Wednesday, November 15, 2017

KLASIFIKASI INTEGRALISME ILMU DALAM ISLAM

KLASIFIKASI INTEGRALISME ILMU DALAM ISLAM
Oleh: Muhammad Yazid
1.        DASAR PEMIKIRAN
Saat ini peradaban umat manusia dalam sisi materi berada dalam puncak kejayaannya.Namun kemajuan peradaban ini lebih banyak dikendalikan oleh Barat, sehingga berimplikasi pada terjadinya penjajahan peradaban Barat atas dunia Islam.Peradaban Islam yang pernah mendominasi dunia, kini tenggelam dikangkangi hegemoni Barat.Kemajuan Barat ini disebabkan oleh penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada sisi lain dunia Islam terjerembab dalam lembah kemunduran dan keterbelakangan, setelah pada beberapa abad sebelumnya mendominasi peradaban dunia. Menghadapi keadaan demikian, perlu dicari akar masalah penyebab terjadinya keadaan ini.Syeikh Muhammad Abduh menyatakan penyebab kemunduran itu disebabkan oleh umatnya.“Al Islaamumakhjuubun bil muslimiin”.Islam tertutup oleh umat Islam sendiri.[1]Umat Islam tertinggal karena adanya perpecahan, perebutan kekuasaan dan meninggalkan ajaran-ajaran agamanya yang berimplikasi pada ketertinggalan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pada sisi lain muncul kesadaran di kalangan umat Islam maupun umat manusia pada umumnya, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini membawa implikasi negatif, munculnya krisis yang sifatnya global. Ilmu pengetahuan dan teknologi pada satu sisi hanya memberi kebahagian semu, dan pada sisi lain memberi kontribusi bagi munculnya krisis ekologi, krisis kemanusiaan dan kondisi dunia yang tidak nyaman. Untuk itu muncul kesadaran untuk melakukan rekonstruksi ilmu pengetahauan melalui proyek besar Integralisme pengetahuan dalam Islam.Penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh Integralisme pengetahuan dalam Islam. Dalam hal ini akan dikaji tentang pemaknaan integralisme dalam Islam, pendekatan Integralisme dalam Islam, dan Klasifikasi Integralisme dalam Islam.
2.                   PENGERTIANINTEGRALISME ISLAM
Integralisme adalah filsafat Islam modern berdasarkan ayat-ayat Allah (al-Quran dan alam), untuk memehami Islam secara baru, sehingga dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dunia dewasa ini.bermula dari tampilnya humanisme di Eropa, yang ditandai dengan adanya renaissance, yakni kerinduan akan nilai-nilai budaya-leluhur Yunani dan Romawi, yang kering nilai-nilai spiritual. Lewat corong renaissance, humanisme mempromosikan supremasi kemanusiaan melebihi batas-batas fitrah manusia itu sendiri. Manusia memahami alam hanya sebatas jangkauan akalnya. Humanisme telah mewarnai cara berpikir manusia modern dan telah sengaja diciptakan untuk menyeret manusia kepada formalitas kehidupan. Padahal humanisme ini, telah lama terperangkap dengan dengan dogma-dogma materialis yang hanya menjadi paradoks bagi manusia dan begitu rumit mencari solusi penyelesaiannya. Di mana manusia sangat mendewakan kekuatan rasionya tanpa memberikan ruang sedikitpun kepada nilai-nilai transenden dalam mempengaruhi Roger Bacon yaitu orang yang dipandang Barat sebagai ”Bapak” dari metode eksprimental di dalam ilmu pengetahuan mengakui bahwa kerja ilmiahnya mengambil dari karya terjemah buku optik karangan seorang muslim yakni Ibn Haitham, dengan memisahkan nilai-nilai Islam dengan ilmu eksperimental.
