Oleh:
Muhammad Yazid
1.
DASAR
PEMIKIRAN
Saat ini peradaban umat manusia dalam
sisi materi berada dalam puncak kejayaannya.Namun kemajuan peradaban ini lebih
banyak dikendalikan oleh Barat, sehingga berimplikasi pada terjadinya
penjajahan peradaban Barat atas dunia Islam.Peradaban Islam yang pernah
mendominasi dunia, kini tenggelam dikangkangi hegemoni Barat.Kemajuan Barat ini
disebabkan oleh penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada sisi lain dunia
Islam terjerembab dalam lembah kemunduran dan keterbelakangan, setelah pada
beberapa abad sebelumnya mendominasi peradaban dunia. Menghadapi keadaan
demikian, perlu dicari akar masalah penyebab terjadinya keadaan ini.Syeikh
Muhammad Abduh menyatakan penyebab kemunduran itu disebabkan oleh umatnya.“Al
Islaamumakhjuubun bil muslimiin”.Islam tertutup oleh umat Islam sendiri.[1]Umat
Islam tertinggal karena adanya perpecahan, perebutan kekuasaan dan meninggalkan
ajaran-ajaran agamanya yang berimplikasi pada ketertinggalan dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Pada sisi lain muncul kesadaran di
kalangan umat Islam maupun umat manusia pada umumnya, bahwa ilmu pengetahuan
dan teknologi saat ini membawa implikasi negatif, munculnya krisis yang
sifatnya global. Ilmu pengetahuan dan teknologi pada satu sisi hanya memberi
kebahagian semu, dan pada sisi lain memberi kontribusi bagi munculnya krisis
ekologi, krisis kemanusiaan dan kondisi dunia yang tidak nyaman. Untuk itu
muncul kesadaran untuk melakukan rekonstruksi ilmu pengetahauan melalui proyek
besar Integralisme pengetahuan dalam Islam.Penulis tertarik untuk mengkaji
lebih jauh Integralisme pengetahuan dalam Islam. Dalam hal ini akan dikaji
tentang pemaknaan integralisme dalam Islam, pendekatan Integralisme dalam
Islam, dan Klasifikasi Integralisme dalam Islam.
2.
PENGERTIANINTEGRALISME
ISLAM
Integralisme adalah
filsafat Islam modern berdasarkan ayat-ayat Allah (al-Quran dan alam), untuk
memehami Islam secara baru, sehingga dapat digunakan untuk memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi dunia dewasa ini.bermula dari tampilnya humanisme
di Eropa, yang ditandai dengan adanya renaissance,
yakni kerinduan akan nilai-nilai budaya-leluhur Yunani dan Romawi, yang kering
nilai-nilai spiritual. Lewat corong renaissance,
humanisme mempromosikan supremasi kemanusiaan melebihi batas-batas fitrah
manusia itu sendiri. Manusia memahami alam hanya sebatas jangkauan akalnya. Humanisme
telah mewarnai cara berpikir manusia modern dan telah sengaja diciptakan untuk
menyeret manusia kepada formalitas kehidupan. Padahal humanisme ini, telah lama
terperangkap dengan dengan dogma-dogma materialis yang hanya menjadi paradoks
bagi manusia dan begitu rumit mencari solusi penyelesaiannya. Di mana manusia
sangat mendewakan kekuatan rasionya tanpa memberikan ruang sedikitpun kepada
nilai-nilai transenden dalam mempengaruhi Roger
Bacon yaitu orang yang dipandang Barat sebagai ”Bapak” dari metode
eksprimental di dalam ilmu pengetahuan mengakui bahwa kerja ilmiahnya mengambil
dari karya terjemah buku optik karangan seorang muslim yakni Ibn Haitham,
dengan memisahkan nilai-nilai Islam dengan ilmu eksperimental.
Demikian juga Rene
Descartes yang menyatakan dengan tegas bahwa seseorang haras memisahkan
masalah-masalah moral dan iman dari wilayah rasio, [2]
tujuan hidup dan masalah-masalah yang transenden tidak perlu di masuki oleh
akal. Pola pemikiran ini melahirkan paham positivism Aguste Comte, yakni
menolak keberadaan sesuatu yang transenden yang tidak bisa dibuktikan secara
empirik dengan indera atau tidak dapat diukur dengan matematika, menjadi
kerangka kerja yang menamakan dirinya ”ilmu modem” atau ”ilmu Barat”.[3]
Pola pemikiran demikian telah membuat manusia modern menjadi sombong dengan
cara berpikir ”positif-nya”. Sehingga hanya yang eksperimental sajalah yang
dikatakan ilmiah.Perasaan, intuisi, bahkan wahyu dikategorikan sebagai gejala
psikologis yang bersifat subjektif saja, dan dianggap tidak ilmiah.
