PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI
BERBASIS PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI SDN TAMANAYU 02 LUMAJANG
Oleh:
Yovi Nur Rohman (16771009)
Magister Pendidikan Agama
Islam
Pascasarjana UIN Maulana
Malik Ibrahim Malang
A.
PENDAHULUAN
Dalam
rangka menghadapi segala permasalahan yang terjadi di Negeri ini, khususnya
dalam bidang pendidikan, dibutuhkan solusi yang tepat untuk mengatasinya. Indonesia
adalah Negara yang teridiri dari bermacam-macam budaya, suku, ras, agama dan
bahasa. Hal inilah yang melandasi suatu semboyan yang berbunyi Bhineka Tunggal Ika (Berbeda-beda tetapi
tetap dalam satu tujuan). Kemajemukan yang berada dalam masyarakat Indonesia
menuntuk simtem pendidikan yang mampu mengcovernya sehingga tidak terjadi
diskriminasi antar golongan, suku, ras ataupun budaya.
Dewasa
ini, bangsa Indonesia memang sedang menghadapi krisis multidimensial. Dari
hasil kajian berbagai disiplin dan pendekatan, tampaknya ada kesamaan pandangan
bahwa segala macam krisis itu berpangkal dari krisis ahlak atau moral. Krisis
ini secara langsung atau tidak, berhubungan dengan persoalan pendidikan.
Kontribusi pendidikan dalam kontek ini adalah pada pengembangan mentalitas
manusia yang merupakan produknya. Ironisnya, krisis tersebut menurut sementara
pihak-katanya disebabkan karena kegagalan pendidikan agama, termasuk didalamnya
pendidikan agama Islam.[1]
Bagi Masyaakat Indonesia yang telah melewati reformasi,
konsep masyarakat multikultural bukan hanya sebuah wacana, atau sesuatu yang
dibayangkan. Tetapi, konsep ini adalah sebuah ideologi yang harus
diperjuangkan, karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM
dan kesejahteraan masyarakat. Karena itu, konsep multikultural ini tidak
henti-hentinya selalu dikomunikasikan diantara ahli sehingga ditemukan kesamaan
pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini.[2]
Penulis berasumsi bahwa, permasalahan intoleransi yang sedang dihadapi negeri
ini juga berangkat dari pendidikan yang diawali ditingkat dasar. Oleh karena
itu, perlu dilakukan sebuah study lapangan untuk mengetahui akar permasalahan
ini jika dikaitkan dengan pendidikan yang diterima siswa di tingkat dasar.
Karena bagaimanapun juga, sebagian besar yang membentuk kepribadian seorang
siswa didapat ketika masa anak-anak yang sangat rentan dengan pengaruh yang
baik maupun pengaruh yang buruk.
Berangkat dari permasalahan ini, peneliti berusaha
melakukan observasi tentang kurikulum yang berbasis pendidikan multikultural
yang bertempatkan di SDN Tamanayu 2. Sekolah ini bertempatan di Kecamatan
Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Latar belakang dipilihnya sekolah
ini adalah, karena sekolah ini merupakan sekolah yang dijadikan sekolah Induk
didesa Tamanayu. Atas dasar ini banyak masyarakat yang berusaha menyekolahkan
putra dan putrinya disini. Padahal selain sekolah ini, terdapat 3 sekolah dasar
lain yang letaknya tidak jauh. Oleh karena itu, penulis berasumsi bahwa SDN
Tamanayu 2 sangat tepat untuk dilakukan observasi tentang pengembangan
kurikulum berbasis pendidikan Multikultural dengan didukung dengan kemajemukan
siswa, mulai dari perbedaan agama, strata sosial, suku, ras dan budaya.
Peneliti berusaha menemukan nilai-nilai pendidikan multikultural dalam segala
bentuk kegiatan didalam sekolah tersebut dan berusaha mengembangkannya dalam
menyusun kurikulum yang berbasis pendidikan multikultural. Untuk mendapatkan
data yang diperlukan peneliti melakukan wawancara kepada guru Pendidkan Agama
Islam disekolah tersebut yang bernama bapak Nur Rohmad. SPd.I. Observasi ini
dilakukan pada tanggal 7 Juni 2017, dengan metode wawancara, pengamatan
langsung dan telaah document.
B. KAJIAN KONSEPTUAL
1.
Pengertian
Multikultural
Kata “multicultural” menurut
Kamus Lengkap Bahasa Indonesia berasal dari dua akar kata yaitu “multi” berarti
lebih dari satu, banyak, berlipat ganda,[3]
dan “kultur” berarti kebudayaan, cara pembudidayaan, cara
pemeliharaan[4] .
Dalam M. Ainul Yaqin,[5] ada
banyak ilmuwan dunia yang memberikan definisi kultur. Mereka antara lain:
Elizabet B. Taylor (1832-1917) dan L.H. Morgan yang mengartikan kultur sebagai
sebuah budaya yang universal bagi manusia dalam berbagai macam tingkatan yang
dianut oleh seluruh anggota masyarakat. Emile Durkheim (1858-1917) dan Marcel
Maus (1872-1950) menjelaskan bahwa kultur adalah sekelompok masyarakat
yang menganut sekumpulan symbol-simbol yang mengikat di dalam sebuah masyarakat
yang diterapkan. Franz Boas (1858-1942) dan A.L. Kroeber (1876-1960)
mendifinisikan bahwa kultur adalah hasil hasil dari sebuah sejarah-sejarah
khusus untuk umat manusia yang melewatinya secara bersama-sama di dalam
kelompoknya. A.R. Radcliffe Brown (1881-1955) dan Bronislaw Malinowski
(1884-1942) menggambarkan kultur sebagai sebuah praktik social yang
memberi support terhadap struktur social untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan individunya dan lain-lainnya.
Secara
sederhana, multikultural berarti “keberagaman budaya”.[6]
Sebenarnya, ada tiga istilah yang kerap digunakan secara bergantian untuk
menggambarkan masyarakat yang terdiri keberagaman tersebut[7] –baik
keberagaman agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda- yaitu pluralitas
(plurality), keragaman (diversity),
dan multikultural (multicultural).
Ketiga ekspresi itu sesungguhnya tidak merepresentasikan hal yang sama,
walaupun semuanya mengacu kepada adanya ’ketidaktunggalan’. Konsep pluralitas
mengandaikan adanya ’hal-hal yang lebih dari satu’ (many); keragaman
menunjukkan bahwa keberadaan yang ’lebih dari satu’ itu berbeda-beda,
heterogen, dan bahkan tak dapat disamakan. Dibandingkan dua konsep terdahulu,
multikultural sebenarnya relatif baru. Secara konseptual terdapat perbedaan
signifikan antara pluralitas, keragaman, dan multikultural. Inti dari
multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai
kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun
agama. Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang
lebih dari satu), multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala
perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikultural
menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain,
adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup; sebab yang terpenting
adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara. Oleh karena
itu, multikulturalisme sebagai sebuah gerakan menuntut pengakuan (politics of recognition)[8]
terhadap semua perbedaan sebagai entitas dalam masyarakat yang harus diterima,
dihargai, dilindungi serta dijamin eksisitensinya. Diversitas dalam masyarakat
modern bisa berupa banyak hal, termasuk perbedaan yang secara alamiah diterima
oleh individu maupun kelompok dan yang dikonstruksikan secara bersama dan
menjadi semacam common sense. Perbedaan tersebut menurut Bikhu Parekh bisa
dikategorikan dalam tiga hal - salah satu atau lebih dari tiga hal-, yaitu
pertama perbedaan subkultur (subculture
diversity), yaitu individu atau sekelompok masyarakat yang hidup dengan
cara pandang dan kebiasaan yang berbeda dengan komunitas besar dengan sistem
nilai atau budaya pada umumnya yang berlaku. Kedua, perbedaan dalam perpektif (perspectival diversity), yaitu individu
atau kelompok dengan perpektif kritis terhadap mainstream nilai atau budaya
mapan yang dianut oleh mayoritas masyarakat di sekitarnya. Ketiga, perbedaan
komunalitas (communal diversity),
yakni individu atau kelompok yang hidup dengan gaya hidup yang genuine sesuai
dengan identitas komunal mereka (indigeneous
people way of life).[9]
Sebagai sebuah gerakan, menurut Bhikhu Parekh, baru sekitar 1970-an
multikulturalisme muncul pertama kali di Kanada dan Australia, kemudian di
Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Setelah itu, diskursus
multikulturalisme berkembang dengan sangat cepat. Setelah tiga dekade sejak
digulirkan, multikulturalisme sudah mengalami dua gelombang penting yaitu,
pertama multikulturalisme dalam konteks perjuangan pengakuan budaya yang berbeda.
