Wednesday, November 15, 2017

PENERAPAN PENDEKATAN FEMINIS KAJIAN ATAS KARYA AMINA WADUD (TAFSIR AL-QUR’AN VERSI PEREMPUAN)

(TAFSIR AL-QUR’AN VERSI PEREMPUAN)
Ni’matul Ulfa  16771003
Magister Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Perdebatan tentang status dan posisi perempuan dalam Islam merupakan salah satu topik yang selalu hangat untuk dibahas. Karena itu, persepsi elit Muslim terhadap posisi perempuan sangat beragam dan tidak dapat diidentifikasi dalam clear-cut dichotomy. Hal ini membuktikan bahwa perempuan adalah makhluk yang luar biasa. Sayangnya, perempuan seringkali dianggap dengan stereotype yang lemah dan menjadi sosok pelengkap. Tidak hanya kaum laki-laki yang memiliki pandangan demikian, tetapi perempuan yang tidak percaya diri dan kurang menyakini bahwa sebenarnya perempuan tidak diciptakan berbeda dengan kaum laki-laki. Ada beberapa alasan yang memicu bangkitnya perempuan, di antaranya kesadaran posisi yang tersubordinasikan atau terinspirasi oleh gerakan feminisme yang menyuarakan equality dengan laki-laki atau pemahaman keagamaan dan kesadaran sejarah mereka cenderung membaik. Dalam relasi antara laki-laki dan perempuan, kesadaran akan perlunya reformasi pola hubungan antar laki-laki dan perempuan ke arah yang lebih adil dan bernuansa kesetaraan terus berlanjut serta tetap menjadi isu yang menarik dan penting untuk dibahas. Sebab, secara historis telah terjadi dominasi laki-laki dalam semua masyarakat di sepanjang zaman dan selama ini perempuan mengalami perlakuan yang tidak adil dalam berbagai aspek kehidupan, kecuali dalam masyarakat matriarkal yang jumlahnya tidak seberapa, di mana perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki. Perempuan telah termakan oleh pola berpikir bahwa peran perempuan terbatas pada dapur, sumur, dan tempat tidur, sehingga pada akhirnya hal di luar menjadi tidak penting. Sosok perempuan yang berprestasi dan menyeimbangkan antara keluarga dan karir kerja menjadi sangat langka ditemukan. Perempuan seringkali takut berprestasi karena tuntutan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga yang tidak bergaji dan tidak pernah berhenti, atau perempuan lainnya yang terlalu fokus untuk urusan luar rumah dan terbengkalai untuk keharmonisan keluarga. Keseimbangan untuk urusan internal keluarga dan pencapaian diri yang terus meningkat semakin sulit untuk dicapai. Besarnya animo terhadap wacana pembebasan dan pemberdayaan terhadap kaum perempuan dewasa ini memuncukan fenomena isu kesetaraan gender, bahkan isu ini telah menjadi isu penting dalam setiap agama, termasuk Islam. Di tengah-tengah suasana domestikasi perempuan dan dominasi patriarki, kalangan feminis berusaha mengeluarkan perempuan dari pusat laki-laki yang dalam bahasa Budhy Munawar-Rahman ex-sentralisme. Kaum perempuan harus dibebaskan dari peran kulturalnya selama ini sebagai kanca wingking. Makalah ini akan mengupas tentang persamaan dan perbedaan secara konseptual antara perempuan dengan laki-laki menurut pandangan Amina Wadud.

B.     Biografi Amina Wadud
Amina Wadud Muhsin terlahir dengan nama Maria Teasley di kota Bathesda  Maryland, Amerika-serikat pada 25 September 19521.[1] Ayahnya adalah seorang Methodist menteri dan ibunya keturunan dari budak Muslim Arab, Beliau keturunan Berber Afrika-Amerika (kulit hitam).[2]Pada tahun 1972 ia mengucapkan syahadat dan menerima Islam dan pada tahun 1974 namanya resmi diubah menjadi Amina Wadud Muhsin dipilih untuk mencerminkan afiliasi agamanya. Ia menerima gelar BS, dari The University of Pennsylvania, antara tahun 1970 dan 1975.[3] Dia menerima MA di Studi Timur Dekat dan gelar Ph.D dalam bahasa Arab dan Studi Islam dari University of Michigan pada tahun 1988. Selama kuliah, ia belajar Arab di Mesir di Universitas Amerika di Kairo, dilanjutkan dengan studi Al-Qur’an dan tafsir di Universitas Kairo, Mesir dan mengambil kursus di Filsafat di Universitas al-Azhar.[4]
Beliau  mengakui bahwa beliau tidak begitu dekat dengan ayahnya dan ayahnyapun tidak banyak mempengaruhi pandangannya. Pada usianya yang ke-20 tahun beliau mendapatkan  Hidayah. Ketertarikannya terhadap Islam, khususnya dalam masalah konsep keadilan dalam Islam (jender), mengantarkannya untuk mengucapkan dua kalimah syahadat pada hari yang ia namakan “Thanks giving day”, tahun 1972.[5] I did not enter Islam with my eyes closed against structure and personal experiences of injustice that continue to exist. In my “personal transition”,[6] Walaupun Amina Wadud Muhsin seorang muallaf, namun ketekunan dalam melakukan studi keIslaman sangat keras, ia menjadi Guru Besar Studi Islam pada jurusan Filsafat dan Agama di Universitas Virginia Commonwealth. Ia menyelesaikan studi di Universitas Michigan dan mendapat gelar MA (1982) dan Ph. D (1988).
Selain bahasa Inggris, Amina Wadud Muhsin  juga menguasai beberapa bahasa lain seperti Arab, Turki, Spanyol, Prancis dan German. Maka tidak mengherankan bila ia sering mendapatkan kehormatan menjadi dosen tamu pada universitas di beberapa negara. Antara lain:
1. Universitas Commonwealth, Virginia
2. Asisten Profesor di Lembaga Studi Filsafat & Agama, tahun 1992 – 1997
3. Menjadi Profesor penuh di  Fakultas Ketuhanan Harvard Cambridge, pada tahun 1998-1999.
4. Dosen di fakultas inggris di universitas di Qar Younis: Kampus pendidikan El- Beida Libya  1976-1977
5. Sebagai dosen Magister Studi Perempuan di Lembaga Penelitian Program Agama & menjadi Dosen Terbang, pada tahun 1997-1998. 
6. Sebagai Asisten Profesor di Lembaga Pengetahuan & Peninggalan Islam Wahyu, Di Universitas Islam Internasional, pada tahun 1989-1992.
7. Universitas di Michigan; Asisten Riset Pengembangan Bahan Bahan Pengajaran Bahasa Arab, 1984-1986.
8. Instruktur bahasa inggris, Transkiber program pendidikan untuk orang dewasa musim panas pada institut pendidikan bahasa inggris di Kairo mesir 1982.
9. Guru kelas 5-6 pengembangan kurikulum pelajaran agama kelas 4-7 pada sekolah pusat komunitas Islam di Philadelphia PA 1979-1980.
10. Amina Wadud Muhsin juga pernah menjadi Consultant Workshop dalam bidang Islam dan Gender yang diselenggarakan oleh MWM (Maldivian Women’s Ministry) dan PBB pada tahun 1999.[7]
C.    Karya-karya Amina Wadud
Amina Wadud Muhsin merupakan tokoh feminis yang sangat produktif. Sebagai aktifis perempuan dalam upaya memperjuangkan keadilan gender, Amina Wadud Muhsin berpendapat bahwa selama ini system relasi laki-laki dan perempuan di banyak Negara sering kali mencerminkan adanya bias patriarki sehingga mereka kurang mendapat keadilan yang proporsional. 
Karya-karya Amina Wadud Muhsin merupakan bukti kegelisahan intelektualnya mengenai ketidakadilan dimasyarakat. Maka ia mencoba melakukan rekonstruksi metodologis tentang bagaimana menafsirkan al-Qur’ān  agar dapat menghasilkan sebuah penafsiran yang sensitive gender dan berkeadilan.[8]
Walaupun ia baru menulis dua karya ilmiah dalam bentuk buku, namun ia sudah banyak menulis puluhan bahkan ratusan dalam bentuk artikel yang dimuat dalam beberapa jurnal, seminar-seminar, dan beberapa proposal research (proposal penelitian) dalam bidang perempuan, gender, agama, pluralisme dan kemanusiaan.
Karya-karya tersebut antara lain:
1.    Buku                 : Qur’an and Women: Rereading the Sacred Text form a  Women’s   perspective (perempuan dalam al-Qur’ān) terjemahan Abdullah Ali.
   Pengarang         : Amina Wadud Muhsin
   Jumlah halaman : XXVII+167 halaman
        Penerbit             : Penerbit Pustaka
   Tahun terbit       : 1414H-1994M

2.      Buku                 : Inside the Gender Jihad, Reform in Islam
      Pengarang            : Amina Wadud Muhsin
Jumlah halaman  : 286 halaman
Penerbit              : One World
Tahun terbit         : 1414H-1994M

D.  Metodologi Amina Wadud dalam Menafsirkan Al-Qur’an
Karya Amina Wadud sesungguhnya merupakan kegelisahan intelektual penulisnya mengenai ketidakadilan gender dalam masyarakatnya. Menurut Amina Wadud, salah satu penyebab terjadinya ketidakadilan gender dalam kehidupan sosial adalah karena ideologi-doktrin penafsiran Al-Qur’an yang dianggapnya bias patriarkhi.
Menurut Amina Wadud, sebenarnya selama ini tidak ada suatu metode penafsiran yang benar-benar objektif, karena setiap pemahaman atau penafsiran terhadap suatu teks, termasuk kitab suci al-Qur’an sangat dipengaruhi oleh perspektif mufassirnya, cultural background, yang melatarbelakanginya. Itulah yang oleh Amina Wadud disebut dengan prior texts/ pra teks.
Menurut Amina Wadud, untuk memperoleh penafsiran yang relatif objektif, seorang penafsir harus kembali pada prinsip-prinsip dasar dalam al-Quran sebagai kerangka paradigmanya. Itulah mengapa Amina mensyaratkan perlunya seorang mufassir memahami weltanchauung atau world view.
Menurut Amina Wadud, penafsiran-penafsiran mengenai perempuan selama ini ada tiga kategori yaitu: 1) tradisional 2) reaktif dan 3) holistik. Yang pertama adalah tafsir tradisional. Menurut Amina Wadud model tafsir ini menggunakan pokok bahasan tertentu sesuai dengan minat dan kemampuan mufassirnya, seperti hukum (fiqh), nahwu, shorof sejarah, tasawuf. Model tafsir semacam ini lebih bersifat atomistik,yaitu penafsiran dilakukan ayat per-ayat dan tidak tematik, sehingga pembahasannya terkesan parsial. Namun, ketiadaan penerapan hermeneutika atau metodologi yang menghubungkan antara ide, struktur sintaksis atau tema yang serupa membuat pembacanya gagal menangkap weltanchauung al-Qur’an.
Tafsir model tradisional ini terkesan eksklusif; ditulis hanya oleh kaum laki-laki. Tidaklah mengherankan kalau hanya kesadaran dan pengalaman kaum laki-laki yang diakomodasikan di dalamnya. Padahal mestinya pengalaman, visi dan perspektif kaum perempuan juga harus masuk di dalamnya, sehingga tidak terjadi bias patriarkhi yang bisa memicu dan memacu kepada ketidakadilan gender dalam kehidupan keluarga atau masyarakat.
Kategori yang kedua adalah tafsir reaktif, yaitu tafsir yang berisi reaksi para pemikir modern terhadap sejumlah hambatan yang dialami perempuan yang dianggap berasal dari al-Quran. Persoalan yang dibahas dan metode yang digunakan seringkali berasal dari gagasan kaum feminis dan rasionalis, tapi tanpa dibarengi analisis yang komprehensif terhadap ayat-ayat yang bersangkutan. Dengan demikian, meskipun semangat yang dibawanya adalah pembebasan (liberation), namun namun tidak terlihat hubungannya dengan sumber idiologi dan teologi Islam.
Kategori ketiga adalah tafsir holistik, yaitu tafsir yang menggunakan metode penafsiran yang komprehnsif dan mengkaitkannya dengan berbagai persoalan sosial, moral ekonomi, politik, termasuk isu-isu perempuan yang muncul di era modernitas. Di sinilah posisi Amina Wadud dalam upaya menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Model semacam ini menurut hemat penulis mirip dengan apa yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman dan al-Farmawi.
Dalam riset ini, Amina Wadud menggunakan pendekatan berikut:
1)   Feministik, yaitu pendekatan yang didasarkan pada pandangan hidup perempuan
2)   Sosio-historis-kultural, Pendekatan ini ada kaitannya dengan pengalaman dan pergumulan para perempuan Afrika-Amerika dalam upaya memperjuangkan keadilan gender. Jadi, ketika hendak menafsirkan Al-Qur’an maka mufassir harus memperhatikan situasi sosio-historis-kultural.
Metodologi penafsiran Amina Wadud mencakup:
1)   Dekontruktif-rekontruktif
Amina Wadud mendekontruksi dan merekonstruksi model penfsiran klasik yang penuh bias patriarkhi. Asumsi dasarnya adalah bahwa Al-Qur’an merupakan sumber nilai tertinggi yang secara adil mendudukan laki-laki dan perempuan setara (equa).
2)   Argumentatif-teologis
3)    Hermeneutik-filosofis
 Ciri utamanya: pengakuan bahwa dalam kegiatan penafsiran, seorang mufassir selalu didahului oleh persepsinya terhadap teks yang disebut sebagai prapaham yang muncul karena seorang penafsir senantiasa dikondisikan oleh situasi di mana ia terlibat dan sekaligus mempengaruhi kesadarannya. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, dalam riset ini, Amina Wadud menggunakan metode tafsir tauhid. Metode tafsir tauhid sebagai hermeneutika ini senantiasa memperhatikan tiga aspek nas berikut; 1). Konteks saat nas ditulis ( Al-Qur’n diturunkan); 2). Komposisi nas dari segi gramatikanya (bagaimana nas menyatakan apa yang dinyatakannya); 3) nas secara keseluruhan, Weltanschauuung[ atau pandangan dunianya. Perpaduan ketiga aspek ini akan meminimalisir subjektifitas dan mendekatkan hasil pembacaan kepada maksud teks yang sebenarnya.
Menurut Amina Wadud, dalam risetnya ini, setiap ayat dianalisis: 1) menurut konteksnya; 2) menurut konteks pembahasan tentang topik yang sama dalam Al-Qur’an; 3) dari sudut bahasa dan struktur sintaksis yang sama yang digunakan di tempat lain dalam Al-Qur’an; 4) dari sudut prinsip Al-Qur’an yang menolaknya; 5) menurut konteks Weltanschauuung Al-Qur’an, atau pandangan dunianya.




