PENDEKATAN FENOMENOLOGI DALAM KAJIAN ISAM
Selvi Budi Rahayu 16771005
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Program Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang
A. Dasar Pemikiran
Menururt masyarakat,
agama yang merupakan suatu wahyu Tuhan adalah sesuatu yang memiliki kebenaran
absolut, berada di luar kemampuan akal manusia untuk menjangkaunya sehingga
cukup dipercayai dan diamalkan saja. Bagi mereka, agama merupakan petunjuk yang harus diikuti oleh manusia,
sehingga tidak selayaknya dijadikan sasaran studi ilmiah. Menurut amin Abdullah
anggapan ini bukanlah hal yang aneh, karena studi dalam wilayah ilmu-ilmu alam
saja tidak semua orang awam dapat mendalami seluk beluk permasalahannya secara
akademik, apalagi studi dalam wilayah yang menyangkut agama yang notabennya
sebuah pedoman hidup.[1]
Mengkaji fenomena keagamaan berarti
mempelajri perilaku manusia dalam kehidupannya beragama. Ilmu pengetahuan sosial
dengan caranya masing-masing, atau metode, dan peralatannya, dapat mengamati
dengan cermat perilaku manusia itu, sehingga dimungkinkan ditemukan segala
unsur yang menjadi komponen terjadinya perilaku itu. [2]
Studi
agama oleh sebagian besar kelompok masyarakat dikritik dengan keras yang di
alamatkan kepada lembaga Perguruan Tinggi Agama Islam karena menjadikan agama
sebagai obyek studi ilmiah, apalagi pendekatan yang digunakan adalah filsafat.
Menurut mereka, agama yang merupakan wahyu Tuhan adalah sesuatu yang memiliki
kebenaran absolut, berada di luar kemampuan akal manusia untuk menjangkaunya
sehingga cukup dipercayai dan diamalkan saja. Bagi mereka, agama merupakan
petunjuk yang harus diikuti oleh manusia, sehingga tidak selayaknya dijadikan
sasaran studi ilmiah.
Menurut
Amin Abdulah, kritik dan anggapan semacam ini bukanlah hal yang aneh, karena
studi dalam wilayah ilmu-ilmu kealaman saja, tidak semua orang awam dapat
mendalami seluk beluk permasalahannya secara akademik, apalagi studi dalam
wilayah ‘ultimate concern’ yang menyangkut agama, way of life, pedoman hidup,
dan Weltanschauung.[3]
B.
Pendekatan
Fenomenologi
Pendekatan adalah suatu sikap
ilmiah dari seseorang untuk menemukan kebenaran ilmiah yang hendak diperoleh.
Dengan demikian pendekatan berdifat umum yang dalam suatu pendekatan tertentu
dapat dipergunakan bermacam-macam metode. Misalnya, seorang sosiologi. Begitu
juga sejarawan, antropolog, fnomenolog, dan lain-lain akan menerapkan
pendekatan dan metode sesuai dengan latar belakang keahliannya masing-masing.
Pendekatan atau metode yang paling
dekat dan berhubungan dengan pendekatan historis adalah pendekatan fenomenologis.
Hal ini dikarenakan fenomenologi tidak dapat berbuah tanpa etnologi, filologi,
dan disiplin kesejarahan yang lainnya. Sebaliknya fenomenologi memberikan
disiplin kesejarahan untuk memberi arti keagamaan yang tidak dapat mereka
pahami. Oleh sebab itu, memahami agama dalam kajian fenomenologi berarti
memahami sejarah dalam arti menurut dimensi keagamaan.[4]
Kata fenomenologi dalam bahasa
Inggris disebut phenomena atau phenomenom secara etimologis bebrarti
perwujudan, kejadian, atau gejala.[5] Fenomenologi
berasal dari kata phainein yang
berarti memperlihatkan dan phainemenon yang
berarti sesuatu yang muncul atau terlihat, sehingga dapat diartikan beck to the things them selves atau
kembali kepada benda itu sendiri. Menurut Hadiwijono, kata fenomena
berarti penampakan seperti pilek, demam, dan meriang yang menunjukkan
fenomena gejala penyakit. [6]
Fenomenologi
juga berasal dari dua kata, yaitu: Pheneumon yang beearti realitas yang tampak,
da logos yang berarti ilmu. Maka fenomenologi dapat diartikan sebagai ilmu yang
berorientasi untuk mendapatkan penjelasan dari realitas yang tampak.[7]
Fenomenologi
adalah hakikat dari fenomena yang dimengerti dalam arti empiris dari struktur
umum sattu fenomena yang mendasari setiap fakta. Dalam mempelajari fenomena
agama bidang bidang studinya meliputi fakta yang bersifat subjektif deperti
pikiran, perasaan dan maksud-maksud seseorang yang diungkapkan dengan
tindakan-tindakan.[8]
Penggunaan
istilah fenomenologi dalam setiap masa ini berbeda-beda. Kant misalnya,
membedakan antara phenomenon dan neumenon. Phenomenon adalah objek yang
kita alami, dan kejadian sebagaimana hal itu terjadi. Sedangkan Hegel memandang
phenomenon sebagai tahapan untuk sampai ke nemumenon. Pada medio abad ke XIX,
arti fenomenologi menjadi sinonim dengan fakta. Pierce berpendapat bahwa
phenomenon itu bukan sekedar memberikan
deskripsi objek, melainkan telah masuk ilusi, imajinasi, dan impian.[9]
Mengkaji fenomena keagamaan
berarti mempelajari perilaku manusia dalam kehidupannya beragama. Ilmu
pengetahuan sosial dengan caranya masing masing, atau metode, teknik, dan
peralatannya, dapat mengamati dengan cermat perilaku manusia itu, sehingga
dimungkinkan ditemukannya segala unsur yang menjadi komponen terjadinya
perilaku itu, juga “makna terdalam dan substansi sejati” yang tersembunyi
dibalik gejala tersebut. Hal ini sudah barang tentu berlaku juga untuk semua
fenomena keberagamaan (religious phenomenon) manusia.
