PENDEKATAN
SEMANTIK KAJIAN ATAS KARYA
TOSHIHIKO
IZUTSU ( ETICHO RELIGIOUS CONCEPTIN THE QUR’AN & GOD AND MAN IN THE QUR’AN)
Lucky Andriyantoko (16771007)
Jurusan
Pendidikan Agama Islam
Program Pasca
Sarjana
Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
A. Dasar Pemikiran
Sebagai sebuah Kitab Suci, al-Qur‘an ternyata sangat
menarik perhatian tidak saja umat Islam, namun juga non-Muslim. Kajian mengenai
al-Qur‘an tidak hanya dilakukan oleh umat Muslim, tapi juga oleh kalangan
non-Muslim. Akan tetapi kelompok yang disebutkan terakhir tidak memandang
al-Qur‘an sebagaimana kelompok pertama. Mayoritas kaum Muslim meyakini bahwa
al-Qur‘an adalah kalam Allah yang
diturunkan kepada Muhammad melalui perantaraan Jibril, kemudian diwariskan dari
satu generasi ke generasi berikutnya
secara mutawâtir, yang tertulis dalam mushaf dan membacanya dianggap
ibadah. Keyakinan demikian pada gilirannya menimbulkan ketertarikan dalam diri
kaum Muslim tersebut untuk memahami kandungan al-Qur‘an, sehingga melahirkan
karya melimpah yang terhimpun dalam kitab-kitab tafsir. Sementara non-Muslim
pada umumnya memandang al-Qur‘an bukanlah firman Tuhan, tapi sebagai ucapan
Muhammad.
Ketertarikan umat Muslim untuk mengkaji al-Qur‘an tentu
saja tidak menimbulkan keheranan, karena al-Qur‘an adalah kitab suci dan
pedoman hidup mereka. Sebaliknya, ketertarikan non-Muslim terhadap al-Qur‘an
sering mengundang tanda tanya. Apa motivasi yang mendorong mereka
mendedikasikan hidupnya untuk menggeluti al-Qur‘an, sementara dalam hati mereka
tidak ada keyakinan terhadap al-Qur‘an dan ajaran-ajarannya sebagai berasal
dari Tuhan.
Walau begitu, beberapa non-muslim yang melakukan pengkajian
terhadap Islam terdapat beberapa hal yang layak diberi apresiasi. Salah satunya
adalah Toshihiko Izutsu yang mengkaji al-Qur’an lewat pendekatan semantiknya.
Makalh kali ini akan mencoba mengulas buku kedua Izutsu seorang sarjana Jepang
penganut Zen Budhism, dalam bukunya God and Man in the Qur’an: Semantics of the
Qur’anic Weltanschauung.
Dalam buku ini, Toshihiko Izutsu memfokuskan pembahasan
mengenai konsep al-Qur‘an tentang
relasi antara Tuhan dan manusia. Relasi Tuhan dan manusia berdasarkan
al-Qur‘an, menurutnya, memiliki empat bentuk, yaitu: ontologis, komunikatif,
tuan-hamba, dan etik.
Secara umum relasi tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut: Pertama, bahwa Tuhan adalah sumber wujud. Ia adalah pencipta segala
yang ada, termasuk manusia. Dengan demikian, secara ontologis, relasi antara
Tuhan dengan manusia adalah relasi antara pencipta dan makhluk. Kedua, antara
Tuhan (pencipta) dan manusia (makhluk) senantiasa terdapat jalinan komunikasi.
Jalinan ini memiliki dua bentuk, yaitu: bersifat verbal atau linguistik, dan
non linguistik. Ketiga, karena Tuhan adalah pencipta dan pemelihara manusia,
maka manusia harus tunduk dan mengabdi kepada-Nya dengan sepenuh hati,
sebagaimana seorang hamba mengabdi kepada tuannya. Dengan demikian relasi ini
dapat digambarkan sebagai relasi tuan-hamba. Dan keempat, menurut konsep
al-Qur‘an, Tuhan bersifat etik dan tindakannya terhadap manusia dilakukan
dengan cara yang etik. Sifat dan tindakan Tuhan tersebut membawa kepada
pengertian yang sangat penting bahwa manusia diharapkan untuk memiliki sifat
etik dan merespon tindakan Tuhan dengan cara yang etik pula.
Banyak biografi tentang Toshihiko Izutsu yang telah
ditulis, baik dalam media cetak maupun elektronik. Untuk lebih menambah wawasan,
maka saya mengambil biografi Toshihiko Izutsu dari sebuah jurnal Qur’anic
Studies, Edinburgh University. Tohihiko Izutsu lahir pada 4 Mei 1914 di Tokyo,
dimana ayahnya merupakan master Zen dalam agama Budha. Izutsu telah
diperkenalkan dengan Zen Budha sejak usia dini dan ketertarikanya dengan agama
Islam dimulai ketika di duduk di bangku sekolah menengah atas. Secara periodik
dia mengunjungi masjid dan The Turkish Islamic Centre di Tokyo, mempelajari
kedua bahasa baik bahasa turki maupun bahasa arab disana. Perlu diketahui bahwa
guru Islam pertamanya adalah Tatar Turks yang berhasil melarikan diri dari
Rusia setelah Revolusi Bolshevik.[1]
Mentor awal yang penting juga bagi Izutsu adalah Musa
Carullah Bigiyef seorang ulama dan reformis,[2]
dimana Izutsu belajar al-kitab Sibawayhi dan Shahih Muslim serta sya’ir-syair
arab sebelum kedatangan Islam. Izutsu belajar Sastra Inggris di Universitas
Keio dan pada tahun 1942, mulai bekerja sebagai seorang ahli dalam bahasa Timur
di Universitas Institut Kebudayaan dan Linguistic Studies. Dia menjadi Kepala
Departemen Studi Arab pada tahun 1945. Pada tahun 1950 Izutsu menjadi Asisten
Profesor, tahun 1954 ia diangkat sebagai Profesor di Keio dan bekerja di sana
sampai 1968.[3]
Izutsu mendapatkan beasiswa Rockefeller Fellow scholarship
pada tahun 1959, ia menetap di Mesir dan Libanon hingga penghujung tahun 1961.
