Wednesday, November 15, 2017

LANDASAN EMPIRIS DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI

LANDASAN EMPIRIS
DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI

Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pengembangan Kurikulum PAI


Dosen Pengampu:
Dr. Marno Nurullah, M.Pd



Pemakalah:
SULFIYA (16771020)


Program Studi Magister Pendidikan Agama Islam
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Jawa Timur 2017



LANDASAN EMPIRIS
DALAM PENGEMBANGAN KURIKUM PAI
A.    Dasar Pemikiran
Pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan yang sangat penting. Kemajuan pendidikan ini di tandai dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, menjadikan manusia untuk melakukan suatu pengembangan melalui bidang pendidikan, sebagaimana yang dijelaskan M. Arifin, sejak manusia menghendaki kemajuan dalam kehidupan, sejak itulah timbul gagasan untuk melakukan pengalihan, pelestarian dan pengembangan kebudayaan melalui pendidikan. Dalam sejarah pertumbuhan masyarakat, pendidikan senantiasa menjadi perhatian utama dalam rangka memajukan kehidupan generasi sejalan dengan tuntutan masyarakat.[1] Dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya pendidikan yang baik dan efektif, terutama di dalam sistem pendidikan tersebut. Hal Ini sesuai yang tercantum dalam UU RI. No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal I Ayat I, yang berbunyi:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keaagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,bangsa, dan negara”.[2]

Oleh sebab itu semua pihak yang berkaitan baik pemerintahan komite dan pengurus lembaga pendidikan dan yang paling utama masyarakat pada umumnya diharapkan dapat bekerja sama dalam memajukan pendidikan negara ini. Agar pendidikan berjalan dengan baik maka harus ada suatu rancangan di dalamnya, yang kita kenal dengan istilah kurikulum.
Kurikulum[3] merupakan syarat mutlak yang harus ada dalam suatu lembaga pendidikan. Alasan adanya keharusan kurikulum adalah diharapkan pendidikan yang sedang berlangsung dengan efektif dan searah dengan tujuan yang ingin dicapai. Selain itu kerikulum merupakan alat pendidikan. Dalam hal ini kurikulum berkedudukan sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan.[4] Selain sebagai suatu alat kurikulum juga sebagai suatu rancangan dalam pelaksanaan pendidikan.[5] Melihat betapa pentingnya kurikulum dalam pendidikan, maka dalam penyusunan kurikulum tidak boleh dikerjakan dengan cara yang tidak benar. Dalam menyusun kurikulum perlu landasan atau dasar yang kuat dalam penyusunannya. Kurikulum disusun dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional serta kemajuan IPTEK. Berdasarkan penjelasan di atas, maka pengembangan kurikulum agar berlandaskan faktor- faktor berikut:
1.      Tujuan filsafat dan pendidikan nasional.
2.      Sosial budaya dan agama yang berlaku dalam masyarakat.
3.      Perkembangan peserta didik.
4.      Keadaan lingkungan.
5.      Kebutuhan pembangunan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.[6]
Seller mengemukakan bahwa pengembangan kurikulum harus dimulai dari menentukan orientasi kurikulum, yaitu kebijakan- kebijakan umum. Berdasarkan orisentasi tersebut maka dikembangkan kurikulum menjadi pedoman pembelajaran, diimplementasikan dalam proses pembelajaran dan dievaluasi.[7]
Selain faktor di atas kurikulum juga harus bisa menjawab atau mengatasi problema- problema yang ada di negara ini, baik itu problem yang berkaitan dengan bangsa dan negara seperti korupsi, ekonomi dan perkembangan teknologi yang menuntut masyarakat akan melek pngetahuan, masalah ummat beragama yang kurang akan sikap toleransi antar umat beragama serta problema yang dihadapi dunia pendidikan khususnya pendidikan agama islam dalam pelaksanaanya kedepan. Karena dengan berlandaskan pada faktor- faktor diatas diharapkan kurikulum dapat mengatasi permasalahan baik berhubungan masalah negara maupun dunia pendidikan itu sendiri, selain itu dengan berlandaskan pada hal tersebut pendidikan tidak hanya sebagai pengetahuan, tetapi ada bentuk implementasi dalam kehidupan. Berdasarkan uraian faktor pengembangan kurikulum diatas, maka makalah ini akan menjelaskan tentang landasan empiris dalam pengembangan kurikulum PAI dalam mengatasi problema- problema baik masalah negara, ummat serta problema pelaksanaan PAI itu sendiri.

B.     Landasan Empiris Dalam Pengembangan Kurikulum PAI
Kata landasan berarti melandasi atau mendasari atau titik tolak.[8] Empiris adalah suatu keadaan yang berdasarkan pada kejadian nyata yang pernah dialami, dimana kejadian tersebut didapat melalui penelitian, observasi maupun eksperimen.[9] Jadi yang dimaksud dengan landasan empiris adalah suatu keadaan yang berdasarkan pada kejadian yang dialami, dimana kejadian tersebut menjadi titik tolak dasar pijakan yang didapat melalui penelitian dan eksperimen. Adapun dasar atau landasan empiris pengembangan kurikulum PAI adalah dengan melihat beberapa problem sebagai berikut:

1.      Problem negara dan bangsa
Saat ini masyarakat sedang menghadapi globalisasi baik dibidang kapital, budaya, etika maupun moral. Era globalisasi adalah era pasar bebas dan sekaligus persaingan bebas dalam produk material dan jasa. Dahulu untuk membangun basis ekonomi masyarakat yang kuat sangat mengandalkan pada modal capital, yang kemudian berevolusi pada human capital, namun pada perkembangan zaman kedua capital tersebut kini masih dianggap kurang memadai, justru untuk membangun basis ekonomi yang kuat sangat membutuhkan social capital yang kokoh.
Menurut para ahli bahwa dalam bidang sosial kapital indonesia hampir mencapai titik zero trust society. Hal ini didukung oleh penelitian PERC (2004) bahwa indeks korupsi di negara indonesia telah mencapai 9,25.[10] Dampak dari korupsi di indonesia membuat para investor kurang percaya untuk menanamkan modalnya di indonesia dan lebih memilih menginvestasikannya kenagara- negara yang lebih aman seperti cina dan india.[11]
Problem lain yang dihadapi bangsa indonesia adalah globalisasi dibidang budaya, etika dan moral sebagai akibat dari kemajuan dibidang transportasi dan informasi. Para siswa saat ini telah mengenal berbagai sumber pesan pembelajaran, baik yang bersifat pedagogis terkontrol maupun non padegogis yang tidak terkontrol. Akan dapat mempengaruhi perubahan budaya, etika dan moral para siswa atau masyarakat. Masyarakat yang asalnya tabu dengan  model pakaian yang terbuka, tabu dengan filam- film yang tidak layak di tonton serta gambar- gambar yang tidak layak dimedia massa kemudian menjadi biasa- biasa saja, bahkan juga ikut ke dalam bagian tersebut.[12]Sebagai eksesnya adalah muncul sikap sadisme, kekerasan, pemerkosaan dikalangan sebagian masyarakat. Bahkan tidak heran pada saat ini sering dijumpai model kehidupan kontroversial yang dapat dialami dalam waktu yang sama serta dapat bertemu dalam pribadi yang sama.[13]
Selain problem negara mengenai kapital dan etika indonesia juga mengalami problem akibat kemajuan IPTEK. Kemajuan dibidang teknologi memiliki andil yang besar dalam perubahan pola hidup. Pada masyarakat industri banyak sekali jenis- jenis pekerjaan yang sangat mengandalkan teknologi, dari mulai pekerjaan ibu rumah tangga di dapur sampai kepada pekerjaan kantor. Ketergantungan terhadap hasil- hasil teknologi melenyapkan jenis- jenis pekerjaan tertentu yang memunculkan jenis pekerjaan baru yang menuntut keahlian keahlian tertentu. Keahlian tersebut harus dipersiapkan oleh lembaga- lembaga pendidikan.[14] Di bidang kedokteran dan kemajauan ekonomi mampu menjadikan produk kedokteran menjadi komoditi Meskipun demikian ada pula dampak negatifnya antara lain; 1. terjadinya pengangguran bagi tenaga kerja yang tidak mempunyai kualifikasi yang sesuai dengan yang dibutuhkan; 2.Sifat konsumtif sebagai akibat kompetisi yang ketat pada era globalisasi akan juga melahirkan generasi yang secara moral mengalami kemerosotan: konsumtif, boros dan memiliki jalan pintas yang bermental “instant”.[15]



Selain problem negara di atas, yang sangat marak pada masa ini adalah penggunaan MEDSOS (Media Sosial).[16] Media sosial merupakan salah satu bentuk perkembangan dari adanya internet. Melalui media sosial, seseorang dapat saling terhubung dengan setiap orang yang tergabung dalam media sosial yang sama untuk berbagi informasi dan berkomunikasi. Media sosial memiliki sifat yang lebih interaktif apabila dibandingkan dengan bentuk media tradisional seperti radio maupun televisi. Melalui media sosial, kita dapat secara langsung berinteraksi dengan orang lain, baik melalui komentar dalam media sosial maupun dengan sekedar memberikan tanda like pada setiap postingan seseorang.[17]
Pada dasarnya media sosial merupakan perkembangan mutakhir dari teknologi- teknologi web baru berbasis internet, yang memudahkan semua orang untuk dapat berkomuniksi, berpartisipasi, saling berbagi dan membentuk sebuah jaringan secara online, sehingga dapat menyebarluaskan konten mereka sendiri. Post di blog, tweet atau video you tube dapat diproduksi dan dapat dilihat secara langsung oleh jutaan orang secara gratis. Media sosial mempunyai banyak bentuk, dintaranya yang paling populer yaitu microblogging (twitter),[18] facebook[19] dan blog.[20]
Namun semakin maraknya media sosial di dunia ini, penggunaannya banyak disalah gunakan sebagai tempat memaki, marah dan berbagai hal- hal yang tidak senonoh oleh orang- orang, sebagaimana berikut ini contoh penyalahgunaan media sosial diantaranya adalah: upload foto tidak senonoh; Mengumpat dengan kata-kata kasar untuk meluapkan amarah, Media sosial yang kita gunakan atas nama kita bukan berarti bisa kita gunakan tanpa memperhatikan kepentingan orang lain. Mengumpat dengan kata-kata kasar lewat status di medsos pasti mengganggu pengguna lain. Hal ini kurang bijak untuk dilakukan di medsos. Selain itu, menyebarkan isu di medsos yang berpotensi menyebabkan konflik ras atau agama juga dilarang hukum. Gatot menambahkan menyebarkan isu di media sosial berpotensi menimbulkan konflik antar suku, agama, ras, dan antargolongan "Juga bisa dijerat hukum," tambah Gatot.  Hal ini menjadi rentan dalam jagat internet, mengingat orang yang mudah dikotak-­ kotakkan. "Membagikan gambar atau informasi yang mengundang emosi kelompok lain sering banget terjadi di Indonesia," ungkap Gatot; pencemaran nama baik, Kritik itu berbeda dengan pencemaran nama baik. Kritik terhadap pemerintahan atau tokoh tertentu tentu boleh karena Indonesia adalah negara demokrasi, tapi, jika menyebarkan berita hoax tentang seseorang, lembaga, atau institusi tertentu tentu hal ini tidak dibenarkan.[21] 
2.      Problem pelaksanaan PAI
a.       Konsep dasar PAI
Ada beberapa istilah yang dipakai untuk menunjukkan istilah yang digunakan untuk menunjuk pengertian pendidikan islam yang berasal dari lafadz bahasa arab yang diambil dari alquran maupun hadits, misalnya kata tarbiya, ta’lim, dan ta’dib.[22] Al attas berpendapat bahwa pendidikan menurut ilam sebagai pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur- angsur ditanamkan kedalam diri manusia, tentang tempat- tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa sehingga membimbing ke arah kearah pengenalan dan pengakuan tempat tuhan di dalam tatanan wujud dan kepribadian.[23] Sedangkan pendidikan agama islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga memahami ajaran agama islam dibarengi dengan tuntutan ntuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar ummat beragama hingga terwujud persatuan bangsa.[24]
Secara ideal Al- Attas menghendaki pendidikan islam harus mampu mencetak manusia yang unggul secara universal (insan al kamil).[25] Dengan begitu sistem pendidikan harus memahami seperangkat bagian- bagian yang terkait satu sama lain dalam sistem pendidikan. Dimana pendidikan islam membutuhkan pendidik yang unggul, sarana- prasarana pembiayaan yang cukup serta lingkungan akademis yang nyaman dan kondusif sebagai tempat belajar.[26]

