Wednesday, November 15, 2017

PENDEKATAN ISLAM RASIONAL; KAJIAN ATAS PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH DAN HARUN NASUTION

PENDEKATAN ISLAM RASIONAL; KAJIAN ATAS PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH DAN HARUN NASUTION
Anis Jamil Mahdi  16771008
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Program Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

A.  Dasar Pemikiran
Dalam Bahasa Indonesia telah selalu dipakai kata modern, modernisasi, dan modernisme, seperti yang terdapat umpamanya dalam aliran-aliran modern dalam islam dan Islam dan modernisasi. Modernisme dalam masyarakat barat mengandung arti fikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk merubah faham-faham, adat-istiadat, institusi-institusi lama, dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu-pengetahuan dan teknologi modern.[1]
Bertolak dari urain diatas, maka dapat diperjelas bahwasannya dalam melakukan pembaharuan atau modenisasi dalam nilai-nilai ajaran apapun tidak bisa dipisahkan dan dilepaskan dengan kemampuan atau potensi akal. Hal semacam ini juga berlaku dalam nilai-nilai ajaran Islam. Oleh karenanya dalam melakuakan tajdid (pembaharuan/modernisasi) dalam nilai-nilai ajaran Islam, yang paling utama untuk dilakukan adalah merekonstruksi paradigma berfikir, cara pandang serta pendekatan dalam memahami ajaran-ajaran Islam tersebut. Dan untuk merealisasikan itu semua membutuhkan kemampuan logika, akal dan rasionalisasi dalam memahami teks-teks ajaran islam tersebut.
Dalam lintas sejarah, pada dasarnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern memasuki dunia Islam sesuadah pembukaan abad kesembilan belas, yang dalam sejara Islam dipandang sebagai permulaan periode modern. Kontak dunia barat selanjutnya membawa ide-ide baru ke dunia Islam seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi dan sebagainya.[2]
Pemikiran rasional[3] ini dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tentang tingginya kedudukan akal seperti terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis. Persepsi ini bertemu dengan persepsi yang sama dari yunani melalui filsafat dan sains Yunani. Dalam pemikiran rasional Agamis manusia punya kebebasan dan akal mempunyai kedudukan tinggi dalam memahami ajaran-ajaran al-Qur’an dan Hadis. Kebebasan akal hanya terikat pada ajaran-ajaran absolut kedua sumber utama islam itu, yakni ajaran-ajaran yang disebut dengan istilah qath’iya al-Wurud[4] dan qath’iyat al-Dalalah[5]. Maksud ayat al-Qur’an dan Hadis ditangkap sesuai dengan pendapat akal. Dengan demikian timbullah interpretasi yang bercorak majazi atau metaforis dari teks-teks ajaran-ajaran dasar yang terdapat dalam kedua sumber itu.[6]
Dengan kata lain, dalam pemikiran Rasional agamis diusahakan pemahaman ayat dan hadis sedemikian sehingga sesuai dengan pendapat akal dengan syarat tidak bertentangan dengan ajaran absolut tersebut diatas. Dari sinilah pada akhirnya muncul aliran-aliran teologi modern, dan salah satu ciri pemikiran teologi modern adalah rasioanal. Banyak tokoh Islam yang melakukan pemikiran itu diantaranya adalah Muhammad Abduh dan Harun Nasution. Mereka berdua merupakan tokoh modernis yang menghargai akal dan tetap memegang teks-teks keagamaan, meskipun ia tidak menghambakan diri pada teks-teks agama tersebut.
Pada dasarnya paradigma yang mendasari proses pembaharuan didunia Islam terutama didasrkan pada argumen bahwa prinsip dasar Islam mengandung benih-benih agama rasional, kesadaran sosial dan moralitas yang bisa menjadi dasar kehidupan modern. Rasionalitas juga dilihat mampu menciptakan elit keagamaan yang bisa mengartikulasikan dan menafsirkan makna nilai-nilai Islam yang sesungguhnya dan karenanya memberikan fondasi bagi lahirnya masyarakat baru. Khususnya didunia Islam.[7]
Dalam melakukan reformis pemikiran, Muhammad Abduh dan Harun Nasution mencoba mengintegrasikan kekuatan akal dengan wahyu illahi baik itu al-Qur’an ataupun Hadis. Dengan artian mengkombinasikan antara kelompok yang berpegang teguh pada kejumudan taqlid dan mereka yang berlebihan mengikuti rasionalisme kaum barat atau menyeimbangkan paradigma pemikiran kaum tradisionalis dengan paradigma pemikiran kaum rasional modernis. Sebagaimana hal ini diungkapkan oleh Muhammad Abduh dalam metode pembaharuannya: sesungguhnya aku menyeru kepada kebebasan berfikir dari ikatan belenggu taqlid dan memahami agama melalui sumber aslinya yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah.
Dalam tulisan ini penulis akan mencoba menjelaskan tentang konsep rasioalisasi dalam memahami ajaran-ajaran Islam yang ditawarkan oleh Muhammad Abduh dan Harun Nasution dan pada akhirnya disini penulis akan membuat perbandingan dari kedua tokoh tersebut. Dengan mencoba menjelaskan persamaan dan perbedaan dalam masalah konsep rasionalisasi yang ditawarkan oleh mereka berdua.
Sebelum mengarah pada pembahasan, maka ada baiknya disini penulis menjelaskan tentang sistematika penulisannya, agar pembahasannya terarah. Dalam pembahasan mengenai konsep rasionalisme yang ditawarkan oleh Muhammad Abduh meliputi pemikiran beliau dalam bidang akidah yang terdiri dari dua hal, yaitu: akal dan wahyu, kebebasan manusia. Selanjutnya dalam bidang hukum. Kemudian dalam pembahasan konsep rasionalisme yang ditawarkan oleh Harun Nasution meliputi, akal dan wahyu, serta universalitas Islam. Namun dalam pembahasan kedua tokoh ini akan diawali dengan pembahasan tentang biografi dari masing-masing tokoh. Hal ini penting sebab dengan mengetahui biografi mereka, kita akan mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi tokoh-tokoh tersebut dalam melakukan pembaharuan pemikiran.
B.  Pembahasan Pertama
1.    Biografi Muhammad Abduh (1849 - 1905)
Orang beasar tumbuh karena dua unsur pokok: persiapan yang naluri- atau dengan perkataan lain, wataknya yang diwarisi dan keadaan sekitar dimana ia hidup. Orang seperti pohon, yang baik pasti yumbuh dari biji yang baik dan mendapatkan tanah, udara, dan air yang cocok untuknya. Apa bila bijinya itu jelek, maka tidak ada harapan bagi pohon itu untuk baik. Demikian juga keadaannya, apabila bijinya baik tetapi makanannya jelek. Bagaimanapun juga Muhammad Abduh telah mewarisi sifat-sifat yang ada padanya dan keadaan sekitarnya mendukung tumbuhnya sifat-sifat itu. Diantara sifat-sifat utama yang ia warisi adalah kecerdasan, percaya kepada diri sendiri, ulet dalam menghadapi kesulitan, ditambah dengan keinginan untuk maju dan cinta kasih.[8]
Beliau  lahir disebuah desa di Mesir Hilir. Di Desa mana tidak dapat diketahui pasti, karena ibu bapaknya adalah orang desa biasa yang tidak mementingkan tanggal dan tempat lahir anak-anaknya. Tahun 1849 adalah tahun yang umum dipakai sebagai tanggal lahirnya. Ada yang mengatakan bahwa beliau lahir sebelum tahun itu.[9]
Bapak Muhammad Abduh bernama Abduh Hasan Khairullah, berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir. Ibunya menurut riwayat berasal dari bangsa Arab yang silsilahnya meningkat sampai ke suku bangsa Umar bin Khattab. Abduh Hasan Kharullah kawin dengan ibu Muhammad Abduh sewaktu merantau dari des ke desa dan ketika itu ia menetap di Mahallah Nasr, Muhammad Abduh masih dalam ayunan.[10]
Muhammad Abduh disuruh belajar menulis dan membaca, setelah mahir ia diserahkan kepada satu guru untuk dilatih menghafal al-Qur’an. Hanya dalam masa dua tahun, beliau dapat menghafalkan al-Qura’an secara keseluruhan. Kemudian ia dikirim ke Thanta untuk belajar Agama di Masjid Syaikh Ahmad di Tahun 1862, setelah dua tahun belajar, dia merasa tidak mengerti apa-apa karena disana menggunakan metode menghafal. Ia akhirnya lari meninggalkan pelajaran dan pulang kekampungnya dan berniat bekerja sebagai petani. Tahun 1865 (dalam usia 16 tahu) ia pun menikah. Baru 40 hari dia menikah, ia dipaksa kembali untuk belajar di Tanta. Dia pun pergi tapi bukan ke Tanta. Dia bersembunyi dirumah seorang pamannya, Syaikh Darwisy Khadr. Syaikh Darwisy tahu keengganan Abduh untuk belajar, maka ia selalu membujuk pemuda itu supaya membaca buku bersama-sama. Pada awalnya Abduh benci melihat buku-buku itu, tetapi setelah Abduh selai membaca sebari kemudian Syaikh Darwisy memberikan penjelasan yang sangat lauas. Setelah itu Abduhpun berubah sikapnya sehingga ia pergi ketanta untuk meneruskan pelajarannya.[11]
Dari sini dapat dijadikan pijakan bahwasannya ajaran Syaikh Darwisy ini sangat dominan pengaruhnya kepada Abduh dalam pembentukan pola pikirnya. Syaikh Darwisy ini merupakan tokoh sufi yang pemikirannya terpengaruh oleh ajaran-ajaran al-Sanusiyah[12] yang sejalan dengan aliran wahabiyah dalam ajakan untuk kembali kepada corak Islam yang pertama, yaitu sederhana dan bersihnya dari Bid’ah. Hal ini akibat perjalanannya ke Tripoli Barat dan pergaulannya dengan pengikut-pengikut sanusi disana.[13] Yang pada akhirnya pikiran-pikiran seperti inilah yang ditawarkan oleh Abduh.
Selepas dari Tanta, ia melanjutkan study di al-Azhar dari tahun 1869 – 1877 dan ia mendapat predikat alim disanalah dia bertemu dengan Jamluddi al-Afghani[14] yang kemudian menjadi muridnya yang paling setia. Dari al-Afghani Abduh belajar logika, Filsafat dan Tasawuf. Sayyid Jamaluddin merupakan nyala api bagi Abduh yang menyalakan kecerdasan dan kekuatan yang luar biasa bagi Muhammad Abduh.[15]
Di masa Abduh dan Gurunya hidup, keadaan Ummat Islam mengalami kemunduran yang sangat memprihatinkan. Dunia Islam tercabik-cabik oleh penjajah. Wilayah Islam sebelumnya berada dalam naungan Khilafah Ustmaniyah dikapling-kapling oleh bangsa Eropa. Pengaruh pemikiran al-Afghani terhadap Abduh begitu besar, ide-ide pembaharuan yang dibawa al-Afghani banyak mempengaruhi Abduh. Tahun 1879 Abduh dibuang keluar kota Kairo karena dituduh turut berperan dalam mengadakan gerakan Khadowi taufik. Hanya setahun ia dibuang, tahun 1880 ia boleh kembali dan kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintah mesir al-Waqaai’ al-Mishriyah[16] .
Diakhir tahun 1882, ia lagi-lagi dibuang. Tapi kali ini ia dibuang keluar negri dan ia memutuskan pergi ke Bairut. Alasan pembuangan ini adalah keterlibatan Abduh dalam revolusi (pemberontakan) Urabi Pasya.[17] Baru setahun di Beirut, dia diundang oleh al-Afghani supaya datang ke Paris guna membentuk gerakan al-Urwat al-Wustqa. Tujuan gerakan ini adalah membangkitkan semangat perjuangan Ummat Islam untuk menentang ekspansi Eropa di dunia Islam. Terbitlah majalah al-Urwat al-Wustqa. Ide pemikiran berasal dari al-Afghani, sedangkan tulisan yang mengungkapkan pemikiran itu dilakukan oleh Abduh. Majalah tersebut hanya bertahan selama 8 bulan dengan 18 kali terbit.[18] Setelah itu ia berpisah dengan gurunya. Gurunya menuju Persia, ada juga yang mengatakan ke Rusia. Sedangkan ia sendiri kembali ke Beirut pada tahun 1885 M. Di kota ini, ia pusatkan perhatiannya pada ilmu dan pendidikan. Ia mengajar di madrasah Sulthaniah dan dirumahnya sendiri pelajaran tauhid yang dia berikan di Madrasah Sulthaniah tersebut menjadi dasar dari Risalah al-Tauhidnya.[19]
Sekembalinya daripembuangan, di akhir tahun 1888, ia mualai melakukan aktivitasnya. Karirnya dimulai menjadi hakim pengadilan negri kemudian menjadi penasehat mahkamah tinggi. Di sela-sela kesibukannya sebagai hakim, beliau berusaha memperbaiki pendidikan di al-Azhar. Beliau ingin membawa ilmu-ilmu modern yang sedang berkembang di Eropa ke al-Azhar. Usahanya tidak berjalan mulus bahkan usahanya kandas. Banyak tantangan dari Ulama’ yang berpegang teguh pada tradisi lama. Tahun 1899, beliau diangkat menjadi mufti mesir, suatu jabatan resmi penting di Mesir dalam menafsirkan ilmu syari’at untuk seluruh mesir. Di tahun yang sama, beliau diangkat menjadi anggota majlis syuro. Beliau meninggal pada tanggal 11 juli tahun 1905 karena penyakit yang beliau derita yaitu kangker hati dalam usia kurang lebih 56 tahun.[20]
Abduh meninggalkan banyak karya tulis, sebagian besar berupa artikel-artikel di surat kabar dan majallah. Yang berupa buku antara lain Durus min al-Qur’an (berbagai pelajaran dari al-Qur’an), Rislat al-Tauhid, Hasyiah ‘Ala Syarh al-Dawani li al-‘Aqaid al-Adudiyah (komentar terhadap penjelasan al-Dawani terhadap akidah-akidah yang meleset), al-Islam wa al-Nashraniyah (Islam dan Nasrani bersama ilmu-ilmu Peradaban), Tafsir al-Qur’an al-Karim Juz ‘Amma, dan Tafsir al-Manar yang diselesaikan oleh muridnya Syekh Muhammad Rasyid Ridha.[21]
2.    Konsep Rasionalisme Muhammad Abduh
Pada dasarnya ide-ide pemikiran rasionalisme Muhammad Abduh bertolak pada pandangan beliau ketika melihat realita ummat Islam pada saat itu dan kondisi dimana beliau tumbuh secara intelektual. Beliau melihat sebab-sebab yang melatarbelakangi kemunduran ummat Islam dan kemudian melakukan transformasi untuk mengembalikan citra ummat islam sebagai al-Diin Ya’lu wa la Yu’la alaihi. Sebab yang membawa kepada kemunduran, menurut pendapatnya adalah faham jumud[22] yang terdapat dikalangan Ummat Islam.[23]
Sebenarnya tema besar dalam masalah-masalah ide Muhammad Abduh dengan menawarkan konsep rasionalisme adalah untuk membuka wawasan cakrawala pemikiran dan cara pandang ummta Islam. Hal ini bertujuan dan berorientasi pada dua hal; pertama, membuka kembali pintu ijtihad dengan menggunakan anugerah yang berupa akal, dan yang kedua, membebaskan ummat Islam dari kungkungan sikap taklid secara membabi buta, serta kembali pada ajaran murni Islam yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah.
Namun disini penulis akan mencoba menguraikan tema besar ini dengan dua pembahasan yang juga merupakan ide pemikiran Muhammad Abduh yaitu dalam bidang akidah yang terdiri dari dua pembahasan dan dilanjutkan pembahasan dalam bidang hukum.
a.    Bidang Akidah
Menurut Muhammad Imarah dalam bukunya “al-‘Amal al-Kamilah li al-Imam Muhammad Abduh” bahwa ide-ide pembaharuan dalam aspek akidah yang disebarkan oleh Muhammad Abduh didasari oleh dua hal yaitu fungsi akal dan masalah kebebasan manusia.[24]
1)   Akal dan Wahyu





