METODE PENGEMBANGAN ILMU
JOHN STUART MILL: LOGIKA INDUKSI
Revisi Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas UAS
“Filsafat Ilmu”
Dosen
Pengampu:
Dr. H. Ahmad
Barizi, M. Ag
Oleh
Adelina
Sari Pohan (16771004)
MAGISTER PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UIN
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
METODE PENGEMBANAGAN ILMU
JOHN STUART MILL: LOGIKA
INDUKSI
Oleh
Adelina Sari Pohan: 16771004
Magister Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim
A. Pendahuluan
Manusia mengembangkan
seperangkat ilmu, hal ini bersumber pada kenyataan bahwa ia
memerlukannya, karena manusia mau tak mau harus menentukan sendiri bagaimana ia bersikap
terhadap prasyarat-prasyarat kehidupannya, dan karena seluruh realitas secara potensial
memengaruhinya, ia sedemikian membutuhkan pengetahuan yang setepat-tepatnya dan
selengkap-
lengkapnya tentang seluruh realitas itu. Ia hanya dapat hidup dengan baik apabila ia menanggapi realitas itu sebagaimana adanya, dan untuk itu ia harus mengetahuinya. Ilmu-ilmu itu meningkatkan kuantitas dan kualitas pengetahuan
manusia. Ilmu-ilmu mengorganisasikan pengetahuan manusia secara sistematis agar
efektif, dan mengembangkan metode-metode untuk menambah, memperdalam, dan membetulkannya.[1]
Demi tujuan itu, ilmu
harus membatasi
diri
pada bidang-bidang tertentu dan mengembangkan metode-metode setepat
mungkin
untuk bidangnya masing-masing. Namun, super spesialisasi ilmu-ilmu berkat
positivism yang mendasari sukses pesat ilmu-ilmu itu, sekaligus merupakan keterbatasannya.
Pertanyaan yang lebih umum, yang menyangkut beberapa bidang atau hubungan interdisipliner, pertanyaan mengenai realitas sebagai keseluruhan, mengenai manusia dalam keutuhannya, tidak dapat ditangani
oleh
ilmu-ilmu itu karena ilmu-ilmu itu tidak memiliki
sarana teoretis untuk membahasnya. Justru dalam hal ini diperlukan filsafat ilmu,
untuk menangani pertanyaan-pertanyaan penting yang di
luar kemampuan metodis ilmu-ilmu spesial itu,
secara
metodis, sistematis, kritis dan berdasar.
Di samping itu, filsafat ilmu diperlukan untuk (1) membantu membedakan ilmu dengan saintisme (yang
memutlakkan
berlakunya ilmu dan tidak
menerima cara
pengenalan
lain
selain cara
pengenalan yang dijalankan ilmu), (2) memberi jawab atas pertanyaan”makna” dan ”nilai”, dalam hal
mana ilmu membatasi
diri pada penjelasan mekanisme saja, (3) merefleksi,
menguji, mengritik asumsi dan metode keilmuan, sebab ada kecenderungan penerapan metode ilmiah tanpa memerhatikan
struktur ilmu itu sendiri,
serta(4) dari hubungan historisnya dengan ilmu, filsafat menginspirasikan masalah-masalah yang akan dikaji oleh ilmu.[2]
Ilmu pengetahuan ialah usaha mencapai serta
merumuskan sejumlah pendapat yang tersusun sekitar suatu keseluruhan persoalan,
jika batasan tersebut diteliti tampaklah persesuaian antara ilmu pengetahuan
dan filsafat, baik ilmu maupun filsafat menghadapi suatu keseluruhan persoalan
atau problematika. Adapun usaha untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut
merupakan usaha yang dirumuskan dalam suatu metode tertentu bidang tertentu, [3]
Secara lebih detail, ilmu pengetahuan memiliki beberapa
persyaratan. Pertama, setiap manusia
memiliki hak dasar untuk mencari ilmu, hak ini tidak dapat diganggu gugat. Hal
ini berlaku pada siapa pun, terlepas dari kasta, kepercayaan, jenis kelamin dan