E.  Pemikiran Feminisme Amina Wadud
1.    Penciptaan Manusia Menurut Al-Qur’an dan Kesetaraan Laki-Laki dan Perempuan
a.    Penciptaan dan Bahasa Mengenai yang Gaib
Seperti persoalan gaib lainnya, seluk-beluk penciptaan adalah di luar pengetahuan dan bahasa manusia. Seperti kata Kenneth Burke: “Bahasa pada hakikatnya tidak sesuai untuk mendiskusikan masalah supernatural secara harfiah.” Penjelasan mengenai Tuhan dan masalah gaib harus digunakan secara analogi karena masalah ini melebihi semua sistem perlambangan.[9] Namun, karena bahasa yang kita miliki adalah bahasa manusia, maka untuk membahas persoalan-persoalan gaib ini pun kita pakai pulalah bahasa manusia itu, meskipun bahasa itu sebenarnya kita gunakan dalam membahas masalah-masalah empiris.
Al-Qur’an mengatakan: “Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara isinya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain ayat-ayat mutasyabihaat..” (QS. 3:7). Makna yang sebenarnya dari ayat-ayat mutasyabihaat tidak bisa ditentukan secara empiris. Setiap pembahasan masalah gaib selalu tidak terlukiskan. Sehingga akhirnya pembahasan mengenai perkataan-perkataan yang biasa dipakai dalam diskusi tidak terjangkau oleh bahasa. Oleh sebab itu pembahasan saya mengenai penciptaan laki-laki dan perempuan dalam Al-Qur’an, adalah terutama membahas bahasa.

b.   Penciptaan Ibu-Bapak Pertama
Semua catatan Al-Qur’an mengenai penciptaan manusia di mulai dengan asal-usul ibu-bapak pertama:
“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh Setan sebagaimana ia telah mengeluarkan ibu-bapakmu dari Surga...” (QS. 7:27)
Kita menganggap ibu-bapak kita yang pertama serupa dengan kita. Meskipun anggapan ini benar, tetapi tujuan utama bab ini lebih menekankan pada satu hal: proses penciptaan mereka. Semua manusia setelah penciptaan kedua makhluk ini, diciptakan di dalam rahim ibunya. Implikasi serius yang ditarik dari diskusi, mitos dan gagasan mengenai penciptaan orangtua pertama memiliki dampak yang tidak pernah berakhir terhadap sikap mengenai laki-laki dan perempuan.[10]
c.    Pencipataan Manusia
Menurut Maududi,[11] kesulurahan proses penciptaan manusia melalui tiga tahapan:
1)   Awal penciptaan
2)   Tahap pembentukan serta penyempurnaan, dan
3)   Pemberian kehidupan penyimpan ruh. Maududi menyandarkan analisisnya pada ayat berikut:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah.” Maka apabila telah Kusempurnakan dan Kutiupkan kepadanya ruh.[12] Ciptaan-Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya. (QS. 38: 71-72).[13] Al-Qur’an sering menggunakan sejumlah bentuk dari kata “khalaqa”.[14] Untuk menunjukkan langkah awal dalam proses penciptaan, awal penciptaan. Namun kadangkala khalaqa juga digunakan pada tahap kedua setiap penciptaan manusia, termasuk penciptaan segala sesuatu.[15]Setiap manusia mengalami proses penciptaan. Segala sesuatupun mengalami proses penciptaan.

Kata shawwara yang diartikan “membentuk”, “membangun”,merancang”atau “menyempurnakan” dalam kasus ini menggambarkan langkah kedua penciptaan manusia. “Penyempurnaan” berarti bahwa Allah membentuk manusia tepat seperti yang Ia kehendaki. “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. 95:4)
Allah menyatakan dalam Al-Qur’an bahwa bentuk yang dianugerahkan kepada manusia merupakan bentuk terbaik untuk memenuhi tugasnya sebagai wakil di muka bumi. Di samping itu, salah satu karakteristik penciptaan manusia adalah adanya dua jenis kelamin yang berbeda namun harmonis. Keduanya merupakan bagian dari “kesempurnaan” bentuk manusia yang diciptakan. Jadi, penciptaan bentuk manusia merupakan keputusan Allah yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan dengan bentuk terbaik.
Tahap ketiga atau tahap terakhir dalam penciptaan manusia merupakan langkah yang mengangkat derajat manusia dibanding makhluk lainnya: yaitu ditiupkannya ruh (nafkhat al-ruh) kepada setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan.[16]

d.   Asal-usul Ummat Manusia
1)   Ayah (jamak: Ayat)
Ayah yang merupakan jamak dari kata ayat berarti “tanda” menunjukkan adanya sesuatu di balik tanda tersebut. Ibarat sebatang pohon, biasa dipandang hanya sekedar pohon saja. Pada pemahaman yang sesungguhnya, pohon merupakan suatu ayah (pertanda) yang mencerminkan keberadaan Allah. Pohon dan fenomena alamiah lainnya, merupakan ayat-ayat implisit: tanda-tanda empiris yang bisa dilihat manusia. Dunia atau alam yang bisa dikenali yang dalam Al-Qur’an disebut alam syahadah dibuat secara implisit atau merupakan ayat-ayat tak tertulis.
2)   Min
Dalam bahasa Arab kata min memiliki dua fungsi. Min bisa digunakan sebagai preposisi (kata depan) dari from, untuk menunjukkan makna “menyarikan sesuatu dari sesuatu lainnya.” Kata min juga bisa digunakan untuk mengatakan sama macam atau jenisnya. Setiap penggunaan kata min dalam ayat tadi (QS. 30:20 dan 4:1)
3)   Nafs
Istilah Nafs bisa digunakan secara umum dan secara teknis. Secara bahasa, nafs merupakan kata feminim bentuk muannas. Secara konseptual nafs mengandung makna netral, bukan bentuk laki-laki maupun perempuan, dan merupakan bagian penting dari setiap manusia, laki-laki atau perempuan. Jadi, kata nafs bisa pula ditujukan untuk laki-laki.
4)   Zawj
Istilah penting lain yang digunakan di dalam QS. 4:1 dan 30:20 adalah zawj. Secara umum zawj digunakan dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan jodoh, pasangan, isteri, atau kelompok, dan kata jamaknya azwaj digunakan untuk menunjukkan “isteri-isteri”. Istilah ini digunakan pada tahap kedua penciptaan manusia, di mana kita menerimanya sebagai Hawa yang merupakan manusia pertama dari kaum perempuan. Tetapi menurut tata bahasa, kata zawj merupakan sifat maskulin dan kata kerja maskulin yang sebelumnya. Secara konseptual kata zawj juga tidaklah menunjukkan bentuk feminim atau bentuk maskulin. Dan kata ini dalam Al-Qur’an digunakan sebagai menyebut tanaman. QS. 55:52 dan hewan QS. 11:40 di samping untuk manusia.




e.    Dualisme Penciptaan
Amina Wadud tertarik pada Al-Qur’an mengenai penciptaan segala sesuatu diciptakan secara berpasang-pasangan. Seperti dalam:
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.” (QS. Adz-dzariyat : 49)
 Bagi Amina, berpasangan atau dualisme menjadi karakteristik terpenting dalam penciptaan segala sesuatu. Dan maha suci Allah yang menciptakan segala sesuatu dengan berpasang-pasangan. Bahkan tidak sedikit di dalam Al-Qur’an ayat yang mendukung tentang penciptaan berpasangan ini.Kesimpulan ayat berikut menggambarkan struktur tatanan sosial penciptaan:
Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang menciptakan kamu dari seorang diri (nafs = Adam), dan dari padanya Allah menciptakan zawj (pasangan=hawa). Dari pasangan ini Allah mengembangbiakkan di bumi menjadi laki-laki dan perempuan yang banyak. QS. 4:1
f.       Peristiwa di Taman Firdaus
Persoalan jenis kelamin yang berkaitan dengan penciptaan manusia terpusat seputar peristiwa di Taman Firdaus. Ketika Adam dan Hawa melanggar larangan Allah SWT.  Kisah tadi menekankan bahwa manusia mudah terbujuk oleh godaan Setan. Dalam hal ini setanlah yang menggoda manusia supaya lupa. Allah mengampuni Adam, menerima taubatnya dan memberinya petunjuk. Hal ini menunjukkan betapa pemurahnya Allah SWT pada setiap hambanya. Inilah contoh penghapusan di dalam Al-Qur’an. Namun, sejauh pembahasan ini perempuan tidak pernah disebutkan sebagai pemrakarsa atau penggoda perbuatan keji.

