CARA, METODE, DAN SUMBER ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM
Yovi Nur Rohman (16771009)
Magister Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
A.
Pendahuluan
Islam adalah agama yang sempurna. Bukti kesemprnaan
agama Islam tidak terlepas dari konsep Ilmu yang ada dalam dunia Islam. Tidak
dipungkiri Ilmu adalah sesuatu yang wajib dipelajari bagi seseorang yang ingin
mengetahui hakekat hidupnya dan mencapai tujuan yang tertinggi didalam
hidupnya, yakni mewujudkan Insanul kamil.
Islam sangat menekankan pentingnya ilmu dalam kehidupan manusia. Orang yang
hidup tanpa memiliki ilmu ibarat orang yang berjalan tanpa memiliki tujuan.
Dewasa ini, dunia Islam semakin tertinggal dengan dunia
barat. Hal ini dikarenakan orang Islam sendiri yang meninggalkan ilmu
pengetahuan yang telah diajarkan oleh Rasul. Semakin mundurnya perkembangan
ilmu pengetahuan dalam dunia Islam bisa kita lihat dari banyaknya ilmu
pengetahuan yang beredar menggunakan konsep ilmu pengetahuan dunia barat.
Konsep ilmu pengetahuan dunia Islam dan konsep ilmu pengetahuan dunia barat
sangatlah berbeda terutama dari aspek epistemologinya
(Sumber ilmu pengetahuan, metode ilmu pengetahuan, cara memperoleh ilmu pengetahuan
dan sebagainya). Hal dikarenakan dunia barat hanya menerima ilmu pengetahuan
yang bersifat ilmiah dan empiris. Paham sekulerisme dalam dunia barat telah
memisahkan antara agama dan ilmu pengetahuan. Sehingga konsep seperti ini jika
dibiarkan berkembang di masyarakat Islam, maka lambat laun akan mengakibatkan
hilangnya konsep ilmu yang sesuai dalam Islam.
Oleh karena itu, penulis berusaha menjelaskan epistemologi ilmu pengetahuan dalam
Islam. Mulai dari cara mendapat ilmu pengetahuan, metode dalam menggali ilmu
pengetahuan dan sumber ilmu pengetahuan. Ketiga kajian tersebut, tentu saja
dibahas sesuai dengan konsep ilmu yang ada dalam dunia Islam.
B.
Pembahasan
1.
Pengertian Ilmu Pengetahuan
Secara etimologi, ilmu pengetahuan
terdiri dari dua kata, yakni ilmu dan pengetahuan. Ilmu dalam bahasa
Arab, berasal dari kata Alima artinya mengecap atau
memberi tanda. Sedangkan ilmu berarti pengetahuan.[1] Sedangkan
dalam bahasa Inggris ilmu berarti science, yang berasal dari bahasa
latin scientia, yang merupakan turunan dari kata scire,
dan mempunyai arti mengetahui (to know), yang juga berarti belajar (to
learn).[2] Dalam Webster’s
Dictionary disebutkan bahwa;
(1) Possession
of knowledge as distinguished from ignorance or misunderstanding;
knowledge attain trough study or practice, (2) A departemen of sistematiced
knowledge as an object of study (the science of tiology), (3) Knowledge
covering general truths of the operasion laws esp. As obtained and tested
through scientific method; such knowledge concerned with the physical word an
its phenomena (natural science), (4) a system or method based or purporting to
be based an scientific principles.[3]
(1) Pengetahuan yang membedakan dari
ketidak tahuan atau kesalahpahaman; penetahuan yang diperoleh melalui belajar
atau praktek, (2) suatu bagian dari pengetahuan yang disusun secara
sistematis sebagai salah satu objek studi (ilmu teologi), (3) pengetahuan
yang mencakup kebenaran umum atau hukum-hukum operasinal yang diperoleh dan
diuji melalui metode ilmiah; pengetahuan yang memperhatikan dunia pisik dan
gejala-gejalanya (ilmu pengetahuan alami), (4) suatu sistem atau metode atau
pengakuan yang didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah.
Sedangkan pengetahuan merupakan arti dari kata knowledge yang
mempunyai arti;
(1) the fact or
conditioning of knowing something whit familiriality gained through experience
or association, (2) the fact or conditioning of being aware of something.
(3) the fact or
condition of having information or of being learned, (4) the sum of is known;
the body of truth, information, and principels acquired by mankind.[4]
(1) kenyataan atau keadaan mengetahui
sesuatu yang diperoleh secara umum melalui pengalaman atau kebenaran secara
umum, (2) kenyataan atau kondisi manusia yang menyadari sesuatu, (3) kenyataan
atau kondisi memiliki informasi yang sedang dipelajari, (4) sejumlah
pengetahuan; susunan kepercayaan, informasi dan prinsip-prinsip yang diperoleh
manusia.
Dari definisi tersebut diperoleh kesimpulan bahwa ilmu merupakan salah satu
dari pengetahuan yang diperoleh melalui metode ilmiah yang sistematis.
Sedangkan pengetahuan diperoleh dari kebiasaan atau pengalaman sehari-hari.
Dengan demikian ilmu lebih sempit dari pegetahuan, atau ilmu merupakan bagian
dari pengetahuan.
