Wednesday, November 15, 2017

CARA, METODE, DAN SUMBER ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM

CARA, METODE, DAN SUMBER ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM
Yovi Nur Rohman (16771009)
Magister Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

A.      Pendahuluan

Islam adalah agama yang sempurna. Bukti kesemprnaan agama Islam tidak terlepas dari konsep Ilmu yang ada dalam dunia Islam. Tidak dipungkiri Ilmu adalah sesuatu yang wajib dipelajari bagi seseorang yang ingin mengetahui hakekat hidupnya dan mencapai tujuan yang tertinggi didalam hidupnya, yakni mewujudkan Insanul kamil. Islam sangat menekankan pentingnya ilmu dalam kehidupan manusia. Orang yang hidup tanpa memiliki ilmu ibarat orang yang berjalan tanpa memiliki tujuan.
Dewasa ini, dunia Islam semakin tertinggal dengan dunia barat. Hal ini dikarenakan orang Islam sendiri yang meninggalkan ilmu pengetahuan yang telah diajarkan oleh Rasul. Semakin mundurnya perkembangan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam bisa kita lihat dari banyaknya ilmu pengetahuan yang beredar menggunakan konsep ilmu pengetahuan dunia barat. Konsep ilmu pengetahuan dunia Islam dan konsep ilmu pengetahuan dunia barat sangatlah berbeda terutama dari aspek epistemologinya (Sumber ilmu pengetahuan, metode ilmu pengetahuan, cara memperoleh ilmu pengetahuan dan sebagainya). Hal dikarenakan dunia barat hanya menerima ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah dan empiris. Paham sekulerisme dalam dunia barat telah memisahkan antara agama dan ilmu pengetahuan. Sehingga konsep seperti ini jika dibiarkan berkembang di masyarakat Islam, maka lambat laun akan mengakibatkan hilangnya konsep ilmu yang sesuai dalam Islam.
Oleh karena itu, penulis berusaha menjelaskan epistemologi ilmu pengetahuan dalam Islam. Mulai dari cara mendapat ilmu pengetahuan, metode dalam menggali ilmu pengetahuan dan sumber ilmu pengetahuan. Ketiga kajian tersebut, tentu saja dibahas sesuai dengan konsep ilmu yang ada dalam dunia Islam.

