupun moral. Era globalisasi adalah era pasar bebas dan sekaligus persaingan
bebas dalam produk material dan jasa. Dahulu untuk membangun basis ekonomi
masyarakat yang kuat sangat mengandalkan pada modal capital, yang
kemudian berevolusi pada human capital, namun pada perkembangan zaman
kedua capital tersebut kini masih dianggap kurang memadai, justru untuk
membangun basis ekonomi yang kuat sangat membutuhkan social capital yang
kokoh.
Menurut para
ahli bahwa dalam bidang sosial kapital indonesia hampir mencapai titik zero
trust society. Hal ini didukung oleh penelitian PERC (2004) bahwa indeks
korupsi di negara indonesia telah mencapai 9,25.[10]
Dampak dari korupsi di indonesia membuat para investor kurang percaya untuk
menanamkan modalnya di indonesia dan lebih memilih menginvestasikannya
kenagara- negara yang lebih aman seperti cina dan india.[11]
Problem lain
yang dihadapi bangsa indonesia adalah globalisasi dibidang budaya, etika dan
moral sebagai akibat dari kemajuan dibidang transportasi dan informasi. Para
siswa saat ini telah mengenal berbagai sumber pesan pembelajaran, baik yang
bersifat pedagogis terkontrol maupun non padegogis yang tidak terkontrol. Akan
dapat mempengaruhi perubahan budaya, etika dan moral para siswa atau
masyarakat. Masyarakat yang asalnya tabu dengan
model pakaian yang terbuka, tabu dengan filam- film yang tidak layak di
tonton serta gambar- gambar yang tidak layak dimedia massa kemudian menjadi
biasa- biasa saja, bahkan juga ikut ke dalam bagian tersebut.[12]Sebagai
eksesnya adalah muncul sikap sadisme, kekerasan, pemerkosaan dikalangan
sebagian masyarakat. Bahkan tidak heran pada saat ini sering dijumpai model
kehidupan kontroversial yang dapat dialami dalam waktu yang sama serta dapat
bertemu dalam pribadi yang sama.[13]
Selain problem
negara mengenai kapital dan etika indonesia juga mengalami problem akibat
kemajuan IPTEK. Kemajuan dibidang teknologi memiliki andil yang besar dalam
perubahan pola hidup. Pada masyarakat industri banyak sekali jenis- jenis
pekerjaan yang sangat mengandalkan teknologi, dari mulai pekerjaan ibu rumah
tangga di dapur sampai kepada pekerjaan kantor. Ketergantungan terhadap hasil-
hasil teknologi melenyapkan jenis- jenis pekerjaan tertentu yang memunculkan
jenis pekerjaan baru yang menuntut keahlian keahlian tertentu. Keahlian
tersebut harus dipersiapkan oleh lembaga- lembaga pendidikan.[14] Di bidang kedokteran dan
kemajauan ekonomi mampu menjadikan produk kedokteran menjadi komoditi Meskipun
demikian ada pula dampak negatifnya antara lain; 1. terjadinya pengangguran
bagi tenaga kerja yang tidak mempunyai kualifikasi yang sesuai dengan yang
dibutuhkan; 2.Sifat konsumtif sebagai akibat kompetisi yang ketat pada era
globalisasi akan juga melahirkan generasi yang secara moral mengalami
kemerosotan: konsumtif, boros dan memiliki jalan pintas yang
bermental “instant”.[15]
Selain problem
negara di atas, yang sangat marak pada masa ini adalah penggunaan MEDSOS (Media
Sosial).[16] Media
sosial merupakan salah satu bentuk perkembangan dari adanya internet. Melalui
media sosial, seseorang dapat saling terhubung dengan setiap orang yang
tergabung dalam media sosial yang sama untuk berbagi informasi dan
berkomunikasi. Media sosial memiliki sifat yang lebih interaktif apabila
dibandingkan dengan bentuk media tradisional seperti radio maupun televisi.
Melalui media sosial, kita dapat secara langsung berinteraksi dengan orang lain,
baik melalui komentar dalam media sosial maupun dengan sekedar memberikan tanda
like pada setiap postingan seseorang.[17]
Pada dasarnya
media sosial merupakan perkembangan mutakhir dari teknologi- teknologi web
baru berbasis internet, yang memudahkan semua orang untuk dapat berkomuniksi,
berpartisipasi, saling berbagi dan membentuk sebuah jaringan secara online,
sehingga dapat menyebarluaskan konten mereka sendiri. Post di blog, tweet
atau video you tube dapat diproduksi dan dapat dilihat secara langsung oleh
jutaan orang secara gratis. Media sosial mempunyai banyak bentuk, dintaranya
yang paling populer yaitu microblogging (twitter),[18]
facebook[19]
dan blog.[20]
Namun semakin maraknya media sosial di dunia ini, penggunaannya banyak
disalah gunakan sebagai tempat memaki, marah dan berbagai hal- hal yang tidak
senonoh oleh orang- orang, sebagaimana berikut ini contoh penyalahgunaan media
sosial diantaranya adalah: upload foto tidak senonoh; Mengumpat
dengan kata-kata kasar untuk meluapkan amarah, Media sosial yang kita gunakan atas nama kita bukan berarti bisa kita
gunakan tanpa memperhatikan kepentingan orang lain. Mengumpat dengan kata-kata
kasar lewat status di medsos pasti mengganggu pengguna lain. Hal ini kurang
bijak untuk dilakukan di medsos. Selain itu, menyebarkan isu di medsos yang
berpotensi menyebabkan konflik ras atau agama juga dilarang hukum. Gatot menambahkan menyebarkan isu di media
sosial berpotensi menimbulkan konflik antar suku, agama, ras, dan antargolongan
"Juga bisa dijerat hukum," tambah Gatot. Hal ini menjadi rentan
dalam jagat internet, mengingat orang yang mudah dikotak- kotakkan.
"Membagikan gambar atau informasi yang mengundang emosi kelompok lain
sering banget terjadi di Indonesia," ungkap Gatot; pencemaran nama baik,
Kritik itu berbeda dengan pencemaran nama baik. Kritik terhadap pemerintahan
atau tokoh tertentu tentu boleh karena Indonesia adalah negara demokrasi, tapi, jika menyebarkan berita
hoax tentang seseorang, lembaga, atau institusi tertentu tentu hal ini tidak
dibenarkan.[21]
2.