a)    Akal[25]
Pendapat Muhammad Abduh tentang pembukaan pintu ijtihad dan pemberantasan taklid, berdasaar atas kepercayaannya terhadap kekuatan akal. Menurut pendapatnyaal-Qur’an berbicara, bukan semata kepada hati manusia, tetapi juga kepada akalnya. Islam memandang akal mempunyai kedudukan tinggi. Alllah menunjuk perintah-perintah dan larangan-Nya kepada akal didalam al-Qur’an terdapat ayat: afala yatadabbarun, afala yandzurun, afala ya’qiluun, dan lain sebagainya. Oleh karenanya, menurut pendapat beliau Islam adalah agama yang rasional.[26]
Bertolak dari pernyataan beliau diatas, beliau berpendapat bahwa wahyu yang datang kepada para utusan Allah itu tidak ada yang bertentangan dengan akal manusia, sehingga apabi terdapat wahyu yang bertentangan dengan akal manusia maka harus dicarikan interpretasi yang lain, sehingga ayat itu tidak bertentangan dengan akal.[27]
Proses kerja akal biasanya dikaitkan dengan kejadian-kejadian alam dan gejala-gejala alam sebagai tanda kebesaran dan kekuasaan Allah, sebagaimana telah diterangkan oleh Allah:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air lalu dengan air itu ia hidupkan bumi sesudah mati (kering) nya dan dia sebarkan dibumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan
Dari ayat diatas dapat diambil satu pengertian bahwa akal itu “ilmu” hal ini berangkat dari ayat diatas. Yakni kekuasaan Allah hanya dapat diketahui dengan menggunakan akal dan fikirannya. Ayat ini menuntut manusia dan menentukan sikap manusia dalam bertingkah laku dan berbuat, akal bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.[28] Selanjutnya Abduh menomentari bahwa akal itu suatu daya yang hanya dimiliki manusia sebagai sifat dasar dalam rangka mengenal dan mengetahui sifat dan wujudnya. Kemudian Abduh membagi hukum akal kepada tiga bagian:
(1)  Akal itu sebagai alat untuk mengetahui barang yang mungkin ada
(2)  Akal itu adalah sebagai alat untuk mencapai suatu barang yang wajib adanya
(3)  Akal itu merupakan jalan dalam mencapai suatu ilmu terhadap barang yang mustahil adanya
Menurut Abduh akal tak selamanya berdiri secara bebas, tetapi akal terdapat kelemahan yaitu:
(1)  Akal tidak dapat menyampaikan kehidupan yang normal tentang masalah kehidupan manusia yang berhubungan dengan kebahagian dan kesesatan hidup sesudah mati
(2)  Akal tidak dapat menunjukkan kepada manusia secara pasti tentang masalah untung dan rugi manusia dan akhirat, maka akal butuh pertolongan wahyu[29]
Akal adalah yang membedakan antara manusia dengan makhluk yang lainnya, dan hanya manusialah satu-satunya makhluk yang dianugerahi Tuhan kekuatan akal karena itu ia menjadi mulia. Kata Muhammad Abduh, jika manusia dicabut akalnya maka manusia akan menjadi makhluk lain, mungkin malaikan atau hewan. Akal mempunyai daya yang kuat, akal dapat mengetahui adanya Tuhan dan kehidupan dibalik kehidupan duania. Akal dapat sampai kepada pengetahuan yang lebih tinggi. Manusia melalui akalnya, kata Abduh dapat mengetahui bahwa berterima kasih kepada Tuhan adalah wajib, bahwa kebajiakan adalah dasar kebahagiaan dan kejahatan dasar kesengsaraan.[30]
Akan tetapi kekuatan akal yang dimiliki oleh tiap-tiap manusia itu berbeda-beda. Perbedaan tersebut tidak hanya disebabkan oleh perbedaan pendidikan, tapi juga karena perbedaan pembawaan alami, suatu hal yang terletak diluar kehendak manusia, oleh karena itu, Abduh membagi manusia kedalam dua golongan yaitu khawas[31] dan awam.[32] Antara kaum khawas dan awan itu terdapat perbedaan yaitu dalam menerima pengetahuan dari Tuhan. Orang Awam menerima secara mentah-mentah apa yang disampaikan Tuhan, sedangkan kaum khawas dalam menerima pengetahuan dipikirkan secara matang dan teliti sehingga akhirnya menemukan pengetahuan yang sebenarnya dari Tuhan.
Keharusan manusia untuk menggunakan akalnya, bukan hanya merupakan ilham yang terdapat dalam dirinya, tapi juga merupakan ajaran al-Qur’an. Kitab suci ini memerintahkan kita untuk berpikir dan melarang kita bertaqlid. Abduh sangat menentang taklid karena menurutnya, taklid merupakan salah satu penyebab kemunduran ummat Islam pada abad ke 19 sampai abad ke 20. Beliau sangat menyesalkan sikap taklid dalam berbagai aspek kehidupan. Perkembangan dalam bahasa, organisasi sosial, hukum, lembaga-lembaga pendidikan, dan sebagainya menjadi terhambat karena sikap statis.[33]
Rasionalisme yang mendasar dalam pikiran Muhammad Abduh yang menyebabkan beliau menolak keras perilaku taklid dan menerima penafsiran berdasarkan asal menerima begitu saja terjemahannya secara literal mengenai sumber-sumber agama. Pernyataan tersebut, pada dasarnya beliau mengajak kita berfikir kreatif dan melarang kita berdiam diri dengan keadaan yang ada. Beliau mengajak untuk melakukan takwil dalam nash-nash al-Qur’an yang tidak bisa kita pahami. Beliau juga menegaskan lewat buku-bukunya agar memisahkan pemahaman tentang eksistensi dan karakter ajaran agama yang seutuhnya dengan hasil pemikiran orang-orang yang hanya mengaku dirinya sebagai agamawan.[34]
b)   Wahyu[35]
Menurut Muhammad Abduh, bahwa wahyu adalah berita dan juga pemberi tahuan secara rahasia dalam arti isi beritanya. Kemudian oleh Abduh ditarik pada suatu pengertian, bahwa yang dikatakan wahyu adalah pengertian, bahwa yang dikatakan wahyu adalah pengetahuan yang didapat seseorang pada dirinya sendiri dengan keyakinan penuh, bahwa pengetahuan itu datangnya dari Allah dengan perantara atau tidak. Yang pertama yaitu dengan perantara suara yang dapat didengarkan dengan telinga atau tanpa suara sama sekali. Bedanya dengan ilham, bahwa kalau ilham itu adalah perasaan, yang menyakinkan hati, yang mendorongnya untuk mengikuti tanpa diketahui dari mana datangnya. Dan ilham itu hampir serupa dengan perasaan lapar, haus, duka, dan suka.[36]
Kemudian, Abduh juga memberi penjelasan tentang wahyu berdasarkan aspek fungsionalisasinya. Secara garis besar, sistem pemikiran teologi rasioanalismenya Abduh menjelaskan bahwa wahyu mempunyai “dwi fungsi”, yaitu memberi informasi dan konfirmasi, sehingga baginya wahyu sangat diperlukan untuk menyempurnakan pengetahuan melalui akal.[37] Oleh karenanya, pada dasarnya akal dan wahyu mempunyai hubungan yang sangat erat, karena akal memerlukan wahyu, sementara wahyu itu tidak mungkin bertentangan dengan akal. Sehinnga jika terdapat wahyu bertentangan dengan akal, maka Abduh berpendapat bahwa akal memiliki kebebasan untuk melakukan interpretasi agar maksud daripada wahyu tersebut sesuai dengan akal.[38]
Abduh juga berpendapat bahwa premis – premis yang melandasi keimanan ini adalah sedemikian rupa sehingga bukti-buktipun tidak lagi diperlukan kendati digunakan kata digambarkan wujud Tuhan tidak dapat dipahami. Ada hal-hal yang tidak boleh dipertanyakan ketika rasa ingin tahu hanya menyebabkan “kekacaun iman”. Sekalipun demikian, apa yang disampaikan dalam wahyu harus dipahami secara rasional sebuah kewajiban bagi setiap generasi.[39] Karena itu akal dan wahyu saling menguatkan, karena, wahyu berfungsi sebagai konfirmasi untuk menguatkan dan menyempurnakan pengetahuan akal.
Maka sejatinya, dalam Islamlah “agama dan akal buat pertama kalinya menjalin hubungan persaudaraan”. Didalam persaudaraan itu akal menjadi tulang punggung agama yang terkuat dan wahyu merupakan sendinya yang utama. Antara wahyu dan akal tidak bisa dipertentangkan. Mungkin agama membawa informasi diluar kemampuan manusia untuk memahaminya, tetapi tidak mungkin wahyu membawa informasi yang mustahil bagi akal.[40]


