Metode Epistemologi Burhani serta
Perkembangannya
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Membincang epistemologi ( sistem
pengetahuan) burrhani, mau tidak mau secara fundamental harus bersentuhan
dengan nalar ( aql ). Menurut Abed al-jabiri,[1] secara global ada dua
tipologi nalar, yaitu nalar pembentuk atau aktif (al-aql al-mukawwim)
dan nalar terbentuk atau dominan (al-aql
al-mukawwam). Nalar aktif merupakan naluri yang dengannya manusia mampu
menarik asas – asas umum dan niscaya, berdasar pemahamannya terhadap hubungan
antar segala sesuatu. Sedangkan nalar dominan adalah sejumlah “asas dan kaidah
yang dijadikan pegangan dalam beragumentasi ( istidlal )”. Jika yang
pertama bersifat universal, hingga disebut dengan akal universal (al-Fi’lu
al-kauni), maka yang kedua tidak universal sebab ia menjadi sistem kaidah
yang dibakukan dan diterima dalam era tertentu.
Kendati demikian, masih menurut
Jabiri, akal universal bersifat universal hanya ketika berhubungan dalam suatu
budaya tertentu atau dengan kebudayaan yang menghasilkannya. Hal ini disebabkan
antara nalar aktif dan dominan ternyata
saleing mempengaruhi antara keduannya. Di satu sisi, nalar dominan merupakan
produk nalar aktif, sehingga sumbernya tidak lain adalah nalar itu sendiri dan bukan
lainnya. Disisi lain, nalar aktif mengandaikan nalar terbentuk, dimana
aktivitas nalar bisa berlangsung hanya dengan bertolak dari asas – asas dan kaidah – kaidah, yakni dari nalar
dominan. Selain itu, penalaran akal pada analisis akhirnya merupakan kumpulan
kaidah yang ditarik dari objek tertentu. Jika seseorang menghadapi objek yang
memiliki kekhasan, maka adalah mungkin menemukan adanya nalar spesifik pula.
Para filsuf Muslim yang
berinteraksi dengan objek yang berbeda karakteristiknya dengan objek para
filsuf Yunani dan Eropa berinteraksi maka konsekuensinya kaidah – kaidah yang
ditarik dari aktivitas pemikiran yang berlangsung dalam kebudayaan Arab Islam
akan berbeda pula dari kaidah-kaidah yang membentuk esensi nalar Yunani dan Eropa. Dalam konteks ini, secara spesifik
para filsuf Muslim Timur ( Persia, Mesir, Irak, Syiria, Khurasan ), seperti
al-kindi dan farabi, misalnya, sebenarnya mereka masih diwarnai kecenderungan normatif yang menguasai dan
mengarahkan nalar Arab. Tidak demikian halnya dengan sebagaian filsuf Muslim
Barat ( Maroko dan Andalusia/ Spanyol ), seperti Ibn hazm dan Ibn Rusyd yang
mampu mengaplikasikan epistemologi burhani Aristoteles secara autentik tanpa
dipengaruhi nalar dominan Arab yang lebih bernuansa bayani dan irfani. Kendati
demikian, para filsuf Muslim Barat pun tidak sepenuhnya bersifat burhani, tapi
masih terpengaruh perspektif normatif nalar Arab. Melalui kerangka tersebut,
tulisan ini berusaha memotret bagaimana
akar histori epistemologi burhani dan pembaurannya dengan dunia pemikiran Arab,
metode burhani Aristotetelian serta
bagaimana format aplikasinya oleh sebagaian filsuf Muslim Timur dan Barat.[2]
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini
adalah sebagai berikut:
1.
Apa definisi Epistemologi
Burhani?
2.
Bagaimana
Metode Epistemologi Burhani serta Perkembangannya?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui
Tentang Epistemologi Burhani
2. Untuk mengetahui
Metode-metode serta perkembangannya
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan Histori Epistemologi Burhani
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa
epistemologi burhani merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan latihan rasio
atau akal semata. Prinsip pengetahuan rasional dapat diterapkan pada pengalaman
indera, tetapi tidak disimpulkan dari pengalaman indera.
Burhani (demonstratif), secara
sederhana, bisa diartikan sebagai suatu aktivitas berfikir untuk menetapkan
kebenaran proporsisi (qadhiyah).
Menurut Al-Jabiri, prinsip-prinsip logis yang
digunakan dalam burhani pertama kali dibangun oleh Aristoteles yang dikenal dengan
istilah metode analitik (tahlili), yaitu suatu sistem berpikir
(pengambilan keputusan ) yang didasarkan atas proporsi tertentu, proporsi hamliyah
(categorical proposition ), atau proporsi syarthiyah (hypothetical
propsition) dengan mengambil 10 kategori sebagai objek kajiannya:
kuantitas, kualitas, ruang, waktu, dan seterusnya.