Pengertian tersebut tidak jauh berbeda dari definisi yang dikemukakan
oleh para ahli -terminologi-. Kata ilmu diartikan oleh Charles Singer
sebagai proses membuat pengetahuan. Definisi yang hampir sama dikemukakan
John Warfield yang mengartikan ilmu sebagai rangkaian aktivitas
penyelidikan.[5] Sedangkan
pengetahuan menurut Zidi Gazalba merupakan hasil pekerjaan dari tahu yang
merupakan hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti dan pandai. Pengetahuan
menurutnya adalah milik atau isi fikiran.[6] Sedangkan
pengertian ilmu pengetahuan sebagai terjemahan dari science,
seperti dikatakan oleh Endang Saefuddin Anshori ialah;
Usaha pemahaman manusia yang disusun dalam
satu sistem mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan
hukum-hukum tentang hal-ihwal yang diselidiki (alam, manusia, dan agama) sejauh
yang dapat dijangkau daya pemikiran yang dibantu penginderaan itu, yang
kebenarannya diuji secara empiris, riset dan eksprimental.[7]
Dari definisi
tersebut diperoleh ciri-ciri ilmu pengetahuan yaitu; sistematis, generalitas (keumuman), rasionalitas, objektivitas, verifibialitas dan komunitas. Sistematis, ilmu
pengetahuan disusun seperti sistem yang memiliki fakta-fakta penting yang
saling berkaitan. Generalitas, kualitas ilmu pengetahuan untuk
merangkum penomena yang senantiasa makin luas dengan penentuan konsep yang
makin umum dalam pembahasan sasarannya. Rasionalitas, bersumber
pada pemikiran rasional yang mematuhi kaidah-kaidah logika. Verifiabilitas,
dapat diperiksa kebenarannya, diselidiki kembali atau diuji ulang oleh setiap
anggota lainnya dari masyarakat ilmuan. Komunitas, dapat diterima
secara umum, setelah diuji kebenarannya oleh ilmuwan.[8]
Sedangkan yang menjadi objek ilmu pengetahuan dapat dibagi dua yaitu objek
materi (material objek) dan objek fomal (formal objek). Objek
materi adalah sasaran yang berupa materi yang dihadirkan dalam suatu pemikiran
atau penelitian. Didalamnya terkandung benda-benda materi ataupun non-materi.
Bisa juga berupa hal-hal, masalah-masalah, ide-ide, konsep-konsep dll.[9]
Objek forma yang berarti sudut pandang menurut segi mana suatu objek
diselidiki. Objek forma menunjukkan pentingnya arti, posisi dan fungsi-fungsi
objek dalam ilmu pengetahuan.[10] Sebagai
contoh pembahasan tentang objek materi “manusia”. Dalam diri manusia terdapat beberapa
aspek, seperti: kejiwaan, keragaan, keindividuaan dan juga kesosialan. Aspek
inilah yang menjadi objek forma ilmu pengetahuan. Manusia dengan objek formanya
akan menghasilkan beberapa macam ilmu pengetahuan, misalnya biologi,
fisikologi, sosiologi, antropologi dll.
Dengan kata lain ilmu
pengetahuan adalah pengetahuan tentang suatu objek yang diperoleh dengan metode
ilmiah yang disusun secara sistematik sebagai sebuah kebenaran.[11]
2. Cara dan Metode Ilmu
Pengetahuan dalam Islam
Metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui
sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis.[12]
Metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan
dalam metode tersebut.[13]
Metodologi dalam Ilmu Filsafat termasuk dalam kategori Epistemologi.
Epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan ilmu
pengetahuan: apakah sumber-sumber ilmu pengetahuan? Apakah hakikat, jangkauan
dan ruang lingkup Ilmu pengetahuan? Apakah manusia manusia dimungkinkan untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk
ditangkap manusia.[14]
Adapun
cara mendapatkan ilmu pengetahuan diperoleh melalui metode ilmiah (scientific
method). Metode ilmiah merupakan prosedur yang mencakup berbagai tindakan
pemikiran, pola kerja tata langkah dan cara teknis untuk memperolah pengetahuan
yang lama.[15]
Metode
ilmiah muncul dari kombinasi antara empirisme
dengan rasionalisme yang ditambah
dengan eksperimen sehingga melahirkan positivisme dengan bidangnya. Metode ilmiah merupakan alat operasional
dari positivisme yang terperinci dalam langkah-langkah logico-hypothico-verivicartif.[16] Maksudnya
yaitu dengan pembuktian bahwa objek itu logis, kemudian mengajukan hipotesa
yang mendasarkan pada logika, setelah itu lakukanlah pembuktian hipotesa dengan
eksperimen untuk memverifikasi hipotesa yang diajukan. Dalam praktisnya metode
ilmiah menjadi metode penelitian (research) untuk menemukan pengetahuan.
Secara garis besar langkah-langkah metode ilmiah disebutkan yang menurut Jujun
adalah sebagai berikut;
a.
Perumusan masalah, merupakan pertanyaan
mengenai objek empiris yang jelas batas-batasnya serta data diidentifikasikan
dengan faktor-faktor yang terkait di dalamnya.
b.
Penyususnan kerangka berfikir dalam pengajuan
hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin
terdapat antara berbagai faktor yang saling mengait dan membentuk permasalahan.
c.
Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban
sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya
merupakan kesimpulan dari kerangka berfikir yang dikembangkan.
d. Penarikan
kesimpulan yang merupakan penilaian apakah sebuah hiptesis yang diajukan itu
ditolak atau diterima. Apabila fakta mendukung hipotesis maka hipotesis
diterima. Dan apabila fakta tidak mendukung hipotesis ditolak. Hipotesis yang
diterima menjadi bagian dari ilmu pengetahuan sebab telah memenuhi persyaratan
pengetahuan ilmiah.[17]
Metode Ilmiah yang ditawarkan oleh Jujun tersebut jika
dipetakan adalah sebagai berikut:

Selanjutnya adalah, metode keilmuan dalam Al-Quran. Dalam memerintahkan atau memotivasi manusia untuk meneliti,
memikirkan dan mengkaji sesuatu, terdapat beberapa istilah yang digunakan Allah
Swt. di dalam al-Qur’an, yakni antara lain seperti al-nazr[18] , al-fikr, al-aql[19], dan al-qalb[20]. Istilah-istilah ini mengandung makna yang
memuat konsep epistemologi atau metodologi keilmuan. Hal ini dapat digambarkan
sebagai berikut:[21]
a.
An-Nazr
Istilah An-Nazr
dapat diartikan dengan melihat atau memperhatikan. Berarti menurut Al-Qur’an,
salah satu cara untuk mengetahui
kebenaran adalah dengan melihat atau memperhatikan. Melihat (dengan kasat mata)
tentunya dengan menggunakan indera mata. Adapun memperhatikan maknanya lebih
luas, dapat dilihat dengan mata dan bagian indera yang lain seperti telinga
yang fungsinya untuk mendengar. Seorang astronom Francis, Piere Simon Laplace
menyatakan, I mistruct anything but the
direct result of observation and calculation.[22] (saya
curiga atau tidak mempercayai apapun sebagai sumber ilmu) kecuali hasil
langsung observasi dan kalkulasi.
