Wednesday, November 15, 2017

KAJIAN HERMENEUTIKA AL-QUR’AN NASR HAMID ABU ZAYD, HASSAN HANAFI DAN FAZLUR RAHMAN

BAB II
KAJIAN HERMENEUTIKA AL-QUR’AN NASR HAMID ABU
ZAYD, HASSAN HANAFI DAN FAZLUR RAHMAN
Muhammad Furqan 16771006
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Program Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang


A.  Dasar Pemikiran
Bagi sebagian besar masyarakat Muslim, khususnya di Indonesia, istilah hermeneutika mungkin masih asing. Ini wajar sebab hermeneutika merupakan barang impor yang bukan milik asli keilmuan Islam. Karenanya, sebelum melangkah pada ide-ide para tokoh tesebut tentang diskursus hermeneutika, pengertian tentang hermeneutika secara sederhana dirasa penting untuk dipaparkan, sembara melihat keniscayaan kehadirannya bagi sejumlah pemikir Muslim di beberapa belahan dunia.
Sebenarnya tidak mudah untuk memberikan definisi yang tepat dan akurat tentang hermeneutika hanya dalam rentetan satu-dua kalimat. Kata hermeneutika (hermeneutic) berasal dari kata Yunani, hermeneuein, yang berarti menerjemahkan atau menafsirkan. Istilah ini kerap dihubungkan dengan tokoh mitologis Yunani, Hermes[1], yang bertugas menyampaikan pesan Yupiter kepada manusia. Mitos ini menjelaskan tugas seorang Hermes yang begitu penting, yang bila keliru dapat berakibat fatal. Hermes adalah simbol seorang duta yang dibebani misi menyampaikan pesan sang Dewa. Berhasil atau tidaknya misi itu tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan. Indikasi keberhasilannya, manusia yang semula tidak tahu menjadi mengetahui pesan itu. Dengan demikian, hermeneutika secara sederhana diartikan sebagai proses mengubah ketidaktahuan menjadi tahu.[2]
Pembakuan hermeneutika sebagai sebuah perangkat pemahaman tidak bisa dilepaskan dari perkembangan pemikiran tentang bahasa dalam tradisi Yunani. Bahasa dan hermeneutika adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Bahasa penting bagi hermeneutika karena lahan dari hermeneutika adalah bahasa. Demikian juga, hermeneutika penting bagi bahasa karena hermeneutika menjadi metode untuk memahami bahasa. Keterkaitan ini menjadikan hermeneutika sebagai metode yang mengeluarkan makna kebahasaan sebuah teks. Metode pemahaman teks inilah yang mula-mula menjadi tugas hermeneutika.
Pada awalnya hermeneutika digunakan oleh para kalangan agamawan. Melihat hermeneutika dapat menyuguhkan makna dalam teks klasik, maka abad ke-17 kalangan gereja menerapkan telaah hermeneutika untuk membongkar makna teks Injil. Ketika menemukan kesulitan dalam memahami bahasa dan pesan kitab suci itu, mereka berkesimpulan bahwa kesulitan itu akan membantu pemecahannya oleh hermeneutika. Karena itu dalam posisi ini hermeneutika dianggap sebagai metode untuk memahami teks kitab suci. Fakta ini dinisbatkan sebagai langkah awal dalam pertumbuhan hermeneutika adalah gerakan interpretasi atau eksegesis diawal perkembangannya.
Memasuki abad ke-20, kajian hermeneutika semakin berkembang. F.D.E. Schleiermacher, filsuf yang kelak digelari Bapak Hermeneutika Modern, memperluas cakupan hermeneutika tidak hanya dalam bidang sastra dan kitab suci. Ia melihat bahwa sebagai metode interpretasi, hermeneutika sangat besar artinya bagi keilmuan dan bisa diadopsi oleh semua kalangan. Faktanya, sekarang berbagai disiplin ilmu menyadari arti pentingnya, dan hermeneutika di zaman ini telah masuk ke bidang-bidang semisal agama (kitab suci), sastra, sejarah, hukum, dan filsafat.[3]
Kendati hermeneutika telah difungsikan dalam banyak lakon, yang menyebar di berbagai bidang keilmuan, tidak bisa dinafikan bahwa peran terbesar hermeneutika tetap ada pada interpretasi teks. Sejarah membuktikan bahwa sejak kelahirannya sampai pada perkembangannya di era kontemporer, para pengkaji kitab suci dan teks kuno memosisikannya sebagai satu-satunya yang dapat diandalkan.
Namun begitulah, sebagai sebuah barang impor dari luar Islam, apresiasi terhadap perangkat ini menghadapi tantangan dan penolakan dari sebagian Islam. Hermeneutika dicurigai sebagai benda asing yang dapat merusak tatanan keilmuan Islam, dan bahkan merusak ajaran Islam itu sendiri.
Penolakan terhadap hermeneutika atas dasar bahwa hermeneutika berasal dari Barat-Kristen jelas berlandaskan pada argument emosional yang lebih mengedepankan kecurigaan dan apriori terhadap dunia Barat-Kristen yang ingin merusak Islam. Pandangan ini tentu tidak cukup kuat untuk dipertahankan secara ilmiah-akademis. Sementara pandangan bahwa kehadiran hermeneutika hanya dimaksudkan untuk mencari kebenaran-kebenaran Injil (yang otentitas dan orisinalitasnya sudah tidak diakui), adalah pandangan yang hanya melihat satu sisi yang melatarbelakangi penggunaan hermeneutika dalam dunia Kristen. Pandangan ini membatasi hermeneutika pada lingkup yang sempit, sehingga cakrawala luas yang terbentang di dalamnya tidak dilihat. Hermeneutika adalah satu metode penafsiran dengan area pembahasan yang amat luas. Ia juga memiliki tujuan yang tidak terbatas pada tujuan yang diinginkan di Barat semata. Hermeneutika adalah perangkat pemahaman metodologis yang senantiasa berkembang dan tujuannya dapat dipilih.
Hermeneutika merupakan suatu perangkat disiplin yang netral. Pemahaman orang terhadapnya tidak harus mengikuti alur yang dimiliki orang lain. Lebih-lebih bila orang lain itu berasal dari luar agamanya. Andaikan dalam hermeneutika ada keharusan orang untuk mengikuti alur dan motif yang dibangun oleh seorang tokoh, hermeneutika tidak akan dihampiri banyak orang, baik dari kalangan mereka sendiri terlebih dari kalangan lain. Namun, karena hermeneutika menampakkan netralitas, elastisitas, dan berkembang, semua disiplin keilmuan merasa memerlukannya, tak terkecuali keilmuan Islam. Di dunia Islam sendiri, meski muncul banyak penolakan terhadap hasil pengkajiannya, tidak menyurutkan langkah sebagain penulis kontemporer untuk mengadopsinya. [4]
Buktinya, para pemikir yang lebih terdidik secara ilmiah-akademis justru semakin giat mengkampanyekan arti penting penggunaannya sebagai teori interpretasi Al-Qur’an. Demi kampanye itu, mereka tak peduli apa pun risiko yang harus ditanggung. Di Mesir, misalnya, Nashr Hamid Abu Zaid yang mengusung hermeneutika dalam kerangka analisis wacana, terpaksa hijrah dari negerinya sendiri karena divonis murtad oleh Pengadilan Mesir dan dipaksa bercerai dengan istrinya.
Bisa dikata, kesadaran hermeneutika kini telah benar-benar mengakar di benak para pemikir kontemporer. Seperti Hassan Hanafi di Mesir menawarkan hermeneutika kebebasan, Fazlur Rahman di Pakistan menerapkan hermeneutika dalam kerangka interpretasi sistematis dan sistesi-logis. Di dalam makalah ini akan dibahas mengenai biografi dan kajian hermeneutika Al-Qur’an dari beberapa tokoh pemikir yang telah disebutkan di atas.
B.       Hermeneutika Al-Quran Nasr Hamid Abu Zayd
1.        Biografi Nasr Hamid Abu Zayd
Nasr Hamid Abu Zayd adalah tokoh kontroversial akibat kritik keagamaan yang dilontarkannya di Mesir dan kepada kalangan Muslim Sunni.[5] Nasr Hamid dilahirkan di desa Qahafah dekat kota Thantha, Mesir pada 10 Juli 1943 dan hidup dalam sebuah keluarga yang religius. Bapaknya adalah seorang aktivis Al-Ikhwan Al-Muslimin dan pernah dipenjara menyusul dieksekuensinya Sayyid Quthb. Sebagaimana anak-anak Mesir, dia mulai belajar dan menulis, serta kemudian menghafal Al-Qur’an di kuttab ketika dia berusia empat tahun. Dan karena kecerdasannya, dia telah menghafal keseluruhan Al-Qur’an pada usia delapan tahun, sehingga dia dipanggil “Syaikh Nashr” oleh anak-anak di desanya.[6]
Ketika Al-Ikhwan Al-Muslimin menjadi sebuah gerakan yang kuat dan memiliki cabang hampir di setiap desa, dia ikut bergabung dengan gerakan ini pada tahun 1954 saat usianya sebelas tahun. Dalam usia yang masih belia seperti ini, sebenarnya dia belum diperkenankan mengikutinya. Tetapi, dia merajuk kepada ketua cabang di desanya untuk memasukkannya dalam gerakan yang dipimpin oleh Sayyid Quthb ini, dan diperkenankan untuk menyenangkan hatinya. Karena namanya tercantum di dalam daftar anggota itulah maka Abu Zayd pun pernah dijebloskan di penjara selama satu hari dan dilepaskan karena dia masih dibawah umur. Pada saat itu, dia tertarik pada pemikiran Syayyid Quthb dalam bukunya Al-Islam wa Al-‘Adalah Al-Ijtima’iyyyah (Islam dan Keadilan Sosial), khususnya penekanannya pada keadilan manusiawi dalam menafsirkan Islam. Pada masa remajanya, dia biasa mengumandangkan adzan di masjid dan tak jarang sebagai imam shalat, hal yang biasanya di Mesir dilakukan oleh orang dewasa.[7]
Abu Zayd menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di Thantha. Setelah kematian ayahnya, saat berusia empat belas tahun, dia harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarganya. Setelah lulus dari sekolah teknik Thantha pada 1960, dia bekerja sebagai seorang teknisi elektronik pada Organisasi Komunikasi Nasional di Kairo sampai pada tahun 1972. Minatnya pada kritik sastra tampak dalam tulisan-tulisan awalnya ketika dia berusia 21 yang dipublikasikan pada 1964, di dalam jurnal Al-Adab, jurnal pemimpin Amīn Al-Khūlī. Dua artikel pentingnya saat itu adalah “Hawl Adab Al-‘Ummal wa Al-Fallahin” (tentang Sastra Buruh dan Petani)[8] dan “Azmah Al-Aghniyyah Al-Mishriyyah” (Krisis Lagu Mesir).[9] Dia sangat tertarik kepada sosialisme dan revolusi ketika keduanya menjadi trend dominan di Mesir pada tahun 1960-an. Dan dia mulai mengkritik Al-Ikhwan Al-Muslimin, kendatipun dia tidak mengekspresikan kritiknya itu dalam tulisan-tulisan awalnya.
Pada 1968, Abu Zayd mulai studinya di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab di Universitas Kairo. Dia masuk siang hari dan siangnya dia tetap bekerja.Dia menyelesaikan studinya pada 1972 dengan predikat cum laude. Setelah itu, dia diangkat sebagai asisten dosen. Karena kebijakan pimpinan pada jurusannya mewajibkan para asisten dosen baru untuk mengambil studi Islam sebagai bidang utama dalam riset Master dan Doktor, dia merubah bidangnya dari murni linguistik dan kritik sastra menjadi studi Islam, khususnya studi Al-Qur’an. Abu Zayd sebenarnya enggan untuk mengambil subjek ini, mengingat pengalaman Muhammad Ahmad Khalafallah yang mengalami problem serius karena dia menggunakan studi kritik sastra (literer) atas narasi-narasi Al-Qur’an dalam disertasinya. Namun, akhirnya dia menerima keputusan itu. Sejak saat itulah dia melakukan studi tentang Al-Qur’an dan problem interpretasi dan hermeneutika.
Pada 1975, Abu Zayd mendapatkan beasiswa Ford Foundation untuk melakukan studi selama dua tahun di American University di Kairo. Dua tahun kemudian dia meraih gelar MA dengan predikat cum laude dari Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Universitas Kairo dengan tesis yang berjudul Al-Ittijah Al-Aqli fi Al-Tafsir: Dirasah fi Qadhiyyat Al-Majaz fi Al-Qur’an ‘inda Al-Mu’tazillah (Rasionalisme dalam Tafsir: Sebuah Studi tentang Problem Metafor menurut Mu’tazillah), dan dipublikasikan pada 1982. Setelah itu, dia diangkat menjadi dosen.
Selama periode 1976-1978, Abu Zayd mengajar bahasa Arab untuk orang-orang Asing di Centre for Diplomats dan Kementrian Pendidikan di samping tetap mengajar di Universitas Kairo. Pada 1978 dia menjadi fellow pada Centre for Middle East Studies di Universitas Pensylvania, Philadelphia, Amerika Serikat, di mana dia mempelajari ilmu-ilmu sosial dan humanitas, khususnya teori-teori tentang cerita rakyat (folklore). Pada periode inilah, Abu Zayd menjadi akrab dengan hermeneutika Barat. Dia menulis sebuah artikel “Al-Hirminiyuṭiqa wa mu’dhilat Tafsir Al-Nass” (Hermeneutika dan Problem Penafsiran Teks), yang menurut pengakuannya merupakan artikel pertama tentang hermeneutika yang ditulis dalam bahasa Arab.
Pada 1981, Abu Zayd meraih gelar PhD-nya dalam bidang studi Islam dan Bahasa Arab dari jurusan yang sama dengan predikat cum laude. Dia menulis disertasi berjudul Falsafah Al-Ta’wil: Dirasah fī Ta’wil Al-Qur’an ‘inda Muhy Al Din ibnu ‘Arab (Filsafat Takwil: Studi Hermeneutika Al-Qur’an Muhy Al-Din ibnu ‘Arabi) yang dipublikasikan pada 1983. Abu Zayd dipromosikan sebagai asisten professor pada 1982, tahun di mana dia mendapatkan penghargaan ‘Abd Al-‘Aziz Al-Ahwani untuk Humanitas karena konsernya pada humanitas dan budaya Arab.
Selama 1985-1989, dia menjadi seorang professor tamu pada Osaka University of Foreign Studies, Jepang. Pada 1987, ketika dia masih berada di Jepang, dia dipromosikan sebagai Associate Profesor. Periode Jepang tampaknya merupakan fase sangat produktif baginya. Dalam pepriode inilah, Abu Zayd menyelesaikan bukunya Mafhūm Al-Nass: Dirasah fī Al-Ulum Al-Qur’an (Konsep Teks: Studi tentang Ilmu-ilmu Al-Qur’an) dan menulis artikel-artikel lainnya, yang sebagiannya nanti dipublikasikan dalam Naqd Al-Khithab Al-Dini (Kritik atas Wacana Keagamaan). Sebagian besar artikel yang dimuat dalam buku terakhir ini dipublikkasikan pada akhir 1980-an dan awal 1990-an.[10]
Pada tahun 1992, dia menikah dengan Dr. Ibtuhal Yunis pada saat usianya menginjak 49 tahun. Di tahun yang sama pula, ia mengajukan karya-karyanya untuk dipromosikan mendapat gelar professor penuh di Fakultas Sastra Universitas Kairo. Di antaranya sejumlah karyanya yang diajukan adalah Naqd al-Kitab al-Dini yang diterbitkan pertama kalinya pada tahun 1992 dan langsung membuat namanya melejit di dunia Islam. Namun di tahun ini dimulailah “kasus Abu Zayd” di persidangan yang berakhir dengan vonis murtad atas dirinya dan dituntut menceraikan istrinya pada tahun 1995. Karena karyanya dinilai tidak bermutu, dan promosinya ditolak bahkan dinyatakan menyimpang dan merusak. Prof. Abdul Shabur Shahin, salah satu penguji ketika ia mengajukan promosi profesornya, dalam khutbahnya di masjid ‘Amr bin ‘As menyatakan bahwa Abu Zayd telah murtad, yang kemudian di-amin-kan oleh para khatib lainnya di masjid-masjid pada hari jum’at berikutnya, Mesir pun heboh. Dan pada akhirnya pada 14 Juni 1995, “Mahkamah al-Isti’nāf Kairo” menyatakan Abu Zayd murtad.
Setelah diusir dari Mesir dengan fatwa murtad dan ia menolak untuk mencabut keyakinannya kemudian dijatuhkan vonis hukuman mati yang dituntut oleh Majelis Ulama Al-Azhar kepada pemerintah Mesir, yang kemudian dibuktikan juga dengan dikeluarkannya keputusan dari Mahkamah Agung Mesir pada 5 Agustus 1996, yang juga telah menyatakan ia murtad, maka kemudian pindah ke Madrid, Spanyol pada 23 Juli 1995, bersama-sama dengan istrinya. Sebelum akhirnya menetap di Leiden, Belanda, sejak 2 Oktober 1995 sampai sekarang (data pada tahun 2008).[11]
Hasil karya-karya kritis Nasr seperti Mafhum al-Nas: Dirasah fī `Ulum al-Qur’an (Konsep Teks: Studi Ilmu-ilmu Alqur’an), Isykaliyyat al-Qira’ah wa Aliyat al-Ta’wil (Problem Pembacaan dan Metode Interpretasi), Falsafah al-Ta’wil: Dirasah fi Ta’wil al-Qur’an `inda Ibn `Arabi(Filsafat Hermeneutika: Studi Hermeneutika Alqur’an menurut Ibn Arabi), al-Imam al-Syafi’i wa Ta`sis al-Aidiulujiyyah al-Wasatiyyah (Imam Syafi’i dan Pembasisan Ideologi Moderatisme), al-Ittija al-`Aqli fi at-Tafsi(Rasionalisme dalam Tafsir), Naqd al-Khithab al-Dini (Kritik Wacana Agama), dan lain-lain. Karya-karyanya juga terbit dalam bahasa Inggris seperti Reformation of Islamic Thought: a Critical Historical Analysis; Rethinking the Qur’an: Towards a Humanistic Hermeneutics; dan Voice of an Exile: Reflections on Islam.
2.        Konsep Teks
Persoalan menarik dari pemikiran Nasr adalah diskursus mengenai konsep teks (al-nass).Dalam lintas sejarah dunia Arab, teks memiliki kedudukan penting. Apalagi jika melihat perkembangan sastra era pra Islam sampai Islam. Tradisi lisan mengakar dengan sangat kuat. Konsep teks menjadi begitu penting di mata Nasr, sehingga dalam beberapa bukunya persoalan ini selalu disinggung. Bahkan, salah satu statement Nasr yang mengatakan teks Al-Qur’an adalah produk budaya (muntaj saqafi) merupakan statement yang cukup kontroversial, sehingga mendapatkan respon dari berbagai kalangan.
Istilah teks (text) dalam bahasa Arab disebut “al-nass”, sedangkan dalam bahasa Arab klasik kata “nass” berarti mengangkat.[12] Dalam bahasa-bahasa Eropa, teks (text) berarti suatu jalinan relasi-realasi semantis struktural yang melampaui batas-batas kalimat dalam pengertian gramatikal (nahwiyyah), yaitu suatu makna yang didukung oleh akar kata utamanya dari bahasa latin. Nasr membedakan pengertian teks antara dalam bahasa-bahasa Eropa dan bahasa Arab dengan mengutip makna “al-nass” di kamus lisan al-‘Arab yang bermakna ‘tampak’ dan ‘tersingkap’ sebagai makna utama. Paling tidak ada empat tingkatan pergeseran makna teks, meliputi: makna materil, peralihan dari makna materil, peralihan pada makna konseptual, lalu masuk pada makna terminologis.
Nasr menunjukkan penggunaan kata “-nass” bermakna bayan, sebagaimana telah dipakai oleh Al-Syafi’i. Al-Syafi’I menempatkan “-nass” pada puncak bentuk-bentuk bayan dan mendefinisikan sebagai kata yang “cukup dengann teks itu sendiri tidak membutuhkan takwil”, serta tidak ada alasan bagi seseorang untuk mengabaikannya.[13] Hal ini menunjukkan bahwa apa yang dimaksud teks adalah kejelasan tentang sesuatu (teks), berkaitan dengan persoalan-persoalan tasyri’, seperti shalat, zakat, haji dan lainnya. Teks-teks yang berbicara mengenai hal tersebut merupakan teks mujmal, yang memiliki makna jelas secara tekstual.
Kajian Nasr terhadap teks Al-Qur’an pada dasarnya berangkat dari sejumlah fakta-fakta di sekitar Al-Qur’an itu sendiri yang dibentuk oleh peradaban Arab di satu sisi, dan berangkat dari konsep-konsep yang ditawarkan teks Al-Qur’an di sisi lain. Hal ini menunjukan bahwa sebelum teks Al-Qur’an turun, realitas budaya Arab sudah ada. Selain itu, perjalanan turunnya teks dilepaskan realitas dan budaya yang ada. Dari sinilah Nasr berpendapat bahwa teks adalah produk budaya.
Statemen Nasr bahwa Al-Qur’an adalah produk budaya ini sebenarnya ingin menunjukkan bahwa teks al-Qur’an terbentuk atau diturunkan kepada Nabi Muhammad bukan pada masyarakat yang kosong dari budaya, tetapi teks tersebut di dalam realitas dan budaya lebih dari 20 tahun. Pernyataan Nasr ini sering disalah pahami oleh kalangan penentangnya, bahwa Al-Qur’an benar-benar diproduk oleh budaya, sehingga seolah-olah Al-Qur’an tidak lagi wahyu Allah, tapi makhluk yang dihasilkan oleh budaya. Pada kenyataannya Nasr tidak seperti yang mereka sangka, tetapi justruk benar-benar mengakui bahwa Al-Qur’an adalah wahyu. Ini pun dibuktikan dalam buku “Mafhum Al-Nass” dengan menempatkan diskusi tentang wahyu di bagian permulaan sebelum pembahasan-pembahasan yang lain. Sebagai seorang intelektual, Nasr memiliki latar belakang pendidikan sastra, sehingga ada kemungkinan teori-teori sastra yang dipelajari memiliki pengaruh terhadap pemikiran-pemikiran Nasr. Anggapan bahwa teks Al-Qur’an merupakan produk budaya sebenarnya diambil dari teori kritik sasatra, yaitu teori strukturalisme genetik dan sosiologi sastra.[14]

3.        Teori Interpretasi Teks
Pembahasan tentang Al-Qur-an sebagai sebuah pesan tidak bisa dilepaskan dari kesadaran seorang penafsir mengenai Al-Qur’an sebagai teks linguistik yang memiliki karakteristik sendiri. Menurut Nasr, di dalam makna bahasa terdapat dua dimensi yang tampak terlihat kontradiktif, namun sebenarnya saling melengkapi. Gambaran penjelasan ini terlihat dalam membedakan antara konsep tafsir dan ta’wil. Tafsir memiliki pengertian menyingkap sesuatu yang tersembunyi atau tidak diketahui, yang bisa diketahui karena adanya media tafsirah. Sedangkan, ta’wil adalah kembali ke asal usul sesuatu untuk mengungkapkan ma’na dan magza. Ma’na merupakan dalalah (arti) yang dibangun berdasarkan gramatikal teks, sehingga makna yang dihasilkan adalah makna-makna gramatik (ma’āni al-naḥwi). Sedangkan magzā menunjukkan pada makna dalam konteks sosio-historis. Dalam proses penafsiran kedua hal ini saling berhubungan dengan kuat, magzā selalu mengikuti ma’nā begitu pula sebaliknya.
Perbedaan penting kedua hal tersebut tercermin bahwa proses penafsiran selalu membutuhkan medium tafsirah, sehingga penafsir dapat menyingkapkan apa yang dikehendakinya, sementara dalam proses ta’wil tidak selalu membutuhkan medium tafsirah, bahkan kadang-kadang ta’wil didasarkan pada gerak mental-intelektual dalam menemukan asal mula “gejala”.[15] Hal ini menunjukkan bahwa ta’wil bisa dijalankan atas dasar hubungan langsung antara subjek dan objek. Sementara itu tafsir hanya bisa dijalankan melalui adanya medium, sehingga proses hubungan antara subjek dan objek tidak bersifat langsung. Medium ini berupa teks bahasa atau berupa suatu penanda.
Penafsiran Al-Qur’an sebagai teks bahasa tidak bisa digali hanya dengan menganalisis bahasa secara inheren. Bagaimanapun teks Al-Qur’an turun bukan dalam masyarakat yang sama sekali tidak memiliki budaya. Paling tidak keberadaan asbab al-nuzul merupakan bukti bahwa teks Al-Qur’an telah merespon terhadap kondisi masyarakat saat itu. Oleh sebab itu, bagi Nasr persoalan konteks budaya secara luas yang saat itu berkembang merupakan persoalan penting yang tidak bisa ditinggalkan.
Analisis terhadap teks Al-Qur’an dan tradisi otentik Nabi Saw. Menurut latar belakang konteks yang terjadi saat itu harus dilakukan dalam proses penafsiran. Hal ini disebabkan karena pesan Islam tidak memiliki berbagai pengaruh kalau masyarakat yang pertama kali menerima tidak mampu memahami pesan tersebut. Sementara itu, masyarakat tersebut hanya bisa memahami pesan dalam konteks sosial-budaya mereka sendiri.[16] Pandangan seperti ini menyebabkan lahirnya perbedaan pemahaman terhadap pesan dalam teks yang dilakukan oleh masyarakat dalam konteks sosial-budaya yang berbeda pula.
Perbedaan konteks dan metode melahirkan pemahaman yang beragam seiring dengan perjalanan waktu. Oleh karena itu, pemahaman generasi muslim pertama terhadap pesan teks tidak dianggap sebagai pemahaman yang final dan absolut.[17] Bahasa teks Al-Qur’an pada hakikatnya sama dengan bahasa-bahasa lain. Bahasa selalu mengalami perkembangan secara dinamis melalui proses pengkodean secara terus menerus dan tidak berakhir. Hal ini berarti teks memiliki makna yang berkembang menjadi signifikasi, atau dengan kata lain akan selalu terjadi produksi makna tanpa akhir. Dinamika makna teks tersebut membuat kemungkinan-kemungkinan untuk menafsirkan teks itu secara terus-menerus. Oleh karena itu, proses interpretasi tidak akan pernah berakhir, dan reinterpretasi akan selalu terjadi di sepanjang masa.
Apa yang disampaikan Nasr di atas menunjukkan bahwa interpretasi teks dapat dilakukan siapapun yang memiliki kompeten. Meskipun demikian, Nasr memberikan catatan penting sebelum penafsir melakukan interpretasi. Beberapa teori kontemporer[18] memiliki kecenderungan untukmenekankan aspek internal teks sebagai hubungan-hubungan semantis, sehingga melahirkan pembacaan yang terkait (al-qirā’ah gair al-bariah). Hubungan antara teks dengan pengarang, masa dan realitas yang memproduk teks itu sendiri harus dipisahkan. Pembacaan seperti ini mengakibatkan pembacaan terhadap teks selalu terikat dengan data-data kebahasaan yang terdapat pada teks itu. Hubungan antara teks dengan dunia di luar teks diabaikan, padahal kenyataannya teks tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor eksternal yang turut mempengaruhi teks. Pembacaan terikat atau tidak bebas seperti inilah yang harus ditinggalkan dalam proses interpretasi.
Model pembacaan lain yang harus ditinggalkan oleh penafsir adalah pembacaan tendensius (al-qirāah al-mugridah). Pembacaan tendensius adalah pembacaan teks yang dilakukan sesuai dengan ideologi yang dianut oleh penafsir. Pembacaan tendensius merupakan pembacaan yang dilakukan atas dasar kepentingan, sehingga hasil yang dicapai akan selalu bersifat subjektif. Hal ini karena sejak awal penafsir memiliki kepentingan dan berusaha agar hasil interpretasinya berbicara sesuai yang diinginkannya. Oleh karena itu, sebelum melakukan interpretasi penafsir harus menanggalkan segala macam horizon subjektif yang beredar di otaknya.
Memang harus disadari bahwa untuk melepaskan diri dari ideologi-ideologi yang ada pada diri penafsir bukan persoalan mudah. Dalam hal ini Nasr membuat pemisahan dua dimensi. Makna dalam teks, yaitu antara dalālah dan magzā. Pembedaan antara dalālah dan magzā harus menjadi tuntutan utama agar metodologi interpretasi teks tidak tunduk pada ideologi pengkaji secara serampangan dan vulgar. Secara tegas Nasr menolak kegiatan interaksi dengan teks dan interpretasi terhadapnya dengan landasan opotunistik-pragmatis, karena interaksi dan interpretasi seperti itu dianggap mengabaikan gerak teks (harakah al-naṣṣ) dalam konteks historis dan mengingkari data-data yang memungkinkan untuk membantu mengungkap makna teks.
Aktivitas intelektual pada umumnya dan tindakan pembacaan khususnya bertujuan untuk menyingkap fakta-fakta tertentu dari tataran-tataran eksistensi di liar horizon subjek yang membaca. Apabila horizon pembaca membatasi sudut pandangnya, maka data-data teks tidak berposisi sebagai penerima pasif terhadap orientasi-orientasi subjek. Ini berarti pembacaan dan aktifitas intelektual yang benar itu didasarkan pada dialektika antara subjek dan objek. Berbeda dengan ini, pembacaan tendensius hanya akan menghasilkan ideologi. Kecenderungan subjektifitas oportunistik pada akhirnya akan melahirkan klaim bahwa pembaca mampu menemukan makna, padahal makna yang dihasilkan itu sebenarnya adalah makna yang diinginkan sebelum melakukan pembacaan.
Dalam rangka menanggapi problem diatas, Nasr menawarkan model pembacaan yang disebut al-qirā’ah al-muntijah (pembacaan produktif). Al-qirā’ah al-muntijah yang ditawarkan Nasr sebenarnya kembali masuk dalam diskusi tentang hubungan antara ma’nādan magzā, tapi dalam hal ini Nasr menggunakan dialektika antara istilah dalālah dan magzā. Di sini Nasr terlihat tidak konsisten dalam menggunakan istilah, terkadang menggunkan distingsi magzā dan dalālah, tapi terkadang menggunakan distingsi magzā dan ma’na.
Pada dasarnya dalālah dan magzā merupakan dua bentuk yang digunakan untuk satu pekerjaan. Magza tidak bisa dilepaskan dari sentuhan dalālah, sebab dalalahlah yang mengantarkan magzā sampai pada ma’na yang paling jauh. Sementara itu, untuk mengungkap ma’na dalalah harus melalui media al-tafsirah (denotatum/tanda). Dengan demikian, al-qirā’ah al-muntijah berangkat dari analisis tanda bahasa untuk memperoleh makna tekstual, setelah itu kembali ke asal atau dihubungkan dengan makna konteks sosio-historis untuk memperoleh magzā.[19]
Aktifitas pembacaan ini pada dasarnya adalah proses pengiriman pesan dari pengirim pesan (al-mursil) yang selalu melakukan pembacaan terhadap teks kepada penerima pesan (al-mutalaqqi). Dalam dunia penafsiran dapat ditemukan jumlah tafsir yang begitu banyak. Hal ini selain disebabkan jumlah pembaca yang banyak, juga disebabkan faktor latar belakang pemikiran dan ideologi yang berbeda-beda. Seorang pembaca dalam menafsirkan teks harus menyadari hal ini. Fakta inilah yang membuat Nasr beranggapan bahwa konteks pembacaan termasuk bagian dari struktur teks. Dengan demikian, terlihat bahwa sebenarnya Nasr ingin mengatakan resepsi para penafsir yang pernah ada merupakan persoalan penting yang tidak bisa ditinggalkan dalam proses penggalian makna teks.
4.    Aplikasi Penafsiran Nasr Hamid Abu Zayd
Aplikasi teori Nasr Hamid Abu Zayd berangkat dari teori makna (dalâlah) dan signifikansi (magzâ) sebagaimana dikemukakan sebelumnya dan contoh cara kerjanya sebagai berikut:
Penciptaan Langit dan Bumi
Beberapa teks Al-Qur’an menyebutkan penciptaan langit dan bumi, baik secara global ataupun rinci. Ada yang hanya menyebutkan penciptaan langit saja, dan juga ada yang hanya menyebutkan penciptaan bumi saja. Banyak redaksi ayat yang menjelaskan bahwa langit dan bumi diciptakan dengan “al-haq”. Nasr mengawalinya dengan menunjukkan QS. Al-Nahl ayat 3-4 yang menjelaskan perbandingan antara penciptaan langit dan bumi dengan “al-haq”, dan penciptaan manusia dengan air mani. Perbandingan ini berasal dari dua hal, yaitu penciptaan langit dan bumi yang menyucikan Allah sebagaimana diyakini penduduk Mekkah, dan penciptaan manusia yang kemudian menjadi pembantah. Langit dan bumi diciptakan dengan “al-haq” menunjukkan pada penyucian Tuhan dan penegasian syirk, sedangkan penciptaan manusia dari air mani sebagai bahan yang sangat hina menyebabkan manusia menentang Tuhan dan menginggkari nikmat-nikmat-Nya.
Bagi Nasr dua hubungan penciptaan tersebut bersifat paradoksal, dan mirip dengan ayat yang menjelaskan bahwa penciptaan langit dan bumi lebih dahsyat daripada manusia. Ayat ini berbicara dalam konteks pengingkaran kenabian Nabi Muhammad Saw, dan telah melahirkan ancaman bahwa hari kiamat dekat dengan golongan manusia penentang itu. Hubungan paradoksal tersebut menunjukkan dua proses penciptaan yang berbeda. Proses penciptaan manusia dari air mani menunjukkan danya fase-fase yang harus ditempuh sampai berwujud manusia seutuhnya. Hal ini berbeda dengan penciptaan langit dan bumi yang diciptakan dengan “al-haq”, lalu apa pengertian “al-haq” dalam konteks ayat penciptaan bumi dan langit tersebut. Pertanyaan inilah yang akan dijawab Nasr untuk mengetahui bagimana langit dan bumi diciptakan.
Nasr lalu menunjukkan bahwa ungkapan “al-haq” dalam konteks ayat-ayat penciptaan langit dan bumi dalam formulasi yang berbeda-beda. Nasr membeberkan perselisihan pendapat mengenai makna “bi al-haq” dengan mengutip pendapat Al-Tabari. Ada yang mengatakan bahwa kata tersebut berarti benar dilawankan dengan batil dan salah, dengan didasarkan pada firman Allah Swt, “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan batil”. Keberadaan huruf ba’ dan kata sandang alif lam pada ungkapan “bi al-haq” menunjukkan suatu kemusykilan yang merupakan suatu kebiasaan dalam kalam Arab, sebab orang Arab biasa mengatakan sesuatu yang benar dengan ungkapan “bi al-haq”.
Bagi Nasr penafsiran ini intinya adalah langit dan bumi diciptakan dengan bahan tertentu, karena berangkat analisis preposisi ba’ dan artikel pembatas alif lam yang menunjukkan bahan bukan sifat penciptaan. Nasr lalu menyebutkan penafsiran lain yang mengatakan “al-haq” adalah perkataan Allah, sebab Allah menciptakan segala sesuatu dengan perkataan-Nya, yaitu “jadilah” (kun). Argumen ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam QS. Yasin ayat 82. Jadi, “al-haq” adalah perkataan dan firman Allah Swt, yaitu kun fayakun. Dengan demikian, terdapat perbedaan antara penafsiran ini dengan penafsiran sebelumnya yang mengatakan “al-haq” adalah makna (bahan penciptaan), bukan perbuatan penciptaan (proses).[20]
C.  Hermeneutika Al-Quran Hassan Hanafi
1.    Biografi Hassan Hanafi
Hasan Hanafi adalah seorang cendikiawan Muslim-Mesir kelas dunia (Internationally-qualified Scholars). Aktifitas dia sebagai akademisi plus aktifis dengan segudang tulisan di berbagai media telah menarik perhatian kalangan intelektual Arab, Barat, Eropa, dan bahkan Indonesia sendiri. Gebrakan Hanafi paling tidak memancing beberapa kajian dari sederet tokoh-tokoh besar seperti Kazuo Shimogaki, Muhsin Mili, Issa J. Boullata, Ali Harb, Abdurrahman Wahid, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, serta diskusi-diskusi serius yang diadakan LKiS dan Yayasan Paramadina semenjak tahun 1993.[21] Di samping interest dari beberapa intelektual sebagai indikasi reputasi internasionalnya, jabatannya sebagai guru besar luar biasa (visiting professor) di berbagai universitas terkemuka di banyak negara seperti Prancis (1969), Belgia (1970), Amerika Serikat (1971-1975), Kuwait (1979), Maroko (1982-1984), Jepang (1984-1985), Uni Emirat Arab (1985), dan bahkan sebagai accademic consultant di Universitas Perserikatan Bangsa-bangsa di Tokyo juga tidak dapat diabaikan.[22]
Dilahirkan di kota metropolis Kairo, ibukota Mesir, pada 13 Februari 1935. Sebagaimana anak-anak Arab lainnya, Hasan Hanafi mulai menghafal Al-Qur’an sekitar umur 5 tahun. Sekolah formal ia tempuh mulai dari pendidikan dasar di Madrasah Sulayman Ghawish, pendidikan guru di al-Mu’allimin (pada tahun ke-5 pindah ke sekolah Silahdar), dan tingkat tsanawiyyah (setingkat SLTA untuk Indonesia) di Khalil Agha yang ditamatkan pada tahun 1952.[23] Tahun 1956, Hanafi mendapatkan gelar kesarjanaan pertamanya di Fakultas Sastra Jurusan Filsafat Universitas Kairo. Selanjutnya, selama sepuluh tahun ia menghabiskan waktu belajar di Prancis, di Sorbonne University dan menyelesaikan disertasi monumental dengan judul Essai sur la Methode d’Exegetse. Disertasi yang didaulat sebagai karya ilmiyyah terbaik di Mesir pada tahun 1961 dan berkuantitas 900 halaman ini merupakan upaya Hanafi untuk melakukan dialektika filsafat hukum Islam (Ushul al-Fiqh) dengan teori fenomenologi Edmund Husserl.[24]
Pembicaraan mengenai sosok Hasan Hanafi dan pemikirannya tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan kondisi sosio-politik yang ia hadapi secara terus-menerus semenjak kecil terutama sekali di negaranya, Mesir. Menjelang kelahiran Hasan Hanafi, selama beberapa dekade Mesir menghadapi fakta politik yang sedemikian rumit dan mengkhawatirkan. Di masa penjajahan Inggris, terdapat tiga poros kekuatan yang saling berkonfrontasi, pihak Inggris, Raja, dan partai-partai yang diwakili partai Wafd. Secara diam-diam, Inggris berkoalisi dengan Raja untuk melawan Wafd, namun dengan cara yang sama, Inggris juga bekerja sama dengan partai Wafd untuk menghadapi Raja. Hasilnya, Inggris tetap dominan dengan kekuatan militernya, sementara Mesir sendiri terpecah belah.
Tak cukup dengan rintangan penjajahan dan dominasi militer, ekonomi, dan kultural Barat, Mesir juga berkabung dengan kekalahannya melawan Zionis yang berhasil memproklamasikan berdirinya negara Israel di Palestina. Pada usia yang masih terlalu dini, umur 13 tahun, Hasan Hanafi mendaftarkan diri untuk menjadi sukarelawan melawan Israel. Menimbang usia yang belum cukup, Hanafi tidak diterima. Namun, hal yang menyakitkan bagi Hanafi adalah ia dianggap bukan dari golongan mereka. Kenyataan ini telah membuka pandangan Hanafi, bahwa umat Islam negaranya telah dihantui problem mengenai persatuan.
Kondisi semacam ini dinilai sebagai kegagalan modernisasi dan liberalisasi di Mesir, sehingga kelompok-kelompok Islam tidak lagi mempercayainya. Ketidakpercayaan ini bermuara kepada pilihan alternatif untuk kembali kepada Islam yang cenderung konservatif. Selanjutnya, kelompok ini membangun sebuah pergerakan yang kemudian dikenal luas sebagai Ikhwan al-Muslimin. Beberapa saat berselang, gerakan bawah tanah “perwira bebas” yang dirintis oleh Muhammad Najib, Jamaluddin Nasser, dan Anwar Sadat secara mudah mengakomodasikan diri ke pihak Ikhwan dengan landasan tujuan yang sama. Koalisi ini berhasil meruntuhkan kekuasaan kerajaan sekaligus dominasi Inggris (1952). Sayangnya, setelah Nasser memimpin, kedua kubu ini mulai berkonfrotasi, Nasser menangkap dan membunuh aktifis Ikhwan, dan tentu saja lahirlah konflik baru.
Peristiwa demi persitiwa yang dihadapi dan diperhatikannya di Mesir -dan sepertinya juga negara-negara yang dikunjunginya- telah menyadarkannya bahwa terdapat kesenjangan dalam tubuh umat Islam; kesenjangan yang kemudian menjadi landasan keprihatinan Hasan Hanafi. Hanafi menilai negara-negara Islam yang mayoritas berstatus negara ketiga, bergerak ke belakang dan berada jauh di bawah peradaban Barat. Tidak hanya mengundang dominasi Barat dalam tubuh Islam, kondisi ini juga menampilkan wajah kolonialisme baru yang merusak, merendahkan, dan menciptakan berbagai problem.
Hasan Hanafi seringkali merespon setiap persitiwa politik yang ia hadapi dengan berkarya. Secara garis besar, karya-karyanya bisa dikelompokkan menjadi tiga: periode 60-an, 70-an, dan 80-an sampai 90-an. Periode pertama ditandai dengan aktifitas kuliahnya di Prancis. Di sana ia melahirkan karya trilogi disertasi yang luar biasa. Selanjutnya, mengiringi kekalahan Arab dari Zionis Israel, Hanafi meresponnya dengan rajin mengirimkan tulisan dalam jurnal-jurnal seperti al-Katib, al-Akhbar, al-Adab al-Fikr al-Ma’ashir, dan Minbar al-Islam. Artikel-artikel di jurnal-jurnal tersebut kemudian diterbitkan dalam sebuah buku yang berjudul Qadhaya Ma’ashirah fi Fikr al-Gharb.
Periode 70-an ditandai dengan kepemimpinan Anwar Sadat yang pro Barat dan Israel. Dalam situasi politik yang runyam, Hanafi menulis karya besarnya al-Din wa al-Tsaurat fi Mishr (1952-1981). Buku tersebut merupakan kumpulan artikel-artikel yang ia tulis yang kemudian disusun menjadi delapan jilid, dimana masing-masing jilid memiliki judul tersendiri. Selain itu, ia juga menulis Religious Dialogue and Revolution dan Dirasat al-Islamiyyat.
Untuk periode 80-an, Hasan Hanafi menghadapi fakta politik yang cukup stabil. Dalam kondisi ini ia berhasil merumuskan landasan-landasan teoritis pembebasannya melalui al-Turats wa al-Tajdid. Selanjutnya, ia juga menulis Yasar al-Islami yang lebih mencirikan manisfesto politik ketimbang aturan-aturan teoritis sebagaimana al-Turats wa al-Tajdid. Presentasi-presentasinya di berbagai negara kemudian dikumpulkan dan diterbitkan dalam buku tersendiri yang berjudul Religion, Ideology, and Developement. Selain itu, ia menyelesaikan 5 jilid buku Min al-‘Aqidat ila al-Tsaurat. Sebagai proyek lainnya, oksidentalisme, ia menulis Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab.[25]
2.    Hermeneutika Pembebasan
Pada dasarnya, Hasan Hanafi lebih layak untuk disebut sebagai seorang filosof Muslim ketimbang sebagai ahli hermeneutika atau penafsir. Bukan hanya karena concern-nya yang sangat kuat kepada realitas aktual umat Islam, namun juga karena proyek besar yang diusungnya (al-Turats wa al-Tajdid) seringkali disebut sebagai proyek peradaban yang bertujuan untuk merubah masyarakat[26], dan pembahasan mengenai seni interpretasi, yang dalam hal ini adalah Al-Qur’an, hanyalah salah satu pokok pembahasan yang dibahas dalam skema besar tersebut. Penilaian semacam ini juga bisa dilihat dari bahasan panjang yang ditulis oleh Ali Harb Naqd al-Nash, yang lebih menitikberatkan kritiknya kepada Hasan Hanafi dalam kajian isu-isu yang lebih berbau filosofis daripada kajian Al-Qur’an.[27]
Menurut Amin Abdullah, Hasan Hanafi adalah sarjana pertama yang mencetuskan terminology hermeneutika Al-Qur’an. Meski mengakui bahwa Hasan Hanafi belum menerbitkan karya sistematis mengenai hermeneutika Al-Qur’an (pengakuan tersebut ditulis tahun 2002), artikel-artikel lepasnya telah menunjukkan concern Hanafi kepada agenda hermeneutika Al-Qur’an yang dibangun atas dua agenda: persoalan metodis/teori penafsiran dan persoalan filosofis/matateori penafsiran. Secara metodis, Hanafi menggariskan beberapa langkah baru dalam memahami Al-Qur’an dengan tumpuan utama pada dimensi liberasi dan emansipatoris Al-Qur’an.Sementara untuk agenda filosofis, Hanafi telah bertindak sebagai komentator, kritikus, bahkan dekonstruktor terhadap teori lama yang dianggap sebagai kebenaran dalam metodologi penafsiran Al-Qur’an.
Hanafi telah menelorkan tulisan-tulisan hermeneutikanya seperti dalam Hermeneutics as Axiomatics: an Islamic Model dalam bukunya Relegious Dialog and Revolution yang ditulis diantara tahun 1972-1976. Bahkan, sebenarnya Hanafi telah jauh sebelum itu memulai tulisan hermeneutikanya, jika ditarik sedikit keluar dari konteks Al-Qur’an, ketika ia menulis disertasinya Les Methodes d’Exegese, essai sur La science des Fondamen de la Comprehension, ilm Usul al-Fiqh (Metodologi Penafsiran: Sebuah Upaya Rekonstruksi Ilmu Ushul Fiqh), L’Exegese de la Phenomenologie, L’etat actual de la metode phenomenologique et son application au phenomene religiux (Tafsir Fenomenologis: Status Quo Metode Fenomenologi dan Aplikasinya dalam Fenomena Keagamaan), dan La Phenomenologie de L’Exegese, esay d’une hermeneutique existentielle a partir du Nueveau Testament (Fenomenologi Penafsiran: Risalah Penafsiran Eksistensialisme terhadap Perjanjian Baru) pada tahun 1965-1966. Sedangkan expert-hermeneut lainnya, seperti Fazlurrahman baru memulai tulisan hermeneutisnya dengan Islam and Modernity pada tahun 1977-1978, Major Themes of the Qur’an tahun 1980; Arkoun dengan Lecture de Coran tahun 1982; apalagi dengan Nashr Hamid Abu Zayd, Farid Esack, dan Muhammad Shahrur yang baru menulis karya mereka setelah tahun 1990.[28]
Dalam membangun hermeneutika ala Hasan Hanafi, ia menggunakan beberapa piranti besar, yaitu ushul fiqh, fenomenologi, Marxisme, dan hermeneutika itu sendiri. Dengan menggunakan empat ingridients tersebut, Hasan Hanafi membangun sebuah teori hermeneutika yang mampu mewadahi gagasan pembebasan dalam Islam; tafsir revolusioner yang mumpuni menjadi landasan normatif-ideologis bagi umat Islam untuk menghadapi segala bentuk represi, eksploitasi, dan ketidakadilan, baik dari dalam maupun luar. Di samping itu, bangunan hermeneutika semacam ini juga merupakan upaya Hasan Hanafi untuk melampaui bangunan hermeneutika teoritis yang bertendensi objektifis seperti hermeneutika Fazlurrahman dan Arkoun. Dengan argumentasi bahwa hermeneutika aliran objektifis yang dimasuki pengaruh positifistik tersebut bersifat elitis dan tidak menyentuh masyarakat Islam secara meluas, Hasan Hanafi sendiri menghindari model hermeneutika demikian, dan mengusung hermeneutika yang lebih bersifat praksis dan mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan kronis umat saat ini.[29]
Dari tradisi ilmu-ilmu keislaman klasik, hermeneutika Al-Qur’an Hanafi sengaja memanfaatkan landasan ushul fiqh sebagai titik tolak. Sebab secara praktis, ia melihat adanya keterkaitan yang erat antara kegiatan penafsiran di satu sisi, dan proses pembentukan hukum di sisi yang lain. Mengingat yang terakhir ini berusaha merumuskan hukum dalam menghadapi tuntutanb realitas sosial, maka jelas ushul fiqh kompatibel dengan kepentingan hermeneutika pembebasan Hanafi yang berbicara tentang kebutuhan dan kepentingan kaum Muslim dalam menghadapi berbagai persoalan kontemporer mereka.
Hasan hanafi dalam hal ini memperbincangkan beragam problematika teoretis yang berkenaan dengan masalah-masalah sosial dalam ushul fiqh, seperti asbab an-nuzul, an-nasikh wa al-mansukh, dan mashlahah. Asbab an-nuzul dimaksudkan oleh Hanafi untuk menunjukkan prioritas kenyataan sosial. Sementara an-nasikh wa al-mansukh mengasumsikan gradualisme dalam penetapan aturan hukum, eksistensi wahyu dalam waktu, perubahannya menurut kesanggupan manusia, dan keselarasannya dengan perkembangan kedewasaan individu dan masyarakat dalam sejarah. Ada pun konsep mashlahah berangkat dari pendasaran wahyu sebagai bagian dari peristiwa sejarah dan tuntutan kemaslahatan manusia. Dapat dipahami dari maksud praksis hermeneutika pembebasan Al-Qur’an Hanafi jika tidak semua masalah dan pendirian dalam ilmu fiqih dan ushul fiqh perlu diterima.[30]
Hasan Hanafi lebih lanjut melengkapi pemikirannya dengan kontribusi fenomenologi, terutama dalam kaitannya dengan kritik eidetik atau usaha transendensi “metafisika” teks,[31] dan sebaliknya mengupayakan penafsiran atas dasar pengalaman eksperimental penafsir. Studi fenomenologi bertujuan untuk menggali kesadaran terdalam para subjek mengenai pengalaman beserta maknanya, sementara fenomena itu sendiri adalah peristiwa/pengalaman yang masuk ke dalam kesadaran subjek.[32] Kesadaran ini sepertinya diaplikasikan oleh Hasan Hanafi ketika merefleksikan sosok, karakter, dan landasan penafsir yang ideal. Menurutnya, penafsir tidak boleh berhenti pada batas komentator atau retoris. Penafsir harus melampaui keduanya dengan menjelma sebagai penafsir yang reformis. Selain itu, kesadaran tersebut juga berimplikasi pada pandangannya mengenai asbab al-nuzul sebagai berita mengenai peristiwa yang mengitari turunnya Al-Qur’an yang dapat membantu penafsir tradisional untuk memahami ayat dengan tepat. Akan tetapi, informasi tersebut perlu dipahami dalam kerangka bahwa peristiwa tersebut merupakan pengalaman hidup yang dialami sahabat. Artinya, asbab al-nuzul dalam pengertian tradisional tersebut berubah menjadi situasi kemanusiaan empiris.[33]
Pemikiran lain yang berpengaruh dalam penyusunan kerangka hermeneutika Al-Qur’an yang bercorak sosial tersebut adalah Marxisme. Namun demikian, tanpa Marxisme sekalipun Hasan Hanafi cukup memiliki referensi revolusioner dalam gerakan pemikiran Islam, terutama yang diinspirasi oleh Al-Afgani dan Sayyid Qutb. Akan tetapi, penguasaannya pada pemikiran Marx dan perkenalannya pada beragam bentuk teologi pembebasan yang bercorak kiri sangat membantu Hanafi secara metodologis dalam menganalisis berbagai kontradiksi dalam realitas umat Islam saat ini.
Dalam Marxisme klasik dikenal dengan filsafat dialektika dan materialisme historis. Jika filsafat dialektika lebih tepat dianggap sebagai epistemologi pemikiran Marx, materialisme historis adalah dilsafat dan teori Marx tentang sejarah. Hanafi memang tidak menggunakan teori materialisme sejarah Marx. Akan tetapi, sebagaimana layaknya pemikir Marxis dan neo-Marxis berlakangan, Hanafi banyak meminjam instrumen dalam Marxisme, terutama metode dialektika, dalam menajamkan kritik terhadap realitas dan pengujian teks pada realitas. Hanafi, misalnya, curiga terhadap klaim hermeneutika objektif yang di belakangnya mungkin saja bersembunyi kepentingan kelas tertentu. Teks dan penafsiran juga selalu dilihat memiliki struktur ganda yang merefleksikan struktur ganda dalam masyarakat dalam pengertian Marxisme. Demikian pula pandangannya bahwa hermeneutika tidak boleh berarti teori semata, tapi lebih sebagai kontinum dari kritik sejarah, penafsiran, hingga praksis, merupakan elaborasi lebih lanjut pemikiran Marxisme ke dalam hermeneutika Al-Qur’an yang bercorak pembebasan.[34]
Hermeneutika, yang disamakan oleh Hasan Hanafi dengan tafsir, bukan hanya teori interpretasi teks, melainkan sebagai ilmu yang menerangkan wahyu Tuhan dari tingkat kata ke dunia, menerangkan bagaimana proses wahyu dari huruf ke realitas, atau dari logos ke praktis, dan selanjutnya transformasi wahyu dari pikiran Tuhan menjadi kehidupan nyata.[35] Ia mengkritik model tafsir konvensional, dan juga tafsir kontemporer, yang ia anggap tidak melek realitas. Terutama sekali, ia mengkritik Al-Azhar yang masih menggunakan metode yang memiliki gap antara teks ilahi dengan wacana atau realitas manusiawi. Sebagai hasilnya, ia menekankan sisi realitas dalam hermeneutikanya. Ia menyatakan bahwa sebelum mengaplikasikan sebuah teori penafsiran, seseorang harus merefleksikan terlebih dahulu pengalaman yang hidup pada kesadaran pribadi atau jamaah yang menyebabkan suatu ayat diturunkan. Menurutnya, sebuah ayat bukanlah pendapat, orientasi, atau makna abstrak, melainkan sebuah jawaban terhadap kegelisahan, kesulitan, dan penderitaan individu-individu yang diresponnya. Pada sisi lain, ia juga menegaskan bahwa dalam penafsiran, upaya untuk kembali kepada sumber (Al-Qur’an) akan menemukan kebuntuan, sehingga alternatifnya adalah kembali kepada. Dengan model ini, ia mencita-citakan tafsir yang memperbaiki manusia atau yang ia sebut sebagai tafsir reformis, dan penafsir yang reformer/mushlih.
Hermeneutika pembebasan Al-Qur’an dari Hasan Hanafi cenderung unik. Hal ini karena Hanafi menerima baik asumsi teoretik hermeneutika Al-Qur’an yang bercorak filosofis, maupun yang sifatnya metodis. Bahkan dalam kadar yang relatif minim, hermeneutika pembebasan dari Hanafi mencirikan pula kecenderungan metodologis dari hermeneutika kritis, varian lain dari mazhab pemikiran dalam hermeneutika. Terhadap hermeneutika metodis, Hasan Hanafi menginginkan hermeneutika pembebasan yang ia ajukan sebagai ilmu pengetahuan yang rasional, formal, objektif fan universal. Dalam hal ini, ia mengandaikan seorang interpreter yang “memulai pekerjaannya dengan tabula rasa, tidak boleh ada yang lain, selain analisis linguistiknya,” sebuah pendirian yang mirip dengan analisis struktur internal menurut Abu Zayd.
Akan tetapi, belakangan, warna hermeneutika filosofis menjadi lebih dominan dalam bangunan pemikirannya. Ia menyatakan bahwa tidak ada hermeneutika yang absolut, universal, dan objektif. Hermeneutika selalu bersifat sosial dan praksis. Sebagai bentuk eksplisit dalam langkah model filosofis ini, ia menekankan pentingnya penafsir untuk menentukan terlebih dahulu kepentingan apa yang ia bawa sebelum menafsirkan; kepentingan yang direfleksikan dari kegelisahan yang dirasakan ketika memperhatikan permasalahan yang melanda umat. Dalam pengertian yang terakhir ini, Hasan Hanafi juga cenderung mencurigai tendensi kekuasaan dan dominasi di balik teks dan penafsiran. Dengan konstruk, posisi, dan dinamika hermeneutika Hasan Hanafi di atas, dapat dilihat ciri khas serta posisi terminologi hermeneutika yang ia sebut dengan Hermeneutika Pembebasan di antara teori-teori para hermeneutika lainnya.[36]
3.        Langkah Metodis Penafsiran Al-Qur’an dan Aplikasinya
Mengenai kritik eiditis, proses pemahaman terhadap teks, dalam pandangan Hanafi, bukanlah monopoli atau wewenang suatu lembaga atau agama melainkan ditentukan atas aturan-aturan tata bahasa dan situasi kesejarahan yang menyebabkan munculnya teks.[37] Di sini, ada tiga tahap analisis: pertama, analisis bahasa, kedua, analisis konteks sejarah, dan ketiga, generalisasi, yaitu mengangkat makna dari situasi ”saat” dan situasi sejarahnya agar dapat menimbulkan situasi-situasi lain. Hanafi ingin memperoleh makna baru dari penafsiran untuk menyikapi berbagai kasus spesifik dalam kehidupan masyarakat.
Selanjutnya, generalisasi pada tahap eidetis membuka jalan bagi kritik praksis yang menjadi tujuan hermeneutika aksiomatik. Hermeneutika pembebasan Al-Qur’an yang memang merupakan cara baca Al-Qur’an dengan maksud-maksud praksis menaruh perhatian besar pada transformasi masyarakat. Sebagai langkah praktis dari ketiga metode di atas, dan juga sebagai implikasi dari ciri khas tafsir beliau yang praksis, Hassan Hanafi telah merumuskan langkah-langkah interpretasi sebagai berikut:
a.    Komitmen politik sosial. Mufassir memiliki keprihatinan dan kepedulian atas kondisi kontemporernya karena baginya, mufassir adalah revolusioner, reformis, dan aktor sosial.
b.    Mencari sesuatu. Mufassir memiliki “keberpihakan” berupa kesadaran untuk mencari solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi. Di sinilah, Hanafi melihat asbab al-nuzul lebih pada realitas sosial masyarakat saat Al-Qur’an diturunkan.[38]
c.    Sinopsis ayat-ayat yang terkait pada satu tema. Semua ayat yang terkait pada tema tertentu dikumpulkan secara seksama, dibaca, dipahami berkali-kali hingga orientasi umum ayat menjadi nyata. Ia menegaskan bahwa penafsiran tidak berangkat dari ayat sebagaimana tafsir tahlili, tapi dari kosa kata Al-Qur’an.
d.   Klasifikasi bentuk-bentuk linguistik, meliputi kata kerja dan kata benda, kata kerja-waktu, kata sifat kepemilikan, dan lain-lain.
e.    Membangun struktur makna yang tepat sesuai dengan sasaran yang dituju yang berangkat dari makna menuju objek. Keduanya adalah satu kesatuan. Makna adalah objek yang subjektif, sedang objek adalah subjek yang objektif.
f.     Analisis situasi faktual. Setelah membangun tema sebagai struktur yang ideal, penafsir beralih pada realitas faktual seperti kemiskinan, HAM, penindasan, dan lain-lain.
g.    Membandingkan yang ideal dengan yang riil. Struktur ideal dideduksikan dengan menggunakan analisis isi terhadap teks dengan situasi faktual yang diinduksikan dengan menggunakan statistik dan ilmu-ilmu sosial. Di sini, penafsir berada di antara teks dan realitas.
h.    Deskripsi model-model aksi. Sekali ditemukan kesenjangan antara dunia ideal dengan riil, maka aksi sosial menjadi langkah berikutnya. Transformasi dari teks ke tindakan, teori ke praktik, dan pemahaman ke perubahan.
Untuk lebih jelasnya bagaimana Hanafi melakukan praktik atas langkah-langkah metodisnya, berikut akan dipaparkan contoh penafsiran Hanafi tentang ayat-ayat yang terkait dengan masalah tanah. Penafsiran Hanafi terkait tanah ini tak lepas dari peristiwa pengambilalihan/pendudukan tanah yang terjadi pada masa pemerintahan Anwar Sadat yang pro-Barat dan berkolaborasi dengan Israel.[39]
Sinopsis ayat diperlihatkan dengan usahanya mengumpulkan beberapa ayat yang relevan (Q.S. 29: 56, 2: 17, 3:109, 5:40, 5:120, 7:158, 9:116, 39:63, dan lain-lain). Proses klasifikasi linguistik terlihat pada deskripsinya bahwa al-ardh disebut 462 kali, 454 kali sebagai kata benda berdiri sendiri, 8 kali dihubungkan dengan kata ganti kepunyaan, dan hanya sekali yang dihubungkan dengan orang pertama yang dalam hal ini adalah Tuhan (Al-Ankabut: 56). Ini mengindikasikan bahwa tanah bukanlah ”objek kepemilikan”. Tanah ada dalam kategori ‘ada’ (makhluk), bukan kepunyaan. Hanya sekali kata al-ardh dihubungkan kepada orang pertama.Ia digunakan dalam hubungan Tuhan, yang berarti bahwa Tuhan adalah satu-satunya pemilik tanah.
Melalui analisis struktur makna, ia menyimpulkan lima orientasi makna dari kata al-ardh. (1) Tuhan adalah satu-satunya pemilik tanah dan ahli waris tanah. Di sini, al-ardh berarti bumi, seluruh tanah. Jadi, tak ada seorang pun yang bisa menuntut bahwa tanah adalah miliknya. (2) al-ardh sebagai tanah alam yang subur dan indah. Agrikultur (pertanian) adalah gambaran kreativitas dalam kehidupan manusia. Tanah menjadi tempat tinggal seluruh makhluk hidup. Tanah juga merupakan tanah konflik, sebuah medan perang, sebuah tanah imigrasi dan pengasingan, tanah percobaan dan daya tarik. Jadi, al-ardh adalah di mana sejarah manusia bertempat. (3) Tanah adalah tempat aksi bagi manusia sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. (4) Alam patuh dan taat pada manusia sebagaimana ia patuh pada dan taat pada Tuhan. Warisan tanah bukanlah penyerahan untuk selamanya.Tanah adalah untuk dilindungi, bukan dirusak atau dikotori. (5) Sebuah perjanjian universal ditawarkan pada setiap individu; perjanjian moral, bukan material, unilateral atau sepihak.
Kemudian dengan analisis situasi faktual, maka makna yang cocok dan dibutuhkan untuk kasus ini adalah tanah merupakan milik Tuhan, bukan untuk diperebutkan oleh manusia, apalagi melibatkan unsur penindasan. Hasan Hanafi membedakan makna ideal dengan makna riil bahwa makna ideal adalah tanah diartikan sebagai tanah alam, tanah hijau, dan keindahan, sementara untuk makna riil, ia menegaskan bahwa Tuhan satu-satunya pemilik dan ahli waris tanah.[40]
Dengan menggunakan basis langkah interpretasi Hasan Hanafi di atas, maka penafsirannya dapat diidentifikasi bahwa komitmen politik sosial Hanafi sebagai penafsir tidak bisa dilepaskan dari kegelisahannya terhadap kasus penempatan tanah tersebut. Keberpihakan penafsir juga terlihat dari usahanya untuk menjelaskan bahwa penempatan tanah tersebut adalah usaha yang menindas.
D.      Hermeneutika Al-Quran Fazlur Rahman
1.        Biografi Fazlur Rahman
Fazlur Rahman lahir di Hazara -kini menjadi bagian dari Pakistan- pada 21 September 1919. Situasi ketika ia dilahirkan memberi pengaruh bagi perkembangan pemikirannya di kemudian hari. Perdebatan publik di antara berbagai golongan Muslim yang terjadi sebelum kelahirannya mewarnai kehidupan sosial negerinya.[41] Perdebatan ini mulai menanjak ketika Pakistan dinyatakan berpisah dari India dan menjadi sebuah negara yang berdaulat dan merdeka pada tanggal 14 Agustus 1947.[42] Di tengah perdebatan inilah yang menjadi pemicu baginya untuk mendalami seluk-beluk keilmuan Islam dan menguasai berbagai arus metodologi pemikiran.
Rahman lahir dan dibesarkan dari keluarga yang mementingkan pendidikan. Ayahnya, Maulana Syahab al-Din adalah seorang ulama tradisional yang bermazhab Hanafi.[43] Meskipun ayahnya seorang tradisionalis, namun ia tak seperti kebanyakan ulama di zamannya yang menentang dan menganggap pendidikan modern dapat meracuni keimanan dan moral. Menurutnya, Islam harus menghadapi realitas kehidupan modern, tidak hanya sebagai sebuah tantangan (challenge) tetapi juga merupakan kesempatan (opportunity).[44] Keyakinan sang ayah inilah yang kelak dipatrikan pada Fazlur Rahman.
Sekolah modern dimasukinya di Lahore tahun 1933. Pendidikan tingginya ditempuh di Punjab University jurusan Bahasa Arab, dan selesai dengan gelar BA tahun 1940. Gelar Master untuk jurusan ketimuran juga diraihnya di universitas yang sama tahun 1942.[45] Menyadari bahwa mutu pendidikan di India saat itu masih rendah, Rahman memutuskan untuk memperdalam ilmunya di Inggris.[46] Pada tahun 1946, ia masuk Oxford University dan kemudian menyandang gelar doktor di bidang sastra pada tahun 1950.
Setamat dari Oxford University, Rahman tidak langsung pulang ke Pakistan, selama beberapa tahun, ia memilih mengajar di Eropa. Hingga tiga tahun kemudian, semangat patriotik kenegaraannya mengalahkan segalanya. Hal itu karena, setelah pemerintahan Pakistan bergulir di tangan Ayyub Khan yang berpikiran modern, Rahman terpanggil untuk membenahi negeri asalnya dan rela meninggalkan karier akademiknya demi sebuah tantangan yang menghadang di negeri sendiri. Ia lalu ditunjuk menjadi direktur Pusat Lembaga Riset Islam selama satu periode (1961-1968).[47] Di masa ini, ia tercatat memprakarsai terbitnya Journal of Islamic Studies, tempat ia menampungkan gagasan-gagasannya.
Rahman bekerja sangat serius, langkah yang diambilnya adalah strategi ganda, yakni mengangkat orang tamatan madrasah yang memiliki pengetahuan bahasa inggris dan memberikan pelatihan teknik-teknik riset modern juga mengirim beberapa orang ke luar negeri untuk memperoleh pelatihan dan gelar dalam kajian-kajian Islam. Akan tetapi, usaha ini tidak berlangsung lama. Penunjukan dirinya sebagai direktur sebenarnya tidak direstui oleh kalangan ulama tradisionalis. Karenanya, wajar bila selama kepemimpinannya lembaga riset kerap menuai kecaman dan serangan dari kaum tradisionalis dan fundamentalis. Puncaknya meletus ketika dua bab pertama dari bukunya, Islam, dipublikasikan Fikr-u-Nazr. Masalah sentralnya adalah seputar hakikat wahyu Al-Qur’an. Rahman menulis bahwa “Al-Qur’an secara keseluruhannya adalah Kalam Allah, dan dalam pengertian biasa, juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad”.[48]
Fenomena tersebut memaksa Rahman untuk kembali meninggalkan tanah kelahirannya. Ia melihat negaranya belum siap menyediakan lingkungan akademik yang bebas dan bertanggung jawab. Pada tahun 1970 Rahman berangkat ke Chicago, dan langsung dinobatkan menjadi guru besar untuk pemikiran Islam di Universitas Chicago. Universitas tersebut merupakan tempatnya menelurkan banyak karyanya. Tempat ini pula yang menjadi tempat persinggahan terakhirnya, hingga wafatnya pada 26 Juli 1988. Selama 8 tahun terakhirnya, selain mengajar di Universitas Chicago, ia kerap diminta memberikan kuliah di universitas lain. Rahman menjadi Muslim pertama penerima medali Giorgio Levi della Vida, yang melambangkan puncak prestasidalam bidang studi peradaban Islam dari UCLA.
Adapun karya-karya Fazlur Rahman yang diaplikasikan dalam bentuk buku adalah sebagai berikut: Avicenna’s Psychology (1952), Prophecy in Islam Philosophy and Orthodoxy (1958), Islamic Metodology in History (1965), Islami (1966), The Philosophy of Mulla Sandra (1975), Major Themes of The Qur’an (1980), Islam and Modernity: Tranformasi of Intellectual Tradision (1982), Health and Medicine in Islam Tradition; Change and Identity (1987), Revival and Reform in Islam (2000). Dalam bentuk jurnal ilmiah, karyanya tersebar dibanyak jurnal, baik jurnal local (Pakistan) maupun internasional, serta dimuat dalam banyak buku. Jurnal-jurnal yang memuat tulisannya adalah Islamic Studies, The Muslim World dan Studia Islamica. Sedangkan buku-buku suntingan terkemuka yang memuat karyanya antara lain: Theology and Law in Islam yang diedit oleh G.E. von Grunebaum; The Encyclopedia of Relegion yang diedit oleh Richard C. Martin, Islam Past Influence and Present Challenge yang diedit oleh Alford T. Welch dan P. Cachia, dan lain sebagainya.[49]
2.    Respon Rahman terhadap Gerakan-gerakan Pembaharuan
Kehadiran Rahman dalam daftar nama-nama pemikiran Islam membawa sesuatu yang baru terhadap pemikiran Islam. Meskipun sebenarnya pembaharuan dalam Islam telah dilakukan oleh beberapa pemikir Islam sebelum Rahman, namun pembaharuan yang mereka dengungkan masih dalam taraf yang sangat dangkal, bukan tidak mungkin penafsiran mereka masih berbentuk tekstual, sehingga kemunculannya banyak mempunyai kelemahan-kelemahan serta tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan umat kekinian. Seperti pembaharuan yang berkembang pada abad pertengahan, mereka mendesakkan pembebasan ijtihad (kebebasan berpikir) dan menyingkirkan segala bentuk taqlid kepada ulama-ulama abad pertengahan dengan mengambil posisi dari yang keras sejauh mereka menerima Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber materi agama. Bahkan menolak qiyas, metode alasan analogis, untuk menafsirkan Al-Qur’an dan sunnah. Implikasinya mereka terjebak dalam penafsiran menurut yang tertulis dalam Al-Qur’an dan sunnah.[50] Fenomena tersebut sebagai salah satu alasan yang membuat kegelisahan Rahman untuk mendefinisikan kembali Islam dalam konteks modernitas dalam gerakan neo-modernisme[51] Islam.
Pembaharuan-pembahruan dalam Islam terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan paradigma yang mempengaruhinya. Secara umum Rahman mempetakan gerakan pembaharuan dalam Islam kepada empat kelompok gerakan, yaitu: revivalisme pra-modernis, modernisme klasik, neo-revivalisme dan neo-modernisme. Kelompok neo-modernisme inilah Rahman berdiri, bahkan mengklaim dirinya sebagai juru bicaranya. [52]
Kelompok neo-modernisme, munculnya gerakan ini tidak terlepas dari pengaruh pemikiran neo-revivalisme, namun kelompok ini tidak menjaga jarak dengan Barat, hanya saja mereka mengembangkan sikap kritis terhadapnya secara objektif. Oleh karena kehampaan metodologi yang mengakibatkan tidak konsisten dalam menganalisis, akhirnya kelompok ini mengembangkan sebuah analisis yang tepat dan logis untuk mengkaji Al-Qur’an Karenanya, dalam konteks ini, Rahman mencanangkan suatu penyusunan metodologi yang tepat dan logis untuk mengkaji Al-Qur’an, yaitu hermeneutika Al-Qur’an- sebuah metode yang mengkaji Al-Qur’an secara komprehensif dan mampu menjawab persoalan-persoalan umat di zaman sekarang.[53] Metodologi ini diharapkan dapat melakukan rekonstruksi sistematis atas Islam namun tetap berpegang pada akar-akar spiritualnya.
3.    Al-Qur’an dalam Perspektif Rahman
Sebelum membicarakan tentang hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, menarik untuk dieksplorasi konsep Rahman tentang Al-Qur’an. Konsep Rahman tentang Al-Qur’an, sebagaimana yang dapat disimpulkan dalam bukunya Islam, adalah:
Al-Qur’an secara keseluruhan adalah kata-kata (kalam) Allah, dan dalam pengertian biasa, juga keseluruhannya merupakan kata-kata Muhammad. Jadi, Al-Qur’an murni kata-kata Ilahi, namun tentu saja, ia sama-sama secara intim berkaitan dengan personalitas paling dalam Nabi Muhammad yang hubungannya dengan kata-kata (kalam) Ilahi itu tidak dapat dipahami secara mekanis seperti hubungan sebuah rekaman. Kata-kata (kalam) Ilahi mengalir melalui hati Nabi.[54]
Definisi Rahman di atas, mengasumsikan bahwa pola hubungan atau model pewahyuan yang dibangun antara Al-Qur’an (sebagai sebuah teks; The Text), Allah adalah pengarang (The Author) dan Muhammad (The Reader and the author). Pengasumsian Muhammad sebagai penerima sekaligus pembicara ini menegaskan bahwa secara psikologi Muhammad berpartisipasi baik mental maupun intelektual dalam penerimaan wahyu itu. Oleh karena itu, Al-Qur’an harus dipahami dalam konteks yang tepat yakni perjuangan Nabi dan latar belakang dari perjuangan tersebut.[55]
4.    Gagasan Hermeneutika dalam Menginterpretasikan al-Qur’an
Gagasan untuk menjadikan Al-Qur’an universalitas dan fleksibilitas, Al-Qur’an tidak bisa dipahami secara atomistik, melainkan harus sebagai kesatupaduan yang terjalin sehingga menghasilkan suatu weltanschauung yang pasti. Pemahaman seperti ini yang tidak didapatkan dalam penafsiran-penafsiran klasik, mereka terlalu asyik bermain dengan kata-kata yang menyebabkan mereka terjebak dalam penafsiran literal-tekstual. Bagi Rahman fenomena ini terjadi dikarenakan ketidaktepatan dan ketidaksempurnaan alat-alat yang disebabkan kegersangan metode penafsiran.
Untuk mengantisipasi persoalan tersebut, Rahman menawarkan suatu metode yang logis, kritis, dan komprehensif, yaitu hermeneutika doble movement (gerak ganda interpretasi).[56] Metode ini memberikan pemahaman yang sistematis dan kontekstualis, sehingga menghasilkan suatu penafsiran yang tidak atomistik, literalis dan tekstualis, melainkan penafsiran yang mampu menjawab persoalan-persoalan kekinian.
Persoalan mengapa harus mengetahui masa Al-Qur’an diturunkan, sedangkan masa dahulu dengan masa sekarang tidak mempunyai kesamaan, Rahman mengatakan: Al-Qur’an adalah respon Ilahi melalui pikiran dan ingatan Nabi, kepada situasi moral-sosial masyarakat Arab pada masa Nabi.[57] Artinya, signifikansi pemahaman setting-social Arab pada masa Al-Qur’an diturunkan disebabkan adanya proses dialektika antara Al-Qur’an dengan realitas, baik itu dalam bentuk tahmil (menerima dan melanjutkan), tahrim (melarang keberadaannya), dan taghiyyur (menerima dan merekonstruksi tradisi).[58]
Adapun mekanisme hermeneutika doble movement yang ditawarkan Fazlur Rahman dalam menginterpretasi Al-Qur’an adalah:
a.    Gerak Pertama
Gerakan pertama, yakni dari situasi sekarang ke masa Al-Qur’an diturunkan, terdiri dari dua langkah:
Langkah Pertama, merupakan tahap pemahaman arti atau makna dari suatu pernyataan dengan mengkaji situasi atau problem historis dimana pernyataan Al-Qur’an tersebut merupakan jawabannya. Tentu saja, sebelum mengkaji ayat-ayat spesifik dalam sinaran situasi-situasi spesifiknya, suatu kajian mengenai situasi makro dalam batasan-batasan masyarakat agama, adat-istiadat, lembaga-lembaga bahkan mengenai kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada saat turunnya Islam dan khususnya di Makkah akan dilakukan. Jadi, langkah pertama dari gerakan yang pertama adalah memahami makna Al-Qur’an sebagai suatu keseluruhan di samping dalam batas-batas ajaran yang khusus yang merupakan respon terhadap situasi-situasi khusus.
Langkah Kedua, menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik itu dan menyatakan sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum yang dapat “disaring” dari teks-teks spesifik dalam sinaran latar belakang sosio-historis dan ratio-legis (illat hukum) yang sering dinyatakan. Sesungguhnya langkah pertama itu -pemahaman teks spesifik- sendiri mengimplikasikan langkah kedua dan akan mengantar ke arah itu.[59]
b.   Gerak Kedua
Gerakan kedua merupakan proses yang berangkat dari pandangan umum ke pandangan khusus yang harus dirumuskan dan direalisasikan sekarang, yakni yang umum harus diwujudkan dalam konteks sosio-historis konkret sekarang. Ini sekali lagi memerlukan kajian teliti terhadap situasi sekarang dan analisis terhadap berbagai unsur komponen sehingga sejauh yang diperlukan, dan sehingga kita bisa menentukan prioritas-prioritas baru untuk bisa mengimplementasikan nilai-nilai Al-Qur’an. Dengan demikian, metodologi yang diintrodusir oleh Rahman adalah metode berpikir yang bersifat reflektif, mondar-mandir antara deduksi dan induksi secara timbal balik.
Jika dicermati teori double movement Fazlur Rahman, tampaknya mencoba mendialektikakan text, author, dan reader. Sebagai author, Rahman tidak memaksa teks berbicara sesuai dengan keinginan author, melainkan membiarkan teks berbicara sendiri. Untuk mengajak teks berbicara, Rahman menelaah historisitas teks. Historis yang dimaksudkan disini bukanlah semata-mata asbab al-nuzul sebagaimana yang dipahami oleh ulama konvensional, yaitu peristiwa yang menyebabkan Al-Qur’an diturunkan[60], melainkan lebih luas dari itu, yaitu setting-sosial masyarakat Arab dimana Al-Qur’an diturunkan atau lebih tepat disebut qira’ah al-tarikhiyyah.
Tujuan menelaah histories teks di sini yaitu untuk mencari nilai-nilai universal, dalam bahasa Rahman menyebutnya dengan ideal moral, sebab ideal moral berlaku sepanjang masa dan tidak berubah-ubah. Dalam hal ini, Rahman membedakan antara ideal moral dengan legal spesifik. Ideal moral adalah tujuan dasar moral yang dipesankan Al-Qur’an. Sedangkan legal spesifik ketentuan hukum yang diterapkan secara khusus. Ideal moral lebih patut diterapkan ketimbang ketentuan legal spesifik. Sebab, ideal moral bersifat universal. Al-Qur’an dipandang elastis dan fleksibel. Sedangkan legal spesifik lebih bersifat particular.[61]
Selain teori doble movement, Rahman juga menggunakan teori lain dalam menginterpretasikan Al-Qur’an, khususnya ayat-ayat metafisika. Metode tersebut adalah metode sintetis-logis. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Rahman sendiri:
Kecuali dalam penggarapan beberapa tema penting semisal aneka ragam komunitas agama, kemungkinan dan aktualitas mu’jizat, serta jihad, yang kesemuanya menunjukkan evolusi melalui Al-Qur’an, prosedur yang digunakan dalam mensintetis-kan tema-tema, lebih bersifat logis ketimbang kronologis.[62]
5.    Melacak Akar Teori Double Movement
Jika dicermati, teori doble movement yang diusulkan Rahman merupakan perpaduan antara tradisionalis Muslim dengan hermeneutika Barat Kontemporer. Ini menunjukkan, Fazlur Rahman dalam membangun teori doble movement tidak terlepas dari pengaruh atau minimal memiliki horizon yang sama dengan kedua pemikiran tersebut.
Sebagai sebuah teori dan sistem interpretasi, hermeneutika jelas sangat diperlukan dalam memahami Al-Qur’an, yakni dalam rangka memberi makna dan memproduksi makna sehingga teks menjadi hidup dalam konteks apa pun. Terkait dengan hermeneutika ini, paling tidak ada dua aliran utama, yakni aliran objektivis dan aliran subjektivis. Dalam hal ini, Rahman dapat dikategorikan sebagai pemikir aliran objektivis. Ia tampaknya terpengaruh oleh hermeneutika model Emelio Betti yang masih mengakui original meaning (makna otentik), ketimbang hermeneutika Hans-Georg Gadamer (penganut aliran subjektivis) yang sudah tidak percaya lagi pada original meaning.[63]
Meskipun Fazlur Rahman sealiran dengan Betti yang masih percaya pada makna objektif dan juga masih mengakui adanya original meaning, namun ada perbedaan mengenai konsep the original meaning antara Betti dan Rahman. Jika Betti berkeyakinan bahwa makna asli suatu teks terletak pada akal pengarang, di mana dalam proses interpretasinya, teks harus dibawa kepada pikiran pengarang,[64] maka tidak demikian halnya dengan Rahman yang menganggap makna asli teks dapat dipahami melalui konteks sejarah ketika teks itu ditulis atau diturunkan.[65]
Menurut Rahman, Al-Quran adalah respon Tuhan terhadap realitas yang muncul sehingga setiap ayat yang turun bukanlah kalimat yang berdiri sendiri, melainkan ia terkait dengan konteks sosio-historis, budaya, dan problem yang dihadapi saat itu. Dengan kata lain, Al-Qur’an dan asal-usul komunitas Islam muncul dalam sinaran sejarah dan berhadapan dengan latar belakang sosio-historis.[66]
Langkah pertama dari gerakan ganda adalah upaya sungguh-sungguh memahami konteks mikro dan makro di saat Al-Qur’an diturunkan. Setelah itu, mufassir mencoba menangkap makna asli (original meaning) dari ayat Al-Qur’an dalam konteks sosio-historis era kenabian. Dari situ maka akan ditemukan ajaran universal Al-Qur’an yang melandasi berbagai perintah normatif Al-Quran. Kedua, melakukan generalisasi jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan moral-sosial yang disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio-historisdan ratio legis yang sering dinyatakan.[67]
6.    Hermeneutika Al-Qur’an dan Persoalan Kontemporer
Gagasan hermeneutika Al-Quran Rahman merupakan suatu tawaran yang menarik, ketika kita mencoba mencermati dan mengaitkannya dengan persoalan kontemporer. Sebagai contohnya adalah ayat yang membicarakan tentang poligami.
QS. An-Nisa’ (4): 3
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ  
Ayat tersebut turun sebagai respon terhadap perilaku para wali dari anak-anak yatim, baik laki-laki maupun perempuan yang sering menyelewengkan harta kekayaan mereka.[68] Kemudian Al-Quran menyerukan agar mereka (para wali) tidak menyelewengkan harta itu, dan mereka boleh mengawini (perempuan yatim) sampai empat orang di antara mereka, asalkan mereka dapat berlaku adil. Seruan ini juga didukung oleh QS. An-Nisa’ (4): 127.[69]
Pernyataan di atas dengan melihat asbab al-nuzul-nya menunjukkan bahwa masalah ini muncul dalam konteks perempuan-perempuan yatim. Tapi kemudian Al-Qur’an memperingatkan bahwa “betapapun mereka (para wali) itu berupaya (berkeinginan mengawini sampai empat), namun kalian, kata Allah, tidak akan dapat berlaku adil kepada perempuan-perempuan tersebut.” (QS. An-Nisa’ (4): 129).