B.       Pembahasan

1.    Pengertian Ilmu Pengetahuan

Secara etimologi, ilmu pengetahuan terdiri dari dua kata, yakni ilmu dan pengetahuan. Ilmu dalam bahasa Arab, berasal dari kata Alima artinya mengecap atau memberi tanda. Sedangkan ilmu berarti pengetahuan.[1] Sedangkan dalam bahasa Inggris ilmu berarti science, yang berasal dari bahasa latin scientia, yang merupakan turunan dari kata scire, dan mempunyai arti mengetahui (to know), yang juga berarti belajar (to learn).[2] Dalam Webster’s Dictionary disebutkan bahwa;
(1) Possession of  knowledge as distinguished from ignorance or misunderstanding; knowledge attain trough study or practice, (2) A departemen of sistematiced knowledge as an object of study (the science of  tiology), (3) Knowledge covering general truths of the operasion laws esp. As obtained and tested through scientific method; such knowledge concerned with the physical word an its phenomena (natural science), (4) a system or method based or purporting to be based an scientific principles.[3]
(1) Pengetahuan yang membedakan dari ketidak tahuan atau kesalahpahaman; penetahuan yang diperoleh melalui belajar atau praktek, (2) suatu bagian dari pengetahuan yang  disusun secara sistematis  sebagai salah satu objek studi (ilmu teologi), (3) pengetahuan yang mencakup kebenaran umum atau hukum-hukum operasinal yang diperoleh dan diuji melalui metode ilmiah; pengetahuan yang memperhatikan dunia pisik dan gejala-gejalanya (ilmu pengetahuan alami), (4) suatu sistem atau metode atau pengakuan yang didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah.
Sedangkan pengetahuan merupakan arti dari kata knowledge yang mempunyai arti;
(1) the fact or conditioning of knowing something whit familiriality gained through experience or association, (2) the fact or conditioning  of being aware of something.
(3) the fact or condition of having information or of being learned, (4) the sum of is known; the body of truth, information, and principels acquired by mankind.[4]
(1) kenyataan atau keadaan mengetahui sesuatu yang diperoleh secara umum melalui pengalaman atau kebenaran secara umum, (2) kenyataan atau kondisi manusia yang menyadari sesuatu, (3) kenyataan atau kondisi memiliki informasi yang sedang dipelajari, (4) sejumlah pengetahuan; susunan kepercayaan, informasi dan prinsip-prinsip yang diperoleh manusia.
Dari definisi tersebut diperoleh kesimpulan bahwa ilmu merupakan salah satu dari pengetahuan yang diperoleh melalui metode ilmiah yang sistematis. Sedangkan pengetahuan diperoleh dari kebiasaan atau pengalaman sehari-hari. Dengan demikian ilmu lebih sempit dari pegetahuan, atau ilmu merupakan bagian dari pengetahuan.
Pengertian tersebut tidak jauh berbeda dari definisi yang dikemukakan  oleh para ahli -terminologi-. Kata ilmu diartikan oleh Charles Singer sebagai proses membuat pengetahuan. Definisi yang hampir sama dikemukakan John  Warfield  yang mengartikan ilmu sebagai rangkaian aktivitas penyelidikan.[5] Sedangkan pengetahuan menurut Zidi Gazalba merupakan hasil pekerjaan dari tahu yang merupakan hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti dan pandai. Pengetahuan menurutnya adalah milik atau isi fikiran.[6] Sedangkan pengertian ilmu pengetahuan sebagai terjemahan dari science, seperti dikatakan oleh Endang Saefuddin Anshori ialah;
Usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistem mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum tentang hal-ihwal yang diselidiki (alam, manusia, dan agama) sejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran yang dibantu penginderaan itu, yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan eksprimental.[7]
Dari definisi tersebut diperoleh ciri-ciri ilmu pengetahuan yaitu; sistematis, generalitas (keumuman), rasionalitas, objektivitas, verifibialitas dan komunitas. Sistematis, ilmu pengetahuan disusun seperti sistem yang memiliki fakta-fakta penting yang saling berkaitan. Generalitas, kualitas ilmu pengetahuan untuk merangkum penomena yang senantiasa makin luas dengan penentuan konsep yang makin umum dalam pembahasan sasarannya. Rasionalitas, bersumber pada pemikiran rasional yang mematuhi kaidah-kaidah logika. Verifiabilitas, dapat diperiksa kebenarannya, diselidiki kembali atau diuji ulang oleh setiap anggota lainnya dari masyarakat ilmuan. Komunitas, dapat diterima secara umum, setelah diuji kebenarannya oleh ilmuwan.[8]
Sedangkan yang menjadi objek ilmu pengetahuan dapat dibagi dua yaitu objek materi (material objek) dan objek fomal (formal objek). Objek materi adalah sasaran yang berupa materi yang dihadirkan dalam suatu pemikiran atau penelitian. Didalamnya terkandung benda-benda materi ataupun non-materi. Bisa juga berupa hal-hal, masalah-masalah, ide-ide, konsep-konsep dll.[9]
Objek forma yang berarti sudut pandang menurut segi mana suatu objek diselidiki. Objek forma menunjukkan pentingnya arti, posisi dan fungsi-fungsi objek dalam ilmu pengetahuan.[10] Sebagai contoh pembahasan tentang objek materi “manusia”. Dalam diri manusia terdapat beberapa aspek, seperti: kejiwaan, keragaan, keindividuaan dan juga kesosialan. Aspek inilah yang menjadi objek forma ilmu pengetahuan. Manusia dengan objek formanya akan menghasilkan beberapa macam ilmu pengetahuan, misalnya biologi, fisikologi, sosiologi, antropologi dll.
Dengan kata lain ilmu pengetahuan adalah pengetahuan tentang suatu objek yang diperoleh dengan metode ilmiah yang disusun secara sistematik sebagai sebuah kebenaran.[11]
2.    Cara dan Metode Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis.[12] Metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut.[13] Metodologi dalam Ilmu Filsafat termasuk dalam kategori Epistemologi. Epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan ilmu pengetahuan: apakah sumber-sumber ilmu pengetahuan? Apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup Ilmu pengetahuan? Apakah manusia manusia dimungkinkan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia.[14]
Adapun cara mendapatkan ilmu pengetahuan diperoleh melalui metode ilmiah (scientific method). Metode ilmiah merupakan prosedur yang mencakup berbagai tindakan pemikiran, pola kerja tata langkah dan cara teknis untuk memperolah pengetahuan yang lama.[15]
Metode ilmiah muncul dari kombinasi antara empirisme dengan rasionalisme yang ditambah dengan eksperimen sehingga melahirkan positivisme dengan bidangnya. Metode ilmiah merupakan alat operasional dari positivisme yang terperinci dalam langkah-langkah logico-hypothico-verivicartif.[16] Maksudnya yaitu dengan pembuktian bahwa objek itu logis, kemudian mengajukan hipotesa yang mendasarkan pada logika, setelah itu lakukanlah pembuktian hipotesa dengan eksperimen untuk memverifikasi hipotesa yang diajukan. Dalam praktisnya metode ilmiah menjadi metode penelitian (research) untuk menemukan pengetahuan. Secara garis besar langkah-langkah metode ilmiah disebutkan yang menurut Jujun adalah sebagai berikut;
a.       Perumusan masalah, merupakan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas batas-batasnya serta data diidentifikasikan dengan faktor-faktor yang terkait di dalamnya.
b.      Penyususnan kerangka berfikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengait dan membentuk permasalahan.
c.       Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berfikir yang dikembangkan.
d.      Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah sebuah hiptesis yang diajukan itu ditolak atau diterima. Apabila fakta mendukung hipotesis maka hipotesis diterima. Dan apabila fakta tidak mendukung hipotesis ditolak. Hipotesis yang diterima menjadi bagian dari ilmu pengetahuan sebab telah memenuhi persyaratan pengetahuan ilmiah.[17]
Metode Ilmiah yang ditawarkan oleh Jujun tersebut jika dipetakan adalah sebagai berikut:





 