usia. Kedua, metode ilmiah itu tidak hanya pengamatan atau
eksperimentasi akan tetapi juga teori dan sistematisasi, pengetahuan mengamati
fakta, mengklasifikasikannya sebagai dasar untuk menyusun teori. Ketiga,
ilmu pengetahuan itu jelas dan terbukti berguna dan berarti,
baik untuk tingkat individu maupun tingkat sosial.[4]
Positivisme
muncul pada abad ke-19 dimotori oleh sosiolog Auguste Comte, dengan buah karyanya yang terdiri dari enam jilid
dengan judul The Course of Positive Philosophy (1830-1842). Comte menguraikan secara
garis besar prinsip-prinsip positivisme
yang hingga kini masih banyak
digunakan. John Struart Mill dari Inggris (1843) memodifikasi dan mengembangkan
pemikiran
Comte dalam sebuah karya yang cukup monumental
berjudul A System of Logic. Sedangkan Emile Durkheim (Sosiolog Prancis) kemudian menguraikannya dalam Rules of the Sociological Method (1895), yang kemudian menjadi rujukan
bagi para penelitian ilmu
sosial yang beraliran positivisme.
Makalah ini menjelaskan tentang tokoh filsuf Induktivisme
didalamnya terdapat pembahasan Metode pengembangan ilmu John Stuart Mill, Mill
mengetengahkan 5 metode logika induktif yaitu, metode persetujuan, metode perbedaan, metode persamaan variasi, metode residu, dan gabungan metode
persetujuan dan perbedaan.
B. Pembahasan
1.
Biografi John Stuart
Mill
John Stuart Mill
seorang filsuf empiris dari Inggris lahir pada tahun 1806 di Pentonville London
dan meninggal pada tahun 1973, ia dikenal sebagai reformator dari
utilitarianisme sosial, ayahnya James Mill seorang sejarawan dan akademisi.
John Stuart Mill dididik ayahnya dengan saran serta bantuan dari Jeremy Bentham
dan Francis Place, ia diberikan pendidikan yang sangat ketat dan sengaja
dilindungi dari pergaulan dengan anak-anak seusianya selain saudaranya. Ia mempelajari psikologi yang nantinya menjadi inti
filsafat Mill dari ayahnya, dan Mill sejak kecil sudah mempelajari bahasa
Yunani dan Latin, pada usia 15 tahun ia membaca karangan Jeremy Betham dan
berhasil mempengaruhi paradigma berfikirnya, sehingga ia mematangkan
pendapatnya dan memantapkan tujuannya untuk menjadi Sosial Reformer (pembaharu sosial), ketika berusia 17 tahun, Mill
bekerja di India House Company, dimana ia mengabdi selama tiga puluh lima tahun
sampai perusahan tersebut bubar pada tahun.
Mengingat
pekerjaannya yang begitu intensif, tidaklah mengherankan bahwa pada tahun 1826
ia mengalami keambrukan karena sakit saraf, namun krisis mental itu mempunyai
efek yang positif, ia mulai membebaskan diri dari filsafat Jeremy Betham dan
mengembangkan pahamnya sendiri tentang utilitarianisme,
paham ini dirumuskannya dalam essay Utilitarianism
dari tahun 1864, yang kemudian menjadi bahan sebuah diskusi hebat selama
hampir seluruh abad ke 19, terutama di Inggris, paham khas tentang
Utilitarianisme yang dirumuskan Mill merupakan sumbangan penting kepada
filsafat moral, ia meninggal di Avigron di Prancis pada tahun 1873.[5]
Mill adalah seorang
penulis yang produktif, tulisan-tulisannya tentang Ekonomi dan kenegaraan
dibaca luas oleh masyarakat, salah satu tulisannya yangpaling gemilang dalam
etika politik segala zaman adalah On
Liberty yang terbit tahun 1859, yang merupakan pembelaan kebebaan individu
terhadap segala usaha penyamarataan masyarakat, tulisan lainnya yang tidak
kalah penting adalah Sistem Of Logic,
Considerations of Refresentatif
Government, dan Subjection of Woman.