Problem
pelaksanaan PAI
a.
Konsep dasar PAI
Ada beberapa
istilah yang dipakai untuk menunjukkan istilah yang digunakan untuk menunjuk
pengertian pendidikan islam yang berasal dari lafadz bahasa arab yang diambil
dari alquran maupun hadits, misalnya kata tarbiya, ta’lim, dan ta’dib.[22] Al
attas berpendapat bahwa pendidikan menurut ilam sebagai pengenalan dan
pengakuan yang secara berangsur- angsur ditanamkan kedalam diri manusia,
tentang tempat- tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan
penciptaan sedemikian rupa sehingga membimbing ke arah kearah pengenalan dan
pengakuan tempat tuhan di dalam tatanan wujud dan kepribadian.[23] Sedangkan
pendidikan agama islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan
peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga memahami ajaran agama
islam dibarengi dengan tuntutan ntuk menghormati penganut agama lain dalam
hubungannya dengan kerukunan antar ummat beragama hingga terwujud persatuan
bangsa.[24]
Secara ideal
Al- Attas menghendaki pendidikan islam harus mampu mencetak manusia yang unggul
secara universal (insan al kamil).[25]
Dengan begitu sistem pendidikan harus memahami seperangkat bagian- bagian
yang terkait satu sama lain dalam sistem pendidikan. Dimana pendidikan islam
membutuhkan pendidik yang unggul, sarana- prasarana pembiayaan yang cukup serta
lingkungan akademis yang nyaman dan kondusif sebagai tempat belajar.[26]
b.
Problem
pelaksanaan PAI
Agaknya banyak
sekali kesulitan yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan agama (islam). Tafsir
mengidentifikasikannya ke dalam dua bagian, yaitu pertama kesulitan yang
datang dari sifat bidang studi pendidikan agama islam itu sendiri, yang banyak
menyentuh aspek- aspek metafisika.[27]
Karena sulitnya melaksanakan pendidikan agama, maka sebagian orang berpendapat
pendidikan agama islam tidak perlu diberikan di sekolah. Kedua kesulitan
yang datang dari luar bidang studi PAI itu sendiri, antara lain menyangkut
dedikasi GPAI yang mulai menurun, lebih bersifat transaksional dalam bekerja,
orang tua di rumah mulai kurang memperhatikan pendidikan agama islam bagi
anaknya, orientasi tindakan semakin materialis, orang semakin bersifat
rasionalis, individualis, kontrol sosial melemah. Dimana kesulitan ini agaknya
bersumber pada watak budaya modern yang betul- betul mengglobalisasi.[28]
Selain probelm
di atas imam tholkah (direktur pendidikan agama islam pada sekolah, 2009)
mengidentifikasi berbagai tantangan PAI, yaitu:
1)
Guru agama
harus membebaskan diri dari paradigma pengajaran yang lama yang berciri
dogmatis ekslusif dan menekankan hafalan. Pendidikan agama harus menghasilka
insan muda yang tahu menghargai perbedaan dan menghayati nilai- nilai
kemanusiaan universal.[29]
Guru adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan. Para pakar
menyatakan bahwa betapapun bagusnya sebuah kurikulum, hasilnya sangat
tergantung pada apa yang dilakukan guru di dalam maupun diluar kelas. Kualitas
pembelajaran yang sesuai dengan rambu- rambu PAI dipengaruhi oleh sikap guru
yang kreatif untuk memilih dan melaksanakan berbagai pendekatan dan model
pembelajaran, karena profesi guru menuntut sikap kreatif.[30]
2)
Desain
kurikulum pendidikan agama yang masih dogmatis dan informatif. Untuk itu
dibutuhkan kreativitas dan dedikasi guru untuk megerjakan nilai- nilai
universal agama kepada semua muridnya.
3)
Ketidakefektifan
pendidikan agama yang diselenggarakan di sekolah antara disebabkan, pertama
pendidikan agama disekolah lebih mengutamakan orientasi kognisi, kedua belum
ada pendidikan agama di sekolah yang diselenggarakan secara sistematis dan
terpadu bagi anak didik, ketiga pelaksanaan evaluasi pendidikan agama di
sekolah cenderung menekankan pada aspek kognitif. Ini berarti menunujukkan
bahwa pelaksana pendidikan agama di sekolah belum efektif.
4)
Masalah
pelaksanaan PAI juga teletak pada peserta didik, yaitu minat belajar atau
mendalami pengetahuan agama islam rendah, minat belajar atau kemampuan membaca
kitab suci alquran rendah meskipun akhir- akhir ini mulai membaik, fondasi
keimanan dan ketakwaan peserta didik terkesan masih relatif rentan dll.[31]
Bukan hanya pada masalah minat tetapi juga pada masa pertumbuhan dan
perkembangan siswa yang akan selalu memerlukan perhatian guru. Pertumbuhan dan
perkembangan siswa yang berkisar antara usia 7- 18 tahun sangat kompleks karena
berkenaan dengan tugas- tugas perkembangannya. Pada tahap ini permasalahan yang
didapai siswa adalah permasalahan yang konkret. Anak menemui kesulitan bila
diberi tugas sekolah yang menuntutnya untuk mencari sesuatu yang tersembunyi.
Mereka lebih menyukai soal- soal yang tersedia jawabannya. Usia remaja yang
telah disepakati para ilmu jiwa 13- 21, ditandai dengan masalah pertumbuhan
jasmani yang cepat, pertumbuhan emosional, pertumbuhan mental, pribasi dan
sosial. Perasaan remaja pada agama tidak tetap, kadang acuh atau menentang
apabila merasa kecewa, itu semua memang perasaan yang masih ambivalen.[32]
5)
Kelemahan yang
dimiliki sekolah dalam kaitan munculnya kesenjangan kurikulum pendidikan agama
islam adalah terbatasnya sarana serta fasilitas yang disediakan untuk
kepentingan kegiatan kurukulumnya. Hubungan antara keterbatasan- keterbatasan
yang ada kegiatan penerapan kurikulum PAI di sekolah bersifat sistemik,
sehingga pemenuhan pada salah satu sektor tertentu dari keterbatasan ini tidak
dapat mengatasi persoalan kesenjangan secara keseluruhan sebab terbentur oleh
keterbatasan pada aspek lainnya seperti alokasi waktu yang disediakan sangat
terbatas.[33]
c.
