PENDEKATAN FAZLUR ROHMAN DALAM MAJOR THEMES
OF THE QUR’AN
Oleh:
YOVI NUR ROHMAN (16771009)
Magister Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang
A. DASAR
PEMIKIRAN
Al-Quran adalah kitab
suci yang akan selalu ditafsirkan, terutama dalam ayat-ayat yang masih bersifat
mujmal (Global). Al-Quran memberikan
kesempatan yang luas bagi umat Islam untuk menggali ilmu pengetahuan
didalamnya. Telah banyak Ilmuan muslim
yang muncul dan mencoba menerapkan sebuah metode dan pendekatan yang
berbeda-beda dalam menafsitri al-Quran. Misalnya, Muhammad Abduh, Hasan Hanafi,
Rosyid Ridho, Fazlur Rahman seperti yang akan dibahas dalam makalah ini.
Fazlur Rahman (1332
H./1919 M. – 1408 H./1988 M.), dikenal sebagai salah seorang tokoh intelektual
Islam modern yang tergolong briliant. Kecerdasannya tercermin dari berbagai
gagasan yang dia tuangkan dalam sejumlah buku dan artikel, mulai dari persoalan
filsafat, teologi, tasawuf, hukum, sampai pada perkembangan Islam kontemporer.
Sehubungan dengan tantangan kehidupan modern, rupa-rupanya membuat Fazlur
Rahman berpikir keras dalam menemukan ‘resep’ yang mampu mengatasi problem yang
muncul, dan menyadarkannya untuk mengkaji ulang beberapa pandangan yang
mentradisi di kalangan umat Islam, tetapi terkesan kurang akomodatif bahkan
‘sulit’ ketika berhadapan dengan perkembangan kehidupan modern. Dalam konteks
ini, Fazlur Rahman hadir dengan tawaran pemikiran dan rumusan metodologi
bagaimana al-Qur’an sebaiknya dipahami sehingga nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya selalu aktual dan relevan dengan isu-isu dan problem yang dihadapi
umat Islam.
Melalui bukunya The
Major Themes of Qur’an, Fazlur Rahman mencoba menawarkan sebuah pendekatan yang
baru dalam menafsiri Al-Quran. Dalam buku tersebut Fazlur Rahman membagi
tema-tema pokok al-Quran menjadi 8 bagian yang akan dijelaskan dengan
pendekatan-pendekatan yang beliau rumuskan. Dalam makalah ini penulis berusaha
menjabarkan pendekatan Fazlur Rahman dalam bukunya The Major Themes of
Al-Quran.
B. PEMBAHASAN
1.
Biografi Fazlur Rahman
Fazlur Rahman lahir di Hazara, kini menjadi bagian dari Pakistan, pada 21
September 1919.[1] Beliau
adalah seorang pemikir modernis-kontemporer Islam yang dicatat sejarah pada
penghujung abad kedua puluh. Ayah Fazlurrahman bernama Maulana Syahab al Din,
seorang ulama terkenal lulusan madrasah Deoband (sebuah lembaga yang mengkaji
tentang pemahaman islam salafi yang fokus pada Fiqih, Ilmu Kalam, Hadits,
Tafsir, dan yang lainnya) lembaga tersebut didirikan oleh Muhammad
Qasim Nanotawi pada tahun 1867. Meskipun Maulana Syahab al-Din berpendidikan
agama tradisional, akan tetapi ia sangat menghargai sistem pendidikan modern.
Ayahnya Maulana Shihabudin adalah alumni
dari sekolah menengah terkemuka
di India, Darul
Ulum Deoband . Meskipun Fazlur Rahman tidak belajar di Daril Ulum,
ia menguasai kurikulum Dares Nijami yang ditawarkan di
lembaga tersebut dalam kajian
privat dengan Ayahnya,
ini melengkapi latar
belakangnya dalam memahami islam
tradisional dengan perhatian khusus pada fikih, Ilmu kalam, Hadits, Tafsir,
Mantiq, dan Filsafat.
Rahman masa kecil hidup dalam suasana yang kental dengan tradisi madzhab
Hanafi, sebuah madzhab Sunni yang akomodatif dalam penggunaan rasionalitas,
dibandingkan dengan tiga madzhab Sunni lainnya.[2]
hal inilah yang menjadikan pemikiran beliau lebih mementingkan pemikiran yang
rasional.
Pada tahun 1933, Fazlur Rahman melanjutkan pendidikannya di sebuah
sekolah modern di Lahore. Selain mengenyam pendidikan formal, Fazlur Rahman pun
mendapatkan pendidikan atau pengajaran tradisinonal dalam kajian-kajian
keislaman dari ayahnya, Maulana Syahab al Din. Materi pengajaran yang diberikan
ayahnya ini merupakan materi yang ia dapat ketika menempuh pendidikan di Darul
Ulum Deoband, di wilayah utara India. Ketika berumur empat belas tahun, Fazlur
Rahman sudah mulai mempelajari filsafat, bahasa Arab, teologi atau kalam, hadis
dan tafsir.
Setelah menamatkan pendidikan menengah di madrasah, Ia melanjutkan
studinya di Departemen Ketimuran, Universitas Punjab. Pada tahun 1940 ia
menyelesaikan program Bachelor of Art (BA), dua
tahun kemudian yakni tahun 1942, ia berhasil meraih gelar MA, dalam
sastra Arab. Sekalipun ia terdidik dalam lingkungan pendidikan Islam tradisional,
sikap kritis mengantarkan jati dirinya sebagai seorang pemikir yang berbeda
dengan kebanyakan alumni madrasah. Sikap kritis yang menggambarkan
ketidakpuasan terhadap sistem pendidikan tradisional, terlihat dari
keputusannya studi ke Barat untuk memperoleh gelar Philosphy Doctor (Ph.D)
di Oxford University, Inggris. Pada tahun 1946, satu tahun sebelum Pakistan
mendeka ia berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya di Oxford
University. Keputusannya merupakan awal sikap kontroversi Rahman. Keputusannya
untuk melanjutkan studi Islamnya ke Barat, Oxford, bukan tanpa alasan yang
kuat. Kondisi obyektif masyarakat Pakistan belum mampu menciptakan iklim
intelektual yang solid.
Pada tahun 1950-1958 dia menjadi dosen
dalam mata kuliah Bahasa Persia dan Filsafat Islam di Universitas
Durham. Kemudian pada tahun 1958 Fazlur Rahman ditunjuk sebagai ketua
Institut dalam pendidikan Islam di Universitas McGill, Monteral, Kanada, dia
mengemban amanah itu sampai tahun 1961. Pada tahun 1962 dia dinamai sebagai
direktur pada lembaga pusat kajian Islam Pakistan, dan itu dia emban sampai
tahun 1968. Pada Tahun 1969, dia diberi gelar profesor dalam pemikiran Islam
oleh Universitas Chicago, dan tahun 1987 dia diberi gelar Profesor kehormatan
karena kontribusinya dalam ilmu pengetahuan. Fazlur Rahman, Pengarang 10 buku
dan ratusan artikel membuat dia menerima penganugrahan Levi Delia Veda yang
diselenggarakan oleh UCLA.[3]
Usaha-usaha untuk melakuakan perubahan pemikiran Islam dengan merumuskan
metodologi tafsir juga mulai digeluti Rahman. Akan tetapi hampir seluruh
pandangannya mendapat resistensi yang sangat keras dari para ulama konservatif
dan bahkan Rahman nyaris dibunuh. Beberapa pengamat menilai bahwa penolakan
terhadap pemikiran Rahman bersifat politis di mana penolakan itu sebenarnya
ditujuakan kepada rezim Ayyub Khan yang dipandang sangat otoriter. Melihat
kondisi itu, Rahman akhirnya hengkang dari pakistan. Pada 1968 ia hijrah dari
Pakistan ke Chicago, Amerika Serikat dan menetap di sana hingga wafatnya pada
tahun 1988.[4]
Beberapa
karya-karya yang pernah ditulis oleh Fazlur Rahman, antara lain:
a.
Buku Fazlur Rahman
1)
am Is l996.
2)
Islamic Methodology in History 1965.
3)
Prophecy in Islam.
4)
Major Themes of The Qur’an ( 1980 ).
5)
The Philosophy of Mulasadra.
6)
Islam and Modernity Transformative of on
Intelektual Tradition ( 1982 ).
b.
Artikel Fazlur Rahman :
1)
Some Islamic Issues In the Ayyub Khan
Era.
2)
Islamic Challenges and Opportunist.
3)
Forwards Reformulating The Methodology of
Islamic Law : Syaikh Yamani on Public Interest in Islamic Low.
4)
Islam Legacy and Contemporary Challenges
5)
Islam in The Contemporary World
6)
Root of Islamic Neo Fundamentalism.
7)
Change and The Muslim World.
8)
The Impact of Modernity on Islam.
9)
Islamic Modernism It’s Scope, Method and
Alternative.
10)
Divines Revelation and The Prophet.
11)
Interpreting the Qur’an.
12)
The Qur’anic Concept of God, the Universe
and Man.
2.
Macam-macam Pendekatan Fazlur Rahman dalam
menafsiri Al-Quran
Fazlur Rahman adalah seorang tokoh pemikir Islam yang juga terkenal dengan
metode hermeneutikanya dalam menafsiri al-Quran. Didalam metode hermeneutika
yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman beliau menawarkan pendekatan hermeneutik yang telah beliau rumuskan. Hal
ini berimplikasi terhadap Metodologi tafsir al-Qur’an Fazlur
Rahman dinisbatkan dengan hermeneutika, bukan tafsir atau ta’wil dalam
pengertian konvensional, sebagaimana yang lazim digunakan oleh para mufasir.
Rahman sendiri tidak pernah mengklaim jenis hermeneutika yang dianutnya. Namun
karena teori interpretasinya menampakkan sesuatu yang baru dan progresivitas, para pengamat
menggolongkan dalam kajian hermeneutika.
Ada tiga kata kunci dalam memahami hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman, yakni
pendekatan sosio-historis, teori
gerakan ganda, dan pendekatan sintetis-logis.
