STRATEGI
DAN METODE PENGEMBANGAN ILMU
EMPIRICO-DEDUKTIF
(F. BACON) DAN DEDUKTIF-FALSIFIKATIF (K. POPPER)
Ni’matul
Ulfa
Magister
Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana
Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
A. Latar Belakang Masalah
Dalam sejarah perkembangan filsafat sejak zaman pra-Yunani hingga abad XX
sekarang ini, telah banyak aliran filsafat yang bermunculan, setiap aliran
filsafat itu memiliki kekkhasan masing-masing, sesuai dengan metode yang
dijalankan dalam rangka memperoleh kebenaran, kecenderungan setiap aliran
filsafat dalam mencanangkan metodenya masing-masing sebagai satu-satunya cara
yang paling tepat untuk berfilsafat, menimbulkan pertentangan yang sengit di
antara para penganut berbagai aliran filsafat tersebut.
Filsafat, secara etimologis berasal dari bahasa Yunani Philosophia.
Kata philosophia merupakan kata majemuk yang terdiri dari dua kata yaitu
Philos dan Sophia. Jika kata Philos berarti cinta, maka kata
Sophia berarti kebijaksanaan, kearifan, dan bisa juga berarti pengetahuan.
Jadi, secara harfiah, filsafat berarti mencintai. Filsafat ilmu
tidaklah ditujukan untuk mendidik seseorang menjadi ahli dalam filsafat ilmu
melainkan pengetahuan pelengkap bagi pendidikan keilmuan dalam berbagai
disiplin ilmu. Tugas filsuf menurut Hans Albert adalah memperjelas masalah,
yang mencakup membuat cerah, dan pantang lelah menyingkirkan teori-teori,
prasangka-prasangka, dan pendapat-pendapat salah yang sudah terbantah. Filsafat
ilmu memberikan kerangka dasar berpikir dalam mengolah ilmu agar proses dan
produk keilmuan yang dihasilkan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah moral,
etika dan kesusilaan. Untuk itu penulis akan membahas lebih lanjut mengenai
kerangka dasar teori Ilmu pengetahuan yang meliputi Empirico-Deduktif,
Dedukto-Falsifikatif, Daur Imbas-Jabar-Tasdik
(Siklus-indukto-dedukto-validatif), Lompatan Paradigmatik: (Paradigma
Khun) dan Paradigma Merton.
B. Empirico-Deduktif (Francis Bacon)
1.
Biografi Francis Bacon
Bacon
lahir di London tahun 1561, Tokoh terkemuka dalam
filsafat alam dan metodologi ilmiah dalam periode transisi antara Renaissance
ke era awal modern. Sebagai seorang ahli hukum, anggota Parlemen dan Penasehat
Ratu, Bacon menulis banyak pertanyaan dalam bidang hukum, kenegaraan dan agama
sebagaimana dalam politik kontemporer, tetapi ia juga mempublikasikan teks-teks
yang dispekulasi sebagai konsep-konsep kemasyarakatan yang mungkin terjadi, dan
ia merenungkan pertanyaan-pertanyaan tentang etika (buku Essays) meskipun
bidangnya adalah filsafat alam (The Advancement of Learning).
Setelah studinya di Trinity
College, Cambridge and Gray’s Inn, London, Bacon tidak melanjutkan lagi ke
pasca sarjana, melainkan memulai karir di bidang politik. Meskipun usahanya
tidak dianugerahi keberhasilan selama pemerintahan Ratu Elizabeth, di bawah James
I ia menanjak ke jenjang politik tertinggi, sebagai Lord Chancellor. Bacon
termasyur secara internasional dan berpengaruh luas pada masa-masa akhirnya,
saat ia mampu memfokuskan energinya pada bidang filsafat, dan bahkan setelah
kematiannya, ketika ilmuwan Inggris Boyle (Invisible College) mengambil idenya
tentang lembaga riset koperatif dalam rencana dan persiapan-persiapan mereka
untuk memapankan Masyarakat Kerajaan. Sampai saat ini Bacon
sangat dikenal akan teorinya tentang filsafat alam empiris (The Advancement of
Learning, Novum Organum Scientiarum) dan atas doktrinnya tentang idola-idola,
yang dikemukakan di bagian awal dari tulisannya, sebagaimana gagasan tentang
sebuah lembaga riset modern yang dijelaskan dalam Nova Atlantis.
2. Pengertian
a. Empirico
Secara
epistimologi, istilah empirisme barasal dari kata Yunani yaitu emperia yang
artinya pengalaman. Tokoh-tokohnya yaitu Thomas Hobbes, Jhon Locke, Berkeley,
dan yang terpenting adalah David Hume. Berbeda dengan
rasionalisme yang memberikan kedudukan bagi rasio sebagai sumber pengetahuan,
maka empirisme memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan, baik
pengalaman lahiriyah maupun pengalaman batiniyah.
Thomas Hobbes
menganggap bahwa pengalaman inderawi sebagai permulaan segala pengenalan.
Pengenalan intelektual tidak lain dari semacam perhitungan (kalkulus), yaitu
penggabungan data-data inderawi yang sama, dengan cara yang berlainan. Dunia dan materi adalah objek pengenalan yang
merupakan sistem materi dan merupakan suatu proses yang berlangsung tanpa
hentinya atas dasar hukum mekanisme. Atas pandangan ini, ajaran Hobbes
merupakan sistem materialistis pertama dalam sejarah filsafat modern.
Prinsip-prinsip dan
metode empirisme pertama kali diterapkan oleh Jhon Locke, penerapan tersebut
terhadap masalah-masalah pengetahuan dan pengenalan, langkah yang utama adalah
Locke berusaha menggabungkan teori emperisme seperti yang telah diajarkan Bacon
dan Hobbes dengan ajaran rasionalisme Descartes. Penggabungan ini justru
menguntungkan empirisme. Ia menentang teori rasionalisme yang mengenai ide-ide
dan asas-asas pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia. Menurut
dia, segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu.