Dia menemui banyak ulama muslim disana, termasuk Rashid Ridha, Ibrāhīm Madhkūr,
Aḥmad Fuʾād Akhwānī and Muḥammad Kāmil Ḥusayn. Tahun 1962, Izutsu diundang oleh
Wilfred Cantwell Smith ke kanada, dimana dia dijadikan profesor tamu di
Universitas McGill hingga tahun 1969. Kemudian dia diberikan mandat untuk
mengajar full-time di program professor McGill dan bekerja disana hingga 1974.
Disana juga ia bertemu Seyyed Hossein Nasr, A. Rusen Sezer and Hermann Landolt.
Izutsu mengajar di cabang universitas McGill di Teheran sejak 1972. Di akhir
tahun 1974, dia meninggalkan McGill atas undangan Hossein Nasr. Ketika masih
berada di Iran, dia juga bertemu dengan para akademisi seperti Sayyid Jalāl
al-Dīn Ashtiyānī, Henry Corbin, James Morris and Mohammed Arkoun. Dia
meninggalkan Iran pada malam tahun 1979, ketika berkecamuknya Revolusi Iran dan
pindah ke Jepang, dimana ia diangkat sebagai Profesor Emeritus di Universitas
Keio tahun 1982. Ia menerbitkan berbagai buku selama periode ini dan meninggal
di rumah pada 7 Januari 1993.[4]
Izutsu telah menulis beberapa karya yang menyangkut tentang
al-Qur’an, diantara tulisan-tulisan yang diterbitkan adalah sebagai berikut:
1.
The Structure of the Ethical Terms
in the Quran: A Study in Semantics (Tokyo: Keio University, 1959).
2.
God and Man in the Koran: Semantics
of the Koranic Weltanschauung (Tokyo: Keio Institute of Cultural and Linguistic
Studies, 1964)
3.
The Concept of Belief in Islamic
Theology: A Semantic Analysis of Īmān and Islām (Tokyo: Keio Institute of
Cultural and Linguistic Studies, 1966).
4.
Ethico-religious Concepts in the
Qurʾān (Montreal: McGill University Press, 1966)
Ada beberapa alasan mengapa hasil
penelitian Izutsu ini menarik untuk dikaji. Pertama, Izutsu merupakan sosok
intelektual yang dikenal memiliki pengetahuan yang baik tentang Islam.
Toshihiko Izutsu adalah tokoh utama pertama pada masa kini yang melakukan
kajian Islam dengan serius tidak hanya dari perspektif non-Muslim tetapi juga
non-Barat. Izutsu juga didukung dengan penguasaanya lebih dari tiga puluh
bahasa dunia termasuk Yahudi, Persia, Cina, Turki, Sansekerta, dan Arab, serta
beberapa bahasa Eropa modern.
Kedua, ia merupakan sarjana non
Muslim yang dengan metode dan pendekatan yang dipakainya kalau dipandang dengan
sikap tebuka, tanpa kecurigaan akan tujuan-tujuan negatif yang tersembuyi dapat
membuka cakrawala baru atau mengingatkan lagi pada khazanah yang selama ini
terlupakan. Di antara sebabnya, menurut Machasin, karena kalangan non Muslim
(outsiders) relatif dapat bersikap lebih netral terhadap data-data historis
yang tersimpan dalam karya-karya kaum Muslim sendiri.[5]
Izutsu menerangkan metodologi
pembacaan teks al-Qur’an secara gamblang terutama dalam dua buku karyanya
yaitu: The Structure of Ethical Terms in the Quran: A Study in Semantics dan
God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung. Izutsu
mengatakan bahwa al-Qur’an dapat didekati dengan sejumlah cara pandang yang
beragam seperti teologi, psikologi, sosiologi, tata bahasa, tafsir dan lain
sebagainya. Izutsu sendiri menggunakan pendekatan yang disebutnya sebagai
pendekatan semantik untuk kajian al-Qur’an. Analisis semantik atau konseptual
digunakan untuk mengkaji bahan-bahan yang disediakan oleh kosakata al-Qur’an.
Dengan kata lain, semantik merupakan metodologinya, sedangkan al-Qur’an
merupakan materinya.
Semantik adalah cabang linguistik
yang meneliti arti atau makna. Semantik sebagai cabang ilmu bahasa mempunyai
kedudukan yang sama dengan cabang-cabang ilmu bahasa lainnya. Semantik
berkedudukan sama dengan fonologi, morfologi, dan sintaksis. Di sini, yang
membedakan adalah cabang-cabang ilmu bahasa ini terbagi menjadi dua bagian
besar yaitu morfologi dan sintaksis termasuk pada tataran gramatika, sedangkan
fonologi dan semantik termasuk pada tataran di luar gramatika.[6]
Singkatnya, semantik adalah ilmu bahasa yang mempelajari arti kata atau makna
kata.
Izutsu sendiri memberikan
penjelasan tentang semantik yang akan digunakan dalam kajianya. Semantik yang
dimaksud Izutsu adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu
bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual
weltanschauung atau pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa itu,
tidak sebagai alat bicara dan berfikir, tetapi lebih penting lagi, pengkonsepan
dan penafsiran dunia yang melingkupinya.[7]
Lebih lanjut Izutsu mengatakan
bahwa kata-kata atau konsep dalam al-Qur’an itu tidak sederhana. Kedudukanya
masing-masing saling terpisah, tetapi sangat saling bergantung dan menghasilkan
makna konkret justru dari seluruh sistem hubungan itu. Dengan kata lain,
kata-kata itu membentuk kelompok-kelompok yang bervariasi, besar dan kecil, dan
berhubungan satu sama lain dengan berbagai cara, demikianlah pada akhirnya
menghasilkan keteraturan yang menyeluruh, sangat kompleks dan rumit sebagai
kerangka kerja gabungan konseptual.[8]
Hubungan antara kata inilah yang akan diteliti disamping mengetahui makna dasar
dari kata tersebut.[9]
Kemudian Izutsu membedakan antara
makna dasar kata dan makna relasional. Menurutnya, makna dasar kata adalah
sesuatu yang melekat pada kata itu sendiri, yang selalu terbawa dimanapun kata
itu diletakkan. Sedang makna relasional adalah sesuatu yang konotatif, yang
diberikan dan ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata itu
pada posisi khusus dalam bidang khusus, berada pada relasi yang berbeda dengan
semua kata-kata penting lainya dalam sistem tersebut.[10]
Contohnya kata ‘yaum’ yang memiliki
arti kata dasar ‘hari’. Hal ini akan berlaku bila kita menempatkan kata ini
bersamaan dengan peristiwa yang biasa dijalani, maka sifatnya netral dan
berarti ‘hari’ sebagaimana biasanya. Bila kita melihat variasinya dalam al-Qur’an,
kita akan menemukan konsep ‘yaum’ sebagai hari akhir dengan sedikit ditandai
warna eskatologis. Pendek kata ‘al-yaum’ ‘hari’ dalam pengertian ini bukan hari
biasa, tetapi ‘hari akhir’ atau ‘hari pengadilan’.[11]
Namun ada suatu ketika kekuatan
modifikasi seluruh sistem pada kata itu bekerja begitu kuatnya sehingga
akhirnya hampir menghilangkan makna konseptual aslinya. Bila ini terjadi, kita
mendapatkan sebuah kata yang berbeda. Dengan kata lain, kita menyaksikan sebuah
kelahiran kata baru.