Dengan aktivitas melihat manusia dapat mengetahui kebenaran
objek atau hal-hal fisik dan inderawi. Didalam al-Quran terdapat 30 lebih ayat
yang memakai kata nadhoro salah satu diantara seperti yang tercantum di surat
al-Ghaziyah ayat 17:
أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى ٱلۡإِبِلِ
كَيۡفَ خُلِقَتۡ ١٧
17. Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia
diciptakan
Selain
mata, manusia memiliki 4 indera lagi yaitu pencium (hidung), pendengar
(telinga), perasa (lidah) dan peraba (kulit). Masing-masing indera tersebut
menangkap aspek yang berbeda mengenai barang atau mahluk yang menjadi objek.
Akibatnya pengetahuan inderawi sifatnya parsial.[23] Selain
itu pengetahuan inderawi hanya terletak pada realitas permukaan, karena
terbatas pada kemampuan inderawi secara individual dan hanya dilihat dari segi
tertentu saja.[24]oleh karena itu, observasi
indera bisa keliru, dan karena itu dibutuhkan verifikasi terhadap hasilnya.
Al-Nazhr yang
berarti melihat atau memperhatikan dalam meneliti sesuatu yang menggunakan
indera, sekarang ini dikenal sebagai metode observasi (pangamatan) atau bayani.
Banyak filosof dan ilmuan muslimyang telah menggunakan metode observasi ini,
misalnya al-Kindi yang menggunakan metode observasi dilaboratorium kimia dan
fisikanya. Nashir al-Din al-Thusi mengadakan pengamatan astronomi di observatorium
miliknya yang amat terkenal di Maraghah. Demikian juga Ibn Haitsam
menggunakan metode observasi dalam eksperimennya di bidang optik
mengenai cahaya dan teori pengelihatan atau vision yang hasilnya ia
abadikan dalam karya besarnya, al-Manazir.[25]
Ia melakukan eksperimennya sendiri terhadap cahaya
dan pengaruhnya terhadap mata dengan kesimpulan manusia dapat melihat sebuah
objek karena ia memantulkan cahaya pada kornea mata. Kesimpulan ini
bertentangan dengan pendapat Aristoteles dan para pengikutnya, termasuk Al-Kindi,
yang menyatakan bahwa manusia dapat melihat sebuah benda karena mata
memancarkan cahaya pada objek tersebut.[26]
b.
Al-Aql dan al- Fikr
Secara bahasa kata al-Aql berarti mengikat dan
menahan. Didalam al-Quran
kata al-Aql selalu disebut dengan kata kerjanya. Yakni (ta’qilun) 24 ayat dan
(ya’qilun) 22 ayat. Dalam bentuk ini kata al-Aql berarti memahami dan berfikir.
Hal ini seperti didalam Al-Quran:
كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ
لَكُمۡ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ ٢٤٢
242. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya
(hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya[27]
يَٰٓأَهۡلَ
ٱلۡكِتَٰبِ لِمَ تُحَآجُّونَ فِيٓ إِبۡرَٰهِيمَ وَمَآ أُنزِلَتِ ٱلتَّوۡرَىٰةُ
وَٱلۡإِنجِيلُ إِلَّا مِنۢ بَعۡدِهِۦٓۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ ٦٥
65. Hai Ahli Kitab, mengapa kamu bantah membantah tentang hal
Ibrahim, padahal Taurat dan Injil tidak diturunkan melainkan sesudah Ibrahim.
Apakah kamu tidak berpikir[28]
Bila
digunakan dengan mematuhi aturan-aturan berfikir yang benar yang disebut
logika, akal juga dapat mencapai kebenaran.[29]
Metodologi dengan menggunakan akal ini sekarang dikenal dengan metodologi
demontratif atau burhani, selain mampu mengolah data-data inderawi, akal juga
mampu menangkap konsep-konsep mental dan intelektual yang bersifat non fisik.[30]
Hal ini sesuai dengan pernyatan Musa al Asyarie yang menyatakan bahwa akal
berkaitan dengan nilai-nilai kebenaran yang berkaitan dengan realitas yang
material dan spiritual (berdimensi ganda).[31]
Menurut al-Kindi, bahwa pengetahuan tentang sesuatu yang diperoleh dengan cara
menggunakan akal, ia bersifat universal, tidak parsial, dan bersifat immaterial[32]
Metode
demonstratif merupakan salah satu yang telah pernah digunakan oleh para filosof
dan ilmuan Muslim, dan telah membuahkan hasil yang luar biasa. Sebagai contoh
adalah Ibn Sina. Ia menuliskan hasil penelitian filosofisnya dalam ratusan
karya, di antaranya al-Syifa’ sebanyak lebih dari lima belas jilid yang
membahas ilmu-ilmu metafisika, matematika, fisika, dan logika secara intensif. Karya
filosofis lainnya dapat dilihat dari komentar-komentar Ibn Rusyd atas
karya-karya Aristoteles dan Plato, serta karya teosofis Suhrawardi, terutama Hikmat
al-Isyraq dan lain sebagainya.[33]
Selain
dengan bentuk kata ya’qilun atau ta’qilun yang berasal dari kata
al-aql, aktivitas berpikir juga dinyatakan Allah dengan menggunakan kata
al-fikr. Di dalam al-Qur’an terdapat 16 ayat yang menyebutkan al-fikr
dengan bentuk kata tafakkara dan tafakkarun yang berarti berpikir
atau memikirkan. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata al-fikr diambil dari
kata fark yang membentuk kata faraka dengan makna (1) mengorek
sesuatu sehingga yang dikorek itu muncul, (2) menumbuk sampai hancur, dan (3)
menyikat (pakaian) sehingga kotorannya hilang. Kata fikr maupun kata fakr
memiliki makna yang sama. Perbedaannya, bahwa kata fikr digunakan
untuk hal-hal yang abstrak, sedangkan kata Aql digunakan untuk hal-hal yang
kongkrit. Larangan berpikir tentang Tuhan adalah salah satu contoh tentang
objek fikr.Tuhan memang tidak dapat tergambar dalam pikiran seseorang
sehingga sangat sukar untuk diketahui[34]
Metode
al-fikr masih berkaitan erat dengan term al-nazhr, karena melihat
tanpa berpikir bukan metodologi keilmuan. Kata al-fikr yang dalam
al-Qur’an terdapat kurang lebih 16 ayat tersebut, kesemuanya dipakai dalam
konteks alam dan manusia dalam dimensi
fisiknya[35]
Dalamarti
dasar al-fikr itu terkandung makna yang sangat dalam, yakniberkaitan
dengan usaha serius, giat, dan tidak kenal lelah untuk mengelaborasi, atau
bahkan mencari hingga bagian terdalam dari alam semesta. Dari upaya itu akan
dapat ditemukan hakikat alam semesta. Para ahli yang mengelaborasi materi alam
semesta sampai ditemukan atom kemudian neutron, elektron, dan
selanjutnya quark adalah contoh kegiatan berpikir tersebut.[36]
Seseorang
yang berpikir dengan membebaskan akal dan nuraninya dari segala ikatan sosial,
ideologis, dan psikologis, maka pada akhirnya ia akan merasakan bahwa seluruh
alamsemesta, termasuk dirinya adalah diciptakan oleh sebuah kekuatan Yang Maha
Kreatif.[37] Contoh ayat al-Qur’an
yang menggunakan kata al-fikr di antaranya adalah surat Ali Imran ayat
191 yang berbunyi sebagai berikut:
ٱلَّذِينَ
يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمٗا وَقُعُودٗا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَيَتَفَكَّرُونَ
فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَٰذَا بَٰطِلٗا
سُبۡحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ ١٩١
191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri
atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari
siksa neraka
c.