Demikian juga Rene Descartes yang menyatakan dengan tegas bahwa seseorang haras memisahkan masalah-masalah moral dan iman dari wilayah rasio, [2] tujuan hidup dan masalah-masalah yang transenden tidak perlu di masuki oleh akal. Pola pemikiran ini melahirkan paham positivism Aguste Comte, yakni menolak keberadaan sesuatu yang transenden yang tidak bisa dibuktikan secara empirik dengan indera atau tidak dapat diukur dengan matematika, menjadi kerangka kerja yang menamakan dirinya ”ilmu modem” atau ”ilmu Barat”.[3] Pola pemikiran demikian telah membuat manusia modern menjadi sombong dengan cara berpikir ”positif-nya”. Sehingga hanya yang eksperimental sajalah yang dikatakan ilmiah.Perasaan, intuisi, bahkan wahyu dikategorikan sebagai gejala psikologis yang bersifat subjektif saja, dan dianggap tidak ilmiah.
Dari pandangan hidup yang formalitas ini, dapat menimbulkan sikap individualitas dalam kehidupan bermasyarakat.Hal ini menjauhkan manusia dari esensi dan eksistensinya.Sehingga lahirlah dikotomi di berbagai sektor kehidupan, termasuk dikotomi ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan.
Padahal Islam merupakan ajaran yang utuh dan tidak ada pemisahan antara yang sakral dan yang profan, yang sekular dan yang religius.Sedangkan ilmu pengetahuan Barat—yang merupakan acuan ilmu pengetahuan yang membawa kemajuan—secara khusus bersifat sekular dan merusak nilai-nilai dasar Islam serta berlawanan dengan kesadaran historis terdalam dari komunitas umat.[4]
Oleh karena itu, ilmu pengetahuan yang operasional sangat dibutuhkan untuk membangun sebuah peradaban—khususnya peradaban Islam.Ilmu pengetahuan haras sarat dengan nilai-nilai Islam yang abadi. Tanpa hal itu, umat Islam selamanya terus menjadi konsumen dari produk peradaban Barat dan terns mengekor pada setiap kemajuan yang ditampilkan oleh Barat tanpa memperhatikan latar belakang budaya, norma dan nilai yang berbeda. Sehingga mustahil peradaban Islam yang selalu dinanti-nantikan akan muncul kembali kepermukaan sebagaimana pada masa keemasannya.
Islam merupakan agama yang sempurna dan suatu sistem total, maka nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, haras meliputi setiap aspek kehidupan manusia.Sehingga tidak satupun lepas dari sentuhan nilai-nilai Islam. Apakah itu struktur politik atau organisasi sosial, kegiatan ekonomi atau kurikulum pendidikan, proses pembelajaran, penyelidikan ilmiah maupun penguasaan teknologi. Nilai-nilai akan memberikan ukuran dan batasan bagi masyarakat muslim, dan sekaligus petunjuk bagi peradaban Islam. Disinilah perlunya mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam ilmu pengetahuan umum, sehingga lahirlah ilmu pengetahuan utuh yang sarat dengan nilai-nilai religius yang memberikan kemudahan, manfaat dan ketenangan bagi manusia dan lingkungan sekitarnya.
Kesadaran umat Islam akan ketertinggalannya dibidang ilmu dan teknologi dibanding Barat, membuat umat Islam bangkit dan menyusul ketertinggalannya dengan merombak pola pikir yang selama ini membawa kebekuan dengan melalui kebebasan penalaran intelektual, dan kajian- kajian rasional-empirik, filosofis dengan tetap menjurus kepada kandungan al-Qur’an dan hadis, serta menggelar berbagai diskusi untuk mencari format ideal bagi pendidikan Islam.