b.      Problem pelaksanaan PAI
Agaknya banyak sekali kesulitan yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan agama (islam). Tafsir mengidentifikasikannya ke dalam dua bagian, yaitu pertama kesulitan yang datang dari sifat bidang studi pendidikan agama islam itu sendiri, yang banyak menyentuh aspek- aspek metafisika.[27] Karena sulitnya melaksanakan pendidikan agama, maka sebagian orang berpendapat pendidikan agama islam tidak perlu diberikan di sekolah. Kedua kesulitan yang datang dari luar bidang studi PAI itu sendiri, antara lain menyangkut dedikasi GPAI yang mulai menurun, lebih bersifat transaksional dalam bekerja, orang tua di rumah mulai kurang memperhatikan pendidikan agama islam bagi anaknya, orientasi tindakan semakin materialis, orang semakin bersifat rasionalis, individualis, kontrol sosial melemah. Dimana kesulitan ini agaknya bersumber pada watak budaya modern yang betul- betul mengglobalisasi.[28]
Selain probelm di atas imam tholkah (direktur pendidikan agama islam pada sekolah, 2009) mengidentifikasi berbagai tantangan PAI, yaitu:
1)      Guru agama harus membebaskan diri dari paradigma pengajaran yang lama yang berciri dogmatis ekslusif dan menekankan hafalan. Pendidikan agama harus menghasilka insan muda yang tahu menghargai perbedaan dan menghayati nilai- nilai kemanusiaan universal.[29] Guru adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan. Para pakar menyatakan bahwa betapapun bagusnya sebuah kurikulum, hasilnya sangat tergantung pada apa yang dilakukan guru di dalam maupun diluar kelas. Kualitas pembelajaran yang sesuai dengan rambu- rambu PAI dipengaruhi oleh sikap guru yang kreatif untuk memilih dan melaksanakan berbagai pendekatan dan model pembelajaran, karena profesi guru menuntut sikap kreatif.[30]
2)      Desain kurikulum pendidikan agama yang masih dogmatis dan informatif. Untuk itu dibutuhkan kreativitas dan dedikasi guru untuk megerjakan nilai- nilai universal agama kepada semua muridnya.
3)      Ketidakefektifan pendidikan agama yang diselenggarakan di sekolah antara disebabkan, pertama pendidikan agama disekolah lebih mengutamakan orientasi kognisi, kedua belum ada pendidikan agama di sekolah yang diselenggarakan secara sistematis dan terpadu bagi anak didik, ketiga pelaksanaan evaluasi pendidikan agama di sekolah cenderung menekankan pada aspek kognitif. Ini berarti menunujukkan bahwa pelaksana pendidikan agama di sekolah belum efektif.
4)      Masalah pelaksanaan PAI juga teletak pada peserta didik, yaitu minat belajar atau mendalami pengetahuan agama islam rendah, minat belajar atau kemampuan membaca kitab suci alquran rendah meskipun akhir- akhir ini mulai membaik, fondasi keimanan dan ketakwaan peserta didik terkesan masih relatif rentan dll.[31] Bukan hanya pada masalah minat tetapi juga pada masa pertumbuhan dan perkembangan siswa yang akan selalu memerlukan perhatian guru. Pertumbuhan dan perkembangan siswa yang berkisar antara usia 7- 18 tahun sangat kompleks karena berkenaan dengan tugas- tugas perkembangannya. Pada tahap ini permasalahan yang didapai siswa adalah permasalahan yang konkret. Anak menemui kesulitan bila diberi tugas sekolah yang menuntutnya untuk mencari sesuatu yang tersembunyi. Mereka lebih menyukai soal- soal yang tersedia jawabannya. Usia remaja yang telah disepakati para ilmu jiwa 13- 21, ditandai dengan masalah pertumbuhan jasmani yang cepat, pertumbuhan emosional, pertumbuhan mental, pribasi dan sosial. Perasaan remaja pada agama tidak tetap, kadang acuh atau menentang apabila merasa kecewa, itu semua memang perasaan yang masih ambivalen.[32]
5)      Kelemahan yang dimiliki sekolah dalam kaitan munculnya kesenjangan kurikulum pendidikan agama islam adalah terbatasnya sarana serta fasilitas yang disediakan untuk kepentingan kegiatan kurukulumnya. Hubungan antara keterbatasan- keterbatasan yang ada kegiatan penerapan kurikulum PAI di sekolah bersifat sistemik, sehingga pemenuhan pada salah satu sektor tertentu dari keterbatasan ini tidak dapat mengatasi persoalan kesenjangan secara keseluruhan sebab terbentur oleh keterbatasan pada aspek lainnya seperti alokasi waktu yang disediakan sangat terbatas.[33]
c.       Upaya mengatasi problem pelaksanaan PAI
Agar pelaksanaan pendidikan agama islam berjalan dengan efektif, maka perlu adanya upaya atau cara dan tindakan untuk hal tersebut. Adapun upaya dalam mengatasi problem pendidikan agama islam adalah sebagai berikut:
1)       Upaya yang dilakukan untuk mengatasi problem pendidikan adalah dengan adanya kebijakan sertifikasi guru yang diikuti dengan peningkatan kesejahteraan yang berupa tunjangan profesi bagi guru. Asumsinya adalah bahwa dengan kompetensi dan penghasilan guru yang bagus, maka kinerja guru akan semakin bagus, sehingga pendidikan akan semakin bermutu.[34] Adapun kiat- kiat lain untuk mengembangkan profesionalisme guru adalah menyiapkakan berbagai forum misalnya balai pendidikan dan pelatihan (diklat) keagamaan yang ada disetiap provinsi dan KKG (kelompok kerja guru).[35]
2)      Pembelajaran pendidikan agama islam melalui pendekatan teknologi dan non teknologi. Adapun pembelajaran dikatakan menggunakan teknologi, bilamana ia menggunakan pendekatan sistem dalam menganalisis masalah belajar, merencanakan, mengelola, melaksanakan dan menilainya. Selain itu pendekatan teknologi menuntut peserta didik agar mampu melaksanakan tugas- tugas tertentu sehingga proses dan rencana produknya diprogram sedemikian rupa agar pencapaian hasil pembelajarannya dapat dievaluasi dan terkontrol.[36] Selain menggunakan pendekatan teknologi selanjutnya adalah menggunakan pendekatan nonteknologi seperti kemampuan dasar yang harus dikuasai peserta didik dalam keimanan antaranya beriman kepada allah dll. Dari kemampuan dasar tersebut dapat difahami bahwa hasil yang diharapkan oleh pendidikan keimanan tidak hanya menyangkut aspek pengetahuan, tetapi juga menyangkut aspek penghayatan dan pengalaman terhadap hal- hal yang diimani oleh peserta didik dan mengamalkan dalam kehidupan sehari- hari.[37]
3)      Praktik pengembangan budaya agama dalam komunitas madrasah. Pendidikan agama islam sebagai budaya sekolah berarti bagaimana mengembangkan PAI disekolah, baik secara kuantitatif maupun kualitatif diposisikan sebagai pijakan nilai, semangat, sikap, dan perilaku bagi apara aktor sekolah.[38]
Adapun strategi untuk membudayakan nilai- nilai agama di madrasah dapat dilakukan melalui: (1) power strategi yaitu strategi pembudayaan agama di madrasah dengan cara menggunakan kekuasaan, dalam hal ini peran kepala madrasah dengan segala kekuasaannya sangat dominan dalam melakukan perubahan, (2) persuasif strategi, dijalankan melalui pembentukan opini dan pandangan masyarakat, (3) normatif re edukatif, pendidikan ulang untuk untuk menanamkan dan mengganti paradigma berfikir masyarakat madrasah yang lama dengan yang baru.[39]
4)      Pemberdayaan sarana pembelajaran pendidikan agama islam. Sarana pembelajaran merupakan salah satu komponen sistem pengembangembangan  pembelajaran PAI di sekolah dan madrasah, oleh sebab itu pengembangan saran pembelajaran PAI memerlukan pertimbangan dari komponen- komponen lain yang bersifat terpadu untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.[40]
Adapun tujuan pemberdayaan sarana pembelajaran PAI adalah untuk:
(a)    Dapat memperjelas, mempermudah, meningkatkan hasil belajar PAI secara utuh dan optimal.
(b)   Dapat meningkatkan kemapuan belajar dan motivasi belajar peserta didik.
(c)    Dapat menumbuhkan kesempatan belajara yang lebih banyak dan lebih baru.[41]
3.      Problem ummat
Setiap agama mengajarkan hal- hal yang baik dan luhur kepada para pemeluknya. Namun demikian, setiap ajaran agama juga mengandung unsur- unsur yang dapat ditafsirkan secara berbeda bagi para pemeluknya. Hal ini terjadi karena kesalahan manusia semata. Sebagaimana diketahui bahwa manusia selalu menafsirkan apa yang ada disekitarnya. Karena adanya berbagai penafsiran dalam memahami ajaran agama, tentu ada dampak- dampak terhadap perilaku keagamaan seseorang.[42] Sebagai akibat muncul suatu konflik sebagaimana contoh di bawah ini:
1)      Adanya bentrok di kampus Sekolah Tinggi Theologi Injil Arastamar (SETIA) dengan masyarakat setempat hanya karena kesalahpahaman akibat kecurigaan masyarakat setempat terhadap salah seorang mahasiswa SETIA yang dituduh mencuri, dan ketika telah diusut Polisi tidak ditemukan bukti apapun. Ditambah lagi adanya preman provokator yang melempari masjid dan masuk ke asrama putri kampus tersebut. Dan bisa ditebak, akhirnya meluas ke arah agama, ujung-ujungnya pemaksaan penutupan kampus tersebut oleh masyarakat sekitar secara anarkis.
2)      Perbedaan pendapat antar kelompok – kelompok Islam seperti FPI (Front Pembela Islam) dan Muhammadiyah.
3)      Perbedaan penetapan tanggal hari Idul Fitri, karena perbedaan cara pandang masing – masing umat.[43]
Adapun penyebab konflik yang terjadi di Indonesia antara lain adalah sebagai berikut:
1)      Sikap Fanatisme
Di kalangan Islam, pemahaman agama secara eksklusif juga ada dan berkembang. Bahkan akhir-akhir ini, di Indonesia telah tumbuh dan berkembang pemahaman keagamaan yang dapat dikategorikan sebagai Islam radikal dan fundamentalis, yakni pemahaman keagamaan yang menekankan praktik keagamaan tanpa melihat bagaimana sebuah ajaran agama seharusnya diadaptasikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. 
Mereka masih berpandangan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan dapat menjamin keselamatan menusia. Jika orang ingin selamat, ia harus memeluk Islam. Segala perbuatan orang-orang non-Muslim, menurut perspektif aliran ini, tidak dapat diterima di sisi Allah.[44] Perilaku fanatik tersebut dapat menimbulkan perpecahan di masyarakat dan dapat merusak tatanan yang telah terbina dengan baik, selain hal tersebut fanatisme juga bisa dapat menjadikan anarkisme dalam perilaku sosial.
2)      Merasa agama paling benar
Sikap yang menganggap bahwa ajaran agamanyalah yang paling benar, paling agung diantara yang lain. Sikap seperti ini, maka akan mnimbulkan gerakan sosial yang bersifat keagamaan dengan tujuan untuk memperbaharui masyarakat secara moral. Orang yang berperilaku demikian adalah orang yang sombong, perilaku yang demikian sangat bertentangan dengan yang diajarka oleh agamanya. Tidak ada satupun agama yang mengajarkan orang untuk meremehkan orang lain dan juga kepercayaannya.[45]

