Wednesday, November 15, 2017

PENERAPAN PENDEKATAN FEMINIS KAJIAN ATAS KARYA SACHIKO MURATA “THE TAO OF ISLAM; A SOURCEBOOK ON GENDER RELATIONSHIP IN ISLAMIC THOUGHT”

PENERAPAN PENDEKATAN FEMINIS
KAJIAN ATAS KARYA SACHIKO MURATA “THE TAO OF ISLAM; A SOURCEBOOK ON GENDER RELATIONSHIP IN ISLAMIC THOUGHT”
Nurhikmah 16771031
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Program Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

A.  Dasar Pemikiran
Kata gender[1] berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (sex). Pada awalnya kedua kata tersebut (gender dan sex) digunakan secara rancu. Dengan pengamatan yang sepintas saja,tanpa harus melalui penelitian dengan seksama, setiap pengamat masalah-masalah perempuan dan keperempuanan melihat bahwa perempuan sepanjang sejarah peradaban hanya memainkan peran sosial-ekonomi apalagi politik yang lebih kecil jika dibandingkan dengan peran laki-laki.
Persoalan hak-hak perempuan atau yang biasa disebut isu gender, merupakan salah satu isu besar dalam pemikiran Islam kontemporer di samping isu demokrasi, pendidikan, relasa agama dan negara. Isu ini muncul dari keprihatinan yang sangat mendalam atas ketertindasan dan perlakuan tidak adil terhadap kaum perempuan dalam seluruh ruang kehidupan mereka karena adanya narasi al-Qur’an yang menimbulkan beragam penafsiran. Namun adanya beragam penafsiran itu justru memperlihatkan kondisi al-Qur’an yang memiliki kemampuan adaptasi dengan tingkat kemajuan peradaban umat manusia.[2]
Problem peminggiran perempuan tidak hanya dikarenakan masalah struktural, tetapi juga karena persoalan kultural, seperti pengaruh sistem kepercayaan dan pemahaman keagamaan. Pemahaman parsial dan literal terhadap teks-teks al-Qur’an dan hadist tampaknya. Dalam masyarakat muslim, sebagian ulama masih berpegah teguh pada kaidah lama yang menekankan pada pemahaman tekstual dalil-dalil syar’i, sehingga produk-produk hokum yang dikeluarkan tidak berbeda jauh dengan bunyi harfiah dari teks yang ada. Para pakar dan bahkan publik umum mengutip pernyataan-pernyataan dari Barat abad pertengahan yang berpandangan bahwa wanita dalam Islam tidak memiliki jiwa.
Di tengah-tengah pertentangan penafsiran terhadap isu-isu yang berhubungan dengan perempuan tersebut, hadir cendikia asal Jepang yang memberikan sumbang­sihnya dalam bentuk pemikiran mengenai pembahasan ini. Dia adalah Sachiko Murata, Profesor studi-studi agama pada Department of Comparative Studies di State University of New York - Stony Brook, Amerika Serikat, yang mendapat gelar Ph.D di bidang Hukum Islam pada Fakultas Teologi Universitas Teheran, Iran. Beliau menyajikan banyak hal, seperti kosmologi, seni, agama, filsafat, etika, termasuk relasi gender yang kesemuanya disusun menjadi satu rangkaian kesatuan yang mengagumkan. Pendekatan yang dipakai Prof. Murata untuk menjelaskan relasi gender adalah dengan fenemenalogis, sebab menurutnya para pemikir selama ini hampir tidak pernah mengkaji Islam dari sudut pandang tersebut.oleh sebab itu, ia hadir menjelaskan relasi gender dalam kosmologi dan teologi dalam Islam bukan dari konteks barat,dengan segala asumsinya mengenai seksualitas dan peran gender yang tersirat, tetapi dari sudut pandanganTimur. Ia menjelaskan bahwa maskulitas dan feminitas pada tataran manusia masing-masiang memiliki sisi positif dan negative nya, dimana keduanya ada untuk saling melengkapi. Buku ini selalu menakankan tentang keseimbangan dan kesatuan yin dan yang, feminitas dan maskulitas, jamal dan jalal sebagai tujuan penciptaan. 



B.  Biografi Sachiko Murata
Sachiko Murata adalah Profesor Studi –studi agama pada Departemen of Comparative di Studies University of York at Stony Brook, Amerika Serikat. Ia adalah seorang mahasiswa yang tengah mempelajari hokum keluarga di Universitas Chiba di pinggiran kota Tokyo. Ketertarikan nya terhadap Islam bermula pada apa yang ia ketahui tentang hokum keluarga Islam, yang membolehkan seorang pria mempunya empat istri dengan adil.
Ia mendapat tawaran oleh seorang sahabat nya dari Iran untuk belajar hokum Islam di Universitas Teheran. Sebelumnya ia mempelajari bahasa Persia terlebih dahulu. Selama tiga tahun ia menempuh kuliah dan kemudian menulis disertasi Ph.D dalam bidang sastra Persia tentang peranan kaum wanita dalam Haft Paykur, sebuah karya puisi oleh Nizhami (w. sekitar 600 H/1204).[3] Kemudian ia menyaadari bahwa kedudukan kaum wanita dalam Islam yang semula di pelajari oleh orang Jepang dari sumber orang-orang Barat kenyataannya sama sekali tidak berkaitan dengan realitas masyarakat Iran membuat ia memutuskan untuk pindah ke Fakultas Teologi di Teheran, dimana ia adalah orang non-Muslim pertama yang mendaftar masuk dalam program yurisprudensi (fiqh).
Dalam mengkaji teks-teks sulit dari yurisprudensi (fiqh) Sachiko Murata dibantu oleh tutor pribadi nya bernama Sayyid Hasan Iftikharzada Sabziwari[4]. Selain itu ia juga di bimbing oleh Toshihiko Izutsu[5]. Selain mempelajari Fiqh di Iran, Sachiko Murata juga mempelajari tradisi kearifan. Ia juga mengikuti kuliah Profesor Izutsu tentang Fushush Al-Hikam karya Ibn Al-Arabi. Selama beberapa tahun, ia juga menghadiri kuliah yang disampaikan oleh Sayyid Hosein Nasr tentang karya klasik besar Persia yang menganut mazhab Ibn Al-Arabi, Syarhi Ghulsyan-I Raz. Ia juga menelaah dan mengkaji ajaran cemerlang Jalal Al-Din Huma’i.
     Pada 1977, ia memutuskan untuk menulis disetasi Ph.D nya dengan membandingkan ajaran-ajaran Islam dan Kong Hu Cu tentang keluarga,selama masa tersebut ia mempelajari I Ching bersama Profesor Izutsu sehingga membuat nya akrab dengan kedalaman filosofis eksplisit dalam pemikiran Cina. Namun Revolusi Iran yang terjadi pada saat itu, studi Sachiko Murata terputus, ia bersama suaminya William C. Chittick[6] kembali ke Amerika dan melanjutkan riset dalam tradisi intelektual.
Pada tahun 1983, menetap di New York dan mengajar di Stony Brook tepatnya di Department of Comparative Studies, State University of New York. Ia mengajar tentang “Spiritualitas Feminin dalam Agama-agama Dunia”. Di samping itu, ia juga menjadi direktur pada Japanese Studies yang didirikan sejak 1990 dan aktif mengajar Studi Jepang, Budhisme Jepang, Spiritualitas Feminin dalam agama-agama Dunia serta kursus mengenai Islam dan Konfusionisme.[7]
C.  Karya-karya Sachiko Murata
Buku-buku Sachiko Murata yang sudah dipublikasikan antara lain:
1.    Izdi Waj’i Muwaqqat, Teheran Hamdani, 1978, 97 pp.
2.    Isuramu Hooriran Jestsu - Principle of Islamic Law, Translation with Introduction and Commentary of Ma’alim al-Usul by Shaykh Hasan, Tokyo: Iwanami (Islamic Classics, general editor Toshihiko Isutzu, 1985, 564 pp).
3.    Temporary Marriage in Islamic Law, London: Muhammadi Trust, 1987, 73 pp, reprinted qum: Ansariyan Publications, 1991.
4.    The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relationship in Islamic Thought, Albany: SUNY Press, 1992, 410 pp. Indonesian translation by Ratna Megawangi, Bandung, Mizan, 1995.
5.    Sachiko Murata and William C. Chittick, The Vision of Islam, New York: Paragon, 1994, 39+368 pp. Pakistan edition: Lahore: Suhail Academy, 1998.
6.    Chinese Gleams of Sufi Light: Wang Tai-yu’s Great Learning of The Pure and Real liu Chih’s Displaying The Concealment of The Real Realm, Albany: Suny Press, in production (2000).
Artikel-artikel yang telah ditulisnya, antara lain:
1.    Shiaha Isuramu no Tokushoku (Characteristic of Shi’ite Islam), Isuramu Pawa no Kenkyu, vol. 2, Tokyo: Chutoo Choosakai, 1982, pp.
2.    Akund Korasani: His Importance in Osul, Encylopedia Iranica, London: Routdge and Kegan Paul, Vol. 1, 1984, pp. 734-35.
3.    Anshari, Syaikh, Ibid., Vol. 2, 1985, pp. 102-103. 35
4.    Angels on Islamic Spirituality: Foundation of World Spirituality (An Encyclopedia History of the Religions Quest), New York: Cross Road, Vol. 19, 1987, pp. 324-344.
5.    Masculline/ Feminine Complementary in Islamic Spiritual Psychology, Islamic Quartely 33, 1989, pp. 165-187.
6.    The Tao of Islamic, Sufi 5, 1990, pp. 17-21.
7.    Myteries of Marriage: Notes on Sufi Text, the Legacy of Mardieval Persian Sufism, edited by Leornard.
8.    Kawaranu Hito, (The Unchanging Personality).
9.    Isuramu to Josei (Islam and Women).
10.    Witnessing the Rose: Ya’qub Sarfi on The Vision of God in Women.
11.    Ta’lim al-Islam Dar Maghrib Zamin (Teaching Islam in the West).[8]

D.  Latar belakang dan Tujuan Pembuatan Buku The Tao of Islam
Lahirnya buku The Tao of Islam; kitab rujukan tentang relasi gender dalam kosmologi dan teologi Islam yang di gagas oleh Prof Sachiko Murata memiliki sejarah yang panjang. Berawal dari ketertarikan nya terhadap Islam, ketika ia tengah menempuh studi hokum keluarga di Universitas Chiba di pinggiran Tokyo. Ia begitu tertarik ketika mendengar tentang hokum keluarga Islam, yang membolehkan seorang pria mempunyai empat istri dengan tetap menjunjung nilai-nilai keadilan, mempertahankan kedamaian dan keharmonisan dalam keluarga. Akhirnya setelah satu tahun ia bekerja di badan hokum, rasa keingintahuan yang besar mengantarkan Sachiko Murata memperdalam keilmuan nya tentang hokum Islam di Universitas Teheran. Selama tiga tahun menempuh kuliah dan kemudian menulis disertasi dalam bidang sastra Persia tentang peranan kaum wanita dalam Haft Paykar, sebuah karya puisi oleh Nizhami.
Kesadaran nya tentang kedudukan kaum wanita dalam Islam yang semula di pelajari oleh orang Jepang dari sumber orang-orang Barat sama sekali tidak berkaitan dengan realitas masyarakat Iran membuat ia memutuskan untuk pindah ke Fakultas Teologi di Teheran, dimana ia adalah orang non-Muslim pertama yang mendaftar masuk dalam program yurisprudensi (fiqh). Pada saat itu kebanyakan rekan kuliah Sachiko murata adalah para mullah yang memerlukan gelar untuk bisa berhasil dalam orde baru. Meskipun ia adalah satu-satunya perempuan, namun ia selalu diperlukan dengan penuh sopan dan hormat oleh dosen dan para mahasiswa. Ia juga berkesempatan mempelajari hokum Islam dari beberapa otoritas terkemuka dalam bidang tersebut.
Salah satu dari sekian banyak kenangan yang paling indah dan mengesankan bagi Sachiko murata adalah ketika ia belajar dan mengkaji beberapa teks tersulit dari yurisprudensi (fiqh) dan prinsip-prinsip yurisprudensi (ushul fiqh) bersama tutor privat nya, Sayyid Hasan Iftikharzada Sabziwari, yang mengenakan surban ulama dan sangat terdidik dalam metodologi tradisional, juga sebagai seorang mahasiswa untuk meraih gelar Ph.D dalam bidang filsafat Islam di Universitas Teheran. Selain itu ia juga mendapat bantuan dan bimbingan umum dari professor Toshihiko Izutsu dalam menerjemahkan teks klasik abad ke-10 H/16 M, tentang prinsip -prinsip yurisprudensi, Mu’alim Al-Ushul, ke dalam bahasa Jepang. Bertahun-tahun ia bergaul dan bekerja dengan para sarjana seperti Gurji, Iftikharzada, ia merasa tidak pernah diperlakukan secara khusus hanya karena ia adalah seorang perempuan.
Latar belakang ketimuran Sachiko Murata berawal dari kontak-kontak nya dengan berbagai manifestasi peradaban Islam, seperti , bidang seni dan arsitektur, puisi, ajaran-ajaran hokum, adat-kebiasaan,masak-memasak, dan pandangan dunia menyeluruh tentang Islam. Hingga pada tahun 1977, seperti yang telah ditulis dalam biografi Sachiko Murata, ia menulis disertasi tentang perbandingan ajaran Islam dan Kong Hu Cu tentang keluarga. Adanya revolusi Iran, menyebabkan riset  beliau terhenti, kemudian masa tersebut ia manfaatkan untuk mempelajari I Ching bersama Profesor Izutsu sehingga ia akrab dengan kedalaman eksplisit pemikiran Cina.  Sachiko murata kembali menengok I Ching  ketika tengah mencari-cari sebuah cara untuk mengkonseptualisasikan ajaran-ajaran Islam tentang Feminin tanpa melanggar teks-teks asli. Hal ini dikarenakan untuk mengatasi masalah dan prasangka yang berakar kuat terkait Islam dan kedudukan wanita[9] ketika ia mengajar di Stony Brook pada tahun 1983 pada mata kuliah Spiritualitas Feminin dalam Agama-agama dunia. Setelah selesai mempelajari I Ching[10] dan ajaran-ajaran Cina tentang kaum wanita secara umum serangan para mahasiswa kepadanya pun menjadi reda. Tugas Sachiko murata menjadi ringan dengan mengambil cara yang sama dalam buku yakni, meninjau prinsip-prinsip yang ada dalam hubungan gender pada tataran teologi, kosmologi dan psikologi. Menjelang akhir diskusi tentang peranan ideal yang dimainkan kaum wanita dalam masyarakat yang sesuai dengan ajaran-ajaran spiritual Islam, para mahasiswa nya pun tidak sulit untuk menghargai  fakta bahwa peranan gender dalam Islam bukan tidak bertujuan sama sekali dan bukan dimotivasi oleh kepentingan- kepentingan politis.
Sejumlah sarjana modern telah melakukan berbagai telaah dan kajian tentang kedudukan gender dalam kesadaran Islam, biasanya mereka menggunakan model-model psikologis dalam pendekatan mereka, yang nyaris tidak mengakui tradisi Islam atas kemampuannya menganalisis jiwa manusia dengan caranya sendiri.
Pandangan kultural orang Barat mengenai apa yang penting dalam hidup, adalah berbeda dengan pandnagan tradisional Muslim atau orang Jepang. Di samping hal tersebut, tradisi intelektual dalam Islam juga dapat dikatakan sebagai alasan dari pandangan umum masyarakat mengenai gender. Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Sachiko Murata bahwa ia telah banyak mendalami pemikiran-pemikiran Islam dengan kembali pada al-Qur’an dan hadits. Maka dari sinilah ia menemukan titik perbedaan di dalam tradisi intelektual Islam tersebut. Melalui pendekatan tersebut yang mengacu pada tradisi intelektual Islam, maka orang-orang di dalamnya akan mempertanyakan “sebab” dari segala sesuatu, bukan sekedar “bagaimana”. Sebaliknya, para fuqaha (ahli hukum Islam) dengan melalui pendekatan legalistik syariat, lebih cenderung untuk memberitahu orang-orang tentang “apa yang harus dilakukan”. Mereka tidak bertanya “mengapa” karena mereka meyakini sepenuhnya ketentuan-ketentuan dasar syariat.[11]
Isu yang muncul dalam pemikiran modern mengenai politik gender tidak dapat didekati melalui syariat, karena syariat hanya menyampaikan perintah-perintah. Syariat tidak memberitahukan mengapa seorang wanita menerima harta waris dari orang tuanya lebih sedikit dibandingkan saudara laki-lakinya. Jika seseorang merasa keberatan, satu-satunya jawaban yang dapat diberikan oleh para fuqaha adalah bahwa Allah telah memerintahkan untuk melakukannya dengan cara seperti itu. Saat ini, para apologis Islam juga mengemukakan segala macam pertimbangan sosiologis untuk menjawab kritikan-kritikan yang diilhami oleh Barat. Tetapi pendekatan legal dan sosiologis tidak memberitahu apapun mengenai alasan-alasan yang lebih mendasar mengenai ajaran Islam.
Oleh sebab itu, dalam karya ini, Prof. Sachiko Murata tertarik mempelajari karya-karya tokoh intelektual yang telah mempertanyakan masalah-masalah fundamental berkaitan dengan hakikat gender dalam matriks realitas tertinggi. Kebanyakan tokoh ini dikelompokkan sebagai sufi. Mereka tidak membatasi diri terhadap apa yang tersurat dan interpretasi-interpretasi artifisial. Prof. Sachiko Murata juga memperhatikan beberapa wakil dari kalangan tradisi filsafat, karena para filosof juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang benar. Lagi pula, batas antara filsafat dan tasawuf teoritis sering kali sulit ditentukan. Tokoh-tokoh seperti Baba Afdhal Kasyani, Suhrawardi al-Maqtul, atau Mulla Shadra menggunakan bahasa filsafat tetapi mempunyai visi yang sama dengan inti yang terdapat dalam pendekatan sufi.[12]
Sachiko murata menulis buku ini dengan menggunakan pendekatan yang sama dengan mata kuliah yang ia ajarkan.[13] Akan tetapi ia tidak memandang metodologi yang ia gunakan bercorak komparatif. Yang ia lakukan ialah menampilkan ciri-ciri menonjol dari pemikiran Islam dengan mengacu pada prinsip-prinsip tertentu yang di gali dari sebuah tradisi non-Barat. Dengan harapan, terhindar dari pra-anggapan Studi Barat mengenai hakikat realitas dan khususnya tentang hubungan Gender. Selain itu,ia juga berharap dengan adanya sudut pandang baru ini mampu menghasilkan sesuatu yang penting dalam pemikiran Islam yang telah banyak dan sering diabaikan oleh pendekatan-pendekatan yang telah sering digunakan.  
Adapun hal lain yang menjadi tujuan penting dari karya ini ialah untuk membicarakan mengenai kritik kaum feminis terhadap Islam. Menurut Prof. Sachiko Murata, kaum feminis yang mengkritik berbagai aspek Islam atas masyarakat Islam mendasarkan posisi mereka pada sebuah pandangan dunia yang secara radikal asing bagi pandangan dunia Islam. Kritik mereka secara tipikal bercorak moral, mereka menuntut pembaruan, entah secara eksplisit atau implisit. Pembaruan yang mereka inginkan adalah pembaharuan dengan standar modern. Antara lain ini berarti ada sebuah ideal abstrak yang bisa dipahami dan harus dipaksakan dengan meruntuhkan tatanan lama. Pembaruan ini berasal dari garis yang sama dengan imperialisme Barat yang semula muncul di Timur dalam bentuk aktivitas misionaris Kristen.[14]
Banyak reformis lainnya dengan pola pemikiran Barat yang mempunyai tujuan serupa untuk berbuat kebaikan pada pihak-pihak lain. Bentuk-bentuk feminisme tertentu tampaknya benar dengan alur pemikiran ini. Kita melihat varian-varian baru pada sikap maskulin yang negatif, kuno, dan selalu ingin mendominasi yang dikenal dengan proselitisme. Di dunia Islam, atau di Jepang, dalam hal ini daya tariknya hanya didengar dan digubris oleh mereka yang telah kehilangan sentuhan dengan jagat intelektual dan spiritual mereka sendiri. Juru bicara gerakan itu mengatakan bahwa pihak-pihak lain selebihnya akan ikut menyusul mereka, begitu kesadaran mereka bangkit.
Tepat pada titik inilah dalam memahami perbedaan antara atas dan bawah, kanan dan kiri, depan dan belakang, baik dan buruk, Islam berhak dan berkewajiban menyerukan otoritas-otoritas intelektualnya sendiri untuk bersaksi. Dan orang yang hidup di Barat serta merasa peduli dengan isu-isu berkewajiban mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang benar. Sebab, semuanya ini adalah isu-isu yang sangat penting serta berkaitan erat dengan hakikat manusia. Dan inilah sebenarnya fokus perhatian dalam tradisi Islam. Apakah sesungguhnya manusia itu? Sesudah itu ditetapkan, kita bisa bertanya mengapa ada dua jenis manusia, pria dan wanita, serta bagaimana keduanya saling berhubungan. Pada titik ini, kita berhak bertanya apakah pola pergaulan antara mereka dalam situasi tertentu apa pun sudah benar. Dan yang terpenting adalah kita harus mempertanyakan prinsip-prinsip normatif yang di dalamnya kita bisa menilai kebenaran hubungan itu.[15]

E.  Argumen-Argumen Pemikiran Dasar dalam karya
1.    Pemikiran Cina dan Islam
Kosmologi Cina melukiskan alam semesta dalam batasan-batasan kerangka yin dan yang, yang bisa dipahami sebagai prinsip-prinsip eksistensi yang bersifat aktif dan reseptif atau pria dan wanita. Yin dan yang saling merangkul dalam keselarasan yang menghasilkan Sepuluh Ribu Hal, yakni segala sesuatu yang ada. Symbol terkenal Tai Chi, atau Tao, melukiskan yin dan yang sebagai gerakan dan perubahan yang konstan. Yin yang adalah prinsip-prinsip perubahan dan symbol bagi seluruh gerakan di alam semesta. Dalam kata-kata Confucius, ‘’bagaikan sebuah sungai  yang mengalir seluruh alam semsta terus-menerus mengalir siang dan malam. Eksistensi berarti perubahan harmonis dengan berpijak pada Tao.  jika harmoni antara yin dan yang hilang, maka alam semesta akan berhenti mengalir dan tak bakal ada sesuatu pun.
Ajaran-ajaran dasar filsafat Cina ini sudah akrab dan dikenal kebanyakan pembaca terdidik di Barat. I Ching dengan symbol yin dan yang  adalah pemikiran Cina yang sangat menekankan konsep harmoni dan keseimbangan antara dua prinsip eksistensi. Sebagian besar Kosmologi Islam memiliki kesamaan dengan kosmologi Cina, karena juga bertumpu pada konsep komplementaritas atau polaritas prinsip aktif dan resep aktif. Akan tetapi para orang-orang bijak Muslim menggunakan terminology yang tidak lazim. Sehingga banyak  para sarjana yang tidak tertarik untuk mengkaji lebih dalam makna dibalik institusi-institusi Islam, hal ini mengakibatkan kosmologi Islam secara praktis tidak dikenal.
Pemikiran dan praktik Islam dimulai dengan Allah, dimana keduanya ada mendahului pemikiran, dan tumbuh serta berkembang secara organis darinya.  Jika ada dualitas dalam kosmos, maka hal itu pasti terkait dengan zat yang satu, yang di luar segala dualitas. Sebelum alam semesta ada, taka da sesuatu pun kecuali pencipta. Seluruh kaum Muslim sepakat bahwa eksistensi alam semesta bergantung pada satu Realitas tunggal ini. Menurut sebuah hadis yang sering dikutip oleh kaum Sufi, Nabi bersabda, ‘’Allah ada dan tak ada sesuatu pun bersama-Nya’’. Pada mulanya yang ada hanyalah Allah. Akan tetapi, Dia sama sekali tidak termanifestasi. Tak ada satu wujudpun memperlihatkan sifat-sifat dan kualitas-kualitas individual yang dijumpai dalam zat tak terbedakan. Tradisi Cina menuturkan bahwa sebelum yin dan yang ada, sudah ada Tai Chi atau puncak Agung, dan ia sama sekali tak bisa dibedakan. Confusius mengatakan,’’ senantiasa ada Tai chi dalam perubahan. Perubahan melahirkan dua kekuatan utama. Dua kekuatan utama melahirkan empat citra. Dan empat citra melahirkan delapan trigram.
                          
Disini, dua kekuatan utama mengacu pada apa yang kemudian secara konsisten disebut yin dan yang. Hanya saja, ada sejumlah pendapat mengenai empat citra. Sebagian orang beranggapan bahwa ini adalah empat keadaan yin dan yang, yaitu yin besar atau tua, yang besar atau tua, yin kecil atau muda, dan yang kecil atau muda. Sebagian lainnya berpandangan bahwa ini adalah empat elemen atau unsur yakni, logam, kayu, air dan api. Sebagian lainnya lagi berpendapat bahwa ini adalah empat musim, dan yang lain mengatakan bahwa ini adalah kelembutan, kekasaran, bayang-bayang (yin), dan kecemerlangan  (yang).



Tak jadi soal terkait pandangan mana yang dianut, empat citra itu mempresentasikan unsur-unsur utama eksistensi, yang melahirkan perubahan dalam realitas segala sesuatu. Kesemuanya itu adalah permutasi yin dan yang. Pada tataran dan aras berikutnya, delapan trigram merepresentasikan sifat primordial eksistensi dan dilambangkan dengan ayah, ibu, tiga anak putra, dan tiga anak putri.
Confucius berkata, “Tidak ada citra-citra primordial (dari segala sesuatu) yang lebih besar ketimbang empat musim. Langit merepresentasikan yang murni dan bumi merepresentasikan yin murni. Empat musim mereprentasikan empat unsur; logam adalah musim gugur, kayu adalah musim semi, air adalah musim dingin, dan api adalah musim panas”.
Dalam semuanya ini ada perhatian konstan pada kualitas-kualitas yang dimiliki oleh berbagai fenomena yang berbeda. Kualitas paling primordial adalah kualitas Tao itu sendiri. Menurut sebuah penafsiran, kualitas itu adalah kesatuan absolut. Menurut tafsiran lainnya, ini merupakan suatu relasi yang benar-benar harmonis antara dua tendensi yang akan disebut sebagai yin dan yang. Keduanya ini tak lain adalah wajah Tao, dan masing-masing saling melebur dan bersatu. Namun, bisa ditarik satu perbedaan tegas dan itu adalah akar perbedaan yang bisa ditarik diantara empat musim, delapan trigram, enam puluh empat heksagram, dan sepuluh ribu Hal. Kesatuan Tao memanifestasikan dirinya pada setiap tataran secara spesifik sehngga setiap tataran mempunyai kualitasnya yang unik. Kualitas-kualitas tersebut memberikan identitas pada masing-masing tataran. Semua kualitas kembali kepada yang dua dan yang satu. Semua kualitas bisa ditunjukkan sebagai pola relasi pada tataran dan aras tertentu, karena semua itu memperlihatkan prinsip yang sama. Berbagai antar hubungan dan korespondesi inilah yang secara khusus menarik perhatian pakar kosmologi. Melalui kesemuanya itu, orang bisa memahami kesatuan dari keseluruhan. Tanpanya, kita hanya dibekali dengan kuantitas dan multiplisitas yang tak bermakna.[16]
2.     Polaritas Teologis
Dalam terma-terma Islam, dunia atau kosmos bisa didefinisikan sebagai segala “sesuatu selain Allah” (ma siwa Allah), tanpa berbagai kualifikasi spasial atau temporal. Seara khusus dalam tradisi intelektual belakangan, tak ada sesuatu pun didiskusikan secara terpisah dari hubungannya dengan Allah. Hubungan inilah yang membentuk sebuah perpektif. Di dalam perspektif ini bisa dicapai pemahaman yang benar. Akan tetapi, selalu ada dua hubungan fundamental yang secara radikal berbeda namun bersifat polar, karena Tuhan adalah satu realitas tunggal.[17]
Dalam satu pengertian, Tuhan secara tidak terbatas berada jauh di luar kosmos. Di sini, istilah teologisnya adalah tanzih, yang bermana menyatakan Allah sebagai Dzat yang tak terbandingkan dengan segala sesuatu yang ada. Dari sudut pandang ini, Allah benar-benar tidak bisa dijangkau oleh makhluk-makhluk-Nya dan berada jauh di luar pemahaman mereka. Inilah posisi klasik kalam. Banyak ayat yang bisa dikutip untuk menunjukkan bahwa al-Qur’an mengambil sudut pandang ini, seperti:
        
Segala puji bagi Allah, Tuhan Yang Tak Terjangkau, jauh di atas apa yang mereka sifatkan” (Q.S. 37: 180)
atau dalam ungkapan yang lebih sederhana,
Tak ada sesuatu pun serupa dengan-Nya” (Q.S. 42: 11).
Dalam hal ini, Allah adalah realitas impersonal yang berada jauh di luar jangkauan manusia. Dia adalah Tuhan dalam bentuk teologi negatif tertentu. Para teolog dogmatis yang hamper menitikberatkan ketaterbandingan Allah, mewakili hanya sejumlah kecil kaum intelektual yang secara relative kurang berpengaruh pada masyarakat secara keseluruhan islam popular, tradisi filosofis, dan tradisi spiritual yang diwakili oleh para Sufi besar menekankan atausekurang-kurangnya menyediakan peluang luas bagi adanya pandangan lain yang jelas-jelas didukung oleh banyak ayat Al-Qur’an. Tuhannya para teolog, seperti kata Ibn Arabi adalah Tuhan yang tidak mungkin dan mustahil untuk dicintai karena Dia terlalu jauh dan tak bisa dipahami. Akan tetapi Tuhannya al-Qur’an, Nabi, dan otoritas-otoritas spiritual adalah Tuhan yang benar-benar bisa dicintai, karena Dia begitu memerhatikan makhluk-makhluk-Nya. Sebagaimana dikatakan al-Qur’an:
Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (Q.S. 5: 54).
Kecintaan Allah terhadap makhluk-Nya melahirkan kecintaan makhluk kepada Allah. Tuhan yang penuh kasih sayang dan cinta ini bisa dimengerti dan dipahami. Dengan meggunakan istilah teologis, Tuhan haruslah bisa “diserupakan” (tasybih) sejauh tertentu dengan makhluk-Nya. Kita bisa dengan tepat mengetahui dan mengenal diri-Nya dalam sifat-sifat manusia. Ini adalah pandangan tentang keberadaan Tuhan dalam segala sesuatu, dan jelas didukung oleh ayat-ayat al-Qur’an semisal:
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui” (Q.S. 2: 115)
 
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya
(Q.S. 50:16).[18]

Kedua perspektif teologi dasar ini membentuk dua kutub dalam pemikiran Islam. Para pemikir muslim mengemukakan keseimbangan yang sangat bagus antara dua kutub tersebut. Teologi negatif maupun positif diperlukan untuk melahirkan pemahaman yang benar tentang realitas Ilahi. Orang bisa memperoleh pemahaman tertentu atas peran yang telah dimainkan kedua perspektif ini dalam Islam dengan melihat analogi antara penekanan Confucius pada yang dan penitikberatan Tao pada yin. Jika ditanya apakah Tao sendiri didominasi oleh yin atau yang, maka confucius akan lebih suka menjawab yang dan taois akan lebih suka mengatakan yin. Begitu pula para ahli dalam yurisprudensi dan kalam yakni otoritas-otoritas muslim yang mempertahankan ajaran-ajaran Islam lahiriah dan legalistik menekankan ketakterbandingan Allah. Mereka berpendapat bahwa Dia adalah Tuhan yang pemarah dan terus menerus memberikan peringatan tentang adanya neraka dan siksaan. Dia adalah penguasa yang jauh, mendominasi, Maha Kuasa yang perintah-perintah-Nya harus ditaati dan dipatuhi. Sebaliknya, otoritas-otoritas yang menaruh perhatian pada dimensi spiritual Islam terus-menerus mengingatkan komunitas muslim atas sabda nabi, “Rahmat Alah mendahului kemurkaan-Nya”. Mereka berpandangan bahwa rahmat, cinta, dan kelembutan adalah realitas eksistensi yang menafikan dan bahwa semuanya pada akhirnya akan menang.
Tuhan bukanlah terutama seorang ayah yang keras dan suka melarang-larang melainkan seorang ibu yang hangat dan penuh kasih sayang. Pemikiran Islam tentang Tuhan berpusat pada nama-nama atau sifat-sifat Ilahi yang diwahyukan dalam al-Qur’an yang disebut sembilan puluh sembilan nama Allah (Asma’ al-Husna). Masing-masing dari dua perspektif dasar itu ketakterbandingan dan keserupaan dikaitkan dengan nama-nama atau sifat-sifat tertentu. Ketakterbandingan Allah identik dengan nama-nama Allah seperti Maha Kuasa, Maha Tak Terjangkau, Maha Besar, Maha Pencipta, Maha Tinggi, Maha Raja. Hadits menyebut nama-nama ini sebagai nama keagungan (jalal). Dalam konteks ini Murata menyebut semuanya itu sebagai nama-nama yang, karena menekankan keagungan, kekuasaan, kontrol, dan maskulinitas.
Sebaliknya, keserupaan Allah identik dengan nama-nama Maha Indah, Maha Dekat, Maha Pengasih, Maha Lembut, Maha Pengampun, Maha Penyayang, Maha Pemberi, Maha Pemaaf, dan lainnya yang kesemuanya itu dikenal dengan nama-nama keindahan (jamal). Dan dalam konteks ini digolongkan sebagai nama-nama yin karena menekankan kepasrahan kepada kehendak dan keinginan pihak lain, kelembutan, penerimaan, dan reseptivitas.
Secara keseluruhan, pendekatan eksternal dan legalistik dalam menghampiri Islam sangat menekankan nama-nama yang. Seraya mengakui nama yin, kaum legalis menginterpretasikannya dengan cara menempatkan signifikansinya pada latar belakang. Sebaliknya, ahli-ahli hikmah menekankan nama-nama yin. Gagasan bahwa “rahmat Allah mendahului kemurkaan-Nya atau karakteristik-karakteristik yang-Nya” memberlakukan pendekatannya pada realitas. Pendekatan pertama menekankan ketakterbandingan Allah, kejauhan, dan kelainan. Dan pendekatan kedua menitikberatkan keserupaan, kedekatan, dan kesamaan-Nya.[19]
Kita sudah tahu bahwa tawhid meniscayakan adanya dua perspektif saling melengkapi tentang realitas, yang dikenal sebagai tanzih, deklarasi ketakterbandingan, dan tasybih, deklarasi keserupaan. Selain itu tanzih membangun kebesaran Allah dan kekerdilan manusia, atau realitas adalah Nyata dan kesemuan adalah tidak nyata. Hal itu menempatkn manusia pada hubungan mereka dengan Tuhannya hal tersebut memungkinkan mereka untuk memahami bahwa mereka adalah hamba Allah dan harus bertindak seperti hamba. Jika tanzih, menyadarkan kita akan perbedaan antara manusia dan Tuhan, maka tasybih memberi tahu kita bahwa manusia adalah Tuhan.[20]
Tanzih secara literal berarti menyatakan sesuatu murni dan bebasa dari sesuatu yang lain. Hal tersebut menegaskan bahwa Allah murni dan terbebas dari semua kekurangan dan ketidaksempurnaan makhluk. Dalam perspektif tanzih, Allah begitu suci dan murni, sehingga Ia tidak dapat diperbandingkan dengan segala sesuatu yang tercipta, termasuk konsep, karena semua ide kita tercipta. Seperti dalam surah as-Syura ayat 41:
ليس كمثله شىء   ( سورة الشورى : 11 )
“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi), dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. (Q.S. as-Syura: 11)
Nama-nama ilahiyah yang dianggap mengekspresikan tanzih adalah nama-nama esensi Tuhan yang sudah disebutkan di atas, seperti Maha  Agung, Maha Kaya, dan Transenden. Namun semua nama-nama keagungan dan kemurkaan dapat juga disebut nama-nama tanzih, karena menekankan perbedaan Allah dari makhluk, fakta bahwa Ia jauh berada di luar masalah sepele makhluk.
Perspektif tanzih mengokohkan ke-Esa-an Allah dengan mendeklarasikan bahwa Allah Esa dan Allah sajalah yang Nyata. Oleh karena itu segala sesuatu selain Allah tidak nyata dan tidak layak untuk dipertimbangkan realitas tunggal Allah terbebas dari semua kesemuan. Salah satu cara untuk memahami ide ketakterbandingan adalah memikirkan satu lingkaran besar tak terhingga.





 




Gambar 1 Tanzih
Dalam gambar tersebut, Allah berada di tengah; Ia merupakan titik pusat tak berdimensi yang berfungsi sebagai asal lingkaran. Dunia yang kita saksikan adalah lingkaran keliling, yang sangat jauh dari titik pusat. Terdapat banyak dunia, dan ini dapat digambarkan sebagai serangkaian lingkaran konsentris, beberapa lebih dekat dengan Allah dan beberapa lebih jauh. Semua dunia memiliki titik pusat yang sama, dan semua bersal dari titik pusat karena ketakterbandingan Allah. Hanya titik pusat yang tidak memiliki dimensi, dan ‘’Tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya’’. Pada saat yang sama tiap lingkaran konsentris serupa dengan lingkaran konsentris lainnya. [21]
Sedangkan Tasybih berarti menyatakan sesuatu serupa dengan sesuatu yang lain. Hal tersebut menegaskan bahwa Allah harus memiliki beberapa bentuk keserupaan dengan makhluk. Ayat-ayat Allah di alam semesta dan kita suci menunjukkan sifat-sifat-Nya, seperti hidup, mengetahui, berkehendak, berkekuatan, rahmat, kasih, sayang, murah hati, menetapkan. Sifat-sifat ini merupaka milik Allah, namun juga terdapat pada segala sesuatu yang diciptakan. Perspektif tasybih mendeklarasikan bahwa ke-Esa-an Allah adalah sebagimana realitasnya melingkupi semua makhluk. Untuk menggambarkan tasybih, kita dapat menggunakan titik tanpa dimensi, namun sekarang kita perlu membayangkan bahwa titik tersebut memiliki sejumlah jari-jari tak terbatas yang mengarah ke luar. Tiap makhluk di alam semesta ditempatkan dalam satu radius dan dihubungkan secara langsung dengan titik pusat, yang memperoleh realitasnya dari titik pusat tersebut. Jari-jari menegaskan perhatian Allah kepada ciptaan melalui cinta, rahmat,kasih sayang,dan kebaikan (Gambar 2).

 






Gambar 2 Tasybih
Namun demikian, baik tanzih maupun tasybih tidak memberi satu gambaran utuh mengenai realitas. Alam semesta perlu dipahami dengan menggunakan dua perspektif tersebut secara stimulant (Gambar 3).





 









Gambar 3 tawhid
 Kemudian kita melihat bahwa setiap sesuatu pada saat dekat dengan Allah sekaligus jauh dari-Nya, pada suatu saat serupa dengan Allah sekaligus tidak dapat diperbandingkan dengannya. Segala sesuatu secara stimulant dihadpakn dengan rahmat dan kemurkaan, kelembutan,kekerasan,pemberian kehidupan dan kematian,anugerah dan kemelaratan,realitas dan kesemuan. Inilah tawhid.
Singkatnya, tanzih dan tasybih mempresentasikan dua wilayah tawhid. Perspektif tawhid menegaskan ke-Esa-an Allah, yang merupakan satu-satunya realitas sejati. Mengakui bahwa Allah terkait dengan segala sesuatu di alam semesta; tanpa adanya kontak dengan realitas, segala sesuatu tidak aka nada. Menegaskan bahwa Allah jauh berada di luar jangkauan segala sesuatu (tanzih), sekaligus juga menyatakan bahwa ia hadir dalam segala sesuatu (tasybih).[22]
3.    Tanda-tanda Allah
Al-Qur’an berulang kali menegaskan bahwa segala sesuatu adalah “tanda-tanda” (ayat), dalam artian bahwa segala sesuatu mengabarkan hakikat dan realitas Allah akibatnya, banyak pemikir Muslim, khususnya ahli-ahli kosmologi, melihat segala sesuatu di alam semesta sebagai refleksi nama-nama dan sifat-sifat ilahi. Nama-nama dan sifat Ilahi ini menggambarkan dan melukiskan kualitas, semisal keagungan, keidnahan,kehidupan,pengetahuan dan sebagainya. Karenanya, dimensi kualitatif segala sesuatu sejauh bisa dibedakan dari dimensi yang hanya bercorak kuantitatif murni atau material sangatlah menarik.  Dalam hal keserupaan, kualitas-kualitas penciptaan memberitahukan kepada kita ihwal sifat-sifat Ilahi, sekalipun dalam hal ketakterbandingan, semuanya memaklumkan bahwa Allah sama sekali lain. Dalam sebuah ucapan atau hadis terkenal, Nabi menjelaskan mengapa Allah menciptakan kosmos atau alam semesta: ‘’Allah berfirman, ‘Aku adalah khazanah tersembunyi dan ingin diketahui. Karena itu, Aku lalu menciptakan mahkluk agara aku bisa diketahui’ (teks Arabnya berbunyi; kuntu kanzan makhfiyyan, fa ahbatu an’ u’raf fa khalaqtu al-khalqa li-kay u’raf) karena itu, dunia adalah lokus atau tempat di mana Khazanah tersembunyi diketahui oleh makhluk. Melalui alam semesta Allah bisa diketahui.[23] Banyak ayat al-Qur’an mengungkapkan gagasan bahwa semua objek alam adalah tanda-tanda Allah.

إِنَّ فِى اخْتِلٰفِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَمَا خَلَقَ اللَّهُ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْأَرْضِ لَءَايٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَّقُونَ
Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang-orang yang bertakwa.(Q S Yunus: 6 )
وَمَا ذَرَأَ لَكُمْ فِي الأَرْضِ مُخْتَلِفًا أَلْوَانُهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لِّقَوْمٍ يَذَّكَّرُونَ
dan Dia (menundukkan pula) apa yang Dia ciptakan untuk kamu di bumi ini dengan berlain-lainan macamnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang mengambil pelajaran .(Q.S an-nahl: 13 )
Tanda-tanda Allah yang di jumpai baik di dalam maupun di luar diri manusia, merupakan salah satu tema yang diulang-ulang dalam Al-Qur’an. Kitab tesebut menggunakan istilah tanda dalam bentuk tunggal atau jamak sebanyak 288 kali dalam beberapa makna yang berkaitan erat. Sebuah tanda adalah fenomena yang memberitahukan ihwal Allah. Tada itu bisa berupa seorang nabi,risalah nabi, mukjizat nabi,tau berbagai hal yang ada di dalam alam. Ia bisa bertalian dengan alam lahiriah, makrokosmos,atau alam batiniah, mikrokosmos. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an mengungkapkan gagasan bahwa semua objek alam adalah tanda-tanda Allah. Sangatlah penting memahami gagasan ini sebagai fondasi pemikiran Islam, karena ini menetapkan hubungan antara Allah dan kosmos dan terma-terma yang pasti. Di samping itu, ayat-ayat yang menggunakan istilah itu biasanya menyebut-nyebut bagaimana sebaiknya manusia menanggapi tanda-tanda Allah: mengingat,memahami,melihat,bersyukur,merenung, menggunakan akal,bertakwa, kepada Allah, dan sebagainya.
Manakala al-Quran memerintahkan manusia untuk melihat segala sesuatu sebagai tanda-tanda Allah, maka ini berarti bahwa Al-Qur’an mendorong manusia untuk menggunakan sebuah proses mental tertentu yang ditujukan semata-mata pada objek,hal atau data. Tanda-tanda Allah memberikan jalan dan sarana untuk mrngrnal dan mengetahui Allah. Dan ini, bagi tradisi kearifan, adalah tujuan hidup manusia. Dalam al-Qur’an Allah berfirman dalam surat Adz-zariyat  ayat 56:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (Q.S Adz-zariyat : 56)
Banyak ahli kosmologi menggunakan istilah-istilah seperti zhuhur (manifestasi) dan tajalli (pengungkapan diri) untuk menjelaskan hubungan dunia dengan Allah. Melalui kosmos juga, Allah mengungkapkan diriNya kepada makhluk-makhluk-Nya. Makhluk-makhluk tersebut adalah manifestasi nama-nama dan sifat-sifat Allah. Kualitas-kualitas yang mereka miliki adalah juga merupakan kualitas-kualitas Allah.
Sifat-sifat Allah telah dibagi menjadi dua kategori besar dan komplementer yakni yin dan yang. Dalam pandangan ahli-ahli kosmologi, kedua kategori ini bekerja dengan harmonis guna melahirkan kosmos. Seperti dikatakan Rumi, ketika merujuk pada dua jenis nama yang kualitasnya dominan, “kekerasan dan kelembutan berpadu, dan dunia kebaikan serta kejahatan pun lahir dari keduanya”.
Banyak teolog mengetahui sebuah rujukan pada dua jenis nama Allah dalam al-Qur’an sebagai ungkapan “dua tangan Allah”.[24] Mereka memandang ini sebagai simbol bagi hubungan antara ketakterbandingan dan keserupaan, atau keagungan dan keindahan. Al-Qur’an mengatakan bahwa hanya manusia sajalah diantara segenap makhluk yang diciptakan dengan dua tangan Allah. (Q.S. 38: 76). Ini dibaca sebagai kiasan pada kenyataan bahwa sebagaimana dikatakan oleh Nabi, Adam diciptakan dalam bentuk Tuhan sendiri. Karena itu, manusia memanifestasikan seluruh nama Allah, baik jalal maupun jamal. Sebaliknya, malaikat-malaikat rahmat hanya diciptakan dengan tangan kanan Allah, sementara syaitan diciptakan hanya dengan tangan kiri-Nya. Hanya manusialah yang mewakili gambaran dan citra lengkap Realitas Ilahi; segala sesuatu yang lainnya memberikan gambaran dan citra tak sempurna yang didominasi oleh satu tangan atau tangan lainnya. Hanya manusia saja yang diciptakan dengan keseimbangan sempurna dari kedua jenis nama-Nya.
Realitas Allah yang diungkapkan melalui kosmos bisa dilukiskan dan digambarkan oleh sifat-sifat yang bertolakbelakang dan bertentangan, maka kosmos itu sendiri bisa dilihat sebagai sekumpulan besar dari segenap hal yang bertentangan. Dua tangan Allah sibuk membentuk segala sesuatu yang ada. Karenanya, rahmat dan kemurkaan, kekerasan dan kelembutan, kehidupan dan kematian, keagungan dan kehinaan, dan segala sifat yang bertentangan dalam diri Allah diperlihatkan dalam seluruh eksistensi.[25]
Kosmos adalah sebuah pola hubungan yang senantiasa bergeser dan berubah di antara tanda-tanda Allah, yang merupakan tempat manifestasi bagi nama-nama-Nya. Alam semesta diciptakan dan dipelihara melalui aktifitas-aktifitas Ilahi yang saling bertentangan yang memperlihatkan aktifitas prinsip tunggal. Karenanya, dualitas bisa dipahami pada setiap aras dan tataran. kekuatan-kekuatan yang terlihat bertentangan sebenarnya bersifat komplementer dan polar. Dimanapun yin dan yang selalu bekerja sama, melahirkan transmutasi dan perubahan yang konstan.
Sesuai dengan firman-Nya bahwa segala sesuatu di alam semesta berpasang-pasangan dengan yang lainnya. Beberapa pasangan yang disebutkan dalam al-Qur’an oleh Allah mempunyai arti penting sebagai prinsip-prinsip dasar penciptaan. Pasangan-pasangan ini meliputi pena dan lembaran, yang secara spesifik merupakan simbol-simbol Islam, serta langit dan bumi yang ternyata punya kesejajaran-kesejajaran yang mendalam dengan tradisi pemikiran Cina.[26]
Pena dan lembaran disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an dan juga beberapa hadist Nabi. Para mufassir menjelaskan lembar-lembaran ini sebagai realitas spiritual tak terlihat di mana Al-Qur’an , kalam Allah yang abadi dituliskan. Kualitas-kualitas yang berkaitan dengan istilah Pena jelas mempunyai tipe yang, sementara sisi yin tertentu pada realitas serupa. Para ahli kosmologi Muslim, seperti halnya Cina, tak pernah melihat segala sesuatu sebagai semata bersifat aktif atau melulu bersifat reseptif. Segala sesuatu dalam kosmos memiliki kualitas-kualitas yin dan yang. Pena dan lembaran menggambarkan dan melukiskan cara kerja yang dan yin dalam dunia spiritual atau tak tampak. Pada tataran dan aras eksistensi yang lebih rendah, dunia spiritual berinteraksi dengan dunia nyata. Interaksi ini sering kali diterangkan dalam ungkapan-ungkapan langit dan bumi, sepasang istilah yang terus menerus digunakan dalam Al-Qur’an. Seorang ahli kosmologi, Nasafi, menjelasakn bahwa istilah langit mengacu pada segala sesuatu yang berada di atas sesuatu lainnya, sementara istilah bumi merujuk pada segala sesuatu yang berada dibawah sesuatu lainnya.
Ciptaan adalah sesuatu selain Allah. Karena itu, hanya Allah-lah yang ada dalam setiap hal. Karena ciptaan menuntut multiplisitas secara definitif, maka ia merupakan tempat bagi pemisahan dan penyebaran. Manakala ada dua hal, maka yang satu berada di atas, dan yang satu berada di bawah sesuai dengan hubungan yang ditetapkan oleh kualitas-kualitas tertentu. Tanpa bumi, langit sama sekali tak bermakna. Sebaliknya, jika bumi tidak siap menerima pancaran cahaya, maka pasti tidak akan ada langit. Langit dan bumi didefinisikan dalam hubungan satu sama lain. Sebab keduanya adalah realitas-realitas polar. Karenanya, eksistensi bumi adalah pra-kondisi bagi manifestasi kualitas-kualitas yang tersembunyi di langit.[27]
Nasafi membagi semua hal yang ada menjadi tiga macam: Pemancar cahaya, penerima cahaya, dan hasil dari saling hubungan antara keduanya. Langit adalah sesuatu yang berada di atas dan memancarkan cahaya. Ia bisa saja berupa realitas spiritual atau ragawi. Ciptaan adalah anak-anak langit dan bumi, produk dari interaksi antara keduanya. Rumi mengungkapkan gagasan ini dalam bait syair: “Menurut akal, langit adalah pria dan bumi adalah wanita. Apa saja yang diberikan oleh yang satunya, yang lain pun menerimanya.” Dalam konteks ini, Confucius punya suara yang sama dengan ahli kosmologi lainnya: “Langit tinggi dan bumi rendah. Yang kreatif mengarahkan awal yang besar, dan yang reseptif melengkapi segala sesuatu”.[28]
4.    Korespondensi Kosmis
Al-Qur’an dan hadits memberikan pandangan dasar Islam tentang pria dan wanita sebagai sebuah komplementaritas berbagai fungsi.
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan” (Q.S. 51: 49).
Rasyid Al-Din Maybudi, dalam menjelaskan makna harfiah dari ayat ini, mengatakan bahwa “pasangan” (zawjan) yang dimaksudkan adalah pria dan wanita di antara makhluk-makhluk hidup dan jenis-jenis yang berbeda d, daratan dan lautan, antara benda-benda mati, misalnya, langit dan bumi, matahari dan bulan, malam dan siang, cahaya dan kegelapan,kebahagiaan dan kesengsaraan, manis dan pahit. Terdapat tanda-tanda ganda dalam seluruh benda itu sebagai indikasi kemustahilan Tuhan untuk diperbandingkan: Tuhan menciptakan segala sesuatu secara berpasang-pasangan untuk membedakan Keesaan-Nya sendiri dengan kejamakan makhluk-makhluk-Nya. Ciptaan itu mustahil tanpa dualitas, sebab hanya Tuhan saja yang Tunggal.
Setiap kali Tuhan menciptakan sesuatu yang bersifat sementara, Dia menciptakannya secar berpasangan,sebagai dua benda yang dikaitkan satu sama lain, atau berlawanan satu sama lain. Pasangan yang paling sering disebut dalam Al-Qur’an yang dapat di tafsirkan sebagai gambaran kosmos adalah langit dan bumi. Kata langit digunakan dalam Al-Qur’an 120 kali dalam bentuk tunggal dan 190 kali dalam bentuk jamak, dan kata bumi digunakan 460 kali. ungkapan langit dan bumi atau langit-langit dan bumi dikemukakan lebih dari 200 kali.[29]  Penggambaran Al-Qur’an tentang penciptaan langit dan bumi mengingatkan pada suatu primordial yang menimbulkan dualitas dan menetapkan pasangan-pasangan sebagai unsur-unsur dasar eksistensi. Padanan mikrokosmik bagi pemisahan langit dan bumi adalah penciptaan Adam dan Hawa dari satu jiwa. Kedua jiwa itu berasal dari satu jiwa tunggal primordial yang kemudian menjadi pasangan manusia pertama. Hubungan antara langit dan bumi adalah hubungan antara yin dan yang, wanita dan pria, suami dan istri. Seperti kutipan dalam baris-baris Rumi berikut ini:[30]

Dalam pandangan akal,langit adalah pria
dan bumi adalah wanita.
Apapun yang dijatuhkan oleh yang satu,
akan dipelihara oleh yang lain.

Tidak satupun bisa dikatakan lengkap dan sempurna tanpa yang lainnya. Dalam pemikiran kosmologis Islam, alam semesta dipahami sebagai sebuah ekuilibrium atau keseimbangan yang dibangun berdasarkan relasi polar yang harmonis antara pasangan-pasangan yang membentuk segala sesuatu. Seluruh fenomena lahiriah adalah refleksi dari noumena akal, yang akhirnya berakhir pada Dzat Allah. Segala macam bentuk pluralitas bisa tereduksi dengan jalan tertentu menjadi satu. Semua makhluk di alam semesta tak lain adalah tanda-tanda Allah. Termasuk juga pasangan pria dan wanita yang tertentu memberitahukan kita akan sesuatu tentang diri Dzat Allah sendiri.
Salah satu dari sekian banyak kosmologi yang dikembangkan dalam peradaban Islam klasik, adalah astrologi atau sifat-sifat bintang (ahkam an-nujum). Bagi sebagian besar pemikir muslim, objek ilmu ini adalah mengetahui bagaimana langit, berikut segenap realitas di dalamnya, menetapkan berbagai pengaruh spesifiknya atas bumi. Penelitian astrologi berbentuk pencarian hubugan kualitatif antara segala sesuatu di alam atas dan alam bawah. Bagi mereka yang lebih tajam pikirannya, adanya pengaruh langsung dari bintang telah umum diterima. Hubungan-hubungan antara benda-benda langit dan antara langit dan bumi secara analogis memberi jalan kepada pengertian akan adanya hubungan-hubungan yang terdapat dalam dunia ini dan dalam jiwa. Kuncinya di sini adalah analogi atau hubungan. Dan ini ditetapkan oleh kualitas-kualitas yang ditampakkan oleh segala sesuatu, yang seluruhnya pada akhirnya akan kembali pada Dzat yang Satu. Dalam ungkapan lain, segala yang berbeda pada tataran dan aras yang berbeda, atau dalam kurun waktu dan tempat yang berbeda pula adalah manifestasi sifat-sifat yang sama dari realitas, yaitu al-Haqq.[31]
5.    Kesimbangan Manusiawi
Pemikiran kosmologis dalam Islam berkaitan dengan pandangan dunia Islam secara keseluruhan. Adalah mustahil pandagan itu tidak dipengaruhi oleh sejenis penelitian ilmiah tertentu tentang sifat dan hakikat segala sesuatu. Sebaliknya, kebanyakan ahli kosmologi ingin sekali menunjukkan analogi-analogi di semua tataran dan arus eksistensi, guna memperlihatkan bahwa  manusia memainkan peranan unik di alam semesta sebagai wakil Allah. Pada gilirannya, ini adalah tentang tanggung jawab manusia. Perspektif legalistic cenderung mengatakan bahwa manusia harus memenuhi seruan dan panggilan Allah lantaran seorang hamba tidak berhak menentang perintah-perintah tuannya. Ia terikat fakta bahwa ia dimiliki. Sebaliknya, perspektif hikmah atau kearifan menegaskan noblesse oblige; sebagai wakil Allah, manusia tidak punya pilihan lain kecuali mengemban tanggung jawab atas dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Kehadiran Allah di dunia dan dalam diri seseorang haruslah diketahui dan dikenali. Kemudian seseorang mesti bertindak sebagaimana Allah bertindak, sebagaimana mestinya wakil Allah bertindak.
Karena itu, tradisi kearifan terus-menerus berkeinginan untuk mendeskripsikan konteks manusiawi dengan cara yang menonjolkan keserupaan dengan Allah seperti tuntutan kekhalifahan. . Untuk melakukan ini, ia perlu mengilustrasikan bagaimana kualitas-kualitas manusia sesuai dan cocok dengan kualitas-kualitas Ilahi, dan bagaimana hubungan-hubungan kualitatif diantara segala sesuatu dalam kosmos menempatkan manusia di puncak eksistensi makhluk, dengan mengemban beban dan tanggungjawab besar agar pantas memperoleh kehormatan. Semua makhluk lainnya selain manusia adalah baik, karena mereka adalah makhluk-makhluk Allah, tanda-tanda Allah, tempat-tempat manifestasi bagi kualitas-kualitas Allah, dan tak bisa lebih dari itu. Manusia boleh jadi memiliki kebaikan alamiah tertentu sebagai tanda-tanda Allah. Hanya saja, berbeda dengan segala ciptaan lainnya, mereka juga bisa menjadi jahat jika mereka tak mampu menggunakan dengan tepat kemuliaan unik yang hanya dianugerahkan kepada mereka. untuk benar-benar menjadi manusia secara utuh dan sempurna, manusia harus mengaktualisasikan dalam dirinya secara kualitas, baik yang secara alami intrinsik (ada) dalam ciptaan. Akan tetapi, pada saat yang sama, kesemuanya ini harus digunakan sesuai dengan keseimbangan dan keselarasan normatif. Kejahatan muncul manakala manusia meruntuhkan keseimbangan ini, atau berbuat menyimpang dari prinsip Tao langit dan bumi. Tidak ada jalan lain bagi kejahatan bisa terjadi, karena hanya manusia sajalah yang memiliki kebebasan untuk memilihnya. Kebebasan ini memberi mereka kemuliaan dan keluhuran unik, sentralitas, dan sifat serba-menyeluruh. Akan tetapi, kebebasan ini juga membuka lebar-lebar pintu bagi tindak penyalahgunaan. Satu-satunya makhluk yang agak mirip dengan manusia dalam hal ini adalah makhluk yang diciptakan dari api dan dikenal dengan sebutan “jin”. Mereka juga bebas mengatakan “tidak” pada Tao.
Sebuah kosmos tanpa manusia tidaklah bisa dibayangkan dan dipahami, sebab hanya mansuai sajalah yang bertindak selaku lokus atau tempat manifestasi Allah. Hanya dalam diri manusia sajalah Khazanah tersembunyi diperlihatkan dan diatmpakkan dalam ragam asli dan kecemerlangan yang terpusat, tapi pada tataran dan aras ciptaan. Manusia adalah poros dan sumbu kosmos, yang id situ segala sesuatunya berputar. Mereka harus melakukan fungsinya dalam menengahi dan menciptakan kedamaian serta harmoni dalam segala sesuatu. Meski tidak dapat dipungkiri terdapat sisi lain yakni mereka tidak hanya sebagai pengendali harmoni namun juga sebagai sebagi pengacau harmoni dan perusak tatanan alam. Singkat kata, tujuan ajaran-ajaran kosmologi Islam adalah mengungkapkan dalam konteks tradisi intelektual berbagai kewajiban dan keharusan eksistensi manusia.
Allah yang maha Esa dapat dilihat dari dua sudut pandang. Dalam hal kejauhan dan ketakterbandingan Allah, manusia dan seluruh makhluk lainnya adalah hamba-hamba-Nya dan harus tunduk pada kehendak-Nya. Akan tetapi, berkenaan dengan keserupaan dan kedekatan-Nya, manusia mempunya peran lain yang harus dimainkan. Karena mereka diciptakan dalam citra Allah dan dengan dua tangan Allah.[32]  Seperti yang tertera dalam Al-Qur’an surah As-Sad ayat 75, ketika Allah memerinotahkan Iblis untuk bersujud kepada Adam.


Artinya : Wahai Iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Aku ciptakan dengan kedua Tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri atau kamu (merasa) termasuk golongan yang (lebih) tinggi? (Q.S As-Sad:75)

Dalam Futuhat Al-Makiyyaah Ibn’ Arabi sepakat dengan para mufassir yang memandang ayat ini sebagai mengisyaratkan derajat khusus Adam. Dari wujud pertama hingga anak yang terakhir (binatang), penciptaan segala sesuatu yang ada dalam kosmos, penciptaan surge dinisbatkan kepada sebuah tangan Allah. Disini digunakan kata tangan dalam bentuk tunggal. Sedangkan dalam kasus penciptaan Adam, Allah menggunakan bentuk ganda,’’dua tangan’’. Ibn Arabi tidak mengatakan secara langsung apa yang dimaksud dengan kedua tangan itu. Hanya saja, dia menyatakan bahwa keduanya adalah special, atau sebagaimana ditulisnya ditempat lain, bahwa keduanya dinisbatkan pada Adam untuk memberinya keutamaan atas yang lainnya. Dalam beberapa wacana, Ibn Arabi menyiratkan bahwa kedua tangan itu mengacu pada dua jenis nama yang diajarkan kepada Adam, atau kenyataan bahwa dia telah diberi pengetahuan tentang segala sesuatu, baik tentang Tuhan maupun makhluk. Allah menggunakan kedua tangan-Nya pada diri Adam hanya untuk memberinya kemuliaan dan keutamaan disbanding dengan ciptaan-Nya yang lain.[33]
Bagaimana kita memahami Allah dan diri manusia adalah bergantung pada sudut pandang yang diambil. Baik Allah maupun manusia tidak mempunyai dua esensi. Allah adalah satu, dan manusia juga satu. Akan tetapi, manusia itu bagaikan cermin yang mempunyai dua sisi. Satu sisi mencerminkan kualitas-kualitas penghambaan sebagaimana termanifestasi dalam segenap ciptaan, dan sisi lainnya mencerminkan kualitas-kualitas ketuhanan seperti dimiliki oleh Allah. Manusia adalah Tuhan dan sekaligus hamba, seperti dikatakan Ibn Arabi: “Manusia mempunyai dua transkripsi: transkripsi lahiriah dan transkripsi batiniah. Transkripsi lahiriah sama dengan makrokosmos secara keseluruhan, sementara transkripsi batiniah sama dengan Allah”.
Dimensi lahiriah manusia berkaitan dengan penghambaan, sementara dimensi batiniah bertalian dengan ketuhanan dan kekhalifahan. Dimensi lahiriah mencerminkan kejauhan dari Allah dan karena itu mengingatkan pada ketakterbandingan-Nya. Dimensi batiniah mencerminkan kedekatan dan berkaitan dengan keserupaan Allah. Dengan demikian, kedua dimensi itu mencerminkan dua tangan Allah yang menciptakan manusia.[34]

F.   Derajat Pria atas Wanita
Salah satu ayat al-Qur’an yang paling terkenal, dan dalam kalangan tertentu menyandang nama buruk, adalah ayat al-Qur’an dalam surah al-Baqarah: 228

وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
Artinya: Kaum pria satu derajat lebih tinggi dari pada kaum wanita.
( Q.S. al-Baqarah: 228)
Kemudian dalam surah an-Nisa: 34
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ

Artinya: “Kaum pria adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (pria) atas sebagian yang lain (wanita) . ( Q.S. an-Nisa: 34)
Tentu saja makna kalimat, “kaum pria mempunyai satu tingkat lebih tinggi daripada kaum wanita” perlu dijelaskan dalam konteksnya, meskipun hal itu tidak mengurangi makna pentingnya, sebagaimana yang pertama-tama ditekankan oleh para pengarang kita. ”Kaum pria” adalah para suami dari wanita-wanita ini, dan dengan demikian Ar-berry, misalnya, salah seorang penerjamah Al-Qur’an yang paling hati-hati, yang praktis tidak pernah menambahkan satu kata pun pada teks, merasa pas untuk menerjemahkan ayat tersebut, "Kaum pria mereka mempunyai satu tingkat diatas mereka". Ayat itu secara khusus membicarakan tentang konteks  hubungan perkawinan yang ditetapkan menurut syariat. Ia menegaskan bahwa Tuhan memberikan sesuatu pada kaum pria sehingga mereka menjadi satu “derajat” lebih tinggi atau di atas kaum wanita. Para penafsir Al-Qur’an tentu saja berusaha untuk menjelaskan apakah sesuatu itu, dan penafsiran-penafsiran yang timbul jelas berbeda-beda.
Penjelasan Maybudi atas ayat ini memberikan contoh bahwa Tuhan ,menyatakan hak kaum wanita atas kaum pria persis sama dengan hak kaum pria atas kaum wanita menjadi kewajiban bagi mereka berdua untuk menjaga yang lain dan dirinya sendiri agar suci dan menyenangkan.
   Akan tetapi kaum pria mempunyai satu tingkat lebih tinggi daripada mereka. Mereka mempunyai kelebihan disbanding kaum wanita melalui perjanjian untuk menafkahi mereka dan dukungan (infaq)yang mereka sediakan untuk mereka. Sebagai tambahan, mereka memperolehnya melalui uang tebusan, sebab uang tebusan bagi kaum pria adalah dua kali nilainya dari uang tebusan bagi kaum wanita.
G. Kesimpulan
Sachiko Murata adalah Profesor Studi –studi agama pada Departemen of Comparative di Studies University of York at Stony Brook, Amerika Serikat. Konsep pemikiran Sachiko Murata alam buku ia tulis dengan judul The Tao of Islam menekankan pemahaman mengenai gender dengan pendekatan kosmologi dan teologi. Ia mengintrepetasikan bagaimana dunia ini makrokosmos dan manusia sebagai mikrokosmos dibuat dari relasi yin dan yang. Tiga realitas fundamental yaitu Allah, Makrokosmos dan Mikrokosmos yang saling berhubungan sebagaimana digambarkan dengan bentuk segitiga menunjukkan adanya relasi kualitas maskulin dan feminin. Tuhan memiliki sifat Maskulin dan Feminin yang dipancarkan pada setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan yang dimanifestasikan melalui 99 nama Allah (Asma’ al-Husna). Hal ini akan membawa kita pada pemahaman laki-laki sejati dan perempuan-perempuan sejati. Tidak lagi sekedar tentang biologis,tetapi suatu entitas kosmis yang terletak pada setiap diri perempuan dan laki-laki. Setiap manusia yang diciptakan Tuhan dengan kualitas feminism yin dan kualitas Maskulin yang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing yang memunculkan sebuah relasi kesejajaran untuk saling melengkapi dan saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya, tanpa adanya ketimpangan.