Pada tahun 1977, konferensi muslim dunia pertama mengenai pendidikan Islam, mengajukan salah satu usaha untuk menghilangkan dikotomi sitem pendidikan yang ada di seluruh dunia muslim. Diputuskan bahwa jalan yang haras ditempuh adalah perlu segera dirumuskan sistem terpadu bidang keilmuan.Semua cabang ilmu haras diintegrasikan dengan ajaran-ajaran Islam, karena pendidikan Barat dianggap hanya dapat mengembangkan peradaban materialistik belaka.[5]
Ziauddin Sardar memberikan solusi dalam merumuskan konsep sains Islam yakni, pertama, dari segi epistemologi, umat Islam haras berani mengembangkan kerangka pengetahuan masa kini yang terartikulasi sepenuhnya. Kerangka pengetahuan yang dikembangkan dapat membantu mengatasi masalah-masalah moral dan etika; kedua, perlu ada gaya-gaya dan metode-metode aktivitas ilmiah dan teknologi yang sesuai tinjauan dunia, tetapi islami; ketiga, perlu ada teori sistem pendidikan yang memadukan ciri-ciri terbaik sistem tradisional dan sistem modern(integralistik).[6]
Selanjutnya Isma‘il Raji al-Faruqi memberikan solusi bahwa islamisasi ilmu pengetahuan merupakan salah satu langkah untuk menghilangkan dikotomi dalam pendidikan. Langkah yang dimaksud ialah: pertama, semua kajian baik yang berkaitan dengan manusia maupun alam, agama maupun sains, haras menata kembali dirinya berdasarkanprinsip- prinsip tauhid; kedua, ilmu-imu yang mengkaji tentang hubungan dengan sesama manusia haras mengenali manusia bahwa manusia berada pada tempat yang secara metafisik dan aksiologik dikuasai Allah swt.; ketiga, ilmu-ilmu humaniora hendaknya tidak diintimidasi oleh ilmu-ilmu fisika, karena keduanya memiliki metode yang sama, yang berbeda hanya objek kajiannya; dan keempat, islmisasi ilmu pengetahuan haras menunjukkanketerkaitan antara relitas yang dikaji dengan aspek ilahiah.[7]
Selanjutnya, keempat langkah tersebut dijabarkan lebih lanjut menjadi dua belas langkah yang haras ditempuh, yaitu: pertama, penguasaan terhadap disiplin-disiplin modern. Hal ini dimaksudkan bahwa untuk dapat menguasai suatu disiplin, harus dikuasai metodologi, obyek kajiannya, dan sebagainya.Kedua, Survei disipliner, dimaksudkan agar sarjana-sarjana muslim mampu menguasai disiplin ilmu modern. Ketiga, penguasaan terhadap khazanah Islam dengan membuat antologi-antologi warisan pemikiran Islam yang berkaitan dengan disiplin ilmu.Keempat, penguasaan terhadap khazanah Islam untuk tahap analisa dari perspektif masalah-masalah kekinian.Kelima, penentuan relevansi spesifik untuk setiap disiplin ilmu.Keenam, penilaian kritis terhadap disiplin modern dari titik pijak Islam. Ketujuh, penilaian kritis terhadap khazanah Islam untuk kemudian dirumuskan relevansi kontemporernya. Kedelapan, Survei problem yang dihadapi umat Islam dalam dimensi politik, ekonomi, intelektual, kultur, dan sebagainya. Kesembilan, survei masalah-masalah umat manusia. Kesepuluh, analisa kreatif dan sintesa, sarjana-sarjana muslim siap melakukan sintesa dalam rangka menjembatani jurang kejumudan yang berabad-abad. Kesebelas, merumuskan kembali disiplin- disiplin di dalam kerangka Islam. Kedua belas, Penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diislamisasikan.[8]
Langkah yang diajukan al-Faruqi tersebut tampaknya sangat sederhana, tetapi memiliki pandangan yang komprehensif terhadap proses islamisasi pengetahuan, atau lebih tepat dikatakan sebagai ilmuisasi Islam. Oleh karena itu, dalam rangka islamisasi ilmu pengetahuan itu, pengintegrasian ilmu-ilmu agama dengan ilmu umum mesti dilakukan.Pengintegrasian itu sendiri menurut Abubaker A. Bagader tergantung pada dua prinsip.Pertama, para peneliti muslim haras merancang kajian sosial dari perspektif Islam. Kedua, kajian Islam sebagai displin haras dintegrasikan dengan pesoalan-persoalan sosial untuk memecahkan masalah sekularisasi pendidikan.[9]
