STRATEGI DAN METODE PENGEMBNGAN ILMU
Lompatan Pradigmatik (Thomas S. Kuhn) dan Progam Riset Ilmiah (Imre Lakatos)
Dosen
Pengampu:
Dr. H. Ahamd Barizi. M. Ag
Oleh:
Selvi
Budi Rahayu (16771005)
MPAI-A
PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Februari 2017
STRATEGI DAN METODE PENGEMBNGAN ILMU
Lompatan Pradigmatik (Thomas S. Kuhn) dan Progam Riset Ilmiah (Imre Lakatos)
Oleh:
Selvi Budi Rahayu
(16771005)
A. Pendahuluan
Pada mulanya apa yang disebut ilmiah adalah
filsafat, sebab filsafat adalah bentuk awal dari semua ilmu. Keheranan,
kesangsian dan kesadaran akan keterbatsan mendorong manusia untuk berpikir.
Berpikir untuk menjawab segala persoalan dari rasa heran, sangsi, dan serba
terbatasnya. Pemikiran itu segera menjadi “metodis”. Manusia cenderung unutk
menggunakan jalan tertentu untuk berpikir, dari hal-hal yang kongkret ke
prinsip-prinsip induk yang abstrak. Dalam berpikir manusia melakukan
“abstraksi”[1].
Setiap jenis abstraksi menghasilkan salah satu jenis ilmu pengetahuan, yaitu
pengetahuan fisis, pengetahuan matematis, dan pengetahuan teologis. Semua jenis
pengetahuan itu menurut Aristoteles disebut filsafat.[2]
Berfilsafat bagi manusia berarti mengatur
hidupnya senetral mungkin dengan perasaan tanggung jawab terhadap Tuhan, alam, ataupun kebenaran[3].
Fisafat sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia untuk kesehariannya. Filsafat
juga tidak cukup hanya diketahui dan dipelajari saja tetapi juga harus
dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.(1) Fisafat juga merupakan induk dari
segala ilmu.
Pada zaman Yunani Kuno sulit untuk membedakan
antara filsafat ilmu dan filsafat. Pembuktian empirik kurang mendapatkan
perhatian dan metode ilmiah tampaknya kurang begitu berkembang. Kemudian
sedikkit demi sedikit dengan makin berkembanganya penalaran dan metode ilmiah,
dengan makin kuatnya pembuktian empirik, dan sseiring itu makin meluasnya
penggunaan instrument penelitian, satu persatu cabang ilmu mulai melepaskan
diri dari filsafat.[4]
Masalah ilmu pengetahuan mungkin menjadi
masalah terpenting bagi kehidupan manusia. Hal inimenjadi cirimanusia karena
manusia senantiasa bereksistensi, tidak hanya seperti batu dan rumput di tengah
lapangan yang ada tetapi dianggap tidak ada. Tetapi manusia disini selalu ingin
diakui keberadaanya.
Filsafat juga memberikan pendasaran dalam
cara-cara memperoleh ilmu pengetahuan dan pengembangannya, terutama dasar
ontologi , epistemologi, dan aksiologi. Berperan juga juga dalam menjelaskan
dan menghilangan rintangan-rintangan yang dihadapi ilmu pengetahuan serta
menjadi wasit terakhir dalam membedakan antara pengetahuan dan kepercayaan atau
antara keyakinan dan keraguan.[5]
Dalam sejarah perkembangan ilmu
pengetahuan,paradigma epistemlogi psitivtik telah merajai bidang ini, dan
bercokol selama berpuluh-puluh tahun. Tetapi,
sekitar dua atau tiga dasawarsa terakhir ini, terlihat perkembangan baru dalam
filsafat ilmu pengetahuan. Perkembangan ini sebenrnya merupakan upaya
pendobrakan atas filsafat ilmu pengetahuan psitivistik yang
dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Thomas S. Kuhn, Pau Feyeraband, N.R.
