Sunday, June 3, 2018

MEMAKAN DAN MEMBUDIDAYAKAN KODOK

MEMAKAN DAN MEMBUDIDAYAKAN KODOK




Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Kajian Fiqh Kontemporer




Dosen Pengampu:
Dr. Tutik Hamidah, M.Ag







Pemakalah:

MUHAMMAD FURQAN

(16771006)





PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2018
KATA PENGANTAR
Description: C:\Users\HP\Pictures\All Fhoto\Background\Partai & Pulau\BISM-1.TIF


Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah Swt karena dengan qudrah dan iradah-Nyalah penulis pada akhirnya dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul Memakan dan Membudidayakan Kodok.
Shalawat beiring salam penulis hanturkan kepangkuan alam yakni Nabi Muhammad Saw beserta sahabatnya yang telah membawa umatnya dari zaman Jahiliyah menuju zaman Islamiyah, dan juga telah membawa umatnya dari alam kebodohan menuju alam yang berilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan pada saat sekarang ini.
Adapun dari pada itu dalam penulisan makalah ini penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan kejanggalan. Oleh karena itu, kritikan dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca sangat penulis harapkan demi kesempurnaan di masa yang akan datang. Sebagai harapan penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri, umumnya bagi kita semua. Amiin.




Malang, 23 Maret 2018



       Penulis








DAFTAR ISI



  Hal
COVER.................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii
BAB I      : PENDAHULUAN............................................................................... 1
A.  Latar Belakang Masalah................................................................... 1
B.  Rumusan Masalah............................................................................ 2
BAB II    : PEMBAHASAN.......................................................................... ....... 3
A.  Deskripsi Masalah............................................................................ 3
1.    Deskripsi tentang Katak dan Kodok........................................... 3
2.    Peran Kodok bagi Lingkungan.................................................... 4
3.    Jenis-jenis Kodok di Indonesia.................................................... 5
4.    Dalil tentang Halal Haramnya Makanan...................................... 6
B.   Pendapat Ulama dan Hujjahnya....................................................... 9
1.    Pendapat yang Melarang............................................................. 9
2.    Pendapat yang Membolehkan.................................................... 11
3.    Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Memakan dan Membudidayakan Kodok................................................................................................... 12
C.   Analisis Pendapat Ulama............................................................... 15
D.  Pendapat yang Dipilih dan Hujjah yang Digunakan...................... 16
BAB III   : PENUTUP......................................................................................... 19
A.  Kesimpulan..................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 21





BAB I

PENDAHULUAN

 

 

 

A.       Latar Belakang Masalah

Kodok yang dalam bahasa arab disebut  ضفدع (dlifda’) merupakan hewan amfibi yaitu hewan yang dapat hidup di dua alam, yakni darat dan air. Tubuhnya terdiri dari kepala, badan dan empat kaki, dua kaki belakang digunakan untuk bergerak dengan cara melompat dan dua kaki yang lain berfungsi sebagai pijakan atau penyeimbang. Kebanyakan hewan amfibi bergerak ke air hanya untuk bereproduksi. Tubuhnya berlendir dan mempunyai dua alat pernafasan yaitu paru-paru yang digunakan ketika berada di darat dan insang yang berfungsi ketika berada di air. Penyebutan katak dan kodok bagi sebagian orang itu berbeda, dan mereka mengatakan bahwa kodok yang dapat dikonsumsi. Namun pada dasarnya katak dan kodok merupakan hewan yang berbeda namun masih dalam satu kelas yakni kelas amfibi.
Akhir-akhir ini masyarakat kita diramaikan dengan merebaknya salah satu masakan yang berbahan pokok kodok yaitu Swike atau Swikee. Makanan ini merupakan masakan Tionghoa yang terbuat dari paha kodok. Hidangan ini dapat ditemukan dalam bentuk sup, digoreng kering, atau ditumis. Aslinya hidangan ini berasal dari pengaruh masakan Tionghoa yang masuk ke Indonesia. Istilah swikee berasal dari dialek Hokkian (, Pe̍h-ōe-jī: súi-ke), sui artinya air dan ke artinya ayam, yang merupakan penghalusan untuk menyebut kodok sebagai ‘ayam air’.
Makanan ini biasanya dikaitkan dengan Kota Purwodadi, Jawa Tengah. Bahan utama hidangan ini adalah kaki kodok (umumnya dari kodok hijau) dengan bumbu bawang putihjahe, dan tauco, garam dan lada. Dihidangkan dengan taburan bawang putih goreng dan daun seledri di atasnya, swike biasanya disajikan dengan nasi putih. Jadi, tidak mengherankan jika ada yang mengatakan bahwa rasa dan tekstur swike adalah perpaduan antara ayam dan ikan.
Namun di balik kelezatannya itu, terdapat masalah utama dalam mengonsumsi swike, yaitu masalah agama. Dalam literatur kitab-kitab fiqh dijelaskan bahwa daging kodok hukumnya adalah haram. Hal itu didasari ihwal adanya hadits yang melarang untuk membunuh kodok serta binatang lain seperti semut dan lebah. Oleh ulama fiqh, larangan membunuh itu diinterpretasikan sebagai keharaman daging kodok, karena jika daging kodok adalah halal tentu nabi tidak akan melarang untuk membunuhnya.
Apabila kita telaah lagi secara saksama, sesungguhnya dalam aturan pangan Islam terdapat perbedaan dalam memandang masalah halal atau haramnya daging kodok. Kebanyakan mazhab utama dalam Islam seperti mazhab Syafi'i, Hanafi, dan Hambali secara jelas melarang konsumsi daging kodok karena alasan di atas, akan tetapi mazhab Maliki memperbolehkan umat Islam untuk mengonsumsi kodok karena tidak ada teks eksplisit (nash sharih) yang mengharamkannya. Dan legalitas halal tersebut hanya berlaku untuk jenis tertentu, yaitu hanya kodok hijau yang biasanya hidup di sawah, sementara kodok-kodok jenis lainnya yang berkulit bintil-bintil seperti kodok budug tidak boleh dikonsumsi karena beracun. Selain itu, Malikiyah juga mensyaratkan kodok tersebut harus disembelih dahulu sebelum dimasak.[1]
Berangkat dari problematika tersebut, kodok sebagai bahan baku menu swike dan ulama juga masih memperselisihkan dalam menyikapi hukum mengkonsumsi kodok, ada pendapat yang melarang mengkonsumsi dan ada pendapat yang membolehkannya. Oleh sebab itu, dengan melihat latar belakang tersebut di atas,  penulis ingin mengkaji lebih mendalam dan terstruktur menyikapi bagaimana hukum yang sebenarnya mengenai mengkonsumsi kodok melalui sebuah makalah yang berjudul “Memakan dan Membudidayakan Kodok”.
B.       Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1)   Bagaimana deskripsi tentang kodok?
2)   Bagaimana pendapat ulama dan hujjahnya tentang memakan dan membudidayakan kodok?
3)   Bagaimana analisis pendapat ulama tentang memakan dan membudidayakan kodok?
4)   Pendapat Ulama mana yang dipilih dan hujjah yang digunakan?