Al-Qolb
Istilah selanjutnya yang berkaitan dengan metodologi
ilmu di dalam al-Qur’an adalah al-qalb. Istilah al-qalb yang berarti hati, terdapat
kurang lebih terdapat 101di dalam al-Qur’an.[38]
Metodologi keilmuan dengan menggunakan hati, sekarang
dikenal dengan metode intuitif atau ‘irfani. Dalam metode ini,
objek-objeknya hadir (present) dalam jiwa seseorang, dan karena itu
modus ilmu seperti itu disebut ilmu hudhuri (knowledge by presence).Selain
itu, objek-objek itu juga dapat diteliti secara langsung, karena tidak ada lagi
jurang yang pemisah antara si peneliti dengan objek-objek yang diteliti, karena
telah terjadi kesatuan antara subjek dan objek, antara yang mengetahui dan yang
diketahui. Intuisi mampu memahami banyak hal-hal yang tidak dapat dipahami oleh
akal.Hal itu karena intuisi memiliki keunggulan keunggulan jika dibandingkan
dengan akal.Keunggulan-keunggulan tersebut
antara lain sebagai berikut:
Pertama, akal sering dibuat tak berdaya
terhadap persoalanpersoalan hidup yang lebih dalam yang menyangkut sisi
kehidupan manusia.Ia hanya dapat memahami pengalaman fenomenal dan tidak pada
eksistensial. Kedua, akal tidak mampu mengerti keunikan sebuah momen
atau ruang sebagaimana yang dialami langsung oleh seseorang. Hal tersebut
disebabkan oleh kebiasaannya untuk meruang-ruangkan (spatilize) apapun yang menjadi
objeknya selanjutnya cenderung memahami sesuatu secara general dan homogen.Ketiga,
akal tidak mampu memahami objek penelitiannya secara langsung karena akan dengan
menggunakan kata dan simbol hanya akan berkutat di sekitar objek tersebut.
Tetapi tidak pernah secara langsung menyentuhnya. Dapatkah disunting sekuntum
mawar dari kata M.A.W.A.R? Tidak, karena yang disebut nama, bukan yang empunya
nama.[39]
Ilmu huduri atau ladunni, diperoleh
orang-orang tertentu, dengan tidak melalui proses ilmu pada umumnya. Hal itu
diperoleh melalui proses pencerahan dengan hadirnya cahaya Illahi dalam qalb.
Dengan hadirnya cahaya Ilahi itu, semua pintu ilmu terbuka menerangi
kebenaran, terbaca dengan jelas dan terserap dalam kesadaran intelek,
seakan-akan orang tersebut memperoleh ilmu dari Tuhan secara langsung. Di sini
Tuhan bertindak sebagai pengajarnya. Menurut al-Kindi, orang-orang yang
memperoleh pancaran nur Ilahi adalah para Nabi dengan tanpa upaya, tanpa
bersusah payah, terjadi karena kehendak Allah.[40]
Al-qalb ini berkaitan dengan hal yang sifatnya
spiritual. Pengalaman spiritual ini dapat dikembangkan melalui kesatuan pikir dan
zikir. Contoh ayat al-Qur’an yang menggunakan kata al-qalb adalah Q.S.
Al-Jatsiyyah (45) ayat 23
أَفَرَءَيۡتَ
مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلۡمٖ وَخَتَمَ
عَلَىٰ سَمۡعِهِۦ وَقَلۡبِهِۦ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِۦ غِشَٰوَةٗ فَمَن
يَهۡدِيهِ مِنۢ بَعۡدِ ٱللَّهِۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ ٢٣
23. Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan
Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas
penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah
(membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran
Seperti halnya al-nazhar serta al-aql dan al-fikr, al-qalb atau
hati yang selanjutnya dikenal dengan metode intuitif atau ‘irfani juga
memiliki validitas yang kuat. Di kalangan filosof Barat modern, dikenal yang
namanya Henry Bergson yang mengetengahkan metode intuitif dalam melahirkan
pemikiran filosofis. Menurutnya, intuisi merupakan suatu sarana untuk
mengetahui secara langsung dan seketika. Pengetahuan yang lengkap adalah
pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi.[41] Seiring
dengan itu, Muhammad Iqbal seperti dikemukakan Danusiri menjelaskan bahwa
pengetahuan intuitif lebih tinggi daripada pengetahuan rasional dan empirikal,
karena akal dan indera adalah instrumen yang lebih kompeten untuk menghadapi objek
materi serta hubungan kuantitatif. Intuisi dapat menuntun pada
kehidupan(immateri).[42]
3. Sumber Ilmu Pengetahuan
dalam Islam
Kata sumber dalam bahasa arabnya adalah (مصدر), dengan jamaknya: (مصادر).