Pandangan-pandangan Al-Quran di atas, menurut Fazlur Rahman terdapat distingsi (antara aspek legal dan ajaran moral Al-Qur’an), yaitu: izin untuk beristri empat orang, dan keharusan untuk berlaku adil kepada mereka. Berdasarkan atas distingsi ini, Rahman kemudian berkesimpulan bahwa:
Yang benar nampaknya bahwa diizinkan poligami adalah pada taraf legal, sementara sanksi-sanksi yang diberikan kepadanya pada hakekatnya adalah sebuah cita-cita moral yang mana masyarakat diharapkan bergerak kearahnya, karena tidak mungkin untuk menghapuskan poligami secara legal sekaligus.[70]
Dari alasan tersebut dapat disimpulkan bahwa, kebolehan berpoligami pada dasarnya lahir sebagai jawaban bagi wali yang tidak berlaku adil bagi anak yatim, baik laki-laki maupun perempuan. Dan Al-Quran membolehkan mereka (para wali) mengawini perempuan yatim itu dijadikan istri sampai batas empat orang. Tujuan Al-Qur’an di sini adalah untuk menguatkan bagian-bagian masyarakat yang lemah (seperti orang-orang miskin, anak yatim kaum wanita, budak-budak, dan orang yang terjerat hutang)[71] sehingga tercipta sebuah tatanan masyarakat yang etis dan legaliter. Karena sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan perempuan yatim, dan kebutuhan berpoligami dengan syarat berleku adil tidak mungkin (mustahil), maka proses poligami ke monogami ini membutuhkan pentahapan-pentahapn perubahan legislasi Islam seperti fenomena yang sama terjadi dalam kasus perbudakan. Jadi monogami lebih kontekstual dalam legislasi Islam.[72]
E.  Kesimpulan
Harus diakui bahwa hermeneutika memang menawarkan sesuatu yang sangat menarik dalam wacana penafsiran kitab suci. Pola penafsiran yang ditawarkannya di satu sisi mengungkap asumsi-asumsi metodologis yang manusiawi karena tidak hanya memperhatikan isi teks, tetapi juga mempertimbangkan keberadaan konteks yang melingkup teks tersebut, baik konteks psikologis maupun konteks sosial. Di sisi lain, hermeneutika membuka jalan bagi upaya kontekstualisasi kitab suci sehingga dapat berdialog dan operasional-fungsional dalam berbagai ruang dan waktu yang berbeda, sebagaimana yang diidamkan dan dipegangi secara apologis oleh banyak kalangan umat beragama terhadap kitab sucinya masing-masing.
Meskipun wacana hermeneutika sendiri harus dikatakan sangat plural dan beragam, baik dari aspek tokoh-tokohnya maupun dari segi pola-pola aplikasinya, tetapi secara umum hermeneutika tidak pernah melepaskan diri dari ketiga komponen pokoknya, yaitu teks, konteks dan kontekstualisasi yang diidealkan beroperasi secara sinergis dalam memahami, menafsirkan sekaligus melakukan produksi mana baru sesuai dengan realitas ruang dan waktu kontekstual, khususnya ketika diaplikasikan sebagai media untuk memahami kita suci. Selain sumbangan pemahaman yang komprehensif dengan menimbang dimensi konteks dan secara aktif melakukan kontekstualisasi, hermeneutika menyumbangkan sebuah kesadaran yang sangat vital dalam kehidupan sosial manusia, yaitu kesadaran yang akan pluralitas. Kesadaran bahwa realitas kehidupan tidak pernah tunggal dan satu dimensi, namun senantiasa multidimensi dapat dikatakan merupakan kesadaran yang sangat diperlukan di era globalisasi informasi saat ini. Tidak ada orang yang bisa hidup tanpa berinteraksi dan bersinggungan dengan yang lain. Ketidakmampuan untuk mengapresiasi dan mengakui yang lain hanya akan membawa seseorang terasing dari realitas hidupnya sendiri. Di titik inilah hermeneutika menemukan relevansinya dengan tawarannya untuk menimbang pluralitas dalam konteks dan progresifitas dalam kontekstualisasi ketika seseorang melakukan aktifitas pemahaman dan penafsiran.







[1] Dalam literatur Islam klasik, Hermes tidak lain adalah Nabi Idris yang sering disebut penemu tulisan, memiliki kemampuan teknologi, kedokteran, astrologi, sihir, dan lain-lain. Sementara dalam mitologi Mesir kuno, kaum Yahudi mengenalnya sebagai dewa toth, atau Nabi Musa. Lihat Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan; Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hasan Hanafi, (Jakarta: Teraju, 2002), hlm. 46.
[2] E. Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 24-25.
[3] Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), hlm. 6-7.
[4] Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, hlm. 15-16.
[5] Kurdi, dkk., Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm 116.
[6] Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd, (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 15-16.
[7] Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an, hlm. 16.
[8] Al-Adab, No. 5, Thn. 9, (Oktober 1964), h. 310-11; artikel ini pada awalnya tidak mencantumkan nama penulisnya, namun pada Al-Adab, No. 8, Thn. 9 (Januari 1965), editor mengoreksi bahwa penulis artikel itu adalah Nasr Hamid Abu Zayd. Keterangan ini penulis ambil dari Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an, hlm. 16-17.
[9] Al-Adab, No. 7 (1964), h. 406-8 dalam Moch.Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an, hlm. 17.
[10] Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an, hlm. 17-20.
[11] Syamsudin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gima Insani, 2003), hlm. 187-188.
[12] Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003), hlm. 93.
[13] Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Nass wa Al-Sultah wa Al-Haqiqah, (Beirut: Al-Markaz Al-Saqafi Al-Arabi, 2000), hlm. 150-151.
[14] Kurdi, dkk., Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis, hlm. 122-123.
[15] Kurdi, dkk., Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis, hlm 124-126.
[16] Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Qur’an, Hermeneutik dan Kekuasaan, Terj. Dede Iswadi, dkk, (Bandung: Korpus, 2003), hlm. 96.
[17] Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Qur’an, Hermeneutik dan Kekuasaan, hlm. 96.
[18] Di antara teori-teori ini adalah teori strukturalisme.
[19] Kurdi, dkk., Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis, hlm 127-129.
[20] Kurdi, dkk., Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis, hlm 134-136.
[21] Moh. Nurhakim, Islam, Tradisi, dan Reformasi: “Pragmatisme” Agama dalam Pemikiran Hasan Hanafi, (Jawa Timur: Bayu Media Publishing, 2003), hlm. 19
[22] Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, hlm. 70.
[23] Achmad Khudori Sholeh, “Mencermati Hermenutika Humanistik Hasan Hanafi” dalam M. Alfatih Suryadilaga, Jurnal Studi Ilmu-ilmu Alquran dan Hadis,Vol. 11, No. 1, Januari 2010, hlm. 42.
[24] Abad Badruzzaman, Kiri Islam Hasan Hanafi: Menggugat Kemapanan Agama dan Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), hlm. 42.
[25] Moh. Nurhakim, Islam, Tradisi, dan Reformasi, hlm. 11-18.
[26] Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, hlm. 99.
[27] Ali Harb, Naqd al-Nash, Terj. M. Faisol Fatawi, (Yogyakarta: LkiS. 2003), hlm. 31.
[28] Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, hlm. xix-xxiv.
[29] Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, hlm. 8-9.
[30] Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, hlm. 100.
[31] Metafisika teks di sini adalah masalah-masalah eskatologis dan metafsis, sekaligus mencakup masalah-masalah klasik mengenai Al-Qur’an.
[32] Peter Connoly, Aneka Pendekatan Studi Agama, Terj. Imam Khoiri, (Yogyakarta: LKiS, 2012), hlm. 110.
[33] Hasan Hanafi, Al-Turats wa Al-Tajdid, Terj. Yudian W. Asmin, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2001), hlm. 8.
[34] Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, hlm. 102-104.
[35] Hasan Hanafi, Hasan Hanafi, Al-Turats wa Al-Tajdid, hlm. 35.
[36] Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, hlm. 97-98.
[37] Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris: Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan, (Jakarta: P3M, 2004), hlm. 32.
[38] Ahmad Baedowi, “Tafsir Tematik Menurut Hasan Hanafi” dalam M. Alfatih Suryadilaga, Jurnal Studi Ilmu-ilmu Alquran dan Hadis, Vol. 10, No. 1, Januari 2009, hlm. 43.
[39] Kazuo Shimogaki, Kiri Islam: Antara Modernisme dan Posmodernisme: Telaah Kritis Pemikran Hassan Hanafi, Terj. M. Imam Aziz & M. Jadul Maula, (Yogjakarta: LKiS, 2003), hlm. 96.
[40] Muhammad Aji Nugroho, Hermeneutika Al-Qur’an Hasan Hanafi (Dari Teks ke Aksi; Merekomendasikna Tafsir Tematik/Maudhui), Artikel Ilmiah, (Salatiga: IAIN Salatiga, 2013), hlm. 17-18.
[41] Ada tiga kubu yang berseteru: kaum modernis, kaum tradisionalis, dan kaum funamentalis. Kaum modernis merumuskan konsep kenegaraan Islam dalam bingkai term ideologi modern, kaum tradisionalis menawarkan konsep kenegaraan yang didasarkan atas teori-teori politik tradisionalis Islam: khalifah dan imamah, sedangkan kaum fundamentais mengusulkan konsep kenegaraan “kerajaan Tuhan”.
[42] Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, hlm. 17.
[43] Sebuah mazhab Sunni yang lebih rasionalis dibanding mazhab lain (Syafi’i, Maliki, dan Hanbali).
[44] Kurdi, dkk., Hermeneutika Al-Quran dan Hadis, hlm. 61.
[45] Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, hlm. 18.
[46] Keputusan yang dinilai berani, sebab terdapat anggapan bahwa sangat aneh jika seorang Muslim belajar Islam di Eropa. Kalaupun berhasil, orang tersebut sangat sulit diterima kembali oleh masyarakatnya, tak jarang juga mereka mengalami penindasan.
[47] Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, hlm. 18.
[48] Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, hlm. 20.
[49] Kurdi, dkk., Hermeneutika Al-Quran dan Hadis, hlm. 64
[50] Fazlur Rahman, Islam, Terj. Sinoaji Saleh, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 315.
[51] Neomodernis adalah penamaan aliran/gerakan. Istilah ini secara sederhana dapat diartikan dengan “paham modernisme baru”, Neomodernisme digunakan untuk memberi identitas pada kecenderungan pemikir Islam yang muncul dalam dekade terakhir yang berusaha menjembatani bahkan mengatasi pemikiran tradisionalisme dan modernisme. Artinya, jika modernisme sangat perhatian terhadap rasionalisme, modernisme mencoba mengambil apa yang ditinggal oleh gerakan modernisme. di samping kemunculan Neomodernis karena tuntutan zaman yang kurang mendapat antisipasi oleh pemikiran keislaman yang sudah mapan secara historis. Lihat Ahmad Amir Aziz, Neo-Modernisme Islam di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), hlm. 15-16.
[52] Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, hlm. 25.
[53] Kurdi, dkk, Hermeneutika Al-Quran dan Hadis, hlm. 68.
[54] Fazlur Rahman, Islam, hlm. 32-35.
[55] Kurdi, dkk, Hermeneutika Al-Quran dan Hadis, hlm. 69.
[56] Adapun yang dimaksud gerakan ganda adalah: dimulai dari situasi sekarang ke masa Al-Qur’anditurunkan dan kembali lagi ke masa kini. Lihat Fazlur Rahman, Islam and Modernitas: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago and London: University Press, 1982), hlm. 6.
[57] Fazlur Rahman, Islam and Modernitas, hlm. 6.
[58] Ali Shodiqin, Antropologi Al-Qur’an: Model Dialektika Wahyu dan Realitas, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hlm. 116-117.
[59] Fazlur Rahman, Islam and Modernitas, hlm. 7.
[60] Muhammad Abdul ‘Azim al-Zarqani, Manahil Al-‘Irfan fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiah, 2003), hlm. 63.
[61] Kurdi, dkk, Hermeneutika Al-Quran dan Hadis, hlm. 73.
[62] Fazlur Rahman, Major Themes of The al-Qur’an, (Chicago: Minneapolis-Bibliotheca Islamica, 1980), hlm. xi.
[63] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LkiS, 2010), hlm. 175.
[64] Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, Terj. Ahmad Sahidah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 465.
[65] Fazlur Rahman, Islam and Modernity, hlm. 8-9.
[66] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, hlm. 179.
[67] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, hlm. 181.
[68] Abdul Fatah Abdul Ghani Al-Qadhi, Asbab al-Nuzul ‘an al Shahabah wa al-Mufassirin (Mesir: Dar al-Salam, 2005), hlm. 64.
[69] Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam al-Qur’an (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandah lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil, dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan. Maka sesungguhnya Allah maha Mengetahuinya. (QS. An-Nisa’ (4): 127).
[70] Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur’an, hlm. 70.
[71] Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur’an, hlm. 68.
[72] Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur’an, hlm. 71.

No comments:

Post a Comment