Dalam konteks ke-Indonesiaan, upaya integralisasi ilmu pengetahuan juga terns diupayakan. Abdurrahman Mas'ud menawarkan humanisme religius sebagai sebuah paradigma dalam rangka menghilangkan dikotomi dalam sistem pendidikan Islam dengan beberapa alasan, yaitu: pertama, keberagamaan yang cenderung menekankan hubungan vertikal dan kesemarakan ritual. Implikasi dari keberagamaan yang sering ditampilkan adalah lebih mengutamakan kesalehan ritual daripada kesalehan sosial. Hal ini pada gilirannya berimplikasi pada relitas social yang dihiasi dengan budaya ritualistik, kaya kultur yang bernuansa agama, tetapi miskin dalam nilai-nilai spiritual yang berpihak pada kemanusiaan. Kedua, kesalehan sosial masih jauh dari orientasi masyarakat. Kesalehan yang merupakan output pendidikan Islam, sering tidak memenuhi kebutuhan masyarakat. Masyarakat membutuhkan output yang saleh dalam spiritual, cerdas dalam intelektual, dan peka dalam sosial (insan ka>mil). Ketiga, Potensi peserta didik belum dikembangkan secara proporsional, pendidikan belum berorientasi pada pengembangan sumber daya manusia (undevelopment- resources). Pendidikan di Indonesia masih teacher-oriented, kendatipun paradigma tersebut sudah dirubah melalui perubahan kurikulum seperti Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), kemudian disempurnakan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), tetapi belum didukung oleh sarana yang memadai, sehingga penerapan kurikulum tersebut belum maksimal. Keempat, dunia pendidikan di Indonesia belum mampu melahirkan output yang mandiri dan bertanggung jawab. Kemandirian dan tanggung jawab pribadi peserta didik belum dapat dibentuk, boleh jadikarena alasan geofisik atau adapt ketimuran yang masih mendidik anak dengan memanjakannya.[10]
Di samping itu, Shodiq Abdullah mengajukan solusi mengatasi dikotomi ilmu dalam pendidikan Islam adalah dengan rekonsiliasi epistemologi agar rumusan sistem pendidikan Islam lebih fungsional dan marketable di masa depan.[11]Jika hal ini tidak dilakukan, maka sistem pendidikan Islam tidak akan mampu menghadapi perubahan dan menjadi counter ideas terhadap globalisasi kebudayaan. Hal lain yang dilakukan dalam menghilangkan dikotomi terhadap pendidikan Islam adalah dengan mengintegrasikan antara ilmu agama dengan ilmu umum, dengan mengislamkan atau melakukan purifikasi (penyucian) terhadap ilmu pengetahuan produk Barat, sehingga diperoleh ilmu pengetahuan yang islami.[12]
Kuntowidjoyo menawarkan lima langkah untuk menghilangkan dikotomi ilmu pengetahuan, yaitu: pertama, memasukkan mata kuliah keislaman sebagai bagian integral dari sistem kurikulum yang ada. Kedua, menawarkan berbagai mata kuliah dalam studi keislaman.Ketiga, memberikan nuansa keagamaan mata kuliah-mata kuliah umum dan kemudian menigntegrasikannya ke dalam orde dan hirarki keilmuan Islam.Keempat, mengintegrasikan semua disiplin ilmu dalam satu kerangka kurikulum, yang tentu saja melalui perombakan kurikulum.[13]
Abdurrahman Wahid, sebagaimana di tulis Dedy Djamaluddin Malik mengusulkan kerangka pemikiran dalam mengembangkan kembali tradisi keilmuan dalam Islam, yaitu: pertama, orientasi ilmu pengetahuan haruslah ditujukan kepada pemenuhan hakiki umat manusia; kedua, wawasan ilmiah tradisi keilmuan yang dikembangkan haruslah memiliki liputan universal; ketiga, harus dilakukan pembedaan yang tajam antara kepentingan Islam sebagai sebuah agama dan kepentingan institusional lembaga-lembaga yang berdiri atas nama agama.[14]