Menurutnya akal manusia adalah pasif pada saat pengetahuan itu didapat. Akal
tidak bisa memperolah pengetahuan dari dirinya sendiri. Akal tidak lain
hanyalah seperti kertas putih yang kosong, ia hanyalah menerima segala sesuatu
yang datang dari pengalaman. Locke tidak membedakan antara pengetahuan inderawi
dan pengetahuan akali, satu-satunya objek pengetahuan adalah ide-ide yang
timbul karena adanya pengalaman lahiriah dan karena pengalaman bathiniyah.
Pengalaman lahiriah adalah berkaitan dengan hal-hal yang berada di luar kita.
Sementara pengalahan bathinyah berkaitan dengan hal-hal yang ada dalam
diri/psikis manusia itu sendiri.
Sementara menuru
David Hume bahwa seluruh isi pemikiran berasal dari pengalaman, yang ia sebut
dengan istilah “persepsi”. Menurut Hume persepsi terdiri dari dua macam, yaitu:
kesan-kesan dan gagasan. Kesan adalah persepsi yang masuk melalui akal budi, secara
langsung, sifatnya kuat dan hidup. Sementara gagasan adalah persepsi yang
berisi gambaran kabur tentang kesan-kesan. Gagasan bisa diartikan dengan
cerminan dari kesan. Contohnya, jika saya melihat sebuah “rumah”, maka punya
kesan tertentu tentang apa yang saya lihat (rumah), jika saya memikirkan sebuah
rumah maka pada saat itu saya sedang memanggil suatu gagasan. Menurut Hume jika
sesorang akan diberi gagasan tentang “apel” maka terlebih dahulu ia harus punya
kesan tentang “apel” atau ia harus terlebih dahulu mengenal objek “apel”. Jadi
menurut Hume jika seandainya manusia itu tidak memiliki alat untuk menemukan
pengalaman itu buta dan tuli misalnya, maka manusia itu tidak akan dapat
memperoleh kesan bahkan gagasan sekalipun. Dalam artian ia tidak bisa memperoleh
ilmu pengetahuan.
b. Deduktif
Deduksi adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum
ditarik kesimpulan yang bersifat khusus, selain itu metode deduksi ialah cara
penanganan terhadap sesuatu objek tertentu dengan jalan menarik kesimpulan
mengenai hal-hal yang bersifat umum. Logika deduktif adalah suatu ragam logika
yang mempelajari asas-asas penalaran yang bersifat deduktif, yakni suatu
penalaran yang menurunkan suatu kesimpulan sebagai kemestian dari pangkal
pikirnya sehingga bersifat betul menurut bentuk saja.
Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola pikir yang
dinamakan silogismus.[1]
Pernyataan yang mendukung silogismus ini disebut premis yang kemudian dapat
dibedakan sebagai permis mayor dan permis minor. Kesimpulan merupakan
pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua permis
tersebut. Logika deduktif membicarakan cara-cara untuk mencapai
kesimpulan-kesimpulan bila lebih dahulu telah diajukan pertanyaan-pertanyaan
mengenai semua atau sejumlah ini di antara suatu kelompok barang sesuatu.
Kesimpulan yang sah pada suatu penalaran deduktif selalu merupakan akibat yang
bersifat keharusan dari pertnyaan-pertanyaan yang lebih dahulu diajukan.
Pembahasan mengenai logika deduktif itu sangat luas dan meliputi salah satu di
antara persoalan-persoalan yang menarik. Guna memenuhi dan membatasi
maksud logika deduktif bagian terkenal sebagai logika Aristoteles. Cabang loka
ini membicarakan pernyataan-pernyataan yang dapat dijadikan bentuk ‘S’ adalah
‘P’, misalnya, “manusia (adalah) mengenal mati. Tampaklah pada kita bahwa ‘S’
merupakan huruf pertama perkataan ‘Subjek’ dan ‘P’ merupakan huruf pertama
perkataan ‘Predikat’. Dari pernyataan-pernyataan semacam itu, kita dapat
memilah empat cara pokok untuk mengatakan sesuatu dari setiap atau sementara
subjek yang dapat diterapi simbol ‘S’.
Contoh membuat silogismus sebagai berikut:
Semua makhluk hidup memerlukan
udara (Premis
mayor)
Dewi adalah makhluk
hidup
(Premis minor)
Jadi Dewi memerlukan udara
(Kesimpulan)
Kesimpulan yang
diambil bahwa si Dewi memerlukan udara adalah sah menurut penalaran deduktif,
sebab kesimpulan ini ditasrik secara logis dari dua permis yang mendukungnnya.
Pertanyaan apakah kesimpulan itu benar maka dapat dipastikan bahwa kesimpulan
yang ditariknya juga adalah benar. Mungkin saja kesimpulan itu salah, meskipun
kedua premisnya benar, sekiranya cara penarikan kesimpulannya adalah tidak sah.
Dengan demikian maka ketepatan penarikan kesimpulan tergantung dari tiga hal
yakni kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor dan keabsahan pengambilan
kesimpulan.
2. Pemikiran
Francis Bacon
Masa filsafat modern diawali dengan munculnya Renaissance sekitar abad XV
dan XVI M. Berangkat dari keinginan lepas dari dogma-dogma, akhirnya muncul
semangat untuk menggali kembali kekayaan filsafat Yunani klasik. Problem utama
pada masa Renaissance adalah sintesa agama dan filsafat dengan arah yang
berbeda. Era Renaissance ditandai dengan tercurahnya perhatian pada berbagai
bidang kemanusiaan, baik secara individu maupun sosial.
