Wednesday, November 15, 2017

GERAKAN PEMBARUAN ISLAM DI INDONESIA MENJELANG DAN PASCA KEMERDEKAAN SERTA KONTEMPORER (NAHDLATUL ULAMA)

GERAKAN PEMBARUAN ISLAM DI INDONESIA MENJELANG DAN PASCA KEMERDEKAAN SERTA KONTEMPORER
(NAHDLATUL ULAMA)
Ni’matul Ulfa
Magister Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

A.  Dasar Pemikiran
Embrio gerakan pembaharuan dalam Islam atau tajdid sebenarnya sudah sejak lama muncul pasca periode akhir masa pemerintahan khalifah Ali bin abi-Thalib (abad 3 H), yang juga menandai berakhirnya masa Kulafaurrasyidin dan munculnya dinasti Muawiyah, inilah yang disebut oleh Khoiro Ummatin sebagai episode baru dalam dalam sejarah kebudayaan Islam.[1] Perubahan ini tidak hanya memiliki dampak terhadap peta politik Islam namun juga berpengaruh terhadap dinamika corak pemikiran Islam dengan munculnya berbagai macam aliran teologi Islam seperti Syiah, Mu’tazilah, Khawarij, Maturidiyah, Asyariah. Perlahan namun pasti, setelah hampir berabad-abad lamanya embrio gerakan pembaharuan Islam ini mulai menemukan bentuk yang rigid pada pertengahan abad ke-11 H. Pada masa itu muncul seorang tokoh bernama Muhammad bin ‘Abdul Wahab yang  membawa jargon purifikasi (pemurnian) akidah dalam gerakan dakwahnya. Tokoh inilah yang kemudian disebut beberapa penulis sebagai mujaddid (pembaharu).
Gerakan pembaharuan Islam di Indonesia dapat kita awali dengan kemunculan kerajaan Islam Samudera Pasai di pulau Sumatra. Kemudian sepak terjang Walisongo yang ikut berperan penting dalam penyebaran dan perkembangan Islam di pulau Jawa. Hingga munculnya organisasi Sarekat Islam dan Muhammadiyah di tahun 1912. Duapuluh tahun berselang, tepatnya ditahun 1926 lahirlah sebuah organisasi bernama Nadhatul Ulama (kebangkitan ulama). Banyak hal yang melatar belakangi kemunculan organisasi Islam, seperti Sarekat Islam yang mengawali gerakan dakwahnya dengan perdagangan, Muhamammadiyah dengan gerakan pembaharuan, dan Nadhatul Ulama (N.U) yang muncul dengan latar belakang “politis” yang salah satunya adalah untuk merespon gerakan pembaharuan yang dilakukan Wahabi di Arab Saudi.
Hal ini menandakan bahwa meskipun Islam itu satu dari sudut ajaran pokoknya, akan tetapi setelah terlempar dalam konteks sosial-politik tertentu pada tingkat perkembangan sejarah tertentu pula agama bisa memperlihatkan struktur interen yang berbeda-beda.[2] Maka jika dilihat dari masalah yang menjadi dinding pembatas di antara beberapa kelompok di atas, adalah bagaimana memanifestasikan ajaran Islam itu di dalam sistem kehidupan sosial,[3] antara Islam sebagai model of reality dan Islam sebagai models for reality,[4] sehingga menciptakan setidaknya dua bentuk komunitas beragama yaitu antara folk variant dan scholarly veriant, yang dalam konteks keindonesiaan terwujud dalam bentuk komunitas NU dan komunitas Muhammadiyah. Yang pertama sering diklaim sebagai kelompok tradisionalis, dan yang kedua sebagai kelompok modernis.[5] Meskipun demikian, NU yang selama ini dianggap sebagai organisasi tradisional dengan basis pesantren justru memperlihatkan gairah progresivitas berpikir, dibandingkan dengan organisasi modern yang malah tampak stagnan dan resisten. Kitab kuning yang telah ditulis ulama berabad-abad lalu dan dijadikan salah satu referensi utama nahdhiyin ternyata justru membuka wawasan yang membentang luas dalam mencermati perubahan sosial. Pemahaman agama bergerak tidak lagi secara tekstualis, tetapi kontekstual. Tentunya ini perlu dipandang sebagai kemajuan di dalam NU. Hal ini diperkuat dengan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Arbiyah Lubis, ditemukan bahwa Muhammadiyah termasuk dalam kelompok tradisionalis modernis. Di mana Muhammadiyah tampil sebagai modernis hanya dalam dunia pendidikan, dan dalam memahami teks al Qur’an dan Hadits sebagai sumber ijtihad, Muhammadiyyah berada dalam kelompok tradisonalis. Sementara dalam penelitian lain, Muhammad Azhar juga mengatakan bahwa dalam beberapa hal, NU yang dianggap tradisional, ternyata lebih modern keimbang Muhammadiyah. Sebagai contoh, proses penerimaan asas Pancasila, pendirian BPR Nusumma, ternyata NU terkesan mendahului Muhammadiyah.



