Wednesday, November 15, 2017

PENDEKATAN FENOMENOLOGI DALAM KAJIAN ISAM

PENDEKATAN FENOMENOLOGI DALAM KAJIAN ISAM
Selvi Budi Rahayu 16771005
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Program Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

A.  Dasar Pemikiran
Menururt masyarakat, agama yang merupakan suatu wahyu Tuhan adalah sesuatu yang memiliki kebenaran absolut, berada di luar kemampuan akal manusia untuk menjangkaunya sehingga cukup dipercayai dan diamalkan saja. Bagi mereka, agama merupakan petunjuk yang harus diikuti oleh manusia, sehingga tidak selayaknya dijadikan sasaran studi ilmiah. Menurut amin Abdullah anggapan ini bukanlah hal yang aneh, karena studi dalam wilayah ilmu-ilmu alam saja tidak semua orang awam dapat mendalami seluk beluk permasalahannya secara akademik, apalagi studi dalam wilayah yang menyangkut agama yang notabennya sebuah pedoman hidup.[1]
Mengkaji fenomena keagamaan berarti mempelajri perilaku manusia dalam kehidupannya beragama. Ilmu pengetahuan sosial dengan caranya masing-masing, atau metode, dan peralatannya, dapat mengamati dengan cermat perilaku manusia itu, sehingga dimungkinkan ditemukan segala unsur yang menjadi komponen terjadinya perilaku itu. [2]
Studi agama oleh sebagian besar kelompok masyarakat dikritik dengan keras yang di alamatkan kepada lembaga Perguruan Tinggi Agama Islam karena menjadikan agama sebagai obyek studi ilmiah, apalagi pendekatan yang digunakan adalah filsafat. Menurut mereka, agama yang merupakan wahyu Tuhan adalah sesuatu yang memiliki kebenaran absolut, berada di luar kemampuan akal manusia untuk menjangkaunya sehingga cukup dipercayai dan diamalkan saja. Bagi mereka, agama merupakan petunjuk yang harus diikuti oleh manusia, sehingga tidak selayaknya dijadikan sasaran studi ilmiah.
Menurut Amin Abdulah, kritik dan anggapan semacam ini bukanlah hal yang aneh, karena studi dalam wilayah ilmu-ilmu kealaman saja, tidak semua orang awam dapat mendalami seluk beluk permasalahannya secara akademik, apalagi studi dalam wilayah ‘ultimate concern’ yang menyangkut agama, way of life, pedoman hidup, dan Weltanschauung.[3]
B.     Pendekatan Fenomenologi
Pendekatan adalah suatu sikap ilmiah dari seseorang untuk menemukan kebenaran ilmiah yang hendak diperoleh. Dengan demikian pendekatan berdifat umum yang dalam suatu pendekatan tertentu dapat dipergunakan bermacam-macam metode. Misalnya, seorang sosiologi. Begitu juga sejarawan, antropolog, fnomenolog, dan lain-lain akan menerapkan pendekatan dan metode sesuai dengan latar belakang keahliannya masing-masing.
Pendekatan atau metode yang paling dekat dan berhubungan dengan pendekatan historis adalah pendekatan fenomenologis. Hal ini dikarenakan fenomenologi tidak dapat berbuah tanpa etnologi, filologi, dan disiplin kesejarahan yang lainnya. Sebaliknya fenomenologi memberikan disiplin kesejarahan untuk memberi arti keagamaan yang tidak dapat mereka pahami. Oleh sebab itu, memahami agama dalam kajian fenomenologi berarti memahami sejarah dalam arti menurut dimensi keagamaan.[4]
Kata fenomenologi dalam bahasa Inggris disebut phenomena atau phenomenom secara etimologis bebrarti perwujudan, kejadian, atau gejala.[5] Fenomenologi berasal dari kata phainein yang berarti memperlihatkan dan phainemenon yang berarti sesuatu yang muncul atau terlihat, sehingga dapat diartikan beck to the things them selves atau kembali kepada benda itu sendiri. Menurut Hadiwijono, kata fenomena berarti penampakan seperti pilek, demam, dan meriang yang menunjukkan fenomena gejala penyakit. [6]
Fenomenologi juga berasal dari dua kata, yaitu: Pheneumon yang beearti realitas yang tampak, da logos yang berarti ilmu. Maka fenomenologi dapat diartikan sebagai ilmu yang berorientasi untuk mendapatkan penjelasan dari realitas yang tampak.[7]
