Wednesday, November 15, 2017

PENDEKATAN SEMANTIK KAJIAN ATAS KARYA TOSHIHIKO IZUTSU ( ETICHO RELIGIOUS CONCEPTIN THE QUR’AN & GOD AND MAN IN THE QUR’AN)

PENDEKATAN SEMANTIK KAJIAN ATAS KARYA
TOSHIHIKO IZUTSU ( ETICHO RELIGIOUS CONCEPTIN THE QUR’AN & GOD AND MAN IN THE QUR’AN)
Lucky Andriyantoko (16771007)
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Program Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

A.  Dasar Pemikiran
Sebagai sebuah Kitab Suci, al-Qur‘an ternyata sangat menarik perhatian tidak saja umat Islam, namun juga non-Muslim. Kajian mengenai al-Qur‘an tidak hanya dilakukan oleh umat Muslim, tapi juga oleh kalangan non-Muslim. Akan tetapi kelompok yang disebutkan terakhir tidak memandang al-Qur‘an sebagaimana kelompok pertama. Mayoritas kaum Muslim meyakini bahwa al-Qur‘an adalah  kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad melalui perantaraan Jibril, kemudian diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya  secara mutawâtir, yang tertulis dalam mushaf dan membacanya dianggap ibadah. Keyakinan demikian pada gilirannya menimbulkan ketertarikan dalam diri kaum Muslim tersebut untuk memahami kandungan al-Qur‘an, sehingga melahirkan karya melimpah yang terhimpun dalam kitab-kitab tafsir. Sementara non-Muslim pada umumnya memandang al-Qur‘an bukanlah firman Tuhan, tapi sebagai ucapan Muhammad.
Ketertarikan umat Muslim untuk mengkaji al-Qur‘an tentu saja tidak menimbulkan keheranan, karena al-Qur‘an adalah kitab suci dan pedoman hidup mereka. Sebaliknya, ketertarikan non-Muslim terhadap al-Qur‘an sering mengundang tanda tanya. Apa motivasi yang mendorong mereka mendedikasikan hidupnya untuk menggeluti al-Qur‘an, sementara dalam hati mereka tidak ada keyakinan terhadap al-Qur‘an dan ajaran-ajarannya sebagai berasal dari Tuhan.
Walau begitu, beberapa non-muslim yang melakukan pengkajian terhadap Islam terdapat beberapa hal yang layak diberi apresiasi. Salah satunya adalah Toshihiko Izutsu yang mengkaji al-Qur’an lewat pendekatan semantiknya. Makalh kali ini akan mencoba mengulas buku kedua Izutsu seorang sarjana Jepang penganut Zen Budhism, dalam bukunya God and Man in the Qur’an: Semantics of the Qur’anic Weltanschauung.
Dalam buku ini, Toshihiko Izutsu memfokuskan pembahasan mengenai konsep al-Qur‘an tentang relasi antara Tuhan dan manusia. Relasi Tuhan dan manusia berdasarkan al-Qur‘an, menurutnya, memiliki empat bentuk, yaitu: ontologis, komunikatif, tuan-hamba, dan etik.
Secara umum relasi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama, bahwa Tuhan adalah sumber wujud. Ia adalah pencipta segala yang ada, termasuk manusia. Dengan demikian, secara ontologis, relasi antara Tuhan dengan manusia adalah relasi antara pencipta dan makhluk. Kedua, antara Tuhan (pencipta) dan manusia (makhluk) senantiasa terdapat jalinan komunikasi. Jalinan ini memiliki dua bentuk, yaitu: bersifat verbal atau linguistik, dan non linguistik. Ketiga, karena Tuhan adalah pencipta dan pemelihara manusia, maka manusia harus tunduk dan mengabdi kepada-Nya dengan sepenuh hati, sebagaimana seorang hamba mengabdi kepada tuannya. Dengan demikian relasi ini dapat digambarkan sebagai relasi tuan-hamba. Dan keempat, menurut konsep al-Qur‘an, Tuhan bersifat etik dan tindakannya terhadap manusia dilakukan dengan cara yang etik. Sifat dan tindakan Tuhan tersebut membawa kepada pengertian yang sangat penting bahwa manusia diharapkan untuk memiliki sifat etik dan merespon tindakan Tuhan dengan cara yang etik pula.

Banyak biografi tentang Toshihiko Izutsu yang telah ditulis, baik dalam media cetak maupun elektronik. Untuk lebih menambah wawasan, maka saya mengambil biografi Toshihiko Izutsu dari sebuah jurnal Qur’anic Studies, Edinburgh University. Tohihiko Izutsu lahir pada 4 Mei 1914 di Tokyo, dimana ayahnya merupakan master Zen dalam agama Budha. Izutsu telah diperkenalkan dengan Zen Budha sejak usia dini dan ketertarikanya dengan agama Islam dimulai ketika di duduk di bangku sekolah menengah atas. Secara periodik dia mengunjungi masjid dan The Turkish Islamic Centre di Tokyo, mempelajari kedua bahasa baik bahasa turki maupun bahasa arab disana. Perlu diketahui bahwa guru Islam pertamanya adalah Tatar Turks yang berhasil melarikan diri dari Rusia setelah Revolusi Bolshevik.[1]
Mentor awal yang penting juga bagi Izutsu adalah Musa Carullah Bigiyef seorang ulama dan reformis,[2] dimana Izutsu belajar al-kitab Sibawayhi dan Shahih Muslim serta sya’ir-syair arab sebelum kedatangan Islam. Izutsu belajar Sastra Inggris di Universitas Keio dan pada tahun 1942, mulai bekerja sebagai seorang ahli dalam bahasa Timur di Universitas Institut Kebudayaan dan Linguistic Studies. Dia menjadi Kepala Departemen Studi Arab pada tahun 1945. Pada tahun 1950 Izutsu menjadi Asisten Profesor, tahun 1954 ia diangkat sebagai Profesor di Keio dan bekerja di sana sampai 1968.[3]
Izutsu mendapatkan beasiswa Rockefeller Fellow scholarship pada tahun 1959, ia menetap di Mesir dan Libanon hingga penghujung tahun 1961. Dia menemui banyak ulama muslim disana, termasuk Rashid Ridha, Ibrāhīm Madhkūr, Aḥmad Fuʾād Akhwānī and Muḥammad Kāmil Ḥusayn. Tahun 1962, Izutsu diundang oleh Wilfred Cantwell Smith ke kanada, dimana dia dijadikan profesor tamu di Universitas McGill hingga tahun 1969. Kemudian dia diberikan mandat untuk mengajar full-time di program professor McGill dan bekerja disana hingga 1974. Disana juga ia bertemu Seyyed Hossein Nasr, A. Rusen Sezer and Hermann Landolt. Izutsu mengajar di cabang universitas McGill di Teheran sejak 1972. Di akhir tahun 1974, dia meninggalkan McGill atas undangan Hossein Nasr. Ketika masih berada di Iran, dia juga bertemu dengan para akademisi seperti Sayyid Jalāl al-Dīn Ashtiyānī, Henry Corbin, James Morris and Mohammed Arkoun. Dia meninggalkan Iran pada malam tahun 1979, ketika berkecamuknya Revolusi Iran dan pindah ke Jepang, dimana ia diangkat sebagai Profesor Emeritus di Universitas Keio tahun 1982. Ia menerbitkan berbagai buku selama periode ini dan meninggal di rumah pada 7 Januari 1993.[4]
Izutsu telah menulis beberapa karya yang menyangkut tentang al-Qur’an, diantara tulisan-tulisan yang diterbitkan adalah sebagai berikut:
1.    The Structure of the Ethical Terms in the Quran: A Study in Semantics (Tokyo: Keio University, 1959).
2.    God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung (Tokyo: Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1964)
3.    The Concept of Belief in Islamic Theology: A Semantic Analysis of Īmān and Islām (Tokyo: Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1966).
4.    Ethico-religious Concepts in the Qurʾān (Montreal: McGill University Press, 1966)
Ada beberapa alasan mengapa hasil penelitian Izutsu ini menarik untuk dikaji. Pertama, Izutsu merupakan sosok intelektual yang dikenal memiliki pengetahuan yang baik tentang Islam. Toshihiko Izutsu adalah tokoh utama pertama pada masa kini yang melakukan kajian Islam dengan serius tidak hanya dari perspektif non-Muslim tetapi juga non-Barat. Izutsu juga didukung dengan penguasaanya lebih dari tiga puluh bahasa dunia termasuk Yahudi, Persia, Cina, Turki, Sansekerta, dan Arab, serta beberapa bahasa Eropa modern.
Kedua, ia merupakan sarjana non Muslim yang dengan metode dan pendekatan yang dipakainya kalau dipandang dengan sikap tebuka, tanpa kecurigaan akan tujuan-tujuan negatif yang tersembuyi dapat membuka cakrawala baru atau mengingatkan lagi pada khazanah yang selama ini terlupakan. Di antara sebabnya, menurut Machasin, karena kalangan non Muslim (outsiders) relatif dapat bersikap lebih netral terhadap data-data historis yang tersimpan dalam karya-karya kaum Muslim sendiri.[5]

Izutsu menerangkan metodologi pembacaan teks al-Qur’an secara gamblang terutama dalam dua buku karyanya yaitu: The Structure of Ethical Terms in the Quran: A Study in Semantics dan God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung. Izutsu mengatakan bahwa al-Qur’an dapat didekati dengan sejumlah cara pandang yang beragam seperti teologi, psikologi, sosiologi, tata bahasa, tafsir dan lain sebagainya. Izutsu sendiri menggunakan pendekatan yang disebutnya sebagai pendekatan semantik untuk kajian al-Qur’an. Analisis semantik atau konseptual digunakan untuk mengkaji bahan-bahan yang disediakan oleh kosakata al-Qur’an. Dengan kata lain, semantik merupakan metodologinya, sedangkan al-Qur’an merupakan materinya.
Semantik adalah cabang linguistik yang meneliti arti atau makna. Semantik sebagai cabang ilmu bahasa mempunyai kedudukan yang sama dengan cabang-cabang ilmu bahasa lainnya. Semantik berkedudukan sama dengan fonologi, morfologi, dan sintaksis. Di sini, yang membedakan adalah cabang-cabang ilmu bahasa ini terbagi menjadi dua bagian besar yaitu morfologi dan sintaksis termasuk pada tataran gramatika, sedangkan fonologi dan semantik termasuk pada tataran di luar gramatika.[6] Singkatnya, semantik adalah ilmu bahasa yang mempelajari arti kata atau makna kata.
Izutsu sendiri memberikan penjelasan tentang semantik yang akan digunakan dalam kajianya. Semantik yang dimaksud Izutsu adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual weltanschauung atau pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa itu, tidak sebagai alat bicara dan berfikir, tetapi lebih penting lagi, pengkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya.[7]
Lebih lanjut Izutsu mengatakan bahwa kata-kata atau konsep dalam al-Qur’an itu tidak sederhana. Kedudukanya masing-masing saling terpisah, tetapi sangat saling bergantung dan menghasilkan makna konkret justru dari seluruh sistem hubungan itu. Dengan kata lain, kata-kata itu membentuk kelompok-kelompok yang bervariasi, besar dan kecil, dan berhubungan satu sama lain dengan berbagai cara, demikianlah pada akhirnya menghasilkan keteraturan yang menyeluruh, sangat kompleks dan rumit sebagai kerangka kerja gabungan konseptual.[8] Hubungan antara kata inilah yang akan diteliti disamping mengetahui makna dasar dari kata tersebut.[9]
Kemudian Izutsu membedakan antara makna dasar kata dan makna relasional. Menurutnya, makna dasar kata adalah sesuatu yang melekat pada kata itu sendiri, yang selalu terbawa dimanapun kata itu diletakkan. Sedang makna relasional adalah sesuatu yang konotatif, yang diberikan dan ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata itu pada posisi khusus dalam bidang khusus, berada pada relasi yang berbeda dengan semua kata-kata penting lainya dalam sistem tersebut.[10]
Contohnya kata ‘yaum’ yang memiliki arti kata dasar ‘hari’. Hal ini akan berlaku bila kita menempatkan kata ini bersamaan dengan peristiwa yang biasa dijalani, maka sifatnya netral dan berarti ‘hari’ sebagaimana biasanya. Bila kita melihat variasinya dalam al-Qur’an, kita akan menemukan konsep ‘yaum’ sebagai hari akhir dengan sedikit ditandai warna eskatologis. Pendek kata ‘al-yaum’ ‘hari’ dalam pengertian ini bukan hari biasa, tetapi ‘hari akhir’ atau ‘hari pengadilan’.[11]
Namun ada suatu ketika kekuatan modifikasi seluruh sistem pada kata itu bekerja begitu kuatnya sehingga akhirnya hampir menghilangkan makna konseptual aslinya. Bila ini terjadi, kita mendapatkan sebuah kata yang berbeda. Dengan kata lain, kita menyaksikan sebuah kelahiran kata baru.
Izutsu menerangkan contoh yang paling terkenal adalah kata kafara. Kafara berarti tidak bersyukur untuk menunjukkan rasa tidak bersyukur terhadap perbuatan baik atau pertolongan yang ditunjukkan oranglain. Kata ini berarti berlawanan dengan kata ‘syakaro’ yang berarti bersyukur. Namun, ketika konsep-konsep Islam masuk dan memberikan warna baru bagi kosakata bahasa arab, kafaro tidak sesederhana sikap tidak bersyukur, tetapi tidak bersyukur kepada Tuhan, atau lebih tepatnya lagi, mengingkari kebaikan-kebaikan Tuhan yang telah diberikan kepadanya.[12]
Selanjutnya, perlu diingat bahwa salah satu konsep essensial dalam al-Qur’an adalah kepercayaan atau keyakinan ‘iman’. Nah, disini kata ‘kafara’ mulai sedikit-demi sedikit menyimpang dari arti aslinya yaitu tidak bersyukur dan semakin dekat pada makna ‘tidak percaya’ sebagai pengingkaran terhadap konsep iman. Kini kafara bukan lagi lawan kata dari syakaro, melainkan lawan kata dari aamana yang berarti menolak keimanan atau keluar dari iman.
Izutsu melanjutkan bahwa yang dicari bukan hanya relasi kata tersebut dengan kata lainya atau dalam bentuk-bentuk tertentu dalam susunanya, melainkan juga makna relasional yang kongkret, atau kristalisasi dari semangat budaya dan refleksi yang terpercaya dari kecenderungan umum, keadaan psikologik dan lainya dari masyarakat yang emmakai kata tersebut sebagai bagian kosakatanya.
Analisis semantik bukanlah analisis sederhana mengenai struktur bentuk kata maupun studi makna asli yang melekat pada bentuk kata itu atau analisis etimologi. Etimologi hanya dapat memberikan petunjuk bagi kita untuk mencapai makna ‘dasar’ kata. Analisis semantik lebih dari itu, jika diklasifikasi, ia diaku sebagai ilmu budaya. Analisis unsur-unsur dasar dan relasional terhadap istilah kunci harus dilakukan dengan cara yang sedemikian rupa, sehingga jika kita benar-benar berhasil melakukanya, kombinasi dua aspek makna kata akan memperjelas aspek khusus. Satu segi yang signifikan dengan budayanya, atau pengalaman yang dilalui oleh budaya tersebut. Dan pada akhirnya, jika kita mencapai tahap akhir, semua analisis akan membantu kita merekonstruksi pada tingkat analitik struktur keseluruhan budaya itu sebagai konsepsi masyarakat yang sungguh-sungguh ada. Inilah yang disebut Izutsu sebagai weltanschauung semantik budaya.[13]
Analisis ini menurut penulis bermula dengan mencari makna dasar suatu kata, kemudian mencari hubungan antara kata itu dengan kata yang lain yang disebut makna relasional. Makna relasional ini secara tidak langsung akan menggambarkan budaya pada masa dimana kata itu digunakan. Dengan mengetahui budaya dari relasi kata tersebut, maka proses rekonstruksi budaya bisa dilakukan yang mana rekonstruksi ini membentuk konsepsi masyarakat pada masanya.
Hal ini bisa dipahami bahwa bahasa merupakan kunci sebuah kebudayaan manusia. Setiap bagian dari belahan dunia memiliki bahasanya masing-masing yang itu bukan hanya menunjukkan bahasa, melainkan konsepsi yang berisi kepercayaan dan hal-hal lainya dalam komunitas tersebut. Wajar bila Izutsu ingin mengetahui budaya dan konsepsi masyarakt pada zaman itu dengan menggunakan analisis bahasa dengan makna dasar dan relasionalnya.

Dalam bab kedua ini Izutsu menerangkan tentang semantik sinkronik dan diakronik yang akan digunakan dalam telaahnya terhadap istilah-istilah kunci dalam al-Qur’an. Sebagaimana disinggung diatas, Izutsu mencoba menelaah weltanschauung al-Qur’an melalui kosakata-kosakatanya. Diakronik menurut pengertian etimologi adalah pandangan terhadap bahasa, yang pada prinsipnya menitikberatkan pada unsur waktu. Dengan demikian, secara diakronik kosakata adalah sekumpulan kata yang masing-masingnya tumbuh dan berubah secara bebas dengan caranya sendiri yang khas. Beberapa kata dalam kelompok itu dapat berhenti tumbuh dalam pengertian berhenti penggunaanya oleh masyarakat dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan kata-kata lainya dapat terus digunakan dalam jangka waktu yang lama. Sekali lagi kata-kata baru dapat melakukan debutnya di gelanggang pada titik waktu tertentu dan memulai sejarahnya pada periode itu. [14]
Dengan kata lain, terdapat kosakata yang seiring dengan zaman dilupakan dan tidak digunakan oleh masyarakat sehingga kosakata ini dinamakan mati atau tidak tumbuh. Dilain waktu, terdapat kosakata baru yang masuk dalam perbendaharaan kata dan digunakan masyarakat pada waktu itu.
Kosakata yang terkumpul pada satu waktu membentuk jaringan dan pola kalimat sebagai hasil budaya masyarakat. Dalam hal ini Izutsu menyebut sebagai permukaan. Pada permukaan yang seperti itulah dan hanya pada permukaan itu sajalah, kata-kata tersebut muncul dihadapan kita dalam bentuk jaringan konsep yang rumit. Sehingga sudut pandang yang melintasi garis-garis historis kata-kata tersebut memungkinkan kita dengan cara tersebut untuk memperoleh suatu sistem kata yang statis, disebut singkronik.[15]
Kosakata dalam pengertian khusus ini, yakni permukaan kata yang statis, sesungguhnya merupakan sesuatu yang artifisial. Ia merupakan kondisi statis yang dihasilkan secara artifisial oleh satu pukulan dalam arus sejarah terhadap semua kata-kata dalam bahasa pada suatu titik waktu tertentu. Lintas-bagian yang dihasilkan memberikan kesan kepada kita sebagai sesuatu yang statis, namun sebenarnya hanya tampaknya seperti itu. Dengan kata lain, ia hanya statis bila dilihat dari sudut pandang makroskopik. Secara mikroskopik, permukaan tersebut menggelegakkan kehidupan dan gerakan. Keadaan tersebut tampak sangat jelas bila bahasa berada dalam periode kritis dan revolusioner.[16]
Semantik historis bukanlah pelacakan sejarah terhadap kata-kata individual belaka untuk melhiat bagaimana kata-kata tersebut berubah maknanya karena perjalanan sejarah. Semantik historis yang sesungguhnya hanya dimulai bila kita melakukan pengkajian terhadap sejarah kata-kata berdasarkan seluruh sistem statis. Dengan kata lain, bila kita membandingkan dua permukaan atau lebih dari satu bahasa yang sama, maka akan memunculkan tahap-tahap sejarah yang berbeda, yang satu sama lainya dipisahkan oleh interval waktu.[17]
Interval tersebut bisa panjang ataupun pendek tergantung apda tujuan analisa kita. Misalnya, bahkan bahasa al-Qur’an itu sendiri dapat dianggap sebagai proses historis yang berlangsung selama lebih dari duapuluh tahun dengan periode yang khas, periode Mekah dan Madinah.dalam kasus tersebut, sudah pada tempatnya bila kita membuat dua potongan horizontal yang melintasi perkembangan sejarah bahasa tersebut pada titik-titik yang penting, kemudian membandingkan dua cross-section antara yang satu dengan yang lain, bila tujuan kita melakukan studi semantik terhadap perkembangan pemikiran Islam di dalam batas-batas al-Qur’an.[18]
Kemudian Izutsu melakukan upaya untuk menunjukkan persoalan ini dengan cara sederhana dan sejelas mungkin, dengan mengisolasi tiga permukaan semantik yang berbeda pada awal sejarah kosakata al-Qur’an. Pertama, sebelum turunya al-Qur’an atau masa jahiliyah, kedua masa turunya al-Qur’an, dan yang terakhir masa setelah turunya al-Qur’an.[19]
Dengan demikian, pada tahap pertama, yakni masa pra-Islam, kita memiliki tiga sistem kata yang berbeda dengan tiga pandangan dunia yang mendasarinya yang berbeda pula: (1) kosakata Badwi murni yang mewakili weltanschauung Arab yang sangat kuno dan berkarakter sangat nomaden, (2) kosakata kelompok pedagang, yang pada hakikatnya sangat terkait dengan dan berlandaskan pada kosakata Badwi, yang sekalipun mewakili semangat yang sangat berbeda dalam memandang dunia, namun merupakan hasil dari  perkembangan terakhir ekonomi perdagangan di Mekah, yang dengan demikian sangat dipengaruhi oleh kata-kata dan gagasan yang menjadi cirikhas para pedagang di kota tersebut, dan (3) kosakata Yahudi-Kristen, suatu sistem istilah-istilah religious yang digunakan di kalangan orang-orang Yahudi dan Kristen yang hidup di tanah arab, yang juga mencakup persoalan sistem hanifiah yang lebih banyak. Ketiga unsur-unsur tersebut merupakan unsur-unsur penting kosakata Arab pra-Islam.[20]
Dalam bab ketiga dengan tema struktur dasar weltanschauung al-Qur’an Izutsu menuliskan bagian yang bisa jadi merupakan inti kajianya, yaitu relasi Tuhan dan Manusia. Dalam hal ini, Izutsu menerangkan empat hubungan atau relasi yang berlainan antara Tuhan dan Manusia, yaitu:
1.    Relasi ontologis; dimana Tuhan sebagai sumber eksistensi manusia yang utama dan manusia sebagai representasi wujud yang eksistensinya berasal dari Tuhan. Kedua,
2.    Relasi Komunikatif; Tuhan dan manusia dibawa ke dalam korelasi yang dekat, melalui komunikasi timbale balik.
3.    Relasi Tuan-hamba; yakni Tuhan sebagai tuan (rabb), dan manusia sebagai hamaba (abd).
4.    Relasi Etik; yakni adanya perbedaan yang paling mendasar antara keduanya. Divina Commedia, juga meliputi Allah berperan sebagai Pemberi eksistensi dan wujud pada manusia. Dia adalah pencipta manusia, danmanusia tidak lain adalah mahluknya. [21]

Salah satu pertanyaan dasar dan selalu mengusik pikiran manusia dalam weltanschauung religius dan filosofis adalah eksistensi manusia. Pertanyaan abadi dan berulang-ulang adalah: Dari mana manusia berasal? Apa sumber wujudnya di dunia ini? Menurut konsepsi al-Qur‘an, Allah adalah pencipta manusia. Dialah sumber wujud yang menganugerahkan eksistensi kepada manusia. Jadi secara ontologis, relasi antara Allah dan manusia adalah relasi antara sang pencipta (khâliq) dan yang diciptakan (makhlûq).[22]
 Manusia bukanlah satu-satunya ciptaan Allah. Dalam al-Qur‘an juga ditegaskan bahwa Allah adalah pencipta alam semesta: mulai dari malaikat, jin, langit dan bumi, matahari, bulan, siang dan malam, gunung dan sungai, pohon-pohon, buah-buahan, biji-bijian, daun-daunan, hingga semua jenis binatang, dan bahkan segala yang ada di alam semesta ini yang tak dapat disebutkan satu persatu. Hal ini menunjukkan bahwa ada sebuah kekuatan yang dapat menciptakan segala hal dan juga menjaganya, pencipta itulah Allah Swt Tuhan semesta alam.
Konsep Allah sebagai Tuhan sejatinya telah dikenal masyarakat pada zaman pra-Islam, yaitu sebelum kedatangan Islam. Orang-orang Arab jahiliyah telah meyakini bahwa Allah adalah Tuhan langit dan bumi, Dia-lah yang menciptakan segala sesuatu dimuka bumi ini. Redaksi ini bisa kita temukan dalam al-Qur’an surah Ar-Ra’du ayat 16 sebagai berikut:
ö@è% `tB >§ ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur È@è% ª!$# 4 ö@è% Mè?õsƒªB$$sùr& `ÏiB ÿ¾ÏmÏRrߊ uä!$uŠÏ9÷rr& Ÿw tbqä3Î=ôJtƒ öNÎgÅ¡àÿRL{ $YèøÿtR Ÿwur #uŽŸÑ 4 ö@è% ö@yd ÈqtGó¡o 4yJôãF{$# 玍ÅÁt7ø9$#ur ÷Pr& ö@yd ÈqtGó¡n@ àM»uHä>à9$# âqZ9$#ur 3 ÷Pr& (#qè=yèy_ ¬! uä!%x.uŽà° (#qà)n=yz ¾ÏmÉ)ù=yÜx. tmt6»t±tFsù ß,ù=sƒø:$# öNÍköŽn=tã 4 È@è% ª!$# ß,Î=»yz Èe@ä. &äóÓx« uqèdur ßÏnºuqø9$# ㍻£gs)ø9$# ÇÊÏÈ  
Artinya: Katakanlah: "Siapakah Tuhan langit dan bumi?" Jawabnya: "Allah". Katakanlah: "Maka Patutkah kamu mengambil pelindung-pelindungmu dari selain Allah, Padahal mereka tidak menguasai kemanfaatan dan tidak (pula) kemudharatan bagi diri mereka sendiri?". Katakanlah: "Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau samakah gelap gulita dan terang benderang; Apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?" Katakanlah: "Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan yang Maha Esa lagi Maha Perkasa". ( Q.S. al-Ra’du (13): 16)
Meskipun masyarakat Arab pra-Islam sudah mengenal konsep penciptaan Allah, akan tetapi konsep ini hampir-hampir tidak memiliki pengaruh terhadap pola pikir mereka. Artinya, mereka dapat hidup dengan nyaman tanpa menaruh perhatian sama sekali terhadap asal-usul eksistensinya sendiri. Dalam sistem jahiliyah, aktivitas kreatif Allah adalah awal sekaligus akhir intevensi-Nya dalam urusan manusia. Dia tidak menaruh perhatian terhadap makhluk ciptaan-Nya. Manusia, sesudah proses penciptaannya selesai, dikuasai oleh wujud lain yang disebut  dahr.[23] Dahr ini meskipun memiliki beberapa nama lain, yaitu: zamân, ashr, ayyâm, dan aud, namun gagasan yang mendasari konsep  dahr selalu sama, ia merupakan tiran yang tidak memiliki belas kasihan dan berdarah dingin. Dahr bilamana dirujuk pada arti kosakatanya berarti waktu. Waktu memang tidak mengenal siapapun, semua akan berlanjut dan berjalan baik siapapun yang mau maupun tidak mau.
Dalam bagian relasi ontologis telah diketahui bahwa Allah adalah pencipta dan manusia adalah yang diciptakan. Antara pencipta dan yang diciptakan terdapat hubungan komunikatif yang bersifat langsung dan bertimbal balik. Komunikasi antara Allah dan manusia terjadi melalui dua cara, yaitu:  pertama, melalui penggunaan bahasa yang dapat dipahami oleh kedua belah pihak;  kedua, melalui penggunaan tanda-tanda alam oleh Tuhan dan isyarat-isyarat atau gerakan tubuh oleh manusia. Dengan demikian komunikasi tipe pertama bersifat linguistik atau verbal, sedang komunikasi tipe kedua bersifat non linguistik atau non verbal.
Tipe komunikasi verbal dari atas kebawah adalah wahyu menurut pengertian yang sempit dan teknis, sedangkan bentuk dari bawah ke atas mengambil bentuk sembahyang/ du’a. Tipe komunikasi dari non-verbal dari atas adalah tindakan ilahiah menurunkan (tanzil) “tanda-tanda” (ayat). Dari bawah ke atas komunikasi dalam bentuk ibadah ritual (shalat) atau yang lebih umum lagi praktek-praktek penyembahan.[24]
Komunikasi linguistik antara Tuhan dan manusia terjadi dalam bentuk pengiriman wahyu dari Tuhan. Toshihiko Izutsu menjelaskan bahwa wahyu merupakan perkataan (kalâm) Tuhan. Meskipun ia menyadari bahwa dalam komunikasi model ini terdapat masalah karena keduanya, yaitu Tuhan dan manusia sebagai pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi ini, berada dalam taraf ―eksistensi‘ yang berbeda. Tuhan berada dalam taraf ―eksistensi‖ supra-natural, sementara manusia berada dalam taraf ―eksistensi‖ natural, sehingga tidak ada keseimbangan ontologis antara keduanya. Oleh karena itu secara teoritik, tidak mungkin terjadi pertukaran kata (al-taẖawwur), pengajaran (al-ta’lîm), dan juga belajar (al-ta’llum).[25] Problem eksistensi antara keduanya juga berdampak pada sistem bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Tuhan sebagai dzat yang ghaib atau supra-natural tentunya menggunakan sistem bahasa non-alamiah atau non-natural, sebaliknya manusia sebagai makhluk natural menggunakan sistem bahasa alamiah atau sistem bahasa natural. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika dalam konteks ini Fazlur Rahman berpendapat bahwa proses pewahyuan bukan merupakan komunikasi verbal, tetapi merupakan pemberian inspirasi ke dalam hati Nabi Muhammad.[26]