c)    Kebebasan Manusia
Kepercayaan kepada kekuatan akal, membawa Muhammad Abduh selanjutnya kepada faham yang mengatakan bahwasannya manusia mempunyai kebebasan dalam kemauan dan perbuatan (free will and free act atau qadariah).[41]  Dalam teologi terdapat dua konsep mengenai hal tersebut. Pertama; pendapat mengatakan bahwa semua perbuatan  manusia telah ditentukan semenjak azali[42] , sebelum ia lahir, dan faham ini dalam teologi islam disebut jabariah. Dalam teologi barat disebut fatalisme atau predistination. Kedua; bahwa manusia mempunyai kebebasansungguhpun terbatas sesuai dengan ketrrbatasan manusia dalam keutamaan dan perbuatan. Faham ini dalam Islam disebut Qadariah, dan dalam teologi barat disebut free will and free act.[43]
Dalam al-Urwat al-Wustqa ia bersama-sama dengan Jamaluddin al-Afghani beliau menjelaskan bahwa, faham qada’ dan qadar telah diselewengkan menjadi fatalisme, sedang faham itu sesungguhnya mengandung unsur dinamis yang membuat ummat Islam di zaman klasik dapat membawa Islam sampai ke Spanyol dan dapat menimbulkan peradaban tinggi. Faham fatalisme yang terdapat dikalangan ummat Islam perlu dirubah dengan faham kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan. Inilah yang menimbulkan dinamika ummat Islam kembali.[44]
Kemudian Muhammad Abduh menjelaskan dalam Risala al-Tauhid, bahwa, manusia tahu akan wujudnya tanpa memerlukan bukti apapun, demikian pulalah ia mengetahui adanya perbuatan atas pilihannya sendiri (ikhtiar) dalam dirinya.[45] Hukum alamlah yang menentukan adanya perbuatan atas pilihannya sendiri yang ada dalam diri manusia. Muhammad Abduh percaya pada pendapat bahwa alam ini diatur hukum alam tidak berubah-rubah yang diciptakan Tuhan. Hukum alam ciptaan Tuhan ini ia sebut sunnat Allah. Sunnah Allah dalam pendapatnya mencakup semua makhluk. Segala yang diciptakan ini sesuai dengan hukum alam atau sifat dasarnya, manusia sendiri diciptakan sesuai dengan sifat-sifat dasar yang khusus baginya yaitu berfikir dan memilih perbuatan sesuai dengan pemikirannya.[46]
Pandangan Abduh tentang perbuatan manusia ini bertolak dari satu deduksi, bahwa manusia adalah makhluk yang bebas dalam memilih perbuatannya. Namun, kebebasan tersebut bukanlah kebebasan tanpa batas. Setidaknya ada dua ketentuan yang menurut Abduh mendasari perbuatan manusia, yakni; pertama, manusia melakukan perbuatan dengan daya dan kemampuannya, kedua, kekuasaan Allah adalah tempat kembali semua yang terjadi.[47]
Dengan demikian, manusia selain mempunyai daya berfikir, ia juga mempunyai kebebasan memilih sebagai sifat dasar alami. Dan bila sifat dasar ini dihilangkan dari dirinya, niscaya dia bukan manusia lagi melainkan makhluk lain, entah itu malaikat atau hewan. Manusia dengan akalnya dapat mempertimbangkan akibat perbuatan yang akan dilakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri dan selanjutnya mewujudkan perbuatan itu dengan daya yang ada dalam dirinya.[48]
Jadi faham yang dipaksakan pada manusia atau jabariah tidak sejalan dengan pandangan Muhammad Abduh. Menurutnya, manusia adalah semata-mata karena ia mempunyai kemampuan berfikir dan kebebasan memilih, meskipun kebebasan tersebut tidak bersifat mutlak, bahkan mencap takabbur dan angkuh terhadap orang yang mengatakan hal tersebut. Seperti disebutkan dalam Tafsir al-Mannar, ia menjelaskan bahwa manusia, sesungguhpun berbuat atas kemauan dan pilihannya sendiri, namun tidaklah sempurna daya, kemauan dan pengetahuannya.[49] Terkadang ada sesuatu hal yang dapat menimpa ummat manusia diluar dugaan dan manusia tidak mampu mengendalikannya, maka itulah bukti bahwa manusia mempunyai keterbatasan, hanya Allah lah yang maha sempurna.
b.   Bidang Hukum
Dalam bidang hukum, ada tiga prinsip utama pemikiran Abduh, yaitu al-Qur’an sebagai sumber Syari’at, memerangi taklid, dan berpegang kuat pada akal dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Menurutnya syari’at itu ada dua macam yaitu qath’i (pasti) dan zdanni (tidak pasti). Hukum yang pertama wajib bagi semua muslim mengetahui dan mengamalkan tanpa interpretasi, karena dia jelas tersebut dalam al-Qur’an dan al-Hadist. Sedang hukum syari’at jenis kedua datang dengan penetapan yang tidak pasti.[50]
Jenis hukum yang tidak pasti inilah yang menurut Abduh menjadi lapangan ijtihad para mujtahid. Dengan demikian, berbeda pendapat adalah sebuah kewajaran dan merupakan tabi’at manusia. Keseragaman berpikir dalam semua hal adalah sesuatu yang tidak mungkin di wujudkan. Bencana akan timbul ketika pendapat-pendapat yang berbeda tersebut dijadikan tempat berhukum dengan taklid buta tanpa berani mengkritik dan mengajukan pendapat lain. Sikap terbaik yang diambil ummat Islam dalam menghadapi perbedaan pendapat adalah kembali pada sumber aslinya, al-Qur’an dan al-Sunnah. Setiap orang yang memiliki ilmu yang mumpuni maka wajib berijtihad, sedang bagi orang yang awam, bertanya pada orang yang ahli adalah sebuah kewajiban.[51]
Ada dua hal yang mendorong Muhammad Abduh untuk menyerukan ijtihad, yaitu tabiat hidup dan tuntutan kebutuhan manusia. Kehidupan manusia ini berjalan terus dan selalu berkembang, dan didalamnya terjadi kejadian dan peristiwa tidak dikenal oleh manusia sebelumnya. Ijtihad adalah jalan yang ideal dan praktis bisa dijalankan untuk menghungkan peristiwa-peristiwa hidup yang selalu timbul itu dengan ajaran-ajaran Islam.[52]
Ijtihad menurut Abduh bukan hanya boleh, malahan penting dan perlu diadakan. Tetapi yang dimaksudkan bukan tiap-tiap orang boleh mengadakan ijtihad, melainkan hanya orang-orang yang memenuhi syarat-syarat untuk berijtihad. Bagi yang tidak memenuhi syaratnya, harus mengikutipendapat mujtahid yang ia setujui fahamnya. Ijtihad ini langsung pada al-Qur’an dan Hadis, sebagai sumber asli dari ajaran-ajaran Islam.[53]
Untuk itu Abduh menunjukkan dua cara yang harus dilakukan oleh ummat Islam, sesuai dengan adanya dua kelompok sosial, biasanya terdapat dalam masyarakat Islam, yaitu orang yang memiliki pengetahuan dan orang yang awam. Beliau berpendapat bahwa kelompok pertama wajib melakukan ijtihad langsung kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Dalam hal ini ijtihad dituntut, karena kekosongan Ijtihad dapat menyebabkan mereka akan mencari keputusan hukum di luar ketentuan syara’. Dalam perkembangan zaman, tidak dapat ditahan laju perkembangan situasi dan kondisi yang muncul. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian ulang tentang beberapa pendapat hasil ijtihad ualama’ terdahulu, agar hasil ijtihad itu selalu sesuai dengan situasi dan kondisinya. Jadi yang mereka ijtihadkan bukan hanya masalah- masalah yang ada belum ada hukumnya, tetapi juga mengadakan reinterpretasi terhadap hasil ijtihad terdahulu.[54] 
Bagi kelompok kedua awam, sikap yang harus diambilnya adalah mengikuti pendapat orang yang mereka percayai, dengan mempertimbangkan kedalaman ilmu dan ketaqwaan dari orang yang didikuti pendapatnya. Jadi setiap dikerjakan oleh orang awam mempunyai dasar kuat yang dia sendiri mengetahui dasarnya dan tidak mengamalkan suatu perbuatan secara membabi buta. Dengan sikap ini, ummat Islam akan selamat dari bahaya taklid. Abduh berpendapat bahwa kebenaran dapat didapatkan dimana-mana tidak hanya pada seorang guru dan seorang madzhab tertentu.[55]
Menurut Rasyid Ridha, mazhab dalam pengertian Muhammad Abduh adalah lebih ditekankan pada cara pengambilan hukum dari nash yang ditempuh oleh seorang mujtahid tertentu. Jadi bukan dalam artian mengikuti dan tunduk pada hasil mujtahid tertentu, tetapi bermadzhab adalah dengan mengikuti cara-cara atau metode yang mereka tempuh dalam beristinbath hukum.[56]
Maka fanatisme madzhab yang  biasa terjadi dikalangan awam dapat dihindari dan sikap taklid bisa diatasi. Menurut Abduh, hal yang terjadi dimasyarakat adalah sebaliknya. Generasi sesudah mujtahid mengikuti hasil ijtihad yang mereka dapatkan, bukan mengambil cara yang ditempuh oleh para imam. Akibatnya, terjadi perselisihan pendapat yang membawa perpecahan dikalangan muslimin sendiri. Fanatismepun muncul dan taklid tidak bisa dihindarkan. Hal ini menjadikan masyarakat Islam ketika memutuskan hukum merujuk kepada pendapat para mujtahid tanpa adanya koreksi terhadap kevalidan apa yang dihasilkan oleh para mujtahid, dan masyarakat meninggalkan sumber asli ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah.
Oleh karena itu, dalam berijtihad kaum muslimin harus berpedoman kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Hal inilah yang mendorongnya untuk menggalakkan ijtihad dikalangan intelektual dan mengikis taklid buta dalam masyarakat. Beliau membandingkan sikap ummat Islam yang demikian itu dengan sikap kaum yahudi yang taklid kepada pendapat para pemimpin agama mereka, seperti digambarkan Allah dalam surat al-Taubah ayat 32. Sehingga mereka mengalami kemunduran setelah memperoleh kejayaan.[57]
Dalam Silsilah Buhuts wa Muhadharat Abduh menyebutkan bahwa, ada dua pemikiran pokok yang menjadi fokus utama pemikiran Muhammad Abduh. Pertama; membebaskan akal fikiran dari belenggu-belenggu taklid yang menjadi penghambat perkembangan ilmu pengetahuan Agama sebagaimana halnya salaf al-Ummah, yakni memahami langsung dari sumber pokoknya, al-Qur’an dan Hadis. Wajarlah jika para pengikutnya menyatakan bahwa setiap orang boleh berijtihad. Kedua; memperbaiki gaya bahasa Arab, baik digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintahan maupun didalam tulisan-tulisan media masa. Hal ini juga merupakan salah satu poin yang ditekankan Hasan al-Banna yang merupakan salah satu pengagum Muhammad Abduh dan al-Mannarnya.[58]
C.  Pembahsan Kedua
1.    Biografi Harun Nasution
Harun Nasution dilahirkan di Pematangsiantar (Sumatra Utara) pada tanggal 23 september 1919. Beliau dilahirkan dari keluarga Ulama’. Ayahnya bernama Abdul Jabbar Ahmad. Beliau merupakan Ulama’ sekaligus pedagang yang cukup sukses. Beliau mempunya kedudukan dalam masyarakat maupun pemerintahan. Beliau terpilih menjadi Qadhi (penghulu). Pemerintah Hindia Belanda lalu mengangkatnya sebagai Kepala Agama merangkap Hakim Agama dan Imam Masjid di Kabupaten Simalungun.[59] Sedangkan Ibunya adalah anak seorang Ulama’ asal Mandailing yang semarga dengan ayahnya Abd al-Jabbar Ahmad.[60] Beliau pernah bermukim di Makkah sehingga dia cukup baik dalam bahasa Arab.
Harun Nasution menempuh pendidikan dasar di Hollandsch In Landsche School (HIS), kemudian setelah itu beliau melanjutkan studinya di Studi Islam tingkat menengah yang bersemangat modernis, yaitu Moderne Islimietische Kweekschool (MIK). Karena desakan orang tua, kemudian beliau meninggalkan MIK dan pergi belajar ke Saudi Arabia. Dinegri Gurun Pasir ini beliau tidak bertahan lama dan menutut orang tuanya agar supaya pindah studi ke Mesir. Di Negri Sungai Nil ini Harun mula-mula mendalami Islam di Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, namun beliau merasa tidak puas dan pindah ke Universitas Amerika (Kairo). Di Universitas ini Harun tidak mendalami Islam, tetapi ilmu pendidikan dan ilmu-ilmu sosial. Selama beberapa tahun sempat bekerja diperusahaan swasta kemudian dikonsulat Indonesia Kairo setamat dari Universitas itu dengan ijazah B.A. di kantongnya. Dari konsulat itulah, putra Batak yang mempersunting putri mesir ini, memulai karir diplomatiknya. Dari Mesir beliau ditarik ke Jakarta, dan kemudian di poskan sebagai sekertaris pada kedutaan besar Indonesia di Brussel.[61]
Situasi politik dalam negri Indonesia pada tahun 60-an membuatnya mengundurkan diri dari karir diplomatiknya dan pulang ke Mesir. Di Mesir dia kembali menggeluti dunia ilmu disebuah sekolah tinggi studi Islam, dibawah bimbingan seorang ulama’ fikih mesir terkemuka Abu Zahrah. Ketika belajar disitu Harun mendapat tawaran untuk mengambil studi Islam di Universitas McGill, Kanada. Untuk tingkat Magister di Universitas ini, ia menulis tentang pemikiran Negara Islam di Indonesia, dan untuk disertasi P.h.D. dia menulis “Posisi Akal dalam Pemikiran Teologi Muhammad Abduh”. Setelah meraih Doktor, Harun kembali ketanah Air dan mencurahkan perhatiannya pada pengembangan pemikiran Islam lewat IAIN. Beliau sempat menjadi rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1974 - 1982). Kemudian beliau mempelopori pendirian pascasarjana untuk studi Islam di IAIN.[62]
Beliau wafat pada tanggal 18 september 1998 di Jakarta dengan meningalkan beberapa karya. Diantaranya; Akal dan Wahyu dalam Islam (1981), Falsafat Agama (1973), Islam Rasional (1995), Sejarah Pemikiran dan Gerakan (1975), islam di tinjau dari berbagai aspeknya (1974) yang terdiri dari dua jilid, Falsafat dan Mistisime (1973), Falasafat yunani, Pembaharuan dalam Islam (1975), dan Muhammad Abduh dan teologi Rasional Mu’tazilah (1987).[63]