Mill menjadi tokoh intelektual liberalisme Inggris kedua yang tidak lagi
membela paham Laissez Faire klasik,
melainkan memperhatikan tuntutan-tuntutan keadilan sosial.[6]
Mill juga menyinggung
tentang masalah pendidikan, menurutnya masyarakat tidak berhak melakukan
pemaksaan suatu hal terhadap orang lain demi kepentingan individu, pemaksaa
seperlunya hanya berlaku pada anak-anak, bukan orang dewasa. Sebab anak-anak
harus dilindungi terhadap kemungkinan bahwa mereka dirugikan oleh oang lain
atau mereka dapat merugikan diri mereka sendiri. Negara harus menuntut suatu pendidikan terhadap orang-orang yang dilahirkan
sebagai warganya sampai pada standart tertentu, hal tersebut bukan berarti
orangtua harus memaksakan anak-anaknya untuk bersekolah atau mengikuti suatu
jenjang pendidikan, apabila orangtua tersebut tidak mampu manyekolahkan
anaknya, disini Negara harus berperan untuk mengatasi kondisi tersebut agar
anak-anak tidak dirugikan akan hal itu.[7]
2.
Logika Induksi
Logika
berasal dari kata Yunani “logos” , kata logos berarti kata nalar, teori, atau
uraian. Logika juga didefenisikan sebagai kecapan nalar yang berkenaan dengan
ungkapan lewat bahasa, atau alat untuk berfikir secara lurus, dalam bahasa
sehari-hari sering kita jumpai kata logis yang artinya masuk akal. Logika
digunakan untuk penalaran yang betul dari penalaran yang salah, logika
merupakan cabang filsafat yang bersifat praktis dan sekaligus sebagai dasar
ilmu, leh karena itu bernalar yang baik harus dilandasi logika supaya
penalarannya logis dan kritis. Selain itu logika juga merupakan, sama halnya
dengan matematika dan statistika, jadi logika berfungsi sebagai dasar dan
sarana ilmu, dengan demikian logika merupakan jembatan penghubng antara
filsafat dan ilmu, objek materialnya adalah pemikiran, sedangkan objek
formalnya adalah kelurusan berfikir.
Aristoteles
sebagai bapak logika meninggalkan enam buah buku yang diberi nama organon
yaitu: 1. Categoriae, asas-asas dan
prosedur mengenai pengertian-pengertian, 2. De
Interpretatione, membahas mengenai keputusan-keputusan, 3. Analitica a Priora, membahas tentang
silogisme, 4. Analitica Posteriora,
membahas mengenai pembuktian, 5. Topika,
berisi cara berargumentasi atau cara berdebat, 6. De Sophisticis Elenchis,
membicarakan kesesatan dan kekeliruan berfikir.
