Friday, May 5, 2017

PENDEKATAN FAZLUR ROHMAN DALAM MAJOR THEMES OF THE QUR’AN

PENDEKATAN FAZLUR ROHMAN DALAM MAJOR THEMES OF THE QUR’AN
Oleh:
YOVI NUR ROHMAN (16771009)
Magister Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

A.  DASAR PEMIKIRAN

Al-Quran adalah kitab suci yang akan selalu ditafsirkan, terutama dalam ayat-ayat yang masih bersifat mujmal (Global). Al-Quran memberikan kesempatan yang luas bagi umat Islam untuk menggali ilmu pengetahuan didalamnya. Telah banyak  Ilmuan muslim yang muncul dan mencoba menerapkan sebuah metode dan pendekatan yang berbeda-beda dalam menafsitri al-Quran. Misalnya, Muhammad Abduh, Hasan Hanafi, Rosyid Ridho, Fazlur Rahman seperti yang akan dibahas dalam makalah ini.
Fazlur Rahman (1332 H./1919 M. – 1408 H./1988 M.), dikenal sebagai salah seorang tokoh intelektual Islam modern yang tergolong briliant. Kecerdasannya tercermin dari berbagai gagasan yang dia tuangkan dalam sejumlah buku dan artikel, mulai dari persoalan filsafat, teologi, tasawuf, hukum, sampai pada perkembangan Islam kontemporer. Sehubungan dengan tantangan kehidupan modern, rupa-rupanya membuat Fazlur Rahman berpikir keras dalam menemukan ‘resep’ yang mampu mengatasi problem yang muncul, dan menyadarkannya untuk mengkaji ulang beberapa pandangan yang mentradisi di kalangan umat Islam, tetapi terkesan kurang akomodatif bahkan ‘sulit’ ketika berhadapan dengan perkembangan kehidupan modern. Dalam konteks ini, Fazlur Rahman hadir dengan tawaran pemikiran dan rumusan metodologi bagaimana al-Qur’an sebaiknya dipahami sehingga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya selalu aktual dan relevan dengan isu-isu dan problem yang dihadapi umat Islam.
Melalui bukunya The Major Themes of Qur’an, Fazlur Rahman mencoba menawarkan sebuah pendekatan yang baru dalam menafsiri Al-Quran. Dalam buku tersebut Fazlur Rahman membagi tema-tema pokok al-Quran menjadi 8 bagian yang akan dijelaskan dengan pendekatan-pendekatan yang beliau rumuskan. Dalam makalah ini penulis berusaha menjabarkan pendekatan Fazlur Rahman dalam bukunya The Major Themes of Al-Quran.

B.  PEMBAHASAN

1.    Biografi Fazlur Rahman

Fazlur Rahman lahir di Hazara, kini menjadi bagian dari Pakistan, pada 21 September 1919.[1] Beliau adalah seorang pemikir modernis-kontemporer Islam yang dicatat sejarah pada penghujung abad kedua puluh. Ayah Fazlurrahman bernama Maulana Syahab al Din, seorang ulama terkenal lulusan madrasah Deoband (sebuah lembaga yang mengkaji tentang pemahaman islam salafi yang fokus pada Fiqih, Ilmu Kalam, Hadits, Tafsir, dan yang lainnya) lembaga  tersebut didirikan oleh Muhammad Qasim Nanotawi pada tahun 1867. Meskipun Maulana Syahab al-Din berpendidikan agama tradisional, akan tetapi ia sangat menghargai sistem pendidikan modern.
Ayahnya Maulana Shihabudin adalah alumni  dari  sekolah menengah terkemuka di  India,  Darul  Ulum Deoband . Meskipun Fazlur Rahman tidak belajar di Daril Ulum, ia menguasai kurikulum Dares Nijami yang ditawarkan  di  lembaga  tersebut  dalam kajian  privat  dengan  Ayahnya,  ini  melengkapi  latar  belakangnya  dalam memahami islam tradisional dengan perhatian khusus pada fikih, Ilmu kalam, Hadits, Tafsir, Mantiq, dan Filsafat.
Rahman masa kecil hidup dalam suasana yang kental dengan tradisi madzhab Hanafi, sebuah madzhab Sunni yang akomodatif dalam penggunaan rasionalitas, dibandingkan dengan tiga madzhab Sunni lainnya.[2] hal inilah yang menjadikan pemikiran beliau lebih mementingkan pemikiran yang rasional.
Pada tahun 1933, Fazlur Rahman melanjutkan pendidikannya di sebuah sekolah modern di Lahore. Selain mengenyam pendidikan formal, Fazlur Rahman pun mendapatkan pendidikan atau pengajaran tradisinonal dalam kajian-kajian keislaman dari ayahnya, Maulana Syahab al Din. Materi pengajaran yang diberikan ayahnya ini merupakan materi yang ia dapat ketika menempuh pendidikan di Darul Ulum Deoband, di wilayah utara India. Ketika berumur empat belas tahun, Fazlur Rahman sudah mulai mempelajari filsafat, bahasa Arab, teologi atau kalam, hadis dan tafsir.
Setelah menamatkan pendidikan menengah di madrasah, Ia melanjutkan studinya di Departemen Ketimuran, Universitas Punjab. Pada tahun 1940 ia menyelesaikan program Bachelor of Art (BA)dua tahun kemudian yakni tahun 1942, ia berhasil meraih gelar MA, dalam sastra Arab. Sekalipun ia terdidik dalam lingkungan pendidikan Islam tradisional, sikap kritis mengantarkan jati dirinya sebagai seorang pemikir yang berbeda dengan kebanyakan alumni madrasah. Sikap kritis yang menggambarkan ketidakpuasan terhadap sistem pendidikan tradisional, terlihat dari keputusannya studi ke Barat untuk memperoleh gelar Philosphy Doctor (Ph.D) di Oxford University, Inggris. Pada tahun 1946, satu tahun sebelum Pakistan mendeka ia berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya di Oxford University. Keputusannya merupakan awal sikap kontroversi Rahman. Keputusannya untuk melanjutkan studi Islamnya ke Barat, Oxford, bukan tanpa alasan yang kuat. Kondisi obyektif masyarakat Pakistan belum mampu menciptakan iklim intelektual yang solid.
Pada tahun 1950-1958 dia menjadi dosen dalam mata kuliah Bahasa Persia dan Filsafat Islam di Universitas Durham. Kemudian pada tahun 1958 Fazlur Rahman ditunjuk sebagai ketua Institut dalam pendidikan Islam di Universitas McGill, Monteral, Kanada, dia mengemban amanah itu sampai tahun 1961. Pada tahun 1962 dia dinamai sebagai direktur pada lembaga pusat kajian Islam Pakistan, dan itu dia emban sampai tahun 1968. Pada Tahun 1969, dia diberi gelar profesor dalam pemikiran Islam oleh Universitas Chicago, dan tahun 1987 dia diberi gelar Profesor kehormatan karena kontribusinya dalam ilmu pengetahuan. Fazlur Rahman, Pengarang 10 buku dan ratusan artikel membuat dia menerima penganugrahan Levi Delia Veda yang diselenggarakan oleh UCLA.[3]
Usaha-usaha untuk melakuakan perubahan pemikiran Islam dengan merumuskan metodologi tafsir juga mulai digeluti Rahman. Akan tetapi hampir seluruh pandangannya mendapat resistensi yang sangat keras dari para ulama konservatif dan bahkan Rahman nyaris dibunuh. Beberapa pengamat menilai bahwa penolakan terhadap pemikiran Rahman bersifat politis di mana penolakan itu sebenarnya ditujuakan kepada rezim Ayyub Khan yang dipandang sangat otoriter. Melihat kondisi itu, Rahman akhirnya hengkang dari pakistan. Pada 1968 ia hijrah dari Pakistan ke Chicago, Amerika Serikat dan menetap di sana hingga wafatnya pada tahun 1988.[4]
Beberapa karya-karya yang pernah ditulis oleh Fazlur Rahman, antara lain:
a.    Buku Fazlur Rahman
1)   am Is l996.
2)   Islamic Methodology in History 1965.
3)   Prophecy in Islam.
4)   Major Themes of The Qur’an ( 1980 ).
5)   The Philosophy of Mulasadra.
6)   Islam and Modernity Transformative of on Intelektual Tradition ( 1982 ).
b.    Artikel Fazlur Rahman :
1)   Some Islamic Issues In the Ayyub Khan Era.
2)   Islamic Challenges and Opportunist.
3)   Forwards Reformulating The Methodology of Islamic Law : Syaikh Yamani on Public Interest in Islamic Low.
4)   Islam Legacy and Contemporary Challenges
5)   Islam in The Contemporary World
6)   Root of Islamic Neo Fundamentalism.
7)   Change and The Muslim World.
8)   The Impact of Modernity on Islam.
9)   Islamic Modernism It’s Scope, Method and Alternative.
10)    Divines Revelation and The Prophet.
11)    Interpreting the Qur’an.
12)    The Qur’anic Concept of God, the Universe and Man.
13)    Some Key Ethical Concept of the Qur’an.[5]