Selanjutnya adalah, metode keilmuan dalam Al-Quran. Dalam memerintahkan atau  memotivasi manusia untuk meneliti, memikirkan dan mengkaji sesuatu, terdapat beberapa istilah yang digunakan Allah Swt. di dalam al-Qur’an, yakni antara lain seperti al-nazr[18] ,  al-fikr, al-aql[19]dan al-qalb[20].  Istilah-istilah ini mengandung makna yang memuat konsep epistemologi atau metodologi keilmuan. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:[21]
a.       An-Nazr
Istilah An-Nazr dapat diartikan dengan melihat atau memperhatikan. Berarti menurut Al-Qur’an, salah satu cara untuk mengetahui kebenaran adalah dengan melihat atau memperhatikan. Melihat (dengan kasat mata) tentunya dengan menggunakan indera mata. Adapun memperhatikan maknanya lebih luas, dapat dilihat dengan mata dan bagian indera yang lain seperti telinga yang fungsinya untuk mendengar. Seorang astronom Francis, Piere Simon Laplace menyatakan, I mistruct anything but the direct result of observation and calculation.[22] (saya curiga atau tidak mempercayai apapun sebagai sumber ilmu) kecuali hasil langsung observasi dan kalkulasi.
Dengan aktivitas melihat manusia dapat mengetahui kebenaran objek atau hal-hal fisik dan inderawi. Didalam al-Quran terdapat 30 lebih ayat yang memakai kata nadhoro salah satu diantara seperti yang tercantum di surat al-Ghaziyah ayat 17:
أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى ٱلۡإِبِلِ كَيۡفَ خُلِقَتۡ ١٧
17. Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan
Selain mata, manusia memiliki 4 indera lagi yaitu pencium (hidung), pendengar (telinga), perasa (lidah) dan peraba (kulit). Masing-masing indera tersebut menangkap aspek yang berbeda mengenai barang atau mahluk yang menjadi objek. Akibatnya pengetahuan inderawi sifatnya parsial.[23] Selain itu pengetahuan inderawi hanya terletak pada realitas permukaan, karena terbatas pada kemampuan inderawi secara individual dan hanya dilihat dari segi tertentu saja.[24]oleh karena itu, observasi indera bisa keliru, dan karena itu dibutuhkan verifikasi terhadap hasilnya.
Al-Nazhr yang berarti melihat atau memperhatikan dalam meneliti sesuatu yang menggunakan indera, sekarang ini dikenal sebagai metode observasi (pangamatan) atau bayani. Banyak filosof dan ilmuan muslimyang telah menggunakan metode observasi ini, misalnya al-Kindi yang menggunakan metode observasi dilaboratorium kimia dan fisikanya. Nashir al-Din al-Thusi mengadakan pengamatan astronomi di observatorium miliknya yang amat terkenal di Maraghah. Demikian juga Ibn Haitsam menggunakan metode observasi dalam eksperimennya di bidang optik mengenai cahaya dan teori pengelihatan atau vision yang hasilnya ia abadikan dalam karya besarnya, al-Manazir.[25] Ia melakukan eksperimennya sendiri terhadap cahaya dan pengaruhnya terhadap mata dengan kesimpulan manusia dapat melihat sebuah objek karena ia memantulkan cahaya pada kornea mata. Kesimpulan ini bertentangan dengan pendapat Aristoteles dan para pengikutnya, termasuk Al-Kindi, yang menyatakan bahwa manusia dapat melihat sebuah benda karena mata memancarkan cahaya pada objek tersebut.[26]
b.      Al-Aql dan al- Fikr
Secara bahasa kata al-Aql berarti mengikat dan menahan. Didalam al-Quran kata al-Aql selalu disebut dengan kata kerjanya. Yakni (ta’qilun) 24 ayat dan (ya’qilun) 22 ayat. Dalam bentuk ini kata al-Aql berarti memahami dan berfikir. Hal ini seperti didalam Al-Quran:
كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمۡ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ ٢٤٢
242. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya[27]
يَٰٓأَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ لِمَ تُحَآجُّونَ فِيٓ إِبۡرَٰهِيمَ وَمَآ أُنزِلَتِ ٱلتَّوۡرَىٰةُ وَٱلۡإِنجِيلُ إِلَّا مِنۢ بَعۡدِهِۦٓۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ ٦٥
65. Hai Ahli Kitab, mengapa kamu bantah membantah tentang hal Ibrahim, padahal Taurat dan Injil tidak diturunkan melainkan sesudah Ibrahim. Apakah kamu tidak berpikir[28]
Bila digunakan dengan mematuhi aturan-aturan berfikir yang benar yang disebut logika, akal juga dapat mencapai kebenaran.[29] Metodologi dengan menggunakan akal ini sekarang dikenal dengan metodologi demontratif atau burhani, selain mampu mengolah data-data inderawi, akal juga mampu menangkap konsep-konsep mental dan intelektual yang bersifat non fisik.[30] Hal ini sesuai dengan pernyatan Musa al Asyarie yang menyatakan bahwa akal berkaitan dengan nilai-nilai kebenaran yang berkaitan dengan realitas yang material dan spiritual (berdimensi ganda).[31] Menurut al-Kindi, bahwa pengetahuan tentang sesuatu yang diperoleh dengan cara menggunakan akal, ia bersifat universal, tidak parsial, dan bersifat immaterial[32]
Metode demonstratif merupakan salah satu yang telah pernah digunakan oleh para filosof dan ilmuan Muslim, dan telah membuahkan hasil yang luar biasa. Sebagai contoh adalah Ibn Sina. Ia menuliskan hasil penelitian filosofisnya dalam ratusan karya, di antaranya al-Syifa’ sebanyak lebih dari lima belas jilid yang membahas ilmu-ilmu metafisika, matematika, fisika, dan logika secara intensif. Karya filosofis lainnya dapat dilihat dari komentar-komentar Ibn Rusyd atas karya-karya Aristoteles dan Plato, serta karya teosofis Suhrawardi, terutama Hikmat al-Isyraq dan lain sebagainya.[33]
Selain dengan bentuk kata ya’qilun atau ta’qilun yang berasal dari kata al-aql, aktivitas berpikir juga dinyatakan Allah dengan menggunakan kata al-fikr. Di dalam al-Qur’an terdapat 16 ayat yang menyebutkan al-fikr dengan bentuk kata tafakkara dan tafakkarun yang berarti berpikir atau memikirkan. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata al-fikr diambil dari kata fark yang membentuk kata faraka dengan makna (1) mengorek sesuatu sehingga yang dikorek itu muncul, (2) menumbuk sampai hancur, dan (3) menyikat (pakaian) sehingga kotorannya hilang. Kata fikr maupun kata fakr memiliki makna yang sama. Perbedaannya, bahwa kata fikr digunakan untuk hal-hal yang abstrak, sedangkan kata Aql digunakan untuk hal-hal yang kongkrit. Larangan berpikir tentang Tuhan adalah salah satu contoh tentang objek fikr.Tuhan memang tidak dapat tergambar dalam pikiran seseorang sehingga sangat sukar untuk diketahui[34]
Metode al-fikr masih berkaitan erat dengan term al-nazhr, karena melihat tanpa berpikir bukan metodologi keilmuan. Kata al-fikr yang dalam al-Qur’an terdapat kurang lebih 16 ayat tersebut, kesemuanya dipakai dalam konteks alam dan manusia dalam dimensi  fisiknya[35]
Dalamarti dasar al-fikr itu terkandung makna yang sangat dalam, yakniberkaitan dengan usaha serius, giat, dan tidak kenal lelah untuk mengelaborasi, atau bahkan mencari hingga bagian terdalam dari alam semesta. Dari upaya itu akan dapat ditemukan hakikat alam semesta. Para ahli yang mengelaborasi materi alam semesta sampai ditemukan atom kemudian neutron, elektron, dan selanjutnya quark adalah contoh kegiatan berpikir tersebut.[36]