Induksi
adalah proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena menuju kesimpulan
umum, fenomena individual sebagai landasan penalaran induktif adalah fenomena
dalam bentuk pernyataan (proposisi).[8]
Dalam karangan singkat yang terkenal, karena jelasnya dan sederhananya,
berjudul “The Method of Science”,
Thomas Henry menerangkan induksi dengan contoh sebagai berikut:
“Anggaplah
kita mengunjungi warung buah-buahan karena ingin membeli apel, kita ambil
sebuah dan ketika mencicipinya terbukti itu masam, kita perhatikan apel itu dan
terbukti bahwa apel itu keras hijau dan masam. Si pedagang menawarkan apel
ketiga, tetapi sebelum mencicipinya kita memperhatikannya dan terbukti yang
itupun adalah keras dan hujau dan seketika itu kita beritahukan bahwa kita
tidak menghendakinya karena yang itu pun pasti masam seperti lain-lainnya yang
telah dicicipi. Jalan pikiran si calon pembeli sehingga ia sampai pada
kesimpulan untuk tidak membeli apel ialah induksi. Huxley menjelaskan proses
induksi sebagai berikut:
Pertama-tama
kita telah melakukan kegiatan yang disebut induksi, kita telah menemukan bahwa
dalam dua kali pengalaman sifat keras dan hijau pada Apel itu selalu bersifat
masam. Demikianlah peristiwa yang pertama dan itu diperkuat dalam peristiwa
yang kedua, memang itu dasar yang amat sempit, akan tetapi sudah cukup untuk
dijadikan dasar induksi, kedua fakta itu kita generalisasikan dan kita percaya
akan berjumpa dengan rasa masam pada apel, bila kita temui sifat keras dan
hijau, dan ini suatu induksi yang tepat. Menurut Huxley untuk sampai kepada
kesimpulan penolakan apel ketiga, penalaran induktif itu diikuti oleh penalaran
deduktif:
Dengan
demikian kita menemukan hukum alam, ketika kita ditawari apel lain yang
terbukti keras dan hijau kita berkata semua apel yang keras dan hijau itu
masam, apel ini keras dan hijau, berarti apel ini masam. Jalan pikiran inilah
yang oleh ahli logika disebut dengan silogisme.
John
Stuart Mill salah seorang tokoh terpenting yang mengembangkan logika induktif,
mendefenisikan induksi sebagai: kegiatan budi dimanakan kita menyimpulkan bahwa
apa yang kita ketahui benar untuk semua kasus yang serupa dengan yang tersebut
dalam hal-hal tertentu. Dari contoh di atas dapat diketahui ciri-ciri induksi.
Pertama, premis-premis dari induksi ialah proposisi empirik yang langsung
kembali kepada suatu observasi indera atau proposisi dasar seperti telah
diterangkan di atas, proposisi dasar menunjuk kepada fakta yaitu observasi yang
dapat diuji kecocokannya dengan tangkapan indra, pikiran tidak dapat
mempersoalkan benar tidaknya fakta akan tetapi hanya dapat menerimanya. Bahwa
apel 1 itu keras, hijau dan masam, hanya inderalah yang dapat menangkapnya,
sekali indera mengatakan demikian pikiran tinggal menerimanya.[9]
Kedua
konkulusi penalaran induktif itu lebih luas daripada apa yang dikatakan didalam
premis-premisnya, premis-premisnya hanya mengatakan bahwa apel yang keras,
hijau masam itu hanya dua, apel 1 dan 2. Itulah yang diobservasi dan itulah
yang dirumuskan dalam oremis itu, kalau dikatakan bahwa juga apel 3 itu masam,
hal itu tidak didukung oleh premis-premis penalaran, menurut kaidah-kaidah
logika, penalaran itu tidak shahih: pemikiran terikat untuk menerima kebenaran
konklusinya.
Ketiga
meskipun konklusi induksi itu tidak mengikat, akan tetapi manusia yang normal
akan menerimanya, kecuali kalau ada alasan untuk menolaknya, jadi konklusi
penalaran induktif itu oleh pikiran dapat dipercaya kebenarannya atau dengan
perkataan lain konklusi induksi itu memiliki kredibilitas rasional,
kredibilitas rasional disebut probabilitas, probabilitas itu didukung oleh
pengalaman artinya konkulasi induksi itu menurut pengalaman biasanya cocok
dengan observasi indera
3.