2.    Pandangan Al-Qur’an Tentang Perempuan di Dunia Ini
     Studi mendalam terhadap bahasan Al-Qur’an tentang perempuan harus mencakup tinjauan atas peran yang dimainkan oleh para tokoh perempuan yang disebutkan secara eksplisit maupun implisit dalam kitab ini. Apa signifikansi dari para perempuan itu dalam sutuasi dimana mereka disebutkan? Apakah mereka disebutkan khusus untuk perempuan saja, ataukah mereka disebutkan untuk semua pembaca guna memenuhi tujuan Al-Quran sebagai petunjuk? apakah Al-Qur’an mengajukan sebuah peran tunggal dan seragam yang harus dimainkan oleh perempuan dalam masyarakat ?
     Amina berpendapat bahwa Al-Qur’an tidak mendukung suatu peran spesifik dan stereotipika bagi para tokohnya, baik itu laki-aki maupun perempuan. Peran para perempuan yang dibicarakan daam Al-Qur’an termasuk dalam salah satu dari tiga kategori berikut : 1) peran yang menggambarkan konteks sosial, budaya, dan sejarah tempat si perempuan tinggal-tanpa pujian ataupun kritik dari Al-Qur’an. 2) peran perempuan yang secara universal diterima yaitu mengasuh atau merawat anak), yang bisa diberi beberapa pengecualian bahkan telah diberikan sendiri oleh Al-Qur’an . (3) peran spesifik non gender, yang menggambarkan usaha manusia di muka bumi dan disebutkan dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan funsi spesifik ini, bukan untuk menunjukkan jenis kelamin pelakunya, yang kebetulan seorang perempuan.
a.    Cara Al-Qur’an Memberi Pelajaran kepada Pembacanya Melalui Berbagai Peristiwa dalam Kehidupan Orang-Orang yang disebutkannya
Al-Qur’an merupakan sebuah sejarah moral. Ia mengajukan nilai-niai moral, yang bersifat ekstrahistoris (di luar sejarah) dan transendental, sehingga “tempat nilai-nilai itu dalam sejarah tidak melemahkan dampak praktisnya atau, katakanlah, maknanya. Rentang waktu keberlakuan Al-Qur’an tidak terbatas pada dunia sekarang ini. Al-Qur’an tidak terbatas pada fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa yang dapat diamati. Ia mencakup bukan saja informasi tentang peristiwa aktual yang terjadi, tetapi juga tentang hikmah di balik peristiwa semacam itu dan efek psikologisnya. Kita tidak mempuanyai petunjuk pasti mengenai banyak kisah untuk menentukan apakah kisah-kisah itu bersifat historis ataukah metaforis, harfiah ataukah kiasan.
Ada dua masalah penting dalam kajian kita tentang tokoh-tokoh perempuan yang disebutkan dalam Al-Qur’an: periode Makkah dan Madinah dalam kronologi turunnya wahyu, dan penyebutan berbagai peristiwa sejarah terkenal. Telah dikatan bahwa pembahasan terperinci selama periode Madinah menunjukkan akomodasi terhadap komunitas yang ada dan, dalam beberapa hal, membatasi tujuan universal Al-Qur’an. Untuk mengatasi pembatasan ini, para fuqaha dan pemikir musim harus lebih mengutamakan wahyu universal dari periode Makkah.
Sebuah model hermeneutik yang menarik prinsip-prinsip etika dasar untuk pengembangan lebih jauh dan menarik berbagai pertimbangan hukum dengan cara lebih mengutamakan pernyataan umum ketimbang pernyataan khusus dapat memecahkan banyak persoalan dalam hal aplikasi. Tetapi, tidak ada petunjuk bahwa  seluruh prinsip umum Al-Qur’an diturunkan di Makkah dan bahwa semua ayat madaniyah yang diturunkan di Madinah atau periode Madinah bersifat khusus. Jadi, meskipun diperlukan analisis yang lebih mengutamakan prinsip-prinsip umum ketimbang pernyataan-pernyataan khusus, namun hal ini tidak lantas menjadi satu-satunya pertimbangan kronologis terhadap perbedaan antara ayat-ayat Makiyah dan ayat-ayat Madaniyah.
Adapun mengenai penyebutan peristiwa-peristiwa sejarah terkenal dalam Al-Qur’an, maka asbab al-nuzul saah satu bagian penting dari tafsir Al-Qur’an yang sering diterjemahkan sebagai sebab-sebab turunnya ayat-ayat tertentu harus secara lebih akurat diterjemahkan menjadi peristiwa-peristiwa yang menyebabkan atau untuk itu ayat tertentu diturunkan. Pembedaan ini akan memperluan penerapan prinsip-prinsip dasar Al-Qur’an.
Jika “alasan” diturunkan suatu ayat adalah salah satu kejadian khusus, maka sifat “ekstrahistoris” Al-Qur’an yang universal akan hilang. Al-Qur’an akan menjadi kitab sejarah dalam arti yang sempit, yakni catatan-catatan peristiwa. Namun, dengan mengingat bahwa Al-Qur’an diwahyukan pada titik sejarah tertentu dan dalam konteks sosial tertentu, kita akan mudah memahami signifikansi ayat-ayat tertentu, tanpa sedikit pun membatasi prinsip-prinsip Al-Qur’an pada konteks itu.
Al-Qur’an sangat selektif mengenai perincian-perincian sejarah yang dapat membantu memenuhi tujuannya sebagai pembimbing universal. Ia mendorong pengalaman ajaran-ajaran yang dicontohkan lewat para tokoh yang ia sebutkan, bukannya sekedar menyodorkan catatan dari peristiwa-peristiwa itu sendiri. Karena, jika pembaca menganggap bahwa dirinya sedang membaca suatu catatan, maka apa yang dibacanya boleh jadi tidak berarti bagi kehidupannya. Al-Qur’an hanya bercerita secukupnya saja tidak terlampau banyak untuk mempermudah pencapaian tujuannya.
Al-Qur’an tidak mengalihkan pembacanya dari prinsip-prinsip moral dengan terus banyak bercerita tentang individu tertentu. Karena itu, perlu diterapkan sebuah proses penafsiran yang menyorot signifikansi penyebutan tokoh-tokoh tertentu ini. Fazlur Rahman berpendapat,  proses penafsiran merupakan gerakan ganda dari situasi sekarang ke masa Al-Qur’an, kemudian kembali ke masa sekarang. 
Al-Qur’an adalah tanggapan Tuhan, melalui pikiran Nabi, terhadap situasi moral-sosial Jazirah Arab zaman Nabi Al-Qur’an dan komunitas Islam muncul dalam sejarah dan menentang latar belakang sosial-sejarah. Al-Qur’an adalah tanggapan terhadap situasi itu, dan sebagian besarnya terdiri atas pernyataan moral, keagamaan, dan sosial yang menanggapi berbagai persoalan khusus yang ada dalam situasi sejarah yang konkret.
Secara khusus, Rahman mengatakan bahwa gerakan ganda penafsiran harus berangkat dari hal-hal khusus kajian tentang situasi sejarah dari masalah yang dibahas dalam pernyataan (Al-Qur’an) untuk memahami kandungan atau maknanya menuju hal-hal umum generalisasi jawaban-jawaban khusus dan pengungkapannya sebagai pernyataan tentang tujuan moral sosial umum, yang dapat disaring dari teks khusus sesuai dengan latar belakang sosi-historisnya.
b.      Signifikansi Perempuan yang disebutkan dalam Al-Qur’an
Amina harus berusaha menunjukkan signifikansi dari tokoh-tokoh perempuan yang disebutkan dalam Al-Qur’an menurut konteks modern, karena jika hasil-hasil pemahaman kita tidak bisa diterapkan pada masa sekarang, maka kemungkinan ada kesalahan dalam menilai situasi sekarang ini secara tepat, atau ada kesalahan dalam memahami Al-Qur’an. Namun, dalam melakukan hal ini. Amina pertama-tama akan menunjukkan signifikansi dari para tokoh perempuan itu dalam konteks Al-Qur’an.
Amina membagi semua tokoh perempuan yang disebutkan dalam Al-Qur’an baik yang disebutkan dengan jelas maupun secara sambil atau kedalam dua kategori utama. Yang tdak mempunyai signifikansi independen  Amina masukkan dalam kategori 1. Kategori ini Amina bagi menjadi dua tingkatan: yang disebutkan tetapi sedikit sekali penjelasan tentang mereka, dan yang menjalankan ciri-ciri peran yang biasanya dianggap sesuai untuk perempuan. Para perempuan dalam keduanya tingkatan ini tidak memiliki kaitan dengan keseluruhan tujuan Al-Qur’an sebagai pembimbing, tetapi penting unuk pertalian suatu kisah atau kejadian. Para perempuan dalam tingkatan kedua dari kategori pertama ini berperan sesuai dengan batasan-batasan kondisi sosial mereka. Al-Qur’an tidak menggambarkan mereka sebagai contoh universal.
Contoh yang diberikan Al-Qur’an mengandung informasi konkret tentang penerapan ajaran moral. Untuk menerapkan prinsip moral Al-Qur’an, seorang pembaca harus memiliki pemahaman praktis. Setiap praktik berakar pada konteksnya. Pembaca yang menafsirkan arti penting dari para perempuan yang disebutkan dalam Al-Qur’an sering kali mendekati teksnya dengan berbagai gagasan tentang fungsi yang layak untuk perempuan. Ketika berbagai gagasan ini mendapatkan dukungan Al-Qur’an pada tingkat permukaan, para penafsir itu tidak lagi melihat secara lebih dalam contoh-contoh yang diberikan Al-Qur’an. Hal ini menyebabkan banyak sekali penyederhanaan berlebihan dan kontradiksi ketika prespektif tiap-tiap penafsir diletakkan diatas Al-Qur’an itu sendiri.
Al-Qur’an bukanlah buku petunjuk yang hanya memerintahkan setiap pembaca untuk melakukan amalan tertentu atau memenuhi karakteristik tertentu. Dengan menceritakan peristiwa-peristiwa konkret, ia membuat gagasan-gagasan konseptual menjadi nyata. Para tokoh laki-laki dan perempuan penting terutama untuk menunjukkkan gagasan-gagasan tertentu di sekitar petunjuk. Para tokoh dan berbagai peristiwa dalam Al-Qur’an harus selalu dikaji menurut tujuan yang menyeluruh ini.
Patut dicatat bahwa semua penyebutan tokoh-tokoh perempuan dalam Al-Qur’an menggunakan ciri khas kepudayaan yang memperlihatkan penghormatan terhadap para perempuan itu. Kecuali Maryam , Ibunda Nabi Isa, para tokoh itu tidak pernah dipanggil dengan nama mereka. Sebagian besar berstatus istri, dan Al-Qur’an menyebutkan mereka dalam bentuk posesif (idhafah) yang mengandung salah satu kata Arab untuk Istri: imra’ab (perempuan), nisa (perempuan-perempuan), dan nama laki-laki tertentu; misalnya, imra’ab imran, atau zawj Adam.
Bahkan, perempuan ajang atau perempuan yang suaminya tidak disebutkan dihubungkan dengan laki-laki tertentu: ukht-Musa (saudara perempuan Musa), ukht-Harun (saudara perempuan Harun,nama lain untuk Maryam), dan umm-Musa (ibunya musa). Akan tetapi, wujud penghormatan khusus ini hanya terbatas pada konteks ketika itu. Prinsip umumnya bahwa perempuan harus disapa secara terhormat dimaksudkan untuk mereka yang membaca Al-Qur’an di masa yang berbeda.
Al-Qur’an menyajikan contoh-contoh melalui beberapa cara. Peristiwa khusus dibicarakan dengan menggunakan bahasa yang umum, dan aplikasi umum dari prinsip-prinsip yang mendasari ayatnya diberi tekanan. Ayat Al-Qur’an  dimaksudkan sebagai suatu realitas berkelanjutan yang terlepas dari para individu yang disebutkan, dan mereka sekedar contoh dari realitas itu.
Ayat-ayat lainnya berisi informasi tentang peristiwa-peristiwa yang sangat spesifik, tetapi perjalanan moral yang bersumber dari peristiwa-peristiwa itu secara umum dapat diaplikasikan begitu selesai ditafsirkan. “Metode yang digunakan Al-Qur’an untuk peristiwa seperti ini ialah menggambarkan aktivitas yang yang terjadi lalu menggambarkan, melalui aktifitas itu, legalitas yang tampak dan yang tersembunyi yang dapat disimpulkan dalam peristiwa itu.
Dalam Surah al-Tahrim, Al-Qur’an secara langsung menyebutkan beberapa perempuan sebagai model: (QS.66:10-12)
“Contoh-contoh” yang secara khusus “disebutkan” oleh Allah ini biasanya ditafsirkan sebagai contoh yang ditunjukkan untuk kaum perempuan semata. Padahal, ayat-ayat itu memperkenalkan mereka sebagai contoh untuk “orang-orang beriman” dan “orang-orang kafir”. Dengan kata lain, mereka adalah contoh spesifik non gender dalam hal ini, merupakan contoh tanggung jawab individual terhadap keimanan. Tidak ada yang diselamatkan karena mempunyai pertalian dengan seseorang yang memperjuangkan kebaikan betapapun eratnya pertalian itu. Setiap orang harus berjuang untuk mencapai kebaikan, atau, paling tidak, seperti para istri dari “ hamba-hamba yang saleh”, tidak menentang kebenaran sehingga masuk neraka.
Terakhir, sesekali beberapa peristiwa yang disebutkan dalam Al-Qur’an memiliki keberlakuan yang terbatas. Ada beberapa informasi sejarah yang dapat diambil dari peristiwa-peristiwa itu dengan sedikit sekali atau tidak ada keberlakuan signifikansi di luar peristiwa-peristiwa tersebut. Itulah ayat-ayat adaniyah, dan informasi yang disampaikan meliputi sesuatu yang hanya untuk Nabi Muhammad dan keluarganya.
c.    Perempuan Sebagai Individu
Dalam pembahasan Amina tentang perempuan menurut Al-Qur’an, Amina telah membicarakan perbedaan antara perempuan sebagai individu dan perempuan sebagai bagian dari masyarakat. Pembahasan Al-Qur’an tentang perempuan di dunia kebanyakan terpusat pada hubungannya dengan kelompok, yakni sebagai bagian dari sistem sosial. Namun, harus juga dipahami bagiamana Al-Qur’an berfokus pada perempuan sebagai individu, karena Al-Qur’an memperlakukan individu, laki-laki maupun perempuan, dengan cara yang betul-betul sama: apapun yang disampaikan Al-Qur’an tentang hubungan antara Allah dan individu tidak diungkapkan dalam bahasa gender. Berkenaan dengan spiritualitas, hak perempuan tidak berbeda dengan hak laki-laki.
Menyangkut individu, Al-Qur’an paling sering menggunakan istilah nafs. Di dunia ini, setiap individu diberi tanggung jawab dan kemampuan. Dua hal ini menentukan balasan setiap individu di dalam akhirat.Kemampuan individu dinyatakan dalam (QS. 2: 286).
Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan berkenaan dengan kemampuan individual. Mengenai potensi hubungan mereka dengan Allah, mereka sama saja. Mengenai aspirasi pribadi, mereka juga sama. Hal ini pentin karena:
Pada setiap masyarakat, di setiap zaman, manusia beranggapan bahwa laki-laki dan perempuan berbeda bukan hanya dalam anatomi melainkan juga dalam kualitas ruh, jiwa dan kemampuan mereka, yang lebih sulit untuk dipahami. Mereka semestinya tidak melakukan hal yang sama, berfikir sama, ataupun mempunyai angan-angan dan hasrat yang sama. (penekanan Amina sendiri).
Ketika berbagai sistem sosial menetapkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan, sistem-sistem itu menyimpulkan perbedaan tersebut sebagai indikasi dari nilai yang berbeda pula. Padahal, tidak ada indikasi bahwa Al-Qur’an menghendaki agar kita memahami adanya perbedaan azali antara laki-laki dan perempuan dalam hal potensi spiritual. Karena itu, perbedaan apapun yang ada diantara laki-laki dan perempuan tidaklah menunjukkan suatu nilai yang inheren, jika tidak demikian maka kehendak bebas tidak ada artinya.  Masalah timbul ketika kita mencoba menentukan kapan dan bagaimana perbedaan ini terjadi
Sayid Quthb mengatakan bahwa “ fitrah” sifat primordial menjadikan laki-laki sebagai laki-laki, dan perempuan sebagai perempuan.” Namun, selanjutnya, ia menekankan pada perbedaan ini tidak mempunyai nilai inheren. Sebaliknya, A-Zamakhsyari mengatakan bahwa laki-laki “dilebihkan” oleh Allah dari pada perempuan dalam hal “kecerdasan, keadaan jasmani, keteguhan hati, dan kekuatan fisiknya,” walaupun ia mengatakan bahwa hal ini tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Penegasan semacam ini tidak bisa dikikis dengan mengatakan bahwa “laki-laki tidak mempunyai hak untuk menguasai perempuan dengan jalan kekerasan, atau menunjukkan sikap arogan terhadap mereka.” Al-‘Aqqad mengatakan bahwa laki-laki patut diutamakan dari pada perempuan.
Amina ingin memperlihatan berbagai pengaruh negatif dari penafsiran yang menetapkan perbedaan inheren antara laki-laki dan perempuan dan kemudian memberikan nilai pada perbedaan itu. Penafsiran demikian berasumsi bahwa laki-laki melambangkan norma sehingga merupakan manusia yang sempurna. Perempuan secara tersimpul, adalah kurang manusia dibandingkan laki-laki. Mereka memiliki keterbatasan sehingga lebih kecil nilainnya. Penafsiran seperti ini memunculkan berbagai strereotip tentang perempuan dan laki-laki yang sangat merintangi potensi masing-masing. Selain itu, penafsiran semacam ini membenarkan berbagai pembatasan atas hak perempuan untuk mencapai kebahagiaan pribadi dalam konteks Islam. Yang paling menyusahkan adalah kecenderungan untuk mengaitkan penafsiran seperti ini dengan Al-Qur’an alih-alih dengan para mufasimya.
Amina menolak pandangan seperti itu, dan Amina juga tidak menemukan sandarannya dalam Al-Qur’an. Perlu diketahui bahwa para pengarang muslim yang mengeluarkan penafsiran ini pun mengakui bahwa Al-Qur’an bertujuan untuk menegakkan keadilan sosial. Namun, kenyataannya, penafsiran mereka tentang keadilan sosial tidak sepenuhnya menyentuh kaum perempuan. Ha ini sama dengan ucapan Thomas Jefferson dan para penulis Konstitusi Amerika Serikat yang mengatakan bahwa “semua manusia diciptakan sama” tanpa sedikitpun berniat memasuukan persamaan derajat antara kulit hitam dan kulit putih.
Menurut Amina, Al-Qur’an menggambarkan setiap individu manusia sebagai memiliki nilai yang secara inheren sama, dengan mengacu pada tiga tahap eksistensi manusia. Pertama, dalam penciptaan manusia, Al-Qur’an menekankan kesatuan asal seluruh umat manusia:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ
“Dia menciptakan kalian (manusia) dari nafs yang satu” (QS An-nisa’: 1)
 Kedua, terkait dengan perkembangan di dunia, Al-Qur’an menegaskan bahwa potensi untuk berubah, tumbuh, dan berkembang ada dalam nafs individu (atau kelompok) juga :
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka (lebih dulu) mengubah keadaan daam anfus mereka” (QS. Ar-ra’d: 11).
 Ketiga,semua aktivitas manusia diberi balasan. Seperti dalam:
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (QS. An-nisa’: 124 )
       Sampai di sini, Amina terdorong untuk mengajukan beberapa pertanyaan berikut: Adakah cara untuk memahami berbagai perbedaan antara individu? Apakah semua perbedaan itu merefleksikan nilai sistem tertentu? Apaka perbedaan-perbedaan itu mengikuti batasan-batasan yang digambarkan dengan jelas antara laki-laki dan perempuan?
d.   Yang Membedakan Di Antara Individu: Takwa
Al-Qur’an menetapkan perbedaan di antara benda-benda dan di antara manusia. Ia menegaskan bahwa alam akhirat lebih besar nilainnya dari pada dunia ini. Ia juga membeda-bedakan manusia di alam akhirat dan di alam dunia. Nilai perbedaan antar manusia di dunia dapat disimpulkan dengan jelas dari pernyataan Al-Qur’an dalam surah a-Hujurat (49:13) “Kami menciptakan kalian dari serang laki-laki dan serang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal-mengenal. Inna akramakum ‘indallahi atqaum (sesungguhnya orang yang paling mulian di antara kalian dalam pandangan Allah adalah yang paling bertakwa).”