2.    Macam-macam Pendekatan Fazlur Rahman dalam menafsiri Al-Quran

Fazlur Rahman adalah seorang tokoh pemikir Islam yang juga terkenal dengan metode hermeneutikanya dalam menafsiri al-Quran. Didalam metode hermeneutika yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman beliau menawarkan pendekatan hermeneutik yang telah beliau rumuskan. Hal ini berimplikasi terhadap Metodologi tafsir al-Qur’an Fazlur Rahman dinisbatkan dengan hermeneutika, bukan tafsir atau ta’wil dalam pengertian konvensional, sebagaimana yang lazim digunakan oleh para mufasir. Rahman sendiri tidak pernah mengklaim jenis hermeneutika yang dianutnya. Namun karena teori interpretasinya menampakkan sesuatu yang baru dan progresivitas, para pengamat menggolongkan dalam kajian hermeneutika.  Ada tiga kata kunci dalam memahami hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman, yakni pendekatan sosio-historis, teori gerakan ganda, dan pendekatan sintetis-logis.
Dari ketiga kata kunci diatas, langkah prosedural Rahman dapat diringkas menjadi 2 bagian: pertama, pentingnya pendekatan histori sembari memperbaiki aspek sosiologinya  yang kemudian disingkat menjadi pendekatan sosio histori  dalam memahami ayat-ayat Al Qur’an, khususnya yang berkaitan dengan masalah social;kedua, pentingnya pembedaan antara ketetapan legal spesifik dengan tujuan atau “Ideal Moral” Al – Qur’an yang kemudian disebut dengan teori double Movement atau gerakan ganda.[6]
a.       Pendekatan Sosio Historis
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah melihat kembali sejarah yang melatari turunnya ayat. Ilmu asbabun nuzul sangat penting dalam hal ini. Atas dasar apa dengan motif apa suatu ayat diturunkan akan terjawab lewat pemahaman terhadap sejarah. Pendekatan historis hendaknya dibarengi dengan pendekatan sosiologis, yang khusus memotret kondisi sosial yang terjadi pada masa al-Qur’an diturunkan. Dalam ranah sosiologis ini, pemahaman terhadap al-Qur’an akan senantiasa menunjukkan elastisitas perkembangannya tanpa mencampakkan warisan historisnya. Dengan demikian universalitas dan fleksibilitas al-Qur’an senantiasa terpelihara.[7]
Dengan pengadopsian sumber-sumber periwayatan yang sahih dan didukung oleh hukum akal, Rahman menerapkan pendekatan sosio-historis. Pendekatan ini dipandangnya sebagai satu-satunya cara yang bisa diterima dan dapat berlaku  adil terhadap tuntunan intelektual dan moral. Melalui pendekatan ini pula, umat islam dapat mempertimbangkan lebih lanjut nilai-nilai perkembangan yang terjadi dalam sejarah. Sebagaimana ditulis oleh Rahman:
Tugas utama dalam menangani Islam dan disipilin-disiplin keislaman secara historis sejauh ini hanya dilakukan oleh sarjana-sarjana barat. Sebab, mereka telah mengembangkan metode-metode dan perangkat-perangkat yang lebih baik. Padahal, hal itu mestinya menjadi tugas yang harus dilaksanakan oleh umat Islam sendiri. Ini karena, pertama, kecermatan dan kemenyeluruhan menuntut usaha terjun dalam skala besar seperti itu. Kedua, umat islamlah yang membutuhkan kajian historis ini supaya mereka dapat mempertimbangkan lebih lanjut nilai perkembangan historis ini guna merekontruksi disiplin-disiplin keislaman dimasa datang.[8]
Di sini perlu dibedakan antara Islam normatif dan Islam historis. Pembedaan ini sekaligus merespon kesalahan ulama klasik yang disatu sisi terlena dengan beragam doktrin Islam yang telah menjadi sejarah, disisi alain, kehilangan kemandirian untuk memahami Islam. Mereka terkesan menghentikan laju deras sejarah pergerakan ilmu-ilmu Islam. Akibatnya, ilmu-ilmu Islam tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Dalam kondisi seperti itu, kajian-kajian keislaman tidak mau menerima masukan dari keilmuan modern Barat.
Islam normatif adalah sumber norma dan nilai yang mengatur seluruh tata kehidupan. Ia bersifat universal. Sedangkan Islam historis merupakan Islam yang diterjemahkan oleh umat Islam sepanjang sejarah. Meskipun Islam normatif sebagai penilai terhadap Islam historis, yang terakhir ini tidaklah lantas dibuang begitu saja karena diperlukan untuk pengoperasian sosio-historis. Dengan membedakan antara Islam historis dan Islam normatif, umat Islam akan memiliki perspeksi kesejarahan. Dengan begitu, umat Islam akan memiliki landasan untuk membicarakan ajaran – ajaran  agamanya.[9]
b.      Dobel Movement (Gerakan  ganda)
Langkah berikutnya setelah penekanan pada pendekatan sosio-historis adalah pentingnya membedakan antara legal spesifik dan ideal moral yang dikenal dengan istilah gerakan ganda (double movement). Ideal moral adalah tujuan dasar moral yang dipesankan al-Qur’an. Sedangkan legal spesifik adalah ketentuan hukum yang ditetapkan secara khusus. Ideal moral al-Qur’an lebih patut diterapkan ketimbang ketentuan legal spesifiknya sebab ideal moral bersifat universal. Dengan ini Rahman berharap agar hukum-hukum yang akan dibentuk dapat mengabdi pada ideal moral, bukan legal spesifiknya karena al-Qur’an selalu memberi alasan bagi pernyataan legal spesifiknya.  Langkah yang dilakukan, pertama memperhatikan konteks mikro dan makro ketika ayat diwahyukan. Konteks mikro adalah situasi sempit yang terjadi dilingkuangn Nabi ketika Al – Qur’an diturunkan. Sedang konteks makro adalah situasi yang terjadi dalam skala yang lebih luas, menyangkut masyarakat, agama dan adat istiadat Arabia pada saat datangnya Islam, khususnya di Makkah dan sekitarnya.  Disini lah, konsep asbabun nuzul dan nasikh-mansukh amat diperlukan.
Menurut Rahman, Al – Qur’an adalah respon ilahi, yang diturunkan melalui ingatan dan pikiran Nabi, kepada situasi sosio-moral Arab pada masa Nabi. Sehubungan dengan pernyataan ini, ia mengatakan: ”Al – Qur’an secara keseluruhannya adalah kalam Allah. Sedang dalam pengertian biasa, juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad”.[10] Dalam sejarahnya, pernyataan ini telah menimbulkan kehebohan di Pakistan, yang harus ditebus dengan pengunduran dirinya dari jabatan direktur Lembaga Riset. Ini menjadi derap langkah awal watak kontroversinya.  Kedua, menerapkan nilai dan prinsip umum tersebut pada konteks pembaca al-Qur’an kontemporer. Pendekatan ini oleh Rahman digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat hukum dan sosial.
Tafsir hermenetika gerakan ganda Rahman pada intinya lebih merupakan respon terhadap pendekatan yang dilakukan oleh ulama tradisional. Teori gerakan ganda mengkanter teori asbabun nuzul penafsir tradisional. Dalam teori asbabun nuzul, terdapat dua kaidah yang saling berlawanan: ” al-’ibrah bi umumil al-fadz la bi khusi al sabab, dan al-’ibrah bi khusi al sabab la bi umumil al-fadz”. Yang pertama berpegang kepada keumuman lafadz saja tanpa memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat. Yang kedua berpandangan sebaliknya, hanya berpegang pada sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi turunnya ayat tanpa mempertimbangkan keumuman lafadz. Pandangan parsialistik dan dikotomistik ini menyebabkan penafsiran Al – Qur’an ulama tradisional menjadi tidak komperehensif. Pendekatan ini jelas akan menghalangi berkembangnya pandangan dunia Al – qur’an.
Dalam metode ini Fazlur Rahman mempunyai tujuan untuk menghindari adanya penafsiran parsial dan pemaksaan gagasan non-Qur’ani dalam Al-Qur’an. Fazlurrahman memandang penting dilakukan rekonstruksi metodologi penafsiran Al-Qur’an. Dalam hal ini, Rahman menawarkan metode tematik dan hermeneutika double movement, yakni proses interpretasi yang melibatkan “gerakan ganda”, dari situasi sekarang menuju situasi di mana Al-Qur’an diturunkan, untuk kemudian kembali lagi kemasa sekarang.[11]
Namun demikian, harus dipahami bahwa metode hermeneutika double movement hanya efektif diterapkan dalam ayat-ayat hukum, bukan ayat-ayat yang metafisik. Sebab, ketika mengkaji ayat-ayat yang terkait dengan hal-hal metafisik, seperti konsep Tuhan, malaikat, setan, dan sebagainya, Rahman tidak menggunakan hermeneutika double movement, tetapi menggunakan metode tematik dengan prinsip analisis sintesis logis, di mana ayat-ayat itu dipahami melalui metode intertekstual untuk kemudian dicari hubungan logisnya.[12]
Satu hal yang juga perlu dicatat adalah bahwa dengan metode hermeneutika double movement tidak berarti seseorang boleh mengabaikan pendekatan linguistik, seperti nahwu-sharaf, filologis, dan balaghah. Menurut Rahman, pendekatan linguistic tetap penting digunakan, namun ia harus menduduki tempat kedua dan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an tetap harus dinilai dengan pemahaman dari Al-Qur’an itu sendiri. Artinya, control metodologi untuk menggali ketetapan suatu makna tidak boleh dilepaskan dari konteks internal Al-Qur’an itu sendiri.[13]   
Seperti contoh penerapan double movement Fazlur Rahman dalam mengangkat persoalan qishash sebagai ilustrasi. Ia berpandangan bahwa pesan al-Qur’an (QS. al-Baqarah (2): 178 dan QS. al-Nisa’ (4): 92) memperkuat hukum pembunuhan yang telah berjalan dalam masyarakat pra-islam. Solusi al-Qur’an ini memberi kebebasan kepada keluarga korban untuk memilih antara menuntut balas terhadap orang yang telah melakukan pembunuhan, yakni bunuh di balas bunuh atau meminta uang sebagai uang ganti rugi. Di samping itu, al-Qur’an juga menambahkan bahwa pemberian maaf dari keluarga korban dipandang sebagai suatu kebajikan yang bernilai tinggi.
Solusi-solusi ini memandang pembunuhan sebagai kejahatan yang dilakuakan perorangan terhadap keluarga, sehingga mereka bisa menuntut qishashatau diyat. Tetapi, di tempat lain, ketika al-Qur’an (QS. al-Maidah(5): 32) berbicara tentang pembunuhan terhadap seorang anak Adam (habil) oleh (Qabil) dinyatakan bahwa :
مِنۡ أَجۡلِ ذَٰلِكَ كَتَبۡنَا عَلَىٰ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ أَنَّهُۥ مَن قَتَلَ نَفۡسَۢا بِغَيۡرِ نَفۡسٍ أَوۡ فَسَادٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِيعٗا وَمَنۡ أَحۡيَاهَا فَكَأَنَّمَآ أَحۡيَا ٱلنَّاسَ جَمِيعٗاۚ وَلَقَدۡ جَآءَتۡهُمۡ رُسُلُنَا بِٱلۡبَيِّنَٰتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرٗا مِّنۡهُم بَعۡدَ ذَٰلِكَ فِي ٱلۡأَرۡضِ لَمُسۡرِفُونَ ٣٢
”Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya…”
Prinsip ini, tandas Fazlur Rahman, dengan jelas menjadikan pembunuhan sebagai suatu kejahatan terhadap kemanusiaan, bukan hanya terhadap keluarga si korban. Sayangnya, para ahli hukum islam (fuqaha’) tidak pernah membawa solusi al-Qur’an itu ke bawah prinsip umum yang dimuat dalam QS. al-Maidah (5): 32 dan selalu memandang kejahatan pembunuhan sebagai suatu kejahatan pribadi.[14]
c.       Pendekatan Sintesis Logis
Jika dalam memahami ayat-ayat hukum dan sosial Rahman menggunakan pendekatan sosio-historis dan gerakan ganda, tidak demikian halnya ketika Rahman berhadapan dengan ayat-ayat metafisi-teologis. Untuk wilayah ini, Rahman menggunakan pendekatan sintetis-logis. Apa itu sintesis – logis? sintetis-logis adalah pendekatan yang membahas suatu tema (metafisis-teologis) dengan cara mengevaluasi ayat-ayat yang berhubungan dengan tema yang dibahas atau tema-tema yang relevan dengan tema yang dibahas[15]. Ini lagi-lagi adalah tindak lanjut dari kritisime Rahman atas pendekatan ulama abad pertengahan yang cenderung bersifat parsialistik dan atomisti, tanpa melihat keutuhan wahyu.
Rahman, dalam buku  Major Themes of  the Qur’an-nya, terdeteksi secara keseluruhan memuat aspek-aspek metafisis-teologis, metode interpretasi sistematis hampir sama sekali tidak diterapkan. Hal ini dikarenakan untuk kedua wilayah garapan tersebut prosedur yang lebih tepat dikenakan adalah pendekatan sintesis logis. Dalam pendahuluan buku tersebut, Rahman mengatakan :
”kecuali dalam penggarapan beberapa tema penting semisal aneka komuniksi agama, kemungkinan dan aktualitas mukjizat, serta jihad, yang kesemuanya menunjukkan evolusi Al – Quran, prosedur yang dipergunakan dalam mensistesis tema-tema lebih bersifat logis katimbang kronologis”[16].
Maka, lewat pendekatan sintesis-logis, ketika membahas suatu tema tertentu diharuskan untuk mengaitkan tema tersebut dengan tema-tema yang relevan. Misal, tema yang dipilih adalah Tuhan. Untuk membahas tema ini tidaklah semata-mata membahas Tuhan saja. Tetapi mengaitkan tema kemakhlukan pula. Pengandainya adalah sebagai Tuhan tentu punya hamba, sebagai Khalik tentu punya makhluk, dan sebagianya. Demikian juga sebaliknya, ketika membahas salah satu diantara tema-tema kemahklukan, pembahasan tentang Tuhan mutlak disertakan.
Ditinjau dari ilmu tafsir konvensional, pendekatan sintesis-logis terlihat mirip dengan metode tafsir maudhu’i. Rahman tentu tidak sedang menawarkan metode tafsir itu, sebab dia justru mengkritisi ilmu tafsir itu yang menurutnya mengabaikan aspek keterpaduan ayat-ayat atau keterpaduan tema-tema yang relevan. Meski telah mengadakan evaluasi atas ayat-ayat, tafsir maudhu’i masih terkungkung dengan satu tema yang dibahas. Misalnya, ketika tafsir ini dioperasikan untuk membahas tentang Tuhan, hanya mengumpulkan ayat-ayat yang berbicara tentang Tuhan saja, tanpa mengaitkannya dengan berbagai konsep atau tema yang mendukung keutuhan pandangan Al – Qur’an tentang Tuhan. Sedangkan operasi dari pendekatan sintesis-logis mengendaikan terlibatnya seluruh tema yang mendukung keutuhan itu.