Di samping itu, Amin Abdullah memberikan solusi dalam menghilangkan dikotomi dalam sistem pendidikan Islam di Indonesia dalam bentuk Horizon jaring laba-laba keilmuan Teoantroposentrik- Integralistik dalam UIN.Hubungan teoantroposentrik-integralistik horizon keilmuan integralistik sekaligus terampil dalam perikehidupan sektor tradisional maupun modern karena dikuasai oleh salah satu ilmu dasar dan keterampilan.Umat Islam mesti terampil menangani dan menganalisis isu- isu yang menyentuh problem kemanusiaan dan keagamaan di era modern dengan berbagai pendekatan ilmu seperti natural science, social science, dan humanities kontemporer.[15]

3.              KLASIFIKASI INTEGRALISME PENGETAHUAN DALAM ISLAM
Klasifikasi integralisme pengetahuan dalam Islam dapat dipahami melalui konsep integrasi itu sendiri.Adapun konsep integrasi terdiri dari; Pertama, integrasi teologis yang dikembangkan Ian Barbour.Konsep ini berusaha mencari implikasi teologis atas berbagai teori ilmiah mutakhir, kemudian satu teologi baru dibangun dengan memperhatikan juga teologi tradisional sebagai salah satu sumber. Pandangan konseptual teologi dapat berubah atas nama “belajar dari ilmu”[16] Teori-teori ilmiah dapat memberikan dampak kuat bagi perumusan doktrin-doktrin tertentu terutama tentang penciptaan dan sifat manusia. Dalam hal ini, istilah yang digunakan Barbour adalah theology of nature, untuk membedakannya dengan istilah natural theology, bahwa klaim eksistensi Tuhan dapat disimpulkan oleh bukti tentang desain alam.Selain dua model integrasi tersebut, Barbour juga mendukung konsep integrasi sintesis sistematis, bahwa ilmu dan agama memberikan kontribusi pada pengembangan metafisika inklusif.[17] Akan tetapi, pandangan theology of nature Barbour mendapat kritik dari Huston Smith dan Sayyed Hossein Nasr, karena apabila teologi setiap saat berubah karena berinteraksi atau belajar dari ilmu, maka akan menimbulkan kesan bahwa teologi berada di bawah ilmu. Sebagai pendukung filsafat perenial, dua tokoh ini berpandangan bahwa teologi dalam konsep esoterisnya memiliki kebenaran yang perenial (abadi).Teologi hendaknya menjadi tolok ukur bagi teoriteori ilmiah, dan bukan sebaliknya.[18]
Kedua, agama sebagai konfirmasi ilmu yang dikemukakan oleh John F. Haught.Integrasi yang diinginkan oleh Haught tidak hanya meleburkan ilmu dan agama, serta tidak hanya bertujuan untuk menghindari konflik, tetapi menempatkan agama sebagai pendukung seluruh kegiatan ilmiah.Menjawab berbagai pandangan yang menuduh bahwa ilmulah yang menyebabkan berbagai persoalan dalam kehidupan ini, misalnya kerusakan lingkungan, Haught justru menyatakan bahwa agama memberikan “konfirmasi” terhadap perkembangan ilmu.Meskipun agama memberikan konfirmasi, agama tidak boleh mencampuri bidang nyata karya ilmu karena agama tidak dapat menambahkan apapun pada daftar penemuan ilmu.Agama tidak memberikan informasi kepada ilmuwan seperti halnya informasi yang dapat dikumpulkan oleh ilmu itu sendiri.[19]
Meski begitu, konsep integrasi yang dikemukakan Haught terkesan belum optimal. Hal ini karena dalam al-Qur’ân banyak ayat yang mendasari dan menstimulasi penemuan ilmiah, bahkan menjadi paradigma bagi pengembangan ilmu, seperti:
a.         Beberapa ayat yang memberikan informasi terkait dengan ilmu kesehatan antara lain:
1)                 Surat al-Nah }l [16]: 68 dan 69 mengenai kehidupan lebah yang menghasilkan madu dan sari buah-buahan yang dapat dijadikan obat bagi manusia.
2)                 Surat al-Baqarah [2]: 233 mengenai gizi yang terbaik untuk bayi, yaitu anjuran menyempurnakan penyusuan bayi hingga dua tahun.
b.        Ayat yang memberikan informasi tentang penciptaan alam semesta yaitu bahwa alam semesta diciptakan oleh Allah dengan sistem evolusi atau bertahap, misalnya Q.S. al-Sajdah [32]: 4. Ayat tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa tidak ada pertentangan antara paham kreasionisme dan evolusionisme.
Ketiga, Islamisasi ilmu yang dikembangkan oleh Muhammad Naquib al-Attas dan Ismaʻil Raji al-Faruqi.Islamisasi ilmu menurut alAttas dimaksudkan sebagai upaya dewesternisasi ilmu yang telah menyusup dalam seluruh aspek keilmuan.Ilmu harus dibersihkan dari aspek sekularisme, dengan meletakkan kembali otoritas wahyu dan intuisi.[20]
Islamisasi ilmu al-Attas dalam konteks integrasi dapat dikatakan sebagai “integrasi monistik”.Ia menegasikan dualisme ilmu antara ilmu fard ‘ayn dan fard kifâyah, ilmu ʻaqlîyah dan ilmu naqlîyah sebagaimana diungkapkan oleh al-Ghazâlî. Setiap ilmu mempunyai status ontologis yang sama, yang membedakan adalah pada hierarki ilmu, yaitu tingkat kebenarannya, misalnya naqlîyah memiliki tingkat kebenaran lebih tinggi daripada ilmu ‘aqlîyah.[21]
Pemikiran al-Attas dan al-Faruqi tentang islamisasi ilmu ada sedikit perbedaan. Al-Faruqi tampaknya lebih bisa menerima konstruk ilmu pengetahuan modern, yang penting adalah penguasaan terhadap prinsip-prinsip Islam sehingga sarjana Muslim dapat membaca dan menafsirkan konstruk ilmu pengetahuan modern tersebut dengan cara yang berbeda. Sementara al-Attas lebih menekankan pada autentisitas yang digali dari tradisi lokal. Dalam pandangan al-Attas, peradaban Islam klasik sudah cukup lama berinteraksi dengan peradaban lain, sehingga umat Islam sudah memiliki kapasitas untuk mengembangkan bangunan ilmu pengetahuan sendiri.[22]
Sardar menolak pandangan al-Attas dan al-Faruqi bahwa salah satu tujuan program Islamisasi ilmu pengetahuan adalah untuk menetapkan relevansi antara Islam dengan setiap bidang ilmu pengetahuan modern.Menurutnya, bukan Islam yang perlu direlevankan dengan pengetahuan modern, melainkan ilmu pengetahuan modern yang harus relevan dengan Islam.[23]
Keempat, pengilmuan Islam yang dikemukakan Kuntowijoyo. Model ini membalik konsep Islamisasi ilmu yang merupakan gerakan dari konteks ke teks menjadi gerakan dari teks menuju ke konteks, maksudnya teks al-Qur’ân dan H }adîth dijadikan sebagai paradigma bagi pengembangan ilmu. Menurutnya, ada dua metodologi yang dapat dipakai dalam proses pengilmuan Islam, yaitu integralisasi dan objektivikasi. Integralisasi adalah pengintegrasian kekayaan keilmuan manusia dengan wahyu (petunjuk Allah dalam al-Qur’ân serta pelaksanaannya dalam sunnah Nabi). Sedangkan objektivikasi adalah menjadikan pengilmuan Islam sebagai rahmat untuk semua orang.[24]
Kuntowijoyo menggambarkan alur pertumbuhan ilmu-ilmu integralistik sebagai berikut:
Agama                  Teoantroposentrisme    Dediferensiasi Ilmu Integralistik
Penjelasan terhadap bagan di atas adalah:
1)    Agama. Agama Islam, yang seluruh ajarannya bersumber dari alQur’ân, merupakan wahyu Tuhan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, lingkungan (fisik, sosial, budaya). Al-Qur’an merupakan petunjuk etika, kebijaksanaan dan, dalam konteks ini, dapat dijadikan sebagai grand theory. Wahyu tidak pernah mengklaim sebagai ilmu qua ilmu.
2)    Teoantroposentrisme. Agama memang mengklaim sebagai sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan. Agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan melupakan kecerdasan manusia, atau sebaliknya menganggap pikiran manusia sebagai satu-satuya sumber pengetahuan dan melupakan Tuhan. Jadi sumber pengetahuan ada dua macam, yaitu yang berasal dari Tuhan dan yang berasal dari manusia.
3)    Dediferensiasi. Peradaban yang disebut Pascamodern/Post-modern perlu ada perubahan. Perubahan itu adalah dediferensiasi. Kalau diferensiasi menghendaki pemisahan antara agama dan sektorsektor kehidupan lain, maka dediferensiasi adalah penyatuan kembali agama dengan sektor-sektor kehidupan lain, termasuk agama dan ilmu.
4)    Ilmu integralistik. Ilmu yang menyatukan wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia. Ilmu-ilmu integralistik tidak akan mengucilkan Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia. Diharapkan integralisme akan sekaligus menyelesaikan konflik antara sekularisme ekstrem dan agama-agama radikal dalam banyak sektor.[25]
Sementara itu, M. Amin Abdullah menawarkan konsep “jarring-jaring laba-laba” keilmuan teoantroposentris-integralistik. Dalam hal ini, Abdullah ingin menunjukkan dua hal, yaitu: pertama, idealitas yang ingin dicapai dari teoantroposentris-integralistik yaitu penyatuan seluruh ilmu yang ada di dunia ini. Kedua, kondisi riil aktivitas keilmuan dari pendidikan agama di IAIN dan STAIN.
Kenyataannya, pendidikan agama hanya terfokus pada lingkaran ke-1 (al-Qur’ân dan Sunnah) dan lingkaran ke-2 (Kalam, Filsafat, Tasawuf, H }adîth, Tarîkh, Fiqh, Tafsir, Lughah), selain itu pendekatannya masih bersifat humaniora klasik. IAIN dan STAIN belum mampu memasuki diskusi ilmu-ilmu sosial humaniora kontemporer seperti tergambar dalam lingkaran ketiga (Antropologi, Sosiologi, Psikologi, Filsafat, dan lain-lain).Akibatnya, terjadi jurang yang tidak terjembatani antara ilmu-ilmu keislaman klasik dan ilmuilmu keislaman baru yang telah memanfaatkan analisis ilmu-ilmu sosial dan humaniora kontemporer.[26]
Berdasarkan pemaparan di atas, konsep integrasi ilmu agama dan ilmu umum dapat diringkas dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 1.
Konsep Integrasi Ilmu agama dan ilmu umum
NNo.
Tokoh integrasi
Konsep integrasi
11.
Ian Barbour
Kembangkan integrasi teologis dengan istilah theology of nature, bahwa klaim eksistensi Tuhan dapat disimpulkan oleh bukti tentang desain alam
2.2
John F. Haught
Agama sebagai konfirmasi ilmu (agama sebagai pendukung seluruh upaya kegiatan ilmiah)
33.
Naquib al-Attas dan
Ismail Raji al-Faruqi
Islamisasi ilmu (dari konteks ke teks) dalam konteks integrasi dapat dikatakan “integrasi monistik”. Ia menegasi dualisme ilmu antara ilmu fard } ‘ayn dan fard } kifâyah, ilmu aqlîyah dan ilmu naqlîyah sebagaimana diugkapkan
44.
Kuntowijoyo
Pengilmuan Islam (dari teks ke konteks), yaitu teks al-Qur’ân dan Hadîth dijadikan sebagai paradigma bagi pengembangan ilmu. Ada dua metodologi yang dapat dipakai dalam proses pengilmuan Islam, yaitu integralisasi dan objektivikasi
5.5
Amin Abdullah
Jaring-jaring laba-laba keilmuan teoantroposentris integralistik

4.        KESIMPULAN
Dari pemaparan nilai-nilai Islam di atas, terlihat betapa pentingnya nilai-nilai universal itu diintegasikan ke dalam ilmu pengetahuan umum, karena nilai tersebut sangat menjaga kemaslahatan manusia, alam dan lingkungan, atau dengan kata lain nilai-nilai tersebut akan menjadi obor bagi manusia dalam mengembang tugas sebagai khalifah dan menuntun manusia dalam menjalankan tujuan hidupnya sebagai ‘abdi.Oleh karena itu para ilmuwan yang beragama Islam dituntut peran tanggungjawabnya dalam mengintegrasikan nilai-nilai tersebut ke dalam bidang ilmu pengetahuan yang ditekuni masing-masing.Sehingga tidak ada lagi anggapan bahwa para ulama-lah yang notabenenya yang mempunyai tugas untuk itu, karena mereka diberi tugas mengelola bidang agama. Di samping itu sangat diharapkan bagi ilmuwan muslim agar selalu bersifat sosial dan spiritual, dan menolak netralitas ilmu pengetahuan.
Di dalam batasan nilai-nilai itulah umat Islam bebas mengekspresikan kemauan-kemuannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sejauh mekanisme yang telah digariskan oleh nilai-nilai tersebut.Dengan mekanisme inilah, peradaban Islam senangtiasa berubah dan berkembang tetapi tetap mempertahankan karakteristiknya yang unik dan abadi. Dengan demikian, upaya mengintegasikan nilai-nilai Islam ke dalam ilmu pengetahuan, merupakan salah satu upaya dari islamisasi pengetahuan yang dipahami sebagai upaya membangun kembali semangat umat Islam dalam berilmu pengetahuan, mengembangkannya melalui kebebasan penalaran intelektual dan kajian rasional-empirik atau semangat pengembangan pengembangan ilmiah yang merupakan dari sikap istiqamah terhadap ajaran dan nilai-nilai Islam yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan hadis.


[1]M. Natsir, Dunia Islam dari Masa ke Masa. Bandung;Pustaka1981.hal.8
[2]Ahmad M. Saefuddin, et al, Desekularisasi pemikiran: Landasan Islamsasi (Cet. IV; Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1998), h. 46.
[3]Maurice Bucaille, The Quran and Science, disunting oleh Khozin Afandi, Pengetahuan Modern dalam al-Qur’an (Cet. I; Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), h. 45-46.
[4]Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual; Merumuskan Parameter-parameter Ilmu pengetahuan Islam, diterjemahkan oleh AE Priyono (Cet. I; Surabaya: Risalah Gusti, 1998), h. 120.
[5]Syed Sajjad Husain dan Syed Ali As}raf, Crisis Muslim Eduction, terj. Rahmani Astuti, Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam (Cet. V; Bandung: Gema Risalah Press, 1994), h. 79.
[6]Ziauddin Sardar, The Future of Muslim Civilization, terj. Rahmani Astuti, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim (Cet. III; Bandung: Mizan, 1991), h. 280-281.
[7]Abubaker A. Bagader, Islamisasi Ilmu Pengetahuan” dalam Islam dan Perspektif Sosisologik (Cet. I; Surabaya: Amarpress, 1991), h. 12-14.
[8] Ibid, h. 16
[9]Ibid., h. 28.
[10]Abdurrahman Mas'ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam (Cet. IV; Yogyakarta: Gama Media, 2007), h. 144-153.
[11]Abdurahman Mas’ud, et.al, Paradigma Pendidikan Islam (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 103.
[12]Abuddin Nata, op.cit., h. 154.
[13]Kuntowidjoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Cet. I ; Bandung: Mizan, 2008), h. 284.
[14]Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amin Rais, Nusrcholis Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat (Cet. I; Bandung: Zaman Wacana Ilmu, 1998), h. 187.
[15]Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif- Interkonektif (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h.106.
[16]Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama, terj. E.R. Muhammad, Bandung: Mizan, 2002, hal 82-83.
[17]Ibid., 95.
[18]Zainal Abidin Bagir, “Bagaimana Mengintegrasikan Ilmu dan Agama?” dalam Jarot Wahyudi (ed.), Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi (Yogyakarta: MYIA-CRCS dan Suka Press, 2005), 21.
[19]John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama: Dari Konflik ke Dialog, terj. Fransiskus Borgias (Bandung: Mizan, 2004), 28.
[20]Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme (Bandung: Pustaka,1981), 148.
[21]Arqom Kuswanjono, Integrasi Ilmu dan Agama Perspektif Filsafat Mulla Sadra(Yogyakarta: Lima, 2010), 74.
[22]al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, 98-115.
[23]Ziauddin Sardar, Islamic Future (Malaysia: Selangor Darul Ehsan, 1988), 101.
[24]Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika (Yogyakarta:Tiara Wacana, 2007), 49.
[25]Ibid hal. 51-56.
[26]M. Amin Abdullah, “Etika Tauhidik sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama: dari Paradigma Positivistik-Sekularistik ke Arah Teoantroposentrik-Integralistik”, dalam Jarot Wahyudi (ed.), Menyatukan KembaliIlmu-ilmu Agama dan Umum: Upaya mempertemukan Epistemologi Islam dan Umum (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2003), 12-13.

No comments:

Post a Comment