Istilah taqwa ini salah satu Weltanschauung Al-Qur’an yang paling pokok mempunyai beragam terjemahan dan definisi. Untuk penelitian ini, Amina mengartikan sebagai “kesalehan”, yakni, perilaku saleh yang jauh dari larangan-larangan yang pas untuk suatu sistem moral-sosial, dan “kesadaran karena Allah”, yakni, menjalankan perilaku itu karena takzim kepada Allah. Dalam Wetansbauung Al-Qur’an, istilah ini selalu merefleksikan tindakan maupun sikap. Amina ingin menegaskan bahwa istilah yang multidimesional ini merupakan hal yang mendasar dalam Al-Qur’an.
Ayat di atas (QS 49: 13) merekonstrusi semua dimensi eksistensi manusia. Ia memulai penuturannya dengan penciptaan, kemudian menyatakan keberpasangan : laki-laki dan perempuan. Keduanya kemudian disatukan dalam kelompok-kelompok yang besar dan kecil, yang masing-masing diterjemahkan sebagai “bangsa” dan “suku” supaya kalian saling kenal mengenal” atau sederhananya agar dapat dibedakan sehingga memungkinkan pengenaan. Apabila kita semua sama, tanpa ada ciri-ciri yang membedakan kita, kita tidak mempunyai cara untuk saling mengenal atau dikenal.
Puncak dari ayat ini dan aspek sentralnya dalam pembahasan ini adalah yang paling mulia di antara kalian dalam pandangan Allah adalah yang paling bertaqwa. Nilai yang membedakan dalam pandangan Allah adalah taqwa. Ayat ini sudah jelas dengan sendirinya jika taqwa kita pahami dalam dimensi tindakan dan sikap. Allah tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan kekayaan, kebangsaan, jenis kelamin, atau konteks sejarah, melainkan berdasarkan taqwa. Dari prespektif inilah maka semua perbedaan antara perempuan dan perempuan, antara laki-laki dan laki-laki, dan antara perempuan dan laki-laki harus dianalisis.
Perlu diperhatikan di sini bahwa ayat tersebut merupakan lanjutan dari ayat-ayat yang menegur para individu dari kedua jenis kelamin karena saling mengolok-olok, menggunjing, dan mencari kesalahan satu sama lain (QS 49 : 11-12). Kita boleh jadi memberi nilai tinggi atau rendah kepada orang lain berdasarkan jenis kelamin, kekayaan, kebangsaan, agama, atau suku, namun, dalam pandangan Allah, semua itu tidak menjadi dasar yang bernilai untuk membedakan para individu (atau kelompok) dan pandangan-Nya adalah pandangan yang benar.
Terakhir, Amina ingin menyampaikan bahwa tiga mufasir yang kitab tafsirnya dirujuk untuk penelitian ini semuanya mengatakan bahwa hal-hal yang nyata dan duniawi yang digunakan manusia untuk menilai satu sama lain bukanlah kriteria penelitian yang benar. Namun, mereka tidak sepakat tentang apa yang tergolong ha nyata. Dalam menganalisis ayat ini, hanya Sayid Quthb yang mengakui bahwa jenis kelamin digunakan sebagai dasar untuk mengolok-olok dan menggunjing yang kemudian harus dinyatakan sebagai aspek superioritas duniawi yang salah. Dia menyatakan bahwa ayat-ayat itu memasukkan semua pembeda di antara manusia: jenis kelamin, warna kulit, dan sebagainya, “sebab semua akan kembali ke satu timbangan,yaitu taqwa”.
Al-Zamakhsyari menyebutkan bahwa penyebutan laki-laki dan perempuan, berkenaan dengan olok-mengolok adalah lebih diperhatikan ketimbang pengabaian atas keduanya, tetapi jangan terus berkesimpulan secara eksplisit bahwa gender dapat dimanfaatkan secara salah untuk pembedaan dan superioritas.
Maududi menyatakan bahwa adam ayat-ayat tersebut “semua manusia ditegur” guna mencegah kejahatan besar yang menimbulkan kekacauan dimana-mana, yakni prasangka karena “suku, warna kulit, bahasa, negara, dan kebangsaan,” dia tidak memasukkan jenis kelamin dan mengutip Ibn Majah yang mengatakan: “Allah tidak melihat penampilan lahiriyah dan kekayaanmu, tetapi Dian melihat hati dan perbuatanmu.” Amina percaya bahwa hati dan perbuatan tidak berkelamin berdasarkan pada ayat: “barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang dia beriman, maka mereka akan masuk surga” (QS 4: 124).
e.       Tokoh-Tokoh Perempuan dalam Islam
Amina hanya akan membicarakan tiga tokoh perempuan yang disebutkan dalam Al-Qur’an: ibu Nabi Musa, Maryam, dan Bilqis (Ratu saba’). Seluk-beluk kehidupan ketiga perempuan ini sangatlah berbeda, namun para penafsir menceritakan kembali kisah mereka tanpa visi perempuan dan tanpa menyorot hal-hal yang melampaui keperempuan mereka. Musa dilahirkan pada waktu Fir’aun sedang membantai semua bayi laki-laki Yahudi. Allah memutuskan bahwa bayi ini akan mengemban tugas kenabian.
Dan, Kami wahyukan kepada ibu Musa, “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir kan dia, maka jatuhkan dia kesungai dan janganah kamu khawatir maupun bersedih. Sesungguhnya kami akan mengembalikannnya kepadamu dan menjadikannnya salah seorang dari Rasul Kami” (QS 28:7).
Pernyataan pertama dalam ayat ini adalah beberapa patah kata lembut yang di ucapkan kepada ibu Musa. Allah berjanji akan mengembalikan anak yang ia susui itu kepadanya. Kemudian dinyatakan bahwa Allah akan menjadikan seorang Rasul. Perhatikan kelembutan yang diperlihatkan Al-Qur’an terhadap keinginan perempuan ini untuk mengasuh anaknya. Walaupun anak itu dibawah ancaman perintah Fir’aun untuk membunuh anak-anak sepertinya, namun anak ini diselamatkan untuk memenuhi ketetapan Allah. Keinginan si ibu terhadap anaknya bukanlah bagian langsung dari ketetapan tersebut. Namun, Al-Qur’an melukiskan aspek itu bahkan, menyebutkan terlebih dahulu.
       Mengembaikan anak itu agar dapat menetek pada susu ibunya akan memenuhi hasrat keibuan sang ibu dan kemungkinan mempermudah dia untuk tetap merahasiakan anak itu. Di sini, pengorbanan dan perjuangan untuk memenuhi perintah Allah diperhalus dengan simpati dan kelembutan. Dia bukan hanya orang beriman, dia adalah orang beriman yang memiliki rasa cinta dan perhatian, rasa takut dan cemas.
       Agar tidak diremehkan arti pentingnya, Al-Qur’an mengatakan bahwa ummu-Musa menerima wahyu, ummu-Musa menunjukkan bahwa perempuan memang beda dari laki-laki dalam beberapa aspek, tetapi sama saja dalam aspek-aspek lainnya.
       Amina telah mengatakan sebelumnya bahwa Maryam adalah satu-satunya perempuan yang disebutkan namanya dalam Al-Qur’an. Hal ini karena menurut Al-Qur’an, Isa diciptakan dalam rahim Maryam dengan perintah khusus, tidak dengan biologi normal. Dia dijuluki “putra Maryam” untuk menunjukkan arti penting kelahirannya. Hubungan keluarga dalam Al-Qur’an diberi nama menurut garis keturunan bapak atau datuk laki-laki, tetapi, karena Isa tidak mempunyai bapak, maka dia tidak bisa dinamai dengan cara ini. Yang terpenting, menurut prespektif Al-Qur’an, dia bukan anak Tuhan. Meskipun Maryam disebut namaya disebut langsung dalam Al-Qur’an, dia juga diberi gelar kehormatan yang lazim di Jazirah Arab pada masa itu dan yang biasa digunakan Al-Qur’an ketika menyebutkan beberapa perempuan tertentu: dia disebut “saudara perempuan Harun”.
       Menurut kisahnya,serang utusan datang kehadapan Maryam membawa pesan Allah bahwa dia akan mengandung seorang anak. Dia menjawab, “ Bagaimana aku dapat mengandung seorang anak, sedang tidak pernah ada seorang manusia pun yang menyentuhku, dan aku juga bukan seorang pezina?” (QS 19:20). Begitu dia menerima ketetapan itu, ruh Tuhan tiupkan kepadanya, dan dia mengandung anak itu.
       Ketika saat meahirkan tiba, Al-Qur’an menggambarkan bagaimana Maryam menahan rasa sakit melahirkan dan berkata, “Alangkah baiknya seaindainya aku mati saja sebelum ini dan menjadi orang yang di upakan (ketimbang merasakan sakit seperti nini)” (QS 19:23). Dia sama dengan perempuan lain yang akan melahirkan, Kemudian, Al-Qur’an memperlihatkan simpati Allah terhadap penderitaannya, “ janganlah bersedih hati!” (QS19:24). Dan, dia diminta supaya makan,minum, dan bersenang hati (QS 19:26).
       Walaupun kedudukan Isa (Yesus) sangat sentral dalam Agama Kristen, namun tidak ada keterangan rinci yang sama tentang pengalaman unik melahirkan anak seperti ini dalam karya teologi Kristen mana pun bahkan dalam Injil sekalipun. Fungsi khusus tersebut dinaikkan statusnya menjadi “patut disebutkan secara terperinci” untuk menegaskan arti penting fungsi itu dalam pandangan Al-Qur’an. Kita tidak boleh melalaikan arti penting dari fungsi khusus ini.
       Sekali lagi,dalam kejadian ini, sebagaimana dalam kisah umm-Musa di atas, hal yang umumnya dianggap penting hanyalah bahwa seorang anak dilahirkan, atau seorang anak diselamatkan. Padahal, Al-Qur’an menceritakan keduanya secara terperinci untuk menyoroti bahwa prioritas menyelamatkan anak, pada setiap kasus, juga dilihat dari sudut perhatian terhadap tiap-tiap ibunya.
       Kita dapat mengambil sebuah pertimbangan gramatikal sederhana mengenai arti penting Maryam bagi seluruh orang beriman. Al-Qur’an mengglongkan Maryam sebagai “salah seorang qanitin” (QS 66:12), dengan menggunakan bentuk jamak Maskulin dari kata yang menunjukkan ketaatan di hadapan Allah. Tidak ada alasan dari tidak digunakannya bentuk jamak feminim kecuali untuk menegaskan bahwa signifikansi contoh Maryam adalah untuk semua orang beriman, baik laki-laki maupun perempuan. Kebijakannya tidak dibatasi oleh jenis kelamin.
       Terakhir, Amina akan membahas Bilqis (Ratu Saba’). Sekalipun ada fakta bahwa dia memerintah suatu bangsa, namun sebagian besar kaum Muslim berpendapat bahwa kepemimpinan tidak layak bagi seorang perempuan. Padahal, Al-Qur’an tidak menggunakan istilah yang menunjukkan bahwa posisi pemimpin tidak tepat untuk seorang perempuan. Kisah Bilqis dalam Al-Qur’an ini justru memuji perilaku politik dan keagamaannya.
       Walaupun QS 27:23 benar-benar menyebutkan bahwa dia adalah “seorang perempuan” yang memerintah barang kali sebagai keanehan, namun hal ini tidak lebih merupakan sebuah kutipan pernyataan dari Hud-hud yang telah mengamatinya. Di luar identifikasi atas dirinya sebagai perempuan, tidak pernah disebutkan perbedaan, pelarangan, penambahan, pembatasan, atau pengkhususan terhadapnya sebagai seorang perempuan yang memimpin.
       Al-Qur’an selanjutnya mengisahkan: “Dia berkuasa, dianugerahi segala sesuatu, dan mempunyai singgasana yang besar” (QS 27:23). Akan tetapi, dia dan kaumnya menyembah matahari,selain Allah” (Qs 27:24).
       Sulaiman mengirim surat kepada Ratu Saba’ “Dengan nama Allah” dan mengajak dia serta kaumnya untuk menyembah Allah semata (QS 27: 29-31). Ketika membaca surat itu, dia berkata kepada para penasihatnya, “Sesungguhnya telah dikirimkan kepadaku sebuah surat yang mulia (karim)” (QS 27:29). Kemudian, dia meminta mereka untuk memberikan pendapat dalam masalah tersebut karena, “aku tidak pernah memutuskan suatu persoalan sebelum kalian memberikan pendapat tentangnya.” (QS. 27:32).
       Walaupun dia menjalankan pemerintahan dengan protokoler yang wajar dan meminta masukan dari para penasihat mengenai masalah ini, namun dia telah menunjukkan prespektif dengan menyebut surat itu dengan “karim”. Jadi, penangguhan terhadap keputusan mengenai kasus ini bukan karena dia tidak mampu memutuskan, melainkan karena aturan protokoler dan diplomatik.
       Mereka berkata: “Kita adalah orang-orang yang mempunyai kekuatan dan keberanian yang sangat. Akan tetapi, keputusan berada di tanganmu, maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu putuskan.” Dia berkata, “Sesungguhnya, raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina. Demikianlah yang akan mereka lakukan, tetapi, sesungguhnya aku akan mengirimkan utusan kepada mereka dengan membawa hadiah untik mereka, dan aku akan menunggu apa balasan yang dibawa utusan-utusanku” (QS. 27:33-35).
       Sulaiman menolak hadiah itu dengan mengatakan bahwa dia tidak membutuhkannya, karena Allah telah memberinya kedudukan yang baik dalam kehidupan duniawi maupun spiritual (QS. 27: 36-37).
       Dalam QS.27:42, sang Ratu dikisahkan memutuska untuk mengunjungi Sulaiman secara pribadi. Karena dia adalah seorang kepala negara, maka keputusan seperti itu memiliki makna penting. Artinya, dia sudah menyatakan bahwa ada sesuatu yang istimewa dan tidak lazim dari suatu kejadian khusus, dan hal itu perlu mendapat perhatian pribadinya, bukan “sekedar lewat duta besar. Mungkin, kejadian khusus itu adalah surat pertama Sulaiman yang ditulis “dengan nama Allah”, atau karena Sulaiman menolak hadiah materi dari Ratu.
       Ketika sedang perjalanan menuju Sulaiman, Sulaiman secara ajaib memindahkan singgasana Ratu Saba’ kepadanya dan menggunakannya untuk menguji kearifan Ratu. Ratu diantar menuju singgasana itu dan ditanya, “Serupa inikah singgasanamu?” Dia menjawab, “ini seperti singgasanaku’ (QS. 27 :42). Keberadaan singgasana seperti miliknya, atau memang miliknya sendiri itu, menunjukkan bahwa ada kekuatan gaib yang dikuasai Sulaiman. Selanjutnya, Ratu berkata  “Kami telah diberi pengetahuan tentang ini sebelumnya dan kami berserah diri kepada Allah dalam Islam (QS.27 :42).
       Ada yang menafsirkan keputusan Ratu untuk mengirimkan hadiah ketimbang menunjukkan kekuatan kekerasan ini sebagai politik ‘feminim’. Amina mengaitkan antara pengetahuan duniawinya tentang politik damai dan pengetahuan spiritualnya tentang pesan Unik dari Sulaiman untuk menujukkan kemampuannya yang mandiri dalam memerintah secara bijak dan diperintah secara bijak dalam masalah spiritual. Jadi, Amina menghubungkan keputusan politiknya yang mandiri yang terlepas dari norma para penguasa laki-laki yang ada dengan penerimaannya yang mandiri terhadap keimanan yang benar Islam, yang terlepas dari norma yang dianut kaumnya.
       Pada kedua hal tersebut, Al-Qur’an memperihatkan bahwa keputusan Ratu Saba’ lebih baik dari pada norma yang berlaku, dan secara mandiri dia menunjukkan keputusan yang lebih baik itu. Apabila politik yang dijalankannya adalah politik feminim, maka keimanannya adalah feminim yang secara tersimpul menunjukkan bahwa maskulinitas adalah suatu kerugian. Keimanan dan politiknya boleh jadi khas perempuan, tetapi memang lebih baik. Keimanan dan politiknya menunjukkan bahwa dia adalah seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan, bertindak berdasarkan ilmunya, sehingga dapat menerima kebenaran. Unjuk kearifan sejati yang dilakukan dalam Al-Qur’an oleh seorang perempuan ini mudah-mudahan dapat dipertunjukkan juga oleh laki-laki.[17]
3.    Balasan yang Adil: Penuturan Al-Qur’an tentang Akhirat
Al-Qur’ān  sangat menjunjung tinggi perempuan, sehingga menyajikan topik tentang perempuan tidak hanya dalam surat an-Nisa’, tetapi juga dalam surat at-Thalaq dan surah-surah lain yang lebih dari sepuluh surat, meskipun surat-surat tersebut tidak di namakan surat an-Nisa’. Seperti di dalam per-empat bagian kedua surat al-Baqarah menerangkan hak-hak isteri. an-Nur, al-Ahzab, al-Mujadalah, al-Mumtahanah yang menerangkan kaum perempuan yang berhijrah dari negeri musuh ke negeri Islam dan dalam surat at-Tahrim, menjelaskan perkara yang berlangsung antara isteri rasul, dan juga berlaku kepada seluruh isteri orang Islam di setiap masa dan tempat.[18]
Ada dua hal penting yang menjadi perhatian kita dalam memandang keutamaan perempuan yang di sebutkan dalam Al-Qur’an  yaitu kronologi turunnya wahyu periode Makkah dan periode Madinah. Dan rujukan untuk peristiwa sejarah yang telah diketahui.  Untuk mengatasi pembatasan seperti itu, para ahli hukum dan pemikir Islam mengutamakan ayat-ayat universal yang turun pada periode Makkah.
Dalam dunia Islam akhir-akhir ini, masalah perempuan dan gender mendapat tanggapan yang serius, baik dari kalangan akademisi, intelektual, maupun agamawan. Kajian tentang perempuan dan kaitannya dengan agama juga tidak lepas dari pandangan mereka. Munculnya berbagai literature tentang masalah perempuan, gender, dan feminism yang ditulis oleh Amina Wadud Muhsin, Fatima Mernissi, Asgahr Ali Enginer, dan sebagainya menjadi saksi atas munculnya trend tersebut. Tulisan-tulisan mereka ternyata telah mendorong para peneliti dan pemerhati masalah perempuan lainnya untuk lebih interest dalam melakukan penelitian, baik dalam bidang fiqih, hadis, tafsir, maupun al- Qur’an sendiri.[19] Kondisi kaum perempuan, terutama beberapa daerah di Indonesia saat ini relative masih memprihatinkan. Masih kuatnya budaya patriarki yang menempatkan laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan serta masih adanya pengaruh tafsir al-Qur’ān  tradisional menyebabkan kaum perempuan belum banyak mengalami perubahan. Isu tentang keadilan dan kesetaraan gender merupakan isu yang hangat di bicarakan oleh pemerintah dan aktivis perempuan di berbagai daerah.[20]
Sebelum masuk ranah dalam pembahasan perempuan, penulis akan memulainya dari alam akhirat sampai kepada pembalasan yang adil yang mana di dalamnya terdapat kata perempuan yang mana kata itu tindakan terlepas dari alam akhirat itu sendiri.
a.    Alam Akhirat dan Penciptaan Manusia
Al-Qur’ān  memberikan deskripsi dan uraian yang sangat jelas serta menggunakan bahasa yang dinamis ketika berbicara dengan akhirat. Tentu saja, hal ini dimaksudkan agar menimbulkan pengaruh yang mendalam, pada masa turunnya wahyu dan bagi para pembacanya setelah itu. Kemampuan menghasilkan pengaruh semacam ini menunjukkan kekuatan murni bahasa. Pembahasan saya berfokus pada sebuah pertanyaan mengenai penyajian verbal yang indah dan mengesankan ini, apakah ada perbedaan esensial antara perempuan dan laki-laki dalam gambaran alQur’ān  tentang alam akhirat?[21]
Menurut Riffat Hasan, adanya diskriminasi dan segala bentuk ketidakadilan gender yang menimpa kaum perempuan dalam umat Islam berakar dari pemahaman yang “keliru” dan bias patriarki terhadap sumber  ajaran Islam, yaitu kitab suci Al-Qur’an . Oleh sebab itu, dia menyerukan perlunya dekonstruksi pemikiran teologis tentang perempuan, terutama mengenai konsep penciptaan hawa sebagai perempuan pertama.[22]
Mengapa demikian? Riffat  mengatakan, “.....that unless, or or unti the theological foundation of misogynistic and and androcentric tendencies in islamic tradition are demolished, muslim women will continue to be brutalized and discriminated against despite improvements in statistics such as those on female education, emploiment, and social and political rights are granted to women, as long as they are continued to accept the myths used  by theologians or religious hierarachs to shackle their bodies, heart, mind and soul. They will never become fully developed or whole human being”.[23]