Kata sumber atau “mashdar” dapat diartikan sebagai suatu wadah yang dari wadah
itu dapat ditemukan atau ditimba norma hukum[43].
Menurut Kamus Bahasa Arab, مصدر diartikan
sumber, asal, referensi, atau sumber pengambilan. Dengan demikian sumber ilmu
pengetahuan adalah sesuatu yang diyakini sebagai asal mula ilmu pengetahuan.
Menurut Dr. Mulyadi Kartanegara mendefinisikan sumber pengetahuan adalah alat
atau sesuatu darimana manusia bisa memperoleh informasi tentang objek ilmu yang
berbeda-beda sifat dasarnya.[44] Karena
sumber pengetahuan adalah alat, maka Ia menyebut indera, akal dan hati
sebagai sumber pengetahuan.[45]
Amsal
Bakhtiar berpendapat tidak jauh berbeda. Menurutnya sumber pengetahuan
merupakan alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Dengan istilah yang berbeda
ia menyebutkan empat macam sumber pengetahuan, yaitu: emperisme,
rasionalisme, intuisi dan wahyu.[46] Begitu
jugadengan Jujun Surya Sumantri, ia menyebutkan empat sumber pengetahuan
tersebut.[47]
Sedangkan
John Hospers dalam bukunya yang berjudul An Intruction to Filosofical
Analysis, sebagaimana yang dikutip oleh Surajiyo menyebutkan beberapa alat
untuk memperoleh pengetahuan, antara lain: pengalaman indera, nalar, otoritas,
intuisi, wahyu dan keyakinan.[48] Sedangkan
Amin Abdullah menyebutkan dua aliran besar, idealisme dan imperisme.[49]
Sementara Najati mengkategorikan perolehan pengetahuan
itu berasal dari dua sumber, yaitu: sumber Ilahi dan sumber insani. Kedua jenis sumber ini merupakan jenis pengetahuan
yang saling berintegrasi dan secara asasi kembali kepada Allah sebagai Dzat
yang menciptakan manusia. Sumber Ilahi adalah sejenis ilmu pengetahuan yang
didatangkan kepada manusia secara langsung dari Allah melalui ilham, wahyu atau
mimpi-mimpi yang benar. Dan ilmu yang bersumber dari sumber insani adalah ilmu
pengetahuan yang didapatkan dari pengalaman-pengalaman pribadi manusia dan dari
kemampuannya dalam melakukan riset, observasi, serta usahanya untuk memecahkan
persoalan-persoalan dalam kehidupannya.[50]
Dr.
Muhamad Al-Bahi membagi ilmu dari segi sumbernya terbagi menjadi dua, pertama;
ilmu yang bersumber dari Tuhan, kedua; ilmu yang bersumber dari
manusia. Al-Jurjani membagi ilmu menjadi dua jenis, yaitu pertama;
ilmu Qadim dan kedua; ilmu Hadits. Ilmu Qadim adalah ilmu Allah
yang jelas sangat berbeda dari ilmu hadits yang dimiliki manusia sebagai
hamba-Nya[51]
Dari berbagai pendapat diatas, penulis membagi sumber
ilmu pengetahuan menjadi 2 bagian. Yaitu Sumber Ilahi dan Sumber Insani. Sumber
Ilahi meliputi Wahyu (Al-Quran), Sunnah dan Intuisi atau disebut juga Ilham.
Dan sumber Insani meliputi, Rasio yang sehat dan panca indera. Berikut pemetaan
dari pembagian ini.

a. Wahyu (Al-Qur’an, Sunnah,
Intuisi)
Wahyu sebagai sumber pengetahuan juga berkembang dikalangan agamawan. Wahyu
adalah pengetahuan agama disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat perantara
para nabi yang memperoleh pegetahuan tanpa mengusahakannnya. Pengetahuan ini
terjadi karena kehendak Tuhan.[52] Hanya
para nabilah yang mendapat wahyu.
Wahyu Allah
berisikan pengetahua yang baik mengenai kehidupan manusia itu sendiri, alam
semesta dan juga pengetahuan transendental, seperti latar belakang dan tujuan
penciptaan manusia, alam semesta dan kehidupan di akhitar nanti.[53] Pengetahuan
wahyu lebih banyak menekankan pada kepercayaan yang merupakan sifat dasar dari
agama.
Wahyu sebagai sumber asli seluruh pengetahuan memberi
kekuatan yang sangat besar terhadap bangunan pengetahuan bila mampu
mentransformasikan berbagai bentuk ajaran normatif-doktriner menjadi
teori-teori yang bisa diandalkan. Di samping itu, wahyu memberikan bantuan
intelektual yang tidak terjangkau oleh kekuatan rasional dan empiris. Wahyu
bisa juga dijadikan sebagai sumber pengetahuan, baik pada saat seseorang
menemui jalan buntu ketika melakukan perenungan secara radikal maupun dalam kondisi
biasa. Artinya wahyu bisa dijadikan sebagai rujukan pencarian pengetahuan kapan
saja dibutuhkan, baik yang bersifat inspiratif maupun terkadang ada juga yang
bersifat eksplisit.[54]
Sumber ilmu pengetahuan kedua yang bersumber dari
wahyu adalah Sunnah secara etimologi (harfiah), sunah berarti jalan, metode dan
program. Sedangkan secara terminologi, sunah adalah sejumlah perkara yang
dijelaskan melalui sanad yang shahih, baik berupa perkataan, perbuatan,
peninggalan, sifat, pengakuan, larangan, hal yang disukai dan dibenci, peperangan,
tindak-tanduk dan semua kehidupan nabi Muhammad saw.[55]
Al-Sunah sebagaimana al-Qur’an juga bersumber dari
Ilahi. Keberadaan al-Sunah sebagai sumberhukum atau sumber pengetahuan yang
kedua mempunyai tiga fungsi, yaitu: pertama sebagai tasyri, yang menunjukkan
hukum atau pengetahuan baru contohnya hadits yang membicarakan tentang cara
mengatasi ketika nyamuk masuk ke dalam makanan. Kedua sebagai tabyin, yaitu
menjelaskan hukum atau pengetahuan yang dijelaskan dalam al-Qur’an yang masih
bersifat global seperti proses penciptaan manusia. Ketiga berfungsi sebagai
taqrir, yaitu mengulang sesuatu yang sudah dijelaskan dalam al-Qur’an, seperti proses
penciptaan manusia.