Upaya
mengatasi problem pelaksanaan PAI
Agar
pelaksanaan pendidikan agama islam berjalan dengan efektif, maka perlu adanya
upaya atau cara dan tindakan untuk hal tersebut. Adapun upaya dalam mengatasi
problem pendidikan agama islam adalah sebagai berikut:
1)
Upaya yang dilakukan untuk mengatasi problem
pendidikan adalah dengan adanya kebijakan sertifikasi guru yang diikuti dengan
peningkatan kesejahteraan yang berupa tunjangan profesi bagi guru. Asumsinya
adalah bahwa dengan kompetensi dan penghasilan guru yang bagus, maka kinerja
guru akan semakin bagus, sehingga pendidikan akan semakin bermutu.[34]
Adapun kiat- kiat lain untuk mengembangkan profesionalisme guru adalah
menyiapkakan berbagai forum misalnya balai pendidikan dan pelatihan (diklat)
keagamaan yang ada disetiap provinsi dan KKG (kelompok kerja guru).[35]
2)
Pembelajaran
pendidikan agama islam melalui pendekatan teknologi dan non teknologi. Adapun
pembelajaran dikatakan menggunakan teknologi, bilamana ia menggunakan
pendekatan sistem dalam menganalisis masalah belajar, merencanakan, mengelola,
melaksanakan dan menilainya. Selain itu pendekatan teknologi menuntut peserta
didik agar mampu melaksanakan tugas- tugas tertentu sehingga proses dan rencana
produknya diprogram sedemikian rupa agar pencapaian hasil pembelajarannya dapat
dievaluasi dan terkontrol.[36]
Selain menggunakan pendekatan teknologi selanjutnya adalah menggunakan
pendekatan nonteknologi seperti kemampuan dasar yang harus dikuasai peserta
didik dalam keimanan antaranya beriman kepada allah dll. Dari kemampuan dasar
tersebut dapat difahami bahwa hasil yang diharapkan oleh pendidikan keimanan
tidak hanya menyangkut aspek pengetahuan, tetapi juga menyangkut aspek
penghayatan dan pengalaman terhadap hal- hal yang diimani oleh peserta didik
dan mengamalkan dalam kehidupan sehari- hari.[37]
3)
Praktik
pengembangan budaya agama dalam komunitas madrasah. Pendidikan agama islam
sebagai budaya sekolah berarti bagaimana mengembangkan PAI disekolah, baik
secara kuantitatif maupun kualitatif diposisikan sebagai pijakan nilai,
semangat, sikap, dan perilaku bagi apara aktor sekolah.[38]
Adapun strategi untuk membudayakan
nilai- nilai agama di madrasah dapat dilakukan melalui: (1) power strategi
yaitu strategi pembudayaan agama di madrasah dengan cara menggunakan kekuasaan,
dalam hal ini peran kepala madrasah dengan segala kekuasaannya sangat dominan
dalam melakukan perubahan, (2) persuasif strategi, dijalankan melalui
pembentukan opini dan pandangan masyarakat, (3) normatif re edukatif,
pendidikan ulang untuk untuk menanamkan dan mengganti paradigma berfikir
masyarakat madrasah yang lama dengan yang baru.[39]
4)
Pemberdayaan
sarana pembelajaran pendidikan agama islam. Sarana pembelajaran merupakan salah
satu komponen sistem pengembangembangan
pembelajaran PAI di sekolah dan madrasah, oleh sebab itu pengembangan
saran pembelajaran PAI memerlukan pertimbangan dari komponen- komponen lain
yang bersifat terpadu untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.[40]
Adapun tujuan pemberdayaan sarana
pembelajaran PAI adalah untuk:
(a)
Dapat
memperjelas, mempermudah, meningkatkan hasil belajar PAI secara utuh dan
optimal.
(b)
Dapat
meningkatkan kemapuan belajar dan motivasi belajar peserta didik.
(c)
Dapat
menumbuhkan kesempatan belajara yang lebih banyak dan lebih baru.[41]
3.
Problem ummat
Setiap agama
mengajarkan hal- hal yang baik dan luhur kepada para pemeluknya. Namun
demikian, setiap ajaran agama juga mengandung unsur- unsur yang dapat
ditafsirkan secara berbeda bagi para pemeluknya. Hal ini terjadi karena
kesalahan manusia semata. Sebagaimana diketahui bahwa manusia selalu
menafsirkan apa yang ada disekitarnya. Karena adanya berbagai penafsiran dalam
memahami ajaran agama, tentu ada dampak- dampak terhadap perilaku keagamaan
seseorang.[42]
Sebagai akibat muncul suatu konflik sebagaimana contoh di bawah ini:
1) Adanya bentrok di kampus Sekolah Tinggi Theologi Injil Arastamar (SETIA)
dengan masyarakat setempat hanya karena kesalahpahaman akibat kecurigaan
masyarakat setempat terhadap salah seorang mahasiswa SETIA yang dituduh
mencuri, dan ketika telah diusut Polisi tidak ditemukan bukti apapun. Ditambah
lagi adanya preman provokator yang melempari masjid dan masuk ke asrama putri
kampus tersebut. Dan bisa ditebak, akhirnya meluas ke arah agama,
ujung-ujungnya pemaksaan penutupan kampus tersebut oleh masyarakat sekitar
secara anarkis.
2) Perbedaan pendapat antar kelompok – kelompok Islam seperti FPI (Front
Pembela Islam) dan Muhammadiyah.
3) Perbedaan penetapan tanggal hari Idul Fitri, karena perbedaan cara pandang
masing – masing umat.[43]
Adapun penyebab konflik yang terjadi di Indonesia
antara lain adalah sebagai berikut:
1)
Sikap
Fanatisme
Di kalangan Islam, pemahaman agama secara eksklusif juga ada dan berkembang.