2.    Konsep Rasionalisme Harun nasution
a.    Akal
Kata ‘aqala berarti mengikat dan menahan. Maka tali pengikat serban kadang berwarna hitam kadang berwarna emas. Arti asli dari kata ‘aqala dalah mengerti, memahami dan berfikir.dalam al-Qur’an sebagai dijelaskan dalam Q.S. Al-Hajj (22): 46, penertian, pemikiran, dan pemahaman dilakukan melaui kalbu yang berpusat didada. Ayat-ayat tersebut jga menjelaskan demikian:
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آَذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
Maka apakah mereka tidak berjalan dimuka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan begitu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang didalam dada.
Seperti yang dapat dilihat dalam falsafat emanasi. Bahwa akal manusia yang telah mencapai derajat perolehan dapat mengadakan hubungan dengan akal kesepuluh, yang dalam penjelasan Ibnu Sina adalah Jibril. Komunikasi itu bisa terlaksana terjadi karena akal perolehan begitu terlatih dan begitu kuat daya tangkapnya sehingga sanggup mengungkap hal-hal yang bersifat abstrak murni. Dan komunikasi Nabi dengan Tuhan dilakukan melalui akal dalam derajat materil.[64]
Menurut kaum teolog akal adalah sebagai daya untuk memperoleh pengetahuan. Yaitu daya untuk memperoleh pengetahuan dan juga daya yang membuat seseorang dapat memperbedakan antara dirinya dan benda-benda lain. Akal juga dapat mengabtraksikan benda-benda yang ditangkap pancra indra. Disamping memperoleh pengetahuan, akal juga mempunyai daya untuk membedakan antara kebaikan dan keburukan.[65]
Harun nasution dalam bukunya Akal dan Wahyu dalam Islam, neliau menjelaskan telah diketahui bersama bahwa Islam berkembang dalam sejarah bukan hanya sebagai Agama, tetapi juga sebagai kebudayaan. Islam lahir pada mulanya memang sebagai Agama di Mekkah, tetapi kemudian tumbuh di Madinah menjadi negara, selanjutnya berkembang di Damsyik menjadi kekuatan politik internasional yang luas daerahnya, dan akhirnya berkembang di Bagdad sebagai kebudayaan bahkan peradaban yang tidak kecil pengaruhnya, sebagai telah disebut diatas pada peradaban Modern. Dalam perkembangan Islam pada dua aspeknya itu, akal memainkan peranan penting bukan dalam bidang kebudayaan saja, tetapi juga dalam bidang Agama, dalam membahas masalah-masalah keagamaan, banyak ulama’-ulama’ Islam tidak semata-mata berpegang wahyu, tetapi juga bergantung pada akal. Bisa dijumpai dalam pembahasan-pembahasan bidang fikih, teologi dan filsafat.[66]
Menurut pendapat Harun, peranan akal dalam bidang fikih atau hukum Islam itu diperlukan. Kata faqiha mengandung kata faham atau mengerti. Untuk mengerti sesuatu itu diperlukan pemikiran dan pemakain akal. Dengan demikian fikih dalah ilmu yang membahas pemahaman dan tafsiran ayat-ayat al-qur’an, yang berkaitan dengan hukum. Untuk penafsiran dan pemahaman ini diperlukan al-Ijtihad. Ijtihad banyak dipakai dan kedudukannya penting dalam fikih. Begitu pentingnya kedudukannya sehingga Ali Hasaballah membuat Ijtihad menjadi sumber ketiga dari hukum Islam setelah al-Qur’an dan al-Sunnah. Dan beliau mempunyai argumen yang kuat untuk ini, yaitu Hadis Muadz ibn Jabal. Dalam Hadis ini Nabi bertanya kepada Mu’adz apa yang akan diperbuatnya di Yaman jika ia tidak menemui ketentuan hukum dalam al-Qur’an dan sunnah ketika hendak memutuskan sesuatu perkara. Muazd menjawabakan memakai ijtihadnya.[67]
Dalam aliran-alira teologi Islam terjadi polemik yang penting dalam maslah akal dan wahyu, terutama antara Mu’tazilah, Asy’ariah, dan Maturidiah. Yang menjadi problem adalah masalah kesanggupan akal dan fungsi wahyu terhadap adanya Tuhan serta kebaikan dan kejahatan. Pertanyaan yang di ajukan adalah:
1)   Dapatkah akal mengetahui Tuhan?
2)   Kalau ia apakah akal mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan?
3)   Dapatkah akal mengetahui apa yang baik dan apa yang jahat?
4)   Kalau ya, dapatkah akal mengetahui bahwa wajib bagi manusia berbuat baik dan wajib baginya menjauhi perbuatan buruk?
Harun menjelaskan bahwa, kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa keempat masalah tersebut dapat diketahui oleh akal dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian berterimakasih pada Tuhan sebelum turunnya wahyu adalah wajib. Baik dan buruk adalah sifat esensial bagi kebaikan dan kejahatan. Kebaikan dan kejahatan wajib diketahui melalui akal dan demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk.[68]
Sementara jika ditinjau dari perspektif filosofis, akal merupakan kekuatan inti dalam menemukan kenbenaran yang sejati. Falsafah sebagai pemikiran sedalam-dalamnya tentang wujud, dan akal lebih banyak dan dianggap lebih besar dayanya dari pada yang dianggap fikih dan teologi. Sebagai akibatnya pandangan keagamaan kaum filusuf lebih liberal dibandingkan pandangan keagamaan kaum teologi dan fikih. Sehingga timbul sikap salah menyalahkan bahkan kafir mengkafirkan. Filosof-filosof Islam berkeyakinan bahwa antara akal dan wahyu, antara falsafah dan agama tidak ada pertentangan. Keduanya sejalan dan serasi, dan antara keduanya terdapat keharmonisan. Dalam memberikan penjelasan rasional tentang adanya wahyu.[69]
Penjelasan sedikit diatas tentang posisi akal dan wahyu dizaman Islam klasik, memberikan penegasan kepada kita bahwa dalam memahami wahyu illahi harus menggunakan pemikiran rasional, dimana pemikiran seperti ini merupakan aktivitas akal dalam mengaktualisasikan nilai-nilai absolut (Qhat’ia al-Dilalah) dan nilai-nilai yang non absolut (Dzanniya al-Dilalah) atau nilai-nilai yang bisa diinterpretasikan dari wahyu tersebut. Sehingga akal memiliki kedudukan yang tinggi dalam memahami aspek-aspek keagamaan.
Menurut Harun bahwasannya akal di zaman modern ini mulai dipakai kembali dalam bidang keagamaan, mulai dipisahkan faham-faham lama yang tidak sesuai dengan akal dan ilmu pengetahuan modern dan faham lama yang sejalan dengan akal. Yang bertentangan dengan akal mulai ditinggalkan sedikit demi sedikit. Akal juga mulai dipakai kembali untuk memberi interpretasi baru kepada ayat-ayat yang bersifat dzanni artinya, interpretasi yang sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Diantara faham lama yang ditinggalkan adalah faham fatalisme atau faham qada’ dan qadar, bahwa setiap apa yang terjadi telah ditentukan oleh Tuhan semenjak zaman azali. Manusia hanya menunggu suratan tangan yang telah ditentukan. Kini Ummat Islam menganut faham ikhtiyar yang dekat dengan faham qadariah atau kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan. Faham statis lama yang telah banyak ditinggalkan dan sebagai gantinya timbul faham baru yang dekat dengan faham dinamika.[70]
b.   Wahyu
Diatas telah dijelaskan tentang posisi akal menurut Harun Nasution, dan tentang fungsimya dalam memahami nilai-nilai ajaran Islam yang terhimpun baik dalam al-Qur’an ataupun al-Sunnah. Maka dalam sub pembahasan kali ini, penulis akan menjelaskan tentang wahyu. Disini akan dijelaskan apakah wahyu itu, dan bagaimana kedudukan wahyu dalam pengembangan paradigma berfikir rasional, dan bagaimana kedudukan serta posisi akal menurut wahyu tersebut. Apakah akal lebih tinggi kedudukannya atau sebaliknya.
Sebelumnya disini akan dipaparkan pengertian wahyu menurut Harun Nasution. Wahyu berasal dari kata Arab al-Wahy. Dan al-Wahy adalah kata asli bahasa Arab bukan kata pinjaman dari bahasa asing. Kata itu berarti suara, api dan kecepatan. Disamping itu dia juga berarti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Al-wahy selanjutnya mengandung pemberi tahuan secara tersembunyi dan dengan cepat. Tetapi kata itu lebih dikenal dalam arti “apa yang disampaikan Tuhan kepada Nabi-Nabi”. Dalam  kata wahyu dengan demikian terkandung arti penyampain sabda Tuhan kepada orang pilihan-Nya agar diteruskan kepada Ummat manusia untuk dijadikan pegangan hidup.[71]
Dari penjelasan diatas, disini penulis dapat menyimpulkan bahwasannya yang dimaksud wahyu menurut Harun Nasution adalah: penyampain pesan suci yang bersifat ketuhanan kepada orang-orang yang telah ditentukan dan dipilih oleh tuhan itu sendiri. Jadi, secara konseptual wahyu yang sampai kepada para utusan Tuhan itu melalui proses komunikasi antara Tuhan dengan para utusan.
Dalam masalah konsep penerimaan wahyu yang terjadi melalui proses komunikasi antara Tuhan dengan utusan itu juga dijelaskan oleh Harun Nasution[72] dengan mengutip sebuah ayat yang berbunyi:
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ
“Tidak terjadi bahwa Allah berbicara kepada manusia kecuali dengan wahyu, atau dari belakang tabir, atau dengan mengirimkan seorang utusan, untuk mewahyukan apa yang ia kehendaki dengan seizin Nya. Sungguh dia maha tinggi lagi maha bijaksana”
Jadi menurut Harun, bahwa penyampaian wahyu Tuhan itu melalui tiga cara, yaitu; melalui jantung hati seseorang dalam bentuk ilham, dari belakang tabir sebagai yang terjadi dengan Nabi Musa, dan melalui utusan yang dikirim dalam bentuk malaikat.
Jiaka demikian, maka proses penyampain wahyu ini menurut hemat penulis adalah sesuatu yang abstrak, dan sesuatu yang metafisik, yang tidak bisa dilihat dan dirasa oleh panca indera dzahiriyah. Dengan artian ada proses komunikasi antara sesuatu yang berbentuk fisik dan yang berbentuk metafisik atau dengan kata lain sesuatu yang berupa materi dengan im materi.
Adanya komunikasi antara sesuatu yang bersifat materi dan im materi juga disinggung oleh Harun Nasution. Sebagai yang telah digambarkan di atas dalam konsep wahyu terkandung pengertian adanya komunikasi antara Tuhan, yang bersifat im materi dan manusia yang bersifat materi. Falsafah dan mistisisme mengakui adanya komunikasi semacam itu.[73] Namun yang jadi permaslahan ketika Harun Nasution menawarkan konsep seperti itu agaknya ada pertentangan. Sebab, jika ditinjau dari perkembangan masalah materi dan im materi ini, pertanyaan tentang bagaimana sesuatu yang im materi bisa berubah menjadi materi, tidaklah lagi relevan.
Namun permasalahan semacam itu bisa dijawab melalui argumentasi yang ditawarkan oleh Al-Farobi, seorang filosof yang hidup di abad kesembilan dan kesepuluh masehi. Menurut al-Farobi konsep im materi berubah menjadi materi ini dalam falsafah penciptaan alam semesta yang dikenal dengan falsafat emanasi atau pancaran. Tuhan memancarkan akal-akal yang bersifat abstrak murni dan akal seperti itu adalah daya fikir. Dari daya-daya inilah selanjutnya memancar alam materi, antara lain , bumi yang kita huni ini. Disini kita lihat konsep Tuhan, sebagai sumber energi, memancarkan energi, dan energi ini memadat menjadi materi.[74]
Dalam pada itu para psikologi menyebutkan adanya Extrasensory Perception, diringkas ESP, yang dapat diartikan penyerapan atau perolehan pengetahuan tidak melalui indera yang dikenal. Ada orang-orang yang dianugerahi Tuhan daya pencerapan tambahan lagi istimewa yang membuat mereka dapat menangkap dan mengetahui hal-hal yang tidak dapat ditangkap atau diketahui oleh orang-orang yang hanya mempunyai indera biasa. Dalam penjelasan J.B. Rhine, ESP mencakup telepati, mind reading (mengetahui apa yang ada dalam pemikiran orang lain) clair voyance (kesanggupan melihat apa yang biasanya tak dapat dilihat orang lain).[75]
Dikalangan kaum orientalis yang menulis tentang Islam, soal wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad ini juga banyak dibahas. Salah satu dari mereka, Tor Andrae, menjelaskan terdapat dua bentuk wahyu, pertama wahyu yang dapat diterima melalui pendengaran (auditory) dan kedua wahyu yang diterima melalui penglihatan (visualy). Dalam bentuk pertama merupakan suara yang berbicara ke telinga ataupun kehati seseorang Nabi. Dalam bentuk kedua wahyu merupakan pandangan dan gambar, terkadang jelas sekali, tapi terkadang samar-samar.[76]
Dari apa yang dijelaskan diatas, maka dapat disimpulkan bahwasannya dalam proses penerimaan wahyu oleh para nabi itu masih berkaitan erat dengan aktivitas akal, sebab akal inilah yang menjadi sasaran dalam pemberian wahyu Tuhan kepada para Nabi. Maka dalam proses ini akal tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa dilepaskan. Sebab satu-satunya  potensi yang memiliki daya untuk mengabstraksikan dan menvisualisasikan sesuatu yang bersifat metafisik itu hanyalah akal. Sehingga akal memiliki peranan penting dalam konteks ini. Tapi yang jadi masalah adalah sebuah pertanyaan; lebih tinggi manakah antara wahyu dan akal. Sehingga disini juga perlu dijelaskan tentang maslah ini.
Didalam catatan sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dalam dunia islam dijelaskan tentang adanya dialektika antara kaum teolog dalam masalah posisi akal dan wahyu. Dialektika yang terjadi diantara mereka itu berkaitan dalam masalah yang mempertanyakan manakah yang lebih tinggi antara kedudukan akal dengan wahyu?, dan apakah akal berfungsi sebagai penunjuk yang menunjukkan manusia mana yang buruk dan mana yang baik ketika wahyu belum diturunkan?.
kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa keempat masalah tersebut dapat diketahui oleh akal dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian berterimakasih pada Tuhan sebelum turunnya wahyu adalah wajib. Baik dan buruk adalah sifat esensial bagi kebaikan dan kejahatan. Kebaikan dan kejahatan wajib diketahui melalui akal dan demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk.[77] Dalah hal ini Abu Huzail dengan tegas mengatakan bahwa sebelum turunnya wahyu, orang telah berkewajiban mengetahui Tuhan; dan jika dia tidak berterima kasih kepada Tuhan, orang demikian akan mendapatkan hukuman. Baik dan jahat menurut pendapatnnya, juga dapat diketahui dengan perantaraan akal dan dengan demikian orang wajib mengerjakan yang baik, umpamanya bersikap lurus dan adil, dan wajib mengetahui yang jahat seperti berdusta dan bersikap dzalim.[78]
Sedangkan aliran Asy’ariyah sendiri menolak pendapat yang di jelaskan oleh golongan Mu’tazilah. Menurut aliran ini, segala kewajiban manusia dapat diketahui melalui wahyu. Akal tak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia. Betul akal dapat mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepadanya. Juga dengan wahyulah dapat diketahui bahwa yang patuh kepada Tuhan akan memperoleh upah dan yang tidak patuh kepada-Nya akan mendapat hukuman.[79]
Sementara al-maturidi bertolak belakang dengan pendapat Asyaa’irah dan sependakat dengan golongan Mu’tazilah, juga berpendapat bahwa akal dapat mengetahui kewajiban manusia berterimaksih kepada Tuhan. Hal ini dapat dari keterangan al-Bazdawi berikut:
Percaya kepada Tuhan dan berterimakasih kepada-Nya sebelum adanya wahyu adalah wajib dalam paham Mu’tazilah ...... al-Syaikh Abu Mansur al-Maturidi dalam hal ini sepaham dengan Mu’tazilah. Demikianlah umumnya Ulama’ samarkand dan sebagian dari alim Ulama’ Irak