Seseorang yang berpikir dengan membebaskan akal dan nuraninya dari segala ikatan sosial, ideologis, dan psikologis, maka pada akhirnya ia akan merasakan bahwa seluruh alamsemesta, termasuk dirinya adalah diciptakan oleh sebuah kekuatan Yang Maha Kreatif.[37] Contoh ayat al-Qur’an yang menggunakan kata al-fikr di antaranya adalah surat Ali Imran ayat 191 yang berbunyi sebagai berikut:
ٱلَّذِينَ يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمٗا وَقُعُودٗا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَٰذَا بَٰطِلٗا سُبۡحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ ١٩١
191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka
c.    Al-Qolb
Istilah selanjutnya yang berkaitan dengan metodologi ilmu di dalam al-Qur’an adalah al-qalb. Istilah al-qalb yang berarti hati, terdapat kurang lebih terdapat 101di dalam al-Qur’an.[38]
Metodologi keilmuan dengan menggunakan hati, sekarang dikenal dengan metode intuitif atau ‘irfani. Dalam metode ini, objek-objeknya hadir (present) dalam jiwa seseorang, dan karena itu modus ilmu seperti itu disebut ilmu hudhuri (knowledge by presence).Selain itu, objek-objek itu juga dapat diteliti secara langsung, karena tidak ada lagi jurang yang pemisah antara si peneliti dengan objek-objek yang diteliti, karena telah terjadi kesatuan antara subjek dan objek, antara yang mengetahui dan yang diketahui. Intuisi mampu memahami banyak hal-hal yang tidak dapat dipahami oleh akal.Hal itu karena intuisi memiliki keunggulan keunggulan jika dibandingkan dengan akal.Keunggulan-keunggulan  tersebut antara lain sebagai berikut:
Pertama, akal sering dibuat tak berdaya terhadap persoalanpersoalan hidup yang lebih dalam yang menyangkut sisi kehidupan manusia.Ia hanya dapat memahami pengalaman fenomenal dan tidak pada eksistensial. Kedua, akal tidak mampu mengerti keunikan sebuah momen atau ruang sebagaimana yang dialami langsung oleh seseorang. Hal tersebut disebabkan oleh kebiasaannya untuk meruang-ruangkan  (spatilize) apapun yang menjadi objeknya selanjutnya cenderung memahami sesuatu secara general dan homogen.Ketiga, akal tidak mampu memahami objek penelitiannya secara langsung karena akan dengan menggunakan kata dan simbol hanya akan berkutat di sekitar objek tersebut. Tetapi tidak pernah secara langsung menyentuhnya. Dapatkah disunting sekuntum mawar dari kata M.A.W.A.R? Tidak, karena yang disebut nama, bukan yang empunya nama.[39]
Ilmu huduri atau ladunni, diperoleh orang-orang tertentu, dengan tidak melalui proses ilmu pada umumnya. Hal itu diperoleh melalui proses pencerahan dengan hadirnya cahaya Illahi dalam qalb. Dengan hadirnya cahaya Ilahi itu, semua pintu ilmu terbuka menerangi kebenaran, terbaca dengan jelas dan terserap dalam kesadaran intelek, seakan-akan orang tersebut memperoleh ilmu dari Tuhan secara langsung. Di sini Tuhan bertindak sebagai pengajarnya. Menurut al-Kindi, orang-orang yang memperoleh pancaran nur Ilahi adalah para Nabi dengan tanpa upaya, tanpa bersusah payah, terjadi karena kehendak Allah.[40]
Al-qalb ini berkaitan dengan hal yang sifatnya spiritual. Pengalaman spiritual ini dapat dikembangkan melalui kesatuan pikir dan zikir. Contoh ayat al-Qur’an yang menggunakan kata al-qalb adalah Q.S. Al-Jatsiyyah (45) ayat 23
أَفَرَءَيۡتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلۡمٖ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمۡعِهِۦ وَقَلۡبِهِۦ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِۦ غِشَٰوَةٗ فَمَن يَهۡدِيهِ مِنۢ بَعۡدِ ٱللَّهِۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ ٢٣
23. Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran
Seperti halnya al-nazhar serta al-aql dan al-fikr, al-qalb atau hati yang selanjutnya dikenal dengan metode intuitif atau ‘irfani juga memiliki validitas yang kuat. Di kalangan filosof Barat modern, dikenal yang namanya Henry Bergson yang mengetengahkan metode intuitif dalam melahirkan pemikiran filosofis. Menurutnya, intuisi merupakan suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Pengetahuan yang lengkap adalah pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi.[41] Seiring dengan itu, Muhammad Iqbal seperti dikemukakan Danusiri menjelaskan bahwa pengetahuan intuitif lebih tinggi daripada pengetahuan rasional dan empirikal, karena akal dan indera adalah instrumen yang lebih kompeten untuk menghadapi objek materi serta hubungan kuantitatif. Intuisi dapat menuntun pada kehidupan(immateri).[42]
3.    Sumber Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Kata sumber dalam bahasa arabnya adalah (مصدر), dengan jamaknya: (مصادر). Kata sumber atau “mashdar” dapat diartikan sebagai suatu wadah yang dari wadah itu dapat ditemukan atau ditimba norma hukum[43]. Menurut Kamus Bahasa Arab, مصدر diartikan sumber, asal, referensi, atau sumber pengambilan. Dengan demikian sumber ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang diyakini sebagai asal mula ilmu pengetahuan.
Menurut Dr. Mulyadi Kartanegara mendefinisikan sumber pengetahuan adalah alat atau sesuatu darimana manusia bisa memperoleh informasi tentang objek ilmu yang berbeda-beda sifat dasarnya.[44] Karena sumber pengetahuan adalah alat, maka Ia menyebut indera, akal  dan hati sebagai sumber pengetahuan.[45]
Amsal Bakhtiar berpendapat tidak jauh berbeda. Menurutnya sumber pengetahuan merupakan alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Dengan istilah yang berbeda ia menyebutkan empat macam sumber pengetahuan, yaitu: emperisme, rasionalisme, intuisi dan wahyu.[46] Begitu jugadengan Jujun Surya Sumantri, ia menyebutkan empat sumber pengetahuan tersebut.[47]
Sedangkan John Hospers dalam bukunya yang berjudul An Intruction to Filosofical Analysis, sebagaimana yang dikutip oleh Surajiyo menyebutkan beberapa alat untuk memperoleh pengetahuan, antara lain: pengalaman indera, nalar, otoritas, intuisi, wahyu dan keyakinan.[48] Sedangkan Amin Abdullah menyebutkan dua aliran besar, idealisme dan imperisme.[49]
Sementara Najati mengkategorikan perolehan pengetahuan itu berasal dari dua sumber, yaitu: sumber Ilahi dan sumber insani.  Kedua jenis sumber ini merupakan jenis pengetahuan yang saling berintegrasi dan secara asasi kembali kepada Allah sebagai Dzat yang menciptakan manusia. Sumber Ilahi adalah sejenis ilmu pengetahuan yang didatangkan kepada manusia secara langsung dari Allah melalui ilham, wahyu atau mimpi-mimpi yang benar. Dan ilmu yang bersumber dari sumber insani adalah ilmu pengetahuan yang didapatkan dari pengalaman-pengalaman pribadi manusia dan dari kemampuannya dalam melakukan riset, observasi, serta usahanya untuk memecahkan persoalan-persoalan  dalam kehidupannya.[50]