Sebagai sebuah istilah, fenomenologi pertama kali diciptakan pada
tahun 1764 oleh ahli matematika dan filosof Swis-Jerman, Johann Heinrich
Lambert. Ia menggunakan istilah ini untuk merujuk kepada hakikat filusif dari
pengalaman manusia dalam upaya untuk mengembangkan suatu teori pengetahuan yang
membedakan kebenaran dari kesalahan.
Menurut George W. F. Hege, fenomenologi secara terminologis adalah ilmu
pengetahuan dengan sarana mana kita sampai kepada suatu pengetahuan absolute
dengan jalan mempelajari cara-cara pikiran kita menampakkan diri kepada kita.
Sebagai metode, fenomenologi merupakan persiapan bagi setiap penyelidikan
di bidang filsafat dan di bidang ilmu pengetahuan positif. Ia menyelidiki
hal-hal hakiki yang penting bagi berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa fenomenologi adalah paradigma yang terdapat
dalam fakta yang dialami manusia. Pendekatan ini berusaha menggunakan kerangka
berfikir pada kejadian yang benar terjaadi pada diri manusia. Hal ini berkaitan
dengan pengalaman yang dialami oleh manusia.
Tugas dari fenomenologi
adalah menunjukkan bahwa agama perlu dikaji secara serius dan memberi
kontribusi terhadap pemahaman kita tentang humanitas dengan cara positif.[10] Hal
ini mengharuskan kita segera tanggap terhadap fakta bahwa studi agama tidak
dapat menjadi penelitian yang murni objektif tetapi harus mempertimbangkan
keterlibatan peneliti dalam subjek penelitian. Dalam hal ini peneliti tidak
bisa hanya menilai dari luarnya saja tetapi harus masuk ke dalam penelitian dan
mengalaminya sehingga akan mendapatkan pengalaman secara nyata.
Fenomenologi
Agama marupakan suatu cara memahami agama yang ada dengan sikap apresiasif
tanpa semangat penaklukan atau pengafiran. Pendekatan ini menghindari sifat
eksternal, menganggap agama orang lain pasti salah dan hanya agamanyalah yang
benar, tetapi melalui pendekatan untuk menjadi pemerhati agama dan pendengar
sehingga dapat memahami dan menghargai keberagamaan orang lain, untuk
memperkuat keyakinan terhadap kebenaran agamanya, tidak dengan cara mencari
kesalahan agama lain, tetapi memahami pemahaman orang lain justru untuk
memperkuat keyakinan agama sendiri.
Fenomenologi mengacu pada analisis kehidupan
sehari-hari dari sudut pandag orang yang terlibat di dalamnya, dan menekankan
pada persepsi dan interpretasai orang mengenai pengalaman mereka sendiri.
Fenomenologi melihat komunikasi sebagai sebuah proses membagi pengalaman
personal melalui dialog atau percakapan. Jadi fenomenologi itu mengacu pada
sebuah fenomena yang terjadi sesuai dengan pengalama yang dialami secara
langsung.