Dalam operasionalnya, metode berpikir analitik atau
silogisme ini terbagi dalam dua bentuk: silogisme kategoris dan silogisme
hipotesis. Silogisme kategoris adalah bentuk silogisme yang presmis-premisnya
didasarkan atas data-data tak terbantahkan,
mutlak, dan tidak tergantung pada suatu syarat tertentu; sedangkan silogisme
hipotesis adalah bentuk silogisme yang premis-premisnya tidak merupakan
pernyataan mutlak melainkan tergantung
pada sesuatu syarat.[3]
Istilah burhani yang mempunyai akar
pemikiran dalam filsafat Aristoteles ini, digunakan oleh al-Jabiri sebagai
sebutan terhadap sebuah sistem pengetahuan (nidham ma’rifi) yang
menggunakan metode tersendiri dalam pemikiran dan memiliki pandangan dunia
tertentu, tanpa bersandar pada otoritas pengetahuan yang lain. Ia bertumpu pada
kekuatan natural manusia, yaitu pengalaman empiris dan penilaian akal yang
mengikat pada sebab akibat. Cara berfikir seperti ini tidak dapat dilepaskan
dari pengaruh logika Aristoteles.[4]
Selanjutnya, metode berpikir analitik Aristoteles
(384-322 SM) masuk ke dalam pemikiran
Islam lewat program terjemah buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa
kekuasaan Bani Abbas (750-1258), yaitu masa khalifah Al-Makmun (811-833 M);
suatu program yang oleh Al-Jabiri
(1936-2010 M) dianggap sebagai tonggak penting sejarah pertemuan pemikiran
epistemologi burhani Yunani dengan epistemologi bayani Arab.[5]
Nalar burhani masuk pertama kali ke
dalam peradaban Arab-Islam dibawa oleh al-Kindi (185-252 H) melalui sebuah
tulisannya, yaitu al-Falsafah al-Ula. Sebuah tulisan tentang
filsafat yang didasari oleh filsafat Aristoteles. Al-Kindi menghadiahkan
tulisan ini kepada khalifah al-Makmun (218 H-227 H). Di dalam al-Falsafah
al-Ula, al-Kindi menegasakan bahwa filsafat merupakan ilmu pengetahuan
manusia yang menempati posisi paling tinggi dan paling agung, karena dengannya
hakikat segala sesuatu dapat diketahui. Melalui tulisan itu pula, al-Kindi
menepis keraguan orang-orang yang selama ini menolak keberadaan filsafat dan
menyatakan bahwa filsafat adalah jalan mengetahui kebenaran.[6] Al-Kindi telah berjasa
memperkenalkan dan mewariskan persoalan-persoalan filsafat yang terus hidup
sampai sekarang: (1) Penciptaan semesta, bagaimana prosesnya, (2) keabadian
jiwa, bagaimana pembuktiannya, (3) Pengetahuan Tuhan tentang yang partikular,
bagaimana penjelasannya.[7]
Sebagaimana telah diuraikan di atas, Aristoteles
merupakan orang pertama yang membangun epistemologi burhani yang populer dengan
logika mantiq yang meliputi persoalan alam, manusia dan Tuhan.
Aristoteles sendiri menyebut logika itu dengan metode analitik. Analisis ilmu
atas prinsip dasarnya baik
proporsi amaliyah (Categorical
Proposition) maupun shar’iyah (Hypothetical
Proposition) pada hakikatnya adalah alat untuk mencapai tujuan berupa
aturan-aturan untuk menjaga kesalahan berpikir. Wilayah yang menjadi obyeknya
meliputi 10 persoalan substansi, yang pertama dan yang sembilan adalah oksiden
dengan segala derivasinya; kuantitas (panjang), kualitas, hubungan (idafah),
tempat atau ruang, waktu, kepemilikan, fiil (pasi), infi’al (affectif) atau
ilmu pengetahuan.
Adapun kecakapan untuk berpikir lurus dalam
penalaran dibedakan menjadi dua kegiatan: analitika dan dialektika. Analitika
dipakai untuk menyebut cara penalaran dan argumentasi yang berdasarkan pada
pernyataan-pernyataan yang benar, akan tetapi burhani adalah
aktifitas berpikir secara mantiqi yang identik dengan silogisme atau al-qiyas
al–jami` yang tersusun dari beberapa proposisi. Dengan
demikian, burhani (al-qiyas al-‘ilmi) menekankan tiga
syarat, yaitu:
a. Pertama,
mengetahui terma perantara ‘illah (causa) bagi
kesimpulan (ma’rifat al-hadd al-ausat wa al-natijah);
b. Kedua,
keserasian hubungan relasional antara terma-terma dan kesimpulan (tartib
al-`alaqah bayn al-illah wa al-ma’lul), antara terma perantara dan
kesimpulan-kesimpulan sebagai sistematika qiyas; dan
c. Ketiga, natijah (kesimpulan)
harus muncul secara otomatis dan tidak mungkin muncul kesimpulan yang lain.