Bahkan akhir-akhir ini, di Indonesia telah tumbuh dan berkembang pemahaman
keagamaan yang dapat dikategorikan sebagai Islam radikal dan fundamentalis,
yakni pemahaman keagamaan yang menekankan praktik keagamaan tanpa melihat
bagaimana sebuah ajaran agama seharusnya diadaptasikan dengan situasi dan
kondisi masyarakat.
Mereka masih berpandangan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar
dan dapat menjamin keselamatan menusia. Jika orang ingin selamat, ia harus
memeluk Islam. Segala perbuatan orang-orang non-Muslim, menurut perspektif
aliran ini, tidak dapat diterima di sisi Allah.[44]
Perilaku fanatik tersebut dapat menimbulkan perpecahan di masyarakat dan dapat
merusak tatanan yang telah terbina dengan baik, selain hal tersebut fanatisme
juga bisa dapat menjadikan anarkisme dalam perilaku sosial.
2)
Merasa agama paling benar
Sikap yang
menganggap bahwa ajaran agamanyalah yang paling benar, paling agung diantara
yang lain. Sikap seperti ini, maka akan mnimbulkan gerakan sosial yang bersifat
keagamaan dengan tujuan untuk memperbaharui masyarakat secara moral. Orang yang
berperilaku demikian adalah orang yang sombong, perilaku yang demikian sangat
bertentangan dengan yang diajarka oleh agamanya. Tidak ada satupun agama yang
mengajarkan orang untuk meremehkan orang lain dan juga kepercayaannya.[45]
Dari kajian
berbagai disiplin dan pendekatan, tampaknya ada kesamaan pandangan bahwa segala
macam krisis berpangkal dari krisis akhlak atau moral. Anehnya krisis ini oleh
beberapa pihak antara lain disebabkan karena kegalalan pendidikan agama.[46]
Azra berpendapat bahwa tinggi rendahnya
tingkat kriminal (seperti korupsi) tidak banyak terkait dengan agama, tetapi
justru disebabkan karena lemahnya hukum penegakan hukum, kurang adanya
keteladana dari pejabat- pejabat untuk memberantas korupsi atau pentakit sosial
lainnya. Karena itu tidak adil bila orang secara simplistis mengkambinghitamkan
agama. Dalam hal ini dijelaskan bahwa kegiatann pendidikan di sekolah, tidak
pernah bebar dari nilai. Isi dan materi kurikulum yang diberikan kepada siswa
pun secara implisit akan memuat transmisi nilai yang terwujud sebagai bagian
dari kurikulum formal maupun melalui kurikulum tersembunyi. Karena itu pada
dasarnya pendidikan sekolah harus selalu mengajarkan nilai- nilai, baik
direncanakan atau tidak.[47]
Fenomena yang
seperti ini merupakan tantangan yang perlu dijawab bagi PTAI melalui desain program pendidikannya.[48]
Apa yang harus diperbuat terhadap para peserta didik dalam rangka mengantarkan
mereka agar mampu mewujudkan masyarakat madani.[49] PTAI sebagai perguruan tinggi
islam perlu mengantisipasi fenomena tersebut, dengan cara menawarkan model-
model pendidikan yang sekiranya mampu mencegah dan mengatasi fenomena semacam
itu. Era globalisasi menuntut adanya perubahan paradigma dalam memandang
peserta didik, guru dan sekolah. Mereka dipandang terglobalisasi, teralokasi
dan terindividualisasi. Untuk bertahan hidup di era globalisasi mereka harus
mengembangkan kemampuan ganda yaitu etos kerja, melek teknologi, melek ilmu
pengetahuan, melek ilmu sosial, melek ilmu politik dan melek budaya.[50]
Keenam kemampuan tersebut harus
diaktualisasikan dengan ketiga rangkaian tersebut. Implikasi utama dari
individualisasi adalah harus meningkatkan motivasi, inisiatif dan kreativitas
peserta didik dan guru dalam persekolahan. Degan cara mendesaian dan
menggunakan target serta mendorong peserta didik dan guru untuk belajar sendiri
serta dapat mengembangkan kecerdasan ganda yang terkontekstualisasika dari
peserta didik. Implikasi dari lokalisasi pendidikan adalah meningkatkan
relevansi dikungan masyarakat dan inisiatif dalam pembelajaran dari lokal.
Implikasi globalisasi adalah meningkatkan ,kesesuaian, dukungan, sumber- sumber
intelektual dan inisiatif serta belajar- mengajar dari dunia global.[51]
Uraian di atas menggarisbawahi
adanya titik sentral dalam pengembangan program pendidikan, yaitu mengembangkan
enam kemampuan yang dikaitkan dengan kebutuhan individi, likal dan global.
Penyiapan calon PTAI perlu mempertimbangkan dimensi- dimensi tersebut terutama
dalam pengembangan kurikulum. Tuntutan tersebut merupakan perwujudan dan
pandangan dasar bahwa peserta didik adalah makhluk belajar, ekonomi sosial,
politik dll, harus mampu mengembangkan keenam kemampuan tersebut yang dikaitkan
posisinya sebagai individu, malsyarakat, maupun warga negara. Bertolak dari
landasan tersebut diatas, maka kegiatan kegiatan pendidikan dan pengajaran,
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat akan selalu diwarnai oleh semangat Ulul
Albab guna mengantisipasi tantangan dan kebutuhan- kebutuhan global.[52]
Sehubungan dengan di atas, maka
para pengembang kurikulum dalam melaksanakan tugasnya harus melakukan hal- hal
sebagai berikut:
a.
Mempelajari dan memahami
kebutuhan masyarakat.
b.
Menganalisis budaya masyarakat
tempat sekolah berada
c.
Menganalisis kekuatan serta
potensi- potensi daerah
d.
Menganalisis syarat dan tuntutan
tenaga kerja.
e.
Dan menginterpretasikan kebutuhan
individu dalam kerangka kepentingan masyarakat.[53]
C.