BAB II

PEMBAHASAN

 

 

 

A.      Deskripsi Masalah

1.                   Deskripsi tentang Katak dan Kodok
Katak (bahasa Inggrisfrog) adalah binatang amfibi pemakan serangga yang hidup di air tawar atau di daratan, berkulit licin, berwarna hijau atau merah kecokelat-cokelatan, kaki belakang lebih panjang, pandai melompat dan berenang. Sedangkan kodok, nama lain dari bangkong (bahasa Inggris: toad), memiliki kulit yang kasar dan berbintil-bintil atau berbingkul-bingkul, kerap kali kering, dan kaki belakangnya sering pendek saja, sehingga kebanyakan bangsa kodok kurang pandai melompat jauh.
Kodok dan katak mengawali hidupnya sebagai telur yang diletakkan induknya di air, di sarang busa, di antara lumut-lumut atau di tempat-tempat basah lainnya. Telur-telur kodok dan katak menetas menjadi berudu atau kecebong (bahasa Inggris: tadpole), yang bertubuh mirip ikan gendut, bernapas dengan insang dan selama beberapa lama hidup di air. Perlahan-lahan akan tumbuh kaki belakang, yang kemudian diikuti dengan tumbuhnya kaki depan, menghilangnya ekor dan bergantinya insang dengan paru-paru. Setelah masanya, berudu ini akan melompat ke darat sebagai kodok atau katak kecil.
Kodok dan katak hidup menyebar luas, terutama di daerah tropis yang berhawa panas. Makin dingin tempatnya, seperti di atas gunung atau di daerah bermusim empat (temperate), jumlah jenis kodok cenderung semakin sedikit. Salah satunya ialah karena kodok termasuk hewan berdarah dingin, yang membutuhkan panas dari lingkungannya untuk mempertahankan hidupnya dan menjaga metabolisme tubuhnya.
Hewan ini dapat ditemui mulai dari hutan rimbapadang pasir, tepi-tepi sungai dan rawaperkebunan dan sawah, hingga ke lingkungan permukiman manusia. Bangkong kolong, misalnya, merupakan salah satu jenis kodok yang kerap ditemui di pojok-pojok rumah atau di balik pot di halaman. Kodok pohon menghuni pohon-pohon rendah dan semak belukar, terutama di sekitar saluran air atau kolam.
Kodok memangsa berbagai jenis serangga yang ditemuinya. Kodok kerap ditemui berkerumun di bawah cahaya lampu jalan atau taman, menangkapi serangga-serangga yang tertarik oleh cahaya lampu tersebut. Sebaliknya, kodok juga dimangsa oleh berbagai jenis makhluk yang lain: ularkadal, burung-burung, seperti bangau, elang, garangan, linsang, dan juga dikonsumsi manusia. Kodok membela diri dengan melompat jauh, mengeluarkan lendir dan racun dari kelenjar di kulitnya dan bahkan ada yang menghasilkan semacam lendir pekat yang lengket, sehingga mulut pemangsanya akan melekat erat dan susah dibuka.[2]