Al-Sunah tidak hanya mengkaji tentang hal-hal yang ada
di masa sekarang, akan tetapi juga mengkaji tentang hal-hal yang bersifat
transendental, seperti alam ghaib, yaitu alam yang tidak dapat ditangkap oleh
indera kita. Pengetahuan pokok yang didapatkan dari al-Sunah bukanlah
pengetahuan yang bersifat praktis dan berkaitan dengan kemajuan yang terus
berkembang hingga saat ini. Tentang teknis urusan duniawi, al-Sunah memberikan
hak prerogatif sepenuhnya kepada manusia.[56]
Sementara itu, sumber ilmu pengetahuan yag berasal
dari wahyu yang ketiga adalah Intuisi. Intuisi merupakan kemampuan manusia yang
berada di atas kemampuan akal. Dengan intuisi, manusia dapat mengenal hakikat
setiap sesuatu. Untuk memperoleh intuisi, individu harus terlebih dahulu memiliki
kegiatan batiniah yang tidak disadari dan harus bebas dari berbagai keinginan
pribadi yang mementingkan diri sendiri. Sedangkan salah satu sifat dari intuisi
adalah deduksi yang dapat secepat kilat sebagai akibat dari penginderaan
sekejap. Ini sangat identik dengan ilmu laduni yang proses penerimaan pelajaran
sangat cepat, sehingga seolah-olah tidak mengalami belajar seperti dialami
manusia umumnya.[57]
Sedangkan Al-Attas[58]
berpendapat bahwa intuisi adalah salah satu saluran yang absah dan penting
untuk mendapatkan pengetahuan kreatif dengan alasan: Karena intuisilah yang
mampu mensintesis hal-hal yang dilihat secara terpisah oleh nalar dan pengalaman
tanpa mampu digabungkan ke dalam keseluruhan yang koheren. Intuisi ini datang
kepada orang, yang dengan pencapaian intelektualnya, telah memahami hakikat
keesaan Tuhan dan arti keesaan ini dalam satu sistem metafisika terpadu.[59]
b. Rasio yang sehat
Akal pikiran sehat merupakan salah satu saluran
penting bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan
yang jelas; yaitu sesuatu yang dapat dipahami dan dikuasai oleh akal, dan sesuatu
yang dapat diserap oleh indera. Akal pikiran manusia akan mengatur dan
menemukan hubungan yang sesuai dalam setiap ruang ilmu pengetahuan dan hubungan
antara pengetahuan yang satu dengan lainnya. Akal pikiran bukan hanya rasio, ia
adalah “fakultas mental“ yang mensistematisasikan dan menafsirkan fakta-fakta empiris
menurut kerangka logika yang memungkinkan pengalaman inderawi menjadi sesuatu
yang dapat dipahami.
Akal
mengatur data-data yang dikirim oleh indera, mengolahnya dan menyusunnya hingga
menjadi pengetahuan yang benar. Dalam penyusunan ini akal menggunakan konsep
rasional atau ide-ide universal. Konsep tersebut mempunyai wujud dalam alam
nyata dan bersifat universal dan merupakan abstraksi dari benda-benda konkret.
Selain menghasilkan pengetahuan dari bahan-bahan yang dikirim indera, akal juga
mampu menghasilkan pengetahuan tanpa melalui indera, yaitu pengetahuan yang
bersifat abstrak.[60] Seperti
pengetahuan tentang hukum/ aturan yang menanam jeruk selalu berbuah jeruk.
Hukum ini ada dan logis tetapi tidak empiris.
c. Panca Indera
Iqbal[61]
berpendapat bahwa, Islam tidak pernah mengecilkan peranan indera yang pada
dasarnya merupakan saluran yang sangat penting dalam pencapaian ilmu
pengetahuan tentang realitas empiris. Bahkan indera berfungsi sebagai instrumen
pokok bagi jiwa dalam mengetahuiaspek-aspek tertentu dari sifat dan nama Allah
melalui alam ciptaan-Nya (QS.
An-Nahl: 78).
وَٱللَّهُ
أَخۡرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ شَيۡٔٗا وَجَعَلَ
لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَٰرَ وَٱلۡأَفِۡٔدَةَ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ٧٨
78. Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan
hati, agar kamu bersyukur
Arifin[62]
menegaskan bahwa panca indera adalah pintu gerbang bagi pengetahuan untuk
berkembang. Oleh karena itu, Tuhan mewajibkan panca indera manusia untuk
digunakan menggali pengetahuan
(QS. AlIsra’:36).
وَلَا
تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ
كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسُۡٔولٗا ٣٦
36. Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya
C.
Kesimpulan
Metode menggali ilmu pengetahuan dalam dunia islam
tidak lepas dari sumbernya. Didalam Islam, sumber ilmu pengetahuan terbagi
menajdi dua, yaitu sumber ilahi dan sumber insani. Sumber ilahi meliputi wahyu
yang didalamnya merupakan kitab suci umat Islam yakni al-Quran, dan segala
perbuatan, perkataan dan keputusan Nabi Muhammas SAW yang disebut sebagai
as-Sunnah lalu Intuisi yang biasa disebut sebagai ilham. Sumber inilah yang
menjadi jati diri konsep ilmu pengetahuan didalam Islam, yang tentu saja
berbeda dengan konsep pengetahuan didalam dunia barat yang hanya mengedepankan
akal. Sumber ilmu pengetahuan Islam yang kedua adalah sumber Insani yang
meliputi rasio yang sehat dan panca indera.
