PERKEMBANGAN
PERADABAN ISLAM PADA MASA KERAJAAN SAFAWIYAH DI PERSIA (REVISI)
Oleh:
YOVI
NUR ROHMAN (16771009)
Magister
Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
A. PENDAHULUAN
Setelah berakhirnya
masa Khulafaur Rosyidin, sejarah peradaban Islam telah diwarnai dengan
berdirinya dinasti-dinasti besar yang berperan dalam penyebaran agama Islam,
dalam perjalanannya kekuatan politik Islam berkembang semakin pesat. Akan tetapi
setelah hancurnya dinasti Abbasiyah karena serangan dari tentara Mongol, cahaya Islam sempat redup.
Peperangan dan perebutan sesama masyarakat Islam terjadi dimana-mana. Bahkan
banyak dari peninggalan-peninggalan Islam seperti buku-buku ilmu pengetahuan telah
dimusnahkan. Hal ini mengakibatkan kekuatan politik Islam menjadi merosot.
Keadaan politik umat islam secara
keseluruhan baru mengalami kemajuan kembali setelah berkembangnya tiga kerajaan
besar : Usmani di Turki, Mughal di India, dan Safawi di
Persia. Dimasa tiga kerjaan besar ini kejayaan masing-masing
terutama dalam bentuk literatur dan arsitek. Masjid-masjid yang didirikan
kerajaan ini masih dapat diihat di Istambul, Tibriz dan Isfaham
serta kota-kota lain di Iran dan Delhi. Kemajuan umat islam di zaman ini lebih
banyak merupakan warisan kemajuan pada masa priode klasik. Perhatian di ilmu
pengetahuan masih kurang. Tentu saja bila dibandingkan kemjuan yang dicapai
pada masa dinasti Abbsyiah, khususnya di bidang ilmu pengetahuan. Namun,
menarik untuk dikaji, karena kemajuan pada masa ini terwujud setelah dunia
islam mengalami kemunduran beberapa abad lamanya.[1]
kerajaan Safawiyah adalah kerajaan
yang berdiri berdasarkan paham Syi’ah sebagai mazhab negara. Syiah adalah
aliran yang dikenal dengan kemajuannya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu dalam makalah ini akan membahas sejarah singkat berdirinya
kerajaan Safawiyah dan perkembangan apa saja yang dicapai dalam masa kerajaan
Safawiyah di Persia.
B. LATAR BELAKANG BERDIRINYA KERAJAAN SAFAWIYAH
Kerajaan
Safawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota
di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama tarekat Safawiyah, yang diambil dari
nama pendirinya, yaitu Shafi Ad-Din dan dari gerakan tarekat ini merupakan
cikal bakal berdirinya kerajaan Safawiyah .
Dinasti
Safawiyyah adalah salah satu dinasti terpenting dalam sejarah Iran. Dinasti ini
meruapakan salah satu negeri persia terbesar semenjak penaklukan muslim di
Persia.Negeri ini juga menjadikan Islam Syiah sebagai agama resmi, sehingga
menjadi salah satu titik penting dalam sejarah muslim.Safawiyyah berkuasa dari
tahun 1501 hingga 1722.[2]
(mengalami restorasi singkat dari tahun 1729 hingga 1736). Pada puncak
kejayaannya, wilayah Safawiyyah meliputi
Iran, Georgia, Afganistan, Kaukasus, dan sebagian Pakistan, Turkmenistan
dan Turki. Safawiyyah merupakan salah satu negeri Islam selain Utsmaniyah dan
Mughal.
Awalnya
kerajaan Safawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil,
sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberinama tarekat Safawiyah, yang
diambil dari nama pendirinya, yaitu Shafi Ad-Din (1252-1334 M) dan nama Safawi
itu terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan nama
itu terus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan, yakni
gerakan Safawi.[3]
Merupakan
Ismail dari keturunan Shafi ad-Dhin yang petama kali memplokamirkan dirinya
sebagai raja pertama kerajaan Safawiyah[4]. Kerajaan Safawi bertahan lebih 2
abad dengan pemimpin sebagai berikut: 1) Ismail I, (1501-1524M), 2) Tahmasap I (1524-1576 M), 3) Ismail II (1576-1577 M), 4)Muhammad Khudabanda ( 1577-1587 M),
5) Abbas I ( 1587-1628 M),
6) Safi Mirza (1628-1642 M),
7) Abbas II (1642-1667 M),
8) Sulaiman (1667-1694 M),
9) Husein I (1694-1722 M),
10) Tahmasap II (1722-1732 M),
11) Abbas III (1732-1736 M).
C. PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM PADA MASA KERAJAAN SAFAWIYAH
Pada masa pemerintahan
Ismail, Safawi berhasil mengembangkan wilayah kekuasaannya sampai ke
daerah Nazandaran, Gurgan, Yazd, Diyar Bakr, Baghdad, Sirwan dan Khurasan
hingga meliputi ke daerah bulan sabit subur (fortile crescent). Kemudian ia
berusaha mengembangkan wilayahnya sampai ke Turki Usmani tetapi mengadap
kekuatan besar dari Kerajaan Turki Usmani tetapi menghadapi kekuaatan besar
dari kerajaan Turki Usmani yang sangat membenci golongan Syi’ah. Dalam
perebutan wilayah ini Safawi mengalami kekalahan yang menyebabkan Ismail
mengalami depresi yang meruntuhkan kebanggaan dan rasa percaya dirinya sehingga
ia menempuh kehidupan dengan cara menyepi dan hidup hura-hura. Hal ini
berpengaruh pada stabilitas politik dalam kerajaan Safawi. Contohnya adalah
terjadinya perebutan kekuasaan antara pimpinan suku-suku Turki, Pejabat-pejabat
keturunan Persia dan Qizilbash.
Keadaan ini baru dapat
diatasi pada masa pemerintahan raja Abbas I. Langkah-langkah yang
ditempuh oleh Abbas I untuk memperbaiki situasi adalah Menghilang
dominasi pasukan Qizilbash atas kerajaan Safawi dengan membentuk pasukan baru
yang beranggotakan budak-budak yang berasal dari tawanan perang bangsa Georgia,
Armenia dan Sircassia. Terwujudnya wilayah kekuasaan Islam adalah terwujudnya
integritas wilayah kekuasaan dari kerajaan Safawiyah sebagai kerajaan Islam
yang luas, yang dikawal oleh pemerintahan yang kuat, serta mampu memainkan
peranan yang penting dalam peraturan politik Internasional.[5]
Syah Abbas I
berpendapat bahwa tentara Qizilbash yang pernah menjadi tulang punggung
kerajaan Safawiyah pada awal-awal pendirian pada masa Syah Ismail tidak bisa
diharapkan lagi karena loyalitas mereka sudah beralih pada suku masing-masing.
Qizilbash hanya merupakan tentara non reguler yang tidak dapat diandalkan untuk
cita-cita politik Syah Abbas yang besar. Atas dasar inilah Syah Abbas membentuk
pasaukan baru yang bersifat reguler (tetap). Selanjutnya mereka diberi gelar
Ghullam dan dibina dengan pendidikan militer yang militan, dengan pesenjataan
modern pada waktu itu. Abbas mengharapkan mereka menjadi tentara militer yang
tangguh seperti Inksyari di Turki Usmani. Sebagai pimpinannya, Abbas mengangkat
Allahwardi Khan, salah seorang dari Ghulam itu sendiri.[6]
Dalam membangun Ghulam
tersebut, Syah Abbas mendapat bantuan besar dari dua orang Inggris, yaitu Sir
Anthony Sherly dan saudaranya Sir Rodert Sherly. Merekalah yang mengajarkan
tentara Safawiyah membuat meriam, sebagai perlengkapan perang modern pada waktu
itu. Dengan bantuan kedua orang Inggris itu, Syah Abbas telah mencapai
cita-citanya untuk memiliki suatu angkatan bersenjata yang kuat dengan pasukan
artileri modern disamping pasukan kavaleri yang konvensional. Bahkan,
berdasarkan informasi, sekitar 3000 orang Ghulam dijadikan sebagai “pasukan
elite” yang bertugas melindungi Syah Abbas sendiri.[7]
Syah Abbas memang
seorang politikus yang mahir yang mampu membaca peta politik pada masa itu. Ia
menyadari bahwa selama memerintah terdapat dua musuh berat Safawi yang selalu
mengancam eksistensi pemerintahannya. Kedua musuh itu adalah kerajaan Turki
Usmani disebelah Barat dan kerajaan Uzbek disebelah Timur. Untuk menghadapi
kedua musuh itu sekaligus jelas tidak efektif. Ia memerlukan waktu 10 tahun
untuk mempersiapkan diri dan membangun angkatan bersenjata yang kuat.
Langkah
berikutnya yang dilakukan oleh Syah Abbas adalah Mengadakan perjanjian damai dengan Turki
Usmani dengan cara Abbas I berjanji tidak akan menghina tiga khalifah pertama
dalam Islam (Abu Bakar, Unar, Usman) dalam khotbah Jumatnya[8].
Syah Abbas mengatur strategi dengan menandatangani Traktat di Konstatinopel
pada tahun 1589 M, agar kerajaan Turki Usmani tidak melakukan serangan pada
kerajaan Safawi, meskipun dengan perjanjian itu, Ia harus merelakan beberapa
daerah lepas dari tangannya, seperti Azerbaijan, Karabagh, Ganja, Karajadagh,
Georgia dan lain-lain.[9]
Usaha-usaha tersebut
terbukti membawa hasil yang baik dan membuat kerajaan Safawi kembali kuat.
Kemudian Abbas I meluaskan wilayahnya dengan merebut kembali daerah yang telah
lepas dari Safawi maupun mencari daerah baru. Abbas I berhasil menguasai Herat
(1598 M), Marw dan Balkh. Kemudian Abbas I mulai menyerang kerajaan Turki
Usmani dan berhasil menguasai Tabriz, Sirwani, Ganja, Baghdad, Nakhchivan,
Erivan dan Tiflis. Kemudian pada 1622 M Abbas I berhasil menguasai kepulauan
Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan Bandar Abbas[10].
Kemudian pada tahun
yang sama Dia juga membiarkan Mashad dan Herat jatuh ke tangan Uzbek di Timur.
