PENDEKATAN ISLAM RASIONAL; KAJIAN ATAS
PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH DAN HARUN NASUTION
Anis
Jamil Mahdi 16771008
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Program Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang
A. Dasar Pemikiran
Dalam Bahasa Indonesia
telah selalu dipakai kata modern, modernisasi, dan modernisme, seperti yang
terdapat umpamanya dalam aliran-aliran modern dalam islam dan Islam dan
modernisasi. Modernisme dalam masyarakat barat mengandung arti fikiran, aliran,
gerakan dan usaha untuk merubah faham-faham, adat-istiadat, institusi-institusi
lama, dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan
oleh kemajuan ilmu-pengetahuan dan teknologi modern.[1]
Bertolak dari urain
diatas, maka dapat diperjelas bahwasannya dalam melakukan pembaharuan atau
modenisasi dalam nilai-nilai ajaran apapun tidak bisa dipisahkan dan dilepaskan
dengan kemampuan atau potensi akal. Hal semacam ini juga berlaku dalam
nilai-nilai ajaran Islam. Oleh karenanya dalam melakuakan tajdid (pembaharuan/modernisasi)
dalam nilai-nilai ajaran Islam, yang paling utama untuk dilakukan adalah
merekonstruksi paradigma berfikir, cara pandang serta pendekatan dalam memahami
ajaran-ajaran Islam tersebut. Dan untuk merealisasikan itu semua membutuhkan
kemampuan logika, akal dan rasionalisasi dalam memahami teks-teks ajaran islam
tersebut.
Dalam lintas sejarah,
pada dasarnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern memasuki dunia
Islam sesuadah pembukaan abad kesembilan belas, yang dalam sejara Islam dipandang
sebagai permulaan periode modern. Kontak dunia barat selanjutnya membawa
ide-ide baru ke dunia Islam seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi dan
sebagainya.[2]
Pemikiran rasional[3]
ini dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tentang tingginya kedudukan
akal seperti terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis. Persepsi ini bertemu dengan
persepsi yang sama dari yunani melalui filsafat dan sains Yunani. Dalam
pemikiran rasional Agamis manusia punya kebebasan dan akal mempunyai kedudukan
tinggi dalam memahami ajaran-ajaran al-Qur’an dan Hadis. Kebebasan akal hanya
terikat pada ajaran-ajaran absolut kedua sumber utama islam itu, yakni
ajaran-ajaran yang disebut dengan istilah qath’iya al-Wurud[4]
dan qath’iyat al-Dalalah[5].
Maksud ayat al-Qur’an dan Hadis ditangkap sesuai dengan pendapat akal. Dengan
demikian timbullah interpretasi yang bercorak majazi atau metaforis dari
teks-teks ajaran-ajaran dasar yang terdapat dalam kedua sumber itu.[6]
Dengan kata lain, dalam
pemikiran Rasional agamis diusahakan pemahaman ayat dan hadis sedemikian
sehingga sesuai dengan pendapat akal dengan syarat tidak bertentangan dengan
ajaran absolut tersebut diatas. Dari sinilah pada akhirnya muncul aliran-aliran
teologi modern, dan salah satu ciri pemikiran teologi modern adalah rasioanal.
Banyak tokoh Islam yang melakukan pemikiran itu diantaranya adalah Muhammad
Abduh dan Harun Nasution. Mereka berdua merupakan tokoh modernis yang
menghargai akal dan tetap memegang teks-teks keagamaan, meskipun ia tidak
menghambakan diri pada teks-teks agama tersebut.
Pada dasarnya paradigma
yang mendasari proses pembaharuan didunia Islam terutama didasrkan pada argumen
bahwa prinsip dasar Islam mengandung benih-benih agama rasional, kesadaran
sosial dan moralitas yang bisa menjadi dasar kehidupan modern. Rasionalitas
juga dilihat mampu menciptakan elit keagamaan yang bisa mengartikulasikan dan
menafsirkan makna nilai-nilai Islam yang sesungguhnya dan karenanya memberikan
fondasi bagi lahirnya masyarakat baru. Khususnya didunia Islam.[7]
Dalam melakukan reformis
pemikiran, Muhammad Abduh dan Harun Nasution mencoba mengintegrasikan kekuatan
akal dengan wahyu illahi baik itu al-Qur’an ataupun Hadis. Dengan artian
mengkombinasikan antara kelompok yang berpegang teguh pada kejumudan taqlid
dan mereka yang berlebihan mengikuti rasionalisme kaum barat atau
menyeimbangkan paradigma pemikiran kaum tradisionalis dengan paradigma
pemikiran kaum rasional modernis. Sebagaimana hal ini diungkapkan oleh Muhammad
Abduh dalam metode pembaharuannya: sesungguhnya aku menyeru kepada kebebasan
berfikir dari ikatan belenggu taqlid dan memahami agama melalui sumber aslinya
yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah.
Dalam tulisan ini
penulis akan mencoba menjelaskan tentang konsep rasioalisasi dalam memahami
ajaran-ajaran Islam yang ditawarkan oleh Muhammad Abduh dan Harun Nasution dan
pada akhirnya disini penulis akan membuat perbandingan dari kedua tokoh
tersebut. Dengan mencoba menjelaskan persamaan dan perbedaan dalam masalah
konsep rasionalisasi yang ditawarkan oleh mereka berdua.
Sebelum mengarah pada pembahasan, maka
ada baiknya disini penulis menjelaskan tentang sistematika penulisannya, agar
pembahasannya terarah. Dalam pembahasan mengenai konsep rasionalisme yang
ditawarkan oleh Muhammad Abduh meliputi pemikiran beliau dalam bidang akidah
yang terdiri dari dua hal, yaitu: akal dan wahyu, kebebasan manusia.
Selanjutnya dalam bidang hukum. Kemudian dalam pembahasan konsep rasionalisme
yang ditawarkan oleh Harun Nasution meliputi, akal dan wahyu, serta
universalitas Islam. Namun dalam pembahasan kedua tokoh ini akan diawali dengan
pembahasan tentang biografi dari masing-masing tokoh. Hal ini penting sebab
dengan mengetahui biografi mereka, kita akan mengetahui faktor-faktor yang
melatarbelakangi tokoh-tokoh tersebut dalam melakukan pembaharuan pemikiran.
B. Pembahasan Pertama
1.
Biografi
Muhammad Abduh (1849 - 1905)
Orang
beasar tumbuh karena dua unsur pokok: persiapan yang naluri- atau dengan
perkataan lain, wataknya yang diwarisi dan keadaan sekitar dimana ia hidup.
Orang seperti pohon, yang baik pasti yumbuh dari biji yang baik dan mendapatkan
tanah, udara, dan air yang cocok untuknya. Apa bila bijinya itu jelek, maka
tidak ada harapan bagi pohon itu untuk baik. Demikian juga keadaannya, apabila
bijinya baik tetapi makanannya jelek. Bagaimanapun juga Muhammad Abduh telah
mewarisi sifat-sifat yang ada padanya dan keadaan sekitarnya mendukung
tumbuhnya sifat-sifat itu. Diantara sifat-sifat utama yang ia warisi adalah
kecerdasan, percaya kepada diri sendiri, ulet dalam menghadapi kesulitan,
ditambah dengan keinginan untuk maju dan cinta kasih.[8]
Beliau lahir disebuah desa di Mesir Hilir. Di Desa
mana tidak dapat diketahui pasti, karena ibu bapaknya adalah orang desa biasa
yang tidak mementingkan tanggal dan tempat lahir anak-anaknya. Tahun 1849 adalah
tahun yang umum dipakai sebagai tanggal lahirnya. Ada yang mengatakan bahwa
beliau lahir sebelum tahun itu.[9]
Bapak Muhammad Abduh
bernama Abduh Hasan Khairullah, berasal dari Turki yang telah lama tinggal di
Mesir. Ibunya menurut riwayat berasal dari bangsa Arab yang silsilahnya
meningkat sampai ke suku bangsa Umar bin Khattab. Abduh Hasan Kharullah kawin
dengan ibu Muhammad Abduh sewaktu merantau dari des ke desa dan ketika itu ia
menetap di Mahallah Nasr, Muhammad Abduh masih dalam ayunan.[10]
Muhammad Abduh disuruh
belajar menulis dan membaca, setelah mahir ia diserahkan kepada satu guru untuk
dilatih menghafal al-Qur’an. Hanya dalam masa dua tahun, beliau dapat
menghafalkan al-Qura’an secara keseluruhan. Kemudian ia dikirim ke Thanta untuk
belajar Agama di Masjid Syaikh Ahmad di Tahun 1862, setelah dua tahun belajar,
dia merasa tidak mengerti apa-apa karena disana menggunakan metode menghafal.
Ia akhirnya lari meninggalkan pelajaran dan pulang kekampungnya dan berniat
bekerja sebagai petani. Tahun 1865 (dalam usia 16 tahu) ia pun menikah. Baru 40
hari dia menikah, ia dipaksa kembali untuk belajar di Tanta. Dia pun pergi tapi
bukan ke Tanta. Dia bersembunyi dirumah seorang pamannya, Syaikh Darwisy Khadr.
Syaikh Darwisy tahu keengganan Abduh untuk belajar, maka ia selalu membujuk
pemuda itu supaya membaca buku bersama-sama. Pada awalnya Abduh benci melihat
buku-buku itu, tetapi setelah Abduh selai membaca sebari kemudian Syaikh
Darwisy memberikan penjelasan yang sangat lauas. Setelah itu Abduhpun berubah
sikapnya sehingga ia pergi ketanta untuk meneruskan pelajarannya.[11]
Dari sini dapat
dijadikan pijakan bahwasannya ajaran Syaikh Darwisy ini sangat dominan
pengaruhnya kepada Abduh dalam pembentukan pola pikirnya. Syaikh Darwisy ini
merupakan tokoh sufi yang pemikirannya terpengaruh oleh ajaran-ajaran al-Sanusiyah[12]
yang sejalan dengan aliran wahabiyah dalam ajakan untuk kembali kepada corak
Islam yang pertama, yaitu sederhana dan bersihnya dari Bid’ah. Hal ini akibat
perjalanannya ke Tripoli Barat dan pergaulannya dengan pengikut-pengikut sanusi
disana.[13]
Yang pada akhirnya pikiran-pikiran seperti inilah yang ditawarkan oleh Abduh.
Selepas dari Tanta, ia
melanjutkan study di al-Azhar dari tahun 1869 – 1877 dan ia mendapat predikat alim
disanalah dia bertemu dengan Jamluddi al-Afghani[14]
yang kemudian menjadi muridnya yang paling setia. Dari al-Afghani Abduh belajar
logika, Filsafat dan Tasawuf. Sayyid Jamaluddin merupakan nyala api bagi Abduh
yang menyalakan kecerdasan dan kekuatan yang luar biasa bagi Muhammad Abduh.[15]
Di masa Abduh dan
Gurunya hidup, keadaan Ummat Islam mengalami kemunduran yang sangat
memprihatinkan. Dunia Islam tercabik-cabik oleh penjajah. Wilayah Islam
sebelumnya berada dalam naungan Khilafah Ustmaniyah dikapling-kapling oleh
bangsa Eropa. Pengaruh pemikiran al-Afghani terhadap Abduh begitu besar,
ide-ide pembaharuan yang dibawa al-Afghani banyak mempengaruhi Abduh. Tahun
1879 Abduh dibuang keluar kota Kairo karena dituduh turut berperan dalam
mengadakan gerakan Khadowi taufik. Hanya setahun ia dibuang, tahun 1880 ia
boleh kembali dan kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi
pemerintah mesir al-Waqaai’ al-Mishriyah[16] .