Dari kajian berbagai disiplin dan pendekatan, tampaknya ada kesamaan pandangan bahwa segala macam krisis berpangkal dari krisis akhlak atau moral. Anehnya krisis ini oleh beberapa pihak antara lain disebabkan karena kegalalan pendidikan agama.[46] Azra berpendapat  bahwa tinggi rendahnya tingkat kriminal (seperti korupsi) tidak banyak terkait dengan agama, tetapi justru disebabkan karena lemahnya hukum penegakan hukum, kurang adanya keteladana dari pejabat- pejabat untuk memberantas korupsi atau pentakit sosial lainnya. Karena itu tidak adil bila orang secara simplistis mengkambinghitamkan agama. Dalam hal ini dijelaskan bahwa kegiatann pendidikan di sekolah, tidak pernah bebar dari nilai. Isi dan materi kurikulum yang diberikan kepada siswa pun secara implisit akan memuat transmisi nilai yang terwujud sebagai bagian dari kurikulum formal maupun melalui kurikulum tersembunyi. Karena itu pada dasarnya pendidikan sekolah harus selalu mengajarkan nilai- nilai, baik direncanakan atau tidak.[47]
Fenomena yang seperti ini merupakan tantangan yang perlu dijawab bagi PTAI  melalui desain program pendidikannya.[48] Apa yang harus diperbuat terhadap para peserta didik dalam rangka mengantarkan mereka agar mampu mewujudkan masyarakat madani.[49] PTAI sebagai perguruan tinggi islam perlu mengantisipasi fenomena tersebut, dengan cara menawarkan model- model pendidikan yang sekiranya mampu mencegah dan mengatasi fenomena semacam itu. Era globalisasi menuntut adanya perubahan paradigma dalam memandang peserta didik, guru dan sekolah. Mereka dipandang terglobalisasi, teralokasi dan terindividualisasi. Untuk bertahan hidup di era globalisasi mereka harus mengembangkan kemampuan ganda yaitu etos kerja, melek teknologi, melek ilmu pengetahuan, melek ilmu sosial, melek ilmu politik dan melek budaya.[50]
Keenam kemampuan tersebut harus diaktualisasikan dengan ketiga rangkaian tersebut. Implikasi utama dari individualisasi adalah harus meningkatkan motivasi, inisiatif dan kreativitas peserta didik dan guru dalam persekolahan. Degan cara mendesaian dan menggunakan target serta mendorong peserta didik dan guru untuk belajar sendiri serta dapat mengembangkan kecerdasan ganda yang terkontekstualisasika dari peserta didik. Implikasi dari lokalisasi pendidikan adalah meningkatkan relevansi dikungan masyarakat dan inisiatif dalam pembelajaran dari lokal. Implikasi globalisasi adalah meningkatkan ,kesesuaian, dukungan, sumber- sumber intelektual dan inisiatif serta belajar- mengajar dari dunia global.[51]
Uraian di atas menggarisbawahi adanya titik sentral dalam pengembangan program pendidikan, yaitu mengembangkan enam kemampuan yang dikaitkan dengan kebutuhan individi, likal dan global. Penyiapan calon PTAI perlu mempertimbangkan dimensi- dimensi tersebut terutama dalam pengembangan kurikulum. Tuntutan tersebut merupakan perwujudan dan pandangan dasar bahwa peserta didik adalah makhluk belajar, ekonomi sosial, politik dll, harus mampu mengembangkan keenam kemampuan tersebut yang dikaitkan posisinya sebagai individu, malsyarakat, maupun warga negara. Bertolak dari landasan tersebut diatas, maka kegiatan kegiatan pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat akan selalu diwarnai oleh semangat Ulul Albab guna mengantisipasi tantangan dan kebutuhan- kebutuhan global.[52]