B.     Sejarah Berdirinya NU
Organisasi Islam Nahdatul Ulama pertama kali berdiri pada 16 Rajab 1344 H menurut kalender Islam atau pada tanggal 31 Januari 1926 menurut penanggalan masehi. Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asyari sebagai Rais Akbar,[6] dengan didukung oleh para tokoh alim ulama yang di antaranya yaitu:
1.    KH. Abdul Wahab Hasbullah
2.    KH. Bisri
3.    KH. Ridwan
4.    KH. Nawawi
5.    KH. R. Asnawi
6.    KH. R. Hambali
7.    KH. Nakhrawi
8.    KH. M. Alwi Abdul Aziz
9.    KH. Doromuntaha Bangkalan, dan lain sebagainya.
Latar belakang pendirian organisasi NU ini tidak dapat dilepaskan dari faktor sosial-politik dan keagamaan yang terjadi pada saat itu. Setidaknya ada dua latar belakang yang melatar belakangi berdirinya organisasi ini yaitu latar belakang kebangsaan atau nasionalisme dan agama.
Pertama, adalah latar belakang kebangsaan (nasionalisme). Kondisi bangsa Indonesia yang sedang terkungkung oleh penjajahan yang dilakukan bangsa Belanda pada saat itu menimbulkan keterbelakangan mental dan ekonomi yang dialami bangsa Indonesia. Pada tahun 1908 muncul gerakan Kebangkitan Nasional yang digagas oleh kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa melalui jalan pendidikan dan organisasi.
Latar belakang kedua yang tidak kalah pentingnya adalah latar belakang keagamaan dimana perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam kala itu, diantaranya adalah pada tahun 1924, Syarif Husein raja Hijaz ( Makah ) yang berfaham Sunni (ahlus sunah wal jama’ah) ditakluk- kan oleh Abdul Aziz bin Saud yang beraliran Wahabi. Aliran Wahabi ini bentuk ajarannya adalah melarang semua bentuk amaliah keagamaan ala kaum Sunni, yang sudah berlaku di Tanah Arab dan akan menggantinya dengan model Wahabi. Pengamalan agama dengan sistem bermadzhab, tawasul, maulid Nabi, ziarah kubur dan lain sebagainya akan segera dilarang. Dan bahkan Raja Ibnu Saud juga ingin melebarkan pengaruh kekuasaannya ke seluruh dunia Islam. Dengan dalih demi kejayaan Islam, ia berencana meneruskan kekhilafahan Islam yang terputus di Turki pasca runtuhnya Daulah Usmaniyah.[7]
Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII atau Sarekat Islam di bawah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut. Sikapnya yang berbeda, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hijaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hijaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga. Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama yang dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari.[8] Dan untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka KH. Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU, yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

C.  Gerakan Pembaharuan Islam Nahdlatul Ulama
1.    Sebelum Kemerdekaan
Pada tahun 1908 muncul gerakan Kebangkitan Nasional yang digagas oleh kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa melalui jalan pendidikan dan organisasi. Berangkat dari gerakan ini, kalangan pesantren yang turut berjuang melawan kolonialisme membentuk organisasi pergerakan seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada tahun 1916 yang diprakarsai oleh KH. Wahab Hasbullah bekerjasama dengan KH. Abdul Qahar (seorang pengusaha kaya) di Surabaya dan didukung oleh masyarakat berhasil mendirikan sebuah gedung bertingkat di kampung Kawatan Gg. IV Surabaya yang kemudian dikenal sebagai perguruan Nahdlatul Wathan yang berarti Kebangkitan Tanah Air.[9] 
Tidak berhenti sampai disitu, di tahun 1918 kalangan pesantren mendirikan sebuah organisasi bernama Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Selanjutnya didirikanlah Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Sudagar) yang dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.[10] Organisasi-organisasi inilah yang nantinya menjadi embrio dari lahirnya sebuah organisasi Islam bernama Nahdlatul Ulama. Sekaligus menjadi titik dimana ditemukanlah tiga pilar penting bagi NU yaitu: (1) Wawasan Ekonomi kerakyatan, (2) Wawasan Keilmuan, Sosial Budaya, dan (3) Wawasan Kebangsaan.