Sedangkan dari
segi cara dan metode penggalian Ilmu dalam Islam, penulis lebih fokus kepada
konsep-konsep yang ditawarkan oleh al-Quran yang meliputi An-Nazr
(melihat/mengamati). Al-Nazhr yang berarti melihat atau memperhatikan dalam meneliti sesuatu
yang menggunakan indera, sekarang ini dikenal sebagai metode observasi
(pangamatan) atau bayani. Konsep
kedua adalah Al-Aqlu/ al-Fikru, Selain keberadaan al-nazhar sebagai
sebuah metode keilmuan, keberadaan akal dan pikiran yang diungkap al-Qur’an
sebagai sebuah metodologi keilmuan tidak dapat dibantah. Rasio (akal) merupakan alat untuk memperoleh
pengetahuan/kebenaran dan sekaligus sumber pengetahuan/kebenaran. Rasio tidak
hanya sebagai penemu pengetahuan kebenaran melainkan pengetahuan dan kebenaran
hanya diperoleh melalui rasio tersebut.
Seperti halnya al-nazhar serta al-aql dan al-fikr, al-qalb atau hati
yang selanjutnya dikenal dengan metode intuitif atau ‘irfani juga
memiliki validitas yang kuat.
D.
Daftar Rujukan
Abdullah, Amin.
2002. Studi Agama Normativitas Atau
Historivitas?. Yogyakarta; Pustaka Pelajar. Cet, iii
Al-Attas, Naquib. 1989. Islam dan Filsafat Sains.
Bandung: Mizan.
Anshari, Endang
Saifuddin. Ilmu, Filsafat dan Agama.Surabaya:
Bina Ilmu Offset. Cet. Vii.
An-Nahlawi, A. R. 1995. Pendidikan Islam di Rumah,
Sekolah dan Masyarakat. Terj., Shihabuddin. Jakarta: Gema Insani Press.
Arifin, Muhammad. 1994. Filsafat Pendidikan Islam.
Jakarta: Bumi Aksara.
Asy’arie, Musa. Epistemologi dalam Perspektif Pemikiran
Islam (Sebuah makalah yang diseminarkan di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
dalam tema Pengembangan Reintegrasi Epistemologi Pengembangan Keilmuan Di
IAIN)(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga,t.th).
Asy’arie, Musa. 2002. Filsafat Islam; Sunnah Nabi dalm
Berpikir. Yokyakarta: LESFI. Cet. Ke-3.
Bakker, Anton dan Achmad Charris Zubair. 1990. Metodologi
Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Bakhtiar, Amsal.
2009. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Perss.
Munawwar, A.W. 1997. Kamus Al-Munawwar Arab Indonesia Terlengkap.
ditelaah oleh KH.Ali Ma’sum, KH. Zaenal Abidin,cet. Xiv. Surabaya Pustaka
Progressif.
Gie, The Liang.
2000. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta:
Penerbit Liberty. Cet. v.
Suharsono, Supalan.
1997. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Makassar:
Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Danusiri. 1996. Epistemologi Tasawuf Iqbal.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dikutip dari (www.kumpulanmakalah.com/2015/12/sumber-ilmu-pengetahuan.html) pada tanggal 18-03-2017
Firdaus,
Feris. 2004. Alam Semesta:Sumber Ilmu, Hukum, dan Informasi Ketiga Setelah
al-Qur’an dan al-Sunnah. Yogyakarta: Insan Cipta Press.
Harits. 2004. Ilmu Laduni dalam Perspektif Teori Belajar
Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kartanegara, Mulyadi. 2002. Menembus Batas Waktu;
Panorama Filsafat Islam. Bandung; Mizan. Cet. Ke-1


Lubis, Agus Salim. Epistemologi
Pengetahuan dan Relevansinya dalam Study Al-Qur’an dalam Jurnal Hermenuetik
Vol. 8, No. 1, Juni 2014.
Nurdin, Nasrullah. 2013. Alquran dan Sunnah Sebagai
Sumber Doktrin Dan Ilmu dalam Islam, Makalah, Jakarta, UIN Syahid.
Paisak, Taufik. 2004. Revolusi IQ/EQ/SQ:Antara Neurosains
dan Al-Qur’an. Bandung: Mizan Cet., IV.
Russel, Bertrand. 1982. Religion and Science. London:
Oxford University Press.
Rusuli, Izzatur dan Zakiul Fuady M.Daud, Ilmu Pengetahuan
danri John Locke ke Al-Attas dalam Jurnal Pencerahan Vol. 9, No. 1, Maret 2015.
Senn, Peter R. 1971. Social
Science and its Methods. Boston: Holbrook.
Shihab, M.Quraish. 1997. Tafsir Al-Qur’an ul Karim:
Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu. Bandumg:
Mizan.
Suriasumantri, Jujun S. 2007. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: PT Pancaranintan
Indahgraha. cet. ke-20.
Sudarsono. 1997. Filsafat Islam. Jakarta: Rineka
Cipta, Cet. I.
Surajiyo. 2005.
Ilmu Filsafat, suatu pengantar.
Jakarta; PT. Bumi Aksara. Cet. 1.
Wan Daud, W. M. N. 2003. Filsafat dan Praktik Pendidikan
Islam Syed Naquib al-Attas, terj., Hamid Fahmi, M. Arifin Ismail dan
Iskandar Amel. Bandung: Mizan.
Zainuddin, M. 2006. Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran
Islam. Jakarta: Lintas Pustaka.
[1] A.W. Munawar, Kamus Al-Munawwar Arab Indonesia Terlengkap, ditelaah oleh KH.Ali
Ma’sum, KH. Zaenal Abidin,cet. Xiv, (Surabaya Pustaka Progressif, 1997), hlm.966.
[3] Supalan Suharsono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Makassar: Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin, 1997), hlm. 35.
[4] Supalan Suharsono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Makassar: Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin, 1997), hlm. 35
[7] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama. (Cet. Vii, Surabaya: Bina Ilmu Offset,
1987), hlm. 50.
[8] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, cet.v., (Yogyakarta: Penerbit Liberty,
2000), hlm. 148-150
[9] Supalan Suharsono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Makassar: Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin, 1997), hlm. 39.
[11] Dikutip dari (www.kumpulanmakalah.com/2015/12/sumber-ilmu-pengetahuan.html) pada tanggal 18-03-2017
[12] Peter R. Senn, Social Science and its Methods, (Boston:
Holbrook, 1971), hlm. 4.
[13] Ibid., hlm. 6.
