DIALEKTIKA TIGA PILAR PEMIKIRAN ISLAM:
FILSAFAT, TEOLOGI DAN TASAWUF
Makalah
Diajukan
untuk memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat
Ilmu
Dosen
Pengampu:
Dr. H.
Ahmad Barizi, M. A.
Pemakalah:
SULFIYA
(16771020)
Magister Pendidikan Agama Islam
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang 2017
Dialektika Tiga Pilar Pemikiran Islam:
Filsafat, Teologi Dan Tasawuf
A. Pendahuluan
Era klasik merupakan
era penyususnan, pembentukan pemantapan dan pemapanan ajaran- ajaran doktrinal
dan normatif setiap agama kharismatik.[1]
Dalam upaya ulama yang diklaim sebagai Pewaris Nabi memiliki peran sentral dan
signifikan. Merekalah orang- orang yang memberikan respon dan solusi atas
persoalan yang muncul dalam masyarakat atas dasar pemahaman mereka terhadap
alquran dan sunnah. Dimana pada perkembangan berikutnya, jawaban dan respon
ulama’ kemudian disusun dan diklasifikasikan sesuai dengan bidang dan wilayah
kajian dan objek permasalahan yang dihadapi sehingga melahirkan klasifikasi
ilmu- ilmu keislaman kedalam tiga medan epistemologi yaitu teologi, tasawuf dan
hukum.[2]
Selain munculnya
ketiga ilmu tersebut muncul juga filsafat, dimana filsafat ini muncul pada masa
dinasti abbasiyah yakni khalifah Al- Mansur yang sangat mencintai ilmu
pengetahuan, kecintaan al- Mansur terhadap ilmu karena dipengaruhi dari keluarga
albarmak yang cinta akan ilmu dan filsafat. Sebagai puncaknya perkembangan
filsafat terjadi pada masa almakmun dimana ia termasuk khalifah yang mencintai
ilmu pengetahuan dan filsafat. Ia mendirikan baitul hikmah, dimana
fungsi dari baitul hikmah adalah sebgai tempat penerjemah dan tempat
pusat pengembangan filsafat dan sains.[3]Dari
ketiga ilmu tersebut terjadi saling perdebatan, hal ini sebagaiman yang
dijelaskan mengenai bahwa filsafat adalah istilah asing yang masuk ke dunia islam.
Filsafat islam adalah produk dari luar islam, sedangkan ilmu kalam adalah ilmu
islam yang lahir dari diskusi- diskusi sekitar alquran dan hadits.[4]
Selain masalah di atas
ketiga ilmu ini memiliki corak metode tersendiri. Sebagaimana filsafat
memandang dengan mata akal dan mengikuti metode argumentasi dan logika,
sementara tasawuf menempuh jalan mujahadah dan musyahadah yang berbicara dengan
bahasa intuisi dan pengalaman batin. Dari perbedaan metodelogi tersebut terjadi
saling kritik antara kaum sufi dan kaum filosof islam, seperti kritik imam Al-
Ghazali terhadap filsafat kritik ibnu rusyd terhadap tasawuf. Ia mengatakan
bahwa metode yang dipergunakan taasawuf bukanlah metode penalaran intelektual.[5]
Padahal jika dilihat
dari aspek objeknya ketiga ilmu tersebut memiliki kesamaan. Dimana filsafat,
teologi dan tasawuf objek bahasannya adalah tentang ketuhanan. Selain itu
antara ketiganya juga mencari suatu kebanaran, dimana kebenaran tersebut
berdasarkan sumber- sumber yang sama yaitu alquran dan hadits. Berdasarkan
penjelasan di atas maka pemakalah atas membahas tentang dialektika tiga pilar
pemikiran islam yaitu filsafat, teologi dan tasawuf yang akan dititik pusatkan
pada sumber- sumber, metodelogi, hubungan serta persamaan dan perbedaan antara
filsafat, teologi dan tasawuf.
B. Pengertian Filsafat,
Teologi dan Tasawuf
1. Pengertian Filsafat
Filsafat dalam bahasa Inggris yaitu philosophy, adapun istilah
filsafat berasal dari bahasa yunani philosophia yang terdiri atas dua
kata philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada)
dan Sophos (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman
praktis, intelegensi). Jadi secara etimologi filsafat berarti cinta
kebijaksanaan atau kebenaran (love of wisdom). Orangya disebut filosof
yang dalam bahasa arab disebut failasuf. filsafat ilmu bahwa harun
nasution mengatakan bahwa kata filsafat berasal dari bahasa Arab falsafa dengan
wazan (timbangan) fa’lala, fa’lalah dan fi’lal dengan demikian
menurut harun nasution kata benda dari falsafa seharusnya falsafah
dan filsaf. Menurutnya dalam dalam bahasa Indonesia banyak terpakai kata
filsafat, padahal bukan berasal dari kata Arab falsafah dan bukan dari
kata inggris philosophy. Harun Nasution berpendapat bahwa istilah
filsafat berasal dari bahasa arab karena orang Arab lebih dulu datang dan
sekaligus mempengaruhi bahasa Indonesia daripada orang dan bahasa inggris oleh
karena itu, dia konsisten menggunakan kata falsafat, bukan filsafat.[6]
Secara konseptual filsafat merupakan cabang pengetahuan yang memiliki
cakupan objek yang sangat luas meliputi seluruh fenomena dan realitas. Demikian
luasnya sehingga mendefinisikan filsafat dengan cara berbeda satu dengan yang
lain sesuai dengan sudut pandang masing- masing. Diantara beberapa definisi
filsafat tersebut antara lain:
a. Filsafat adalah
sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya
diterima secara tidak kritis.
b. Filsafat adalah sebuah
proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita
junjung tinggi.
c. Usaha untuk
mendapatkan gambaran keseluruhan. Filsafat berusha memadukan temuan sains
dengan pengalaman kemanusiaan sehingga menjadi pandangan yang konsisten tentang
alam semesta dan isinya.
d. Usaha menafsirkan
segala sesuatu berdasarka akal pikiran dan seluruh alam semesta secara
sistematis, mendalam, radikal dan komprehensif.[7]
Selain definisi tersebut, masih terdapat beberapa definisi lain yang
diberikan kepada filsafat antara lain adalah sebagai berikut:
a. Plato (427- 347 SM) mendefinisikan
filsafat sebagai pengetahuan tentang segala yang ada.
b. Aristoteles (384- 322
SM) mendefinisikan filsafat ,sebagai ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran,
yang di dalamnya terkandung ilmu- ilmu metafisika, logika, retorika, etika,
ekonomi, politik dan estetika.
c. Alfarabi (W. 950 M)
mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan
bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
d. Immanuel Kant (1274-
1804) filsafat merupakan ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang
mencakup tiga persoalan, apa yang dapat kita ketahui (persoalan metafisika),
apakah yang dapat kita kerjakan (persoalan etika) dan sampai manakah batas
pengetahuan kita (persoalan epistemologi)
Dari semua definisi tersebut filsafat seringkali dihubungkan dengan alam
pikiran, sebab filsafat dan pikiran merupakan dua hal yang saling terkait.
Berfilsafat adalah berfikir secara mendalam dan sungguh- sungguh. Karena itu
meskipun manusia bisa berfikir, namun tidak semua manusia yang berfikir adalah
filosof. Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa filsafat pada dasarnya
berupaya menjelaskan inti, hakikat atau hikmah mengenai sesuatu yang berada
dibalik obyek formalnya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas dan
intinya yang terdapat dibalik yang bersifat lahiriah.[8]
a. Tahapan filsafat
Bila
ditinjau sebagai suatu aktivitas, maka ada beberapa tahapan filsafat: pertama:
Logis, yaitu sesuai dengan undang-undang berpikir dalam memahami, memutuskan
dan memberikan argumentasi. Kedua: sistematis, yaitu melalui sistem atau
alur pikiran yang sistemik sehingga ditemukan satu koherensi antara satu
pernyataan dengan pernyataan yang lain. Ketiga: Radikal, yaitu sampai
pada akar setiap masalah dan terakhir adalah universal, yaitu secara umum dan
keseluruhan.[9]
b.
Objek
filsafat
Adapun
objek bahasan filsafat terbagi menjadi tiga bahasan pokok diantaranya adalah
sebagai berikut:
1)
Alwujud/ ontologi
Pembahasan ontologi mencakup hakikat segala yang ada. Pada umumnya
bahasan “yang ada” terbagi menjadi dua bidang, yakni fisika dan metafisika.
Bidang fisika mencakup tentang manusia, alam semesta dan segala sesuatu yang
terkandung di dalamnya, baik hidup maupun benda mati. Sementara bidang
metafisika membahas ketuhanan dan masalah yang imateri.
2) Alma’rifat/ epistemologi
Pembahasan epistemology bersangkutan dengan hakikat pengetahuan dan cara
bagaimana atau dengan sarana apa pengetahuan dapat diperoleh. Hakikat
pengetahuan ini ada dua teori. Teori pertama disebut realisme yaitu gambaran
yang sebenarnya dari apa yang ada dalam
alam nyata. teori kedua disebut idealisme yaitu teori yang berpandangan
bahwa pengetahuan adalah gambaran menurut pendapat orang yang mengetahui.
Adapun metode untuk memperoleh pengetahuan adalah yang pertama secara empirisme
dan rasionalisme.
3) Alqayyim/ aksiologi
Pembahasan aksiologi bersangkutan dengan hakikat nilai. Dalam menentukan
hakikat atau ukuran baik dan buruk dibahas dalam filsafat etika atau akhlak.
Dalam menentukan hakikat atau ukuran benar dan salah dibahas dalam filsafat
logika atau mantiq. Dalam menentukan hakikat atau ukuran indah dan tidaknya
dibahas dalam estetika atau jamal.[10]
c. Sumber- sumber
Filsafat
Alquran pada dasarmya merupakan buku petunjuk dan pegangan keagamaan,
namun diantara isinya mendorong umat islam supaya banyak berfikir. Hal ini
dimaksudkan agar mereka melalui pemikiran akalnya sampai pada kesimpulan adanya
allah pencipta alam semesta dan sebab segala kejadian di alam ini. Telah
dikemukakan bahwa alquran merupakan pendorong utama lahirnya pemikiran filsafat
dalam islam. Dalam alquran terdapat banyak ayat pendorong pemeluknya agar
banyak berfikir dan mempergunakan akalnya. Kata- kata yang digunakan alquran
dalam menggambarkan kegiatan berfikir ialah:
1) Kata- kata berasal
dari aqala, yang mengandung arti mengerti memahami dan berfikir,
terdapat dalam lebih 45 ayat.
2) Kata- kata yang
berasal dari tafakkara, yang berarti berfikir, terdapat 16 ayat dalam
alquran.
3) Kata- kata yang
berasal dari kata faqiha, yang berarti mengerti dan paham, terdapat 16
ayat dalam alquran. [11]
Selain alquran dorongan terhadap akal dan pemikiran filsafat juga datang
dari hadits sebagai sumber kedua dari ajaran islam. Diantara hadits yang
memberikan penghargaan tinggi pada akal, salah satunya dari hadits qudsi yang
menggambarkan betapa tingginya kedudukan akal dalam ajaran islam dapat dilihat
dari arti hadits dibawah ini:
“Demi
kekuasaan dan keagunganku tidaklah kuciptakan makhluk lebih mulia dari engkau
(akal). Karena engkaulah aku mengambil dan memberi dank arena engkaulah aku
menurunkan pahala dan menjauhkan siksa”.[12]
Selain alquran dan hadist yang menjadi sumber dari filsafat islam adalah
perspektif kesejarahan, dengan perspektif ini, filsafat islam dilihat sebagai
mata rantai dari filsafat-filsafat atau pemikiran-pemikiran yang ada sebelumnya.
Bentuk ekstrem dari perspektif sejarah ini adalah kesimpulan yang menyatakan bahwa
filsafat islam hanya merupakan filsafat yunani-alexandria yang kemudian dikalangan
filosof islam dikemas dengan “baju” islam. Kita sebenarnya tidak bisa menolak
bahwa filsafat islam tidak mungkin tumbuh tanpa adanya proses transmisi
ilmu-ilmu di luarnya.[13]
2. Pengertian Teologi
Virgilius
Verm mengatakan bahwa, teologi berasal dari bahasa Yunani theos yang
berarti Tuhan, dan logos yang berarti ilmu. Dalam arti sederhana teologi
berarti studi masalah-masalah Tuhan dan kaitan Tuhan dengan dunia realitas.
Jadi, dalam pengertiannya lebih luas teologi merupakan cabang filsafat, yaitu
cabang filsafat yang merupakan lapangan khusus atau bidang penelitian filsafat
yang khusus berkenaan dengan masalah Tuhan yang dipergunakan dalam arti theoretical
expression of a particular religion, ekspresi teoritis tentang suatu agama
tertentu. Dalam arti ini, teologi merupakan fase-fase diskusi teoritis tentang
kepercayaan agama tertentu yang bersifat historik, sistematik, polemik,
apologetik, dan sebagainya. Dalam arti ini juga teologi merupakan diskusi
teoritis murni tentang Tuhan dan hubungannya dengan dunia atas dasar penelitian
yang bebas.[14]
Dalam
perkembangannya, rumusan teologi kemudian dimaknai secara variatif sesuai
dengan masing-masing agama. St. Eusebius, seorang peletak teologi Kristen
setelah St. Origenes, misalnya, merumuskan definisi teologi sebagai pengetahuan
tentang Tuhan umat Kristen dan tentang Kristus. Ia mengemukakan definisi ini
untuk membersihkan teologi dari mitos-mitos pagan yang diwariskan oleh
Neo-Platonisme dan para filusuf Yunani Kuno. Dalam Islam, definisi teologi juga
berkembang sedemikian rupa dan beragam, dengan berbagai dimensi dan variasinya.
Istilah “teologi” atau “teologi Islam” disepadankan dengan beberapa istilah
berikut ini. Pertama, ilmu kalam. Disebut ilmu kalam setidaknya karena
dua hal; 1). Persoalan terpenting yang menjadi pembicaraan pada abad-abad
permulaan Hijriyah ialah apakah kalam Allah (al-Qur’an) itu qodim atau hadits.
2). Dasar ilmu kalam ialah dalil-dalil pikiran dan pengaruh dalil pikiran
ini tampak jelas dalam pembicaraan para mutakallimin. Mereka jarang
mempergunakan dalil naqli (al-Qur’an dan hadis), kecuali sesudah
menetapkan benarnya pokok persoalan terlebih dahulu berdasarkan dalil-dalil
pikiran.[15] Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam perspektif Nasution,
teologi dalam tradisi islam diekualivalensikan dengan ilmu kalam. Menurutnya
karena persoalan yang pertama- tama menjadi perbincangan dalam konteks teologi
islam adalah persoalan kalam tuhan, makanya keilmuan ini juga disebut dengan
ilmu kalam. Maksudnya ilmu yang membincang pertama- tamanya tentang kalam atau
firman tuhan. Ekuivalensi teologi islam dengan ilmu kalam berengkali mendapat
pengabsahannya lebih jauh kalau mencermati konteks sejarahnya. Term kalam yang
secara literal bermakna pembicaraan atau perkataan digunakan untuk
menerjemahkan kata logos dalam tradisi pemikiran filsafat. Term logos dalam
bahasa yunani mempunyai pengertian yang bervariasi baik yang berarti perkataan,
pikiran maupun argumentasi. Tidak heran jika makna kalam pada waktu itu
digunakan dalam konteks yang luas.[16]
Kedua, ilmu tauhid.
Dinamakan ilmu tauhid karena pokok pembahasannya menitikberatkan pada ke-Esa-an
Allah Swt. Tauhid adalah percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mempercayai
tidak ada yang menjadi sekutu bagi-Nya. Tujuan tauhid adalah menetapkan
ke-Esa-an Allah dalam Dzat, sifat, dan perbuatan-Nya. Karena itulah pembahasan
yang berhubungan dengan-Nya dinamakan ilmu tauhid.[17] Ketiga,
ilmu ushuluddin. Disedut demikian karena objek pembahasan utamanya
adalah dasar-dasar agama yang merupakan masalah esensial dalam ajaran Islam.
Masalah kepercayaan itu betul-betul menjadi dasar pokok dari persoalan lain
dalam agama Islam. Ilmu ushuluddin adalah ilmu yang membahas tentang
prinsip-prinsip kepercayaan agama dengan dalil-dalil yang qath’i (al-Qur’an
dan hadis) dan dalil-dalil akal pikiran. Keempat, ilmu aqaid (akidah),
yang membicarakan tentang kepercayaan Islam. Penamaan dan makna istilah ini
mirip dengan ilmu tauhid. Syaikh Thahir al-Jazary mendefinisikan akidah adalah
hal-hal yang diyakini oleh orang-orang Islam, artinya mereka menetapkan atas
kebenarannya. Kelima, al-fiqh al-akbar. Nama ini tidak banyak muncul
kecuali di dalam perkembangan ilmu itu. Kemunculannya juga tidak berlangsung
lama setalah ilmu akidah berkembang dan mencapai kesempurnaannya. Istilah al-fiqh
al-akbar dicetuskan oleh Abu Hanifah, yang sebenarnya mengacu pada
persoalan hukum Islam (fikih).[18]
a.
Faktor
pendorong lahirnya ilmu kalam
Adapun faktor
pendorong lahirnya ilmu kalam dibagi menjadi dua, yaitu faktor dari dalam dan
faktor dari luar.