2.                   Peran Kodok bagi Lingkungan
Kenyamanan tempat tinggal kita sangat dipengaruhi bagaimana kondisi lingkungan di mana tempat tinggal tersebut berada. Salah satu dimensi dari kondisi tersebut adalah ekologi,  ekologi di sini dimaksudkan pada kondisi flora dan fauna dan bagaimana interaksi komponen biotik tersebut dengan komponen abiotik seperti air, tanah, dan udara. Selanjutya, bagaimana kita bisa mengetahui baik buruknya kondisi lingkungan tempat tinggal kita dengan melihat fauna yang menjadi indikator lingkungan, dalam pengertian “keberadaan atau ketiadaannya”.
Kodok sebagai hewan bioindikator merupakan salah satu hewan yang mempunyai kepekaan terhadap perubahan lingkungan. Perubahan kondisi lingkungan pada level tertentu akan mengganggu kehidupan hewan amfibi ini, ini disebabkan kodok bernapas melalui kulitnya yang senantiasa lembab sehingga saat lingkungan rusak akan langsung mengganggu kodok. Penurunan populasi katak di lingkungan kita dapat dijadikan petunjuk bahwa lingkungan kita telah menurun.
Kodok berperan sangat penting sebagai indikator pencemaran lingkungan. Tingkat pencemaran lingkungan pada suatu daerah dapat dilihat dari jumlah populasi kodok yang dapat ditemukan di daerah tersebut. Latar belakang penggunaan kodok sebagai indikator lingkungan karena kodok merupakan salah satu mahluk purba yang telah ada sejak ribuan tahun lalu. Jadi kodok tetap hidup dengan perubahan iklim bumi. Tentunya hanya pengaruh manusialah yang mungkin menyebabkan terancamnya populasi kodok.
Salah satunya adalah pembuangan limbah berbahaya oleh manusia ke alam. Limbah berbahaya inilah yang bisa mengancam keberadaan kodok pada daerah yang tercemar. Selain itu, karena pentingnya kedudukan kodok dalam rantai makanan, maka pengurangan jumlah kodok akan menyebabkan terganggunya dinamika pertumbuhan predator kodok. Bahkan terganggunya populasi kodok dapat berakibat langsung dengan punahnya predator kodok.
Akan tetapi yang lebih mengancam kehidupan kodok sebenarnya adalah kegiatan manusia yang banyak merusak habitat alami kodok, seperti hutan-hutan, sungai dan rawa-rawa. Apalagi kini penggunaan pestisida yang meluas di sawah-sawah juga merusak telur-telur dan berudu kodok, serta mengakibatkan cacat pada generasi kodok yang berikutnya.[3]
3.                   Jenis-jenis Kodok di Indonesia
Beberapa jenis kodok yang umum didapatkan di Indonesia, di antaranya adalah:
       Bangkong bertanduk (Megophrys montana), di gunung-gunung.
       Bangkong serasah (Leptobrachium hasseltii), di hutan.
       Bangkong sungai (Bufo asper), di sekitar sungai.
       Bangkong kolong (Bufo melanostictus), di lingkungan rumah.
       Belentung (Kaloula baleata).
       Kongkang kolam (Rana chalconota), di sekitar kolam, saluran air dan sungai.
       Kongkang gading (Rana erythraea), di kolam dan telaga.
       Bancet hijau (Occidozyga lima), di sawah-sawah.
       Kodok tegalan (Fejervarya limnocharis), di sawah dan tegalan.
       Kodok sawah (Fejervarya cancrivora), di sawah dan pematang.
       Kodok batu (Limnonectes macrodon), di sekitar sungai dan saluran air di kebun.
       Kodok-pohon bergaris (Polypedates leucomystax), di dekat kolam dan genangan di kebun.
       Precil jawa (Microhyla achatina).[4]
4.                   Dalil tentang Halal Haramnya Makanan
Pada dasarnya semua makanan yang Allah Swt ciptakan adalah halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Seperti dalam firman-Nya:
uqèd Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèŠÏJy_ ... ÇËÒÈ  
Artinya: “Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.....” (QS. Al-Baqarah [2]: 29).
Kemudian seseorang tidak boleh mengatakan sebuah makanan adalah haram kecuali ada dalil yang mengharamkannya secara pasti. Seperti dalam firman Allah yang berbunyi:
... @Ïtäur ÞOßgs9 ÏM»t6Íh©Ü9$# ãPÌhptäur ÞOÎgøŠn=tæ y]Í´¯»t6yø9$# ÇÊÎÐÈ...  
Artinya:  “...dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk....” (QS. Al-A’raaf [7]: 157).
Ibnu Katsir dalam bukunya Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim menjelaskan bahwasanya sebagian ulama berkata, sesungguhnya Allah Swt menghalalkan semua makanan yang hendak dikonsumsi apabila makanan tersebut baik serta bermanfaat bagi tubuh dan agama. Adapun semua yang diharamkan oleh Allah Swt adalah makanan kotor atau buruk yang membahayakan bagi tubuh dan agama.[5] Allah juga berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 168, yang berbunyi:
$ygƒr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qè=ä. $£JÏB Îû ÇÚöF{$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ Ÿwur (#qãèÎ6®Ks? ÏNºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNä3s9 Arßtã îûüÎ7B ÇÊÏÑÈ  
Artinya:   “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 168).
Apabila kita mengkaji lebih mendalam dalil dari nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, Allah Swt telah merinci makanan yang baik dan yang buruk untuk hamba-Nya. Oleh sebab itu, sebagai aplikasi ketaatan kita kepada Allah Swt hendaknya memilah makanan yang halal dan thayyib untuk kesehatan badan kita.
Setelah kita mengetahui hukum asalnya makanan adalah halal disertai harus thayyib, maka dalil berikut ini berkenaan dengan makanan haram secara khusus. Terdapat banyak dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menerangkan tentang haramnya makanan, namun dalam makalah ini hanya beberapa yang dicantumkan. Yaitu:
a.    Haram karena dalil Al-Qur’an
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌYσø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ èps)ÏZy÷ZßJø9$#ur äosŒqè%öqyJø9$#ur èptƒÏjŠuŽtIßJø9$#ur èpysÏܨZ9$#ur !$tBur Ÿ@x.r& ßìç7¡¡9$# žwÎ) $tB ÷LäêøŠ©.sŒ $tBur yxÎ/èŒ n?tã É=ÝÁZ9$# br&ur (#qßJÅ¡ø)tFó¡s? ÉO»s9øF{$$Î/ 4 öNä3Ï9ºsŒ î,ó¡Ïù 3 ... ÇÌÈ  
Artinya:   “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan azlam (anak panah), (karena) itu suatu perbuatan fasik...” (QS. Al-Maidah [5]: 3).
b.    Haram karena dalil As-Sunnah
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ الْعَنْبَرِيُّ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ الْحَكَمِ عَنْ مَيْمُونِ بْنِ مِهْرَانَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنْ الطَّيْرِ و حَدَّثَنِي حَجَّاجُ بْنُ الشَّاعِرِ حَدَّثَنَا سَهْلُ بْنُ حَمَّادٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ.
Artinya:   Telah menceritakan kepada kami ['Ubaidullah bin Mu'adz Al 'Anbari] telah menceritakan kepada kami [ayahku] telah menceritakan kepada kami [Syu'bah] dari [Al Hakam] dari [Maimun bin Mihran] dari [Ibnu Abbas] dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang mempunyai kuku untuk mencengkeram." Dan telah menceritakan kepadaku [Hajjaj bin As Sya'ir] telah menceritakan kepada kami [Sahl bin Hammad] telah menceritakan kepada kami [Syu'bah] dengan sanad seperti ini." (HR. Muslim).[6]
c.    Haram karena terdapat dalil larangan untuk dibunuh
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَنْبَأَنَا مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْلِ أَرْبَعٍ مِنْ الدَّوَابِّ النَّمْلَةِ وَالنَّحْلِ وَالْهُدْهُدِ وَالصُّرَدِ.
Artinya:   Telah memberitakan kepada kami [Muhammad bin Yahya] telah memberitakan kepada kami [Abdurrazaq] telah memberitakan kepada kami [Ma'mar] dari [Zubair Zuhri] dari ['Ubaidullah bin Abdullah bin 'Utbah] dari [Ibnu Abbas] dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang membunuh empat jenis binatang melata; semut, lebah, hudhud dan Shurad (sejenis burung pipit)." (HR. Ibnu Majah).[7]
d.   Haram karena terdapat dalil perintah untuk dibunuh
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَسَمَّاهُ فُوَيْسِقًا.
Artinya:   Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Muhammad bin Hanbal] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abdurrazaq] berkata, telah menceritakan kepada kami [Ma'mar] dari [Az Zuhri] dari [Amir bin Sa'd] dari [Bapaknya] ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan untuk membunuh cicak, dan beliau menamainya dengan fasik kecil." (HR. Abu Daud).[8]