Dr. Muhamad Al-Bahi membagi ilmu dari segi sumbernya terbagi menjadi dua, pertama; ilmu yang bersumber dari Tuhan, kedua; ilmu yang bersumber dari manusia. Al-Jurjani membagi ilmu menjadi dua jenis, yaitu pertama; ilmu Qadim dan kedua; ilmu Hadits. Ilmu Qadim adalah ilmu Allah yang jelas sangat berbeda dari ilmu hadits yang dimiliki manusia sebagai hamba-Nya[51]
Dari berbagai pendapat diatas, penulis membagi sumber ilmu pengetahuan menjadi 2 bagian. Yaitu Sumber Ilahi dan Sumber Insani. Sumber Ilahi meliputi Wahyu (Al-Quran), Sunnah dan Intuisi atau disebut juga Ilham. Dan sumber Insani meliputi, Rasio yang sehat dan panca indera. Berikut pemetaan dari pembagian ini.
a.      Wahyu (Al-Qur’an, Sunnah, Intuisi)
Wahyu sebagai sumber pengetahuan juga berkembang dikalangan agamawan. Wahyu adalah pengetahuan agama disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat perantara para nabi yang memperoleh pegetahuan tanpa mengusahakannnya. Pengetahuan ini terjadi karena kehendak Tuhan.[52] Hanya para nabilah yang mendapat wahyu.
 Wahyu Allah berisikan pengetahua yang baik mengenai kehidupan manusia itu sendiri, alam semesta dan juga pengetahuan transendental, seperti latar belakang dan tujuan penciptaan manusia, alam semesta dan kehidupan di akhitar nanti.[53] Pengetahuan wahyu lebih banyak menekankan pada kepercayaan yang merupakan sifat dasar dari agama.
Wahyu sebagai sumber asli seluruh pengetahuan memberi kekuatan yang sangat besar terhadap bangunan pengetahuan bila mampu mentransformasikan berbagai bentuk ajaran normatif-doktriner menjadi teori-teori yang bisa diandalkan. Di samping itu, wahyu memberikan bantuan intelektual yang tidak terjangkau oleh kekuatan rasional dan empiris. Wahyu bisa juga dijadikan sebagai sumber pengetahuan, baik pada saat seseorang menemui jalan buntu ketika melakukan perenungan secara radikal maupun dalam kondisi biasa. Artinya wahyu bisa dijadikan sebagai rujukan pencarian pengetahuan kapan saja dibutuhkan, baik yang bersifat inspiratif maupun terkadang ada juga yang bersifat eksplisit.[54]
Sumber ilmu pengetahuan kedua yang bersumber dari wahyu adalah Sunnah secara etimologi (harfiah), sunah berarti jalan, metode dan program. Sedangkan secara terminologi, sunah adalah sejumlah perkara yang dijelaskan melalui sanad yang shahih, baik berupa perkataan, perbuatan, peninggalan, sifat, pengakuan, larangan, hal yang disukai dan dibenci, peperangan, tindak-tanduk dan semua kehidupan nabi Muhammad saw.[55] 
Al-Sunah sebagaimana al-Qur’an juga bersumber dari Ilahi. Keberadaan al-Sunah sebagai sumberhukum atau sumber pengetahuan yang kedua mempunyai tiga fungsi, yaitu: pertama sebagai tasyri, yang menunjukkan hukum atau pengetahuan baru contohnya hadits yang membicarakan tentang cara mengatasi ketika nyamuk masuk ke dalam makanan. Kedua sebagai tabyin, yaitu menjelaskan hukum atau pengetahuan yang dijelaskan dalam al-Qur’an yang masih bersifat global seperti proses penciptaan manusia. Ketiga berfungsi sebagai taqrir, yaitu mengulang sesuatu yang sudah dijelaskan dalam al-Qur’an, seperti proses penciptaan manusia.
Al-Sunah tidak hanya mengkaji tentang hal-hal yang ada di masa sekarang, akan tetapi juga mengkaji tentang hal-hal yang bersifat transendental, seperti alam ghaib, yaitu alam yang tidak dapat ditangkap oleh indera kita. Pengetahuan pokok yang didapatkan dari al-Sunah bukanlah pengetahuan yang bersifat praktis dan berkaitan dengan kemajuan yang terus berkembang hingga saat ini. Tentang teknis urusan duniawi, al-Sunah memberikan hak prerogatif sepenuhnya kepada manusia.[56]
Sementara itu, sumber ilmu pengetahuan yag berasal dari wahyu yang ketiga adalah Intuisi. Intuisi merupakan kemampuan manusia yang berada di atas kemampuan akal. Dengan intuisi, manusia dapat mengenal hakikat setiap sesuatu. Untuk memperoleh intuisi, individu harus terlebih dahulu memiliki kegiatan batiniah yang tidak disadari dan harus bebas dari berbagai keinginan pribadi yang mementingkan diri sendiri. Sedangkan salah satu sifat dari intuisi adalah deduksi yang dapat secepat kilat sebagai akibat dari penginderaan sekejap. Ini sangat identik dengan ilmu laduni yang proses penerimaan pelajaran sangat cepat, sehingga seolah-olah tidak mengalami belajar seperti dialami manusia umumnya.[57] Sedangkan Al-Attas[58] berpendapat bahwa intuisi adalah salah satu saluran yang absah dan penting untuk mendapatkan pengetahuan kreatif dengan alasan: Karena intuisilah yang mampu mensintesis hal-hal yang dilihat secara terpisah oleh nalar dan pengalaman tanpa mampu digabungkan ke dalam keseluruhan yang koheren. Intuisi ini datang kepada orang, yang dengan pencapaian intelektualnya, telah memahami hakikat keesaan Tuhan dan arti keesaan ini dalam satu sistem metafisika terpadu.[59]
b.      Rasio yang sehat
Akal pikiran sehat merupakan salah satu saluran penting bagi manusia untuk mendapatkan  pengetahuan yang jelas; yaitu sesuatu yang dapat dipahami dan dikuasai oleh akal, dan sesuatu yang dapat diserap oleh indera. Akal pikiran manusia akan mengatur dan menemukan hubungan yang sesuai dalam setiap ruang ilmu pengetahuan dan hubungan antara pengetahuan yang satu dengan lainnya. Akal pikiran bukan hanya rasio, ia adalah “fakultas mental“ yang mensistematisasikan dan menafsirkan fakta-fakta empiris menurut kerangka logika yang memungkinkan pengalaman inderawi menjadi sesuatu yang dapat dipahami.
Akal mengatur data-data yang dikirim oleh indera, mengolahnya dan menyusunnya hingga menjadi pengetahuan yang benar. Dalam penyusunan ini akal menggunakan konsep rasional atau ide-ide universal. Konsep tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata dan bersifat universal dan merupakan abstraksi dari benda-benda konkret. Selain menghasilkan pengetahuan dari bahan-bahan yang dikirim indera, akal juga mampu menghasilkan pengetahuan tanpa melalui indera, yaitu pengetahuan yang bersifat abstrak.[60] Seperti pengetahuan tentang hukum/ aturan yang menanam jeruk selalu berbuah jeruk. Hukum ini ada dan logis tetapi tidak empiris.
c.       Panca Indera
Iqbal[61] berpendapat bahwa, Islam tidak pernah mengecilkan peranan indera yang pada dasarnya merupakan saluran yang sangat penting dalam pencapaian ilmu pengetahuan tentang realitas empiris. Bahkan indera berfungsi sebagai instrumen pokok bagi jiwa dalam mengetahuiaspek-aspek tertentu dari sifat dan nama Allah melalui alam ciptaan-Nya (QS. An-Nahl: 78).
وَٱللَّهُ أَخۡرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ شَيۡ‍ٔٗا وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَٰرَ وَٱلۡأَفۡ‍ِٔدَةَ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ٧٨
78. Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur

Arifin[62] menegaskan bahwa panca indera adalah pintu gerbang bagi pengetahuan untuk berkembang. Oleh karena itu, Tuhan mewajibkan panca indera manusia untuk digunakan menggali pengetahuan (QS. AlIsra’:36).
وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسۡ‍ُٔولٗا ٣٦
36. Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya

C.      Kesimpulan

Metode menggali ilmu pengetahuan dalam dunia islam tidak lepas dari sumbernya. Didalam Islam, sumber ilmu pengetahuan terbagi menajdi dua, yaitu sumber ilahi dan sumber insani. Sumber ilahi meliputi wahyu yang didalamnya merupakan kitab suci umat Islam yakni al-Quran, dan segala perbuatan, perkataan dan keputusan Nabi Muhammas SAW yang disebut sebagai as-Sunnah lalu Intuisi yang biasa disebut sebagai ilham. Sumber inilah yang menjadi jati diri konsep ilmu pengetahuan didalam Islam, yang tentu saja berbeda dengan konsep pengetahuan didalam dunia barat yang hanya mengedepankan akal. Sumber ilmu pengetahuan Islam yang kedua adalah sumber Insani yang meliputi rasio yang sehat dan panca indera.
Sedangkan dari segi cara dan metode penggalian Ilmu dalam Islam, penulis lebih fokus kepada konsep-konsep yang ditawarkan oleh al-Quran yang meliputi An-Nazr (melihat/mengamati). Al-Nazhr yang berarti melihat atau memperhatikan dalam meneliti sesuatu yang menggunakan indera, sekarang ini dikenal sebagai metode observasi (pangamatan) atau bayani. Konsep kedua adalah Al-Aqlu/ al-Fikru, Selain keberadaan al-nazhar sebagai sebuah metode keilmuan, keberadaan akal dan pikiran yang diungkap al-Qur’an sebagai sebuah metodologi keilmuan tidak dapat dibantah. Rasio (akal) merupakan alat untuk memperoleh pengetahuan/kebenaran dan sekaligus sumber pengetahuan/kebenaran. Rasio tidak hanya sebagai penemu pengetahuan kebenaran melainkan pengetahuan dan kebenaran hanya diperoleh melalui rasio tersebut. Seperti halnya al-nazhar serta al-aql dan al-fikr, al-qalb atau hati yang selanjutnya dikenal dengan metode intuitif atau ‘irfani juga memiliki validitas yang kuat.