Diakhir tahun 1882, ia
lagi-lagi dibuang. Tapi kali ini ia dibuang keluar negri dan ia memutuskan
pergi ke Bairut. Alasan pembuangan ini adalah keterlibatan Abduh dalam revolusi
(pemberontakan) Urabi Pasya.[17]
Baru setahun di Beirut, dia diundang oleh al-Afghani supaya datang ke Paris
guna membentuk gerakan al-Urwat al-Wustqa. Tujuan gerakan ini adalah
membangkitkan semangat perjuangan Ummat Islam untuk menentang ekspansi Eropa di
dunia Islam. Terbitlah majalah al-Urwat al-Wustqa. Ide pemikiran berasal
dari al-Afghani, sedangkan tulisan yang mengungkapkan pemikiran itu dilakukan
oleh Abduh. Majalah tersebut hanya bertahan selama 8 bulan dengan 18 kali
terbit.[18]
Setelah itu ia berpisah dengan gurunya. Gurunya menuju Persia, ada juga yang
mengatakan ke Rusia. Sedangkan ia sendiri kembali ke Beirut pada tahun 1885 M.
Di kota ini, ia pusatkan perhatiannya pada ilmu dan pendidikan. Ia mengajar di
madrasah Sulthaniah dan dirumahnya sendiri pelajaran tauhid yang dia berikan di
Madrasah Sulthaniah tersebut menjadi dasar dari Risalah al-Tauhidnya.[19]
Sekembalinya
daripembuangan, di akhir tahun 1888, ia mualai melakukan aktivitasnya. Karirnya
dimulai menjadi hakim pengadilan negri kemudian menjadi penasehat mahkamah
tinggi. Di sela-sela kesibukannya sebagai hakim, beliau berusaha memperbaiki
pendidikan di al-Azhar. Beliau ingin membawa ilmu-ilmu modern yang sedang
berkembang di Eropa ke al-Azhar. Usahanya tidak berjalan mulus bahkan usahanya
kandas. Banyak tantangan dari Ulama’ yang berpegang teguh pada tradisi lama.
Tahun 1899, beliau diangkat menjadi mufti mesir, suatu jabatan resmi penting di
Mesir dalam menafsirkan ilmu syari’at untuk seluruh mesir. Di tahun yang sama,
beliau diangkat menjadi anggota majlis syuro. Beliau meninggal pada tanggal 11
juli tahun 1905 karena penyakit yang beliau derita yaitu kangker hati dalam
usia kurang lebih 56 tahun.[20]
Abduh meninggalkan banyak karya tulis,
sebagian besar berupa artikel-artikel di surat kabar dan majallah. Yang berupa
buku antara lain Durus min al-Qur’an (berbagai pelajaran dari
al-Qur’an), Rislat al-Tauhid, Hasyiah ‘Ala Syarh al-Dawani li
al-‘Aqaid al-Adudiyah (komentar terhadap penjelasan al-Dawani terhadap
akidah-akidah yang meleset), al-Islam wa al-Nashraniyah (Islam dan
Nasrani bersama ilmu-ilmu Peradaban), Tafsir al-Qur’an al-Karim Juz ‘Amma,
dan Tafsir al-Manar yang diselesaikan oleh muridnya Syekh Muhammad
Rasyid Ridha.[21]
2. Konsep Rasionalisme Muhammad Abduh
Pada dasarnya ide-ide
pemikiran rasionalisme Muhammad Abduh bertolak pada pandangan beliau ketika
melihat realita ummat Islam pada saat itu dan kondisi dimana beliau tumbuh
secara intelektual. Beliau melihat sebab-sebab yang melatarbelakangi kemunduran
ummat Islam dan kemudian melakukan transformasi untuk mengembalikan citra ummat
islam sebagai al-Diin Ya’lu wa la Yu’la alaihi. Sebab yang membawa
kepada kemunduran, menurut pendapatnya adalah faham jumud[22] yang
terdapat dikalangan Ummat Islam.[23]
Sebenarnya tema besar
dalam masalah-masalah ide Muhammad Abduh dengan menawarkan konsep rasionalisme
adalah untuk membuka wawasan cakrawala pemikiran dan cara pandang ummta Islam.
Hal ini bertujuan dan berorientasi pada dua hal; pertama, membuka kembali
pintu ijtihad dengan menggunakan anugerah yang berupa akal, dan yang kedua,
membebaskan ummat Islam dari kungkungan sikap taklid secara membabi buta, serta
kembali pada ajaran murni Islam yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah.
Namun disini penulis
akan mencoba menguraikan tema besar ini dengan dua pembahasan yang juga
merupakan ide pemikiran Muhammad Abduh yaitu dalam bidang akidah yang terdiri
dari dua pembahasan dan dilanjutkan pembahasan dalam bidang hukum.
a. Bidang Akidah
Menurut Muhammad Imarah dalam bukunya “al-‘Amal
al-Kamilah li al-Imam Muhammad Abduh” bahwa ide-ide pembaharuan dalam aspek
akidah yang disebarkan oleh Muhammad Abduh didasari oleh dua hal yaitu fungsi
akal dan masalah kebebasan manusia.[24]
1) Akal
dan Wahyu
a) Akal[25]
Pendapat Muhammad Abduh tentang pembukaan pintu
ijtihad dan pemberantasan taklid, berdasaar atas kepercayaannya terhadap
kekuatan akal. Menurut pendapatnyaal-Qur’an berbicara, bukan semata kepada hati
manusia, tetapi juga kepada akalnya. Islam memandang akal mempunyai kedudukan
tinggi. Alllah menunjuk perintah-perintah dan larangan-Nya kepada akal didalam
al-Qur’an terdapat ayat: afala yatadabbarun, afala yandzurun, afala
ya’qiluun, dan lain sebagainya. Oleh karenanya, menurut pendapat beliau
Islam adalah agama yang rasional.[26]
Bertolak dari pernyataan beliau diatas, beliau
berpendapat bahwa wahyu yang datang kepada para utusan Allah itu tidak ada yang
bertentangan dengan akal manusia, sehingga apabi terdapat wahyu yang
bertentangan dengan akal manusia maka harus dicarikan interpretasi yang lain,
sehingga ayat itu tidak bertentangan dengan akal.[27]
Proses kerja akal biasanya dikaitkan
dengan kejadian-kejadian alam dan gejala-gejala alam sebagai tanda kebesaran
dan kekuasaan Allah, sebagaimana telah diterangkan oleh Allah:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ
بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ
فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ
الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآَيَاتٍ
لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera
yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah
turunkan dari langit berupa air lalu dengan air itu ia hidupkan bumi sesudah
mati (kering) nya dan dia sebarkan dibumi itu segala jenis hewan, dan
pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh
(terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”
Dari ayat diatas dapat diambil satu pengertian bahwa
akal itu “ilmu” hal ini berangkat dari ayat diatas. Yakni kekuasaan Allah hanya
dapat diketahui dengan menggunakan akal dan fikirannya. Ayat ini menuntut
manusia dan menentukan sikap manusia dalam bertingkah laku dan berbuat, akal
bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.[28]
Selanjutnya Abduh menomentari bahwa akal itu suatu daya yang hanya dimiliki
manusia sebagai sifat dasar dalam rangka mengenal dan mengetahui sifat dan
wujudnya. Kemudian Abduh membagi hukum akal kepada tiga bagian:
(1) Akal itu sebagai alat untuk mengetahui barang
yang mungkin ada
(2) Akal itu adalah sebagai alat untuk mencapai
suatu barang yang wajib adanya
(3) Akal itu merupakan jalan dalam mencapai suatu
ilmu terhadap barang yang mustahil adanya
Menurut Abduh akal tak selamanya berdiri
secara bebas, tetapi akal terdapat kelemahan yaitu:
(1) Akal tidak dapat menyampaikan kehidupan yang
normal tentang masalah kehidupan manusia yang berhubungan dengan kebahagian dan
kesesatan hidup sesudah mati
(2) Akal tidak dapat menunjukkan kepada manusia
secara pasti tentang masalah untung dan rugi manusia dan akhirat, maka akal
butuh pertolongan wahyu[29]
Akal adalah yang membedakan antara manusia dengan
makhluk yang lainnya, dan hanya manusialah satu-satunya makhluk yang
dianugerahi Tuhan kekuatan akal karena itu ia menjadi mulia. Kata Muhammad
Abduh, jika manusia dicabut akalnya maka manusia akan menjadi makhluk lain,
mungkin malaikan atau hewan. Akal mempunyai daya yang kuat, akal dapat
mengetahui adanya Tuhan dan kehidupan dibalik kehidupan duania. Akal dapat
sampai kepada pengetahuan yang lebih tinggi. Manusia melalui akalnya, kata
Abduh dapat mengetahui bahwa berterima kasih kepada Tuhan adalah wajib, bahwa
kebajiakan adalah dasar kebahagiaan dan kejahatan dasar kesengsaraan.[30]
Akan tetapi kekuatan akal yang dimiliki oleh
tiap-tiap manusia itu berbeda-beda. Perbedaan tersebut tidak hanya disebabkan
oleh perbedaan pendidikan, tapi juga karena perbedaan pembawaan alami, suatu
hal yang terletak diluar kehendak manusia, oleh karena itu, Abduh membagi
manusia kedalam dua golongan yaitu khawas[31]
dan awam.[32] Antara
kaum khawas dan awan itu terdapat perbedaan yaitu dalam menerima
pengetahuan dari Tuhan. Orang Awam menerima secara mentah-mentah apa yang
disampaikan Tuhan, sedangkan kaum khawas dalam menerima pengetahuan
dipikirkan secara matang dan teliti sehingga akhirnya menemukan pengetahuan
yang sebenarnya dari Tuhan.
Keharusan manusia untuk menggunakan akalnya, bukan
hanya merupakan ilham yang terdapat dalam dirinya, tapi juga merupakan ajaran
al-Qur’an. Kitab suci ini memerintahkan kita untuk berpikir dan melarang kita
bertaqlid. Abduh sangat menentang taklid karena menurutnya, taklid merupakan
salah satu penyebab kemunduran ummat Islam pada abad ke 19 sampai abad ke 20.
Beliau sangat menyesalkan sikap taklid dalam berbagai aspek kehidupan.
Perkembangan dalam bahasa, organisasi sosial, hukum, lembaga-lembaga
pendidikan, dan sebagainya menjadi terhambat karena sikap statis.[33]
Rasionalisme
yang mendasar dalam pikiran Muhammad Abduh yang menyebabkan beliau menolak
keras perilaku taklid dan menerima penafsiran berdasarkan asal menerima begitu
saja terjemahannya secara literal mengenai sumber-sumber agama. Pernyataan
tersebut, pada dasarnya beliau mengajak kita berfikir kreatif dan melarang kita
berdiam diri dengan keadaan yang ada. Beliau mengajak untuk melakukan takwil
dalam nash-nash al-Qur’an yang tidak bisa kita pahami. Beliau juga menegaskan
lewat buku-bukunya agar memisahkan pemahaman tentang eksistensi dan karakter
ajaran agama yang seutuhnya dengan hasil pemikiran orang-orang yang hanya
mengaku dirinya sebagai agamawan.[34]
b) Wahyu[35]
Menurut Muhammad Abduh, bahwa wahyu adalah berita
dan juga pemberi tahuan secara rahasia dalam arti isi beritanya. Kemudian oleh
Abduh ditarik pada suatu pengertian, bahwa yang dikatakan wahyu adalah
pengertian, bahwa yang dikatakan wahyu adalah pengetahuan yang didapat
seseorang pada dirinya sendiri dengan keyakinan penuh, bahwa pengetahuan itu
datangnya dari Allah dengan perantara atau tidak. Yang pertama yaitu dengan
perantara suara yang dapat didengarkan dengan telinga atau tanpa suara sama
sekali. Bedanya dengan ilham, bahwa kalau ilham itu adalah perasaan, yang menyakinkan
hati, yang mendorongnya untuk mengikuti tanpa diketahui dari mana datangnya.
Dan ilham itu hampir serupa dengan perasaan lapar, haus, duka, dan suka.[36]
Kemudian, Abduh juga memberi penjelasan tentang
wahyu berdasarkan aspek fungsionalisasinya. Secara garis besar, sistem
pemikiran teologi rasioanalismenya Abduh menjelaskan bahwa wahyu mempunyai “dwi
fungsi”, yaitu memberi informasi dan konfirmasi, sehingga baginya wahyu sangat
diperlukan untuk menyempurnakan pengetahuan melalui akal.[37]
Oleh karenanya, pada dasarnya akal dan wahyu mempunyai hubungan yang sangat
erat, karena akal memerlukan wahyu, sementara wahyu itu tidak mungkin
bertentangan dengan akal. Sehinnga jika terdapat wahyu bertentangan dengan
akal, maka Abduh berpendapat bahwa akal memiliki kebebasan untuk melakukan
interpretasi agar maksud daripada wahyu tersebut sesuai dengan akal.[38]
Abduh juga berpendapat bahwa premis – premis yang
melandasi keimanan ini adalah sedemikian rupa sehingga bukti-buktipun tidak
lagi diperlukan kendati digunakan kata digambarkan wujud Tuhan tidak dapat
dipahami. Ada hal-hal yang tidak boleh dipertanyakan ketika rasa ingin tahu
hanya menyebabkan “kekacaun iman”. Sekalipun demikian, apa yang disampaikan
dalam wahyu harus dipahami secara rasional sebuah kewajiban bagi setiap
generasi.[39] Karena
itu akal dan wahyu saling menguatkan, karena, wahyu berfungsi sebagai
konfirmasi untuk menguatkan dan menyempurnakan pengetahuan akal.
Maka sejatinya, dalam Islamlah “agama dan akal buat
pertama kalinya menjalin hubungan persaudaraan”. Didalam persaudaraan itu akal
menjadi tulang punggung agama yang terkuat dan wahyu merupakan sendinya yang
utama. Antara wahyu dan akal tidak bisa dipertentangkan. Mungkin agama membawa
informasi diluar kemampuan manusia untuk memahaminya, tetapi tidak mungkin
wahyu membawa informasi yang mustahil bagi akal.[40]
c) Kebebasan
Manusia
Kepercayaan kepada kekuatan akal, membawa Muhammad
Abduh selanjutnya kepada faham yang mengatakan bahwasannya manusia mempunyai
kebebasan dalam kemauan dan perbuatan (free will and free act atau qadariah).[41] Dalam teologi terdapat dua konsep mengenai
hal tersebut. Pertama; pendapat mengatakan bahwa semua perbuatan manusia telah ditentukan semenjak azali[42]
, sebelum ia lahir, dan faham ini dalam teologi islam disebut jabariah. Dalam
teologi barat disebut fatalisme atau predistination. Kedua; bahwa
manusia mempunyai kebebasansungguhpun terbatas sesuai dengan ketrrbatasan
manusia dalam keutamaan dan perbuatan. Faham ini dalam Islam disebut Qadariah,
dan dalam teologi barat disebut free will and free act.[43]
Dalam al-Urwat al-Wustqa ia bersama-sama
dengan Jamaluddin al-Afghani beliau menjelaskan bahwa, faham qada’ dan qadar
telah diselewengkan menjadi fatalisme, sedang faham itu sesungguhnya mengandung
unsur dinamis yang membuat ummat Islam di zaman klasik dapat membawa Islam
sampai ke Spanyol dan dapat menimbulkan peradaban tinggi. Faham fatalisme yang
terdapat dikalangan ummat Islam perlu dirubah dengan faham kebebasan manusia
dalam kemauan dan perbuatan. Inilah yang menimbulkan dinamika ummat Islam
kembali.[44]
Kemudian Muhammad Abduh menjelaskan dalam Risala
al-Tauhid, bahwa, manusia tahu akan wujudnya tanpa memerlukan bukti apapun,
demikian pulalah ia mengetahui adanya perbuatan atas pilihannya sendiri
(ikhtiar) dalam dirinya.[45]
Hukum alamlah yang menentukan adanya perbuatan atas pilihannya sendiri yang ada
dalam diri manusia. Muhammad Abduh percaya pada pendapat bahwa alam ini diatur
hukum alam tidak berubah-rubah yang diciptakan Tuhan. Hukum alam ciptaan Tuhan
ini ia sebut sunnat Allah. Sunnah Allah dalam pendapatnya mencakup semua
makhluk. Segala yang diciptakan ini sesuai dengan hukum alam atau sifat
dasarnya, manusia sendiri diciptakan sesuai dengan sifat-sifat dasar yang
khusus baginya yaitu berfikir dan memilih perbuatan sesuai dengan pemikirannya.[46]
Pandangan Abduh tentang perbuatan manusia ini
bertolak dari satu deduksi, bahwa manusia adalah makhluk yang bebas dalam
memilih perbuatannya. Namun, kebebasan tersebut bukanlah kebebasan tanpa batas.
Setidaknya ada dua ketentuan yang menurut Abduh mendasari perbuatan manusia,
yakni; pertama, manusia melakukan perbuatan dengan daya dan
kemampuannya, kedua, kekuasaan Allah adalah tempat kembali semua yang
terjadi.[47]
Dengan demikian, manusia selain mempunyai daya
berfikir, ia juga mempunyai kebebasan memilih sebagai sifat dasar alami. Dan
bila sifat dasar ini dihilangkan dari dirinya, niscaya dia bukan manusia lagi
melainkan makhluk lain, entah itu malaikat atau hewan. Manusia dengan akalnya
dapat mempertimbangkan akibat perbuatan yang akan dilakukannya, kemudian
mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri dan selanjutnya mewujudkan
perbuatan itu dengan daya yang ada dalam dirinya.[48]
Jadi faham yang dipaksakan pada manusia
atau jabariah tidak sejalan dengan pandangan Muhammad Abduh. Menurutnya,
manusia adalah semata-mata karena ia mempunyai kemampuan berfikir dan kebebasan
memilih, meskipun kebebasan tersebut tidak bersifat mutlak, bahkan mencap takabbur
dan angkuh terhadap orang yang mengatakan hal tersebut. Seperti disebutkan
dalam Tafsir al-Mannar, ia menjelaskan bahwa manusia, sesungguhpun
berbuat atas kemauan dan pilihannya sendiri, namun tidaklah sempurna daya,
kemauan dan pengetahuannya.[49]
Terkadang ada sesuatu hal yang dapat menimpa ummat manusia diluar dugaan dan
manusia tidak mampu mengendalikannya, maka itulah bukti bahwa manusia mempunyai
keterbatasan, hanya Allah lah yang maha sempurna.
b. Bidang Hukum
Dalam bidang hukum, ada
tiga prinsip utama pemikiran Abduh, yaitu al-Qur’an sebagai sumber Syari’at,
memerangi taklid, dan berpegang kuat pada akal dalam memahami ayat-ayat
al-Qur’an. Menurutnya syari’at itu ada dua macam yaitu qath’i (pasti)
dan zdanni (tidak pasti). Hukum yang pertama wajib bagi semua muslim
mengetahui dan mengamalkan tanpa interpretasi, karena dia jelas tersebut dalam
al-Qur’an dan al-Hadist. Sedang hukum syari’at jenis kedua datang dengan
penetapan yang tidak pasti.[50]
Jenis hukum yang tidak
pasti inilah yang menurut Abduh menjadi lapangan ijtihad para mujtahid. Dengan
demikian, berbeda pendapat adalah sebuah kewajaran dan merupakan tabi’at
manusia. Keseragaman berpikir dalam semua hal adalah sesuatu yang tidak mungkin
di wujudkan. Bencana akan timbul ketika pendapat-pendapat yang berbeda tersebut
dijadikan tempat berhukum dengan taklid buta tanpa berani mengkritik dan mengajukan
pendapat lain. Sikap terbaik yang diambil ummat Islam dalam menghadapi
perbedaan pendapat adalah kembali pada sumber aslinya, al-Qur’an dan al-Sunnah.
Setiap orang yang memiliki ilmu yang mumpuni maka wajib berijtihad, sedang bagi
orang yang awam, bertanya pada orang yang ahli adalah sebuah kewajiban.[51]
Ada
dua hal yang mendorong Muhammad Abduh untuk menyerukan ijtihad, yaitu tabiat
hidup dan tuntutan kebutuhan manusia. Kehidupan manusia ini berjalan terus dan
selalu berkembang, dan didalamnya terjadi kejadian dan peristiwa tidak dikenal
oleh manusia sebelumnya. Ijtihad adalah jalan yang ideal dan praktis bisa
dijalankan untuk menghungkan peristiwa-peristiwa hidup yang selalu timbul itu
dengan ajaran-ajaran Islam.[52]
Ijtihad menurut Abduh
bukan hanya boleh, malahan penting dan perlu diadakan. Tetapi yang dimaksudkan
bukan tiap-tiap orang boleh mengadakan ijtihad, melainkan hanya orang-orang
yang memenuhi syarat-syarat untuk berijtihad. Bagi yang tidak memenuhi
syaratnya, harus mengikutipendapat mujtahid yang ia setujui fahamnya. Ijtihad
ini langsung pada al-Qur’an dan Hadis, sebagai sumber asli dari ajaran-ajaran
Islam.[53]
Untuk itu Abduh
menunjukkan dua cara yang harus dilakukan oleh ummat Islam, sesuai dengan
adanya dua kelompok sosial, biasanya terdapat dalam masyarakat Islam, yaitu
orang yang memiliki pengetahuan dan orang yang awam. Beliau berpendapat bahwa
kelompok pertama wajib melakukan ijtihad langsung kepada al-Qur’an dan
al-Sunnah. Dalam hal ini ijtihad dituntut, karena kekosongan Ijtihad dapat menyebabkan
mereka akan mencari keputusan hukum di luar ketentuan syara’. Dalam
perkembangan zaman, tidak dapat ditahan laju perkembangan situasi dan kondisi
yang muncul. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian ulang tentang beberapa
pendapat hasil ijtihad ualama’ terdahulu, agar hasil ijtihad itu selalu sesuai
dengan situasi dan kondisinya. Jadi yang mereka ijtihadkan bukan hanya masalah-
masalah yang ada belum ada hukumnya, tetapi juga mengadakan reinterpretasi
terhadap hasil ijtihad terdahulu.[54]
Bagi kelompok kedua
awam, sikap yang harus diambilnya adalah mengikuti pendapat orang yang mereka
percayai, dengan mempertimbangkan kedalaman ilmu dan ketaqwaan dari orang yang
didikuti pendapatnya. Jadi setiap dikerjakan oleh orang awam mempunyai dasar
kuat yang dia sendiri mengetahui dasarnya dan tidak mengamalkan suatu perbuatan
secara membabi buta. Dengan sikap ini, ummat Islam akan selamat dari bahaya
taklid. Abduh berpendapat bahwa kebenaran dapat didapatkan dimana-mana tidak
hanya pada seorang guru dan seorang madzhab tertentu.[55]
Menurut Rasyid Ridha,
mazhab dalam pengertian Muhammad Abduh adalah lebih ditekankan pada cara
pengambilan hukum dari nash yang ditempuh oleh seorang mujtahid tertentu. Jadi
bukan dalam artian mengikuti dan tunduk pada hasil mujtahid tertentu, tetapi
bermadzhab adalah dengan mengikuti cara-cara atau metode yang mereka tempuh
dalam beristinbath hukum.[56]
Maka fanatisme madzhab
yang biasa terjadi dikalangan awam dapat
dihindari dan sikap taklid bisa diatasi. Menurut Abduh, hal yang terjadi
dimasyarakat adalah sebaliknya. Generasi sesudah mujtahid mengikuti hasil
ijtihad yang mereka dapatkan, bukan mengambil cara yang ditempuh oleh para
imam. Akibatnya, terjadi perselisihan pendapat yang membawa perpecahan
dikalangan muslimin sendiri. Fanatismepun muncul dan taklid tidak bisa
dihindarkan. Hal ini menjadikan masyarakat Islam ketika memutuskan hukum
merujuk kepada pendapat para mujtahid tanpa adanya koreksi terhadap kevalidan
apa yang dihasilkan oleh para mujtahid, dan masyarakat meninggalkan sumber asli
ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah.
Oleh karena itu, dalam
berijtihad kaum muslimin harus berpedoman kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Hal
inilah yang mendorongnya untuk menggalakkan ijtihad dikalangan intelektual dan
mengikis taklid buta dalam masyarakat. Beliau membandingkan sikap ummat Islam
yang demikian itu dengan sikap kaum yahudi yang taklid kepada pendapat para
pemimpin agama mereka, seperti digambarkan Allah dalam surat al-Taubah ayat 32.
Sehingga mereka mengalami kemunduran setelah memperoleh kejayaan.[57]
Dalam Silsilah Buhuts wa Muhadharat
Abduh menyebutkan bahwa, ada dua pemikiran pokok yang menjadi fokus utama
pemikiran Muhammad Abduh. Pertama; membebaskan akal fikiran dari
belenggu-belenggu taklid yang menjadi penghambat perkembangan ilmu pengetahuan
Agama sebagaimana halnya salaf al-Ummah, yakni memahami langsung dari sumber
pokoknya, al-Qur’an dan Hadis. Wajarlah jika para pengikutnya menyatakan bahwa
setiap orang boleh berijtihad. Kedua; memperbaiki gaya bahasa Arab, baik
digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintahan maupun didalam
tulisan-tulisan media masa. Hal ini juga merupakan salah satu poin yang
ditekankan Hasan al-Banna yang merupakan salah satu pengagum Muhammad Abduh dan
al-Mannarnya.[58]
C.
Pembahsan
Kedua
1. Biografi Harun Nasution
Harun Nasution
dilahirkan di Pematangsiantar (Sumatra Utara) pada tanggal 23 september 1919.
Beliau dilahirkan dari keluarga Ulama’. Ayahnya bernama Abdul Jabbar Ahmad.
Beliau merupakan Ulama’ sekaligus pedagang yang cukup sukses. Beliau mempunya
kedudukan dalam masyarakat maupun pemerintahan. Beliau terpilih menjadi Qadhi
(penghulu). Pemerintah Hindia Belanda lalu mengangkatnya sebagai Kepala Agama
merangkap Hakim Agama dan Imam Masjid di Kabupaten Simalungun.[59]
Sedangkan Ibunya adalah anak seorang Ulama’ asal Mandailing yang semarga dengan
ayahnya Abd al-Jabbar Ahmad.[60]
Beliau pernah bermukim di Makkah sehingga dia cukup baik dalam bahasa Arab.
Harun Nasution menempuh
pendidikan dasar di Hollandsch In Landsche School (HIS), kemudian setelah itu
beliau melanjutkan studinya di Studi Islam tingkat menengah yang bersemangat
modernis, yaitu Moderne Islimietische Kweekschool (MIK). Karena desakan orang
tua, kemudian beliau meninggalkan MIK dan pergi belajar ke Saudi Arabia.
Dinegri Gurun Pasir ini beliau tidak bertahan lama dan menutut orang tuanya
agar supaya pindah studi ke Mesir. Di Negri Sungai Nil ini Harun mula-mula
mendalami Islam di Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, namun beliau
merasa tidak puas dan pindah ke Universitas Amerika (Kairo). Di Universitas ini
Harun tidak mendalami Islam, tetapi ilmu pendidikan dan ilmu-ilmu sosial.
Selama beberapa tahun sempat bekerja diperusahaan swasta kemudian dikonsulat
Indonesia Kairo setamat dari Universitas itu dengan ijazah B.A. di kantongnya.
Dari konsulat itulah, putra Batak yang mempersunting putri mesir ini, memulai
karir diplomatiknya. Dari Mesir beliau ditarik ke Jakarta, dan kemudian di
poskan sebagai sekertaris pada kedutaan besar Indonesia di Brussel.[61]
Situasi politik dalam
negri Indonesia pada tahun 60-an membuatnya mengundurkan diri dari karir
diplomatiknya dan pulang ke Mesir. Di Mesir dia kembali menggeluti dunia ilmu
disebuah sekolah tinggi studi Islam, dibawah bimbingan seorang ulama’ fikih
mesir terkemuka Abu Zahrah. Ketika belajar disitu Harun mendapat tawaran untuk
mengambil studi Islam di Universitas McGill, Kanada. Untuk tingkat Magister di
Universitas ini, ia menulis tentang pemikiran Negara Islam di Indonesia, dan
untuk disertasi P.h.D. dia menulis “Posisi Akal dalam Pemikiran Teologi
Muhammad Abduh”. Setelah meraih Doktor, Harun kembali ketanah Air dan
mencurahkan perhatiannya pada pengembangan pemikiran Islam lewat IAIN. Beliau
sempat menjadi rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1974 - 1982). Kemudian
beliau mempelopori pendirian pascasarjana untuk studi Islam di IAIN.[62]
Beliau wafat pada
tanggal 18 september 1998 di Jakarta dengan meningalkan beberapa karya.
Diantaranya; Akal dan Wahyu dalam Islam (1981), Falsafat Agama (1973), Islam
Rasional (1995), Sejarah Pemikiran dan Gerakan (1975), islam di tinjau dari
berbagai aspeknya (1974) yang terdiri dari dua jilid, Falsafat dan Mistisime
(1973), Falasafat yunani, Pembaharuan dalam Islam (1975), dan Muhammad Abduh
dan teologi Rasional Mu’tazilah (1987).[63]
2. Konsep Rasionalisme Harun nasution
a. Akal
Kata ‘aqala berarti mengikat dan menahan. Maka tali
pengikat serban kadang berwarna hitam kadang berwarna emas. Arti asli dari kata
‘aqala dalah mengerti, memahami dan berfikir.dalam al-Qur’an sebagai
dijelaskan dalam Q.S. Al-Hajj (22): 46, penertian, pemikiran, dan pemahaman
dilakukan melaui kalbu yang berpusat didada. Ayat-ayat tersebut jga menjelaskan
demikian:
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ
يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آَذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى
الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
Maka apakah
mereka tidak berjalan dimuka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan
begitu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka
dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang
buta ialah hati yang didalam dada.
Seperti
yang dapat dilihat dalam falsafat emanasi. Bahwa akal manusia yang telah
mencapai derajat perolehan dapat mengadakan hubungan dengan akal kesepuluh,
yang dalam penjelasan Ibnu Sina adalah Jibril. Komunikasi itu bisa terlaksana
terjadi karena akal perolehan begitu terlatih dan begitu kuat daya tangkapnya
sehingga sanggup mengungkap hal-hal yang bersifat abstrak murni. Dan komunikasi
Nabi dengan Tuhan dilakukan melalui akal dalam derajat materil.[64]
Menurut kaum teolog akal adalah sebagai daya untuk
memperoleh pengetahuan. Yaitu daya untuk memperoleh pengetahuan dan juga daya
yang membuat seseorang dapat memperbedakan antara dirinya dan benda-benda lain.
Akal juga dapat mengabtraksikan benda-benda yang ditangkap pancra indra.
Disamping memperoleh pengetahuan, akal juga mempunyai daya untuk membedakan
antara kebaikan dan keburukan.[65]
Harun nasution dalam bukunya Akal dan Wahyu dalam
Islam, neliau menjelaskan telah diketahui bersama bahwa Islam berkembang
dalam sejarah bukan hanya sebagai Agama, tetapi juga sebagai kebudayaan. Islam
lahir pada mulanya memang sebagai Agama di Mekkah, tetapi kemudian tumbuh di
Madinah menjadi negara, selanjutnya berkembang di Damsyik menjadi kekuatan
politik internasional yang luas daerahnya, dan akhirnya berkembang di Bagdad
sebagai kebudayaan bahkan peradaban yang tidak kecil pengaruhnya, sebagai telah
disebut diatas pada peradaban Modern. Dalam perkembangan Islam pada dua
aspeknya itu, akal memainkan peranan penting bukan dalam bidang kebudayaan
saja, tetapi juga dalam bidang Agama, dalam membahas masalah-masalah keagamaan,
banyak ulama’-ulama’ Islam tidak semata-mata berpegang wahyu, tetapi juga
bergantung pada akal. Bisa dijumpai dalam pembahasan-pembahasan bidang fikih,
teologi dan filsafat.[66]
Menurut pendapat Harun, peranan akal dalam bidang
fikih atau hukum Islam itu diperlukan. Kata faqiha mengandung kata faham
atau mengerti. Untuk mengerti sesuatu itu diperlukan pemikiran dan pemakain
akal. Dengan demikian fikih dalah ilmu yang membahas pemahaman dan tafsiran
ayat-ayat al-qur’an, yang berkaitan dengan hukum. Untuk penafsiran dan
pemahaman ini diperlukan al-Ijtihad. Ijtihad banyak dipakai dan
kedudukannya penting dalam fikih. Begitu pentingnya kedudukannya sehingga Ali
Hasaballah membuat Ijtihad menjadi sumber ketiga dari hukum Islam setelah
al-Qur’an dan al-Sunnah. Dan beliau mempunyai argumen yang kuat untuk ini,
yaitu Hadis Muadz ibn Jabal. Dalam Hadis ini Nabi bertanya kepada Mu’adz apa
yang akan diperbuatnya di Yaman jika ia tidak menemui ketentuan hukum dalam
al-Qur’an dan sunnah ketika hendak memutuskan sesuatu perkara. Muazd menjawabakan
memakai ijtihadnya.[67]
Dalam aliran-alira teologi Islam terjadi polemik
yang penting dalam maslah akal dan wahyu, terutama antara Mu’tazilah,
Asy’ariah, dan Maturidiah. Yang menjadi problem adalah masalah kesanggupan akal
dan fungsi wahyu terhadap adanya Tuhan serta kebaikan dan kejahatan. Pertanyaan
yang di ajukan adalah:
1) Dapatkah
akal mengetahui Tuhan?
2) Kalau
ia apakah akal mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan?
3) Dapatkah
akal mengetahui apa yang baik dan apa yang jahat?
4) Kalau
ya, dapatkah akal mengetahui bahwa wajib bagi manusia berbuat baik dan wajib
baginya menjauhi perbuatan buruk?
Harun menjelaskan bahwa, kaum Mu’tazilah berpendapat
bahwa keempat masalah tersebut dapat diketahui oleh akal dan
kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan
demikian berterimakasih pada Tuhan sebelum turunnya wahyu adalah wajib. Baik
dan buruk adalah sifat esensial bagi kebaikan dan kejahatan. Kebaikan dan
kejahatan wajib diketahui melalui akal dan demikian pula mengerjakan yang baik
dan menjauhi yang buruk.[68]
Sementara jika ditinjau dari perspektif filosofis,
akal merupakan kekuatan inti dalam menemukan kenbenaran yang sejati. Falsafah
sebagai pemikiran sedalam-dalamnya tentang wujud, dan akal lebih banyak dan
dianggap lebih besar dayanya dari pada yang dianggap fikih dan teologi. Sebagai
akibatnya pandangan keagamaan kaum filusuf lebih liberal dibandingkan pandangan
keagamaan kaum teologi dan fikih. Sehingga timbul sikap salah menyalahkan
bahkan kafir mengkafirkan. Filosof-filosof Islam berkeyakinan bahwa antara akal
dan wahyu, antara falsafah dan agama tidak ada pertentangan. Keduanya sejalan
dan serasi, dan antara keduanya terdapat keharmonisan. Dalam memberikan
penjelasan rasional tentang adanya wahyu.[69]
Penjelasan sedikit diatas tentang posisi akal dan
wahyu dizaman Islam klasik, memberikan penegasan kepada kita bahwa dalam
memahami wahyu illahi harus menggunakan pemikiran rasional, dimana pemikiran
seperti ini merupakan aktivitas akal dalam mengaktualisasikan nilai-nilai
absolut (Qhat’ia al-Dilalah) dan nilai-nilai yang non absolut (Dzanniya
al-Dilalah) atau nilai-nilai yang bisa diinterpretasikan dari wahyu
tersebut. Sehingga akal memiliki kedudukan yang tinggi dalam memahami
aspek-aspek keagamaan.
Menurut
Harun bahwasannya akal di zaman modern ini mulai dipakai kembali dalam bidang
keagamaan, mulai dipisahkan faham-faham lama yang tidak sesuai dengan akal dan
ilmu pengetahuan modern dan faham lama yang sejalan dengan akal. Yang
bertentangan dengan akal mulai ditinggalkan sedikit demi sedikit. Akal juga
mulai dipakai kembali untuk memberi interpretasi baru kepada ayat-ayat yang
bersifat dzanni artinya, interpretasi yang sesuai dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. Diantara faham lama yang ditinggalkan adalah
faham fatalisme atau faham qada’ dan qadar, bahwa setiap apa yang terjadi telah
ditentukan oleh Tuhan semenjak zaman azali. Manusia hanya menunggu
suratan tangan yang telah ditentukan. Kini Ummat Islam menganut faham ikhtiyar
yang dekat dengan faham qadariah atau kebebasan manusia dalam kemauan
dan perbuatan. Faham statis lama yang telah banyak ditinggalkan dan sebagai
gantinya timbul faham baru yang dekat dengan faham dinamika.[70]
b. Wahyu
Diatas telah dijelaskan tentang posisi akal menurut
Harun Nasution, dan tentang fungsimya dalam memahami nilai-nilai ajaran Islam
yang terhimpun baik dalam al-Qur’an ataupun al-Sunnah. Maka dalam sub
pembahasan kali ini, penulis akan menjelaskan tentang wahyu. Disini akan
dijelaskan apakah wahyu itu, dan bagaimana kedudukan wahyu dalam pengembangan
paradigma berfikir rasional, dan bagaimana kedudukan serta posisi akal menurut
wahyu tersebut. Apakah akal lebih tinggi kedudukannya atau sebaliknya.
Sebelumnya disini akan dipaparkan pengertian wahyu
menurut Harun Nasution. Wahyu berasal dari kata Arab al-Wahy. Dan al-Wahy
adalah kata asli bahasa Arab bukan kata pinjaman dari bahasa asing. Kata
itu berarti suara, api dan kecepatan. Disamping itu dia juga berarti bisikan,
isyarat, tulisan dan kitab. Al-wahy selanjutnya mengandung pemberi
tahuan secara tersembunyi dan dengan cepat. Tetapi kata itu lebih dikenal dalam
arti “apa yang disampaikan Tuhan kepada Nabi-Nabi”. Dalam kata wahyu dengan demikian terkandung arti
penyampain sabda Tuhan kepada orang pilihan-Nya agar diteruskan kepada Ummat
manusia untuk dijadikan pegangan hidup.[71]
Dari penjelasan diatas, disini penulis
dapat menyimpulkan bahwasannya yang dimaksud wahyu menurut Harun Nasution
adalah: penyampain pesan suci yang bersifat ketuhanan kepada orang-orang yang
telah ditentukan dan dipilih oleh tuhan itu sendiri. Jadi, secara konseptual
wahyu yang sampai kepada para utusan Tuhan itu melalui proses komunikasi antara
Tuhan dengan para utusan.
Dalam masalah konsep penerimaan wahyu
yang terjadi melalui proses komunikasi antara Tuhan dengan utusan itu juga
dijelaskan oleh Harun Nasution[72]
dengan mengutip sebuah ayat yang berbunyi:
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ
أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ
رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ
“Tidak terjadi bahwa Allah berbicara
kepada manusia kecuali dengan wahyu, atau dari belakang tabir, atau dengan
mengirimkan seorang utusan, untuk mewahyukan apa yang ia kehendaki dengan
seizin Nya. Sungguh dia maha tinggi lagi maha bijaksana”
Jadi menurut Harun, bahwa penyampaian wahyu Tuhan
itu melalui tiga cara, yaitu; melalui jantung hati seseorang dalam bentuk
ilham, dari belakang tabir sebagai yang terjadi dengan Nabi Musa, dan melalui
utusan yang dikirim dalam bentuk malaikat.
Jiaka demikian, maka proses penyampain wahyu ini
menurut hemat penulis adalah sesuatu yang abstrak, dan sesuatu yang metafisik,
yang tidak bisa dilihat dan dirasa oleh panca indera dzahiriyah. Dengan artian
ada proses komunikasi antara sesuatu yang berbentuk fisik dan yang berbentuk
metafisik atau dengan kata lain sesuatu yang berupa materi dengan im materi.
Adanya komunikasi antara sesuatu yang bersifat
materi dan im materi juga disinggung oleh Harun Nasution. Sebagai yang telah
digambarkan di atas dalam konsep wahyu terkandung pengertian adanya komunikasi
antara Tuhan, yang bersifat im materi dan manusia yang bersifat materi.
Falsafah dan mistisisme mengakui adanya komunikasi semacam itu.[73]
Namun yang jadi permaslahan ketika Harun Nasution menawarkan konsep seperti itu
agaknya ada pertentangan. Sebab, jika ditinjau dari perkembangan masalah materi
dan im materi ini, pertanyaan tentang bagaimana sesuatu yang im materi bisa
berubah menjadi materi, tidaklah lagi relevan.
Namun permasalahan semacam itu bisa dijawab melalui
argumentasi yang ditawarkan oleh Al-Farobi, seorang filosof yang hidup di abad
kesembilan dan kesepuluh masehi. Menurut al-Farobi konsep im materi berubah
menjadi materi ini dalam falsafah penciptaan alam semesta yang dikenal dengan
falsafat emanasi atau pancaran. Tuhan memancarkan akal-akal yang bersifat
abstrak murni dan akal seperti itu adalah daya fikir. Dari daya-daya inilah
selanjutnya memancar alam materi, antara lain , bumi yang kita huni ini. Disini
kita lihat konsep Tuhan, sebagai sumber energi, memancarkan energi, dan energi
ini memadat menjadi materi.[74]
Dalam pada itu para psikologi menyebutkan adanya Extrasensory
Perception, diringkas ESP, yang dapat diartikan penyerapan atau
perolehan pengetahuan tidak melalui indera yang dikenal. Ada orang-orang yang
dianugerahi Tuhan daya pencerapan tambahan lagi istimewa yang membuat mereka
dapat menangkap dan mengetahui hal-hal yang tidak dapat ditangkap atau
diketahui oleh orang-orang yang hanya mempunyai indera biasa. Dalam penjelasan
J.B. Rhine, ESP mencakup telepati, mind reading (mengetahui apa yang ada
dalam pemikiran orang lain) clair voyance (kesanggupan melihat apa yang
biasanya tak dapat dilihat orang lain).[75]
Dikalangan kaum orientalis yang menulis tentang
Islam, soal wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad ini juga banyak
dibahas. Salah satu dari mereka, Tor Andrae, menjelaskan terdapat dua bentuk
wahyu, pertama wahyu yang dapat diterima melalui pendengaran (auditory)
dan kedua wahyu yang diterima melalui penglihatan (visualy).
Dalam bentuk pertama merupakan suara yang berbicara ke telinga ataupun kehati
seseorang Nabi. Dalam bentuk kedua wahyu merupakan pandangan dan gambar,
terkadang jelas sekali, tapi terkadang samar-samar.[76]
Dari apa yang dijelaskan diatas, maka dapat
disimpulkan bahwasannya dalam proses penerimaan wahyu oleh para nabi itu masih
berkaitan erat dengan aktivitas akal, sebab akal inilah yang menjadi sasaran
dalam pemberian wahyu Tuhan kepada para Nabi. Maka dalam proses ini akal tidak
bisa dipisahkan dan tidak bisa dilepaskan. Sebab satu-satunya potensi yang memiliki daya untuk
mengabstraksikan dan menvisualisasikan sesuatu yang bersifat metafisik itu
hanyalah akal. Sehingga akal memiliki peranan penting dalam konteks ini. Tapi
yang jadi masalah adalah sebuah pertanyaan; lebih tinggi manakah antara wahyu
dan akal. Sehingga disini juga perlu dijelaskan tentang maslah ini.
Didalam catatan sejarah perkembangan ilmu
pengetahuan dalam dunia islam dijelaskan tentang adanya dialektika antara kaum
teolog dalam masalah posisi akal dan wahyu. Dialektika yang terjadi diantara
mereka itu berkaitan dalam masalah yang mempertanyakan manakah yang lebih
tinggi antara kedudukan akal dengan wahyu?, dan apakah akal berfungsi sebagai
penunjuk yang menunjukkan manusia mana yang buruk dan mana yang baik ketika
wahyu belum diturunkan?.
kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa keempat masalah
tersebut dapat diketahui oleh akal dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui
dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian berterimakasih pada Tuhan
sebelum turunnya wahyu adalah wajib. Baik dan buruk adalah sifat esensial bagi
kebaikan dan kejahatan. Kebaikan dan kejahatan wajib diketahui melalui akal dan
demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk.[77]
Dalah hal ini Abu Huzail dengan tegas mengatakan bahwa sebelum turunnya wahyu,
orang telah berkewajiban mengetahui Tuhan; dan jika dia tidak berterima kasih
kepada Tuhan, orang demikian akan mendapatkan hukuman. Baik dan jahat menurut
pendapatnnya, juga dapat diketahui dengan perantaraan akal dan dengan demikian
orang wajib mengerjakan yang baik, umpamanya bersikap lurus dan adil, dan wajib
mengetahui yang jahat seperti berdusta dan bersikap dzalim.[78]
Sedangkan aliran Asy’ariyah sendiri menolak pendapat
yang di jelaskan oleh golongan Mu’tazilah. Menurut aliran ini, segala kewajiban
manusia dapat diketahui melalui wahyu. Akal tak dapat membuat sesuatu menjadi
wajib dan tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang
buruk adalah wajib bagi manusia. Betul akal dapat mengetahui Tuhan dan berterima
kasih kepadanya. Juga dengan wahyulah dapat diketahui bahwa yang patuh kepada
Tuhan akan memperoleh upah dan yang tidak patuh kepada-Nya akan mendapat
hukuman.[79]
Sementara al-maturidi bertolak belakang dengan
pendapat Asyaa’irah dan sependakat dengan golongan Mu’tazilah, juga berpendapat
bahwa akal dapat mengetahui kewajiban manusia berterimaksih kepada Tuhan. Hal
ini dapat dari keterangan al-Bazdawi berikut:
Percaya kepada Tuhan dan berterimakasih kepada-Nya
sebelum adanya wahyu adalah wajib dalam paham Mu’tazilah ...... al-Syaikh Abu
Mansur al-Maturidi dalam hal ini sepaham dengan Mu’tazilah. Demikianlah umumnya
Ulama’ samarkand dan sebagian dari alim Ulama’ Irak
Keterangan
ini diperkuat oleh Abu ‘Uzbah:
Dalam pendapat Mu’tazilah orang yang
berakal, muda-tua, tak dapat diberi maaf dalam soal mencari kebenaran. Dengan
demikian, anak yang telah berakal mempunyai kewajiban percaya pada Tuhan. Jika
ia sekiranya mati tanpa percaya pada Tuhan, dia mesti diberi hukum. Dalam
Maturidiyah anak yang belum balig, tidak mempunyai kewajiban apa-apa. Tetapi
Abu mansur al-maturidi berpendapat bahwa anak yang telah berakal berkewajiban
mengetahui Tuhan. Dalam hal ini tak terdapat perbedaan antara Maturidiah dan
Mu’tazilah.
Kalau urain al-Bazdawi, Abu ‘Uzbah dan lain-lain
memberi keterangan yang jelas tentang keterangan al-Maturidi mengenai soal
mengetahui Tuhan dan kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, keterangan yang
demikian tidak dijumpai dalam soal baik dan buruk. Al-Bazdawi umpamanya ,
mengatakan bahwa akal tidak dapat mengetahui kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk, karena
akal hanya mengetahui baik dan buruk. Tetapi al-Bazdawi tidak menjelaskan
apakah pendapat itu juga merupakan pendapat al-Maturidi.[80]
Dari penjelasan yang diuraikan diatas maka disini
dapat disimpulkan bahwasannya perbedaan antara bebrapa golongan diatas dapat
diperjelas sebagai berikut: golongan Mu’tazilah memandang akal memiliki daya
dan porsi yang banyak dibandingkan wahyu, sebab wahyu itu hanya berisi
informasi dan konfirmasi atas pengetahuan yang ada dalam akal. Sedangkan
golongan Asyaa’irah memberikan porsi yang kecil bagi akal, sebab wahyulah yang
memberi informasi tentang hukum wajib dan menjauhi hal yang buruk. Namun
sekalipun kelompok-kelompok diatas berbeda dalam memberikan porsi pada akal,
tapi, kelompok-kelompok itu masih berpegang terhadap wahyu sebab wahyu adalah
sesuatu yang suci.
Sebenarnya yang dipertentangkan dalam sejarah
pemikiran Islam pada dasarnya bukanlah akal dengan wahyu, baik oleh kaum
Mu’tazilah, Asyaa’irah, dan golongan filosof Islam. Yang dipertentangkan adalah
penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan penafsiran yang lain dari teks itu
juga. Jadi yang bertentangan sebenarnya dalam Islam adalah pendapat akal Ulama’
tertentu dengan pendapat akal Ulama’ lain tentang penafsiran wahyu, dengan lain
kata Ijtihad Ulama’ dengan Ijtihad Ulama’ lain.[81]
Dalam pada itu perlu ditegaskan bahwa pemakain
kata-kata rasional, rasionalisme, dan rasionalis dalam Islam harus dilepaskan
dari arti kata sebenarnya, yaitu percaya pada rasio semata-mata dan tak
mengindahkan wahyu dan membuat akal lebih tinggi dari wahyu sehingga wahyu
dapat dibatalkan oleh akal. Dalam pemikiran Islam, sebagai telah dilihat dalam
urain yang diberikan diatas, baik dibidang falsafat dan ilmu kalam, apalagi
dibidang ilmu fikih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk
kepada wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar secara absolut. Akal dipakai
hanya untuk memahami teks wahyu dan sekali-kali tidak untuk menentang wahyu. Akal
hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan
kesanggupan pemberi interpretasi.[82]
c. Universalitas Islam
Islam merupakan
satu-satunya agama yang nilai-nilai ajarannya bersifat universal, sebab Islam
tidak hanya membicarakan tentang masalah aspek-aspek ritual, seperti; ibadan
dan keimanan. Namun, lebih dari itu islam juga menjelaskan tentang kehidupan
sosial – masyarakat, seperti; perekonomian, ketatanegaraan, politik, sosial,
dan lain sebagainya, sekalipun yang dibicarakan dalam nilai-nilai Islam
tersebut hanya hal-hal yang pokok – pokok
saja.
Menurut
perkiraan ahli-ahli hanya kurang lebih 500 ayat dari seluruh ayat al-Qur’an,
atau delapan persen yang mengandung ketentuan – ketentuan tentang iman, ibadah
dan hidup kemasyarakatan. Ayat – ayat mengenai ibadah berjumlah 140, dan
mengenai sosial – masyarakat 228. Perincian mengenai kelompok terakhir
sebagaiberikut[83]:
Tentang Ayat
|
Jumlah Ayat
|
Hidup kekeluargaan, perkawinan,
percerain, hak waris dan sebagainya
|
70 ayat
|
Hidup perdagangan, gadai, perekonomian,
jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, perseroan, kontrak, dan sebagainya
|
70 ayat
|
Soal pidana
|
30 ayat
|
Hubungan orang Islam dengan orang
bukan Islam
|
25 ayat
|
Soal pengadilan
|
13 ayat
|
Hubungan orang kaya dengan orang
miskin
|
10 ayat
|
Masalah ketatanegaraan
|
10 ayat
|
Dilihat
dari urai diatas maka kita bisa mengetahui bahwa Islam adalah agama yang
bersifat universal. Sebagai agama Universal, Islam mengandung ajaran-ajaran
dasar yang berlaku untuk semua tempat dan untuk semua zaman. Ajaran-ajaran dasar
yang bersifat universal, absolut, mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak
boleh diubah jumlahnya menurut ulama’ kurang lebih 500 ayat atau 14% dari
seluruh ayat al-Qur’an perincian maksud dan penjelasan ajaran-ajaran dasar yang
terkandung al-Qur’an itu disesuaikan dengan situasi dan kondisi tempat pada
zaman tertentu. Dengan demikian timbullah aliran – aliran dan mazhab – mazhab
dalam ajaran – ajaran Islam.[84]
Contoh keuniversalan
ajaran Islam, ditinjau dari zaman, adalah konsep musyawarah yang disebut dalam
al-Qur’an. Ayat mengatakan bermusyawaralah dengan mereka. Penjelasan
tentang musyawarah tidak ada dalam al-Qur’an. Maka dalam sistem pemerintahan
monarki Islam masa silam, musyawarah dilaksanakan melalui raja dengan meminta
pendapat dari pembantu-pembantu dekatnya, dan setelah mempertimbangkan pendapat
– pendapat itu ia mengambil keputusan. Dizaman demokrasi pemerintah republik
yang sekarang umum terdapat pada pemerintahan Islam , musyawarah dilakukan oleh
DPR. Dalam pada itu pengambil keputusan berbeda – beda pula dari satu negara
kenegara Islam lainnya. Kita di Indonesia memakai sistem mufakat, sedang
didunia Islam lain dipakai suara terbanyak.[85]
Keuniversalan Islam
juga digambarkan oleh ilmu yang dikembangkan ulama zaman klasik, yaitu zaman
antara abad kedelapan dan ketiga belas masehi. Seperti dibuktikan oleh sejarah,
yang dikembangkan oleh ulama’ Islam pada saat itu bukan hanya ilmu-ilmu seperti
tafsir, hadis, fikih, tauhid, tasawuf, dan lain-lain, tetapi mereka juga
mengembang ilmu-ilmu keduniaan yang sekarang kita sebut sains, seperti ilmu
kedokteran, matematika, astronomi, kimia, optika, geografi, dan sebagainya.[86]
D. Pembahasan Yang ke Tiga
1. Analisa Perbandingan; pemikiran M. Abduh dan Harun
Nasution tentang Konsep Rasional.
Dalam pemikiran M. Abduh
dan Harun Nasution, sungguhpun akal dapat mengetahui adanya Tuhan, dapat
mengetahui bahwa manusia wajib beribadat dan berterima kasih kepada-Nya tetapi
akal tak sanggup mengetahui semua sifat-sifat Tuhan dan tak dapat mengetahui
cara yang sebaiknya beribadat kepada-Nya . wahyulah yang menjelaskan kepada
akal cara beribadat dan berterima kasih kepada Tuhan. Dan akal juga tidak dapat
mengetahui perincian dari kebaikan dan kejahatan fungsi wahyu yang lain dalah
menguatkan pendapat akal melalui sifat sakral dan absolut dalam wahyu.
Dari pemikiran M. Abduh
dan Harun Nasution yang penulis sampaikan, tak salah kiranya bilamana penulis
memberikan sedikit tanggapan sebagai garis besarnya. Bahwa semua agama
diturunkan oleh Tuhan kepada manusia, sebagai makhluk yang berakal. Tak ada
satu agamapun yang diturunkan kepada hewan dan binatang. Hal ini dimaksudkan
karena kemampuan akallah yang bisa memberikan pemahaman dan interpretasi
terhadap teks Tuhan. Disinilah letak kelebihan Manusia dengan makhluk lain.
Kitab suci yang telah turun ribuan tahun yang lalu dalam konteks tertentu tak
mungkin dan tak mampu menyapa ummat sekarang dalam ruang dan waktu yang telah
berubah secara total, tanpa melalui sebuah penalaran dan pemikiran terhadapnya.[87]
Ada banyak hal yang
sebenarnya sangat tidak tepat jika mengesampingkan optimalisasi akal. Dr. Zaki
Najib Mahmud menyatakan, bahwa akal adalah gerakan yang menimbulkan perpindahan
dari menyaksikan (syahid) kepada yang disaksikan (masyhud alaih) dari premis
dan konklusi, dari perantara pada tujuan. Maka menurutnya tanpa adanya gerak
perpindahan itu, tidak ada nada yang disebut ‘Aqal.[88]
Karena agama diturunkan
kepada makhluk yang berakal, maka Tuhan menghendaki agar ayat-ayat
diturunkannya bisa dibaca, ditafsirkan dengan potensi akalnya. Ummat Islam kini
telah menyakini, bahwa Tuhan sudah tidak mungkin menurunkan lagi teks-teks suci
kepada manusia. Sementara zaman terus berkembang tak bisa dikendalikan oleh
teks suci agama manapun. Maka teks agama harus diberik makna metaforis
agar berkembang mengikuti perkembangan zaman. Sehingga ia tetap menjadi
pegangan bagi ummat manusia. Mandat sebagai khalifah telah mengukuhkan
manusia sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap al-Qur’an.[89]
2. Persamaan dan Perbedaan konsep rasional M. Abduh dan
Harun Nasution
Setiap
manusia diciptakan oleh Allah berbeda-beda[90]
dalam aspek apapun, tidak terkecuali dengan perkembangan akal manusia. Oleh
karenya produk pemikiran yang ditelorkan oleh masing-masing individu juga pasti
berbeda sebab perbedaan daya akalnya. Terkadang tidak sedikit produk pemikiran
seseorang itu disebabkan karena konteks masa dan kondisi dimana dia hidup,
sehingga latar belakang seperti ini juga bisa mempengaruhi perbedaan paradigma
berfikir tiap-tiap orang. Hal ini juga terjadi pada kedua tokoh yang penulis
bahas ini. Karena perkembangan akal yang berbeda dan konteks masa serta kondisi
dimana kedua tokoh ini hidup berbeda maka tidak menutup kemungkinan konsep yang
ditawarkan oleh mereka berbeda, sekalipun ada aspek-aspek kesamaannya. Disini penulis
akan menjelaskan segi persamaan dan perbedaan diantara kedua tokoh tersebut.
a. Segisegi persamaan
1. Dalam
pembahasan akal dan wahyuoleh kedua tokoh ini, diarahkan untuk mengembalikan
pengertian yang tepat terhadap Islam. Dimana sebelumnya terjadi pemahaman dan
pelaksanaan yang menyimpang. Penyimpangan tersebut dalam bentuk memadamkan
cahaya Islam, dimana Islam diterapkan secara taklid buta dan terjadinya bid’ah yang melanda masyarakat.
2. M.
Abduh dan Harun Nasution dalam pemikirannya selalu bersumber kepada al-Qur’an
dan Hadis. Karena menurut keduanya akal dan wahyu berjalan serasi.
3. Baik
Harun Nasution ataupun M. Abduh, akal itu sebagai alat untuk mengetahui sesuatu
dan mencapai sesuatu yang mungkin ada dan sesuatu yang wajib ada. Dan akal juga
merupakan jalan dalam mencapai sesuatu ilmu terhadap barang yang mustahi
adanya. Sedangkan mengenai wahyu menurut mereka adalah sebagai berita dan
pemberitahuan secara rahasia.
4. Kedua
tokoh ini menghendaki tatanan masyarakat Islam yang lepas dari sikap taklid.
Yaitu taklid akan membawa manusia kearah peradaban yang kacau, sebab daya
kreasi manusia diikat oleh doktrin yang manusia tidak tahu asal usulnya.
5. Pemikiran
keduanya berangkat dari ide. Keduanya terkenal dengan julukan tokoh
pembaharuan. M. Abduh (Mesir, yang sekarang tokoh pembaharu Ummat Islam), dan
Harun Nasution (Indonesia) yang gerak berangkatnya “sosial kemasyarakatan dan
bidang pendidikan” sehingga terlihat sekali arah pembaharuannya yaitu
menghendaki suatu tatanan masyarakat yang dinamis, yang dalam hidupnya
dianugerahi nilai-nilai Agama.
6.
M. Abduh dan
Harun Nasution adalah seorang pengajar dan pendidik. Mereka mempunyai obsesi
membebaskan pemikiran dari ikatan taklid dan memahami ajaran Agama sesuai
dengan jalan yang ditempuh ualama zaman klasik, yaitu zaman sebelum timbulnya
perbedaan-perbedaan faham, yaitu dengan kembali kepada sumber-sumber Agama.
b. Segi perbedaan
1. M.
Abduh dalam memberikan penjelasan mengenai akal lebih terperinci dan mendetail,
begitu juga sebaliknya mengenai wahyu. Kadang-kadang orang mengalami kesulitan
dalam menebaknya. Kadang-kadang kelihatannya pengagungannya terhadap akal itu
tinggi seperti golongan Mu’tazilah. Disisi lain sikapnya menunjukkan seperti
Asy’ariah. Sedangkan Harun dalam menjelaskan akal dan wahyu lebih bersifat
modern dan dapat secara jelas diterima oleh pembaca. Karena Harun menginginkan
Ummat Islam berfikir modern dan kritis.
2. Menurut
M. Abduh ilmu teologi adalah ilmu yang membahas wujud Allah, sifat-sifat Nya,
dan masalah kenabian. Sementara menurut Harun Nasution, definisi yang
ditawarkan Abduh itu kurang lengkap. Alam ini adalah ciptaan Tuhan, oleh karena
itu teologidisamping hal-hal diatas juga memuat hubungan Tuhan dengan
Makhluknya.
3. Kondisi
sosial kultural dimana M. Abduh menetap di Mesir sangat kondusif untuk menyebarkan
ide-ide pembaharuannya. Hal ini disebabkan oleh kareana ide-ide pembahruan
sudah banyak ditanamkan di Mesir oleh para pembaharunya. Sementara itu kondisi
di Indonesia (negara yang ditempati Harun Nasution) tidak kondusif dan masih
banyak masyarakat yang berfikir kolot. Kondisi ini diperparah oleh pemerintah
setempat yang menuduhnya sebagai orang yang telah kelewatan menggunakan
akalnya. Hal ini disebabkan oleh ide-ide pembaharuan yang dilontarkannya.
Demikianlah
penjelasan tentang aspek persamaan dan perbedaan pemikiran yang ditawarkan oleh
kedua tokoh yang berbeda dari segi masa dan kondisi dimana mereka tumbuh.
E. Kesimpulan
Setelah diuraikan
secara sistematis dalam sub-sub pembahasan diatas, maka disini penulis bisa
menyimpulkan bahwasannya konsep rasional yang mereka tawarkan adalah dalam
rangka memahami nilai-nilai ajaran Islam baik itu yang terdapat dalam al-Qur’an
ataupun Hadis. Dan dalam hal ini yang menjadi alat yangterpenting dalam
memahami kedua sumber itu adalah Akal. Dimana akal ini digunakan semaksimal
mungkin untuk mengaktualisasikan serta mengkonseptualisasikan nilai-nilai
ajaran Islam baik al-Qur’an atau hadis sehingga relevan dengan perkembangan
kehidupan manusia yang selalu dinamis, dan bisa menjawab problematika yang
dihadapi oleh ummat.
Konsep rasional dalam
memahami nlai-nilai ajaran Islam dengan aktivitas akal sebagai fondasinya
bertujuan untuk memerangi sikap fatalisme atau kejumudan yang membudaya di
masyarakat Islam yang mana hal ini menyebabkan masyarakat Islam tidak mau
menggunakan potensi akalnya dan hanya melakukan taklid secara membabi buta,
yang pada akhirnya hal ini menadi sebab atas kemunduran agama Islam dalam
kebudayaan dan peradaban.
Dalam memahami ajaran
agama kedua tokoh diatas menyeru supaya ummat islam mengembalikannya kepada dua
sumber orisinilnya yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah, dan meninggalkan
bentuk-bentuk praktek keagamaan yang mengantarkan ummat islam pada jurang
kebid’ahan dan kekhurafatan.
Namun sekalipun kedua
tokoh tersebut dalam menawarkan konsep rasional dalam memahami nilai-nilai
ajaran agama. Kedua tokoh itu memberikan tawaran supaya tidak meninggalkan
wahyu, sebab fungsi wahyu menurut mereka adalah pemberi informasi dan
mengkonfirmasi pengetahuan yang di lalui melalui proses aktivitas akal. Namu
demikian tidak terlalulu tunduk pada teks-teks keagamaan, sebab kedua tokoh itu
menjelaskan bilaman ada teks keagamaan yang bersifat dzanny bertentangan
dengan akal, maka harus diinterpretasi agar relevan dengan pandangan akal.
[1]
Harun Nasution, Pembaharuan
Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Penerbit Bulan
Bintang, 1975), hlm. 11
[2]
Harun Nasution, Pembaharuan
Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Penerbit Bulan
Bintang, 1975), hlm. 11
[3]
Rasionalisme (Rasional)
adalah pandangan bahwa akal memiliki kekuatan independen untuk dapat mengetahui
dan mengungkapkan prinsip-prinsip pokok dari alam, atau terhadap sesuatu
kebenaran yang menurut logika, berada sebelum pengalaman, tetapi tidak bersifat
analitik. Lihat Pius A Partanto dan M. Dahlan al-Barry, dalam Kamus Ilmiyah
Populer (Surabaya: Arkola, 2001), hlm.653-654. Lihat juga Loreus Bagus, Kamus
Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 929
[4][4]
Istilah Qath’iyat
al-Wurud merupakan istilah dalam ilmu Ushul al-Fikih. Pada dasarnya kata
tersebut terdiri dari dua kata yang dijadikan satu, sedangkan yang dimaksud
dengan kata Qath’iy itu sendiri adalah sesuatu yang menunjuk pada makna
tertentu yang harus dipahami darinya dan tidak mengandung kemungkinan takwil.
Sehingga jika term ini disatukan dengan kata al-Wurud maka akan
menghasilkan pengertian sesuatu yang bersifat absolut yang datangnya
benar-benar dari Allah. Lihat diantaranya Wahbah al-Zuhaili dalam al-Ushu
al-Fiqh al-Islami ataw Abd al-Wahhab Khallaf dalam ilmu Ushu al-Fiqh
[5]
Jika tadi yang dimaksud
dengan istilah Qath’iyat al-Wurud sebagaimana yang dimaksud diatas, maka
dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan istilah Qath’iy al-Dalalah
adalah sesuatu yang artinya sudah pasti, jelas, dan absolut yang tidak
memungkinkan untuk ditakwil. Lihat diantaranya Wahbah al-Zuhaili dalam al-Ushu
al-Fiqh al-Islami ataw Abd al-Wahhab Khallaf dalam ilmu Ushu al-Fiqh
[6]
Harun Nasution, Islam
Rasional; Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hlm.9
[7]
Jainuri, Ideologi Kaum
Reformis melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiah Periode awal, (Surabaya:
Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat/LPAM, 2002). Hlm.41
[8]
A. Mukti Ali, Alam
Pikiran Islam Modern Di Timur Tengah, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1995),
hlm. 429
[9]
Harun Nasution, Pembaharuan
Dalam Islam; Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang,
1975), hlm.58
[10]
Harun Nasution, Pembaharuan
Dalam Islam; Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang,
1975), hlm.59
[11]
Harun Nasution, Pembaharuan
Dalam Islam; Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang,
1975), hlm.60
[12]
Al-Sanusiayah merupakan gerakan tarekat dalam
aspek tasawuf yang dipelopori oleh Muhammad bin Ali al-Sanusi yang merupakan
pemimpin Islam di Afrika Utara. Tarekatnya bebas dari syirik dan khurafat.
Beliau menyeru kepada ijtihad dan memerangi taklid. Gerakan ini terpengaruh
oleh pemikiran Ahmad bin Hambal dan Syaikh al-Islam Ibnu Taimiah.
[13]
A. Mukti Ali, Alam
Pikiran Islam Modern Di Timur Tengah, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1995),
hlm. 434
[14]
Jamaluddin al-Afghani
merupakan tokoh pembaharuan dalam Islam yang tempat tinggal dan aktivitasnya
berpindah dari satu negara Islam ke negara Islam lainnya. Pengeruh terbesarnya
ditinggalkan di Mesir. Beliau lahir di Afghanistan tahun 1839 dan meninggal dunia
di Instanbul di Tahun 1897. Lihat dalam Harun Nasution, Pembaharuan Dalam
Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang,
1975), hl. 51
[15]
A. Mukti Ali, Alam
Pikiran Islam Modern Di Timur Tengah, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1995),
hlm. 441
[16]
Harun Nasution, Pembaharuan
Dalam Islam; Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang,
1975), hlm.61
[17]
Revolusi Urabi Pasya adalah
tentara, perwira-perwira yang berasal dari mesir berusaha mendobrak kontrol
yang diadakan oleh perwira-perwira Turki dan Sarkas yang selama ini menguasai
tentara Mesir. Setelah berhasil dalam usaha ini, mereka dalam pimpinan Urabi
Pasya juga dapat menguasai pemerintahan. Pemerintahan yang berada dalam
golongan nasionalis ini, menurut Ingris adalah berbahaya bagi kepentingannya di
Mesir. Untuk menjatuhkan Urabi Pasya , Inggris di Tahun 1882 membom Alexandria
dari laut, dan dalam pertempuran yang kemudian terjadi, kaum Nasionalis Mesir
dengan lekas dapat dikalahkan Ingris, dan Mesirpun berada dibawah kekuasaan
Inggris. Lihat, Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah dan
Pemikiran, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1975), hlm.61
[18]
Harun Nasution, Pembaharuan
Dalam Islam; Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang,
1975), hlm.61
[19]
Harun Nasution, Muhammad
Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI PRESS, 1987), hlm.18
[20]
Harun Nasution, Muhammad
Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI PRESS, 1987), hlm.18
[21]
Dewan Eseklopedia Islam, Enseklopedia
Islam, Juz 3, cet.I (Jakarta: Penerbit Ichtiar Baru Van Hoove, 2001), hl.
258
[22]
Kata jumud mengandung
arti keadaan membeku, keadaan statis, tak ada perobahan. Dengan kata lain
masa-masa jumud adalah masa dimana Ummat Islam berda dalam kondisi
stagnasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan, pemikiran, filsafat dan lain
sebagainya. Sebab pada masa itu diyakini dimana pintu ijtihad ditutup. Lihat
Harun Nasution dalam, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan
(Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1975), hlm. 62
[23]
Harun Nasution, Pembaharuan
Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Penerbit Bulan
Bintang, 1975), hlm. 62
[24]
Mohammad dkk, Tokoh-tokoh
Islam yang berpengaruh pada abad 20, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 228
[25]
Materi akal dalam al-Qur’an
terulang sebanyak 49 kali, semuanya datang dalam bentuk fi’il mudhari’ kecuali satu. Terutama yang bersambung dengan wawu jama’ seperti bentuk ta’qilun atau ya’qilun. Kata kerja ta’qil
terulang sebanyak 24 kali, dan kata ya’qil terulang sebanyak 22 kali, sementara kata ‘aqala, na’qilu, dan ya’qilun masing-masing terdapat satu
kali. Lihat dalam Yusuf Qardhawi, al-‘Aql
wa al-‘Ilm fi al-Qur’an, diterjemahkan oleh al-Kattani dkk dengan judul akal dan ilmu dalam al-Qur’an
(Jakarta: Gema Insani, 1998), hlm. 19
[26]
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran
dan Gerakan (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1975), hlm. 65
[27]
M. Muhaimin, Ilmu Kalam sejarah dan aliran-aliran,
(Semarang: Fak. Tarbiyah IAIN Semarang, 1999), hlm. 194
[28]
Muhammad Abduh, Risala
al-Tauhid, (Syiria: Dar al-Syuruuq, 1994), hlm. 57
[29]
Harun Nasution, Muhammad
Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI PRESS, 1987), hlm. 44
[30]
Harun Nasution, Muhammad
Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI PRESS, 1987), hlm. 44
[31]
Kahawas adalah orang-orang yang khusus,
utama dan mulia, karena di anugerahi pemikiran yang cemerlang dan tidak
tergesa-gesa dalam mengambil kesimpulan, sehinnga orang-orang seperti ini
dikategorikan orang yang istimewa dan utama. Sedangkan awam adalah
kebalikan dari pada khawas. Lihat dalam Pius A Partanto dan M. Dahlan
al-Barry, Kamus Ilmiah Populer , (Surabaya: Arkola, 2001), hlm. 340
[32]
Harun Nasution, Muhammad
Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI PRESS, 1987), hlm. 53
[33]
Harun Nasution, Muhammad
Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI PRESS, 1987), hlm. 47
[34]
Muhammad Abduh, al-Islam
Din al-‘Ilm wa al-Madaniyah, diterjemahkan oleh Muhammad Fadhilah dan
Muhammad Abqary dengan judul: Islam Ilmu Pengetahuan dan Masyarakat Madani,
(Jakarta: PT Grafindo Persada, 2005), hlm. LXI
[37]
Nur Lelah Abbas, sistem
Pemikiran Teologi Muhammad Abduh, (subuah Journal yang diterbitkan UIN
Alauddin Makasar, t.th), hlm. 57
[38] Harun Nasution, Islam
Rasional; Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Penerbit Mizan, 1995), hlm.139
[39]
Esposito, Ensiklopedi
Oxford Dunia Islam Modern, Jilid I, (Bandung: Penerbit Mizan, 2002), hlm.
13
[40]
Harun Nasution, Falsafah
Agama, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1973), hlm. 186
[41]
Harun Nasution, Pembaharuan
Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Penerbit Bulan
Bintang, 1975), hlm. 66
[42]
Zaman dimana pada zaman itu
belum diciptakan alam dan isinya oleh Allah, yang ada pada masa itu hanya
sesuatu yang berupa non materi. Disitu hanya terdapat ide-ide pokok Tuhan saja.
Lihat antara lain dalam William C Chittik, Dunia Imajinal Ibn ‘Arabi, ()
[43]
Harun Nasution, Muhammad
Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI PRESS, 1987), hlm. 64
[44]
Harun Nasution, Pembaharuan
Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Penerbit Bulan
Bintang, 1975), hlm. 66
[47]
Mohammad dkk, Tokoh-tokoh
Islam yang berpengaruh pada abad 20, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 228
[49]
Rasyid Ridha, Tafsir
al-Qur’an al-Karim al-Mustahir bi al-Ism bi al-Tafsir al-Mannar, Jilid IV
(Cairo: Dar al-Mannar, 1948), hlm. 195
[50]
Mohammad dkk, Tokoh-tokoh
Islam yang berpengaruh pada abad 20, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 228
[51]
Mohammad dkk, Tokoh-tokoh
Islam yang berpengaruh pada abad 20, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 229
[52]
A. Hanafi, pengantar
Teologi Islam (Jakarta: PT. Al husna Dzikra, 2001), hlm. 158
[53]
Harun Nasution, Pembaharuan
Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Penerbit Bulan
Bintang, 1975), hlm. 64
[54]
Nurlaelah Abbas dalam Muhammad
Abduh; Konsep Rasionalisme Dalam Islam (Journal Dakwah Tabligh, Vol 15,
No.1, Juni 2014), hlm. 60
[55]
Nurlaelah Abbas dalam Muhammad
Abduh; Konsep Rasionalisme Dalam Islam (Journal Dakwah Tabligh, Vol 15,
No.1, Juni 2014), hlm. 61
[56]
Nurlaelah Abbas dalam Muhammad
Abduh; Konsep Rasionalisme Dalam Islam (Journal Dakwah Tabligh, Vol 15,
No.1, Juni 2014), hlm. 61
[57]
Nurlaelah Abbas dalam Muhammad
Abduh; Konsep Rasionalisme Dalam Islam (Journal Dakwah Tabligh, Vol 15,
No.1, Juni 2014), hlm. 61
[58]
M. Quraish Shihab, Rasionalitas
al-Qur’an; Studi Kritis Tafsir al-Mannar, (Jakarta: Penerbit Lentera
Hati, 2004), hlm. 19
[59]
Zaim Uchrawi dan Ahmadie
Taha (Penyunting), Menyeru pemikiran rasional Mu’tazilah dalam Refleksi
Pembaharuan Pemikiran Islam; 70 Tahun Harun Nasution (Jakarta: Panitia
Penerbitan Buku dan Seminar 70 Tahun Harun Nasution dan Lembaga Studi Agama dan
Filsafat, 1989), hlm. 3 - 5
[60]
Penulis belum menemukan
namanya. Dalam biografi yang dituliskan Harun Nasution di buku Refleksi
diatas, ia tidak menyebutkan nama ibunya. Adat mandaing sebenarnya melarang
perkawinan satu marga. Akan tetapi Abd al-Jabbar Ahmad melawan adat karena
beliau mengetahui dalam Islam hal itu dibolehkan.
[61]
Harun Nasution, Islam
Rasional; Gagasan dan Pemikiran, (bandung: Penerbi Mizan, 1995), hlm. 5
[62]
Harun Nasution, Islam
Rasional; Gagasan dan Pemikiran, (bandung: Penerbi Mizan, 1995), hlm. 6
[64] Harun Nasution, Akal dan
Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: UI PRESS, 1986), hlm. 16 - 17
[67]
Harun Nasution, Muhammad
Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI PRESS, 1987), hlm. 71 -
73
[68]
Harun Nasution, Teologi
Islam, (Jakarta: UI PRESS, 1972), hlm. 80
[69] Harun Nasution, Akal dan
Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: UI PRESS, 1986), hlm.81
[70]
Harun Nasution, Islam
ditinjau dari berbagai aspeknya, (Jakarta: UI PRESS, Jilid I, 2001), hlm.
28
[77]
Harun Nasution, Teologi
Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI PRESS,
1985), hlm. 82
[78]
Abu al-Fath Abd al-Karim
ibn Abu Bakr Ahmad al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Kairo: Dar
al-Fikr, 1951), hlm. 52
[79]
Harun Nasution, Teologi
Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI PRESS,
1985), hlm. 83 - 84
[80]
Harun Nasution, Teologi
Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI PRESS,
1985), hlm. 88 - 90
[83]
Harun Nasution, Islam
rasional; Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Penerbit Mizan, 1995), hlm. 26 -
27
[84]
Harun Nasution, Islam
rasional; Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Penerbit Mizan, 1995), hlm. 33
[85]
Harun Nasution, Islam
rasional; Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Penerbit Mizan, 1995), hlm. 34
[86]
Harun Nasution, Islam
rasional; Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Penerbit Mizan, 1995), hlm. 34
[87]
Ali Usman, Kebebasan
dalam Perbincangan Filsafat Pendidikan dan Agama, (Yogyakarta: Pilar Media,
2006), hlm. 135
[88]
Abdul Salim Mukmin, Pemikiran
Islam antara akal dan Wahyu (Jakarta: Media Tamasarana, 1988), hlm. 5
[89]
Abdul Salim Mukmin, Pemikiran
Islam antara akal dan Wahyu (Jakarta: Media Tamasarana, 1988), hlm. 137
[90]
Tentang perbedaan ini
sebenarnya telah dijelaskan dalam firman Allah: وَمِنْ آَيَاتِهِ خَلْقُ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي
ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ “dan sebagian dari
tanda-tanda kekuasaan Allah, dia menciptakan langit dan bumidan perbedaan bahsa
mu dan warna kulitmu sesungguhnya didalam hal yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang mengetahui ”
dari ayat ini sudah menjadi takdir Allah bahwasannya Allah menciptakan makhluk
itu berbeda-beda, yang pada akhirnya berkorelasi dengan perintah Allah supaya
saling mengenal. Lihat antara lain dalam M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah
No comments:
Post a Comment