B.       Pendapat Ulama dan Hujjahnya
Ulama berbeda pendapat dalam menyikapi hukum memakan kodok. Ada pendapat yang melarang dan ada pula pendapat yang membolehkannya.
1.        Pendapat yang Melarang
Adapun ulama yang melarang untuk mengkonsumsi kodok adalah Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah. Abdullah bin Abdur Rahman Ad-Dimasyqi Al-Utsmani Asy-Syafi’i dalam kitabnya menerangkan perkataan ulama mengenai larangan mengkonsumsi kodok:
       Abu Hanifah mengatakan: “Tidak boleh memakan binatang laut kecuali ikan dan dari jenis binatang laut secara khusus.”
       Imam Ahmad mengatakan: “Boleh memakan binatang laut kecuali buaya dan kodok. Diharuskan untuk menyembelihnya kecuali ikan seperti babi laut, anjing laut, dan binatang yang jinak.”
       Sebagian ulama Syafi’iyyah berpendapat, “Binatang laut tidak boleh dimakan kecuali ikan. Dan sebagiannya yang lain berkata: Larangan untuk memakan anjing laut, babi laut, ikan-ikan besar, tikus, kalajengking dan yang menyamai binatang darat.”[9]

Di dalam kitab yang lain, ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah berpendapat, hewan yang bisa hidup di darat dan di laut haram dimakan karena termasuk khabits. Rasulullah Saw sendiri melarang membunuh kodok, jika kodok itu halal Rasulullah Saw tidak akan melarang untuk membunuhnya.
Ulama Hanabilah juga dalam hal ini melarang. Mereka  berpendapat bahwa setiap hewan yang bisa hidup di darat dan di air tidak halal jika tanpa disembelih, seperti kodok tidak boleh dimakan karena Rasulullah Saw melarang untuk membunuhnya. Dan itu menunjukkan haramnya kodok untuk dimakan, sebagaimana juga tidak boleh memakan daging buaya.[10]
Ulama Syafi’iyyah berpendapat, semua bangkai yang berada di air adalah halal kecuali katak.[11] Disebutkan juga dalam buku Mausu’ah Al-Fiqh Al-Islamiy wa Al-Qadaya Al-Mu’ashirati, pendapat jumhur ulama selain Malikiyah adalah memakan kodok hukumnya haram. Sebagaimana dalam hadits dilarangnya membunuh kodok.[12]
Hujjah yang mereka ambil adalah dari hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam berikut ini:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ خَالِدٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عُثْمَانَ أَنَّ طَبِيبًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ضِفْدَعٍ يَجْعَلُهَا فِي دَوَاءٍ فَنَهَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْلِهَا.
Artinya:   Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Katsir] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Sufyan] dari [Ibnu Abu Dzi`b] dari [Sa'id bin Khalid] dari [Sa'id Ibnul Musayyab] dari ['Abdurrahman bin Utsman] berkata, "Ada seorang tabib bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang kodok yang dijadikan sebagai obat, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu melarang untuk membunuhnya." (HR. Abu Dawud).[13]
Semakna dengan hadits di atas seperti perkataan Abdullah bin ‘Amru dan Anas bin Malik.
عَن عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرُوْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: لاَ تَقْتُلُوْا الضَّفَادِعَ قَإِنَّ نَقِيْقَهَا تَسْبِيْحٌ.
Artinya:   Dari Abdullah bin ‘Amru Radhiyallahu ‘Anhu, beliau berkata, “Janganlah kalian membunuh katak karena sesungguhnya bunyi suara mereka adalah tasbih”. (Dikeluarkan oleh Baihaqi).[14]
Perkataan lain:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: لاَ تَقْتُلُوْا الضَّفَادِعَ فَإِنَّهَا مَرَّتْ عَلَى نَارِ إِبْرَاهِيْمَ، فَجَعَلَتْ فِيْ أَفْوَاهِهَا الْمَاءِ، وَ كَانَتْ تَرْشُهُ عَلَى النَّارِ.
Artinya:   Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu, beliau berkata, “Janganlah kalian membunuh katak karena dari mulutnya keluar air yang memancar ke arah api ketika Nabi Ibrahim dibakar.[15]
Diikat juga dalam kaidah ushul fiqh yang semakna dengan beberapa hujjah di atas. Yaitu:
الأَصْلُ فِى النَّهْيِ للِتَّحْرِيْمِ.
Artinya:   “Hukum asalnya sebuah larangan menunjukkan keharaman”.[16]
2.        Pendapat yang Membolehkan
Di antara pendapat ulama yang membolehkan mengkonsumsi kodok adalah pendapat Malikiyyah. Imam Malik mengatakan bahwa dibolehkan makan ikan dan selainnya seperti kepiting, katak, anjing laut, dan babi laut, akan tetapi babi laut itu menjijikkan. Dalam hal ini Imam Malik memberitahukan untuk selalu hati-hati.[17]
Ibnu Abdil Barr menyatakan dalam bukunya, bahwasanya menurut Mazhab Maliki membolehkan memakan daging ular apabila sudah disembelih, demikian pula daging kadal, landak dan kodok. Boleh juga memakan daging kepiting, kura-kura, kodok dan tidak masalah memakan ikan hasil buruan orang Majusi karena ikan tidak perlu disembelih.[18]
Ulama Malikiyyah berpendapat boleh hukumnya memakan daging kodok, serangga, kepiting, dan kura-kura, karena tidak ada dalil yang mengharamkannya. Adapun pengharaman dengan khabits, haruslah ada dalil syar’i, bukan dengan pendapat manusia. Jadi, hewan-hewan yang dianggap khabits oleh manusia hukumnya tidak haram, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.[19]
Adapun hujjah yang mereka gunakan untuk membolehkan mengkonsumsi kodok adalah berdasarkan keumuman dalil yang menyatakan bahwa katak termasuk hewan laut. Sebagaimana firman Allah Swt:
¨@Ïmé& öNä3s9 ßø|¹ ̍óst7ø9$# ¼çmãB$yèsÛur $Yè»tFtB öNä3©9 Íou$§¡¡=Ï9ur ( tPÌhãmur öNä3øn=tæ ßø|¹ ÎhŽy9ø9$# $tB óOçFøBߊ $YBããm 3 ... ÇÒÏÈ  
Artinya:   “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram.” (QS. Al-Maidah [5]: 96).
Keumuman dalil di atas diperkuat dengan hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tentang lautan:
أَخْبَرَنَا إِسْحَقُ بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ قَالَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سُلَيْمٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَاءِ الْبَحْرِ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحَلَالُ مَيْتَتُهُ.
Artinya:   Telah mengabarkan kepada kami [Ishaq bin Manshur], ia berkata; telah menceritakan kepada kami [Abdurrahman], ia berkata; telah menceritakan kepada kami [Malik] dari [Shafwan bin Sulaim] dari [Sa'id bin Salamah] dari [Al Mughirah bin Abu Burdah] dari [Abu Hurairah] dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengenai air laut; beliau bersabda: "Laut itu suci airnya dan halal bangkainya." (HR. An-Nasa’i).[20]
3.        Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Memakan dan Membudidayakan kodok
Rapat Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, yang diperluas dengan beberapa utusan Majelis Ulama Daerah, beberapa Dekan Fakultas Syari'ah IAIN dan tenaga-tenaga ahli dari Institut Pertanian Bogor, yang diselenggarakan pada hari senin, 18 Shafar 1405 H. (12 November 1984) di Masjid Istiqlal Jakarta, setelah:
Menimbang:
-       Bahwa akhir-akhir ini telah tumbuh dan berkembang usaha pembudidayakan kodok oleh sebagian para petani ikan.
Mendengar:
-       Pengarahan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia dan Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia.
-       Keterangan para ahli perikanan tentang kehidupan kodok dan peternakannya.
-       Makalah-makalah dari Majelis Ulama Daerah Sumatera Barat, NTB, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, IAIN Walisongo Semarang.
-        Pembahasan para peserta dan pendapat-pendapat yang berkembang dalam sidang tersebut.
Memperhatikan dan memahami:
1.    Ayat-ayat al-Qur’an dan as-Sunnah, serta kaidah-kaidah fiqhiyah antara lain :
a.    Surat Al-An’am ayat 145
Katakanlah : Tiada aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu adalah kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.”
b.    Surat Al-Mai’dah ayat 96
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang orang yang dalam perjalanan.”
c.    Surat Al-A’raf, ayat 157
Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk”.
2.    Hadits-hadits Nabi Muhammad Saw:
Dari Abdurrahman bin Utsman Al Quraisy bahwanya seorang tabib (dokter) bertanya kepada Rasulullah SAW, tentang kodok yang dipergunakan dalam campuran obat, maka Rasulullah SAW melarang membunuhnya.” (Ditakharijkan oleh Ahmad dan dishahihkan Hakim, ditakhrijkannya pula Abu Daud dan Nasa’I).
3.    Memanfaatkan kulit bangkai selain anjing dan babi, melalui proses penyamakan, dibolehkan menurut ajaran agama.
4.    Semua binatang yang hidup menurut jumhur ulama hukumnya tidak najis kecuali anjing dan babi.
5.    Khusus mengenai memakan daging kodok, jumhur ulama berpendapat tidak halal, sedangkan sebagian ulama yang seperti Imam Malik menghalalkan.
6.    Menurut keterangan tenaga ahli dari Institut Pertanian Bogor Dr. H. Mahammad Eidman M.Sc. bahwa dari lebih kurang 150 jenis kodok yang berada di Indonesia baru 10 jenis yang diyakini tidak mengandung racun, yaitu:
a.    Rana Macrodon
b.    Rana Ingeri
c.    Rana Magna
d.   Rana Modesta
e.    Rana Canerivon
f.     Rana Hinascaris
g.    Rana Glandilos
h.    Hihrun Arfiki
i.      Hyhrun Pagun
j.      Rana Catesbiana
Maka dengan bertawakal kepada Allah Swt, sidang:
Memutuskan:
-       Membenarkan adanya pendapat Mazhab Syafii/jumhur Ulama tentang tidak halalnya memakan daging kodok, dan membenarkan adanya pendapat Imam Maliki tentang halalnya daging kodok tersebut.
-       Membudidayakan kodok hanya untuk diambali manfaatnya, tidak untuk dimakan. Tidak bertentang dengan ajaran Islam.[21]