Dari ketiga kata kunci diatas,
langkah prosedural Rahman dapat diringkas menjadi 2 bagian: pertama, pentingnya
pendekatan histori sembari memperbaiki aspek sosiologinya yang kemudian disingkat menjadi pendekatan sosio histori dalam memahami
ayat-ayat Al Qur’an, khususnya yang berkaitan dengan masalah social;kedua,
pentingnya pembedaan antara ketetapan legal
spesifik dengan tujuan atau “Ideal
Moral” Al – Qur’an yang kemudian disebut dengan teori double
Movement atau gerakan ganda.[6]
a.
Pendekatan Sosio Historis
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah melihat
kembali sejarah yang melatari turunnya ayat. Ilmu asbabun nuzul sangat
penting dalam hal ini. Atas dasar apa dengan motif apa suatu ayat diturunkan
akan terjawab lewat pemahaman terhadap sejarah. Pendekatan historis hendaknya dibarengi dengan pendekatan sosiologis, yang khusus memotret kondisi sosial yang terjadi pada
masa al-Qur’an diturunkan. Dalam ranah sosiologis
ini, pemahaman terhadap al-Qur’an akan senantiasa menunjukkan elastisitas
perkembangannya tanpa mencampakkan warisan historisnya.
Dengan demikian universalitas dan fleksibilitas al-Qur’an senantiasa
terpelihara.[7]
Dengan pengadopsian sumber-sumber periwayatan yang
sahih dan didukung oleh hukum akal, Rahman menerapkan pendekatan sosio-historis. Pendekatan ini
dipandangnya sebagai satu-satunya cara yang bisa diterima dan dapat
berlaku adil terhadap tuntunan intelektual dan moral. Melalui pendekatan
ini pula, umat islam dapat mempertimbangkan lebih lanjut nilai-nilai
perkembangan yang terjadi dalam sejarah. Sebagaimana ditulis oleh Rahman:
Tugas utama dalam menangani Islam dan
disipilin-disiplin keislaman secara historis sejauh ini hanya dilakukan oleh
sarjana-sarjana barat. Sebab, mereka telah mengembangkan metode-metode dan
perangkat-perangkat yang lebih baik. Padahal, hal itu mestinya menjadi tugas
yang harus dilaksanakan oleh umat Islam sendiri. Ini karena, pertama,
kecermatan dan kemenyeluruhan menuntut usaha terjun dalam skala besar seperti
itu. Kedua, umat islamlah yang membutuhkan kajian historis ini supaya mereka
dapat mempertimbangkan lebih lanjut nilai perkembangan historis ini guna
merekontruksi disiplin-disiplin keislaman dimasa datang.[8]
Di sini perlu dibedakan antara Islam normatif dan
Islam historis. Pembedaan ini sekaligus merespon kesalahan ulama klasik yang
disatu sisi terlena dengan beragam doktrin Islam yang telah menjadi sejarah,
disisi alain, kehilangan kemandirian untuk memahami Islam. Mereka terkesan
menghentikan laju deras sejarah pergerakan ilmu-ilmu Islam. Akibatnya,
ilmu-ilmu Islam tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Dalam kondisi
seperti itu, kajian-kajian keislaman tidak mau menerima masukan dari keilmuan
modern Barat.
Islam normatif
adalah sumber norma dan nilai yang mengatur seluruh tata kehidupan. Ia bersifat
universal. Sedangkan Islam historis merupakan Islam yang
diterjemahkan oleh umat Islam sepanjang sejarah. Meskipun Islam normatif sebagai penilai terhadap Islam historis, yang terakhir ini tidaklah
lantas dibuang begitu saja karena diperlukan untuk pengoperasian sosio-historis. Dengan membedakan antara
Islam historis dan Islam normatif, umat Islam akan memiliki
perspeksi kesejarahan. Dengan begitu, umat Islam akan memiliki landasan untuk
membicarakan ajaran – ajaran agamanya.[9]
b.
Dobel Movement (Gerakan ganda)
Langkah berikutnya setelah penekanan pada pendekatan
sosio-historis adalah pentingnya membedakan antara legal spesifik dan ideal
moral yang dikenal dengan istilah gerakan ganda (double movement). Ideal
moral adalah tujuan dasar moral yang dipesankan al-Qur’an. Sedangkan legal
spesifik adalah ketentuan hukum yang ditetapkan secara khusus. Ideal moral
al-Qur’an lebih patut diterapkan ketimbang ketentuan legal spesifiknya sebab
ideal moral bersifat universal. Dengan ini Rahman berharap agar hukum-hukum
yang akan dibentuk dapat mengabdi pada ideal moral, bukan legal spesifiknya
karena al-Qur’an selalu memberi alasan bagi pernyataan legal spesifiknya.
Langkah yang dilakukan, pertama memperhatikan konteks
mikro dan makro ketika ayat diwahyukan. Konteks mikro adalah situasi sempit
yang terjadi dilingkuangn Nabi ketika Al – Qur’an diturunkan. Sedang konteks
makro adalah situasi yang terjadi dalam skala yang lebih luas, menyangkut
masyarakat, agama dan adat istiadat Arabia pada saat datangnya Islam, khususnya
di Makkah dan sekitarnya. Disini lah, konsep asbabun nuzul dan nasikh-mansukh amat
diperlukan.
Menurut Rahman, Al – Qur’an adalah respon ilahi, yang
diturunkan melalui ingatan dan pikiran Nabi, kepada situasi sosio-moral Arab
pada masa Nabi. Sehubungan dengan pernyataan ini, ia mengatakan: ”Al – Qur’an
secara keseluruhannya adalah kalam Allah. Sedang dalam pengertian biasa, juga
seluruhnya adalah perkataan Muhammad”.[10]
Dalam sejarahnya, pernyataan ini telah menimbulkan kehebohan di Pakistan, yang
harus ditebus dengan pengunduran dirinya dari jabatan direktur Lembaga Riset.
Ini menjadi derap langkah awal watak kontroversinya. Kedua,
menerapkan nilai dan prinsip umum tersebut pada konteks pembaca al-Qur’an
kontemporer. Pendekatan ini oleh Rahman digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat
hukum dan sosial.
Tafsir hermenetika gerakan ganda Rahman pada intinya
lebih merupakan respon terhadap pendekatan yang dilakukan oleh ulama
tradisional. Teori gerakan ganda mengkanter teori asbabun nuzul penafsir
tradisional. Dalam teori asbabun nuzul, terdapat dua kaidah yang
saling berlawanan: ” al-’ibrah bi umumil al-fadz la bi khusi al sabab,
dan al-’ibrah bi khusi al sabab la bi umumil al-fadz”. Yang
pertama berpegang kepada keumuman lafadz saja tanpa memperhatikan sebab-sebab
khusus yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat. Yang kedua berpandangan
sebaliknya, hanya berpegang pada sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi
turunnya ayat tanpa mempertimbangkan keumuman lafadz. Pandangan parsialistik
dan dikotomistik ini menyebabkan penafsiran Al – Qur’an ulama tradisional
menjadi tidak komperehensif. Pendekatan ini jelas akan menghalangi
berkembangnya pandangan dunia Al – qur’an.
Dalam metode
ini Fazlur Rahman mempunyai tujuan untuk menghindari adanya penafsiran parsial
dan pemaksaan gagasan non-Qur’ani dalam Al-Qur’an. Fazlurrahman memandang
penting dilakukan rekonstruksi metodologi penafsiran Al-Qur’an. Dalam hal ini,
Rahman menawarkan metode tematik dan hermeneutika double movement, yakni
proses interpretasi yang melibatkan “gerakan ganda”, dari situasi sekarang
menuju situasi di mana Al-Qur’an diturunkan, untuk kemudian kembali lagi kemasa
sekarang.[11]
Namun demikian,
harus dipahami bahwa metode hermeneutika double movement hanya
efektif diterapkan dalam ayat-ayat hukum, bukan ayat-ayat yang metafisik.
Sebab, ketika mengkaji ayat-ayat yang terkait dengan hal-hal metafisik, seperti
konsep Tuhan, malaikat, setan, dan sebagainya, Rahman tidak menggunakan
hermeneutika double movement, tetapi menggunakan metode tematik
dengan prinsip analisis sintesis logis, di mana ayat-ayat itu dipahami melalui
metode intertekstual untuk kemudian dicari hubungan logisnya.[12]
Satu hal yang
juga perlu dicatat adalah bahwa dengan metode hermeneutika double movement
tidak berarti seseorang boleh mengabaikan pendekatan linguistik, seperti
nahwu-sharaf, filologis, dan balaghah. Menurut Rahman, pendekatan linguistic
tetap penting digunakan, namun ia harus menduduki tempat kedua dan bahwa
ayat-ayat Al-Qur’an tetap harus dinilai dengan pemahaman dari Al-Qur’an itu
sendiri. Artinya, control metodologi untuk menggali ketetapan suatu makna tidak
boleh dilepaskan dari konteks internal Al-Qur’an itu sendiri.[13]
Seperti contoh
penerapan double movement Fazlur Rahman dalam mengangkat persoalan qishash sebagai
ilustrasi. Ia berpandangan bahwa pesan al-Qur’an (QS. al-Baqarah (2): 178 dan
QS. al-Nisa’ (4): 92) memperkuat hukum pembunuhan yang telah berjalan dalam
masyarakat pra-islam. Solusi al-Qur’an ini memberi kebebasan kepada keluarga
korban untuk memilih antara menuntut balas terhadap orang yang telah melakukan
pembunuhan, yakni bunuh di balas bunuh atau meminta uang sebagai uang ganti
rugi. Di samping itu, al-Qur’an juga menambahkan bahwa pemberian maaf dari
keluarga korban dipandang sebagai suatu kebajikan yang bernilai tinggi.
Solusi-solusi
ini memandang pembunuhan sebagai kejahatan yang dilakuakan perorangan terhadap
keluarga, sehingga mereka bisa menuntut qishashatau diyat.