Fenomenologi adalah hakikat dari fenomena yang dimengerti dalam arti empiris dari struktur umum sattu fenomena yang mendasari setiap fakta. Dalam mempelajari fenomena agama bidang bidang studinya meliputi fakta yang bersifat subjektif deperti pikiran, perasaan dan maksud-maksud seseorang yang diungkapkan dengan tindakan-tindakan.[8]
Penggunaan istilah fenomenologi dalam setiap masa ini berbeda-beda. Kant misalnya, membedakan antara phenomenon dan neumenon.  Phenomenon adalah objek yang kita alami, dan kejadian sebagaimana hal itu terjadi. Sedangkan Hegel memandang phenomenon sebagai tahapan untuk sampai ke nemumenon. Pada medio abad ke XIX, arti fenomenologi menjadi sinonim dengan fakta. Pierce berpendapat bahwa phenomenon itu bukan sekedar memberikan  deskripsi objek, melainkan telah masuk ilusi, imajinasi, dan impian.[9]
Mengkaji fenomena keagamaan berarti mempelajari perilaku manusia dalam kehidupannya beragama. Ilmu pengetahuan sosial dengan caranya masing masing, atau metode, teknik, dan peralatannya, dapat mengamati dengan cermat perilaku manusia itu, sehingga dimungkinkan ditemukannya segala unsur yang menjadi komponen terjadinya perilaku itu, juga “makna terdalam dan substansi sejati” yang tersembunyi dibalik gejala tersebut. Hal ini sudah barang tentu berlaku juga untuk semua fenomena keberagamaan (religious phenomenon) manusia.

Sebagai sebuah istilah,  fenomenologi pertama kali diciptakan pada tahun 1764 oleh ahli matematika dan filosof Swis-Jerman, Johann Heinrich Lambert. Ia menggunakan istilah ini untuk merujuk kepada hakikat filusif dari pengalaman manusia dalam upaya untuk mengembangkan suatu teori pengetahuan yang membedakan kebenaran dari kesalahan.

Menurut George W. F. Hege, fenomenologi secara terminologis adalah ilmu pengetahuan dengan sarana mana kita sampai kepada suatu pengetahuan absolute dengan jalan mempelajari cara-cara pikiran kita menampakkan diri kepada kita.

Sebagai metode, fenomenologi merupakan persiapan bagi setiap penyelidikan di bidang filsafat dan di bidang ilmu pengetahuan positif. Ia menyelidiki hal-hal hakiki yang penting bagi berbagai bidang ilmu pengetahuan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa fenomenologi adalah paradigma yang terdapat dalam fakta yang dialami manusia. Pendekatan ini berusaha menggunakan kerangka berfikir pada kejadian yang benar terjaadi pada diri manusia. Hal ini berkaitan dengan pengalaman yang dialami oleh manusia.

Tugas dari fenomenologi adalah menunjukkan bahwa agama perlu dikaji secara serius dan memberi kontribusi terhadap pemahaman kita tentang humanitas dengan cara positif.[10] Hal ini mengharuskan kita segera tanggap terhadap fakta bahwa studi agama tidak dapat menjadi penelitian yang murni objektif tetapi harus mempertimbangkan keterlibatan peneliti dalam subjek penelitian. Dalam hal ini peneliti tidak bisa hanya menilai dari luarnya saja tetapi harus masuk ke dalam penelitian dan mengalaminya sehingga akan mendapatkan pengalaman secara nyata.
Fenomenologi Agama marupakan suatu cara memahami agama yang ada dengan sikap apresiasif tanpa semangat penaklukan atau pengafiran. Pendekatan ini menghindari sifat eksternal, menganggap agama orang lain pasti salah dan hanya agamanyalah yang benar, tetapi melalui pendekatan untuk menjadi pemerhati agama dan pendengar sehingga dapat memahami dan menghargai keberagamaan orang lain, untuk memperkuat keyakinan terhadap kebenaran agamanya, tidak dengan cara mencari kesalahan agama lain, tetapi memahami pemahaman orang lain justru untuk memperkuat keyakinan agama sendiri.
Fenomenologi mengacu pada analisis kehidupan sehari-hari dari sudut pandag orang yang terlibat di dalamnya, dan menekankan pada persepsi dan interpretasai orang mengenai pengalaman mereka sendiri. Fenomenologi melihat komunikasi sebagai sebuah proses membagi pengalaman personal melalui dialog atau percakapan. Jadi fenomenologi itu mengacu pada sebuah fenomena yang terjadi sesuai dengan pengalama yang dialami secara langsung.
C.  Sejarah dan Asal-Usul
Ahli matematika Jerman Edmund Husserl, dalam tulisannya yang berjudul Logical Investigations (1900) mengawali sejarah fenomenologi. Fenomenologi sebagai salah satu cabang filsafat, pertama kali dikembangkan di universitas-universtas Jerman sebelum Perang Dunia I, khususnya oleh Edmund Husserl, yang kemudian di lanjutkan oleh Marxvtin Heidehher dan yang lainnya, seperti Jean Paul Sartre. Selanjutnya Sartre, Heidegger, dan Merleau-Ponty memasukkan ide-ide dasar fenomenologi dalam pandangan eksistensialisme. Adapun yang menjadi fokus dari eksistensialisme adalah eksplorasi kehidupan dunia mahluk sadar, atau jalan kehidupan subjek-subjek sadar.
Fenomenologi tidak dikenal setidaknya sampai menjelang abad ke-20. Abad ke-18 menjadi awal digunakannya istilah fenomenologi sebagai nama teori tentang penampakan, yang menjadi dasar pengetahuan empiris (penampakan yang diterima secara inderawi). Istilah fenomenologi itu sendiri diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert, pengikut Christian Wolff. Sesudah itu, filosof Immanuel Kant mulai sesekali menggunakan istilah fenomenologi dalam tulisannya, seperti halnya Johann Gottlieb Fichte dan G.W.F.Hegel. Pada tahun 1889, Franz Brentano menggunakan fenomenologi untuk psikologi deskriptif. Dari sinilah awalnya Edmund Hesserl mengambil istilah fenomenologi. [11]
Peristiwa yang mampu membawa perubahan pandangan secara menyeluruh adalah perang dunia I yang mampu mempengaruhi banyak sarjana untuk melakukan studi-studi agama. Hingga munculah mazhab yang dikenal sebagai fenomenologi Agama.[12]
Sekitar abad 15 dan 16 M, di Eropa telah terjadi suatu perubahan terbesar dalam perspektif manusia tentang dirinya. Hal ini dikarenankan di abad pertengahan, manusia memandang segala hal dari sudut pandang ‘ketuhanan’; kaitannya dengan Tuhan yang menciptakan, mengarahkan, mempertahankan, serta penyelamat manusia dan seluruh alam raya. Selanjutnya, munculnya modernitas mengubah paradigma berpikir ini, bahkan peralihan tersebut –pada satu keadaan– bersifat dekonstruktif; reformasi abad-16 yang menolak banyak klaim Gereja, serta dasar-dasaratheism yang dirumuskan oleh filsuf era itu. Hal ini yang mengantarkan peradaban Eropa menuju masa pencerahan.[13]
Kehadiran Edmund Husserl, empat kurun setelah muculnya kesadaran Eropa pada abad ke-19, dan disebut-sebut sukses menyatukan kecenderungan idealis dan realis. Husserl berupaya membongkar filsafat Barat, dengan menghancurkan ketertutupan kesadaran. Karena, “kesadaran” sesuai kodratnya mengarah ke realitas. Kemudian Husserl menciptakan pendekatan filsafat yang menganalisa “kesadaran” dan obyek-obyeknya secara sistemik dan berdasarkan pengalaman. Pendekatan ini yang kemudian dinamakan “fenomenologi”.[14]Secara genealogis, fenomenologi juga merupakan sebentuk respon terhadap dominasi ‘rasio’, yang terjadi pada abad 17 dan 18. Dominasi rasio terejawantahkan dalam pertimbangan segala hal, termasuk alam raya, pada sikap matematis. Sehingga pada tahap ini rasio telah menjadi “kesadaran” serta “penggerak kehidupan”.
Istilah fenomenologi diperkenankan oleh seorang filusuf dan matematikawan berkembangsaan Swiss-Jerman Johan Heinbrich Lambert dalam bukunya Neues Organonyang diterbitkan pada 1764. Lambert memaknai istilah yunani tersebut dengan pengertian The Setting Forth or Articulation of What Shows Itself (pengaturan artikulasi dari apa yang menunjukkan dirinya). Lambert menggunakan istilah ini untuk mengilustrasikan alam khayalan pengalaman manusia dalam upaya mengembangkan teori pengetahuan yang membedakan kebenaran dari kesalahan. Immanuel khant (1724-1804) dalam karya-karyanya juga dikenal menggunakan istilah-istilah tersebut untuk membedakan pengetahuan yang immanen (noumena) dan pengetahuan yang menggambarkan pengalaman manusia (fenomena). Namun dalam perkembangannya G.W.F. Hegel dan Edmund Husserls yang disebut-sebut sebagai peletak dasar-dasar fenomenologi.[15]
Istilah fenomenologi sudah muncul pada wacana filsafat mulai tahun 1765 (abad ke-18) dan juga muncul pada ahli-ahli filsafat yaitu Immanuel Kant (1724-1804).[16]  dan filusuf lain seperti Georg Wilhelm Fredrich Hegel (1770-1831). Kedua filusuf ini masing-masing punya pendapat tentang pendekatan fenomenologi seperti yang telah dikemukakan sebelumnya.