3.    Analisis Pendekatan Fazlur Rahman dalam Major Themes of Al-Quran

Setelah dijelaskan ketiga pendekatan Fazlur Rahman dalam menafsiri Al-Quran, dapat dipahami bahwa: pendekatan sosio historis dan pendekatan gerakan ganda (doble movement), merupakan dua pendekatan yang digunakan dalam menafsiri ayat al-Quran yang berkaitan dengan hukum. Dengan menggunakan dua pendekatan ini Fazlur Rahman berhasil menghindari penafsiran parsial dan pemaksaan gagasan non-Qur’ani dalam Al-Qur’an. Akan tetapi begitu dihadapkan kepada ranah metafisik didalam al-Quran akan menemukan kendala, dan tentu saja tidak bisa mengandalkan sosio historis. Dalam menafsiri ayat-ayat al-Quran yang bersifat metafisik seperti ayat yang berhubungan dengan Tuhan, Malaikat, Wahyu, Janji dan Ancaman, Fazlur Rahman menggunakan metode tematik dengan prinsip analisis sintesis logis, di mana ayat-ayat itu dipahami melalui metode intertekstual untuk kemudian dicari hubungan logisnya. Hal ini bisa dilihat dari salah satu buku karangan Fazlur Rahman yang berjudul The Major Themes of Al-Quran. Didalam buku ini beliau membagi tema al-Quran menjadi 8 tema yang semuanya berhubungan dengan hal-hal yang bersifat metafisik. Kedelapan tema tersebut meliputi: 1) Tuhan, 2) Manusia sebagai Individu, 3) Manusia anggota Masyarakat, 4) Alam Semesta, 5) Kenabian dan Wahyu, 6) Eskatologi, 7) Setan dan Kejahatan, 8) Lahirnya Masyarakat Muslim.
a.    Tuhan
Al-qur’an adalah dokumen untuk manusia. Bahkan kitab ini menamakan dirinya sebagai “petunjuk bagi manusia”, dan julukan lain yang senada dengan ini. Meskipun demikian al-Qur’an menurut Rahman bukanlah suatu risalah mengenai Tuhan dan sifat-Nya.[17] Menurut al-Qur’an, eksistensi Tuhan benar-benar bersifat fungsional-Dia adalah pencipta dan pemelihara alam dan manusia; terutama Dia-lah yang memberikan petunjuk kepada manusia dan yang akan mengadili manusia nanti, baik secara individual maupun secara kolektif, dengan keadilan yang penuh belas kasih.
Ketika seseorang membaca al-Qur’an dengan penuh penghayatan, ia akan memperoleh kesan mengenai ketidakterhinggaan keagungan dan kasih sayang Tuhan. Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah: mengapa kita mempercayai Tuhan?mengapa tidak membiarkan alam beserta berbagai proses dan segala isinya berdiri sendiri tanpa perlu meyakini adanya yang lebih tinggi daripada alam, yang hanya merumitkan realitas serta memberatkan akal pikiran dan jiwa manusia? Al-Qur’an mengatakan keyakinan kepada yang lebih tinggi dari alam itu sebagai “keyakinan dan kesadaran kepada yang gaib” (2:3, 5:94, 21:49, 35:18, 36:11, 50:33, 57:25, 67:12). Hingga batasan tertentu dan karena wahyu Allah “yang gaib” ini dapat dilihat oleh manusia tertentu, seperti nabi Muhammad (misalnya lihat ayat-ayat 81:24, 68:47, 52:41, 53:35, 12:102, 11:49), walaupun tidak dapat dipahami dengan sempurna oleh siapa pun (72:26, 64:18, 59:22, 49:18, 39:46, 35-38 dan lainnya). Bagi orang yang suka merenungi eksistensi Tuhan, itu dapat dipahami, sehingga eksistensinya tidak lagi diyakini sebagai hal yang irasional, tetapi berubah menjadi kebenaran yang tinggi. Dan inilah tujuan dari al-Qur’an.[18] Tuhan tidak dapat dipandang sebagai eksistensi, di antara eksistensi-eksistensi yang ada. Tuhan adalah dimensi yang memungkinkan adanya dimensi yang lain, karena Tuham itu satu. Jika Tuhan ada lebih dari satu, maka akan ada satu saja yang muncul sebagai pertama. Selain itu, eksistensi Tuhan juga dapat dilihat dari keteraturan alam semesta, secara logis, maka akan muncul pengakuan bahwa kesemuanya ini ada yang mengatur, yaitu yang takterbatas. Tanpa aktifitas Tuhan, maka keteraturan alam ini akan menjadi kacau dan liar.
Rahman berpendapat bahwa Tuhan ada “bersama” setiap sesuatu; Dia-lah Yang menyebabkan integritas dari setiap sesuatu.[19] Tuhan adalah makna dari realitas, sebuah makna yang dimanifetasikan, dijelaskan, serta dibawakan oleh alam dan selanjutnya manusia. Sehingga segala sesuatu yang ada di alam semsta ini adalah “petanda” Tuhan. Itulah mengapa al-Qur’an berulangkali menekankan kekuasaan dan keagungan Allah.
Tuhan memberikan kepada manusia kesadaran dan kemauan yang diperlukannya untuk menyadari tujuan hidup yang sesungguhnya, dan inilah bukti dari kasih sayang Tuhan. Di sinilah ujian yang paling berat bagi manusia: apakah dengan pemberian itu lantas manusia menggunakan untuk kebaikan, atau justru sebaliknya? Untuk menghadapi ini, maka kasih Allah mengalami puncaknya dengan mengutus Rasul, mewahyukan kitab-Nya, dan menunjukkan jalan kepada manusia (hidayah).
Bila lebih dalam kita cermati, ternyata di dalam al-Qur’an Tuhan tidak ditemukan bahwa al-Qur’an “membuktikan” adanya Tuhan, tetapi “menunjukkan” cara mengenal Tuhan melalui alam semesta. Kesimpulannya adalah, bahwa la-Qur’an harus dipelajari sedemikian rupa sehingga keutuhan yang konkrit akan terlihat sempurna. Kedua, bahwa pemilihat ayat-ayat tertentu untuk memproyeksikan sudut pandang yang parsial dan subjektif memang dapat memuaskan seorang pengamat yang subjektif, tetapi perbuatan ni bertentangan dengan ajaran al-Qur’an sendiri dan dapat mengakibatkan abstraksi yang berbahaya.
b.   Manusia sebagai Individu
Seperti makhluk lainnya, manusia adalah ciptaan Allah, tetapi manusia berbeda dengan mankhluk lainnya. Menurut Rahman, dalam diri manusia terdapat unsur ruh Allah, sebagaimana yang terdapat dalam surat 15 ayat 29, surat 38 ayat 72, dan surat 32 ayat 9. Sekalipun demikian ia menyangkal adanya dualisme individual antara jiwa dan raga dalam diri manusia sebagaiman terdapat pada filsafat yunani, agam kristen dan hinduisme.[20]
Sebelum terjadi penciptaan manusia, telah terjadi perdebatan antara Allah dan malaikat. Malaikat berpendapat bahwa penciptaan manusia adalah hal yang kontroversial, karena malaikat tau bahwa manusia adalah sumber kerusuhan. Allah tidak menyanggah hal itu, namun Allah hanya memberikan jawaban bahwa Dia lebih tahu. Kemudian Allah mengajarkan kepada manusia beberapa pengetahuan sehingga manusia lebih dimuliakan oleh Allah dari makhluk lainnya.
Fakta moral yang tertanam dalam inilah yang merupakan tantangan abadi manusia dan yang membuat hidupnya sebagai perjuangan moral yang tak berkesudahan. Di dalam perjuangan ini Allah berpihak pada manusia, asalkan ia melakukan usaha-usaha yang diperlukan. Manusia harus melakukan usaha-usaha ini karena di antara ciptaan Tuhan, ia memiliki porsi yang unik; ia diberi kebebasan berkehendak agar ia dapat menyempurnakan misinya sebagai khalifah Allah di atas bumi. Misi inilah-perjuangan untuk menciptakan sebuah tata sosial yang bermoral di atas bumi-yang dikatakan al-Qur’an sebagai “amanah”. Amanah ini sebelumnya telah ditawarkan kepada makhluk lainnya, namun mereka menolaknya karena tahu betapa berat amanah ini, namun manusia menerimanya. Namun secara halus al-Qur’an menyesalkan hal ini, “amanah ini terlampau berat bagi dirinya dan perbuatan itu terlampau nekat, karena manusia belum menyempurnakan perintah Tuhan yang sediakala.
Hakikat tujuan diciptakannya manusia di muka bumi ini yakni sebgai khalifatullah mengemban amanah Allah SWT.[21] Tantangan terbesar manusia dalam mengemban amanah itu adalah syaitan, karena ia melambangkan sifat kepicikan (dlaif) dan kesempitan fikir (قطر ). Selain itu, manusia juga memiliki sifat sombong, karena banyak di antara mereka yang “tidak mau melihat ke belakang (al-‘Aqibah), dan tidak mau melihat ke depan, atau memberikan sumbangan kepada tujuan moral jangka panjang manusia yang telah menjadi amanahnya. Orang-orang seperti inilah yang dikatan al-Qur’an bagaikan hewan, bahkan lebih sesat!!
 Al-qur’an tidak henti-hentinya menyebutkan kelemahan ini dalam bentuk dan konteks yang berbeda. Karena kepicikannya kadang manusia berlaku amat sombong tetapi lekas putus asa. Tidak ada mahluk lain yang dapat menjadi sombong dan berputus asa sedemikian gampangnya seperti manusia. Oleh karena itu manusia yang baik harus memiliki keseimbangan, yang merupakan dari manifestasi integrasi aksi-aksi moral manusia yang dalam al qur’an disebut sebagai taqwa. Akar perkataan taqwa adalah waqy, berjaga-jaga atau melindungi diri dari sesuatu dan perkataan taqwa dengan pengertian ini dipergunakan juga dalam al qur’an surat ke-52:27 40:45 76:11.[22]
Jadi “Taqwa” berarti melindungi diri dari akibat berbuatan sendiri yang buruk dan jahat. Dengan demikian, taqwa yang diistilahkan dengan “takut kepada Allah” dengan pengertian takut kepada akibat perbuatan sendiri adalah tepat. Dengan perkataan lain, inilah rasa takut yang timbul karena kita menyadari bahwa kita memiliki tanggung jawab dunia dan akhirat.
c.    Manusia Anggota Masyarakat
Tidak dapat diragukan lagi bahwa tujuan utama al-Qur’an adalah menegakkan sebuah tatanan masyarakat yang adil, berdasarkan etika. Dan dapat bertahan di muka bumi.[23] Rahman mengatakan bahwa ide “berbuat aniaya terhadap diri sendiri” mengakibatkan kehancuran individu dan masyarakat, sesungguhnya berarti menghancurkan hak hidup di dalam pengertian sosial historis. Ini dapat dilihat dari perkataan al-Qur’an bahwa ketia ia mengatakan kematian individu (seperti kematian fir’aun), pada dasarnya yang dikemukakan adalah sifat yang menghancurkan diri sendiri dari suatu cara hidup masyarakat dan budaya tertentu.
Dalam level sosial-politik, al-Qur’an ingin menguatkan unit kekeluargaan paling dasar yang terdiri dari kedua orang tua, anak-anak, dan kakek-nenek; dan masyarakat Muslim yang lebih besar dengan meniadakan rasa kesukuan.[24]
Masyarakat Muslimin berdiri karena ideologi Islam. Dalam melaksanakan urusan bersama (pemerintahan) al-Qur’an menyuruh kaum Muslimin untuk menegakkan syura (dewan/majelis konsultatif) di mana keinginan rakyat dapat dikemukakan melalui wakil-wakil mereka.[25] Syura adalah sebuah institusi Arab yang demokratis dari masa sebelum Islam dan yang kemudian didukung oleh al-Qur’an (42:38). Meskipun menghendaki pluralisme institusi-institusi secara liberal dan kemerdekaan individu yang asasi, di dalam kondisi-kondisi tertentu al-Qur’an mengakui bahwa Negara sebagai wakil masyarakat adalah yang tertinggi. Pemberontakan terhadap Negara dapat diganjar dengan hukuman-hukuman yang sangat berat.
Inti dari keseluruhan hak-hak asasi manusia adalah kesamaan di antara semua ras. Hal ini dibenarkan dan didukung oleh al-Qur’an dimana al-Qur’an menghapuskan setiap perbedaan di antara manusia kecuali perbedaan karena kebajikan dan taqwa. Al-Qur’an menekankan persamaan manusia yang esensial karena di antara semua mahluk hidup bangsa manusia sajalah yang memiliki keunikan. Ada 4 macam kebebasan atau hak-hak asasi yang ditekankan oleh para ahli-ahli hukum Islam, yakni: kebebasan/hak untuk hidup, beragama, mencari nafkah dan memiliki harta kekayaan, dan harga diri (‘irdh). Keeempat hak ini harus dilindungi oleh Negara.  Pelangggaran terhadap hak-hak tersebut adalah “perbuatan aniaya di muka bumi’.[26]
Terkait dengan persamaan di antara laki dan perempuan, al-Qur’an mengatakan: “dan kaum perempuan mempunyai hak-hak mereka (terhadap kaum laki-laki)—tetapi kaum lelaki satu tahap lebih tinggi (daripada kaum perempuan)” (2: 228). Pada dasarnya, al-Qur’an berpandangan bahwa ikatan perkawinan dipertahankan oleh perasaan “cinta dan kasih-sayang” yang wajar (30:21) dan menyatakan “mereka (isterei-isteri kamu) adalah pakaianmu dan kamu adalah pakaian mereka” (2:187). Al-Qur’an mengharuskan suami untuk berlaku lemah lembut terhadap isterinya.[27]
Tema yang juga amat dinyatakan al-Qur’an adalah bahwa manusia-manusia yang kuat secara terus menerus berusaha mempengaruhi atau menekan manusia-manusia yang lemah agar mereka melakukan tingkah laku yang bertentangan dengan kehendak mereka yang sebenarnya. Al-Qur’an juga mengemukakan bahwa penyelewengan pemimpin-pemimpin agama merupakan faktor terjadinya keruntuhan masyarakat, padahal para pemimpin agama  ini diharapkan dapat sebagai  sumber kekuatan dan regenerasi spiritual masyarakat Penyelewengan dapat ini terjadi ketika hati nurani mereka tidak tergugah apabila mereka melakukan kesalahan. Dengan hati nurani yang macam ini mereka telah mengkompromikan kebenaran dengan “hawa nafsu”.[28]
d.   Alam Semesta
Al-Qur’an hanya  sedikit sekali membicarakan  tentang kejadian alam (kosmologi). Terkait dengan metafisika penciptaan, al-Qur’an mengatakan bahwa alam semesta dan segala sesuatu yang hendak diciptakan Allah di dalamnya tercipta sekedar dengan firman-Nya: “Jadilah!” (2:117; 3:47, 59; 6:73; 16:40; 19:35; 36:82; 40:68). Karenanya, Allah adalah pemilik yang mutlak dari alam semesta dan penguasa  alam semesta yang tak dapat disangkal di samping pemeliharaannya yang maha pengasih. Semua isi alam semesta ini mentaati Allah ‘secara otomatis”, kecuali manusia yang dapat mentaati atau mengingkari Allah. (95). Al-Qur’an menyatakan bahwa keseluruhan alam semesta itu “Muslim” karena setiap sesuatu yang berada di dalamnya (kecuali manusia yang dapat menjadi atau tidak menjadi “Muslim”) menyerah kepada kehendak Allah (3:83), dan setiap sesuatu memuji Allah (57:1; 59:1; 61:1; 17:44; 24:41).[29]
Perbedaan terpenting diantara Allah dengan ciptaan-Nya adalah : Allah itu tak terhingga dan mutlak. Karenanya, setiap sesuatu yang diciptakannya adalah terhingga. Setiap sesuatu mempunyai potensi-potensi tertentu namun betapapun banyaknya potensi-potensi itu tidaklah dapat membuat yang tehingga melampaui keterhinggaannya sehingga menjadi tak terhingga. Inilah yang dimaksud (qadar, qadr, taqdir) dimana segala sesuatu itu tergantung pada Allah. Ketika Allah menciptakan sesuatu, Ia memberikan kekuatan ataupun hukum tingkah laku dan dengan hukum inilah ciptaan-Nya dapat selaras dengan ciptaan-ciptaan-Nya yang lain di dalam alam semesta. Apabila sesuatu ciptaan melanggar hukumnya dan melampaui ukurannya, maka alam semesta menjadi kacau. “ukuran” yang dimaksud sebetulnya mempunyai sebuah bias yang kuat, yakni pola-pola, watak-watak, dan kecenderungan-kecenderungan. Perkataan “ukuran” ini tidak menunjukkan teori predeterminasi (takdir).[30]
Dinyatakan pula bahwa manusia kerap meremehkan, melengahkan, dan bahkan mengingkari Allah karena manusia berpandang bahwa proses-proses alam terjadi karena sebab-sebab tersendiri. Manusia tidak menyadari bahwa alam semesta adalah sebuah petanda yang menunjukkan kepada sesuatu yang berada “di atas”nya dan bahwa tanpa sesuatu berada “di atas”nya itu, alam semesta beserta sebab-sebab alamiahnya tidak pernah ada.[31]
Dengan demikian, yang menjadi permasalahan pertama adalah bahwa manusia tidak memandang alam semesta yang serba teratur sebagai petanda atau sebagai keajaiban yang menakjubkan. Manusia ingin menyelingi atau menekankan proses alamiah untuk menemukan keajaiban-keajaibian yang dilakukan Allah. Yang menjadi permasalahan kedua  adalah bahwa alam semesta sebagai petanda itu hilang apabila “ditaruh di sisi” Allah, karena di sisi-Nya tak sesuatu pun mempunyai jaminan yang inheren untuk ada.
Dengan demikian, alam semesta beserta keluasan dan keteraturannya yang tak terjangkau akal ini harus dipandang manusia sebagai petanda Allah, karena hanya Yang Tak Terhingga serta Unik sajalah yang dapat menciptakannya. Petanda ini dapat dikatakan sebagai petanda “alamiah”. Namun apabila sebagian atau hampir semua manusia tidak dapat terbujuk  untuk beriman kepada Allah dengan menyaksikan proses-proses alam yang biasa, maka untuk sementara waktu Allah dapat menyimpangkan, menekan, atapun meniadakan kehebatan/efisasi sebab-sebab alamiah tersebut.[32]
Selain itu, ada dua hal yang perlu dicamkan sebelum masuk pada pembahasan mengenai petanda-petanda/keajaiban yang natural dan supranatural.[33] Yang pertama, walaupun sebuah “petanda” atau ayat di dalam pengertian religius menunjukkan kepada Penyebab yang paling awal, sedang transisinya dengan pengertian bersifat rasional atau setidak-tidaknya dapat dipikirkan, namun petanda tersebut bukanlah sebuah bukti yang rasional. Supaya dapat mengetahui maksud dari sebuah petanda selain akal-pikiran, kita harus memiliki disposisi tertentu, yaitu kesanggupan untuk beriman. Yang kedua, walaupun banyak orang yang tidak dapat membedakan petanda-petanda yang berlainan, khususnya di antara petanda-petanda supranatural atau bersifat wahyu (ayat-ayat al-Qur’an) dengan perbuatan-perbuatan magis atau sihir, namun kedua macam petanda-petanda ini tidaklah sama. Petanda yang supranatural atau bersifat wahyu bersifat riil sedang perbuatan-perbuatan sihir tersebut bersifat khayal. Petanda yang supranatural atau bersifat wahyu mempunyai kepermanenan setelah menunjukkan kemanjurannya. Sedangkan perbuatan sihir tidak memiliki kepermanenan kecuali di dalam dimensi psikologinya. Perbuatan magis  ini merupakan kejahatan, karena perbuatan ini mnyembunyikan dan memberikan gambaran yang salah tentang realitas. Sedangkan sebuah petanda  mampu menunjukkan realitas di dalam kesempurnaannya.  Ayat-ayat al-Qur’an adalah “petanda-petanda” karena bersumber dari Tuhan yang menciptakan alam semesta. Namun al-Qur’an menamakan ayat-ayatnya sebagai tabyin al-ayat, “penjelasan terhadap petanda-petanda (Allah)” atau “pembawa ke dalam akal seperti halnya “membawa ayat” (nusharrif al-ayat).[34]
Ayat bayyinat sering disebut sebagai “tanda-tanda yang terang, jelas, dan tak dapat diragukan lagi”. Dalam ayat-ayat 98:1-4, Nabi Muhammad sendiri bersama-sama dengan al-Qur’an disebut sebagai sebuah bayyinat. Perkataan yang lebih kuat daripada bayyinat adalah burhan. Perkataan ini berarti ‘sebuah bukti yang demonstratif” dan mengandung sebuah faktor yang memaksakan rasionalitas. Perkataan burhan ini dekat dengan bayyinat dan seperti bayyinat, burhan itu   terbatas pada peringatan-peringatan, keajaiban-keajaiban supranatural dan wahyu serta akal (akal di dalam wahyu). Bayyinat itu jelas, tegas, dan dalam hal ini secara pasif dapat ditolak, maka burhan secara rasional dan psikologis bersifat memaksa.  Burhan adalah semacam bukti rasional (tidak hanya sekedar ‘logis”), yang dapat mengendalikan dan mengarahkan instink-instinsk yang sangat kuat.  Jenis ayat atau petanda yang paling kuat dan yang di dalam penggunaannya hampir mirip dengan burhan adalah sulthan. Perkataan ini secara harfiah berarti “otoritas” atau “kekuasaan” tetapi di dalam al-Qur’an dipergunakan sebagai semacam petanda atau bukti yang ‘membungkam lawan”.  Bayyinat jelas dan tak dapat ditolak oleh akal yang terbuka serta tidak berprasangka, dan kekuatan burhan yang demonstratif dapat mengalahkan prasangka-prasangka tertentu, maka sulthan mempunyai kekuatan yang secara psikologis sifatnya hampir memaksa sehingga orang-orang yang semula bertekad untuk menolak kebenaran terpaksa menerimanya. Perbedaaan di antara ketiga perkataan in adalah berdasarkan kuantitas atau tingkat kekuatan persuasifnya.[35]
Sulthan juga dapat diartikan sebagai keajaiban supranatural (23:45) atau wahyu yang dapat dibacakan (37:156 dan seterusnya). Perkataan ini dapat berarti sebuah dalih untuk membenarkan aksi penghukuman, misalnya dalam ayat-ayat: “Barangsiapa dibunuh tanpa alasan maka kepada keluarganya Kami berikan wewenang (atau pembenaran) (untuk melakukan pembalasan). Ada pula bukti untuk menyatakan mengenai pernyataan-pernyataan al-Qur’an bahwa petanda-petanda “historis” atau yang merupakan peringatan tertentu mendukung kebenaran dari ajaran Muhammad.[36]
Berdasarkan pemaparan di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa penciptaan alam semesta ini dilakukan Allah dengan sungguh-sungguh, dan bukan dengan sia-sia atau untuk main-main. Alam semesta in adalah karya besar yang Maha Kuasa, namun alam semesta ini bukan diciptakan untuk memperlihatkan kebesaran dan kekuasan-Nya tetapi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan vital manusia.
e.    Kenabian dan Wahyu
Pemikiran Fazlur Rahman tentang Kenabian dan Wahyu merupakan kepengasihan kepada manusia, karena ketidak dewasaan manusia di dalam presepsi dan motivasi ethisnya. dengan adanya nabi dan wahyu yang diutus Allah dapat mengalihkan hati nurani manusia dari kebiasaan tradisional dan tensi hipomoral ke dalam suatu keawasan sehingga mereka dapat menyaksikan Tuhan sebagai Tuhan dan syaitan sebagai syaitan.[37]
Dalam literatur sejarah, seluruh nabi dan rasul di utus bagi umat tertentu dan dengan syariat tertentu, tetapi al-Quran memandang kenabian sebagai fenomena yang bersifat universal dan di setiap pelosok dunia pernah ada seorang nabi, baik yang disebutkan ataupun tidak, kerena apa yang dibawa oleh nabi itu bersifat universal, maka setiap ajaran yang dibawa oleh nabi harus di yakini oleh umat manusia tanpa memandang waktu dan tempat nabi itu diutus. Hal ini senada dengan ungkapan dalam al-Quran sendiri, Artinya: “Dan Sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang Rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. tidak seorang Rasulpun yang dapat membawa suatu mukjizat, melainkan dengan seizin Allah, Maka apabila telah datang perintah Allah, pasti akan diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.”(QS. al-Mukmin (40): 78)
Dalam sejarah dan al-Quran sendiri telah disebutkan bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi dan Rasul Terakhir, “Muhammad bukanlah bapak dari salah seorang diantara kalian, dia adalah rasul Allah dan nabi terakhir” (33:40). Dalam menafsirkan ayat ini para pemikir, theolog, filosof dan sejarawan muslim telah mengemukakan argumentasi, dimana adanya evolusi dalam agama yang menetapkan Islam sebagai bentuk agama terakhir, dan ada juga yang mengatakan, penelaahan terhadap kandungan agama-agama yang ada akan menunjukkkan Islam adalah agama yang paling memadai dan sempurna, dan ini merupakan sebuah tema yang didukung oleh berbagai bukti yang rumit dan beraneka ragam.[38]
Pada dasarnya semua nabi dan rasul menyampaikan ajaran yang sama, yaitu hanya ada satu Tuhan, Yang Esa yang patut disembah, dicintai dan di takuti. Tuhan-tuhan yang lain adalah palsu dan tidak memiliki sifat ketuhanan. Semua makhluk adalah hamba Allah yang berada di bawah hukum serta perintahNya, inilah doktrin tauhid al-Quran.Hal inilah yang seharusnya dipahami oleh umat Islam karena tanpa memahami tauhid terlebih dahulu akan sulit bagi seseorang dalam memahami Islam itu sendiri. Apalagi pada saat ini tauhid telah banyak kehilangan kandungannya dan hanya menjadi formula mekanika, yang tidak memiliki intensitas dan kedalaman pemahaman tentang tauhid juga kurang memadai.[39]
Muhammad sebagai nabi adalah penyampai kabar gembira dan peringatan, sementara missinya adala menyampaikan wahyu Allah secara terus menerus dan pantang mundur, karena sumber ajaran yang dia sampaikan langsung bersumber dari Allah dan sangat penting bagi keselamatan manusia, oleh sebab itu dia harus berhasil meyakinkan hati manusia untuk menerima dan menjalankan apa yang dia sampaikan. Secara umum dapat dikatakan bahwa tugas Nabi Muhammad adalah memperoleh keberhasilan dalam melaksanakan ajaran tersebut untuk memperbaiki dunia dan menghapuskan penyelewengan diatas dunia, menegakkan sebuah tata sosial yang berdasarkan etika dimana kebajikan diserukan dan kejahatan dicegah, yang berkuasa hanya Allah semata.[40]
Nabi Muhammad yang pada dasarya suka merenung, tidak suka mencampuri urusan orang lain, pemalu dan suka menyendiri ini kadang merasa goncang batinnya sehingga membuat dia terhenti dalam melanjutkan perjuangannya, tetapi karena dia yakin bahwa amanah yang dia bawa adalah benar dari Allah dan harus disampaikan, dan batinnya pun ikut memaksa dia untuk terjun ke dalam arena sejarah. Dari kenyataan ini dapat dilihat bahwa kenapa ayat-ayat al-Quran yang turun pada awal masa kenabian Muhammad sangat ringkas, tegas dan terdiri dari ungkapan sangat pendek, seperti ledakan gunung berapi, atau aliran air melalui sebuah lembah, hal ini karena malaikat yang menyampaikan wahyu Allah langsung berbicara melalui hati Muhammad.[41]
Merupakan hal yang tidak aneh, janggal atau tercela jika sebagai manusia biasa seorang nabi tidak selalu konsisten. Karena sebagai manusia biasa itulah Muhammad menjadi teladan bagi ummat manusia karena kepekaannya, sifat kasihnya dan tingkah lakunya yang sedemikian tingginya sehingga pantaslah dia menjadi sebagai contoh. Para nabi adalah manusia biasa yang secara terus-menerus harus berjuang di dalam batinnya, tetapi di dalam perjuangan batin itu kebenaran dan kebajikan akan memperoleh kemenangan. Jika para nabi tersebut tidak mengalami perjuangan batin dan tidak menaggung penderitaan batin maka sudah pasti mereka tidak dapat menjadi teladan bagi ummat manusia.[42]
Pengalaman religius nabi Muhammad terjadi secara natural, sama halnya dengan ungkapan al-Quran sendiri yang secara natural dan religus dalam mengungkapkan semua fenomena alam, dan kedua ungkapan ini tidak ada memiliki pertentangan, sebaliknya bahasa religius mensyaratkan adanya ungkapan naturalistis dan meliputinya. Seperti ungkapan angin dan awan menjadi penyebab turunnya hujan, tetapi seungguhnya Allah yang menciptakan hujan dan bekerja di dalam hukum alam. Ungkapan religius adalah ungkapan-ungkapan yang tertinggi setelah keinginan untuk memperleh sebab-musabab alamiah sebagai sebuah formula penjelasan terpenuhi.[43]
f.     Eskatologi
Dalam al-Qur’an, gambaran umum tentang eskatologi adalah kenikmatan sorga dan azab neraka. Sorga dan neraka ini kerap dinyatakan sebagai imbalan dan hukuman secara garis besarnya, termasuk “keridhaan dan kemurkaan Allah”. Ide pokok yang mendasari ajaran-ajaran al-Qur’an tentang akhirat adalah bahwa akan tiba saat (al-sa’ah) ketika setiap manusia akan memperoleh kesadaran unik yang tak pernah dialaminya di masa sebelumnya mengenai amal-perbuatannya. Al-Qur’an juga terus menerus menyerukan agar manusia “mengirimkan sesuatu untuk masa mendatang” (59:18), karena apapun juga yang menimpa seorang manusia adalah hasil perbuatannya terdahulu. Terkait dengan hal tersebut, al-akhirahsebagai nilai-nilai terakhir (saat kebenaran) menjadi “pertimbangan” terhadap amal perbuatan manusia yang sangat penting artinya.[44]
Al-Qur’an juga tidak membenarkan sorga dan neraka yang sama sekali bersifat “spiritual”. Karenanya, apa yang menjadi subjek kebahagiaan dan siksaan adalah manusia sebagai pribadi. Apabila al-Qur’an berbicara tentang kebahagiaan dan penderitaan fisik di akhirat nanti, maka yang dimaksudkannya bukanlah kiasan semata-mata, meskipun Kitab Suci memang mencoba menerangkan kebahagiaan dan penderitaan akhirat itu sebagai efek-efek dari perasaan kebahagiaan dan penderitaan yang bersifat fisik dan spiritual. Gambaran yang amat jelas mengenai api neraka yang bernyala-nyala dan taman sorga yang indah ini dimaksudkan untuk menerangkan efek-efek sebagai perasaan-perasaan fisik-spiritual yang riil dan yang berbeda dari efek-efek psikologis yang ditimbulkan oleh keterangan-keterangan tersebut. Sementara hukuman dan kebahagiaan fisik bersifat literal dan tidak merupakan kiasan. Al-Qur’an menjelaskan bahwa aspek spiritual dari hukuman dan kebahagiaan itulah yang terpenting.[45]
Menurut al-Qur’an, akhirat itu sangat penting. Ada beberapa alasan untuk menjelaskannya. Yang pertama, moral dan keadilan sebagai konstitusi realis adalah kualitas untuk menilai amal-perbuatan manusia karena keadilan tidak dapat dijamin berdasarkan apa-apa yang terjadi di atas dunia. Yang kedua, “tujuan-tujuan” hidup harus dijelaskan dengan seterang-terangnya sehingga manusia dapat melihat apa yang telah diperjuangkannya dan apa tujuan-tujuan yang sesungguhnya dari kehidupan ini. Misalnya dalam doktrin tentang kebangkitan kembali karena soal “penimbangan amal-perbuatan” mensyaratkan dan tergantung kepadanya.Yang ketiga, terkait erat dengan alasan kedua bahwa perbantahan, perbedaan pendapat, dan konflik di antara orientasi-orientasi manusia pada akhirnya harus diselesaikan. Hampir semua perbedaan pendapat disebabkan oleh karena motivasi-motivasi ekstrinsik untuk kepentingan diri sendiri, kelompok, atapun bentuk kefanatikan yang berbeda-beda. Penyakit moral manusia yang terburuk adalah melakukan hal-hal yang baik dengan motivasi-motivasi yang salah dan ekstrinsik. Karenaya, pemecahan terhadap perbedaan keyakinan ini secara praksisnya adalah sama dengan manifestasi dari motivasi dari keyakinan-keyakinan tersebut. Di hari akhirat, batin semua manusia akan nampak jelas termasuk motivasi-motivasi mereka.[46]
Terkait dengan pandangan akan kebangkitan kembali dan hari perhitungan, al-Qur’an mengajukan argumentasi mengenai kekuasaan Allah secara umum: “Sesungguhnya Allah yang telah menciptkan langit, bumi, manusia, dan bentuk-bentuk kehidupan yang tak terhitung banyaknya di dalam alam semesta ini dapat pula menciptakan manusia yang baru dan bentuk kehidupan lain yang tidak kita kenal.” Terkait dengan hari penghitungan, dinyatakan bahwa pada hari itu setiap manusia tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan perubahan apa pun juga, untuk melakukan amal-perbuatan yang baru, atau untuk bertaubat  karena satu-satunya kesempatan untuk mengubahnya hanya ada di dunia ini yang hanya terjadi sekali. Karenanya, manusia harus menghadapi hidup ini dengan serius dan benar-benar menyadari bahwa Allah pasti mengetahuinya seberapapun manusia menyembunyikan niat-niat dan kesesatan yang negatif.
g.    Setan dan Kejahatan
Bab ini membahas prinsip kejahatan yang kerap dipersonifikasikan al-Qur’an sebagai Iblis atau syeitan, meskipun personifikasi yang kedua ini (syeitan) lebih lemah daripada yang pertama.[47] Al-Qur’an menggambarkan syeitan sebagai pembangkang perintah Allah dan sebagai tandingan manusia, bukan sebagai tandingan Allah karena Allah berada di luar jangkauannya. Manusialah yang merupakan tujuan syeitan dan manusialah yang dapat menaklukan atau ditaklukannya. Karenanya, al-Qur’an memperingatkan manusia untuk terus berjuang melawan syeitan. Apabila manusia mengendorkan kewaspadaannya maka ia akan mudah terbujuk oleh “godaan” syeitan.  Aktivitas syeitan ini pada dasarnya terdiri dari aktivitas membingungkan seseorang manusia dan untuk sementara waktu membendungi kesadaran-keasaran batinnya.
Al-Qur’an menegaskan bahwa walaupun secara prinsip tidak ada manusia yang kebal terhadap godaan syeitan, namun syeitan itu sesungguhnya tidak dapat memperdayakan orang-orang yang senantiasa menjaga integritas moral mereka dari serangannya.  Sebenarnya pula, cengkeraman syeitan itu tidak kuat; melainkan hanya kelemahan, tidak adanya keberanian moral dan tidak adanya kewaspadaan di dalam diri manusialah  yang  membuat syetan itu terlihat sedemikian kuat. Meskipun syeitan itu tidak kuat, tetapi ia itu licik dan licin. Ia lebih banyak mempergunakan tipu daya dan siasat daripada menantang dengan terang-terangan. Aktivitasnya tidak menggempur melainkan membujuk, berkianat, dan menghadang.[48]
Tipu daya yang dibuat syeitan adalah soal keputusasaan manusia sebagai kelemahan yang utama.[49] Manusia juga pada kenyataannya mempunyai kencenderungan-kecenderungan baik dan jahat. Di dalam diri manusia senantiasa ada perjuangan di antara kedua kecenderungan tersebut. Namun kecenderungan jahat kerap menjadi sedimikian kuat karena adanya tipu muslihat syeitan. Karenanya, kunci pertahanan manusia terhadap godaan syeitan adalah taqwa.  Terhadap godaan untuk mengikuti kecenderungan jahat, manusia perlu mengikuti jalan Allah dan memohon pertolongan-Nya. “Siapa-siapa yang berpihak pada Allah dan Rasul-Nya adalah orang-orang yang beriman – sesungguhnya partai Allah akan memperoleh kemenangan (5:56). Selain itu, ada juga pandangan tentang  kejahatan objektif yang dalam al-Qur’an disebut sebagaithagutThagut berarti prinsip kejahatan atau kekafiran.[50]
h.   Lahirnya Masyarakat Muslim
Dalam bab ini Fazlur Rahman mencoba mengkritisi pandangan landasan teori klasik tentang lahirnya masyarakat Muslim di Medinah menurut Snouck Hurgronye. Fazlur Rahman mengatakan bahwa memang benar bahwa risalat al-Qur’an itu sama dengan risalat yang diserukan oleh nabi-nabi di zaman dahulu, tetapi tidak benar apabila dikatakan bahwa risalat al-Qur’an hanya tertuju pada orang-orang Arab dan risalat-risalat para nabi itu di zaman dahulu itu hanya tertuju pada kaum mereka masing-masing.[51] Tidak benarlah pula bahwa ketika di kemudian hari Ibrahim dihubungkan dengan Islam (hal ini terjadi di Makkah, bukan di Madinah), al-Qur’an menyerahkan Musa kepada orang-orang Yahudi dan Isa kepada orang-orang Kristen sebagai milik mereka karena tentangan mereka. Tidak benar pula bahwa perubahan arah kiblat menunjukkan putusnya atau nasionalisasi terhadap orientasi religius Nabi Muhammad. Kesulitan untuk memahami hal ini adalah karena pandangan bahwa kehidupan Nabi dan al-Qur’an itu terbagi ke dalam dua buah “periode” yang terpisah dan berdiri sendiri—periode Makkah dan periode Madinah—dan pandangan yang seperti ini diyakini oleh hampir semua para ahli Islam di zaman modern ini.
Dari keterangan al-Qur’an, dapat diperoleh informasi bahwa sebelum kedatangan al-Qur’an, sebagian penduduk Makkah sangat menginginkan adanya agama baru seperti Yahudi dan Kristen. Keadaan yang seperti ini sebagiannya adalah disebabkan karena masuknya ide-ide Yahudi-Kristen ke mileu Arab. Mereka menginginkan sebuah agama baru dan sebuah Kitab Suci baru, sehingga mereka berbeda dari kaum-kaum yang terdahulu dan bahwa mereka tidak suka menerima Kitab-Kitab Suci yang terdahulu. Bahkan ketika al-Qur’an dibawakan oleh Nabi Muhammad, terjadi perbantahan-perbantahan pula dari antara penduduk Makkah supaya ajaran-ajaran al-Qur’an diubah. Mereka menghendaki  beliau untuk memberikan tempat pada tuhan-tuhan mereka di antara Allah dengan manusia. Kenyataan ini dapat menerangkan mengapa mereka tidak mau memandang Yesus lebih tinggi daripada tuhan-tuhan mereka sendiri.[52]
Karenanya ketika ajaran-ajaran Nabi (bahwa  Allah itu Esa, bahwa orang-orang yang miskin harus diberi kesempatan untuk maju, dan di saat terakhir nanti ada hari pengengadilan) mulai mendapat tantangan, banyak kisah-kisah mendetail mengenai para Nabi di  zaman dahulu yang diulangi di dalam al-Qur’an. Hampir merupakan kenyataan yang tak dapat diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad pernah mendengar kisah-kisah tersebut dari orang-orang tertentu dengan identifikasi yang tak dapat ditemukan lagi dan orang-orang Makkah sendiri tidak enggan-enggan untuk menunjukkan kenyataan ini. Meskipun demikian Nabi Muhammad berkeras mengatakan bahwa kisah-kisah tersebut telah diwahyukan oleh Allah. Karena kesamaan spiritual dengan nabi-nabi zaman dahulu melalui penerimaaan Wahyu itu, Muhammad benar-benar yakin mengenai keidentikan setiap risalat yang disampaikan oleh nabi-nabi.
Jika Allah itu Esa dan Risalatnya juga esa serta pada dasarnya tidak dapat dipecah-pecah, maka ummat manusia harus menjadi satu kaum.  Karena di antara para penganut agama-agama yang terdahulu itu ada yang membenarkan misinya maka Muhammad ingin mempersatukan agama-agama tersebut ke dalam  sebuah masyarakat, menurut ajaran-ajaran dan persyaratan-persyaratannya, tetapi begitu bertambah luas pengetahuannya mengenai perbedaan di antara agama-agama dan sekte-sekte tersebut, lambat laut ia pun segera menyadari bahwa persatuan itu tidak mungkin digalang.  Hal yang penting di sini adalah efek dari persepsi Muhammad mengenai keanekaragaman tersebut terhadap perkembangan masyarakat Muslim.
Ide Nabi Muhammad untuk menegakkan masyarakat seagama tidak tercetus di Madinah (sebagaimana yang dinyatakan Hurgronye), tetapi sebenarnya sudah ada ketika ia di Makkah.  
Selain itu, jika Muhammad mengikuti serta menerima warisan nabi-nabi di zaman dahulu dan al-Qur’an menerima warisan dari Wahyu-wahyu Allah yang terdahulu, maka kaum Muslimin pada zaman sekarang ini menerima warisan dari kaum-kaum yang terdahulu. Ketika Muhammad benar-benar yakin bahwa ia memiliki kedudukan yang sama seperti nabi-nabi di zaman dahulu, bahwa orang-orang Arab jahiliah yang menyembah berhala itu berada di dalam kesesatan, dan bahwa kaum-kaum lain yang terpecah belah itu pun berada di dalam kesesatan, maka oleh al-Qur’an ia dijuluki sebagai seorang yang hanif (monotheis sejati), dan agamanya dinyatakan sebagai “agama yang lurus” (al-din al-qayyim). Bahwa agama ini adalah monotheisme murni yang sangat dipujikan kepada Ibrahim dan secara khusus diperkembangkan untuk menentang pemujaan terhadap dewa-dewa jahiliah, terlihat dengan jelas dari ayat-ayat 12:37-40.[53]
Sehubungan dengan orang-orang jahiliah itulah, al-Qur’an menonjolkan Ibrahim sebagai nabi teladan dan monotheis sejati. Penonjolan Ibrahim ini tidak terjadi di Madinah karena pertentangan-pertentangan dengan orang-orang  Yahudi seperti yang dinyatakan oleh Hurgronye dan Schwally. Namun garis turunan monotheistik yang bersumber pada Ibrahim, melalui nabi-nabi yang lain, sehingga Muhammad harus dipertahankan kelurusannya tanpa deviasi.[54]
Perkembangan-perkembangan penting memang terjadi di Madinah, namun al-Qur’an tidak memandang Musa dan Isa sebagai milik orang-orang Yahudi dan Kristen semata-mata dan tidak menyatakan bahwa Ibrahim secara langsung dan eksklusif adalah milik kaum Muslimin. Seperti yang terjadi di Makkah, di Madinah pun Musa dan Isa mendapat tempat yang penting. Wahyu-wahyu Alllah yang terdahulu tetap dipentingkan dan al-Qur’an menyatakan bahwa ia membenarkan dan mempertahankan Wahyu-Wahyu tersebut. Jadi sebuah perkembangan penting yang terjadi di Madinah adalah bahwa Wahyu-Wahyu Allah yang terdahulu – Taurat dan Injil – disebutkan nama-namanya. Hal ini berbeda dengan di Makkah dimana Kitab Injil hampir tidak pernah disinggung (walaupun sudah tentu ada disebutkan Isa beserta tokoh-tokoh Perjanjian Baru lainnya), sedang wahyu Allah kepada Musa  selalu disebutkan sebagai “Kitab Musa” dan berulangkali dinyatakan sebagai pendahulu al-Qur’an.
Pertimbangan penting kedua yang terjadi di Madinah adalah pengakuan terhadap adanya tiga kaum yang masing-masing berdiri sendiri: Yahudi, Kristen, dan Muslim. Al-Qur’an sama sekali tidak berpaling kepada Ibrahim untuk memberikan validitas kepada kaum Muslimin.
Setelah hijrah ke Madinah, Yerusalem tetap merupakan kiblat di dalam shalat kaum Muslimin. Jadi perubahan kiblat dari Yerusalem ke Ka’bah berarti sudah dipraktekkan lebih dahulu –tidak seperti ziarah ke Ka’bah—dan harus menunggu hingga Ka’bah sebagai pusat tempat suci Islam yang resmi ini dimantapkan di dalam sistem Islam. Setelah pemantapan resmi ini barulah jelas di mana letaknya titik gravitas Islam, dan hal inilah yang menyebabkan perubahan kiblat. Terakhir sekali kita harus mempertanyakan validitas dari konsep ‘putusnya hubungan dengan orang-orang Yahudi”tersebut. Tidak ada peristiwa, pernyataan, maupun tindakan yang khusus dari Nabi atau orang-orang Yahudi yang dapat dijadikan pedoman untuk konsep tersebut.
Dari pemaparan di atas, pemakalah mengambil kesimpulan bahwa metodologi tafsir Rahman menggunakan pendekatan sintetik-logis, yaitu dengan cara mensintesakan ayat-ayat al-Qur’an secara logis daripada kronologis, dimana al-Qur’an dibiarkan berbicara sendiri dan penafsirannya dilakukan untuk membuat jalinan di antara konsep-konsep berbeda (dalam hal teologi dan metafisika). Namun demikian, Rahman juga menggunakan pendekatan historis-kronologis (dalam menafsirkan ayat dalam hal sosial). Dan dapat dikatakan bahwa tafsir Rahman merupakan tafsir tematik (maudlu’i), karena menafsirkan ayat al-Qur’an dengan tema-tema tertentu.[55]