Tetapi, di tempat lain, ketika al-Qur’an (QS. al-Maidah(5): 32) berbicara
tentang pembunuhan terhadap seorang anak Adam (habil) oleh (Qabil) dinyatakan
bahwa :
مِنۡ
أَجۡلِ ذَٰلِكَ كَتَبۡنَا عَلَىٰ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ أَنَّهُۥ مَن قَتَلَ
نَفۡسَۢا بِغَيۡرِ نَفۡسٍ أَوۡ فَسَادٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ
جَمِيعٗا وَمَنۡ أَحۡيَاهَا فَكَأَنَّمَآ أَحۡيَا ٱلنَّاسَ جَمِيعٗاۚ وَلَقَدۡ
جَآءَتۡهُمۡ رُسُلُنَا بِٱلۡبَيِّنَٰتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرٗا مِّنۡهُم بَعۡدَ ذَٰلِكَ
فِي ٱلۡأَرۡضِ لَمُسۡرِفُونَ ٣٢
”Oleh karena
itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang
membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau
bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh
manusia seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia,
Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya…”
Prinsip ini,
tandas Fazlur Rahman, dengan jelas menjadikan pembunuhan sebagai suatu kejahatan
terhadap kemanusiaan, bukan hanya terhadap keluarga si korban. Sayangnya, para
ahli hukum islam (fuqaha’) tidak pernah membawa solusi al-Qur’an itu ke
bawah prinsip umum yang dimuat dalam QS. al-Maidah (5): 32 dan selalu memandang
kejahatan pembunuhan sebagai suatu kejahatan pribadi.[14]
c.
Pendekatan Sintesis Logis
Jika dalam memahami ayat-ayat hukum dan sosial Rahman
menggunakan pendekatan sosio-historis dan gerakan ganda, tidak demikian halnya
ketika Rahman berhadapan dengan ayat-ayat metafisi-teologis. Untuk wilayah ini,
Rahman menggunakan pendekatan sintetis-logis. Apa itu sintesis – logis?
sintetis-logis adalah pendekatan yang membahas suatu tema (metafisis-teologis)
dengan cara mengevaluasi ayat-ayat yang berhubungan dengan tema yang dibahas
atau tema-tema yang relevan dengan tema yang dibahas[15].
Ini lagi-lagi adalah tindak lanjut dari kritisime Rahman atas pendekatan ulama
abad pertengahan yang cenderung bersifat parsialistik dan atomisti, tanpa
melihat keutuhan wahyu.
Rahman, dalam buku Major Themes of
the Qur’an-nya, terdeteksi secara keseluruhan memuat aspek-aspek
metafisis-teologis, metode interpretasi sistematis hampir sama sekali tidak
diterapkan. Hal ini dikarenakan untuk kedua wilayah garapan tersebut prosedur
yang lebih tepat dikenakan adalah pendekatan sintesis logis. Dalam pendahuluan
buku tersebut, Rahman mengatakan :
”kecuali dalam
penggarapan beberapa tema penting semisal aneka komuniksi agama, kemungkinan
dan aktualitas mukjizat, serta jihad, yang kesemuanya menunjukkan evolusi Al –
Quran, prosedur yang dipergunakan dalam mensistesis tema-tema lebih bersifat
logis katimbang kronologis”[16].
Maka, lewat pendekatan sintesis-logis, ketika membahas
suatu tema tertentu diharuskan untuk mengaitkan tema tersebut dengan tema-tema yang
relevan. Misal, tema yang dipilih adalah Tuhan. Untuk membahas tema ini
tidaklah semata-mata membahas Tuhan saja. Tetapi mengaitkan tema kemakhlukan
pula. Pengandainya adalah sebagai Tuhan tentu punya hamba, sebagai Khalik tentu
punya makhluk, dan sebagianya. Demikian juga sebaliknya, ketika membahas salah
satu diantara tema-tema kemahklukan, pembahasan tentang Tuhan mutlak
disertakan.
Ditinjau dari ilmu tafsir konvensional, pendekatan
sintesis-logis terlihat mirip dengan metode tafsir maudhu’i. Rahman tentu tidak
sedang menawarkan metode tafsir itu, sebab dia justru mengkritisi ilmu tafsir
itu yang menurutnya mengabaikan aspek keterpaduan ayat-ayat atau keterpaduan
tema-tema yang relevan. Meski telah mengadakan evaluasi atas ayat-ayat, tafsir
maudhu’i masih terkungkung dengan satu tema yang dibahas. Misalnya, ketika
tafsir ini dioperasikan untuk membahas tentang Tuhan, hanya mengumpulkan
ayat-ayat yang berbicara tentang Tuhan saja, tanpa mengaitkannya dengan berbagai
konsep atau tema yang mendukung keutuhan pandangan Al – Qur’an tentang Tuhan.
Sedangkan operasi dari pendekatan sintesis-logis mengendaikan terlibatnya
seluruh tema yang mendukung keutuhan itu.
3. Analisis
Pendekatan Fazlur Rahman dalam Major Themes of Al-Quran
Setelah dijelaskan
ketiga pendekatan Fazlur Rahman dalam menafsiri Al-Quran, dapat dipahami bahwa:
pendekatan sosio historis dan pendekatan gerakan ganda (doble movement), merupakan dua pendekatan yang digunakan dalam
menafsiri ayat al-Quran yang berkaitan dengan hukum. Dengan menggunakan dua
pendekatan ini Fazlur Rahman berhasil menghindari penafsiran parsial dan
pemaksaan gagasan non-Qur’ani dalam Al-Qur’an. Akan tetapi begitu dihadapkan
kepada ranah metafisik didalam al-Quran akan menemukan kendala, dan tentu saja
tidak bisa mengandalkan sosio historis. Dalam menafsiri ayat-ayat al-Quran yang
bersifat metafisik seperti ayat yang berhubungan dengan Tuhan, Malaikat, Wahyu,
Janji dan Ancaman, Fazlur Rahman menggunakan metode tematik dengan prinsip
analisis sintesis logis, di mana ayat-ayat itu dipahami melalui metode
intertekstual untuk kemudian dicari hubungan logisnya. Hal ini bisa dilihat
dari salah satu buku karangan Fazlur Rahman yang berjudul The Major Themes of Al-Quran. Didalam buku ini beliau membagi tema
al-Quran menjadi 8 tema yang semuanya berhubungan dengan hal-hal yang bersifat
metafisik. Kedelapan tema tersebut meliputi: 1) Tuhan, 2) Manusia sebagai
Individu, 3) Manusia anggota
Masyarakat, 4) Alam Semesta, 5) Kenabian dan Wahyu, 6) Eskatologi, 7) Setan dan Kejahatan, 8)
Lahirnya Masyarakat Muslim.
a.
Tuhan
Al-qur’an adalah
dokumen untuk manusia. Bahkan kitab ini menamakan dirinya sebagai “petunjuk
bagi manusia”, dan julukan lain yang senada dengan ini. Meskipun demikian
al-Qur’an menurut Rahman bukanlah suatu risalah mengenai Tuhan dan sifat-Nya.[17] Menurut
al-Qur’an, eksistensi Tuhan benar-benar bersifat fungsional-Dia adalah pencipta
dan pemelihara alam dan manusia; terutama Dia-lah yang memberikan petunjuk
kepada manusia dan yang akan mengadili manusia nanti, baik secara individual
maupun secara kolektif, dengan keadilan yang penuh belas kasih.
Ketika seseorang
membaca al-Qur’an dengan penuh penghayatan, ia akan memperoleh kesan mengenai
ketidakterhinggaan keagungan dan kasih sayang Tuhan. Tetapi yang menjadi
pertanyaan adalah: mengapa kita mempercayai Tuhan?mengapa tidak membiarkan alam
beserta berbagai proses dan segala isinya berdiri sendiri tanpa perlu meyakini
adanya yang lebih tinggi daripada alam, yang hanya merumitkan realitas serta
memberatkan akal pikiran dan jiwa manusia? Al-Qur’an mengatakan keyakinan
kepada yang lebih tinggi dari alam itu sebagai “keyakinan dan kesadaran kepada
yang gaib” (2:3, 5:94, 21:49, 35:18, 36:11, 50:33, 57:25, 67:12). Hingga
batasan tertentu dan karena wahyu Allah “yang gaib” ini dapat dilihat oleh
manusia tertentu, seperti nabi Muhammad (misalnya lihat ayat-ayat 81:24, 68:47,
52:41, 53:35, 12:102, 11:49), walaupun tidak dapat dipahami dengan sempurna
oleh siapa pun (72:26, 64:18, 59:22, 49:18, 39:46, 35-38 dan lainnya). Bagi
orang yang suka merenungi eksistensi Tuhan, itu dapat dipahami, sehingga
eksistensinya tidak lagi diyakini sebagai hal yang irasional, tetapi berubah
menjadi kebenaran yang tinggi. Dan inilah tujuan dari al-Qur’an.[18] Tuhan
tidak dapat dipandang sebagai eksistensi, di antara eksistensi-eksistensi yang
ada. Tuhan adalah dimensi yang memungkinkan adanya dimensi yang lain, karena
Tuham itu satu. Jika Tuhan ada lebih dari satu, maka akan ada satu saja yang
muncul sebagai pertama. Selain itu, eksistensi Tuhan juga dapat dilihat dari
keteraturan alam semesta, secara logis, maka akan muncul pengakuan bahwa
kesemuanya ini ada yang mengatur, yaitu yang takterbatas. Tanpa aktifitas
Tuhan, maka keteraturan alam ini akan menjadi kacau dan liar.
Rahman berpendapat
bahwa Tuhan ada “bersama” setiap sesuatu; Dia-lah Yang menyebabkan integritas
dari setiap sesuatu.[19] Tuhan
adalah makna dari realitas, sebuah makna yang dimanifetasikan, dijelaskan,
serta dibawakan oleh alam dan selanjutnya manusia. Sehingga segala sesuatu yang
ada di alam semsta ini adalah “petanda” Tuhan. Itulah mengapa al-Qur’an
berulangkali menekankan kekuasaan dan keagungan Allah.