Keterangan ini diperkuat oleh Abu ‘Uzbah:
Dalam pendapat Mu’tazilah orang yang berakal, muda-tua, tak dapat diberi maaf dalam soal mencari kebenaran. Dengan demikian, anak yang telah berakal mempunyai kewajiban percaya pada Tuhan. Jika ia sekiranya mati tanpa percaya pada Tuhan, dia mesti diberi hukum. Dalam Maturidiyah anak yang belum balig, tidak mempunyai kewajiban apa-apa. Tetapi Abu mansur al-maturidi berpendapat bahwa anak yang telah berakal berkewajiban mengetahui Tuhan. Dalam hal ini tak terdapat perbedaan antara Maturidiah dan Mu’tazilah.
Kalau urain al-Bazdawi, Abu ‘Uzbah dan lain-lain memberi keterangan yang jelas tentang keterangan al-Maturidi mengenai soal mengetahui Tuhan dan kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, keterangan yang demikian tidak dijumpai dalam soal baik dan buruk. Al-Bazdawi umpamanya , mengatakan bahwa akal tidak dapat mengetahui kewajiban mengerjakan  yang baik dan menjauhi yang buruk, karena akal hanya mengetahui baik dan buruk. Tetapi al-Bazdawi tidak menjelaskan apakah pendapat itu juga merupakan pendapat al-Maturidi.[80]
Dari penjelasan yang diuraikan diatas maka disini dapat disimpulkan bahwasannya perbedaan antara bebrapa golongan diatas dapat diperjelas sebagai berikut: golongan Mu’tazilah memandang akal memiliki daya dan porsi yang banyak dibandingkan wahyu, sebab wahyu itu hanya berisi informasi dan konfirmasi atas pengetahuan yang ada dalam akal. Sedangkan golongan Asyaa’irah memberikan porsi yang kecil bagi akal, sebab wahyulah yang memberi informasi tentang hukum wajib dan menjauhi hal yang buruk. Namun sekalipun kelompok-kelompok diatas berbeda dalam memberikan porsi pada akal, tapi, kelompok-kelompok itu masih berpegang terhadap wahyu sebab wahyu adalah sesuatu yang suci.
Sebenarnya yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam pada dasarnya bukanlah akal dengan wahyu, baik oleh kaum Mu’tazilah, Asyaa’irah, dan golongan filosof Islam. Yang dipertentangkan adalah penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan penafsiran yang lain dari teks itu juga. Jadi yang bertentangan sebenarnya dalam Islam adalah pendapat akal Ulama’ tertentu dengan pendapat akal Ulama’ lain tentang penafsiran wahyu, dengan lain kata Ijtihad Ulama’ dengan Ijtihad Ulama’ lain.[81]
Dalam pada itu perlu ditegaskan bahwa pemakain kata-kata rasional, rasionalisme, dan rasionalis dalam Islam harus dilepaskan dari arti kata sebenarnya, yaitu percaya pada rasio semata-mata dan tak mengindahkan wahyu dan membuat akal lebih tinggi dari wahyu sehingga wahyu dapat dibatalkan oleh akal. Dalam pemikiran Islam, sebagai telah dilihat dalam urain yang diberikan diatas, baik dibidang falsafat dan ilmu kalam, apalagi dibidang ilmu fikih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk kepada wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar secara absolut. Akal dipakai hanya untuk memahami teks wahyu dan sekali-kali tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi.[82]

c.    Universalitas Islam
Islam merupakan satu-satunya agama yang nilai-nilai ajarannya bersifat universal, sebab Islam tidak hanya membicarakan tentang masalah aspek-aspek ritual, seperti; ibadan dan keimanan. Namun, lebih dari itu islam juga menjelaskan tentang kehidupan sosial – masyarakat, seperti; perekonomian, ketatanegaraan, politik, sosial, dan lain sebagainya, sekalipun yang dibicarakan dalam nilai-nilai Islam tersebut hanya hal-hal yang pokok – pokok  saja.
Menurut perkiraan ahli-ahli hanya kurang lebih 500 ayat dari seluruh ayat al-Qur’an, atau delapan persen yang mengandung ketentuan – ketentuan tentang iman, ibadah dan hidup kemasyarakatan. Ayat – ayat mengenai ibadah berjumlah 140, dan mengenai sosial – masyarakat 228. Perincian mengenai kelompok terakhir sebagaiberikut[83]:
Tentang Ayat
Jumlah Ayat
Hidup kekeluargaan, perkawinan, percerain, hak waris dan sebagainya
70 ayat
Hidup perdagangan, gadai, perekonomian, jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, perseroan, kontrak, dan sebagainya
70 ayat
Soal pidana
30 ayat
Hubungan orang Islam dengan orang bukan Islam
25 ayat
Soal pengadilan
13 ayat
Hubungan orang kaya dengan orang miskin
10 ayat
Masalah ketatanegaraan
10 ayat

Dilihat dari urai diatas maka kita bisa mengetahui bahwa Islam adalah agama yang bersifat universal. Sebagai agama Universal, Islam mengandung ajaran-ajaran dasar yang berlaku untuk semua tempat dan untuk semua zaman. Ajaran-ajaran dasar yang bersifat universal, absolut, mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak boleh diubah jumlahnya menurut ulama’ kurang lebih 500 ayat atau 14% dari seluruh ayat al-Qur’an perincian maksud dan penjelasan ajaran-ajaran dasar yang terkandung al-Qur’an itu disesuaikan dengan situasi dan kondisi tempat pada zaman tertentu. Dengan demikian timbullah aliran – aliran dan mazhab – mazhab dalam ajaran – ajaran Islam.[84]
Contoh keuniversalan ajaran Islam, ditinjau dari zaman, adalah konsep musyawarah yang disebut dalam al-Qur’an. Ayat mengatakan bermusyawaralah dengan mereka. Penjelasan tentang musyawarah tidak ada dalam al-Qur’an. Maka dalam sistem pemerintahan monarki Islam masa silam, musyawarah dilaksanakan melalui raja dengan meminta pendapat dari pembantu-pembantu dekatnya, dan setelah mempertimbangkan pendapat – pendapat itu ia mengambil keputusan. Dizaman demokrasi pemerintah republik yang sekarang umum terdapat pada pemerintahan Islam , musyawarah dilakukan oleh DPR. Dalam pada itu pengambil keputusan berbeda – beda pula dari satu negara kenegara Islam lainnya. Kita di Indonesia memakai sistem mufakat, sedang didunia Islam lain dipakai suara terbanyak.[85]
Keuniversalan Islam juga digambarkan oleh ilmu yang dikembangkan ulama zaman klasik, yaitu zaman antara abad kedelapan dan ketiga belas masehi. Seperti dibuktikan oleh sejarah, yang dikembangkan oleh ulama’ Islam pada saat itu bukan hanya ilmu-ilmu seperti tafsir, hadis, fikih, tauhid, tasawuf, dan lain-lain, tetapi mereka juga mengembang ilmu-ilmu keduniaan yang sekarang kita sebut sains, seperti ilmu kedokteran, matematika, astronomi, kimia, optika, geografi, dan sebagainya.[86]

D.  Pembahasan Yang ke Tiga
1.    Analisa Perbandingan; pemikiran M. Abduh dan Harun Nasution tentang Konsep Rasional.
Dalam pemikiran M. Abduh dan Harun Nasution, sungguhpun akal dapat mengetahui adanya Tuhan, dapat mengetahui bahwa manusia wajib beribadat dan berterima kasih kepada-Nya tetapi akal tak sanggup mengetahui semua sifat-sifat Tuhan dan tak dapat mengetahui cara yang sebaiknya beribadat kepada-Nya . wahyulah yang menjelaskan kepada akal cara beribadat dan berterima kasih kepada Tuhan. Dan akal juga tidak dapat mengetahui perincian dari kebaikan dan kejahatan fungsi wahyu yang lain dalah menguatkan pendapat akal melalui sifat sakral dan absolut dalam wahyu.
Dari pemikiran M. Abduh dan Harun Nasution yang penulis sampaikan, tak salah kiranya bilamana penulis memberikan sedikit tanggapan sebagai garis besarnya. Bahwa semua agama diturunkan oleh Tuhan kepada manusia, sebagai makhluk yang berakal. Tak ada satu agamapun yang diturunkan kepada hewan dan binatang. Hal ini dimaksudkan karena kemampuan akallah yang bisa memberikan pemahaman dan interpretasi terhadap teks Tuhan. Disinilah letak kelebihan Manusia dengan makhluk lain. Kitab suci yang telah turun ribuan tahun yang lalu dalam konteks tertentu tak mungkin dan tak mampu menyapa ummat sekarang dalam ruang dan waktu yang telah berubah secara total, tanpa melalui sebuah penalaran dan pemikiran terhadapnya.[87]
Ada banyak hal yang sebenarnya sangat tidak tepat jika mengesampingkan optimalisasi akal. Dr. Zaki Najib Mahmud menyatakan, bahwa akal adalah gerakan yang menimbulkan perpindahan dari menyaksikan (syahid) kepada yang disaksikan (masyhud alaih) dari premis dan konklusi, dari perantara pada tujuan. Maka menurutnya tanpa adanya gerak perpindahan itu, tidak ada nada yang disebut ‘Aqal.[88]
Karena agama diturunkan kepada makhluk yang berakal, maka Tuhan menghendaki agar ayat-ayat diturunkannya bisa dibaca, ditafsirkan dengan potensi akalnya. Ummat Islam kini telah menyakini, bahwa Tuhan sudah tidak mungkin menurunkan lagi teks-teks suci kepada manusia. Sementara zaman terus berkembang tak bisa dikendalikan oleh teks suci agama manapun. Maka teks agama harus diberik makna metaforis agar berkembang mengikuti perkembangan zaman. Sehingga ia tetap menjadi pegangan bagi ummat manusia. Mandat sebagai khalifah telah mengukuhkan manusia sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap al-Qur’an.[89]

2.    Persamaan dan Perbedaan konsep rasional M. Abduh dan Harun Nasution
Setiap manusia diciptakan oleh Allah berbeda-beda[90] dalam aspek apapun, tidak terkecuali dengan perkembangan akal manusia. Oleh karenya produk pemikiran yang ditelorkan oleh masing-masing individu juga pasti berbeda sebab perbedaan daya akalnya. Terkadang tidak sedikit produk pemikiran seseorang itu disebabkan karena konteks masa dan kondisi dimana dia hidup, sehingga latar belakang seperti ini juga bisa mempengaruhi perbedaan paradigma berfikir tiap-tiap orang. Hal ini juga terjadi pada kedua tokoh yang penulis bahas ini. Karena perkembangan akal yang berbeda dan konteks masa serta kondisi dimana kedua tokoh ini hidup berbeda maka tidak menutup kemungkinan konsep yang ditawarkan oleh mereka berbeda, sekalipun ada aspek-aspek kesamaannya. Disini penulis akan menjelaskan segi persamaan dan perbedaan diantara kedua tokoh tersebut.
a.    Segisegi persamaan
1.    Dalam pembahasan akal dan wahyuoleh kedua tokoh ini, diarahkan untuk mengembalikan pengertian yang tepat terhadap Islam. Dimana sebelumnya terjadi pemahaman dan pelaksanaan yang menyimpang. Penyimpangan tersebut dalam bentuk memadamkan cahaya Islam, dimana Islam diterapkan secara taklid buta dan  terjadinya bid’ah yang melanda masyarakat.
2.    M. Abduh dan Harun Nasution dalam pemikirannya selalu bersumber kepada al-Qur’an dan Hadis. Karena menurut keduanya akal dan wahyu berjalan serasi.
3.    Baik Harun Nasution ataupun M. Abduh, akal itu sebagai alat untuk mengetahui sesuatu dan mencapai sesuatu yang mungkin ada dan sesuatu yang wajib ada. Dan akal juga merupakan jalan dalam mencapai sesuatu ilmu terhadap barang yang mustahi adanya. Sedangkan mengenai wahyu menurut mereka adalah sebagai berita dan pemberitahuan secara rahasia.
4.    Kedua tokoh ini menghendaki tatanan masyarakat Islam yang lepas dari sikap taklid. Yaitu taklid akan membawa manusia kearah peradaban yang kacau, sebab daya kreasi manusia diikat oleh doktrin yang manusia tidak tahu asal usulnya.
5.    Pemikiran keduanya berangkat dari ide. Keduanya terkenal dengan julukan tokoh pembaharuan. M. Abduh (Mesir, yang sekarang tokoh pembaharu Ummat Islam), dan Harun Nasution (Indonesia) yang gerak berangkatnya “sosial kemasyarakatan dan bidang pendidikan” sehingga terlihat sekali arah pembaharuannya yaitu menghendaki suatu tatanan masyarakat yang dinamis, yang dalam hidupnya dianugerahi nilai-nilai Agama.
6.    M. Abduh dan Harun Nasution adalah seorang pengajar dan pendidik. Mereka mempunyai obsesi membebaskan pemikiran dari ikatan taklid dan memahami ajaran Agama sesuai dengan jalan yang ditempuh ualama zaman klasik, yaitu zaman sebelum timbulnya perbedaan-perbedaan faham, yaitu dengan kembali kepada sumber-sumber Agama.
b.      Segi perbedaan
1.    M. Abduh dalam memberikan penjelasan mengenai akal lebih terperinci dan mendetail, begitu juga sebaliknya mengenai wahyu. Kadang-kadang orang mengalami kesulitan dalam menebaknya. Kadang-kadang kelihatannya pengagungannya terhadap akal itu tinggi seperti golongan Mu’tazilah. Disisi lain sikapnya menunjukkan seperti Asy’ariah. Sedangkan Harun dalam menjelaskan akal dan wahyu lebih bersifat modern dan dapat secara jelas diterima oleh pembaca. Karena Harun menginginkan Ummat Islam berfikir modern dan kritis.
2.    Menurut M. Abduh ilmu teologi adalah ilmu yang membahas wujud Allah, sifat-sifat Nya, dan masalah kenabian. Sementara menurut Harun Nasution, definisi yang ditawarkan Abduh itu kurang lengkap. Alam ini adalah ciptaan Tuhan, oleh karena itu teologidisamping hal-hal diatas juga memuat hubungan Tuhan dengan Makhluknya.
3.    Kondisi sosial kultural dimana M. Abduh menetap di Mesir sangat kondusif untuk menyebarkan ide-ide pembaharuannya. Hal ini disebabkan oleh kareana ide-ide pembahruan sudah banyak ditanamkan di Mesir oleh para pembaharunya. Sementara itu kondisi di Indonesia (negara yang ditempati Harun Nasution) tidak kondusif dan masih banyak masyarakat yang berfikir kolot. Kondisi ini diperparah oleh pemerintah setempat yang menuduhnya sebagai orang yang telah kelewatan menggunakan akalnya. Hal ini disebabkan oleh ide-ide pembaharuan yang dilontarkannya.
Demikianlah penjelasan tentang aspek persamaan dan perbedaan pemikiran yang ditawarkan oleh kedua tokoh yang berbeda dari segi masa dan kondisi dimana mereka tumbuh.
E.  Kesimpulan
Setelah diuraikan secara sistematis dalam sub-sub pembahasan diatas, maka disini penulis bisa menyimpulkan bahwasannya konsep rasional yang mereka tawarkan adalah dalam rangka memahami nilai-nilai ajaran Islam baik itu yang terdapat dalam al-Qur’an ataupun Hadis. Dan dalam hal ini yang menjadi alat yangterpenting dalam memahami kedua sumber itu adalah Akal. Dimana akal ini digunakan semaksimal mungkin untuk mengaktualisasikan serta mengkonseptualisasikan nilai-nilai ajaran Islam baik al-Qur’an atau hadis sehingga relevan dengan perkembangan kehidupan manusia yang selalu dinamis, dan bisa menjawab problematika yang dihadapi oleh ummat.
Konsep rasional dalam memahami nlai-nilai ajaran Islam dengan aktivitas akal sebagai fondasinya bertujuan untuk memerangi sikap fatalisme atau kejumudan yang membudaya di masyarakat Islam yang mana hal ini menyebabkan masyarakat Islam tidak mau menggunakan potensi akalnya dan hanya melakukan taklid secara membabi buta, yang pada akhirnya hal ini menadi sebab atas kemunduran agama Islam dalam kebudayaan dan peradaban.
Dalam memahami ajaran agama kedua tokoh diatas menyeru supaya ummat islam mengembalikannya kepada dua sumber orisinilnya yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah, dan meninggalkan bentuk-bentuk praktek keagamaan yang mengantarkan ummat islam pada jurang kebid’ahan dan kekhurafatan.
Namun sekalipun kedua tokoh tersebut dalam menawarkan konsep rasional dalam memahami nilai-nilai ajaran agama. Kedua tokoh itu memberikan tawaran supaya tidak meninggalkan wahyu, sebab fungsi wahyu menurut mereka adalah pemberi informasi dan mengkonfirmasi pengetahuan yang di lalui melalui proses aktivitas akal. Namu demikian tidak terlalulu tunduk pada teks-teks keagamaan, sebab kedua tokoh itu menjelaskan bilaman ada teks keagamaan yang bersifat dzanny bertentangan dengan akal, maka harus diinterpretasi agar relevan dengan pandangan akal.




[1] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1975), hlm. 11
[2] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1975), hlm. 11
[3] Rasionalisme (Rasional) adalah pandangan bahwa akal memiliki kekuatan independen untuk dapat mengetahui dan mengungkapkan prinsip-prinsip pokok dari alam, atau terhadap sesuatu kebenaran yang menurut logika, berada sebelum pengalaman, tetapi tidak bersifat analitik. Lihat Pius A Partanto dan M. Dahlan al-Barry, dalam Kamus Ilmiyah Populer (Surabaya: Arkola, 2001), hlm.653-654. Lihat juga Loreus Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 929
[4][4] Istilah Qath’iyat al-Wurud merupakan istilah dalam ilmu Ushul al-Fikih. Pada dasarnya kata tersebut terdiri dari dua kata yang dijadikan satu, sedangkan yang dimaksud dengan kata Qath’iy itu sendiri adalah sesuatu yang menunjuk pada makna tertentu yang harus dipahami darinya dan tidak mengandung kemungkinan takwil. Sehingga jika term ini disatukan dengan kata al-Wurud maka akan menghasilkan pengertian sesuatu yang bersifat absolut yang datangnya benar-benar dari Allah. Lihat diantaranya Wahbah al-Zuhaili dalam al-Ushu al-Fiqh al-Islami ataw Abd al-Wahhab Khallaf dalam ilmu Ushu al-Fiqh
[5] Jika tadi yang dimaksud dengan istilah Qath’iyat al-Wurud sebagaimana yang dimaksud diatas, maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan istilah Qath’iy al-Dalalah adalah sesuatu yang artinya sudah pasti, jelas, dan absolut yang tidak memungkinkan untuk ditakwil. Lihat diantaranya Wahbah al-Zuhaili dalam al-Ushu al-Fiqh al-Islami ataw Abd al-Wahhab Khallaf dalam ilmu Ushu al-Fiqh
[6] Harun Nasution, Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hlm.9
[7] Jainuri, Ideologi Kaum Reformis melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiah Periode awal, (Surabaya: Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat/LPAM, 2002). Hlm.41
[8] A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern Di Timur Tengah, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1995), hlm. 429
[9] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1975), hlm.58
[10] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1975), hlm.59
[11] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1975), hlm.60
[12] Al-Sanusiayah merupakan gerakan tarekat dalam aspek tasawuf yang dipelopori oleh Muhammad bin Ali al-Sanusi yang merupakan pemimpin Islam di Afrika Utara. Tarekatnya bebas dari syirik dan khurafat. Beliau menyeru kepada ijtihad dan memerangi taklid. Gerakan ini terpengaruh oleh pemikiran Ahmad bin Hambal dan Syaikh al-Islam Ibnu Taimiah.
[13] A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern Di Timur Tengah, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1995), hlm. 434
[14] Jamaluddin al-Afghani merupakan tokoh pembaharuan dalam Islam yang tempat tinggal dan aktivitasnya berpindah dari satu negara Islam ke negara Islam lainnya. Pengeruh terbesarnya ditinggalkan di Mesir. Beliau lahir di Afghanistan tahun 1839 dan meninggal dunia di Instanbul di Tahun 1897. Lihat dalam Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1975), hl. 51
[15] A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern Di Timur Tengah, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1995), hlm. 441

[16] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1975), hlm.61
[17] Revolusi Urabi Pasya adalah tentara, perwira-perwira yang berasal dari mesir berusaha mendobrak kontrol yang diadakan oleh perwira-perwira Turki dan Sarkas yang selama ini menguasai tentara Mesir. Setelah berhasil dalam usaha ini, mereka dalam pimpinan Urabi Pasya juga dapat menguasai pemerintahan. Pemerintahan yang berada dalam golongan nasionalis ini, menurut Ingris adalah berbahaya bagi kepentingannya di Mesir. Untuk menjatuhkan Urabi Pasya , Inggris di Tahun 1882 membom Alexandria dari laut, dan dalam pertempuran yang kemudian terjadi, kaum Nasionalis Mesir dengan lekas dapat dikalahkan Ingris, dan Mesirpun berada dibawah kekuasaan Inggris. Lihat, Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1975), hlm.61
[18] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1975), hlm.61
[19] Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI PRESS, 1987), hlm.18
[20] Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI PRESS, 1987), hlm.18
[21] Dewan Eseklopedia Islam, Enseklopedia Islam, Juz 3, cet.I (Jakarta: Penerbit Ichtiar Baru Van Hoove, 2001), hl. 258
[22] Kata jumud mengandung arti keadaan membeku, keadaan statis, tak ada perobahan. Dengan kata lain masa-masa jumud adalah masa dimana Ummat Islam berda dalam kondisi stagnasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan, pemikiran, filsafat dan lain sebagainya. Sebab pada masa itu diyakini dimana pintu ijtihad ditutup. Lihat Harun Nasution dalam, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1975), hlm. 62
[23] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1975), hlm. 62
[24] Mohammad dkk, Tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh pada abad 20, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 228
[25] Materi akal dalam al-Qur’an terulang sebanyak 49 kali, semuanya datang dalam bentuk fi’il mudhari’ kecuali satu. Terutama yang bersambung dengan wawu jama’ seperti bentuk ta’qilun atau ya’qilun. Kata kerja ta’qil terulang sebanyak 24 kali, dan kata ya’qil terulang sebanyak 22 kali, sementara kata ‘aqala, na’qilu, dan ya’qilun masing-masing terdapat satu kali. Lihat dalam Yusuf Qardhawi, al-‘Aql wa al-‘Ilm fi al-Qur’an, diterjemahkan oleh al-Kattani dkk dengan judul akal dan ilmu dalam al-Qur’an (Jakarta: Gema Insani, 1998), hlm. 19
[26] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1975), hlm. 65
[27] M. Muhaimin, Ilmu Kalam sejarah dan aliran-aliran, (Semarang: Fak. Tarbiyah IAIN Semarang, 1999), hlm. 194
[28] Muhammad Abduh, Risala al-Tauhid, (Syiria: Dar al-Syuruuq, 1994), hlm. 57
[29] Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI PRESS, 1987), hlm. 44
[30] Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI PRESS, 1987), hlm. 44
[31] Kahawas adalah orang-orang yang khusus, utama dan mulia, karena di anugerahi pemikiran yang cemerlang dan tidak tergesa-gesa dalam mengambil kesimpulan, sehinnga orang-orang seperti ini dikategorikan orang yang istimewa dan utama. Sedangkan awam adalah kebalikan dari pada khawas. Lihat dalam Pius A Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer , (Surabaya: Arkola, 2001), hlm. 340
[32] Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI PRESS, 1987), hlm. 53
[33] Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI PRESS, 1987), hlm. 47
[34] Muhammad Abduh, al-Islam Din al-‘Ilm wa al-Madaniyah, diterjemahkan oleh Muhammad Fadhilah dan Muhammad Abqary dengan judul: Islam Ilmu Pengetahuan dan Masyarakat Madani, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2005), hlm. LXI
[36] Muhammad Abduh, Risala al-Tauhid, (Syiria: Dar al-Syuruuq, 1994), hlm. 144
[37] Nur Lelah Abbas, sistem Pemikiran Teologi Muhammad Abduh, (subuah Journal yang diterbitkan UIN Alauddin Makasar, t.th), hlm. 57
[38] Harun Nasution, Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Penerbit Mizan, 1995), hlm.139
[39] Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Jilid I, (Bandung: Penerbit Mizan, 2002), hlm. 13
[40] Harun Nasution, Falsafah Agama, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1973), hlm. 186
[41] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1975), hlm. 66
[42] Zaman dimana pada zaman itu belum diciptakan alam dan isinya oleh Allah, yang ada pada masa itu hanya sesuatu yang berupa non materi. Disitu hanya terdapat ide-ide pokok Tuhan saja. Lihat antara lain dalam William C Chittik, Dunia Imajinal Ibn ‘Arabi, ()
[43] Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI PRESS, 1987), hlm. 64
[44] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1975), hlm. 66
[45] Muhammad Abduh, Risala al-Tauhid, (Syiria: Dar al-Syuruuq, 1994), hlm. 74
[46] Muhammad Abduh, Risala al-Tauhid, (Syiria: Dar al-Syuruuq, 1994), hlm. 74
[47] Mohammad dkk, Tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh pada abad 20, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 228
[48] Muhammad Abduh, Risala al-Tauhid, (Syiria: Dar al-Syuruuq, 1994), hlm. 77
[49] Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Karim al-Mustahir bi al-Ism bi al-Tafsir al-Mannar, Jilid IV (Cairo: Dar al-Mannar, 1948), hlm. 195
[50] Mohammad dkk, Tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh pada abad 20, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 228
[51] Mohammad dkk, Tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh pada abad 20, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 229
[52] A. Hanafi, pengantar Teologi Islam (Jakarta: PT. Al husna Dzikra, 2001), hlm. 158
[53] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1975), hlm. 64
[54] Nurlaelah Abbas dalam Muhammad Abduh; Konsep Rasionalisme Dalam Islam (Journal Dakwah Tabligh, Vol 15, No.1, Juni 2014), hlm. 60
[55] Nurlaelah Abbas dalam Muhammad Abduh; Konsep Rasionalisme Dalam Islam (Journal Dakwah Tabligh, Vol 15, No.1, Juni 2014), hlm. 61
[56] Nurlaelah Abbas dalam Muhammad Abduh; Konsep Rasionalisme Dalam Islam (Journal Dakwah Tabligh, Vol 15, No.1, Juni 2014), hlm. 61
[57] Nurlaelah Abbas dalam Muhammad Abduh; Konsep Rasionalisme Dalam Islam (Journal Dakwah Tabligh, Vol 15, No.1, Juni 2014), hlm. 61
[58] M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Qur’an; Studi Kritis Tafsir al-Mannar, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2004), hlm. 19
[59] Zaim Uchrawi dan Ahmadie Taha (Penyunting), Menyeru pemikiran rasional Mu’tazilah dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam; 70 Tahun Harun Nasution (Jakarta: Panitia Penerbitan Buku dan Seminar 70 Tahun Harun Nasution dan Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989), hlm. 3 - 5
[60] Penulis belum menemukan namanya. Dalam biografi yang dituliskan Harun Nasution di buku Refleksi diatas, ia tidak menyebutkan nama ibunya. Adat mandaing sebenarnya melarang perkawinan satu marga. Akan tetapi Abd al-Jabbar Ahmad melawan adat karena beliau mengetahui dalam Islam hal itu dibolehkan.
[61] Harun Nasution, Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran, (bandung: Penerbi Mizan, 1995), hlm. 5
[62] Harun Nasution, Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran, (bandung: Penerbi Mizan, 1995), hlm. 6
[63] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme , (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1978), hlm. i
[64] Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: UI PRESS, 1986), hlm. 16 - 17
[65] Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: UI PRESS, 1986), hlm. 12
[66] Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: UI PRESS, 1986), hlm. 71
[67] Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI PRESS, 1987), hlm. 71 - 73
[68] Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI PRESS, 1972), hlm. 80
[69] Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: UI PRESS, 1986), hlm.81

[70] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, (Jakarta: UI PRESS, Jilid I, 2001), hlm. 28
[71] Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: UI PRESS, 1986), hlm.15
[72] Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: UI PRESS, 1986), hlm. 15 - 16
[73] Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: UI PRESS, 1986), hlm. 17
[74] Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: UI PRESS, 1986), hlm. 20
[75] Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: UI PRESS, 1986), hlm. 20 - 21
[76] Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: UI PRESS, 1986), hlm. 22
[77] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI PRESS, 1985), hlm. 82
[78] Abu al-Fath Abd al-Karim ibn Abu Bakr Ahmad al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Kairo: Dar al-Fikr, 1951), hlm. 52
[79] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI PRESS, 1985), hlm. 83 - 84
[80] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI PRESS, 1985), hlm. 88 - 90
[81] Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: UI PRESS, 1986), hlm. 102
[82] Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: UI PRESS, 1986), hlm. 101
[83] Harun Nasution, Islam rasional; Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Penerbit Mizan, 1995), hlm. 26 - 27
[84] Harun Nasution, Islam rasional; Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Penerbit Mizan, 1995), hlm. 33
[85] Harun Nasution, Islam rasional; Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Penerbit Mizan, 1995), hlm. 34
[86] Harun Nasution, Islam rasional; Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Penerbit Mizan, 1995), hlm. 34
[87] Ali Usman, Kebebasan dalam Perbincangan Filsafat Pendidikan dan Agama, (Yogyakarta: Pilar Media, 2006), hlm. 135
[88] Abdul Salim Mukmin, Pemikiran Islam antara akal dan Wahyu (Jakarta: Media Tamasarana, 1988), hlm. 5
[89] Abdul Salim Mukmin, Pemikiran Islam antara akal dan Wahyu (Jakarta: Media Tamasarana, 1988), hlm. 137
[90] Tentang perbedaan ini sebenarnya telah dijelaskan dalam firman Allah: وَمِنْ آَيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, dia menciptakan langit dan bumidan perbedaan bahsa mu dan warna kulitmu sesungguhnya didalam hal yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang mengetahui ” dari ayat ini sudah menjadi takdir Allah bahwasannya Allah menciptakan makhluk itu berbeda-beda, yang pada akhirnya berkorelasi dengan perintah Allah supaya saling mengenal. Lihat antara lain dalam M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah

No comments:

Post a Comment