“......Meskipun ada perbaikan secara statistik seperti hak-hak pendidikan, pekerjaan beserta hak-hak sosial politik, perempuan akan terus menerus diperlakukan kasar dan didiskriminasi, jika landasan teologis yang melahirkan kecenderungan-kecenderungan misiogonis dalam trsdisi islam itu tidak dibongkar. Banyaknya jaminan hak-hak sosial politik perempuan tidak akan berarti apa-apa, jikamereka masih tetap dikondisikan untuk menerima mitos-mitos yang biasa dikemukakan oleh para pemimpin agamawan untuk membelenggu tubuh, hati, pikiran dan jiwa mereka. Mereka tidak akan pernah berkembang spenuhnya atau menjadi manusia seutuhnya”.
Dalam diskursus feminisme, konsep penciptaan perempuan merupakan isu yang sangat penting dan mendasar untukk dibicarakan lebih dahulu, baik ditinjau dari secara  filosofis maupun teologis. Sebab, konsep kesetaraan (al-Musawamah/ equality) atau ketidaksetaraan dapat dilacak akarnya dari konsep penciptaan perempuan itu sendiri yang sering dijadika bias patriarkhi.

Artinya:”Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya.”( QS. az- Zumar : 6)

Al-Qur’ān  selalu membandingkan termasuk manusia dan atas dasar kriteria yang beragam, ia melakukan pembedaan, menetapkan klasifikasi, dan memberikan nilai, misalnya kehidupan di akhirat dibandingkan dengan akhirat. Akhirat lebih baik karena:
1)   Yang kekal lebih baik daripada yang fana, jika dunia ini terbatas maka akhirat tidak ada batasnya.
2)   Kebaikan yang sejati dan tulus adalah lebih mulia daripada kebaikan yang terlihat / semu. Di dunia, rasa senang dan sakit tercampur tapi di akhirat semuanya murni.
3)   Di dunia, segala sesuatu dapat memperdayakan, terlihat baik tapi sebenarnya tidak. Akhirat menampakkan realitas.[24]

b.   Tahap-tahap Kehidupan Akhirat
Kehidupan yang akan ditempuh manusia yang terakhir adalah kehidupan di alam akhirat. Alam akhirat ini adalah merupakan perumahan yang kekal untuk selamalamanya, yang terdiri dari surga atau neraka. Setelah itu tidak ada lagi alam yang lain. Seperti telah disebutkan di atas bahwa kehidupan di akhirat itu adalah kehidupan yang baik dan kekal.  Sebelum memasuki akhirat ada tahapan-tahapan yang harus dilalui yaitu:[25]
1)   Kematian
Membicarakan kematian adalah membicarakan sesuatu yang amat menakutkan. Inilah peristiwa yang amat menakutkan di dunia ini. Betapa tidak, dari segi fisik saja kematian kerap digambarkan sebagian proses yang sangat menyakitkan. Demikian halnya dari segi psikis, kematian dipahami sebagai proses terjadinya perpisahan dari segala sesuatu yang dicintai. Isteri, suami, keluarga, dan orang-orang dekat, harta benda dan kekayaan, kedudukan, status, dan posisi penting ditengah-tengah masyarakat, semuanya pasti ditinggalkan begitu saja ketika kematian menjemput.[26]
Kata Nafs, yang penting dalam pembahasan kita sebelumya tentang penciptaan manusia, juga merupakan kata kunci dalam membahas alam akhirat. Mengenai kematian, ia merupakan bagian esensial dari setiap insan yang mengalami perpindahan dari kehidupan duniawi ke alam akhirat yang gaib. Nafs merupakan pokok kajian dalam pembahasan tentang akhirat karena inilah yang digunakan untuk menghilangkan unsur perbedaan jenis kelamin dalam ulasan-ulasan al-Qur’ān  tentang bahasan akhirat. 

2)   Kebangkitan 
Hari kebangkitan adalah hari kacaunya tatanan realitas yang telah kita ketahui dan tempati. Namun ada satu aspek yang sudah lazim nafs adalah wahana yang mengalami peristiwa kebangkitan ini dan semua peristiwa lainnya di akhirat. Pertama-pertama, pada saat kebangkitan ini, nafs akan dihubungkan atau disatukan dengan nufus lain. 
Ada sebuah pertanyaan apa hubungan tubuh yang hancur, berubah, tidak stabil, dan terserang penyakit itu dengan keabadian dan surga ? kenikmatan-kenikmatan yang mulia dari ruh pasti sudah cukup. Mengapa kebangkitan tubuh itu harus terjadi untuk kenikmatan-kenikmatan fisik?
Perbuatan alam raya dan watak sempurna umat manusia menunjukkan bahwa sang pembuat alam raya ingin memperkenalkan semua perbendaharaan kasih sayang-Nya dan semua manifestasi nama-nama-Nya, dan membuat kita mengalami semua karunia-Nya melalui alam raya. Sang pencipta yang maha bijaksana, adil lagi penyayang, akan member kenikmatan untuk masing-masing organ tubuh sebagai upah atas  kewajiban dan ibadah mereka.[27]
Walaupun hari kebangkitan merupakan bagian penting dari eskatologi al-Qur’ān , namun hanya gambaran tentang keadilan klasifikasi berdasarkan Nafs ini yang menjadi pembahasan dalam bab ini sekaitan dengan laki-laki dan perempuan.[28]
3)      Pengadilan
Setelah mengalami beberapa tahap, kini nafs di hadapkan dengan pengadilan layaknya di dunia ada pengadilan bagi setiap orang yang bersalah tapi pengadilan ini sangat berbeda dengan pengadilan yang kita ketahui di dunia ini, karna di dalam pengadilan ini tidak bisa di beli dengan apapun termasuk harta, tahta dan perempuan.
Sebenarnya mereka sudah tahu apa yang akan terjadi ketika mereka akan diadili karena ketika mereka mati sudah ada tanda tersendirinya seperti hadis yang diriwayatkan oleh Imam bukhory yaitu yang artinya: jika mayat itu telah diletakkan (dalam usungan), dan ia di bawa para lelaki di atas bahunya (ke kubur), maka jika mayat itu termasuk orang yang beramal shaleh, maka ia berkata: “ segeralah olehmu semua (membawa aku ke alam kubur ini)”, tapi jika mayat itu beramal buruk, ia mengatakan : “ aduhai celaka aku, kemanakah engkau semua pergi mengusung diriku ini?”. Suara mayat itu bisa di dengar oleh segala sesuatu selain manusia, dan andaikata manusia itu dapat mendengarkan, ia tentu pingsan (HR. Bukhory).[29]
Dari hadits di atas dapat kami simpulkan bahwa di hari kebangkitan mereka sudah tahu apa yang mereka rasakan, semua manusia akan di hidupkan kembali untuk diadili. Pengadilan diadakan oleh Allᾱh, yang mengetahui apa yang tersembunyi dan apa yang nyata. Karena pada saat itu, tidak seorangpun yang mampu menyembunyikan sesuatu dari pemeriksaan Allᾱh. Dikatakan di dalam alQur’ān , mulut mereka ditutup, dan yang menjadi saksi atas perbuatan mereka adalah anggota badan mereka sendiri. (QS. Yasin: 65 ) ini berarti menunjukkan aspek individualitas manusia untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.[30]