Dalam fatwa tersebut diputuskan,membudidayakan kodok hanya untuk diambil manfaatnya, tidak untuk dimakan, tidak bertentangan dengan ajaran Islam”. Sebab, menurut Ibrahim Hosen, Ketua Komisi Fatwa pada saat itu, keharaman memakan kodok itu masih diperselisihkan oleh para ulama (khilafiyyah). Menurut Imam Syafi’i hukumnya haram, sedangkan menurut Imam Malik hukumnya halal. Sementara itu, membudidayakannya termasuk pemanfaatan (al-intifa) yang belum dibahas oleh para ulama terdahulu. Antara memakan dan membudidayakan jelas tidak sama walaupun memiliki titik persamaan. Oleh karena itu, persoalan tersebut tidak dapat digeneralisir sehingga menghasilkan hukum yang tidak sama.[22]
Di antara dalil yang dipergunakan MUI adalah pertimbangan kemaslahatan sebagaimana tertera dalam dalil kelompok ketiga setelah nash-nash Al-Qur’an dan Hadis. Dalam butir 3 disebutkan kebolehan memanfaatkan kulit bangkai selain anjing dan babi setelah proses penyamakan.[23] Nampaknya, ketentuan tersebut menjadi pertimbanganpenting” dalam menetapkan hukum bolehnya budidaya kodok karena dapat mendatangkan kemaslahatan berupa komoditas ekspor yang dapat meningkatkan tarap hidup rakyat. Dengan demikian, MUI mengambil pendapat Imam Malik yang memperbolehkan makan kodok dengan pertimbanganakan membawa manfaat dan kemaslahatan yang lebih besar bagi negara dan masyarakat dari pada fatwa yang mengharamkannya”.[24]
C.      Analisis Pendapat Ulama
Berdasarkan pendapat para ulama yang membolehkan dan melarang mengenai hukum memakan dan membudidayakan kodok di atas. Sebab perbedaan tersebut menurut penulis berpangkal pada perbedaan pendirian tentang pengertian kata “khabaits” pada firman Allah Swt:
... ãPÌhptäur ÞOÎgøŠn=tæ y]Í´¯»t6yø9$# ÇÊÎÐÈ...  
Artinya:   “...dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk....” (QS. Al-A’raaf [7]: 157).
Bagi Fuqaha yang berpendapat bahwa perkara-perkara keji (khabaits) tersebut ialah makanan yang dilarang oleh syara’ dengan tegas, maka ia tidak mengharamkan perkara (binatang) yang dipandang keji oleh jiwa karena tidak ada ketegasannya (dari syara’). Kemudian bagi Fuqaha yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan perkara-perkara keji ialah apa yang dipandang keji oleh jiwa, maka ia mengatakan bahwa perkara-perkara keji adalah haram.
Dalam urusan kodok hanya terdapat satu riwayat, yaitu dari Abdurrahman bin Utsman, bahwa seorang tabib menanyakan tentang kodok yang dijadikan sebagai obat, Nabi Muhammad Saw lalu melarang untuk membunuhnya. Hadits tersebut melarang membunuh kodok. Dari larangan ini ulama pun menetapkan bahwa kodok itu “haram”. Pendapat ini tidak bisa diterima karena:
a.    Tidak terdapat satupun dasar agama yang menetapkan dengan demikian.
b.    Kalau betul tiap-tiap yang dilarang membunuhnya itu, menjadikan haram dimakan, berarti kodok itu “haram dimakan”, keputusan itu bertentangan dengan firman Allah yang telah membatas hanya empat macam makanan yang haram, sebagaimana tersebut dalam Al-Baqarah 173.
c.    Dari pelajaran-pelajaran Agama, kita ketahui: tidak boleh menyakiti binatang-bintang, terutama pula membunuhnya. Maka jika seseorang berkata kepada anaknya yang biasa memulas-mulas leher ayam sampai mati: “Jangan engkau bunuh ayam itu”, apakah larangan si ayah ini menunjukkan kepada haram makan ayam? Tentu tidak.
Tetapi orang dapat berkata: Karena kita sudah mengetahui ayam itu hala, maka larangan membunuhnya tadi tidak menuju kepada haramnya dimakan. Kita pula berkata: Kalau membunuh kodok dikatakan “haram dimakannya” berarti kita sudah mengetahui keterangan yang mengharamkannya. Maka manakah keterangan agama yang mengharamkannya? Tidak ada.
Dari ketika keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa “tidak terdapat satupun keterangan agama yang mengharamkan kodok”. Hendaklah diketahui bahwa perasaan jijik akan sesuatu tidak dapat dijadikan dasar untuk mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana dijelaskan dalam surat At-Tahrim ayat 1, yang berbunyi:
$pkšr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# zOÏ9 ãPÌhptéB !$tB ¨@ymr& ª!$# y7s9 ( ... ÇÊÈ  
Artinya:   “Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu...” (QS. At-Tahrim [66]: 1).
D.      Pendapat yang Dipilih dan Hujjah yang Digunakan
Penulis dalam hal ini memilih untuk mengikuti fatwa MUI sebagai lembaga yang mewadahi para ulama, zu'ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. Kemudian juga untuk membantu pemerintah dalam melakukan hal-hal yang menyangkut dengan umat Islam, seperti mengeluarkan fatwa dalam kehalalan sebuah makanan, penentuan kebenaran sebuah aliran dalam agama Islam, dan hal-hal yang berkaitan dengan hubungan seorang penganut agama Islam dengan lingkungannya.
Karena dalam masalah ini terjadi kontradiksi dua dalil, yaitu yang menghalalkan dan mengharamkan, dimenangkan dalil yang mengharamkan untuk ikhtiath (menjaga jangan sampai salah). Konteks ini juga dipertimbangkan MUI dengan mengutip hadis riwayat Bukhari nomor 1910, yang artinya:
Artinya:   Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Al Mutsanna] telah menceritakan kepada kami [Ibnu Abu 'Adiy] dari [Ibnu 'Aun] dari [Asy-Sa'biy] aku mendengar [An-Nu'man bin Basyir radliallahu 'anhuma] aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dan diriwayatkan pula, telah menceritakan kepada kami ['Ali bin 'Abdullah] telah menceritakan kepada kami [Ibnu 'Uyainah] telah menceritakan kepada kami [Abu Farwah] dari [Asy-Sa'biy] berkata, aku mendengar [An-Nu'man bin Basyir] telah menceritakan kepada kami berkata, aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dan diriwayatkan pula ['Abdullah bin Muhammad] dari [Ibnu 'Uyainah] dari [Abu Farwah] aku mendengar [Asy-Sa'biy] aku mendengar [An-Nu'man bin Basyir radliallahu 'anhuma] dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Katsir] telah mengabarkan kepada kami [Sufyan] dari [Abu Farwah] dari [Asy-Sa'biy] dari [An-Nu'man bin Basyir radliallahu 'anhu] berkata, telah bersabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas. Namun di antara keduanya ada perkara yang syubhat (samar). Maka barangsiapa yang meninggalkan perkara yang samar karena khawatir mendapat dosa, berarti dia telah meninggalkan perkara yang jelas keharamannya dan siapa yang banyak berdekatan dengan perkara samar maka dikhawatirkan dia akan jatuh pada perbuatan yang haram tersebut. Maksiat adalah larangan-larangan Allah. Maka siapa yang berada di dekat larangan Allah itu dikhawatirkan dia akan jatuh pada larangan tersebut".
Dengan semakin berkembangnya pembudidayaan kodok sekarang ini, memang tidak bisa langsung menghakimi bahwa memakan dan membudidayakan kodok itu haram. Meskipun, memakan kodok itu memang tidak diperbolehkan karena binatang ini hidup di dua alam. Begitu pula membudidayakan kodok untuk dimakan atau diperdagangkan adalah haram. Hal ini didasarkan pada qaidah ushul fiqh, yaitu “sesuatu yang menjadi sarana, hukumnya adalah mengikuti sesuatu yang menjadi tujuan”.
Untuk itu MUI mengambil jalan tengah dalam fatwa yang diputuskannya. MUI berfatwa: membenarkan adanya pendapat mazhab Syafi’i/jumhur ulama tentang tidak halalnya memakan daging kodok, tapi juga membenarkan adanya pendapat Imam Maliki tentang halalnya daging kodok tersebut. Akan tetapi, dari MUI sendiri memberikan dua pilihan kepada masyarakat untuk mengikutinya. Pilihan untuk tidak menghalalkan daging kodok untuk dimakan bagi para penganut mahzab Syafi’i atau jumhur ulama. Dan pilihan lainnya untuk menganggap halal daging kodok untuk dimakan dan dikonsumsi bagi masyarakat yang mengikuti pendapat Imam Maliki.
Sedangkan untuk budidaya kodok, jika memang hanya diambil manfaatnya, tidak untuk dimakan, maka dari ulama dan MUI memperbolehkan selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Akan lebih baiknya, semua kembali kepada individu masing-masing, bagaimana memandang baik buruknya mengkonsumsi daging kodok tersebut. Baik dari segi aturan Islam  maupun kesehatan.
Perbedaan penafsiran tersebut bukan berarti perpecahan, melainkan kita diberi kesempatan untuk menghidupkan pikiran kita. Di atas perbedaan itu kita ambil manfaatnya. Perbedaan pendapat di antara ulama merupakan rahmat. Caranya? Silahkan memilih menurut keyakinan masing-masing, tanpa mencela atau menyalahkan yang lain.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