Dari pandangan hidup
yang formalitas ini, dapat menimbulkan sikap individualitas dalam kehidupan
bermasyarakat.Hal ini menjauhkan manusia dari esensi dan eksistensinya.Sehingga
lahirlah dikotomi di berbagai sektor kehidupan, termasuk dikotomi ilmu
pengetahuan dan lembaga pendidikan.
Padahal Islam merupakan
ajaran yang utuh dan tidak ada pemisahan antara yang sakral dan yang profan,
yang sekular dan yang religius.Sedangkan ilmu pengetahuan Barat—yang merupakan
acuan ilmu pengetahuan yang membawa kemajuan—secara khusus bersifat sekular dan
merusak nilai-nilai dasar Islam serta berlawanan dengan kesadaran historis
terdalam dari komunitas umat.[4]
Oleh karena itu, ilmu
pengetahuan yang operasional sangat dibutuhkan untuk membangun sebuah
peradaban—khususnya peradaban Islam.Ilmu pengetahuan haras sarat dengan
nilai-nilai Islam yang abadi. Tanpa hal itu, umat Islam selamanya terus menjadi
konsumen dari produk peradaban Barat dan terns mengekor pada setiap kemajuan
yang ditampilkan oleh Barat tanpa memperhatikan latar belakang budaya, norma
dan nilai yang berbeda. Sehingga mustahil peradaban Islam yang selalu
dinanti-nantikan akan muncul kembali kepermukaan sebagaimana pada masa
keemasannya.
Islam merupakan agama
yang sempurna dan suatu sistem total, maka nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya, haras meliputi setiap aspek kehidupan manusia.Sehingga tidak satupun
lepas dari sentuhan nilai-nilai Islam. Apakah itu struktur politik atau
organisasi sosial, kegiatan ekonomi atau kurikulum pendidikan, proses
pembelajaran, penyelidikan ilmiah maupun penguasaan teknologi. Nilai-nilai akan
memberikan ukuran dan batasan bagi masyarakat muslim, dan sekaligus petunjuk
bagi peradaban Islam. Disinilah perlunya mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke
dalam ilmu pengetahuan umum, sehingga lahirlah ilmu pengetahuan utuh yang sarat
dengan nilai-nilai religius yang memberikan kemudahan, manfaat dan ketenangan
bagi manusia dan lingkungan sekitarnya.
Kesadaran umat Islam
akan ketertinggalannya dibidang ilmu dan teknologi dibanding Barat, membuat
umat Islam bangkit dan menyusul ketertinggalannya dengan merombak pola pikir
yang selama ini membawa kebekuan dengan melalui kebebasan penalaran
intelektual, dan kajian- kajian rasional-empirik, filosofis dengan tetap
menjurus kepada kandungan al-Qur’an dan hadis, serta menggelar berbagai diskusi
untuk mencari format ideal bagi pendidikan Islam.