Metode Pengembangan Ilmu John Stuart Mill:
Logika Induksi
Pada abad ke XVII dan XVIII logika
berkembang, dimana Francis Bacon mengembangkan metode induktif menyusun Novum Organum Scientiarum, Wilhem
Leibnitz dengan logika aljabar, dan Emmanuel Kant dengan logika transendental (logika
yang menyelidiki bentuk pemikiran di luar batas pengalaman), John Stuart Mill
tentang System of Logic. Jadi logika
adalah cara nalar yang benar melalui premis atau proposisi (pernyataan
pengetahuan), bila dikatakan premis adalah pasir, batu, dan semen, maka logika
(proses penalaran) adalah bagan atau arsitekturnya, premis benar dan arsitektur
baik maka dihasilkan bangunan yang kokoh dan indah, demikian juga dengan
logika.
John S. Mill (1806-1873) adalah di antara filsuf yang juga
mempersoalkan ‘proses generalisasi’ dengan cara induksi, dalam persoalan
generalisasi ini, Mill sependapat dengan David Hume yang mempersoalkan secara
radikal. Jika Francis Bacon kemudian menawarkan teori “idola”nya, Menurut John Stuart Mill, setiap
fenomena merupakan akibat dari suatu sebab yang tersembunyi. Induksi adalah penalaran atau penelitian untuk
menemukan sebab-sebab yang tersembunyi itu.
Mill
menyusun lima metode penalaran dan penelitian induktif, yaitu: (1) metode
persesuaian (method of agreement),
(2) metode perbedaan (method of
difference), (3)
metode gabungan persesuaian dan perbedaan (joint method of agreement and difference), (4) metode residu (method of residues), dan (5)
metode variasi kesamaan (method of
concomitant variations).
Mill melihat tugas utama logika lebih dari sekedar
menentukan patokan deduksi silogistis yang tak pernah menyampaikan pengetahaun
baru, ia berharap bahwa jasa metodenya dalam logika induktif sama besarnya
dengan jasa Aristoteles dalam logika deduktif.[10] Menurutnya,
pemikiran silogistis selalu mencakup suatu lingkaran setan (petitio), di mana
kesimpulan sudah terkandung di dalam premis, sedangkan premis itu sendiri
akhirnya masih bertumpu juga pada induksi empiris. Tugas logika, menurutnya, cukup luas, termasuk meliputi ilmu-ilmu sosial
dan psikologi, yang memang pada masing-maisng ilmu itu, logika telah diletakkan
dasar-dasarnya oleh Comte dan James Mill.[11]
John S. Mill, dalam menguraikan logika induksi hendak menghindari
dua ekstrem: pertama, generalisasi empiris, sebagaimana pada Francis Bacon dan
untuk ini ia sependapat dengan Hume yang mempertanyakan generalisasi empiris,
bahkan menyebutnya sebagai induksi yang tidak sah; kedua induksi yang mencari
dukungan pengetahuan a priori, sebagaimana pada Kant.[12]
4.
Cara Kerja Induksi John
Stuart Mill
Cara kerja induksi menurut
Mill sebagai berikut:
a.
Metode kesesuaian (method of
agreement)
Apabila ada dua macam
peristiwa atau lebih pada gejala yang diselidiki dan masing-masing peristiwa
itu mempunyai faktor yang sama, maka faktor yang sama itu merupakan
satu-satunya sebab bagi gejala yang diselidiki. Misalnya, semua anak yang sakit perut membeli dan minum es sirup yang
dijajakan di sekolah, maka es sirup itu yang menjadi sebab sakit perut mereka,
artinya suatu sebab disimpulkan dari adanya kecocokan sumber kejadian.[13]
Contoh
lainnya: Metode
kesesuaian kaidah ini menyatakan: ‘Jika dua hal atau lebih dari fenomena yang
diteliti memiliki hanya satu sirkumtansi yang sama, maka sirkumtansi
satu-satunya di mana hal itu bersesuaian adalah sebab (atau akibat) dari
fenomena yang diteliti itu. Misal: Ada suatu pesta pernikahan dan
terdapat puluhan orang yang keracunan makanan, kemudian ditelitilah semua
makanan yang dimakan oleh mereka yang hadir di pesta pernikahan tersebut.