Qiyas ketiga ini yang inheren dengan epistemologi burhani.
Dari uraian tersebut, jelas bahwa logika Aristoteles
lebih memperlihatkan nilai epistemologi dari pada logika formal. Demikian pula
halnya dengan diskursus filsafat kita dewasa ini yang melihat persoalan alam
(alam, Tuhan dan manusia) bukan lagi persoalan proposisi metafisika karena
epistemologi burhani dikedepankan untuk menghasilkan
pengetahuan yang valid dan konstruksi pengetahuan yang meyakinkan tentang
persoalan duniawi dan alam. Dinamika kehidupan kontemporer dewasa ini dapat
memilah masing-masing pendekatan epistemologik: bayani dan `irfani karena
masing-masing memiliki tipikal satu sama lain, dan epistemologi burhani berada
pada posisi penyempurna keserasian hubungan antara kedua epistemologi tersebut.
Antara epistemologi bayani dan `irfani,
terkesan berseberangan dalam menangkap wacana masing-masing karena
perbedaan episteme.Namun demikian, episteme keduanya
masih dibangun atas nilai al-Qur’an dan hadits. Meskipun epistemologi Islam di
satu pihak membahas masalah-masalah epistemologi pada umumnya, tetapi di lain
pihak, dalam arti khusus filsafat Islam juga menyangkut pembicaraan mengenai
wahyu dan ilham sebagai sumber pengetahuan dalam Islam; wahyu sebagai sumber
primer, sedangkan ilham pengetahuan bagi epistemologi `irfani.
Selanjutnya tingkat epistemologi Islam antara lain: (1) perenungan (contemplation) tentang
sunnatullah sebagaimana dianjurkan di dalam al-Qur’an al-Karim;
(2) penginderaan (sensation); (3) persepsi (perception); (4) penyajian (representation); (5) konsep(concept); (6)
pertimbangan (judgement); dan (7) penalaran(reasoning).
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa epistemologi
burhani dapat dipandang dari dua sisi, yaitu: sebagai aktivitas pengetahuan dan
sebagai diskursus pengetahuan.
1) Epistemologi burhani sebagai
aktivitas pengetahuan. Burhani adalah episteme yang beragumentasi secara
deduktif.
2) Epistemologi burhani sebagai
diskursus pengetahuan. Burhani merupakan dunia pengetahuan falsafah yang masuk
ke budaya Arab Islam melalui terjemahan dari karya-karya Aristoteles. Para
pemikir muslim yang menerapkan episteme burhani di antaranya
seperti, Ibn Rusyd, al-Syatibi, dan Ibn Khaldun. Ibn Rusyd berusaha menerapkan
dasar-dasar episteme burhani dengan cara membela argumen
secara kausalitas, yakni proses penelusuran terhadap akibat-akibat sesuatu ke
sebab-sebabnya sebelum menuju ke sebab utamanya, yakni Allah swt. Usaha Ibn
Rusyd tersebut kemudian dilanjutkan oleh al-Syatibi dalam disiplin ilmu ushul
fiqh. Beliau mengemukakan bahwa disiplin ushul fiqh didasarkan pada prinsip “kulliyyah
al-syar’iyah” (ajaran-ajaran universal dari agama) dan pada prinsip “al-maqasid
al-syar’i” yang befungsi sebagai pembentuk unsur-unsur penalaran burhani.
Sedangkan Ibn Khaldun menerapkan episteme burhani yang
dituangkan dalam karyanya berjudul “al-Muqaddimah”. Pada awalnya,
Ibn Khaldun menjelaskan riwayat hidup para pendahulu, kemudian menganalisis
satu peristiwa ke peristiwa berikutnya dalam setiap babnya kemudian menarik
kesimpulan dan pelajaran dari setiap kasus dan peristiwa itu. Jika dilihat,
dalam kitab “al-Muqaddimah” tersebut, Ibn Khaldun ingin menunjukkan
pengetahuan tentang bagaimana negara-negara dari awal terbentuknya hingga
proses kejatuhannya. Hal ini menunjukkan bahwa Ibn Khaldun berusaha menjadikan
sejarah sebagai ilmu Burhani. Sejarah yang ditulisnya adalah sejarah ilmiah
yang berintikan “penelitian, penyelidikan, dan analisis yang mendalam akan
sebab-sebab dan latar belakang terjadinya sesuatu. Selain itu sejarah juga
berintikan pengetahuan yang akurat tentang asal usul, perkembangan serta
riwayat hidup dan matinya kisah peradaban manusia”.
B.
