STUDY INTEGRASI ISLAM DAN SAINS
HUBUNGAN ANTARA FILSAFAT, ILMU, DAN AGAMA DALAM ISLAM
(Karakteristik Hubungan Ilmu, Filsafat, dan Agama dalam Islam)
Oleh: Anis Jamil Mahdi
Abstrak
Islam merupakan satu-satunya agama yang mampu menggabungkan antara
urusan dunia dan akhirat, menggabungkan antara semangat spiritual dan
intelektual, serta satu-satunya agama yang mampu menggabungkan antara
nilai-nilai moral dan sosial dalam satu aspek keimanan. Sehingga tidak
mustahil, baru-baru ini islam dengan nilai-nilai ajarannya yang termaktub dalam
al-Qur’an dan al-Sunnah digadang-gadang merupakan sumber yang melahirkan produk
ilmiah dan melahirkan teori ilmiah. Kenyataan ini tidak sejalan dengan fakta
sejarah yang menyatakan bahwa sumber atau induk ilmu adalah filsafat.
Persoaalan inilah yang menarik perhatian intelektual muslim untuk mencoba
menggabungkan antara Ilmu, Filsafat, dan Agama berdasarkan perspektif
nilai-nilai Islam. Disini Islam akan menjelaskan, berdasarkan perspektif dan
karakteristiknya tentang hubungan antara Filsafat, Ilmu, dan Agama.
Kata kunci: Filsafat,
Ilmu, Agama, dan Islam
A.
Dasar Pemikiran
Islam merupakan Agama yang nilai-nilai ajarannya bukan hanya
membicarakan tentang ibadah kepada Tuhan, tentang halal dan haram, tentang
sifat-sifat Tuhan atau lain sebagainya yang berhubungan dengan dunia spirituall.
Tapi, disamping islam membicarakan tentang sesuatu yang bersifat ubudiah dan
uluhiah, ajaran agama ini juga membicarakan tentang masalah keduniaan, sosial,
politik, kultur, dan lain sebagainya. Disamping itu juga nilai-nilai ajaran
Islam ini berbicara tentang ilmu pengetahuan atau yang dikenal dengan istilah sains.
Menurut catatan sejarah, sejak kelahirannya pada kurang lebih 14
abad yang lalu islam sudah memperkenalkan dirinya sebagai agama yang memberi
perhatian yang khusus terhadap ilmu. Hal ini bisa dilihat dari bukti nyata
dengan adanya ayat yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad s.a.w, yaitu
surat al-‘Alaq ayat 1-5:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ
الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ
الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ
يَعْلَمْ
“bacalah dengan menyebut Tuhanmu yang telah menciptan. Dialah
yang telah menciptakan manusia dengan segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu yang
mulia. Dialah yang mengajarkan dengan qalam (pena). Dialah yang telah
mengajarkan manusia tentang sesuatu yang tidak diketahui”
Bukan tanpa alasan Allah menurunkan surat al-‘Alaq ayat 1-5 ini
kepada Nabi Muhammad, yang ayat-ayatnya ini di mulai dengan kata iqra’ “bacalah”
bahkan kalimat ini oleh Allah dalam surat tersebut di ulang sebanyak dua kali.
Ayat diatas menggunakan kata kerja Amr (perintah) yang berupa lafadz iqra’
yang merupakan derivasi kata qaraa – yaqriu-qiraatan – iqra’ yang
berdasarkan ilmu gramatika arab disebut dengan fi’il mut’addy (kata
kerja yang memiliki objek dari pada pekerjaan). Tapi anehnya dalam ayat diaatas
Allah tidak menyebutkan objek pekerjaannya atau apa yang harus dibaca. Dari
sinilah muncul beranekaragan interpretasi apa sebenarnya bacaan yang harus
dibaca yang dikehendaki Allah.
Prof. Dr. Quraish Shihab dalam karyanya tafsir al-Misbah[1]
menjelaskan:
“apabila
suatu kata kerja yang membutuhkan objek tetapi tidak disebutkan objeknya, maka
objek yang dimaksud bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang bisa dijangkau”
Dari penjelasan tersebut,
penulis bisa menarik kesimpulan, karena kata iqra’ yang disebutkan
oleh ayat diatas tidak menyebutkan objeknya maka yang diperintahkan oleh Allah
melalui firman tersebut adalah semua hal yang bersifat general dan dapat
dijangkau oleh analisa logika manusia, baik hal itu berupa sesuatu yang
tersurat dalam teks, ataupun sesuatu yang tersirat. Baik itu merupakan hasil
karya orang islam ataupun orang yang tidak beragama islam.
Namun yang perlu diperhatikan adalah lanjutan dari lafadz iqra’ diatas
yang berbunyi bis mirabbik al-ladzy khalaq yang artinya “dengan menyebut
nama Tuhanmu yang telah menciptakan” hal ini memberikan penegasan, sekalipun
Allah tidak memberikan batasan terhadap apa yang kita baca, tapi seyogyanya
bacaan tersebut hendaknya didasari dengan niat yang tulus, yaitu niat karena
Allah semata. Sehingga pada akhirnya apa yang kita baca berorientasi pada
nilai-nilai spiritual dan nantinya menghasilkan produk pemikiran dan produk
ilmiah yang bisa memberi kemaslahatan pada seluruh ummat manusia.
Dari sini bisa dilihat oleh kia bagaimana terdapat korelasi yang
sangat erat antara aktivitas intelektual dengan aktivitas spiritual. yang
artinya Islam menyatakan dengan tegas adanya hubungan secara horizontal antara
nilai-nilai ajaran Agama dengan Ilmu pengetahuan. Sehingga dalam Islam tidak
mengenal istilah dikotomi ilmu pengetahuan,yang menyebabkan ilmu itu
terklasifikasi menjadi ilmu yang agamis atau ilmu non agamis, atau dengan kata
lain ilmu yang religius dan ilmu yang bersifat sekuler.
selanjutnya dalam pembahasan ilmu ini. Ilmu itu tidak dapat
dipisahkan dengan adanya aktivitas intelektual yang merupakan proses berfikir
logis. Melalui proses berfikir inilah pada akhirnya akan melahirkan berbagai macam
ilmu pengetahuan, seperti ilmu tentang ketuhanan yang disebut dengan ilmu
teologi, ilmu tentang alam, seperti; fisika, biologi, astronomi dan lain
sebagainya, ilmu yang membahas tentang manusia, seperti; psikologi, sosiologi
dan lain sebagainya. Semua cabang ilmu pengetahuan yang disebutkan ini pada
dasarnya lahir dari aktivitas intelektual melalui proses pemikiran yang
mendalam, yang mana dalam dunia keilmuan, hal ini disebut dengan “Filsafat”.