Pada tahun 1977,
konferensi muslim dunia pertama mengenai pendidikan Islam, mengajukan salah
satu usaha untuk menghilangkan dikotomi sitem pendidikan yang ada di seluruh
dunia muslim. Diputuskan bahwa jalan yang haras ditempuh adalah perlu segera
dirumuskan sistem terpadu bidang keilmuan.Semua cabang ilmu haras diintegrasikan
dengan ajaran-ajaran Islam, karena pendidikan Barat dianggap hanya dapat
mengembangkan peradaban materialistik belaka.[5]
Ziauddin Sardar
memberikan solusi dalam merumuskan konsep sains Islam yakni, pertama,
dari segi epistemologi, umat Islam haras berani mengembangkan kerangka
pengetahuan masa kini yang terartikulasi sepenuhnya. Kerangka pengetahuan yang
dikembangkan dapat membantu mengatasi masalah-masalah moral dan etika; kedua,
perlu ada gaya-gaya dan metode-metode aktivitas ilmiah dan teknologi yang
sesuai tinjauan dunia, tetapi islami; ketiga,
perlu ada teori sistem pendidikan yang memadukan ciri-ciri terbaik sistem
tradisional dan sistem modern(integralistik).[6]
Selanjutnya Isma‘il
Raji al-Faruqi memberikan solusi bahwa islamisasi ilmu pengetahuan merupakan
salah satu langkah untuk menghilangkan dikotomi dalam pendidikan. Langkah yang
dimaksud ialah: pertama,
semua kajian baik yang berkaitan dengan manusia maupun alam, agama maupun
sains, haras menata kembali dirinya berdasarkanprinsip- prinsip tauhid; kedua,
ilmu-imu yang mengkaji tentang hubungan dengan sesama manusia haras mengenali
manusia bahwa manusia berada pada tempat yang secara metafisik dan aksiologik
dikuasai Allah swt.; ketiga,
ilmu-ilmu humaniora hendaknya tidak diintimidasi oleh ilmu-ilmu
fisika, karena keduanya memiliki metode yang sama, yang berbeda hanya objek
kajiannya; dan keempat,
islmisasi ilmu pengetahuan haras menunjukkanketerkaitan antara relitas yang
dikaji dengan aspek ilahiah.[7]
Selanjutnya, keempat
langkah tersebut dijabarkan lebih lanjut menjadi dua belas langkah yang haras
ditempuh, yaitu: pertama,
penguasaan terhadap disiplin-disiplin modern. Hal ini dimaksudkan
bahwa untuk dapat menguasai suatu disiplin, harus dikuasai metodologi, obyek
kajiannya, dan sebagainya.Kedua,
Survei disipliner, dimaksudkan agar sarjana-sarjana muslim mampu menguasai
disiplin ilmu modern. Ketiga,
penguasaan terhadap khazanah Islam dengan membuat
antologi-antologi warisan pemikiran Islam yang berkaitan dengan disiplin ilmu.Keempat,
penguasaan terhadap khazanah Islam untuk tahap analisa dari
perspektif masalah-masalah kekinian.Kelima,
penentuan relevansi spesifik untuk setiap disiplin ilmu.Keenam,
penilaian kritis terhadap disiplin modern dari titik pijak Islam. Ketujuh, penilaian kritis terhadap khazanah Islam untuk kemudian
dirumuskan relevansi kontemporernya. Kedelapan, Survei problem yang dihadapi umat Islam dalam dimensi politik,
ekonomi, intelektual, kultur, dan sebagainya. Kesembilan,
survei masalah-masalah umat manusia. Kesepuluh, analisa kreatif dan sintesa, sarjana-sarjana muslim siap
melakukan sintesa dalam rangka menjembatani jurang kejumudan yang berabad-abad.
Kesebelas,
merumuskan kembali disiplin- disiplin di dalam kerangka Islam. Kedua belas, Penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diislamisasikan.[8]
Langkah yang diajukan
al-Faruqi tersebut tampaknya sangat sederhana, tetapi memiliki pandangan yang
komprehensif terhadap proses islamisasi pengetahuan, atau lebih tepat dikatakan
sebagai ilmuisasi Islam. Oleh karena itu, dalam rangka islamisasi ilmu
pengetahuan itu, pengintegrasian ilmu-ilmu agama dengan ilmu umum mesti
dilakukan.Pengintegrasian itu sendiri menurut Abubaker A. Bagader tergantung
pada dua prinsip.Pertama,
para peneliti muslim haras merancang kajian sosial dari perspektif Islam. Kedua,
kajian Islam sebagai displin haras dintegrasikan dengan pesoalan-persoalan
sosial untuk memecahkan masalah sekularisasi pendidikan.[9]
Dalam konteks
ke-Indonesiaan, upaya integralisasi ilmu pengetahuan juga terns diupayakan.