D.      Daftar Rujukan


Abdullah, Amin. 2002. Studi Agama Normativitas Atau Historivitas?. Yogyakarta; Pustaka Pelajar. Cet, iii

Al-Attas, Naquib. 1989. Islam dan Filsafat Sains. Bandung: Mizan.

Anshari, Endang Saifuddin. Ilmu, Filsafat dan Agama.Surabaya: Bina Ilmu Offset. Cet. Vii.

An-Nahlawi, A. R. 1995. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat. Terj., Shihabuddin. Jakarta: Gema Insani Press.

Arifin, Muhammad. 1994. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Asy’arie, Musa. Epistemologi dalam Perspektif Pemikiran Islam (Sebuah makalah yang diseminarkan di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam tema Pengembangan Reintegrasi Epistemologi Pengembangan Keilmuan Di IAIN)(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga,t.th).

Asy’arie, Musa. 2002. Filsafat Islam; Sunnah Nabi dalm Berpikir. Yokyakarta: LESFI. Cet. Ke-3.

Bakker, Anton dan Achmad Charris Zubair. 1990. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Bakhtiar, Amsal. 2009. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Perss.

Munawwar, A.W. 1997.  Kamus Al-Munawwar Arab Indonesia Terlengkap. ditelaah oleh KH.Ali Ma’sum, KH. Zaenal Abidin,cet. Xiv. Surabaya Pustaka Progressif.

Gie, The Liang. 2000. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Penerbit Liberty. Cet. v.

Suharsono, Supalan. 1997. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Makassar: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Danusiri. 1996. Epistemologi Tasawuf Iqbal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dikutip dari (www.kumpulanmakalah.com/2015/12/sumber-ilmu-pengetahuan.html) pada tanggal 18-03-2017

Firdaus, Feris. 2004. Alam Semesta:Sumber Ilmu, Hukum, dan Informasi Ketiga Setelah al-Qur’an dan al-Sunnah. Yogyakarta: Insan Cipta Press.

Harits. 2004. Ilmu Laduni dalam Perspektif Teori Belajar Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kartanegara, Mulyadi. 2002. Menembus Batas Waktu; Panorama Filsafat Islam. Bandung; Mizan. Cet. Ke-1

                     . 2003. Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam. Bandung: Mizan.

                     . 2005. Integrasi Ilmu, Sebuah Rekonstruksi Holistic. Jakarta; UIN Jakarta Press.

Lubis, Agus Salim. Epistemologi Pengetahuan dan Relevansinya dalam Study Al-Qur’an dalam Jurnal Hermenuetik Vol. 8, No. 1, Juni 2014.

Nurdin, Nasrullah. 2013. Alquran dan Sunnah Sebagai Sumber Doktrin Dan Ilmu dalam Islam, Makalah, Jakarta, UIN Syahid.

Paisak, Taufik. 2004. Revolusi IQ/EQ/SQ:Antara Neurosains dan Al-Qur’an. Bandung: Mizan Cet., IV.

Russel, Bertrand. 1982. Religion and Science. London: Oxford University Press.

Rusuli, Izzatur dan Zakiul Fuady M.Daud, Ilmu Pengetahuan danri John Locke ke Al-Attas dalam Jurnal Pencerahan Vol. 9, No. 1, Maret 2015.

Senn, Peter R. 1971. Social Science and its Methods. Boston: Holbrook.

Shihab, M.Quraish. 1997. Tafsir Al-Qur’an ul Karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu. Bandumg: Mizan.

Suriasumantri, Jujun S. 2007. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: PT Pancaranintan Indahgraha. cet. ke-20.

Sudarsono. 1997. Filsafat Islam. Jakarta: Rineka Cipta, Cet. I.

Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat, suatu pengantar. Jakarta; PT. Bumi Aksara. Cet. 1.

Wan Daud, W. M. N. 2003. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Naquib al-Attas, terj., Hamid Fahmi, M. Arifin Ismail dan Iskandar Amel. Bandung: Mizan.

Zainuddin, M. 2006. Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam. Jakarta: Lintas Pustaka.