Sehubungan dengan di atas, maka para pengembang kurikulum dalam melaksanakan tugasnya harus melakukan hal- hal sebagai berikut:
a.       Mempelajari dan memahami kebutuhan masyarakat.
b.      Menganalisis budaya masyarakat tempat sekolah berada
c.       Menganalisis kekuatan serta potensi- potensi daerah
d.      Menganalisis syarat dan tuntutan tenaga kerja.
e.       Dan menginterpretasikan kebutuhan individu dalam kerangka kepentingan masyarakat.[53]

C.    Analisis Landasan Empiris Dalam Pengembangan Kurikulum PAI
berdasarkan pemaparan yang telah pemakalah jelaskan di atas, mengenai landasan empiris, bahwasanya dalam mengembangkan kurikulum harus ada suatu landasan. Dimana landasan tersebut tidak hanya secara fondasional tetapi juga secara empris. Dalam hal ini pemakalah akan menganalisis landasan empiris dalam pengembangan kurikulum, agar dari analisis ini bisa menjadi rekomendesi dalam pengembangan kurikulum, khususnya di PAI sendiri.
Adapun landasan empiris dalam pengembangan kurikulum PAI berdasarkan problem- problem yang ada baik itu problem negara yang berkaitan dengan tingkat kriminal seperti korupsi dan maraknya media sosial dimana dalam hal ini banyak orang- orang menyalahgunakannya bahkan ada yang menghina antara yang satu dengan yang lain. Dimana ada sebagian orang yang berpendapat bahwa adanya korupsi disebabkan kurangnya moral para pejabat yang disebabkan kegagalan dari pendidikan islam. Tetapi dalam dunia pendidikan sendiri khususnya pendidikan islam juga mengalami suatu problem dalam pelaksanaannya, baik itu problem yang berhubungan dengan pembelajaran maupun termasuk pelaku pendidikan tersebut. Tidak hanya problem tersebut tetapi di indonesia ini sendiri juga mengalami krisis toleransi antar umat beragam maupun sesama agama. Hal itu ditandai dengan adanya sikap fanatik terhadap agama atau aliran sendiri. Yang ujung- ujungnya akan melahirkan peperangan.
Fenomena seperti yang dijelaskan diatas merupakan suatu pelajaran bagi negara khususnya bagi para PTAI karena dengan berkaca pada fenomena tersebut maka, perguruan tinggi islam dapat mendesain dan mentarget peserta didik dengan mengembangkan kemampuan ganda ( etos belajar, melek teknologi, melek ilmu ekonomi, melek ilmu politik, melek ilmu sosial, dan melek budaya) serta mereka dapat mengaktualisasikan dalam kehidupan nyata.
Uraian di atas menggarisbawahi betapa pentingnya keenam kemampuan di atas dalam pengembangan pendidikan. Dengan cara mengembangkan enam kemampuan diatas dengan kebutuhan individu, masyarakat maupun negara. Para calon PTAI harus mampu mengembangkan kemampuan tersebut dalam tujuannya mengembangkan kurikulum. Calon PTAI juga harus mampu mengaitkan bahwa peserta didik juga merupakan bagian dari masyarakat maupun negara, maka dari hal itu peserta didik dalam melakukan kegiatan pendidikan, mereka akan diwarnai dengan rasa tanggung jawab dan semangat ulul albab.
Dengan semangat ulul albab dalam mencari ilmu pengetahuan melalui sumbernya yang khas islami, yaitu wahyu (al-Qur’an dan al-Sunnah), alam semesta (al-afāq), diri sendiri (al-anfus) dan sejarah. Sedangkan metode yang ditempuh melalui pengetahuan inderawi, pengetahuan akal dan pengetahuan intuisi (ilham). Jika dikaji dalam berbagai surat dan ayat dalam al-Qur’an tersebut, maka ulǔ al-albāb adalah sosok yang memiliki kualifikasi spiritual, moral dan intelektual.[54]
Dengan pendidikan yang berlandaskan pada ulul albab, maka di harapkan pendidikan tidak hanya berupa pengetahuan semata, tetapi dengan ulul albab maka dalam mencari ilmu pengetahuan akan diwarnai atau berciri khas keislaman.
D.    Rekomendasi
Berdasarkan uraian tentang landasan pengembangan kurikulum dan analisis di atas maka, pemakalah disini merekomendasikan, bahwa dalam landasan pengembangan kurikulum PAI, maka di landaskan kembali ke pada hal- hal yang islami yakni kembali kepada pendidikan yang ulul albab, dimana pendidikan ulul albab sebagaimana yang telah di jelaskan pada analisis bahwa pendidikan ulul albab kembali pada wahyu (al-Qur’an dan al-Sunnah), tetapi tidak hanya al-quran dan hadits, tetapi juga alam semesta (al-afāq), diri sendiri (al-anfus) dan sejarah merupakan bagian dari ulul albab. Berdasarkan hal itu maka dalam melandaskan pengembangan kurikulum PAI harus di landaskan dengan sikap ulul albab. Karena dengan dilandaskan sikap ulul albab, maka dalam landasan pengembangan kurikulum PAI akan di warnai sikap islami, yang tidak hanya dalam intelektual, tetapi juga pembentukan moral dan spiritual.
E.     Kesimpulan
1.      Dalam mengembangkan kurikulum pendidikan agama islam membutuhkan suatu landasan atau dasar yaitu berupa landasan fundasional maupun empiris.
2.      Landasan empiris merupakan landasan yang berdasarkan pada kenyataan yang ada di lapangan. Seperti contoh problem negara dan bangsa, problem pelaksanaan PAI dan problem ummat.
3.      Hasil dari lapangan akan menjadi suatu kajian yang sangat penting kemudian oleh para pengembang kurikulum dianalisis sehingga dari analisa akan menghasilkan rekomended kurikulum untuk mengembangkan PAI.
4.      Berdasarkan uraian dari penjelasan di atas, maka disini pemakalah merekomendasikan bahwa dalam landasan empiris pengembangan kurikulum PAI, maka harus di sertai dengan sikap ulul albab. Dimana dalam pendidikan ulul albab tidak hanya intelektual tetapi juga ada pembentukan moral dan spiritual di dalamnya.













Daftar Pustaka
Arifin, M, 2011, Ilmu Pendidkan Islam, Jakarta: P.T. Bumi Aksara.

Hamalik, Oemar, 2007, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara.

Hermanto, Idan, 2010, Antropologi: Pendamping Dan Pengkayaan Siswa Hebat Jogjakarta: Tunas  Publishing.

Leonard, Alboin PS, Skripsi Penggunaan Media Sosial Sebagai Eksistensi Diri (Studi Deskriptif Kualitatif Penggunaan Media Sosial Untuk Eksistensi Diri pada Mahasiswa FISIP UNS Tahun Ajaran 2015/2016) Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta 2016


Majid, Abdul, Andayani, Dian, 2004, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi: Konsep Dan Implementasi Kurikulum 2004 (Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Muhaimin, 2003, Arab Baru Pengembangan Pendidikan: Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum Hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan, Bandung: Nuansa.

                , 2010. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010.

                , 2011, Pemikiran Dan Aktualisasi Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

                , 2013, Rekonstruksi Pendidikan Islam, akarta: PT Raja Grafindo Persada.

                , 2014, Pengembangan Kurikulumpendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah Dan Perguruan Tinggi, Jakarta: Rajawali Pers.

Mujtahid, 2010, Reformasi Pendidikan Islam Meretas Mindset Baru Meraih Peradaban Unggul, Malang: UIN Malang Press.

Nasution, M, 2006, Kurikulum Dan Pengajaran, Jakarta: PT Bumi Aksara.

Pidarta, Made, 2013, Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta.

Sanjaya, Wina, 2010, Kurikulum Dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan KTSP, akarta: Kencana.

Subandijah, 1993, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

 UU RI. No. 20 Tahun 2003, 2014, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bandung: Citra Umbara.










[1] M. Arifin, Ilmu Pendidkan Islam (Jakarta: P.T. Bumi Aksara, 2011), hal. 1.

 [2] UU RI. No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Bandung: Citra Umbara, 2014), hal. 1-2.

[3] Kurikulum merupakan suatu rencana yang disusun untuk melancarkan prosese belajar- mengajar di bawah bimbingan dan tanggung jawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya. Sejumlah ahli teori berpendapat bahwa kurikulum bukan hanya meliputi semua kegiatan yang direncanakan melainkan juga peristiwa- peristiwa yang terjadi dibawah pengawasan sekolah, baik kurikuler yang formal maupun kurikuler yang tak formal, Lihat Nasution, Kurikulum Dan Pengajaran ( Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006) Cet. 4, hal. 5.

[4] Subandijah mengatakan apabila pendidikan dipandang sebagai alat tujuan pendidikan, maka kurikulum dalam kedudukannya harus memiliki sifat anticipatory, bukan hanya ksebagai reportorial. Hal ini berarti bahwa kurikulum harus dapat meramalkan kejadian di masa yang akan datang, tidak hanya melaporkan keberhasilan belajar peserta didik, Lihat Subandijah, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), cet. 1, hal. 3.

[5] Kurikulum sebagai suatu rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang cukup sentral dalam seluruh kegiatan pendidikan, dimana kurikulum menentukan proses pelaksanaan dan hasil pendidikan, Lihat Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2016), Cet. 19, hal. 38.

[6] Lihat Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), Cet. 6, hal. 19.

[7] Seller mengemukakan bahwa pengembangan kurikulum adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terus- menerus. Adapun kebijakan umum  menurut seller misalnya arah dan tujuan pendidikan, pandangan tentang hakikat belajar dan hakikat anak didik, pandangan tentang keberhasilan implementasi kurikulum, lihat Wina Sanjaya, Kurikulum Dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan KTSP (Jakarta: Kencana, 2010), Cet. 3, hal. 32- 33.

[8] Made Pidarta, Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), Cet. 3, hal. 42.

[9] Definisi empiris menurut para ahli, http://www.definisimenurutparaahli.com/pengertian-empiris-dan-contohnya, di akses pada hari kamis tanggal 02 maret 2017 pukul 05: 59.
[10] Muhaimin menjelaskan bahwa human capital yakni SDM yang menguasai IPTEK, dapat mengerjakan tugas secara professional, serta berperilaku dan berpribadi mandiri. Sedangkan social capital adalah trust (sikap amanah) atau masyarakat yang saling percaya dan bisa dipercaya. Zero trust society adalah masyarakat yang sulit dipercata, lihat Muhaimin, Pengembangan Kurikulumpendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah Dan Perguruan Tinggi (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), Cet. 6, hal. 240.

[11] Lihat Indra Gunawa, https://indragunawan0605.wordpress.com/2013/11/20/dampak-korupsi-bagi-perekonomian-indonesia, hari jumat 03 maret 2017 pukul 07:48. Selama ini penyebab runtuhnya ekonomi Indonesia yang disebabkan oleh korupsi kurang mendapat tekanan. Hasil analisanya menunjukkan bahwa korupsi berdampak negatif terhadap tingkat investasi dan pertumbuhan ekonomi. Artinya semakin tinggi tingkat korupsi suatu negara, semakin rendah pula pertumbuhan ekonominya. Dibuktikan dalam analisanya yaitu bila ada perbaikan indeks korupsi satu poin saja, maka laju investasi meningkat lebih dari 4% dan laju pertumbuhan ekonomi naik menjadi lebih dari 0.5%. Kemudian analisa empiris lainnya yang dilakukan Alberto Alesina dkk (1999) dalam Do Corrupt Government Receive Less Foreign Aid? menunjukkan bahwa laju penanaman modal asing terealisasi yang masuk ke suatu negara akan menurun dengan semakin meningkatnya korupsi di negara tersebut. Budisantoso,lihathttp://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/blob/F22503/Korupsi%20dan%20Ekonomi%20Nasional.htm.

[12] lihat Muhaimin, Pengembangan Kurikulumpendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah Dan Perguruan Tinggi …, hal. 241.

[13] Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013) Cet. 2, hal. 16.

[14] lihat Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan KTSP …, hal. 59.

[16] Menurut Andreas Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan media sosial sebagai sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang dibangun di atas dasar ideology dan teknologi web 2.0 dan memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content. Web 2.0 menjadi platform dasar media sosial. Media sosial ada dalam berbagai bentuk yang berbeda, termasuk sosial network, forum internet, weblogs, sosial blogs, micro blogging, wikis, podcasts, gambar, video, ratting, dan bookmark
Sosial. Lihat Lihat Skripsi Alboin Leonard PS, Penggunaan Media Sosial Sebagai Eksistensi Diri (Studi Deskriptif Kualitatif Penggunaan Media Sosial Untuk Eksistensi Diri pada Mahasiswa FISIP UNS Tahun Ajaran 2015/2016) Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta 2016. Hal. 9.

[17] Lihat Skripsi Alboin Leonard PS, Penggunaan Media Sosial Sebagai Eksistensi Diri (Studi Deskriptif Kualitatif Penggunaan Media Sosial Untuk Eksistensi Diri pada Mahasiswa FISIP UNS Tahun Ajaran 2015/2016) Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta 2016. Hal. 8- 9.

[18] Merupakan situs sosial yang saat ini menduduki peringkat pertama dengan menggunakan sistem satu arah. Dengan menekan tombol follow, kita dapat melihat pembaharuan (update) status dari mereka yang kita ikuti (follow). Lihat Abdillah Yafi Aljawiy, Ahmad Muklason, Jejaring Sosial Dan Dampak Bagi Penggunanya, Jurusan Sistem Informasi, Fakultas Teknologi Infomasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember. 10 Mei 2017 Pukul 05: 53.

[19] Facebook merupakan situs jejaring sosial yang aplikatif.[2] Facebook menyajikan gambaran akan hal-hal yang menarik, adanya pemberitahuan baru atau notifikasi, ruang untuk mengobrol langsung (chatting), unggah foto/video, dan mengirimkan pesan kepada pengguna lain di saat pengguna lain tersebut sedang diluar jaringan (offline). Lihat Abdillah Yafi Aljawiy, Ahmad Muklason, Jejaring Sosial Dan Dampak Bagi Penggunanya, Jurusan Sistem Informasi, Fakultas Teknologi Infomasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember. 10 Mei 2017 Pukul 05: 53.

[20] Blog merupakan singkatan web + log, yaitu sejenis website pribadi yang dapat digunakan untuk menuliskan suatu pesan atau informasi secara terus- menerus dan mempublikasikannya. Blog dapat beruapa berita atau artikel yang nantinya akan tersu diperbaharui. Dalam satu blog dapat berisi bermacam- macam artikel yang dikelompokkan dalam suatu kategori atau hanya terdiri atas  satu jenis kategori saja. Lihat https://abdulkaharkimia.files.wordpress.com/2013/12/jurnal-novia-ika.pdf, Rabu 10 Mei 2017 Pukul 06: 14.

[22] Mujtahid menjelaskan tarbiyah adalah proses pembinaan dan pengembangan potensi manusia melalui pemberian petunjuk yang dijiwai oleh wahyu ilahi. Ta’lim tidak hanya berhenti pada pengetahuan yang bersifat lahiriah akan tetapi meliputi pengetahuan yang  yang teoritis, mencakup pula aspek pengetahuan alam, social serta keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Sedangkan ta’dib adalah memberi adab atau mendidik. Mujtahid, Reformasi Pendidikan Islam Meretas Mindset Baru Meraih Peradaban Unggul (Malang: UIN Malang Press, 2010), hal. 2.

[23] Lihat Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Msekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi ..., hal. 74.

[24] Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi: Konsep Dan Implementasi Kurikulum 2004 (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006) Cet. 3, hal. 130.

[25] Insan kamil merupkan suatu tujuan yang mengarah pada dua dimensi sekaligus yaitu sebagai hamba allah dan sebagai wakil allah di muka bumi. karena itu maka pendidikan islam harus mampu merefleksikan ilmu pengetahuan dan perilaku rasulullh. Mujtahid, Reformasi Pendidikan Islam Meretas Mindset Baru Meraih Peradaban Unggul …, hal. 13.

[26] Ibid ..., hal. 14.

[27] Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Metafisika, Metafisika adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan proses analitis atas hakikat fundamental mengenai keberadaan danrealitas yang menyertainya. Kajian mengenai metafisika umumnya berporos pada pertanyaan mendasar mengenai keberadaan dan sifat-sifat yang meliputi realitas yang dikaji. Pemaknaan mengenai metafisika bervariasi dan setiap masa dan filsuf tentu memiliki pandangan yang berbeda. Secara umum topik analisis metafisika meliputi pembahasan mengenai eksistensi, keberadaan aktualdan karakteristik yang menyertai, ruang dan wakturelasi antar keberadaan seperti pembahasan mengenai kausalitasposibilitas, dan pembahasan metafisis lainnya. Di akses pada hari jumat tanggal 03 maret 2017 pukul 20:22.

[28] Muhaimin  menjelaskan bahwa budaya modern memiliki ciri antara lain menggunakan akal sebagai alat pencari kebenaran, manusia semakin materialis yaitu menolak yang spiritual, manusia semakin individualis, keempat pragmatisme yaitu bahwa yang benar iala yang berguna dan yang berguna biasanya bernuansa fisik atau material. Dan yang kelima adalah hedonisme yang mengajarkan bahwa yang benar adalah sesuatu yang menghasilkan kenikmatan. Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam ..., hal. 242- 245.

[29] Lihat Muhaimin, Pemikiran Dan Aktualisasi Pendidikan Agama Islam ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011) Cet. 1, hal. 156.

[30] Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi: Konsep Dan Implementasi Kurikulum 2004 …, hal. 166.

[31] Lihat Muhaimin, Pemikiran Dan Aktualisasi Pendidikan Agama Islam ..., hal. 156- 159.

[32] Lihat Majid dan Dian Andayani yang menjelaskan Hal ini sesuai dengan apa yang dijelaskan piaget bahwa siswa yang berada pada rentang usia 7- 18 tahun berada pada operasional konkret dan operasional formal, usia 7- 11 tahun kemampuan berfikir siswa mulai logis, usia 11- 15 tahun ditandai dengan munculnya pola pikir orang dewasa. Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi: Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004 …, hal. 167.

[33] Ibid ..., hal. 178.

[34] Lihat Muhaimin, Pemikiran Dan Aktualisasi Pendidikan Agama Islam ..., hal. 99. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidikan untuk guru dan dosen.Sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional. Undang- undangtentanggurudandosenpasal1,lihatdihttp://sindikker.dikti.go.id/dok/UU/UUNo142005(Guru%20&%20Dosen).pdf, pada minggu 05 maret 2017, pukul 09:01

[35] Ibid ..., hal. 195- 195.

[36] Lihat Muhaimin, Arab Baru Pengembangan Pendidikan: Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum Hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan (Bandung: Nuansa, 2003) Cet. 1, hal. 73- 74. Muhaimin menjelaskan bahwa teknologi pembelajaran adalah suatu proses yang kompleks dan terpadu yang melibatkan orang, prosedur, ide, peralatan dan organisasi untuk menganalisis masalah, mencari cara pemecahan masalah, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengelola pemecahan masalah dalam situasi dimana kegiatan belajar mempunyai tujuan dan kontrol.

[37] Ibid ..., hal. 89.

[38] Lihat Muhaimin,  Rekonstruksi Pendidikan Islam ..., hal. 309. Adapun aktor sekolah menurut penjelasan muhaimin adalah kepala solah. Guru, tenaga kependidikan lainnya, wali murid serta peseta didik.

[39] Lihat Muhaimin, Pemikiran Dan Aktualisasi Pendidikan Agama Islam ..., hal. 137- 138.

[40] Lihat Muhaimin,  Arab Baru Pengembangan Pendidikan: Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum Hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan ..., hal 136.

[41] Ibid ..., hal. 137.

[42] Idan Hermanto, Antropologi: Pendamping Dan Pengkayaan Siswa Hebat (Jogjakarta: Tunas  Publishing, 2010) Cet. 1, hal. 62.

[43] Lihat http://erlanggasetyaalam.blogspot.co.id/2015/01/konflik-agama-di-indonesia.html, hari minggu tanggal 05 maret 2017 pukul 21:23.

[45] Idan Hermanto, Antropologi: Pendamping Dan Pengkayaan Siswa Hebat ..., hal. 64- 65.

[46] Lihat Muhaimin, Rekonstruksi Pendidkan Islam ..., hal. 54.

[47] Ibid ..., hal. 55.

[48] Made Pidarta menjelaskan bahwa tujuan pendidikan di indonesia tertulis pada undang- undang republik indonesia nomor 20 tahun 2003  tentang sistem pendidikan nasional beserta peraturan pemerintah yang beratlian dengan pendidikan pasal 26 ayat 4 tentang tujuan pendidikan tinggi yang mengatakan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang: berakhlak mulia, memiliki pengetahuan, terampil, mandiri dan mampu menemukan, mengembangkan dan menerapkan ilmu teknologi srta seni yang bermanfaat bagi kemanusiaan. Lihat Made Pidarta, Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia ..., hal. 12- 14.

[49] Muhaimin menjelaskan masyarakat madani adalah masyarakat yang memilki pribadi yang cerdas dan berakhlak mulia, yang dapat berdiri sendiri dan bekerjasama dengan orang lain untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera dan penuh sikap amanah.Lihat Muhaimin, Pengembangan Kurikulumpendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah Dan Perguruan Tinggi…, hal. 241.

[50] Muhaimin menjelaskan bahwa etos belajar menyangkut kemampuan belajar serta berfikir secara kritis dan kreatif. Melek teknologi berkaitan dengan kemampuan berfikir, memanaje secara teknologis serta memaksimalkan pemanfaatan teknologi yang bermacam- macam. Melek ekonomi kemampuan yang berhubungan bagaimana memanaje secara ekonomis dan memaksimalkan berbagai sumber yang bervariasi. Melek ilmu sosial berkaitan dengan kemampuan berfikir dan memanaje secara sosial dalam mngembangkan hubungan yang harmonis. Melek ilmu politik berkaitan cara berfikir dan memanaje secara politisi dan melek budaya berkaitan berfikir dan bertindak secara kultur, serta mengoptimalkan aset kultural serta mengkreasi nilai- nilai baru. Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Msekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010) Cet. 4, hal. 242.

[51]  Ibid …, hal. 243.

[52] Ibid ..., hal. 244.
[53] lihat Wina Sanjaya, Kurikulum  dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan KTSP …, hal. 61.

No comments:

Post a Comment