Izutsu menerangkan contoh yang
paling terkenal adalah kata kafara. Kafara berarti tidak bersyukur untuk
menunjukkan rasa tidak bersyukur terhadap perbuatan baik atau pertolongan yang
ditunjukkan oranglain. Kata ini berarti berlawanan dengan kata ‘syakaro’ yang
berarti bersyukur. Namun, ketika konsep-konsep Islam masuk dan memberikan warna
baru bagi kosakata bahasa arab, kafaro tidak sesederhana sikap tidak bersyukur,
tetapi tidak bersyukur kepada Tuhan, atau lebih tepatnya lagi, mengingkari
kebaikan-kebaikan Tuhan yang telah diberikan kepadanya.[12]
Selanjutnya, perlu diingat bahwa
salah satu konsep essensial dalam al-Qur’an adalah kepercayaan atau keyakinan
‘iman’. Nah, disini kata ‘kafara’ mulai sedikit-demi sedikit menyimpang dari
arti aslinya yaitu tidak bersyukur dan semakin dekat pada makna ‘tidak percaya’
sebagai pengingkaran terhadap konsep iman. Kini kafara bukan lagi lawan kata
dari syakaro, melainkan lawan kata dari aamana yang berarti menolak keimanan
atau keluar dari iman.
Izutsu melanjutkan bahwa yang dicari bukan
hanya relasi kata tersebut dengan kata lainya atau dalam bentuk-bentuk tertentu
dalam susunanya, melainkan juga makna relasional yang kongkret, atau
kristalisasi dari semangat budaya dan refleksi yang terpercaya dari
kecenderungan umum, keadaan psikologik dan lainya dari masyarakat yang emmakai
kata tersebut sebagai bagian kosakatanya.
Analisis semantik bukanlah analisis sederhana mengenai
struktur bentuk kata maupun studi makna asli yang melekat pada bentuk kata itu
atau analisis etimologi. Etimologi hanya dapat memberikan petunjuk bagi kita
untuk mencapai makna ‘dasar’ kata. Analisis semantik lebih dari itu, jika
diklasifikasi, ia diaku sebagai ilmu budaya. Analisis unsur-unsur dasar dan
relasional terhadap istilah kunci harus dilakukan dengan cara yang sedemikian
rupa, sehingga jika kita benar-benar berhasil melakukanya, kombinasi dua aspek
makna kata akan memperjelas aspek khusus. Satu segi yang signifikan dengan
budayanya, atau pengalaman yang dilalui oleh budaya tersebut. Dan pada
akhirnya, jika kita mencapai tahap akhir, semua analisis akan membantu kita
merekonstruksi pada tingkat analitik struktur keseluruhan budaya itu sebagai
konsepsi masyarakat yang sungguh-sungguh ada. Inilah yang disebut Izutsu
sebagai weltanschauung semantik budaya.[13]
Analisis ini menurut
penulis bermula dengan mencari makna dasar suatu kata, kemudian mencari
hubungan antara kata itu dengan kata yang lain yang disebut makna relasional.
Makna relasional ini secara tidak langsung akan menggambarkan budaya pada masa
dimana kata itu digunakan. Dengan mengetahui budaya dari relasi kata tersebut,
maka proses rekonstruksi budaya bisa dilakukan yang mana rekonstruksi ini
membentuk konsepsi masyarakat pada masanya.
Hal ini bisa dipahami bahwa
bahasa merupakan kunci sebuah kebudayaan manusia. Setiap bagian dari belahan
dunia memiliki bahasanya masing-masing yang itu bukan hanya menunjukkan bahasa,
melainkan konsepsi yang berisi kepercayaan dan hal-hal lainya dalam komunitas
tersebut. Wajar bila Izutsu ingin mengetahui budaya dan konsepsi masyarakt pada
zaman itu dengan menggunakan analisis bahasa dengan makna dasar dan
relasionalnya.
Dalam bab kedua ini Izutsu
menerangkan tentang semantik sinkronik dan diakronik yang akan digunakan dalam
telaahnya terhadap istilah-istilah kunci dalam al-Qur’an. Sebagaimana
disinggung diatas, Izutsu mencoba menelaah weltanschauung al-Qur’an melalui kosakata-kosakatanya.
Diakronik menurut pengertian etimologi adalah pandangan terhadap bahasa, yang
pada prinsipnya menitikberatkan pada unsur waktu. Dengan demikian, secara
diakronik kosakata adalah sekumpulan kata yang masing-masingnya tumbuh dan
berubah secara bebas dengan caranya sendiri yang khas. Beberapa kata dalam
kelompok itu dapat berhenti tumbuh dalam pengertian berhenti penggunaanya oleh
masyarakat dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan kata-kata lainya dapat terus
digunakan dalam jangka waktu yang lama. Sekali lagi kata-kata baru dapat
melakukan debutnya di gelanggang pada titik waktu tertentu dan memulai
sejarahnya pada periode itu. [14]
Dengan kata lain, terdapat
kosakata yang seiring dengan zaman dilupakan dan tidak digunakan oleh
masyarakat sehingga kosakata ini dinamakan mati atau tidak tumbuh. Dilain
waktu, terdapat kosakata baru yang masuk dalam perbendaharaan kata dan
digunakan masyarakat pada waktu itu.