Hanson, Robert Palter, Stephen Toulmin, serta imre Lakatos. [6]
Telah lahir banyak ilmuan
yang membicarakan tentang filsafat dengan backgrund pendidikan ilmu pengetahuan,
hal ini membuat filsafat lebih berkembang dan dapat menyatukan antara teori
ilmu pngetahuan dengan imu fisafat sendiri.
B.
Pembahasan
1. Biografi Thomas S. Kuhn
Thomas Samuel Kuhn lahir pada 18
Juli 1922 di Cincinnati, Ohio dan meninggal pada 17 Juni 1996 di Cambridge,
Massachusetts USA. Kuhn menyelesaikan study doktornya dalam ilmu pasti-alam di
Harvards dan Universitas Princeton, dan dari tahun
1979-1991 ia bertugas di Massachusetts
Institute of Technologi.
Karyanya yang aling terkenal adaah The Structure of scientific revolutions (1962)
dan The Essential Tension; Selected Studies in Scientific Tradition and
Change (1977).[7]
Kuhn mendapat gelar B.S di dalam ilmu fisika
dari Harvard University pada tahun 1946 dan mulai mengajar pada tahun 1949 setelah
mendapatkan gelar Ph.D dari Harvard University Kuhm meneruskan
belajarnya di Universitas Barkeley di
California dan menjadi profesor sejarah Ilmu pada tahun 1961. Kuhn menulis
karyanya yang sangat terkenal dan menjadi rujukan dimana-mana dengan judul The
Structure of Scientific Revolution pada saat berada di Universitas Barkeley
pada tahun 1992.
Kuhn sempat menelaah bidang-bidang yang jauh
dari spesialisnya seperti mempelajari psikologi, serta pengaruh bahasa terhadap
pernyataan ilmiah. Dan dari hasil menelaah bidang-bidang ilmu ini, kuhn
menekankan pentingnya pemahaman akan sejarah ilmu pengetahuan sebagai titik
tolak bagi semua riset dan pemahaman ilmiah. Kuhn lebih mengutamakan sejarah
ilmu drbagai titik awal dalam segala penyelidikan. Karena ke antusiasannya
tersebut, Kuhn sampai mengklaim bahwa filsafat ilmu sebaiknya berguru kepada
sejarah ilmu.[8]
Menurut Kuhn sejarah ilmu merupakan starting
point dan kacamata utamanya dalam menyoroti permasalahan-permasalahan
fundamental dalam epistemologi yang selama ini masih menjadi teka-teki. Menurut
Kuhn sains pada dasarnya juga lebih dicirikan oleh paradigma dan revolusi yang
menyertainya.
2. Paradigma Kuhn
Konsep sentral Kuhn adalah paradigma, kata
paradigama menururt KBBI adalah (1) model dalam teori ilmu pengetahuan (2)
kerangka berpikir.[9]
Secara umum Kuhn mengartikan paradigma sebagai beberapa contoh praktik ilmiah
aktual yang diterima seperti hukum, teori, aplikasi dan instrumen yang diterima
bersama sehingga merupakan model yang dijadikan sebagai sumber dan
tradisi-tradisi yang mantap dalam riset ilmiah khusus.[10]
Kuhn tidak puas dengan anggapan bahwa seharah
filsafat selalu kontinu atau berkesinambungan untuk menekati kebenrana. Kuhn
berargumen bahwa periode yang berbeda dari filsafat justrui memiliki sidat ke
tidak sinambungan. Jadi masing-masing era filsafat memiliki bahssan yang
berbeda-beda.
Dalam sejarah ilmu pengetahuan, menurut Kuhn
terjadi revolusi intelektal yang membalikkan perjalanan panjang jalur filsafat
konservatif. Periode “normal” ditandai dengan tingkat independensi dan
objektivitas rendah, dan lebih banyak menyetujui asumsi dan hasil yang sudah
diharapkan. Selama priode “normal” ini jika terjadi anomali hasil penelitian
atau hasil di luaryang diharapkan, hasil ini akan dikesampingkan dan dianggap
tidak relevan atau sevbagai masalah yang akan diselesaikan lain waktu.