Tampaknya Ia menerapkan politik dengan memainkan kartu politik mengalah untuk
menang. Pada tahun 1598 M, Raja Abdullah II penguasa kerajaan Uzbek meninggal
dunia. Abbas menganggap meninggalnya raja Abdullah II sebagai momentum yang
tepat untuk memulai serangan secara opensif ke wilayah Timur. Dengan pasukan
yang kuat, gabungan Qizilbash dan Ghulam yang baru dibina, pada tahun itu juga
Ia dapat merebut Mashad dan Herat, yang lepas dari tangannya sepuluh tahun yang
lalu. Dia menipu Bakh, Marw, dan Astrabad di sebelah utaranya. Walaupun pada
tahun 1601 M Balk dapat dikuasai kembali oleh Uzbek pada masa Baki Muhammad,
pada tahun berikutnya kota itu dapat dibebaskan kembali.
Setelah wilayah Timur
dapat dibenahinya, Ia mulai meilirik ke Barat. Ia mendapatkan informasi bahwa
di Istanbul pada saat itu sedang terjadi kekacauan politik, karena kerajaan
Turki Usmani diperintah oleh sultan-sultan yang lemah, sehingga Ia mulai
menyerang daerah Azerbaijan pada tahun 1603 M, sekaligus menduduki Nakhiwan dan
Erwan. Adapun pasukan Turki Usmani yang bertahan di dekat Tabrez dibawah
panglima Chighalazada, hancur dengan 20000 tentaranya. Akibatnya, Ghanja dan
Tiflis kembali jatuh ketangan Safawi. Gerakan ervach pasukan Turki Usmani yang
melaju di Azerbaijan dapat dihentikan oleh Safawiyah dengan membumihanguskan
Sa’ad dan Makhiwan setelah mengevakuasikan penduduknya. Akhirnya, perdamaian
ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tahun 1617 M. Namun, pada tahun 1623
M, Syah Abbas membatalkan perjanjian itu secara sepihak serta melakukan
penyerbuan ke Bagdad dan Diyarbakar.[11]
Perluasan wilayah
kerajaan Safawiyah pada masa Syah Abbas mencapai puncaknya. Di utara, daerah
Syirwan dan Georgia berhasil dikuasai, sedangkan di selatan, Bahrain dapat
didudukinya pada tahun 1601 M. Pada tahun 1620 M, Ia dapat mengusir Portugis
dari pulau Hormus yang telah dikuasainya pulau itu sejak 1511M. Hal ini
dikarenakan Ia berhasil mengadu domba Inggris dengan Portugis, sehingga dalam
menganeksasi pulau Hormuz, kerajaan Safawiyah mendapatkan bantuan Inggris.[12]
Pada masa Syah Abbas
yang agung, Safawiyah mempunyai pemerintahan yang kuat. Kesewenang-wenangan
Qizilbash dan Harem istana tidak terjadi lagi karena Syah Abbas langsung
menangani pemerintahan dan mengontrol pejabat-pejabatnya dengan ketat.
Syah Abbas juga
melakukan penataan terhadap struktur pemerintahannya. Jabatan wakil Syah pada
tahun pertama pemerintahannya masih dipakai dan diberikan kepada Murshid Quli
Khan, gubernur Turbat, pemimpin suku Ustajlu dari Qizilbash yang banyak berjasa
menaikkan Abbas keatas tahta. Sekalipun demikian, sejak tahun 1589 M, jabatan
wakil Syah dihilangkan Murshid Qulli Khan sebagai wakil Syah tewas ditangan
Allahwardi Khan, seorang pemimpin Ghulam, dengan restu Syah, dalam tujuan
politiknya menghadapi Qizilbash.[13]
Sejak saat itu,
jabatan wakil Syah tidak dipergunakan lagi. Jabatan Wazir dan Sadr
disederhanakan menjadi satu dengan nama I’timad Daulah atau Sadr al Azam.
Menurut Holt, perubahan ini merupakan perkembangan yang mengarah pada
sekulerisasi dalam negara Safawiyah. Karena Sadr al Azam hanya berfungsi
seperti Wazir dalam kerajaan Usmani, masalah keagamaan tidak lagi ditangani
secara resmi oleh jabatan negara sebagaimana sebelumnya.[14]
Dalam mengangkat
pejabat penting, Syah Abbas juga mengandalkan kekuatan Ghulam yang baru
dibinanya. Allahwardi Khan, pemimpin Ghulam, orang kepercayaan Syah, diangkat
sebagai gubernur Fars, provinsi yang penting. Bahkan, sekitar dua puluh persen
jabatan-jabatan penting negara diberikan kepada orang-orang dari korps Ghulam
ini. Dengan cara tersebut, kekuatan Qizilbash tidak banyak berperan, sehingga
pemerintah Abbas sangat kuat.[15]
Sebagai suatu kerajaan
besar, Safawiyah telah mengadakan hubungan diplomatik dengan negara-negara
besar lainnya, baik dengan negara-negara Kristen di Eropa, maupun dengan
negara-negara Islam di Timur. Dalam hal-hal tertentu, Syah Abbas juga melakukan
hubungan kerjasama dalam hubungan internasional, misalnya Ia bekerja sama
dengan Inggris dalam membangun angkatan bersenjata Safawiyah yang kuat dan
modern. Dalam mengembangkan perdagangan, Ia mengadakan kerjasama dengan Rusia
di Utara dan Portugis di Selatan. Menurut Hodsgon, kerja sama terakhir ini
harus dilakukan oleh Syah Abbas 1, sebagai langkah antisipasi dalam menjaga
aliran Syiah yang dianut Safawi yang berbeda dengan kerajaan-kerajaan Islam
lainnya yang menganut mazhab sunni, seperti Usmani di barat dan Uzbek di timur.[16]
Dengan demikian, masa
kekuasaan Abbas 1 dapat dikatakan sebagai puncak kerajaan Safawiyah. Secara
politis, Ia mampu mengatasi berbagai kemelut dalam negeri yang mengganggu
stabilitas negara dan berhasil merebut kembali wilayah yang pernah direbut oleh
kerajaan lain pada masa-masa sebelumnya.[17]
Selain Perluasan
Wilayah kemajuan yang dicapai dalam kerajaan Safawiyah adalah sebagai berikut:
a.
Bidang Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
Dalam sejarah Islam bangsa Persia dikenal
sebagai yang berperadaban tinggi dan berjasa mengembangkan ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika masa kerajaan Safawi tradisi keilmuan
itu terus berlanjut.
Pada masa kerajaan Safawiyah di Persia,
filsafat dan ilmu berkembang kembali di dunia Islam, khususnya dikalangan
orang-orang Persia yang memang berminat mengembangkan kebudayaan.
Menurut Syed Amir Ali, perkembangan baru
ini erat kaitannya dengan keberadaan aliran Syiah yang ditetapkan kerajaan
Safawiyah sebagai agama negara pada waktu itu. Menurut Syemir Amir Ali, Syiah
dua belas terbagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok akhbari dan Ushuli. Kedua
kelompok ini berbeda dalam memahami ajaran-ajaran agamanya.[18]
Kelompok pertama, cenderung berpegang pada hasil-hasil ijtihad para mujtahid
Syiah yang sudah mapan, sedangkan
kelompok kedua banyak mengambil secara langsung dari sumber agama Islam,
yaitu Al-Quran dan Hadits, tanpa terikat pendapat para mujtahid terdahulu.[19]
Golongan ushuli inilah yang banyak
berperan pada masa kerajaan Safawiyah. Dalam bidang teologi, mereka merupakan
perwujudan dari mazhab Mu’tazilah. Pertemuan kedua elemen inilah yang mendorong
terwujudnya perkembangan baru dalam perkembangan filsafat dan ilmu dikalangan
umat Islam waktu itu, yang telah melahirkan beberapa tokoh ilmuwan dan filsuf.
Menurut Hodsgon, ada dua aliran filsafat
yang berkembang pada masa kerajaan Safawi. Pertama, aliran filsafat
Perifatetik, seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles dan Al-Farabi. Kedua,
filsafat Ishraqi yang dibawa oleh Suhrawardi pada abad ke-12 M. Kedua aliran
ini banyak dikembangkan di perguruan-perguruan tinggi di Isfahan dan Siraz.[20]
Beberapa tokoh Ilmuan yang terkenal antara
lain: Bahauddin Syehrozi seorang generalis ilmu pengetahuan, Muhammad Baqir bin
Muhammad Damad seorang Filsuf ahli sejarah,
teolog dan seorang yang pernah mengobservasi kehidupan lebah. Dalam
bidang ilmu pengetahuan dan sains Safawiyah lebih maju daripada kerajaan lain
pada masa yang sama.[21]
Beberapa tokoh
filsafat yang muncul pada masa Safawi antara lain Mir Damad alias Muhammad
Baqir Damad 1631 M yang dianggap sebagai guru ketiga setelah Aristoteles dan
Al-farabi, dan Mulla Shadra atau Shadr Al-din Al-Syirazi. “Menurut amir Ali ia
adalah seorang dialektikus yang paling cakap di zamannya”,[22] dan
Baha Al-Syerazi seorang generalis Ilmu Pengetahuan. “Dalam pengembangan ilmu
pengetahuan Syah Abbas sendiri ikut aktif dalam penelitian ilmu-ilmu tersebut,
Kota Qumm pada saat itu menjadi pusat pengembangan kebudayaan
dan penyelidikan mazhab Syiah terbesar”[23]
Berkembangnya model filsafat seperti ini,
tampaknya serasi dengan kecenderungan mereka melakukan kehidupan sufi di
samping minat mereka yang besar terhadap cara berfikir secara mendalam atau
berfilsafat.
Tokoh ilmuwan lainnya yang terkenal adalah
Zain Ad-Din Ibnu Ali Ibnu Ahmad Jaba’i (w. 1258 M), tokoh pendidikan Syiah; Ali
Ibnu Abdul Ali Amily alias Muhakkik (w. 1538 M), seorang teolog yang besar,
filsuf, ahli sejarah dan seorang yang pernah mengadakan observasi mengenai
kehidupan lebah; Abdul Rozaq Lahiji (w. 1661 M), seorang murid Mulla Sadra,
pengarang Syarakah Hayakil al-Nur karya Suhrawardi yang besar; Syeih Bahr
ad-Din Amily (lh. 1546 M), ulama terbesar di kota Isfahan, seorang teolog,
faqih, penyair, filsuf dan matematikus ulung yang karyanya Khulasah fi al Hisab
menjadi sumber utama selama beberapa abad dan pada tahun 1843 diterjemahkan
kedalam bahasa Jerman.[24] Dalam
bidang ini, kerajaan Safawiyah dapat dikatakan setingkat atau beberapa tingkat
lebih menonjol dalam membangun dan mengembangkan peradaban Islam dibandingkan
dengan dua kerajaan besar Islam lainnya pada masa yang sama.
b.
Bidang Ekonomi
Keberadaan stabilitas politik kerajaan
Safawi pada masa Abbas 1 ternyata telah memacu perkembangan perekonomian.
Terlebih setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan pelabuhan Gurmus dirubah menjadi
bandar Abbas. Dengan dikuasainya Bandar ini maka salah satu jalur dagang laut
antara timur dan barat yang biasa diperebutkan oleh Belanda, Inggris, dan
Perancis sepenuhnya menjadi milik kerajaan Safawi. Disamping bidang
perdagangan, kerajaan Safawi juga mengalami kemajuan dalam sektor pertanian
terutama didaerah Sabit Subur (Fortile
Crescent)[25]
Pada akhir abad ke-15(1498), Vasco da Gama
seorang pelaut Portugis menemukan jalan ke timur melalui Tanjung Harapan di
Afrika Selatan. Penemuan ini telah membuka fase baru dalam perkembangan dunia
dagang internasional. Bangsa Eropa berlomba-lomba berlayar ke Timur untuk
memperebutkan daerah-daerah perdagangan yang menguntungkan. Portugis pun pada
awal abad ke-16 M telah menguasai setidaknya tiga kota dagang terpenting
disekitar Samudra Hindia, yaitu Hormuz di Persia, Goa di India dan Malaka di
semenanjung Malaya. Kesuksesan bangsa Portugis ini diikuti oleh bangsa-bangsa
lainnya, seperti Inggris, Belanda, Spayol, Prancis dan Jerman. Dengan demikian,
kegiatan perdagangan melalui lautan menjadi sangat ramai.
Pada masa Abbas, Safawiyah dapat menguasai
Hormuz, bahkan Ia membangun sebuah kota dagang baru dengan nama Bandar Syah
Abbas diteluk Persia. Dengan ini, Safawiyah telah memegang kunci perdagangan
Internasional di lautan, khususnya di daerah teluk Persia yang ramai, sedangkan
di Utara, disekitar Laut Kaspia, Safawiyah menjalin perdagangan dengan Rusia.
Disamping itu, arus perdagangan di darat dari Asia tengah, tetap melalui
kota-kota penting kerajaan Safawiyah, seperti Herat, Marw, Nisyafur, Tabrez,
Baghdad, dan lain-lain.[26]
Akibatnya, banyak sekali pedagang asing yang berkeliaran di Persia pada masa
itu.
Komoditas perdagangan pada waktu itu
adalah rempah-rempah dari Nusantara dan dari Persia adalah hasil industrinya
yang juga bertambah maju, seperti berbagai macam hasil industri logam, tekstil
mewah, karpet dengan berbagai motifnya yang menarik, keramik-keramik dan
sebagainya. Hasil-hasil industri inilah yang banyak menarik pedagang-pedagang
Eropa untuk berdagang di Persia pada waktu itu.
c.
Bidang Arsitektur dan Seni
Penguasa kerajan Safawi telah berhasil
menciptakan Isfahan, ibukota kerajaan menjadi kota yang sangat Indah. Dikota
Isfaham ini berdiri bangunan-bangunan besar dengan arsitektur bernilai tinggi
dan indah seperti masjid, rumah sakit, sekolah, jembatan raksasa di atas Zende
Rud, dan istana Chihil Sutun. Disebutkan dalam kota Isfaham terdapat 162
masjid, 48 akademi, 1802 penginapan, dan 273 pemandian umum.[27] Dalam
bidang kesenian, kemajuan tampak begitu kentara dalam gaya arsitektur
banguanan-banguananya, seperti terlihat pada masjid Shah yang dibangun tahun
1611 M, dan masjid Syaikh Lutfillah yang dibangun tahun 1603 M. Pada
hasil-hasil industri seperti pada berbagai macam keramik, permadani dan hiasan
dinding yang indah-indah juga tampak kemajuan seni pada waktu itu, sedangkan
seni sastra berkembang pesat, khususnya dikalangan penyair-penyair sufi.[28]
Selain itu, menurut Carl Brockelman, Abbas
juga membangun istana megah di ibukota Isfahan yang disebut Chihil Sutun atau
istana empat puluh tiang, sebuah jembatan besar diatas sungai Zende Rud, dan
mempersiapkan pembangunan taman bunga empat penjuru (four garden).
Demikianlah puncak kemajuan yang dicapai
oleh Kerajaan Safawi, kemajuan yang dicapainya membuat kerajaan ini menjadi
salah satu dari tiga kerajaan besar Islam yang disegani oleh lawan-lawannya,
terutama dalam bidang politik dan militer. Kerajaan ini telah memberikan
kontribusinya mengisi peradaban Islam melalui kemajuan-kemajuan dalam bidang
ekonomi, ilmu pengetahuan, peninggalan seni dan gedung-gedung bersejarah.
d.
Bidang Politik
Masa kemajuan Kerajaan Safawi tidak
langsung terjadi pada masa Ismail, Raja pertama (1501-1524 M) kejayaan Safawi
yang gemilang baru di capai pada masa Syah Abbas yang Agung (1587-1628 M) Raja
yang kelima. Walaupun begitu, peran Ismail sebagai pendiri Safawi sangat besar
sebagai peletak pondasi bagi kemajuan Safawi di kemudian hari. Dia telah
memberikan corak yang khas bagi Safawi dengan menetapkan Syiah sebagai mazhab
negara. Syah
Ismail juga telah memberikan dua karya besar bagi negaranya, yaitu perluasan
wilayah dan penyusunan struktur pemerintahan yang unik pada masanya.
Seperti di katakan sebelumnya Safawi
jaya pada masa Abbas I (1587-1628). Syah Abbas yang Agung naik
tahta pada usia 17 tahun. Ketika Abbas memerintah kerajaan Safawi berada dalam
keadaan tidak stabil. Syah Abbas menempuh beberapa langkah untuk memperbaiki
situasi tersebut, antara lain:
1)
Menghilangkan dominasi pasukan Qizilbash atas
kerajaan Safawi dengan membentuk pasukan baru yang terdiri dari bekas tawanan
perang bekas orang-orang Kristen di Georgia dan Circhasia yang sudah mulai di
bawa ke Persia sejak Syah Tahmasap I (1524-1576) di beri nama “ Ghulam”.
2)
“Mengadakan perjanjian damai dengan Turki
Usmani dengan cara berjanji menyerahkan wilayah Azerbaizan, Georgia dan sebagian
wilayah Luristan, dan tidak akan menghina tiga khalifah pertama dalam Islam
(Abu Bakar, Umar, Usman) dalam khutbah jum’atnya”[29]
Secara politik Syah Abbas I sangat
maju, karena ia mampu mewujudkan integritas wilayah negara yang luas yang di
kawal oleh suatu angkatan bersenjata yang tangguh. Angkatan bersenjata yang di
sebut “ghulam”, dalam proses pembentukannya di katakan bahwa Syah Abbas I
mendapat dukungan dari dua orang Inggris yaitu Sir Antoni Sherly dan saudaranya
Sir Rodet Sherly. Mereka mengajari tentara Safawi untuk membuat meriam sebagai
pelengkapan negara yang modern. Kedatangan kedua orang Inggris itu oleh
sebagian sejarawan di pandang sebagai upaya strategi Inggris untuk melemahkan
pengaruh Turki Usmani di Eropa yang menjadi musuh besar Inggris saat itu.
Bagaimanapun dengan bantuan dua orang Inggris itu Syah Abbas memiliki tentara
dapat diandalkan. Hal ini terbukti sekitar 3.000 Ghulam di jadikan “Cakrabirawa” oleh Syah sendiri. Kemajuan
lain di bidang politik yang di tunjukkan Syah Abbas, yaitu keberhasilannya
merebut kembali daerah-daerah yang pernah di rebut Turki Usmani.
D. FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG KEMAJUAN KERAJAAN SAFAWIYAH
Menurut M. Zurkani,[30]
faktor-faktor yang mendorong emajuan kerajaan Safawiyah adalah pertama, Syah Abbas sangat cakap dan
berwibawa dalam mengatur pemerintahan. Kperibadian Syah Abbas ini merupakan
faktor utama yang menopang kamajuan kerajaan Safawi yang dihasilkannya. Tentang
keagungan dan kepribadian yang cakap dalam mengatur pemerintahan yang
ditunjukkan Syah Abbas, beberapa sejarawan telah menyejajarkannya dengan
kepribadian dan keagungan Sultan Sulaiman al-Qonuni dari kerajaan Turki Usmani
dan Sultan Akbar dari Kerajaan Mughal di India.
Diantara keagungan pribadi Syah Abbas yang dapat dikemukakan, diantaranya
adalah Ia seorang pecinta ilmu pengetahuan, toleran, baik dalam bermazhab
maupun dalam beragama, negarawan yang mampu membuat balance antara kekuatan
politik didalam negerinya, politikus yang dapat mengadu domba bangsa Eropa
dengan tujuan mengembalikan daerahnya yang strategis bagi perdagangan. Ia juga
seorang panglima perang yang tidak terkalahkan dimedan perang, administrator
pemerintahan yang mampu mengendalikan korupsi dikalangan birokratnya, berjiwa
modern dan terbuka, dalam arti selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran
dari orang lain, dan selalu berusaha untuk mengadakan perbaikan terhadap
intitusi kenegaraannya.[31] Memang,
faktor kepribadian dan kewibawaan raja sangat dominan menentukan situasi negara
yang bersifat monarki absolut, sebagaiamana yang banyak ditemukan pada periode
pertengahan.
Kedua, faktor geografis.
Wilayah kerajaan Safawiyah sejak masa Syah Ismail telah mencakup daerah-daerah
yang subur untuk pertanian dan daerah-daerah yang strategis untuk perdagangan.
Faktor kondisi geografis ini memang sangat menunjang kemajuan perekonomian, yang
juga sebagai fondasi bagi kemajuan bidang-bidang lainnya.
Ketiga, faktor stabilitas dan
keamanan negara. Syah Abbas berhasil mewujudkan stabilitas dan keamanan
kerajaannya, sehingga memungkinkan terlaksananya pembangunan di segala bidang.
Mula-mula, Ia mengusahakan keamanan Safawiyah dari ancaman luar. Untuk itu, Ia
bersedia menandatangani perjanjian damai dengan kerajaan Turki Usmani,
sekalipun rela melepaskan beberapa daerahnya disebelah barat jatuh ke tangan
Turki Usmani. Didalam negeri ini Ia berusaha menjinakkan tingkah laku Qizilbash
yang mengganggu stabilitas politik dalam negeri. Stabilitas juga diwujudkan
melalui toleransi Islam dalam bermazhab, sehingga pertentangan antara Syiah dan
Sunni mereda.
Keempat, pemerintahan yang kuat
dan berwibawa juga mendorong terwujudnya partisipasi rakyat dalam membangun.
Syah Abbas berusaha keras untuk menjadikan pemerintahannya berwibawa didepan
rakyatnya. Ia berusaha membenahi birokrasi pemerintahan dengan baik dan
memberantas korupsi dikalangan para pejabatnya tanpa pandang bulu. Ia keluar
masuk kedai dan tempat pertemuan lainnya hanya untuk mencari informasi dari
rakyatnya secara langsung. Untuk membangun kekuatan pemerintahannya, Ia
membangun kekuatan politik yang baru, yang monoloyalitasnya keada kejaan Safawiyah
sangat tinggi. Dengan semua itu, pemerintahannya sangat berwibawa, baik dimata
rakyat maupun musuh-musuhnya.[32]
Kelima, politik luar negeri
yang terbuka, yang dilaksanakan Syah Abbas yang Agung, merupakan faktor yang
memungkinkan terwujudnya kemajuan. Pada Abad ke-16 dan ke-17 M, kerajaan
kerajaan di Eropa mulai menaiki jenjang kemajuannya. Negara-negara, seperti
Portugis, Spayol dan Inggris, Prancis dan Belanda memiliki keunggulan dalam
berbagai bidang dari negara-negara timur lainnya pada umumnya. Kerajaan
Safawiyah mengadakan hubungan diplomatik dengan negara-negara Eropa tersebut,
di samping negara-negara di wilayah Timur lainnya, seperti Turki Usmani dan
Mughal. Perdagangan luar negeri dilaksanakan dengan bebas, bahkan misi kristen
juga dizinkan beroperasi di ibukota Isfahan waktu itu.[33]
E. KESIMPULAN
Kerajaan Safawi berasal
dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan.
Tarekat ini diberi nama tarekat Safawiyah, yang diambil dari nama pendirinya,
yaitu Shafi Ad-Din dan dari gerakan tarekat ini merupakan cikal bakal
berdirinya kerajaan Safawiyah . Merupakan Ismail dari keturunan Shafi ad-Dhin
yang petama kali memplokamirkan dirinya sebagai raja pertama kerajaan
Safawiyah. Kerajaan Safawi
bertahan lebih 2 abad dengan pemimpin sebagai berikut: 1) Ismail I, (1501-1524M), 2) Tahmasap I (1524-1576 M), 3) Ismail II (1576-1577 M), 4)Muhammad Khudabanda ( 1577-1587 M),
5) Abbas I ( 1587-1628 M),
6) Safi Mirza (1628-1642 M),
7) Abbas II (1642-1667 M),
8) Sulaiman (1667-1694 M),
9) Husein I (1694-1722 M),
10) Tahmasap II (1722-1732 M),
11) Abbas III (1732-1736 M).
Faktor-faktor kejayaan
kerajaan Safawi meliputi 1) bidang Filsafat dan Ilmu pengetahuan dengan
ditandai dengan munculnya para ilmuan seperti, Bahauddin
Syehrozi seorang generalis ilmu pengetahuan, Muhammad Baqir bin Muhammad Damad
seorang Filsuf ahli sejarah, teolog dan
seorang yang pernah mengobservasi kehidupan lebah, 2) bidang ekonomi
ditandai dengan dikuasainya jalur perdagangan laut antara Timur dan Barat, 3)
Arsitektur ditandai dengan didirikanya kota-kota yang megah, masjid-masjid dan
bangunan-bangunan yang lain, 4) dan bidang Politik yang ditandai dengan
pembentukan tentara-tentara yang kuat.
F.
DAFTAR RUJUKAN
Ali, Syed Ameer. t.t. The Spirit of Islam. Delhi: Idarah-I Adabiyat-I.
Brockelmann, Carl. 1974. Tarikh
As-Syu’ub Al-Islamiyah. Beirut: Dar Al-‘Ilm.
Gibbs, H.A.R. dkk. (Ed.). 1960. The Encyclopedia of Islam. Vol. I.
Leiden & London: B.J. Brill &Lusac & Co.
Holt, P.M, Ann K.S. Lambton dan Bernard Lewis
(Ed.). 1970. The Cambridge History of
Islam Vol. 1. Cambridge: Cambridge an The University Press.
Hodsgon, Marshal G.S. 1974. The Venture of Islam, Vol III. Chicago: The University of Chicago
Press.
Ibrahim, Hasan. 1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Kota Kembang.
Kusdiana, Ading. 2013. Sejarah & Kebudayaan Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Kusdiana, Ading. 2013. Sejarah & Kebudayaan Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Nasution, Harun. 1992. Perkembangan dalam
Islam : Sejarah, Pemikiran dan Gerakan. Jakarta : Bulan Bintang.
Sharif, M. (Ed. 1963. A History of Muslim Philosophy, Vol. II, Wesbaden: Otto Harrasowitz
Sunanto, Musyrifah. 2007. Sejarah Islam Klasik:
Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Jakarta: Kencana
Thohir, Ajid. 2009. Perkembangan Peradaban di Kawasan
Dunia Islam : Melacah Akar-akar Sejarah Sosial Politik dan Budaya Umat Islam.
Ed 1-2. Jakarta :
Rajawali Pers.
Yahya, M. Zurkani. 1983/1984. kerajaan Safawi di Persia: Asal-usul,
Kemunduran dan Kehancuran, Makalah. Jakarta: Fakultas Pascasarjana.
Yatim, Badri.2000. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindio Persada.
[1] Harun Nasution, Perkembangan
dalam Islam : Sejarah, Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta : Bulan
Bintang, 1992) hlm. 14.
[2] Hasan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam,
(Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), hlm. 336
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja
Grafindio Persada, 2000), hlm. 138.
[4] Carl Brockelmann, Tarikh
As-Syu’ub Al-Islamiyah, Beirut: Dar Al-‘Ilm, 1974, hlm. 141.
[5] Ading Kusdiana, Sejarah & Kebudayaan Islam, Bandung:
CV Pustaka Setia, 2013, hlm. 185.
[6] P.M. Holt, Ann K.S.
Lambton dan Bernard Lewis (Ed.), The
Cambridge History of Islam Vol. 1, Cambridge: Cambridge an The University
Press, 1970, hlm. 418. Sebagaimana dikutip Ading Kusdiana, Sejarah & Kebudayaan Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2013, hlm.
186.
[7] P.M. Holt dkk(ed), The
Cambridge History Of Islam.Vol.IA,(London : Cambridge University Press,
1970), hlm. 418
[8] P.M.Holt, dkk, ibid., hlm.417.
[9] R.M. Savory, “Abbas I”, dalam H.A.R. Gibbs dkk.
(Ed.), The Encyclopedia of Islam,
Vol. I, Leiden & London: B.J. Brill &Lusac & Co, 1960, hlm. 7-8
[10] Badri Yatim, Op.cit., hlm.143.
[11] Marshal G.S. Hodsgon, The Venture of Islam, Vol III, Chicago:
The University of Chicago Press, 1974, hlm. 128.
[12] P.M. Holt dkk., loc. Cit., hlm. 420.
[13] Ading Kusdiana, Sejarah & Kebudayaan Islam, Bandung:
CV Pustaka Setia, 2013, hlm. 188.
[14] P.M. Holt dkk., loc. cit., hlm. 419.
[15] P.M. Holt dkk., loc. cit., hlm. 418.
[16] P.M. Holt dkk., loc. cit., hlm. 420.
[17] Badri Yatim, Op. cit., hlm. 143.
[18] Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, Delhi: Idarah-I
Adabiyat-I, t.t, hlm. 348-349.
[19] Ibid., hlm. 348-349.
[20] Syed Hosein Nasr, “Shihab al-Din Suhrawardi Maqtul”, dalam
M.M. Sharif (Ed.), A History of Muslim
Philosophy, Vol. II, Wesbaden: Otto Harrasowitz, 1963, hlm. 396-397 ; lihat
juga Marshal H.S. Hodson, lic. Cit., hlm. 42.
[21] Samsul Munir, Op. cit, hlm. 191.
[22] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di
Kawasan Dunia Islam : Melacah Akar-akar Sejarah Sosial Politik dan Budaya Umat
Islam. Ed 1-2 ( Jakarta : Rajawali Pers , 2009 ). hlm. 177.
[23] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam
Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, ( Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 253.
[24] Syed Hossein Nasr, The School of Isfahan, dalam M.M. Sharif
(Ed.), loc. Cit., hlm. 908-910.
[25] Badri Yatim, Op. cit, hlm. 144. sebagaimana dikutip
oleh Samsul munir, Sejarah Peradaban
Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 191. Lihat juga Carl Broekelmaun, Tarikh
Al-Syu’ub Al-Islamiyah. hlm. 505.
[26] Muhammad Yamin, Atlas Sejarah, Jakarta: Djambatan, 1956,
hlm. 54. Sebagaimana dikutip bukunya sulfia hlm. 190
[27] Marshal G.S. Hodson, The Vennture of Islam, hlm. 40
sebagaimana dikutip Samsul Munir, Sejarah
Peradaban Islam, hlm 192
[28] P.M. Holt dkk., loc. cit., hlm. 421.
[30]
M. Zurkani Yahya, kerajaan Safawi di
Persia: Asal-usul, Kemunduran dan Kehancuran, Makalah, Jakarta: Fakultas
Pascasarjana, 1983/1984, hlm. 9.
[31]
Marshal G.S. Hodsgon, loc. cit., hlm.
39 & 50.
[32]
R.M. Sarvory, loc. cit., hlm. 4.
[33]
Marshal G.S. Hodsgon, loc. cit, hlm.
56-57.
No comments:
Post a Comment