Tuhan memberikan
kepada manusia kesadaran dan kemauan yang diperlukannya untuk menyadari tujuan
hidup yang sesungguhnya, dan inilah bukti dari kasih sayang Tuhan. Di sinilah
ujian yang paling berat bagi manusia: apakah dengan pemberian itu lantas
manusia menggunakan untuk kebaikan, atau justru sebaliknya? Untuk menghadapi
ini, maka kasih Allah mengalami puncaknya dengan mengutus Rasul, mewahyukan
kitab-Nya, dan menunjukkan jalan kepada manusia (hidayah).
Bila lebih dalam kita
cermati, ternyata di dalam al-Qur’an Tuhan tidak ditemukan bahwa al-Qur’an
“membuktikan” adanya Tuhan, tetapi “menunjukkan” cara mengenal Tuhan melalui
alam semesta. Kesimpulannya adalah, bahwa la-Qur’an harus dipelajari sedemikian
rupa sehingga keutuhan yang konkrit akan terlihat sempurna. Kedua, bahwa
pemilihat ayat-ayat tertentu untuk memproyeksikan sudut pandang yang parsial
dan subjektif memang dapat memuaskan seorang pengamat yang subjektif, tetapi
perbuatan ni bertentangan dengan ajaran al-Qur’an sendiri dan dapat
mengakibatkan abstraksi yang berbahaya.
b.
Manusia sebagai
Individu
Seperti makhluk
lainnya, manusia adalah ciptaan Allah, tetapi manusia berbeda dengan mankhluk
lainnya. Menurut Rahman, dalam diri manusia terdapat unsur ruh Allah,
sebagaimana yang terdapat dalam surat 15 ayat 29, surat 38 ayat 72, dan surat
32 ayat 9. Sekalipun demikian ia menyangkal adanya dualisme individual antara
jiwa dan raga dalam diri manusia sebagaiman terdapat pada filsafat yunani, agam
kristen dan hinduisme.[20]
Sebelum terjadi
penciptaan manusia, telah terjadi perdebatan antara Allah dan malaikat.
Malaikat berpendapat bahwa penciptaan manusia adalah hal yang kontroversial,
karena malaikat tau bahwa manusia adalah sumber kerusuhan. Allah tidak
menyanggah hal itu, namun Allah hanya memberikan jawaban bahwa Dia lebih tahu.
Kemudian Allah mengajarkan kepada manusia beberapa pengetahuan sehingga manusia
lebih dimuliakan oleh Allah dari makhluk lainnya.
Fakta moral yang
tertanam dalam inilah yang merupakan tantangan abadi manusia dan yang membuat
hidupnya sebagai perjuangan moral yang tak berkesudahan. Di dalam perjuangan
ini Allah berpihak pada manusia, asalkan ia melakukan usaha-usaha yang
diperlukan. Manusia harus melakukan usaha-usaha ini karena di antara ciptaan
Tuhan, ia memiliki porsi yang unik; ia diberi kebebasan berkehendak agar ia
dapat menyempurnakan misinya sebagai khalifah Allah di atas bumi. Misi
inilah-perjuangan untuk menciptakan sebuah tata sosial yang bermoral di atas
bumi-yang dikatakan al-Qur’an sebagai “amanah”. Amanah ini sebelumnya telah
ditawarkan kepada makhluk lainnya, namun mereka menolaknya karena tahu betapa
berat amanah ini, namun manusia menerimanya. Namun secara halus al-Qur’an
menyesalkan hal ini, “amanah ini terlampau berat bagi dirinya dan perbuatan itu
terlampau nekat, karena manusia belum menyempurnakan perintah Tuhan yang
sediakala.
Hakikat tujuan
diciptakannya manusia di muka bumi ini yakni sebgai khalifatullah mengemban
amanah Allah SWT.[21] Tantangan
terbesar manusia dalam mengemban amanah itu adalah syaitan, karena ia
melambangkan sifat kepicikan (dlaif) dan kesempitan fikir (قطر ).
Selain itu, manusia juga memiliki sifat sombong, karena banyak di antara mereka
yang “tidak mau melihat ke belakang (al-‘Aqibah), dan tidak mau melihat ke
depan, atau memberikan sumbangan kepada tujuan moral jangka panjang manusia
yang telah menjadi amanahnya. Orang-orang seperti inilah yang dikatan al-Qur’an
bagaikan hewan, bahkan lebih sesat!!
Al-qur’an tidak
henti-hentinya menyebutkan kelemahan ini dalam bentuk dan konteks yang berbeda.
Karena kepicikannya kadang manusia berlaku amat sombong tetapi lekas putus asa.
Tidak ada mahluk lain yang dapat menjadi sombong dan berputus asa sedemikian gampangnya
seperti manusia. Oleh karena itu manusia yang baik harus memiliki keseimbangan,
yang merupakan dari manifestasi integrasi aksi-aksi moral manusia yang dalam al
qur’an disebut sebagai taqwa. Akar perkataan taqwa adalah waqy, berjaga-jaga
atau melindungi diri dari sesuatu dan perkataan taqwa dengan pengertian ini
dipergunakan juga dalam al qur’an surat ke-52:27 40:45 76:11.[22]
Jadi “Taqwa” berarti melindungi
diri dari akibat berbuatan sendiri yang buruk dan jahat. Dengan demikian, taqwa
yang diistilahkan dengan “takut kepada Allah” dengan pengertian takut kepada
akibat perbuatan sendiri adalah tepat. Dengan perkataan lain, inilah rasa takut
yang timbul karena kita menyadari bahwa kita memiliki tanggung jawab dunia dan
akhirat.
c.
Manusia Anggota
Masyarakat
Tidak dapat diragukan
lagi bahwa tujuan utama al-Qur’an adalah menegakkan sebuah tatanan masyarakat
yang adil, berdasarkan etika. Dan dapat bertahan di muka bumi.[23] Rahman
mengatakan bahwa ide “berbuat aniaya terhadap diri sendiri” mengakibatkan
kehancuran individu dan masyarakat, sesungguhnya berarti menghancurkan hak
hidup di dalam pengertian sosial historis. Ini dapat dilihat dari perkataan
al-Qur’an bahwa ketia ia mengatakan kematian individu (seperti kematian fir’aun),
pada dasarnya yang dikemukakan adalah sifat yang menghancurkan diri sendiri
dari suatu cara hidup masyarakat dan budaya tertentu.
Dalam level
sosial-politik, al-Qur’an ingin menguatkan unit kekeluargaan paling dasar yang
terdiri dari kedua orang tua, anak-anak, dan kakek-nenek; dan masyarakat Muslim
yang lebih besar dengan meniadakan rasa kesukuan.[24]
Masyarakat Muslimin
berdiri karena ideologi Islam. Dalam melaksanakan urusan bersama (pemerintahan)
al-Qur’an menyuruh kaum Muslimin untuk menegakkan syura (dewan/majelis
konsultatif) di mana keinginan rakyat dapat dikemukakan melalui wakil-wakil
mereka.[25] Syura adalah
sebuah institusi Arab yang demokratis dari masa sebelum Islam dan yang kemudian
didukung oleh al-Qur’an (42:38). Meskipun menghendaki pluralisme
institusi-institusi secara liberal dan kemerdekaan individu yang asasi, di
dalam kondisi-kondisi tertentu al-Qur’an mengakui bahwa Negara sebagai wakil
masyarakat adalah yang tertinggi. Pemberontakan terhadap Negara dapat diganjar
dengan hukuman-hukuman yang sangat berat.
Inti dari keseluruhan
hak-hak asasi manusia adalah kesamaan di antara semua ras. Hal ini dibenarkan
dan didukung oleh al-Qur’an dimana al-Qur’an menghapuskan setiap perbedaan di
antara manusia kecuali perbedaan karena kebajikan dan taqwa. Al-Qur’an
menekankan persamaan manusia yang esensial karena di antara semua mahluk hidup
bangsa manusia sajalah yang memiliki keunikan. Ada 4 macam kebebasan atau
hak-hak asasi yang ditekankan oleh para ahli-ahli hukum Islam, yakni:
kebebasan/hak untuk hidup, beragama, mencari nafkah dan memiliki harta
kekayaan, dan harga diri (‘irdh). Keeempat hak ini harus dilindungi oleh
Negara. Pelangggaran terhadap hak-hak tersebut adalah “perbuatan aniaya
di muka bumi’.[26]
Terkait dengan
persamaan di antara laki dan perempuan, al-Qur’an mengatakan: “dan kaum
perempuan mempunyai hak-hak mereka (terhadap kaum laki-laki)—tetapi kaum lelaki
satu tahap lebih tinggi (daripada kaum perempuan)” (2: 228). Pada dasarnya,
al-Qur’an berpandangan bahwa ikatan perkawinan dipertahankan oleh perasaan
“cinta dan kasih-sayang” yang wajar (30:21) dan menyatakan “mereka
(isterei-isteri kamu) adalah pakaianmu dan kamu adalah pakaian mereka” (2:187).
Al-Qur’an mengharuskan suami untuk berlaku lemah lembut terhadap isterinya.[27]
Tema yang juga amat
dinyatakan al-Qur’an adalah bahwa manusia-manusia yang kuat secara terus
menerus berusaha mempengaruhi atau menekan manusia-manusia yang lemah agar
mereka melakukan tingkah laku yang bertentangan dengan kehendak mereka yang
sebenarnya. Al-Qur’an juga mengemukakan bahwa penyelewengan pemimpin-pemimpin
agama merupakan faktor terjadinya keruntuhan masyarakat, padahal para pemimpin
agama ini diharapkan dapat sebagai sumber kekuatan dan regenerasi
spiritual masyarakat Penyelewengan dapat ini terjadi ketika hati nurani mereka
tidak tergugah apabila mereka melakukan kesalahan. Dengan hati nurani yang
macam ini mereka telah mengkompromikan kebenaran dengan “hawa nafsu”.[28]
d.
Alam Semesta
Al-Qur’an hanya
sedikit sekali membicarakan tentang kejadian alam (kosmologi).
Terkait dengan metafisika penciptaan, al-Qur’an mengatakan bahwa alam semesta
dan segala sesuatu yang hendak diciptakan Allah di dalamnya tercipta sekedar
dengan firman-Nya: “Jadilah!” (2:117; 3:47, 59; 6:73; 16:40; 19:35; 36:82;
40:68). Karenanya, Allah adalah pemilik yang mutlak dari alam semesta dan
penguasa alam semesta yang tak dapat disangkal di samping pemeliharaannya
yang maha pengasih. Semua isi alam semesta ini mentaati Allah ‘secara
otomatis”, kecuali manusia yang dapat mentaati atau mengingkari Allah. (95).
Al-Qur’an menyatakan bahwa keseluruhan alam semesta itu “Muslim” karena setiap
sesuatu yang berada di dalamnya (kecuali manusia yang dapat menjadi atau tidak
menjadi “Muslim”) menyerah kepada kehendak Allah (3:83), dan setiap sesuatu memuji
Allah (57:1; 59:1; 61:1; 17:44; 24:41).[29]
Perbedaan terpenting
diantara Allah dengan ciptaan-Nya adalah : Allah itu tak terhingga dan mutlak.
Karenanya, setiap sesuatu yang diciptakannya adalah terhingga. Setiap sesuatu
mempunyai potensi-potensi tertentu namun betapapun banyaknya potensi-potensi
itu tidaklah dapat membuat yang tehingga melampaui keterhinggaannya sehingga
menjadi tak terhingga. Inilah yang dimaksud (qadar, qadr, taqdir) dimana segala
sesuatu itu tergantung pada Allah. Ketika Allah menciptakan sesuatu, Ia
memberikan kekuatan ataupun hukum tingkah laku dan dengan hukum inilah
ciptaan-Nya dapat selaras dengan ciptaan-ciptaan-Nya yang lain di dalam alam
semesta. Apabila sesuatu ciptaan melanggar hukumnya dan melampaui ukurannya,
maka alam semesta menjadi kacau. “ukuran” yang dimaksud sebetulnya mempunyai
sebuah bias yang kuat, yakni pola-pola, watak-watak, dan
kecenderungan-kecenderungan. Perkataan “ukuran” ini tidak menunjukkan teori
predeterminasi (takdir).[30]
Dinyatakan pula bahwa
manusia kerap meremehkan, melengahkan, dan bahkan mengingkari Allah karena
manusia berpandang bahwa proses-proses alam terjadi karena sebab-sebab
tersendiri. Manusia tidak menyadari bahwa alam semesta adalah sebuah petanda
yang menunjukkan kepada sesuatu yang berada “di atas”nya dan bahwa tanpa
sesuatu berada “di atas”nya itu, alam semesta beserta sebab-sebab alamiahnya
tidak pernah ada.[31]
Dengan demikian, yang
menjadi permasalahan pertama adalah bahwa manusia tidak memandang alam semesta
yang serba teratur sebagai petanda atau sebagai keajaiban yang menakjubkan.
Manusia ingin menyelingi atau menekankan proses alamiah untuk menemukan
keajaiban-keajaibian yang dilakukan Allah. Yang menjadi permasalahan kedua
adalah bahwa alam semesta sebagai petanda itu hilang apabila “ditaruh di
sisi” Allah, karena di sisi-Nya tak sesuatu pun mempunyai jaminan yang inheren
untuk ada.
Dengan demikian, alam
semesta beserta keluasan dan keteraturannya yang tak terjangkau akal ini harus
dipandang manusia sebagai petanda Allah, karena hanya Yang Tak Terhingga serta
Unik sajalah yang dapat menciptakannya. Petanda ini dapat dikatakan
sebagai petanda “alamiah”.
Namun apabila sebagian atau hampir semua manusia tidak dapat terbujuk
untuk beriman kepada Allah dengan menyaksikan proses-proses alam yang biasa,
maka untuk sementara waktu Allah dapat menyimpangkan, menekan, atapun
meniadakan kehebatan/efisasi sebab-sebab alamiah tersebut.[32]
Selain itu, ada dua
hal yang perlu dicamkan sebelum masuk pada pembahasan mengenai petanda-petanda/keajaiban yang natural
dan supranatural.[33] Yang
pertama, walaupun sebuah “petanda” atau ayat di dalam pengertian religius
menunjukkan kepada Penyebab yang paling awal, sedang transisinya dengan
pengertian bersifat rasional atau setidak-tidaknya dapat dipikirkan, namun petanda
tersebut bukanlah sebuah bukti yang rasional. Supaya dapat mengetahui maksud
dari sebuah petanda selain akal-pikiran, kita harus memiliki disposisi
tertentu, yaitu kesanggupan untuk beriman. Yang kedua, walaupun
banyak orang yang tidak dapat membedakan petanda-petanda yang berlainan,
khususnya di antara petanda-petanda supranatural atau bersifat wahyu (ayat-ayat
al-Qur’an) dengan perbuatan-perbuatan magis atau sihir, namun kedua macam
petanda-petanda ini tidaklah sama. Petanda yang supranatural atau bersifat
wahyu bersifat riil sedang perbuatan-perbuatan sihir tersebut bersifat khayal.
Petanda yang supranatural atau bersifat wahyu mempunyai kepermanenan setelah
menunjukkan kemanjurannya. Sedangkan perbuatan sihir tidak memiliki
kepermanenan kecuali di dalam dimensi psikologinya. Perbuatan magis ini
merupakan kejahatan, karena perbuatan ini mnyembunyikan dan memberikan gambaran
yang salah tentang realitas. Sedangkan sebuah petanda mampu menunjukkan
realitas di dalam kesempurnaannya. Ayat-ayat al-Qur’an adalah
“petanda-petanda” karena bersumber dari Tuhan yang menciptakan alam semesta.
Namun al-Qur’an menamakan ayat-ayatnya sebagai tabyin al-ayat, “penjelasan
terhadap petanda-petanda (Allah)” atau “pembawa ke dalam akal seperti halnya
“membawa ayat” (nusharrif al-ayat).[34]
Ayat bayyinat sering
disebut sebagai “tanda-tanda yang terang, jelas, dan tak dapat diragukan lagi”.
Dalam ayat-ayat 98:1-4, Nabi Muhammad sendiri bersama-sama dengan al-Qur’an
disebut sebagai sebuah bayyinat. Perkataan yang lebih kuat daripada bayyinat adalah burhan.
Perkataan ini berarti ‘sebuah bukti yang demonstratif” dan mengandung sebuah
faktor yang memaksakan rasionalitas. Perkataan burhan ini
dekat dengan bayyinat dan seperti bayyinat, burhan itu
terbatas pada peringatan-peringatan, keajaiban-keajaiban
supranatural dan wahyu serta akal (akal di dalam wahyu). Bayyinat itu
jelas, tegas, dan dalam hal ini secara pasif dapat ditolak, maka burhan secara
rasional dan psikologis bersifat memaksa. Burhan adalah
semacam bukti rasional (tidak hanya sekedar ‘logis”), yang dapat mengendalikan
dan mengarahkan instink-instinsk yang sangat kuat. Jenis ayat atau
petanda yang paling kuat dan yang di dalam penggunaannya hampir mirip
dengan burhan adalah sulthan. Perkataan ini secara
harfiah berarti “otoritas” atau “kekuasaan” tetapi di dalam al-Qur’an
dipergunakan sebagai semacam petanda atau bukti yang ‘membungkam
lawan”. Bayyinat jelas dan tak dapat ditolak oleh akal
yang terbuka serta tidak berprasangka, dan kekuatan burhan yang
demonstratif dapat mengalahkan prasangka-prasangka tertentu, maka sulthan mempunyai
kekuatan yang secara psikologis sifatnya hampir memaksa sehingga orang-orang
yang semula bertekad untuk menolak kebenaran terpaksa menerimanya. Perbedaaan
di antara ketiga perkataan in adalah berdasarkan kuantitas atau tingkat
kekuatan persuasifnya.[35]
Sulthan juga
dapat diartikan sebagai keajaiban supranatural (23:45) atau wahyu yang dapat
dibacakan (37:156 dan seterusnya). Perkataan ini dapat berarti sebuah dalih
untuk membenarkan aksi penghukuman, misalnya dalam ayat-ayat: “Barangsiapa
dibunuh tanpa alasan maka kepada keluarganya Kami berikan wewenang (atau
pembenaran) (untuk melakukan pembalasan). Ada pula bukti untuk menyatakan
mengenai pernyataan-pernyataan al-Qur’an bahwa petanda-petanda “historis” atau
yang merupakan peringatan tertentu mendukung kebenaran dari ajaran Muhammad.[36]
Berdasarkan pemaparan
di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa penciptaan alam semesta ini dilakukan
Allah dengan sungguh-sungguh, dan bukan dengan sia-sia atau untuk main-main.
Alam semesta in adalah karya besar yang Maha Kuasa, namun alam semesta ini
bukan diciptakan untuk memperlihatkan kebesaran dan kekuasan-Nya tetapi untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan vital manusia.
e.