Jadi pada dasanya Filsafat merupakan induk dari berbagai macam cabang Ilmu
pengetahuan.[2]
Aktivitas intelektual atau proses pemikiran dan penalaran secara
logis tersebut juga dibahas dalam dunia islam, sebab banyak sekali ayat-ayat
al-Qur’an yang memerintahkan supaya ummat manusia menggunakan potensi yang
dianugerahkan oleh Allah kepada mereka yang berupa akal supaya digunakan untuk
berfikir, sebab dengan berfikir ini manusia akan mampu mencapai kebijaksanaan
yang sejati, dengan proses pemikiran ini manusia akan mengetahui siapa
sebenarnya mereka dan apa yang harus dilakukan mereka di muka bumi ini[3].
Namun yang menjadi persoalan sekarang adalah bagaimana hubungan
Filsafat yang merupakan aktivitas intelektual, dan ilmu, yang merupakan sesuatu
yang lahir melalui aktivitas intelektual tersebut dengan ajaran Agama yang berdasarkan
perspektif Islam? Islam merupakan
satu-satunya agama yang tegas memberi
perhatian yang khusus pada ilmu pengetahuan. Oleh karena latar belakang inilah,
maka penulis akan mencoba untuk mengulas karakteristik atau ciri-ciri hubungan
antara filsafat, ilmu, dan agama dalam perspektif Islam dalam tulisan yang
sederhana ini.
B.
Karakteristik Filsafat
1.
Pengertian Filsafat
istilah filsafat itu berasal dari bahsa yunani yang terdiri atas
dua kata philo dan shopia. Philo berarti cinta dalam arti luas,
yakni keinginan dan shopia berarti hikmat (kebijakan) atau kebenaran.
Jadi, secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijakan atau kebenaran (love
of wisdom).[4]
Istilah filsafat jika dilihat dari aspek historis pertama kali tokoh atau
filusuf yang menggunakan istilah filsafat atau philosophia adalah
Pythagoras.[5]
Pengertian filsafat secara terminologi sangat beragam, baik dalam
ungkapan maupun titik tekannya. Bahkan , Moh. Hatta dan Lageveld bahwa definisi
filsafat tidak perlu diberikan karena setiap orang memiliki titik tekan sendiri
dalam definisinya. Oleh, karena itu, biarkan filsafat diteliti terlebih dahulu
kemudian baru disimpulkan[6].
Pendapat ini ada benarnya, sebab intisari berfilsafat itu terdapat
dalam pembahasannya. Namun definisi filsafat untuk dijadikan patokan awal
diperlukan. Karena itu, disini dikemukakan beberapa definisi dari para filosof
terkemuka yang cukup representatif, baik dari segi zaman maupun kualitas
pemikiran.[7]
Plato mengatakan, bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang segala
yang ada. Adapun menurut Aristoteles filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas
segala benda. Karena itu , Aristoteles menamakan filsafat dengan “teologi” atau
“filsafat pertama”. Aristoteles sampai pada kesimpulan bahwa setiap gerak di
alam digerakkan pleh yang lain. Karena itu, perlu menetapkan satu penggerak
pertama yang menyebabkan gerak itu, sedangkan dirinya sendiri tidak bergerak.
Penggerak yang pertama ini sama sekali terlepas dari materi; sebab kalau ia
bermateri, maka ia juga memiliki potensi untuk bergerak. Allah, demikian
Aristoteles, sebagai penggerak pertama adalah aktus murni.[8]
Al-Farabi mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang alam
yang maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.[9]
Prof. Dr. Fu’ad Hasan berpendapat bahwasannya f ilsafat adalah
suatu ikhtiar untuk berpikir radikal; radikal dalam arti mulai dari radix-nya
sesuatu gejala, dari akarnya sesuatu yang hendak dipermasalahkan. Dan dengan
jalan penjajagan yang radikal itu filsafat berusaha untuk sampai pada
kesimpulan yang universal.[10]
Harun Nasution mengatakan bahwa filsafat adalah berpikir menurut
tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, logika dan
dogma) dan dengan sedalam-dalamnya, sehingga sampai kedasar-dasar persoalan[11].
Jika dilihat dari teks secara literal, narasi yang digunakan oleh
para tokoh diatas memang berbeda satu sama lain, hal ini wajar-wajar saja.
Sebab perbedaan itu timbul dari perbedaan pandangan terhadap fungsi filsafat.
Dan lagian pemikiran intelektual mereka itutumbuh dalam berbagai macam kondisi
keilmuan dan berbagai macam latar belakang. Namun jika kita melihat secara
kontekstual dan melihat aspek subtansialnya ternyata istilah-istilah yang
ditawarkan oleh para tokoh tersebut mengandung aspek persamaan, sebab dari
macam-macam definisi yang diungkapkan para tokoh diatas memiliki titik tekan
yang sama. Yaitu: berpikir secara radikal, rasional, sistematis, bebas, kritis,
dan universal.[12]
2.
Karakteristik Filsafat
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan karakter
adalah ciri-ciri sesuatu yang membedakan antara satu benda dengan benda yang
lain, maka yang dimaksud disini adalah ciri-ciri filsafat atau ciri-ciri
berpikir filsafat. Ciri-ciri berpikir filsafat sebenarnya sudah tercakup pada
pengertian filsafat itu sendiri yaitu: (1). Berpikir Radikal, (2). Mencari
Asas, (3). Memburu kebenaran, (4). Mencari kejelasan, dan (5). Berpikir
Rasional.[13]
Sedangkan menurut Sudarto yang dikutip oleh Uhar Suharshaputra[14]
ciri-ciri berpikir filsafat adalah:
a.
Metodis
: menggunakan metode, cara yang lazim digunakan oleh Filusuf (ahli filsafat)
dalam proses berpikir
b.
Sistematis
: berfikir dalam suatu keterkaitan antar unsur-unsur dalam suatu keseluruhan
sehingga tersusun suatu pola pemikira filusuf
c.
Koheren
: diantara unsur-unsur yang dipikir tidak terjadi suatu yang bertentangan dan
tersusun secara logis
d.
Rasional
: mendasarkan pada kaidah berfikir yang benar dan logis (sesuai dengan kaidah
logika)
e.
Komprehensif
: berfikir tentangsesuatu dari berbagai sudut pandang (multidimensi)
f.
Radikal
: berfikir secara mendalam sampai keakar-akarnya atau sampai pada tingkatan
esensi yang sedalam-dalamnya
g.
Universal
: muatan kebenarannya bersifat universal, mengarah pada realitas kehidupan
manusia secara keseluruhan.
Sebenarnya karakteristik berpikir filsafat itu sangatlah banyak dan
sangat beragam bentuknya yang disebut dan diulas oleh para tokoh filsafat.
Namun, disini penulis memang sengaja tidak mencantumkan semuanya sebab diantara
beberapa ulasan para tokoh yang ditelaah oleh penulis sendiri memiliki titik
tekan yang sama, yang mana titik tekan daripada karakteristik berpikir filsafat
itu tercakup pada tiga hal yang sangat esensial yaitu; (1). Berpikir secara
logis, (2). Berpikir secara sistematis, (3). Berpikir secara radikal, (4).
Berpikir secara universal.
C. Karakteristik Ilmu
(Sains)
1. Pengertian Ilmu
Secara eksplisit Kamus Besar Bahasa Indonesia
mengartikan ilmu dengan (1) “pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun
secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu; (2) pengetahuan atau
kepandaian.”[15] Sedangkan secara definitif kamus al-ʻAsri mengartikan kata al-ʻilmu
sebagai sebuah pengetahuan.[16]
Al-Qurʻān sendiri dalam berbagai ayatnya
menyebutkan kata īlmu sebanyak 105 kali (dalam bentuk maṣdār)
sedangkan dalam berbagai perubahan bentuk lafaẓnya, Al-Qurʻān menyebut kata īlmu
tidak kurang dari 744 kali dengan perincian sebagai berikut: (1) ʻalima dalam
bentuk kata kerja aktif berzaman lampau (fiʻil maḍi ṡulāṡi mujarrad
mabnī lil fāʻil, pasten) sebanyak 35 kali, (2) yaʻlamu dalam
bentuk kata kerja aktif berzaman sekarang dan akan datang (fiʻil muḍāriʻ mabnī
lil fāʻil, present dan kontinyus) sebanyak 215 kali, (3) iʻlam dalam
bentuk kata kerja perintah (fiʻil amar) sebanyak 31 kali, (4) yuʻlamu
dalam bentuk kata kerja pasif berzaman sekarang dan akan datang (fiʻil
muḍāriʻ mabnī lil mafʻūl, present dan kontinyus) sebanyak 1 kali, (5) īlmu
dalam bentuk kata benda (maṣdār, noun) sebanyak 105 kali, (6) ʻālīm
dalam bentuk kata benda berfungsi sebagai subjek bermakna kesungguhan (amtsilatul
mubālagah) sebanyak 18 kali, (7) maʻlūm dalam bentuk objek dari
sebuah pekerjaan mengetahui (isim mafʻūl) sebanyak 13 kali, (8) ʻālamīn
dalam bentuk isim jenis bermakna plural (jamaʻ) sebanyak 73 kali, (9) ʻālam
dalam bentuk isim jenis bermakna singular (mufrad) sebanyak 3 kali, (10)
aʻlam dalam bentuk kata benda tidak beraturan (isim jamid)
sebanyak 49 kali, (11) ʻālim dalam bentuk subjek berdimensi singular (isim
fāʻil lil mufrad) atau ʻulamāʼ dalam bentuk subjek berdimensi
plural (jamaʻ taksīr) sebanyak 163 kali, (12) ʻallām dalam
bentuk kata benda berfungsi sebagai subjek bermakna kesungguhan (amtsilatul
mubālagah) sebanyak 4 kali, (13) aʻlama dalam bentuk kata kerja
aktif berzaman sekarang atau akan datang (fiʻil muḍāriʻ ṡulāṡi mazīd mabnī
lil fāʻil,) sebanyak 12 kali, (14) yuʻlimu dalam bentuk kata kerja
aktif berzaman sekarang atau akan datang (fiʻil muḍāriʻ ṡulāṡi mazīd mabnī
lil fāʻil, present dan kontinyus) sebanyak 16 kali, (15) ʻulima dalam
bentuk kata kerja pasif berzaman lampau (fiʻil maḍi ṡulāṡi mujarrad mabnī
lil mafʻūl, pasten) sebanyak 3 kali, (16) muʻallam dalam bentuk objek dari
kata kerja mengetahui (isim mafʻūl ṡulāṡi mazīd) sebanyak 1 kali, dan
(17) taʻallama dalam bentuk kata kerja aktif berzaman lampau (fiʻil
maḍi ṡulāṡi mazīd mabnī lil fāʻil, pasten) sebanyak 2 kali.
Dari berbagai perubahan bentuk kalimat di atas muncul berbagai ragam arti
seperti mengetahui, pengetahuan, orang yang berpengetahuan, yang tahu,
terpelajar, paling mengetahui, mamahami, mengetahui segala sesutau, lebih tahu,
sangat mengetahui, cerdik, mengajar, belajar, orang yang menerima pelajaran,
mempelajari sebagaimana juga muncul pengertian tentang tanda, alamat, batas,
tanda peringatan, dunia, segala yang ada, dan segala yang dapat diketahui.[17]
Secara mendalam kata ʻilmu selaras
dengan kata ʻarafa, yaʻrifu, maʻrifatan yang berarti mengetahui bahkan
dalam Bahasa Indonesia kata ilmu dengan pengetahuan telah menjadi kata gabungan
yang artinya saling menyempurnakan menjadi ilmu pengetahuan.[18]
Namun dalam al-Qurʻān kata ʻilmu memiliki arti yang lebih dalam dari
hanya sebuah pengetahuan. Karena menurut al-Qurʻān kata ʻilmu di samping
adalah sebuah pengetahuan, dia adalah sebuah pengetahuan yang membutuhkan olah
nalar sebagaimana tertera dalam QS. Al-Anʻām: 143-145
ثَمَانِيَةَ
أَزْوَاجٍ مِنَ الضَّأْنِ اثْنَيْنِ وَمِنَ الْمَعْزِ اثْنَيْنِ قُلْ
آَلذَّكَرَيْنِ حَرَّمَ أَمِ الْأُنْثَيَيْنِ أَمَّا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ
أَرْحَامُ الْأُنْثَيَيْنِ نَبِّئُونِي بِعِلْمٍ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (143)
وَمِنَ الْإِبِلِ اثْنَيْنِ وَمِنَ الْبَقَرِ اثْنَيْنِ قُلْ آَلذَّكَرَيْنِ
حَرَّمَ أَمِ الْأُنْثَيَيْنِ أَمَّا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ أَرْحَامُ
الْأُنْثَيَيْنِ أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ وَصَّاكُمُ اللَّهُ بِهَذَا فَمَنْ
أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا لِيُضِلَّ النَّاسَ بِغَيْرِ
عِلْمٍ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ [الأنعام/143، 144[
Delapan binatang yang
berpasangan, sepasang dari domba dan sepasang dari kambing. Katakanlah:
"Apakah dua yang jantan yang diharamkan Allah ataukah dua yang betina, ataukah
yang ada dalam kandungan dua betinanya?" Terangkanlah kepadaku dengan
berdasar pengetahuan jika kamu memang orang-orang yang benar.
Dan sepasang dari unta
dan sepasang dari lembu. Katakanlah: "Apakah dua yang jantan yang
diharamkan ataukah dua yang betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua
betinanya. Apakah kamu menyaksikan di waktu Allah menetapkan ini bagimu? Maka
siapakah yang lebih dzalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta
terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan?" Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.
Secara
garis besar pengertian ilmu dalam al-Qurʻān dapat dikelompokkan menjadi dua
bagian, yaitu: (1) ilmu Allah yang meliputi semua yang maujud, baik yang dapat
dilihat, ditangkap, dan dirasakan oleh indera manusia atau yang sama sekali
tidak bisa dilihat, ditangkap, dan dirasakan oleh indera manusia (ilmul gaib);
(2) ilmu manusia yang melingkupi berbagai ilmu yang dapat dilihat, ditangkap,
dan dirasakan oleh indera atau hati manusia.[19]
Menurut Raji Abdul Hamid, terma ilmu memiliki
kandungan makna, yaitu: (1) pengertian (al-maʻrifah), (2) perasaan (as-Syu’ūr),
(3) persepsi (al-idrāk), (4) daya tangkap (at-taṣawwūr), (5)
pemeliharaan, penjagaan, dan pengingat (al-hifẓi), (6) pengingat (at-tażakur),
(7) pengertian dan pemahaman (al-fahmun, al-fiqhu), (8) intelektual (al-‘aqlu),
(9) perkenalan, pengetahuan, dan narasi (ad-diroyah dan ar-riwāyah), (10)
kearifan (al-hikmah), (11) intuisi (al-badīhah), (12) kecerdasan
(al-firāsah), (13) pengalaman (al-khibrah), (14) pemikiran atau
opini (ar-ra’yu), (15) pengamatan (an-naẓar), (16) lambang (al-ʻalamah),
dan (17) tanda (as-simah).[20]
Dari kandungan makna ilmu sebagaimana di atas,
maka tidak aneh jika Roshental sebagaimana dikutip M. Hadi Masruri menyederhanakan
delapan ratus definisi ilmu yang dihasilkan para pemikir muslim menjadi dua
belas kategori paling mendasar dari kesemua definisi tersebut, yaitu (1)
pengetahuan adalah proses untuk mengetahui yang menjadikan orang tahu menjadi
mengetahui karena adanya hubungan simbolik antara subjek dan objek ilmu; (2)
pengetahuan adalah kognisi; (3) pengetahuan adalah proses menemukan melalaui
persepsi mental; (4) pengetahuan adalah proses klarifikasi, asersi, dan
penetapan, (5) pengetahuan adalah gabungan dari oprasional bentuk suatu konsep,
proses mental dan imajinasi, dan verikasi mental; (6) pengetahuan adalah
kepercayaan; (7) pengetahuan adalah ingatan, imajinasi, gambaran, pandangan,
dan opini; (8) pengetahuan adalah aksi; (9) pengetahuan adalah istilah yang
relatif; (10) pengetahuan dapat didefinisikan jika sudah berhubungan dengan
gerak; (11) pengetahuan didefinisikan sebagai hilangnya ketidaktahuan; dan (12)
Pengetahuan adalah hasil dari intuisi yang datang dari faktor eksternal
manusia.[21]
Secara implisit definisi ilmu dari poin satu
sampai sebelas memberikan pengertian bahwa (1) sumber ilmu adalah manusia; (2)
saluran ilmu adalah indra dan rasio; (3) objek ilmu adalah fisik dan empiris.
Sedangkan definisi poin kedua belas secara implisit memberikan pengertian bahwa
(1) sumber ilmu adalah Allah SWT dan manusia; (2) saluran ilmu adalah wahyu,
rasio, indra, intuisi, dan ilham; dan (3) objek ilmu adalah fisik-metafisik dan
empiris meta-empiris.[22] Dengan kata lain, ilmu adalah akumulasi
pengetahuan yang bisa diaktifikasikan dari ide, pengalaman, observasi, intuisi,
dan wahyu dalam ajaran agama tertentu.[23]
Sedangkan menurut The Liang Gie, dalam
memahami ilmu seseorang harus memahami ilmu sebagai trilogi yang tidak bisa
dipisah-pisahkan antara satu bagian dengan bagian yang lain. Sebuah kesatuan
yang terdiri dari tiga unsur, yaitu (1) ilmu sebagai proses yang tercermin
dalam aktifitas penelitian, (2) ilmu sebagai prosedur yang tercermin dalam
metode ilmiah, dan (3) ilmu sebagai produk yang lahir dari rangkaian kegiatan
yang terdapat dalam pengertian ilmu sebagai proses dan prosedural-metodik.[24]
Pertama, ilmu sebagai proses yang tercermin dalam aktifitas penelitian atau
pemikiran manusia memiliki tiga dimensi yang saling berkomunikasi antara satu
dengan lainnya,[25] yaitu
(1) dimensi rasional. Artinya ilmu adalah sebuah proses yan menggunakan pola
pemikiran yang beroprasi berdasarkan kaidah-kaidah logika, bukan persaan atau
naluri; [26] (2)
dimensi kognitif. Artinya ilmu adalah sebuah proses kognitif yang bertalian
erat dengan proses mengetahui dan pengetahuan itu sendiri seperti aktivitas
pengenalan, pencerapan, pengonsepsian, dan penalaran; dan (3) dimensi
teleologis. Artinya ilmu adalah sebuah tujuan tertentu yang ingin dicapai
berdasarkan proses yang rasional dan kognitif.
Kedua, ilmu sebagai sebuah prosedur yang tercermin dalam metode ilmiah.
Kedudukan ilmu sebagai sebuah metode ilmiah mengharuskannya memiliki empat hal,
yakni (1) pola prosedural seperti pengamatan, percobaan, pengukuran, survai,
deduksi, induksi, analisis, dan lainnya; (2) tata langkah seperti urutan
langkah berikut ini, yaitu penentuan masalah, perumusan hipotesis, pengumpulan
data, penurunan kesimpulan, dan pengujian hasil; (3) tehnik seperti daftar
wawancara, perhitungan, pemanasan, dan lain-lain; dan (4) aneka alat seperti
timbangan, meteran, perapian, dan lain-lain.[27]
Ketiga, ilmu sebagai sebuah produk -bernama pengetahuan yang lahir dari
rangkaian kegiatan yang terdapat dalam pengertian ilmu sebagai proses dan
prosedural-metodik - adalah pengertian yang paling mudah dipahami dan disetujui
oleh para ilmuwan dan filsuf.[28]
Pengertian ilmu ketiga ini selaras dengan definisi ilmu Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia yang menyatakan ilmu sebagai pengetahuan
tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang
dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.[29]
Berdasarka ketiga dimensi cakupan pengertia
ilmu di atas, The Liang Gie mengartikan ilmu sebagaimana di bawah ini:
Ilmu adalah rangkaian aktifitas manusia yang rasional dan kognitif
dengan berbagai metode berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga
menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai gejala, gejala
kealaman, kemasyarakatan, atau keorangan untuk tujuan mencapai kebenaran,
memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, ataupun melakukan penerapan.[30]
2.
Karakteristik Ilmu
Sebagaimana filsafat, ilmu juga memiliki karakteristik atau
ciri-ciri yang membedakan antara ilmu dengan sesuatu yang lain, ciri-ciri
inilah yang akan bisa membedakan antara ilmu dan pengetahuan, bahkan
karakteristik inilah yang juga akan menjadi pembeda antara ilmu dengan filsafat.
Secara umum dari pengertian ilmu dapat diketahui apa sebenarnya
yang menjadi karakteristik ilmu itu sendiri. Meskipun untuk tiap definisi
memberikan titik berat yang berlainan. Kemudian secara khusus memang ada
ciri-ciri atau karakteristik ilmu itu sendiri[31]
sebagai berikut :
a.
Empiris
(berdasarkan pengamatan dan percobaan)
b.
Sistematis
(tersusun secara logis serta mempunyai hubungan saling bergantung dan teratur)
c.
Objektif
(terbebas dari parasangka dan kesukaan pribadi)
d.
Analitis
(menguraikan persoalan menjadi bagian-bagian yang terinci)
e.
Verifikatif
(dapat diperiksa kebenarannya)
Sementara itu Beerling menyebutkan karakteristik ilmu
(pengetahuan ilmiah) sebagai berikut:
a.
Mempunyai
dasar pembenaran
b.
Bersifat
sistematik
c.
Bersifat
intersubjektif
Dari karakteristik yang telah diulas diatas maka kita dapat membedakan
antara mana pengetahuan yang bersifat ilmiah dengan pengetahuan yang tidak
ilmiah. Sebenarnya perbedaan itu telah tampak pada segi arti kata keduanya
secara etimologi yang keduanya sama-sama berasal dari bahasa inggris. Jika ilmu
berarti sains tapi kalau pengetahuan berarti knowledge. Hal
senada juga terjadi dalam nahasa arab jika ilmu menggunakan kata ‘ilm tapi
kalau pengetahuan menggunakan term ma’rifah. Namun pada akhirnya kedua
istilah tersebut (ilmu dan pengetahuan) disandingkan menjadi satu kesatuan
dalam istilah indonesia yaitu ilmu pengetahuan yang berarti science.
D.
Pengertian Agama
Agama merupakan sesuatu yang sangat esensial didalam kehidupan
manusia dari zaman dahulu sampai zaman sekarang, dari era primitif sampai era
modern saat ini. Kebutuhan manusia terhadap agama tidak bisa dilepaskan, sebab
manusia tidak bisa lepas dari nilai-nilai agama yang melingkupinya, alasannya,
sebab agama merupakan fitrah atau mudahnya semua manusia memiliki naluri
sifat kebutuhan terhadap agama itu sendiri.[32]
Agama berasal dari bahasa Sankrist. Ada yang berpendapat bahwa kata
itu terdiri atas dua kata, a berarti tidak dan gam berarti pergi,
jadi agama artinya tidak pergi; tetap di tempat; diwarisi turun temurun. Agama
memang mempunyai sifat demikian. Pendapat lain menyatakan bahwa agama berarti
teks atau kitab suci. Selanjutnya bahwa gam berarti tuntunan. Agama juga
mempunyai tuntunan yaitu kitab suci, istilah agama dalam bahasa asing
bermacam-macam, antara lain: religion, religio, religie, godsdienst, dan
al-diin.[33]
Pengertian agam secara istilah sebagaimana yang diubgkapkan
beberapa ahli sebagai berikut ini, sebagaimana dikutip oleh Amsal Bakhtiar[34]:
a.
J.G.
Frazer berpendapat agama adalah penyembahan kepada kekuatan yang lebih agung
dari pada manusia, yang dianggap mengatur dan menguasai jalannya alam semesta.
b.
Freud
berpendapat bahwa yang dimaksud agama adalah bayangan dari rasa takut atau
gagasan yang khayali (the projection of fear or wishful thinking)
c.
Prof.
Musthafa Abd Raziq mengatakan bahwa agama adalah terjemahan dari kata din yang berarti peraturan-peraturan
yang terdiri atas kepercayaan-kepercayaan yang berhubungan dengan
keadaan-keadaan yang suci.
d.
Sutan
Takdir Alisjahbana berpendapat bahwa agama adalah: suatu sistem kelakuan dan
hubungan manusia yang berpokok pada perhubungan manusia dengan rahasia kekuatan
dan kegaiban yang tiada berhingga luas, dalam, dan mesranya disekitarnya,
sehingga memberi arti kepada hidupnya dan kepada alam semesta yang
mengelilinginya.
e.
A.M
Saifuddin mengatakan bahwa agama merupakan kebutuhan paling esensial manusia
yang bersifat universal. Karena, itu, agama menurutnya, adalah kesadaran
spiritual yang didalamnya da satu kenyataan di luar kenyataan yang tampak ini ,
yaitu bahwa manusia selalu mengharap belas kasih-Nya, bimbingan tangan-Nya,
serta belain-Nya, yang secara ontologis tidak bisa di ingkari, walaupun oleh
manusia yang paling komunis sekalipun.
Dari penjelasn yang diungkapkan para tokoh diatas sekalipan ada
perbedaan yang bersifat konotatif namun secara subtansial ada pokok persamaan.
Mungkin perbedaan itu muncul karena penggunaan teks dan narasi yang
berbeda-beda. Aspek subtansial yang penulis maksud ada persamaan disini adalah,
semua definisi yang ditawarkan oleh para ahli tersebut berorientasi pada aspek
ke ghaiban sesuatu yang metafisika, sesuatu yang tidak tampak dan tidak
empiris.
Jika kita melihat dari aspek subtansial yang ditawarkan oleh
penulis tersebut agaknya antara agama, ilmu dan filsafat sangatlah berbeda,
oleh karena itu sngatlah sulit untuk mengawinkan dn menggabungkan antara ketiga
hal tersebut. Namun disini penulis akan mencoba untuk mengawinkannya, karena
ketiga aspek tersebu ada unsur-unsur kesamaannya. Yang hal ini akan diulas pada
poin selanjutnya.
E.
Hubungan antara Agama, Filsafat dan Ilmu dalam Islam
1.
Hubungan antara Filsafat, Ilmu, dan Agama
Sebelum kita membahas tentang pandangan islam dalam masalah
hubungan antara Agama, Filsafat, dan Ilmu. Atau hubungan ketiganya dalam Islam,
ada baiknya kalau kita melihat hubungan ketiga hal ini secara mendalam, baik
dari aspek sosio-histori nya, ataupun dalam aspek yang lainnya, yang tentunya
melingkupi hubungan ketiganya.
Dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan melalui proses
perjalanan filsafat yang amat panjang. Memang, ada gejolak dan ketegangan yang
sangat mencolok antara Agama, ilmu pengetahuan, serta filsafat itu sendiri.
Mungkin, jika ilmu dan filsafat tidak ada masalah sebab keduanya pada dasarnya
merupakan satu kesatuan, ilmu lahir dari rahim filsafat sehingga bisa dikatakan
ilmu adalah anak kandung dari filsafat. Akan tetapi yang menjadi perhatian
disini adalah ketegangan serta pertikain antara agama dan ilmu, peperangan
antara filsafat dan kepercayaan agama[35]
Bahkan lebihparah lagi sampai-sampai Agama yang seharusnya
nilai-nilai ajaran Agama itu memeluk mesra pemeluknya melindungi pemeluknya
malah menjelma menjadi sosok yang menakutkan yang mengintimidasi para
ilmuan. Hal ini terjadi para ilmuan
eropa, bagaimana sejarah mencatat bagaimana gereja yang merupakan simbol Agama
menindas para ilmuan akibat penemuan mereka yang dianggap bertentangan dengan
kitab suci, sehingga pada akhirnya para ilmuan itu menjauh dari agama bahkan
meninggalkannya.[36]
Itu merupakan catatan kelam tentang sejarah yang mencatat bagaimana
disana ada konfrontasi antara Ilmu dan Agama. Sehingga para intelektual dari
kalangan orientalis menyatkan bahwa antara Agama dan Ilmu pengetahuan jelas
tidak bisa dikawinkan karena hubungan yang sangat amat tidak harmonis diantara
keduanya. Namun Islam sebagai agama pemungkas hadir dengan gagahnya dengan
doktrin-doktrinnya yang malah memberi perhatian kepada Ilmu Pengetahuan. Hal
ini dapat kita lacak dari kitab sucinya dimana sangat banyak menyinggung
masalah ilmu, bahkan perintah yang diturunkan pertama kali, sebelum perintah
ibadah yang lainnya di perintahkan adalah perintah membaca, yang mana membaca
merupakan aktivitas yang sangat sentral kedudukannya dalam mencari dan mencapai
pengetahuan yang ilmiah.
2.
Pandangan Islam tentang hubungan Ilmu , Filsafat, dan Agama
Sebagaimana yang kita ketahui bahwasannya satu-satunya agama yang
memiliki hubungan yang harmonis dengan Ilmu pengetahuan adalah Agama Islam. Hal
ini dapat dilacak dalam sumber nilai-nilai ajarannya.
Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam
al-Qur’an. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapain pengetahuan dan objek
pengetahuan.[37]
Jadi dari sini Islam sangat mnjunjung nilai-nilai keilmuan, sebab dengan ilmu
dan proses berfikir itulah manusia dapat mencapai hakikat yang sejati.
Sebagaimana yang telah penulis ulas di atas, sejak kehadirannya,
filsafat ditolak oleh kaum agamis sebab bertentangan dengan nilai-nilai ajaran
agama yang diyakini pada waktu itu. Tapi hal semacam itu tidak berlaku di dunia
Islam. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Amsal Bakhtiar[38]
sebagaimana berikut:
Benturan yang semacam ini bukan hanya terjadi di Yunani, tetapi
juga dikawasan lain yang mengalami penemuan-penemuan baru, terutama dalam
bidang sains. Namun ada juga benturan yang tidak terlalu tajam, seperti pada
masa awal-awal Islam (abad kedua dan ketiga hijriah). Kedatangan filsafat dan
yunani di dunia Islam tidak mengalami gejolak yang besar sekali dalam
masyarakatnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, masyarakat
Islam pada waktu itu belum terlalu mengkristal dalam satu pola hidup tertentu.
Mereka masih bebas untuk melakukan ijtihad dalam berbagai lapangan, baik,
teologi, fikih, filsafat, maupun ilmu. Jarak yang begitu dekat dengan sumber
pertama , yakni Nabi mendorong mereka lebih berani untuk mengadakan pembaharuan
dalam bidang tersebut. Kedua, al-Quran dan Hadis Nabi mendorong untuk
melakukan penelitian ilmiahdan mengobservasi kejadian-kejadian di alam untuk
dijadikan i’tibar bagi orang-orang yang beraqal. Ketiga, para
Khalifah waktu itu sangat menyokong kegiatan ilmiah. Masa Khalifah Harun al-Rasyid
dan Al-Amin, buku filsafat dan ilmu diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Para
ilmuan diberi insentif oleh kerajaan untuk mengembangkan disiplin ilmu, tidak
heran kemudian muncul ulama’ yang tidak hanya ahli dibidang Agama, tetapi juga
ahli dalam bidang fisika, kimia, matematika, dan kedokteran.
Dari urain diatas tampak jelas bagaimana Islam menerima pembaharuan
melalui aktifitas intelek tual dan proses berfikir logis yang nantinya
menghasilkan berbagaimacam ilmu pengetahuan yang tentunya ilmu itu pada akhirnya
bermanfaat bagi kehidupan manusia di dunia ini.
Selanjutnya penulis berkesimpulan setelah menganalisis tentang beberapa
data bahwa Islam mengakui hubungan antara filsafat, ilmu dan agama.
Karakteristik hubungan antara ketiganya adalah sebagai berikut; menurut penulis
karakteristik hubungan antara ketiga hal itu (Filsafat, Ilmu, dan Agama) dalam
Islam memiliki dua aspek hubungan; pertama, hubungan horizontal; yaitu,
penggunaan proses pemikiran rasional dan logis atau penggunaan filsafat dalam
menginterpretasikan isi kandungan kaidah nilai-nilai fundamental ajaran Islam
yang termaktub dalam al-Qur’an sehingga dari penafsiran itu menghasilkan ilmu
pengetahuan[39].
Yang kedua, yaiitu; al-Qur’an dan al-Sunnah yang merupakan nilai-nilai
ajaran yang bersifat fundamental tersebut, memberi motivasi dan inspirasi
kepada manusia supaya menggunakan potensi yang dianegerahkan oleh Allah yang
berupa aqal untuk melakukan proses pemikiran rasional atau untuk berfilsafat,
sehingga dari aktivitas intelektual tersebut menghasilkan karya-karya ilmiah
atau ilmu pengetahuan[40]
Ilmu Pengetahuan
|
Al-Qur’an
Al-Sunnah
|
Filsafat
|
Gambar 1.2
Filsafat
|
Ilmu Pengetahuan
|
Al-Qur’an
Al-Sunnah
|
Dari kedua gambar di atas
tampak jelas bagaiman hubungan antara Islam, filsafat dan ilmu, bahkan
jika kita mau mencerna Agama seharusnya yang didalamnya terdapat nilai-nilai
ajaran yang berorientasi pada perbaikan moral dan sosial dan bertujuan untu
menjadikan manusia menjadi baik, tidak menjadi penindas para ilmuan atau
menceraikan filsafat dan ilmu pengetahuan. Dan seharusnya yang terjadi adalah
sebaliknya bagaimana nilai-nilai luhur agama tersebut memberi motivasi dan
inspirasi kepada manusia agar berfikir yang nantinya dari proses pemikiran itu
melahirkan ilmu pengetahuan, atau agama memberikan kebebasan kepada manusia
untuk menginterpretasikan nilai-nilai agama itu dengan pemikiran yang rasional
yang pada akhirnya melahirkan ilmu pengetahuan yang tentunya berorientasi pada
kemaslahatan ummat manusia. Sehingga peran Agama dalam perkembangan ilmu
pengetahuan itu memiliki posisi yang sangat strategis[41]
F.
Kesimpulan Akhir
Dari pembahasan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Filsafat
dan ilmu pada dasarnya memiliki hubungan yang sangat erat, mulai dari masa
klasik sampai masa modern saat ini. Sebab berbagai macam ilmu pengetahuan itu
lahir dari rahim filsafat. Sehinnga bukan sesuatu yang mengada-ada jika
dikatakan kalau filsafat adalah induk dari berbagai macam ilmu pengetahuan.
Dengan artian antra ilmu dan filsafat sangat erat hubungannya.
2.
Jika
filsafat dan ilmu memiliki hubungan yang sangat erat, sekalipun memiliki
karakteristik yang berbeda. Lain halnya dengan agama, yang mana agama, jika
dilihat dari aspek historinya dengan filsafat serta ilmu pengetahuan selalu
bertikai. Namun kehadiran islam sebagai agama pamungkas mampu merajut hubungan
yang harmonis dengan filsafat dan ilmu.
3.
Karakeristik
hubungan filsafat, ilmu, dan agama dalam islam bisa dilihat dari dua aspek
korelasi. Yang pertama, korelasi secara horisontal. Yang kedua, korelasi
yang bersifat vertikal.
DAFTAR RUJUKAN
Ahmad, Abu, Filsafat Islam, Bandung: Toha Putra
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddiin, Surabaya: Al-Haramain, 2003
Atabik Ali & Ahamd Zuhdi Muhdor, , Kamus al-Asri (Kamus
Kontemporer Arab-Indonesia), Cet IX,
Yogyakarta: Multi Karya Grafika
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Agama; Wisata Pemikiran dan Keyakinan
Manusia, Jakarta: Rajawali Press, 2012.
Hasan, Fu’ad, Berkenalan dengan Filsafat
Eksistensialisme, Jakarta: Pustaka Jaya, 1989
M. Hadi Masruri & Imron Rosidi, Filsafat
Sains Dalam Al-Qurʼān (Malang: UIN
Malang Press, 2007)
Maksum,
Ali, Pengantar Filsafat Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2016
Nasution, Harun, Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang,
1991
Raharjo, Dawan, Ensiklopedi AL-Qurʻān Jakarta Selatan:
Paramadina, 2002
Rosidin, Epistemologi Pendidikan Islam Yogyakarta: Diandra
Kreatif
Suharsaputra,
Uhar, pengentar Filsafat ilmu, (buku ajar Universitas Kuningan Jakarta,
2016
Shihab,
Quraish, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan. Dan Keserasian Dalam al-Qur’an,
Jakarta: Lenter ahati, 2012
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, cet. V Yogyakarta:
Liberty: Yogyakarta, 2000
[1] Quraish Shihab,
Tafsir AL-Misbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an , (Jakarta:
Lentera Hati, Cetakan ke- V, 2012), hlm. 455
[2]
Cara berfikir
filsafat telah mendobrak pintu dan tembok-tembok tradisi dan kebiasaan, bahkan
telah menguak mitos dan mite serta kemudian meninggalkan cara berpikir mistis.
Pada saat yang sama, filsafat juga telah berhasil mengembangkan cara berpikir
rasional, luas dan mendalam, teratur dan terang, integral dan koheren, metodis
dan sistematis, logis, kritis, dan analitis, karena itu ilmu pengetahuan pun
semakin bertumbuh subur dan menjadi dewasa. Untuk selanjutnya, berbagai ilmu
pengetahuan yang telah mencapai tingkat kedewasaan penuh, satu demi satu mulai
mandiri dan meninggalkan filsafat yang telah mendewasakan mereka. Itulah
sebabnya filsafat disebut sebagai mater scientiarum atau induk segala
ilmu pengetahuan. Lihat, Ali Maksum, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik
hingga Postmodernisme (Yogyakarta: Ar- Ruz Media, cetakan. I, 2016), hlm.
24
[3] من عرف نفسه فقد عرف ربه ومن عرف ربه فقد جهل نفسه yang artinya
adalah barang siapa yang mengatahui dirinya maka akan mengetahui tuhannya dan
sipa yang mengetahui tuhannya maka dia akan bodoh akan dirinya. Hal ini dapat
diperoleh melalui proses pemikiran tentang siapa dirinya sehingga dia mampu
mengetahui bahwa dia pada hakikatnya adalah ciptahan Tuhan. Lihat, Muhammad
ibnu Muhammad Abu Hamid al-Ghazali, iya’ Ulumuddin (Surabaya: Penerbit
al- Haramain, Juz I), hlm.32
[5]
Menurut sejarah, istilah
philoshophia pertama kali digunakan oleh Pythagoras (sekitar abad ke-6 SM).
Ketika diajukan pertanyaan kepadanya , “apakah anda termasuk orang yang
bijaksana ?.” dengan rendah hati Pytahagoras menjawab, saya hanya seseorang
philoshophos, pencinta kebijaksanaan ,
(love of Wisdom). Lihat , Ali Maksum, Pengantar Filsafat Dari masa klasik
Hingga Postmodernisme, (Jakarta: Ar-Ruzz- Media), hlm. 11
[7] Amsal Bakhtiar, Filsafat
Agama; Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, (Jakarta: Rajawali Press,
2012), cet. 3, halm. 7
[9] Abu Ahmad, Filsafat Islam, (Semarang:
Toha Putra, 1988), hlm.8
[11] Harun Nasution,
Filsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm 4
[12]
Perbedaan definisi yang
diberikan para tokoh diatas karena perbedaan pandangan mengenai fungsi filsafat
pada setiap tokoh. Namun, dari sekian definisi terdapat persamaan yang cukup
pokok dan sekaligus merupakan unsur-unsur dasar filsafat. Dari penjelasan
definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur pokok dalam filsafat
adalah pembahasan tentang segala yang ada secara radikal, rasional, sistematis,
bebas, kritis, dan universal. Lihat, Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama; Wisata
Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm.35
[13] Lebih jelasnya coba lihat Ali
Maksum, Pengantar Filsafat Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), hlm21 -23
[14]
Uhar Suharshaputra, pengentar
Filsafat ilmu, (buku ajar Universitas Kuningan Jakarta, 2016), hlm23
[15] Tim Penyusun
Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. III (Jakarta:
Balai Pustaka, 2002), hlm. 423.
[16] Atabik Ali
& Ahamd Zuhdi Muhdor, tt, Kamus al-Asri (Kamus Kontemporer
Arab-Indonesia), Cet IX,
Yogyakarta: Multi Karya Grafika, hlm. 1314.
[17] Dawam Raharjo,
Ensiklopedi AL-Qurʻān (Jakarta Selatan: Paramadina, 2002), hlm. 531-532.
[18] Dawam Raharjo,
Ensiklopedi AL-Qurʻān, hlm. 532.
[19] Dawam Raharjo,
Ensiklopedi AL-Qurʻān, hlm. 549.
[21]M. Hadi Masruri
& Imron Rosidi, Filsafat Sains Dalam Al-Qurʼān (Malang: UIN Malang Press, 2007), hlm. 53-54.
[22]Rosidin, Epistemologi
Pendidikan Islam (Yogyakarta: Diandra Kreatif), hlm. 28-29.
[23] Beni Ahmad dkk, Ilmu Pendidikan Islam
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), hlm. 21.
[24] The Liang Gie,
Pengantar Filsafat Ilmu, cet. V (Yogyakarta: Liberty: Yogyakarta, 2000),
hlm. 90.
[25] The Liang Gie,
Pengantar Filsafat Ilmu, hlm. 108.
[26] The Liang Gie,
Pengantar Filsafat Ilmu, hlm. 96.
[27] The Liang Gie,
Pengantar Filsafat Ilmu, hlm. 118.
[28] The Liang Gie,
Pengantar Filsafat Ilmu, hlm. 119.
[29] Tim Penyusun
Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 423.
[30] The Liang Gie,
Pengantar Filsafat Ilmu, hlm. 130.
[31]
Lebih jelasnya
lihat The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, cet. V (Yogyakarta:
Liberty: Yogyakarta, 2000), hlm. 90.
[32]
Dalam pandangan
islam, keberagamaan adalah fitrah (sesuatu yang melekat pada diri
manusia dan terbawa sejak kelahirannya), sebagaimana firman Allah: فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ
عَلَيْهَا (fitrah Allah yang menciptakan dengan fitrah
itu(Q.S. Al-Ruum: 30)). Ini berarti manusia tidak dapat melepaskan diri
dari agama. Tuhan menciptakan demikian. Karena agama merupakan kebutuhan
hidupnya. Lihat, Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas
pelbagai persoalan ummat, (Bandung: Penerbit Mizan, 2009), hlm. 375
[33]Amsal Bakhtiar,
Filsafat Agama; Wisata Pemikiran dan Kepercayaan (Jakarta: Rajawali
Pers, 2012), hlm. 12
[35]
Dalam sejarah
Yunani, kehadiran pemikiran filsafat sebagai induk dari ilmu dan sains modern
telah menimbulkan gejolak dalam masyarakat, karena penemuan filsafat
bertentangan dengan sistem kepercayaan dan mitos mereka. Masyarakat waktu itu
mempercayai bahwa kejadian alam dan peristiwa yang terjadi didalamnya tidak
lepas dari aktivitas para dewa. Gerhana, Pelangi, atau gempa bumi dianggap
sebagai aktualisasi fungsi para dewa. Lihat, Amsal Bakhtiar, filsafat Agama;
Wisata pemikiran dan kepercayaan Manusia, (Jakarta: Rajawali Press, 2012),
hlm. 225
[36] Jelasnya lihat, Quraish Shihab, Wawasan
Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas pelbagai persoalan ummat, (Bandung:
Penerbit Mizan, 2009), hlm.375
[37] Quraish
Shihab, hlm. 434
[38] Amsal Bakhtiar,
Filsafat Agama; Wisata Pemikiran dan Keyakinan Manusia, (Jakarta:
Rajawali Press, 2012), hlm. 227 -228
[41]
Dalam
hubungannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, agama
sesungguhnya sangat berperan, terutama jika manusia tetap ingin jadi manusia.
Lihat , Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an;Tafsir Maudhu’i atas pelbagai
persoalan Ummat, (Bandung: Penerbit Mizan, 2009), hlm.377
No comments:
Post a Comment