4)      Balasan yang Adil
وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ يُرْزَقُونَ فِيهَا بِغَيْرِ حِسَابٍ
Artinya :
 “Dan Barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam Keadaan beriman, Maka mereka akan masuk surga tanpa hisab.” ( Qs. al-Mu’min : 40)
Melalui pembahasan ini, saya ingin menunjukkan bahwa dalam menyampaikan prinsip dan nilai yang abadi (yaitu prinsip dan nilai universal), al-Qur’ān  mengatasi berbagai keterbatasan gender dalam bahasa para penutur bahasa Arab. Bagian yang terpenting dari ayat ini adalah : Man / berbuat baik/ min (dari) dzakarin aw untsa, dan dia adalah seorang mu’min (yang beriman) bentuk tunggal maskulin, ula’ika (mereka: bentuk jamak maskulin) akan masuk surga.  Kata man digunakan untuk kata tanya “siapa” dan merupakan salah satu kata bahasa Arab yang aneh karena digunakan untuk maskulin maupun feminim tanpa perubahan bentuk. Namun, menurut analisis androsentris yang lazim lafazh (kata) ini dianggap maskulin, dan ia bermakna feminin (tunggal, ganda, maupun jamak) hanya setelah jelas bahwa ia digunakan untuk sesuatu yang feminin (tunggal, jamak, maupun ganda).
Bahwa man digunakan untuk mengungkap kan netralitas dalam ayat di atas memang terlihat jelas dari ungkapan “dari laki-laki atau perempuan” yang mengikutinya. Pemakaian aw (atau) bukan wa (dan), menunjukkan individualitas, karena kata itu tetap membedakan dan memisahkan laki-laki dan perempuan: yang manapun di antara keduanya.
Kedua-duanya (atau salah satunya) kemudian di gambarkan sebagai mu’min (orang beriman). Dalam konteks ini, lagi-lagi kita dapat menganggap bentuk tunggal maskulin ini sebagai netral, yaitu bukan mu’min laki-laki, yang melalui analogi atau perluasan. Mencakup mu’minah (perempuan), melainkan mu’min yang netral.
Terakhir, jamak ula’ika menunjukkan inklusivitas, bukan hanya laki-laki saja atau perempuan saja, tetapi juga semua laki-laki dan perempuan yang sesuai dengan deskripsi tersebut. Signifikasi dari analisis ini adalah ia sejalan dengan penekanan al-Qur’ān  pada individu di akhirat.[31]

5)   Balasan untuk setiap orang
Berdasarkan keterangan-keterangan diatas bahwa setiap nafs akan mendapat balasan sesuai keadaan waktu ia hidup di dunia karena disini yang di nilai Allah hanyalah tingkat ketaqwaanya saja.[32]Akhirnya balasan yang diberikan adalah berbasis pada individu laki-laki maupun perempuan di ganjar secara individual sesuai dengan amalnya, meskipun timbangan untuk mengukurnya hanya ada satu yaitu tidak membedakan jenis kelamin.
Mengenai balasan al-Qur’ān  mengingatkan kita pada beberapa hal berikut ini:
a)    Balasan diperoleh oleh setiap individu bukan berdasarkan jenis kelamin, tergantung amal perbuatannya sebelum ia meninggal dunia.
b)   Walaupun Allah yang mengatur pengadilan dan dapat mengampuni perbuatan salah atau meningkatkan pahala bagi perbuatan yang baik tapi bukanlah perbuatan-Nya yang menghasilkan pahala.
c)    Tidak seorangpun dapat menambahi atau mengurangi pahala yang di dapat oleh orang lain, tidak pula bisa berbagi pahala. (QS. 2:48)
d)   Meskipun umumnya terjadi salah tafsir terhadap kata zawj, namun tidak ada ganti rugi yang bisa didapatkan atau diberikan berdasarkan hubungan seseorang dengan oranglain.
e)    Al-Qur’an cukup sering menyebutkan dengan jelas laki-laki dan perempuan untuk menghapus keraguan terhadap maksudnya.  Para mufasir biasanya menggunakan ayat-ayat seperti (QS. 3:195 ) ini untuk  membahas tidak adanya pembedaan jenis kelamin di akhirat.

6)   Tempat Tinggal Terakhir
Al-Qur’an mengakui nilai-nilai keduniaan dan kecemasan kita. (QS. 50:16) Al-Qur’an mengatakan secara tegas bahwa Allah mengetahui apa yang disembunyikan dan dirahasiakan. Pengetahuan tentang perasaan hati kita ini ditunjukkan dalam banyak ayat Al-Qur’an. Khususnya, ketakutan dan hasrat kita dibawa ke dalam penggambaran tentang kehidupan sesudah mati. Namun, akhirat jauh melampaui imajinasi kita. (QS. 16:30) Diantaranya tempat tinggal terakhir ini hanya ada 2 pilihan:
Pertama, Neraka. Deskripsi neraka menggambarkan berbagai bentuk siksaan, kesengsaraan dan keputusasaan, serta jeritan penderitaan yang dahsyat. Namun, tidak ada informasi atau asumsi tentang pembedaan jenis kelamin, baik dalam terminologi ataupun interpretasi. Jelaslah keputusasaan dan penderitaan tidaklah bergender.[33](QS. 43: 74-76) (QS.77: 28-31, 35)
Kedua, Surga. Secara umum, penggambaran surga dimaksudkan untuk memikat para pembaca pada kehidupan sesudah mati. Ada beberapa bentuk kesenangan surga yang sangat istimewa bagi para pendengar di masa turunnya wahyu, penghuni padang pasir Arabia abad ketujuh. Jadi, daya tarik gambaran “taman (surga) yang di bawahnya mengalir sungai-sungai” lebih besar bagi orang yang hidup di lingkungan padang pasir nan gersang dibanding, mungkin bagi orang yang hidup di daerah tropis. Namun, pesan abadi Al-Qur’an tidak terbatas pada satu bentuk artikulasi. Nilai-nilai yang ditunjukkan Al-Qur’an lebih penting daripada cara pengungkapannya yang khusus. Pembaca dari berbagai macam konteks harus mengevaluasi kembali nilai-nilai Al-Qur’an dan secara lebih spesifik, menetapkan makna ungkapan surga menurut mereka sendiri.[34]
Karena surga dan segala kesenangannya berada diluar jangkauan pemahaman manusia, kemiripan dalam deskripsi-deskripsi ini dengan kesenangan yang di rasakan di dunia harus dipahami secara analogis.[35](QS. 3: 14-15).
7)      Teman di Akhirat
Di berbagai tempat dalam Al-Qur’an dikatakan secara jelas bahwa salah satu dari kenikmatan surga adalah adanya teman pendamping. Berbagai pembahasan tentang ayat-ayat ini dicurahkan untuk menentukan sifat dan jumlah pendamping menurut perspektif laki-laki.[36]Gambaran-gambaran tentang teman pendamping di surga yang disediakan bagi orang beriman disampaikan dalam tiga tingkatan. Tingkatan pertama adalah hur al-‘ayn di antaranya dalam QS. 44:54 dan  hurin’in  di dalam QS. 52:20, yang mencerminkan tingkat pemikiran komunitas Makkah yang digambarkan di atas. Tingkatan kedua, yang digambarkan secara jelas selama periode Madinah dan sama sekali berbeda dengan periode Makkah, melambangkan model praktis kehidupan komunitas Islam. Di sini, Al-Qur’an menggunakan istilah zawj. Akhirnya, pada tingkatan ketiga, Al-Qur’an melampaui kedua tingkatan ini dan mengungkapkan suatu pandangan tentang pertemanan yang jauh lebih penting daripada keduanya.

c.    Hur al-‘Ayn di dalam Pembahasan Al-Qur’an Mengenai Surga
Istilah huri, yang digunakan (idhafah) dalam konstruksi kata hur-al ‘ayn, berarti “sesuatu yang khusus” bagi masyarakat jahiliyah Arab. Kaum perempuan disebut demikian oleh bangsa Arab gurun pasir karena putihnya mereka atau bersihnya mereka atau kejujuran mereka. Perempuan tersebut memiliki kulit yang bersih.[37] Makna yang diberikan oleh istilah huri sangat khusus dan sesual perempuan yang muda, perawam, bermata, gelap, kulit, yang putih dan karakter yang keras sementara di manapun ditemukan orang dengan ciri yang serupa, jika mereka tidak cantik, paling tidak sederhana sopan santun atau mungkin kekayaan tersembunyi dari isteri-isteri duniawi.[38]
Gambaran khusus mengenai pasangan di surga diperlihatkan Al-Qur’an serupa dengan apa yang diimpikan dan diidam-idamkan oleh bangsa Arab saat itu. Al-Qur’an menawarkan huri sebagai pendorong guna menarik mereka menerima kebenaran. Sukar dipercaya bila Al-Qur’an bermaksud menjadikan perempuan berkulit putih dengan mata gelap sebagai contoh tunggal lambang kecantikan yang universal bagi seluruh umat manusia. Jika kita menerima mitologi sebutan itu secara universal sebagai perempuan yang ideal, telah terjadi pemaksaan sejumlah pembatasan yang diterapkan secara kultural kepada pembaca Al-Qur’an lainnya. Nilai dari kriteria yang demikian sangatlah terbatas.
Al-Qur’an sendiri mulai melakukan pembatasan mengenai penggunaan istilah tadi, taktkala masyarakat yang beriman kepada Allah mulai terbentuk meningkat jumlahnya di Madinah. Setelah periode Makkah, Al-Qur’an tidak pernah menggunakan istilah huri lagi untuk menggambarkan teman di surga. Pada periode Madinah Al-Qur’an menyebut teman di Surga dengan istilah yang lebih umum “...Untuk orang-orang yang takwa di sisi Tuhannya ada surga yang mengalir air sungai dibawahnya dan isteri-isteri (azwaj) yang suci dan keridhaan dari Allah...” (QS. 3:15).[39] Perlu diingat bahwa alasan saya mengenai penggunaan secara umum dari istilah tertentu, orang-orang beriman, di sini adalah untuk laki-laki dan perempuan, terutama karena kata azwaj digunakan untuk keduanya dalam Al-Qur’an.
d.      Zawj di Akhirat
Walaupun Al-Qur’an telah menyatakan dengan tegas bahwa balasan berbasis pada individu, namun sebagian mufasir mengabaikan hal ini ketika mereka menjelaskan kata “zawj”. Pemakaian kata “zawj” telah ditafsirkan dengan cara sedemikian rupa sehingga “laki-laki mempunyai kekuasaan untuk langsung menentukan nasib isterinya.”[40] Melalui penafsiran yang salah ini, zawj perempuan dikekang oleh pembatasan suaminya, atau diberi pahala tambahan berdasarkan kebaikan suaminya.
Penafsiran semacam ini bertentangan dengan pemahaman dasar Islam, bahwa beriman atau tidak beriman tetap menjadi tanggung jawab tiap-tiap individu setelah mereka menikah,[41]dan bahwa nilai kebaikan dan kejahatan pada akhirnya dikembalikan pada nafs itu sendiri.[42] Selain itu penafsiran ini bertentangan dengan pendirian Al-Qur’an tentang tidak adanya campur tangan individu lain di Hari  Pengadilan.
Penggunaan ungkapan “kalian dan zawj kalian” berkenaan dengan akhirat memerlukan pencermatan yang lebih teliti. Pertama, pemisahan antara kebaikan dan kejahatan harus lebih diutamakan, dan setiap orang diberi balasan semata sesuai dengan perbu'atannya.

“Pada hari itu tidak ada orang yang dirugikan sedikitpun dan tidak diberi balasan kecuali apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya penghuni surga pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan. Mereka dan azwaj mereka berada di tempat yang teduh.” (QS. 37:54-56)
Kedua, Al-Qur’an  mengingatkan kita bahwa  hanya mereka yang telah beramal shaleh yang akan mendapatkan balasan surga.
“Ya Tuhan kami! Dan, masukkanlah mereka ke surga yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang beramal shaleh di antara bapak-bapak mereka dan keturunan mereka.” (QS. 40:8)
Ketiga, selama periode Madinah,[43] pemakaian kata zawj dan azwaj untuk teman pendamping yang menunggu orang beriman di surga mencerminkan pasangan hakiki seperti yang dibahas pada Bab 1.[44](QS. 3:15)
Dengan demikian, analisis Amina Wadud yang lebih signifikan setiap penggunaan kata zawj dan azwaj tidak bisa disamakan dengan huri, sebab mempersamakan kata-kata itu sama dengan mengubah penjelasan Al-Qur’an tentang realitas tertnggi menjadi sekadar pandangan dunia yang bersifat etnosentris. Perspektif sempit semacam ini tidak cukup hanya dikritisi.

e.       Akhirat dalam Perspektif Allah
Akhirnya, surga menawarkan standar pada tingkatan yang jauh lebih tinggi perspektif Allah. Menurut perspektif ini, yang paling penting dari surga adalah tercapainnya kedamaian, terpenuhinya semua kebutuhan, terlampauinya semua batasan duniawi, dan akhirnya, menjadi sahabat Allah. Kesenangan tertinggi ini di persembahkan secara sama untuk para penghuni surga, baik perempuan maupun laki-laki. Seperti dalam:
 يَا قَوْمِ إِنَّمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَإِنَّ الْآخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ
مَنْ عَمِلَ سَيِّئَةً فَلَا يُجْزَىٰ إِلَّا مِثْلَهَا ۖ وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ يُرْزَقُونَ فِيهَا بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal. Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalasi melainkan sebanding dengan kejahatan itu. Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezeki di dalamnya tanpa hisab.(QS. Al-Mu’min : 39-40)
Jadi, surga yang biasa tergambar pada alam bawah sadar seorang muslim adalah segala kesenangan yang kamu sukai, menantimu di surga jika kamu menahan diri dari memperturutkan hawa nafsu, penyimpangan, dan kekejian di dunia ini. Mungkin bagi orang Arab jahiliah, pendengar utama pada periode Makkah, yang terbayang di benak mereka mungkin adalah perawan muda yang berkulit putih dengan mata hitam besar.
Akan tetapi, gambaran Al-Qur’an tentang teman di surga harus dilihat berdasarkan gambaran dari Al-Qur’an sendiri menurut perspektif Allah. Jika kita memandang Al-Qur’an dengan cara begini, maka kita akan mengetahui lebih banyak hal lagi di dalamnya.[45]