Yang dimaksud sains normal disini adalah riset
yang dengan teguh berdasarkan atas satu atau lebih pencapaian ilmiah yang lalu,
pencapaian yang oleh masyarakat ilmiah tertentu pada suatuketika dinyatakan
sebagai pemberi fundasi bagi praktek selanjutnya.[11]
Penelitian orisinil yang mempertanyakan asumsi
yang berlaku saat itu akan dianggap sebagai spekulasi liar yang tidak berguna.
Kondisi seperti inilah yang ditemui kuhn yang disebutnya sebuah Paradigma.
Paradigma saat ini mirip sebuah jaring yang saling berkaitan antara satu asumsi
dan kepercayaan bersama oleh sekelompok komunitas yang mendasari dan menyusun
agenda saat ini. Kuhn berpendapat bahwa kondisi seperti ini akan memiliki
kecenderungan untuk memperkuat paradigma lama dan pardigma baru yangdijungkir
balikkan oleh sebuah revolusi intelektualketika sebuah paradigma gagal
menyajikan model yang sesuai dengan sebuah fenomena yang teramati.
Paradigma itu akan bergeser dan revolusipun
terjadi. Contoh sebuah revolusi seperti ini adalah pergeseran paradigma
geosentrising ptolemi ke arah paradigma heliosentrisnya copernicus. Cotoh lain
adalah pergeseran paradigma fisika mekanika Newton ke arah fisika modern an
relativitasnya einstein.
Kuhn juga mempopulerkan istilah incommensurability
(ketidak proposionalan) yang menolak bahwa ilmu pengetahuan bergerak maju ke
arah kebenaran hakiki. Menururt Kuhn, kejadian penolakan paradigma lama untuk
menerima hal baru justru meniadakan kemungkinan perbandingan. Kuhn berargumen
bahwa oandangangan ilmuwan terhadap dunia benar-benar berubah dengan munculnya
paradigma baru sehingga tidak dapat dibandingkan secarakuantitatif dan
kualitatif dengan paradigma lama. Perbedaan zaman yang dialami oleh ilmuwan
membawa perbedaan psikologi, seperti yang dikatakan Kuhn “Setelah Copernicus para astronom hidup di
dunia yang berbeda”. Perbedaan yang dimaksud oleh Kuhn adalah dunia sebelum
Copernicus adalah dunia yang dikelilingi matahri, tetapi setelah Copernicus
dunia menjadi bergerak mengelilingi matahri.
Subjektivisme dalam ilmu pengetahuan ini
menimbulkan ide bahwa kebenaran hakiki dapat dipertanyakan dan hidup dapat
dijalani tanpa mengetahui kebenaran hakiki. Karena tidak mungkin didapatkan
sebuah kebenaran tanpa beroperasi dalam sebuah paradigma yang berlaku. Kuhn
memandang ilmu pengetahuan sebagai sebuah evolusidalam rangka menjawab
tantangan dunia.
Dengan nada pesimis tentang kemampuan ambisi
ilmu pengetahuan untuk mencapai kebenaran hakiki, Kuhn memberi analogi bahwa
jika evolusi ilmu pengetahuan dipercayaakan mencapai kebenaran hakiki, evolusi
organisme termasuk manusia di dalamnya juga dipercaya akan berevolusi ke arah
organisme hakiki.[12]
Adanya revolusi sains bukan merupakan hal yang
berjalan dengan mulus tanpa adanya hambatan. Tetapi disini adakalanya ilmuwan-ilmuwan
serta masyarkat sains tidak bisa menerima adnaya paradogma baru yang telah ada
tersebut. Dalam pemilihan paradigma disini tidak ada standar yang lebih tinggi
daripada persetujuan dari masyarakat yang bersangkutan. Sehingga paradigma
tersebut dapat diterima untuk menggantikan paradigma lama.olehkarena itu
permasalhan paradigma atau munculnya paradigma yanng baru sebagai akibat dari
revolusi sains tidak lain hanyalah sebuah kesepakatan yang sangat ditentukan
oleh retorika di kalangan akademis atau masyarakat sains, maka revolusi sains
dapat terwujud.