C.  KESIMPULAN

Ada tiga kata kunci dalam memahami hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman, yakni pendekatan sosio-historis, teori gerakan ganda, dan pendekatan sintetis-logis. Yang dimaksud dengan pendekatan histori sembari memperbaiki aspek sosiologinya  yang kemudian disingkat menjadi pendekatan sosio histori  dalam memahami ayat-ayat Al Qur’an, khususnya yang berkaitan dengan masalah social, dalam pendekatan ini Fazlur Rahman mengandalkan ilmu asbabun nuzul untuk mengetahui latar belakang turunnya ayat; selanjutnya pentingnya pembedaan antara ketetapan legal spesifik dengan tujuan atau “Ideal Moral” Al – Qur’an yang kemudian disebut dengan teori double Movement atau gerakan ganda. Teori ini hampir mirip dengan kaidah al-Ibrotu biumumil lafdi la bikhususi asbab yaitu memahami nash Al-Quran dengan lebih membawanya kepada keumuman lafad bukan sebab khusus ayat itu turun. 2 pendekatan ini digunakan  Fazlur Rahman dalam menafsiri ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum. Dari sini muncul persoalan bagaimana dengan ayat-ayat dalam al-Quran yang berkaitan dengan dunia metafisik seperti Konsep Tuhan dalam al-Quran, Wahyu, Surga Neraka dll. Menjawab hal ini Fazlur Rahman menawarkan pendekatan yang ketiga yakni pendekatan sintesis logis. Pendekatan sintetis-logis adalah pendekatan yang membahas suatu tema (metafisis-teologis) dengan cara mengevaluasi ayat-ayat yang berhubungan dengan tema yang dibahas atau tema-tema yang relevan dengan tema yang dibahas. Didalam bukunya The Major Themes of Qur’an, Fazlur Rahman membagi tema al-Quran menjadi 8 bagian. 1) Tuhan, 2) Manusia sebagai individu, 3) Manusia Anggota Masyarakat, 4) Alam Semesta, 5) Kenabian dan Wahyu, 6) Eskatologi, 7)Setan dan Kejahatan, 8) Lahirnya Masyarakat Muslim. Kedelapan tema ini tidak ada kaitannya denga ayat-ayat yang beraitan denga hukum, oleh karena itu pendekatan yang dipakai dalam menjelasan konsep kedelapan tema ini adalah pendekatan sintesis logis.

D.  DAFTAR PUSTAKA


Affandi, Fatah Rosihan. 2002.  Skripsi Study Analisis Fazlur Rahman Tentang Manusia. Semarang : Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang.
Ihsan, Ali Fauzi. 1993. Mempertimbangkan Neo-Modernisme. dalam Jurnal Dialog Pemikiran Islam. Islamika, No.2. Oktober-Desember
Jazil, Hamidi. 2013. Metodologi Tafsir Fazlur Rahman Terhadap Ayat-ayat Hukum dan Sosial. Malang: UB Press.
Mas’ adi, Ghufron A. 1997. Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metode Pembaharuan  Hukum islam Jakarta; RajaGrafindo Persada.
Mustaqim, Abdul. 2011. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: Lkis Printing Cemerlang.
Rahman, Fazlur. 1982. Islam dan Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: The University of Chicago Press.
                         . 1983. Tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyudin. Bandung: Pustaka.

                         . Tanpa tahun. interpreting the qur’an. Tanpa tempat dan penerbit.

                         . 2001. Gelombang Perubahan Dalam Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

Sibawaihi. 2007. Hermeneutika Al Quran Fazlur Rahman. Yogyakarta: Jalasutra.
     https://andiuripurup.wordpress.com/2013/05/29/hermeneutika-fazlur-rahman/



[1] Sibawaihi, Hermeneutika Al Quran Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), hlm. 17.
[2] Sibawaihi, Op.cit, hlm. 83.
[3] Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metode Pembaharuan  Hukum islam, (Jakarta; RajaGrafindo Persada, 1997), Cet. 1, hlm. 26.
[4] Ali Fauzi Ihsan, “Mempertimbangkan Neo-Modernisme”, dalam Jurnal Dialog Pemikiran Islam, Islamika, No.2 (Oktober-Desember 1993), hlm. 3.
[5] Fatah Rosihan Affandi,  Skripsi Study Analisis Fazlur Rahman Tentang Manusia, (Semarang : Fakultas
Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, 2002), hlm.33-34.
[6] Peringkasan ini tidak didasarkan semata-mata pada artikelnya (Islamic Modernism: It  Scope, Method and Alternative, ditulis pada 1970) tapi juga sekaligus menyesuaikan dengan perkembangan pendekatan-pendekatan Rahman. Penyebutan ideal moral yang dalam artikel itu sendiri tidak ditulis didasarkan pada tawaran Rahman dikemudian hari, yakni setelah ia menawarkan teori gerakan gandanya.
[7] Sibawaih, Op. cit., hlm. 52-53
[8] Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: The University of Chicago Press, 1982)hlm. 151
[9] Sibawaih, Op. Cit., hlm. 55-56
[10] Fazlur Rahman, Op. cit., hlm. 31
[11] Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Op. cit., hal 5
[12] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyudin (Bandung: Pustaka, 1983), hlm. xi
[13] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: Lkis Printing Cemerlang, 2011), hlm. 183
[14] Fazlur Rahman, “interpreting the qur’an, hlm. 45-46
[15] Sibawaih, Op. cit., hlm. 68
[16] Fazlur Rahman, Major Themes of the Al – Qur’an, Op. cit, hlm. xi
[17] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyudin, Op. cit., hlm. 1.
[18] Ibid., hlm. 2.
[19] Ibid., hlm. 6.
[20] Ibid.,hlm. 26.
[21] Ibid.,hlm. 26
[22] Ibid.,hlm. 43
[23] Ibid.,hlm. 54
[24] Ibid.,hlm. 61
[25] Ibid.,hlm. 63
[26] Ibid.,hlm. 65-67
[27] Ibid.,hlm. 71
[28] Ibid.,hlm. 89
[29] Ibid.,hlm. 95
[30] Ibid.,hlm. 97
[31] Ibid.,hlm. 100
[32] Ibid.,hlm. 101
[33] Ibid.,hlm. 102
[34] Ibid.,hlm. 106
[35] Ibid.,hlm. 107
[36] Ibid.,hlm. 108
[37] Ibid.,hlm. 117
[38] Ibid.,hlm. 118
[39] Ibid.,hlm.121
[40] Ibid.,hlm. 122
[41] Ibid.,hlm. 124-125
[42] Ibid.,hlm. 130
[43] Ibid.,hlm. 132-133
[44] Ibid.,hlm. 154
[45] Ibid.,hlm. 163
[46] Ibid.,hlm. 169
[47] Ibid.,hlm. 178
[48] Ibid.,hlm. 183
[49] Ibid.,hlm. 184
[50] Ibid.,hlm. 192
[51] Ibid.,hlm. 194
[52] Ibid.,hlm. 198
[53] Ibid.,hlm. 207
[54] Ibid.,hlm. 208

No comments:

Post a Comment