4.    Hak dan Peran Perempuan: Sejumlah Kontroversi
a.    Perbedaan Fungsional di Dunia
Al-Qur’an mengakui bahwa kita berjalan dengan berbagai sistem sosial yang memiliki beberapa perbedaan fungsional. Hubungan yang ditunjukkan Al-Qur’an antara perbedaan-perbedaan yang bersifat duniawi ini dengan takwa adalah penting dalam bahasan Amina Wadud. Menurutnya, karena perbedaan utama perempuan adalah kemampuannya melahirkan anak, maka kemampuan ini dianggap sebagai fungsinya yang utama. Penggunaan kata utama mempunyai konotasi negatif sehingga dari kata ini, tersirat anggapan bahwa perempuan hanya bisa menjadi ibu. Al-Qur’an tidak pernah menyatakan bahwa fungsi tersebut adalah fungsi utama perempuan. Fungsi itu menjadi utama bila dilihat dari kesinambungan ras manusia.
1)   Derajat  dan Fadhdhala
Amina mengutip sebuah ayat yang membedakan derajat antara laki-laki dan perempuan, yang artinya:”Perempuan-perempuan yang ditalak, hendaknya menahan diri (menunggu) tiga kali quru`. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang dijadikan Allah dalam rahimnya. Dan suami-suaminya berhak rujuk padanya dalam masa iddah tersebut, jika mereka (para suami tersebut) menghendaki ishlah. Para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, memiliki satu tingkat (derajat) kelebihan daripada isterinya. Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana (QS, 2: 228).
Ayat ini menunjukkan bahwa derajat yang dimaksud di atas adalah hak menyatakan cerai kepada isteri. Sebenarnya perempuan bisa saja minta cerai, tetapi hal ini dikabulkan setelah adanya campur tangan pihak yang berwenang (misalnya hakim).
Amina berpendapat, bahwa beranggapan bahwa makna derajat dalam ayat ini sama dengan kebolehan kesewenang-wenangan laki-laki terhadap perempuan, akan bertentangan dengan nilai kesamaan (keadilan) yang diperkenalkan dalam al-Qur`an sendiri untuk setiap individu, bahwa setiap nafs akan memperoleh ganjaran sesuai dengan apa yang dia upayakan. Adapun, kata ma’ruf diletakkan mendahului kata darajah untuk menujukkan bahwa hal tersebut dilakukan terlebih dahulu. Dengan demikian, hak dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki adalah sama.
Selanjutnya, Amina juga concern dalam menafsirkan kata Qawwam dan fadhdhala yang terdapat dalam QS, 4:34. Menurutnya, dua kata tersebut erat kaitannya dengan kata penghubung bi. Di dalam sebuah kalimat, maknanya adalah karakteristik atau isi sebelum kata bi adalah ditentukan berdasarkan apa-apa yang diuraikan setelah kata bi. Dalam ayat tersebut, laki-laki-laki-laki qawwamuuna ‘ala (pemimpin-pemimpin bagi) perempuan-perempuan hanya jika disertai dua keadaan yang diuraikan berikutnya. Keadaan pertama adalah mempunyai atau sanggup membuktikan kelebihannya, sedang persyaratan kedua adalah jika mereka mendukung kaum perempuan dengan menggunakan harta mereka. Jika kedua kondisi ini tidak dipenuhi, maka laki-laki bukanlah pemimpin bagi perempuan.
Dalam tulisan lain, Amina menjelaskan bahwa kata bi di atas berkaitan dengan ma fadhdhlallah (apa yang telah Allah lebihkan untuk laki-laki, yakni warisan), dan nafkah yang dia berikan kepada isterinya. Meski menurutnya, kelebihan warisan antara laki-laki dan perempuan masih debatable. Dimana bagian warisan absolute laki-laki tidak selalu berbanding dua dengan perempuan. Jumlah sesungguhnya sangat tergantung pada kekayaan milik keluarga yang akan diwariskan.
Lebih jauh, Amina menjelaskan bahwa nafkah sebagai seorang pemimpin hendaknya diterapkan dalam kaitannya hubungan kedua belah pihak dalam masyarakat secara keseluruhan. Salah satu pertimbangannya adalah tanggung jawab dan hak perempuan untuk melahirkan anak. Tanggung jawab melahirkan seorang anak merupakan tugas yang sangat penting. Eksistensi manusia tergantung pada hal tersebut. Tanggung jawab ini mensyaratkan sejumlah hal, seperti kekuatan fisik, stamina, kecerdasan, dan komitmen personal yang dalam. Sementara tanggung jawab ini begitu jelas dan penting, apa tanggung jawab seorang laki-laki dalam keluarga itu dan masyarakat luas? Untuk menciptakan keseimbangan dan keadilan, dan untuk menghindari penindasan, Al-Qur`an menyebut tanggung jawabnya sebagai qiwamah. Amina menambahkan bahwa perempuan tidak perlu dibebani dengan tanggung jawab tambahan yang akan membahayakan tuntutan penting tanggung jawab yang hanya dia sendiri yang bisa mengembannya.
2)   Nusyuz (Gangguan Keharmonisan Pernikahan)
Kutipan QS.. al-Nisa (4): 34 seringkali ditafsirkan dan dijadikan legitimasi/ pengakuan menurut hukum oleh kaum laki-laki untuk melakukan tindak kekerasan (violence) terhadap isteri (perempuan) yang dianggap telah nusyuz. Di dalam kitab-kitab fiqh atau tafsir klasik, kata nusyuz sering dibawa pengertiannya pada isteri yang tidak taat kepada suami.
Kata nusyuz dalam Al-Qur’an dapat merujuk kepada kaum laki-laki pada (QS.. al-Nisa’ [4]: 128) dan kaum perempuan pada (QS.. al-Nisa’ [4]: 34), meskipun kedua kata ini sering diartikan berbeda. Ketika merujuk pada perempuan, kata nusyuz berarti ketidakpatuhan isteri kepada suami ketika merujuk kepada suami berarti suami bersikap keras kepada isterinya, tidak mau memberikan haknya. Tetapi, menurut Amina Wadud, ketika kata nusyuz disandingkan dengan perempuan (isteri), ia tidak dapat diartikan dengan ketidakpatuhan kepada suami (disobidience to the husband), melainkan lebih pada pengertian adanya ganguan keharmonisan dalam keluarga.
Al-Qur’an menawarkan berbagai solusi untuk persoalan nusyuz: Pertama, solusi verbal, (fa`idhuhunna) baik antara suami isteri itu sendiri, seperti dalam QS.. al- Nisa’ [4] : 34, atau melalui bantuan arbiters atau hakam (seorang penengah) seperti dalam QS.. al-Nisa’ [4]: 128. Kedua, boleh dipisahkan (pisah ranjang). Langkah terakhir yakni memukul (fadribuhunna atau scourge).
Solusi pertama merupakan solusi yang terbaik yang ditawarkan dan disukai oleh Al-Qur’an. Ini sejalan dengan salah satu prinsip dasar Al-Qur’an yaitu musyawarah (syura). Dengan ungkapan lain, tidak perlu dilakukan tindakan kekerasan (violence) tertentu untuk menghadapi percekcokan antara suami-isteri. Dalam pandangan penulis, kepatuhan yang tulus sesungguhnya tidak dapat dicapai dengan kekerasan, melainkan antara lain dengan sikap pengertian, mawaddah (kasih sayang) lutf (kelembutan).
Kedua: jika langkah-langkah kompromi mengikuti cara yang diajarkan Al-Qur’an, belum dapat menyelesaikan masalah maka sangat mungkin harmonisasi itu akan dapat kembali, sebelum langkah terakhir dilakukan. Jika tahap ketiga terpaksa harus dilakukan, maka hakikat memukul isteri tidak boleh menyebabkan terjadinya kekerasan, atau perkelahian antara keduanya, karena tindakan tersebut sama sekali tidak Islami.
Amina Wadud berpendapat mengenai penafsiran kata dharaba yaitu bahwa kata tersebut mempunyai banyak makna. Dharaba tidak harus berarti merujuk pada penggunaan paksaan atau kekerasan. Kata dharaba juga digunakan untuk pengertian meninggalkan atau menghentikan suatu perjalanan. Bahkan lebih dari itu, penulis sendiri mencatat kata dharaba ada yang bermakna berpalinglah dan pergi. Demikian pula, kata dharaba ada yang berarti at-Tasharruf bi malihi (mencegahnya untuk tidak memberikan hartanya kepadanya).
Jika demikian, masih ada banyak kemungkinan penafsiran kata fadhribuhunna dalam QS. al-Nisa’ [4]: 34. Apakah tidak lebih baik, kata fadhribuhunna ditafsirkan dengan berpalinglah dan tinggalkanlah mereka atau kita tafsirkan janganlah mereka dikasih nafkah atau biaya hidup. Tafsir semacam ini nampaknya akan lebih dapat menghindarkan kekerasan dalam keluarga, ketika terjadi disharmoni atau percekcokan antar suami isteri. Ketika sahabat mencoba mempraktikkan memukul isterinya yang nusyuz, lalu melapor kepada Nabi saw, beliau lalu bersabda “ laki-laki teladan tidak akan pernah memukul isteri-isteri mereka”. Disamping itu juga ada hadis Nabi yang melarang memukul isteri.

3) Makna Konteks dan Kronologi Reformasi Sosial di dalam Al-Qur’an bagi Perempuan
a)   Perceraian
Perceraian merupakan pilihan yang halal untuk perselisihan yang tidak bisa didamaikan di antara pasangan pernikahan. Akan tetapi keadaan ini dianggap sebagai indikasi adanya ketidak sejajaran dalam Al-Qur’an mengenai laki-laki yang memiliki hak talak. Tidak seperti perempuan, yang bisa mudah mengatakan sighat talak “Saya ceraikan kamu” untuk memulai tata cara perceraian.
Kekuasaan laki-laki dalam hal ini banyak mendapat perhatian khusus dalam reformasi undang-undang Islam modern. Dalam suatu kasus, laki-laki diharuskan mengahadap pengadilan terlebih dahulu untuk melakukan perceraian. Pengadilan kemudian bertindak sebagai penengah seperti di dalam (QS.. 4: 34, 35 dan 128).
Pertimbangan lain yang berkaitan dengan ayat ini juga menyinggung masalah evolusi pernikahan. Karena perempuan bukan lagi obyek pernikahan melainkan sebagai mitra sejajar, maka fokus perhatian kita bergeser pada kebijaksanaan Al-Qur’an yang lebih luas untuk melakukan rujuk.
(QS.. 4:128)
Dalam ayat ini sangat jelas bagaimana tata cara perceraian dilakukan seperti praktek yang ada pada saat turunnya ayat ini, dan ini berlaku bukan hanya untuk pernikahan sesama Muslim. Al-Qur’an memang tidak menyebutkan adanya perempuan-perempuan yang minta talak dari suaminya, sehingga kenyataan ini digunakan untuk mengambil kesimpulan, perempuan tidak memiliki hak talak. Mengenai hal talak dan rujuk yang di lakukan dengan cara yang ma’ruf ini, Al-Qur’an secara eksplisit melindungi perempuan agar tidak ditinggal dan disalah gunakan suaminya. Al-Qur’an juga memberikan ketentuan yang akan melindungi kehormatan garis keturunan kedua suami-isteri tersebut.
b)     Patriarki
Tatanan yang berlaku di jazirah Arab semasa turunnya Al-Qur’an adalah sistem patriarki atau kebapakan (suatu budaya yang dibangun di atas struktur dominasi dan sub ordinasi yang membuat adanya hirarki).[46] Patriarki ini merupakan budaya dimana laki-laki  adalah yang utama. Sebuah pernyataan “All men are created equal.”semua manusia diciptakan sama.  Istilah men sebagai manusia secara keseluruhan termasuk perempuan hanya eksklusif bagi kaum laki-laki saja.
Dalam budaya androsentrik ini, perempuan dipandang oleh kaum laki-laki dari segi nilai gunanya bagi mereka, terutama kemampuan reproduksinya. Kekeliruan budaya yang seperti itu berlangsung saat turunnya Al-Qur’an. Sehingga penyesuaian Al-Qur’an terhadap berbagai situasi sosial saat itu dipandang sebagai dukungan terhadap pelaksanaan tatanan sosial yang ada di Arab pada abad ke-7.
c)      Poligami
Beberapa negara Muslim yang kini menganggap poligami sebagai sesuatu yang tidak konstitusional telah melakukan sejumlah perubahan terhadap perundang-undanganan yang didasari oleh keseluruhan perspektif Qur’ani tentang pernikahan yang sesuai dengan perspektif Islam modern mengenai pernikahan. Laki-laki yang ideal bagi anak perempuan adalah ayah, sedang bagi perempuan dewasa adalah suami. Perspektif pernikahan ekonomis ini seperti yang ditunjukkan dalam sejumlah ayat. (QS.. 4:3)
Ayat ini jelas menekankan keadilan, mengadakan perjanjian adil, mengelola harta dengan adil, adil terhadap anak yatim dan adil terhadap para isteri. Karena keadilan merupakan fokus perhatian kebanyakan para penafsir modern yang tertarik pada persoalan poligami. Yang dimana meskipun sebenarnya tidak terdapat dukungan langsung dalam Al-Qur’an berkaitan dengan tiga alasan yang dikemukakan untuk membenarkan poligami. Alasan tersebut yaitu pertama, faktor finansial. Kedua, karena perempuan yang dinikahi tidak dapat memberikan keturunan. Ketiga,  mendukung nafsu tak terkendali kaum laki-laki
Pengendalian diri dan ketaatan sesungguhnya bukan hanya berlaku bagi para isteri saja, melainkan nilai-nilai moral ini juga sama pentingnya bagi kaum laki-laki.

d)     Saksi
Topik berikutnya masalah perempuan di dalam Al-Qur’an yang menjadi bahan pembahasan kita terfokus pada potensi perempuan untuk menjadi saksi. Hal ini berangkat dari sebuah ayat yang menyebutkan “Apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari laki-laki. Jika tidak ada, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi dapat mengingatkannya..”(QS. 2: 282). Dalam ayat ini dapat disimpulkan bahwa meskipun ada dua perempuan, akan tetapi tugas mereka sebagai mitra untuk yang lainnya, mengingatkan jika yang lainnya lagi lupa.
Meskipun adanya sejumlah hambatan sosial, finansial dan pengalaman, namun Al-Qur’an tetap mengakui potensi kaum perempuan sebagai sumber saksi. Dalam era modern ini, pertimbangan kemajuan yang lebih besar mengenai kemampuannya memberi sumbangan bagi sistem moral sosial dan keadilan, serta diakhirinya eksploitasi  kaum perempuan. Keterbatasan sehubungan dengan masalah yang menyangkut transaksi keuangan tidak berlaku untuk persoalan ini. Dihadirkan dua perempuan dan seorang laki-laki tidak merupakan peraturan yang tidak berlaku dalam seluruh jenis kesaksian. Karena permintaan saksi tidak khusus dengan jenis kelamin. Jadi, siapapun yang berkeyakinan ia sanggup memberi kesaksian, maka ia memiliki hak untuk menjadi saksi.
e)      Warisan
Rumus matematis 2:1 sekalipun keliru telah memperkuat terjadinya penyederhanaan yang berlebihan dalam pembahasan Al-Qur’an mengenai warisan. Meskipun semula Al-Qur’an menyatakan dalam
 “.. bagian laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan...”, perhatian yang teliti terhadap ayat ini, ternyata satu persatu ayat ini menyebutkan satu dari ragam jenis perbandingan pembagian harta antara laki-laki dan perempuan. Pada kenyataannya, jika hanya ada seorang anak perempuan, maka bagiannya adalah separuh harta warisan. Di samping itu perhitungan bagian orang tua, saudara kandung, kerabat-kerabat jauh, juga anak cucu, dibahas dalam berbagai kombinasi bagian yang menunjukkan bahwa proporsi bagian perempuan adalah separuh laki-laki, bukanlah satu-satunya cara tunggal pembagian harta warisan, melainkan hanya salah satu dari berbagai cara pembagian harta yang mungkin dilakukan.
Berbagai variasi pembagian harta warisan menekankan dua hal berikut:
1)   Tidak ada perempuan, seberapa jauh pun perhubungan keluarganya, yang tidak berhak mendapatkan warisan. Tradisi perempuan tidak mendapat warisan dianggap benar terutama bagi adat-istiadat pra Islam, yang tetap dipelihara sebagian hingga saat ini, sehingga memberikan bagian warisan perempuan kepada kerabat laki-laki, meskipun sangat jauh hubungannya.
2)   Semua pembagian warisan antara kerabat yang masih ada haruslah adil. Menurut ayat tadi, “persamaan” dalam pembagian warisan harus pula memperhitungkan pula manfaat (naf’a) harta warisan bagi orang-orang yang ditinggalkan itu.