Abdurrahman Mas'ud menawarkan humanisme religius sebagai sebuah paradigma dalam
rangka menghilangkan dikotomi dalam sistem pendidikan Islam dengan beberapa
alasan, yaitu: pertama,
keberagamaan yang cenderung menekankan hubungan vertikal dan
kesemarakan ritual. Implikasi dari keberagamaan yang sering ditampilkan adalah
lebih mengutamakan kesalehan ritual daripada kesalehan sosial. Hal ini pada
gilirannya berimplikasi pada relitas social yang dihiasi dengan budaya
ritualistik, kaya kultur yang bernuansa agama, tetapi miskin dalam nilai-nilai
spiritual yang berpihak pada kemanusiaan. Kedua,
kesalehan sosial masih jauh dari orientasi masyarakat. Kesalehan yang merupakan
output
pendidikan Islam, sering tidak memenuhi kebutuhan masyarakat. Masyarakat
membutuhkan output
yang saleh dalam spiritual, cerdas dalam intelektual, dan peka dalam sosial (insan
ka>mil). Ketiga, Potensi peserta didik belum dikembangkan
secara proporsional, pendidikan belum berorientasi pada pengembangan sumber
daya manusia (undevelopment-
resources). Pendidikan di Indonesia masih teacher-oriented,
kendatipun paradigma tersebut sudah dirubah melalui perubahan kurikulum seperti
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), kemudian disempurnakan dengan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), tetapi belum didukung oleh sarana yang
memadai, sehingga penerapan kurikulum tersebut belum maksimal. Keempat,
dunia pendidikan di Indonesia belum mampu melahirkan output
yang mandiri dan bertanggung jawab. Kemandirian dan tanggung jawab pribadi
peserta didik belum dapat dibentuk, boleh jadikarena alasan geofisik atau adapt
ketimuran yang masih mendidik anak dengan memanjakannya.[10]
Di samping itu, Shodiq
Abdullah mengajukan solusi mengatasi dikotomi ilmu dalam pendidikan Islam
adalah dengan rekonsiliasi epistemologi agar rumusan sistem pendidikan Islam
lebih fungsional dan marketable
di masa depan.[11]Jika
hal ini tidak dilakukan, maka sistem pendidikan Islam tidak akan mampu
menghadapi perubahan dan menjadi counter
ideas terhadap globalisasi kebudayaan. Hal lain yang dilakukan
dalam menghilangkan dikotomi terhadap pendidikan Islam adalah dengan
mengintegrasikan antara ilmu agama dengan ilmu umum, dengan mengislamkan atau
melakukan purifikasi (penyucian) terhadap ilmu pengetahuan produk Barat,
sehingga diperoleh ilmu pengetahuan yang islami.[12]
Kuntowidjoyo menawarkan
lima langkah untuk menghilangkan dikotomi ilmu pengetahuan, yaitu: pertama,
memasukkan mata kuliah keislaman sebagai bagian integral dari sistem kurikulum
yang ada. Kedua,
menawarkan berbagai mata kuliah dalam studi keislaman.Ketiga,
memberikan nuansa keagamaan mata kuliah-mata kuliah umum dan
kemudian menigntegrasikannya ke dalam orde dan hirarki keilmuan Islam.Keempat,
mengintegrasikan semua disiplin ilmu dalam satu kerangka kurikulum, yang tentu
saja melalui perombakan kurikulum.[13]
Abdurrahman Wahid,
sebagaimana di tulis Dedy Djamaluddin Malik mengusulkan kerangka pemikiran
dalam mengembangkan kembali tradisi keilmuan dalam Islam, yaitu: pertama,
orientasi ilmu pengetahuan haruslah ditujukan kepada pemenuhan hakiki umat
manusia; kedua,
wawasan ilmiah tradisi keilmuan yang dikembangkan haruslah memiliki liputan
universal; ketiga,
harus dilakukan pembedaan yang tajam antara kepentingan Islam sebagai sebuah
agama dan kepentingan institusional lembaga-lembaga yang berdiri atas nama
agama.[14]
Di samping itu, Amin Abdullah
memberikan solusi dalam menghilangkan dikotomi dalam
sistem pendidikan Islam di Indonesia dalam bentuk Horizon jaring laba-laba
keilmuan Teoantroposentrik-
Integralistik dalam UIN.Hubungan teoantroposentrik-integralistik
horizon keilmuan integralistik sekaligus terampil dalam perikehidupan sektor
tradisional maupun modern karena dikuasai oleh salah satu ilmu dasar dan
keterampilan.Umat Islam mesti terampil menangani dan menganalisis isu- isu yang
menyentuh problem kemanusiaan dan keagamaan di era modern dengan berbagai
pendekatan ilmu seperti natural
science, social science, dan humanities
kontemporer.[15]
3.