1)
Faktor intern
Adapun faktor
intern lahirnya ilmu kalam antara lain adalah sebagai berikut:
a)
Sebagian orang
musyrik ada yang menuhankan bintang dilangit sebagai sekutu allah SWT.
b)
Adanya orang-
orang yang menuhankan nabi isa as.
c)
Orang- orang
yang menyembah berhala.
d)
Golongan yang
tidak percaya akan kerasulan nabi, teristimewa nabi muhammad SAW. Dan tidak
percaya akan kehidupan kembali di akhirat.
e)
Golongan
orang- orang yang mengatakan semua yang terjadi di dunia adalah dari perbuatan
tuhan semuanya, dengan tidak ada campu tangan manusia.[19]
f)
Persoalan kekhalifahan (imamah) muncul pada masa akhir kekhalifahan
usman bin affan, yakni terbunuhnya usman yang mengakibatkan perdebatan teologi
kelompok as-sunnah wa al-istiqomahmenyebut bahwa pembunuhan usman adalah
perbuatan zalim dan merupakan permusuhan dan kelompok lain menyebut berbeda
dengan kelompok pertama (bukan bentuk kezaliman).[20]
2)
Faktor ekstern
a)
Banyak diantara pemeluk-pemeluk Islam yang mula-mula beragama yahudi,
masehi dan lain-lain, setelah fikiran mereka tenang dan sudah memegang teguh
Islam , mereka mulai mengingat-ingat agama mereka yang dulu dan dimasukkannya
dalam ajaran-ajaran Islam.
b)
Golongan Islam yang dulu, terutama golongan mu’tazilah memusatkan
perhatiannya untuk penyiaran agama Islam dan membantah alasan-alasan mereka
yang memusuhi Islam. mereka tidak akan bisa menghadapi lawan-lawanya
kalau mereka sendiri tidak mengetahui pendapat-pendapat lawan-lawannya beserta
dalil-dalilnya. Sehingga kaum muslimin memakai filsafat untuk menghadapi musuh-musuhnya.[21]
c)
Kebutuhan para mutakallimin ingin mrngimbangi lawan-lawanya yang
menggunakan filsafat, dengan mempelajari logika dan filsafat dari segi
ketuhanan.[22]
b.
Firqoh- firqoh dalam ilmu kalam
Firqoh adalah perbedaan pendapat dalam soal- soal akidah atau masalah shuliyah.
Adapun firqoh- firqoh yang terdapat dalam ilmu kalam diantaranya adalah firqoh
syiah, khawarij, mu’tazilah, qadariyah, jabariyah, murjiah dan ahlus sunnah.
Dalam kristen misalnya, katolik dan protestan.[23]
c.
Pembahasan teologi/ ilmu kalam
1)
Wujud Tuhan
Seseorang yang
menghargai akal pikirannya dan ingin mempertemukannya dengan ajaran-ajaran
agama. Hendaklah ia pertama-tama mencari bukti-bukti adanya Tuhan, yang menjadi
pangkal soal-soal lainnya, mengutus rasul-rasul dan soal-soal keakhiratan. Pembuktian adanya
Tuhan benar-benar telah dibicarakan golongan-golongan Islam, baik aliran-aliran
ilmu kalam maupun filsuf-filsuf Islam. golongan-golongan yang telah mengambil
bagian dalam soal “wujud Tuhan”, Ahmad Hanafi, menguraikan 4 aliran: Aliran Mu‟tazilah
dan al- ‟Ash‟ariyyah, Aliran Maturidi, Aliraan Tasawuf, dan Aliran Ibn Rusyd.
Imamiyah dan
Mu’tazilah sepakat bahwa esensi Allah melalpaui jasmani. Lagi pula, dia
mustahil dibatasi oleh ruang atau waktu. Akan tetapi, Hanbaliyah dan Asy’ariyah
dan Qaramithah berpendapat bahwa derajat keagungan Allah mempunyai batas yang
betdekatan dengan bagian paling tinggi dari singgasananya. Mereka mendasarkan
kepercayaan ini pada makna esoteris ayat- ayat tertentu sebagaimana yang
dijelaskan dalam surat Tha Ha ayat 5 dan surat Al- Maidah ayat 64. Ali Ibn Abi Thalib, panutan kaum Muslim
Syi’ah, membuat pernyataan tegas yang menolak pendangan kejasmanian Allah dan
menempatkan Allah di atas kualitas- kualitas yang dapat disifatkan pada
makhluknya.[24]
2)
Zat dan Sifat
Kaum muslimin
abad pertama Hijrah kalau bertemu dengan ayat-ayat mutashabihat atau ayat-ayat
yang membicarakan sifat-sifat Tuhan, seperti ayat- ayatyang berisi tangan
tempat bagi Tuhan, tidak mau membicarakan isinya, juga tidak mau menakwilkan,
meskipun mereka berpendirian seharusnya, karena Tuhan maha suci dan tidak bisa
disamakan dengan makhluk. Perdebatan itu kemudian beralih menjadi pembicaraan
golongan-golongan Islam, sebagaimana golongan-golongan yang di uraikan Ahmad
Hanafi, yakni Mushabbihah, Mu‟tazilah, filsuf-filsuf Islam, Al-‟Ash‟ariyah, dan
Ibn Rushd.
Ada dua jenis
keesaan (tauhid). Pertama, Allah yang maha tinggi, adalah esa
dalam esensi (Dzatnya) dan keniscayaan eksistensinya. Dia ada dengan
sendirinya. Dia di luar setiap materi dan secara potensial tidak tidak tersusun
dari sesuatupun. Dia tidak tumbuh dan berkembang menjadi wujud- wujud lain,
baik dalam bentuk gagasan maupun bentuk nyata. Kedua, sifat- sifat Allah
mempunyai sifat dasar yang sama sebagaimana halnya dzatnya. Para ulama kalam
dan filasaf rasional menyatakan, ada dua jenis sifat Allah, yaitu sifat yaang
positif dan sifat yang negatif. Sebagian sifat positif Allah antara lain,
Mahahidup, Mahatahu, Mahakuasa, dan kekal. Sifat- sifat negatif Allah, semua
menegaskan bahwa Allah lepas dan jauh dari setiap keterbatasan. Sifat- sifat
ini juga disebut sifat- sifat keagungan atau kemuliaan yang memustahilkan dia
diciptakan atau membuktikan bahwa dia itu berdiri sendiri, lepas dan jauh dari
hal- hal seperti keterbagi- bagian, kejasmanian dan mengalami inkarnasi
(terwujud dalam bentuk manusia). Sehingga dapat dikatakan bahwa Allah tidak
berjasad, tidak berbentuk dan tidak mempunyai cacat. Dia tidak tersusun dari
sesuatupun. Pendeknya, dia terhindar dan jauh dari setiap sifat dari wujud yang
relatif.[25]
3)
Qada dan Qadar
Persoalan qada
dan qadr tidak habis-habisnya dibicarakan orang hingga sekarang tidak ada
kesepakatan pendapat. Al-Qur‟an sendiri, disatu pihak beberapa ayat menetapkan
pertanggungan jawab manusia atas perbuatannya. Di pihak lain beberapa ayat
menyatakan bahwa Tuhan yang menjadikan segala sesuatu. Ahmad Hanafi,
menguraikannya dari golongan Jabariyyah, Mu‟tazilah, Al-‟Ash‟ariyah,
Maturidiyah, dan Ibn rushd.[26]
Dalam sejumlah
ayat Al- Quran menyatakan bahwa Allah telah menetapkan secara mutlak hal- hal
tertentu pada para hambanya. Nabi menegaskan perkara qadar dan takdir dalam
sejumlah ucapannya. Diantara ucapan beliau tentang qadar yang paling terkenal
adalah “penah telah mengering dalam perkara penciptaan. Tuhanmu telah
menyelesaikan urusan manusia tentang siapa yang akan masuk surga dan siapa yang
akan masuk neraka.[27]
d.
Sumber- sumber
Teologi
Sumber utama
ilmu kalam ialah alquran dan al- hadits yang menerangkan tentang wujudnya allah
SWT, sifat- sifatnya dan persoalan akidah iskam lainnya. Ulama- ulama islam
dengan tekun dan teliti memahami nash- nash yang bertalian dengan akidah ini,
menguraikan dan menganalisnya dan masing- masing golongan memperkuat
pendapatnya dengan nash- nash tersebut. Oleh karena itu pembahasan ilmu kalam
selalu berdasarkan kepada dua hal, yaitu dalil naqli (alquran dan al- hadits) dan
dalil- dalil aqli (akal pikiran). Berdasarkan penjelasan di atas maka sumber
ilmu kalam itu bersumber pada alquran dan hadits, yang perumusan- perumusannya
didorong oleh unsur- unsur dari dalam dan dari luar.[28]
Para ulama
tasawuf berbeda pendapat tentang asal usul penggunaan kata tasawuf. Dari
berbagai sumber rujukan buku-buku tasawuf, paling tidak ada lima pendapat
tentang asal kata dari tasawuf. Pertama, kata tasawuf dinisbahkan kepada
perkataan ahlshuffah, yaitu nama yang diberikan kepada sebagian fakir
miskin dikalangan orang Islam pada masa awal Islam. Mereka adalah diantara
orang-orang yang tidak punya rumah, maka menempati gubuk yang telah dibangun
Rasulullah di luar masjid di Madinah. Ahl al-Shuffah adalah sebuah
komunitas yang memiliki ciri yang menyibukkan diri dengan kegiatan ibadah.
Mereka meninggalkan dunia dan memilih pola hidup zuhud. Mereka tinggal di
masjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai pelana (sofa), mereka
miskin tetapi berhati mulia. Para sahabat nabi hasil produk shuffah ini antara
lain Abu Darda’, Abu Dzar al Ghifari dan Abu Hurairah
Kedua, ada pendapat
yang mengatakan tasawuf berasal dari kata shuf, yang berarti bulu
domba. Berasal dari kata shuf karena orang-orang ahli ibadah dan zahid
pada masa dahulu menggunakan pakaian sederhana terbuat dari bulu domba. Dalam
sejarah tasawuf banyak kita dapati cerita bahwa ketika seseorang ingin memasuki
jalan kedekatan pada Allah mereka meninggalkan pakaian mewah yang biasa
dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun sederhana. Tradisi
pakaian sederhana dan compang camping ini dengan tujuan agar para ahli ibadah
tidak timbul rasa riya’, ujub atau sombong. Ketiga, tasawuf berasal dari
kata shofi, yang berari orang suci atau orang-orang yang mensucikan
dirinya dari hal-hal yang bersifat keduniaan. Mereka memiliki ciri-ciri khusus
dalam aktifitas dan ibadah mereka atas dasar kesucian hati dan untuk
pembersihan jiwa dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Mereka adalah
orang yang selalu memelihara dirinya dari berbuat dosa dan maksiat. Pendapat yang
keempat mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata shaf, yaitu
menggambarkan orang-orang yang selalu berada di barisan depan dalam beribadah
kepada Allah dan dalam melaksanakan kebajikan. Sementara pendapat yang lain
mengatakan bahwa tasawuf bukan berasal dari bahasa Arab melainkan bahasa Yunani,
yaitu sophia, yang artinya hikmah atau filsafat. Menisbahkan dengan kata
sophia karena jalan yang ditempuh oleh para ahli ibadah memiliki
kesamaan dengan cara yang ditempuh oleh para filosof. Mereka sama-sama mencari
kebenaran yang berawal dari keraguan dan ketidakpuasan jiwa.[30]
Selain
penjelasan di atas para ulama juga memberikan pengertian tasawuf sebagaimana
yang dijelaskan alkurdi tasawuf adalah suatu ilmu yang mempelajari hal ihwal
kebaikan dan keburukan jiwa cara membersihkannya dari sifat- sifat yang buruk
dan mengisinya dengan sifat- sifat yang terpuji, cara melakukan suluk melangkah
menuju keridlaan allah dan meninggalkan larangannya menuju kepada perintahnya.
Menurut alnuri tasawuf adalah penyangkalan semua kesenangan diri sendiri.[31]
Menurut al- syadzili tasawuf adalah latihan- latihan jiwa dalam rangka ibadah,
menempatkan dan mengembalikan jiwa sesuai dengan ketentuan dan hukum ketuhanan.[32] Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa
ilmu tasawuf adalah mempelajari bagaimana mensucikan jiwa sesuci mungkin dalam
usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiran Tuhan senantiasa
dirasakan secara sadar dalam kehidupan.[33]
a.
Sejarah Munculnya
Tasawuf
Sejak dekade akhir abad II Hijriah, sufisme sudah popular di
kalangan masyarakat di kawasan dunia Islam, sebagai perkembangan lanjutan dari
gaya keberagaman para zahid dan ‘abid, kesalehan yang mengelompok di serambi
mesjid Madinah. Fase awal ini juga disebut sebagai fase asketisme yang merupakan
bibit awal tumbuhnya sufisme dalam peradaban Islam. Keadaan ini ditandai oleh
munculnya individu-individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat, sehingga
perhatiannya terpusat untuk beribadah dan mengabaikan keasyikan duniawi. Fase
asketisme ini setidaknya berlangsung sampai akhir abad II Hijriah, dan memasuki
abad ke III sudah menampakkan adanya peralihan dari asketisme ke sufisme. Fase
ini dapat disebut sebagai fase kedua, yang ditandai oleh (antara lain)
pergantian sebutan zahid menjadi sufi. Di sisi lain, pada kurun waktu ini
percakapan para zahid sudah meningkat pada persoalan bagaimana jiwa yang bersih
itu, apa itu moralitas dan bagaimana pembinaannya serta perbincangan masalah
kerohanian lainnya.
Tindak lanjut dari diskusi ini, bermunculanlah berbagai konsepsi
tentang jenjang perjalanan yang harus ditempuh seorang sufi (al-maqamat) serta
cir-ciri yang dimiliki oleh seorang salik (calon sufi) pada tingkatan tertentu
(al-ahwal). Demikian juga pada periode ini sudah mulai berkembang
perbincangantentang pada derajat fana dan ittihad. Bersamaan dengan itu,
tampillah para penulis tasawuf terkemuka, seperti al-Muhasibi (w.234 H),
al-Harraj (w. 277H) dan al-Junaid al-Baghdadi (w. 297H), dan penulis lainnya.
Secara konseptualtekstual lahirnya sufisme barulah pada periode ini, sedangkan
sebelumnya hanya berupa pengetahuan perorangan dan atau semacam langgam
keberagamaan. Sejak kurun waktu itu sufisme berkembang terus ke arah
penyempurnaan dan spesifikasi terminologi seperti konsep intuisi, dzauq dan
al-kasyf.[34]
b.
Ciri umum tasawuf
Menurut abu al- wafa’ al- ghanimi secara umum tasawuf mempunyai
lima ciri umum, yaitu:
1)
Peningkatan moral
2)
Pengetahuan intuitif langsung
3)
Timbulnya rasa kebahagiaan sebagai karunia allah dalam diri
seorang sufi karena tercapainya maqamat.
4)
Penggunaan simbol- simbol pengungkapan yang biasanya mengandung
pengertian harfiah dan tersirat.[35]
c.
Macam- macam Tasawuf
Adapun pembagian tasawuf dibagi kedalam dua macam, yaitu tasawuf
sunni (madzhab etika) dan tasawuf madzhab epistemologi. Adapun penjelasan kedua
madzhab tawasuf tersebut adalah sebagai berikut:
1)
Tasawuf Akhlaki[36]
Secara keseluruhan ilmu tasawuf bisa dikelompokkan menjadi dua,
yaitu tasawuf ‘ilmi atau nadhari, yaitu tasawuf yang bersifat teoritis. Tasawuf
yang tercakup dalam bagian pertama ini ialah sejarah kelahiran tasawuf dan
perkembangannya sehingga menjelma menjadi ilmu yang berdiri sendiri. Termasuk
di dalamnya adalah teori-teori tasawuf menurut berbagai tokoh tasawuf dan tokoh
luar tasawuf yang berwujud ungkapan sistematis dan filosofis. Bagian kedua
adalah tasawuf ’amali atau tathbiqi, yaitu tasawuf terapan, yang merupakan
ajaran tasawuf bersifat praktis. Tidak hanya teori belaka, tetapi menuntut
pengamalan untuk mencapai tujuan tasawuf. Orang yang melaksanakan ajaran
tasawuf ini akan memperoleh keseimbangan dalam kehidupan, antara material
dengan spiritual, dunia dengan akhirat. Tasawuf akhlâqi merupakan tasawuf yang
berkonsentrasi kepada perbaikan akhlak. Melalui berbagai metode tertentu yang
telah dirumuskan, tasawuf bentuk ini berkonsentrasi kepada upaya-upaya
menghindarkan diri dari akhlak yang tercela (madzmûmah) dan mewujudkan akhlak
yang terpuji (mahmûdah) di dalam diri para sufi.[37]
Bagian terpenting dari tujuan taswuf adalah memperoleh
hubungan langsung dengan tuhan, sehingga
merasa dan sadar berada di hadirat tuhan. Keberadaan dihadirat tuhan dirasakan
sebagai kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki. Semua sufi berpendapat bahwa
satu- satunya jalan yang dapat menghantarkan seseorang kehadirat allah hanyalah
dengan kesucian jiwa. Karena jiwa manusia merupakan refleksi atau pancaran dari
dzat allah yang maha suci. Untuk mencapai tingkat kesempurnaan dan kesuciaan,
jiwa memerlukan pendidikan dan latihan mental yang panjang. Oleh karena itu
pada tahap pertama, teori dan amalan tasawuf diformulasikan dalam bentuk
pengaturan sikap mental dan kedisiplinan tingkah laku yang ketat. Dengan kata
lain, bahwa untuk mencapai tingkat kebahagiaan yang optimum, manusia harus
lebih dahulu mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri- ciri ketuhanan
melalui penyuciaan jiwa raga yang bermula dari pembentukan pribadi yang
bermoral paripurna dan berakhlak mulia.
Oleh karena itu, dalam rangka pendidikan mental spiritual,[38]
metode yang ditempuh para sufi adalah menanamkan rasa benci kepada kehidupan
duniawi. Para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang
tidak baik diperlukan terapi yang hanya dari aspek lahiriah. Oleh sebab itu,
pada tahap awal memasuki kehidupan tasawuf seorang diharuskan melakukan amalan
dan latihan keharohania yang cukup berat.[39]
Untuk itu dalam tasawuf akhlaki, sistem pembinaan akhlak disusun sebagai
berikut:
a)
Takhalli[40]
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus dijalani seorang
sufi. Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku akhlak tercela.
Salah satu akhlak tercela yang paling banyak membawa pengaruh terhadap
timbulnya akhlak jelek lainnya adalah ketergantungan pada kelezatan duniawi.
Hal ini dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam
segala bentuknya dan berusaha melenyapkan dorongan hawa nafsu. Dalam menanamkan
rasa benci terhadap kehidupan duniawi serta mematikan hawa nafsu, para sufi
berbeda pendapat. Sekelompok sufi yang moderat[41]
berpendapat bahwa rasa kebencian terhadap kehidupan duniawi cukup sekedar tidak
melupakan tujuan hidupnya dan tidak meninggalkan duniawi sama sekali. Demikian
juga dengan pematian hawa nafsu cukup dengan sekedar dikuasai melalui
pengaturan disiplin kehidupan. Sedangkan kelompok sufi yang ekstrim
berkeyakinan bahwa kehidupan duniawi benar- benar sebagai racun pembunuh
kelangsungan cita- cita sufi. Persoalan duniawi adalah penghalang perjalanan,
karenanya nafsu yang bertendensi duniawi harus dimatikan agar manusia bebas berjalan
menuju tujuan, yaitu memperoleh kebahagiaan spiritual yang hakiki. Bagi mereka,
cara memperoleh keridlaan tuhan tidak sama dengan cara memperoleh kenikmatan
material. Pengingkaran ego dengan cara meresapkan diri pada kemauan tuhan
adalah perbuatan utama.[42] Jika hati telah
dihinggapi penyakit atau sifat-sifat tercela, maka ia harus diobati. Obatnya
adalah dengan melatih membersihkannya terlebih dahulu, yaitu melepaskan diri
dari sifat-sifat tercela agar dapat mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji
untuk memperoleh kebahagiaan yang hakiki.[43]
Tahalli adalah
upaya mengisi atau menghiasi diri dengan jalan membiasakan dir dengan sikap,
prilaku dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakuakn para kaum sufi dilakukan
setelah jiwa di kosongkan dari akhlak-akhlak jelek. Pada tahap tahalli, kaum
sufi berusaha agar setiap gerak prilaku selalu berjalan diatas ketentuan agama,
baik kewajiban yang bersifat luar maupun yang bersifat dalam. Aspek luar adalah
kewajiban yang bersifat formal, seperti shalat, puasa dan haji, sedangkan aspek
dalam seperti iman, ketaatan dan kecintaan kepada tuhan. Dengan demikian, tahap
tahassslli merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan. Sebab apabila
suatu kebiasaan telah dilepaskan, tetapi tidak segera ada penggantinya,
kekosongan itu dapat menimbulkan frustasi. Oleh karen itu ketika kebiasaan lama
ditinggalkan, harus segera diisi dengan satu kebiasaan baru yang baik.[45]
Sifat-sifat
yang tepuji atau dalam ilmu akhlaq disebut Akhlaqul Mahmudah yang harus mengisi
jiwa muslim yang nantinya akan dapat mengantarnya menuju kepada Allah sekaligus
menyingkap tabir antara Kholiq dan makhluk. Hati manusia apabila sudah diisi
(dan sebelumnya sudah dibersihkan dari sifat-sifat tercela) dengan sifat-sifat
terpuji, maka hatinya akan menjadi cerah dan terang benderang, sehingga hati
itupun dapat menerima cahaya dari sifat-sifat terpuji tersebut. Tetapi hati
yang belum dibersihkan tidak akan dapat menerima cahaya dari sifat-sifat
terpuji tersebut. Manusia yang sudah mengosongkan hatinya dari sifat-sifat
tercela (Takhalli) dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji (Tahalli), maka
segala perbuatan dan tindakannya sehari-hari akan selalu didasari niat yang
ikhlas, seluruh hidup dan gerak kehidupannya diikhlaskan untuk mencari
keridhoan Allah semata-mata. Manusia seperti inilah yang dapat mendekatkan diri
kepada Allah, dan Allah senantiasa memberi rahmat dan perlindungan kepadanya.
Inilah yang dicari di dalam hidup dunia ini, hidup bahagia di dunia dan di
akhirat.[46]
Di antara
sikap mental dan perbuatan baik yang sangat penting untuk diisikan kedalam jiwa
manusia antara lain sebgai berikut:
(1)
Taubat[47]
Menurut Qamar
Kailani dalam bukunya Fi At- Tashawwuf Al- Islam, taubat adalah rasa
penyesalan yang sungguh- sungguh dalam hati dengan disertai permohonan ampun
serta meninggalkan segala perbuatan yang menimbulkan dosa.[48]Al
Ghazali mengkalisifikasi taubat menjadi tiga tingkatan yaitu:
(a)
Meninggalkan
kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih kepada kebaikan karena takut pada
sisa Allah;
(b)
Beralih
satu situasi yang sudah baik menuju ke situasi yang lebih baik lagi yang
disebut “inabah”;
(c)
Rasa
penyesalan yang dilakukan semata-mata karena ketaatan dan kecintaan kepada
Allah, yang disebut “Aubah.[49]
(2)
Khauf dan Raja,
Sikap mental
takut (khauf) dan harap (raja’), merupakan salah satu ajaran tasawuf yang
selalu dikaitkan kepada Hasan Basri, karena secara historismemang dialah yang
pertama kali memunculkan ajaran ini sebagai ciri kehidupan sufi. Menurut Hasan
Basri, yang dimaksud dengan takut dan harap adalah suatu perasaan yang timbul
karena banyak bernuat salah dan sering lalai kepada Allah. Karena sering
menyadari kekurangsempurnaannya dalam mengabdi kepada Allah, timbullah rasa
takut, khawatir kalau-kalau Allah akan murka kepadanya.[50]
Menurut Al Ghazali, rasa takut (khauf) diperlukan untuk mencegah
diri dari berbagai bentuk kemaksiatan dan mencegah nafsu merusak amal ibadah
dengan cara merasa bangga terhadap ibadah yang dilakukan selama ini. Sedangkan
harapan (raja’) diperlukan untuk mendorong hati agar taat dan beribadah kepada
Allah, dan agar lebih mudah untuk bertahan dalam menghadapi kesusahan dan
kesulitan.[51]
Rasa takut itu akan mendorong seseorang untuk mempertinggi nilai
kdan kadar pengabdiannya dengan harap (raja’), ampunan dan anugerah allah. oleh
karena itu, ajaran khauf dan raja’ merupakan sikap mental yang
bersifat introspeksi, mawas diri dan selalu memikirkan kehidupan yang akan
datang, yaitu kehidupan abadi.[52]
(3) Zuhud
Terdapat
pemahaman dan penafsiran yang beragam terhadap zuhud. Namun secara umum zuhud
dapat diartikan sebagai suatu sikap melepaskan diri dari rasa ketergantungan
terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat. Zuhud yang dipahami sebagai ketidakterikatan pada dunia
atau harta benda, kalau dilihat dari maksudnya, maka dapat dibagi menjadi tiga
tingkatan, yaitu: Pertama, zuhud yang terendah, adalah menjauhkan dunia
ini agar terhindar dari hukuman di akhirat. Kedua, menjauhi dunia dengan
menimbang imbalan di akhirat. Ketiga, zuhud tertinggi, yaitu mengucilkan
dunia bukan karena takut atau karena berharap, tetapi karena cinta kepada Allah
belaka.[53]
Sesuai dengan pandangan sufi, hawa nafsu duniawilah yang menjadi
sumber kerusakan moral manusia. Sikap kecendrungan seseorang kepada hawa nafsu
mengakibatkan kebrutalan dalam mengejar kepuasan nafsunya. Dorongan jiwa yang
ingin menikmati kehidupan duniawi akan menimbulkan kesenjangan antara manusia
dengan allah. agar terbebas dari godaan dan pengaruh hawa nafsunya, manusia
harus bersikap hati- hati terhadap dunia. Ia harus zuhud terhadap dunia, yaitu
meninggalkan kehidupan duniawi dan melepas diri dari pengaruh materi. Secara
umum zuhud dapat diartikan sebagai suatu sikap melepaskan diri dari rasa
ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan
akhirat.[54]
Istilah alfaqr bermakna tidak menuntut lebih banyak dari
apa yang telah dipunyai dan merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki,
sehingga tidak meminta sesuatu yang lain. Sikap mental faqr merupakan benteng
pertahanan yang kuat dalam menghadapi pengaruh kehidupan materi. Sebab sikap
mental ini akan menghindarkan seseorang dari keserakahan. Dengan demikian, pada
prinsipnya, sikap mental faqr merupakan rentetan sikap zuhud. Hanya saja, zuhud
lebih keras menghadapi kehidupan duniawi, sedangkan faqr sekedar pendisiplinan
diri dalam mencari dan memanfaatkan fasilitas hidup.[56]
Salah
satu sikap mental yang fundamental bagi seorang
sufi adalah sabar. Sabar diartikan sebagai suatu kedaan jiwa yang kokoh,
stabil dan konsekuen dalam pendirian. Jiwanya tidak tergoyahkan, pendiriannya
tidak berubah bagaimanapun berat tantangan yang dihadapi, pantang mundur dan
tak kenal menyerah. Sikap sabar dilandasi oleh anggapan bahwa segala sesuatu
yang terjadi merupakan kehendak tuhan.[58]
Menurut Al
Ghazali sabar itu ada dua, yaitu: kesabaran jiwa yaitu menahan nafsu dan
amarah, dan kesabaran badani yaitu: menahan penyakit fisik. Sabar menurut Al
Ghazali tersusun dari pengetahuan (ilmu), kondisi/keadaan (hal) dan praktek
(amal). Kesabaran terbesar adalah bersabar dalam menahan syahwat dan menjauhi
faktor penyebabnya. Kesabaran yang baik adalah kesabaran orang yang ditimpa
musibah tanpa diketahui oleh orang lain jika dirinya sedang bersabar
menghadapinya. Hal ini hanya bisa dilakukan setelah melalui latihan yang
panjang dan lama. Kesabaran pada diri seeorang tidak lah sama, ada yang kuat,
pertengan da nada pula yang lemah. Rasulullah Saw. membagi tingkat kesabaran
kepada tiga tingkatan, sebagaimana sabda beliau: “sabar itu ada tiga tingkatan:
Sabar terhadap musibah, sabar dalam menta’ati Allah dan sabar dalam menjauhi
maksiat.[59]
(6) Rida
Sikap
mental rida merupakan kelanjutan rasa cinta atau perpaduan dari mahabbah dan
sabar. Istilah rida mengandung pengertian menerima dengan lapang dada dan hati
terbuka terhadap apa saja yang datang dari allah, kbaik dalam menerima serta
melaksanakan ketentuan- ketentuan agama maupun berkenaan dengan masalah nasib
dirinya.[60]
Sikap ridha
ini tidak akan tumbuh dengan sendirinya dalam hati seseorang, sebelum hati itu
ditumbuhi terlebih dahulu dengan rasa cinta, yaitu cinta kepada Allah. bila
perasaan cinta kepada Allah ini telah berurat berakar dalam diri kita, maka apa
saja yang hendak Allah perbuat atas diri kita, akan terasa indah dan senang
menerimanya.[61]
(7) Muraqabah
Seorang
calon sufi sejak awal sudah diajarkan bahwa dirinya tidak pernah lepas dari
pengawasan Allah. seluruh aktivitas hidupnya ditunjukkan untuk berada sedekat
mungkin dengna Allah. ia tahu dan sadar bahwa Allah memandang kepadanya.
Kesadaran itu membawanya pada suatu sikap mawas diri atau muraqabah. Kata
ini mempunyai arti yang mirip dengan introspeksi atau self correction.
Dengan kalimat yang lebih populer dapat dikatakan bahwa muraqabah adalah
setiap saat siap dan siaga meneliti keadaan diri sendiri.[62]
c)
Tajalli
Untuk
pemantapan dan pendalam materi yang telah dilalui pada fase tahalli,
rangkaian pendidikan akhlak disempurnakan pada fase tajalli. Tajalli
bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa
dan organ- organ tubuh yang telah berisi djengan butir- butir mutiara akhlak
dan terbiasa melakukan perbuatan luhur tidak berkurang, rasa ketuhanan perlu
dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa
kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu
kepadanya. Para sufi sependapat bahwa tingkat kesempurnaan kesucian jiwa hanya
dapat ditempuh dengan satu jalan, yaitu cinta kepada allah dan memperdalam rasa
kecintaan itu. Dengan kesucian jiwa, jalan untuk mencapai tuhan akan terbuka.
Tanpa jalan ini tidak ada kemungkinan terlaksananya tujuan dan perbuatan yang
dilakukan pun tidak dianggap sebagai perbuatan yag baik.[63]
d)
Tokoh- tokoh
Tasawuf Akhlaki
(1)
Hasan Al-
Bashri
(a)
Biografi Hasan
Al- Bashri
Nama
lengkapnya adalah Abu Sa’id al-Hasan bin Abu Hasan. Dia lahir dimadinah pada
tahun 21 H / 641 M dan meningal dunia pada tahun 10 H / 728 M. Ia dilahirkan
pada tahun terakhir dari kekhalifan umar bin khatab pada tahun 21 H. asal
keluarganya berasal dari Misan, suatu desa yang terletak antara Basrah dan
Wasith. Kemudian mereka pindah ke Madinah. Ayah Hasan Al- Basri adalah seorang
budak milik Zaid bin Tsabit yang bernama Yasar, sedangkan ibunya juga seorang
budak milk Ummu Salamah (istri Nabi), yang bernama Khaeriyah,. Ummu salamah
sering mengutus budaknya untuk suatu keperluannya, sehinga Hasan seorang anak
budaknya sering disusui oleh Ummu Salamah. Dikisahkan bahwa Ummu Salamah
sebelum islam adalah seorang yang paling sempurna akhlaknya dan pendirianya
sangat teguh, ia juga seorang perempuan yang sangat luas keilmuanya diantara
istri-istri Nabi. Kemungkinan besar Hasan al-Basri menjadi ulama yang sangat
populer dan sangat dihormati, dikarenakan atas barakah susuan Ummu Salamah yang
diberikan ketika Hasan al-Basri masih kecil.
Pada usia 12
tahun ia sudah hafal al-qur’an , saat usianya 14 tahun hasan bersama
keluarganya pindah ke kota Basrah, irak. Semenjakitulah ia dikenal dengan nama
Hasan al- Basri, yaitu Hasan yang bertempat tingal dikota Basrah, dikala itu
basrah merupakan kota keilmuan yang pesat peradabanya, sehinga para Tabi’n yang
singah kesana untuk memperdalam keilmuannya. Di basrah ia sangat aktif untuk
mengikuti perkuliahannya, ia banyak belajar kepada ibnu abas, dari bnu abas ia
memperdalam ilmu tafsir, ilmu hadist dan qira’at. Sedangkan ilmu fiqh, bahasa dan
sastra didapatkan dari sahabat yang lain.[64]
Hasan al-Bashri dikenal sebagai seorang alim, yang
sangat mendalam ilmunya dalam fiqih dan kalam. Sebagaimana yang sudah
disebutkan diatas, ‘Amr ibn ‘Ubaid dan Washil ibn Atha, keduanya tokoh kalam
aliran Mu’tazilah, adalah muridnya. Hasan al-Bashri juga dikenal sebagai ahli
pidato yang sangat cemerlang. Dalam khutbah-khutbahnya ia menyeru manusia agar
berhati-hati terhadap tipu daya kehidupan dunia. Salah satu nasehatnya,
“Juallah duniamu dengan akhiratmu maka engkau akan mendapat keduanya. Janganlah
engkau jual duniamu dengan akhiratmu, maka engkau akan kehilangan keduanya.
Hati-hatilah terhadap tipu daya dunia. Dunia itu seperti ular, lembut kulitnya,
akan tetapi racunnya mematikan.” Dia dihormati sebagai seorang ‘alim dan wali
pada masa permulaan Islam. Hasan al-Bashri mendirikan majlis dzikir di Bashrah
di mana berkumpul murid-murid dan pengikut-pengikutnya. Pada malam Jum’at, di
awal Rajab tahun 110H/728 M, Hasan Al-Basri memenuhi panggilan Robbnya. Ia
wafat dalam usia 80 tahun. Penduduk Basrah bersedih, hampir seluruhnya
mengantarkan jenazah Hasan Al-Basri ke pemakaman. Hari itu di Basrah tidak
diselenggarakan sholat Ashar berjamaah, karena kota itu kosong tak berpenghuni.[65]
(b)
Ajaran- ajaran
Tasawuf
Abu Na’im Al-
Ashbahani[66]
telah menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan Al- Bashri sebagai berikut, “sahabat
takut (khauf) dan pengharapan (raja’) tidak akan dirundung
kemurahan dan keluhan, tidak pernah tidur senang karena selalu mengingat
Allah.” pandangan tasawufnya yang lain adalah anjuran kepada setiap orang untuk
senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh
perintah Allah dan menjauhi seluruh larangannya. Ia pernah berkata, “demikian
takutnya sehingga seakan- akan ia merasa bahwa neraka itu hanya dijadikan untuk
ia (Hasan Al- Bashri).[67]
Diantara
ajaran tasawuf Hasan Al- Bashri dan senantiasa menjadi buah bibir kaum sufi
adalah:
“anak Adam!
Dirimu,
diriku!
Dirimu hanya
satu,
Kalau ia
binasa, binasalah engkau
Dan orang yang
telah selamat tak dapat menolongmu
Tiap- tiap
nikmat yang bukan surga, adalah hina
Dan tiap- tiap
bala bencana yang bukan neraka adalah mudah.[68]
(2)
Al-Ghazali
(a)
Biografi Al-
Ghazali
Al-Ghazali
yang nama lengkapnya Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad lahir pada tahun 450
H/1058 M di Ghazaleh pinggiran kota Thus dalam wilayah Khurazan (Iran). Ayahnya
seorang sufi yang berkerja sebagai pemintal benang atau ghazali. Berarti
nama al-Ghazali terambil dari nama desa tempat kelahirannya dan sekaligus
sesuai pula dengan nama pekerjaan ayahnya. Pada saat ia masih kecil, ayahnya
telah meninggal dunia, sehingga sejak masa kanak-kanak hingga dewasa, ia
beserta saudaranya Abul Futuh berada dalam bimbingan teman ayahnya yang juga
seorang sufi. Dalam upaya mendapatkan ilmu pengetahuan, al-Ghazali pertama
sekali belajar ilmu hukum Islam (fiqh) kepada Ahmad bin Muhammad al-Radzkani di
Thus pada sekitar tahun 465 H/1073 M. Tamat dari sini, ia melanjutkan studi ke
Jurjan, belajar kepada Syekh Abul Qasim bin Ismail bin Masadat al-Jurjani yang
merupakan seorang ulama Mazhab Syafi’i serta ahli hadis dan sastra. Kemudian
pada tahun 473 H/1086 M ia meneruskan studi ke Naishabur untuk belajar fiqh,
mantiq (logika), filsafat dan ilmu al-ushul (teologi) kepada Imam al-Haramain
Abul Malali Abdul Malik al-Juwaini.[69]
Setelah imam
haramain wafat (478 H/ 1086 M), Al- Ghazali pergi ke Baghdad, tempat
berkuasanya menteri Nizham Al- Muluk (w. 485 H/ 1091 M) dan juga melrupakan
tempat berkumpul sekaligus tempat diselenggarkannya perdebatan- perdebatan
antara ulama- ulama terkenal. Sebagai seorang yang menguasai retorika
perdebatan, ia terpancing untuk melibatkan diri dalam perdebatan itu. Ternyata
ia sering mengalahkan para ulama ternama, sehingga mereka pun segan- segan
mengakui keunggulan Al- Ghazali.[70] Empat
tahun Imam Al-Ghazali memangku jabatan tersebut, berbagai pengalaman tentang
pengetahuan dan fasilitas kehidupanduniawi yang cukup sehingga kesempatan ini
digunakan untuk banyak menulis buku ilmiyah dan filsafat. Namun, kondisi
seperti ini secara psikologis tidak selamanya bisa menentramkan Al- Ghazali. Di
dalam jiwanya mulai muncul keraguan mempertanyakan ilmu pengetahuan yang
sebenarnya, mempertanyakan pola hidup yang diridhai Allah SWT dan daya serap
serta kemampuan akal dalam mencapai kebenaran.
Kondisi ini
yang memotivasinya sehingga meninggalkan Baghdad menuju kota Al-Quds,
Mekkah,Damaskus dan tinggal di Damaskus untuk belajar dan beribadah. Dari
pengembaraan spiritual mengantarnya menemukan jalan yang menemukan kepuasan
batinnya, yakni jalan sufi sehingga ia tidak lagi menghandalkan akal
sematamata,tetapi di samping menghandalkan rasionalitas juga spritualitas,
yaitu pancaran nur Ilahiyah. Sebelum meletakkan jabatan guru besar pada
Universitas Nizhamiyah, ia menulis buku Ihya Ulum ad-Din. Setelah
penulisan buku itu ia kembali ke Baghdad, kemudian mengadakan majelis
pengajaran dan menerangkan isi dan maksud dari kitabnya itu. tetapi karena ada
desakan dari penguasa waktu itu. Al-Ghazali dimintakembali ke Naisabur dan
mengajar di perguruan tinggi Nizamiyah. Pekerjaan ini hanya berlangsung dua
tahun, untuk akhirnya kembali ke kampong halaman asalnya, Thus. Di kampungnya
Al-Ghazali mendirikan sebuah sekolah yang berada di samping rumahnya, untuk
belajar para fuqaha dan para mutashawwifin (ahli tasawuf).[71]
(b)
Ajaran- ajaran
Tasawuf
Makrifat
menurut Al- Ghazali, sebagaimana dijelaskan oleh Harun Nasution, makrifat
adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan- peraturan tuhan
tentang segala yang ada. Alat memperoleh
makrifat bersandar pada sir, qalb, dan ruh. Selanjutnya Harusn
Nasution juga menjelaskan pendapat Al- Ghazali yang dikutip dari Al-
Qusyairibahwa qalb dapat mengetahui hakikat segala yang ada. Jika
dlimpahi cahaya Tuhan, qalb dapat menhetahui rahasia- rahasia Tuhan
dengan sir, qalb dan ruh yang telah suci dan kosong, tidak berisi
apapun. Saat itulah ketiganya akan menerima illuminasi (kasyf) dari
allah. pada waktu itu pulalah, Allah menurunkan cahayanya kepada sang sufi
sehingga yang dilihat sang sufi hanyalah Allah. disini sampailah ia ke tingkat
makrifat.[72]
Bagi
Al-Ghazali rasio manusia tidak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya
tentang Tuhan, sedang hati (qalb) bisa mengetahui hakikat segala sesuatu dan
mampu mengetahui rahasia Tuhan. Ketika qalbu bersih di waktu itulah Tuhan menurunkan
cahaya-Nya kepada seorang sufi, sehingga yang dilihatnya hanyalah Tuhan dan
disinilah menunjukkan bahwa seseorang telah sampai ketingkat ma’rifah. Ma’rifah
serupa ini diakui oleh ahli sunnah yang menyebabkan tasawuf diterima bagi kaum
syariat, yang sebelumnya ditentang oleh mereka karena telah menyeleweng dari ajaran-ajaran
Islam. Ma’rifah teratas dari mahabbah (dalam urutannya), karena mahabbah
timbuldari ma’rifah. Berbeda dengan pendapat Rabiah al-Adawiyah, bahwa mahabbah
adalah bentuk cinta seseorang yang timbul dari rahmat Tuhan kepada hamba-Nya, antara
lain berupa kesenangan hidup dan rezeki. Kerangka tersebut menunjukkan bahwa
ma’rifah dan mahabbah adalah setinggi-tingginya rahmat yang dicapai oleh seorang
sufi.[73]
Menurut Al-
Ghazali makrifat tidak seperti makrifat menurut orang awam maupun makrifat
ulama mutakallim, tetapi makrifat sufi yang dibangun atas dasar dzauq ruhani
dan kasyf ilahi. Makrifat sieperti ini dapat dicapai oleh para khawash
auliya’ tanpa melalui perantara, langsung dari Allah. sebagaimana ilmu
kenabian yang diperoleh langsung dari tuhan walaupun dari segi perolehan ilmu
ini berbeda anatara nabi dan wali. Nabi mendapat ilmu Allah melalui perantara
malaikat, sedangkan wali mendapat ilmu melalui ilham. Namun kedua- duanya sama-
sama memperoleh ilmu dari Allah.[74]
Selain
menjelaskan tentang makrifat Al- Ghazali juga menjelaskan tentang intuisi. Al-Ghazali
menjelaskan pengetahuan intuisi sebagai ilmu yang memperkenalkan seseorang pada
masalah-masalah yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya, tapi ia tidak
meragukan kebenarannya. Ia tidak dapat mengajarkan ilmu ini pada orang lain jika
orang lain itu tidak menempuh jalan yang pernah ditempuhnya. Artinya, ia tidak dapat
membuktikan kebenaran pengetahuan yang didapatkannya itu dengan logika. Tetapi,
ia sendiri tidak meragukan kebenarannya, karena pengetahuan intuisi memberikan
keyakinan mutlak. Menurutnya, pengetahuan semacam ini dapat dicari. Al-Ghazali
juga menyebut pengetahuan intuisi sebagai cahaya yang ditanamkan Allah dalam
dadanya, pengetahuan intuisi bukanlah keyakinan seseorang awam yang didapatkannya
secara turun-temurun dan taklid. Pengetahuan intuisi bukan pula ilmu yang
didapatkan dengan cara debat untuk membela pendapat sendiri sebagaimana yang
dilakukan para ahli ilmu kalam. Tetapi, ia adalah ragam keyakinan yang merupakan
buah dan cahaya yang ditanamkan Allah dalam hati hamba yang mensucikan batinnya
dan segala kotoran. Dengan cahaya yang telah dianugerahkan Allah, akal telah
bersih dan suci, artinya terlepas dari segala campur tangan indera dan keraguan.
Akal meminjam cahaya dari Allah. Jika cahaya menerangi akal, maka sesungguhnya
Allah telah mengirimkan cahaya tadi. Akal akan mengambil cahaya dari cahaya
hakiki.[75]
2)
Tasawuf madzhab
epistemologi (Irfan)
Istilah
epistemologi berasal dari kata episteme (pengetahuan) dan logos
(ilmu), berarti pengetahuan sistematis tentang sumber- sumber, batas- batas dan
verifikasi (pemeriksaan nilai kebenaran) ilmu pengetahuan.[76] Epistemologi juga dapat didefinisikan sebagai “teori ilmu pengetahuan’,
atau juga disebut filsafat ilmu pengetahuan (Philosophy of Sciences).
Filsafat ilmu pengetahuan dan epistemologI tidak dapat dipisahkan satu sama
lainnya, karena filsafat sains mendasarkan diri pada epistemologI, khususnya
pada validitas (kesahihan/keabsahan) ilmu pengetahuan (scientific validity). Keabsahan ilmu pengetahuan,
berdasarkan paradigma ilmu pengetahuan Barat, hanyalah mengandung 3 konsep
teori kebenaran, yaitu: korespondesi, keherensi dan pragmatisme. Korespondensi
mensyaratkan kesesuaian di antara ide dengan kenyataan (fakta) di alam semesta,
kebenarannya bersifat empiris-induktif; koherensi mensyaratkan kesesuaian di
antara berbagai penyataan logis, kebenarannya bersifat rasional
formal-deduktif, sedangkan pragmatisme mensyaratkan adanya kriteria
instrumental atau kebermanfaatan, kebenarannya bersifat fungsional. Korespondensi
menghasilkan ilmu-ilmu empiris seperti: fisika, kimia, biologi & sosiologi;
koherensi menghasilkan ilmu-ilmu abstrak seperti matematika dan logika; sedang
pragmatisme menghasilkan ilmu-ilmu terapan seperti kedokteran.[77]
Epistemologi
sufi atau yang dikenal sebagai epistemologi irfan adalah salah satu model
penalaran yang dikenal dalam tradisi keilmuan Islam, di samping bayani dan
burhani. Epistemologi ini dikembangkan dan digunakan dalam masyarakat sufi,
berbeda dengan epistemologi burhani yang dikembangkan oleh para filosof atau
epistemologi bayani yang dikembangkan dan digunakan dalam keilmuan-keilmuan
Islam pada umumnya.[78]
Secara
etimologi, kata irfan[79]
merupakan mashdar dari kata arafa (mengenal/ pengenalan). Adapun secara
terminologis irfan diidentikkan dengan makrifat sufistik. Orang yang irfan/
makrifat kepada allah adalah yang benar-
benar mengenal allah melalui dzauq dan kasyf (ketersingkapan).
Ahli irfan adalah orang yang beirmakrifat kepada allah. terkadang kata itu
diidentikkan dengan sifat- sifat inheren tertentu yang tampak pada diri seorang
arif dan menjadi hal baginya. Dalam konteks ini, Ibn Arabi berkata, “Arif[80]
adalah seseorang yang memperoleh penampakan tuhan sehingga pada dirinya
tampak kondisi- kondisi hati tertentu (ahwal). Irfan diperoleh seseorang
melalui jalan al- idrak al- mubasyir al- wujdani (penangkapan langsung
secara emosional), bukan penangkapan langsung secara rasional.[81]
Sebagai sebuah
ilmu, irfan memiliki dua spek, yakni aspek praktis dan aspek teoritis. Aspek
praktisnya adalah bagian yang menjelaskan hubungan dan pertanggungjawaban
manusia terhadap dirinya, dunia, dan tuhan. Sebagai ilmu praktis, bagian ini
menyerupai etika. Bagian praktis ini juga disebut sayr wa suluk (perjalanan
rohani). Bagian ini menjelaskan bagaimana seorang penempuh rohani (salik) yang
ingin mencapai tujuan puncak kemanusiaan,yakni tauhid, harus mengawali
perjalanan, menempuh ktahapan- tahapan perjalanannya secara berurutan, dan
dengan kedaan jiwa yng bakal dialaminya sepanjang perkalanannya tersebut. Sementara
itu, irfan teoritis menfokuskan perhatiannya pada masalah wujud (ontologi),
mendiskusikan manusia, tuhan serta alam semesta. Dengan sendirinya, bagian ini
menyerupai teosofi (filsafat ilahi) yang juga memberikan penjelasan tentang
wujud. Seperti halnya filsafat, bagian ini mendefinisikan berbagai prinsip dan
problemnya.[82]
Meski
demikian, irfan tetap tidak sama dengan filsafat. Pertama, filsafat
mendasarkan argumentasinya pada postulat-postulat atau aksioma-aksioma, sedang
irfan mendasarkan argumenargumennya pada pada visi dan intuisi. Kedua,
dalam pandangan filsafat, eksistensi alam sama riilnya dengan eksistensi Tuhan,
sedang dalam pandangan irfan, eksistensi Tuhan meliputi segala sesuatu dan
segala sesuatu adalah manifestasi berbagai asma dan sifat-sifat-Nya. Ketiga,
tujuan tertinggi dalam filsafat adalah memahami alam sedang capaian akhir irfan
adalah kembali kepada Tuhan, sedemikian rupa sehingga tidak ada jarak antara
arif dengan Tuhan. Keempat, sarana yang digunakan dalam filsafat adalah
rasio dan intelek, sedang sarana yang dipakai dalam irfan adalah qalb (hati)
dan kejernihan jiwa yang diperoleh lewat riyâdlah secara terus menerus.[83]
a)
Konsepsi dan
Sumber Pengetahuan dalam Irfan
Konsepsi
tentang pengetahuan menempati isu sentral dalam sejarah pemikiran islam, baik
teologi, filsafat maupun tasawuf/ irfan. Adapun uraian tentang klasifikasi
pengetahuan menurut Ibn Arabi menurut cara pencapaiannya diklasifikasi menjadi
tiga, pertama, pengetahuan intelektual atau rasional (ilm al- aql).
Ini adalah pengetahuan yang diperoleh dengan segera, atau melalui suatu
penyelidikan mengenai sebuah bahan bukti, selama bukti tersebut berhasil
ditemukan. Jenis pengetahuan kedua adalah kesadaran akan keadaan-
keadaan batin pikiran. Tidak ada jalan untuk (mengkomunikasikan) kedaan-
keadaan ini selain merasakannya sendiri. (sebutlah pengetahuan eksperensial
(berasala dari kata experience’, pengalaman batin HB). Seorang rasionalis tak
bisa mendefinisikan kedaan- kedaan ini, dan juga tak mampu membangun suatu
argumen untuk membuktikannya sama sekali.[84]
Jenis
pengetahuan yang ketiga adalah pengetahuan tentang yang gaib (ilm al-
asrar). Ini adalah bentuk pengetahuan yang
berada di luar batas akal; suatu pengetahuan yang dilimpahkan oleh ruh
suci (ruh al- quds, terkadang disamakan dengan Malaikat Jibril HB) ke
dalam jiwa. Seorang nabi kdan orang suci (wali) dianugerahi hak istimewa
pengetahuan ini. Adapun pengetahuan ini terdiri dari dua jenis yaitu pertama
pengetahuan yang bisa dicapai oleh akal. Jenis yang kedua dibagi dua bagian
lagi. Salah satunya dikaitkan dengan klasifikasi yang kedua, yaitu pengetahuan
dengan merasakan sendiri, tetapi dengan kualitas yang lebih mulia. Sedangkan
yang satunya adalah pengetahuan yang disejajarkan dengan pengetahuan.
Pengetahuan deskriptif ini rentan terhadap kemungkinan benar salah, kecuali
bila kondisi penutur telah terbukti benar bagi si pendengar dan terbukti pula
keterjagaan penutur dalam mengungkapkan menuturkannya, seperti penuturan para
nabi dari Allah, misalnya penuturan mereka tentang surga dan apa- apa yang ada
di dalamnya.[85]
Pengetahuan
tentang yang gaib berlawanan dengan pengetahuan representasional fenomenal,
yaitu pengetahuan yang terjadi oleh hadirnya forma dalam pikiran pengamat tentang
objek- objek yang bisa diamati. Inilah pengetahuan tentang dunia yang gaib dan
juga yang tak terkatakan. Jika akal telah menyusun kembali serta menerjemahkan
pengetahuan yang tak bisa diterangkan ke dalam bentuk pengetahuan yang bersifat
representsional, ia akan menjadi pengetahuan intelektual biasa. Pengetahuan
jenis ini bersifat konseptual dan bisa dipahami, dan karenanya bisa dibicarakan
dalam bahasa sehari- hari dengan mudah.[86]
Pengetahuan
irfan tidak didasarkan atas teks seperti bayani, juga tidak atas kekuatan
rasional seperti burhani, tetapi pada kasyf, tersingkapnya
rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak
diperoleh berdasarkan analisa teks atau keruntutan logika, tetapi berdasarkan
atas terlimpahnya pengetahuan secara langsung dari Tuhan, ketika qalb (hati)
sebagai sarana pencapaian pengetahuan irfan siap untuk menerimanya. Untuk itu,
diperlukan persiapan-persiapan tertentu sebelum seseorang mampu menerima
limpahan pengetahuan secara langsung tersebut. Persiapan yang dimaksud, seperti
disinggung di atas adalah bahwa seseorang harus menempuh perjalanan spiritual lewat
“tahapan-tahapan tertentu” (maqâm) dan mengalami kondisi-kondisi batin tertentu
(hâl).[87]
Setelah telah
mencapai tingkat tertentu dalam spiritual, seseorang akan mendapatkan limpahan
pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif atau noetic yang
diistilahkan dengan kasyaf. Dalam kajian filsafat Mehdi Yazdi, pada
tahap ini, seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak
(kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya
sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas
kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, karena bukan objek eksternal,
keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama,
sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu
sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihâd). Sedemikian rupa, sehingga
dalam perspektif epistemologis, pengetahuan irfani ini tidak diperoleh melalui
representasi data-data indera apapun, bahkan objek eksternal sama sekali tidak
berfungsi dalam pembentukan gagasan umum pengetahuan ini. Pengetahuan ini
justru terbentuk melalui univikasi eksistensial yang oleh Mehdi Yazdi disebut
‘ilmu huduri’ atau pengetahuan swaobjek (self-object-knowledge), atau
jika dalam teori permainan bahasa (language game) Wittgenstein,
pengetahuan irfani ini tidak lain adalah bahasa ‘wujud’ itu sendiri.[88]
b)
Tokoh- tokoh Tasawuf
Irfani
(1)
Rabi’ah Al-
Adawiah ( 95- 185 H)
(a)
Biografi
Nama lengkap
Rabi’ah adalah Rabi’ah binti Ismail Al- Adawiyah Al- Bashriyah Al- Qaisiyah. Ia
diperkiran lahir pada tahun 95 H/ 713 M atau 99 H/ 717 M di suatu perkampungan
dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185 H/ 801 M. Ia
dilahirkan sebagai putri keempat dari keluarga yang sangat miskin. Karena ia
anak keempat orang tuanya menamakannya Rabi’ah. Kedua orang tuanya meninggal
ketika ia msih kecil. Konon, pada saat terjadi bencana perag di Bashrah, ia
dilarikan penjahat dan dijual kepada keluarga Atik dari suku Qais Banu Adwah.
Dari sini ia dikenal dengan Al- Qaisiyah atau Al- Adawiyah. Pada keluarga ini
pulalah ia bekerja keras, tetapi akhirnya dibebaskan lantaran tuannya melihat
cahaya yang memancar di atas kepala Rabi’ah dan menerangi seluruh ruangan rumah
pada saat ia sedang beribadah.[89]
Setelah
dimerdekakan tuannya, Rabi’ah hidup meyendiri menjalani kehidupan sebagai
seorang zahidah dan sufiah. Ia mendekatkan diri kepada Allah
sebagai kekasihnya. Ia memperbanyak tobat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup
dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi lyang diberikan orang
kepadanya. Bakan dalam doanya, ia tidak meminta hal- hal yang bersifat materi dari
tuhan.[90]
(b)
Ajaran tasawuf
Rabi’ah Al- Adawiyah
Adapun salah
satu ajaran Rabi’ah Al- Adawiyah adalah mahabbah.[91]
Rabi’ah Al- Adawiyah tercatat sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta
kepada Allah. sikap dan pandangannya tentang cinta dipahami dari kata- katanya,
baik yang langsung maupun yang disandarkan padanya. Untuk memperjelas
pengertian al- hubb yang diajukan Rabi’ah, yaitu hub al- hawa dan
hub anta ahl lahu, sebagai dikutip oleh tafsiran beberapa tokoh seperti
Abu Thalib Al- Makiy dalam Qut Al- Qulub, sebagaimana dijelaskan Badawi
memberikan penafsiran bahwa makna hub al- hawa adalahrasa cinta yang
timbul dari nikmat- nikmat dan kebaika yang diberikan Allah.
Adapun yang
dimaksud nikmat- nikmat adalah nikmat material, tidak spiritual, karenanya hub
al- hawa yang diajukan Rabi’ah ini tidak berubah- ubah, tidak bertambah dan
berkurang karena bertambah dan berkurangnya nikmat. Adapun al- hubb anta ahl
lahu adalah cinta yang tidak didorong kesenangan indrawi, tetapi di dorong
Dzat yang dicinta. Cinta yang kedua ini tidak mengharapkan balasan apa- apa.
Kewajiban- kewajiban yang dijalankan Rabi’ah timbul karena perasaan cinta
kepada Dzat yang dicintai. Cinta Rabi’ah kepada Allah begitu mendalam dan
memenuhi seluruh relung hatinya, sehingga membuatnya hadir bersama Tuhan.[92]
(2)
Abu Yazid Al-
Bustami
(a)
Biografi
Nama
lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Surusyan Al Bustami lahir di
daerah Bustam (Persia) tahun 874 dan wafat tahun 947 M. Nama kecilnya adalah
Taifur, kakeknya bernama Surusyan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian
masuk kdan menjadi pemeluk Islam di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk berada
di daerahnya, tetapi ia lebih memilih hidup sederhana. Sewaktu meningkat usia
remaja, Abu Yazid juga terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang
patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya. Perjalanan Abu
Yazid untuk menjadi seorang sufi membutuhkan waktu puluha tahun. sebelum
membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi
seorang fakih dari madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah
Abu Ali As- Sindi. Ia mengajarkan Abu Yazid tentang ilmu tauhid, ilmu hakikat
ilmu lainnya. Dalam menjalani kehidupan zuhud, selama 13 tahun Abu Yazid mendan
mengembara di gurun- gurun pasir Syam dengan tidur, makan dan minum sedikit
sekali.[93]
(b)
Ajaran tasawuf
Ajaran tasawuf
terpenting Abu Yazid adalah fana dan baqa’. Dari segi bahasa fana’[94]
berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf,
fana ada kalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Pencapaian
Abu Yazid ke tahap fana’ terjadi setelah meninggalkan segala keinginan
selain keinginan kepada Allah. Adapun konsep fana’ menurut Abu Yazid
dikisahkan dalam mimpinya menatap tuhan. Adapun baqa’ berasal dari kata baqiya,
dari segi bahasa adalah tetap, sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti
mendirikan sifat- sifat terpuji kepada Allah. paham baqa’[95]
tidak dapat dipisahkan dengan paham fana’. Keduanya merupakan paham
yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana’ ketika itu
juga ia sedang menjalani baqa’.[96]
Ajaran tasawuf
Abu Yazid setelah fana’ dan baqa adalah ittihad. Ittihad[97]
adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah melalui
tahapan fana dan baqa. Dalam tahapan ittihad, seorang sufi
bersatu dengan tuhan. Antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik
subtansi maupun perbuatannya. Dengan fana’nya Abu Yazid meninggalkan
dirinya dan pergi ke hadirat tuhan. Bahwa ia telah berada dekat pada Tuhan
dapat dilihat dari syatahat yang diucapkannya. Syatahat adalah
ucapan- ucapan yang dilkeluarkan seorang sufi ketika ia mulai berada di pintu
gerbang ittihad, dan ucapan- ucapan tersebut belum pernah di dengar dari
sufi sebelum Abu Yazid.
(3)
Abu Manshur
Al- Hallaj
(a)
Biografi
Nama
lengkapnya adalah Husein lbn Mansur al-Hallaj, lahir di kota Baida salah satu
negeri Persia tahun 224H/858M. Kakeknya adalah seorang Zoroaster. Semasa kecil
hidup di kota Wasit wilayah Irak. Pada umur enam belas tahun ia pergi ke Tuster
dan belajar pada seorang Sufi Sahl ibn Abdullah al Tustari, kemudian pergi ke
Basrah dan belajar pada Amr ibn Makki,
kemudian ke Bagdad dan belajar pada Abu al Qasim al Tunaid ibn Muhammad al
Bagdadi. Pada tahun 895M, Mansur melaksanakan ibadah haji yang pertama, kemudian
kembali ke Tuster. Pada tahun 899-902M, melakukan perjalanan ke Khurasan dan
Tars. Di sana Mansur .mengajarkan mistik, kemudian pergi ke Mekkah dan
melakukan ibadah haji yang kedua. Kemudian pergi ke India dan Pakistan, di sana
dia juga mengajarkan mistik. Kemudian pergi ke Mekkah yang ketiga kalinya dan
melakukan ibadah haji. Pada tahun 905M. dia kembali ke Bagdad.[98]
Ia kembali ke
Baghdad pada tahun 296 H/909 M. Di Baghdad, pengikutnya semakin bertambah
banyak karena kecaman- kecamannya terhadap kebobrokan pemerintah yang berkuasa
pada waktu itu. Oleh karena itu ucapan Al- Hallaj “ana al- haqq”, yang
tidak bisa dimaafkan para ulama fiqh dan dianggap sebagai ucapan kemurtadan
dijadikan alasan untuk menangkap dan memenjarakannya. Setahun kemudian, ia
dapat meloloskan diri dari penjara berkat pertolongan sopir penjara, tetapi
empat tahun kemudian ia tertangkap lagi di kota Sus. Setelah dipenjara selama
delapan tahun, Al- Hallaj dihukum gantung. Sebelum digantung, ia dicambuk
seribu kali tanpa mengaduh kesakitan, lalu kepalanya dipenggal. Sebelum
dipancung ia meminta waktu melakukan shalat dua rakaat. Setelah selesai shalat kaki
dan tangannya dipotong, badannya digulung dalam tikar bambu lalu dibakar dan
abunya dibuang ke sungai, sedangkan kepalanya dibawa ke Khurasan untuk dipertontonkan. Al- Hallaj wafat pada
tahun 922 M.[99]
(b)
Ajaran Tasawuf
Diantara
ajaran tasawuf yang terkenal dintaranya adalah al- hulul dan wahdat
asy- syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdat al- wujud yang
dikembangkan Ibn Arabi. Al- Hallaj memang pernah maengaku bersatu dengan Tuhan.
Kata al- hulul, berdasarkan pengertian, bahasa berarti menempati suatu
tempat. Al- Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manausia sebenarnya ada sifat-
sifat ketuhanan. Sebagaimana ia menakwilkan Surat Al- Baqarah ayat 34, yaitu
pada ayat di atas, Allah memberi perintah kepada malaikat untuk sujud kepada
Adam. Karena yang berhak untuk diberi sujud hanya Allah, Al- Hallaj memahami
bahwa dalam diri Adam sebenarnya ada unsur ketuhanan. Ia berpendapat demikian
karena sebelum menjadikan makhluk, Tuhan melihat Dzatnya sendiri dan ai pun
cinta kepada Dzatnya sendiri, cinta yang dapat disifatkan, dan cinta inilah
yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak. Ia mengeluarkan sesuatu
dari tiada dalam bentuk copy dirinya yang mempunyai segala sifat dan
nama. Bentuk copy ini adalah Adam. Pada diri Adamlah Allah muncul.[100]
Menurut Al-
Hallaj tuhan mempunyai dua sifat dasar, sifat ketuhanannya sendiri (lahut)
dan sifat kemanusiaa (nasut). Jika nasut Allah mengandung tabiat seperti
manusia yang terdiri dari roh dan jasad, lahut tidak dapat bersatu dengan
manusia, kecuali dengan cara menempati tubuh setelah sifat- sifat
kemanusiaannya hilang, seperti yang terjadi pada diri Isa. Menurut Al- Hallaj
bahwasanya persatuan antara manusia dengan Tuhan dapat terjadi dengan mengambil
bentuk hulul. Agar bersatu manusia harus terlebih dahulu menghilangkan
sifat- sifat kemnausiaannya. Setelah sifat kemnausiaan hilang dan hanya sifat
Tuha yang ada dalam dirinya, disitulah tuhan dapat mengambil tempat dalam
dirinya, dan ketika itu roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia. Menurut
Al- Hallaj, pada hulul terkandung kefanaan total kehendak manusia dalam
kehendak ilahi, sehingga setiap kehendaknya adalah kehendak Tuhan, demikian
juga tindakannya .[101]
3)
Tasawuf
Falsafi
Tasawuf
falsafi adalah tasawuf yang ajaran- ajarannya memadukan antara visi mistis dan
visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaki, tasawuf falsafi
menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafi
tersebut berasal dari bermacam- macam ajaran filsafat yang telah memengaruhi
para tokohnya. Menurut At- Taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas
dalam khazanah islam sejak abab keenam Hijriyah. Adanya pemaduan antara
ktasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf falsafi ini dengan sendirinya telah
membuat ajaran- ajaran tasawuf jenis ini bercampur dengan sejumlah ajaran
filsafat di luar Islam, seperti Yunani, Persia, India dan agama Nasrani. Akan
tetapi orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang.[102]
Tasawuf
falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal tuhan (makrifat)
dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketingkatan yang lebih tinggi,
bukan hanya mengenal tuhan saja, melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul
wujud. Bisa juga dikatakan bahwa tasawuf falsafi tasawuf yang kaya dengan
pemikiran- pemikiran filsafat. Di dalam tasawuf falsafi metode pendekatannya
sangat berbeda dengan tasawuf sunni atau salafi. Kalau tasawuf sunni dan salafi
lebih menonjol pada segi praktis, sedangkan tasawuf falsafi menonjol pada segi
teoritis, sehingga dalam konsep- konsep tasawuf falsafi lebih mengedepankan
asas rasio dengan pendekatan- pendekatan filosofis yang ini sulit diaplikasikan
ke dalam kehidupan sehari- hari, khususnya bagi orang awam, bahkan bisa
dikatakn mustahil.[103]
Menurut At-
Taftazani, ciri umum tasawuf falsafi adalah ajarannya yang sama- samar akibat
banyaknya istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh siapa saja yang
memahami ajaran tasawuf jenis ini. Tasawuf falsafi tidak dapat dipandang
sebagai filsafat karena ajaran metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), tetapi
tidak dapat pula dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertiannya yang murni,
karen ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi
pada panteisme. Tasawuf falsafi memiliki objek tersendiri yang berbeda dengan
tasawuf sunni. Tasawuf falsafi memiliki empat objek utama yang menjadi
perhatian para sufi filosof, yaitu pertama latihan rohaniah dengan rasa,
intuisi, serta introspeksi diri yang timbul darinya, kedua iluminasi
atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib, ketiga peristiwa- peristiwa
dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramat
keluarbiasaan, keempat penciptaan ungkapan- ungkapan yang pengertiannya
sepintas samar- samar, yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat
berupa mengingkarinya, menyetujui aktaupun menginerpretasikannya dengan
interpretasi yang berbeda- beda.[104]
a)
Tokoh tasawuf
falsafi
(1)
Ibn Arabi
(a)
Biografi Ibn
Arabi
Nama lengkap
Ibn Arabi adalah Muhammad Bin ‘Al- Bin Muî hammad Bin Ahmad Bin Abdullah - Al‘Arabî Al- Hatimi Al- Thai Al- Andalusi,
ia digelari dengan Abu Bakr. Ia populer dengan nama Muhyi Al- Din Ibn Arabi
atau tambahan alif alam Ibn Al- Arabi. Ibn Katsîr seorang sejarawan Muslim abad
ke-8 menyebutkan tanpa alif lam pada kata ‘Arabî, dan gelarnya adalah Abû
‘Abdillâh. Hal ini menunjukkan bahwa penamaan Ibn ‘Arabî atau Ibn al-‘Arabî
digunakan oleh para sejarawan terhadap Muhammad bin ‘Ali Selain itu ia juga
dikenal sebutan Syaykh Al- Akbar Ibn ‘Arabî Al-Shûfî. Gelar kehormatan tersebut
membedakannya dengan Qâdhî H543 Ma‘afirî -‘Arabî al- Ibn al seorang ahli fiqh
dan hadits madzhab maliki.[105]
Setelah ia
berusia 30 tahun, ia mulai berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan
Islam bagian barat. Diantaran deretan guru- gurunya, tercatat nama- nama
seperti Abu Madyan Al- Ghauts At-
Talimsari dan Yasmin Muyaniyah (seorang wali dari kalangan wanita). Keduanya
banyak mempengaruhi ajaran- ajaran Ibn Arabi. Dikabarkan ia pun pernah berjumpa
dengan Ibn Rusyd, filosof muslim dari tabib istana dinasti Barbar dari
Alomohad, di Kordova. Ia pun dikabari mengunjungi Al- Mariyyah yang menjadi
pusat madrasah Ibn Masarrah, seorang sufi falsafi yang cukup berpengaruh dan
memperoleh banyak pengaruh di Andalusia.[106]
Ibn `Arabī
wafat pada 22 Rabī’ al-Tsāni 638 H/November 1240 di Damaskus, ia dimakamkan di
Sāhiliyyah, di kaki Bukit Qāsiyūn, di bagian Utara kota Damaskus. Ibn Arabī
mempunyai dua putera, Sa’du-dīn (w.656 H), seorang penyair terkenal, dan
‘imādud-dīn (w.667 H), keduanya dimakamkan berdampingan dengan ayah mereka.[107]
(b)
Ajaran Tasawuf
Ajaran- ajaran
tasawuf, sebagaimana yang dikutip dalam buku solihin dan rosihun anwar terdapat
tiga macam ajaran, namaun pada pembahasan ini akan difokuskan pada salah satu
ajaran tasawuf Ibn Arabi tentang Wahdat Al- Wujud. Menurut Ibn Arabi, wujud semua yang ada
ini hanya satu dan wujud makhluk pada hakikatnya adalah wujud Khaliq pula.
Tidak ada perbedaan antara keduanya dari segi hakikatnya. Adapun kalau ada yang
mengira bahwa antara wujud Khaliq dan makhluk ada perbedaan, hal itu dilihat
dari sudut pandang pancaindra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam
menangkap hakikat apa yang ada pada Dzatnya darim kesatuan dzatiah yang segala
sesuatu berhimpun padanya. Menurut Ibn Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah
wujud Allla dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud
yang qadim yang disebut dengan Khaliq dengan wujud yang baru yang disebut
dengan makhluk. Tidak ada perbedaan antara abid dengan ma’bud. Perbedaan
itu hanya pada rupa dan ragam dari hakikat yang satu.[108]
Selanjutnya
Ibn Arabi menjelaskan hubungan antara Tuhan dengan alam. Menurutnya alam adalah
bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki dan alam tidak mempunyai wujud
yang sebenarnya, oleh karena itu, alam merupakan tempat tajali dan
mazhar (penampakan) Tuhan. Menurut Ibn Arabi, ketika Allah menciptakan alam
ini, ia juga memberikan sifat- sifat ketuhanan pada segala sesuatu. Alam ini
seperti cermin yang buram dan seperti badan yang tidak bernyawa. Oleh karena
itu, Allah menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu. Dengan pernyataan
lain, alam ini merupakan mazhar dari asma dan sifat Allah yang terus- menerus.
Tanpa alam, sifat dan asmanya itu kehilangan makna dan senantiasa dalam bentuk
dzat yang tinggal dalam ke mujarradan (kesendirian) nya yang mutlak yang
tidak dikenal oleh siapapun.[109]
d.
Sumber- sumber Tasawuf
Adapun sumber- sumber tasawuf
diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Alquran[110], hal ini
sebagaimana seruan alquran untuk bersikap
zuhud yang terdapat dalam surat al- hadid ayat 20 yang berbunyi:
(#þqßJn=ôã$# $yJ¯Rr& äo4quysø9$# $u÷R9$# Ò=Ïès9 ×qølm;ur ×puZÎur 7äz$xÿs?ur öNä3oY÷t/ ÖèO%s3s?ur Îû ÉAºuqøBF{$# Ï»s9÷rF{$#ur ( È@sVyJx. B]øxî |=yfôãr& u$¤ÿä3ø9$# ¼çmè?$t7tR §NèO ßkÍku çm1utIsù #vxÿóÁãB §NèO ãbqä3t $VJ»sÜãm ( Îûur ÍotÅzFy$# Ò>#xtã ÓÏx© ×otÏÿøótBur z`ÏiB «!$# ×bºuqôÊÍur 4 $tBur äo4quysø9$# !$u÷R$!$# wÎ) ßì»tFtB Írãäóø9$# ÇËÉÈ
Artinya: Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia Ini hanyalah
permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu
serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang
tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering
dan kamu lihat warnanya kuning Kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti)
ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan
dunia Ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.(QS. Al- Hadid: 20)
2) Kehidupan Rasulullah[111],
sebagai sumber kedua tasawuf, hadits (qauliyah, fi’liyah dan takiririyah)
dimana hal ini berhubungan:
a) kezuhudan rasulullah
dan kesederhanaannya
b) ibadah rasulullah
3) Adapun sumber yang
ketiga adalah kehidupan sahabat dan khulafaurrasyidin. Kehidupan sahabat secara
umum dalam pandangan penelitian yang objektif merupakan sumber vital yang diacu
kaum zuhud dan ahli ibadah generasi awal dalam membangun pilar- pilar kehidupan
spiritual kehidupan mereka, begitu juga kaum sufi sejati setelah mereka.
Pembicaraan tentang sahabat dengan penekanan pada fragmen- fragmen spiritual
dalam kehidupan mereka merupakan sesuatu yang penting sebab dari sana akan
tergambar jelas seberapa jauh hubungan antara kaum sufi sejati dengan para
tokoh muslim generasi awal islam.[112]
C. Ruang Lingkup Keilmuan
Studi Filsafat, Teologi Dan Tasawuf
1. Ruang Lingkup Keilmuan
Studi Filsafat
Pada dasarnya, setiap ilmu memiliki dua macam objek, yaitu objek
material[113]
dan objek formal.[114]
Objek material adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti
tubuh manusia adalah objek material ilmu kedokteran. Adapun objek formalnya
adalah metode untuk memahami objek material tersebut, seperti pendekatan
induktif dan deduktif. Filsfat sebagai proses berfikir yang sistematis dan
radikal juga memiliki objek material dan objek formal. Objek material filsafat
adalah segala yang ada. Segala yang ada mencakup ada yang tampak dan akda yang
tidak tampak. Ada yang tampak adalah dunia empiris, sedangkan ada yang tidak
tampak adalah alam metafisika. Sebagian filosof membagi objek material filsafat
atas tiga bagian, yaitu yang ada dalam alam empiris, yang ada dalam pikiran dan
yang ada dalam kemungkinan.[115]
Adapun mengenai objek formal filsfat adalah bersifat non- fragmanteris,
karena filsafat mencari pengertian realita secara luas dan mendalam. Sebagai
konsekuensi pemikiran ini, maka seluruh pengalaman manusia antara etika,
estetika, ekonomi, sosial, budaya dan religious. Dalam hal ini pemikiran
filsfat menuntut bahwa seorang ahli filsafat adalah pribadi yang berkembang
secara harmonis dan memiliki pengalaman secara autentik yang diperoleh dari
dunia realita. Jadi objek formal filsafat itu bersifat mengasaskan atau
berprinsip dan arena oleh mengasas, maka filsafat itu mengkonstatir prinsip-
prinsip kebenaran dan ketidak benaran.[116]
2. Ruang Lingkup Keilmuan
Studi Teologi
Teologi Islam sebagai sebuah disipliplin ilmu, mempunyai objek sendiri
yang membedakannya dari bidang ilmu lainnya. Objek kajiannya yaitu ketuhanan
dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-nya. Berkenaan dengan itu, maka
teologi Islam membicarakan keyakinan kebenaran terhadap pengakuan eksistensi
Tuhan beserta sifat-sifat-nya dan segala sesuatu yang berhubungan dengan-nya,
bukan mencari kebenaran terhadap agama Islam. Aspek pokok dalam kajian ilmu
teologi Islam adalah keyakinan akan eksistensi Allah yang maha sempurna, maha
kuasa dan memiliki sifat-sifat kesempurnaan lainnya. karena itu pula ruang
lingkup pembahasan yang pokok adalah:
a. Hal-hal yang
berhubungan dengan Allah SWT atau yang sering disebut dengan istilah Mabda.
Dalam bagian ini termasuk Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta dan
manusia.
b. Hal-hal yang
berhubungan dengan utusan Allah, sebagai perantara antara manusia dan Allah
atau disebut juga washilah meliputi: Malaikat, Nabi/ Rasul dan Kitab-kitab
Suci.
c. Hal-hal yang
berhubungan dengan sam'iyyat (sesuatu yang diperoleh melalui sumber yang
meyakinkan, yakni al-Qur'an dan Hadits, misalnya tentang alam kubur, alam
akhirat, arsy', lauhil mahfud, dll).[117]
Didalam sejarah perkembangannya, Teologi islam pada mulanya berkembang
dari, pertama, sebagai metodologi teologi. Sebagai sebuah metodologi
teologi merupakan suatu cara untuk memahami doktrin agama melalui pendekatan
wahyu dan pemikiran rasionalnya. Kedua, menjadi ilmu teologi. Sebagai
sebuah ilmu, teologi merupakan ilmu yang membahas masalah ketuhanan dan segala
sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Dan ketiga, menjadi teologi
aksiologi. Sebagai sebuah aksiologi teologi, merupakan upaya memahami doktrin
agama secara mendalam untuk mengadvokasi berbagai permasalahan ketimpangan
sosial. Wilayah pembahasan teologi Islam secara ilmiyah, dapat diklasifikasikan
menjadi dua bagian, yaitu: pertama, teologi islam klasik teoritik.
Disiplin ilmu ini, hanya membahas secara teoritik aspek-aspek ketuhanan dan
berbagai kaitan-Nya. Kedua, teologi islam kontemporer praktik. Disiplin
ilmu ini, secara praktik membahas ayat-ayat Tuhan dan sunnah-sunnah Rasul-Nya
yang nilai doktrinnya mengadvokasi berbagai ketimpangan sosial. Teologi kedua
ini dapat dikembangkan lagi menjadi tiga kategori: pertama, Teologi Lingkungan;
kedua, Teologi Pembebasan; dan ketiga, Teologi Sosial. Ketiga teologi Islam
ini, merupakan teologi-teologi yang membahas aspek-aspek ketuhanan dan berbagai
kaitan-Nya, untuk mengadvokasi obyek formal teologi itu.[118]
3. Ruang Lingkup Keilmuan
Studi Tasawuf
Tasawuf adalah nama lain dari “Mistisisme dalam islam”. Di kalangan
orientalis barat dikenal dengan sebutan “Sufisme”. Kata “Sufisme” merupakan
istilah khusus mistisisme islam. Sehingga kata “sufisme” tidak ada pada mistisisme
agama-agama lain. Tasawuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus
langsung dari Tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh
kesadaran, bahwa manusia sedang berada di hadirat Tuhan. Kesadaran tersebut
akan menuju kontak komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan. Hal
ini melalui cara bahwa manusia perlu mengasingkan diri. Keberadaannya yang
dekat dengan Tuhan akan berbentuk “Ijtihad” (bersatu) dengan Tuhan. Demikian
ini menjadi inti persoalan “Sofisme” baik pada agama islam maupun di luarnya.[119]
Dengan pemikiran di atas,
dapat dipahami bahwa “tasawuf/mistisisme islam” adalah suatu ilmu yang
mempelajari suatu cara, bagaimana seseorang dapat mudah berada di hadirat Allah
SWT (Tuhan). Maka gerakan “kejiwaan” penuh dirasakan guna memikirkan betul
suatu hakikat kontak hubungan yang mampu menelaah informasi dari Tuhannya.
Tasawuf atau mistisisme dalam islam beresensi pada hidup dan berkembang mulai
dari bentuk hidup “kezuhudan” (menjauhi kemewahan duniawi). Tujuan tasawuf untuk bisa berhubungan
langsung dengan Tuhan. Dengan maksud ada perasaan benar-benar berada di hadirat
Tuhan. Para sufi beranggapan bahwa ibadah yang diselenggarakan dengan cara
formal belum dianggap memuaskan karena belum memenuhi kebutuhan spiritual kaum
sufi. Dengan demikian, maka
tampaklah jelas bahwa ruang lingkup ilmu tasawuf itu adalah hal-hal yang
berkenaan dengan upaya-upaya/cara-cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan yang
bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus secara langsung dari Tuhan.
Kawasan pembahasan ilmu akhlak seluruh aspek kehidupan manusia baik sebagai
individu, perorangan atau kelompok.[120]
D. Metode Pemikiran
Filsafat, Teologi Dan Tasawuf
1. Metode Filsafat
Adapun falsafah mendasarkan diri atau bertitik tolak pada premis- premis
rasional. Oleh karena itu falsafah disebut sebagai ilmu rasional (al- ulum
al- aqliyah). Cara berfikir yang dikembangkan dalam falsafah adalah burhani
(demonstrative), suatu cara berfikir yang dilakukan melalui prosedur logika aristoteles,
yakni melalui penentuan premis yang kokoh demi suatu pembuktian yang dapat
dipertanggungjawabkan secara logis. Dalam pandangan kaum filosof, alfarabi
misalnya, cara berfikir burhani lebih tinggi tingkatannya dari pada cara
berfikir jadali.[121]
Adapun letak keunggulannya adalah karena menggunakan silogisme atau penalaran
logis, dengan menggunakan premis- premis yang “benar, primer, dan
niscaya.”Sifat pasti dari kategori ini menyebabkan kesimpulan- kesimpulan yang
diperoleh bersifat niscaya dan pengetahuannya benar dan pasti. Atas dasar
inilah pembuktian demonstratif dipandang sebagai metode pembuktian paling
ilmiah. Metode demonstratif, karena aplikasinya yang luas, kemudian dibagi
kedalam komponen yang berbeda- beda yaitu metode fisik atau empiris, metode
matematik dan metode metafisik.[122]
2. Metode Teologi
Teologi/ kalam merupakan disiplin ilmu keagamaan (al- ulum al- naqliyah),
hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa yang menjadi titik tolak dalam kalam
adalah teks- teks keagamaan, baik alquran maupun al- sunnah. Secara
metodelogis, para teolog (mutakallim) pertama- tama berangkat dari
kepercayaan akan kebenaran akidah islam, baru setelah itu berusaha keras
memperkuat kebenaran akidah itu dengan argumentasi atau bukti- bukti rasional
secara sistematis. Metode berfikir para teolog yang demikian ini dikenal dengan
cara berfikir jadali (dialektik). Karena para teolog bekerja di dalam
dan terdapat teks- teks keagamaan, sementara peran akal di dalamnya hanya
bersifat peripheral atau alat bantu saja, maka dalam klasifikasi al- jabari,
kalam dimasukkan ke dalam tradisi epistemologi bayani.[123]
3. Metode Tasawuf
Adapun metode yang digunakan dalam tasawuf lebih banyak menggunakan
perasaan (dzauq) dan latihan kejiwaan (riyadlah) dengan
memperbanyak amal ibadah. Hal ini sebagaimana yang dikatan ibnu khaldun yang
artinya:
“ilmu
tasawuf itu termasuk ilmu- ilmu yang baru dalam islam. Asal pokok ajarannya,
bahwa cara praktik ubudiyah mereka sejak daripada masa orang- orang masa salaf
dan sahabat- sahabat besar, kemudian para tabiin dan orang- orang yang
sesudahnya, sebagai jalan yang benar dan hidayah”.[124]
Selain metode yang disebutkan di atas, adapun metode yang digunakan
dalam tasawuf adalah metode irfani. Dimana cara memperoleh kearifan atau
makrifat, hati mempunyai esensisial, sebagaimana yang diungkapkan ibnu arabi
dalam fushus al- hikamya:
“qalb dalam
pandangan kaum sufi adalah tempat tempat kedatangan kasyf dan ilham. Ia
berfungsi sebagai alat untuk makrifat dan menjadi cermin yang memantulkan
(tajalli) makna- makna keagaiban”
Dalam dunia tasawuf, qalb merupakan pengetahuan tentang hakikat-
hakikat, termasuk di dalamnya adalah hakikat makrifat. Qalb yang dapat
memperoleh adalah makrifat adalah yang telah tersucikan dari berbagai
noda atau akhlak jelek yang sering dilakukan manusia. Qalb yang telah
tersucikan akan mampu menembus dalam malakut. Meereka juga mengatakan alasan
bahwa tuhan hanya dapat didekati jiwa yang suci. Dengan demikian, qalb
berpotensi untuk berdialog dengan tuhan. Inilah yang dimaksud al- ghazali
dengan ungkapan bahwa di luar akan dan jiwa, terdapat alat yang dapat
menyingkap pengetahuan yang ghaib dan hal- hal yang terjadi pada masa
mendatang. Penyingkapan pengetahuan seperti ini merupakan wacana irfaniyah.
Jhanya dengan sarana qalb itulah ilmu makrifat dapat diperoleh
manusia.[125]
E. Hubungan Filsafat,
Teologi Dan Tasawuf
Sebagaimana diketahui
menggunakan akal yang besar dalam pembahasan masalah- masalah keagamaan dala
islam tidak hanya dijumpai dalam bidang filsafat islam, tetapi juga salam
bidang ilmu kalam dan tasawuf. Untuk itu maka dibawah ini akan dijelaskan
hubungan antara filsafat, ilmu kalam dan tasawuf.
1. Filsafat Islam dan
Kalam
Kalam dalam bahasa arab dapat diartikan dengan perkataan dan ucapan.
Dalam ilmu kebahasaan kalam ialah kata- kata yang tersusun dalam suatu kalimat
yang mempunyai arti. Diantara alasan yang dimajukan ialah sebagai berikut.
a. Persoalan terpenting
yang menjadi pembicaraan di abad- abad permulaan hijrah ialah firman atau kalam
allah alquran sebagai salah satu sifatnya, apakah kadim, tidak diciptakan, atau
hadis.
b. Dasar- dasar ilmu
kalam ialah dalil- dalil akal. Kaum teolog menetapkan pokok persoalan dengan
mengemukakan dalil akal terlebih dahulu, setelah tuntas baru mereka kembali
pada dalil naqal (alquran dan hadits).
c. Cara pembuktian
kepercayaan- kepercayaan agama menyerupai ilmu logika dan filsafat.
Dengan demikian, ilmu kalam merupakan salah satu ilmu keislaman yang
timbul dari hasil diskusi umat islam dalam merumuskan akidah islam dengan
menggunakan dalil akal dan filsafat, hal ini dapat dilihat dalam berbagai buku
ilmu kalam, selalu pertama kali dikemukakan dalil akal (logika) kemudian baru
diiringi dengan dalil naqal (alquran dan hadits). Atas dasar- dasar pemikiran
di atas itulah para penulis islam seperti ibnu khaldun, al- iji, mushthafa
abdul raziq dan renan memasukkan ilmu kalam kedalam ruang lingkup filsafat
islam. Hal ini disebabkan mareka melihat bahwa antara kedua disiplin ilmu
keislaman ini terdapat hubungan yang sangat erat dan masalah- masalah yang
dibicarakan antara keduanya sudah bercampur sehingga sulit untuk dibedakan.[126]
2. Filsafat Islam dan
Tasawuf
Tasawuf berasal dari kata sufi, yakni sejenis kain wol yang
terbuat dari bulu yang dipakai oleh orang- orang yang hidup sederhana, namun
berhati suci dan mulia. Tasawuf merupakan suatu ilmu pengetahuan yang
mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang islam berada sedekat mungkin
dengan allh SWT. Menurut al- iraqy, tasawuf dalam islam baik yang suni maupun
yang falsafi termasuk dalam ruang lingkup filsafat islam secara umum.
Menurutnya hal ini disebabkan kaum sufi mepergunakan logika dalam mempelajari al-
hulul, awahdat al- wujud, al- baqa’ dan al- lfana’.[127]
Ilmu tasawuf yang berkembang di dunia islam tidak dapat dinafikan sebagai
sumbangan pemikiran kefilsafatan. Hal ini bisa dilihat dari kajian- kajian
tasawuf yang berbicara tentang jiwa. Secara terminology kajian tentang jiwa
terminology yang banyak dikaji dala pemikiran filsafat. Hal ini bisa dilihat
dari sederetan intelektual muslim al-kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Al-Ghazali kajian- kajian mereka tentang
jiwa dalam pendekatan kefilsafatan ternyata telah banyak memberikan sumbangan
yang sangat berharga bagi kesempurnaan kajian tasawuf dalam dunia Islam.
Pemahaman tentang jiwa dan roh itu pun menjadi hal yang esensial dalam
tasawuf. Kajian-kajian kefilsafatan tentang jiwa dan roh kemudian banyak
dikembangkan dalam tasawuf. Namun, perlu juga dicata bahwa istilah yang lebih
banyak dikembangkan dalam tasawuf adalah istilah qalb (hati).
Istilah qalb ini memang lebih spesifik dikembangkan dalam
tasawuf. Namun, tidak berarti bahwa istilah qalb tidak
berpengaruh terhadap roh dan jiwa.
Menurut sebagian ahli tasawuf jiwa adalah roh yang bersatu dengan jasad.
Penyatuan kedua- duanya melahirkan pengaruh yang ditimbulkan oleh jasad
terhadap ruh. Pengaruh ini akhirnya memunculkan kebutuhan jasad yang dibangun
ruh.[128]
3. Hubungan Tasawuf
Dengan Teologi/ Ilmu Kalam
a. Kajian ilmu kalam
lebih terasa maknanya jika diisi dengan ilmu tasawuf. Sebaliknya ilmu kalampun
dapat berfungsi sebagai pengendali tasawuf. Jika ada teori- teori dalam ilmu
tasawuf yang tidak sesuai dengan kajian ilmu kalam tentang tuhan yang
didasarkan pada alquran dan alhadits, hal ini mesti dibetulkan. Demikian
terlihat hubungan timbal balik diantara ilmu tasawuf dan ilmu kalam.[129]
b. Sebagai pemberi wawasan
spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang mendalam lewat hati (dzauq
dan wijdan) terhadap ilmu tauhid atau ilmu kalam menjadikan ilmu ini
lebih terhayati atau teraplikasikan dalam perilaku. Dengan demikian, ilmu
tasawuf merupakan penyempurna ilmu tauhid jika dilihat dari sudut pandang bahwa
ilmu tasawuf merupakan sisi terapan rohaniah dari ilmu tauhid.
c. Berfungsi sebagai pengendali
ilmu tasawuf. Oleh karena itu jika timbul suatu aliran yang bertentangan dengan
akidah, atau lahir suatu kepercayaan baru yang bertentangan dengan alquran dan
alhadits, hal itu merupakan penyimpangan. Maka bila bertentangan dengan kedua-
duanya maka ditolak.[130]
F. Kesimpulan
Berdsarkan penjelasan
di atas maka ditarik suatu kesimpulan bahwa antara tasawuf, teologi dan
filsafat mempunyai objek pembahasan yang sama yaitu mengenai tuhan. Selain
objek yang sama, ketiga ilmu ini juga memiliki kajian yang sama, yaitu mencari
kebenaran. Antara filsafat, teologi dan tasawuf memiliki perbedaan, diantaranya
yaitu, Dari ketiga ilmu tersebut memiliki corak metodelogi yang berbeda,
diantaranya adalah metodelogi yang dikembangkan dalam falsafah adalah burhani
(demonstrative), sedangkan metode yang
digunakan para teolog adalah jadali (dialektik), dan adapun metode yang
digunakan dalam tasawuf lebih banyak menggunakan perasaan (dzauq) dan
latihan kejiwaan (riyadlah).
Daftar Pustaka
A Khudori Soleh, Mencermati
Epistemologi Sufi (Irfan), Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Maliki,
Malang.
Adib, Mohammad, 2010, Filsafat Ilmu:
Ontologi, Epistemologi, Aksiologi Dan Logika Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Amelia, Riana, 2011, Skripsi Metode Bimbingan Mental Spiritual Terhadap
Penyandang Masalah Tuna Susila Di Panti Sosial Karya Wanita Mulya Jaya Jakarta,
Program Studi Bimbingan Dan Penyuluhan Islam Fakultas Ilmu Dakwah Dan Ilmu
Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Bagir, Haidar, 2017, Epistemologi
Tasawuf: Sebuah Pengantar, Bandung: PT
Mizan Pustaka.
Bakhtiar, Amsal, 2012, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Esa, Muhammad
In’am , 2008, Teologi Islam, Malang: UIN Malang Press, 2008.
Hajjaj,
Muhammad, Fauqi 2011, Tasawuf Islam
Dan Akhlak , Jakarta: Amzah.
Hasanah, Uswatun, 2015, Skripsi
Konsep Wahdat Al-Wujūd Ibn `Arabī Dan Manunggaling Kawulo Lan Gusti
Ranggawarsita (Studi Komparatif), Fakultas Ushuluddin Universitas Islam
Negeri Walisongo Semarang.
Hasyim, Arrazy, 2009, Skripsi
Kritik Para Ulama Terhadap Konsep
Teologi Ibn Arabi, Program Studi Akidah Filsafat Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Kartanegara, Mulyahi, 2007, Nalar
Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam Dan Manusia, Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Massignon, Loui, Abdurraziq, Mustafa, 2001, Islam Dan Tasawuf,
Yogyakarta: Fajra Pustaka Baru.
Mukhlis, Febri Hijroh, Makalah
Model Penelitian Kalam; Teologi Islam (Ilmu Kalam) Ahmad Hanafi.
Nasir, Sahilun A. 2016, Pemikiran
Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran Dan Perkembangannya, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Nasr, Seyyed Hossein, Leaman, Oliver, 2003, Ensiklopedi
Tematis Filsafat Islam, Bandung: Mizan.
Otoman, Pemikiran Neo Sufisme, Jurusan
Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora IAIN Raden Fatah
Palembang.
Sholihan, 2010, Pernak-
Pernik Pemikiran Filsafat Islam: Dari Al- Farabi Sampai Al- Faruqi, Semarang:
Walisongo Press.
Solihin, M,
Anwar, Rosihun, 2014, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV Pustaka Setia.
Supena, Ilyas, 2010, pengantar filsafat Islam, Semarang:
Walisongo Press.
Wardani, Filsafat Islam Sebagai
Filsafat Humanis-Profetik, Banjarmasin: Iain Antasari Press, 2014.
Zar, Sirajuddin,
2007, Filsafat Islam: Filosof Dan Filsafatnya, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Jurnal:
AB, Zuherni Sejarah Perkembangan
Tasawuf, Jurnal Substantia, Vol. 13, No. 2, Oktober 2011.
Abdullah, Maqamat Makrifat Hasan Al Basri Dan Algazali, Sulesana
Volume 9 Nomor 2 Tahun 2014.
Badrus, Kajian
Ilmu Tasawuf, Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005.
Dja’far, Halimah, Memahami Teologi Islam, Jurnal Nazharat, Vol,
Xv, N0.1, April 2014.
Emroni, Sejarah Pemikiran
Tasawuf Falsafi Al-Hallaj, Jurnal Darussalam, Volume 9, No. 2, Juli -
Desember 2009.
Fahrudin, Tasawuf Sebagai Upaya Membersihkan Hati Guna Mencapai
Kedekatan Dengan Allah, Jurnal Pendidikan Agama Islam Ta’lim vol. 14, no.
1, 2016.
Habibah, Aina Noor, Pemikiran
Tasawuf Akhlâqî K.H. Asyhari Marzuqi dan Implikasinya Dalam Kehidupan Modern,
Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume 3 Nomor 2 Desember 2013.
Hafilun, Muhammad, Teori Asal Usul Tasawuf, Jurnal Dakwah, Vol. XIII, No. 2
Tahun 2001.
Hasan, Moch. Sya’roni, Tasawuf Akhlaqi
Dan Implikasinya Dalam Pendidikan Agama Islam, Urwatul Wutsqo, Volume 5,
Nomor 2, September 2016.
Kouhsari, Sayyed Hosseini, Hakikat Irfan,
Kanz Philosophia, Volume 3, Number 2, Desember 2013.
Lubis, Agus Salim, Konsep Akhlak
dalam Pemikiran Al-Ghazali, HIKMAH, Vol. VI, No. 01 Januari 2012.
Naupal, Klaim Kebenaran Teologi
Dan Tuntutan Zaman: Refleksi Kritis Atas Etika Beragama, Kalam, Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Volume
8, Nomor 2, Desember 2014.
Nilyati, Sistem Pembinaan Akhlak Dalam
Tasawuf Akhlaki, TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014.
Purba, Zainal Arifin, Relasi
Tasawuf, Filsafat & Ilmu Kalam, Kontemplasi Vol 01 No 02, Nopember
2013349.
Rahmawati, Memahami Ajaran Fana,
Baqa Dan Ittihad Dalam Tasawuf, Al-Munzir Vol. 7, No. 2, November 2014.
[1]Agama menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan
peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Istilah
karismatik berasal dari kata yunani charismata, artinya karunia- karunia roh. https://ciptadestiara.wordpress.com/category/pengertian-agama/,
http://www.suplemengki.com/mengenal-gerakan-kharismatik/
[3] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof
Dan Filsafatnya (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007) Cet. 2, Hal.35-
36.
[4]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof Dan
Filsafatnya (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007) Cet. 2, Hal. 26.
[5] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof
Dan Filsafatnya (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007) Cet. 2, Hal. 27.
[6] Menurut Harun Nasution, sebagaimana dikutip
oleh Amsal Bakhtiar berpendapat bahwa istilah filsafat berasal dari bahasa arab
karena orang arab lebih dulu datang dan sekaligus mempengaruhi bahasa Indonesia
dari pada orang dan bahasa inggris oleh Karena itu dia lebih konsisten
menggunakan kata falsafah bukan filsafat. Buku- bukunya mengenai
filsafat ditulis dengan falsafat. Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012) Cet. 11, Hal. 4.
[8] Ilyas Supena, Pengantar Filsafat Islam
(Semarang: Walisongo Press, 2010), Cet. 1, Hal. 3- 4.
[9] Zainal Arifin
Purba, Relasi
Tasawuf, Filsafat & Ilmu Kalam, Kontemplasi
Vol 01 No 02, Nopember 2013349, Hal. 351.
[10] Sirajuddin
Zar, Filsafat Islam: Filosof Dan Filsafatnya (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2007) Cet. 2, Hal. 6- 8.
[11] Alquran adalah himpunan wahyu allah yang
diturunkan kepada nabi muhammad SAW. Alquran adalah kitab suci agama islam yang
berisikan tuntutan dan pedoman bagi manusia dalam menata kehidupan mereka agar
memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat lahir dan batin. Sirajuddin Zar, Filsafat
Islam: Filosof Dan Filsafatnya (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007)
Cet. 2, Hal. 20- 21.
[12] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof
Dan Filsafatnya (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007) Cet. 2, Hal. 22.
[13] Ebook wardani, Filsafat Islam Sebagai
Filsafat Humanis-Profetik (Banjarmasin: Iain Antasari Press, 2014) Cet. 1,
Hal. 47.
[14] Naupal, Klaim
Kebenaran Teologi Dan Tuntutan Zaman: Refleksi Kritis Atas Etika Beragama, Kalam,
Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal. 258.
[16] Muhammad In’am Esa, Teologi Islam (Malang: UIN Malang
Press, 2008) Cet. 1, Hal. 12.
[18] Halimah Dja’far, Memahami Teologi Islam, Jurnal Nazharat, Vol, Xv, N0.1, April 2014, Hal. 109-
110
[19] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi
Islam): Sejarah, Ajaran Dan Perkembangannya (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2016) Cet. 3, Hal. 30- 32.
[20] http://angkringan-kimia.blogspot.co.id/2012/12/normal-0-false-false-false-en-us-ja-ar_1533.html,
minggu 02 maret 2017 pukul 19:06.
[21]
https://didanel.wordpress.com/2010/12/28/faktor-faktor-timbulnya-imu-kalam/
minggu 02 maret 2017 pukul 19:06.
[22] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi
Islam): Sejarah, Ajaran Dan Perkembangannya (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2016) Cet. 3, Hal. 43.
[23] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi
Islam): Sejarah, Ajaran Dan Perkembangannya (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2016) Cet. 3, Hal.71.
[24] Seyyed Hossein Nasr Dan Oliver Leaman, Ensiklopedi
Tematis Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2003) Jld. 1, Hal. 156.
[25] [25] Seyyed Hossein Nasr Dan Oliver Leaman, Ensiklopedi
Tematis Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2003) Jld. 1, Hal. 153- 154.
[26] Makalah Febri Hijroh Mukhlis, Model
Penelitian Kalam; Teologi Islam (Ilmu Kalam) Ahmad Hanafi, Hal. 144- 146.
[27] Seyyed Hossein
Nasr Dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (Bandung:
Mizan, 2003) Jld. 1, Hal. 170- 171.
[28] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi
Islam): Sejarah, Ajaran Dan Perkembangannya (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2016) Cet. 3, Hal. 22- 23.
[29] Tasawuf berasal dari kata bahasa arab at-
tashawwuf yang merupakan mashdar dari
fi’il khumasi, yang dibentuk dari kata shawwaffa yang berarti
memakai wol. Dari kata tersebut lahirlah sebutan shufi untuk orang islam yang
menjalani kehidupan sufistik. Loui Massignon Dan Mustafa Abdurraziq, Islam
Dan Tasawuf (Yogyakarta: Fajra Pustaka Baru, 2001) Cet. 1, Hal. 17.
[30] Muhamms Hafilun, Teori Asal Usul Tasawuf,
Jurnal Dakwah, Vol. XIII, No. 2
Tahun 2012, Hal. 242- 243.
[31] Fahrudin, Tasawuf Sebagai Upaya
Membersihkan Hati Guna Mencapai Kedekatan Dengan Allah, Jurnal Pendidikan Agama
Islam Ta’lim vol. 14, no. 1, 2016, Hal. 66.
[32] Fahrudin, Tasawuf Sebagai Upaya Membersihkan Hati Guna Mencapai
Kedekatan Dengan Allah, Jurnal Pendidikan Agama Islam Ta’lim vol. 14, no.
1, 2016, Hal. 67.
[33] Badrus, Kajian Ilmu Tasawuf, Tribakti,
Volume 14 No.2 Juli 2005, Hal. 1.
[34] Zuherni AB, Sejarah Perkembangan Tasawuf,
Jurnal Substantia, Vol. 13, No. 2, Oktober 2011, Hal. 250.
[35] M. Solihin, Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2014) Cet. 3, Hal. 36.
[36] Dalam pandangan ulama, tasawuf akhlâqî
memiliki banyak pengertian, antara lain yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazâlî:
“Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan
perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan”. Begitu juga yang dikemukakan oleh Ibn Miskawayh: “Akhlak adalah
sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan
tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”. Menurut Abuddin Nata, terdapat
lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, antara lain: pertama, perbuatan
akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga
telah menjadi kepribadiannya. Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang
dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ketiga, perbuatan akhlak adalah
perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya tanpa ada
paksaan atau tekanan dari luar. Keempat, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang
dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara.
Kelima, sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan akhlak yang terpuji adalah
perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena
ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan pujian. Aina noor habibah,
Pemikiran Tasawuf Akhlâqî K.H. Asyhari Marzuqi dan Implikasinya Dalam Kehidupan
Modern, Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume 3 Nomor 2 Desember
2013, Hal. 270.
[37] Moch. Sya’roni Hasan, Tasawuf Akhlaqi Dan
Implikasinya Dalam Pendidikan Agama Islam, Urwatul Wutsqo, Volume 5, Nomor
2, September 2016, Hal. 93- 94.
[38] Mental spiritual adalah cara manusia
berfikir dan berperasaan dengan menggunakan nurani dan menyatukan antara
jasmani dan rohani, dengan petunjuk agama sebagai pedoman hidupnya. Riana
Amelia, Skripsi Metode Bimbingan
Mental Spiritual Terhadap Penyandang Masalah Tuna Susila Di Panti Sosial Karya
Wanita Mulya Jaya Jakarta, Program Studi Bimbingan Dan Penyuluhan Islam
Fakultas Ilmu Dakwah Dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta 2011. Hal. 34.
[39] M. Solihin,
Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014) Cet. 3,
Hal. 111- 113.
[40] Takhalli berarti usaha membersihkan diri dari
semua perilaku tercela, baik maksiat bathin maupun maksiat lahir. Maksiat-maksiat
ini musti dibersihkan, karena menurut para sufi semua itu adalah najis
maknawiyah yang menghalang seseorang untuk dapat dekat dengan Tuhannya. Nilyati, Sistem
Pembinaan Akhlak Dalam Tasawuf Akhlaki, TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember
2014, Hal. 476.
[41] Adapun kelompok sufi yang termasuk kedalam
sufi moderat adalah muncul para tokoh
tasawuf yang terkemuka seperti al-Muhasibi (w.243 H), al-Hallaj (w. 277 H.),
al-Junayd al-Baghdadi (w. 297 H.), al- harawi dan lainnya. Secara konsepnya,
periode ini menunjukkan kemunculan dan perkembangan sufisme sedangkan sebelum
itu ia hanya merupakan pengetahuan perseorangan yang disebut sebagai gaya hidup
keberagamaan. Sejak kurun tersebut, sufisme terus berkembang ke arah penyempurnaan
dengan adanya istilah-istilah baru dalam dunia tasawuf seperti konsep intuisi,
dzauq dan al-kasyf. Otoman, Pemikiran Neo Sufisme, Jurusan Sejarah dan
Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora IAIN Raden Fatah Palembang, Hal.
5.
[42] M. Solihin, Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2014) Cet. 3, Hal. 113- 114.
[43] http://nunamuvie.blogspot.co.id/2011/04/perjalanasn-tasawuf-dlm-kaitan-takhalli.html,
Selasa 23 Mei 2017 Pukul 09:53.
[44] Menurut HM.
Amin Syukur, tahalli adalah menghias diri dengan cara membiasakan sifat,
sikap dan perbuatan yang baik. Sedangkan Mustafa Zahri mengartikan tahalli yaitu
menghias diri dengan sifat-sifat terpuji. Moch. Sya’roni Hasan, Tasawuf Akhlaqi
Dan Implikasinya Dalam Pendidikan Agama Islam, Urwatul Wutsqo, Volume 5, Nomor 2, September 2016, Hal.
102.
[45] M. Solihin, Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2014) Cet. 3, Hal. 115.
[46] Nilyati, Sistem Pembinaan Akhlak Dalam Tasawuf Akhlaki, TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014,
Hal. 478.