Analisis
Landasan Empiris Dalam Pengembangan Kurikulum PAI
berdasarkan pemaparan yang telah pemakalah
jelaskan di atas, mengenai landasan empiris, bahwasanya dalam mengembangkan
kurikulum harus ada suatu landasan. Dimana landasan tersebut tidak hanya secara
fondasional tetapi juga secara empris. Dalam hal ini pemakalah akan
menganalisis landasan empiris dalam pengembangan kurikulum, agar dari analisis
ini bisa menjadi rekomendesi dalam pengembangan kurikulum, khususnya di PAI
sendiri.
Adapun landasan empiris dalam pengembangan
kurikulum PAI berdasarkan problem- problem yang ada baik itu problem negara
yang berkaitan dengan tingkat kriminal seperti korupsi dan maraknya media
sosial dimana dalam hal ini banyak orang- orang menyalahgunakannya bahkan ada
yang menghina antara yang satu dengan yang lain. Dimana ada sebagian orang yang
berpendapat bahwa adanya korupsi disebabkan kurangnya moral para pejabat yang
disebabkan kegagalan dari pendidikan islam. Tetapi dalam dunia pendidikan
sendiri khususnya pendidikan islam juga mengalami suatu problem dalam
pelaksanaannya, baik itu problem yang berhubungan dengan pembelajaran maupun
termasuk pelaku pendidikan tersebut. Tidak hanya problem tersebut tetapi di
indonesia ini sendiri juga mengalami krisis toleransi antar umat beragam maupun
sesama agama. Hal itu ditandai dengan adanya sikap fanatik terhadap agama atau
aliran sendiri. Yang ujung- ujungnya akan melahirkan peperangan.
Fenomena seperti yang dijelaskan diatas
merupakan suatu pelajaran bagi negara khususnya bagi para PTAI karena dengan
berkaca pada fenomena tersebut maka, perguruan tinggi islam dapat mendesain dan
mentarget peserta didik dengan mengembangkan kemampuan ganda ( etos belajar,
melek teknologi, melek ilmu ekonomi, melek ilmu politik, melek ilmu sosial, dan
melek budaya) serta mereka dapat mengaktualisasikan dalam kehidupan nyata.
Uraian di atas menggarisbawahi betapa
pentingnya keenam kemampuan di atas dalam pengembangan pendidikan. Dengan cara
mengembangkan enam kemampuan diatas dengan kebutuhan individu, masyarakat
maupun negara. Para calon PTAI harus mampu mengembangkan kemampuan tersebut
dalam tujuannya mengembangkan kurikulum. Calon PTAI juga harus mampu mengaitkan
bahwa peserta didik juga merupakan bagian dari masyarakat maupun negara, maka
dari hal itu peserta didik dalam melakukan kegiatan pendidikan, mereka akan
diwarnai dengan rasa tanggung jawab dan semangat ulul albab.
Dengan semangat ulul albab dalam mencari ilmu pengetahuan melalui sumbernya yang khas islami, yaitu
wahyu (al-Qur’an dan al-Sunnah), alam semesta (al-afāq), diri
sendiri (al-anfus) dan sejarah. Sedangkan metode yang ditempuh
melalui pengetahuan inderawi, pengetahuan akal dan pengetahuan intuisi (ilham).
Jika dikaji dalam berbagai surat dan ayat dalam al-Qur’an tersebut, maka ulǔ al-albāb adalah sosok yang memiliki
kualifikasi spiritual, moral dan intelektual.[54]
Dengan pendidikan yang
berlandaskan pada ulul albab, maka di harapkan pendidikan tidak hanya berupa
pengetahuan semata, tetapi dengan ulul albab maka dalam mencari ilmu
pengetahuan akan diwarnai atau berciri khas keislaman.
D.
Rekomendasi
Berdasarkan
uraian tentang landasan pengembangan kurikulum dan analisis di atas maka,
pemakalah disini merekomendasikan, bahwa dalam landasan pengembangan kurikulum
PAI, maka di landaskan kembali ke pada hal- hal yang islami yakni kembali
kepada pendidikan yang ulul albab, dimana pendidikan ulul albab sebagaimana
yang telah di jelaskan pada analisis bahwa pendidikan ulul albab kembali pada wahyu (al-Qur’an dan al-Sunnah), tetapi tidak hanya al-quran dan hadits,
tetapi juga alam semesta (al-afāq), diri
sendiri (al-anfus) dan sejarah merupakan bagian dari ulul albab.
Berdasarkan hal itu maka dalam melandaskan pengembangan kurikulum PAI harus di
landaskan dengan sikap ulul albab. Karena dengan dilandaskan sikap ulul albab,
maka dalam landasan pengembangan kurikulum PAI akan di warnai sikap islami,
yang tidak hanya dalam intelektual, tetapi juga pembentukan moral dan
spiritual.
E.
Kesimpulan
1.
Dalam
mengembangkan kurikulum pendidikan agama islam membutuhkan suatu landasan atau
dasar yaitu berupa landasan fundasional maupun empiris.
2.
Landasan
empiris merupakan landasan yang berdasarkan pada kenyataan yang ada di
lapangan. Seperti contoh problem negara dan bangsa, problem pelaksanaan PAI dan
problem ummat.
3.
Hasil dari
lapangan akan menjadi suatu kajian yang sangat penting kemudian oleh para
pengembang kurikulum dianalisis sehingga dari analisa akan menghasilkan
rekomended kurikulum untuk mengembangkan PAI.
4.
Berdasarkan
uraian dari penjelasan di atas, maka disini pemakalah merekomendasikan bahwa
dalam landasan empiris pengembangan kurikulum PAI, maka harus di sertai dengan
sikap ulul albab. Dimana dalam pendidikan ulul albab tidak hanya intelektual
tetapi juga ada pembentukan moral dan spiritual di dalamnya.
Daftar Pustaka
Arifin, M, 2011, Ilmu Pendidkan Islam, Jakarta: P.T. Bumi
Aksara.
Hamalik, Oemar,
2007, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara.
Hermanto,
Idan, 2010, Antropologi: Pendamping Dan Pengkayaan Siswa Hebat Jogjakarta:
Tunas Publishing.