[1] A.W. Munawar, Kamus Al-Munawwar Arab Indonesia Terlengkap, ditelaah oleh KH.Ali Ma’sum, KH. Zaenal Abidin,cet. Xiv, (Surabaya Pustaka Progressif, 1997), hlm.966.
[2] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, cet.v., (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2000), hlm. 87.
[3] Supalan Suharsono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Makassar: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, 1997), hlm. 35.
[4] Supalan Suharsono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Makassar: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, 1997), hlm. 35
[5] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, cet.v., (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2000), hlm. 89.
[6] Amsal, Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Perss, 2009), hlm. 85.
[7] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama. (Cet. Vii, Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1987), hlm. 50.
[8] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, cet.v., (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2000), hlm. 148-150
[9] Supalan Suharsono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Makassar: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, 1997), hlm. 39.
[10] Ibid
[12] Peter R. Senn, Social Science and its Methods, (Boston: Holbrook, 1971), hlm. 4.
[13] Ibid., hlm. 6.
[14] William S. Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian, Realism of Philosophy, sebagaimana dikutip oleh Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: PT Pancaranintan Indahgraha, 2007), cet. ke-20, hlm. 119.
[15] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, cet.v., (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2000), hlm. 110.
[16] Ibid,hlm. 33.
[17] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: PT Pancaranintan Indahgraha, 2007), cet. ke-20, hlm. 128.
[18] Dalam dunia filosofis akademis, istilah ini lebih dikenal dengan sebagai metode observasi atau bayani yaitu sebuah metode memperhatikan dan meneliti sesuatu yang menggunakan indera.
[19] Metodologi dengan menggunakan akal dalam dunia filosofis akademis dikenal dengan metodologi demontratif atau burhani.
[20] Metodologi dengan menggunakan hati dalam dunia filosofis akademis dikenal dengan metode intuitif atau irfani
[21] Agus Salim Lubis, Epistemologi Pengetahuan dan Relevansinya dalam Study Al-Qur’an dalam Jurnal Hermenuetik Vol. 8, No. 1, Juni 2014, hlm. 45.
[22] Bertrand Russell, Religion and Science, (London: Oxford University Press,1982), hlm.57.
[23] Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm.21.
[24] Ibid 15
[25] Mulyadi Kartanegara, Menembus Batas Waktu; Panorama Filsafat Islam, Cet. Ke-1 (Bandung; Mizan, 2002), hlm. 62
[26] Ibid., hlm. 95.
[27] QS. Al-Baqoroh ayat 242
[28] QS. Ali-Imron/ 65
[29] Mulyadi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam(Bandung: Mizan, Cet. I, 2002), hlm.63.
[30] Mulyadi Kartanegara, Ibid., hlm. 63
[31] Musa Asy’arie, Epistemologi dalam Perspektif Pemikiran Islam (Sebuah makalah yang diseminarkan di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam tema Pengembangan Reintegrasi Epistemologi Pengembangan Keilmuan Di IAIN)(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga,t.th),hlm.5
[32] Sudarsono, Filsafat Islam ( Jakarta: Rineka Cipta, Cet. I, 1997), hlm.27
[33] Ibid., hlm. 64.
[34] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an ul Karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu (Bandumg: Mizan, 1997), hlm. 266
[35] Musa Asy’arie, Epistemologi dalam Perspektif Pemikiran Islam (Sebuah makalah yang diseminarkan di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam tema Pengembangan Reintegrasi Epistemologi Pengembangan Keilmuan Di IAIN)(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga,t.th),hlm. 5
[36] Taufik Paisak, Revolusi IQ/EQ/SQ:Antara Neurosains dan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan Cet., IV, 2004), hlm. 211
[37] Feris Firdaus, Alam Semesta:Sumber Ilmu, Hukum, dan Informasi Ketiga Setelah al-Qur’an dan al-Sunnah (Yogyakarta: Insan Cipta Press, 2004), hlm. 34
[38] Musa Asy’arie, Epistemologi dalam Perspektif Pemikiran Islam (Sebuah makalah yang diseminarkan di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam tema Pengembangan Reintegrasi Epistemologi Pengembangan Keilmuan Di IAIN)(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga,t.th), hlm. 4.
[39] Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam (Bandung: Mizan. 2003), hlm. 26-27.
[40] Musa Asy’arie, Filsafat Islam; Sunnah Nabi dalm Berpikir Cet. Ke-3 (Yokyakarta: LESFI, 2002), hlm. 72.
[41] M. Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam ( Jakarta: Lintas Pustaka, 2006), hlm. 33.
[42] Danusiri, Epistemologi Tasawuf Iqbal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 68.
[43] Nasrullah Nurdin, Alquran dan Sunnah Sebagai Sumber Doktrin Dan Ilmu dalam Islam, Makalah, Jakarta, UIN Syahid, 2013, hal. 4
[44] Mulyadi Kertanegara, Integrasi Ilmu, Sebuah Rekonstruksi Holistic, (Jakarta; UIN Jakarta Press, 2005). hlm. 101.
[45] Ibid., hlm. 101-102.
[46] Amsal, Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: Rajawali Perss, 2009), hlm 98
[47] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: PT Pancaranintan Indahgraha, 2007), cet. ke-20, hlm. 50-54.
[48] Surajiyo, Ilmu Filsafat, suatu pengantar, cet.I (Jakarta; PT. Bumi Aksara, 2005), hlm. 28
[49] Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas Atau Historivitas?, cet iii, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 244
[50] Izzatur Rusuli dan Zakiul Fuady M.Daud, Ilmu Pengetahuan danri John Locke ke Al-Attas dalam Jurnal Pencerahan Vol. 9, No. 1, Maret 2015, hlm. 15.
[51] Amsal, Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: Rajawali Perss, 2009), hlm. 123
[52] Ibid., hlm. 110
[53] Jujun S Suryasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Popular, cet. Xii, (Jakarta; Pustaka Sinar Harapan, 1999), hlm. 54
[54] Wan Daud, W. M. N, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Naquib al-Attas, terj., Hamid Fahmi, M. Arifin Ismail dan Iskandar Amel, (Bandung: Mizan, 2003), Hlm. 105.
[55] An-Nahlawi, A. R, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat. Terj., Shihabuddin, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1995), hlm. 31.
[56] Wan Daud, W. M. N, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Naquib al-Attas, terj., Hamid Fahmi, M. Arifin Ismail dan Iskandar Amel, (Bandung: Mizan, 2003), Hlm. 105-151.
[57] Harits, Ilmu Laduni dalam Perspektif Teori Belajar Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 133-135.
[58] Naquib Al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, (Bandung: Mizan, 1989), hlm. 38.
[59] Izzatur Rusuli dan Zakiul Fuady M.Daud, Ilmu Pengetahuan danri John Locke ke Al-Attas dalam Jurnal Pencerahan Vol. 9, No. 1, Maret 2015, hlm. 17
[60] Amsal, Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: Rajawali Perss, 2009), hlm. 25.
[61] Naquib Al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, (Bandung: Mizan, 1989), hlm. 38.
[62] Muhammad Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm 74.

2 comments: