MEMAKAN DAN MEMBUDIDAYAKAN KODOK
Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Kajian
Fiqh Kontemporer”
Dosen Pengampu:
Dr. Tutik
Hamidah, M.Ag
![]() |
Pemakalah:
MUHAMMAD FURQAN
(16771006)
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2018
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah
penulis panjatkan kehadirat Allah Swt karena dengan qudrah dan iradah-Nyalah
penulis pada akhirnya dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Memakan
dan Membudidayakan Kodok”.
Shalawat beiring salam
penulis hanturkan kepangkuan alam yakni Nabi Muhammad Saw beserta sahabatnya
yang telah membawa umatnya dari zaman Jahiliyah menuju zaman Islamiyah, dan
juga telah membawa umatnya dari alam kebodohan menuju alam yang berilmu
pengetahuan seperti yang kita rasakan pada saat sekarang ini.
Adapun dari pada itu
dalam penulisan makalah ini penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan dan kejanggalan. Oleh
karena itu, kritikan dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca sangat
penulis harapkan demi kesempurnaan di masa yang akan datang. Sebagai harapan
penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri,
umumnya bagi kita semua. Amiin.
Malang,
23 Maret 2018
Penulis
DAFTAR ISI
Hal
COVER.................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii
BAB I :
PENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Latar
Belakang Masalah................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah............................................................................ 2
BAB II :
PEMBAHASAN.......................................................................... ....... 3
A. Deskripsi Masalah............................................................................ 3
1. Deskripsi tentang Katak dan Kodok........................................... 3
2. Peran Kodok bagi Lingkungan.................................................... 4
3. Jenis-jenis Kodok di Indonesia.................................................... 5
4. Dalil tentang Halal Haramnya Makanan...................................... 6
B. Pendapat Ulama dan Hujjahnya....................................................... 9
1. Pendapat yang Melarang............................................................. 9
2. Pendapat yang Membolehkan.................................................... 11
3. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Memakan dan Membudidayakan
Kodok................................................................................................... 12
C. Analisis Pendapat Ulama............................................................... 15
D. Pendapat yang
Dipilih dan Hujjah yang Digunakan...................... 16
BAB III : PENUTUP......................................................................................... 19
A. Kesimpulan..................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 21
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Kodok yang dalam bahasa
arab disebut ضفدع (dlifda’)
merupakan hewan amfibi yaitu hewan yang dapat hidup di dua alam, yakni darat
dan air. Tubuhnya
terdiri dari kepala, badan
dan empat kaki, dua kaki belakang digunakan untuk bergerak dengan cara melompat
dan dua kaki yang lain berfungsi sebagai pijakan atau penyeimbang. Kebanyakan
hewan amfibi bergerak ke air hanya untuk bereproduksi. Tubuhnya berlendir dan mempunyai dua alat
pernafasan yaitu
paru-paru yang digunakan ketika berada di darat dan insang yang berfungsi
ketika berada di air. Penyebutan katak dan kodok bagi sebagian orang itu
berbeda, dan
mereka mengatakan bahwa kodok yang dapat dikonsumsi. Namun pada dasarnya katak dan kodok merupakan hewan yang
berbeda namun masih dalam satu
kelas yakni kelas amfibi.
Akhir-akhir ini
masyarakat kita diramaikan dengan merebaknya salah satu masakan yang berbahan
pokok kodok yaitu Swike atau Swikee. Makanan ini merupakan masakan
Tionghoa yang terbuat dari paha kodok. Hidangan ini dapat ditemukan dalam bentuk sup,
digoreng kering, atau ditumis. Aslinya hidangan ini berasal dari pengaruh masakan Tionghoa yang masuk ke Indonesia. Istilah swikee
berasal dari dialek Hokkian (水雞, Pe̍h-ōe-jī: súi-ke), sui artinya
air dan ke artinya ayam, yang merupakan penghalusan untuk menyebut kodok
sebagai ‘ayam air’.
Makanan ini biasanya
dikaitkan dengan Kota Purwodadi, Jawa
Tengah. Bahan utama hidangan ini adalah kaki kodok (umumnya
dari kodok hijau) dengan bumbu bawang putih, jahe, dan tauco, garam dan lada. Dihidangkan dengan taburan bawang putih goreng
dan daun seledri di atasnya, swike biasanya
disajikan dengan nasi putih. Jadi,
tidak mengherankan jika ada yang mengatakan bahwa rasa dan tekstur swike adalah perpaduan antara ayam dan ikan.
Namun di balik kelezatannya itu, terdapat
masalah utama dalam mengonsumsi swike, yaitu
masalah agama. Dalam literatur kitab-kitab fiqh dijelaskan
bahwa daging kodok hukumnya adalah haram. Hal itu didasari ihwal adanya hadits
yang melarang untuk membunuh kodok serta binatang lain seperti semut dan lebah. Oleh ulama fiqh, larangan membunuh itu diinterpretasikan
sebagai keharaman daging kodok, karena jika daging kodok adalah halal tentu
nabi tidak akan melarang untuk membunuhnya.
Apabila kita telaah lagi secara saksama,
sesungguhnya dalam aturan pangan Islam terdapat perbedaan dalam memandang
masalah halal atau haramnya daging kodok. Kebanyakan mazhab utama dalam Islam
seperti mazhab Syafi'i, Hanafi, dan Hambali
secara jelas melarang konsumsi daging kodok karena alasan di atas, akan tetapi mazhab Maliki memperbolehkan
umat Islam untuk mengonsumsi kodok karena tidak ada teks eksplisit (nash
sharih) yang mengharamkannya. Dan legalitas
halal tersebut hanya berlaku untuk jenis tertentu,
yaitu hanya kodok hijau yang biasanya hidup di sawah, sementara kodok-kodok
jenis lainnya yang berkulit bintil-bintil seperti kodok budug tidak boleh
dikonsumsi karena beracun. Selain itu, Malikiyah juga mensyaratkan kodok
tersebut harus disembelih dahulu sebelum dimasak.[1]
Berangkat dari problematika tersebut,
kodok sebagai bahan baku menu swike dan ulama juga masih
memperselisihkan dalam menyikapi hukum mengkonsumsi kodok,
ada pendapat yang melarang mengkonsumsi dan ada pendapat yang membolehkannya. Oleh
sebab itu, dengan melihat latar belakang tersebut di atas, penulis
ingin mengkaji lebih mendalam dan terstruktur menyikapi bagaimana hukum yang
sebenarnya mengenai mengkonsumsi kodok melalui sebuah makalah yang berjudul “Memakan
dan Membudidayakan Kodok”.
B.
Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang sebagaimana yang telah
dipaparkan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1)
Bagaimana
deskripsi tentang kodok?
2)
Bagaimana
pendapat ulama dan hujjahnya tentang memakan dan membudidayakan kodok?
3)
Bagaimana
analisis pendapat ulama tentang memakan dan membudidayakan kodok?
4)
Pendapat
Ulama mana yang dipilih dan hujjah yang digunakan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Deskripsi Masalah
1.
Deskripsi tentang Katak dan Kodok
Katak (bahasa Inggris: frog) adalah binatang amfibi pemakan
serangga yang hidup di air tawar atau di daratan, berkulit licin, berwarna
hijau atau merah kecokelat-cokelatan, kaki belakang lebih panjang, pandai
melompat dan berenang. Sedangkan kodok, nama lain dari bangkong (bahasa Inggris: toad), memiliki kulit yang kasar dan
berbintil-bintil atau berbingkul-bingkul, kerap kali kering, dan kaki
belakangnya sering pendek saja, sehingga kebanyakan bangsa kodok kurang pandai
melompat jauh.
Kodok dan katak mengawali
hidupnya sebagai telur yang diletakkan induknya di air, di sarang busa, di antara lumut-lumut atau di tempat-tempat basah lainnya. Telur-telur kodok
dan katak menetas menjadi berudu atau kecebong (bahasa
Inggris: tadpole), yang bertubuh
mirip ikan gendut, bernapas dengan insang dan selama beberapa lama
hidup di air. Perlahan-lahan akan tumbuh kaki belakang, yang
kemudian diikuti dengan tumbuhnya kaki depan, menghilangnya ekor dan
bergantinya insang dengan paru-paru.
Setelah masanya, berudu ini akan melompat ke darat sebagai kodok atau katak
kecil.
Kodok dan katak hidup menyebar luas, terutama
di daerah tropis yang
berhawa panas. Makin dingin tempatnya, seperti di atas gunung atau di daerah
bermusim empat (temperate), jumlah jenis kodok cenderung semakin
sedikit. Salah satunya ialah karena kodok termasuk hewan berdarah dingin, yang
membutuhkan panas dari lingkungannya untuk mempertahankan hidupnya dan menjaga
metabolisme tubuhnya.
Hewan ini dapat ditemui mulai dari hutan rimba, padang pasir,
tepi-tepi sungai dan rawa, perkebunan dan sawah, hingga ke lingkungan permukiman manusia.
Bangkong kolong, misalnya, merupakan salah satu jenis kodok yang kerap ditemui
di pojok-pojok rumah atau di balik pot di halaman. Kodok pohon menghuni
pohon-pohon rendah dan semak belukar, terutama di sekitar saluran air atau
kolam.
Kodok memangsa berbagai jenis serangga yang
ditemuinya. Kodok kerap ditemui berkerumun di bawah cahaya lampu jalan atau
taman, menangkapi serangga-serangga
yang tertarik oleh cahaya lampu tersebut. Sebaliknya, kodok juga dimangsa oleh
berbagai jenis makhluk yang
lain: ular, kadal, burung-burung, seperti bangau, elang, garangan, linsang, dan
juga dikonsumsi manusia. Kodok
membela diri dengan melompat jauh, mengeluarkan lendir dan racun dari kelenjar
di kulitnya dan bahkan ada yang menghasilkan semacam lendir pekat yang lengket,
sehingga mulut pemangsanya akan melekat erat dan susah dibuka.[2]
2.
Peran
Kodok bagi Lingkungan
Kenyamanan tempat tinggal
kita sangat dipengaruhi bagaimana kondisi lingkungan di mana tempat tinggal
tersebut berada. Salah satu dimensi dari kondisi tersebut adalah ekologi,
ekologi di sini dimaksudkan pada kondisi flora dan fauna dan bagaimana interaksi
komponen biotik tersebut dengan komponen abiotik seperti air, tanah, dan udara.
Selanjutya, bagaimana kita bisa mengetahui baik buruknya kondisi lingkungan
tempat tinggal kita dengan melihat fauna yang menjadi indikator lingkungan,
dalam pengertian “keberadaan atau ketiadaannya”.
Kodok sebagai hewan
bioindikator merupakan salah satu hewan yang mempunyai kepekaan terhadap
perubahan lingkungan. Perubahan kondisi lingkungan pada level tertentu akan
mengganggu kehidupan hewan amfibi ini, ini disebabkan kodok bernapas melalui
kulitnya yang senantiasa lembab sehingga saat lingkungan rusak akan langsung
mengganggu kodok. Penurunan populasi katak di lingkungan kita dapat dijadikan
petunjuk bahwa lingkungan kita telah menurun.
Kodok berperan sangat penting sebagai indikator
pencemaran lingkungan. Tingkat pencemaran lingkungan pada suatu daerah dapat
dilihat dari jumlah populasi kodok yang dapat ditemukan di daerah tersebut.
Latar belakang penggunaan kodok sebagai indikator lingkungan karena kodok
merupakan salah satu mahluk purba yang telah ada sejak ribuan tahun lalu. Jadi
kodok tetap hidup dengan perubahan iklim bumi. Tentunya hanya pengaruh
manusialah yang mungkin menyebabkan terancamnya populasi kodok.
Salah satunya adalah pembuangan limbah
berbahaya oleh manusia ke alam. Limbah berbahaya inilah yang bisa mengancam
keberadaan kodok pada daerah yang tercemar. Selain itu, karena pentingnya
kedudukan kodok dalam rantai makanan, maka pengurangan jumlah kodok akan
menyebabkan terganggunya dinamika pertumbuhan predator kodok. Bahkan
terganggunya populasi kodok dapat berakibat langsung dengan punahnya predator kodok.
Akan
tetapi yang lebih mengancam kehidupan kodok sebenarnya adalah kegiatan manusia
yang banyak merusak habitat alami kodok, seperti hutan-hutan, sungai dan
rawa-rawa. Apalagi kini penggunaan pestisida yang
meluas di sawah-sawah juga merusak telur-telur dan berudu kodok, serta
mengakibatkan cacat pada generasi kodok yang berikutnya.[3]
3.
Jenis-jenis
Kodok di Indonesia
Beberapa jenis kodok yang umum didapatkan di
Indonesia, di antaranya adalah:
4.
Dalil tentang Halal
Haramnya Makanan
Pada
dasarnya semua makanan yang Allah Swt ciptakan adalah halal kecuali ada dalil
yang mengharamkannya. Seperti dalam firman-Nya:
uqèd Ï%©!$# Yn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèÏJy_ ...
ÇËÒÈ
Artinya:
“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.....” (QS.
Al-Baqarah [2]: 29).
Kemudian
seseorang tidak boleh mengatakan sebuah makanan adalah haram kecuali ada dalil
yang mengharamkannya secara pasti. Seperti dalam firman Allah yang berbunyi:
...
@Ïtäur ÞOßgs9 ÏM»t6Íh©Ü9$# ãPÌhptäur ÞOÎgøn=tæ y]Í´¯»t6yø9$# ÇÊÎÐÈ...
Artinya:
“...dan menghalalkan bagi mereka
segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk....” (QS.
Al-A’raaf [7]: 157).
Ibnu
Katsir dalam bukunya Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim menjelaskan bahwasanya
sebagian ulama berkata, sesungguhnya Allah Swt menghalalkan semua makanan yang
hendak dikonsumsi apabila makanan tersebut baik serta bermanfaat bagi tubuh dan
agama. Adapun semua yang diharamkan oleh Allah Swt adalah makanan kotor atau
buruk yang membahayakan bagi tubuh dan agama.[5]
Allah juga berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 168, yang berbunyi:
$ygr'¯»t â¨$¨Z9$# (#qè=ä. $£JÏB Îû ÇÚöF{$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ wur (#qãèÎ6®Ks? ÏNºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNä3s9 Arßtã îûüÎ7B ÇÊÏÑÈ
Artinya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal
lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 168).
Apabila
kita mengkaji lebih mendalam dalil dari nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, Allah Swt telah
merinci makanan yang baik dan yang buruk untuk hamba-Nya. Oleh sebab itu,
sebagai aplikasi ketaatan kita kepada Allah Swt hendaknya memilah makanan yang
halal dan thayyib untuk kesehatan badan kita.
Setelah
kita mengetahui hukum asalnya makanan adalah halal disertai harus thayyib,
maka dalil berikut ini berkenaan dengan makanan haram secara khusus. Terdapat
banyak dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menerangkan tentang haramnya
makanan, namun dalam makalah ini hanya beberapa yang dicantumkan. Yaitu:
a.
Haram karena dalil Al-Qur’an
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ÍÌYÏø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ èps)ÏZy÷ZßJø9$#ur äosqè%öqyJø9$#ur èptÏjutIßJø9$#ur èpysÏܨZ9$#ur !$tBur @x.r& ßìç7¡¡9$# wÎ) $tB ÷Läêø©.s $tBur yxÎ/è n?tã É=ÝÁZ9$# br&ur (#qßJÅ¡ø)tFó¡s? ÉO»s9øF{$$Î/ 4
öNä3Ï9ºs î,ó¡Ïù 3 ... ÇÌÈ
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,
darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih atas nama selain Allah,
yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang
buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih
untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan azlam
(anak panah), (karena) itu suatu perbuatan fasik...” (QS.
Al-Maidah [5]: 3).
b.
Haram karena dalil As-Sunnah
حَدَّثَنَا
عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ الْعَنْبَرِيُّ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ عَنْ الْحَكَمِ عَنْ مَيْمُونِ بْنِ مِهْرَانَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ
مِنْ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنْ الطَّيْرِ و حَدَّثَنِي حَجَّاجُ
بْنُ الشَّاعِرِ حَدَّثَنَا سَهْلُ بْنُ حَمَّادٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ بِهَذَا
الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ.
Artinya: Telah menceritakan kepada kami ['Ubaidullah bin Mu'adz Al
'Anbari] telah menceritakan kepada kami [ayahku] telah menceritakan kepada kami
[Syu'bah] dari [Al Hakam] dari [Maimun bin Mihran] dari [Ibnu Abbas] dia
berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang memakan
setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang mempunyai
kuku untuk mencengkeram." Dan
telah menceritakan kepadaku [Hajjaj bin As Sya'ir] telah menceritakan kepada
kami [Sahl bin Hammad] telah menceritakan kepada kami [Syu'bah] dengan sanad
seperti ini." (HR. Muslim).[6]
c.
Haram karena terdapat dalil
larangan untuk dibunuh
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَنْبَأَنَا مَعْمَرٌ عَنْ
الزُّهْرِيِّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ عَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ
قَتْلِ أَرْبَعٍ مِنْ الدَّوَابِّ النَّمْلَةِ وَالنَّحْلِ وَالْهُدْهُدِ
وَالصُّرَدِ.
Artinya: Telah memberitakan kepada kami [Muhammad
bin Yahya] telah memberitakan kepada kami [Abdurrazaq] telah memberitakan
kepada kami [Ma'mar] dari [Zubair Zuhri] dari ['Ubaidullah bin Abdullah bin
'Utbah] dari [Ibnu Abbas] dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam melarang membunuh empat jenis binatang melata; semut, lebah, hudhud
dan Shurad (sejenis burung pipit)." (HR. Ibnu Majah).[7]
d.
Haram karena terdapat dalil
perintah untuk dibunuh
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ حَدَّثَنَا
مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ أَمَرَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَسَمَّاهُ
فُوَيْسِقًا.
Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Muhammad bin
Hanbal] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abdurrazaq] berkata, telah
menceritakan kepada kami [Ma'mar] dari [Az Zuhri] dari [Amir bin Sa'd] dari
[Bapaknya] ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
memerintahkan untuk membunuh cicak, dan beliau menamainya dengan fasik kecil." (HR.
Abu Daud).[8]
B.
Pendapat Ulama dan
Hujjahnya
Ulama berbeda pendapat dalam
menyikapi hukum memakan kodok. Ada pendapat yang melarang dan ada pula pendapat
yang membolehkannya.
1.
Pendapat
yang Melarang
Adapun
ulama yang melarang untuk mengkonsumsi kodok adalah Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan
Hanabilah. Abdullah bin Abdur Rahman Ad-Dimasyqi Al-Utsmani Asy-Syafi’i dalam
kitabnya menerangkan perkataan ulama mengenai larangan mengkonsumsi kodok:
•
Abu Hanifah mengatakan: “Tidak
boleh memakan binatang laut kecuali ikan dan dari jenis binatang laut secara
khusus.”
•
Imam Ahmad mengatakan: “Boleh
memakan binatang laut kecuali buaya dan kodok. Diharuskan untuk menyembelihnya
kecuali ikan seperti babi laut, anjing laut, dan binatang yang jinak.”
•
Sebagian ulama Syafi’iyyah
berpendapat, “Binatang laut tidak boleh dimakan kecuali ikan. Dan
sebagiannya yang lain berkata: Larangan untuk memakan anjing laut, babi
laut, ikan-ikan besar, tikus, kalajengking dan yang menyamai binatang darat.”[9]
Di
dalam kitab yang lain, ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah berpendapat, hewan yang
bisa hidup di darat dan di laut haram dimakan karena termasuk khabits.
Rasulullah Saw sendiri melarang membunuh kodok, jika kodok itu halal Rasulullah
Saw tidak akan melarang untuk membunuhnya.
Ulama
Hanabilah juga dalam hal ini melarang. Mereka
berpendapat bahwa setiap hewan yang bisa hidup di darat dan di air tidak
halal jika tanpa disembelih, seperti kodok tidak boleh dimakan karena
Rasulullah Saw melarang untuk membunuhnya. Dan itu menunjukkan haramnya
kodok untuk dimakan, sebagaimana juga tidak boleh memakan daging buaya.[10]
Ulama Syafi’iyyah berpendapat, semua bangkai yang berada di air adalah
halal kecuali katak.[11] Disebutkan
juga dalam buku Mausu’ah Al-Fiqh Al-Islamiy wa Al-Qadaya Al-Mu’ashirati,
pendapat jumhur ulama selain Malikiyah adalah memakan kodok hukumnya haram.
Sebagaimana dalam hadits dilarangnya membunuh kodok.[12]
Hujjah
yang mereka ambil adalah dari hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wasallam berikut ini:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ
أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ خَالِدٍ عَنْ
سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عُثْمَانَ أَنَّ طَبِيبًا
سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ضِفْدَعٍ يَجْعَلُهَا
فِي دَوَاءٍ فَنَهَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ
قَتْلِهَا.
Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin
Katsir] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Sufyan] dari [Ibnu Abu Dzi`b]
dari [Sa'id bin Khalid] dari [Sa'id Ibnul Musayyab] dari ['Abdurrahman bin
Utsman] berkata, "Ada seorang tabib bertanya kepada Nabi shallallahu
'alaihi wasallam tentang kodok yang dijadikan sebagai obat, Nabi shallallahu
'alaihi wasallam lalu melarang untuk membunuhnya." (HR.
Abu Dawud).[13]
Semakna
dengan hadits di atas seperti perkataan Abdullah bin ‘Amru dan Anas bin Malik.
عَن
عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرُوْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: لاَ تَقْتُلُوْا
الضَّفَادِعَ قَإِنَّ نَقِيْقَهَا تَسْبِيْحٌ.
Artinya: Dari Abdullah bin ‘Amru Radhiyallahu ‘Anhu,
beliau berkata, “Janganlah kalian membunuh katak karena sesungguhnya bunyi
suara mereka adalah tasbih”. (Dikeluarkan oleh Baihaqi).[14]
Perkataan
lain:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: لاَ
تَقْتُلُوْا الضَّفَادِعَ فَإِنَّهَا مَرَّتْ عَلَى نَارِ إِبْرَاهِيْمَ،
فَجَعَلَتْ فِيْ أَفْوَاهِهَا الْمَاءِ، وَ كَانَتْ تَرْشُهُ عَلَى النَّارِ.
Artinya:
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu
‘Anhu, beliau berkata, “Janganlah kalian membunuh katak karena dari
mulutnya keluar air yang memancar ke arah api ketika Nabi Ibrahim dibakar.”[15]
Diikat
juga dalam kaidah ushul fiqh yang semakna dengan beberapa hujjah di
atas. Yaitu:
الأَصْلُ
فِى النَّهْيِ للِتَّحْرِيْمِ.
Artinya: “Hukum asalnya sebuah larangan menunjukkan
keharaman”.[16]
2.
Pendapat
yang Membolehkan
Di
antara pendapat ulama yang membolehkan mengkonsumsi kodok adalah pendapat
Malikiyyah. Imam Malik mengatakan bahwa dibolehkan makan ikan dan selainnya
seperti kepiting, katak, anjing laut, dan babi laut, akan tetapi babi laut itu
menjijikkan. Dalam hal ini Imam Malik memberitahukan untuk
selalu hati-hati.[17]
Ibnu
Abdil Barr menyatakan dalam bukunya, bahwasanya menurut Mazhab Maliki
membolehkan memakan daging ular apabila sudah disembelih, demikian pula daging
kadal, landak dan kodok. Boleh juga memakan daging kepiting, kura-kura, kodok
dan tidak masalah memakan ikan hasil buruan orang Majusi karena
ikan tidak perlu disembelih.[18]
Ulama
Malikiyyah berpendapat boleh hukumnya memakan daging kodok, serangga, kepiting,
dan kura-kura, karena tidak ada dalil yang mengharamkannya. Adapun pengharaman
dengan khabits, haruslah ada dalil syar’i, bukan dengan pendapat
manusia. Jadi, hewan-hewan yang dianggap khabits oleh manusia hukumnya
tidak haram, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.[19]
Adapun
hujjah yang mereka gunakan untuk membolehkan mengkonsumsi kodok adalah
berdasarkan keumuman dalil yang menyatakan bahwa katak termasuk hewan laut. Sebagaimana
firman Allah Swt:
¨@Ïmé& öNä3s9 ßø|¹ Ìóst7ø9$# ¼çmãB$yèsÛur $Yè»tFtB öNä3©9 Íou$§¡¡=Ï9ur ( tPÌhãmur öNä3øn=tæ ßø|¹ Îhy9ø9$# $tB óOçFøBß $YBããm 3
... ÇÒÏÈ
Artinya: “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut
dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan
bagi orang-orang yang dalam perjalanan dan diharamkan atasmu (menangkap)
binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram.” (QS. Al-Maidah [5]:
96).
Keumuman
dalil di atas diperkuat dengan hadits Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasallam tentang lautan:
أَخْبَرَنَا
إِسْحَقُ بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ قَالَ حَدَّثَنَا
مَالِكٌ عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سُلَيْمٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ
الْمُغِيرَةِ بْنِ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَاءِ الْبَحْرِ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ
الْحَلَالُ مَيْتَتُهُ.
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami [Ishaq bin
Manshur], ia berkata; telah menceritakan kepada kami [Abdurrahman], ia berkata;
telah menceritakan kepada kami [Malik] dari [Shafwan bin Sulaim] dari [Sa'id
bin Salamah] dari [Al Mughirah bin Abu Burdah] dari [Abu Hurairah] dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam mengenai air laut; beliau bersabda: "Laut
itu suci airnya dan halal bangkainya." (HR.
An-Nasa’i).[20]
3.
Fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Memakan dan Membudidayakan kodok
Rapat Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, yang
diperluas dengan beberapa utusan Majelis Ulama Daerah, beberapa Dekan Fakultas
Syari'ah IAIN dan tenaga-tenaga ahli dari Institut Pertanian Bogor, yang
diselenggarakan pada hari senin, 18 Shafar 1405 H. (12 November 1984) di Masjid
Istiqlal Jakarta, setelah:
Menimbang:
-
Bahwa
akhir-akhir ini telah tumbuh dan berkembang usaha pembudidayakan kodok oleh
sebagian para petani ikan.
Mendengar:
-
Pengarahan
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia dan Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia.
-
Keterangan
para ahli perikanan tentang kehidupan kodok dan peternakannya.
-
Makalah-makalah
dari Majelis Ulama Daerah Sumatera Barat, NTB, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
IAIN Walisongo Semarang.
-
Pembahasan para peserta dan pendapat-pendapat yang berkembang dalam sidang
tersebut.
Memperhatikan dan memahami:
1.
Ayat-ayat
al-Qur’an dan as-Sunnah, serta kaidah-kaidah fiqhiyah antara lain :
a. Surat Al-An’am ayat 145
“Katakanlah :
Tiada aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan
bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu adalah kotor
atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.”
b. Surat Al-Mai’dah ayat 96
“Dihalalkan
bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai
makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang orang yang dalam perjalanan.”
c. Surat Al-A’raf, ayat 157
“Dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala
yang buruk”.
2.
Hadits-hadits
Nabi Muhammad Saw:
“Dari
Abdurrahman bin Utsman Al Quraisy bahwanya seorang tabib (dokter) bertanya
kepada Rasulullah SAW, tentang kodok yang dipergunakan dalam campuran obat,
maka Rasulullah SAW melarang membunuhnya.” (Ditakharijkan oleh Ahmad dan
dishahihkan Hakim, ditakhrijkannya pula Abu Daud dan Nasa’I).
3.
Memanfaatkan
kulit bangkai selain anjing dan babi, melalui proses penyamakan, dibolehkan
menurut ajaran agama.
4.
Semua
binatang yang hidup menurut jumhur ulama hukumnya tidak najis kecuali anjing
dan babi.
5.
Khusus
mengenai memakan daging kodok, jumhur ulama berpendapat tidak halal, sedangkan
sebagian ulama yang seperti Imam Malik menghalalkan.
6.
Menurut
keterangan tenaga ahli dari Institut Pertanian Bogor Dr. H. Mahammad Eidman
M.Sc. bahwa dari lebih kurang 150 jenis kodok yang berada di Indonesia baru 10
jenis yang diyakini tidak mengandung racun, yaitu:
a. Rana Macrodon
b. Rana Ingeri
c. Rana Magna
d. Rana Modesta
e. Rana Canerivon
f. Rana Hinascaris
g. Rana Glandilos
h. Hihrun Arfiki
i. Hyhrun Pagun
j. Rana Catesbiana
Maka dengan bertawakal kepada Allah Swt, sidang:
Memutuskan:
-
Membenarkan
adanya pendapat Mazhab Syafii/jumhur Ulama tentang tidak halalnya memakan
daging kodok, dan membenarkan adanya pendapat Imam Maliki tentang halalnya daging
kodok tersebut.
-
Membudidayakan
kodok hanya untuk diambali manfaatnya, tidak untuk dimakan. Tidak bertentang
dengan ajaran Islam.[21]
Dalam fatwa tersebut diputuskan, “membudidayakan kodok
hanya untuk diambil manfaatnya, tidak untuk dimakan, tidak bertentangan dengan
ajaran Islam”. Sebab, menurut Ibrahim Hosen, Ketua Komisi Fatwa pada saat itu,
keharaman memakan kodok itu masih diperselisihkan oleh para ulama (khilafiyyah). Menurut Imam Syafi’i hukumnya haram, sedangkan menurut Imam Malik hukumnya halal.
Sementara itu, membudidayakannya termasuk pemanfaatan (al-intifa’) yang belum dibahas oleh para ulama terdahulu. Antara memakan dan
membudidayakan jelas tidak sama walaupun memiliki titik persamaan. Oleh karena
itu, persoalan tersebut tidak dapat digeneralisir sehingga menghasilkan hukum
yang tidak sama.[22]
Di antara dalil yang dipergunakan MUI adalah pertimbangan
kemaslahatan sebagaimana tertera dalam dalil kelompok ketiga setelah nash-nash Al-Qur’an dan Hadis. Dalam
butir 3
disebutkan kebolehan memanfaatkan kulit bangkai selain anjing dan babi setelah
proses penyamakan.[23]
Nampaknya, ketentuan tersebut menjadi pertimbangan “penting” dalam
menetapkan hukum bolehnya budidaya kodok karena dapat mendatangkan kemaslahatan
berupa komoditas ekspor yang dapat meningkatkan tarap hidup rakyat. Dengan
demikian, MUI mengambil pendapat Imam Malik yang memperbolehkan makan kodok dengan
pertimbangan “akan membawa manfaat dan kemaslahatan yang lebih besar bagi
negara dan masyarakat dari pada fatwa yang mengharamkannya”.[24]
C.
Analisis Pendapat Ulama
Berdasarkan pendapat para
ulama yang membolehkan dan melarang mengenai hukum memakan dan membudidayakan
kodok di atas. Sebab perbedaan tersebut menurut penulis berpangkal pada
perbedaan pendirian tentang pengertian kata “khabaits” pada firman Allah
Swt:
...
ãPÌhptäur ÞOÎgøn=tæ y]Í´¯»t6yø9$# ÇÊÎÐÈ...
Artinya: “...dan mengharamkan bagi mereka segala
yang buruk....” (QS. Al-A’raaf [7]: 157).
Bagi
Fuqaha yang berpendapat bahwa perkara-perkara keji (khabaits) tersebut
ialah makanan yang dilarang oleh syara’ dengan tegas, maka ia tidak
mengharamkan perkara (binatang) yang dipandang keji oleh jiwa karena tidak ada
ketegasannya (dari syara’). Kemudian bagi Fuqaha yang berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan perkara-perkara keji ialah apa yang dipandang keji oleh jiwa,
maka ia mengatakan bahwa perkara-perkara keji adalah haram.
Dalam
urusan kodok hanya terdapat satu riwayat, yaitu dari Abdurrahman bin Utsman,
bahwa seorang tabib menanyakan tentang kodok yang dijadikan
sebagai obat, Nabi Muhammad Saw lalu melarang untuk membunuhnya. Hadits
tersebut melarang membunuh kodok. Dari larangan ini ulama pun menetapkan bahwa
kodok itu “haram”. Pendapat ini tidak bisa diterima karena:
a.
Tidak terdapat satupun dasar
agama yang menetapkan dengan demikian.
b.
Kalau betul tiap-tiap yang
dilarang membunuhnya itu, menjadikan haram dimakan, berarti kodok itu “haram
dimakan”, keputusan itu bertentangan dengan firman Allah yang telah membatas
hanya empat macam makanan yang haram, sebagaimana tersebut dalam Al-Baqarah
173.
c.
Dari pelajaran-pelajaran Agama,
kita ketahui: tidak boleh menyakiti binatang-bintang, terutama pula membunuhnya.
Maka jika seseorang berkata kepada anaknya yang biasa memulas-mulas leher ayam
sampai mati: “Jangan engkau bunuh ayam itu”, apakah larangan si ayah ini
menunjukkan kepada haram makan ayam? Tentu tidak.
Tetapi
orang dapat berkata: Karena kita sudah mengetahui ayam itu hala, maka larangan
membunuhnya tadi tidak menuju kepada haramnya dimakan. Kita pula berkata: Kalau
membunuh kodok dikatakan “haram dimakannya” berarti kita sudah mengetahui
keterangan yang mengharamkannya. Maka manakah keterangan agama yang
mengharamkannya? Tidak ada.
Dari
ketika keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa “tidak terdapat satupun
keterangan agama yang mengharamkan kodok”. Hendaklah diketahui bahwa perasaan
jijik akan sesuatu tidak dapat dijadikan dasar untuk mengharamkan sesuatu yang
tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana dijelaskan dalam surat
At-Tahrim ayat 1, yang berbunyi:
$pkr'¯»t ÓÉ<¨Z9$# zOÏ9 ãPÌhptéB !$tB ¨@ymr& ª!$# y7s9 ( ... ÇÊÈ
Artinya: “Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa
yang Allah halalkan bagimu...” (QS. At-Tahrim [66]: 1).
D.
Pendapat yang Dipilih dan
Hujjah yang Digunakan
Penulis dalam hal ini
memilih untuk mengikuti fatwa MUI sebagai lembaga yang mewadahi para ulama, zu'ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan
mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. Kemudian juga untuk membantu pemerintah dalam melakukan hal-hal yang
menyangkut dengan umat Islam, seperti mengeluarkan fatwa dalam kehalalan sebuah
makanan, penentuan kebenaran sebuah
aliran dalam agama Islam, dan hal-hal yang berkaitan dengan hubungan seorang penganut
agama Islam dengan lingkungannya.
Karena
dalam masalah ini terjadi kontradiksi dua dalil,
yaitu yang menghalalkan dan mengharamkan, dimenangkan dalil yang mengharamkan untuk ikhtiath (menjaga jangan sampai
salah). Konteks
ini juga dipertimbangkan
MUI dengan mengutip hadis riwayat Bukhari nomor
1910, yang artinya:
Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Al Mutsanna]
telah menceritakan kepada kami [Ibnu Abu 'Adiy] dari [Ibnu 'Aun] dari
[Asy-Sa'biy] aku mendengar [An-Nu'man bin Basyir radliallahu 'anhuma] aku
mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dan diriwayatkan pula, telah
menceritakan kepada kami ['Ali bin 'Abdullah] telah menceritakan kepada kami
[Ibnu 'Uyainah] telah menceritakan kepada kami [Abu Farwah] dari [Asy-Sa'biy]
berkata, aku mendengar [An-Nu'man bin Basyir] telah menceritakan kepada kami
berkata, aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dan diriwayatkan pula
['Abdullah bin Muhammad] dari [Ibnu 'Uyainah] dari [Abu Farwah] aku mendengar
[Asy-Sa'biy] aku mendengar [An-Nu'man bin Basyir radliallahu 'anhuma] dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam. Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin
Katsir] telah mengabarkan kepada kami [Sufyan] dari [Abu Farwah] dari
[Asy-Sa'biy] dari [An-Nu'man bin Basyir radliallahu 'anhu] berkata, telah
bersabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Yang halal sudah jelas dan
yang haram juga sudah jelas. Namun di antara keduanya ada perkara
yang syubhat (samar). Maka barangsiapa yang meninggalkan perkara yang samar
karena khawatir mendapat dosa, berarti dia telah meninggalkan perkara yang
jelas keharamannya dan siapa yang banyak berdekatan dengan perkara samar maka
dikhawatirkan dia akan jatuh pada perbuatan yang haram tersebut. Maksiat adalah
larangan-larangan Allah. Maka siapa yang berada di dekat larangan Allah itu
dikhawatirkan dia akan jatuh pada larangan tersebut".
Dengan
semakin berkembangnya pembudidayaan kodok sekarang ini, memang tidak bisa langsung menghakimi bahwa memakan dan membudidayakan kodok itu
haram. Meskipun, memakan kodok itu memang tidak diperbolehkan karena binatang
ini hidup di dua alam. Begitu pula membudidayakan kodok untuk dimakan atau
diperdagangkan adalah haram. Hal ini didasarkan pada qaidah ushul fiqh, yaitu
“sesuatu yang menjadi sarana, hukumnya adalah mengikuti sesuatu yang menjadi
tujuan”.
Untuk itu MUI mengambil jalan tengah dalam
fatwa yang diputuskannya. MUI berfatwa: membenarkan adanya pendapat mazhab
Syafi’i/jumhur ulama tentang tidak halalnya memakan daging kodok, tapi juga
membenarkan adanya pendapat Imam Maliki tentang halalnya daging kodok tersebut.
Akan tetapi, dari MUI sendiri memberikan dua pilihan kepada masyarakat
untuk mengikutinya. Pilihan untuk tidak menghalalkan daging kodok untuk dimakan
bagi para penganut mahzab Syafi’i atau jumhur ulama. Dan pilihan lainnya untuk
menganggap halal daging kodok untuk dimakan dan dikonsumsi bagi masyarakat yang
mengikuti pendapat Imam Maliki.
Sedangkan untuk budidaya kodok, jika memang hanya diambil manfaatnya, tidak
untuk dimakan, maka dari ulama dan MUI memperbolehkan selama tidak bertentangan
dengan ajaran Islam. Akan lebih baiknya, semua kembali kepada individu
masing-masing, bagaimana memandang baik buruknya mengkonsumsi daging kodok
tersebut. Baik dari segi aturan Islam maupun kesehatan.
Perbedaan
penafsiran tersebut bukan berarti perpecahan, melainkan kita diberi kesempatan
untuk menghidupkan pikiran kita. Di atas perbedaan itu kita ambil manfaatnya.
Perbedaan pendapat di antara ulama merupakan rahmat. Caranya? Silahkan memilih
menurut keyakinan masing-masing, tanpa mencela atau menyalahkan yang lain.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sebagai penutup dari makalah yang sangat sederhana ini,
penulis akan mencoba untuk sarikan beberapa poin penting yang berkaitan dengan hukum
memakan dan membudidayakan kodok, yaitu sebagai berikut:
1. Katak (bahasa
Inggris: frog) adalah binatang amfibi pemakan
serangga yang hidup di air tawar atau di daratan, berkulit licin, berwarna
hijau atau merah kecokelat-cokelatan, kaki belakang lebih panjang, pandai
melompat dan berenang. Sedangkan kodok, nama lain dari bangkong (bahasa
Inggris: toad), memiliki kulit yang kasar dan
berbintil-bintil atau berbingkul-bingkul, kerap kali kering, dan kaki
belakangnya sering pendek saja, sehingga kebanyakan bangsa kodok kurang pandai
melompat jauh. Kodok sebagai hewan bioindikator merupakan
salah satu hewan yang mempunyai kepekaan terhadap perubahan lingkungan.
2.
Ulama berbeda pendapat dalam
menyikapi hukum memakan kodok. Ada pendapat yang melarang dan ada pula pendapat
yang membolehkannya. Adapun ulama yang melarang untuk mengkonsumsi kodok adalah
Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah. Hujjah yang mereka ambil adalah hadits
Rasulullah Saw, yaitu dari Abdurrahman bin Utsman berkata bahwa seorang tabib
menanyakan tentang kodok yang dijadikan sebagai obat, Nabi Muhammad
Saw lalu melarang untuk membunuhnya. Kemudian diikat juga dalam kaidah ushul
fiqh , yaitu “hukum asalnya sebuah larangan menunjukkan keharaman”.
Di antara pendapat ulama yang membolehkan mengkonsumsi kodok adalah pendapat
Malikiyyah dengan hujjah surat Al-Maidah ayat 96 dan hadits nabi tentang lautan
yang suci airnya dan halal bangkainya.
3.
Berdasarkan pendapat para ulama yang membolehkan dan
melarang mengenai hukum memakan dan membudidayakan kodok di atas. Sebab
perbedaan tersebut menurut penulis berpangkal pada perbedaan pendirian tentang
pengertian kata “khabaits” pada surat Al-A’raaf ayat 157. Hendaklah
diketahui bahwa perasaan jijik akan sesuatu tidak dapat dijadikan dasar untuk
mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya,
sebagaimana dijelaskan dalam surat At-Tahrim ayat 1.
4. Karena dalam masalah ini
terjadi kontradiksi dua dalil, yaitu yang menghalalkan dan mengharamkan,
dimenangkan dalil yang mengharamkan untuk ikhtiath (menjaga jangan
sampai salah). Penulis dalam hal ini memilih untuk mengikuti fatwa MUI yang mengambil jalan tengah dalam fatwa yang
diputuskannya. MUI berfatwa: membenarkan adanya pendapat mazhab Syafi’i/ jumhur ulama tentang tidak halalnya memakan
daging kodok, tapi juga membenarkan adanya pendapat Imam Maliki tentang
halalnya daging kodok tersebut. Akan tetapi, dari MUI sendiri memberikan dua pilihan
kepada masyarakat untuk mengikutinya. Pilihan untuk tidak menghalalkan daging
kodok untuk dimakan bagi para penganut mahzab Syafi’i atau jumhur ulama. Dan
pilihan lainnya untuk menganggap halal daging kodok untuk dimakan dan
dikonsumsi bagi masyarakat yang mengikuti pendapat Imam Maliki. Akan lebih baiknya, semua kembali kepada individu masing-masing, bagaimana
memandang baik buruknya mengkonsumsi daging kodok tersebut. Baik dari segi
aturan Islam maupun kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Nazri Adlani, Himpunan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia, Jakarta: MUI, 1997.
Abdullah bin Abdur Rahman Ad-Dimasyqi Al-Utsmani Asy-Syafi’i, Rahmah Al-Ummah fii Ikhtilaf Al-Aimmah, terj. Abdullah
Zaki Alkaf, Bandung: Hasyimi, 2004.
Abdul
Hamid Hakim, As-Sulam, Jakarta: Maktabah As-Sa’adiyah Futra, 2007.
Abdullah Muhammad bin Yazid Al-Qazwini, Sunan Ibnu
Majah, Jilid. 2,
Beirut: Dar Al-Fikr, 2010.
Abi At-Thiib Muhammad Syamsul Haq Al-‘Azhim Abadi, ‘Aunu
Al-Ma’bud
Syarh Sunan Abi Dawud, Jilid. 10, Madinah Al-Munawarah: Maktabah Salafiyah, 1968.
Abi Bakar Ahmad bin Husain Ibnu Ali Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubra, Jilid. 9, Hindi: Dairah Al-Ma’arif, 1937.
Abi Umar
Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Abdil Barr Al-Qurthuby, Al-Kafi fii
Fiqh Ahlu Al-Madinah Al-Maliki, Beirut: Dar Al-Kutub al-Ilmiyah, 1992.
Al-Asqalani, Ibanah Al-Ahkam Syarh Bulughu Al-Maram, Jilid. 4, Beirut: Dar Al-Fikr, 2012. di
Asy-Syaukani, Nailu Al-Author, Jilid. 8, Kairo: Dar Al-Hadits, 2005.
Bernhard Grzimek, Animal Life
Encyclopedia, Vol 6; Amphibians, Detroit: Gale, 2003.
Fatwa MUI tentang Memakan dan
Membudidayakan Kodok.
Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, Jilid. 3, Kairo: Maktabah Taufiqiyah, t.t.
Ibrahim Hosen, Sekitar
Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: MUI, 2000.
Jalaludin As-Suyuti, Sunan An-Nasa’i, Jilid. 1, Beirut: Dar Al-Fikr, 2012.
Shalilh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Al-At’imah wa Ahkam As-Shaidu wa Adz-Dzabaih, Riyad: Maktabah Al-Ma’arif, 1988.
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh
Islam wa Adillatuhu 4, terj. Abdul Hayyie Al-Kattani, dkk., Jakarta: Gema Insani, 2011.
Wahbah Az-Zuhaili, Mausu’ah Al-Fiqhi Al-Islamiy wa Al-Qadaya Al-Mu’ashirati, Jilid. 3, Damaskus: Dar Al-Fikr, 2012.
https://id.wikipedia.org
[1] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh
Islam wa Adillatuhu 4, terj. Abdul Hayyie
Al-Kattani, dkk., (Jakarta: Gema Insani,
2011), hlm. 334-335.
[2] Bernhard Grzimek, Animal
Life Encyclopedia, Vol 6; Amphibians, (Detroit: Gale, 2003). Dikutip
melalui website https://id.wikipedia.org/wiki/Kodok_dan_katak, pada tanggal 23
Maret 2018.
[5] Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, Jilid. 3, (Kairo: Maktabah Taufiqiyah, t.t.), hlm. 353.
[6] Shahih Muslim Nomor 3574, hadits
ini shahih menurut para Ijma’ Ulama. Lihat juga hadits nomor 1346 di Al-Asqalani, Ibanah
Al-Ahkam Syarh Bulughu Al-Maram, “Kitab At’imah”, Jilid. 4, (Beirut: Dar Al-Fikr, 2012), hlm.
186. Lihat juga
hadits nomor 3583 di Asy-Syaukani, Nailu Al-Author, “Kitab At’imah wa Ash-Shoidu wa Ad-Dabaih”,
Jilid. 8, (Kairo: Dar Al-Hadits, 2005), hlm.
436.
[7] Sunan Ibnu Majah Nomor 3251,
hadits ini shahih menurut Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Lihat juga
hadits nomor 3223 di Abdullah
Muhammad bin Yazid Al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, “Kitab
Ash-Shoidu”, Jilid.
2, (Beirut: Dar Al-Fikr, 2010), hlm.
268.
[9] Abdullah bin Abdur Rahman
Ad-Dimasyqi Al-Utsmani Asy-Syafi’i, Rahmah Al-Ummah fii Ikhtilaf Al-Aimmah, terj. Abdullah Zaki Alkaf, (Bandung: Hasyimi, 2004), hlm. 118.
[11] Shalilh bin Fauzan bin
Abdullah Al-Fauzan, Al-At’imah wa Ahkam As-Shaidu wa Adz-Dzabaih, (Riyad: Maktabah Al-Ma’arif, 1988), hlm. 89.
[12] Wahbah Az-Zuhaili, Mausu’ah Al-Fiqhi Al-Islamiy wa Al-Qadaya Al-Mu’ashirati, Jilid. 3, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 2012), hlm. 505.
[13] Sunan Abu Daud Nomor 4585,
hadits ini shahih. Lihat juga Abi At-Thiib Muhammad Syamsul Haq Al-‘Azhim Abadi, ‘Aunu Al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, Jilid. 10, (Madinah Al-Munawarah: Maktabah
Salafiyah, 1968), hlm. 352.
[14] Abi Bakar Ahmad bin
Husain Ibnu Ali Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubra, Jilid. 9, (Hindi: Dairah Al-Ma’arif, 1937), hlm. 316.
[18] Abi Umar Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Abdil Barr Al-Qurthuby, Al-Kafi
fii Fiqh Ahlu Al-Madinah Al-Maliki, (Beirut: Dar Al-Kutub al-Ilmiyah,
1992), hlm. 186-187.
[20] Sunan Nasa’i Nomor 4275,
hadits ini shahih. Lihat juga hadits nomor 4361 di Jalaludin As-Suyuti, Sunan An-Nasa’i, “Bab Al-Miyah”, Jilid. 1, (Beirut: Dar Al-Fikr, 2012), hlm. 192.
No comments:
Post a Comment