C. Sejarah dan
Asal-Usul
Ahli
matematika Jerman Edmund Husserl, dalam tulisannya yang berjudul Logical
Investigations (1900) mengawali sejarah fenomenologi. Fenomenologi sebagai
salah satu cabang filsafat, pertama kali dikembangkan di universitas-universtas
Jerman sebelum Perang Dunia I, khususnya oleh Edmund Husserl, yang kemudian di
lanjutkan oleh Marxvtin
Heidehher dan yang lainnya, seperti Jean Paul Sartre. Selanjutnya Sartre, Heidegger,
dan Merleau-Ponty memasukkan ide-ide dasar fenomenologi dalam pandangan
eksistensialisme. Adapun yang menjadi fokus dari eksistensialisme adalah
eksplorasi kehidupan dunia mahluk sadar, atau jalan kehidupan subjek-subjek
sadar.
Fenomenologi
tidak dikenal setidaknya sampai menjelang abad ke-20. Abad ke-18 menjadi awal
digunakannya istilah fenomenologi sebagai nama teori tentang penampakan, yang
menjadi dasar pengetahuan empiris (penampakan yang diterima secara inderawi).
Istilah fenomenologi itu sendiri diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert,
pengikut Christian Wolff. Sesudah itu, filosof Immanuel Kant mulai sesekali
menggunakan istilah fenomenologi dalam tulisannya, seperti halnya Johann
Gottlieb Fichte dan G.W.F.Hegel. Pada tahun 1889, Franz Brentano menggunakan
fenomenologi untuk psikologi deskriptif. Dari sinilah awalnya Edmund Hesserl
mengambil istilah fenomenologi. [11]
Peristiwa yang mampu
membawa perubahan pandangan secara menyeluruh adalah perang dunia I yang mampu
mempengaruhi banyak sarjana untuk melakukan studi-studi agama. Hingga munculah
mazhab yang dikenal sebagai fenomenologi Agama.[12]
Sekitar abad 15 dan
16 M, di Eropa telah terjadi suatu perubahan terbesar dalam perspektif manusia
tentang dirinya. Hal ini dikarenankan di abad pertengahan, manusia memandang
segala hal dari sudut pandang ‘ketuhanan’; kaitannya dengan Tuhan yang
menciptakan, mengarahkan, mempertahankan, serta penyelamat manusia dan seluruh
alam raya. Selanjutnya, munculnya modernitas mengubah paradigma berpikir ini, bahkan
peralihan tersebut –pada satu keadaan– bersifat dekonstruktif; reformasi
abad-16 yang menolak banyak klaim Gereja, serta dasar-dasaratheism yang dirumuskan oleh filsuf era itu.
Hal ini yang mengantarkan peradaban Eropa menuju masa pencerahan.[13]
Kehadiran Edmund
Husserl, empat kurun setelah muculnya kesadaran Eropa pada abad ke-19, dan
disebut-sebut sukses menyatukan kecenderungan idealis dan realis. Husserl
berupaya membongkar filsafat Barat, dengan menghancurkan ketertutupan
kesadaran. Karena, “kesadaran” sesuai kodratnya mengarah ke realitas. Kemudian
Husserl menciptakan pendekatan filsafat yang menganalisa “kesadaran” dan
obyek-obyeknya secara sistemik dan berdasarkan pengalaman. Pendekatan ini yang
kemudian dinamakan “fenomenologi”.[14]Secara
genealogis, fenomenologi juga merupakan sebentuk respon terhadap dominasi
‘rasio’, yang terjadi pada abad 17 dan 18. Dominasi rasio terejawantahkan dalam
pertimbangan segala hal, termasuk alam raya, pada sikap matematis. Sehingga
pada tahap ini rasio telah menjadi “kesadaran” serta “penggerak kehidupan”.
Istilah fenomenologi
diperkenankan oleh seorang filusuf dan matematikawan berkembangsaan
Swiss-Jerman Johan Heinbrich Lambert dalam bukunya Neues
Organonyang diterbitkan pada 1764. Lambert memaknai istilah yunani tersebut
dengan pengertian The Setting Forth or Articulation of What Shows
Itself (pengaturan artikulasi dari apa yang menunjukkan dirinya). Lambert
menggunakan istilah ini untuk mengilustrasikan alam khayalan pengalaman manusia
dalam upaya mengembangkan teori pengetahuan yang membedakan kebenaran dari
kesalahan. Immanuel khant (1724-1804) dalam karya-karyanya juga dikenal
menggunakan istilah-istilah tersebut untuk membedakan pengetahuan yang immanen
(noumena) dan pengetahuan yang menggambarkan pengalaman manusia (fenomena).
Namun dalam perkembangannya G.W.F. Hegel dan Edmund Husserls yang disebut-sebut
sebagai peletak dasar-dasar fenomenologi.[15]
Istilah
fenomenologi sudah muncul pada wacana filsafat mulai tahun 1765 (abad ke-18)
dan juga muncul pada ahli-ahli filsafat yaitu Immanuel Kant (1724-1804).[16] dan filusuf lain seperti Georg Wilhelm
Fredrich Hegel (1770-1831). Kedua filusuf ini masing-masing punya pendapat
tentang pendekatan fenomenologi seperti yang telah dikemukakan sebelumnya.
Sejak zaman
Edmund Hasserl (1859-1938), arti fenomenologi telah menjadi filsafat dan
menjadi metodologi berfikir. Phenomenon bukan sekedar pengalaman
langsung, melainkan pengalaman yang telah mengimplisitkan penafsiran dan
klasifikasi. Pada zaman Hasserl, fenomena menjadi sebuah cara berfikir yang
berdasarkan pengalaman langsung yang memunculkan penafsiran dan klasifikasi.
Selanjutnya Edmund Hasserl dianggap sebagai pendiri pendekatan fenomenologi
sebagai aliran filsafat. Karena arti fenomenologi menjadi proses berfikir, maka
fenomenologi dapat dianalogikan sebagai pisau yang bisa berguna multi fungsi,
pisau dapat membelah atau mengupas segala hal yang diinginkan. Begitu pula
dengan fenomenologi, bisa juga digunakan untuk mengkaji dan memahami berbagai
macam disiplin ilmu termasuk juga mengkaji agama Islam.
D.
Fenomenologi Agama
Edmund
Husserl pendiri aliran filsafat fenomenologi memandang bahwa fenomenologi
sebagai sebuah disiplin filsafat yang ketat bertujuan membatasi dan melengkapi
penjelasan psikologi murni mengenai proses kejiwaan. Lebi jauh pendekatan
Fenomenologis ini digunakan untuk menjelaskan berbagai bidang pemikiran mulai
seni, hukum dan lain-lain termasuk agama. Tujuannya adalah memahami pemikiran,
perilaku dan memaami lembaga keagamaan tanpa mengikuti salah satu teori filsafat,
teologi, metafisika ataupun psikologi. Dengan demikian telah tersedia perangkat
penting yang sangat diperlukan dalam pendekatan teradap agama yang melengkapi
metode historism psikologi atau sosial murni.
Filsafat
Edmund Husserl meskipun tidak secara langsung membahas studi agama, tetapi dua
konsep yang mendasari karyanya menjadi suatu titik tolak metodologis yang
bernilai bagi studi fenomenologi yakni: epoce; terdiri dari pengendalian atau
kecurigaan dalam mengambil keputusan. Ini menunjukkan tentang tidak adanya
prasangka yang akan mempengaruhi hasil pemaaman. Metode ini, menjadi penting
untuk memahami agama dari sudut pandang orang yang beriman. Kita bisa masuk ke
wilayah pengalaman dari perilaku keagamaan untuk mencapai pemahaman yang
mendalam. Pemahamanyang sangat mendalam ini menjadi penting untuk melihat
peristiwa keagamaan secara objeltif. Selanjutnya konsep Edmun Husserl tentang
eidetik: yang memberi kemampuan melihat esensi fenomena secara objektif bahkan
juga membahas persoalan subjektifitas persepsi dan refleksi. Eidetik
mengandaikan adanya kemampuan mencapai pemahaman intuitif tentang fenomena yang
juga dapat dipertahankan sebagai pengetahuan pbjektif.[17]
Sementara
itu, Van Der Leeuw mengatakan bahwa fenomenologi secara konstan (keadaan tetap)
haris tetap memperhatikan sejarah, Fenomenologi menururtnya adalah
interpretasi; namun hermenutika Fenomenologis “menjadi seni myrni dan fantasi,
begitu ia dipisahkan dari hermenutika filologis-arkeologis.[18]
Berbeda dengan pendekatan Vander Leeuw, Fenomenologi menururt Joachim Wach
agama sebagai respon manusia terhadap “penampakakan” Non-Ilahi yang terjadi
dalam sebuah pengalaman keagmaaan.[19]
Pandangan Wach ini bila kita analisis, dapat kita lihat dua hal penting dalam
melihat agama. Pertama, penampakan Non-Ilahi dalam sebuah pengalaman keagamaan.
Kedua, respon manusia terhadap fenomena pertama tersebut.
Manusia
tidak pernah dan tidak akan pernah mungkin mengetahui keberadaan-Nya dan
memberikan serta melakukan respon terhadap keberadaan-Nya dan memberikan serta
melakukan respon terhadap keberadaan Nan-Ilahi, Tuhan. Manusia hanya dan hanya
melakukan respon terhadap Tuhan sejauh ia “meampakkan” diri-Nya kepada manusia.
Tuhan merupakan wujud yang tak terperikan, tak terkatakan. Dan bahkan untuk
mengatakan-Nya demikian (sebagai realitas yang tak terperikan, tak terkatan)
pun bukan kesimpulan yang bisa dikatakan benar. Karena, ia mengatasi kata-kata
dan imajinasi, konseptualisasi yang mampu manusia perikan.
Sementara
itu menurut Max Scheler metode fenomenologi mencoba membiarkan fenomenologi
keagamaan mengungkapkan diri mereka dan tidak memaksakan merasa ke dalam suatu
kerangla yang telah disiapkan sebelumnya. Usaha tersebut dimaksudkan untuk
sebisa mungkin mempertahankan sifat-sifat asli dan fenomena yang ada.
Lain
halnya menururt Dhavamony, metode fenomenologi agama yaitu suatu cara memahami
agama yang ada dengan sikap apresiatif tanpa semangat penaklukan atau
pengkafiran. Metode ini menghindari siap eksternal, menganggap agama orang lain
pasti salah dan agamanyalah yang benar, tetapi melalaui pendekatan untuk
menjadi pemerhati danpendengar sehingga dapat memahami dan menghargai
keberagamaan orang lain tanpa meninggalkan keimanannya sendiri. Dengan kata
lain, untuk memperkuat keyakinan terhadap kebenaran gamanya, tidak dengan cara
mencari kesalahan agama lain, tetapi memahami pemahaman orang lain justru untuk
memperkuat keyakinan agama sendiri.[20]
Metode
ini menggunakan “perbandingan” sebagai sarana interpretasi yang utama untuk
memahami arti dari ekspresi-ekspresi religius, seperti qurban, ritus-ritus
persembahan dan lain-lain. Metode ini mencoba menyelidiki karakteristik yang
dminan dari agama dalam kontesk historis kultural, memberi arti serta
menjelaskan makna interna tindakan-tindakan itu. Asumsi dasardari pendekatan
ini adalah bentuk luar dari ungkapan manusia yang mempunyai pola atau
konfigurasi kehidupan yang teratur, yang dapat dilukiskan kerangkanya. Metode
ini mencoba menemukan struktur yang mendasari fakta sejarah dan memahami makna
yang lebih dalam, sebagaimana dimanifestasikan melalui struktir tersebut dengan
hukum-hukum dan pengertian-pengertian yang khas. Hal ini bermaksud memberikan
suatu pandangan menyeluruh dari ide-ide dan motif-motif yang berkepentingan sangat
menentukan dalam sejarah.[21]
Metode
fenomenologi selain untuk menemukan struktur-struktur yang sama dalam setiap
agama, juga mengarah pada suatu pemahaman tentang transendental unity of
religious (kesatuan transenden dalam agama) memberikan implikasipada sikap
ko-eksistensi (bereksistensi secarabersama-sama) juga pro-eksistensi (mengakui
eksistensi agama-agama). Metode demikian memang tidak mudah untuk dilakukan
karena sudah menyentuh persoalan keyakinan yang sifatnya vertikal, subjektif
dan menyangkut keimanan. Biasanya dialog dan kerjasama akan lebih mudah apabila
dalam kawasan etis karena kawasan ini menyangkut hubungan yang horisontal dan
bersifat rasional terbuka.
Fenomenologi
agama menggunakan metodologi ilmiah sebagaimana telah dipaparkan, kalau dia
mempelajari fenomena religius. Tugas studinya meliputi fakta religius yang
bersifat subjektif seperti pikiran-pikiran, perasaan-perasaan dan maksud-maksud
dari seseorang, yang diungkapkan dalam tindakan-tindakan luar. Pemahaman
ungkapan-ungkapan yang bersifat subjektif inilah yang membuat fakta menjadi
suatu tindakan kebaktian, bukan sekedar gerakan-gerakan. Gerakan sholat, bukan
hanya sebuah gerakan yang tal berguna. Keadaan-keadaan ini kita anggap bersifat
subjektif, dalam arti bahwa semua ini terjadi dalam subjek manusia serta
terungkapkan dalam tanda dan symbol. Kita dapat mengulangi tindakan pemahaman
dari fenomena religius, membandingkannya dengan tindakan-tindakan pemahaman
dari pengamat-pengamat lain, dan menyimpulkan bahwa X adalah suatu tindakan
kebaktian, bahwa Y adalah tindakan kurban, dan bahwa Z adalah kegiatan doa.
Fakta ini mengandaikan perlunya objektivitas. Bagaimaa kita tahu bahwa X adalah
tarian ritual? Hal ini tidak kita simpulkan hanya dengan melihat
gerakan-gerakan, namun kita menangkap tindakan-tindakan yang penih arti. Kalau
ada gerakan-gerakan seperti itu yang berasal dari suatu serangan penyakit ayan,
kita tidak akan tertarik. Jadi jelaslah dengan memahami kata-kata dan
maksud-maksud para penarilah kita menyimpulkan ciri religiusitasnya. Namun,
untuk melakukan hal ini, kita harus mengetahui bahasa, kebiasaan, dan watak
orang-orang dan semua ini mebutuhkan pemahaman. Andaikata merasaragu, kita
dapat menguji pemahaman tersebut, yakni membuktikan kebenaran atau kesalahan
hipotesis kita lewat tindakan pemahaman lebih lanjut. Kalau kita rasa telah
memahami fakta, kita dapat menyenangkan pada pengamat yang lain; kita juga
dapat minta penjelasan dan motivasi fakta tersebut dari para pelakunya sendiri.
Mengkhususkan, menekankan dan mengartikulasikan unsur-unsur yang beragan dari
suatu fenomena religius yang berulang-ulang menjadi suatu sistem korelasi yang
secara internal konsisten dan mengklasifikasikannya sebagai suatu upacara
kesuburan, merupakan langkah-langkah dalam tindakan pemahaman. Formasi
hipotesis sendiri adalah suatu pemaham tentatif. Pembentukan hipotesis, seperti
pengaturan kuburan yang menunjuk pada kepercayan akan kebangkitan badan, tarian
ritual yang mengungkapkan keyakutan akan daya adikodrati, adalah suatu
keberenian dalam pemahaman tentative. Verifikasi atau falsifikasi tergantung
pada bukti-bukti lebih lanjut dari sesuatu hal yang semula menjadi dasar
hipotesis. Fakta yang akan diselidiki dasar hipotesis. Fakta yang akan
diselidiki haruslah sudah dimengerti sejak awal, namun kemajuan penyelidikan
memperdalam dan mengoreksi pemahaman itu. Bahwa orang-orang tertenti bertingkah
laku secara religius adalah fakta. Pemahaman awal kita dari apa yang disebut
tingkah laku religius berasal dari pengalaman pribadi atau dari pengalaman
orang-orang lain. Kita membentuk hipotesis dan mengujinya berkenaan dengan
faktatertentu mencoba melukiskan unsur-unsur karakteristik dari fakta religius
ini.
Fenomenologi agama pada awal kemunculannya bertujuan memperoleh pengetahuan tentang gejala-gejala
agama. Kemudian berusaha memahaminya, da pada akhirnya menemukan esensi agama. Di
samping itu fenomenologi agama berupaya untuk menjauhi pendekatan-pendekatan
sempit dan normative agama. Ia berupaya mendeskripsikan pengalaman-pengalaman agama seakurat mungkin. Dalam penggambarannya, analisa dan intrepensi
makna, ia berupaya untuk menunda penilaian
tentang apa yang riil dan tidak riil dalam pengalaman orang lain. Ia berupaya
menggambarkan, memahami dan berlaku adil kepada fenomena agama seperti yang
muncul dalam pengalaman keberagamaan orang lain. Fenomenologi agama ini
digunakan pertama kali oleh Pierre David Chantaphie de la Saussaye, seorang
ahli studi Agama dari Belanda, dalam karyanya Lehrbuch der
Relegionsgeschichie (1887) kemudian perkembangan selanjutnya dikenal dengan
studi ilmiah agama. Menururtnya fenomenologi adalah pensisteman dan klasifikasi
aspek-aspek yang terpenting dari perbuatan keagamaan dan dari ide-ide
keagamaan.[22]
Pada perkembangannya, fenomenologi agama sangat
dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi Hegel dan Edmund Husserl. Menurut
Gerardus var der Leeaw, metode Fenomenologi agama terdiri atas tujuh fase:
1. Klasifikasi, yaitu menamai gejala yag muncul
2. Mengikut sertakan gejala ke dalam kehidupan kita.
3. Epoche, yaitu pengururngan sementara semua petimbangan nilai normatif.
4. Mencari esensi gejala dan “tipe ideal” hubungan struktur-struktur.
5. Das verstehen, yaitu mengerti dan memahami gejala-gejala agama.
6. Mengadakan koreksi terhadap hasil penelitianyya dengan bantuan filologi
dan ilmu purbakala.
7. Memberikan kesaksian hasil penilaiannya.[23]
E.
Tugas Fenomenologi Agama
Ada
tiga tugas yang harus diemban oleh Fenomenologi agama: pertama, mencari hakikat
keilahian wesensotik des gottlichen). Kedua, menyediakan teori tentang wahyu,
dan ketiga mengkaji perilaku keagamaan. Semua dilakukan bukan sebagaimana
teologi positif maupun filsafat agama. Oleh karena itu Scheler cenderung untuk
menerima penjelasan mengenai The Holy dari Otto. Sedangkan penemuan Otto
terhadap numinous (yang menimbulkan rasa hormat) sebagai suatu kategori yang sui
generasi oleh Scheler dianggap sama
dengan pendapat mengenai hakikat dan makna nilai-nilai moral. Sejarah dan
psikologi tidakdapat melaksanakan tugas Fenomenologiini. Deduksi maupun
abstraksi juga tidak akan dapat mempertahankan “esensi” (eidos) dari fenomena
yang ada.
Selanjutnya
kitamelihatfaktareligius bersifat subjektif, artinya merupakan keadaan mental
dari manusia religious, dalam caranya mellihat hal-hal atau
menginterpretasikannya. Fakta ini dan kaitan-kaitannya sekaligus bersifat
objektif, bukan karena sebagai tindakan budi yang berpikir, melainkan sebagai
sesuatu yang kebenarannya dapat dibuktikan oleh parapengamat yang independent.
Berkat konvergensi dari berbagai pemahaman kita mungkin dapat menyi,pilkan
bahwa suatu suku bangsa mempertahankan upacara-upacara pemilihan karena takut
pada kemarahan para dewa. Kesimpulan ini dihubungkan pada evidensi lain yang
lepas dari konvergensi tersebut. Ada kebutuhan unutk menyingkirkan jenis
subjektifitas yang dapat melemahkan riset ilmiah. Objektifitas disini berarti
membiarkan fakta berbicara untuk dirinya. Inilah prinsip ephoce dalam
fenomenologi agama. Artinya penilaian yang dikonsepkan sebelumnya harus ditunda
sampai fenomena itu sendiri bicara untuk dirinya. Sebagai ilmuwan, seorang
fenomenolog harus membedakan antara tugas, untuk menerangkan makna[24]
fenomenologi religius sebagaimana diwajibkan kepadanya oleh ilmu, dan tanggung
jawab, untuk menilai fenomena religius tersebut sebagai bagian dari suatu
kepercayaan tertentu. Bikanlah tugas fenomenolog untuk menilai dasar di atas
mana kepercayaan-kepercayaan religius itu dipertahankan atau emamyalam apakah
penilaian-penilaian religius mempunyai validitas objektif. Hal ini merupakan
wilayah filsafat atau teologi agama. Akan tetapi fakta bahwa manusia religius
merupakan memberikan penilaian-penilaian religius mempunyai validitas objektif.
Hal ini merupakan wilayah filsafat atau teologi agama. Akan tetapi, fakta bahwa
manusia religius merupakan memberikan penilaian-penilaian religius yang
mempengaruhi tindakan-tindakan dan tingkah lakunya, bahwa mereka menerima
norma-norma dan aturan-aturan dalam ungkapan keyakinan religius mereka,
merupakan persoalan faktual. Artinya, seorang fenomenolog harus mempertanyakan
hakikat yang sebenarnya, tanpa harus terlibat untuk merumuskan baik-buruknya
religius atau moral dari khusus itu.
Sementara itu prindip dari visi eidetik dalam metodologi fenomenologi agama mengarah
pada makna pencarian hakiki dari fenomena religius. Pemahaman makna fenomeba
religius diperoleh selalu dan hanya lewat pemahaman ungkapan-ungkapan.
Ungkapan-ungkapan ini meliputi kata-kata dan tanda-tanda apapun jenisnya dan
tingkah laku yang ekspresif seperti tarian. Hanya memalui ekspresilah serta
mengalaminya kembali, dengan empati atau wawasan imaginatif, kita memasuki
pemikiran mereka. Kalau tidak demikian, hanya ajkan memberi kesan seolah kita
memasuki pikiran orang lain kewat sesuatu proses misterius. Pemahaman adalah
penangkapan beberapa isi mental yang diperlihatkan oleh ungkapan-ungkapan.
Tindak pemahaman adalah proses kognitif yang pertama, dengan mana studi manusia
bermula. Ini tidak berarti bahwa nereka tak dapat keliru apa mereka dapat
dianalisis lebih lanjut. Dalam fenomenologi agama ada beberapa tipe pemahaman
yang berbeda, dalam kompleksitas yang berbeda-beda pula levelnya, tetapi
disatukan dalam tujuan mereka, yakni untuk menangkap makna yang lebih dalam
dari suatu fenomena religius. Kesatuan tujuan dari tindakan-tindakan pemahaman
ini adalah apa yang memberikan karakter yang khas pada setiap ilmu dan
menghindari rduksi.[25]
Memahami suatu syair tidaklah sama dengan, dan tidak tergantung pada pemahaman
proses-proses mental dari pengarangnya, meskipun beberapa ciri dari syair itu
tidak dapat dimengerti dengan lebih baik kalau seseorang mengetahuinya. Jadi,
memahami suatu tindakan religius tidak sama dengan, dan tidak tergantung pada
pemahaman proses mental dari tindakan ini. Dengan kata lain, kita tak dapat
mengurangi makan suatu fakta religius menjadi proses psikologi dari fakta yang
sama itu, meski pengetahuan yang kemudian dapat membantu pengetahuan yang
pertama.[26]
F.
Kesimpulan
Dari
pembahasan yang telah dipaparkan di atas, penulis menyimpulkan sebagai berikut:
1.
Pendekatan
adalah suatu sikap ilmiah dari seseorang untuk menemukan kebenaran ilmiah yang
hendak diperoleh. Dengan demikian pendekatan berdifat umum yang dalam suatu
pendekatan tertentu dapat dipergunakan bermacam-macam metode.
2.
fenomenologi
adalah paradigma yang terdapat dalam fakta yang dialami manusia. Pendekatan ini
berusaha menggunakan kerangka berfikir pada kejadian yang benar terjaadi pada
diri manusia. Hal ini berkaitan dengan pengalaman yang dialami oleh manusia.
3.
Istilah
fenomenologi sudah muncul pada wacana filsafat mulai tahun 1765 (abad ke-18)
dan juga muncul pada ahli-ahli filsafat yaitu Immanuel Kant (1724-1804), dan
filusuf lain seperti Georg Wilhelm Fredrich Hegel (1770-1831).
[1] M. Amin
Abdullah, Agama: Normativitas atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996). Hlm 22.
[3] M. Amin Abdullah, Agama:
Normativitas atau Historisitas?(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), halm. 22
[4] Muchtar Ghazali. Ilmu
Perbandingan Agama. Bandung: Pustaka Setia, 2000, hlm. 41.
[5] John M. Echols dan Hassan
Shadily, Kamus Bahasa Inggris Indonesia,
Cet XX, (Jakarta: PT GRAMEDIA, 1992), hlm. 427.
[6] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah
Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1992) hlm. 140
[7] Laras
Lestari “Teori Fenomenologi”, dalam
http//laraslestari24.blogspot.com/fenomenologi.html (13 maret 2017).
[8] Mariasuasi Dhavamony. Fenomenologi
Agama, diterjemahkan oleh Kelompok Studi Driyarkara (Yogyakarta: Kanisius,
1995) hlm.3
[9] Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta:
Teras, 2009), Cet. 1, hlm.106.
[10] Peter Connoly (ed), 2002 , Aneka Pendekatan Studi Agama. LKIS,
Yogyakarta. Hlm 107
[11] Ahmad Rimba, 2010, Sejarah Perkembangan Fenomenologi, WordPress.
[12] Richard C. Martin, 2002,
Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, Muhammadiyah University Press. Hlm 8
[15] Clive
Erricker, Pendekatan Fenomenologis dalam Peter Connolly
(ed), Aneka Pendekatan Studi Agama terj. Imam khoiri, (Yogyakarta:
Lkis, 2009), 110.
[16] Heddy Shri
Ahimsa-Putra, Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomenologi untuk Memahami
Agama, Jurnal Walisongo Vol. 20 No. 2 November 2012.
[17] James L. Cox, hlm 209-212
[18] Rafaele Pettazoni, Wujud Suprin:
Struktur Fenomenologisdan Perkembangan Historis dalam Mircea Aliade, dkk,
Metodologi Studi Agama. Ahmad Norma Permata (ed), Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2000, halm. 163.
[19] Joachim Wach, Ilmu Perbandingan
Agama, Rajawali, Jakarta, 1984. Hlm. 20
[20] Mariasuasi Dhavamony,
Phenomenology of Religion, diterjemahkan oleh Kelompok Studi Driyakara,
Kanisius, Yogyakarta, 1995, hlm 31
[21] Mariasuasi Dhavamony,
Phenomenology of Religion, diterjemahkan oleh Kelompok Studi Driyakara,
Kanisius, Yogyakarta, 1995, hlm 42
[22] Ahmad
Norma Permata, Metodologi Studi Agama, Kumpulan Tulisan, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000). Hlm 13.
[23] Herman L.
Beck, Ilmu Perbandingan Agama dan Fenomenologi Agama dalam Burhanuddin Daya, Ilmu
Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda, (Jakarta: INIS, 1992). Hlm 47.
[24] M. Amin Andullah, Islamic
Studies DI Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Intelektual, (Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2006), hal 23
[25] K. Bertens, Maurice
Merleau-Ponty dan Fenomenologi, dalam Filsafat Barat Abad XX jikid II Prancis,
Gramedia, Jakarta, 1996. Hlm. 132
[26] K. Bertens, Maurice
Merleau-Ponty dan Fenomenologi, dalam Filsafat Barat Abad XX jikid II Prancis,
Gramedia, Jakarta, 1996. Hlm. 134
No comments:
Post a Comment