Di antara filosof masa Renaissance adalah Francis Bacon (1561 – 1628). Francis
Bacon Lahir pada tanggal 22 Januari 1561
di York House, London. Ayahnya adalah pejabat tinggi kerajaan Inggris.
Pada usia 12 tahun, Bacon telah belajar di Trinity College, Cambridge
University. Setelah lulus dari Cambridge, ia diangkat sebagai staf kedutaan
Inggris di Prancis. Pada usia 3 tahun ia diangkat menjadi anggota parlemen.
Kemudian pada tahun 1681, James I mengangkatnya menjadi Lord Chancellor dan
kemudian menjadi Viscount St. Albans. Pada usia 40 tahun, ia mulai
menulis filsafat. Ia mendapat gelar bangsawan dan pernah memberi kuliah tentang
Aristoteles di Universitas Paris.[2]
Karya Tulis
Francis Bacon yang terkenal adalah The Advances of Learning dan New Atlantis.
Ia juga menulis menulis buku tentang metode empiris-eksperimental yang berjudul
Novum Organum (1620) Alat/Metode Baru yang ia maksudkan sebagai penolakan
terhadap metode logika deduktif Aristoteles.[3]
Bacon juga menginginkan rekonstruksi menyeluruh bidang seni, pengalaman dan
ilmu pengetahuan manusia dengan menggunakan metode empiris-eksperimental.
Dalam buku Novum
Organum, Bacon menyempurnakan metode ilmiah induktif. Menurutnya, logika
silogisme tradisional tidak sanggup lagi menghasilkan penemuan empiris yang
baru,[4] ia
hanya mewujudkan konsekwensi deduktif dari apa yang sebenarnya telah diketahui.
Agar pengetahuan terus berkembang dan memunculkan teori-teori hukum baru, maka
metode deduksi harus ditinggalkan dan diganti dengan metode yang baru. [5]
Secara historis.
Metode induktif sudah dimulai oleh Aristoteles. Ia menggunakan istilah induktif
untuk mengacu pada proses pemikiran di mana akal budi manusia, dengan bertolak
dari pengetahuan tentang hal-hal yang khusus, menyimpulkan pengetahuan yang
umum.[6]
Secara teknis, Aristoteles menguraikan dengan jelas setidaknya dua macam induktif,
yang kemudian diistilahkan induktif sempurna (perfect) dan luas (ampliative),
yaitu:
a. Dalam induktif sempurna atau lengkap,
kesimpulan umum diambil berdasarkan pengetahuan tentang tiap contoh yang
diteliti. Kesimpulan tidak melampaui evidensi. Bentuk ini disebut juga induktif
dengan enumerasi simpel.
b. Dalam induktif luas (ampliative)
kesimpulan mengambil contoh-contoh sebagai sampel kelas dan memuat generalisasi
dari sifat-sifat khas sampel itu ke sifat-sifatnya khas kelas.[7]
Metode induktif yang digulirkan oleh Aristoteles inilah yang dinamakan induktif
tradisional. Metode induktif tradisional ini dikenal juga dengan nama
induction by simple enumeration (induktif melalui penjumlahan sederhana)
dan tidak dapat diandalkan untuk meraih pengetahuan yang benar. Aristoteles
sendiri juga tidak memberi objek perhatian terhadap persoalan induktif dan
justru mengembangkan metode deduksi sebagai jalan sempurna menuju ke
pengetahuan baru.[8]
Namun, pada abad ke-17, Francis
Bacon mengkritisi metode deduktif Aristoteles yang tidak menghasilkan
pengetahuan-pengetahuan baru. Bagi Bacon, agar induktif tidak terjebak pada
proses generalisasi yang tergesa-gesa, maka yang perlu dihindari empat
penghalang prakonsepsi. Empat hal tersebut adalah:
1) Idola Tribus (The
idols of Tribe)
Yang dimaksud idola tribus adalah menarik kesimpulan
tanpa dasar secukupnya, berhenti pada sebab-sebab yang diperiksa secara dangkal
(sebagaimana pada umumnya manusia awam/tribus). Sumber kesesatan ini pada
dasarnya bersumber pada kodrat manusia sendiri pada ras manusia misalkan,
manusia hanya memiliki lima indra, tidak lebih. Segala hal diukur menurut
ukuran pribadi individual, tidak menurut alam semesta. Padahal akal manusia adalah
cermin yang palsu, menerima cahaya tidak teratur, membengkokkan dan meluruskan
hakekat segalanya dengan mencampurkan hakikatnya sendiri dengan hakikat sesuatu
tadi. Dengan ini manusia sekaligus berpotensi menjadikan tertutupnya hakikat
kebenaran.
2) Idola Specus (The Idols of the Cave)
Yang menyebabkan
seseorang terkurung dalam “gua” (sudut pandangnya sendiri) disebabkan oeh
adanya prasangka pribadi, sehingga seseorang cenderung menarik kesimpulan
sendiri sesuai dengan selera pribadi.
3) Idola Fori (The
Idols of the Market Place)
Seseorang
yang cepat dipengaruhi orang-orang yang bicara (pandangan masa). Boleh
dikatakan pandangan masa sering sekali berbeda dengan realitas yang
sesungguhnya dan karenanya sering kali berbeda dengan realitas yang
sesungguhnya dan karena sering kali menjadi hambatan bagi pemahaman rasional.
4) Idola Theatri (The Idols of the Theatre)
Prasangka pemikiran
atau teori dogmatis. Pemikiran dogmatis
sering kali memperdaya seseorang, sehingga berakibat menumpulkan daya berpikir
kritis.