Prinsip kebutuhan terhadap pengakuan (needs
of recognition) adalah ciri utama dari gelombang pertama ini. Gelombang
kedua, adalah multikulturalisme yang melegitimasi keragaman budaya, yang
mengalami beberapa tahapan, diantaranya:[10]
kebutuhan atas pengakuan, melibatkan berbagai disiplin akademik lain,
pembebasan melawan imperialisme dan kolonialisme, gerakan pembebasan kelompok
identitas dan masyarakat asli/masyarakat adat (indigeneous people),
post-kolonialisme, globalisasi, post-nasionalisme, post-modenisme dan
post-strukturalisme yang mendekonstruksi stuktur kemapanan dalam masyarakat.[11]
2. Pengetian Pendidikan Multikultural
Secara etimologi istilah
pendidikan multikultural terdiri dari dua term, yaitu pendidikan dan
multikultural. Pendidikan berarti proses pengembangan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan melalui pengajaran, pelatihan,
proses dan cara mendidik.[12] Dan multikultural
diartikan sebagai keragaman kebudayaan, aneka kesopanan[13].
Sedangkan secara terminologi, pendidikan
multikultural berarti proses pengembangan seluruh potensi manusia yang
menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekwensi keragaman
budaya, etnis, suku dan aliran (agama)[14].
Pengertian seperti ini mempunyai implikasi yang sangat luas dalam pendidikan,
karena pendidikan dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang
hayat. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan
penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia.
Dari pengertian multikultural di
atas, maka para ahli pun beragam pula dalam mendefinisikan tentang “Pendidikan
Multikultural”. Keberagaman difinisi itu diantaranya, Choirul Mahfud,
mengutip pendapat para pakar, yaitu: Anderson dan Chusher
(1994) menyatakan bahwa pendidikan multicultural dapat diartikan
sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. James Bank (1993)
mendifinisikan pendidikan multicultural sebagai pendidikan untuk people
for color. Artinya, pendidikan multicultural ingin mengeksplorasi perbedaan
sebagai keniscayaan (anugerah tuhan/sunatullah). Kemudian bagaimana kita
mampu mensikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan semangat egaliter.
Sejalan dengan pemikiran di atas, Muhaemin El-Ma’hady berpendapat bahwa secara
sederhana pendidikan multicultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan
tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan cultural
lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan (global). Hilda
Hernandez mengartikan pendidikan multicultural sebagai perspektif yang mengakui
realitas politik, social, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu
dalam pertemuanmanusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan
merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas, dan gender, etnisitas, agama,
status social, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan.[15]
Pendidikan pluralis multikultural
adalah pendidikan yang memberikan penekanan terhadap proses penanaman cara
hidup yang saling menghormati, tulus dan toleran terhadap keanekaragaman budaya
yang hidup ditengah-tengah masyarakat dengan tingkat pluralitas yang tinggi.
dengan pendidikan pluralis multikultural diharapkan akan lahir kesadaran dan
pemahaman secara luas yang diwujudkan dalam sikap yang toleran, bukan sikap
yang kaku, eksklusif, dan menafikan eksistensi kelompok lain maupun mereka yang
berbeda, apapun bentuk perbedaannya. Dalam kontek Indonesia yang sarat dengan
kemajemukan, pendidikan pluralis multikultural memiliki peranan yang sangat
strategis untuk dapat mengelola kemajemuan secara kreatif.[16]
Dengan demikian, kurikulum
pendidikan berbasis multicultural adalah sebuah kurikulum yang mengacu pada
keragaman budaya, yang mana kurikulum tersebut senantiasa mengeksplorasi
perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah tuhan/sunatullah).
3.
Multikultural
dalam Islam
Islam
adalah agama universal yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,
persamaan hak dan mengakui adanya keragaman latar belakang budaya dan
kemajemukan. Oleh karena itu, terdapat banyak ayat Al-Quran yang membicarakan
hal tersebut. Multikultural menurut Islam adalah sebuah aturan Tuhan
(sunnatullah) yang tidak akan berubah, juga tidak mungkin dilawan, diingkari
atau ditinggalkan. Setiap orang akan menghadapi kemajemukan di manapun dan
dalam hal apapun. Ungkapan ini menggambarkan bahwa Islam sangat menghargai
multikultural karena Islam adalah agama yang dengan tegas mengakui perbedaan
setiap individu untuk hidup bersama dan saling menghormati satu dengan yang
lainnya.
Berikut
ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan kehidupan multikultural;[17]
1. Al
Qur’an menyatakan bahwa manusia diciptakan dari asal yang sama. Sebagaimana
dijelaskan di dalam surat al-Hujurat aya 13 yang berbunyi:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ
إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ
لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ
عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣
Artinya : Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu
berbangsa - bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa.
Sungguh Allah Maha mengetahui, Mahateliti.[18]
Ayat
ini menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari asal yang
sama sebagai keturunan Adam dan Hawa yang tercipta dari tanah. Seluruh
manusia sama di hadapan Allah, manusia menjadi mulia bukan karena suku, warna
kulit ataupun jenis kelamin melainkan karena ketaqwaannya. Kemudian dijadikan
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Tujuan penciptaan semacam itu bukan untuk
saling menjatuhkan, menghujat, dan bersombong-sombongan melainkan agar
masing-masing saling kenal-mengenal untuk menumbuhkan rasa saling menghormati
dan semangat saling tolong-menolong. Dari paparan ayat ini dapat di pahami
bahwa agama Islam secara normatif telah menguraikan tentang kesetaraan dalam
bermasyarakat yang tidak mendiskriminasikan kelompok lain.
2. Al-Qur’an
menyatakan bahwa dulu manusia adalah umat yang satu. Saat timbul perselisihan,
Allah mengutus para Nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan.
Dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang berisi petunjuk, untuk
memberikan keputusan yang benar dan lurus diantara manusia tentang perkara yang
mereka perselisihkan. Sebagaimana dijelaskan di dalam Surat al-Baqarah ayat 213
yang berbunyi:
كَانَ ٱلنَّاسُ أُمَّةٗ
وَٰحِدَةٗ فَبَعَثَ ٱللَّهُ ٱلنَّبِيِّۧنَ مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ وَأَنزَلَ
مَعَهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ لِيَحۡكُمَ بَيۡنَ ٱلنَّاسِ فِيمَا ٱخۡتَلَفُواْ
فِيهِۚ وَمَا ٱخۡتَلَفَ فِيهِ إِلَّا ٱلَّذِينَ أُوتُوهُ مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَتۡهُمُ
ٱلۡبَيِّنَٰتُ بَغۡيَۢا بَيۡنَهُمۡۖ فَهَدَى ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لِمَا ٱخۡتَلَفُواْ
فِيهِ مِنَ ٱلۡحَقِّ بِإِذۡنِهِۦۗ وَٱللَّهُ يَهۡدِي مَن يَشَآءُ إِلَىٰ صِرَٰطٖ
مُّسۡتَقِيمٍ ٢١٣
Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka
Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan
bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia
tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab
itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah
datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara
mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada
kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan
Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang
lurus.[19]
Dari
ayat ini dapat dipahami bahwa sumber perselisihan, permusuhan dan perpecahan di
kalangan umat beragama adalah bukan karena ajaran agama yang dianutnya
melainkan karena rasa dengki yang membuat mereka mengabaikan ajaran agamanya
masing-masing. Seandainya mereka menghilangkan rasa dengkinya dan murni
mengamalkan ajaran agamanya, niscaya tidak terjadi perslisihan semacam itu.
Karena, tiap-tiap agama mengajarkan pemeluknya untuk menjadi manusia-manusia
yang baik dan menghargai orang lain.
3. Al-Qur’an
menekankan akan pentingnya saling percaya, pengertian, dan menghargai orang
lain, menjauhi buruk sangka dan mencari kesalahan orang lain. Sebagaimana
dijelaskan dalam surat al-Hujurat ayat 12 yang berbunyi :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٞۖ
وَ لَا تَجَسَّسُواْ وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن
يَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتٗا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ
تَوَّابٞ رَّحِيمٞ ١٢
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka
(kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah
mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.
Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah
mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.[20]
4. Ketika
menghadapi permasalahan, Al-Qur’an mengajarkan untuk selalu
mengedepankan klarifikasi, dialog, diskusi, dan musyawarah. Tidak boleh
menjatuhkan vonis tanpa mengetahui dengan jelas permasalahannya. Sebagaimana
dijelaskan dalam surat al-Hujurat ayat 6 yang berbunyi:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ
قَوۡمَۢا بِجَهَٰلَةٖ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَٰدِمِينَ ٦
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang
Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.[21]
5. Al-Qur’an mengajarkan untuk tidak memaksakan kehendak kepada orang
lain, Sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 256 yang
berbunyi :
لَآ إِكۡرَاهَ فِي ٱلدِّينِۖ
قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشۡدُ مِنَ ٱلۡغَيِّۚ فَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤۡمِنۢ
بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَاۗ وَٱللَّهُ
سَمِيعٌ عَلِيمٌ ٢٥٦
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang
ingkar kepada Thaghut[] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah
berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah
Maha mendengar lagi Maha mengetahui.[22]
6. Al-qur’an
menekankan untuk menghindari konflik dan melaksanakan rekonsiliasi atas
berbagai persoalan yang terjadi, yakni upaya perdamaian melalui sarana
pengampunan atau memaafkan. Pemberian ampun atau maaf dalam rekonsiliasi adalah
tindakan tepat dalam situasi konflik komunal. Dalam ajaran Islam, seluruh umat
manusia harus mengedepankan perdamaian, cinta damai dan memberi rasa aman bagi
seluruh makhluk. Juga secara tegas al-Qur’an menganjurkan untuk memberi maaf,
membimbing kearah kesepakatan damai dengan cara musyawarah, duduk satu meja
dengan prinsip kasih sayang. Hal tersebut terdapat dalam Surat asy-Syuura
ayat 40 yang berbunyi :
وَجَزَٰٓؤُاْ سَيِّئَةٖ
سَيِّئَةٞ مِّثۡلُهَاۖ فَمَنۡ عَفَا وَأَصۡلَحَ فَأَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۚ
إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلظَّٰلِمِينَ ٤٠
Artinya: Dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka
barang siapa memaafkan dan berbuat baik(2) Maka pahalanya atas (tanggungan)
Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.[23]
Selain itu, didalam al-Hadits,
Rosulullah juga mengajarkan multikulturalisme. Berikut diantaranya:
1. Hadits
Nabi Muhammad saw menyatakan semua hamba Allah bersaudara. Seperti yang
dijelaskan dalam hadits di bawah ini :
عن أبي
هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : إياكم والظن فإن الظن أكذب
الحديث ولا تحسسوا ولا تجسسوا ولا تحاسدوا ولا تدابروا ولا تباغضوا ، وكونوا عباد
الله إخوانا
Artinya: “Diriwayatkan dari Abi
Hurairah RA dari Nabi Muhammad SAW bersabda: Takutlah kalian terhadap
persangkaan buruk, sesungguhnya prasangka buruk adalah seburuk-buruknya
pemberitaan dan janganlah kalian mencari aib orang lain, mendengki, membenci
dan saling bermusuhan. Dan jadilah hamba Allah yang saling bersaudara.”[24]
2. Hadits
Nabi Muhammad saw menyatakan tidak ada keutamaan dari orang Arab dengan
bukan orang Arab. Semua suku bangsa baik Asia, Eropa, ameriaka, Kulit Putih
atau kulit Hitam semuanya sama dihadapan Allah swt.
قال رسول الله يا أيها الناس ألا إن ربكم
واحد و إن أباكم واحد ألا لا فضل لعربي على أعجمي و لا أعجمي على عربي و لا لأحمر
على أسود ولا أسود على أحمر إلا بالتقوى (رواه أحمد)
Artinya : Wahai manusia sekalian,
ketahuilah bahwa Tuhan kalian satu, bapak kalian juga satu, ketahuilah tidak
ada keutamaan dari orang arab terhadap non arab, dan juga tidak ada keutamaan
orang non arab dari orang arab kecuali ketakwaannya. (HR. Imam Ahmad).
3. Hadits Nabi Muhammad saw
menyatakan bahwa agama yang dicintai Allah adalah agama yang lurus dan toleran.
حَدَّثَنِا عبد الله حدثنى أبى حدثنى
يَزِيدُ قَالَ أنا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ عَنْ
عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ اْلأَدْيَانِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ
الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ.
Telah menceritakan kepada kami Abdillah, telah menceritakan kepada saya
Abi telah menceritakan kepada saya Yazid berkata; telah mengabarkan kepada kami
Muhammad bin Ishaq dari Dawud bin Al Hushain dari Ikrimah dari Ibnu 'Abbas, ia
berkata; Ditanyakan kepada Rasulullah saw. "Agama manakah yang paling
dicintai oleh Allah?" maka beliau bersabda: "Al-Hanifiyyah As-Samhah
(yang lurus lagi toleran)"[25]
4. Hadits
Nabi Muhammad saw mengajarkan untuk menciptakan perdamaian dan rasa aman
bagi kehidupan seluruh umat manusia tanpa membedakan suku, agama, ras, dan
antar golongan.
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ : مَنْ آذَى ذِمِّيًّا فَأَنَا خَصْمُهُ وَمَنْ كُنْتُ خَصْمَهُ
خَصَمْتُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ(أَخْرَجَهُ الخَطِيبُ)
Artinya : Dari Ibnu Mas’ud ra, sesungguhnya Rasulullah SAW
bersabda, “Siapa yang menyakiti seorang kafir dzimmi, maka aku kelak yang
akan menjadi musuhnya. Dan siapa yang menjadikanku sebagai musuhnya, maka aku
akan menuntutnya pada hari kiamat.”
5. Hadits
Nabi Muhammad saw mengajarkan untuk menjalin komunikasi meskipun dengan non
muslim.
إذا سلم عليكم أحد من أهل الكتاب فقولوا :
و عليكم (رواه الترمذي و إبن مجه).
Artinya, “Apabila salah seorang ahli
kitab mengucapkan salam kepada kalian, maka jawablah denan ‘Wa’alaikum’.” (HR.
Tirmidzi dan Ibnu Majah)
6. Hadits
Nabi Muhammad saw mengajarkan untuk bersikap adil dengan memberikan hak secara
proporsional.
يقول الله تعالى : يا عبادي! إني حرمت
الظلم على نفسي و جعلته بينكم محرما فلا تظالموا (رواه مسلم)
Artinya : Allah
SWT. berfirman “Wahai hamba-hambaku, sesungguhnya aku telah mengharamkan
kedhaliman terhadap diriku sendiri, dan aku telah menjadikannya haram pula di
antara kalian, maka janganlah saling mendhalimi.” (HR. Muslim)
Dari beberapa ayat Al-Quran dan Al-Hadits diatas, dapat disimpulkan
bahwa Islam sangat menekankan multikulturalisme yang tidak bisa diabaikan dan
ditinggalkan. Bahkan, Islam sudah memberikan gambaran dengan detail tentang
multikulturalisme. Ajaran tersebut adalah 1) Manusia diciptakan dari asal yang
sama, 2) Manusia dahulunya adalah umat yang satu, 3) perintah untuk saling
percaya, pengertian, dan menghargai orang lain, menjauhi buruk sangka dan
mencari kesalahan orang lain, 4) menyelesaikan masalah dengan cara dialog atau
musyawarah, 5) tidak memaksakan kehendak, 6) dan, menghindari permusuhan.
4.
Multikultural
dalam Kontek ke Indonesiaan
Pendidikan di Indonesia secara perundangan telah diatur dengan
memberikan ruang keragaman sebagai bangsa. Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 menjelaskan bahwa pendidikan
diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi
HAM, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Dasar perundangan
ini selain memberi arahan pendidikan di Indonesia juga mewajibkan bahwa
pendidikan di Indonesia harus dikembangan berdasarkan nilai-nilai keagamaan,
kultural, dan kemajemukan bangsa.
Wacana pendidikan multikultural di Indonesia yang
didasarkan pada UU Sisdiknas di atas tidak dapat dilepaskan dengan gelombang
reformasi pendidikan dunia. Sebagai bangsa, Indonesia tidak bisa lepas dari
pengaruh dunia lebih luas. Globalisasi menjadikan keterikatan bangsa-bangsa
sebagai kesatuan komunitas dunia.
Di era globalisasi masa kini, bangsa Indonesia
dihadapkan pada serangkaian tantangan baru yang tidak terlalu berbeda dengan
apa yang pernah dialami sebelumnya. Pluralisme agama, konflik internal, baik
terhadap agama maupun terhadap budaya dan peradaban. Kesemuanya merupakan
fenomena yang nyata di permukaan. Fenomena ini kelihatannya juga berlanjut
sampai masa kini.[26] Bahkan, Fenomena tersebut lahir dari ketidakmampuan para pemeluk agama
memahami realitas kekinian. Akhirnya setiap agama tampil secara ekslusif dan
tidak mampu memahami kemajemukan.[27]
Bangsa Indonesia dalam konteks fitrah keragamannnya diikat
oleh perbedaan-perbedaan. Perbedaan itu meliputi agama atau kepercayaannya
terhadap Tuhan Yang Mahaesa; warna kulit atau ras; etnis atau kesukuan, dan
kebudayaan atau adat kebiasaan. Menempatkan dan menyadari perbedaan empat pilar
tersebut dalam praktik pendidikan haruslah dilakukan. Kesadaran tersebut
terbangun manakala seluruh aktivitas pendidikan di Indonesia dimuarakan pada
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Penggalian ajaran agama, ras, suku, dan kebudayaan yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan haruslah ditanamkan pada peserta
didik. Memanusiakan manusia sebagai kedudukan yang mulia merupakan ajaran semua
agama. Semua agama sebagai keyakinan warga bangsa Indonesia mengakui bahwa
menghargai orang lain merupakan kewajiban; memudahkan sesama umat manusia
merupakan perintah Tuhan; menolong adalah perbuatan terpuji; umat yang taat
adalah umat yang menjaga perdamaian hidup; dan mencintai sesama adalah ajaran
semua agama.