Leonard, Alboin PS, Skripsi Penggunaan Media
Sosial Sebagai Eksistensi Diri (Studi Deskriptif Kualitatif Penggunaan Media
Sosial Untuk Eksistensi Diri pada Mahasiswa FISIP UNS Tahun Ajaran 2015/2016)
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik Universitas
Sebelas Maret Surakarta 2016
Majid, Abdul, Andayani, Dian, 2004, Pendidikan Agama Islam Berbasis
Kompetensi: Konsep Dan Implementasi Kurikulum 2004 (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Muhaimin,
2003, Arab Baru Pengembangan Pendidikan: Pemberdayaan, Pengembangan
Kurikulum Hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan, Bandung: Nuansa.
, 2010. Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010.
, 2011, Pemikiran Dan
Aktualisasi Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
, 2013, Rekonstruksi Pendidikan
Islam, akarta: PT Raja Grafindo Persada.
, 2014, Pengembangan
Kurikulumpendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah Dan Perguruan Tinggi,
Jakarta: Rajawali Pers.
Mujtahid, 2010, Reformasi Pendidikan Islam Meretas Mindset Baru
Meraih Peradaban Unggul, Malang: UIN Malang Press.
Nasution, M, 2006, Kurikulum Dan
Pengajaran, Jakarta: PT Bumi Aksara.
Pidarta, Made,
2013, Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia, Jakarta:
Rineka Cipta.
Sanjaya, Wina, 2010, Kurikulum Dan Pembelajaran: Teori dan Praktik
Pengembangan KTSP, akarta: Kencana.
Subandijah,
1993, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
UU RI. No. 20 Tahun 2003, 2014, Tentang
Sistem Pendidikan Nasional, Bandung: Citra Umbara.
[1] M. Arifin, Ilmu Pendidkan Islam (Jakarta:
P.T. Bumi Aksara, 2011), hal. 1.
[2] UU RI. No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Bandung:
Citra Umbara, 2014), hal. 1-2.
[3] Kurikulum merupakan suatu rencana yang
disusun untuk melancarkan prosese belajar- mengajar di bawah bimbingan dan
tanggung jawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya.
Sejumlah ahli teori berpendapat bahwa kurikulum bukan hanya meliputi semua
kegiatan yang direncanakan melainkan juga peristiwa- peristiwa yang terjadi
dibawah pengawasan sekolah, baik kurikuler yang formal maupun kurikuler yang
tak formal, Lihat Nasution, Kurikulum Dan Pengajaran ( Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2006) Cet. 4, hal. 5.
[4] Subandijah mengatakan apabila pendidikan
dipandang sebagai alat tujuan pendidikan, maka kurikulum dalam kedudukannya
harus memiliki sifat anticipatory, bukan hanya ksebagai reportorial.
Hal ini berarti bahwa kurikulum harus dapat meramalkan kejadian di masa yang
akan datang, tidak hanya melaporkan keberhasilan belajar peserta didik, Lihat Subandijah,
Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1993), cet. 1, hal. 3.
[5] Kurikulum
sebagai suatu rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang cukup sentral dalam
seluruh kegiatan pendidikan, dimana kurikulum menentukan proses pelaksanaan dan
hasil pendidikan, Lihat Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum:
Teori dan Praktik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2016), Cet. 19, hal. 38.
[7] Seller mengemukakan bahwa pengembangan
kurikulum adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terus- menerus.
Adapun kebijakan umum menurut seller
misalnya arah dan tujuan pendidikan, pandangan tentang hakikat belajar dan
hakikat anak didik, pandangan tentang keberhasilan implementasi kurikulum,
lihat Wina Sanjaya, Kurikulum Dan Pembelajaran: Teori dan Praktik
Pengembangan KTSP (Jakarta: Kencana, 2010), Cet. 3, hal. 32- 33.
[8] Made Pidarta, Landasan Kependidikan:
Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013),
Cet. 3, hal. 42.
[9] Definisi empiris menurut para ahli, http://www.definisimenurutparaahli.com/pengertian-empiris-dan-contohnya,
di akses pada hari kamis tanggal 02 maret 2017 pukul 05: 59.
[10] Muhaimin menjelaskan bahwa human capital
yakni SDM yang menguasai IPTEK, dapat mengerjakan tugas secara professional,
serta berperilaku dan berpribadi mandiri. Sedangkan social capital
adalah trust (sikap amanah) atau masyarakat yang saling percaya dan bisa
dipercaya. Zero trust society adalah masyarakat yang sulit dipercata, lihat
Muhaimin, Pengembangan Kurikulumpendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah
Dan Perguruan Tinggi (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), Cet. 6, hal.
240.
[11] Lihat Indra Gunawa, https://indragunawan0605.wordpress.com/2013/11/20/dampak-korupsi-bagi-perekonomian-indonesia,
hari jumat 03 maret 2017 pukul 07:48. Selama ini penyebab runtuhnya ekonomi
Indonesia yang disebabkan oleh korupsi kurang mendapat tekanan. Hasil
analisanya menunjukkan bahwa korupsi berdampak negatif terhadap tingkat
investasi dan pertumbuhan ekonomi. Artinya semakin tinggi tingkat korupsi suatu
negara, semakin rendah pula pertumbuhan ekonominya. Dibuktikan dalam analisanya
yaitu bila ada perbaikan indeks korupsi satu poin saja, maka laju investasi
meningkat lebih dari 4% dan laju pertumbuhan ekonomi naik menjadi lebih dari
0.5%. Kemudian analisa empiris lainnya yang dilakukan Alberto Alesina dkk
(1999) dalam Do Corrupt Government
Receive Less Foreign Aid? menunjukkan
bahwa laju penanaman modal asing terealisasi yang masuk ke suatu negara akan
menurun dengan semakin meningkatnya korupsi di negara tersebut.
Budisantoso,lihathttp://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/blob/F22503/Korupsi%20dan%20Ekonomi%20Nasional.htm.
[12] lihat Muhaimin, Pengembangan
Kurikulumpendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah Dan Perguruan Tinggi …,
hal. 241.
[13] Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013) Cet. 2, hal. 16.
[14] lihat Wina Sanjaya, Kurikulum dan
Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan KTSP …, hal. 59.
[15]Lihat Artikel http://fajrialbiruni.damai.id/2015/11/07/ekologi-dan-dampak-perkembangan-iptek-terhadap-kehidupan-manusia,
pada hari jumat tanggal 03 maret 2017 pukul 09:45.
[16] Menurut Andreas Kaplan dan Michael Haenlein
mendefinisikan media sosial sebagai sebuah kelompok aplikasi berbasis internet
yang dibangun di atas dasar ideology dan teknologi web 2.0 dan memungkinkan penciptaan
dan pertukaran user-generated content. Web 2.0 menjadi platform dasar media
sosial. Media sosial ada dalam berbagai bentuk yang berbeda, termasuk sosial
network, forum internet, weblogs, sosial blogs, micro blogging, wikis,
podcasts, gambar, video, ratting, dan bookmark
Sosial. Lihat Lihat Skripsi Alboin Leonard PS,
Penggunaan Media Sosial Sebagai Eksistensi Diri (Studi Deskriptif Kualitatif
Penggunaan Media Sosial Untuk Eksistensi Diri pada Mahasiswa FISIP UNS Tahun
Ajaran 2015/2016) Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan
Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta 2016. Hal. 9.
[17] Lihat Skripsi Alboin Leonard PS, Penggunaan
Media Sosial Sebagai Eksistensi Diri (Studi Deskriptif Kualitatif Penggunaan
Media Sosial Untuk Eksistensi Diri pada Mahasiswa FISIP UNS Tahun Ajaran
2015/2016) Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta 2016. Hal. 8- 9.
[18] Merupakan situs sosial yang saat ini
menduduki peringkat pertama dengan menggunakan sistem satu arah. Dengan menekan
tombol follow, kita dapat melihat pembaharuan (update) status dari mereka yang
kita ikuti (follow). Lihat Abdillah Yafi Aljawiy, Ahmad Muklason, Jejaring
Sosial Dan Dampak Bagi Penggunanya, Jurusan Sistem Informasi, Fakultas
Teknologi Infomasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember. 10 Mei 2017 Pukul 05:
53.
[19] Facebook merupakan situs jejaring sosial yang
aplikatif.[2] Facebook menyajikan gambaran akan hal-hal yang menarik, adanya
pemberitahuan baru atau notifikasi, ruang untuk mengobrol langsung (chatting),
unggah foto/video, dan mengirimkan pesan kepada pengguna lain di saat pengguna
lain tersebut sedang diluar jaringan (offline). Lihat Abdillah Yafi Aljawiy,
Ahmad Muklason, Jejaring Sosial Dan Dampak Bagi Penggunanya, Jurusan Sistem
Informasi, Fakultas Teknologi Infomasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember. 10
Mei 2017 Pukul 05: 53.
[20] Blog merupakan singkatan web + log, yaitu
sejenis website pribadi yang dapat digunakan untuk menuliskan suatu pesan atau
informasi secara terus- menerus dan mempublikasikannya. Blog dapat beruapa
berita atau artikel yang nantinya akan tersu diperbaharui. Dalam satu blog
dapat berisi bermacam- macam artikel yang dikelompokkan dalam suatu kategori
atau hanya terdiri atas satu jenis
kategori saja. Lihat https://abdulkaharkimia.files.wordpress.com/2013/12/jurnal-novia-ika.pdf,
Rabu 10 Mei 2017 Pukul 06: 14.
[21] https://www.brilio.net/news/10-penyalahgunaan-media-sosial-yang-paling-sering-ditemui-1511305.html,
Rabu 10 Mei 2017 Pukul 10:20.
[22] Mujtahid menjelaskan tarbiyah adalah proses
pembinaan dan pengembangan potensi manusia melalui pemberian petunjuk yang
dijiwai oleh wahyu ilahi. Ta’lim tidak hanya berhenti pada pengetahuan yang
bersifat lahiriah akan tetapi meliputi pengetahuan yang yang teoritis, mencakup pula aspek
pengetahuan alam, social serta keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan
manusia. Sedangkan ta’dib adalah memberi adab atau mendidik. Mujtahid, Reformasi
Pendidikan Islam Meretas Mindset Baru Meraih Peradaban Unggul (Malang: UIN
Malang Press, 2010), hal. 2.
[23] Lihat Muhaimin, Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Agama Islam di Msekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi ..., hal.
74.
[24] Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan
Agama Islam Berbasis Kompetensi: Konsep Dan Implementasi Kurikulum 2004
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006) Cet. 3, hal. 130.
[25] Insan kamil merupkan suatu tujuan yang
mengarah pada dua dimensi sekaligus yaitu sebagai hamba allah dan sebagai wakil
allah di muka bumi. karena itu maka pendidikan islam harus mampu merefleksikan
ilmu pengetahuan dan perilaku rasulullh. Mujtahid, Reformasi
Pendidikan Islam Meretas Mindset Baru Meraih Peradaban Unggul …, hal. 13.
[26] Ibid ..., hal. 14.
[27] Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Metafisika,
Metafisika adalah cabang filsafat yang berkaitan
dengan proses analitis atas hakikat fundamental mengenai keberadaan danrealitas yang
menyertainya. Kajian mengenai metafisika umumnya berporos pada pertanyaan
mendasar mengenai keberadaan dan sifat-sifat yang meliputi realitas yang
dikaji. Pemaknaan mengenai metafisika bervariasi dan setiap masa dan filsuf
tentu memiliki pandangan yang berbeda. Secara umum topik analisis metafisika
meliputi pembahasan mengenai eksistensi, keberadaan aktualdan karakteristik yang menyertai, ruang dan waktu, relasi antar keberadaan
seperti pembahasan mengenai kausalitas, posibilitas, dan pembahasan
metafisis lainnya. Di akses pada hari jumat tanggal 03 maret 2017 pukul 20:22.