Jika ada beberapa ilmuwan yang tidak dapat
menerima akan adnya paradigmabaru yang telah mematahkan paradigma yang lama dan
tetap bertumpu pada paradigma yang lama untuk landasan risetnya, maka
aktivitas-aktivitas risetnya tidak akan bermanfaat sama sekali.[13]
Menurut Lubis, Kuhn menggunakan pengertian
paradigma dengan dua puluh satu pengertian yang berbeda-beda, tetapi Masterman
membagi hal itu menjadi tiga tipe paradigmatik, yaitu paradigma metafisik,
paradigma sosiologis dan paradigma konstruk.
a. Paradigma Metafisik
Paradigma metafisik merupakan consensus terluas dalam
bidang ilmu yang membantu mengatasi bidang (scope) dari satu bidang
ilmu,sehingga mmbantu mengarahkan komunitas ilmuwan dalam melakukan penelitiannya.
Menurut Ritzer, paradigma metafisik memerankan beberapa
fungsi.diantaranya adalah sebagai berikut[14] :
1) Untuk menentukan ontology (realitas, objek)
yang menjadi fokus atas objek akajian ilmiah dari komunitas ilmuwan tertentu.
2) Unutk membantu komunitas ilmuwan tertentu
bagaimana mereka menemukan realitas atau objek yang menjadi pusat perhatiannya.
3) Untuk membantu ilmuwan guna menemukan teori
dan penjelasan tentang objek yang diteliti sesuai dengan pandagan 1 dan 2.
b. Paradigma Sosiologi
Paradigma sosiologi ini sangat mirip dengan konsep
exemplare dari Thomas S. Kuhn. Kuhn mendiskusikan keanekaragaman fenomena yang
mencangkup dalam pengertian seperti kebiasaan-kebiasaan nyata,
keputusan-keputusan nyata, keputusan-keputusan hukum yang diterima, hasil-hasil
nyata perkembangan ilmu pengetahuan, serta hasil-hasil penemuan ilmu
pengetahuan yang diterima secara umum.
c. Pardigma Konstruk
Suatu pandangan mendasar dari suatu disiplinj ikmu
tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang senestinya di pelajari.
3. Biografi Singkat Imre Lakatos
Tidak ada banyak literatur yang menjelaskan
secara rinci mengenai riwayat hidup Imre Lakatos. Imre Lakatos lahir di
Hungaria pada tahun 1992 dan meninggal pada tahun 1974. Dia menyelesaikan studi
doktornya di Cambridge University dengan sebuah disertasi yang berjudul “Proofs
and Refatuation”.
Karya-karya dari Imre Lakatos diantaranya
adalah “Criticism and Methodology of Scientific Research Pragmammes”,
yang kemudian dikembangkan menjadi “Falsifiction and the Methodology of
Scientific Research Progannes (MRSP)”. Di samping karyanya yang terkenal
ini, dia juga menulis arya-karya lainnya yaitu Mathematics, Scienc and
Epistemology. Sebuah karya yang belum terselesaikan karena faktor usia yang
tidak memungkinkan yang berjudul “The Cahnging Logic ofScience Discovery”
merupakan pembaharuan terhadap karya Pooper yang berjudul “The Logic Science
Discovery”.
Selain menulis, Lakatos juga aktif dalam
berbagai symponi dan kegiatan ilmiah lainnya. Pada tahun 1965,dia memprakarsai
suatu symposiun yang bertujuan untuk mempertemukan gagasan Kuhn terhadap Popper
yang lebih disebabkan karena Kuhntidak memahami falsifikasionisme yang
dikemukakan.[15]
4. Program Riset Ilmiah Imre Lakatos
Pada masa sebelum Lakatos, Ilmu Pengetahuan
adalah ilmu yang berdiri sendiri. Bagi para penyokong induktivisme dan
falsifikasionisme yang memandang ilmu pengetahuan hanyalah teori-teori yang
berdiri sendiri. Jadi jika sebuah teori telah dibuktikan secara empiris, maka
kebenran dianggap abadi. Sedangkan penyokong falsifikasionisme memandang bahwa
sebuah teori harus terbuka dan memungkinkan adanya refutasi-refutasi, karenanya
pengembangan ilmu pengetahuan dilakukan dengan merontokkan teori yang sudah ada
untuk mendapatkan teori baru.
Menurut Lakatos ilmu pengetahuan merupakan
serangkaian teori yang kukuh dalam suatu program riset. Berbeda dengan Kuhn
yang memberikan kemungkinan terjadinya revolusi sebagai sesuatu yang luar biasa
dalam perkembangan ilmu pengetahuan, Lakatos menepiskan sama sekali terjadinya
revolusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dapat terjadi melalui kontinuitas.
Bahkan jika sebuah program riset terfasifiksikan, program tersebut tidak lantas
terpuruk, tetapi ia masih memiliki kekuatan untuk bangkit kembali guna meraih
kemampuan.
Jika Kuhn yang sering menggunakan pandangan
bahwa paradigmatik dapat diperbandingkan dan tidak terbuka bagi perbandingan
pemikiran, Lakatos bertahan dahwa kita dapat membandingkan secara objektif
terhadap realitivitas kemajuan dari tradisi penelitian yang penting.
Upaya perluasan pemikiran Lakatos akan
pemikiran akan pemikiran Popper tampak ketika dia menyatakan bahwa tugas utama
tidak dijadikan teori sendiri-sendiri, namun menjadi program yang masing-masing
meliputi teori berganda. Teori berganda disini terjadi dari inti (core)
yang tersusun dari prinsip dasar,dan ikat pinggang (belt) yang terdiri
dari pendapat atau prinsip jadian atau hipotesis pembantu. The belt
adalah yang secara langsung diuji, sehingga membuat the core selamat. Namun, the
belt yang dimaksudan untuk melindungi core hanya untuk sementara waktu.
Jika the belt lewat beberapa cara tidak dapat menyelesaikan beberapa
tantangan yang dijumpai, maka program uji falsibilitas keseluruhan harus
dijalankan.
Menururt Lakatos, yang harus dinilai sebagai
ilmiah atau tida ilmah adalah rangkaian teori-teori, dan bukannya teori tungga
yang berdiri sendiri. Teori-teori yang dihubungkan dengan kontinuitas yang
menyatukannya. Kontinuitas ini dikembangkan dari suatu program riset yang bisa
dibayangkan sejak awal. Menururt Lakatos juga masalah-masalah logika penemuan
tidak bisa dibahas secara memuaskan, kecuali dalam kerangka metodologi
program-program riset. Dalam metodologi program riset ilmiah dibedakan menjadi
dua:
a. Hereustik Negatif
Semua program riset ilmiah senantiasa diwarnai
oleh gardcore (inti pokok).inti pokok merupakan teori umum yang akanmenjadi
program dasaruntuk dikembangkan. Semisalnya adalah inti pokok pada astronom
Copernicus, hardcorenya adalah asumsi-asumsi yang menyatakan bahwa bumi dan
planet berputarmengelilingi matahri dan bumi berputas pada porosnya.
Dalam heuristik negative ini peneliti tidak
boleh diarahkan langsung kepada hardcore ini. Tetapi peneliti harus diarahkan
pada hipotesis bantu di sekeliling atau yang disebut sebagai protektif belt.
b. Heuristik positif
Kalau heuristik negatif menetapkan hardcore
program yang tidak bisa ditolak berdasarkan metodologi pendukungnya, maka
heuristic positif terdiri dari seperangkat saran atau isyarat yang digunakan
secara terpisah untuk mengubah, mengembangkan dan memodifikasi variasi-variasi
yang bertolak dalam program riset. Kesulitan yang dialami dalam heuristik
positif ini lebih banyak bersifat matematis daripada bersifat empiris.[16]
C. Kesimpulan
Pada mulanya apa yang disebut ilmiah adalah
filsafat, sebab filsafat adalah bentuk awal dari semua ilmu. Berfilsafat bagi
manusia berarti mengatur hidupnya senetral mungkin dengan perasaan tanggung
jawab terhadap Tuhan, alam,
ataupun kebenaran. Pada zaman Yunani Kuno sulit untuk membedakan antara filsafat ilmu dan
filsafat.
Konsep sentral Kuhn adalah paradigma, kata
paradigama menururt KBBI adalah (1) model dalam teori ilmu pengetahuan (2)
kerangka berpikir. Secara umum Kuhn mengartikan paradigma sebagai beberapa
contoh praktik ilmiah aktual yang diterima seperti hukum, teori, aplikasi dan
instrumen yang diterima bersama sehingga merupakan model yang dijadikan sebagai
sumber dan tradisi-tradisi yang mantap dalam riset ilmiah khusus.
Menurut Lakatos ilmu pengetahuan merupakan
serangkaian teori yang kukuh dalam suatu program riset. Berbeda dengan Kuhn
yang memberikan kemungkinan terjadinya revolusi sebagai sesuatu yang luar biasa
dalam perkembangan ilmu pengetahuan, Lakatos menepiskan sama sekali terjadinya
revolusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dapat terjadi melalui kontinuitas.
Bahkan jika sebuah program riset terfasifiksikan, program tersebut tidak lantas
terpuruk, tetapi ia masih memiliki kekuatan untuk bangkit kembali guna meraih
kemampuan.
Jika Kuhn yang sering menggunakan pandangan
bahwa paradigmatik dapat diperbandingkan dan tidak terbuka bagi perbandingan
pemikiran, Lakatos bertahan bahwa kita dapat membandingkan secara objektif
terhadap realitivitas kemajuan dari tradisi penelitian yang penting.
Daftar Rujukan
Adisusilo, Sutarjo. 2005. Sejarah
Pemikiran Barat dari yang Klasik Sampai yang Modern. Yogyakarta:
Universitas Sanata Darma.
Ari Yuana, Kumara. 2010.The Greeat
Philosophec (100 Tokoh Filsuf barat dari abad 6 SM –Abad 21 yang menginspirasi
Dunia Bisnis”. Yogyakarta: Andi Offset.
Departemen Pendidikan Nasional.2011.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (EdisiKeempat). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Lubis, Akhyar Yusuf. 2016. Filsafat Ilmu
Klasik Hingga Kontenporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Thomas. S. Kuhn. 1970. The Structure of
Scientific revolution (Peran Paradigma dalam Revolusi Sains). Bandung: PT
Rosdakarya.
Wiramihardja., Sutardjo. A. 2007. Pengantar Filsafat.
Bandung: PT Refika Aditama.
Zubaedi, dkk. 2007.Filsafat Barat. Yogyakarta: Ar
ruz Media.
[2] Sutarjo Adisusilo.
Sejarah Pemikiran Barat dari yang Klasik Sampai yang Modern. Yogyakarta:
Universitas Sanata Darma. 2005. Hal 191
[7] Lubis, Akhyar Yusuf. Filsafat
Ilmu Klasik Hingga Kontenporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2016.
Hal. 161
[10] Thomas. S. Kuhn. The
Structure of Scientific revolution (Peran Paradigma dalam Revolusi Sains). Bandung:
PT Rosdakarya. 1970 Hal. 10
[11] Thomas. S. Kuhn. The
Structure of Scientific revolution (Peran Paradigma dalam Revolusi Sains).
Bandung: PT Rosdakarya. 2000 Hal. 12
[12] Kumara Ari Yuana. The
Greeat Philosophec (100 Tokoh Filsuf barat dari abad 6 SM –Abad 21 yang
menginspirasi Dunia Bisnis”. Yogyakarta: Andi Offset. 2010. Hal 375.
[14] Lubis, Akhyar Yusuf. Filsafat
Ilmu Klasik Hingga Kontenporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2016.
Hal. 167
No comments:
Post a Comment