Kenabian dan
Wahyu
Pemikiran Fazlur
Rahman tentang Kenabian dan Wahyu merupakan kepengasihan kepada manusia, karena
ketidak dewasaan manusia di dalam presepsi dan motivasi ethisnya. dengan adanya
nabi dan wahyu yang diutus Allah dapat mengalihkan hati nurani manusia dari kebiasaan
tradisional dan tensi hipomoral ke dalam suatu keawasan sehingga mereka dapat
menyaksikan Tuhan sebagai Tuhan dan syaitan sebagai syaitan.[37]
Dalam literatur
sejarah, seluruh nabi dan rasul di utus bagi umat tertentu dan dengan syariat
tertentu, tetapi al-Quran memandang kenabian sebagai fenomena yang bersifat
universal dan di setiap pelosok dunia pernah ada seorang nabi, baik yang
disebutkan ataupun tidak, kerena apa yang dibawa oleh nabi itu bersifat
universal, maka setiap ajaran yang dibawa oleh nabi harus di yakini oleh umat
manusia tanpa memandang waktu dan tempat nabi itu diutus. Hal ini senada dengan
ungkapan dalam al-Quran sendiri, Artinya: “Dan Sesungguhnya telah Kami utus
beberapa orang Rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan
kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu.
tidak seorang Rasulpun yang dapat membawa suatu mukjizat, melainkan dengan
seizin Allah, Maka apabila telah datang perintah Allah, pasti akan diputuskan
dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang
batil.”(QS. al-Mukmin (40): 78)
Dalam sejarah dan
al-Quran sendiri telah disebutkan bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi dan Rasul
Terakhir, “Muhammad bukanlah bapak dari salah seorang diantara kalian,
dia adalah rasul Allah dan nabi terakhir” (33:40). Dalam menafsirkan ayat
ini para pemikir, theolog, filosof dan sejarawan muslim telah mengemukakan
argumentasi, dimana adanya evolusi dalam agama yang menetapkan Islam sebagai
bentuk agama terakhir, dan ada juga yang mengatakan, penelaahan terhadap
kandungan agama-agama yang ada akan menunjukkkan Islam adalah agama yang paling
memadai dan sempurna, dan ini merupakan sebuah tema yang didukung oleh berbagai
bukti yang rumit dan beraneka ragam.[38]
Pada dasarnya semua
nabi dan rasul menyampaikan ajaran yang sama, yaitu hanya ada satu Tuhan, Yang
Esa yang patut disembah, dicintai dan di takuti. Tuhan-tuhan yang lain adalah
palsu dan tidak memiliki sifat ketuhanan. Semua makhluk adalah hamba Allah yang
berada di bawah hukum serta perintahNya, inilah doktrin tauhid al-Quran.Hal
inilah yang seharusnya dipahami oleh umat Islam karena tanpa memahami tauhid
terlebih dahulu akan sulit bagi seseorang dalam memahami Islam itu sendiri.
Apalagi pada saat ini tauhid telah banyak kehilangan kandungannya dan hanya
menjadi formula mekanika, yang tidak memiliki intensitas dan kedalaman
pemahaman tentang tauhid juga kurang memadai.[39]
Muhammad sebagai nabi
adalah penyampai kabar gembira dan peringatan, sementara missinya adala
menyampaikan wahyu Allah secara terus menerus dan pantang mundur, karena sumber
ajaran yang dia sampaikan langsung bersumber dari Allah dan sangat penting
bagi keselamatan manusia, oleh sebab itu dia harus berhasil meyakinkan hati
manusia untuk menerima dan menjalankan apa yang dia sampaikan. Secara umum
dapat dikatakan bahwa tugas Nabi Muhammad adalah memperoleh keberhasilan dalam
melaksanakan ajaran tersebut untuk memperbaiki dunia dan menghapuskan
penyelewengan diatas dunia, menegakkan sebuah tata sosial yang berdasarkan
etika dimana kebajikan diserukan dan kejahatan dicegah, yang berkuasa hanya
Allah semata.[40]
Nabi Muhammad yang
pada dasarya suka merenung, tidak suka mencampuri urusan orang lain, pemalu dan
suka menyendiri ini kadang merasa goncang batinnya sehingga membuat dia
terhenti dalam melanjutkan perjuangannya, tetapi karena dia yakin bahwa amanah
yang dia bawa adalah benar dari Allah dan harus disampaikan, dan batinnya pun
ikut memaksa dia untuk terjun ke dalam arena sejarah. Dari kenyataan ini dapat
dilihat bahwa kenapa ayat-ayat al-Quran yang turun pada awal masa kenabian
Muhammad sangat ringkas, tegas dan terdiri dari ungkapan sangat pendek, seperti
ledakan gunung berapi, atau aliran air melalui sebuah lembah, hal ini karena
malaikat yang menyampaikan wahyu Allah langsung berbicara melalui hati
Muhammad.[41]
Merupakan hal yang
tidak aneh, janggal atau tercela jika sebagai manusia biasa seorang nabi tidak
selalu konsisten. Karena sebagai manusia biasa itulah Muhammad menjadi teladan
bagi ummat manusia karena kepekaannya, sifat kasihnya dan tingkah lakunya yang
sedemikian tingginya sehingga pantaslah dia menjadi sebagai contoh. Para nabi
adalah manusia biasa yang secara terus-menerus harus berjuang di dalam
batinnya, tetapi di dalam perjuangan batin itu kebenaran dan kebajikan akan
memperoleh kemenangan. Jika para nabi tersebut tidak mengalami perjuangan batin
dan tidak menaggung penderitaan batin maka sudah pasti mereka tidak dapat
menjadi teladan bagi ummat manusia.[42]
Pengalaman religius
nabi Muhammad terjadi secara natural, sama halnya dengan ungkapan al-Quran
sendiri yang secara natural dan religus dalam mengungkapkan semua fenomena
alam, dan kedua ungkapan ini tidak ada memiliki pertentangan, sebaliknya bahasa
religius mensyaratkan adanya ungkapan naturalistis dan meliputinya.
Seperti ungkapan angin dan awan menjadi penyebab turunnya hujan, tetapi
seungguhnya Allah yang menciptakan hujan dan bekerja di dalam hukum alam.
Ungkapan religius adalah ungkapan-ungkapan yang tertinggi setelah keinginan
untuk memperleh sebab-musabab alamiah sebagai sebuah formula penjelasan
terpenuhi.[43]
f.
Eskatologi
Dalam al-Qur’an,
gambaran umum tentang eskatologi adalah kenikmatan sorga dan azab neraka. Sorga
dan neraka ini kerap dinyatakan sebagai imbalan dan hukuman secara garis
besarnya, termasuk “keridhaan dan kemurkaan Allah”. Ide pokok yang mendasari
ajaran-ajaran al-Qur’an tentang akhirat adalah bahwa akan tiba saat (al-sa’ah)
ketika setiap manusia akan memperoleh kesadaran unik yang tak pernah dialaminya
di masa sebelumnya mengenai amal-perbuatannya. Al-Qur’an juga terus menerus
menyerukan agar manusia “mengirimkan sesuatu untuk masa mendatang” (59:18),
karena apapun juga yang menimpa seorang manusia adalah hasil perbuatannya
terdahulu. Terkait dengan hal tersebut, al-akhirahsebagai nilai-nilai
terakhir (saat kebenaran) menjadi “pertimbangan” terhadap amal perbuatan
manusia yang sangat penting artinya.[44]
Al-Qur’an juga tidak
membenarkan sorga dan neraka yang sama sekali bersifat “spiritual”. Karenanya,
apa yang menjadi subjek kebahagiaan dan siksaan adalah manusia sebagai pribadi.
Apabila al-Qur’an berbicara tentang kebahagiaan dan penderitaan fisik di
akhirat nanti, maka yang dimaksudkannya bukanlah kiasan semata-mata, meskipun
Kitab Suci memang mencoba menerangkan kebahagiaan dan penderitaan akhirat itu
sebagai efek-efek dari perasaan kebahagiaan dan penderitaan yang bersifat fisik
dan spiritual. Gambaran yang amat jelas mengenai api neraka yang bernyala-nyala
dan taman sorga yang indah ini dimaksudkan untuk menerangkan efek-efek sebagai
perasaan-perasaan fisik-spiritual yang riil dan yang berbeda dari efek-efek
psikologis yang ditimbulkan oleh keterangan-keterangan tersebut. Sementara
hukuman dan kebahagiaan fisik bersifat literal dan tidak merupakan kiasan.
Al-Qur’an menjelaskan bahwa aspek spiritual dari hukuman dan kebahagiaan itulah
yang terpenting.[45]
Menurut al-Qur’an,
akhirat itu sangat penting. Ada beberapa alasan untuk menjelaskannya. Yang
pertama, moral dan keadilan sebagai konstitusi realis adalah kualitas untuk
menilai amal-perbuatan manusia karena keadilan tidak dapat dijamin berdasarkan
apa-apa yang terjadi di atas dunia. Yang kedua, “tujuan-tujuan”
hidup harus dijelaskan dengan seterang-terangnya sehingga manusia dapat melihat
apa yang telah diperjuangkannya dan apa tujuan-tujuan yang sesungguhnya dari
kehidupan ini. Misalnya dalam doktrin tentang kebangkitan kembali karena soal
“penimbangan amal-perbuatan” mensyaratkan dan tergantung kepadanya.Yang
ketiga, terkait erat dengan alasan kedua bahwa perbantahan, perbedaan
pendapat, dan konflik di antara orientasi-orientasi manusia pada akhirnya harus
diselesaikan. Hampir semua perbedaan pendapat disebabkan oleh karena
motivasi-motivasi ekstrinsik untuk kepentingan diri sendiri, kelompok, atapun
bentuk kefanatikan yang berbeda-beda. Penyakit moral manusia yang terburuk
adalah melakukan hal-hal yang baik dengan motivasi-motivasi yang salah dan
ekstrinsik. Karenaya, pemecahan terhadap perbedaan keyakinan ini secara
praksisnya adalah sama dengan manifestasi dari motivasi dari keyakinan-keyakinan
tersebut. Di hari akhirat, batin semua manusia akan nampak jelas termasuk
motivasi-motivasi mereka.[46]
Terkait dengan
pandangan akan kebangkitan kembali dan hari perhitungan, al-Qur’an mengajukan
argumentasi mengenai kekuasaan Allah secara umum: “Sesungguhnya Allah yang
telah menciptkan langit, bumi, manusia, dan bentuk-bentuk kehidupan yang tak
terhitung banyaknya di dalam alam semesta ini dapat pula menciptakan manusia
yang baru dan bentuk kehidupan lain yang tidak kita kenal.” Terkait dengan hari
penghitungan, dinyatakan bahwa pada hari itu setiap manusia tidak mempunyai
kesempatan untuk melakukan perubahan apa pun juga, untuk melakukan
amal-perbuatan yang baru, atau untuk bertaubat karena satu-satunya
kesempatan untuk mengubahnya hanya ada di dunia ini yang hanya terjadi sekali.
Karenanya, manusia harus menghadapi hidup ini dengan serius dan benar-benar
menyadari bahwa Allah pasti mengetahuinya seberapapun manusia menyembunyikan
niat-niat dan kesesatan yang negatif.
g.
Setan dan
Kejahatan
Bab ini membahas
prinsip kejahatan yang kerap dipersonifikasikan al-Qur’an sebagai Iblis atau
syeitan, meskipun personifikasi yang kedua ini (syeitan) lebih lemah daripada
yang pertama.[47] Al-Qur’an
menggambarkan syeitan sebagai pembangkang perintah Allah dan sebagai tandingan
manusia, bukan sebagai tandingan Allah karena Allah berada di luar
jangkauannya. Manusialah yang merupakan tujuan syeitan dan manusialah yang
dapat menaklukan atau ditaklukannya. Karenanya, al-Qur’an memperingatkan
manusia untuk terus berjuang melawan syeitan. Apabila manusia mengendorkan
kewaspadaannya maka ia akan mudah terbujuk oleh “godaan” syeitan.
Aktivitas syeitan ini pada dasarnya terdiri dari aktivitas membingungkan
seseorang manusia dan untuk sementara waktu membendungi kesadaran-keasaran batinnya.
Al-Qur’an menegaskan
bahwa walaupun secara prinsip tidak ada manusia yang kebal terhadap godaan
syeitan, namun syeitan itu sesungguhnya tidak dapat memperdayakan orang-orang
yang senantiasa menjaga integritas moral mereka dari serangannya. Sebenarnya
pula, cengkeraman syeitan itu tidak kuat; melainkan hanya kelemahan, tidak
adanya keberanian moral dan tidak adanya kewaspadaan di dalam diri manusialah
yang membuat syetan itu terlihat sedemikian kuat. Meskipun syeitan
itu tidak kuat, tetapi ia itu licik dan licin. Ia lebih banyak mempergunakan
tipu daya dan siasat daripada menantang dengan terang-terangan. Aktivitasnya
tidak menggempur melainkan membujuk, berkianat, dan menghadang.[48]
Tipu daya yang dibuat
syeitan adalah soal keputusasaan manusia sebagai kelemahan yang utama.[49] Manusia
juga pada kenyataannya mempunyai kencenderungan-kecenderungan baik dan jahat.
Di dalam diri manusia senantiasa ada perjuangan di antara kedua kecenderungan
tersebut. Namun kecenderungan jahat kerap menjadi sedimikian kuat karena adanya
tipu muslihat syeitan. Karenanya, kunci pertahanan manusia terhadap godaan
syeitan adalah taqwa. Terhadap godaan untuk mengikuti kecenderungan
jahat, manusia perlu mengikuti jalan Allah dan memohon pertolongan-Nya.
“Siapa-siapa yang berpihak pada Allah dan Rasul-Nya adalah orang-orang yang
beriman – sesungguhnya partai Allah akan memperoleh kemenangan (5:56). Selain
itu, ada juga pandangan tentang kejahatan objektif yang dalam al-Qur’an
disebut sebagaithagut. Thagut berarti prinsip kejahatan
atau kekafiran.[50]
h.
Lahirnya
Masyarakat Muslim
Dalam bab ini Fazlur
Rahman mencoba mengkritisi pandangan landasan teori klasik tentang lahirnya
masyarakat Muslim di Medinah menurut Snouck Hurgronye. Fazlur Rahman mengatakan
bahwa memang benar bahwa risalat al-Qur’an itu sama dengan risalat yang
diserukan oleh nabi-nabi di zaman dahulu, tetapi tidak benar apabila dikatakan
bahwa risalat al-Qur’an hanya tertuju pada orang-orang Arab dan risalat-risalat
para nabi itu di zaman dahulu itu hanya tertuju pada kaum mereka masing-masing.[51]
Tidak benarlah pula bahwa ketika di kemudian hari Ibrahim dihubungkan dengan
Islam (hal ini terjadi di Makkah, bukan di Madinah), al-Qur’an menyerahkan Musa
kepada orang-orang Yahudi dan Isa kepada orang-orang Kristen sebagai milik mereka
karena tentangan mereka. Tidak benar pula bahwa perubahan arah kiblat
menunjukkan putusnya atau nasionalisasi terhadap orientasi religius Nabi
Muhammad. Kesulitan untuk memahami hal ini adalah karena pandangan bahwa
kehidupan Nabi dan al-Qur’an itu terbagi ke dalam dua buah “periode” yang
terpisah dan berdiri sendiri—periode Makkah dan periode Madinah—dan pandangan
yang seperti ini diyakini oleh hampir semua para ahli Islam di zaman modern
ini.
Dari keterangan
al-Qur’an, dapat diperoleh informasi bahwa sebelum kedatangan al-Qur’an,
sebagian penduduk Makkah sangat menginginkan adanya agama baru seperti Yahudi
dan Kristen. Keadaan yang seperti ini sebagiannya adalah disebabkan karena
masuknya ide-ide Yahudi-Kristen ke mileu Arab. Mereka menginginkan sebuah agama
baru dan sebuah Kitab Suci baru, sehingga mereka berbeda dari kaum-kaum yang
terdahulu dan bahwa mereka tidak suka menerima Kitab-Kitab Suci yang terdahulu.
Bahkan ketika al-Qur’an dibawakan oleh Nabi Muhammad, terjadi
perbantahan-perbantahan pula dari antara penduduk Makkah supaya ajaran-ajaran
al-Qur’an diubah. Mereka menghendaki beliau untuk memberikan tempat pada
tuhan-tuhan mereka di antara Allah dengan manusia. Kenyataan ini dapat
menerangkan mengapa mereka tidak mau memandang Yesus lebih tinggi daripada
tuhan-tuhan mereka sendiri.[52]
Karenanya ketika
ajaran-ajaran Nabi (bahwa Allah itu Esa, bahwa orang-orang yang miskin
harus diberi kesempatan untuk maju, dan di saat terakhir nanti ada hari
pengengadilan) mulai mendapat tantangan, banyak kisah-kisah mendetail mengenai
para Nabi di zaman dahulu yang diulangi di dalam al-Qur’an. Hampir
merupakan kenyataan yang tak dapat diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad pernah
mendengar kisah-kisah tersebut dari orang-orang tertentu dengan identifikasi
yang tak dapat ditemukan lagi dan orang-orang Makkah sendiri tidak
enggan-enggan untuk menunjukkan kenyataan ini. Meskipun demikian Nabi Muhammad
berkeras mengatakan bahwa kisah-kisah tersebut telah diwahyukan oleh Allah.
Karena kesamaan spiritual dengan nabi-nabi zaman dahulu melalui penerimaaan
Wahyu itu, Muhammad benar-benar yakin mengenai keidentikan setiap risalat yang
disampaikan oleh nabi-nabi.
Jika Allah itu Esa dan
Risalatnya juga esa serta pada dasarnya tidak dapat dipecah-pecah, maka ummat
manusia harus menjadi satu kaum. Karena di antara para penganut
agama-agama yang terdahulu itu ada yang membenarkan misinya maka Muhammad ingin
mempersatukan agama-agama tersebut ke dalam sebuah masyarakat, menurut
ajaran-ajaran dan persyaratan-persyaratannya, tetapi begitu bertambah luas
pengetahuannya mengenai perbedaan di antara agama-agama dan sekte-sekte
tersebut, lambat laut ia pun segera menyadari bahwa persatuan itu tidak mungkin
digalang. Hal yang penting di sini adalah efek dari persepsi Muhammad
mengenai keanekaragaman tersebut terhadap perkembangan masyarakat Muslim.
Ide Nabi Muhammad
untuk menegakkan masyarakat seagama tidak tercetus di Madinah (sebagaimana yang
dinyatakan Hurgronye), tetapi sebenarnya sudah ada ketika ia di Makkah.
Selain itu, jika
Muhammad mengikuti serta menerima warisan nabi-nabi di zaman dahulu dan
al-Qur’an menerima warisan dari Wahyu-wahyu Allah yang terdahulu, maka kaum
Muslimin pada zaman sekarang ini menerima warisan dari kaum-kaum yang
terdahulu. Ketika Muhammad benar-benar yakin bahwa ia memiliki kedudukan yang
sama seperti nabi-nabi di zaman dahulu, bahwa orang-orang Arab jahiliah yang
menyembah berhala itu berada di dalam kesesatan, dan bahwa kaum-kaum lain yang
terpecah belah itu pun berada di dalam kesesatan, maka oleh al-Qur’an ia
dijuluki sebagai seorang yang hanif (monotheis sejati), dan
agamanya dinyatakan sebagai “agama yang lurus” (al-din al-qayyim). Bahwa
agama ini adalah monotheisme murni yang sangat dipujikan kepada Ibrahim dan
secara khusus diperkembangkan untuk menentang pemujaan terhadap dewa-dewa
jahiliah, terlihat dengan jelas dari ayat-ayat 12:37-40.[53]
Sehubungan dengan
orang-orang jahiliah itulah, al-Qur’an menonjolkan Ibrahim sebagai nabi teladan
dan monotheis sejati. Penonjolan Ibrahim ini tidak terjadi di Madinah karena
pertentangan-pertentangan dengan orang-orang Yahudi seperti yang
dinyatakan oleh Hurgronye dan Schwally. Namun garis turunan monotheistik yang
bersumber pada Ibrahim, melalui nabi-nabi yang lain, sehingga Muhammad harus
dipertahankan kelurusannya tanpa deviasi.[54]
Perkembangan-perkembangan
penting memang terjadi di Madinah, namun al-Qur’an tidak memandang Musa dan Isa
sebagai milik orang-orang Yahudi dan Kristen semata-mata dan tidak menyatakan
bahwa Ibrahim secara langsung dan eksklusif adalah milik kaum Muslimin. Seperti
yang terjadi di Makkah, di Madinah pun Musa dan Isa mendapat tempat yang
penting. Wahyu-wahyu Alllah yang terdahulu tetap dipentingkan dan al-Qur’an
menyatakan bahwa ia membenarkan dan mempertahankan Wahyu-Wahyu tersebut. Jadi
sebuah perkembangan penting yang terjadi di Madinah adalah bahwa Wahyu-Wahyu
Allah yang terdahulu – Taurat dan Injil – disebutkan nama-namanya. Hal ini
berbeda dengan di Makkah dimana Kitab Injil hampir tidak pernah disinggung
(walaupun sudah tentu ada disebutkan Isa beserta tokoh-tokoh Perjanjian Baru
lainnya), sedang wahyu Allah kepada Musa selalu disebutkan sebagai “Kitab
Musa” dan berulangkali dinyatakan sebagai pendahulu al-Qur’an.