[47] Taubat mengandung makna “kembali” ; dia
bertaubat berate dia kembali. Jadi taubat adalah kembali dari sesatu yang
dicela oleh syara` menuju sesuatu yang di puji oleh syara’, Taubat adalah rasa
penyesalan yang sungguh-sungguh dalam hati dengan disertai permohonan ampun
serta meninggalkan segala perbuatan yang menimbulkan dosa. Taubat juga berarti bangunnya psikologi manusia yang
melahirkan kesadaran terhadap segala kekurangan atau kesalahannya, dan
menetapkan tekad dan azam yang disertai dengan amal perbuatan untuk
memperbaikinya. Nilyati, Sistem Pembinaan Akhlak Dalam Tasawuf Akhlaki, TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014,
Hal. 478- 479.
[49] Nilyati, Sistem Pembinaan Akhlak Dalam
Tasawuf Akhlaki, TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014, Hal. 479.
[50] M. Solihin, Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2014) Cet. 3, Hal. 116.
[51] Nilyati, Sistem Pembinaan Akhlak Dalam
Tasawuf Akhlaki, TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014, Hal. 481.
[52] M. Solihin, Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2014) Cet. 3, Hal. 116.
[53] Nilyati, Sistem
Pembinaan Akhlak Dalam Tasawuf Akhlaki, TAJDID Vol. XIII, No. 2,
Juli-Desember 2014, Hal. 481- 482.
[54] M. Solihin, Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2014) Cet. 3, Hal. 116- 117.
[55] Al Faqr adalah tidak meminta lebih dari apa
yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat
menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta, sungguhpun tak ada pada kita,
kalau diberi diterima. Tidak meminta tapi tidak menolak.37Al Faqr dapat diartikan
sebagai kekurangan harta yang diperlukan seseorang dalam menjalani kehidupan
dunia. Nilyati, Sistem Pembinaan Akhlak Dalam Tasawuf Akhlaki, TAJDID
Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014, Hal. 483.
[56] M. Solihin, Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2014) Cet. 3, Hal. 117- 118.
[57] Perkataan sabar berasal dari bahasa Arab shabr,
yang sudah lama masuk dalam perbendaharaan bahasa Indonesia. Arti sabar
dalam bahasa Indonesia ialah tabah dan tangguh dalam menghadapi segala sesuatu.
Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia, sabar artinya tahan menghadapi cobaan
(tidak lekas marah, tidak lekas putus asa dan tidak lekas patah hati, tabah,
tenang; tidak tergesa-gesa; tidak terburu nafsu. Nilyati, Sistem Pembinaan
Akhlak Dalam Tasawuf Akhlaki, TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014,
Hal. 484.
[59] Nilyati, Sistem Pembinaan Akhlak Dalam
Tasawuf Akhlaki, TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014, Hal. 484-
485.
[60] M. Solihin, Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2014) Cet. 3, Hal. 119.
[61] Nilyati, Sistem Pembinaan Akhlak Dalam
Tasawuf Akhlaki, TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014, Hal. 485.
[62] M. Solihin, Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2014) Cet. 3, Hal. 119.
[63] M. Solihin, Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2014) Cet. 3, Hal. 120.
[64] Abdullah, Maqamat Makrifat Hasan Al
Basri Dan Algazali, Sulesana Volume 9 Nomor 2 Tahun 2014, Hal. 108.
[65] http://www.tetaplahberbinar.com/2011/11/hasan-al-basri-rijal-dakwah.html,
Rabu 24 Mei 2017 Pukul 05:33.
[66] Nama
lengkapnya adalah Ahmad bin Abdullah bin Ahmad bin Ishak bin Musa bin Mahran
al-Mahrani al-Asbahani ash-Shufi. Ia adalah al-Imam
al-Hafidz al-Kabir (Imam
hafidz besar), ahli hadis yang tsiqat,
dan al-‘Allamah(banyak
ilmunya) dalam fikih, tasawuf dan nihayah.
Ia dilahirkan di Esfahan (Iran) pada bulan rajab tahun 366 H. ayahnya bernama al-Imam
az-Zahid Muhammad bin Yusuf al-bina, orang yang pertama masuk islam
dalam keturunannya. Dari ayahnya inilah beliau memperoleh ilmu, hingga ketika
umurnya 6 tahun ia mendapati ayahnya menghadiri pertemuan dengan syaikh-syaikh
besar dari berbagai pelosok, seperti Khaisamah bin Sulaiman dari Syam, Abul
Abbas dari Naisabur dan lain-lain. Pada masa Abu Nu’aim kajian sangat
difokuskan kepada dirasah
al-Qur’ankarena hal itu merupakan kewajiban yang pertama bagi
setiap muslim, namun disamping itu pada masanya juga dibolehkan dan sudah
banyak orang yang melakukan periwayatan hadis, lebih tepatnya periwayatan tanpa
bertemu dengan guru atau rawi hadisnya secara langsung, atau yang disebut
dengan ijazah (sertifikat) yakni
meriwayatkan hadis yang ada pada kitab seorang rawi. Seperti yang dilakukan
oleh Ibn Yunus as-Shufdi (346 H), ia tidak melakukan rihlah untuk sima’ selain pada orang yang
sezaman dengannya namun ia berhasil menjadi seorang Imam hadis. Pada masanya
pula banyak bermunculan ulama-ulama besar hadis seperti Ibn Mandah (395 H) yang
mengumpulkan 1.700 hadis, Ibn Uqdah (332 H) yang hafal sampai 50.200 sanad dan
matan hadis, Abu Hasan ad-Daruqutni pembesar ulama hadis kurun keempat,
al-hakim an-Naisabury dan lain-lain. https://selasarmuslim.wordpress.com/2015/01/29/studi-kitab-al-mustakhraj-abu-nuaim-al-ashbahani/,
Rabu 24 Mei 2017 Pukul 05:57.
[67] M. Solihin, Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2014) Cet. 3, Hal. 123- 124.
[68] M. Solihin, Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2014) Cet. 3, Hal. 124- 125.
[69] Agus Salim Lubis, Konsep Akhlak dalam
Pemikiran Al-Ghazali, HIKMAH, Vol. VI, No. 01 Januari 2012, 58-67
60, Hal. 60.
[70] M. Solihin, Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2014) Cet. 3, Hal. 137.
[71] Abdullah, Maqamat Makrifat Hasan Al Basri Dan Algazali, Sulesana
Volume 9 Nomor 2 Tahun 2014, Hal. 110.
[72] M. Solihin, Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2014) Cet. 3, Hal. 142.
[73] Abdullah, Maqamat Makrifat Hasan Al
Basri Dan Algazali, Sulesana Volume 9 Nomor 2 Tahun 2014, Hal. 112.
[74] M. Solihin, Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2014) Cet. 3, Hal. 142- 143.
[75] Abdullah, Maqamat Makrifat Hasan Al
Basri Dan Algazali, Sulesana Volume 9 Nomor 2 Tahun 2014, Hal. 112- 113.
[76] Haidar Bagir, Epistemologi Tasawuf: Sebuah
Pengantar ( Bandung: PT Mizan Pustaka, 2017) Hal. 16.
[78] A
Khudori Soleh, Mencermati Epistemologi Sufi (Irfan), Universitas Islam
Negeri (UIN) Maliki, Malang, Hal. 2.
[79] Irfan (gnostisisme) adalah
pengungkapan pengalaman- pengalaman mistik (sufistik) ke dalam bahasa, yang
antara lain dicirikan dengan penggunaan bahasa- bahasa analogis dan simbolik.
Kadang irfan disebut juga tasawuf teoretis. Mistisme itu sendiri
dipahami sebagai kepercayaan bahwa kebenaran tertinggi tentang realitas sampai
batas tertentu bersifat tersembunyi (dari persepsi umum), hanya dapat diperoleh
melalui pengalaman intuitif suprarasional, bahkan spiritual, dan bukan melalui
nalar (rasio atau reason) logis belaka. Haidar Bagir, Epistemologi Tasawuf:
Sebuah Pengantar ( Bandung: PT Mizan Pustaka, 2017) Hal. 17- 18.
[80] Sarraj Al- Thusi mengisyaratkan perkataan
Sufyan Al- Tsauri (w. 161 H) yang mengatakan bahwa kata arif digunakan
pertama kali pada abad kedua hijriyah. Kemudian istilah ini tersebar dan banyak
digunakan pada abad ketiga hijriyah. Abu yazd kemudian mengganti kata sufi lalu
mengatakan, “kesempurnaan seorang arif adalah pengorbanan dirinya kepada tuhan,
maka seorang arif adalah yang melihat tuhan, ma’ruf dan bersama orang- orang
yang alim a tas alam ini. Sayyed Hosseini Kouhsari, Hakikat Irfan, Kanz
Philosophia, Volume 3, Number 2, Desember 2013, Hal. 246.
[81] M. Solihin, Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2014) Cet. 3, Hal. 145.
[82] M. Solihin, Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2014) Cet. 3, Hal. 146.
[83] A Khudori Soleh, Mencermati Epistemologi
Sufi (Irfan), Universitas Islam Negeri (UIN) Maliki, Malang, Hal. 3.
[84] Haidar Bagir, Epistemologi Tasawuf: Sebuah
Pengantar ( Bandung: PT Mizan Pustaka, 2017) Hal. 59- 60.
[85] Haidar Bagir, Epistemologi Tasawuf: Sebuah
Pengantar ( Bandung: PT Mizan Pustaka, 2017) Hal. 62- 63.
[86] Haidar Bagir, Epistemologi
Tasawuf: Sebuah Pengantar ( Bandung: PT Mizan Pustaka, 2017) Hal. 63.
[87] A Khudori Soleh, Mencermati Epistemologi
Sufi (Irfan), Universitas Islam Negeri (UIN) Maliki, Malang, Hal. 7.
[88] A Khudori Soleh, Mencermati Epistemologi
Sufi (Irfan), Universitas Islam Negeri (UIN) Maliki, Malang, Hal. 8- 9.
[89] M. Solihin, Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2014) Cet. 3, Hal. 146- 147.
[90] M. Solihin, Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2014) Cet. 3, Hal. 147.
[91] Mahabbah adalah penyesuaian ketaaatan akan
perintah, meninggalkan apa yang dilarang, ridla terhadap apa yang telah
ditetapkan. Al- sarraj menerangkan tentang tingkatan mahabba ada tiga
tingkatan, yaitu cinta biasa, yaitu selalu mengingat tuhan dengan dzikir, suka
menyebut nama- anma allah, memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan tuhan.
Cinta orang yang siddik, yaitu yang kenal kepada tuhan, pada kebesarannya dan
nilai- nilai. Cinta orang yang arif, yaitu orang yang tahu betul tentang pada
tuhan. Rahimah, sufi wanita Rabi’ah Al- Adawiyah mencapai Al- Hubb Al- Ilahi,
Jurusan Bahasa Arab fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, Hal. 5- 6.
[93] M. Solihin, Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2014) Cet. 3, Hal. 159.
[94] Dari segi bahasa fana berarti hilangnya wujud
sesuatu. Fana berbeda maknanya dengan al-fasad yang berarti rusak. Fana artinya
tidak nampaknya sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu kepada
sesuatu yang lain. Rahmawati, Memahami Ajaran Fana, Baqa Dan Ittihad Dalam
Tasawuf, Al-Munzir Vol. 7, No. 2, November 2014, Hal. 74.
[95] Secara harfiah baqa berarti kekal, sedang
menurut yang dimaksud para sufi, baqa adalah kekalnya sifat-sifat terfuji, dan
sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya (fana) sifat-sifat
basyariah, maka yang kekal adalah sifatsifat ilahiah. Dalam istilah tasawuf,
fana dan baqa datang beriringan, sebagaimana dinyatakan oleh para ahli tasawuf:
"Apabila nampaklah nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada, dan baqalah yang
kekal. Rahmawati, Memahami Ajaran Fana, Baqa Dan Ittihad Dalam Tasawuf,
Al-Munzir Vol. 7, No. 2, November 2014, Hal. 74- 75.
[96] M. Solihin, Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2014) Cet. 3, Hal. 161.
[97] al-ittihad, yakni penyatuan batin atau
rohaniah dengan Tuhan, karena tujuan dari fana dan baqa itu sendiri adalah
ittihad itu. Dalam ajaran ittihad sebagai salah satu metode tasawuf sebagai
dikatakan oleh alBaidawi, yang dilihat hanya satu wujud sungguhpun sebenarnya
yang ada dua wujud yang berpisah dari yang lain. Karena yang dilhat dan yang dirasakan
hanya satu wujud, maka dalam ittihad ini bisa terjadi pertukaran peranan antara
yang mencintai (manusia) dengan yang dicintai (Tuhan) atau tegasnya antara sufi
dan Tuhan. Rahmawati, Memahami Ajaran Fana, Baqa Dan Ittihad Dalam Tasawuf,
Al-Munzir Vol. 7, No. 2, November 2014, Hal. 76.
[98] Emroni, Sejarah Pemikiran Tasawuf Falsafi
Al-Hallaj, Jurnal Darussalam, Volume 9, No. 2, Juli - Desember 2009, Hal.
2- 3.
[100] M. Solihin, Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2014) Cet. 3, Hal. 166- 167.
[101] M. Solihin,
Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014) Cet. 3,
Hal. 167- 168.
[102] M. Solihin, Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2014) Cet. 3, Hal. 171.
[103] Qimmatul Khoiroh, Makalah Tasawuf Falsafi dan
Tokoh- tokohnya, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Hal. 1. https://www.scribd.com/doc/50787764/MAKALAH-TASAWUF,
Kamis 25 Mei 2017 Pukul 06:14.
[104] M. Solihin,
Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014) Cet. 3,
Hal. 172- 173.
[105] Arrazy Hasyim, Skripsi Kritik Para Ulama
Terhadap Konsep Teologi Ibn Arabi, Program
Studi Akidah Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah 1430 h./2009 M. Hal.
21.
[106] M. Solihin, Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2014) Cet. 3, Hal. 175.
[107] Uswatun Hasanah, Skripsi Konsep Wahdat
Al-Wujūd Ibn `Arabī Dan Manunggaling Kawulo Lan Gusti Ranggawarsita (Studi
Komparatif), Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang
2015, Hal. 67- 68.
[108] M. Solihin, Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2014) Cet. 3, Hal. 176- 177.
[110] Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam Dan
Akhlak ( Jakarta: Amzah, 2011) Cet. 1, Hal. 27.
[111] Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf islam dan
akhlak ( Jakarta: Amzah, 2011) Cet. 1, Hal. 53.
[112] Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf islam dan
akhlak ( Jakarta: Amzah, 2011) Cet. 1, Hal. 67.
[113] Objek material adalah sesuatu yang dijadikan
sasaran pemikiran (Gegenstand), sesuatu yang diselidiki atau sesuatu yang
dipelajari. Objek material mencakup apapun baik hal yang konkrit (badan
manusia, badan hewan, tumbuhan, batu, kayu, tanah) maupun hal yang abstrak
(misalnya ide-ide, nilai-nilai, angka). http://elisa.ugm.ac.id/user/archive/download/23487/7805423e13f11cdc5b5f7e0e015f10c3,
Rabu 24 Mei 2017 Pukul 02:25.
[114] Objek formal adalah sudut pandangan, cara
memandang, cara mengadakan tinjauan yang dilakukan oleh seorang pemikir atau
peneliti terhadap objek material serta prinsip-prinsip yang digunakannya. Objek
formal suatu ilmu tidak hanya memberi keutuhan suatu ilmu akan tetapi pada saat
yang sama membedakannya dan bidang-bidang lain. http://elisa.ugm.ac.id/user/archive/download/23487/7805423e13f11cdc5b5f7e0e015f10c3,
Rabu 24 Mei 2017 Pukul 02:25.
[115] Amsal Bakhtiar, Filsfat Ilmu (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2012) Cet. 11, Hal. 1.
[116] Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi,
Epistemologi, Aksiologi Dan Logika Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010) Cet. 2, Hal. 43- 44.
[117] http://novadwiprasetiyo.blogspot.co.id/2011/11/ruang-lingkup-studi-teologi-islam_10.html,
Selasa 24 Mei 2017 Pukul 01:34.
[118] http://sumber-ilmu-islam.blogspot.com/2014/04/pengertian-dan-ruang-lingkup-studi.html,
Rabu 24 Mei 2017 Pukul 01:46.
[119] http://jefriirawansusianto.blogspot.co.id/2014/04/pengertian-ruang-lingkup-dan-hubungan_24.html,
Rabu 24 Mei Pukul 02:41.
[120] https://astri360.wordpress.com/2016/11/23/pengertian-dan-ruang-lingkup-akhlak-tasawuf/,
Rabu 24 Mei Pukul 02:41.
[121] Sholihan, Pernak- Pernik Pemikiran
Filsafat Islam: Dari Al- Farabi Sampai Al- Faruqi (Semarang: Walisongo
Press, 2010) Cet. 1, Hal. 16.
[122] Mulyahi Kartanegara, Nalar Religius:
Memahami Hakikat Tuhan, Alam Dan Manusia (Jakarta: Penerbit Erlangga,
2007), Hal. 71- 72.
[123] Sholihan, Pernak- Pernik Pemikiran
Filsafat Islam: Dari Al- Farabi Sampai Al- Faruqi (Semarang: Walisongo
Press, 2010) Cet. 1, Hal. 15- 16.
[124] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi
Islam): Sejarah, Ajaran Dan Perkembangannya (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2016) Cet. 3, Hal. 51.
[125] M. Solihin, Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2014) Cet. 3, Hal. 87- 88.
[126] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof
Dan Filsafatnya (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007) Cet. 2, Hal. 24-
25.
[127] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof
Dan Filsafatnya (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007) cet. 2, hal. 26.
[128] M. Solihin, Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2014) Cet. 3, Hal. 104.
[129] http://nisaulkarimah48.blogspot.co.id/2013/06/hubungan-ilmu-kalam-tasawuf-dan-filsafat.html,
Jumat 31 Maret 2017 Pukul22:54.
[130] M. Solihin, Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2014) Cet. 3, Hal. 99- 100.
No comments:
Post a Comment