KLASIFIKASI
INTEGRALISME PENGETAHUAN DALAM ISLAM
Klasifikasi integralisme pengetahuan
dalam Islam dapat dipahami melalui konsep integrasi itu sendiri.Adapun konsep
integrasi terdiri dari; Pertama, integrasi teologis yang dikembangkan
Ian Barbour.Konsep ini berusaha mencari implikasi teologis atas berbagai teori
ilmiah mutakhir, kemudian satu teologi baru dibangun dengan memperhatikan juga
teologi tradisional sebagai salah satu sumber. Pandangan konseptual teologi
dapat berubah atas nama “belajar dari ilmu”[16]
Teori-teori ilmiah dapat memberikan dampak kuat bagi perumusan doktrin-doktrin
tertentu terutama tentang penciptaan dan sifat manusia. Dalam hal ini, istilah
yang digunakan Barbour adalah theology of nature, untuk membedakannya
dengan istilah natural theology, bahwa klaim eksistensi Tuhan dapat
disimpulkan oleh bukti tentang desain alam.Selain dua model integrasi tersebut,
Barbour juga mendukung konsep integrasi sintesis sistematis, bahwa ilmu
dan agama memberikan kontribusi pada pengembangan metafisika inklusif.[17]
Akan tetapi, pandangan theology of nature Barbour mendapat kritik dari
Huston Smith dan Sayyed Hossein Nasr, karena apabila teologi setiap saat
berubah karena berinteraksi atau belajar dari ilmu, maka akan menimbulkan kesan
bahwa teologi berada di bawah ilmu. Sebagai pendukung filsafat perenial, dua
tokoh ini berpandangan bahwa teologi dalam konsep esoterisnya memiliki
kebenaran yang perenial (abadi).Teologi hendaknya menjadi tolok ukur bagi
teoriteori ilmiah, dan bukan sebaliknya.[18]
Kedua, agama sebagai konfirmasi ilmu yang dikemukakan oleh John F. Haught.Integrasi
yang diinginkan oleh Haught tidak hanya meleburkan ilmu dan agama, serta tidak
hanya bertujuan untuk menghindari konflik, tetapi menempatkan agama sebagai
pendukung seluruh kegiatan ilmiah.Menjawab berbagai pandangan yang menuduh
bahwa ilmulah yang menyebabkan berbagai persoalan dalam kehidupan ini, misalnya
kerusakan lingkungan, Haught justru menyatakan bahwa agama memberikan
“konfirmasi” terhadap perkembangan ilmu.Meskipun agama memberikan konfirmasi,
agama tidak boleh mencampuri bidang nyata karya ilmu karena agama tidak dapat
menambahkan apapun pada daftar penemuan ilmu.Agama tidak memberikan informasi
kepada ilmuwan seperti halnya informasi yang dapat dikumpulkan oleh ilmu itu
sendiri.[19]
Meski
begitu, konsep integrasi yang dikemukakan Haught terkesan belum optimal. Hal
ini karena dalam al-Qur’ân banyak ayat yang mendasari dan menstimulasi penemuan
ilmiah, bahkan menjadi paradigma bagi pengembangan ilmu, seperti:
a.
Beberapa ayat yang memberikan informasi terkait dengan ilmu
kesehatan antara lain:
1)
Surat al-Nah }l [16]: 68 dan 69 mengenai kehidupan lebah yang
menghasilkan madu dan sari buah-buahan yang dapat dijadikan obat bagi manusia.
2)
Surat al-Baqarah [2]: 233 mengenai gizi yang terbaik untuk bayi,
yaitu anjuran menyempurnakan penyusuan bayi hingga dua tahun.
b.
Ayat yang memberikan informasi tentang penciptaan alam semesta
yaitu bahwa alam semesta diciptakan oleh Allah dengan sistem evolusi atau
bertahap, misalnya Q.S. al-Sajdah [32]: 4. Ayat tersebut sebenarnya menunjukkan
bahwa tidak ada pertentangan antara paham kreasionisme dan evolusionisme.
Ketiga, Islamisasi ilmu yang dikembangkan oleh Muhammad Naquib al-Attas
dan Ismaʻil Raji al-Faruqi.Islamisasi ilmu menurut alAttas dimaksudkan sebagai
upaya dewesternisasi ilmu yang telah menyusup dalam seluruh aspek keilmuan.Ilmu
harus dibersihkan dari aspek sekularisme, dengan meletakkan kembali otoritas
wahyu dan intuisi.[20]
Islamisasi ilmu al-Attas dalam konteks
integrasi dapat dikatakan sebagai “integrasi monistik”.Ia menegasikan dualisme
ilmu antara ilmu fard ‘ayn dan fard kifâyah, ilmu ʻaqlîyah dan
ilmu naqlîyah sebagaimana diungkapkan oleh al-Ghazâlî. Setiap ilmu
mempunyai status ontologis yang sama, yang membedakan adalah pada hierarki
ilmu, yaitu tingkat kebenarannya, misalnya naqlîyah memiliki tingkat
kebenaran lebih tinggi daripada ilmu ‘aqlîyah.[21]
Pemikiran al-Attas dan al-Faruqi tentang
islamisasi ilmu ada sedikit perbedaan. Al-Faruqi tampaknya lebih bisa menerima
konstruk ilmu pengetahuan modern, yang penting adalah penguasaan terhadap
prinsip-prinsip Islam sehingga sarjana Muslim dapat membaca dan menafsirkan
konstruk ilmu pengetahuan modern tersebut dengan cara yang berbeda. Sementara
al-Attas lebih menekankan pada autentisitas yang digali dari tradisi lokal.
Dalam pandangan al-Attas, peradaban Islam klasik sudah cukup lama berinteraksi
dengan peradaban lain, sehingga umat Islam sudah memiliki kapasitas untuk
mengembangkan bangunan ilmu pengetahuan sendiri.[22]
Sardar menolak pandangan al-Attas dan
al-Faruqi bahwa salah satu tujuan program Islamisasi ilmu pengetahuan adalah
untuk menetapkan relevansi antara Islam dengan setiap bidang ilmu pengetahuan
modern.Menurutnya, bukan Islam yang perlu direlevankan dengan pengetahuan
modern, melainkan ilmu pengetahuan modern yang harus relevan dengan Islam.[23]
Keempat, pengilmuan Islam yang dikemukakan Kuntowijoyo. Model ini
membalik konsep Islamisasi ilmu yang merupakan gerakan dari konteks ke teks
menjadi gerakan dari teks menuju ke konteks, maksudnya teks al-Qur’ân dan H
}adîth dijadikan sebagai paradigma bagi pengembangan ilmu. Menurutnya, ada dua
metodologi yang dapat dipakai dalam proses pengilmuan Islam, yaitu
integralisasi dan objektivikasi. Integralisasi adalah pengintegrasian kekayaan
keilmuan manusia dengan wahyu (petunjuk Allah dalam al-Qur’ân serta
pelaksanaannya dalam sunnah Nabi). Sedangkan objektivikasi adalah menjadikan
pengilmuan Islam sebagai rahmat untuk semua orang.[24]
Kuntowijoyo menggambarkan alur
pertumbuhan ilmu-ilmu integralistik sebagai berikut:



Penjelasan
terhadap bagan di atas adalah:
1)
Agama. Agama Islam, yang seluruh ajarannya bersumber dari
alQur’ân, merupakan wahyu Tuhan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan,
diri sendiri, lingkungan (fisik, sosial, budaya). Al-Qur’an merupakan petunjuk
etika, kebijaksanaan dan, dalam konteks ini, dapat dijadikan sebagai grand
theory. Wahyu tidak pernah mengklaim sebagai ilmu qua ilmu.
2)
Teoantroposentrisme.
Agama memang mengklaim sebagai sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan.
Agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagai satu-satunya sumber
pengetahuan dan melupakan kecerdasan manusia, atau sebaliknya menganggap
pikiran manusia sebagai satu-satuya sumber pengetahuan dan melupakan Tuhan. Jadi
sumber pengetahuan ada dua macam, yaitu yang berasal dari Tuhan dan yang
berasal dari manusia.
3)
Dediferensiasi. Peradaban
yang disebut Pascamodern/Post-modern perlu ada perubahan. Perubahan itu adalah
dediferensiasi. Kalau diferensiasi menghendaki pemisahan antara agama dan
sektorsektor kehidupan lain, maka dediferensiasi adalah penyatuan kembali agama
dengan sektor-sektor kehidupan lain, termasuk agama dan ilmu.
4)
Ilmu integralistik. Ilmu
yang menyatukan wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia. Ilmu-ilmu integralistik
tidak akan mengucilkan Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia. Diharapkan
integralisme akan sekaligus menyelesaikan konflik antara sekularisme ekstrem
dan agama-agama radikal dalam banyak sektor.[25]
Sementara
itu, M. Amin Abdullah menawarkan konsep “jarring-jaring laba-laba” keilmuan
teoantroposentris-integralistik. Dalam hal ini, Abdullah ingin menunjukkan dua
hal, yaitu: pertama, idealitas yang ingin dicapai dari
teoantroposentris-integralistik yaitu penyatuan seluruh ilmu yang ada di dunia
ini. Kedua, kondisi riil aktivitas keilmuan dari pendidikan agama di
IAIN dan STAIN.
Kenyataannya,
pendidikan agama hanya terfokus pada lingkaran ke-1 (al-Qur’ân dan Sunnah) dan
lingkaran ke-2 (Kalam, Filsafat, Tasawuf, H }adîth, Tarîkh, Fiqh,
Tafsir, Lughah), selain itu pendekatannya masih bersifat humaniora
klasik. IAIN dan STAIN belum mampu memasuki diskusi ilmu-ilmu sosial humaniora
kontemporer seperti tergambar dalam lingkaran ketiga (Antropologi, Sosiologi,
Psikologi, Filsafat, dan lain-lain).Akibatnya, terjadi jurang yang tidak
terjembatani antara ilmu-ilmu keislaman klasik dan ilmuilmu keislaman baru yang
telah memanfaatkan analisis ilmu-ilmu sosial dan humaniora kontemporer.[26]
Berdasarkan
pemaparan di atas, konsep integrasi ilmu agama dan ilmu umum dapat diringkas
dalam tabel sebagai berikut:
Tabel
1.
Konsep
Integrasi Ilmu agama dan ilmu umum
NNo.
|
Tokoh
integrasi
|
Konsep
integrasi
|
11.
|
Ian Barbour
|
Kembangkan
integrasi teologis dengan istilah theology of nature, bahwa klaim
eksistensi Tuhan dapat disimpulkan oleh bukti tentang desain alam
|
2.2
|
John F. Haught
|
Agama sebagai konfirmasi ilmu (agama sebagai pendukung seluruh
upaya kegiatan ilmiah)
|
33.
|
Naquib al-Attas dan
Ismail Raji al-Faruqi |
Islamisasi
ilmu (dari konteks ke teks) dalam konteks integrasi dapat dikatakan
“integrasi monistik”. Ia menegasi dualisme ilmu antara ilmu fard } ‘ayn
dan fard } kifâyah, ilmu aqlîyah dan ilmu naqlîyah
sebagaimana diugkapkan
|
44.
|
Kuntowijoyo
|
Pengilmuan
Islam (dari teks ke konteks), yaitu teks al-Qur’ân dan Hadîth dijadikan
sebagai paradigma bagi pengembangan ilmu. Ada dua metodologi yang dapat
dipakai dalam proses pengilmuan Islam, yaitu integralisasi dan objektivikasi
|
5.5
|
Amin
Abdullah
|
Jaring-jaring
laba-laba keilmuan teoantroposentris integralistik
|
4.
KESIMPULAN
Dari pemaparan
nilai-nilai Islam di atas, terlihat betapa pentingnya nilai-nilai universal itu
diintegasikan ke dalam ilmu pengetahuan umum, karena nilai tersebut sangat
menjaga kemaslahatan manusia, alam dan lingkungan, atau dengan kata lain
nilai-nilai tersebut akan menjadi obor bagi manusia dalam mengembang tugas
sebagai khalifah
dan menuntun manusia dalam menjalankan tujuan hidupnya sebagai ‘abdi.Oleh
karena itu para ilmuwan yang beragama Islam dituntut peran tanggungjawabnya
dalam mengintegrasikan nilai-nilai tersebut ke dalam bidang ilmu pengetahuan
yang ditekuni masing-masing.Sehingga tidak ada lagi anggapan bahwa para
ulama-lah yang notabenenya
yang mempunyai tugas untuk itu, karena mereka diberi tugas mengelola bidang
agama. Di samping itu sangat diharapkan bagi ilmuwan muslim agar selalu
bersifat sosial dan spiritual, dan menolak netralitas ilmu pengetahuan.