 

 

A.      Kesimpulan

Sebagai penutup dari makalah yang sangat sederhana ini, penulis akan mencoba untuk sarikan beberapa poin penting yang berkaitan dengan hukum memakan dan membudidayakan kodok, yaitu sebagai berikut:
1.    Katak (bahasa Inggrisfrog) adalah binatang amfibi pemakan serangga yang hidup di air tawar atau di daratan, berkulit licin, berwarna hijau atau merah kecokelat-cokelatan, kaki belakang lebih panjang, pandai melompat dan berenang. Sedangkan kodok, nama lain dari bangkong (bahasa Inggris: toad), memiliki kulit yang kasar dan berbintil-bintil atau berbingkul-bingkul, kerap kali kering, dan kaki belakangnya sering pendek saja, sehingga kebanyakan bangsa kodok kurang pandai melompat jauh. Kodok sebagai hewan bioindikator merupakan salah satu hewan yang mempunyai kepekaan terhadap perubahan lingkungan.
2.    Ulama berbeda pendapat dalam menyikapi hukum memakan kodok. Ada pendapat yang melarang dan ada pula pendapat yang membolehkannya. Adapun ulama yang melarang untuk mengkonsumsi kodok adalah Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah. Hujjah yang mereka ambil adalah hadits Rasulullah Saw, yaitu dari Abdurrahman bin Utsman berkata bahwa seorang tabib menanyakan tentang kodok yang dijadikan sebagai obat, Nabi Muhammad Saw lalu melarang untuk membunuhnya. Kemudian diikat juga dalam kaidah ushul fiqh , yaitu “hukum asalnya sebuah larangan menunjukkan keharaman”. Di antara pendapat ulama yang membolehkan mengkonsumsi kodok adalah pendapat Malikiyyah dengan hujjah surat Al-Maidah ayat 96 dan hadits nabi tentang lautan yang suci airnya dan halal bangkainya.
3.    Berdasarkan pendapat para ulama yang membolehkan dan melarang mengenai hukum memakan dan membudidayakan kodok di atas. Sebab perbedaan tersebut menurut penulis berpangkal pada perbedaan pendirian tentang pengertian kata “khabaits” pada surat Al-A’raaf ayat 157. Hendaklah diketahui bahwa perasaan jijik akan sesuatu tidak dapat dijadikan dasar untuk mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana dijelaskan dalam surat At-Tahrim ayat 1.
4.    Karena dalam masalah ini terjadi kontradiksi dua dalil, yaitu yang menghalalkan dan mengharamkan, dimenangkan dalil yang mengharamkan untuk ikhtiath (menjaga jangan sampai salah). Penulis dalam hal ini memilih untuk mengikuti fatwa MUI yang mengambil jalan tengah dalam fatwa yang diputuskannya. MUI berfatwa: membenarkan adanya pendapat mazhab Syafi’i/ jumhur ulama tentang tidak halalnya memakan daging kodok, tapi juga membenarkan adanya pendapat Imam Maliki tentang halalnya daging kodok tersebut. Akan tetapi, dari MUI sendiri memberikan dua pilihan kepada masyarakat untuk mengikutinya. Pilihan untuk tidak menghalalkan daging kodok untuk dimakan bagi para penganut mahzab Syafi’i atau jumhur ulama. Dan pilihan lainnya untuk menganggap halal daging kodok untuk dimakan dan dikonsumsi bagi masyarakat yang mengikuti pendapat Imam Maliki. Akan lebih baiknya, semua kembali kepada individu masing-masing, bagaimana memandang baik buruknya mengkonsumsi daging kodok tersebut. Baik dari segi aturan Islam  maupun kesehatan.

