Dengan demikian, pendidikan multikulturalisme di Indonesia
haruslah menggali nilai-nilai agama, etnis, suku, dan budaya peserta didik
sebagai keyakinan mereka yang mengajarkan bahwa perbedaan adalah fitrah Tuhan.
Dalam segala perbedaan, rasa cinta dan kasih sayang sesama manusia merupakan
hal yang harus terus ditumbuhkan. Dengan konsep ini, pendidikan mampu menciptakan
toleransi, tindakan saling menolong, kedamaian, dan meningkatkan kualitas
kemanusiaan dengan pola pembelajaran yang memiliki visi dan tindakan pembiasaan
di semua satuan pendidikan.
C. LAPORAN HASIL OBSERVASI
1.
Desain dan
perencanaan pengembangan kurikulum
Desain kurikulum yang
bagaimanakah yang paling tepat untuk PAI berbasis multikulturalisme? Kalau
Kurikulum 2013 hendak merombak kurikulum yang berorientasi hanya pada aspek
kognisi kepada kurikulum yang berorientasikan kepada kompetensi yang utuh, maka
pada level kebudayaan (culture) sesungguhnya lembaga pendidikan
membutuhkan sebuah rumusan kurikulum yang berorientasi pada pemahaman
kebudayaan. Hal ini menyangkut kondisi nyata Indonesia yang terdiri dari
beragam kultur, bahasa, suku, agama dan sebagainya. Kompetensi ini diharapkan
mampu mengelola konflik yang bersumber dari adanya perbedaan kebudayaan ini. Kondisi ini, menjadi realitas yang
secara arif harus direspons. Pluralitas dan konflik antar agama di Indonesia sebagai
bagian integral dari sejarah sosial agama-agama dunia, tentu tidak akan
merupakan pengekecualian yang mencolok. Oleh karena itu, sikap pluralisme harus
ditumbuhkembangkan. Hal ini dirasakan semakin mendesak karena dalam beberapa
tahun terakhir konflik antar etnik semakin sering terjadi. Pertanyaannya adalah
bagaimana Indonesia menghadapi realitas ini?
Sebagai
bahan pertimbangan tatkala menyusun kurikulum pendidikan agama berwawasan
multikultural, ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan sebagai dasar
pijakan bagi pendidik agama, yakni (1) mengajarkan kepada peserta didik bahwa
manusia itu beragam, setiap manusia harus terampil hidup bersama dalam kultur
yang beragam, (2) Perlu diajarkan agar peserta didik mampu hidup bersama dalam
perbedaan, maka perlu merujuk pada beberapa surat yakni, surat Ali Imran: 64,
al-Hujurat: 13, dan Yusuf: 67, (3) Perlu dididik agar peserta didik memiliki
sikap mempercayai orang lain, tidak mencurigai, dan tidak berprasangka buruk.
Pendidikan bisa memperkenalkan bebera surat, antara lain al-Hujurat: 15, (4)
Perlu dididik agar peserta didik itu memiliki sikap menghargai orang lain.
Memahami bukan selalu berarti menyetujui; dipihak lain memahami selalu berarti
menghargai. Pendidikan bisa memaparkan beberapa surat, seperti al-Hujurat: 13,
(5) Didiklah peserta didik agar senang memaafkan orang lain baik diminta
ataupun tidak serta mendoakan orang itu agar diberi ampunan oleh Allah. Pendidikan bisa menjelaskan
surat-surat, di antaranya al-A’raf: 199, al-An’am: 54, Ali Imran: 134.
Dengan demikian, jika para Pendidik PAI
memahami kultur yang beragam dari peserta didiknya dan mengajarkan agama dengan
wawasan yang multikultural dengan menampilkan surat-surat di atas, maka akan
dapat menanamkan nilai-nilai kedamaian pada
peserta didik dan akan dapat meminimilasir potensi perselisihan baik
dalam interen agama maupun antar agama.
2.
Dokumen
Kurikulum
Dokumen Kurikulum
SDN Tamanayu 02, diperoleh data sebagai berikut:
Struktur Organisasi Komite Sekolah:
Ketua Komite:
Sunyoto
Kepala Sekolah:
Yatimah,S.Pd
Sekretaris: Ali Ridlo
Wk. Sekretaris:
Bambang
Bendahara : Muksin
Wk. Bendahara:
Suratno
Profil Sekolah
Nama Sekolah; SDN
Tamanayu 02
Nomor Statistik;
101052102021
Provinsi; Jawa
Timur
Otonomi Daerah;
Lumajang
Kecamatan;
Pronojiwo
Desa; Tamanayu
Jalan dan Nomor;
Jln. Raya Tamanayu
Kode Pos; 67374
Nomor Kelembagaan;
127/ Sp/ B.2
Penerbit SK;
Kepala Dinas P&K Pop. Jawa Timur
Tahun berdiri;
1972
Status Lahan;
milik sendiri
Jarak kepusat
Kecamatan; 7 Km
Jarak kepusat
Otoda; 57 Km
Visi dan Misi
Visi: Menciptakan generasi yang beriman, cerdas, kreatif
dan kompetitif
Misi :
a)
Mencetak generasi muda yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan YME
b)
Mendorong siswa untuk berani berkompetisi dalam berbagai
bidang
c)
Mengembangkan Ilmu pengetahuan melalui PAKEM
d)
Menjadikan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan bagi
siswa
Jumlah Murid
Kelas
|
Lk
|
Pr
|
Jumlah
|
1
|
18
|
18
|
36
|
2
|
16
|
17
|
33
|
3
|
20
|
19
|
39
|
4
|
13
|
13
|
26
|
5
|
10
|
11
|
21
|
6
|
13
|
15
|
28
|
Jumlah
|
90
|
93
|
183
|
Struktur
Kurikulum

3.
Implementasi dan
Evaluasi Kurikulum

Pencapaian
Target Kurikulum
MAPEL
KELAS
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
JML NILAI
|
RATA-RATA
|
1
|
100
100
|
100
100
|
100
100
|
100
100
|
100
100
|
100
98
|
96
97
|
98
99
|
|
794
794
|
99
99
|
2
|
100
100
|
100
100
|
100
100
|
95
100
|
100
100
|
100
99
|
95
99
|
100
99
|
|
790
797
|
99
99
|
3
|
100
100
|
90
100
|
90
100
|
90
100
|
100
100
|
100
100
|
95
99
|
90
99
|
90
99
|
835
897
|
92
99
|
4
|
100
100
|
100
100
|
100
100
|
100
100
|
100
100
|
100
100
|
100
100
|
100
100
|
95
100
|
895
900
|
99
100
|
5
|
100
100
|
100
100
|
100
100
|
95
100
|
100
100
|
100
95
|
95
95
|
95
95
|
|
785
785
|
97
97
|
6
|
100
100
|
100
100
|
100
100
|
100
95
|
100
95
|
90
95
|
90
100
|
85
100
|
100
100
|
870
870
|
92
95
|
Jumlah
|
600
600
|
590
600
|
590
600
|
590
595
|
600
595
|
590
590
|
590
590
|
585
585
|
190
199
|
|
|
Rata-rata
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Rata-rata Nilai Sumatif
![]()
Kelas
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
Jumlah
|
Rata-rata
|
1
|
68
85
|
64
80
|
76
76
|
73
78
|
67
76
|
73
68
|
64
63
|
64
63
|
|
549
609
|
69
76
|
2
|
66
63
|
81
82
|
74
70
|
73
82
|
72
78
|
74
73
|
68
75
|
72
69
|
|
580
594
|
73
74
|
3
|
77
74
|
73
72
|
63
64
|
71
68
|
74
70
|
81
59
|
59
71
|
73
70
|
70
62
|
540
610
|
71
67
|
4
|
71
85
|
65
77
|
71
73
|
67
75
|
67
73
|
67
75
|
64
75
|
67
75
|
|
545
608
|
68
76
|
5
|
77
80
|
61
80
|
74
85
|
66
70
|
55
81
|
60
67
|
67
72
|
63
67
|
|
523
602
|
65
75
|
6
|
82
78
|
76
74
|
65
65
|
66
60
|
67
60
|
60
62
|
60
71
|
59
67
|
68
66
|
609
603
|
68
75
|
Jumlah
|
441
467
|
420
465
|
422
433
|
416
433
|
402
438
|
415
404
|
382
427
|
398
431
|
138
128
|
|
|
Rata-rata
|
73
77
|
70
77
|
70
72
|
69
72
|
67
73
|
69
67
|
64
71
|
66
71
|
23
21
|
|
|
Nilai
Daya Serap Kurikulum
![]()
Kelas
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
Jumlah
|
Rata-rata
|
1
|
68
85
|
64
80
|
76
76
|
73
78
|
67
76
|
73
68
|
64
63
|
64
83
|
|
549
609
|
68
70
|
2
|
66
85
|
81
82
|
74
70
|
73
82
|
72
78
|
74
73
|
68
75
|
72
69
|
|
580
594
|
73
74
|
3
|
77
74
|
73
72
|
62
64
|
71
68
|
74
70
|
81
59
|
59
71
|
73
70
|
70
62
|
840
610
|
71
67
|
4
|
71
85
|
65
77
|
71
73
|
67
75
|
67
73
|
67
75
|
64
75
|
67
75
|
|
545
608
|
68
76
|
5
|
77
80
|
61
80
|
74
95
|
66
70
|
55
81
|
60
67
|
67
72
|
63
67
|
|
523
602
|
65
75
|
6
|
82
78
|
76
74
|
65
65
|
66
60
|
67
60
|
60
62
|
60
71
|
59
67
|
68
66
|
609
609
|
68
75
|
Jumlah
|
441
467
|
420
465
|
422
433
|
416
433
|
402
438
|
415
404
|
382
427
|
398
431
|
138
128
|
|
|
Rata-rata
|
73
77
|
70
77
|
70
72
|
69
72
|
67
73
|
69
67
|
64
71
|
66
72
|
23
21
|
|
|
Ket: 1. Agama 2. PPKn 3. Matematika 4. B.
Indonesia 5. B. Inggris 6. IPA 7. IPS 8. PENJASKES 9. KERTAKES
D. PENGEMBANGAN HASIL
KURIKULUM
1.
Visi dan Misi
Sekolah
Visi
Sekolah: Terwujudnya sekolah yang penuh dengan nilai-nilai multikultural,
unggul dalam prestasi, berkarakter, berakar pada budaya bangsa dan berlandaskan
IPTEK.
Misi
Sekolah;
a.
Melaksanakan
pembelajaran yang dapat memunculkan sifat toleransi kepada sesama teman.
b.
Membudayakan
kegiatan 6 S yaitu Senyum, Salam, Sopan, Santun dan Semangat, dalam
berinteraksi dengan seluruh warga sekolah.
c.
Mengembangkan
dan melestarikan budaya lokal.
d.
Menumbuhkan
penghayatan terhadap ajaran agama yang
dianut sebagai landasan kearifan lokal dalam bergaul dan bertindak.
e.
Menumbuhkan
sifat peduli sosial kepada peserta didik.
f.
Mendorong dan
memfasilitasi peserta didik untuk menggali potensi dirinya.
g.
Membantu
peserta didik untuk berprestasi dalam berbagai bidang, baik reguler maupun non
reguler.
h.
Menumbuhkan
kecintaan peserta didik terhadap Negaranya.
i.
Menghasilkan
alumni yang berkarakter dan berintelektual.
j.
Mengembangkan
mutu kelembagaan dan manajemen.
2.
Progam-progam
pendidikan dan pembelajaran
a.
Kurikulum
berbasis multikultural harus selalu menekankan pendidik untuk mengajarkan
peserta didik dalam hal; 1) belajar hidup dalam perbedaan, 2) membangun rasa
saling percaya, 3) memelihara saling pengertian, 4) menjunjung sikap saling
menghargai, 5) terbuka dalam berfikir, 6) apresiasi dan interdependensi, 7)
resolusi konflik dan rekonsiliasi nirkekerasan.
b.
Model pembelajaran pluralis multikultural yang dikembangkan
diarahkan pada beberapa kompetensi dasar, diantaranya: pertama, mengembangkan
kompetensi akademik standart dan dasar (standard
and basic academic skill) tentang nilai persatuan dan kesatuan, demokrasi,
keadilan, kebebasan, persamaan derajat, atau saling menghargai dalam beraneka
jenis keragaman. Kedua mengembangkan kompetensi sosial agar dapat menumbuhkan
pemahaman yang lebih baik ( a better
understanding) tentang latar belakang budaya dan agama sendiri dan juga
budaya agama lain dalam masyarakat. Ketiga, mengembangkan kompetensi akademik
untuk menganalisi dan membuat keputusan yang cerdas (intelligent decisions) tentang isu-isu dan masalah keseharian (real-life problem) melalui sebuah proses
demokratis atau penyelidikan dialogis (dialogical
inquiry). Keempat, membantu mengonseptualisasi dan menganspirasikan
kontruksi masyarakat yang lebih baik, demokratis dan egaliter tanpa ada
diskriminasi, penindasan, dan pelanggaran terhadap nilai-nilai asasi yang
universal.
c.
PAI berbasis
multikulturalisme harus ada penekanan yang sangat besar pada silabusnya di atas
prinsip transformasi ideologi menjadi ilmu.
d.
Pendidikan
agama seperti fiqih, tafsir tidak harus bersifat linier, namun menggunakan pendekatan muqaran.
e.
Untuk
mengembangkan kecerdasan sosial, peserta didik juga harus diberikan pendidikan
lintas agama.
f.
Selain
menyelenggarakan dialog antar agama, namun juga menyelenggarakan program road
show lintas agama.
g.
Pendidikan
Islam perlu menyelenggarakan program seperti Spiritual Work Camp (SWC).
h.
Merancang
progam-progam yang dapat menumbuhkan kepekaan sosial kepada peserta didik.
i.
Proses
pembelajaran lebih menekankan pada bagaimana mengajarkan tentang agama (teaching
about religion), bukan mengajarkan agama (teaching of religion).
Mengajarkan tentang agama melibatkan pendekatan kesejarahan dan perbandingan,
sedangkan mengajarkan agama pendekatannya indoktrinasi dogmatik. Proses
pembelajaran perlu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk aktif
mencari, menemukan, dan mengevaluasi pandangan keagamaannya sendiri dengan
membandingkannya dengan pandangan keagamaan peserta didik lainnya. Dengan
pendekatan ini diharapkan tumbuh sikap toleransi, tidak menghakimi, dan
melepaskan diri dari sikap fanatik berlebihan.
3.
Struktur
Kurikulum
Struktur kurikulum merupakan pola
dan susunan mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik pada satuan
pendidikan dalam kegiatan pembelajaran. Susunan mata pelajaran tersebut terbagi
dalam lima kelompok yaitu kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;
kewarganegaraan dan kepribadian; ilmu
pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olahraga dan kesehatan.
Dalam penerapan pengembangan kurikulum berbasis
Multikultural khususnya dalam mata pelajaran PAI, harus dilakukan perombakan
terhadap materi yang diajarkan kepada peserta didik. Materi-materi yang
berkaitan dengan nilai-nilai multikultural merupakan materi yang harus ada. Kurikulum berbasis multikultural harus selalu menekankan pendidik untuk
mengajarkan peserta didik dalam hal; 1) belajar hidup dalam perbedaan, 2)
membangun rasa saling percaya, 3) memelihara saling pengertian, 4) menjunjung
sikap saling menghargai, 5) terbuka dalam berfikir, 6) apresiasi dan interdependensi,
7) resolusi konflik dan rekonsiliasi nirkekerasan.
Contoh daftar tema dan alokasi waktunya:

4.
Pendekatan dan
Strategi Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam (PAI) berbasis multikultural penting ditawarkan[28]
Antara lain Karena ada kecenderungan bahwa para penganut agama bersikap
intoleran terhadap penganut agama lainnya, eksklusif, egois, close-minded, dan
berorientasi pada kesalehan individu. Menghadapi kehidupan masyarakat yang
multikultural perlu dimulai dari perubahan paradigma pendidikan dalam PAI. PAI
tidak hanya menggunakan paradigma learning
to think, to do dan to be, tetapi
juga to live together.[29]
Sebelum membahas beberapa prinsip penting pendidikan agama
berbasis multikultural, perlu dikemukakan beberapa asumsi filosofis pendidikan
multikultural itu sendiri. Pertama, tidak lagi terbatas pada pandangan bahwa
pendidikan (education) adalah persekolahan (schooling) atau memandang bahwa
pendidikan multikultural sama dengan program-program sekolah formal. Pendidikan
multikultural harus berpijak pada pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan
sebagai transmisi kebudayaan. Pandangan ini membebaskan pendidik dari anggapan
selama ini bahwa tanggung jawab utama dalam mengembangkan kompetensi peserta
didik semata-mata berada di tangan mereka. Dalam konteks pendidikan
multikultural justru meniscayakan semakin banyak pihak yang bertanggung jawab
terhadap pengembangan komptensi peserta didik, karena program-program sekolah
akan selalu terkait dengan hal-hal di luar sekolah.
Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan
dengan kelompok etnik. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasi-kan kebudayaan
semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini.
Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat
mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk
menghindari kecenderungan memandang peserta didik secara stereotip menurut
identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih
besar mengenai kesamaan dan perbedaan dikalangan peserta didik dari berbagai
kelompok etnik.
Ketiga, pengembangan kompetensi dalam suatu
"kebudayaan baru" biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan
orangorang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat dengan jelas
bahwa upaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik
adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan
memperluas solidaritas kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam
kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural
tidak dapat disamakan secara logis.
Keempat, kemungkinan bahwa pendidikan (baik di dalam maupun
di luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan.
Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan peserta didik dari konsep dwi
budaya atau dikotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini
bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas
kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme
sebagai pengalaman normal manusia yang mengandung makna bahwa pendidikan
multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi
yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri peserta didik.[30]
Jika dikaitkan dengan Pendidikan Agama Islam sebagai sebuah bidang studi,
menurut Zakiuddin Baidhawi[31]
ada tujuh asumsi paradigmatik PAI berbasis multikultural, yaitu: mendidik
peserta didik untuk:
Belajar Hidup dalam Perbedaan
Nilai-nilai
budaya, tradisi, dan kepercayaan senantiasa mengiringi pemeliharaan dan
pengasuhan seorang anak. Ketika ia mulai masuk sekolah nilai-nilai yang
terbentuk dari dalam pengasuhan dalam keluarga ini terus ia bawa. Maka setiap
anak memiliki latar belakang dan nilai-nlai yang berbeda pula. Ini realitas
yang harus dipertimbangkan dalam PAI berbasis multikultural. Perbedaan
nilai-nilai ini meniscayakan PAI tidak hanya berpijak pada paradigma learning
to know, learning to do, learning to be, tetapi juga learning to live
together. Paradigma yang disebut terakhir ini dalam konteks PAI akan
menjadikan PAI sebagai proses: (a) pengembangan sikap toleran, empati, dan
simpati yang menjadi syarat utama suksesnya Koeksistensi dalam keragaman agama;
(b) klarifikasi nilai-nilai kehidupan bersama menurut perspektif agama-agama;
(c) pendewasaan emosional; (d) kesetaraan dalam partisipasi; (e) kontrak sosial
baru dan aturan main kehidupan bersama antar agama.
Membangun Saling Percaya
Penguatan
kultural masyarakat memerlukan modal sosial yang dibangun dari rasa saling
percaya. Modal sosial adalah seperangkat nilai atau norma informal yang
dimiliki bersama suatu masyarakat yang mendorong terjadinya kerjasama satu sama
lain. Norma yang dapat menjadi modal sosial adalah norma yang menonjolkan
kebaikan-kebaikan. Norma semacam inilah yang akan membangun rasa saling percaya
antara satu anggota masyarakat dengan anggota yang lain. PAI berbasis
multikultural harus mengusung norma norma kebaikan yang merupakan modal sosial
untuk tumbuhnya rasa saling percaya antar anggota masyarakat. PAI multikultural
perlu menanamkan mutual trust atau saling pengertian antar agama, budaya
dan etnik. Oleh karena itu modal sosial diyakini sebagai salah satu komponen
utama dalam menggerakkan kebersamaan, keharmonisan, mobilitas ide, saling
kepercayaan dan saling menguntungkan
untuk mencapai kemajuan bersama.[32]
Memelihara Saling Pengertian
PAI
berbasis multikultural juga harus mendorong peserta didik dengan berbagai etnik
dan latar belakang untuk dapat memelihara rasa saling pengertian baik dengan
teman sejawat maupun dengan anggota masyarakat lain yang berbeda latar
belakang. Saling pengertian berarti kesadaran bahwa nilai-nilai mereka dan kita
dapat berbedaan mungkin saling melengkapi serta berkontribusi terhadap
keharmonisan hubungan. Selain saling memahami PAI multikultural juga mendorong
peserta didik siap menerima perbedaan di antara berbagai keragaman paham agama
dan kultur masyarakat yang beragama.
Menjunjung Sikap Saling Menghargai (Mutual Respect)
PAI
berbasis multikultural harus mengarahkan peserta didik agar memiliki sikap
saling menghargai terhadap semua orang, apapun latar belakangnya. Sikap ini
muncul jika seseorang memandang orang lain secara setara. Pada kenyataannya
ajaran agama yang terkandung dalam PAI memang mengajarkan Muslim untuk
menghormati dan menghargai sesama manusia. Inilah ajaran universal yang
mestinya ditonjolkan. PAI multikultural diharapkan mampu menumbuhkembangkan
kesadaran pada peserta didik bahwa kedamaian dan harmoni dalam kehidupan
masyarakat hanya akan tumbuh jika sikap saling menghormati dan menghargai
benar-benar diamalkan dalam kehidupan, bukan sikap saling merendahkan. Sikap
saling menghargai akan melahirkan sikap saling berbagi di antara semua individu
maupun kelompok sosial.
Terbuka dalam Berpikir
Sikap
keterbukaan dalam berpikir pada peserta didik merupakan salah satu tujuan yang
hendak dicapai oleh pendidikan secara umum. Demikian pula dalam PAI berwawasan
multikultural yang mendorong peserta didik membuka diri terhadap kenyataan
hidup yang beragam, khususnya dalam hal pemahaman agama. Peserta didik perlu
disiapkan untuk berhadapan dengan model pemahaman agama yang berbeda dari apa
yang diajarkan selama ini. Dengan sikap terbuka ini peserta didik diharapkan
mau memahami makna eksitensi dirinya, identitasnya di tengah keragaman budaya
dan agama yang ada.
Apresiasi dan Interdependensi
PAI
multikultural juga perlu menghadirkan sikap apresiatif terhadap keragaman dan
menyadarkan tentang adanya saling ketergantungan atau interdependensi antara
satu manusia dengan yang lain.
Resolusi Konflik dan Rekonsiliasi Nirkekerasan
Konflik
dengan latar belakang sebab yang beragam (baik karena agama, etnik, ekonomi,
sosial dan budaya) adalah fakta kehidupan yang sulit dibantah keberadaannya.
PAI multikltural memberi kontribusi bagi upaya mengantisipasi munculnya konflik
ini dengan cara menginternaslisasikan kekuatan spiritual yang menjadi sarana
integrasi dan kohesi sosial (social cohesion) dan menawarkan
bentuk-bentuk resolusi konflik. Resolusi kemudian dilanjutkan dengan
rekonsiliasi yang merupakan upaya perdamaian melalui pengampunan atau pemaafan.
PAI perlu mengarahkan peserta didik agar menjadi manusia yang mudah memaafkan
kesalahan orang lain, meskipun tahu bahwa pendekatan hukum juga dapat
dilakukan. Akan tetapi memberi maaf jauh lebih luhur dan mulia.[33]
Dengan
memahami asumsi-asumsi paradigmatik di atas, maka apa yang dimaksud PAI
berbasis multikultural menurut Baidhawi dapat didefinisikan sebagai:
Gerakan pembaruan dan inovasi pendidikan agama dalam rangka menanamkan
kesadaran akan pentingnya hidup bersama dalam keragaman dan perbedaaan
agama-agama, dengan spirit kesetaraan dan kesederajatan, saling percaya, saling
memahami dan menghargai persamaan, perbedaan dan keunikan agama-agama, terjalin
dalam suatu relasi dan independensi dalam situasi saling mendengar dan
menerimaperbedaan perspektif agama-agama dalam satu dan lain masalah dengan
pikiran terbuka, untuk menemukan jalan terbaik mengatasi konflik antar agama
dan menciptakan perdamaian melalui sarana pengampunan dan tindakan
nirkekerasan.[34]
5.
Sistem
Evaluasi dan Penilaian
Pendekatan penilaian
yang digunakan adalah penilaian acuan kriteria (PAK). PAK merupakan penilaian
pencapaian kompetensi yang didasarkan pada kriteria ketuntasan minimal (KKM).
KKM merupakan kriteria ketuntasan belajar minimal yang ditentukan oleh satuan
pendidikan dengan mempertimbangkan karakteristik Kompetensi Dasar yang akan
dicapai, daya dukung, dan karakteristik peserta didik.
Sebagaimana telah disebutkan
di atas bahwa standar penilaian pada kurikulum 2013 lebih menekankan pada
pada prinsif-prisif kejujuran, yang mengedepankan aspek-aspek berupaknowledge, skill dan attitude.
Salah satu bentuk dari penilaian itu adalah penilaia
otentik.Penilaian otentik disebutkan dalam kurikulum 2013 adalah
model penilaian yang dilakukan saat proses pembelajaran berlangsung
berdasarkan tiga komponen di atas. Diantara teknik danisntrumen penilaian dalam
kurikulum 2013 sebagai berikut.
Penilaian kompetensi sikap. Pendidik melakukan penilaian kompetensi sikap
melalui observasi, penilaian iri, penilaian “teman sejawat”(peer evaluation)
oleh peserta didik dan jurnal. Instrumen yang digunakan untuk observasi,
penilaian Diri, dan penilaian antarpeserta didik adalah daftar cek atau skala
penilaian (rating scale) yang disertai rubrik, sedangkan pada jurnal berupa
catatan pendidik.
Penilaian Kompetensi Pengetahuan, menilai kompetensi pengetahuan melalui tes
tulis, tes lisan, dan penugasan.
Penilaian Kompetensi Keterampilan, Pendidik menilai kompetensi keterampilan melalui
penilaian kinerja, yaitu penilaian yang menuntut peserta didik
mendemonstrasikan suatu kompetensi tertentu dengan menggunakan tes praktik,
projek, dan penilaian portofolio. Instrumen yang digunakan berupa daftar
cek atau skala penilaian (rating scale) yang dilengkapi rubrik.
E. KESIMPULAN
Setelah
melakukan observasi di SDN Tamanayu 02 Lumajang, penulis berpendapat dalam
kurikulum yang sudah diterapkan di lembaga tersebut belum terlalu terlihat
internalisasi nilai-nilai pendidikan yang berbasis multikultural. Oleh karena
itu, Penulis merekomendasikan kurikulum
yang berbasis pendidkan multikultural. Sekurang-sekurangya didalam kurikulum
tersebut harus meliputi.
a.
Kurukulum
berbasis multikultural harus berangkat dari paradigma baru dalam pendidikan
Islam yakni learning to think, to do,
to be, dan to live together.
b.
Kurikulum
berbasis multikultural harus selalu menekankan pendidik untuk mengajarkan
peserta didik dalam hal; 10 belajar hidup dalam perbedaan, 2) membangun rasa
saling percaya, 3) memelihara saling pengertian, 4) menjunjung sikap saling
menghargai, 5) terbuka dalam berfikir, 6) apresiasi dan interdependensi, 7)
resolusi konflik dan rekonsiliasi nirkekerasan.
c.
Model pembelajaran pluralis multikultural yang dikembangkan
diarahkan pada beberapa kompetensi dasar, diantaranya: pertama, mengembangkan
kompetensi akademik standart dan dasar (standard
and basic academic skill) tentang nilai persatuan dan kesatuan, demokrasi,
keadilan, kebebasan, persamaan derajat, atau saling menghargai dalam beraneka
jenis keragaman. Kedua mengembangkan kompetensi sosial agar dapat menumbuhkan
pemahaman yang lebih baik ( a better
understanding) tentang latar belakang budaya dan agama sendiri dan juga
budaya agama lain dalam masyarakat. Ketiga, mengembangkan kompetensi akademik
untuk menganalisi dan membuat keputusan yang cerdas (intelligent decisions) tentang isu-isu dan masalah keseharian (real-life problem) melalui sebuah proses
demokratis atau penyelidikan dialogis (dialogical
inquiry). Keempat, membantu mengonseptualisasi dan menganspirasikan
kontruksi masyarakat yang lebih baik, demokratis dan egaliter tanpa ada
diskriminasi, penindasan, dan pelanggaran terhadap nilai-nilai asasi yang
universal.
d.
PAI berbasis
multikulturalisme harus ada penekanan yang sangat besar pada silabusnya di atas
prinsip transformasi ideologi menjadi ilmu.
e.
Pendidikan
agama seperti fiqih, tafsir tidak harus bersifat linier, namun menggunakan pendekatan muqaran.
f.
Untuk
mengembangkan kecerdasan sosial, peserta didik juga harus diberikan pendidikan
lintas agama.
g.
Selain menyelenggarakan
dialog antar agama, namun juga menyelenggarakan program road show lintas
agama.
h.
Pendidikan
Islam perlu menyelenggarakan program seperti Spiritual Work Camp (SWC).
i.
Merancang progam-progam
yang dapat menumbuhkan kepekaan sosial kepada peserta didik.
j.
Proses pembelajaran lebih menekankan pada bagaimana mengajarkan
tentang agama (teaching about religion), bukan mengajarkan agama
(teaching of religion). Mengajarkan tentang agama melibatkan pendekatan
kesejarahan dan perbandingan, sedangkan mengajarkan agama pendekatannya
indoktrinasi dogmatik. Proses pembelajaran perlu memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk aktif mencari, menemukan, dan mengevaluasi pandangan
keagamaannya sendiri dengan membandingkannya dengan pandangan keagamaan peserta
didik lainnya. Dengan pendekatan ini diharapkan tumbuh sikap toleransi, tidak
menghakimi, dan melepaskan diri dari sikap fanatik berlebihan.
F. LAMPIRAN-LAMPIRAN
Contoh RPP
(RPP) 1
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
Nama Sekolah : SDN
Tamanayu 03
Mata pelajaran : PAI
Kelas/ program : 6
Alokasi waktu :2 x
35 menit
Tema :
Perdamaian
A.
KOMPETENSI INTI
1.
Kompetensi Inti (KI 1):
Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang
dianutnya
2.
Kompetensi Inti (KI 2):
Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur,
disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai),
santun, responsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari
solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan
lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa
dalam pergaulan dunia
3.
Kompetensi Inti (KI 3):
Memahami, menerapkan danmenganalisis
pengetahuan faktual,konseptual, prosedural dalamilmupengetahuan, teknologi,
seni,budaya, dan humaniora denganwawasan kemanusiaan,kebangsaan,kenegaraan,
danperadaban terkait fenomena dankejadian, sertamenerapkanpengetahuan
prosedural padabidang kajian yang spesifik sesuaidengan bakat dan minatnya
untukmemecahkan masalah
4.
Kompetensi Inti (KI 4):
Mengolah, menalar, menyaji, dan mencipta dalam ranah konkret dan ranah
abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara
mandiri, serta bertindak secara efektif dan kreatif, dan mampu menggunakan metoda
sesuai kaidahkeilmuan
- KOMPETENSI DASAR DAN INDIKATOR PENCAPAIAN
Kompetensi Dasar
|
Indikator
|
1.1. Meyakini
Keindahan Islam dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan perdamaian
|
1.1.1. Selalu
meyakini keindahan aturan Islam tentang perdamaian
1.1.2. Menunjukkan
perilaku yang selalu mencerminkan rasa perdamaian
2.1.1.
Menunjukkan perilaku tanggung jawab melalui materi perdamaian
|
2.1. Memiliki
rasa tanggung jawab melalui materi Perdamaian
|
|
3.1. Memahami
aturan islam tentang kepemilikan
|
3.1.1. Menjelaskan
pengertian perdamaian
3.1.2.
Menyebutkan dasar al-Quran dan Hadits tentang perdamaian
3.1.3.Menyebutkan
hikmah-hikmah dalam hidup penuh dengan kedamaian
|
4.1. Memperagakan
aturan islam tentang perdamaian
|
4.1.1.Mempraktekkan
aturan Islam tentang perdamaian
4.1.2.
Mendemontrasikan aturan Islam tentang perdamaian
|
- MATERI PEMBELAJARAN
Materi Pembelajaran
berisikan tentang pengertian perdamaian, dasar Al-Quran dan Hadits tentang
perdamaian, pentingnya menjaga perdamaian, contoh-contoh perdamaian dll.
- LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN
Kegiatan
|
Uraian
|
Waktu
|
Pendahuluan
|
Dari Sabang sampai Merauke
Berjajar pulau-pulau
Sambung menyambung menjadi
satu
Itulah Indonesia
Indonesia tanah airku
Aku berjanji padamu
Menjunjung tanah airku
Tanah airku Indonesia
Jika kita mengenal orang lain maka keuntungan
yang didapat adalah…
Jika kita saling menghormati akan hidup
dalam…
|
15 menit
|
Kegiatan Inti
|
·
Mengamati
Ø Peserta didik mengamati lingkungan sekitarnya yang
ada kaitannya dengan perdamaian
Ø Peserta didik membaca materi perdamaian
Ø Peserta didik dibagi dalam beberapa kelompok kecil
untuk memilih permasalahan yang disajikan sebagai bahan untuk disajikan
kepada seluruh peserta dikelas
Di Indonesia ada kelompok masyarakat nelayan,
kalau mau panen ikan suka menyiapkan sajian makanan untuk dipersembahkan
melalui laut.
Di Afrika banyak penduduk yang mempunyai
tarian pembuat hujan yang dilaksanakan pada waktu-waktu khusus dalam setahun
pada musim kemarau mengancam.
Di Indonesia ada kelompok masyarakat petani
kalau sudah panen menyisihkan hasil panennya secara bersama untuk disimpan di
leuit.
·
Menanya
Ø Setelah beberapa menit berlangsung (sesuai dengan
kebutuhan), peserta didik menyajikan tradisi budaya kesenian dengan
kreativitas dari masing-masing kelompok.
Ø Peserta didik memberikan tanggapan tentang Penyajian kelompok
temannya
Ø Peserta didik melakukan tanyajawab tentang penyajian
tersebut
·
Eksplorasi/eksperimen
Ø Setiap peserta didik diberi kesempatan untuk
mengungkapkan perasaannya tentang penyajian yang sudah di ungkapkan oleh
teman-temannya.
Ø Setiap peserta didik diberi kesempatan untuk
menghubungkan dengan budaya lainnya sesuai dengan yang diketahuinya.
Ø Setiap peserta didik boleh mengembangkan
komentar-komentar yang lebih luas dan beragam.
Ø Setiap peserta didik diberi kesempatan untuk
menghubungkan dengan budaya yang ada dalam sekitar lingkungan kehidupannya.
Ø Setiap peserta didik diberi kesempatan untuk
mengungkapkan mengapa didunia ini terjadi keyakinan yang berbeda-beda.
Ø Setiap peserta didik diberi kesempatan untuk
mengungkapkan perasaannya tentang hidup dalam tradisi yang berbeda.
Ø Pendidik mengarahkan diskusi pada nilai perdamaian
dan toleransi, serta pentingnya belajar hidup bersama dalam damai dan harmoni
·
Mengasosiasi
Ø Peserta didik melalui kelompoknya merumuskan hasil
diskusi
Ø Peserta didik melalui kelompoknya membuat kolom
tentang nilai-nilai
perdamaian hasil diskusi
·
Mengkomunikasikan
Ø Masing-masing kelompok secara bergantian menempelkan
hasil pengelompokan di dinding kelas
Ø Secara bergantian, masing-masing melakukan sopping
untuk melihat hasil diskusi.
|
60 menit
|
Penutup
|
1.
Guru mengadakan refleksi hasil
pembelajaran
2.
Guru mengajak peserta didik
menyimpulkan bersama materi pembelajaran
3.
Guru mengadakan tes baik tulis
maupun lisan
4.
Guru memberikan pesan-pesan moral
terkait dengan sikap keimanan dan sosial
5.
Guru memberikan tugas mandiri
secara individu
6.
Guru menjelaskan secara singkat
materi yang akan dipelajari pada pertemuan berikutnya
7.
Guru mengajak berdo’a akhir majlis
dilanjutkan dengan salam dan berjabat tangan
|
15 menit
|
- PENILAIAN
Penilaian dilakukan melalui kuis tertulis dan
pengamatan
[1]
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT raja Grafindo Persada,2014), hlm. 18
[2]
Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Cet. IV, hlm.100
[3] Susilo
Riwayadi dan Suci Nur Anisyah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya:
Sinar Terang, 2009), hlm. 487
[4] Ibid Susilo
Riwayadi dan Suci nur Anisyah, Kamus Lengkap……. , hlm. 413
[5] M.
Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding
untuk Demokrasi dan Keadilan, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hal. 27-28.
Lihat pula dalam Ngainun Naim & Achmad Sauqi, Pendidikan
Multikultural Konsep dan Aplikasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hlm.
121-122.
[6] Scott
Lash dan Mike Featherstone (ed.), Recognition
And Difference: Politics, Identity, Multiculture ,( London: Sage
Publication, 2002), hlm. 2-6.
[7]
Mujtahid, Kurikulum berbasis
Multikultural, Dalam http://mujtahid-komunitaspendidikan.blogspot.co.id/2010/02/kurikulum-berbasis-multikultural.html
(diakses pada tanggal 24/04/2017)
[8] Politics
of recognition dikemukan oleh Charles Taylor pada 1992 di depan kuliah terbuka
di Princenton University. Mulanya gagasanya adalah gagasan politik yang
kemudian berkembang di kajian lain, flsafat, sosiologi, budaya dan lainnya.
Gagasanya dipengaruhi oleh padangan Jean-Jacques Rousseau dalam Discourse
Inequality dan kesamaan martabat (equal dignity of human rights) yang dicetuskan
Immanuel Kant. Gagasan Taylor bersumber pada pertama, bahwa sesungguhnya harkat
dan martabat manusia adalah sama. Kedua, pada dasarnya budaya dalam masyarakat
adalah berbeda-beda, oleh karena itu membutuhkan hal yang ketiga, yaitu
pengakuan atas bentuk perbedaan budaya oleh semua element sosial-budaya,
termasuk juga negara. Charles Taylor. “The
Politics of Recognation” dalam Amy Gutman. Multiculturalism, Examining the
Politics of Recognation (Princenton: Princenton University Press, 1994),
hlm. 18.
[9] Ibid., hlm. 3-4.
[10] H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme;
Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Grasindo, 2001), hlm. 83.
[11] Gregory Jay. “Critical Contexts
For Multiculturalism” dalam http://www.uwm. edu/~gjay/Multicult/contextsmulticult.htm.
[12] Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Amzah,
2010), hlm. 28
[13] Masgnud, Pendidikan Multikultural: Pemikiran & Upaya
Implementasinya (Yogyakarta: Idea Press, 2010), hlm. 19
[14] Ibid., hlm. 21
[15] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, Op.cit., hal.
175-176
[16] Ngainum Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan
Multikultural Konsep dan Aplikasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hlm.
191
[17] Maarif Fuadi, Multikulturalisme
dalam Pandangan Islam, sebagaimana dikutip dilaman (http://maariffuadi.blogspot.co.id/2014/01/multikulturalisme-dalam-pandangan-islam.html)
diakses pada tanggal 24 Mei 2017
[18] QS. Al-Hujurot/ 13
[19] QS. Al-Baqoroh/ 213
[20] QS. Al-Hujurot/ 12
[21] QS. Al-Hujurot/6
[22] QS. Al-Baqoroh/256
[23] QS. As-Syuroo/ 40
[24] Imam Bukhari, Shahih Bukhari,
Kitab Adab, No 5604 dan 5606. Imam
Muslim, Sahih Muslim, Kitab al-Bir, wa
ash-Shillah wa al-Adab, No 4646.
[25] Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalany, Fath al-Bary, (Cet. I; Madinah al-Munawarah, 1417 H / 1996 M),
Jilid. I, hlm. 94
[26] Sejumlah kasus
menunjukkan fenomena tantangan pluralisme dan multikulturalisme. Di Bosnia, umat – umat katolik dan Islam saling
membunuh. Di Irlandia Utara, umat Katolik dan umat Protestan saling bermusuhan.
Di Timur Tengah, ketiga cucu Nabi Ibrahim – Umat Yahudi, Kristen dan Islam –
saling menggunakan bahasa kekerasan. Di Sudan, senjata adalah alat komunikasi
antara umat Islam dan Kristen. DiKAsymir, pengikut agama Hindu dan Umat
Muhammad saling bersitegang. Di Sri langka kaum Budha dan kelompok Hindu
bercakar-cakaran. Semua fenomena tersebut terjadi di depan mata kita. Yang
sangat menyayat hati adalah agama dijadikan elemen utama dalam mesin penghancur
manusia. Kenyataan itu adalah agama dijadikan elemen utama dalam mesin
penghancur permukaan bumi ini. Lihat Alwi Shihab, Islam Inklusif;
Menuju Sikap Tebuka dalam Beragama (Cet. IV; Bandung : Mizan, 1998), hlm. 39-40; Bandingkan
dengan Syahrin Harahap, Islam Dinamis; Menegaskan Nilai-Nilai Ajaran
Alqur`an dalam Kehidupan Modern di Indonesia (Cet.
I; Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 226. Lihat juga
Nurcholis Madjid, “Meninggalkan Kemutlakan Jalan Menuju
Kedamaian, dalam Prisma, No. 9 Tahun 1986, h. 41-42.
[27] Misalnya, apabila Islam
diyakini sebagai agama yang benar berarti Islam adalah agama satu-satunya agama
yang benar. Namun tidak cukup itu saja, kelanjutannya adalah menginginkan
orang-orang yang tidak segama dengannya beruba menjadi segama serta bersikap
bahwa penyebaran agama efektif jika dilaksanakan dengan meneriakkan bahwa
agamanya adalah satu-satunya yang unggul dengan mencercah dan merendahkan agama
lain yang diikuti dengan tindak kekerasan bahkan penghancuran sarana peribadatan
agama lain. Lihat Amir Azis, Neo Modernisme Islam di Indonesia; Gagasan
Sentral Nurcholis Madjid dan KH. Abdurrahkan Wahid (Jakarta : Rineka
Cipta, 1999), hlm. 51-52
[28] Kasiyo Harto. Pengembangan
Pendidikan Agama Islam berbaasi Pendidikan Multikultural. Fakultas Tarbiyah
dan Kependidikan Universitas Raden Patah Palembang, Journal At-Tahrir, Vol.14,
No, hlm. 415-419
[29] Kasinyo Harto, “Membangun Pola
Pembelajaran Pendidikan Agama Yang Berwawasan Multikultural”, Conciencia,
Vol. 1 No. 2 (2007), hlm. 25.
[30] Gwendolyn C. Baker, Planing and Organizing for Multicultural
Instruction (California: Addison-Wesley Publishing Company, 1994), hlm.
25-26.
[31] Zakiyuddin Baidhawy, ”Membangun Harmoni dan Perdamaian Melalui Pendidikan
Agama Berwawasan Multikultural”, Lokakarya Implementasi Pendidikan Multikultural
dalam Pengembangan Kurikulum (Jakarta: Australian Indonesia Partnership dan
Kemenag RI, 10-13 April 2008), hlm. 75-78.
[32] Mukhibat, Rekonstruksi Spirit Harmoni Berbasis Masjid (Jakarta:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kemenag RI, 2014), hlm. 34.
[33] Baidhawy, ”Membangun Harmoni dan Perdamaian Melalui Pendidikan Agama Berwawasan
Multikultural”, (Jakarta: Australian Indonesia Partnership dan Kemenag RI,
10-13 April 2008), hlm. 79-85.
[34] Ibid