Di dalam batasan
nilai-nilai itulah umat Islam bebas mengekspresikan kemauan-kemuannya dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya sejauh mekanisme yang telah digariskan oleh
nilai-nilai tersebut.Dengan mekanisme inilah, peradaban Islam senangtiasa
berubah dan berkembang tetapi tetap mempertahankan karakteristiknya yang unik
dan abadi. Dengan demikian, upaya mengintegasikan nilai-nilai Islam ke dalam
ilmu pengetahuan, merupakan salah satu upaya dari islamisasi pengetahuan yang
dipahami sebagai upaya membangun kembali semangat umat Islam dalam berilmu
pengetahuan, mengembangkannya melalui kebebasan penalaran intelektual dan
kajian rasional-empirik atau semangat pengembangan pengembangan ilmiah yang
merupakan dari sikap istiqamah
terhadap ajaran dan nilai-nilai Islam yang terkandung di dalam Al-Qur’an
dan hadis.
[2]Ahmad M. Saefuddin, et al,
Desekularisasi pemikiran: Landasan Islamsasi (Cet. IV; Bandung:
Mizan Anggota IKAPI, 1998), h. 46.
[3]Maurice Bucaille, The
Quran and Science, disunting oleh Khozin Afandi, Pengetahuan
Modern dalam al-Qur’an (Cet. I; Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), h.
45-46.
[4]Ziauddin Sardar, Jihad
Intelektual; Merumuskan Parameter-parameter Ilmu pengetahuan Islam,
diterjemahkan oleh AE Priyono (Cet. I; Surabaya: Risalah Gusti, 1998), h. 120.
[5]Syed Sajjad Husain dan
Syed Ali As}raf, Crisis
Muslim Eduction, terj. Rahmani Astuti, Menyongsong
Keruntuhan Pendidikan Islam (Cet. V; Bandung: Gema Risalah Press,
1994), h. 79.
[6]Ziauddin Sardar, The
Future of Muslim Civilization, terj. Rahmani Astuti, Rekayasa
Masa Depan Peradaban Muslim (Cet. III; Bandung: Mizan, 1991), h.
280-281.
[7]Abubaker A. Bagader, Islamisasi
Ilmu Pengetahuan” dalam Islam
dan Perspektif Sosisologik (Cet. I; Surabaya: Amarpress, 1991),
h. 12-14.
[10]Abdurrahman Mas'ud, Menggagas Format Pendidikan
Nondikotomik: Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam (Cet. IV; Yogyakarta: Gama Media, 2007), h. 144-153.
[11]Abdurahman Mas’ud, et.al,
Paradigma Pendidikan Islam (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001), h. 103.
[14]Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam:
Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amin Rais, Nusrcholis Madjid,
dan Jalaluddin Rakhmat (Cet. I; Bandung: Zaman Wacana Ilmu, 1998), h. 187.
[15]Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan
Tinggi: Pendekatan Integratif- Interkonektif (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h.106.
[16]Ian G. Barbour, Juru
Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama, terj. E.R. Muhammad, Bandung: Mizan,
2002, hal 82-83.
[18]Zainal
Abidin Bagir, “Bagaimana Mengintegrasikan Ilmu dan Agama?” dalam Jarot Wahyudi
(ed.), Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi (Yogyakarta:
MYIA-CRCS dan Suka Press, 2005), 21.
[19]John
F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama: Dari Konflik ke Dialog, terj.
Fransiskus Borgias (Bandung: Mizan, 2004), 28.
[21]Arqom
Kuswanjono, Integrasi Ilmu dan Agama Perspektif Filsafat Mulla Sadra(Yogyakarta:
Lima, 2010), 74.
[24]Kuntowijoyo,
Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika (Yogyakarta:Tiara
Wacana, 2007), 49.
[26]M.
Amin Abdullah, “Etika Tauhidik sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan
Umum dan Agama: dari Paradigma Positivistik-Sekularistik ke Arah
Teoantroposentrik-Integralistik”, dalam Jarot Wahyudi (ed.), Menyatukan
KembaliIlmu-ilmu Agama dan Umum: Upaya mempertemukan Epistemologi Islam dan
Umum (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2003), 12-13.
No comments:
Post a Comment