Sejak zaman Edmund Hasserl (1859-1938), arti fenomenologi telah menjadi filsafat dan menjadi metodologi berfikir. Phenomenon bukan sekedar pengalaman langsung, melainkan pengalaman yang telah mengimplisitkan penafsiran dan klasifikasi. Pada zaman Hasserl, fenomena menjadi sebuah cara berfikir yang berdasarkan pengalaman langsung yang memunculkan penafsiran dan klasifikasi. Selanjutnya Edmund Hasserl dianggap sebagai pendiri pendekatan fenomenologi sebagai aliran filsafat. Karena arti fenomenologi menjadi proses berfikir, maka fenomenologi dapat dianalogikan sebagai pisau yang bisa berguna multi fungsi, pisau dapat membelah atau mengupas segala hal yang diinginkan. Begitu pula dengan fenomenologi, bisa juga digunakan untuk mengkaji dan memahami berbagai macam disiplin ilmu termasuk juga mengkaji agama Islam.
D.    Fenomenologi Agama
Edmund Husserl pendiri aliran filsafat fenomenologi memandang bahwa fenomenologi sebagai sebuah disiplin filsafat yang ketat bertujuan membatasi dan melengkapi penjelasan psikologi murni mengenai proses kejiwaan. Lebi jauh pendekatan Fenomenologis ini digunakan untuk menjelaskan berbagai bidang pemikiran mulai seni, hukum dan lain-lain termasuk agama. Tujuannya adalah memahami pemikiran, perilaku dan memaami lembaga keagamaan tanpa mengikuti salah satu teori filsafat, teologi, metafisika ataupun psikologi. Dengan demikian telah tersedia perangkat penting yang sangat diperlukan dalam pendekatan teradap agama yang melengkapi metode historism psikologi atau sosial murni.
Filsafat Edmund Husserl meskipun tidak secara langsung membahas studi agama, tetapi dua konsep yang mendasari karyanya menjadi suatu titik tolak metodologis yang bernilai bagi studi fenomenologi yakni: epoce; terdiri dari pengendalian atau kecurigaan dalam mengambil keputusan. Ini menunjukkan tentang tidak adanya prasangka yang akan mempengaruhi hasil pemaaman. Metode ini, menjadi penting untuk memahami agama dari sudut pandang orang yang beriman. Kita bisa masuk ke wilayah pengalaman dari perilaku keagamaan untuk mencapai pemahaman yang mendalam. Pemahamanyang sangat mendalam ini menjadi penting untuk melihat peristiwa keagamaan secara objeltif. Selanjutnya konsep Edmun Husserl tentang eidetik: yang memberi kemampuan melihat esensi fenomena secara objektif bahkan juga membahas persoalan subjektifitas persepsi dan refleksi. Eidetik mengandaikan adanya kemampuan mencapai pemahaman intuitif tentang fenomena yang juga dapat dipertahankan sebagai pengetahuan pbjektif.[17]
Sementara itu, Van Der Leeuw mengatakan bahwa fenomenologi secara konstan (keadaan tetap) haris tetap memperhatikan sejarah, Fenomenologi menururtnya adalah interpretasi; namun hermenutika Fenomenologis “menjadi seni myrni dan fantasi, begitu ia dipisahkan dari hermenutika filologis-arkeologis.[18] Berbeda dengan pendekatan Vander Leeuw, Fenomenologi menururt Joachim Wach agama sebagai respon manusia terhadap “penampakakan” Non-Ilahi yang terjadi dalam sebuah pengalaman keagmaaan.[19] Pandangan Wach ini bila kita analisis, dapat kita lihat dua hal penting dalam melihat agama. Pertama, penampakan Non-Ilahi dalam sebuah pengalaman keagamaan. Kedua, respon manusia terhadap fenomena pertama tersebut.
Manusia tidak pernah dan tidak akan pernah mungkin mengetahui keberadaan-Nya dan memberikan serta melakukan respon terhadap keberadaan-Nya dan memberikan serta melakukan respon terhadap keberadaan Nan-Ilahi, Tuhan. Manusia hanya dan hanya melakukan respon terhadap Tuhan sejauh ia “meampakkan” diri-Nya kepada manusia. Tuhan merupakan wujud yang tak terperikan, tak terkatakan. Dan bahkan untuk mengatakan-Nya demikian (sebagai realitas yang tak terperikan, tak terkatan) pun bukan kesimpulan yang bisa dikatakan benar. Karena, ia mengatasi kata-kata dan imajinasi, konseptualisasi yang mampu manusia perikan.
Sementara itu menurut Max Scheler metode fenomenologi mencoba membiarkan fenomenologi keagamaan mengungkapkan diri mereka dan tidak memaksakan merasa ke dalam suatu kerangla yang telah disiapkan sebelumnya. Usaha tersebut dimaksudkan untuk sebisa mungkin mempertahankan sifat-sifat asli dan fenomena yang ada.
Lain halnya menururt Dhavamony, metode fenomenologi agama yaitu suatu cara memahami agama yang ada dengan sikap apresiatif tanpa semangat penaklukan atau pengkafiran. Metode ini menghindari siap eksternal, menganggap agama orang lain pasti salah dan agamanyalah yang benar, tetapi melalaui pendekatan untuk menjadi pemerhati danpendengar sehingga dapat memahami dan menghargai keberagamaan orang lain tanpa meninggalkan keimanannya sendiri. Dengan kata lain, untuk memperkuat keyakinan terhadap kebenaran gamanya, tidak dengan cara mencari kesalahan agama lain, tetapi memahami pemahaman orang lain justru untuk memperkuat keyakinan agama sendiri.[20]
Metode ini menggunakan “perbandingan” sebagai sarana interpretasi yang utama untuk memahami arti dari ekspresi-ekspresi religius, seperti qurban, ritus-ritus persembahan dan lain-lain. Metode ini mencoba menyelidiki karakteristik yang dminan dari agama dalam kontesk historis kultural, memberi arti serta menjelaskan makna interna tindakan-tindakan itu. Asumsi dasardari pendekatan ini adalah bentuk luar dari ungkapan manusia yang mempunyai pola atau konfigurasi kehidupan yang teratur, yang dapat dilukiskan kerangkanya. Metode ini mencoba menemukan struktur yang mendasari fakta sejarah dan memahami makna yang lebih dalam, sebagaimana dimanifestasikan melalui struktir tersebut dengan hukum-hukum dan pengertian-pengertian yang khas. Hal ini bermaksud memberikan suatu pandangan menyeluruh dari ide-ide dan motif-motif yang berkepentingan sangat menentukan dalam sejarah.[21]
Metode fenomenologi selain untuk menemukan struktur-struktur yang sama dalam setiap agama, juga mengarah pada suatu pemahaman tentang transendental unity of religious (kesatuan transenden dalam agama) memberikan implikasipada sikap ko-eksistensi (bereksistensi secarabersama-sama) juga pro-eksistensi (mengakui eksistensi agama-agama). Metode demikian memang tidak mudah untuk dilakukan karena sudah menyentuh persoalan keyakinan yang sifatnya vertikal, subjektif dan menyangkut keimanan. Biasanya dialog dan kerjasama akan lebih mudah apabila dalam kawasan etis karena kawasan ini menyangkut hubungan yang horisontal dan bersifat rasional terbuka.
Fenomenologi agama menggunakan metodologi ilmiah sebagaimana telah dipaparkan, kalau dia mempelajari fenomena religius. Tugas studinya meliputi fakta religius yang bersifat subjektif seperti pikiran-pikiran, perasaan-perasaan dan maksud-maksud dari seseorang, yang diungkapkan dalam tindakan-tindakan luar. Pemahaman ungkapan-ungkapan yang bersifat subjektif inilah yang membuat fakta menjadi suatu tindakan kebaktian, bukan sekedar gerakan-gerakan. Gerakan sholat, bukan hanya sebuah gerakan yang tal berguna. Keadaan-keadaan ini kita anggap bersifat subjektif, dalam arti bahwa semua ini terjadi dalam subjek manusia serta terungkapkan dalam tanda dan symbol. Kita dapat mengulangi tindakan pemahaman dari fenomena religius, membandingkannya dengan tindakan-tindakan pemahaman dari pengamat-pengamat lain, dan menyimpulkan bahwa X adalah suatu tindakan kebaktian, bahwa Y adalah tindakan kurban, dan bahwa Z adalah kegiatan doa. Fakta ini mengandaikan perlunya objektivitas. Bagaimaa kita tahu bahwa X adalah tarian ritual? Hal ini tidak kita simpulkan hanya dengan melihat gerakan-gerakan, namun kita menangkap tindakan-tindakan yang penih arti. Kalau ada gerakan-gerakan seperti itu yang berasal dari suatu serangan penyakit ayan, kita tidak akan tertarik. Jadi jelaslah dengan memahami kata-kata dan maksud-maksud para penarilah kita menyimpulkan ciri religiusitasnya. Namun, untuk melakukan hal ini, kita harus mengetahui bahasa, kebiasaan, dan watak orang-orang dan semua ini mebutuhkan pemahaman. Andaikata merasaragu, kita dapat menguji pemahaman tersebut, yakni membuktikan kebenaran atau kesalahan hipotesis kita lewat tindakan pemahaman lebih lanjut. Kalau kita rasa telah memahami fakta, kita dapat menyenangkan pada pengamat yang lain; kita juga dapat minta penjelasan dan motivasi fakta tersebut dari para pelakunya sendiri. Mengkhususkan, menekankan dan mengartikulasikan unsur-unsur yang beragan dari suatu fenomena religius yang berulang-ulang menjadi suatu sistem korelasi yang secara internal konsisten dan mengklasifikasikannya sebagai suatu upacara kesuburan, merupakan langkah-langkah dalam tindakan pemahaman. Formasi hipotesis sendiri adalah suatu pemaham tentatif. Pembentukan hipotesis, seperti pengaturan kuburan yang menunjuk pada kepercayan akan kebangkitan badan, tarian ritual yang mengungkapkan keyakutan akan daya adikodrati, adalah suatu keberenian dalam pemahaman tentative. Verifikasi atau falsifikasi tergantung pada bukti-bukti lebih lanjut dari sesuatu hal yang semula menjadi dasar hipotesis. Fakta yang akan diselidiki dasar hipotesis. Fakta yang akan diselidiki haruslah sudah dimengerti sejak awal, namun kemajuan penyelidikan memperdalam dan mengoreksi pemahaman itu. Bahwa orang-orang tertenti bertingkah laku secara religius adalah fakta. Pemahaman awal kita dari apa yang disebut tingkah laku religius berasal dari pengalaman pribadi atau dari pengalaman orang-orang lain. Kita membentuk hipotesis dan mengujinya berkenaan dengan faktatertentu mencoba melukiskan unsur-unsur karakteristik dari fakta religius ini.
Fenomenologi agama pada awal kemunculannya bertujuan memperoleh pengetahuan tentang gejala-gejala agama. Kemudian berusaha memahaminya, da pada akhirnya menemukan esensi agama. Di samping itu fenomenologi agama berupaya untuk menjauhi pendekatan-pendekatan sempit dan normative agama. Ia berupaya mendeskripsikan pengalaman-pengalaman agama seakurat mungkin. Dalam  penggambarannya, analisa dan intrepensi makna, ia berupaya untuk menunda penilaian  tentang apa yang riil dan tidak riil dalam pengalaman orang lain. Ia berupaya menggambarkan, memahami dan berlaku adil kepada fenomena agama seperti yang muncul dalam pengalaman keberagamaan orang lain. Fenomenologi agama ini digunakan pertama kali oleh Pierre David Chantaphie de la Saussaye, seorang ahli studi Agama dari Belanda, dalam karyanya Lehrbuch der Relegionsgeschichie (1887) kemudian perkembangan selanjutnya dikenal dengan studi ilmiah agama. Menururtnya fenomenologi adalah pensisteman dan klasifikasi aspek-aspek yang terpenting dari perbuatan keagamaan dan dari ide-ide keagamaan.[22]
Pada perkembangannya, fenomenologi agama sangat dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi Hegel dan Edmund Husserl. Menurut Gerardus var der Leeaw, metode Fenomenologi agama terdiri atas tujuh fase:
1.    Klasifikasi, yaitu menamai gejala yag muncul
2.    Mengikut sertakan gejala ke dalam kehidupan kita.
3.    Epoche, yaitu pengururngan sementara semua petimbangan nilai normatif.
4.    Mencari esensi gejala dan “tipe ideal” hubungan struktur-struktur.
5.    Das verstehen, yaitu mengerti dan memahami gejala-gejala agama.
6.    Mengadakan koreksi terhadap hasil penelitianyya dengan bantuan filologi dan ilmu purbakala.
7.    Memberikan kesaksian hasil penilaiannya.[23]
E.  Tugas Fenomenologi Agama
Ada tiga tugas yang harus diemban oleh Fenomenologi agama: pertama, mencari hakikat keilahian wesensotik des gottlichen). Kedua, menyediakan teori tentang wahyu, dan ketiga mengkaji perilaku keagamaan. Semua dilakukan bukan sebagaimana teologi positif maupun filsafat agama. Oleh karena itu Scheler cenderung untuk menerima penjelasan mengenai The Holy dari Otto. Sedangkan penemuan Otto terhadap numinous (yang menimbulkan rasa hormat) sebagai suatu kategori yang sui generasi oleh Scheler dianggap  sama dengan pendapat mengenai hakikat dan makna nilai-nilai moral. Sejarah dan psikologi tidakdapat melaksanakan tugas Fenomenologiini. Deduksi maupun abstraksi juga tidak akan dapat mempertahankan “esensi” (eidos) dari fenomena yang ada.
Selanjutnya kitamelihatfaktareligius bersifat subjektif, artinya merupakan keadaan mental dari manusia religious, dalam caranya mellihat hal-hal atau menginterpretasikannya. Fakta ini dan kaitan-kaitannya sekaligus bersifat objektif, bukan karena sebagai tindakan budi yang berpikir, melainkan sebagai sesuatu yang kebenarannya dapat dibuktikan oleh parapengamat yang independent. Berkat konvergensi dari berbagai pemahaman kita mungkin dapat menyi,pilkan bahwa suatu suku bangsa mempertahankan upacara-upacara pemilihan karena takut pada kemarahan para dewa. Kesimpulan ini dihubungkan pada evidensi lain yang lepas dari konvergensi tersebut. Ada kebutuhan unutk menyingkirkan jenis subjektifitas yang dapat melemahkan riset ilmiah. Objektifitas disini berarti membiarkan fakta berbicara untuk dirinya. Inilah prinsip ephoce dalam fenomenologi agama. Artinya penilaian yang dikonsepkan sebelumnya harus ditunda sampai fenomena itu sendiri bicara untuk dirinya. Sebagai ilmuwan, seorang fenomenolog harus membedakan antara tugas, untuk menerangkan makna[24] fenomenologi religius sebagaimana diwajibkan kepadanya oleh ilmu, dan tanggung jawab, untuk menilai fenomena religius tersebut sebagai bagian dari suatu kepercayaan tertentu. Bikanlah tugas fenomenolog untuk menilai dasar di atas mana kepercayaan-kepercayaan religius itu dipertahankan atau emamyalam apakah penilaian-penilaian religius mempunyai validitas objektif. Hal ini merupakan wilayah filsafat atau teologi agama. Akan tetapi fakta bahwa manusia religius merupakan memberikan penilaian-penilaian religius mempunyai validitas objektif. Hal ini merupakan wilayah filsafat atau teologi agama. Akan tetapi, fakta bahwa manusia religius merupakan memberikan penilaian-penilaian religius yang mempengaruhi tindakan-tindakan dan tingkah lakunya, bahwa mereka menerima norma-norma dan aturan-aturan dalam ungkapan keyakinan religius mereka, merupakan persoalan faktual. Artinya, seorang fenomenolog harus mempertanyakan hakikat yang sebenarnya, tanpa harus terlibat untuk merumuskan baik-buruknya religius atau moral dari khusus itu.
Sementara itu prindip dari visi eidetik  dalam metodologi fenomenologi agama mengarah pada makna pencarian hakiki dari fenomena religius. Pemahaman makna fenomeba religius diperoleh selalu dan hanya lewat pemahaman ungkapan-ungkapan. Ungkapan-ungkapan ini meliputi kata-kata dan tanda-tanda apapun jenisnya dan tingkah laku yang ekspresif seperti tarian. Hanya memalui ekspresilah serta mengalaminya kembali, dengan empati atau wawasan imaginatif, kita memasuki pemikiran mereka. Kalau tidak demikian, hanya ajkan memberi kesan seolah kita memasuki pikiran orang lain kewat sesuatu proses misterius. Pemahaman adalah penangkapan beberapa isi mental yang diperlihatkan oleh ungkapan-ungkapan. Tindak pemahaman adalah proses kognitif yang pertama, dengan mana studi manusia bermula. Ini tidak berarti bahwa nereka tak dapat keliru apa mereka dapat dianalisis lebih lanjut. Dalam fenomenologi agama ada beberapa tipe pemahaman yang berbeda, dalam kompleksitas yang berbeda-beda pula levelnya, tetapi disatukan dalam tujuan mereka, yakni untuk menangkap makna yang lebih dalam dari suatu fenomena religius. Kesatuan tujuan dari tindakan-tindakan pemahaman ini adalah apa yang memberikan karakter yang khas pada setiap ilmu dan menghindari rduksi.[25] Memahami suatu syair tidaklah sama dengan, dan tidak tergantung pada pemahaman proses-proses mental dari pengarangnya, meskipun beberapa ciri dari syair itu tidak dapat dimengerti dengan lebih baik kalau seseorang mengetahuinya. Jadi, memahami suatu tindakan religius tidak sama dengan, dan tidak tergantung pada pemahaman proses mental dari tindakan ini. Dengan kata lain, kita tak dapat mengurangi makan suatu fakta religius menjadi proses psikologi dari fakta yang sama itu, meski pengetahuan yang kemudian dapat membantu pengetahuan yang pertama.[26]

F.   Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dipaparkan di atas, penulis menyimpulkan sebagai berikut:
1.    Pendekatan adalah suatu sikap ilmiah dari seseorang untuk menemukan kebenaran ilmiah yang hendak diperoleh. Dengan demikian pendekatan berdifat umum yang dalam suatu pendekatan tertentu dapat dipergunakan bermacam-macam metode.
2.    fenomenologi adalah paradigma yang terdapat dalam fakta yang dialami manusia. Pendekatan ini berusaha menggunakan kerangka berfikir pada kejadian yang benar terjaadi pada diri manusia. Hal ini berkaitan dengan pengalaman yang dialami oleh manusia.
3.    Istilah fenomenologi sudah muncul pada wacana filsafat mulai tahun 1765 (abad ke-18) dan juga muncul pada ahli-ahli filsafat yaitu Immanuel Kant (1724-1804), dan filusuf lain seperti Georg Wilhelm Fredrich Hegel (1770-1831).





[1] M. Amin Abdullah, Agama: Normativitas atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996). Hlm 22.
[2] Soejono Soekonto, Sosiologi; Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. GRAFINDO PERSADA, 1993), hlm. 18
[3] M. Amin Abdullah, Agama: Normativitas atau Historisitas?(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), halm. 22
[4] Muchtar Ghazali. Ilmu Perbandingan Agama. Bandung: Pustaka Setia, 2000, hlm. 41.
[5] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Bahasa Inggris  Indonesia, Cet XX, (Jakarta: PT GRAMEDIA, 1992), hlm. 427.
[6] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1992) hlm. 140
[7] Laras Lestari “Teori Fenomenologi”, dalam http//laraslestari24.blogspot.com/fenomenologi.html (13 maret 2017).
[8] Mariasuasi Dhavamony. Fenomenologi Agama, diterjemahkan oleh Kelompok Studi Driyarkara (Yogyakarta: Kanisius, 1995) hlm.3
[9]  Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: Teras, 2009), Cet. 1,  hlm.106.
[10] Peter Connoly (ed),  2002 , Aneka Pendekatan Studi Agama. LKIS, Yogyakarta. Hlm 107
[11] Ahmad Rimba, 2010,  Sejarah Perkembangan Fenomenologi, WordPress.
[12] Richard C. Martin, 2002, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, Muhammadiyah University Press. Hlm 8
[13] Franz Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006), hlm. 50
[14] Bryan Magee, The Story of Philosophy, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2008), h. 210
[15] Clive Erricker, Pendekatan Fenomenologis  dalam Peter Connolly (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama terj. Imam khoiri, (Yogyakarta: Lkis, 2009), 110.
[16] Heddy Shri Ahimsa-Putra, Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomenologi untuk Memahami Agama, Jurnal Walisongo Vol. 20 No. 2 November 2012.
[17] James L. Cox, hlm 209-212
[18] Rafaele Pettazoni, Wujud Suprin: Struktur Fenomenologisdan Perkembangan Historis dalam Mircea Aliade, dkk, Metodologi Studi Agama. Ahmad Norma Permata (ed), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, halm. 163.
[19] Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama, Rajawali, Jakarta, 1984. Hlm. 20
[20] Mariasuasi Dhavamony, Phenomenology of Religion, diterjemahkan oleh Kelompok Studi Driyakara, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hlm 31
[21] Mariasuasi Dhavamony, Phenomenology of Religion, diterjemahkan oleh Kelompok Studi Driyakara, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hlm  42
[22] Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama, Kumpulan Tulisan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000). Hlm 13.
[23] Herman L. Beck, Ilmu Perbandingan Agama dan Fenomenologi Agama dalam Burhanuddin Daya, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda, (Jakarta: INIS, 1992). Hlm 47.
[24] M. Amin Andullah, Islamic Studies DI Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Intelektual, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006), hal 23
[25] K. Bertens, Maurice Merleau-Ponty dan Fenomenologi, dalam Filsafat Barat Abad XX jikid II Prancis, Gramedia, Jakarta, 1996. Hlm. 132
[26] K. Bertens, Maurice Merleau-Ponty dan Fenomenologi, dalam Filsafat Barat Abad XX jikid II Prancis, Gramedia, Jakarta, 1996. Hlm. 134

No comments:

Post a Comment