Karakteristik dan Unsur-unsur Pokok Epistemologi Burhani
Sistem utama penalaran burhani
adalah silogisme, ,[8] Silogisme
berasal dari bahasa Yunani, yaitu sullogismos yang merupakan
bentukan dari kata sullegin yang artinya mengumpulkan, yang
menunjukkan pada kelompok, penghitungan dan penarikan kesimpulan tetapi tidak
setiap silogisme menunjukkan burhani. Dalam bahasa Arab, silogisme
diterjemahkan dengan qiyas, atau al-qiyas al-jam’i yang mengacu
pada makna asal “mengumpulkan”. Secara istilah, silogisme adalah suatu bentuk
argumen dimana dua proposisi yang disebut premis, dirujukan bersama sedemikian
rupa, sehingga sebuah keputusan (konklusi) pasti menyertai.
Selanjutnya, sebelum melakukan
silogisme ada tiga tahapan yang harus dilalui, yaitu tahap pengertian (ma’qulat),
(2) tahap pernyataan (ibarat), dan (3) tahap penalaran (tahlilat).
Tahap pengertian adalah proses abstraksi atas objek-objek eksternal yang masuk
ke dalam pikiran, dengan merujuk pada 10 kategori yang diberikan Aristoteles
(384-322 SM). Tahap pernyataan
adalah proses pembentukan proposisi (qadhiyah) atas
pengertian-pengertian yang ada. Dalam proposisi ini harus memuat unsur subjek (maudhu)
dan predikat (mahmul) serta adanya relasi diantara keduanya, dan dari
sana hanya lahir satu pengertian serta kebenaran. Untuk mendapatkan satu
pengertian yang tidak diragukan, sebuah proposisi harus mempertimbangkan lima
criteria (alfazh al-khamsah), yakni spesies (naun’), genus (jins),
diferensia (fashl), propium (khas), dan aksidentia (aradh).
Tahap penalaran proses pengambilan kesimpulan berdasarkan atas hubungan di
antara premis-premis yang ada, dan disinilah terjadi silogisme. Menurut
Al-jabiri, mengikuti Aristoteles, penarikan kesimpulan dengan silogisme ini
harus memenuhi beberapa syarat, yaitu (1) mengetahui latar belakang dari
penyusunan premis, (2) adanya konsistensi logis antara alasan dan kesimpulan,
(3) kesimpulan yang diambil harus bersifat pasti dan benar sehingga tidak
mungkin menimbukan kebenaran atau kepastian lain. [9]
Dalam memandang proses keilmuan,
kaum burhaniyun bertolak dari cara pikir filsafat dimana hakikat sebenarnya
adalah universal. Hal ini akan menempatkan “makna” dari realitas pada
posisi otoritatif, sedangkan ”bahasa” yang bersifat partikular hanya sebagai
penegasan atau ekspresinya. Hal ini tampak sejalan dengan penjelasan
al-Farabi bahwa “makna” datang lebih dahulu daripada “kata”, sebab makna datang
dari sebuah pengkonpsesian intelektual yang berada dalam tataran pemikiran atau
rasio yang diaktualisasikan dalam kata-kata. Al-Farabi menyuarakan tidak ada kontradiksi antara agama dengan
filsafat karena keduanya mengekspresikan satu kebenaran. Jika filsafat
mengekspresikannya secara langsung
langsung, secara demonstratif, maka
agama mengekspresikannya melalui lambang-lambang imajiner dan replikasi. Filsuf memahaminya dengan akal, yakni melalui
proses burhani yang hanya dengan cara ini dimungkinkan bisa berhubungan
langsung dengan “akal aktif (al-aql al-fa’al), sedangkan Nabi menerima
hal itu langsung dari sumbernya sendiri, melalui imajinasinya.[10]
Karena itu, premis-premis burhani
harus merupakan premis-premis yang benar, primer, dan diperlukan. Premis yang
benar adalah premis yang memberi keyakinan, meyakinkan. Al-Farabi membagi
materi premis-premis silogisme dalam empat bentuk, yaitu (1) pengetahuan
primer, (2) pengetahuan indera (mahsusat), (3) opini-opini yang umumnya
diterima (Masyhurat), dan (4) opini-opini yang diterima (maqbulat).[11]
Oleh karena itu, ilmu burhani berpola
dari nalar burhani dan nalar burhani bermula dari proses
abstraksi yang bersifat akali terhadap realitas sehingga muncul makna, sedang
makna sendiri butuh aktualisasi sebagai upaya untuk bisa dipahami dan
dimengerti, sehingga disinilah ditempatkan kata-kata; dengan redaksi lain, kata-kata
adalah sebagai alat komunikasi dan sarana berpikir disamping sebagai simbol
pernyataan makna.
Tahapan penalaran; ini
dilakukan dengan perangkat silogisme. Sebuah silogisme harus terdiri dari dua
proposisi (al-muqaddimatani)yang kemudian disebut premis mayor (al-hadd
al-akbar) untuk premis yang pertama dan premis minor (al-hadd
al-ashghar) untuk premis yang kedua, yang kedua-duanya saling
berhubungan dan darinya ditarik kesimpulan logis.
Mengikuti Aristoteles, al-Jabiri
dalam hal ini menegaskan bahwa setiap yang burhani pasti
silogisme, tetapi belum tentu yang silogisme itu burhani. Silogisme
yang burhani (silogisme demonstrative atau qiyah
burhani) selalu bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan, bukan untuk
tujuan tertentu seperti yang dilakukan oleh kaum sufistaiyah (sophis).Silogisme (al-qiyas) dapat
disebut sebagai burhani, jika memenuhi tiga syarat: pertama, mengetahui
sebab yang menjadi alasan dalam penyusunan premis; kedua, adanya
hubungan yang logis antara sebab dan kesimpulan; dan ketiga, kesimpulan
yang dihasilkan harus bersifat pasti (dharuriyyah), sehingga tidak
ada kesimpulan lain selain itu. Syarat pertama dan kedua adalah yang terkait
dengan silogisme (al-qiyas).Sedang syarat ketiga merupakan karakteristik
silogisme burhani, dimana kesimpulan (natijah) bersifat
pasti, yang tak mungkin menimbulkan kebenaran atau kepastian yang lain.
Hal ini dapat terjadi, jika premis-premis tersebut benar dan kebenarannya telah
terbukti lebih dulu ketimbang kesimpulannya, tanpa adanya premis penengah
(al-hadd al-awsath).
Dalam perspektif tiga teori
kebenaran, maka kebenaran yang dihasilkan oleh pola pikir burhani tampak
ada kedekatannya dengan teori kebenaran koherensi atau konsistensi. Dalam burhani menuntut
penalaran yang sistematis, logis, saling berhubungan dan konsisten antara
premis-premisnya, juga secara benar koheren dengan pengalaman yang ada, begitu
pula tesis kebenaran konsistensi atau koherensi. Kebenaran tidak akan terbentuk
atas hubungan antara keputusan dengan sesuatu yang lain, tetapi atas hubungan
antara keputusan-keputusan itu sendiri. Dengan kata lain, kebenaran ditegakkan
atas dasar hubungan antara keputusan baru dengan keputusan lain yang telah ada
dan diakui kebenarannya serta kepastiannya sehingga kebenaran identik dengan
konsistensi, kecocokan dan saling berhubungan secara sistematis. Berikut
unsur-unsur pokok epistemologi Islam.
C.
Metode Burhani
Sebagai aktivitas kognitif, metode burhani
atau demonstratif merupakan sebentuk inferensi rasional, yaitu penggalian
premis-premis yang menghasikan konklusi yang bernilai. Metode demonstratif ini
berasal dari filsuf terkenal Yunani,
Aristoteles. Dalam penuturan Aristoteles, yang dimaksud dengan metode
demonstratif adalah silogisme ilmiah, yakni silogisme yang apabila seseorang
memilikinya maka ia akan memiliki pengetahuan. Menurutnya silogisme adalah
seperangkat metode berpikir yang dengannya seseorang dapat menyimpulkan
pengetahuan baru dari pengetahuan –pengetahuan sebelumnya (kesimpulan dari
berbagai premis), terlepas apakah pengetahuan tersebut benar atau salah dan
sesuai dengan realitas atau tidak.[12]
Metode demonstratif adalah salah satu
metode rasional atau logis yang
digunakan oleh para filsuf selain empat macam metode non-demonstratif, yaitu
dialektis yang berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan dan jawaban dialektika;
sofistik yang membincang pemikiran analogis yang mengajarkan lawan dari
kebenaran; retorik yang berhubungan dengan jenis persuasi dan dampaknya atas
pendengar dalam pidato; poetika yang yang berkaitan dengan pemikiran analogis yang
mengajarkan penciptaan perumpamaan dan kiasan.[13] Namun diantara
metode-metode rasional tersebut, metode
demonstrastif dipandang paling akurat dan karena itu digunakan sebagai metode
ilmiah dasar yang aplikasinya meluas tidak hanya di bidang logika dan
filosofis, tetapi juga di bidang empiris dan matematika.[14]
Metode burhani pada dasarnya adalah metode
logika atau penalaran rasional yang digunakan untuk menguji kebenaran dan
kekeliruan dari sebuah pernyataan atau teori ilmiah dan filosofi dengan
memperhatikan keabsahan dan keakurasi pengambilan sebuah kesimpulan ilmiah, ini
misalnya dilakukan dengan memperhatikan validitas pernyataan-pernyataan yanag
ada dalam premis-premis mayor atau minornya, serta ada atau tidaknya middle
term yang sah yang mengantar kedua premis tersebut. Bentuk formal metode
ini yang disebut silogisme: berupaya mengambil kesimpulan dari premis mayor dan
minor yang keduanya mengandung unsur yang sama, yang disebut middle term (al-hadd
al-ausath) . sebuah silogisme baru dinyatakan demonstratif apabila
premis-premisnya didasarkan bukan pada opini, melainkan pada kebenaran yang
telah teruji atau kebenaran utama (primary truth), karena hal apabila
premis-premisnya benar, kesimpulannya dapat dipastikan benar. Namun sebaliknya,
kalau premis-premisnya tidak didasarkan pada kebenaran yang teruji,
kesimpulannya juga akan meragukan, bahkan bisa keliru.