Pertimbangan penting
kedua yang terjadi di Madinah adalah pengakuan terhadap adanya tiga kaum yang
masing-masing berdiri sendiri: Yahudi, Kristen, dan Muslim. Al-Qur’an sama
sekali tidak berpaling kepada Ibrahim untuk memberikan validitas kepada kaum
Muslimin.
Setelah hijrah ke
Madinah, Yerusalem tetap merupakan kiblat di dalam shalat kaum Muslimin. Jadi
perubahan kiblat dari Yerusalem ke Ka’bah berarti sudah dipraktekkan lebih
dahulu –tidak seperti ziarah ke Ka’bah—dan harus menunggu hingga Ka’bah sebagai
pusat tempat suci Islam yang resmi ini dimantapkan di dalam sistem Islam.
Setelah pemantapan resmi ini barulah jelas di mana letaknya titik gravitas
Islam, dan hal inilah yang menyebabkan perubahan kiblat. Terakhir sekali kita
harus mempertanyakan validitas dari konsep ‘putusnya hubungan dengan
orang-orang Yahudi”tersebut. Tidak ada peristiwa, pernyataan, maupun tindakan
yang khusus dari Nabi atau orang-orang Yahudi yang dapat dijadikan pedoman
untuk konsep tersebut.
Dari pemaparan di
atas, pemakalah mengambil kesimpulan bahwa metodologi tafsir Rahman menggunakan
pendekatan sintetik-logis, yaitu dengan cara mensintesakan ayat-ayat al-Qur’an
secara logis daripada kronologis, dimana al-Qur’an dibiarkan berbicara sendiri
dan penafsirannya dilakukan untuk membuat jalinan di antara konsep-konsep
berbeda (dalam hal teologi dan metafisika). Namun demikian, Rahman juga
menggunakan pendekatan historis-kronologis (dalam menafsirkan ayat dalam hal
sosial). Dan dapat dikatakan bahwa tafsir Rahman merupakan tafsir tematik (maudlu’i),
karena menafsirkan ayat al-Qur’an dengan tema-tema tertentu.[55]
C. KESIMPULAN
Ada tiga kata kunci dalam memahami
hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman, yakni pendekatan sosio-historis, teori
gerakan ganda, dan pendekatan sintetis-logis. Yang dimaksud dengan pendekatan
histori sembari memperbaiki aspek sosiologinya
yang kemudian disingkat menjadi pendekatan sosio histori dalam
memahami ayat-ayat Al Qur’an, khususnya yang berkaitan dengan masalah social,
dalam pendekatan ini Fazlur Rahman mengandalkan ilmu asbabun nuzul untuk
mengetahui latar belakang turunnya ayat; selanjutnya pentingnya
pembedaan antara ketetapan legal spesifik dengan tujuan atau “Ideal Moral” Al –
Qur’an yang kemudian disebut dengan teori double Movement atau
gerakan ganda. Teori ini hampir mirip dengan kaidah al-Ibrotu biumumil lafdi la
bikhususi asbab yaitu memahami nash Al-Quran dengan lebih membawanya kepada
keumuman lafad bukan sebab khusus ayat itu turun. 2 pendekatan ini
digunakan Fazlur Rahman dalam menafsiri
ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum. Dari sini muncul persoalan bagaimana dengan
ayat-ayat dalam al-Quran yang berkaitan dengan dunia metafisik seperti Konsep
Tuhan dalam al-Quran, Wahyu, Surga Neraka dll. Menjawab hal ini Fazlur Rahman
menawarkan pendekatan yang ketiga yakni pendekatan sintesis logis. Pendekatan sintetis-logis
adalah pendekatan yang membahas suatu tema (metafisis-teologis) dengan cara
mengevaluasi ayat-ayat yang berhubungan dengan tema yang dibahas atau tema-tema
yang relevan dengan tema yang dibahas. Didalam bukunya The Major Themes of
Qur’an, Fazlur Rahman membagi tema al-Quran menjadi 8 bagian. 1) Tuhan, 2)
Manusia sebagai individu, 3) Manusia Anggota Masyarakat, 4) Alam Semesta, 5)
Kenabian dan Wahyu, 6) Eskatologi, 7)Setan dan Kejahatan, 8) Lahirnya
Masyarakat Muslim. Kedelapan tema ini tidak ada kaitannya denga ayat-ayat yang
beraitan denga hukum, oleh karena itu pendekatan yang dipakai dalam menjelasan
konsep kedelapan tema ini adalah pendekatan sintesis logis.
D. DAFTAR
PUSTAKA
Affandi, Fatah Rosihan. 2002. Skripsi Study Analisis Fazlur Rahman
Tentang Manusia. Semarang : Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang.
Ihsan, Ali Fauzi. 1993. Mempertimbangkan
Neo-Modernisme. dalam Jurnal Dialog Pemikiran Islam. Islamika, No.2.
Oktober-Desember
Jazil,
Hamidi. 2013. Metodologi Tafsir Fazlur Rahman Terhadap
Ayat-ayat Hukum dan Sosial. Malang: UB Press.
Mas’
adi, Ghufron
A. 1997.
Pemikiran Fazlur Rahman
tentang Metode Pembaharuan Hukum islam
Jakarta; RajaGrafindo Persada.
Mustaqim,
Abdul. 2011. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: Lkis
Printing Cemerlang.
Rahman, Fazlur. 1982. Islam dan
Modernity, Transformation of an
Intellectual Tradition.
Chicago: The University of Chicago Press.
. 1983. Tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyudin. Bandung: Pustaka.
. Tanpa tahun. interpreting the qur’an. Tanpa tempat
dan penerbit.
. 2001. Gelombang
Perubahan Dalam Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Sibawaihi.
2007. Hermeneutika Al Quran Fazlur Rahman. Yogyakarta: Jalasutra.
https://andiuripurup.wordpress.com/2013/05/29/hermeneutika-fazlur-rahman/
[1] Sibawaihi, Hermeneutika
Al Quran Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), hlm. 17.
[2] Sibawaihi, Op.cit,
hlm. 83.
[3] Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metode Pembaharuan Hukum islam,
(Jakarta; RajaGrafindo Persada, 1997), Cet. 1, hlm. 26.
[4] Ali Fauzi Ihsan, “Mempertimbangkan
Neo-Modernisme”, dalam Jurnal Dialog Pemikiran Islam, Islamika, No.2
(Oktober-Desember 1993), hlm. 3.
[5] Fatah Rosihan Affandi, Skripsi Study Analisis Fazlur Rahman
Tentang Manusia, (Semarang : Fakultas
Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, 2002), hlm.33-34.
[6] Peringkasan ini tidak
didasarkan semata-mata pada artikelnya (Islamic Modernism: It Scope,
Method and Alternative, ditulis pada 1970) tapi juga sekaligus menyesuaikan
dengan perkembangan pendekatan-pendekatan Rahman. Penyebutan ideal moral yang
dalam artikel itu sendiri tidak ditulis didasarkan pada tawaran Rahman
dikemudian hari, yakni setelah ia menawarkan teori gerakan gandanya.
[7] Sibawaih, Op.
cit., hlm. 52-53
[8] Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition, (Chicago:
The University of Chicago Press, 1982), hlm. 151
[9] Sibawaih, Op.
Cit., hlm. 55-56
[10] Fazlur Rahman, Op. cit., hlm. 31
[11] Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition, Op. cit.,
hal 5
[12] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyudin (Bandung: Pustaka,
1983), hlm. xi
[13]
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta:
Lkis Printing Cemerlang, 2011), hlm. 183
[14] Fazlur Rahman, “interpreting the qur’an, hlm. 45-46
[15] Sibawaih, Op.
cit., hlm. 68
[16] Fazlur Rahman, Major
Themes of the Al – Qur’an, Op. cit, hlm. xi
[17] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyudin, Op. cit., hlm. 1.
[18] Ibid., hlm. 2.
[19] Ibid., hlm. 6.
[21] Ibid.,hlm. 26
[22] Ibid.,hlm. 43
[23] Ibid.,hlm. 54
[24] Ibid.,hlm. 61
[25] Ibid.,hlm. 63
[26] Ibid.,hlm. 65-67
[27] Ibid.,hlm. 71
[28] Ibid.,hlm. 89
[29] Ibid.,hlm. 95
[30] Ibid.,hlm. 97
[31] Ibid.,hlm. 100
[32] Ibid.,hlm. 101
[33] Ibid.,hlm. 102
[34] Ibid.,hlm. 106
[35] Ibid.,hlm. 107
[36] Ibid.,hlm. 108
[37] Ibid.,hlm. 117
[38] Ibid.,hlm. 118
[39] Ibid.,hlm.121
[40] Ibid.,hlm. 122
[41] Ibid.,hlm. 124-125
[42] Ibid.,hlm. 130
[43] Ibid.,hlm. 132-133
[44] Ibid.,hlm. 154
[45] Ibid.,hlm. 163
[46] Ibid.,hlm. 169
[47] Ibid.,hlm. 178
[48] Ibid.,hlm. 183
[49] Ibid.,hlm. 184
[50] Ibid.,hlm. 192
[51] Ibid.,hlm. 194
[52] Ibid.,hlm. 198
[53] Ibid.,hlm. 207
[54] Ibid.,hlm. 208
[55] Dikutip dari (http://www.ibnudaroin.com/2016/08/fazlur-rahman-major-themes-of-holy.html)
pada tanggal 02/04/2017
No comments:
Post a Comment