Selanjutnya, diketahui pula ada makanan yang disediakan oleh perusahaan
catering A dan B. Fenomena yang diteliti adalah ‘keracunan makanan’, sedangkan
hal-hal yang diteliti dari fenomena itu ialah makanan yang disediakan oleh
perusahaan catering A dan B. Hasil penelitian sebagai berikut:
Pak Aman, menyantap
semua jenis makanan yang
disediakan oleh perusahaan catering A, tidak keracunan.
Pak Amin, menyantap
sebagian jenis makanan yang
disediakan oleh perusahaan catering A, tidak keracunan.
Pak Iman, menyantap
sebagian jenis makanan yang disediakan
oleh perusahaan catering A
dan menyantap sebagian jenis
makanan yang disediakan oleh perusahaan catering B, ternyata keracunan.
Pak Eman, menyantap
sebagian jenis makanan yang
disediakan oleh perusahaan catering B, ternyata keracuan.
Pak Oman, menyantap
semua jenis makanan yang
disediakan oleh perusahaan catering B, ternyata keracunan.
Sirkumtansi yang sama di mana
hal-hal yang diteliti dari fenomena itu bersesuaian,
yaitu menyantap makanan yang disediakan oleh perusahaan catering B, dan itulah
yang menjadi penyebabnya, yaitu menyantap
makanan yang disediakan oleh perusahaan catering B.[14]
b.
Metode perbedaan (method of
difference)
Metode ini menggunakan
hukum
kontradiksi apabila sebuah peristiwa mengandung gejala yang diselidiki dan
sebuah peristiwa lain yang tidak mengandungnya, namun faktor-faktornya sama
kecuali satu, yang satu itu terdapat pada peristiwa pertama, maka itulah
satu-satunya faktor yang menyebabkan peristiwa itu berbeda. Karenanya dapat
disimpulkan bahwa satu faktor (yang berbeda) itu sebagai suatu sebab terjadinya
suatu gejala pembeda (yang diselidiki) tersebut.
Misalnya, seseorang A
yang sakit perut mengatakan telah makan: sop buntut, nasi, rendang dan buah
dari kaleng. Sedang B yang tidak sakit perut mengatakan bahwa ia telah makan:
sop buntut, nasi, dan rendang. Maka kemudian disimpulkan bahwa buah dari kaleng
yang menyebabkan sakit perut, ini artinya suatu sebab disimpulkan dari adanya
kelainan dalam peristiwa yang terjadi.
c.
Gabungan metode persetujuan dan perbedaan
Metode ini menggunakan
hukum cukup alasan, yang menjelaskan bahwa jika
terjadi perubahan pada sesuatu, perubahan itu haruslah berdasarkan alasan yang
cukup, artinya tidak ada perubahan yang tiba-tiba tanda alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional, hukum ini merupakan hukum
pelengkap hukum identitas.
Contoh: metode gabungan
adalah pemberian makan ayam dengan beras putih dan beras putih ditambah dedak,
ayam dengan beras putih kesemuanya terserang polyneuritis dan sebagian besar mati, kelompok lain diberi beras
putih dengan dedak, kesemuanya tidak ada yang terkena neauritis dan mati. Bila
ayam yang sakit neauritis dan yang sehat diberi makan beras bercampur dedak,
ayam yang sakit tersebut dapat sembuh. Metode gabungan akan memberikan hasil
hubungan sebab akibat yang lebih kuat.[15]
d.
Metode menyisakan (method of
residues)
Metode ini menggunakan
hukum tiada jalan tengah, yang mengungkapkan bahwa sesuatu itu pasti memiliki
suatu sifat tertentu atau tidak memiliki sifat tertentu itu dan tidak ada
kemungkinan lain. Jika a diketahui dan b diketahui, maka adanya kejadian
tersebut c mesti karena sebab lain
Jika
ada peristiwa dalam keadaan tertentu dan keadaan tertentu ini merupakan akibat
dari factor yang mendahuluinya, maka sisa akibat yang terdapat pada peristiwa
itu disebabkan oleh factor lain, dari pengamatan factor yang mempengaruhi
kinerja seseorang diketahui bahwa factor kemampuan dan motivasi mempengaruhi
kinerja. Bila diketahui bahwa kemampuan dan motivasi baik, tetapi kinerja
seseorang menjadi menurun, maka factor lain diluar kemampuan dan motivasi
dipikirkan sebagai penyebab penurunan kinerja.
e.