2.   Pasca Kemerdekaan
Tanggal 22 Oktober 1945, tiga bulan setelah Indonesia merayakan kemerdekaan, NU mengeluarkan resolusi jihad yang berisi ajakan kepada umat Islam untuk mempertahankan tanah airnya yang merdeka. Dalam resolusi tersebut menyebutkan bahwa jihad untuk mempertahankan tanah air Indonesia adalah fardhu ‘ain, tiap-tiap muslim wajib jihad di mana saja berada. Resolusi ini kenyataannya mendapatkan sambutan yang baik dan hangat dari kalangan umat Islam.
Untuk memperkuat posisi dan perjuangan umat Islam, pada maka kongres umat Islam di Yogyakarta tanggal 7 November 1945 di ambil keputusan bahwa Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) dijelmakan menjadi partai politik Islam di Indonesia. Di Masyumi, NU menjadi anggota istimewa dan pimpinan NU (KH. Hasyim Asy’ari) menjadi ketua Masyumi. Masyumi merupakan badan federasi pergerakan umat Islam dan berusaha dalam rangka perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia.
Namun NU pada tahun 1952 memisahkan diri dari Masyumi melalui keputusan kongresnya pada tanggal 26 april-1 mei 1952 di Palembang. Perbedaan kepentingan politik antar kelompok dalam Masyumi yang berupa pendistribusian kekuasaan adalah faktor-faktor yang cukup berpengaruh, di samping ketidak mampuan para pemimpin Masyumi melakukan negosiasi dan kompromi antar anggota. Jika dilihat dari latar belakang masing-masing individu yang ada dalam Masyumi, secara umum dapat dikatakan bahwa politisi dan pemimpin NU terdiri atas ulama atau mereka yang merupakan alumni pesantren dan kalaupun ada yang berpendidikan barat jumlahnya sedikit. Sementara kalangan non-NU memandang rendah lulusan pesantren. Inilah yang berpengaruh terhadap kurang harmonisnya hubungan antara anggota Masyumi dari NU dan kelompok lain. Mulai saat itu, NU berpisah dari Masyumi dan berdiri sendiri sebagai partai politik dan mengubah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Dengan demikian, NU setelah menjadi parta politik di samping Masyumi, PSII dan Perti, maka NU bukan hanya mengurusi madrasah-madrasah, mengadakan pengajian-pengajian, melainkan juga memperjuangkan cita-cita politiknya dengan turut serta dalam pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat dari pusat sampai ke daerah-daerah.
NU lebih berkiprah pada pengembangan masyarakat tingkat bawah (grass root) untuk menciptakan civil society. Juga pada rezim inilah terlahir konsensus untuk kembali ke khittah 1926 melalui muktamar NU ke-27 di Sukorejo Situbondo, tahun 1984. Inti dari Khittah adalah keinginan untuk kembali pada semangat perjuangan awal, menjadi ormas sosial keagamaan. Keputusan penting lainnya adalah NU secara formal menerima Pancasila sebagai asas tunggal atau landasan dasar NU.
Perkembangan NU pada masa ini dimungkinkan oleh sejumlah faktor yang mengurangi isolasi warga NU dari masyarakat luas. Beberapa faktor penting yang menonjol ialah, berdirinya IAIN di setiap propinsi, yang membuka peluang bagi alumni pesantren untuk meraih pendidikan tinggi. Kehidupan di kampus, kelompok diskusi, interaksi dengan mahasiswa dari latar belakang berbeda, bacaan yang luas, di samping mata kuliah beragam, kemudian membantu sebagian mereka untuk memperluas cakrawala sosial dan intelektual mereka. 
Faktor lain ialah usaha-usaha untuk menggerakkan proyek pengembangan masyarakat melalui pesantren, yang dipelopori oleh LP3ES dan kemudian melibatkan sejumlah LSM nasional dan internasional lainnya. Dengan demikian, pesantren sedikit demi sedikit mulai ditarik ke dalam jaringan komunikasi internasional. Gerakan LSM mulai menjadi faktor penting di panggung politik internasional pada dasawarsa 1960-an. Di Indonesia, sponsor asing mulai membidangi LSM pada dasawarsa 1970-an, dan gerakan LSM menjadi semakin menonjol pada dasawarsa 1980-an.
Dari segi jamaah NU, menjamurnya LSM-LSM di Indonesia dapat dianggap sebagai faktor eksternal, tetapi khususnya sesudah Muktamar Situbondo semakin banyak orang NU sendiri mulai terlibat langsung dalam aktivitas berbagai jenis LSM. Hal ini diperkuat oleh keputusan Situbondo, yang mengalihkan tenaga dan waktu sebagian besar aktivis NU dari arena politik kepada syu’un ijtima’iyyah, yaitu perhatian pada masalah-masalah sosial, dan kepada wacana, perkembangan pemikiran Islam yang relevan. 
Proses depolitisasi pada masa orde baru, kebijaksanaan massa mengambang, penyederhanaan sistem kepartaian, monoloyalitas pegawai negeri, normalisasi kehidupan kampus, pemaksaan azas tunggal, membawa dampak berat juga terhadap NU. Selama dua dasawarsa pertama orde baru, NU merupakan satu-satunya ormas yang mempunyai akses ke akar rumput dan sekaligus aktif sebagai organisasi politik. Karena dukungan massanya, NU selama itu merupakan kekuatan politik terbesar di luar pemerintah, dan dianggap satu-satunya oposisi yang perlu diperhitungkan. Di Situbondo kekuatan politik itu dikorbankan dengan harapan akan dapat menjalin kembali hubungan mesra antara NU dan pemerintah di pusat maupun daerah. Orang boleh bertanya apakah harga depolitisasi tersebut tidak terlalu mahal. Tetapi perkembangan pemikiran dan kegiatan sosial yang menjadi begitu menonjol pada limabelas tahun berikutnya, kelihatannya, tidak akan mungkin terjadi seandainya tidak ada keputusan Situbondo. Perkembangan tersebut juga tidak lepas dari peranan Abdurrahman Wahid, yang telah memberi contoh dan rangsangan kepada banyak aktivis dan pemikir muda, dan dengan karisma sebagai cucu para pendiri NU sempat melindungi mereka dari kritik kalangan konservatif.
Kemudian, pada masa reformasi yang menjadi tanda berakhirnya kekuasaan pemerintahan orde baru merupakan sebuah momentum bagi Nahdlatul Ulama untuk melakukan pembenahan diri. Selama rezim orde baru berkuasa, Nahdlatul Ulama cenderung dipinggirkan oleh penguasa saat itu. Ruang gerak Nahdlatul Ulama pada masa orde baru juga dibatasi, terutama dalam hal aktivitas politiknya.
Pada masa reformasi inilah peluang Nahdlatul Ulama untuk memainkan peran pentingnya di Indonesia kembali terbuka. Presiden NU pertama lahir di era ini, yakni KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) seorang tokoh NU yang kontroversial (baca: pola pikirnya sulit dipahami dan sering “nyleneh”). Nahdlatul Ulama yang merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia, pada awalnya lebih memilih sikap netral menjelang mundurnya Soeharto. Namun sikap ini kemudian berubah, setelah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan sebuah pandangan untuk merespon proses reformasi yang berlangsung di Indonesia, yang dikenal  dengan Refleksi Reformasi.
Dengan tidak lagi menjadi partai politik, NU sebagai organisasi kemasyarakatan bisa lebih leluasa mengembangkan diri, memfokuskan pada visi dan misinya di bidang-bidang sosial, kemasyarakatan, keagamaan dan pendidikan. Makin banyak tantangan yang dihadapi, massa NU yang banyak bermukim di pedesaan terutama di Jawa timur dan sebagian Jawa Tengah serta beberapa daerah mulai intensif mendapatkan perhatian dari pimpinan NU. Sebagian besar nahdliyin di pedesaan tak lepas dari belitan kemiskinan, namun organisasi-organisasi otonom NU melakukan langkah-langkah lebih konkrit untuk berupaya mengatasi kemiskinan, karena bila dibiarkan terus-menerus lama-kelamaan akan menggerus massa NU. Dikhawatirkan akan banyak umat nahdliyn semakin renggang hubungan silaturahim, fungsional dan strukturnya dengan NU.Organisasi-organisasi otonom NU adalah Muslimat NU, GP Ansor, Fatayat, IPNU dan IPPNU, juga kalangan mahasiwanya yang tergabung dalam PMII. Organisasi-organisasi otonom itu sebenarnya merupakan potensi cukup besar yang bila dikelola maksimal akan menjadikan pohon NU lebih subur, rindang dan akarnya juga semakin kuat.    
Angkatan Muda NU semakin banyak yang menjadi intelektual dalam berbagai bidang, bahkan mulai ada yang sudah diperhitungkan dalam forum nasional maupun internasional. Pada 1985 mereka mendirikan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU. Selain itu, sebetulnya NU memiliki kelebihan dari warganya kalangan bawah yang menjadi wiraswasta meskipun sebagian besar masih dalam skala usaha kecil. Tapi di sini sudah ada modal dasar yakni jiwa wiraswasta mereka. Bila mereka terus dibina oleh NU dengan dukungan pemerintah, mereka tidak akan sulit untuk ditingkatkan menjadi wiraswasta tingkat menengah dan kemudian tinggi.
Misi NU yang tak kurang beratnya adalah bagaimana mengantisipasi gerakan-gerakan radikal dari kalangan Islam sendiri, baik yang berasal dari luar maupun dalam negeri. Mengantisipasi hal itu pada 2012 NU membentuk Laskar Aswaja untuk merespons keresahan atas radikalisme berbasis agama. Pegangan yang dipakai NU sejauh ini tetap mempertahankan paham ahlus sunnah wal jama'ah (aswaja) yang disesuaikan dengan kultur masyarakat dalam bingkai kebangsaan dan NKRI. Menangkal gerakan radikal lewat gerakan dakwah dan secara fisik bila dalam keadaan terpaksa dengan Laskar Aswaja. Aswaja bila ditilik pengertiannya adalah aliran yang dianut siapa pun umat Islam yang berpegang teguh pada Al Qur'an dan sunnah nabi. Dengan pengertian itu maka sebenarnya NU bukanlah satu-satunya organisasi Islam di Indonesia yang menganut paham Aswaja. Secara akidah NU menempatkan dirinya di jalan tengah, tidak mengakomodasi ekstrimisme baik radikal maupun liberal.
3.    Masa Kontemporer
Dewasa ini, NU bergerak di bidang sosial dan pendidikan agama menurut paham yang diyakini yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah. Dengan usaha-usaha ini, maka NU mempunyai banyak sekali Pondok Pesantren dan Madrasah yang tersebar di seluruh pelosok tanah air, terutama di daerah-daerah pedesaan yang pada umumnya mereka mempunyai tradisi keagamaan yang sangat kuat. Di samping itu NU juga mempunyai sekolah-sekolah umum dari tingkat TK sampai Perguruan Tinggi. Dalam bidang pendidikan dan pengajaran formal ini, NU membentuk satu bagian khusus yang menanganinya yaitu yang disebut Ma’arif, di mana tugasnya adalah untuk membuat perundangan dan program pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah yang berada di bawah naungan NU.

D.  Perubahan NU dari Masa ke masa (Sebelum dan pasca kemerdekaan, hingga kontemporer)
NU adalah organisasi terbesar di negera Republik Indonesia. Warganya NU tersebar keseluruh pelosok nusantara, mulai wilayah Sumatra, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Bali, Nusa tenggara, sampai wilayah Irian Jaya. Ketika dipimpin oleh K.H. Hasyim As’ari NU berkembang dengan baik dan pesat keseluruh wilayah Indonesia, khususnya waliyah Jawa dan Madura. Ketika masa K.H. Hasyim Muzaddi, NU melebarkan sayapnya sampai ke-maca negara. Seperti; Malaysia, Amerika, Jepang, Syiria, Sudan, bahkan ke-Arab Saudi. Jeddah dan Makkah adalah pusat kegiatan warga NU. Yang puncaknya yaitu pada tahun 2001, K.H Hasyim Muzadi meresmikan NU di Arab Saudi. Mulai saat itu, sampai saat ini warga NU yang ada di Arab Saudi mempunyai sebutan NU Cabang Istimewa Arab Saudi. Ketuanya adalah Ir. Fuad Abdul Wahab, seorang penggusaha Jasa Penggiriman barang (Amir Cargo) asal Tasik Malaya yang tidak diragukan lagi ke-NU-anya. Khususnya, loyalitas terhadap ulama’-ulama’ salaf yang berbasis Aswaja (ahlussunah wal jama’ah). Seiring dengan perkembangan waktu, NU dari masa kemasa mengalami perubahan-perbuhan. Para elit NU semakin elitis- sementara kaum alit NU- semakin terjepit dan terhimpit. Para era tahun tujuh puluhan, loyalitas warga NU begitu kuat dan nyata terhadap organisasinya. Semenjak NU- melahirkan bayinya (PKB), sedikit demi sedikit loyalitas warga NU tidak sekuat dan sehebat tahun 70-an. Apalagi, ketika NU-Melahirkan bayi (PKNU), semakin nyata, kekuatan NU-tidak lagi diperhitungkan oleh lawan-lawan polotiiknya. Berbagai even besar seperti, Pilpres, Pilkada ternyata menjadi bukti nyata, bahwa NU- tidak bisa berbuat banyak. Para politis NU sering jengkulitan kesana-kemari mencari dukungan untuk menjadi walikota, gubernur, dan wakil gubernur. Akan tetapi, tidak sedikit mereka yang kandas ditenggah jalan. Dukung mendukung para Kyai dan tanda tangan mereka seringkali tidak ‘’mujarab’’ atau kurang ampuh. Kesakralan Kyai mulai pudar. Kadang, mereka dengan mudahnya membubuhkan tanda tangan untuk memberikan sebuah dukungan. Ternyata, hasilnya nihil, dan ini semaki menyudutkan NU sebagai oraganisasi para ulama’ yang menjunjung nilai dan moral para Nabi dan auliya’. Ketika presiden Suharto turun tahta dengan paksa oleh demonstran, tahun 1997. Ternyata, moment itu menjadi awal sebuah perubahan. Orang-orang NU- yang merindukan kekuasaan terjun bebas di dalam dunia politik. Mereka naik kendaraan NU untuk meraih sebuah tujuan. Jadi, NU- termasuk organisasi yang membesarkan warganya. Dan tidak tidak sedikit, mereka yang dibesarkan lupa dengan ibu kadnunganya NU. Wong NU, Ilang NU-nya, banyak yang berlomba-lomba menjadi warga NU, yang bertujuan untuk mencari popuaritas. Pada masa lampau, awal-awal berdirinya NU, dan masa perjuangan dan perkembangan. Para Kyai, berusaha sekuat tenaga mencurahkan tenaga, fikiran, bahkan hartanya untuk membesarkan NU. Mereka ihlas, keliling ke desa-desa, memberikan penyuluhan-penyuluhan agama, serta memberikan ceramah agama. Mereka tidak mendapatkan amplop, jusrtu mereka-lah yang membagi angpao kepada fakir miskin. Sekarang sudah jauh berbeda. Orang-orang yang mendekati NU, tidak lagi membesarkan dan mengembangkan NU-nya. Mereka merapat ke NU, karena ingin mendapatkan dukungan, atau karena ingin mencalonkan diri agar bisa menjadi walikota atau Gubernur, atau wakilnya. Orang kampung yang jauh tinggal dipelosok mengatakan, NU itu artinya nunut urip. Menurut K.H.Tolhah Hasan Sekarang, NU lebaih banyak membesarkan orang, bukanya orang yang membesarkan NU. Konflik PKB yang hingga belum ada ujung pangkalnya menjadi jawaban sementara bahwa orang-orang NU yang duduk dikancah politik semakin haus dengan kekuasaan. Jangan heran jika NU kelak akan ditinggalkan pengikutnya. Secara amaliyah, mereka masih NU, secara organisasi mereka lebih memilih yang realistis. Memang, orang NU tidak harus meninggalkan NU. Tetapi, lama-kelamaan orang NU itu bosan melihat elit politiknya bertengkar tanpa ada yang mau mengalah. Wallu a’lam. Kyai adalah sebuatan khusus ulama’ NU. Kyai berasal dari bahasa sangseketa Kai yang artinya seorang Guru, pakar ruhani keagamaan yang mempunyai spritulitas tinggi serta kedekatan dengan sang pencipta Allah SWT. Sedangkan Santri berarti orang yang ngansu mencari ilmu kerpada sang Kyai. Arti santri adalah Sanggup Netepi Tuntunan Rosul Illahi. Jadi orang bisa dikatakan Kyai, Jika mereka benar-benar menjadi guru yang selalu memberikan mentransfer ilmu pengethuan agama dan moral akhlak kepada santri-santinya, Kyai juga memiliki pesantren atau padepokan tempat mengajarkan ilmunyta. Tingkah laku kyai juga menjadi panutan oleh semua santrinya.

E.  Kesimpulan
 NU sebagai oraganisasi masyarakat terbesar di Indonesia telah memainkan peranan yang penting dalam kemerdekaan dan perkembangan bangsa dan agama. Sebagai oraganisasi yang bergerak dalam bidang sosial, pendidikan, dan dakwah Islamiyah, NU telah memberikan banyak perubahan dan kemajuan. Semangat NU zaman dahulu hingga sekarang semestinya harus tetap tumbuh, sehingga dapat terus mewujudkan apa yang telah di cita-citakan oleh sang pendiri KH. Hasyim Asy’ari, sehingga mampu melahirkan tokoh-tokoh bagi perubahan bangsa yang lebih baik.
Setidaknya ada 3 karakteristik utama yang menjadi pegangan dakwah ahlussunnah NU. Pertama, at-Tawassuth yakni memiliki sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan, sebagaimana disarikan dari firman Allah SWT dalam Qur'an Surat Al Baqarah ayat 143. Yang kedua adalah at-Tawazun atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam penggunaan dalil 'aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits) sebagaiman dikemukakan dalam Qur'an Surat al-Hadid ayat 25. Dan yang terakhir atau yang ketiga adalah al-I'tidal atau tegak lurus, yakni bersikap adil dan tidak berlaku dzalim kepada sesama manusia hanya dikarenakan sikap kebencian sebagaiman terungkap dalam Qur'an Surat al-Maidah ayat 8. Selain ketiga prinsip ini, golongan Ahlussunnah wal Jama'ah Nahdlatul Ulama juga mengamalkan sikap tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. 
NU sebagai organisasi keagamaan, keumatan, kebangsaan dan kemanusiaan tentunya tak lepas dari misi amar ma’ruf nahi  mungkar. Dalam langkah memperjuangkan amar ma’ruf nahi mungkar inilah NU akan diuji sejauh mana komitmennya terhadap Islam yang rahmatan lilalamin yang bersikap moderat yang merupakan inti ajaran Islam Ahli Sunnah wal Jama’ah.  Apalagi ketika NU adalah sebuah ormas yang hidup di dalam sebuah Negara yang bukan hanya dihuni oleh umat Islam saja tetapi berbagai macam agama dan aliran kepercayaan hidup dan tumbuh serta dilindungi oleh undang-undang. Disinilah diperlukan pemahaman kita tentang akidah Islam Ahli Sunnah wal Jama’ah dalam konteks hidup berkebangsaan.
Sebagai generasi  muda NU tentunya kita harus selalu berusaha memahami Islam Ahli Sunnah wal Jama’ah secara integeral tidak terbatas pada masalah akidah saja tetapi harus berani membuka diri untuk mengkaji misalnya, bagaimana sesungguhnya pandangan politik Islam Ahli Sunnah wal Jama’ah. Atau barang kali bagaimana pandangan Islam Ahli Sunnah wal Jama’ah tentang hidup berdampinagan dengan non muslim padahal kita sebangsa dan senegara yang dulunya kita perjuangkan bersama-sama kemerdekaannya. Itulah beberapa hal yang menurut saya cukup mendesak untuk dipikirkan dan direalisasikan, mengingat banyak  generasi muda NU tidak memahami sebenarnya Islam yang bagaimakah yang di jadikan landasan hidup oleh orang-orang NU.



Daftar Pustaka
 Abduh, Muhammad. 1925. Rislah Taud, Terj. B. Michel dan Mustafa Abdul Raziq. Paris: t.t.p
Abdullah, Taufik. 1996. Islam dan Masyarakat. Jakarta: LP3S
Achmad Hasyim Muzadi dkk. 2009. Profil dan Direktori Nahlatul Ulama dari masa ke masa. Jakarta: PT.Yellow Multi Media
Alfaruqi, Jabir, Wakil Ketua PW GP Ansor Jawa Tengah. NU, Fundamentalisme, dan     Liberalisme. harian Kompas, 28 Juli 2006
Ali, As’ad Said. 2012. Ideologi Gerakan Pasca Reformasi. Jakarta: LP3ES
Azra, Azyumardi. 2002. Suplemen Republika.
Desertasi. Ahmad Ali Riyadi. 2006. Gerakan Pembaharuan Islam Kaum Muda Nahdlatul       Ulama (NU) di Indonesia 1990-2005. Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2006 
Donald, Eugene Smith. 1985. Agama dan Modernisasi Politik: Suatu Kajian Analitis. Jakarta: Rajawali Press
Haidar, M. Ali. 1994. Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Muhammad, Azhar. 2001.  Fiqh Peradaban. Yogyakarta: Ittaqa Press
Mukti, Ali. 1998. Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini. Jakarta: Rajawali
Noer, Deliar. 1982. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900- 1942. LP3ES: Jakarta
Sunarto AS, Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.2, Oktober 2013
Taufik, Abdullah. 1996.  Islam dan Masyarakat. Jakarta: LP3S
Ummatin, Khoiro. 2015.  Sejarah Islam dan Budaya Lokal; Kearifan Islam atas Tradisi  Masyarakat. Kalimedia: Yogyakarta


[1] Ummatin, Khoiro. Sejarah Islam dan Budaya Lokal; Kearifan Islam atas Tradisi Masyarakat (Kalimedia: Yogyakarta, 2015), hlm. 72
[2] Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat (Jakarta: LP3S, 1996), hlm. 11.
[3] Andrew Rippin, Muslim, 35.
[4] Andrew Rippin, Muslim, 35.
[5] Yang pertama mengisyaratkan bahwa Islam adalah representasi dari sebuah realitas, sementara yang kedua mengisyaratkan bahwa Islam merupakan konsep bagi realitas, seperti aktivitas manusia. Dalam pemahaman yang kedua ini Agama mencakup teori teori, dogma atau doktrin bagi sebuah realitas. Bassam Tibi, Islam and the Cultural, 8.
[6] http://www.nu.or.id/a,public-m,static-s,detail-lang,id-ids,1-id,6-t,sejarah-.phpx, terakhir diakses pada 1 Desember 2015
[7] ibid
[8] Deliar Noer. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900- 1942. (LP3ES: Jakarta, 1982), hlm. 242-244
[9] M. Ali Haidar., Nahdatul Ulama dan Islam Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 1994), hlm. 42
[10] Achmad Hasyim Muzadi dkk, Profil dan DIrektori Nahlatul Ulama dari masa ke masa (Jakarta: PT.Yellow Multi Media, 2009) hlm. 34-35.

No comments:

Post a Comment