Problem tersebut, menurut Toshihiko Izutsu, dapat diatasi dengan mengemukakan teori perantara. Perantara inilah yang menjembatani kesenjangan komunikasi antara Tuhan dan manusia tersebut. Ia menegaskan bahwa wahyu sebagai suatu peristiwa linguistik supranatural merupakan konsep yang berhubungan dengan tiga individu. Kondisi ini juga berlaku dalam pewahyuan al-Qur‘an. Dengan kata lain, dalam kesadaran kenabian yang dimiliki Muhammad, selalu ada seseorang, suatu makhluk misterius antara Tuhan dan dirinya yang membawa kata-kata Tuhan ke dalam hatinya. Makhluk ghaib tersebut, dalam pandangan Toshihiko Izutsu, tidak lain adalah Malaikat Jibril, yang pada periode Mekah disebut sebagai  rûh al-quds (roh suci) dan rûh al-amîn (roh yang dapat dipercaya). Hal inilah yang secara membuat wahyu secara struktural berbeda, bukan saja dengan perkataan manusia pada umumnya, tapi juga dengan tipe inspirasi verbal lainnya yang bersumber dari jinn. Dalam hal ini ada tiga cara pengiriman wahyu yang berbeda-beda: (1) komunikasi misterius, (2) berbicara dari balik tabir, (3) mengirimkan seorang utusan.[27]
Bila komunikasi linguistik dari Tuhan berupa wahyu, maka dari pihak manusia berupa doa yang dipanjatkan ke hadirat-Nya. Menurut Toshihiko Izutsu, doa dapat menjadi komunikasi dari manusia hanya terjadi dalam situasi yang sangat istimewa, yakni ketika manusia mendapati dirinya berada dalam situasi yang tidak wajar. Ketika jiwa manusia sedang tidak dalam keadaan sebagaimana hari-harinya, maka ia berada dalam posisi yang dapat mengucapkan kata-kata secara langsung kepada Tuhan. Dengan demikian, bahasa yang diucapkan manusia secara spiritual menjadi lebih tinggi, dan doa merupakan percakapan personal yang paling intim antara hati dengan Tuhan. Dengan mengutip al-Kirmani, Toshihiko Izutsu mengatakan bahwa dalam situasi seperti itu manusia bukan lagi manusia dalam pengertian umum, ia sudah mentransformasikan diri menjadi sesuatu yang berada di atas dirinya.[28]
Komunikasi non linguistik antara Tuhan dan manusia terjadi dalam bentuk pengiriman tanda-tanda alam dari Tuhan. Tanda-tanda ini, bagi orang-orang yang mau memperhatikan dan merenungkannya, dapat dilihat setiap saat, karena memang semua yang sering disebut sebagai peristiwa alam, seperti hujan, angin, susunan langit dan bumi, pergantian siang dan malam, dan sebagainya pada dasarnya merupakan tanda-tanda yang menunjukkan kepedulian Tuhan terhadap kehidupan umat manusia di muka bumi, sekaligus merupakan bukti Ketuhanan-Nya.Sementara dari manusia berupa salat.[29]
Komunikasi antara Tuhan dan manusia, baik yang bersifat verbal maupun non-verbal, terjadi atas inisiatif dari Tuhan, sementara manusia pada dasarnya hanya menanggapi apa yang dilakukan Tuhan. Kehendak Tuhan untuk membuka komunikasi langsung antara Dia dan manusia termanifestasi dalam bentuk pengiriman  âyât (tanda-tanda).  Ayat  Ilahi yang dimaksud dalam al-Qur‘an merupakan pengertian yang umum, yakni meliputi simbol-simbol verbal dan non-verbal. Dari kedua jenis simbol ini, pesan-pesan Tuhan melalui simbol verbal (waẖy) dapat dikatakan lebih jelas, karena pada dasarnya bersifat konseptual dan analitis. Dengan demikian,  waẖy dapat menyajikan kehendak Tuhan dalam yang mudah dipahami oleh alam pikiran manusia. Sementara dalam simbol non-verbal, kehendak Tuhan termanifestasikan secara global. Dan karena sifatnya yang tidak konseptual, maka pesan-pesan yang dibawa sangat tidak jelas atau kabur. Akan tetapi simbol non-verbal lebih terbuka, dapat diakses oleh siapa saja tanpa perantara, sedang simbol verbal hanya mungkin diketahui oleh umat manuisa melalui seorang perantara, yaitu Rasul.[30]

Relasi ini melibatkan di pihak Tuhan sebagai Tuhan (rabb), semua konsep yang berhubungan dengan keagungan-Nya, kekuasaan-Nya, kekuatan mutlak-nya dan lain sebagainya. Sedangkan di pihak manusia sebagai hamba (‘abd) seluruh konsep yang menunjukkan kerendahan, kepatuhan mutlak, dan sifat-sifat serupa lainya yang tercakup di dalam dan terkait dengan kata jahiliyyah.[31]
Dalam sistem al-Qur‘an, Allah adalah penguasa mutlak; satu-satunya Tuhan yang berkuasa di seluruh dunia, sementara manusia adalah hamba (‘abd). Sebagai hamba (‘abd), manusia harus bersikap berserah diri sepenuhnya, merendah, dan menghinakan diri di hadapan-Nya tanpa syarat.
Dalam pandangan Toshihiko Izutsu, islâm merupakan istilah yang paling penting. Dengan menghubungkan kata islâm dengan kata kerjanya, yaitu aslama, maka islâm dapat dipahami sebagai tindakan yang dilakukan oleh seseorang dengan sukarela untuk menyerahkan diri kepada kehendak Allah dan memercayakan diri secara penuh kepada-Nya. Pengertian ini diperoleh berdasarkan penggunaannya dalam frase aslama wajhahu li Allâh.[32] Istilah ini dapat ditemukan salah satunya dalam surah al-Baqoroh ayat 128, yakni:
$uZ­/u $uZù=yèô_$#ur Èû÷üyJÎ=ó¡ãB y7s9 `ÏBur !$uZÏF­ƒÍhèŒ Zp¨Bé& ZpyJÎ=ó¡B y7©9 $tRÍr&ur $oYs3Å$uZtB ó=è?ur !$oYøn=tã ( y7¨RÎ) |MRr& Ü>#§q­G9$# ÞOŠÏm§9$# ÇÊËÑÈ  
Artinya: Ya Tuhan Kami, Jadikanlah Kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu Kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada Kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji Kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (al-Baqoroh: 128)
Hal lain yang menunjukkan bahwa istilah islâm sangat penting adalah karena ia sebagai pengalaman batin religius yang bersifat personal pada tiap-tiap orang, merupakan peristiwa penting yang menandai titik awal dimulainya penyerahan dan kerendahan diri yang sesungguhnya. Ia menandai titik balik yang menentukan dalam kehidupan seorang manusia. Sementara semua istilah al-Qur‘an lainnya yang bermakna kepatuhan dan penyerahan diri sangat samar dan ambigu. Istilah-istilah tersebut dapat memberikan kesan yang salah tentang kepatuhan dan kerendahan diri sebagai sifat alamiah seseorang. Dalam struktur semantiknya tidak terdapat momentum keputusan eksistensial, momentum lompatan ke dalam bidang kehidupan yang tidak diketahui. Hanya kata islâm yang berimplikasi demikian.[33]
Islâm dalam pandanganToshihiko Izutsu bertentangan dengan jahiliyah. Namun pada masa pra-al-Qur‘an, term jahiliyah sama sekali tidak mempunyai konotasi religius. Menurut konsepsi pra-Islam, jahl sama sekali tidak mempunyai kaitan dengan tuhan-tuhan. Konsep ini semata-mata hanya meyangkut hubungan manusia dengan sesamanya. Jahl merupakan sifat pribadi manusia yang menjadi ciri khas masyarakat Arab pra-Islam. Konsep ini, bersama dengan pasangannya – hilm, begitu lekat dengan psikologi mayarakat Arab ketika itu, sehingga wajar jika kata tersebut seringkali dijumpai dalam puisi-puisi jahiliyah. Dalam al-Qur‘an, jahiliyah merupakan istilah religius dalam pengertian yang negatif, karena merupakan landasan tempat kata kufr. Di sini Toshihiko Izutsu memandang jahiliyah bukan sebagai fase sejarah yang mendahului Islam, tetapi merupakan sifat yang dapat terjadi dalam diri seseorang yang berupa semangat kebebasan, kesombongan, dan perasaan mulia yang menolak untuk tunduk di hadapan penguasa manapun, baik manusia maupun Tuhan.[34]

Relasi ini didasarkan pada perbedaan yang paling dasar antara dua aspek yang berbeda, yang dapat dibedakan dengan konsep Tuhan itu sendiri. Tuhan yang kebaikanya tak terbatas, maha pengasih, pengampun dan penyayang di satu sisi. Tuhan yang murka dan kejam serta sangat keras hukumanya di sisi yang lain. Demikian pula, dari sisi manusia terdapat perbedaan dasar antara rasa syukur di satu pihak (syukr), dan takut kepada tuhan (takwa) bersama-sama membentuk satu kategori iman, dan ini akhirnya membentuk perbedaan yang tajam dengan kufr baik dalam pengertian tidak bersyukur maupun ingkar.
Etika berkaitan dengan apa yang harus dilakukan oleh manusia terhadap Tuhan berkaitan dengan perintah dan larangan Tuhan, maupun bagaimana Tuhan berkehendak terhadap makhluk-Nya. Menurut Toshihiko Izutsu, terdapat tiga kategori yang berbeda mengenai konsep etik di dalam al-Qur‘an, yaitu:  pertama, kategori yang menunjukkan dan menguraikan sifat Tuhan; kedua, kategori yang menjelaskan berbagai macam aspek sifat fundamental manusia terhadap Tuhan; dan ketiga, kategori yang menunjukkan tentang prinsip-prinsip dan aturan tingkah laku yang menjadi milik dan hidup di dalam masyarakat Islam.[35]
Aspek Allah sebagai Tuhan yang Maha Pemurah, Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Maha Pengampun kepada manusia ini disebutkan dalam al-Qur‘an dengan kata kunci seperti ni„mah (kenikmatan), fadl (kemurahan hati), rahmah (kasih sayang), maghfirah (ampunan), dan sebagainya. Menurut Toshihiko Izutsu, fakta yang menunjukkan bahwa Tuhan bersifat demikian dan menunjukkan semua kebaikan dalam bentuk âyât ini hendaknya menentukan respon yang benar di pihak manusia. Respon tersebut adalah syukr atau rasa terima kasih atas karunia yang telah dianugerahkan Tuhan. Rasa terima kasih ini hanya mungkin timbul bila manusia sudah mengerti makna âyât tersebut.[36]
Konsep syukr sesungguhnya telah mengakar kuat pada masa jahiliyah. Hal ini ditunjukkan oleh sajak karya seorang penyair dari suku Hudzail, syukr bermakna sebagai ungkapan terima kasih terhadap pemberian (ni’mah) orang lain.[37] Dan konsep ini sangat mudah dipahami menggunakan logika sederhana, yakni bila seseorang menunjukkan kemurahan, dalam pengertian menganugerahkan ni’mah kepada anda, maka reaksi wajar yang harus anda tunjukkan adalah berterima kasih. Ini dapat dikatakan sebagai aturan moral dasar dalam hubungan antar sesama manusia. Akan tetapi, respon manusia terhadap ni„mah tidaklah tunggal. Manusia kadang kala bahkan sering mengingkari (kufr) atau menyikapi ni’mah dengan tidak berterima kasih. Contoh dalam al-Qur’an adalah surah al-Zukhruf ayat 15, yakni:
(#qè=yèy_ur ¼çms9 ô`ÏB ¾ÍnÏŠ$t6Ïã #¹ä÷ã_ 4 ¨bÎ) šÆ»|¡SM}$# Öqàÿs3s9 îûüÎ7B ÇÊÎÈ  
Artinya: Dan mereka menjadikan sebahagian dari hamba-hamba-Nya sebagai bahagian daripada-Nya. Sesungguhnya manusia itu benar-benar pengingkar yang nyata (terhadap rahmat Allah). (Q.S. al-Zukhruf : 15)
Tidak berterima kasih terhadap anugerah atau ni’mah yang telah diterima tentu saja merupakan reaksi alternatif yang menyalahi aturan moral dasar. Dengan demikian, makna dasar syukr adalah respon positif manusia terhadap kebaikan yang diperlihatkan orang lain. Lawannya adalah kufr, yang makna dasarnya adalah tidak berterima kasih.
Aspek Tuhan yang keras, Tuhan yang akan membalas di Hari Pengadilan dengan balasan yang sangat pedih (shadîd al-‘iqâb), Tuhan yang membalas dendam (dzû intiqâm), Tuhan yang kemarahan-Nya (ghadab) akan melemparkan siapa saja ke dalam kebinasaan hendaknya menjadikan manusia tidak menolak untuk berserah diri ke hadapan Tuhan dan tidak lalai dalam hidupnya. Penekanan mutlak terhadap penyerahan diri dan kesungguhan dalam hidup yang berdasarkan kesadaran tentang Hari Pengadilan yang akan datang ini, menurut Toshihiko Izutsu, merupakan makna asli taqwâ.[38]
Sebagaimana kata syukr, kata taqwâ ini juga telah dikenal pada masa jahiliyah. Hal ini ditunjukkan oleh kata kerja ittaqâ yang merupakan salah satu kata favorit dalam syair-syair pra-Islam. Hanya saja pada masa jahiliyah, kata ini tidak dipergunakan dalam pengertian religius, kecuali mungkin di lingkungan khusus, yakni di lingkungan orang-orang ẖanîf dan orang-orang yang secara nyata telah terpengaruh oleh ajaran Yahudi. Dalam konsepsi jahiliyah, kata kerja ittaqâ bermakna menjaga diri dari bahaya yang mengancam keselamatan dengan sesuatu, baik berupa benda ataupun makhluk hidup. Dengan demikian, kata kerja ittaqâ dalam konsepsi jahiliyah digunakan dalam pengertian fisik atau material, atau paling tinggi diterapkan dalam konteks moral. Sementara dalam kasus al-Qur‘an, istilah ittaqâ hampir selalu muncul dalam konteks religius.[39]
E.  Kesimpulan
Toshihiko Izutsu memfokuskan pembahasan mengenai konsep al-Qur‘an tentang relasi antara Tuhan dan manusia. Relasi Tuhan dan manusia berdasarkan al-Qur‘an, menurutnya, memiliki empat bentuk, yaitu: ontologis, komunikatif, tuan-hamba, dan etik.
Izutsu menerangkan metodologi pembacaan teks al-Qur’an secara gamblang terutama dalam dua buku karyanya yaitu: The Structure of Ethical Terms in the Quran: A Study in Semantics dan God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung. Izutsu mengatakan bahwa al-Qur’an dapat didekati dengan sejumlah cara pandang yang beragam seperti teologi, psikologi, sosiologi, tata bahasa, tafsir dan lain sebagainya. Izutsu sendiri menggunakan pendekatan yang disebutnya sebagai pendekatan semantik untuk kajian al-Qur’an. Analisis semantik atau konseptual digunakan untuk mengkaji bahan-bahan yang disediakan oleh kosakata al-Qur’an. Dengan kata lain, semantik merupakan metodologinya, sedangkan al-Qur’an merupakan materinya.






[1] Revolusi Bolshevik atau dikenal juga dengan Revolusi Oktober adalah revolusi yang dilakukan oleh pihak komunis Rusia, di bawah pimpinan Lenin. Setelah merebut kekuasaan di Petrograd, ibu kota Rusia kala itu, mereka menggulingkan pemerintahan nasionalis di bawah pimpinan Alexander Kerensky yang mulai memerintah sejak bulan Februari. Pemerintahan ini diangkat setelah Tsar Nikolas II dari Rusia turun takhta karena dianggap tidak kompeten.
Amerika Serikat yang saat itu sedang menjalankan perjanjian dengan pemimpin Rusia, Tsar Nikolai II, secara otomatis kehilangan perjanjian tersebut karena kaum Bolshevik mengambil alih pemerintahan dan menghilangkan kuasa dari Tsar Rusia saat itu.
[2] Musa Carullah lahir di Rusia pada tahun 1875 dan meninggal di Mesir pada tahun 1949. Ia dianggap salah satu ulama terkemuka saat itu. Ia dididik dalam Madaris di Bukhara(Uzbekistan saat ini) dan menerbitkan banyak jurnal, surat kabar dan buku. Dia terutama bekerja pada sejarah teks Alquran, masa depan umat Islam di Rusia, status perempuan dalam Islam, dan berbagai masalah hukum. Ia menerjemahkan al-Qur'an kedalam bahasa tatar atau Turki.
[3] Ismail Albayrak, The Reception of Toshihiko Izutsu’s Qur’anic Studies in the Muslim World: With Special Reference to Turkish Qur’anic Scholarship, Journal of Qur’anic Studies 14.1 (2012), Edinburgh University Press, Skotlandia.
[4] Ibid.
[5] Machasin, ―Kata Pengantar‖ untuk edisi terjemahan bahasa Indonesia dalam Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung, diterjemahkan oleh Agus Fahri Husein, dkk.,  Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), h. xiii.
[6] Dra. Novi Resmini, M.Pd, Bahan Belajar Mandiri (BBM) VIII, Unsur Semantik dan Jenis Makna, pdf file on file.upi.edu/Direktori/DUAL-MODES/KEBAHASAAN_I/BBM_8.pdf, t.t. hal, 44
[7] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, Pendekatan Semantik terhadap al-Qur’an, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hal. 3
[8] Ibid., Izutsu, hal. 4
[9] Ibid., Izutsu, hal. 4
[10] Ibid., Izutsu, hal. 12
[11] Ibid., Izutsu, hal. 12
[12] Ibid., Izutsu, hal. 14
[13] Ibid., Izutsu, hal. 17
[14] Ibid., Izutsu, hal. 32
[15] Ibid., Izutsu, hal. 33
[16] Ibid., Izutsu, hal. 33
[17] Ibid., Izutsu, hal. 33
[18] Ibid., Izutsu, hal. 34
[19] Ibid., Izutsu, hal. 35
[20] Ibid., Izutsu, hal. 35
[21] Ibid., hal 79
[22] Ibid., hal. 77-78
[23] Ibid., hal. 131
[24] Ibid., hal. 79
[25] Ibid., hal. 183
[26] Fathurrahman, Al-Qur'an dan Tafsirnya dalam Prespektif Toshihiko Izutsu, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2010), hal. 128
[27] Op. Cit., Izutsu, hal. 194
[28] Op. Cit., Fathurrahman..., hal. 129
[29] Op. Cit., Fathurrahman..., hal. 129
[30] Op. Cit., Fathurrahman..., hal. 130
[31] Ibid., hal. 79
[32] Op. Cit., Izutsu..., hal.220
[33] Op. Cit., Fathurrahman..., hal. 133
[34] Op. Cit., Fathurrahman..., hal. 135
[35] Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concept in the Qur’an, hal. 18
[36] Op. Cit., Izutsu..., hal.258
[37] Op. Cit., Izutsu..., hal.260
[38] Op. Cit., Izutsu..., hal.262-263
[39] Op. Cit., Fathurrahman..., hal. 141

No comments:

Post a Comment