[28] Muhaimin menjelaskan bahwa budaya modern memiliki ciri
antara lain menggunakan akal sebagai alat pencari kebenaran, manusia semakin
materialis yaitu menolak yang spiritual, manusia semakin individualis, keempat
pragmatisme yaitu bahwa yang benar iala yang berguna dan yang berguna biasanya
bernuansa fisik atau material. Dan yang kelima adalah hedonisme yang
mengajarkan bahwa yang benar adalah sesuatu yang menghasilkan kenikmatan. Muhaimin,
Rekonstruksi Pendidikan Islam ..., hal. 242- 245.
[29] Lihat Muhaimin, Pemikiran Dan Aktualisasi
Pendidikan Agama Islam ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011) Cet. 1,
hal. 156.
[30] Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis
Kompetensi: Konsep Dan Implementasi Kurikulum 2004 …, hal. 166.
[31] Lihat Muhaimin, Pemikiran Dan Aktualisasi
Pendidikan Agama Islam ..., hal. 156- 159.
[32] Lihat Majid dan Dian
Andayani yang menjelaskan Hal ini sesuai dengan apa
yang dijelaskan piaget bahwa siswa yang berada pada rentang usia 7- 18 tahun
berada pada operasional konkret dan operasional formal, usia 7- 11 tahun
kemampuan berfikir siswa mulai logis, usia 11- 15 tahun ditandai dengan
munculnya pola pikir orang dewasa. Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan
Agama Islam Berbasis Kompetensi: Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004 …,
hal. 167.
[33] Ibid ..., hal. 178.
[34] Lihat Muhaimin, Pemikiran Dan Aktualisasi
Pendidikan Agama Islam ..., hal. 99. Sertifikasi adalah proses pemberian
sertifikat pendidikan untuk guru dan dosen.Sertifikat pendidik adalah bukti
formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional.
Undang- undangtentanggurudandosenpasal1,lihatdihttp://sindikker.dikti.go.id/dok/UU/UUNo142005(Guru%20&%20Dosen).pdf,
pada minggu 05 maret 2017, pukul 09:01
[35] Ibid ..., hal. 195- 195.
[36] Lihat Muhaimin, Arab Baru Pengembangan
Pendidikan: Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum Hingga Redefinisi Islamisasi
Pengetahuan (Bandung: Nuansa, 2003) Cet. 1, hal. 73- 74. Muhaimin
menjelaskan bahwa teknologi pembelajaran adalah suatu proses yang kompleks dan
terpadu yang melibatkan orang, prosedur, ide, peralatan dan organisasi untuk
menganalisis masalah, mencari cara pemecahan masalah, melaksanakan, mengevaluasi,
dan mengelola pemecahan masalah dalam situasi dimana kegiatan belajar mempunyai
tujuan dan kontrol.
[37] Ibid ..., hal. 89.
[38] Lihat Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam ..., hal.
309. Adapun aktor sekolah menurut penjelasan muhaimin adalah kepala solah.
Guru, tenaga kependidikan lainnya, wali murid serta peseta didik.
[39] Lihat Muhaimin, Pemikiran Dan Aktualisasi
Pendidikan Agama Islam ..., hal. 137- 138.
[40] Lihat Muhaimin, Arab Baru Pengembangan Pendidikan:
Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum Hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan
..., hal 136.
[41] Ibid ..., hal. 137.
[42] Idan Hermanto, Antropologi: Pendamping Dan
Pengkayaan Siswa Hebat (Jogjakarta: Tunas
Publishing, 2010) Cet. 1, hal. 62.
[43] Lihat http://erlanggasetyaalam.blogspot.co.id/2015/01/konflik-agama-di-indonesia.html,
hari minggu tanggal 05 maret 2017 pukul 21:23.
[44] Lihat http://kumpulanskripdanmakalah.blogspot.co.id/2016/03/makalah-kerukunan-antar-umat-beragama.html,
hari minggu tanggal 05 maret 2017 pukul 21:43.
[45] Idan Hermanto, Antropologi: Pendamping Dan
Pengkayaan Siswa Hebat ..., hal. 64- 65.
[46] Lihat Muhaimin, Rekonstruksi Pendidkan
Islam ..., hal. 54.
[47] Ibid ..., hal. 55.
[48] Made Pidarta menjelaskan bahwa tujuan
pendidikan di indonesia tertulis pada undang- undang republik indonesia nomor
20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional beserta peraturan pemerintah yang beratlian dengan pendidikan pasal 26
ayat 4 tentang tujuan pendidikan tinggi yang mengatakan untuk mempersiapkan
peserta didik menjadi anggota masyarakat yang: berakhlak mulia, memiliki pengetahuan,
terampil, mandiri dan mampu menemukan, mengembangkan dan menerapkan ilmu
teknologi srta seni yang bermanfaat bagi kemanusiaan. Lihat Made Pidarta, Landasan
Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia ..., hal. 12- 14.
[49] Muhaimin menjelaskan masyarakat madani adalah
masyarakat yang memilki pribadi yang cerdas dan berakhlak mulia, yang dapat
berdiri sendiri dan bekerjasama dengan orang lain untuk menciptakan masyarakat
yang sejahtera dan penuh sikap amanah.Lihat Muhaimin, Pengembangan
Kurikulumpendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah Dan Perguruan Tinggi…,
hal. 241.
[50] Muhaimin menjelaskan bahwa etos belajar
menyangkut kemampuan belajar serta berfikir secara kritis dan kreatif. Melek
teknologi berkaitan dengan kemampuan berfikir, memanaje secara teknologis serta
memaksimalkan pemanfaatan teknologi yang bermacam- macam. Melek ekonomi
kemampuan yang berhubungan bagaimana memanaje secara ekonomis dan memaksimalkan
berbagai sumber yang bervariasi. Melek ilmu sosial berkaitan dengan kemampuan
berfikir dan memanaje secara sosial dalam mngembangkan hubungan yang harmonis.
Melek ilmu politik berkaitan cara berfikir dan memanaje secara politisi dan
melek budaya berkaitan berfikir dan bertindak secara kultur, serta
mengoptimalkan aset kultural serta mengkreasi nilai- nilai baru. Muhaimin, Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Msekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010) Cet. 4, hal. 242.
[53] lihat Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan
KTSP …, hal. 61.
No comments:
Post a Comment