Untuk melihat
operasional metode induktif tradisional beserta syarat-syarat yang
menyertainya, mari kita lihat contoh yang di turunkan oleh Thomas Henry Huxley
berikut ini: “Anggaplah kita mengunjungi warung buah-buahan karena ingin membeli
apel. Kita ambil sebuah, dan ketika mencicipinya, terbukti itu masam. Kita
perhatikan apel itu dan terbukti bahwa apel itu keras dan hijau. Kita ambil
sebuah yang lain, itupun keras, hijau, dan masam. Si pedagang menawarkan apel
ketiga. Akan tetapi, belum mencicipinya, kita memperhatikannya dan terbukti
yang itu pun adalah keras dan hijau, dan seketika itu kita beritahukan, bahwa
kita tidak menghendakinya, karena yang itu pun pasti masam, seperti
lain-lainnya yang sudah kita cicipi.”
Jalan pikiran si
calon pembeli sehingga ia sampai pada kesimpulan untuk tidak membeli apel,
ialah sebuah induktif. Huxley menjelaskan proses induktif itu sebagai berikut:
“Pertama-tama, kita telah melakukan kegiatan yang disebut induktif. Kita telah
menemukan bahwa dalam dua kali pengalaman sifat masam. Demikianlah pada
peristiwa yang pertama, dan itu diperkuat dalam peristiwa yang kedua. Memang
itu dasar yang amat sempit, akan tetapi sudah cukup untuk dijadikan dasar induktif:
kedua fakta itu bisa digeneralisasikan dan kita percaya akan berjumpa dengan
rasa masam pada apel, bila kita temui sifat keras dan hijau. Dan ini suatu induktif
yang tepat.”[9]
Kalau dirumuskan secara formal, penalaran di atas menurut Huxley adalah
demikian: induktif:
Apel 1 keras dan hijau adalah
masam.
Apel 2 keras dan hijau adalah
masam.
Semua apel keras dan hijau adalah masam[10]
Induktif seperti di atas sesuai
dengan definisi Aristoteles, yaitu proses peningkatan dari hal-hal yang
bersifat individual kepada yang bersifat universal (a passage from
individuals to universals). Secara metaforis, Bacon melukiskan bahwa kita
tidak boleh menjadi sama seperti laba-laba yang meminta jaringannya dari apa
yang ada di dalam tubuhnya, atau seperti semut yang semata-mata hanya tahu
mengumpulkan, melainkan kita harus sama seperti lebah yang tahu bagaimana
mengumpulkan, tetapi juga tahu bagaimana menata. Metode silogistik deduktif
digambarkannya dengan laba-laba itu, metode induktif tradisional seperti semut
yang hanya tahu mengumpul, dan metode induktif yang telah disempurnakannya sama
dengan lebah yang tahu mengumpul dan menata.[11]
Kemudian Bacon memberikan ilustrasi:
“Bacon ingin
menemukan sifat panas. Ia mengandaikan panas sebagai terdiri dari
gerakan-gerakan cepat yang tidak teratur dari bagian-bagian kecil benda-benda.
Supaya sifat panas dapat ditemukan ia membuat daftar-daftar benda-benda panas
dan benda-benda dingin, dan juga benda-benda yang mempunyai tingkatan panas
yang bermacam-macam. Ia berharap bahwa daftar-daftar ini akan menampakkan beberapa
corak watak panas yang senantiasa berada di dalam benda-benda panas, dan yang
senantiasa tidak berada di dalam benda-benda dingin, serta yang senantiasa
berada dalam benda-benda yang panasnya bermacam-macam tingkatannya.”
Dari ilustrasi
di atas, bisa disimpulkan bahwa penggunaan metode induktif Bacon mengharuskan
mencabut hal yang hakiki dari hal yang tidak hakiki dan menemukan struktur atau
bentuk yang mendasari fenomena yang diteliti, dengan cara: a) Membandingkan
contoh-contoh hal yang diteliti, b) menelaah variasi-variasi yang
menyertainnya, dan c) menyingkirkan contoh-contoh yang negatif. Contoh :
Tembaga, Besi, Perak, Emas
Adanya Penyalur Listrik
Tembaga, Besi, Perak, Emas
Adanya Logam
Jadi, logam adalah penyalur listrik.
Contoh diatas
disusun sedemikian rupa, hingga jelas prosesnya, dan jelas mekanisme logis
pemikiran induktif. Bacon memang bukan penemu murni metode induktif, namun ia
hanya berupaya menyempurnakan metode itu dengan cara menggabungkan metode induktif
tradisionalis.[12]Dengan eksperimentasi yang sistematis, observasi yang
ekstensif demi mendapatkan kebenaran ilmiah yang konkret, praktiks,
mensistematisasi prosedur ilmiah secara logis, dan bermanfaat bagi manusia,
inilah metode induktif modern yang telah mengalami penyempurnaan.[13]
C. Dedukto-Falsifikatif
(Karl R. Popper)
1. Biografi Karl R. Popper
Karl Raimund Popper lahir di Wina pada tanggal 28 Juli tahun 1902.[14] Ayahnya
Dr. Simon Sigmund Carl Popper seorang pengacara yang sangat minat pada
Filsafat. Perpustakaannya luas mencakup kumpulan-kumpulan karya filsuf besar
dan karya-karya mengenai problem sosial. Agaknya Karl Popper mewarisi minatnya
pada filsafat dan problem sosial dari ayahnya. Orang tuanya keturunan Yahudi,
tetapi tidak lama setelah menikah mereka berdua dibabtis dalam gereja
Protestan. Ayahnya adalah sarjana hukum dan pengacara yang mencintai buku, dan
musik. Pada umur 16 tahun Popper meninggalkan sekolahnya “realgymnasium”
dengan alasan bahwa pelajaran-pelajarannya sangat membosankan. Lalu ia menjadi
pendengar bebas pada
Universitas
Wina dan baru tahun 1922 ia diterima sebagai mahasiswa.
Suatu dalil bahwa tindakan manusia didorong oleh perasan semacam inferioritas.
Misalnya kasus seorang laki-laki tidak mau menolong seorang anak yang terseret
oleh arus, karena takut dan karena ia memutuskan tidak menolong. Keputusan
tidak menolong ini dibenarkan oleh Adler, karena laki-laki tersebut telah
mengatasi perasaan inferioritas mendemontrasikan bahwa ia mempunyai kemauan
keras untuk tetap berdiri di tepi sungai. Ketika umur 17 tahun, selama beberapa
tahun ia menganut komunisme, tetapi tidak lama kemudian ia meninggalkan aliran
politik ini, karena ia yakin bahwa penganutnya menerima begitu saja suatu
dokmatisme yang tidak kritis dan ia menjadi anti Marxis untuk seumur hidup.
Perjumpaannya dengan Marxisme diakui olehnya sebagai satu diantara peristiwa
penting dalam perkembangan intelektualnya. Dalam outobiografinya bercerita
bahwa ia mengikuti aneka macam kuliah, tentang sejarah, kesusasteraan,
psikologi, filsafat bahkan tentang ilmu kedokteran.
Pada tahun yang sama tahun 1919, Popper mendengar apa yang dikerjakan oleh
Einstein dan menurut pengakuannya merupakan suatu pengaruh dominan atas
pemikirannya, bahkan dalam jangka panjang pengaruhnya sangat berarti. Dalam
suatu waktu Popper mendengarkan ceramah Einstein di Wina. Ia terpukau oleh
sikap Einsten terhadap teorinya yang tidak dapat dipertahankan kalau gagal
dalam tes tertentu. Ia mencari eksperimen-eksperimen yang kesesuaiannya dengan
ramalan-ramalannya belum berarti meneguhkan teorinya.
Sedangkan ketidaksesuaian antara teori dengan eksperimen akan menentukan
apakah teorinya bisa dipertahankan atau tidak. Sikap ini menurutnya berlainan
dengan sikap Marxis yang dogmatis dan selalu mencari pembenaran-pembenaran
(verifikasi) terhadap teori kesayangannya. Sampai pada kesimpulan bahwa sikap
ilmiah adalah sikap kritis, yang tidak mencari pembenaran-pembenaran melainkan
tes yang serius, pengujian yang dapat menyangkal teori yang diujinya, meskipun
tak pernah dapat meneguhkannya.
Pada tahun 1928 ia meraih gelar Doktor Filsafat dengan suatu disertasi
tentang ZurMethodenfrage der Denkp Psychologei (Masalah Metode
dalam Psikologi Pemikiran), suatu karangan yang tidak diterbitkan. Pada tahun
berikutnya Popper memperoleh gelar Diploma pada bidang Matematika dan ilmu
pengetahuan Alam. Dalam catatan sejarah, Popper tidak pernah menjadi anggota
Lingkaran Wina, tetapi ia mengenal anggota Lingkaran Wina yang bekerja di
universitas dan pada beberapa di antara mereka, ia mempunyai hubungan khusus
dengan anggota Lingkaran Wina di antaranya Viktor Kraft, Herert Feigl. Dalam
usaha studinya, Popper belajar banyak dari Karl Buhler, Profesor Psychologi di
Universitas Wina yang paling penting dalam perkembangannya di masa mendatang
ialah teori Buhler tentang tiga tingkatan bahasa yaitu fungsi ekspresi, fungsi
stimulasi dan fungsi deskriptif. Menurut Buhler fungsi pertama selalu hadir
pada bahasa manusia maupun binatang, sementara fungsi yang ketiga khas pada
bahasa manusia. Popper sendiri kelak menambahkan fungsi yang keempat yaitu
fungsi argumentatif, yang dianggap penting karena merupakan basis pemikiran
krisis. Pada tahun kedua di Institut Pedagogis, Popper berjumpa dengan Prof
Heinrich Gomperz dan banyak dimanfaatkan untuk berdiskusi dengan problem
psikologi pengetahuan atau psikologi penemuan. Hasil pertemuannya dengan Prof.
Heinrich melahirkan keyakinan Popper bahwa data indrawi, data atau kesan
sederhana itu semua khayalan yang berdasarkan usaha keliru yang mengalihkan
Atomisme dari fisika ke psikologi.
Sesudah perang dunia II selesai, Popper diangkat sebagai dosen di London
School of Economics, sebuah institut di bawah naungan
Universitas London. Di sini ia mempersiapkan suatu buku yang menguraikan
perkembangan pemikirannya sejak buku The Logic of Scientific Discovery, di
antara buku yang diterbitkan antara lain Realism and Aim of Science:
Quantum Theory and the Schism in Physics The Open Sociaty and Its
Enemies, dan The Poverty of Historicism yang
memberi analisis dan kritik Popper atas pemikiran tiga tokoh yang menurut dia
termasuk historisisme, yaitu Plato, Hegel, dan Marx.
Pada tahun 1977 Popper banyak memberikan ceramah dan kuliah tamu di Eropa,
Amerika, Jepang dan Australia. Ia banyak mengenali secara pribadi ahli-ahli
kimia modern yang besar seperti, Albert Einstein, Neil Bohr, Edwin Schrodinger.
Popper meninggal dunia pada tanggal 17 September 1994 di Croydon, London
Selatan, dalam usia 92 tahun akibat komplikasi penyakit kanker. Menjelang akhir
hayatnya beberapa karyanya diterbitkan dengan bantuan orang lain. Buku yang
paling penting dari periode terakhir ini adalah A World of Propensities (1999)
di mana ia menguraikan pemikiran definitifnya tentang probabilitas dalam logika
dan Ilmu Pengetahuan.[15]
2. Pengertian
a.
Dedukto
Seperti yang telah di paparkan di atas, dedukto/deduksi adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum
ditarik kesimpulan yang bersifat khusus, selain itu metode deduksi ialah cara
penanganan terhadap sesuatu objek tertentu dengan jalan menarik kesimpulan
mengenai hal-hal yang bersifat umum. Penarikan kesimpulan secara deduktif
biasanya mempergunakan pola pikir yang dinamakan silogismus.[16]
Pernyataan yang mendukung silogismus ini disebut premis yang kemudian dapat
dibedakan sebagai permis mayor dan permis minor. Kesimpulan merupakan
pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua permis
tersebut.
b.
Falsifikatif
Falsifikasi berasal dari kata falsafah, yang secara
bahasa berarti anggapan, gagasan dan sikap batin yang paling mendasar. Sedangkan
secara istilah berarti penelitian berdasarkan akal budi menurut sebab, asas,
hukum dan sebagainya atas segala sesuatu mengenai kebenaran dan tentang arti
dari 'adanya' sesuatu.[17]
Salah satu tokok falsifikatif adalah Karl Raimund Popper (1902). MenurutPopper,
falsifikasi atau falsifiabilitas adalah batas pemisah (demarkasi) yang tepat
antara sesuatu yang dapat disebut ilmu dengan yang bukan ilmu.[18]
Falsifikasi adalah salah satu teori yang berguna
untuk menilai, menguji, dan membuktikan suatu kebenaran. Pada dasarnya, aliran
Falsifikatif adalah suatu aliran yang tidak puas bahkan menentang atas prinsip
verifikatif, yakni prinsip pembedaan antara ungkapan yang bermakna (prinsip
Ilmu Pengetahuan empiris) dan yang tidak bermakna (metafisika) yang diyakini
oleh kelompok Wina.[19]
Menurut aliran ini, suatu teori tidak dapat hanya dengan diverifikasi (tidak
bersifat ilmiah, hanya karena dapat dibuktikan) melainkan ialah karena teori
itu dapat diuji dengan percobaan-percobaan yang sistematis untuk menyangkal
kebenarannya. Apabila suatu hipotesa (teori) dapat bertahan atas
penyangkalan-penyangkalan dari kebenarannya (falsifikasi), maka kebenaran
hipotesa (teori) tersebut akan semakin diperkokoh. Artinya, jika suatu toeri
itu semakin besar kemungkinannya untuk disangkal dan teori tersebut tetap
bertahan, maka semakin kokoh pula kebenarannya.[20]
3. Pemikiran Karl
R. Popper
Seorang filusuf
yang bernama Karl
Raimun Popper ia merupakan seorang filosof ilmu alam dan ilmu sosial dari
Austria. Dia lahir di Venna, Austria 28 Juli 1902, meninggal di London, Inggris
17 September 1994 pada umur 92 tahun. Dia termasuk salah satu dari sekian banyak
filsuf ilmu dan pakar dalam bidang psikologi belajar. Popper adalah sosok
filusuf kontemporer yang pola pikirannya sangat diwarnai dan dipengaruhi oleh
konstelasi zamannya. Pemikiran Popper mendasarkan diri pada Rasionalisme kritis
dan Empirisme-kritis yang dalam bentuk metodologinya disebut
"Deduktif-Falsifikatif" dengan realisasi metodologinya tentang
problem-solving. Metode yang demikian itu mengisyaratkan perhatian Popper akan
pentingnya problem sebagai esensi substansial pengetahuan manusia, karena
menurut pemikirannya, ilmu dimulai oleh problem dan diakhiri pula dengan
problem.
Mengakui bahwa
ia mendekati problem induktif melalui Hume. Popper merasakan benar bagaimana
Hume sangat tepat ketika menunjukkan bahwa metode induktif tidak dapat dijustifikasi
secara logis. Meskipun Popper mengakui penolakan Hume terhadap metode penalaran
induktif jelas dan konklusif, namun ia sangat tidak puas dengan penjelasan
psikologis Hume ke dalam istilah adat atau kebiasaan. Dalam analisis Popper,
kritik yang dilontarkan Hume terhadap metode induktif lebih bersifat psikologis
ketimbang menyuguhkan sebuah teori filosofis, psychological rather than a
philosophycal theory. Sebab Hume berupaya menguraikan sebuah penjelasan
sebab-akibat berdasarkan sebuah fakta psikologis (a psychological fact).[21]
Berdasarkan
ketidakpuasan tersebut, Popper melakukan kritik fundamental terhadap metode
induktif yang dia formulasikan secara filosofis-empiris. Menurut Bertens,
Popper telah berhasil menyodorkan suatu pencerahan bagi masalah induktif dan
dengan itu serentak juga ia mengubah seluruh pandangan tradisional tentang ilmu
pengetahuan. Menurut dia, suatu ucapan atau teori tidak bersifat ilmiah karena
sudah dibuktikan, melainkan karena dapat diuji (testable). Ucapan
seperti “Semua logam akan memuai kalau dipanaskan” dapat dianggap ilmiah, kalau dapat diuji
dengan percobaan-percobaan sistematis untuk menangkalnya. Seandainya, kita
dapat menunjukkan satu jenis logam yang tidak memuai setelah dipanaskan, maka
ucapan itu ternyata tidak benar dan harus diganti dengan ucapan lain yang lebih
tepat.
Jadi, cukuplah
mengemukakan satu kasus (dalam contoh kita: satu jenis logam yang tidak memuai
setelah dipanaskan) untuk menyatakan salahnya suatu ucapan ilmiah. Dan kalau
suatu teori setelah diuji tetap tahan, maka itu berarti bahwa kebenarannya
diperkukuh (corroboration). Makin besar kemungkinan untuk menyangka suatu
teori, makin kukuh pula kebenarannya, jika teori-teori itu tahan terus. Secara
singkat itulah yang disebut Popper the thesis of refutability: suatu
ucapan atau hipotesis bersifat ilmiah kalau secara prinsipial terdapat
kemungkinan untuk menyangkalnya (refutability). Atau dengan perkataan
lain, perlu adanya kemungkinan untuk menjalankan kritik. Ilmuwan yang sejati
tidak akan menakuti kritik. Sebaliknya, ia sangat mengharapkan kritik, sebab
hanya melalui jalan kritik ilmu pengetahuan dapat maju.
Untuk mencapai
pandangan ini, Popper menggunakan suatu kebenaran logis yang sebenarnya
sederhana sekali. Dalam perkataan Popper sendiri “Dengan observasi terhadap
angsa-angsa putih-betapapun besar jumlahnya orang tidak dapat sampai pada teori
bahwa semua angsa bewarna putih. Tetapi cukuplah satu observasi terhadap seekor
angsa hitam untuk menyangkal teori tadi”. Pandangan ilmu pengetahuan yang
berdasar metode induktif sebenarnya tidak membuat lain daripada berusaha
membuktikan bahwa semua angsa berwarna putih. Sedangkan Popper beranggapan
bahwa ilmu pengetahuan harus berusaha mencari satu ekor yang tidak berwarna
putih. Selama angsa hitam itu belum ditemukan, pernyataan “Semua angsa berwarna
putih” dapat dianggap benar. Dengan pendekatan ini, Popper membuka perspektif
baru bagi ilmu pengetahuan, yang sama sekali berbeda dengan perspektif yang
berdasarkan konsepsi induktif.[22]
Berulang kali
Popper telah menjelaskan bahwa terutama fisika baru Einstein menghantar dia
kepada konsepsi tentang ilmu pengetahuan yang dilukiskan tadi. Sebelumnya sudah
lebih dari dua abad ilmiah dikuasai oleh pandangan fisika Newton. Banyak sekali
penemuan ilmiah telah terjadi berdasarkan fisika Newton itu. Akhirnya semua
ilmuwan sudah yakin akan kebenaran fisika Newton. Kebenaran fisika ini sudah
dinyatakan dengan seribu satu cara. Namun demikian, pada awal abad ke-20
Einstein mengemukakan suatu fisika baru. Semua fakta yang telah diterangkan
oleh fisika Newton dapat diterangkan pula dalam rangka fisika Einstein ditambah
lagi beberapa fakta yang didiamkan oleh Newton. Sesudah diskusi beberapa waktu,
para ahli sepakat menerima fisika Einstein sebagai yang lebih memuaskan
daripada fisika lama Newton yang menerangkan gejala-gejala fisis dalam dunia
kita. Bagi Popper, perkembangan ini merupakan contoh paling jelas yang
memperlihatkan bagaimana cara tumbuhnya ilmu pengetahuan. Suatu teori ilmiah
tidak pernah benar secara definitif. Lebih baik dikatakan kita semakin
mendekati kebenaran, karena teori-teori kita terjadi lebih terperinci dan
bernuansa. Selalu kita harus rela meninggalkan suatu teori, jika muncul teori
lain yang ternyata lebih memuaskan untuk mengerti fakta-fakta.”[23]
Dalam hal ini,
Popper memang menegaskan sekali bahwa rasio bekerja melalui proses percobaan
dan kekeliruan, trial and error. Kita menciptakan mitos-mitos dan teori-teori
dan kemudian kita mencobanya: kita selalu berusaha untuk mengetahui sampai
sejauh mana mitos-mitos dan teori-teori tersebut bisa membawa kita mendekati
realitas. Dan jika mampu, kita ingin mengembangkan kebenaran teori-teori kita.
Dengan alasan inilah, Popper menitahkan solusi tentatif: “The better theory
is the one that has the greater explanatory power: that explains more, that
explains with greater precision and that allows us to make better predictions.”[24]
Teori yang lebih baik adalah teori yang memiliki daya penjelasan yang lebih
besar: yang mampu menjelaskan lebih banyak; yang mampu menjelaskan dengan
presisi yang lebih besar dan yang mengizinkan kita untuk membuat
prediksi-prediksi yang lebih baik.”
Dalam perspektif
Bryan Magee yang memiliki pengalaman hubungan secara personal langsung dengan
Popper, dalam hal-hal yang berhubungan dengan filsafat sainslah, Popper
mengerjakan ide-idenya yang paling fundamental: yaitu bahwa kita tidak akan
pernah bisa benar-benar merasa pasti akan kebenaran sebuah pernyataan umum
mengenai dunia, dan karena itu juga tidak akan bisa benar-benar merasa pasti
akan kebenaran dari setiap hukum saintifik atau setiap teori saintifik (penting
untuk dipahami bahwa apa yang sedang dia bicarakan adalah mengenai
pernyataan-pernyataan yang bersifat umum dan luas, dan bukan
pernyataan-pernyataan yang tunggal. Kita kadang kala mungkin bisa merasa pasti
tentang kebenaran dari hasil sebuah observasi yang bersifat langsung, tetapi
tidak tentang kerangka penjelasannya. Ini karena observasi-bservasi langsung
dan pernyataan-pernyataan tunggal selalu bisa diinterpretasikan lebih dari satu
cara).
D. KESIMPULAN
Berdasarkan
paparan data uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak mungkin secara logika
untuk bisa menetapkan kebenaran dari sebuah teori, maka setiap upaya untuk
melakukannya merupakan sebuah upaya untuk melakukan sesuatu yang secara logika
tidak mungkin sehingga tidak hanya positivisme logis yang harus diabaikan
karena prinsip verifikasionisnya, tetapi juga semua filsafat dan semua sains
yang melibatkan upaya pencarian kepastian haruslah diabaikan, sebuah upaya yang
telah mendominasi pemikiran barat sejak Descartes sampai Russel. Itu karena
kita tidak akan pernah bisa mengetahui dalam arti yang tradisional dari kata
itu kebenaran dari setiap sains kita, dan semua pengetahuan saintifik kita itu
akan selalu bersifat bisa jadi keliru dan bisa jadi salah. Pengetahuan itu
tidak tumbuh sebagaimana yang dipercayai oleh orang-orang selama beratus-ratus
tahun oleh proses penambahan kepastian-kepastian baru yang terus menerus
terhadap apa yang telah ada, tetapi oleh proses penyingkiran teori-teori yang
ada secara berulang kali oleh teori-teori yang lebih baik, yaitu teori-teori
yang menjelaskan lebih banyak atau yang menghasilkan prediksi-prediksi yang
lebih akurat.
Kita bisa
mengetahui bahwa teori-teori yang lebih baik itu pada gilirannya akan
terpatahkan oleh teori-teori yang lebih baik lagi dikemudian hari. Proses ini
akan berlangsung tiada akhir, sehingga apa yang kita sebut sebagai pengetahuan
kita hanya akan selalu merupakan teori-teori kita. Teori-teori kita merupakan
produk-produk dari pikiran-pikiran kita dan kita bebas untuk menciptakan
teori-teori apapun. Namun, sebelum teori itu bisa diterima sebagai pengetahuan,
harus ditunjukkan bahwa teori itu lebih baik daripada sebuah atau beberapa
teori yang akan digantikannya. Sebuah preferensi semacam itu hanya bisa
dibangun melalui proses pengujian yang tegas.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar, Desy. 2003. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia.
Surabaya: Amelia
Endraswara, Suwardi. 2015. Filsafat
Ilmu: Konsep, Sejarah, dan Pengembangan Metode Ilmiah.
Hakim, Abdul, Atang, dan Beni, Ahmad,
Saebani. 2008. Filsafat Umum dari Mitologi Sampai Teofisolofi. Bandung: Pustaka Setia
Jan Hendrik Rapar. 1996. Pengantar
Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
K.
Bertens. 1999. Sejarah Filsafat
Yunani. Yogyakarta: Kanisius
Lorens Bagus. 2002. Kamus
Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Lubis, Akhyar Yusuf. 2016. Filsafat
Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer. Jakarta : PT. Grafindo Persada.
M Budianto, Irmayanti. 2005. Realitas dan Objektivitas. Jakarta :
Wedatama Widya Sastra
Muslih, Muhammad. 2004. Filsafat
Ilmu. Yogyakarta : Belukar
Russel , Bertand. 2007. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya
dengan Kondisi Sosio-Politik Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
R. G. Soekadijo. 2001. Logika Dasar. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Yogyakarta: CAPS (Center for
Academic Publishing Service).
Zaprulkhan. 2015. Filsafat Ilmu:
Sebuah Analisis Kontemporer. Jakarta : PT. Grafindo Persada.
[2] Bertand Russel. Sejarah
Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Dari Zaman Kuno
Hingga Sekarang. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007). Cet. III, hlm. 711
[3] Bacon, seorang tokoh
yang dipengaruhi Ibnu Rusyd, menekankan pentingnya metode baru (Novum Organum),
yaitu metode eksperimen untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Ia menulis buku
Novum Organum (1620), The Avancement of
Learning dan The New Atlantis. Bacon juga telah mengemukakan peran ilmu
pengetahuan untuk mencinptakan kemajuan dan kemakmuran bagi umat manusia. Bagi
bacon, ilmu pengetahuan adalah kekuasaan/kekuatan (knowledge is power, Nam et
ipsa scientia potastas est). Bacon berpendapat bahwa Tuhan telah menciptakan
alam secara rasional, sehingga gejala-gejala alam dapat dijelaskan berdasarkan
pengalaman (ingat pythagoras yang menyatakan bahwa bilangan sebagai arkhe alam
semesta).
[4] Jan Hendrik Rapar.
Pengantar Filsafat (Yogyakarta : Kanisius, 1996), hm. 104
[5] John Losee. A
Historical Intruction to the Philosophy of Science (New York: OxfordUniversity
Press, 2001), hlm. 46-62
[6] K. Bertens, Sejarah
Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 106
[7] Lorens Bagus, Kamus
Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 342.
[8] K.
Bertens, Sejarah Filsafat Yunani , op. cit., hlm. 169
[9] R. G. Soekadijo, Logika Dasar (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2001), hlm. 131
[11] Jan Hendrik Rapar, Pengantar
Filsafat, op. cit., hlm. 114
[12] Lihat Bertrand
Russel, Sejarah Filsafat Barat.. hlm. 527-528
[13] Jan Hendrik Rapar, Pengantar., hlm. 115
[15] C. Verhaak & R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 1995), h. 156
[19]
Irmayanti M Budianto, Realitas dan Objektivitas, (Jakarta : Wedatama Widya
Sastra, 2005), hlm. 42.
[21]Karl R. Popper, Conjecture
and Refutations (New York: Routledge, 2000) hlm. 42
[22] Bandingkan dengan
Bryan Magee, Popper (Great Britain: Fontana, 1975), hlm. 23.
[23] K. Bertens, Filsafat
Barat Kontemporer Inggris-Jerman, op. cit., hlm. 78-80
[24] Popper, Conjectures
and Refutations, op. cit., hlm. 42.
No comments:
Post a Comment