Untuk mengetahui seluruh persyaratan dan aturan Al-Qur’an tentang warisan, hal itu membutuhkan pandangan terhadap detail-detail lainnya yang bisa membawa kita pada pembagian ulang harta warisan menurut keadaan orang yang meninggal dan siapa yang akan mewarisinya. Sebelum membagi warisan, perlu dilihat seluruh anggota keluarga yang brhak mendapat warisan, kombinasinya dan kemanfaatanya. Misalnya, jika dalam keluarga terdapat seorang anak laki-laki, dua orang anak perempuan dan ibu yang harus dirawat dan disokong kehidupannya oleh salah seorang anak perempuannya, mengapa anak laki-laki harus menerima bagian yang lebih besar? Barangkali keputusannya tidak akan demikian jika kita mengkaji manfaat sebenarnya harta warisan tersebut bagi orang-orang yang ditinggalkan.
Al-Qur’an tidak menguraikan semua kemungkinan ini, tetapi dengan memberikan berbagai skenario, cukup jelas bagi kita bahwa banyak kombinasi yang mungkin terjadi yang harus diperhitungkan agar warisan terbagi secara adil.
Terakhir, sepertiga kekayaan dapat diwariskan, tanpa pembatasan siapa orang yang akan memperolehnya dan tanpa mengurangi pembagian kekayaan yang masih ada. Jadi, pembagian warisan tersebut sangatlah fleksibel dan tentu saja adil.
Kesimpulannya, masalah warisan perlu mempertimbangkan hal-hal berikut:
1)   Pembagian untuk keluarga dan kerabat laki-laki dan perempuan yang masih hidup.
2)    Sejumlah kekayaan bisa dibagikan.
3)   Pembagian kekayaan juga harus memperhitungkan keadaan orang-orang yang ditinggalkan, manfaatnya bagi yang ditinggalkan dan manfaat harta warisan itu sendiri.
f)    Kewenangan Laki-laki
Meskipun dasar pembahasan Al-Qur’an mengenai masyarakat dilandasi pada sistem yang ada, tetapi Al-Qur’an juga memberikan prinsip-prinsip umum yang bisa dijadikan solusi masalah sosial dalam masyarakat lain. Prinsip-prinsip umum kepemimpinan dalam Al-Qur’an sama dengan peraturan untuk memenuhi berbagai kewajiban yang harus dimiliki oleh orang yang paling cocok.
Berkaitan dengan soal kepemimpinan, sistim patriarki pada masyarakat Arab tradisional dan modern telah memberi keistimewaan tertentu bagi kaum laki-laki. Bagi mereka, kaum laki-laki adalah orang yang pantas untuk menjalankan peraturan politik dan keuangan. Hal ini ada anggapan yang salah, padahal di dalam Al-Qur’an kesempatan ini tidak hanya terbatas bagi kaum laki-laki. Jika perempuan memiliki motivasi besar, maka kesempatanpun terbuka baginya. Karena pada abad 14 lalu kemampuan menjadi perempuan yang menjalankan sejumlah kewajiban tidak lazim telah dilakukan, dan seharusnya hal itu juga berlangsung peningkatan yang besar-besaran hingga dewasa ini. Karena Al-Qur’an tidak membatasi perempuan untuk menjadi penguasa, baik atas perempuan lain maupun pemimpin bagi laki-laki dan perempuan.

g)      Perawatan Anak
Sistem umum diterapkan sebagian besar masyarakat telah menentukan bahwa kewajiban merawat anak lebih tepat dilakukan oleh kaum perempuan. Kecenderungan ini dalam berbagai keluarga dan banyak perempuan yang memiliki sifat feminim dan suka mengasuk anak. Sehingga kecenderungan ini merupakan sesuatu yang melekat hakiki pada kaum perempuan.
Al-Qur’an memberikan hak kepada kedua orang tua untuk sama-sama melimpahkan kasih sayang terhadap anaknya. Seperti dalam QS. 2:233
Jika masing-masing pasangan atau sang ibu memutuskan untuk menyapih dengan kerelaan keduanya maka tidak ada dosa baginya. Namun, kecenderungan ini selalu terjadi untuk menyerahkan semua bentuk pengasuhan anak, pekerjaan rumah, pada perempuan, sedangkan laki-laki mencari nafkah. Sesungguhnya itu bukan satu-satunya jalan keluar dan tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an.
Dalam keluarga suami dan isteri keduanya sama-sama menanggung beban mencari nafkah mencukupi kebutuhan keluarganya, adalah tidak adil.jika perempuan berusaha meningkatkan amal shalehnya, alangkah baiknya pula jika laki-laki juga meningkatkan partisipasinya lebih banyak melalui pekerjaan rumah dan mengasuh anak. Karena di dalam  penilaian Al-Qur’an terhadap amal shalaeh tidak dipandang dari kaum laki-laki ataukah perempuan yang melakukannya. Sistem kerjasama yang fleksibel seperti ini akan saling menguntungkan untuk satu sama lain dalam masyarakat dan keluarga. Seandainya tujuan masyarakat Islam adalah untuk memenuhi tujuan Al-Qur’an dalam hak, tanggung jawab, potensi dan kapasitas seluruh anggotanya, maka mereka yang sungguh-sungguh beriman pada Al-Qur’an akan menginginkan kesamaan kesempatan bagi perempuan untuk berpastisipasi dalam pertumbuhan dan produktivitas yang biasa dituntut terhadap kaum laki-laki. Sebaliknya laki-laki akan dituntut untuk bisa memelihara dan merawat keluarga disamping persoalan mencari nafkah. Dengan demikian, keduanya akan menjadi pasangan yang saling menguntungkan dan bermanfaat bagi keduanya.[47]

F.   Kesimpulan
Amina Wadud adalah seorang feminis Islamimam dan seorang feminis dengan, fokus progresif pada Al-Qur’an tafsir. Riset Amina Wadud mengenai perempuan dalam Al-Qur’an muncul dalam suatu konteks historis yang erat kaitannya dengan perempuan Afrika-Amerika dalam upaya memperjuangkan keadilan gender. Tujuan riset Amina Wadud adalah menentukan kriteria yang pasti untuk mengevaluasi sejauh mana posisi perempuan dalam kultur muslim telah betul-betul menggambarkan maksud Islam mengenai perempuan dalam masyarakat. Selain itu, tujuan spesifiknya adalah menunjukkan kemampuan penyesuaian pandangan dunia Al-Qur’an terhadap persoalan dan dunia perempuan menurut konteks modern.
Amina Wadud menggunakan metode tafsir tauhid. Metode tafsir tauhid sebagai hermeneutika yang dalam risetnya ini, setiap ayat dianalisis: 1) menurut konteksnya; 2) menurut konteks pembahasan tentang topik yang sama dalam Al-Qur’an; 3) dari sudut bahasa dan struktur sintaksis yang sama yang digunakan di tempat lain dalam Al-Qur’an; 4) dari sudut prinsip Al-Qur’an yang menolaknya; 5) menurut konteks Weltanschauuung Al-Qur’an, atau pandangan dunianya.
Pemikiran Amina Wadud mulai dari penciptaan manusia sampai persaksian perempuan adalah untuk menentang sebagian sikap dan hasil penafsiran tentang perempuan dan Al-Qur’an. Penafsiran yang mengabaikan prinsip keadilan, persamaan dan kemanusiaan yang lazim. Amina Wadud menganggap kesetaraan laki-laki dan perempuan bukan berarti sama. Ia mengakui adanya perbedaan penting antara laki-laki dan perempuan. Maksud kesetaraan menurutnya adalah bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama pada tataran etika agama, dan mempunyai tanggung jawab yang sama-sama signifikan pada tataran fungsi sosial.




[1] Amina Wadud Muhsin, Inside The Gender Jihad Women’s Refornterm in Islam, (Oxford: Foreword, 2006), hlm. 1
[2] Ahmad Baidawi, Tafsīr Feminis; Kajian Perempuan dalam alQur’ān  dan Para  Mufassir Kontemporer, (Bandung: Nuansa, 2005), hlm. 109
[3] Amina Wadud Muhsin, Qur’an Menurut Perempuan, (terj.), Abdullah Ali, (Jakarta:  Serambi, 2001), hlm.  2
[4] http://nurulzainab.blogspot.com/2012/02/pemikiran-feminismeamina-Wadud-Tafsīr.html
[5] Amina Wadud Muhsin, Inside The Gender Jihad Women’s Reform in Islam, (Oxford: Foreword,  2006), hlm.  2
[7] http://www.Referensimakalah. Com. 2012/12/biografi-aminaWadud. html 8 ibid
[8]http://www.referensimakalah.com/2012/12/biografi-aminaWadud.html
[10] Yang terpenting dari asumsi ini adalah anggapan bahwa penciptaan ummat manusia dimulai dengan laki-laki: yang menyebabkan laki-laki secara apriori dianggap superior atas perempuan.
[12] Jamak arwah secara bebas diterjemahkan sebagai jiwa, akan dibahas lebih mendetail pada bagian berikutnya.
[13] Terjemahan diambil dari tafsirnya.
[14] Khalaqa, mencipta, membuat sesuatu yang tadinya tidak ada menjadi ada (eksis).
[15] QS. 25:25, “Dialah yang menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.
[16] Hal ini berarti versi Al-Qur’an tentang penciptaan dekat sekali dengan versi Bibel tentang manusia di dalam bayangan Tuhan
[17] Amina Wadud Muhsin, Qur’an and Women, (terj.) Abdullah Ali, (Jakarta: Serambi, 2006), hlm. 56-71
[19] Minal Abidin,” Pergeseran Paradigma Tafsīr Perempuan dalam konteks Keindonesiaan Kontemporer,” Jurnal  Dialog  Jurnal Penelitian dan Kajian Keagamaan, edisi II, ( Tahun ke-3, bulan, 2005), hlm. 4
[20]Nuril Huda, “ Pergeseran Paradigma Tafsīr Perempuan dalam konteks Keindonesiaan kontemporer,” jurnal Dialog  Jurnal Penelitian dan Kajian Keagamaan, edisi II, (Tahun ke-3, bulan, 2005)   hlm. 5 & 7
[21] Amina Wadud Muhsin, Qur’an and Women, (terj.) Abdullah Ali, (Jakarta: Serambi, 2006), hlm. 79
[22] Abdul Mustaqim-Sairon Syamsuddin (ed.), Studi al-Qur’ān  Kontemporer, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2002), hlm. 78
[23] Riffat Hasan, Women’s and Men’sliberation: Testimonies of spirit, ( New York: Greenwood press, 1991), hlm. 67-68
[24] Op.cit., hlm. 81
[25] Zainal Abidin,  Alam Kubur dan Seluk Beluknya, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), hlm. 13
[26] Sibawaihi, Hermeneutika al -Qur’ān Fazlur Rahman, (Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, 2007), hlm. 101
[28] Amina Wadud Muhsin, Qur’an and women, (terj.), Abdullah Ali,  (Jakarta: Serambi, 2006), hlm. 84-8
[29] M. Ali Chasan Umar, Calon-Calon Ahi Syurga Dan Ahli Neraka, (Semarang: Cv. Toha Putra, 1980), hlm. 101
[30] Sibawaihi, Hermeneutika al -Qur’an Fazlur Rahman, (Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, 2007), hlm. 107
[31] Amina Wadud Muhsin, Qur’an and Women, (terj.),  Abdullah Ali, (Jakarta: Serambi, 2006), hlm. 89
[33] Tampaknya, penggunaan bentuk jamak maskulin dalam pengenbaraan neraka tidak pernah dianggap berlaku khusus bagi kaum maskulin.
[35] Lihat “The Special Case of Women and Children in the Afterlife”, h. 116
[37] Edward William Lane, An Arabic English Lexicon, 8 jilid (London: Librane du Liban, 1980), part jim to ta, h. 666
[38] Fatna A. Sabbah, Woman in the Muslim Unconscious, diterjemahkan oleh Mary Jo Lakeland dari bahasa Prancis La Femme dans I’incoscient Musulman (New York: Pergamon Press, 1984), h. 95.
[39] Lihat juga “The Special Place for Woman and Children in Afterlife”, h. 165
[41] Lihat pembahasan terperinci tentang surah al-Tahrim di atas.
[42]  Lihat, misalnya, QS. 6:51, 6:70, dan 32:4
[43] Untuk penggunaan yang berlawanan dengan istilah hur al-‘ayn di periode Makkah, lihat pembahasan selanjutnya.
[44] Lihat Bab 1
[45] Amina Wadud Muhsin, Qur’an and Women, (terj.),  Abdullah Ali, (Jakarta: Serambi, 2006), hlm. 104
[46] Maria Riley, Transforming Feminism (New York: 1989), h. 102
[47] Amina Wadud Muhsin, Qur’an and Women, (terj.),  Abdullah Ali, (Jakarta: Serambi, 2006), hlm. 139-156

No comments:

Post a Comment