[1] Istilah gender dalam Al-Qur’an dapat dipahami melalaui nama-nama atau symbol-simbol yang sering digunakan Al-Qur’an dalam mengungkapkan jenis kelamin seseorang. Istilah-istilah gender yang sering digunakan dalam Al-Qur’ân antara lain: al-rajul/al-rijâl dan al-mar’ah/alnisâ’,al-dzakar dan al-untsâ, termasuk gelar statuslaki-laki dan perempuan seperti, al-zawj dan alzawjah,al-abb dan al-umm, al-akh dan al-ukht, aljadddan al-jaddah, al-muslimûn dan al-muslimât, almu’minûndan al-mu’minât, serta dhamîr mudzakkardan mu’annats, yang digunakan al-Qur’ânterhadap laki-laki dan perempuan. Persoalan kebahasaan yang berhubungan dengan istilahtersebut, lihat Nasaruddin Umar, ArgumenKesetaraan Gender; Perspektif Al-Qur’an (Jakarta:Paramadina, 1999), hlm. 143-193
[2] Abdul Jamil, ‘’kata Pengantar’’, dalam Sri Suhandjati (ed), Bias Gender dalam Pemahaman Islam (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm . x
[3] Sachiko Murata, Sachiko Murata, The Tao of Islam; Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam h. 25
[4] Sayyid Hasan Itikharzada Sabziwari merupakan seorang ulama dan sangat terdidik dalam metodologi tradisional. Beliau juga sedang menempuh studi untuk gelar Ph. D dalam bidang filsafat Islam di Universitas Teheran. Beliau ahli dalam  ilmu-ilmu intelektual dan yuridis, sehingga menjadi pembimbing Murata dalam menelaah dan mengkaji teks-teks tersulit yurisprudensi (fiqh) dan prinsip-prinsip yurisprudensi (ushul fiqh). 
[5] Toshhiko Izutsu (4 May 1914 – 7 January 1993 ) was Professor Emeritus at Keio University in Japan and author of many books on Islam and other religions. He taught at the Institute of Cultural and Linguistic studies at Keio University in Tokyo, the Iranian institute of Philosophy in Tehran, and McGill University in Montreal, Canada. He was fluent in over 30 languages, including Arabic, Persian, Sanskrit, Pali, Chinese, Japanese, Russian and Greek, lihat, https://en.wikipedia.org/wiki/Toshihiko_Izutsu. Professor Toshihiko Izutsu Pernah mengajar selama sepuluh tahun di Imperial Iranian Academy of Philosophy, Teheran, Iran, dan McGill University di Montreal, Kanada. Dia aktif mempromosikan dialog transkultural dalam filsafat. Dengan kefasihan berbahasa lebih 30 bahasa, termasuk bahasa Arab, Persia, Sansekerta, Pali, Cina, Rusia, dan Yunani, dia dikenal sebagai otoritas terkemuka dalam berbagai madzhab kebijaksanaan filosofis dan metafisika, seperti Sufisme Islam, Hindu Adwaita Wedanta, Buddhisme Mahayana (khususnya Zen), dan Taoisme Filosofis. Karya-karyanya yang terpenting, selain Sufisme dan Taoisme, adalah Ethico-Religious Concepts in The Qur’an (1966), Concept of Belief in Islamic Theology (1980), God and Man in The Koran (1980), Creation and The Timeless Order of Things (1994), dan Toward a Philosophy of Zen Buddhism (2001). Toshihiko Izutsu, Taoisme; Konsep-Konsep Filosofis Lao-Tzu dan Chuang-Tzu serta Perbandingannya dengan Sufisme Ibn ‘Arabi (Edisi Terjemahan) (Jakarta: Mizan Publika, 2015), h. 298.
[6] William C. Chittick Born 1943 and raised in Milford, Connecticut, William C. Chittick did his B.A. in history at the College of Wooster (Ohio) and then went to Iran, where he completed a Ph.D. in Persian literature at Tehran University in 1974.  He taught comparative religion in the humanities department at Aryamehr Technical University in Tehran and, for a short period before the revolution, was assistant professor at the Imperial Iranian Academy of Philosophy.  He returned to the United States in January, 1979.  For three years he was assistant editor at the Encyclopaedia Iranica (Columbia University), and from 1983 he has taught religious studies at Stony Brook.  Chittick is author and translator of thirty books and one hundred-fifty articles on Islamic thought, Sufism, Shi’ism, and Persian literature.  His more recent books include In Search of the Lost Heart: Explorations in Islamic Thought (State University of New York Press, 2012), The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-`Arabî’s Cosmology (State University of New York Press, 1998), Sufism: A Short Introduction (Oneword, 2000), The Heart of Islamic Philosophy (Oxford University Press, 2001), The Elixir of the Gnostics (Brigham Young University Press, 2003), Me & Rumi: The Autobiography of Shams-i Tabrizi (FonsVitae, 2004), and Science of the Cosmos, Science of the Soul (Oneworld, 2007).  He is currently working on several research projects in Sufism and Islamic philosophy. Chittick regularly teaches Islam, Islamic Classics, and other courses in religious studies.  On occasion he directs qualified students in the reading of Arabic or Persian texts. Lihat,  http://www.stonybrook.edu/commcms/asianamerican/facultystaff/WilliamChittick.html
[7] Erni Susilowati, Psikologi Sufistik (Studi atas Pemikiran Sachiko Murata dalam Buku The Tao of Islam) dalam Jurnal Al-Banjari Vol. 14, No. 1, Januari-Juni 2015, h. 62-63.
[8] Erni Susilowati, Psikologi Sufistik (Studi atas Pemikiran Sachiko Murata dalam Buku The Tao of Islam) dalam Jurnal Al-Banjari Vol. 14, No. 1, Januari-Juni 2015 h. 63-64.
[9] Pada saat itu, tradisi yang mengakar kuat tentang Islam adalah kedudukan wanita dalam Islam hamper tidak pernah mengalami perubahan.  Wanita Timur, khususnya wanita yang menganut agama Islam dianggap sebagai kaum yang paling tertindas  dan terkekang. Prasangka dan pandangan kuno yang mengakar di benak mahasiswa nya membuat ia mencari cara untuk mengubah pola piker tersebut.
[10] Konsep I Ching terkenal dengan symbol Yin dan Yang. Konsep ini digunakan oleh Sachiko Murata sebagai pendekatan tak langsung, menjelaskan tentang Islam bukan lagi melalui konteks Barat tapi melalui perspektif timur jauh dalam mengatasi dan menanggulangi prasangka-prasangka mahasiswa nya. Konsep ini juga digunakan dalam menulis buku The Tao of Islam; A Sourcebook on Gender Relationship in Islamic Thought, meskipun demikian ia menyadari pada kenyataan aktual nya ada perbedaan pandangan yang besar tentang berbagai persoalan ini dalam sejarah Cina. Untuk itu ia mengemukakan bahwa pandangan prinsip-prinsip pemikiran Cina yang di bahas di buku ini adalah pandangan diri nya sendiri sehingga para ahli boleh saja tidak sepakat dengan nya.
[11] Sachiko Murata, The Tao of Islam; Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, h. 22.
[12] Sachiko Murata, The Tao of Islam; Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, h. 23.
[13] Pendekatan yang ia gunakan untuk menjelaskan relasi gender adalah dengan memakai perspektif kosmologi Islam.  Lihat,  pengantar  Ratna Megawati dalam Sachiko Murata, The Tao of Islam; A Sourcebook on Gender Relationship in Islamic Thought (New York: State University of New York Press, 1992). Edisi Bahasa Indonesia oleh Rahmani Astuti dan MS. Nasrullah, The Tao of Islam; Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam (Bandung: Mizan, 1996), h.7
[14] Sachiko Murata, The Tao of Islam; Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, h. 24.
[15] Sachiko Murata, The Tao of Islam; Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, h. 25.
[16] Sachiko Murata, The Tao of Islam; Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, h. 29.
[17] Sachiko Murata, The Tao of Islam; Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam., h. 29.
[18] Sachiko Murata, The Tao of Islam; Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, h. 30.
[19] Sachiko Murata, The Tao of Islam; Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, h. 31.
[20] Sachiko Murata dan William C. Chittick, The Vision of Islam, Terj. Suharsono, (Yogyakarta: Suluh Press, 2005), h 371
[21] Sachiko Murata dan William C. Chittick, The Vision of Islam, Terj. Suharsono, (Yogyakarta: Suluh Press, 2005), h. 105.
[22] Sachiko Murata dan William C. Chittick, The Vision of Islam, Terj. Suharsono, (Yogyakarta: Suluh Press, 2005), h. 107-108.
[23] Sachiko Murata, The Tao of Islam; Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, h. 33
[24] Selain itu Sachiko Murata juga membahas tentang “Dua Tangan” Allah yang disebutkan dalam surah Sad ayat 75, “Dua Tangan” Allah sama sekali tidak seperti tangan manusia. Beberapa ulama terdahulu berpandangan bahwa tidak ada arti khusus dalam fakta bahwa tangan harus dua. Akan tetapi, Ibnu al-‘Arabi dan para pengikutnya sangat tertarik pada setiap nuansa teks al-Qur’an. Mereka memahami dogma atau ajaran secara serius dan sungguh-sungguh, bahwa ini adalah benar-benar kata atau firman Allah. Dalam pandangan mereka, tidak ada alasan bagi Allah untuk menyia-menyiakan ucapan atau kata-kata. Manakala Dia mengatakan sesuatu, Dia melakukannya dengan satu maksud khusus atau lebih. Berkenan dengan ketakterbandingan-Nya, mustahil kiranya mengetahui apa yang dimaksudkan-Nya. Akan tetapi berkenaan dengan keserupaan-Nya, Dia mengajarkan apa yang bisa diketahui tentang diri-Nya. Karena itu, pasti ada arti tertentu dari “Dua Tangan” , khususnya karena ekspresi itu tidak umum dan lazim dijumpai dalam al-Qur’an. Singkat kata, mereka memahami “Dua Tangan” sebagai menunjukkan suatu hubungan polar dalam diri Allah sendiri. Dia menciptakan Adam dengan dua tangan ini menunjukkan bahwa Dia menggunakan polaritas itu untuk menciptakan mikrokosmos. Mikrokosmos itu sendiri, yang diciptakan dalam citra Allah, pasti mempunyai “Dua Tangan” dalam artian kualitatif yang sama bahwa
Allah pun mempunyai. Dan pasti demikian pula halnya dengan makrokosmos, yang merupakan gambaran cermin mikrokosmos. Lihat Ahmad Aniq Rifqi, Relevansi Pemikiran Sachiko Murata Tentang Gender Terhadap Kompilasi Hukum Islam Indonesia (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2009) h. 75.
[25] Sachiko Murata, The Tao of Islam; Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, h. 33.
[26] Sachiko Murata, The Tao of Islam; Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, h., h. 34.
[27] Sachiko Murata, The Tao of Islam; Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, h. 36.
[28] I Sachiko Murata, The Tao of Islam; Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, h. 37.
[29] Sachiko Murata, The Tao of Islam; Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, h. 165-166 
[30] Sachiko Murata, The Tao of Islam; Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, h.197
[31] Sachiko Murata, The Tao of Islam; Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, h. 37.
[32] Sachiko murata, The Tao of Islam; Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam H. 39
[33] Sachiko Murata, The Tao of Islam; Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam  H 130
[34] Sachiko Murata, The Tao of Islam; Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, h 40.

No comments:

Post a Comment