Metode persamaan variasi (method
of concomitan variation)
Metode ini juga dikenal
dengan metode perubahan selang-seling seiring. Apabila suatu gejala yang dengan
suatu cara mengalami perubahan ketika gejala lain berubah dengan cara tertentu,
maka gejala itu adalah sebab atau akibat dari gejala lain, atau berhubungan
secara sebab akibat. Metode ini bisa dicontohkan misalnya dalam fenomena pasang
surut air laut, diketahui bahwa pasang surut disebabkan oleh tarikan gravitasi
bulan.Tetapi kenyataan itu tidak dapat disimpulkan melalui ketiga metode di
atas. Kedekatan bulan saat air pasang bukan satu-satunya hal yang berada saat
kejadian (pasang) itu, tetapi masih ada bintang-bintang, di mana
bintang-bintang itu tidak dapat begitu saja disingkirkan, atau dikesampingkan
(dalam arti, tidak dipertimbangkan), begitu pula bulan juga tidak mungkin
disingkirkan dari langit demi penerapan suatu metode.
Maka
yang dapat dikerjakan adalah mengamati kenyataan bahwa semua variasi dalam
posisi bulan selalu diikuti oleh variasi-variasi yang berkaitan dalam waktu dan
tempat air tinggi.Tempatnya atau bagian dari dunia yang terdekat dengan bulan
atau tempat yang paling jauh dari bulan mengandung banyak evidensi bahwa bulan
secara keseluruhan atau sebagian adalah sebab yang menentukan pasang
surut.Argumentasi ini disebut dengan metode perubahan selang-seling seiring.[16] Contoh
lainnya: air raksa dan panas, besar produksi dengan luas sawah, kesuburan tanah
dan hasil panen, disiplin dan motivasi terhadap kinerja, jumlah barang yang
ditawarkan dengan harga, dll
Menurut
Mill tugas logika ialah membedakan hubungan gagasan-gagasan yang bersifat
kebetulan dari hubungan gagasan yang tetap dan sesuai dengan hukum, karena
seluruh pengetahuan kita berasal dari pengalaman, maka satu-satunya metode
dalam ilmu pengetahuan adalah metode induktif, istilahnya metode yang
merumuskan suatu hukum umum dengan bertitik tolak berdasarkan pada sejumlah
kasus khusus sebagaimana yang telah dicontohkan diatas
KESIMPULAN
John Stuart Mill seorang filsuf empiris dari Inggris
lahir pada tahun 1806 di Pentonville London dan meninggal pada tahun 1973, ia
dikenal sebagai reformator dari utilitarianisme sosial, ayahnya James Mill
seorang sejarawan dan akademisi. John Stuart Mill di didik
ayahnya dengan saran serta bantuan dari Jeremy Bentham dan Francis Place, ia
diberikan pendidikan yang sangat ketat dan sengaja dilindungi dari pergaulan
dengan anak-anak seusianya selain saudaranya. Ia mempelajari psikologi yang nantinya menjadi inti filsafat Mill dari
ayahnya, dan Mill sejak kecil sudah mempelajari bahasa Yunani dan Latin, pada
usia 15 tahun ia membaca karangan Jeremy Betham dan berhasil mempengaruhi
paradigma berfikirnya, sehingga ia mematangkan pendapatnya dan memantapkan
tujuannya untuk menjadi Sosial Reformer (pembaharu
sosial), ketika berusia 17 tahun, Mill bekerja di India House Company, dimana
ia mengabdi selama tiga puluh lima tahun sampai perusahan tersebut bubar pada
tahun 1853.