D.
Peran Bagi Epistem Berikutnya
Dalam perkembangan selanjutnya, metode
burhani yang dianggap lebih unggul di banding dua epistemologi yang lainnya
ternyata ditemui mengandung kekurangan bahwa ia tidak menggapai seluruh
realitas wujud. Ada sesuatu yang tidak bisa dicapai oleh penalaran rasional,
meski rasio telah mengklaim sesuai dengan prinsip-prinsip segala sesuatu,
bahkan silogisme rasional sendiri pada saat tertentu tidak bisa menjelaskan
atau mendefinisikan sesuatu yang diketahuinya. Banyak kritik yang disampaikan
untuk epistemologi rasionalisme-Burhani. Menurut Osma bakar, kritik-kritik yang
ditujukan pada Burhan atau ini sesungguhnya bukan karena ia berusaha
mengekspresikan segala sesuatu secara rasional, sejauh itu mungkin, tetapi
karena ia berupaya untuk merangkul seluruh realitas kedalam alam rasio, seakan
rasio sesuai dengan prinsip segala sesuatu, padahal kenyataannya tidak
demikian.[15]
Menurut Suhrawardi, diantara
kekurangan rasionalisme burhani adalah (1) bahwa ada kebenaran-kebenaran yang
tidak bisa dicapai oleh rasio atau didekati lewat burhani, (2) ada eksistensi
di luar pikiran yang bisa dicapai nalar tetapi tidak bisa di jelaskan burhani,
seperti soal warna, bau, rasa, atau bayangan, (3) prinsip burhani yang
menyatakan bahwa atribut sesuatu harus didefinisikan oleh atribut yang lain akan mengiring pada proses tanpa
akhir, ad infinitum, dengan begitu berarti tidak akan ada absurditas
yang bisa diketahui. [16] jelasnya, deduksi
rasional (burhani) dan demonstrasi belaka tidak bisa menyingkap seluruh
kebenaran dan realitas yang mendasari semesta.
Karena itu muncul epistemology baru yang
dibangun oleh Suhrawardi yang disebut iluminasi (isyraqi) yang memadukan
metode burhani yang mengandalkan kekuatan rasio dengan metode irfani yang
mengandalkan kekuatan hati lewat kasyaf
atau intuisi. Metode ini berusaha
menggapai kebenaran yang tidak dicapai rasional lewat jalan intuitif, dengan
cara membersihkan hati kemudian menganalisis dan melandasinya dengan
argumen-argumen rasional.[17]
Meski demikian, pada masa berikutnya,
metode isyraqi ternyata dirasa juga masih mengandung kelemahan, yaitu bahwa
pengetahuan iluminatif hanya
berputar pada kalangan elite terpelajar,
tidak bisa disosialisasikan sampai masyarakat bawah, dan tidak bisa diterima
bahkan tidak jarang malah bertentangan dengan apa yang dipahami eksoteris (fiqh)
sehingga justru menimbulkan kontroversi. Muncullah metode kelima, epistemology transenden
(hikmah al-muta’aliyah), yang dicetuskan Mulla Sadra (1571-1640 M)
dengan memadukan tiga epistemologi dasar sekaligus: bayani yang tekstual,
burhani yang rasional, dan irfani yang intuitif.[18] Meski demikian, menurut
Muthahhari hikmah al-muta’aliyah bukan merupaka sinkretisme dari
epistemology sebelumnnya, tetapi sebuah epistemology filsafat yang unik dan
merupakan epistemology yang berdiri sendiri.
Dengan hikmah al-muta’aliyah ini,
.pengetahuan atau hikmah yang diperoleh tidak hanya dihasilkan dari kekuatan
akal, tetapi juga lewat pencerahan ruhani, dan semua itu disajikan dalam bentuk
rasional dengan menggunakan argument-argumen rasional. Bagi kaum Muta’aliyah,
pengetahuan atau hikmah tidak hanya untuk memberikan pencerahan kognisi tetapi
juga realisasi; mengubah wujud penerima
pencerah itu sendiri dan merealisasikan pengetahuan yang diperoleh sehingga
terjadi transformasi wujud, dan semua itu tidak dapat dicapai kecuali dengan
mengikuti syariat sehingga sebuah pemikiran harus melibatkan epistemologi
bayani dalam sistemnya.[19] Berdasarkan konsep
tersebut, maka perselisihan yang terjadi antara rasionalism dan iluminasionism,
antara filsafat dan irfanim atau antara filsafat dan teologi dapat diselesaikan
dengan baik.
Dibanding epistemoligi israqiyah
suhrawardi yang berusaha mengintegrasikan paripatetis kedalam konsep
epistemologinya, menurut Jalaluddin Rahmat, hikmah al-muta’aliyah Mulla
Sadra sesungguhnya tidak berbeda dengan itu, bahkan dapat dikatakan melanjutkan
upaya Suhrawardi tersebut dan menjawab lebih banyak persoalan secara lebih
mendalam.[20]
Perbedaan diantara keduanya terjadi pada basis ontologisnya, meliputi ashalat
al-wujud (fundamental eksistensi), tasykik al-wujud (gradasi
eksistensi), dan harakat al-jauhariyah (gerakan substansial).
Selanjutnya secara singkat, tokoh-tokoh dunia Islam
yang telah menerapkan epistemologi burhani, adalah:[21]
1) Ibnu Rusyd (kalam dan filsafat).
Ibnu Rusyd berusaha menerapkannya dengan jalan/cara membela argument secara
kausalitas. Ia menolak pandangan asy’ariyah tentang prinsip tajwiz (keserbabolehan)
karena dianggap mengingkari hukum kausalitas, sama saja meruntuhkan bangunan
burhani pada ilmu-ilmu alam termasuk metafisika atau ilmu ketuhanan secara
burhani yang dibangun atas dasar proses penelusuran terhadap sebab-akibat
sesuatu sebelum menuju kepada keputusan akhir; Allah swt.
2) Al-Syatibi (ushul fiqh).
Al-Syatibi mengemukakan bahwa usul fiqh didasarkan pada prinsip kulliyyah al-syari’ah (ajaran
universal agama), dan prinsip al–maqasid al–Syari’,
serupa dengan sebab akhir sebagai pembentuk unsur penalaran burhani.
3) Ibn Khaldun (sejarah ilmiah).
Sejarah ilmiah disini terdapat: penelitian, penyelidikan, dan analisis yang
mendalam akan sebab dan latar belakang terjadinya sesuatu, selain itu
mengandung asal-usul, perkembangan, riwayat hidup dan matinya kisah peradaban
manusia.
E.
Contoh Epistemologi Burhani
Contoh klasik silogisme demonstratif
adalah sebagai berikut: semua manusia akan mati (fana).
Socrates adalah manusia
Maka socrates akan mati.[22]
Pernyataan ‘semua manusia akan
mati’ disebuta premis mayor, sedangakan ‘socrates adalah manusia’ premis minor.
Kata ‘manusia’ yang muncul dalam kedua premis tersebut middle term.
Kalau premis mayor minor benar tanpa keragu-raguan, bisa dipastikan bahwa kesimpulan ‘socrates
akan mati’ adalah benar. Inilah sampel metode demonstratif yang ideal. [23] Namun, dalam praktik tidak semua kebenaran
premis itu jelas dan karenanya perlu kriteria yang ketat tentang kebenaran
tersebut, seperti melalui verifikasi dan
falsifikasi.[24]
Jika paparan diatas disebut
metode demonstratif dari sisi logika
formal, maka Aristoteles menguraikan pula metode demonstratif dari sisi
pengetahuan (al-ilm). Aristoteles mendefinisikan sebagai berikut:
pengetahuan mengenai sesuatu secara mutlak, tidak bersifat aksidental dengan
menemukan sebab-sebabnya (illah). Dari aspek ini, menurut Aristoteles tugas ilmu pengetahuan
ialah mencari penyebab-penyebab objek yang diselidiki. Ia mengemukakan bahwa
tiap-tiap kejadian mempunyai empat penyebab yang semuanya harus disebut, jika
hendak mengetahui suatu kejadian. Syarat itu berlaku baik bagi kejadia alam
maupun kejadian yang disebabkan oleh manusia.
Keempat penyebab kejadian
tersebut, yaitu: pertama, penyebab efisien (efficient cause/ fa’il):
inilah faktor yang menjalankan kejadian. Kedua, penyebab final (final
cause/ ghayah): inilah tujuan yang menjadi arah seluruh kejadian. Ketiga,
penyebab material (material cause/madah): inilah bahan darimana benda
dibikin. Keempat, penyebab formal (formal cause/ shurah): inilah
bentuk yang menyusun bahan. Dengan keempat penyebab diatas Aristoteles ingin
menjelaskan secara lengkap semua faktor yang dapat menyebabkan suatu peristiwa.[25]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Epistemologi Burhani
adalah aktifitas intelektual untuk membuktikan kebenaran suatu proposisi (qadhiyyah)
melalui pendekatan penarikan kesimpulan (istintaj). Atau dengan kata
lain, burhani adalah penalaran akal dengan memanfaatkan kaidah-kaidah logika.
Pada perjalanan berikutnya, epistemologi ini hanya merujuk pada silogisme (al–Qiyas)
atau lebih menonjolkan qiyas. Sehingga dalam tradisi nalar Arab-Islam,
sebagaimana kritikan salah seorang tokoh Islam, epistemologi ini lebih akrab
dengan masalah-masalah hukum Islam (masail fiqhiyah) dari
pada problematika-problematika kemanusiaan yang perlu dihindari sejak dari
penyebabnya.burhani, dalam tataran praktis lebih menonjolkan qiyas guna
menyelesaikan masalah-masalah fikih saja.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Jabiri M. Abed, formasi nalar arab , terj. Imam
Khoiri, Yogyakarta: Ircisod, 2003
Zaprulkhan, Filsafat islam sebuah kajian tematik ,
Jakarta: Rajagrafindo Persada,2014
Soleh A.Khudori, Filsafat islam; dari klasik hingga kontemporer , Jogjakarta:
Ar-ruzz media,2016
Uyoh Saduloh, Pengantar
Filsafat Pendidikan, Bandung :
Alfabeta, 2009
Al-Jabiri,
M.Abed, Bunyah al-Aql al-Arabi. Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi,
1993
Soleh,
A. Khudori, Integrasi Agama dan Filsafat pemikiran Epistemologi al-Farabi,
Malang: UIN Press.2011
Mulyadhi
Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, Bandung: Mizan, 2003
Al-Jabiri
M. Abed, Tragedi Intelektual, terj. Afandi Abdillah.Yogyakarta: Pustaka
Alief, 2003
Osman
Bakar, tauhid dan Sains,
Terj. Yuliani Lipito. Bandung: Pustaka Hidayah, 1994
Rahmat
Jalaluddin, Hikmah Muta’aliyah Filsafat Pasca Ibn Rusyd, Jurnal al-Hikmah al-Jamiah
, Bandung: edisi 10, September 1993
[1] Mengenai pembahasan hal
ini untuk lebih detailnya lihat M. Abed Al-Jabiri, formasi nalar arab , terj.
Imam Khoiri, (Yogyakarta: Ircisod, 2003),
hlm. 31-61
[2] Zaprulkhan, Filsafat
islam sebuah kajian tematik , (Jakarta: Rajagrafindo Persada,2014), hlm. 55-56
[3] Khudori soleh, Filsafat
islam; dari klasik hingga kontemporer ,
(Jogjakarta: Ar-ruzz media,2016), hlm.
217-218
[5] A.Khudori soleh, Filsafat
islam; dari klasik hingga kontemporer ,
(Jogjakarta: Ar-ruzz media,2016), hlm.
218
[7] Khudori soleh, Filsafat
islam; dari klasik hingga kontemporer ,
(Jogjakarta: Ar-ruzz media,2016), hlm.
219
[9] A.Khudori soleh, Filsafat
islam; dari klasik hingga kontemporer ,
(Jogjakarta: Ar-ruzz media,2016), hlm.
221-222
[10] Zaprulkhan, Filsafat
islam sebuah kajian tematik , (Jakarta: Rajagrafindo Persada,2014), hlm. 63-64
[11] A. Khudori soleh, integrasi
Agama dan filsafat pemikiran Epistemologi al-Farabi (Malang: UIN
press,2011), hlm.124
[12] Abed al-jabiri, Tragedi Intelektual, terj. Afandi Abdillah
(Yogyakarta: Pustaka Alief, 2003), hlm.
247
[14] Zaprulkhan, Filsafat
islam sebuah kajian tematik , (Jakarta: Rajagrafindo Persada,2014), hlm.60
[16] A. Khudori soleh, integrasi Agama dan
filsafat pemikiran Epistemologi al-Farabi (Malang: UIN press,2011), hlm.225
[18] Jalaluddin Rahmat, Hikmah Muta’aliyah Filsafat Pasca Ibn Rusyd,
Jurnal al-HIkmah (Bandung: edisi 10, September 1993),hlm.78
[19] Jalaluddin
Rahmat, Ibid
[23] Zaprulkhan, Filsafat
islam sebuah kajian tematik , (Jakarta: Rajagrafindo Persada,2014), hlm.61
[24] Zaprulkhan, Filsafat
islam sebuah kajian tematik , (Jakarta: Rajagrafindo Persada,2014), hlm.61
[25] Zaprulkhan, Filsafat
islam sebuah kajian tematik , (Jakarta: Rajagrafindo Persada,2014), hlm.62
No comments:
Post a Comment