DAFTAR PUSTAKA



A. Nazri Adlani, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: MUI, 1997.
Abdullah bin Abdur Rahman Ad-Dimasyqi Al-Utsmani Asy-Syafi’i, Rahmah Al-Ummah fii Ikhtilaf Al-Aimmah, terj. Abdullah Zaki Alkaf, Bandung: Hasyimi, 2004.
Abdul Hamid Hakim, As-Sulam, Jakarta: Maktabah As-Sa’adiyah Futra, 2007.
Abdullah Muhammad bin Yazid Al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, Jilid. 2, Beirut: Dar Al-Fikr, 2010.
Abi At-Thiib Muhammad Syamsul Haq Al-‘Azhim Abadi, ‘Aunu Al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, Jilid. 10, Madinah Al-Munawarah: Maktabah Salafiyah, 1968.
Abi Bakar Ahmad bin Husain Ibnu Ali Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubra, Jilid. 9, Hindi: Dairah Al-Ma’arif, 1937.
Abi Umar Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Abdil Barr Al-Qurthuby, Al-Kafi fii Fiqh Ahlu Al-Madinah Al-Maliki, Beirut: Dar Al-Kutub al-Ilmiyah, 1992.
Al-Asqalani, Ibanah Al-Ahkam Syarh Bulughu Al-Maram, Jilid. 4, Beirut: Dar Al-Fikr, 2012. di
Asy-Syaukani, Nailu Al-Author, Jilid. 8, Kairo: Dar Al-Hadits, 2005.
Bernhard Grzimek, Animal Life Encyclopedia, Vol 6; Amphibians, Detroit: Gale, 2003.
Fatwa MUI tentang Memakan dan Membudidayakan Kodok.
Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, Jilid. 3, Kairo: Maktabah Taufiqiyah, t.t.
Ibrahim Hosen, Sekitar Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: MUI, 2000.
Jalaludin As-Suyuti, Sunan An-Nasa’i, Jilid. 1, Beirut: Dar  Al-Fikr, 2012.
Shalilh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Al-At’imah wa Ahkam As-Shaidu wa Adz-Dzabaih, Riyad: Maktabah Al-Ma’arif, 1988.
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu 4, terj. Abdul Hayyie Al-Kattani, dkk.,  Jakarta: Gema Insani, 2011.
Wahbah Az-Zuhaili, Mausu’ah Al-Fiqhi Al-Islamiy wa Al-Qadaya Al-Mu’ashirati, Jilid. 3, Damaskus: Dar Al-Fikr, 2012.
https://id.wikipedia.org



[1] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu 4, terj. Abdul Hayyie Al-Kattani, dkk.,  (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 334-335.
[2] Bernhard Grzimek, Animal Life Encyclopedia, Vol 6; Amphibians, (Detroit: Gale, 2003). Dikutip melalui website https://id.wikipedia.org/wiki/Kodok_dan_katak, pada tanggal 23 Maret 2018.
[3] https://id.wikipedia.org/wiki/Kodok_dan_katak, dikutip pada tanggal 23 Maret 2018.
[4] https://id.wikipedia.org/wiki/Kodok_dan_katak, dikutip pada tanggal 23 Maret 2018.
[5] Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, Jilid. 3, (Kairo: Maktabah Taufiqiyah, t.t.), hlm. 353.
[6] Shahih Muslim Nomor 3574, hadits ini shahih menurut para Ijma’ Ulama. Lihat juga hadits nomor 1346 di Al-Asqalani, Ibanah Al-Ahkam Syarh Bulughu Al-Maram, “Kitab At’imah”, Jilid. 4, (Beirut: Dar Al-Fikr, 2012), hlm. 186. Lihat juga hadits nomor 3583 di Asy-Syaukani, Nailu Al-Author, “Kitab At’imah wa Ash-Shoidu wa Ad-Dabaih”, Jilid. 8, (Kairo: Dar Al-Hadits, 2005), hlm. 436.
[7] Sunan Ibnu Majah Nomor 3251, hadits ini shahih menurut Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Lihat juga hadits nomor 3223 di Abdullah Muhammad bin Yazid Al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, “Kitab Ash-Shoidu”, Jilid. 2, (Beirut: Dar Al-Fikr, 2010),  hlm. 268.
[8] Sunan Abu Daud Nomor 4578, hadits ini shahih menurut Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
[9] Abdullah bin Abdur Rahman Ad-Dimasyqi Al-Utsmani Asy-Syafi’i, Rahmah Al-Ummah fii Ikhtilaf Al-Aimmah, terj. Abdullah Zaki Alkaf, (Bandung: Hasyimi, 2004), hlm. 118.
[10] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu 4..., hlm. 334-335.
[11] Shalilh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Al-At’imah wa Ahkam As-Shaidu wa Adz-Dzabaih, (Riyad: Maktabah Al-Ma’arif, 1988), hlm. 89.
[12] Wahbah Az-Zuhaili, Mausu’ah Al-Fiqhi Al-Islamiy wa Al-Qadaya Al-Mu’ashirati, Jilid. 3, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 2012), hlm. 505.
[13] Sunan Abu Daud Nomor 4585, hadits ini shahih. Lihat juga Abi At-Thiib Muhammad Syamsul Haq Al-‘Azhim Abadi, ‘Aunu Al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, Jilid. 10, (Madinah Al-Munawarah: Maktabah Salafiyah, 1968), hlm. 352.
[14] Abi Bakar Ahmad bin Husain Ibnu Ali Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubra, Jilid. 9, (Hindi: Dairah Al-Ma’arif, 1937), hlm. 316.
[15] Al-Asqalani, Ibanah Al-Ahkam Syarh Bulughu Al-Maram...., hlm. 198.
[16] Abdul Hamid Hakim, As-Sulam, (Jakarta: Maktabah As-Sa’adiyah Futra, 2007), hlm. 15.
[17]Abdullah bin Abdur Rahman Ad-Dimasyqi Al-Utsmani Asy-Syafi’i, Rahmah al-Ummah fii..., hlm. 118.
[18] Abi Umar Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Abdil Barr Al-Qurthuby, Al-Kafi fii Fiqh Ahlu Al-Madinah Al-Maliki, (Beirut: Dar Al-Kutub al-Ilmiyah, 1992), hlm. 186-187.
[19] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam ..., hlm. 334.
[20] Sunan Nasa’i Nomor 4275, hadits ini shahih. Lihat juga hadits nomor 4361 di Jalaludin As-Suyuti, Sunan An-Nasa’i, Bab Al-Miyah”, Jilid. 1, (Beirut: Dar  Al-Fikr, 2012), hlm. 192.
[21] Fatwa MUI tentang Memakan dan Membudidayakan Kodok pada tanggal 12 November 1984.
[22] Ibrahim Hosen, Sekitar Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: MUI, 2000), hlm. 9-10.
[23] A. Nazri Adlani, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: MUI, 1997), hlm. 158-161.
[24] Ibrahim Hosen, Sekitar Fatwa Majelis Ulama Indonesia..., hlm. 10.

No comments:

Post a Comment