Logika induksi
adalah sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah dari
sejumlah hal khusus sampai kepada kesimpulan umum yang bersifat probabilitas
(boleh jadi), logika induktif sering disebut dengan logika material, artinya
berusaha menemukan prinsip penalaran yang bergantung kesesuaiannya dengan
kenyataan, oleh karena itu kesimpulannya adalah kebolehjadian, dalam arti
selama kesimpulannya tidak ada bukti yang menyangkalnya maka pernyataan
tersebut benar
Mill menyusun lima metode penalaran
dan penelitian induktif, yaitu: (1) metode persesuaian (method of agreement), (2) metode
perbedaan (method of difference), (3) metode gabungan persesuaian dan
perbedaan (joint method of agreement
and difference), (4) metode residu (method of residues), dan (5) metode variasi kesamaan (method of concomitant variations).
DAFTAR PUSTAKA
Burhanudin
Salam. Pengantar
Filsafat. 2005. Jakarta:
Bumi Aksara
https://share.uc.ac.id/Department/Students/feh/IAD/SumberBuku/Logika%20Induksi.pdf
Muslih
M, Logika Illuminasi Pemikiran
Epistimologi Suhrawardi dalam Kalimah, Jurnal Studi Agama dan Pemikiran
Islam, Vol. 1, No. 1, September 2002
Poedjawijadna. Logika filsafat berfikir.
2012. Jakarta: Rineka Cipta
Rizal
Muntansyir. Filsafat Ilmu. 2000.
Jogjakarta: Pustaka Pelajar
Stefanus
Sufriyanto. Filsafat Ilmu.
2013. Jakarta: Prestasi Pustaka
Suseno,
13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19
Saidiman, Meneguhkan Kembali
Kebebasan Individu Kritik Isaiah Berlin Terhadap Universalisme Pencerahan.
Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. 2006. UIN Jakarta
Sutardjo,
Pengantar Filsafat, sistematika dan
sejarah Filsafat 2009. Bandung: Refika Aditama
Wattimena,
Filsafat dan Sains. 2008
Jakarta: Grasindo
Wahyu Murtiningsih. Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah. 2014 Jogjakarta: IRCiSoD
W. Pespoprodjo dan T. Gilareso. Logika
Ilmu Menalar: Dasar-Dasar Berpikir Tertib, Logis, Kritis, Analitis, Dialektis.
2011. Bandung: Pustaka
Grafika
[1]
Magnis-Suseno, Filsafat-kebudayaan-politik: Butir-butir
pemikiran kritis. (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1995),
h. 80
[2] Sutardjo,
Pengantar Filsafat, sistematika dan sejarah Filsafat Logika dan Filsafat Ilmu
Metafisika dan Filsafat Manusia, Aksiologi, (Bandung: Refika Aditama, 2009), h.
16
[6]Saidiman, Meneguhkan kembali Kebebasan Individu Kritik
Isaiah Berlin Terhadap Universalisme Pencerahan. Skripsi Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, UIN JAKARTA, 2006
[7] Wahyu Murtiningsih, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah,
(Jogjakarta: IRCiSoD, 2014), h, 145
[8]ttps://share.uc.ac.id/Department/Students/feh/IAD/SumberBuku/Logika%20Induksi
[9]ttps://share.uc.ac.id/Department/Students/feh/IAD/SumberBuku/Logika%20Induksi
[12]Muslih M, Logika Illuminasi Pemikiran Epistemologi
Suhrawardi dalam Kalimah, Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Volume 1,
Nomor 1, September 2002.
[16]W. Pespoprodjo dan T.
Gilareso. Logika Ilmu Menalar: Dasar-Dasar Berpikir Tertib, Logis, Kritis,
Analitis, Dialektis. (Bandung: Pustaka Grafika, 2011), h. 80
No comments:
Post a Comment