[14] William S. Sahakian dan
Mabel Lewis Sahakian, Realism of
Philosophy, sebagaimana dikutip oleh Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
(Jakarta: PT Pancaranintan Indahgraha, 2007), cet. ke-20, hlm. 119.
[15] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, cet.v., (Yogyakarta: Penerbit Liberty,
2000), hlm. 110.
[17] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
(Jakarta: PT Pancaranintan Indahgraha, 2007), cet. ke-20, hlm. 128.
[18] Dalam dunia filosofis
akademis, istilah ini lebih dikenal dengan sebagai metode observasi atau bayani
yaitu sebuah metode memperhatikan dan meneliti sesuatu yang menggunakan indera.
[19] Metodologi dengan
menggunakan akal dalam dunia filosofis akademis dikenal dengan metodologi
demontratif atau burhani.
[20] Metodologi dengan
menggunakan hati dalam dunia filosofis akademis dikenal dengan metode intuitif
atau irfani
[21] Agus Salim Lubis, Epistemologi Pengetahuan dan Relevansinya
dalam Study Al-Qur’an dalam Jurnal Hermenuetik Vol. 8, No. 1, Juni 2014,
hlm. 45.
[22] Bertrand Russell, Religion
and Science, (London: Oxford University Press,1982), hlm.57.
[23] Anton Bakker dan Achmad
Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm.21.
[24] Ibid 15
[25]
Mulyadi Kartanegara, Menembus Batas Waktu; Panorama Filsafat
Islam, Cet. Ke-1 (Bandung; Mizan, 2002), hlm. 62
[26] Ibid., hlm. 95.
[27] QS. Al-Baqoroh ayat 242
[28] QS. Ali-Imron/ 65
[29]
Mulyadi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam(Bandung:
Mizan, Cet. I, 2002), hlm.63.
[31]
Musa Asy’arie, Epistemologi dalam Perspektif Pemikiran Islam
(Sebuah makalah yang diseminarkan di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam tema Pengembangan
Reintegrasi Epistemologi Pengembangan Keilmuan Di IAIN)(Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga,t.th),hlm.5
[32] Sudarsono, Filsafat
Islam ( Jakarta: Rineka Cipta, Cet. I, 1997), hlm.27
[33] Ibid., hlm. 64.
[34] M.Quraish Shihab, Tafsir
Al-Qur’an ul Karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya
Wahyu (Bandumg: Mizan, 1997), hlm. 266
[35] Musa Asy’arie, Epistemologi dalam
Perspektif Pemikiran Islam (Sebuah makalah yang diseminarkan di IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta dalam tema Pengembangan Reintegrasi Epistemologi
Pengembangan Keilmuan Di IAIN)(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga,t.th),hlm. 5
[36]
Taufik Paisak, Revolusi IQ/EQ/SQ:Antara Neurosains dan
Al-Qur’an, (Bandung: Mizan Cet., IV, 2004), hlm. 211
[37] Feris Firdaus, Alam
Semesta:Sumber Ilmu, Hukum, dan Informasi Ketiga Setelah al-Qur’an dan
al-Sunnah (Yogyakarta: Insan Cipta Press, 2004), hlm. 34
[38] Musa Asy’arie, Epistemologi dalam
Perspektif Pemikiran Islam (Sebuah makalah yang diseminarkan di IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta dalam tema Pengembangan Reintegrasi Epistemologi
Pengembangan Keilmuan Di IAIN)(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga,t.th), hlm.
4.
[39]
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar
Epistemologi Islam (Bandung: Mizan. 2003), hlm. 26-27.
[40] Musa Asy’arie, Filsafat
Islam; Sunnah Nabi dalm Berpikir Cet. Ke-3 (Yokyakarta: LESFI,
2002), hlm. 72.
[41]
M. Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam (
Jakarta: Lintas Pustaka, 2006), hlm. 33.
[42]
Danusiri, Epistemologi Tasawuf Iqbal (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), hlm. 68.
[43] Nasrullah Nurdin, Alquran
dan Sunnah Sebagai Sumber Doktrin Dan Ilmu dalam Islam, Makalah, Jakarta,
UIN Syahid, 2013, hal. 4
[44] Mulyadi Kertanegara, Integrasi Ilmu, Sebuah Rekonstruksi Holistic, (Jakarta; UIN Jakarta
Press, 2005). hlm. 101.
[47] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
(Jakarta: PT Pancaranintan Indahgraha, 2007), cet. ke-20, hlm. 50-54.
[49] Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas Atau Historivitas?, cet iii, (Yogyakarta;
Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 244
[50] Izzatur Rusuli dan Zakiul
Fuady M.Daud, Ilmu Pengetahuan danri John Locke ke Al-Attas dalam Jurnal
Pencerahan Vol. 9, No. 1, Maret 2015, hlm. 15.
[53] Jujun S Suryasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Popular, cet. Xii, (Jakarta; Pustaka
Sinar Harapan, 1999), hlm. 54
[54] Wan Daud, W.
M. N, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Naquib al-Attas, terj.,
Hamid Fahmi, M. Arifin Ismail dan Iskandar Amel, (Bandung: Mizan, 2003), Hlm.
105.
[55] An-Nahlawi, A.
R, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat. Terj.,
Shihabuddin, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1995), hlm. 31.
[56] Wan Daud, W.
M. N, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Naquib al-Attas, terj.,
Hamid Fahmi, M. Arifin Ismail dan Iskandar Amel, (Bandung: Mizan, 2003), Hlm.
105-151.
[57] Harits, Ilmu Laduni dalam
Perspektif Teori Belajar Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm.
133-135.
[58] Naquib Al-Attas, Islam dan
Filsafat Sains, (Bandung: Mizan, 1989), hlm. 38.
[59] Izzatur Rusuli dan Zakiul
Fuady M.Daud, Ilmu Pengetahuan danri John Locke ke Al-Attas dalam Jurnal
Pencerahan Vol. 9, No. 1, Maret 2015, hlm. 17
[61] Naquib Al-Attas, Islam
dan Filsafat Sains, (Bandung: Mizan, 1989), hlm. 38.
[62] Muhammad Arifin, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm 74.
kenapa ga bis di copy?
ReplyDeleteterimakasih untuk informasinya.
ReplyDelete