Kosakata yang terkumpul
pada satu waktu membentuk jaringan dan pola kalimat sebagai hasil budaya
masyarakat. Dalam hal ini Izutsu menyebut sebagai permukaan. Pada permukaan
yang seperti itulah dan hanya pada permukaan itu sajalah, kata-kata tersebut
muncul dihadapan kita dalam bentuk jaringan konsep yang rumit. Sehingga sudut
pandang yang melintasi garis-garis historis kata-kata tersebut memungkinkan
kita dengan cara tersebut untuk memperoleh suatu sistem kata yang statis,
disebut singkronik.[15]
Kosakata dalam pengertian
khusus ini, yakni permukaan kata yang statis, sesungguhnya merupakan sesuatu
yang artifisial. Ia merupakan kondisi statis yang dihasilkan secara artifisial
oleh satu pukulan dalam arus sejarah terhadap semua kata-kata dalam bahasa pada
suatu titik waktu tertentu. Lintas-bagian yang dihasilkan memberikan kesan
kepada kita sebagai sesuatu yang statis, namun sebenarnya hanya tampaknya
seperti itu. Dengan kata lain, ia hanya statis bila dilihat dari sudut pandang
makroskopik. Secara mikroskopik, permukaan tersebut menggelegakkan kehidupan
dan gerakan. Keadaan tersebut tampak sangat jelas bila bahasa berada dalam
periode kritis dan revolusioner.[16]
Semantik historis bukanlah
pelacakan sejarah terhadap kata-kata individual belaka untuk melhiat bagaimana
kata-kata tersebut berubah maknanya karena perjalanan sejarah. Semantik
historis yang sesungguhnya hanya dimulai bila kita melakukan pengkajian
terhadap sejarah kata-kata berdasarkan seluruh sistem statis. Dengan kata lain,
bila kita membandingkan dua permukaan atau lebih dari satu bahasa yang sama,
maka akan memunculkan tahap-tahap sejarah yang berbeda, yang satu sama lainya
dipisahkan oleh interval waktu.[17]
Interval tersebut bisa
panjang ataupun pendek tergantung apda tujuan analisa kita. Misalnya, bahkan
bahasa al-Qur’an itu sendiri dapat dianggap sebagai proses historis yang
berlangsung selama lebih dari duapuluh tahun dengan periode yang khas, periode
Mekah dan Madinah.dalam kasus tersebut, sudah pada tempatnya bila kita membuat
dua potongan horizontal yang melintasi perkembangan sejarah bahasa tersebut
pada titik-titik yang penting, kemudian membandingkan dua cross-section antara
yang satu dengan yang lain, bila tujuan kita melakukan studi semantik terhadap
perkembangan pemikiran Islam di dalam batas-batas al-Qur’an.[18]
Kemudian Izutsu melakukan
upaya untuk menunjukkan persoalan ini dengan cara sederhana dan sejelas
mungkin, dengan mengisolasi tiga permukaan semantik yang berbeda pada awal
sejarah kosakata al-Qur’an. Pertama, sebelum turunya al-Qur’an atau masa
jahiliyah, kedua masa turunya al-Qur’an, dan yang terakhir masa setelah turunya
al-Qur’an.[19]
Dengan demikian, pada tahap
pertama, yakni masa pra-Islam, kita memiliki tiga sistem kata yang berbeda
dengan tiga pandangan dunia yang mendasarinya yang berbeda pula: (1) kosakata
Badwi murni yang mewakili weltanschauung Arab yang sangat kuno dan berkarakter
sangat nomaden, (2) kosakata kelompok pedagang, yang pada hakikatnya sangat
terkait dengan dan berlandaskan pada kosakata Badwi, yang sekalipun mewakili
semangat yang sangat berbeda dalam memandang dunia, namun merupakan hasil dari perkembangan terakhir ekonomi perdagangan di
Mekah, yang dengan demikian sangat dipengaruhi oleh kata-kata dan gagasan yang
menjadi cirikhas para pedagang di kota tersebut, dan (3) kosakata
Yahudi-Kristen, suatu sistem istilah-istilah religious yang digunakan di
kalangan orang-orang Yahudi dan Kristen yang hidup di tanah arab, yang juga
mencakup persoalan sistem hanifiah yang lebih banyak. Ketiga unsur-unsur
tersebut merupakan unsur-unsur penting kosakata Arab pra-Islam.[20]
Dalam bab ketiga dengan tema struktur dasar weltanschauung
al-Qur’an Izutsu menuliskan bagian yang bisa jadi merupakan inti kajianya,
yaitu relasi Tuhan dan Manusia. Dalam hal ini, Izutsu menerangkan empat hubungan
atau relasi yang berlainan antara Tuhan dan Manusia, yaitu:
1.
Relasi ontologis; dimana Tuhan
sebagai sumber eksistensi manusia yang utama dan manusia sebagai representasi
wujud yang eksistensinya berasal dari Tuhan. Kedua,
2.
Relasi Komunikatif; Tuhan dan
manusia dibawa ke dalam korelasi yang dekat, melalui komunikasi timbale balik.
3.
Relasi Tuan-hamba; yakni Tuhan
sebagai tuan (rabb), dan manusia sebagai hamaba (abd).
4.
Relasi Etik; yakni adanya perbedaan
yang paling mendasar antara keduanya. Divina
Commedia, juga meliputi Allah berperan sebagai Pemberi eksistensi dan wujud
pada manusia. Dia adalah pencipta manusia, danmanusia tidak lain adalah
mahluknya. [21]
Salah satu pertanyaan dasar
dan selalu mengusik pikiran manusia dalam weltanschauung religius dan filosofis
adalah eksistensi manusia. Pertanyaan abadi dan berulang-ulang adalah: Dari
mana manusia berasal? Apa sumber wujudnya di dunia ini? Menurut konsepsi
al-Qur‘an, Allah adalah pencipta manusia. Dialah sumber wujud yang
menganugerahkan eksistensi kepada manusia. Jadi secara ontologis, relasi antara
Allah dan manusia adalah relasi antara sang pencipta (khâliq) dan yang diciptakan
(makhlûq).[22]
Manusia bukanlah satu-satunya ciptaan Allah.
Dalam al-Qur‘an juga ditegaskan bahwa Allah adalah pencipta alam semesta: mulai
dari malaikat, jin, langit dan bumi, matahari, bulan, siang dan malam, gunung
dan sungai, pohon-pohon, buah-buahan, biji-bijian, daun-daunan, hingga semua
jenis binatang, dan bahkan segala yang ada di alam semesta ini yang tak dapat
disebutkan satu persatu. Hal ini menunjukkan bahwa ada sebuah kekuatan yang
dapat menciptakan segala hal dan juga menjaganya, pencipta itulah Allah Swt
Tuhan semesta alam.
Konsep Allah sebagai Tuhan
sejatinya telah dikenal masyarakat pada zaman pra-Islam, yaitu sebelum
kedatangan Islam. Orang-orang Arab jahiliyah telah meyakini bahwa Allah adalah
Tuhan langit dan bumi, Dia-lah yang menciptakan segala sesuatu dimuka bumi ini.
Redaksi ini bisa kita temukan dalam al-Qur’an surah Ar-Ra’du ayat 16 sebagai
berikut:
ö@è% `tB >§ ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur È@è% ª!$# 4 ö@è% Mè?õsªB$$sùr& `ÏiB ÿ¾ÏmÏRrß uä!$uÏ9÷rr& w tbqä3Î=ôJt öNÎgÅ¡àÿRL{ $YèøÿtR wur #uÑ 4 ö@è% ö@yd ÈqtGó¡o 4yJôãF{$# çÅÁt7ø9$#ur ÷Pr& ö@yd ÈqtGó¡n@ àM»uHä>à9$# âqZ9$#ur 3 ÷Pr& (#qè=yèy_ ¬! uä!%x.uà° (#qà)n=yz ¾ÏmÉ)ù=yÜx. tmt6»t±tFsù ß,ù=sø:$# öNÍkön=tã 4 È@è% ª!$# ß,Î=»yz Èe@ä. &äóÓx« uqèdur ßÏnºuqø9$# 㻣gs)ø9$# ÇÊÏÈ
Artinya: Katakanlah: "Siapakah Tuhan langit dan
bumi?" Jawabnya: "Allah". Katakanlah: "Maka Patutkah kamu
mengambil pelindung-pelindungmu dari selain Allah, Padahal mereka tidak
menguasai kemanfaatan dan tidak (pula) kemudharatan bagi diri mereka
sendiri?". Katakanlah: "Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau samakah gelap gulita dan terang
benderang; Apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat
menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut
pandangan mereka?" Katakanlah: "Allah adalah Pencipta segala sesuatu
dan Dia-lah Tuhan yang Maha Esa lagi Maha Perkasa". ( Q.S.
al-Ra’du (13): 16)
Meskipun
masyarakat Arab pra-Islam sudah mengenal konsep penciptaan Allah, akan tetapi
konsep ini hampir-hampir tidak memiliki pengaruh terhadap pola pikir mereka.
Artinya, mereka dapat hidup dengan nyaman tanpa menaruh perhatian sama sekali
terhadap asal-usul eksistensinya sendiri. Dalam sistem jahiliyah, aktivitas
kreatif Allah adalah awal sekaligus akhir intevensi-Nya dalam urusan manusia.
Dia tidak menaruh perhatian terhadap makhluk ciptaan-Nya. Manusia, sesudah
proses penciptaannya selesai, dikuasai oleh wujud lain yang disebut dahr.[23]
Dahr ini meskipun memiliki beberapa nama lain, yaitu: zamân, ashr, ayyâm, dan
aud, namun gagasan yang mendasari konsep
dahr selalu sama, ia merupakan tiran yang tidak memiliki belas kasihan
dan berdarah dingin. Dahr bilamana dirujuk pada arti kosakatanya berarti waktu.
Waktu memang tidak mengenal siapapun, semua akan berlanjut dan berjalan baik
siapapun yang mau maupun tidak mau.
Dalam bagian relasi
ontologis telah diketahui bahwa Allah adalah pencipta dan manusia adalah yang
diciptakan. Antara pencipta dan yang diciptakan terdapat hubungan komunikatif
yang bersifat langsung dan bertimbal balik. Komunikasi antara Allah dan manusia
terjadi melalui dua cara, yaitu:
pertama, melalui penggunaan bahasa yang dapat dipahami oleh kedua belah
pihak; kedua, melalui penggunaan
tanda-tanda alam oleh Tuhan dan isyarat-isyarat atau gerakan tubuh oleh
manusia. Dengan demikian komunikasi tipe pertama bersifat linguistik atau
verbal, sedang komunikasi tipe kedua bersifat non linguistik atau non verbal.
Tipe komunikasi verbal dari
atas kebawah adalah wahyu menurut pengertian yang sempit dan teknis, sedangkan
bentuk dari bawah ke atas mengambil bentuk sembahyang/ du’a. Tipe komunikasi
dari non-verbal dari atas adalah tindakan ilahiah menurunkan (tanzil)
“tanda-tanda” (ayat). Dari bawah ke atas komunikasi dalam bentuk ibadah ritual
(shalat) atau yang lebih umum lagi praktek-praktek penyembahan.[24]
Komunikasi linguistik
antara Tuhan dan manusia terjadi dalam bentuk pengiriman wahyu dari Tuhan.
Toshihiko Izutsu menjelaskan bahwa wahyu merupakan perkataan (kalâm) Tuhan.
Meskipun ia menyadari bahwa dalam komunikasi model ini terdapat masalah karena
keduanya, yaitu Tuhan dan manusia sebagai pihak-pihak yang terlibat dalam
komunikasi ini, berada dalam taraf ―eksistensi‘ yang berbeda. Tuhan berada
dalam taraf ―eksistensi‖ supra-natural, sementara manusia berada dalam taraf
―eksistensi‖ natural, sehingga tidak ada keseimbangan ontologis antara
keduanya. Oleh karena itu secara teoritik, tidak mungkin terjadi pertukaran
kata (al-taẖawwur), pengajaran (al-ta’lîm), dan juga belajar (al-ta’llum).[25] Problem
eksistensi antara keduanya juga berdampak pada sistem bahasa yang digunakan
dalam berkomunikasi. Tuhan sebagai dzat yang ghaib atau supra-natural tentunya
menggunakan sistem bahasa non-alamiah atau non-natural, sebaliknya manusia
sebagai makhluk natural menggunakan sistem bahasa alamiah atau sistem bahasa
natural. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika dalam konteks ini Fazlur
Rahman berpendapat bahwa proses pewahyuan bukan merupakan komunikasi verbal,
tetapi merupakan pemberian inspirasi ke dalam hati Nabi Muhammad.[26]
Problem tersebut, menurut
Toshihiko Izutsu, dapat diatasi dengan mengemukakan teori perantara. Perantara
inilah yang menjembatani kesenjangan komunikasi antara Tuhan dan manusia
tersebut. Ia menegaskan bahwa wahyu sebagai suatu peristiwa linguistik
supranatural merupakan konsep yang berhubungan dengan tiga individu. Kondisi
ini juga berlaku dalam pewahyuan al-Qur‘an. Dengan kata lain, dalam kesadaran
kenabian yang dimiliki Muhammad, selalu ada seseorang, suatu makhluk misterius
antara Tuhan dan dirinya yang membawa kata-kata Tuhan ke dalam hatinya. Makhluk
ghaib tersebut, dalam pandangan Toshihiko Izutsu, tidak lain adalah Malaikat
Jibril, yang pada periode Mekah disebut sebagai
rûh al-quds (roh suci) dan rûh al-amîn (roh yang dapat dipercaya). Hal
inilah yang secara membuat wahyu secara struktural berbeda, bukan saja dengan
perkataan manusia pada umumnya, tapi juga dengan tipe inspirasi verbal lainnya
yang bersumber dari jinn. Dalam hal ini ada tiga cara pengiriman wahyu yang
berbeda-beda: (1) komunikasi misterius, (2) berbicara dari balik tabir, (3)
mengirimkan seorang utusan.[27]
Bila komunikasi linguistik
dari Tuhan berupa wahyu, maka dari pihak manusia berupa doa yang dipanjatkan ke
hadirat-Nya. Menurut Toshihiko Izutsu, doa dapat menjadi komunikasi dari
manusia hanya terjadi dalam situasi yang sangat istimewa, yakni ketika manusia
mendapati dirinya berada dalam situasi yang tidak wajar. Ketika jiwa manusia sedang tidak dalam keadaan sebagaimana
hari-harinya, maka ia berada dalam posisi yang dapat mengucapkan kata-kata
secara langsung kepada Tuhan. Dengan demikian, bahasa yang diucapkan manusia
secara spiritual menjadi lebih tinggi, dan doa merupakan percakapan personal
yang paling intim antara hati dengan Tuhan. Dengan mengutip al-Kirmani,
Toshihiko Izutsu mengatakan bahwa dalam situasi seperti itu manusia bukan lagi
manusia dalam pengertian umum, ia sudah mentransformasikan diri menjadi sesuatu
yang berada di atas dirinya.[28]
Komunikasi non linguistik
antara Tuhan dan manusia terjadi dalam bentuk pengiriman tanda-tanda alam dari
Tuhan. Tanda-tanda ini, bagi orang-orang yang mau memperhatikan dan
merenungkannya, dapat dilihat setiap saat, karena memang semua yang sering
disebut sebagai peristiwa alam, seperti hujan, angin, susunan langit dan bumi,
pergantian siang dan malam, dan sebagainya pada dasarnya merupakan tanda-tanda
yang menunjukkan kepedulian Tuhan terhadap kehidupan umat manusia di muka bumi,
sekaligus merupakan bukti Ketuhanan-Nya.Sementara dari manusia berupa salat.[29]
Komunikasi antara Tuhan dan
manusia, baik yang bersifat verbal maupun non-verbal, terjadi atas inisiatif
dari Tuhan, sementara manusia pada dasarnya hanya menanggapi apa yang dilakukan
Tuhan. Kehendak Tuhan untuk membuka komunikasi langsung antara Dia dan manusia
termanifestasi dalam bentuk pengiriman
âyât (tanda-tanda). Ayat Ilahi yang dimaksud dalam al-Qur‘an merupakan
pengertian yang umum, yakni meliputi simbol-simbol verbal dan non-verbal. Dari
kedua jenis simbol ini, pesan-pesan Tuhan melalui simbol verbal (waẖy) dapat
dikatakan lebih jelas, karena pada dasarnya bersifat konseptual dan analitis.
Dengan demikian, waẖy dapat menyajikan
kehendak Tuhan dalam yang mudah dipahami oleh alam pikiran manusia. Sementara dalam
simbol non-verbal, kehendak Tuhan termanifestasikan secara global. Dan karena
sifatnya yang tidak konseptual, maka pesan-pesan yang dibawa sangat tidak jelas
atau kabur. Akan tetapi simbol non-verbal lebih terbuka, dapat diakses oleh
siapa saja tanpa perantara, sedang simbol verbal hanya mungkin diketahui oleh
umat manuisa melalui seorang perantara, yaitu Rasul.[30]
Relasi ini melibatkan di
pihak Tuhan sebagai Tuhan (rabb), semua konsep yang berhubungan dengan
keagungan-Nya, kekuasaan-Nya, kekuatan mutlak-nya dan lain sebagainya.
Sedangkan di pihak manusia sebagai hamba (‘abd) seluruh konsep yang menunjukkan
kerendahan, kepatuhan mutlak, dan sifat-sifat serupa lainya yang tercakup di
dalam dan terkait dengan kata jahiliyyah.[31]
Dalam sistem al-Qur‘an,
Allah adalah penguasa mutlak; satu-satunya Tuhan yang berkuasa di seluruh
dunia, sementara manusia adalah hamba (‘abd). Sebagai hamba (‘abd), manusia
harus bersikap berserah diri sepenuhnya, merendah, dan menghinakan diri di
hadapan-Nya tanpa syarat.
Dalam pandangan Toshihiko
Izutsu, islâm merupakan istilah yang paling penting. Dengan menghubungkan kata
islâm dengan kata kerjanya, yaitu aslama, maka islâm dapat dipahami sebagai
tindakan yang dilakukan oleh seseorang dengan sukarela untuk menyerahkan diri
kepada kehendak Allah dan memercayakan diri secara penuh kepada-Nya. Pengertian
ini diperoleh berdasarkan penggunaannya dalam frase aslama wajhahu li Allâh.[32]
Istilah ini dapat ditemukan salah satunya dalam surah al-Baqoroh ayat 128,
yakni:
$uZ/u $uZù=yèô_$#ur Èû÷üyJÎ=ó¡ãB y7s9 `ÏBur !$uZÏFÍhè Zp¨Bé& ZpyJÎ=ó¡B y7©9 $tRÍr&ur $oYs3Å$uZtB ó=è?ur !$oYøn=tã ( y7¨RÎ) |MRr& Ü>#§qG9$# ÞOÏm§9$# ÇÊËÑÈ
Artinya: Ya Tuhan Kami, Jadikanlah Kami berdua orang yang tunduk
patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu Kami umat yang tunduk
patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada Kami cara-cara dan tempat-tempat
ibadat haji Kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
(al-Baqoroh: 128)
Hal lain yang menunjukkan bahwa istilah islâm sangat penting adalah
karena ia sebagai pengalaman batin religius yang bersifat personal pada
tiap-tiap orang, merupakan peristiwa penting yang menandai titik awal
dimulainya penyerahan dan kerendahan diri yang sesungguhnya. Ia menandai titik
balik yang menentukan dalam kehidupan seorang manusia. Sementara semua istilah
al-Qur‘an lainnya yang bermakna kepatuhan dan penyerahan diri sangat samar dan
ambigu. Istilah-istilah tersebut dapat memberikan kesan yang salah tentang
kepatuhan dan kerendahan diri sebagai sifat alamiah seseorang. Dalam struktur
semantiknya tidak terdapat momentum keputusan eksistensial, momentum lompatan
ke dalam bidang kehidupan yang tidak diketahui. Hanya kata islâm yang
berimplikasi demikian.[33]
Islâm dalam
pandanganToshihiko Izutsu bertentangan dengan jahiliyah. Namun pada masa
pra-al-Qur‘an, term jahiliyah sama sekali tidak mempunyai konotasi religius.
Menurut konsepsi pra-Islam, jahl sama sekali tidak mempunyai kaitan dengan
tuhan-tuhan. Konsep ini semata-mata hanya meyangkut hubungan manusia dengan
sesamanya. Jahl merupakan sifat pribadi manusia yang menjadi ciri khas
masyarakat Arab pra-Islam. Konsep ini, bersama dengan pasangannya – hilm,
begitu lekat dengan psikologi mayarakat Arab ketika itu, sehingga wajar jika
kata tersebut seringkali dijumpai dalam puisi-puisi jahiliyah. Dalam al-Qur‘an,
jahiliyah merupakan istilah religius dalam pengertian yang negatif, karena
merupakan landasan tempat kata kufr. Di sini Toshihiko Izutsu memandang
jahiliyah bukan sebagai fase sejarah yang mendahului Islam, tetapi merupakan
sifat yang dapat terjadi dalam diri seseorang yang berupa semangat kebebasan,
kesombongan, dan perasaan mulia yang menolak untuk tunduk di hadapan penguasa
manapun, baik manusia maupun Tuhan.[34]
Relasi ini didasarkan pada
perbedaan yang paling dasar antara dua aspek yang berbeda, yang dapat dibedakan
dengan konsep Tuhan itu sendiri. Tuhan yang kebaikanya tak terbatas, maha
pengasih, pengampun dan penyayang di satu sisi. Tuhan yang murka dan kejam
serta sangat keras hukumanya di sisi yang lain. Demikian pula, dari sisi
manusia terdapat perbedaan dasar antara rasa syukur di satu pihak (syukr), dan
takut kepada tuhan (takwa) bersama-sama membentuk satu kategori iman, dan ini
akhirnya membentuk perbedaan yang tajam dengan kufr baik dalam pengertian tidak
bersyukur maupun ingkar.
Etika berkaitan dengan apa
yang harus dilakukan oleh manusia terhadap Tuhan berkaitan dengan perintah dan
larangan Tuhan, maupun bagaimana Tuhan berkehendak terhadap makhluk-Nya.
Menurut Toshihiko Izutsu, terdapat tiga kategori yang berbeda mengenai konsep
etik di dalam al-Qur‘an, yaitu: pertama,
kategori yang menunjukkan dan menguraikan sifat Tuhan; kedua, kategori yang
menjelaskan berbagai macam aspek sifat fundamental manusia terhadap Tuhan; dan
ketiga, kategori yang menunjukkan tentang prinsip-prinsip dan aturan tingkah
laku yang menjadi milik dan hidup di dalam masyarakat Islam.[35]
Aspek Allah sebagai Tuhan
yang Maha Pemurah, Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Maha Pengampun kepada
manusia ini disebutkan dalam al-Qur‘an dengan kata kunci seperti ni„mah
(kenikmatan), fadl (kemurahan hati), rahmah (kasih sayang), maghfirah
(ampunan), dan sebagainya. Menurut Toshihiko Izutsu, fakta yang menunjukkan
bahwa Tuhan bersifat demikian dan menunjukkan semua kebaikan dalam bentuk âyât
ini hendaknya menentukan respon yang benar di pihak manusia. Respon tersebut
adalah syukr atau rasa terima kasih atas karunia yang telah dianugerahkan
Tuhan. Rasa terima kasih ini hanya mungkin timbul bila manusia sudah mengerti
makna âyât tersebut.[36]
Konsep syukr sesungguhnya
telah mengakar kuat pada masa jahiliyah. Hal ini ditunjukkan oleh sajak karya
seorang penyair dari suku Hudzail, syukr bermakna sebagai ungkapan terima kasih
terhadap pemberian (ni’mah) orang lain.[37]
Dan konsep ini sangat mudah dipahami menggunakan logika sederhana, yakni bila
seseorang menunjukkan kemurahan, dalam pengertian menganugerahkan ni’mah kepada
anda, maka reaksi wajar yang harus anda tunjukkan adalah berterima kasih. Ini
dapat dikatakan sebagai aturan moral dasar dalam hubungan antar sesama manusia.
Akan tetapi, respon manusia terhadap ni„mah tidaklah tunggal. Manusia kadang
kala bahkan sering mengingkari (kufr) atau menyikapi ni’mah dengan tidak
berterima kasih. Contoh dalam al-Qur’an adalah surah al-Zukhruf ayat 15, yakni:
(#qè=yèy_ur ¼çms9 ô`ÏB ¾ÍnÏ$t6Ïã #¹ä÷ã_ 4 ¨bÎ) Æ»|¡SM}$# Öqàÿs3s9 îûüÎ7B ÇÊÎÈ
Artinya: Dan mereka menjadikan sebahagian dari
hamba-hamba-Nya sebagai bahagian daripada-Nya. Sesungguhnya manusia itu
benar-benar pengingkar yang nyata (terhadap rahmat Allah). (Q.S. al-Zukhruf
: 15)
Tidak berterima kasih terhadap anugerah atau ni’mah yang telah
diterima tentu saja merupakan reaksi alternatif yang menyalahi aturan moral
dasar. Dengan demikian, makna dasar syukr adalah respon positif manusia
terhadap kebaikan yang diperlihatkan orang lain. Lawannya adalah kufr, yang
makna dasarnya adalah tidak berterima kasih.
Aspek Tuhan yang keras, Tuhan yang akan membalas di Hari Pengadilan
dengan balasan yang sangat pedih (shadîd al-‘iqâb), Tuhan yang membalas dendam
(dzû intiqâm), Tuhan yang kemarahan-Nya (ghadab) akan melemparkan siapa saja ke
dalam kebinasaan hendaknya menjadikan manusia tidak menolak untuk berserah diri
ke hadapan Tuhan dan tidak lalai dalam hidupnya. Penekanan mutlak terhadap
penyerahan diri dan kesungguhan dalam hidup yang berdasarkan kesadaran tentang Hari
Pengadilan yang akan datang ini, menurut Toshihiko Izutsu, merupakan makna asli
taqwâ.[38]
Sebagaimana kata syukr, kata taqwâ ini juga
telah dikenal pada masa jahiliyah. Hal ini ditunjukkan oleh kata kerja ittaqâ
yang merupakan salah satu kata favorit dalam syair-syair pra-Islam. Hanya saja
pada masa jahiliyah, kata ini tidak dipergunakan dalam pengertian religius,
kecuali mungkin di lingkungan khusus, yakni di lingkungan orang-orang ẖanîf dan
orang-orang yang secara nyata telah terpengaruh oleh ajaran Yahudi. Dalam
konsepsi jahiliyah, kata kerja ittaqâ bermakna menjaga diri dari bahaya yang
mengancam keselamatan dengan sesuatu, baik berupa benda ataupun makhluk hidup.
Dengan demikian, kata kerja ittaqâ dalam konsepsi jahiliyah digunakan dalam
pengertian fisik atau material, atau paling tinggi diterapkan dalam konteks
moral. Sementara dalam kasus al-Qur‘an, istilah ittaqâ hampir selalu muncul
dalam konteks religius.[39]
E. Kesimpulan
Toshihiko
Izutsu memfokuskan pembahasan mengenai konsep al-Qur‘an tentang relasi antara
Tuhan dan manusia. Relasi Tuhan dan manusia berdasarkan al-Qur‘an, menurutnya,
memiliki empat bentuk, yaitu: ontologis, komunikatif, tuan-hamba, dan etik.
Izutsu menerangkan metodologi
pembacaan teks al-Qur’an secara gamblang terutama dalam dua buku karyanya
yaitu: The Structure of Ethical Terms in the Quran: A Study in Semantics dan
God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung. Izutsu
mengatakan bahwa al-Qur’an dapat didekati dengan sejumlah cara pandang yang
beragam seperti teologi, psikologi, sosiologi, tata bahasa, tafsir dan lain
sebagainya. Izutsu sendiri menggunakan pendekatan yang disebutnya sebagai
pendekatan semantik untuk kajian al-Qur’an. Analisis semantik atau konseptual
digunakan untuk mengkaji bahan-bahan yang disediakan oleh kosakata al-Qur’an.
Dengan kata lain, semantik merupakan metodologinya, sedangkan al-Qur’an merupakan
materinya.
[1] Revolusi Bolshevik atau dikenal juga dengan
Revolusi Oktober adalah revolusi yang dilakukan oleh pihak komunis Rusia, di
bawah pimpinan Lenin. Setelah merebut kekuasaan di Petrograd, ibu kota Rusia
kala itu, mereka menggulingkan pemerintahan nasionalis di bawah pimpinan
Alexander Kerensky yang mulai memerintah sejak bulan Februari. Pemerintahan ini
diangkat setelah Tsar Nikolas II dari Rusia turun takhta karena dianggap tidak
kompeten.
Amerika Serikat yang saat itu sedang menjalankan perjanjian dengan
pemimpin Rusia, Tsar Nikolai II, secara otomatis kehilangan perjanjian tersebut
karena kaum Bolshevik mengambil alih pemerintahan dan menghilangkan kuasa dari
Tsar Rusia saat itu.
[2] Musa Carullah lahir di Rusia pada tahun 1875
dan meninggal di Mesir pada tahun 1949. Ia dianggap salah satu ulama terkemuka
saat itu. Ia dididik dalam Madaris di Bukhara(Uzbekistan saat ini) dan
menerbitkan banyak jurnal, surat kabar dan buku. Dia terutama bekerja pada
sejarah teks Alquran, masa depan umat Islam di Rusia, status perempuan dalam Islam,
dan berbagai masalah hukum. Ia menerjemahkan al-Qur'an kedalam bahasa tatar
atau Turki.
[3] Ismail Albayrak, The Reception of Toshihiko
Izutsu’s Qur’anic Studies in the Muslim World: With Special Reference to
Turkish Qur’anic Scholarship, Journal of Qur’anic Studies 14.1 (2012), Edinburgh
University Press, Skotlandia.
[5] Machasin, ―Kata Pengantar‖ untuk edisi
terjemahan bahasa Indonesia dalam Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran:
Semantics of the Koranic Weltanschauung, diterjemahkan oleh Agus Fahri Husein,
dkk., Relasi Tuhan dan Manusia;
Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), h.
xiii.
[6] Dra. Novi Resmini, M.Pd, Bahan Belajar
Mandiri (BBM) VIII, Unsur Semantik dan Jenis Makna, pdf file on
file.upi.edu/Direktori/DUAL-MODES/KEBAHASAAN_I/BBM_8.pdf, t.t. hal,
44
[7] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia,
Pendekatan Semantik terhadap al-Qur’an, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hal.
3
[26] Fathurrahman, Al-Qur'an dan
Tafsirnya dalam Prespektif Toshihiko Izutsu, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah,
2010), hal. 128
No comments:
Post a Comment